DM

31
Diabetes Melitus yang merupakan suatu kelainan metabolisme yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam sekresi maupun kerja insulin, yaitu suatu hormon yang berfungsi mengatur keseimbangan gula darah (Powers 2005). Diabetes Melitus dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu Diabetes Melitus tipe-1 dan Diabetes Melitus tipe 2. Prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Berdasarkan data WHO, setelah mencapai umur 30 tahun terjadi peningkatan glukosa puasa sebanyak 1- 2 mg% per tahun dan glukosa 2 jam postprandial sebanyak 5.6-13 mg% per tahun (Rochmah 2006). Proses penuaan memiliki peran yang cukup bermakna dalam patogenesis penyakit ini. Ditemukan bahwa penuaan dapat mengurangi sensitivitas reseptor pada otot terhadap glukosa dan insulin (Rochmah 2006). Peningkatan gula darah yang abnormal (hiperglikemia) dapat menimbulkan berbagai komplikasi pada penderita Diabetes Melitus lanjut usia. Salah satu komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan pada pasien Diabetes Melitus lanjut usia adalah penyakit kardiovaskular akibat aterosklerosis (Beckman et al. 2002). 1

Transcript of DM

Page 1: DM

Diabetes Melitus yang merupakan suatu kelainan metabolisme yang disebabkan

oleh adanya gangguan dalam sekresi maupun kerja insulin, yaitu suatu hormon yang

berfungsi mengatur keseimbangan gula darah (Powers 2005). Diabetes Melitus dapat

dibedakan menjadi dua tipe, yaitu Diabetes Melitus tipe-1 dan Diabetes Melitus tipe 2.

Prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 meningkat seiring dengan bertambahnya umur.

Berdasarkan data WHO, setelah mencapai umur 30 tahun terjadi peningkatan glukosa

puasa sebanyak 1-2 mg% per tahun dan glukosa 2 jam postprandial sebanyak 5.6-13

mg% per tahun (Rochmah 2006). Proses penuaan memiliki peran yang cukup bermakna

dalam patogenesis penyakit ini. Ditemukan bahwa penuaan dapat mengurangi

sensitivitas reseptor pada otot terhadap glukosa dan insulin (Rochmah 2006).

Peningkatan gula darah yang abnormal (hiperglikemia) dapat menimbulkan berbagai

komplikasi pada penderita Diabetes Melitus lanjut usia. Salah satu komplikasi yang

dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan pada pasien Diabetes

Melitus lanjut usia adalah penyakit kardiovaskular akibat aterosklerosis (Beckman et al.

2002).

1

Page 2: DM

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Diabetes Melitus merupakan suatu kelainan metabolik yang disebabkan oleh defisiensi

insulin yang dapat bersifat relatif atau absolut. Insulin adalah suatu hormon yang

dihasilkan oleh pankreas dan berperan penting dalam proses penyimpanan glukosa ke

dalam sel (Powers 2005). Kelainan metabolik yang terjadi pada Diabetes Melitus tidak

hanya berupa hiperglikemia, melainkan terjadi pula gangguan pada metabolisme lipid

dan protein yang dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai organ (Bennet et al.

2001) Etiologi Diabetes Melitus tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi diperkirakan

bahwa kelainan ini disebabkan oleh interaksi berbagai faktor, baik faktor herediter

maupun faktor lingkungan (Powers 2005). Penyakit ini dicirikan dengan adanya

berbagai gangguan metabolik dalam tubuh, diantaranya hiperglikemia kronis dan

gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Penderita Diabetes Melitus

dapat menunjukkan gejala klinis yang spesifik seperti kehausan, poliuria, pandangan

kabur, dan kehilangan berat badan. Akan tetapi, pada sebagian orang penyakit ini juga

dapat tidak menimbulkan gejala sehingga baru dapat terdiagnosis apabila sudah terjadi

komplikasi-komplikasi yang fatal, seperti retinopati, neuropati, gagal ginjal, disfungsi

seksual, dan gangren pada ektrimitas. Telah dibuktikan juga bahwa penderita Diabetes

Melitus memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit kardiovaskular,

serebrovaskular, dan PAP (WHO 1999).

2.2 Epidemiologi

Prevalensi Diabetes Melitus menunjukkan peningkatan yang sangat bermakna dalam

dua dekade terakhir (Powers 2006). Prevalensi Diabetes Melitus pada populasi dunia

pada tahun 2000 adalah 2.8%. Persentase ini diperkirakan akan meningkat menjadi

4.4% pada tahun 2030. Indonesia pada tahun 2000 berada pada urutan ke-4 diantara

sepuluh negara yang memiliki penderita Diabetes Melitus terbanyak di dunia dengan

jumlah 8.4 juta orang setelah India (31.7 juta orang), China (20.8 juta orang) dan

Amerika Serikat (17.7 juta orang). Angka tersebut diperkirakan akan meningkat

menjadi 21.3 juta orang pada tahun 2030 dan Indonesia akan tetap berada di urutan ke-4

2

Page 3: DM

(Wild et al. 2004). Berdasarkan data epidemiologis diperoleh bahwa terjadi peningkatan

prevalensi Diabetes Melitus tipe 1 dan 2. Namun, diperkirakan bahwa di masa depan

akan terjadi peningkatan prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 yang jauh lebih bermakna

karena peningkatan prevalensi obesitas dan penurunan tingkat aktivitas fisik. Prevalensi

penyakit ini kurang lebih sama antara kelompok pria dan wanita pada sebagian besar

kelompok umur, namun penyakit ini lebih cenderung terjadi pada pria pada usia >60

tahun (Powers 2006).

