dispepsia

18
PENDAHULUAN Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, perut terasa penuh, dan sendawa. Keluhan ini sering ditemukan dalam praktek klinik sehari-hari dan dapat disebabkan karena gangguan patologis pada esofago- gastro-duodenum, hepato-pankrato-bilier, penyakit sistemik (diabetes mellitus, tiroid, gagal ginjal, penyakit jantung koroner, kehamilan), atau kondisi fungsional dimana tidak ditemukan kelainan organik setelah dilakukan pemeriksaan diagnostik baku. Diperkirakan 20-30% orang mengalami gejala dispepsia ini setiap tahunnya, dan sekitar 50% penderita ini akan mencari pengobatan terutama akibat rasa nyeri dan kecemasannya. 1,2 Penyakit tukak peptik secara anatomis didefinisikan sebagai defek mukosa atau submukosa yang berbatas tegas dan dapat menembus sampai ke lapisan muskularis atau bahakan serosa sehingga menimbulkan perforasi. Secara klinis, tukak peptik adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan yang lebih dalam dengan diameter ≥5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Penyakit ini terdiri atas tukak lambung dan tukak duodenum. Secara umum, pathogenesis terjadinya tukak peptik adalah adanya ketidakseimbangan antara

description

dispepsi

Transcript of dispepsia

Page 1: dispepsia

PENDAHULUAN

Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala yang terdiri

dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,

kembung, cepat kenyang, perut terasa penuh, dan sendawa.

Keluhan ini sering ditemukan dalam praktek klinik sehari-hari

dan dapat disebabkan karena gangguan patologis pada esofago-

gastro-duodenum, hepato-pankrato-bilier, penyakit sistemik

(diabetes mellitus, tiroid, gagal ginjal, penyakit jantung koroner,

kehamilan), atau kondisi fungsional dimana tidak ditemukan

kelainan organik setelah dilakukan pemeriksaan diagnostik baku.

Diperkirakan 20-30% orang mengalami gejala dispepsia ini

setiap tahunnya, dan sekitar 50% penderita ini akan mencari

pengobatan terutama akibat rasa nyeri dan kecemasannya.1,2

Penyakit tukak peptik secara anatomis didefinisikan sebagai

defek mukosa atau submukosa yang berbatas tegas dan dapat

menembus sampai ke lapisan muskularis atau bahakan serosa

sehingga menimbulkan perforasi. Secara klinis, tukak peptik

adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan yang lebih dalam

dengan diameter ≥5mm yang dapat diamati secara endoskopis

atau radiologis. Penyakit ini terdiri atas tukak lambung dan

tukak duodenum. Secara umum, pathogenesis terjadinya tukak

peptik adalah adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif

yang merusak mukosa dan faktor defensif yang memelihara

keutuhan mukosa. Dari beberapa penelitian dikatakan bahwa

infeksi H.pylori menjadi penyebab utama penyakit ini, namun

Page 2: dispepsia

peranan faktor lain tidak dapat dikesampingkan sehingga

penyakit tukak peptik bersifat multifaktor.3

H.pylori adalah bakteri gram negatif berbentuk spiral yang

habitat utamanya terdapat di lambung manusia. Bakteri ini

berperan penting dalam menimbulkan berbagai penyakit di

gastroduodenal seperti ulkus peptik, primary gastric B-cell

lymphoma, dan kanker lambung. Meskipun demikian, hanya

sebagian kecil orang dengan infeksi H.pylori yang berkembang

menjadi penyakit-penyakit diatas. Hal ini berkaitan dengan

virulensi bakteri, faktor pejamu, lamanya terinfeksi, dan faktor

lingkungan. Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan

bahwa prevalensi tukak peptik pada pasien dispepsia yang

diendoskopi berkisar antara 5,78% di Jakarta sampai 16,9% di

Medan, dengan prevalensi infeksi H.pylori diatas 90%. H.pylori

juga ditemukan pada kelompok dispepsia non-ulkus dengan

prevalensi 20-40%.4,5

 

DISPEPSIA

Diagnosis

Dispepsia secara umum dibagi menjadi dispepsia organik dan

dispepsia fungsional. Dispepsia organik disebabkan oleh

berbagai penyakit yang menunjukkan gangguan patologis baik

secara struktural atau biokimiawi. Apabila pada pemeriksaan

penunjang diagnostik tidak ditemukan adanya kelainan maka

termasuk dalam dispepsia fungsional. ROME III

Page 3: dispepsia

mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadiEpigastric Pain

Syndrom (EP) dan Postprandial Distress Syndrom (PD).

Dispepsia fungsional ditegakkan dengan kriteria:1,2

1. Terdapat minimal satu dari gejala rasa penuh setelah

makan, rasa cepat kenyang, nyeri epigastrium, dan rasa

terbakar di epigastrium

2. Tidak ada bukti kelainan struktural, termasuk endoskopi,

yang menerangkan penyebab keluhan diatas

3. Keluhan terjadi selam 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir

sebelum diagnosis ditegakkan

Dispepsia fungsional tipe EP ditegakkan bila memenuhi semua

kriteria dibawah ini, yaitu

1. Rasa nyeri atau sensasi terbakar di daerah epigastrium

dengan kualitas nyeri sedang, setidaknya sekali seminggu

2. Rasa nyeri bersifat intermitent

3. Tidak dirasakan di bagian perut atau dada yang lain

4. Tidak membaik dengan defekasi atau flatus

5. Tidak memenuhi kriteria untuk kelainan kandung empedu

atau sfingter Oddi

6. Kriteria pendukung lain adalah nyeri tidak bersifat

retrosternal, nyeri dipengaruhi oleh makanan tapi bisa

muncul juga saat puasa.

Page 4: dispepsia

Sementara dispepsia fungsional tipe PD ditegakkan bila

memenuhi salah satu kriteria, yaitu

1. Rasa penuh yang mengganggu setelah makan dengan porsi

normal, dirasakan beberapa kali seminggu

2. Rasa cepat kenyang sehingga tidak menghabiskan

makanannya, dirasakan beberapa kali seminggu

3. Kriteria pendukung lain adalah rasa kembung, mual, dan

sendawa.

Dalam ROME II, untuk kepentingan praktis pengobatan,

dispepsia fungsional dibagi berdasarkan gejala yang dominan

yaitu dispepsia tipe ulkus dimana rasa  nyeri epigastrik yang

terutama dirasakan, dispepsia tipe dimotil dimana keluhan yang

dominan adalah kembung, mual, muntah, dan rasa cepat

kenyang. Dispepsia dikatakan tipe non-spesifik bila tidak ada

keluhan yang dominan. Namun, pembagian ini dirasa kurang

memuaskan karena definisi dispepsia fungsional menjadi tidak

seragam. Selain itu, pengobatan menjadi lebih bersifat

simptomatik dan tidak mengobati sindrom secara keseluruhan.1,2

 

Penatalaksanaan2

Pada pasien yang datang pertama kali dan belum dilakukan

investigasi terhadap keluhan dispepsianya, terdapat 6 strategi

yang terdiri atas

Page 5: dispepsia

1. Pastikan bahwa keluhan kemungkinan besar berasal dari

saluran cerna bagian atas

2. Singkirkan adanya alarm symptom seperti penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan, muntah berulang,

disfagia yang progresif, atau perdarahan

3. Evaluasi penggunaan obat-obatan. Adakah konsumsi asam

asetil salisilat atai OAINS

4. Bila ada gejala regurgitasi yang khas, maka dapat

didiagnosa awal sebagai GERD dan dapat langsung diterapi

dengan PPI. Apabila keluhan EP atau PD tetap persisten

meskipun terapi PPI sudah adekuat, maka diagnosa GERD

menjadi patut dipertanyakan.

5. Tes non-invasif untuk H.pylori, dilanjutkan dengan terapi

eradikasi merupakan pendekatan yang cukup efektif,

terutama untuk mengurangi biaya endoscopy. Strategi ini

dapat digunakan bila tidak terdapat alarm symptom. Bila

gejala menetap setelah terapi eradikasi, maka terapi PPI

dapat diberikan. Strategi ini kurang efektif bila diterapkan

pada daerah dengan prevalensi H.pylori rendah

6. Endoskpi dapat direkomendasikan pada pasien

dengan alarm symptom atau dengan usia tua (diatas 45-

55tahun).