Perkeni (2006) menyatakan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik

Indonesia pada tahun 2003, diperkirakan bahwa terdapat penderita Diabetes Melitus

sebanyak 8.2 juta orang (14.7%) di daerah urban dan 5.5 juta orang (7.2%) di daerah

rural. Jumlah ini diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi 12 juta orang di

daerah urban dan 8.1 juta di daerah rural akibat adanya pertambahan penduduk (Perkeni

2006).

2.3. Klasifikasi

Berdasarkan etiologi, Diabetes Melitus dapat dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu

Diabetes Melitus tipe-1 (Insulin Independent Diabetes Mellitus/IIDM) dan Diabetes

Melitus tipe 2 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM) (tabel 2.1.). Selain dua

kelas utama tersebut, berdasarkan klasifikasi WHO, terdapat beberapa kelas Diabetes

Melitus yang lain, yaitu Malnutrition-Related Diabetes Mellitus (MRDM), Gestational

Diabetes Mellitus (GDM), Other Types of Diabetes Mellitus, dan Impaired Glucose

Tolerance (IGT) (WHO 1999).

Tabel 2.1. Klasifikasi dan Stadium Klinis dalam Kelainan Glukosa

3

Page 4: DM

Sumber: WHO (1999)

Diabetes Melitus tipe-1 disebabkan oleh terjadinya penghancuran sel beta pada

pankreas oleh suatu proses autoimun (American Optometric Association 2001).

Penyakit ini mengakibatkan penderita mengalami defisiensi insulin secara absolut dan

sangat bergantung pada terapi pemberian insulin (Powers 2005). Individu dengan

kelainan ini dapat mengalami periode asimptomatis selama beberapa lama, akan tetapi

proses autoimun yang mendasari terjadinya destruksi sel beta dapat dideteksi secara

lebih dini. Prevalensi penyakit ini lebih tinggi pada individu dengan usia muda (<30

tahun). Diabetes Melitus tipe-1 dapat diklasifikasikan kembali menjadi Immune-

mediated Diabetes Mellitus yang memiliki marker autoimun yang jelas dan Idiopathic

Diabetes Melitus yang bersifat herediter namun tidak memiliki marker autoimun yang

spesifik (American Optometric Association 2001). Marker-marker dari Diabetes

Melitus tipe-1 diantaranya adalah anti GAD, antibodi terhadap sel islet, dan antibodi

terhadap insulin (WHO 1999).

Diabetes Melitus tipe 2 memiliki prevalensi yang jauh lebih besar daripada tipe

Diabetes Melitus yang lain yaitu sebanyak hampir 90% dari keseluruhan penderita

Diabetes Melitus. Penyakit ini dicirikan dengan terdapatnya kelainan pada sekresi

insulin, kerja insulin, atau gabungan dari keduanya (WHO 1999). Penderita Diabetes

4

Page 5: DM

Melitus tipe 2 memiliki latar belakang dan gejala klinis yang sangat heterogen

(American Optometric Association 2001). Lebih dari 80% pasien yang menderita

Diabetes Melitus tipe 2 juga menderita obesitas atau peningkatan persentase lemak

tubuh terutama pada abdomen yang dapat mengakibatkan atau memperburuk kondisi

resistensi insulin (WHO 1999). Sebagian besar pasien dengan kelainan ini tidak

memerlukan pemberian insulin pada awal terapi. Insiden penyakit ini meningkat seiring

dengan bertambahnya umur, terutama diderita oleh individu yang berusia >40 tahun dan

disebabkan oleh Insulin Resistance Syndrome yaitu suatu kelompok gangguan-

gangguan yang terdiri dari intoleransi glukosa, hipertensi, dislipidemia, peningkatan

level Plasminogen Activator Inhibitor (PAI-1), penurunan level sex-binding globulin,

penyakit pada arteri koroner, dan terjadinya aterosklerosis sistemik (American

Optometric Association 2001).

2.4 Patogenesis

Diabetes Melitus tipe 2 dicirikan oleh adanya tiga abnormalitas yang khas yaitu

gangguan sekresi insulin, resistensi insulin perifer, dan peningkatan produksi glukosa

oleh hepar. Obesitas, terutama tipe visceral atau sentral sangat sering terjadi pada

penderita Diabetes Melitus tipe 2. Sel adiposit diketahui dapat menghasilkan sejumlah

substansi biologik seperti leptin, TNF-α, asam lemak bebas, resistin, dan adiponektin

yang dapat mempengaruhi sekresi insulin, kerja insulin, dan berat badan, serta dapat

berpengaruh terhadap terjadinya keadaan resistensi insulin. Pada fase awal dari penyakit

ini, tubuh masih dapat mentoleransi keadaaan resistensi insulin karena sel beta pankreas

dapat melakukan kompensasi dengan jalan meningkatkan produksi insulin. Jika keadaan

tersebut semakin progresif, pankreas pada beberapa individu tidak mampu lagi untuk

mempertahankan keadaan hiperinsulinemia. Sebagai akibatnya, akan terjadi IGT

(Impaired Glucose Tolerance) yang dicirikan dengan terjadinya peningkatan kadar

glukosa darah post prandial. Setelah itu akan terjadi penurunan sekresi insulin lebih

lanjut dan peningkatan produksi glukosa oleh hepar yang dapat menyebabkan terjadinya

Diabetes Melitus dengan peningkatan kadar glukosa darah puasa. Pada akhirnya, dapat

terjadi pula kegagalan sel beta pankreas dalam memproduksi insulin (Powers 2006).