Pada dispepsia organik, terapi utama adalah dengan

menyingkirkan penyebabnya. Pada dispepsia fungsional, karena

patofisiologi yang beragam, penatalaksanaannya pun masih

Page 6: dispepsia

belum ada yang benar-benar terbukti. Beberapa percobaan klinis

menunjukkan efek placebo masih cukup besar yaitu sekitar 20-

60%. Terapi non-farmakologik seperti psikoterapi, makan dalam

jumlah kecil tapi sering, penghentian kebiasaan merokok, minum

alkohol, dan konsumsi obat-obatan OAINS yang tidak perlu

memang disarankan tapi belum ada bukti yang cukup kuat untuk

menunjukkan efikasinya. Beberapa obat yang disarankan adalah

obat penghambat asam lambung seperti antagonis reseptor

H2(H2B) dan penghambat pompa proton(PPI). Terapi eradikasi

H.pylori diberikan dengan mempertimbangkan risiko dan

manfaat bagi pasien. Obat-obatan prokinetik seperti

metoklopramid, domperidon, dan cisaprid dikatakan memiliki

manfaat bila dibandingkan dengan placebo, namun penelitian

yang ada masih sedikit dan bias. Obat-obatan anti-depresan

seperti amitriptilin dosis kecil juga dikatakan memperbaiki

gejala.2

 

ULKUS PEPTIKUM

Patogenesis3

Penyakit tukak peptik terdiri atas tukak lambung dan tukak

duodenum. Patogenesis terjadinya tukak peptik adalah

ketidakseimbangan antara faktor agresif yang merusak mukosa

dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa lambung

dan duodenum. Faktor-faktor agresif diantaranya adalah

Page 7: dispepsia

1. Helicobacter pylori. Bakteri H.pylori merupakan bakteri

gram negatif, berflagel, dan berbentuk kurva yang hidup

dalam suasana asam. Bakteri ini ditransmisikan secara fekal-

oral atau oral-oral. Bakteri ini terutama ditemukan di antrum

pada lapisan mukus di permukaan epitel, kadang-kadang

dapat menembus sel-sel epitel. H.pylori yang masuk ke

lambung akan melekat pada permukaan epitel dengan

bantuan adhesin. Bakteri ini kemudian akan mengeluarkan

berbagai sitokin yang secara langsung dapat merusak

mukosa seperti vacuolating cytotoxin dan cytotoxin

assicoated gen A. Disamping itu, H.pylori juga akan

mengeluarkan enzim yang dapat merusak epitel seperti

urease, protease, lipase, dan fosfolipase. Urease akan

memecah urea dalam lambung menjadi ammonia yang toksik

terhadap epitel. Protease dan fosfolipase A2 akan menekan

sekresi mukus sehingga daya tahan mukosa berkurang,

merusak lapisan lipid, yang pada akhirnya menyebabkan

ulkus yang lebih luas. H.pylori yang dominan di antrum akan

merusak sel D yang menghasilkan somatostatin.

Somatostatin yang berkurang menyebabkan produksi

gastrin yang berlebihan sehingga sel-sel parietal akan

menghasilkan asam lambung berlebihan. Asam lambung

yang berlebihan akan masuk ke duodenum menyebabkan

duodenitis yang berlanjut menjadi tukak duodenum.

Tingginya keasaman di duodenum menyebabkan gastrik

metaplasia sehingga menjadi tempat hidup H.pylori  dan

sekaligus dapat memproduksi asam.

Page 8: dispepsia

2. Obat antiinflamasi non-steroid(OAINS). OAINS bekerja

dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX).

Enzim ini merubah asam arakhidonat (AA) menjadi

prostaglandin yang salahsatunya dibutuhkan dalam produksi

mukus gaster. Secara fisiologis tubuh memprduksi COX-1 di

gastrointestinal, ginjal, endotel, otak, dan trombosit,

sementara COX-2 terutama dibentuk pada saat terjadi

inflamasi. OAINS tradisional menghambat baik COX-1

maupun COX-2, sehingga selain mengurangi inflamasi obat

ini juga memiliki efek samping mengurangi mukus gaster

dan bikarbonat. OAINS juga dapat merusak mukosa secara

langsung yaitu dengan sifatnya yang bersifat asam sehingga

dapat masuk ke intraseluler epitel mukosa lambung.

Penumpukan OAINS intraseluler tersebut menyebabkan

pembengkakan sel dan akhirnya sel menjadi lisis. Beberapa

faktor risiko yang memudahkan terjadinya tukak peptik pada

penggunaan OAINS adalah usia tua (>60th), riwayat adanya

tukak peptik sebelumnya, dispepsia kronik, intoleransi

terhadap OAINS, jenis, dosis, dan lama penggunaan OAINS,

penggunaan OAINS lebih dari dua macam, dan adanya

penyakit penyerta.

3. Faktor lain. Merokok dikatakan meningkatkan kerentanan

terhadap infeksi H.pylori. stress, malnutrisi, makanan tinggi

garam, defisiensi vitamin C, beberapa penyakit seperti

sindrom Zolinger Elison, penyakit Crohn,

hiperparatiroidisme, dan faktor genetik.

Page 9: dispepsia

Sementara faktor defensif yang memelihara daya tahan mukosa

gastroduodenal diantaranya adalah

1. Faktor preepitel. Terdiri atas mukus dan bikarbonat yang

berfungsi menahan pengaruh asam lambung; mucoid

cap yang merupakan struktur mukus dan fibrin yang

terbentuk sebagai respon terhadap inflamasi; active surface

phospholipid yang meningkatkan hidrofobisitas membrane

sel dan meningkatkan viskositas mukus.

2. Faktor epitel. Kemampuan repair epitel dengan cara migrasi

sel-sel yang sehat ke daerah yang rusak; pertahanan seluler

yaitu kemampuan mempertahankan gradient elektrik dan

mencegah pengasaman sel; kemampuan transporter asam-

basa untuk mengangkut bikarbonat ke lapisan mukus dan

jaringan subepitel; growth factor, prostaglandin, dan NO.

3. Faktor subepitel.  Mikrosirkulasi yang berperan mengangkut

nutrisi, oksigen, dan bikarbonat ke epitel sel; prostaglandin

endogen untuk menekan perlekatan dan ekstravasasi

leukosit yang merangsang inflamasi.

 

Diagnosis3

Gambaran klinis tukak peptik sebagai salah satu bentuk

dispepsia organik adalah nyeri atau rasa tidak nyaman di daerah

epigastrium. Keluhan ini biasanya bersifat remisi-eksaserbasi.

Adanya peranan asam lambung biasanya ditunjukkan dengan

kualitas nyeri seperti rasa terbakar, rasa lapar, atau rasa tidak

Page 10: dispepsia

nyaman yang tidak terlokalisir yang terjadi 1,5-3 jam setelah

makan. Keluhan juga biasanya berkurang dengan pemberian

antasida. Nyeri yang menjalar ke punggung perlu diwaspadai

kemungkinan keterlibatan pankreas. Sedangkan nyeri yang

menetap dan mengenai seluruh perut kemungkinan telah terjadi

perforasi. Pada tukak peptik akibat OAINS dapat terjadi

komplikasi perdarahan atau perforasi tanpa keluhan nyeri

sebelumnya, sehingga riwayat penggunaan OAINS harus

ditanyakan. Untuk membedakan dengan dispepsia fungsional,

maka perlu dicari alarm symptom yaitu

1. Umur >45-55 tahun

2. Hematemesis-melena

3. BB turun> 10% tanpa sebab yang jelas

4. Anoreksia

5. Riwayat tukak peptik

6. Muntah yang persisten

7. Anemia tanpa penyebab yang jelas

Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan nyeri tekan di

daerah epigastrium. Temuan lain biasanya berkaitan dengan

komplikasi. Diagnosa pasti tukak petik adalah dengan

pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas sekaligus

dilakukan biopsi untuk deteksi H.pylori. gambaran ulkus

diklasifikasikan menjadi 6 tingkatan berdasarkan klasifikasi

Forrest, yaitu7

Page 11: dispepsia

IAà ulkus dengan perdarahan aktif menyemprot

IBà ulkus dengan perdarahan merembes

IIAà ulkus dengan pembuluh darah visibel tidak berdarah

IIBà ulkus dengan bekuan adheren

IICà ulkus dengan bintik pigmentasi

IIIà ulkus berdasar bersih

 