Keadaan resistensi insulin, yang dicirikan oleh adanya penurunan kemampuan

insulin terhadap jaringan target (terutama otot dan hepar) adalah karakteristik utama

5

Page 6: DM

yang terjadi dalam Diabetes Melitus tipe 2. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh

kombinasi dari faktor genetik dan obesitas. Resistensi insulin dapat mengganggu proses

utilisasi glukosa oleh jaringan dan meningkatkan produksi glukosa oleh hepar. Kedua

keadaan tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia.

Peningkatan produksi glukosa oleh hepar dapat menyebabkan peningkatan kadar

glukosa darah puasa, sedangkan penurunan pemanfaatan glukosa oleh jaringan perifer

dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia post prandial. Suatu teori juga

mengungkapkan adanya peranan dari asam lemak bebas yang dapat menyebabkan

gangguan pada utilisasi glukosa pada otot skeletal, meningkatkan produksi glukosa oleh

hepar, dan mengganggu fungsi sel beta pankreas (Powers 2006).

Proses sekresi insulin sangat berhubungan dengan sensitivitas jaringan terhadap

insulin. Pada fase awal Diabeter Melitus, sekresi insulin menunjukkan peningkatan

sebagai respon terhadap keadaan resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi

glukosa. Selanjutnya, terjadi defek pada sistem sekretori insulin sehingga menyebabkan

kurangnya sekresi insulin pada fase lanjut. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan

sekresi insulin pada Diabetes Melitus tipe 2 masih belum dapat diketahui dengan pasti.

Diperkirakan terdapat defek genetik pada keadaan resistensi insulin yang pada akhirnya

dapat menyebabkan kegagalan sel beta pankreas. Keadaan metabolik yang terjadi pada

Diabetes Melitus juga memiliki dampak negatif terhadap sel islet. Hiperglikemia yang

terjadi dalam waktu lama dapat merusak fungsi sel beta pankreas (glukotoksisitas) yang

dapat memperburuk keadaan hiperglikemia yang telah terjadi. Selain itu, peningkatan

kadar asam lemak bebas juga dapat mengganggu fungsi sel beta (lipotoksisitas) (Powers

2006).

Selain itu, pada Diabetes Melitus tipe 2, keadaan resistensi insulin pada hepar

menyebabkan kegagalan dari keadaan hiperinsulinemia untuk menekan proses

glukoneogenesis. Hal tersebut menyebabkan keadaan hiperglikemia saat puasa dan

penurunan penyimpanan glukosa saat post prandial (Powers 2006).

2.5 Diagnosis

Diabetes Melitus dapat didiagnosis dengan memperhatikan gejala-gejala klinis yang

khas, yaitu meningkatnya rasa haus dan volume urin, infeksi berulang, kehilangan berat

badan tanpa sebab yang jelas, dan pada kasus yang berat dapat terjadi penurunan

6

Page 7: DM

kesadaran sampai koma. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan oleh individu yang

datang dengan gejala dan hiperglikemia berat berbeda dengan individu asimtomatis

dengan nilai kadar glukosa hanya sedikit melebihi cut-off value. Pada individu yang

asimptomatis, diagnosis dapat dilakukan dengan mengukur kadar glukosa darah pada

saat puasa dan dua jam setelah makan (WHO 1999).

Berdasarkan kriteria Perkeni (2006), yang termasuk dalam penderita Diabetes

Melitus adalah individu dengan nilai glukosa puasa ≥ 126 mg/dl. Kriteria diagnosis

Diabetes Melitus dan Toleransi Glukosa Terganggu dapat dilihat selengkapnya pada

tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus dan Toleransi Glukosa Terganggu Menurut Perkeni (2006)

PERKENI 2006Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus dan Toleransi Glukosa Terganggu

Diabetes Melitus Gejala Klasik DM + Glukosa Darah Sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

atau Gejala Klasik DM + Glukosa Darah Puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)

atau Kadar Glukosa Darah 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200mg/dL (11.1 mmol/L)

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)Kadar Glukosa Darah 2 jam setelah beban antara 140 - 199 mg/dL (7,8 – 11,0 mmol/L)

Glukosa Darah Puasa TergangguKadar Glukosa Darah Puasa antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L)

Sumber: Perkeni (2006)

Pada individu yang telah melampaui usia 45 tahun direkomendasikan untuk

melakukan skrining Diabetes Melitus dengan menggunakan tes glukosa puasa setiap 3

tahun. Sedangkan pada kelompok yang memiliki risiko tinggi seperti individu dengan

obesitas, keluarga yang juga menderita Diabetes Melitus, hipertensi, dan hiperlipidemia

dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan setiap tahun. Hal tersebut direkomendasikan

karena tingginya prevalensi Diabetes Melitus yang tidak terdeteksi dini pada populasi

7

Page 8: DM

sehingga morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan menjadi sangat tinggi (Roos &

Samos 2002).