Deteksi Infeksi H.pylori.4

Terdapat beberapa modalitas untuk mendeteksi infeksi H.pylori

pada pasien, diantaranya adalah

1. Pemeriksaan serologi. Bertujuan memeriksa antibodi IgG

terhadap H.pylori. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan

spesifisitas yang berbeda secara geografis terkait dengan

faktor antigen lokal dan titer yang relatif rendah pada

populasi tertentu. Di Jakarta digunakan cut off point 1800

EU/L

2. Urea breath test (UBT). Memanfaatkan sifat H.pylori yang

menggunakan urea untuk dimetabolisme menjadi amonia,

maka dikembangkan pemeriksaan UBT. Pasien diminta

menelan urea yang telah ditandai dengan isotop karbon C13

atau C14. Pasien kemudian diminta untuk makan makanan

berkalori tinggi untuk memperlambat pengosongan lambung

sehingga kontak isotop dengan mukosa lambung cukup

Page 12: dispepsia

lama. Pasien kemudian diukur pernafasannya dengan

spectrometer untuk menilai adakah peningkatan kadar

isotop C13. Apabila meningkat 0,01% maka test dikatakan

positif. Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk

diagnosa infeksi H.pylori. obat-obatan penghambat sekresi

asam dan antibiotik harus dihentikan 2 minggu dan 4

minggu sebelum tindakan. Pemeriksaan ini juga dapat

digunakan untuk evaluasi pengobatan.

3. Biopsi endoskopik. Dilakukan di bagian antrum dua buah

dan di bagian korpus dua buah. Sedangkan untuk menialai

ada tidaknya metaplasia, biopsi dilakukan di angulus. Dari

biopsi ini dapat dikerjakan biopsi urea test(BUT), dimana

sediaan biopsi diberikan urea dan apabila warna berubah

menjadi merah maka hasilnya dinyatakan positif.

Pemeriksaan histopatologi, selain dapat mendeteksi infeksi

H.pylori juga dapat menilai derajat inflamasi gastritis.

4. PCR. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifitas

yang cukup tinggi, namun masih jarang dikerjakan. Sediaan

yang diambil dapat dari hasil biopsi atau cairan lambung.

 

Penatalaksanaan3,4

Tujuan penatalaksanaan tukak peptik adalah menghilangkan

keluhan-keluhan seperti rasa nyeri, mempercepat penyembuhan

tukak secara sempurna, mencegah komplikasi, dan mencegah

kekambuhan. Pengobatan pada umumnya menggunakan

Page 13: dispepsia

medikamentosa, namun bila telah terjadi komplikasi seperti

perforasi, obstruksi, atau perdarahan yang tidak teratasi maka

dapat digunakan modalitas pembedahan.

Terapi tukak peptik akibat H.pylori lini pertama menggunakan

modalitas 2 antibiotik ditambah dengan 1 PPI. Terdapat tiga

rejimen yang direkomendasikan secara berurutan, yaitu

1. PPI+ Amoksisilin+ Klaritromisin

2. PPI+ Klaritromisin+ Metronidazole

3. PPI+ Tetrasiklin+ Metronidazole

Dosis

Omeprazole 2x20mg                      Amoksisilin 2x1g

Lansoprazole 2x30mg                     Klaritromisin 2x500mg

Rabeprazole 2x10mg                      Metronidazole 3x500mg

Esomeprazole 2x20mg                   Tetrasiklin 4x250mg

Terapi diberikan selama 1 minggu, namun bila dalam 4 minggu

pasca terapi masih didapatkan kuman H.pylori, maka

dikategorikan sebagai gagal terapi dan masuk ke terapi lini ke

dua yaitu dengan menambahkan koloid bismuth subsitrat

4x120mg pada rejimen lini pertama selama 1 minggu. Apabila

terapi lini kedua ini gagal, maka dianjurkan untuk uji resistensi

kuman.

Pada tukak peptik akibat OAINS maka yang paling penting

adalah menghentikan obat-obatan OAINS, namun apabila pasien

Page 14: dispepsia

harus menggunakan OAINS jangka panjang maka pemilihan obat

OAINS dan sitoprotektor harus mempertimbakan risiko

perdarahan saluran cerna dan risiko kardiovaskular.

Tabel 1. Penatalaksanaan tukak peptik terkait OAINS6

 Risiko Gastrointestinal

Ringan Sedang Berat

Risi

ko

KV

ren

dah

OAINS+rebamipid/

misoprostol

OAINS+PPI/

rebamipid/

misoprostol

Terapi alternatif

atau COX-2

inhibitor+PPI/miso

prostol/rebamipid

Risi

ko

KV

tin

ggi

Naproxen+PPI/

rebamipid/

misoprostol

Naproxen+PPI/

rebamipid/

misoprostol

Terapi alternatif

 

Termasuk dalam risiko gastrointestinal tinggi adalah riwayat

ulkus dan memiliki lebih dari 2 faktor risiko dibawah ini

1. Usia >65 tahun

2. Terapi OAINS dosis tinggi

3. Riwayat ulkus tanpa komplikasi

Page 15: dispepsia

4. Penggunaan, aspirin, kortikosteroid, atau antikoagulan

Risiko sedang apabila memiliki 1-2 faktor risiko diatas, dana

risiko rendah bila tidak memiliki faktor risiko sama sekali.

Tukak peptik yang bukan disebabkan H.pylori atau OAINS

biasanya disebabkan produksi asam lambung yang berlebihan.

Obat-obat penetralisir asam seperti antasida, penghambat

produksi asam seperti H2RA dan PPI, atau mukoprotektor

seperti sukralfat dapat diberikan. Antasida digunakan untuk

mengatasi gejala nyeri tapi jarang digunakan untuk

menyembuhkan tukak. Dosis untuk penyembuhan tukak harus

lebih tinggi dengan risiko efek samping diare yang lebih sering

terjadi, sehingga antasida lebih sering digunakan untuk

menetralisir asam. H2RA digunakan dengan dosis 2×1 atau 1×2

diminum malam hari selama 8-12 minggu sama efektifnya

dengan terapi PPI 2×1 selama 4 minggu.

Belum ada bukti yang kuat mengenai pengaruh diet terhadap

kesembuhan tukak. Disarankan mengkonsumsi makanan yang

mudah dicerna selama fase aktif, mengurangi makanan yang

dapat merangsang sekresi asam, dan makan dalam porsi yang

kecil tapi sering dapat membantu mempercepat penyembuhan

tukak.  

 

 

Daftar Pustaka

Page 16: dispepsia

1. Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional dalam: Sudoyo AW,

Setyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi 5. Interna Publishing.

Jakarta. 2010. P 529-33

2. Tack J, Tally NJ, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, Malagelada

JR, Stanghelilini V. Functional Gastroduodenal Disorder.

Gastroenterology 2006; 130: 1466-79

3. Akil HAM. Tukak Duodenum dalam: Sudoyo AW, Setyohadi

B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam jilid I edisi 5. Interna Publishing. Jakarta. 2010. P

523-8

4. Rani AA, Fauzi A. Infeksi Helicobacter Pylori dan Penyakit

Gastroduodenal dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,

Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

jilid I edisi 5. Interna Publishing. Jakarta. 2010. P 501-8

5. Yamaoka Y. Mechanisms of disease: Helicobacter pylori

virulence factors. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2010

November ; 7(11): 629–641

6. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus 2011

Penatalaksanaan Gastro-enteropati OAINS di

Indonesia.Interna Publishing. Jakarta. 2011

7. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus

Nasional Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Atas

non Varises di Indonesia.Interna Publishing. Jakarta. 2012.