2.6 Komplikasi

2.6.1 Komplikasi Akut

Komplikasi akut yang dapat terjadi pada penderita Diabeter Melitus diantaranya adalah

Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS). Kedua

komplikasi tersebut disebabkan oleh defisiensi insulin relatif maupun absolut,

kekurangan cairan, dan gangguan keseimbangan asam-basa. Pada KAD maupun HHS

terjadi keadaan hiperglikemik dengan atau tanpa ketosis. Kedua komplikasi tersebut

juga bisa berakibat fatal bila tidak didiagnosis dini dan diterapi dengan baik.

KAD disebabkan oleh terjadinya defisiensi insulin relatif atau absolut yang terjadi

bersamaan dengan kelebihan hormon kontrainsulin seperti glukagon, katekolamin,

kortisol, dan hormon pertumbuhan. Penurunan rasio kadar insulin terhadap glukagon

dapat menyebabkan terjadinya peningkatan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan

pembentukan badan keton pada liver serta terjadi pula peningkatan penghantaran

substrat dari sel otot dan lemak (asam lemak bebas dan asam amino) menuju hepar.

Gejala klinis yang dapat terjadi pada KAD antara lain mual, muntah, nyeri perut, serta

tanda-tanda hiperglikemia seperti sering buang air kecil, dehidrasi, dan takikardi. Dapat

pula terjadi hipotensi yang disebabkan oleh dehidrasi dan vasodilatasi perifer.

Pernafasan Kusmaul yang disebabkan oleh keadaan asidosis metabolik dan nafas berbau

buah yang disebabkan oleh peningkatan aseton merupakan salah satu gejala klasik yang

dapat terjadi.

Di lain pihak, HHS disebabkan oleh terjadinya keadaan defisiensi insulin dan intake

cairan yang inadekuat. Defisiensi insulin dapat meningkatkan produksi glukosa oleh

hepar melalui proses glikogenolisis dan glukoneogenesis serta gangguan utilisasi

glukosa oleh otot skeletal. Keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan terjadinya

osmotik diuresis yang selanjutnya menyebabkan deplesi volume intravaskuler. Keadaan

tersebut diperberat dengan intake cairan yang tidak mencukupi. Penderita HHS lebih

sering merupakan lansia dengan Diabetes Melitus tipe 2 dengan riwayat poliuria,

penurunan berat badan, dan penurunan intake oral selama beberapa minggu yang

selanjutnya dapat menyebabkan gangguan mental, letargi, dan koma. Pada pemeriksaan

fisik dapat ditemukan keadaan dehidrasi yang bermakna, hipotensi, takikardi, dan

8

Page 9: DM

perubahan status mental. Gejala-gejala klinis yang khas pada KAD seperti mual,

muntah, nyeri perut, dan pernafasan Kusmaul tidak ditemukan pada HHS.

2.6.2 Komplikasi Kronis

Komplikasi kronis pada Diabetes Melitus dapat mengenai berbagai sistem organ

dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna pada penderita.

Komplikasi kronis dapat dibedakan menjadi komplikasi vaskuler dan nonvaskuler.

Komplikasi vaskuler pada Diabetes Melitus dapat dibedakan lebih lanjut menjadi

komplikasi mikrovaskuler (retinopati, neuropati, nefropati) dan makrovaskuler

(penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, dan penyakit serebrovaskuler).

Komplikasi nonvaskuler yang dapat terjadi antara lain gastroparesis, infeksi, dan

perubahan pada kulit. Komplikasi kronis pada Diabetes Melitus menunjukkan

peningkatan yang sesuai dengan durasi hiperglikemia dimana komplikasi biasanya

terjadi pada dekade kedua setelah terjadi hiperglikemia. Akan tetapi, penderita Diabetes

melitus tipe 2 seringkali mengalami periode asimtomatik dalam waktu lama. Oleh

karena itu, banyak pasien yang telah menderita komplikasi pada awal diagnosis.

Diabetes Melitus merupakan penyebab utama kebutaan diantara usia 20 hingga 74

tahun di Amerika Serikat. Kebutaan terutama disebabkan oleh retinopati diabetik yang

progresif dan edema makular. Retinopati diabetik dapat diklasifikasikan menjadi dua

fase, yaitu fase nonproliferatif dan proliferatif.

2.9 Penanganan pasien Diabetes

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani selama

beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar gula sasaran belum tercapai, barulah

dilakukan intervensi farmakologis, dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau

suntikan insulin.1,2

2.9.1 Edukasi

Edukasi adalah bagian terpenting pasien Diabetes karena pasien diabetes akan

menangani dirinya sendiri di sebagian besar waktu. Edukasi mengenai resiko diabetes,

keuntungan pengontrolan gula darah, berat badan, penghentian merokok, dan perawatan

kaki.1

2.9.2 Diet

9

Page 10: DM

Pada dasarnya diet pada orang DM tidak jauh berbeda dengan orang normal. Untuk

karbohidrat disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang kaya serat, sehingga tidak

terjadi lonjakan gula darah yang tiba-tiba tinggi. Glycemic index adalah perbandingan

area di bawah kurva gula darah setelah mengkonsumsi makanan tertentu dibandingkan

dengan area setelah mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah yang sama sebagai

glukosa. Makanan dengan glycemic index yang lebih rendah membantu pengontrolan

diabetes.1

Kalori disesuaikan dengan kebutuhan pasien, dengan perbandingan karbohidrat

sebanyak 50-55% kalori total, lemak 30%, dan protein 15%.1 kebutuhan kalori basal

adalah 25-30 kal/kg BB ideal, ditambah atau dikurangi tergantung jenis kelamin, umur,

aktivitas, berat badan, dll. Pasien yang kelebihan berat badan dikurangi 20-30%

tergantung pada tingkat kegemukan, dengan minimal 1000-1200 kkal perhari pada

wanita dan 1200-1600 kkal perhari pada laki-laki. Bila kurus ditambah sekitar 20-30%

sesuai kebutuhan.2 Sebaiknya sesedikit mungkin mengubah gaya hidup pasien.1 lemak

jenuh dan lemak trans perlu dibatasi. Pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan

protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi. Pasien dengan

hipertensi, natrium dibatasi sampai 2400 mg garam dapur.2

Pasien dengan terapi farmakologis disarankan untuk mengkonsumsi makanan

dengan jumlah dan waktu yang sama. Pasien dengan terapi insulin juga memerlukan

makanan tambahan di antara makanan utama dan sebelum tidur. Hal ini untuk

menurunkan kemungkinan terjadinya hipoglikemi.1

2.9.3 Latihan jasmani

Latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit)

membantu menjaga kebugaran, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas

insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobik, kemudian

disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.2

2.9.4 Intervensi Farmakologis

2.9.4.1 Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan: pemicu sekresi insulin

(insulin secretagogue) yaitu sulfonilurea dan glinid; penembah sensitivitas terhadap

10

Page 11: DM

insulin (metformin, tiazolidindion); penghambat glukoneogenesis (metformin);

penghambat absorpsi glukosa (penghambat glukosidase alfa).2

a. Pemicu sekresi insulin

1. Sulfonilurea

Karena sulfonilurea memicu sekresi insulin oleh sel beta pankreas, maka tidak efektif

untuk pasien yang ketotik pada usia muda. Glibenclamid yang diekskresi ginjal tidak

melewati plasenta sehingga aman digunakan oleh pasien yang hamil. Penggunaan

sulfonilurea harus diawasi pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal. Karena obat ini

menaikkan berat badan, maka bukan pilihan utama pada pasien obesitas. Tolbutamid

adalah yang paling aman untuk pasien tua karena durasi kerja yang pendek. Tolbutamid

dan Gliclazid yang sebagian besarnya dimetabolisme di hati sehingga cocok untuk

pasien dengan gangguan ginjal, namun gliclazid lebih mahal dengan durasi kerja yang

lebih panjang. Chlorpropramid yang paling murah, namun durasi kerjanya sangat

panjang dan diekskresi di ginjal, sehingga tidak boleh digunakan pada pasien dengan

gangguan ginjal, dan kurang cocok untuk orang tua.1

2. Glinid

Mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea walau karakteristik pengikatan

reseptornya berbeda. Repaglinide memicu sekresi insulin sebagai respon terhadap

makanan, sehingga menurunkan kemungkinan hipoglikemia antar waktu makan, namun

golongan glinid ini lebih mahal daripada sulfonilurea. Obat ini diabsorpsi dengan cepat

dan diekskresi secara cepat melalui hati.1

b. Penambah sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion menurunkan resistensi insulin dengan berikatan pada peroxisome

proliferator-activated receptor gamma (PPAR-gamma), reseptor inti di sel lemak dan

sel otot, meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan

ambilan glukosa di perifer.1,2 Obat ini juga mengurangi produksi glukosa oleh hepar.1

Obat ini cenderung meningkatkan berat badan dan retensi garam dan air, sehingga

dikontrainddikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV. Selain itu, obat ini

toksik terhadap hepar, sehingga perlu pematauan fungsi hepar secara berkala.1,2

c. Penghambat Glukoneogenesis

11

Page 12: DM

Metformin (biguanid) mengurangi glukoneogenesis dan juga memperbaiki ambilan

glukosa perifer. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati dan

ginjal karena dapat menyebabkan lactic acidosis. Pada percobaan tidak menyebabkan

hipoglikemia dan peningkatan berat badan, sehingga cocok untuk pasien tua dan juga

untuk pasien gemuk.1 metformin juga dikontraindikasikan pada pasien yang cenderung

hipoksemia (penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Efek samping

metformin adalah mual.2

d. Penghambat Glukosidase alfa (Acarbose)

Obat ini bagus untuk pasien yang kegemukan karena menghambat pemecahan

karbohidrat dalam usus sehingga penyerapannya berkurang. Obat ini tidak

menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek sampingnya yaitu perut kembung,

flatulens, dan diare.1,2

Cara pemberian OHO, yaitu:

- Dimulai dari dosis kecil, dapat ditingkatkan bertahap sesuai respon kadar gula

darah, sampai dosis hampir maksimal.

- Sulfonilurea diberi 15-30 menit sebelum makan

- Glimepirid diberi sebelum/sesaat sebelum makan

- Repaglinid sesaat/sebelum makan

- Metformin sebelum/pada saat/setelah makan

- Acabose bersama makan suapan pertama

- Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan.2

Tabel 1.Obat awal yang disarankan3

HbA1c BMI Obat-obatan yang disarankan

<9%>25 Biguanid – sendiri atau kombinasi

<25 1 atau 2 agen dari kelas yang berbeda

>9%   2 obat dari kelas yang berbeda atau insulin

Pengobatan awal yang disarankan adalah seperti terlihat pada tabel 1. jika sasaran

terapi belum tercapai dalam 2-3 bulan, obat-obatan dapat dinaikkan dosisnya atau

ditambahkan dari kelas lain. Sasaran sudah harus tercapai dalam 6 bulan, bila perlu

tambahkan insulin. 3

12

Page 13: DM

2.9.4.2 Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat

disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar nonketotik,

hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO hampir maksimal,

stress berat, kehamilan dengan DM, gangguan fungsi hati atau ginjal yang berat,

kontraindikasi atau alergi terhadap OHO.2

Berdasarkan lama kerja, insulin dibagi menjadi 4 jenis, yaitu: insulin kerja cepat

(rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja

mengengah (intermediate acting insulin), dan insulin kerja panjang (long acting

insulin). Adapula insulin campuran tetap kerja pendek dan menengah (premixed

insulin).2

Dasar pemikiran terapi insulin adalah berdasarkan sekresi insulin fisiologis yang

terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial yang diharapkan mampu ditiru oleh terapi

insulin. Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal yang menyebabkan

hiperglikemia pada keadaan puasa, defisiensi insulin prandial yang menimbulkan

hiperglikemia setelah makan, atau keduanya. Terapi insulin tunggal atau kombinasi

disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respon individu terhadap insulin, yang dinilai

dari pemeriksaan gula darah harian. Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan

menambahkan 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.2

Gambar 1. Respon Normal Insulin3

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah yang kemudian

dinaikkan bertahap sesuai respon kadar gula darah. Insulin diberikan secara subkutan,

Insulin

60

0

20

40

makan pagi makan siang makan malam

13

Page 14: DM

dengan jarum tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan khusus

diberikan secara intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.2 Tempat suntikan

harus dipindah-pindah secara teratur. Absorpsi insulin tergantung pada aliran darah

subkutan lokal, dapat meningkat dengan pijatan, olahraga, dan suhu tinggi. Absorpsi

paling cepat melalui perut, diikuti lengan, lalu paha.1

Tabel 2. Sediaan Insulin2

Sediaan Insulin Onset of Action(Awal Kerja)

Peak Action(Puncak Kerja)

Effective duration of Action(Lama Kerja)

Insulin Prandial (meal related)Insulin short acting Regular (Actrapid, Humulin R)Insulin analog rapid acting Insulin lispro (Humalog) Insulin glulisine (Aprida) Insulin Aspart (Novorapid)

30-60 menit

5-15 menit5-15 menit5-15 menit

30-90 menit

30-90 menit30-90 menit30-90 menit

3-5 jam

3-5 jam3-5 jam3-5 jam

Insulin Intermediate Acting NPH (Insulatard, Humulin N) Lente 2-4 jam

3-4 jam4-10 jam4-12 jam

10-16 jam12-18 jam

Insulin Long Acting Insulin Glargine (Lantus) Ultralente Insulin Detemir (Levemir)

2-4 jam6-10 jam1-4 jam

No peak8-10 jamNo peak

Insulin Campuran (Short- dan Intermediate- acting) 70%NPH/30%Regular (Mixtard, Humulin 30/70) 70%insulin aspart protamine/30% insulin aspart (Novomix 30) 75%insulin lispro protamine/25%insulin lispro injection (Humalog Mix25)

30-60 menit

10-20 menit

5-15 menit

Dual

Dual

1-2 jam

10-16 jam

15-18 jam

16-18 jam

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia, lainnya yaitu

reaksi imunologi yang dapat menimbulkan alergi atau resitensi insulin, jika suntikan

kurang dalam menimbulkan hantaran intradermal yang sakit, merah, bahkan jaringan

parut. Lipohipertrofi terjadi jika suatu daerah disuntik berulang-ulang. Resisensi insulin

biasa berhubungan dengan obesitas dan lebih karena prilaku. Insulin menimbulkan rasa

lapar sehingga menaikkan berat badan.1

14

Page 15: DM

Insulin

60

0

20

40

makan pagi makan siang makan malam

Insulin

60

0

20

40

makan pagi makan siang makan malam

15

Page 16: DM

Gambar 2. Regimen Insulin. 2A. Insulin sekali sehari, 2B. Insulin dua kali sehari, 2C. insulin tiga kali sehari, dan 2D. Regimen Basal Bolus3

2.9.5 Penilaian Terkontrolnya Diabetes

Selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemantauan terapi DM dapat

dilakukan dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan 2

jam postprandial secara berkala bertujuan untuk mengetahui apakah sasaran terapi

sudah tercapai untuk penyesuaian dosis jika sasaran terapi belum tercapai.2 Hal ini

dapat pula dilakukan oleh pasien DM sendiri di rumahnya, dan pasien dapat

Insulin

60

0

20

40

makan pagi makan siang makan malam

Insulin

60

0

20

40

makan pagi makan siang makan malam

Insulin Endogen

Insulin kerja pendek

Insulin kerja menengah

Insulin kerja cepat

16

Page 17: DM

menyesuaikan sendiri dosis insulin mereka dengan dituntun tabel 2, atau meminta saran

melalui telepon jika perlu.1

Tabel 3. Tuntunan menyesuaikan dosis insulin berdasarkan tes hasil glukosa2

Gula darah tetap tinggi Gula darah tetap rendahSebelum makan pagiSebelum makan siangSebelum makan malamSebelum tidur

Meningkatkan insulin kerja panjang malamMeningkatkan insulin kerja pendek pagiMeningkatkan insulin kerja panjang pagi atau insulin kerja pendek siangMeningkatkan insulin kerja pendek malam

Menurunkan insulin kerja panjang malam

Menurunkan insulin kerja pendek pagi

Menurunkan insulin kerja panjang pagi atau insulin kerja pendek siang atau menaikkan makanan ringan soreMenurunkan insulin kerja pendek malam

Pemeriksaan A1C (hemoglobin terglikosilasi) digunakan untuk menilai efek

perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya, sesuai masa hidup sel darah merah,

sehingga bisa berbeda arti jika umur hidup sel darah merah berkurang atau jika ada

kelainan hemoglobin. A1C tidak bisa digunakan untuk menilai pengobatan jangka

pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan minimal 2 kali dalam setahun.2

Pemeriksaan fruktosamin (glycosylated plasma protein) digunakan untuk menilai

kontrol gula darah 2-3 minggu terakhir. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dengan

hemoglobinopati dan kehamilan (saat turnover hemoglobin dapat berubah).1

Pemeriksaan glukosa urin hanya dilakukan pada pasien yang tidak bisa atau tidak

mau memeriksa kadar gula darah. Namun hasil pemeriksaan dapat bervariasi pada

beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama, dan

tergantung fungsi ginjal, sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai keberhasilan

terapi.2

Penentuan benda keton dalam darah maupun urin penting terutama penyandang DM

tipe 2 yang terkendali buruk dan hamil, untuk mencegah terjadinya penyulit akut

diabetes, yaitu KAD.2

2.9.6 Kriteria Pengendalian DM

Kriteria keberhasilan pengendalian DM ini bertujuan untuk mencegah terjadinya

komplikasi kronis DM. Untuk pasien yang berumur lebih dari 60 tahun dengan

komplikasi, sasaran kendali kadar gula darah dapat lebih tinggi (puasa 199-125 md/dL,

dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan

lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan

17

Page 18: DM

mengingat sifat-sifat khusus pasien lanjut usia, dan untuk menghindari efek samping

hipoglikemia dan interaksi obat.2

Tabel 4. Kriteria Pengendalian DM2

Baik Sedang BurukGlukosa darah puasa (mg/dL)Glukosa darah 2 jam (mg/dL)

80-<10080-144

100-125145-179

≥126≥180

A1C (%) <6,5 6,5-8 >8Kolesterol Total (md/dL)Kolesterol LDL (mg/dL)Kolesterol HDL (mg/dL)

<200<100

Pria:>40Wanita:>50

200-239100-129

≥240≥130

Trigliserida (md/dL) <150 150-199 ≥200IMT (kg/m2) 18,5-<23 23-25 >25Tekanan Darah (mmHg) ≤130/80 >130-140/

>80-90>140/90

2.9.7 Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah upaya terhadap kelompok yang beresiko mendapat DM dan

kelompok intoleransi glukosa.2

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu ras, etnik, usia, riwayat

melahirkan bayi BB>4 kg atau riwayat pernah DM Gestasional, dan riwayat lahir

dengan BB<2,5 kg. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi yaitu berat badan lebih

(IMT>23 kg/m2), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (≥140/90 mmHg), dislipidemia

(HDL≤35 mg/dL atau trigliserida ≥250 mg/dL), dan diet tak sehat. Faktor lain yang

terkait resiko diabetes yaitu penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan

lain yang terkait resistensi insulin, penderita sindroma metabolik, dan penderita dengan

riwayat penyakit kardiovaskular. 2

Pencegahan primer dilakukan dengan penyuluhan untuk memodifikasi faktor-faktor

resiko yang mungkin dimodifikasi. Pada orang dengan intoleransi glukosa juga

ditemukan bahwa modifikasi gaya hidup jauh lebih berperan daripada obat-obatan. 2

2.9.8 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan pada pasien DM untuk mencegah atau menghambat

timbulnya penyulit, dengan deteksi dini, pemberian pengobatan yang cukup, dan

penyuluhan untuk kepatuhan pasien dan perilaku hidup sehat. 2

Pada pasien DM yang baru terdiagnosis perlu dilakukan pemeriksaan profil lipid

karena meningkatkan resiko timbulnya penyakit kardiovaskular, selanjutnya

18

Page 19: DM

pemeriksaan profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali. Target penurunan LDL adalah

<100 mg/dL. Pada pasien dengan usia>40 tahun, diberi terapi statin untuk menurunkan

LDL sebesar 30-40% dari kadar awal, sedangkan untuk usia<40 tahun, diusahakan dulu

dengan perubahan gaya hidup. Khusus untuk pasien dengan penyakit Sindrom Koroner

Akut, target LDL adalah <70 mg/dL, dan semua pasien diberi terapi statin untuk

menurunkan LDL sebesar 30-40%. Setelah target LDL terpenuhi, jika trigliserida≥150

atau HDL≤40 mg/dL dapat diberikan terapi miasin atau fibrat. Apabila trigliserida ≥400

md/

dL perlu segera diturunkan dengan terapi farmakologis untuk mencegah timbulnya

pankreatitis. Perlu diingat statin merupakan kontraindikasi pada wanita hamil. 2

Sasaran tekanan darah pada pasien diabetes adalah<130/80 mmHg, atau bila disertai

proteinuria ≥1g/24 jam sasaran adalah <125/75 mmHg. Bila tekanan darah sistolik

antara 130-139 mmHg atau tekanan diastolik 80-89 mmHg, diharuskan melakukan

perubahan gaya hidup sampai 3 bulan, dan bila gagal mencapai target baru dilakukan

intervensi farmakologis. Pasien denngan tekanan darah sistolik > 140 mmHg atau

diastolik > 90 mmHg dapat langsung diberikan terapi farmakologis. Bila tekanan darah

terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap. Pada

orang tua, penurunan tekanana darah diturunkan secara bertahap. 2

Obesitas dan diabetes meningkatkan resiko kematian karena PJK. Pengelolaan

obesitas terutama ditujukan pada perubahan perilaku pola makan dan peningkatan

kegiatan jasmani, yang bila gagal, maka pendekatan farmakologi (sibutramine dan

orlistat) atau bedah dapat merupakan pilihan. 2

Terapi aspirin 75-160 mg/hari diberi sebagai pencegahan bagi pasien DM dengan

riwayat atau resiko penyakit kardiovaskular, termasuk pasien dengan usia>40 tahun

dengan riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular, mempunyai kebiasaan

merokok, menderita hipertensi, dislipidemia, atau albuminuria. Aspirin tidak dianjurkan

pada pasien berumur < 21 tahun seiring dengan meningkatnya kejadian sindrom Reye. 2

2.9.9 Pencegahan tersier

19

Page 20: DM

Pencegahan tersier ditujukan bagi kelompok DM dengan penyulit dalam upaya

mencegah kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi dilakukan sedini mungkin sebelum

kecacatan menetap, seperti pemberian aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) rutin untuk

penderita DM dengan makroangiopati. 2

2.9.10 Kegawatdaruratan Metabolik Diabetes

2.9.10.1 Ketoasidosis Diabetikum

Prinsip penanganan KAD yaitu mengembalikan kehilangan cairan dengan normal

saline, mengembalikan kehilangan elektrolit (Kalium), memperbaiki keseimbangan

asam basa dengan bikarbonat sebagai larutan isotonik jika pH<7, menggantikan

kekurangan insulin secara intravena atau secara intramuskular, monitor gula darah ketat

(tiap jam), dan pencarian penyebab. 1

Masalah yang mungkin ditemui yaitu hipotensi (pemasangan Central Venous

Pressure line dapat berguna dan kateter jika pasien tidak buang air kecil lebih dari 2

jam), koma (perlu pemasangan nasogastric tube untuk mencegah aspirasi pnemonia saat

pasien muntah), edema serebral (hindari pemberian cairan berlebihan atau cairan

hipertonik seperti bikarbonat), hipotermi, komplikasi lanjut (stasis pneumonia dan deep

vein thrombosis), komplikasi terapi (hipoglikemia, hipokalemia, edema paru,

hiperkloremia. 1

2.9.10.2 Hiperosmolar Nonketotik

Sesuai prinsip penanganan KAD dengan beberapa pengecualian. Osmolalitas plasma

biasanya sangat tinggi. Kebanyakan pasien sangat sensitif terhadap insulin. Perubahan

osmolalitas dapat menyebabkan kerusakan serebral. Kadang perlu infus insulin dengan

kecepatan 3 U/jam pada 2-3 jam pertama, dinaikkan menjadi 6 U/jam jika penurunan

gula darah terlalu lambat. Normal saline adalah cairan standard yang digunakan (1-3 L

0,9% normal saline 2-3 jam pertama, hindari cairan half-normal saline karena dilusi

yang terlalu cepat akan mengakibatkan kerusakan otak yang lebih berat daripada

beberapa jam terpapar hipernatremia. Jika sodium serum >150 mmol/L (150 meq/L)

gunakan saline 0,45%.setelah hemodinamik stabil, pemberian cairan intraven

aditujuankan untuk membalik kekurangan air bebas dengan cairan hipotonik (D5%

dalam air) yang harus diperbaiki dalam 1-2 hari selanjutnya. Penggantian kalium biasa

20

Page 21: DM

perlu dengan pengukuran berulang. Hipokalemia dapat disertai defisiensi magnesium.

Hipofosfatemia dapat terjadi dan dapat diatasi dengan KPO4 dan memulai nutrisi. 1

2.9.10.3 Hipoglikemia

Untuk penderita DM yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% iv

terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab penurunan

kesadaran.2 Pemberian glukosa secara bolus harus diikuti bolus normal saline untuk

mencegah sklerosis vena.1 Hipoglikemia (dengan gejala adrenergik dan

neuroglikopenik) diberi makanan atau minuman yang mengandung gula atau glukosa

15-20 g melalui intravena. 15 menit kemudian dilakukan pemeriksaan ulang glukosa

darah. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat. Hipoglikemia

biasanya disebabkan penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat

sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga kadang perlu pengawasan yang cukup

lama (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik).

Hipoglikemia terutama harus dihindari pada pasien tua karena dampak yang fatal atau

dapat terjadinya kemunduran mental bermakna, dan perbaikan kesadarannya pun lebih

lambat sehingga perlu pengawasan yang lebih lama.2

21