dispepsia
-
Upload
dannyaisya -
Category
Documents
-
view
14 -
download
1
description
Transcript of dispepsia
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala yang terdiri
dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,
kembung, cepat kenyang, perut terasa penuh, dan sendawa.
Keluhan ini sering ditemukan dalam praktek klinik sehari-hari
dan dapat disebabkan karena gangguan patologis pada esofago-
gastro-duodenum, hepato-pankrato-bilier, penyakit sistemik
(diabetes mellitus, tiroid, gagal ginjal, penyakit jantung koroner,
kehamilan), atau kondisi fungsional dimana tidak ditemukan
kelainan organik setelah dilakukan pemeriksaan diagnostik baku.
Diperkirakan 20-30% orang mengalami gejala dispepsia ini
setiap tahunnya, dan sekitar 50% penderita ini akan mencari
pengobatan terutama akibat rasa nyeri dan kecemasannya.1,2
Penyakit tukak peptik secara anatomis didefinisikan sebagai
defek mukosa atau submukosa yang berbatas tegas dan dapat
menembus sampai ke lapisan muskularis atau bahakan serosa
sehingga menimbulkan perforasi. Secara klinis, tukak peptik
adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan yang lebih dalam
dengan diameter ≥5mm yang dapat diamati secara endoskopis
atau radiologis. Penyakit ini terdiri atas tukak lambung dan
tukak duodenum. Secara umum, pathogenesis terjadinya tukak
peptik adalah adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif
yang merusak mukosa dan faktor defensif yang memelihara
keutuhan mukosa. Dari beberapa penelitian dikatakan bahwa
infeksi H.pylori menjadi penyebab utama penyakit ini, namun
peranan faktor lain tidak dapat dikesampingkan sehingga
penyakit tukak peptik bersifat multifaktor.3
H.pylori adalah bakteri gram negatif berbentuk spiral yang
habitat utamanya terdapat di lambung manusia. Bakteri ini
berperan penting dalam menimbulkan berbagai penyakit di
gastroduodenal seperti ulkus peptik, primary gastric B-cell
lymphoma, dan kanker lambung. Meskipun demikian, hanya
sebagian kecil orang dengan infeksi H.pylori yang berkembang
menjadi penyakit-penyakit diatas. Hal ini berkaitan dengan
virulensi bakteri, faktor pejamu, lamanya terinfeksi, dan faktor
lingkungan. Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan
bahwa prevalensi tukak peptik pada pasien dispepsia yang
diendoskopi berkisar antara 5,78% di Jakarta sampai 16,9% di
Medan, dengan prevalensi infeksi H.pylori diatas 90%. H.pylori
juga ditemukan pada kelompok dispepsia non-ulkus dengan
prevalensi 20-40%.4,5
DISPEPSIA
Diagnosis
Dispepsia secara umum dibagi menjadi dispepsia organik dan
dispepsia fungsional. Dispepsia organik disebabkan oleh
berbagai penyakit yang menunjukkan gangguan patologis baik
secara struktural atau biokimiawi. Apabila pada pemeriksaan
penunjang diagnostik tidak ditemukan adanya kelainan maka
termasuk dalam dispepsia fungsional. ROME III
mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadiEpigastric Pain
Syndrom (EP) dan Postprandial Distress Syndrom (PD).
Dispepsia fungsional ditegakkan dengan kriteria:1,2
1. Terdapat minimal satu dari gejala rasa penuh setelah
makan, rasa cepat kenyang, nyeri epigastrium, dan rasa
terbakar di epigastrium
2. Tidak ada bukti kelainan struktural, termasuk endoskopi,
yang menerangkan penyebab keluhan diatas
3. Keluhan terjadi selam 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir
sebelum diagnosis ditegakkan
Dispepsia fungsional tipe EP ditegakkan bila memenuhi semua
kriteria dibawah ini, yaitu
1. Rasa nyeri atau sensasi terbakar di daerah epigastrium
dengan kualitas nyeri sedang, setidaknya sekali seminggu
2. Rasa nyeri bersifat intermitent
3. Tidak dirasakan di bagian perut atau dada yang lain
4. Tidak membaik dengan defekasi atau flatus
5. Tidak memenuhi kriteria untuk kelainan kandung empedu
atau sfingter Oddi
6. Kriteria pendukung lain adalah nyeri tidak bersifat
retrosternal, nyeri dipengaruhi oleh makanan tapi bisa
muncul juga saat puasa.
Sementara dispepsia fungsional tipe PD ditegakkan bila
memenuhi salah satu kriteria, yaitu
1. Rasa penuh yang mengganggu setelah makan dengan porsi
normal, dirasakan beberapa kali seminggu
2. Rasa cepat kenyang sehingga tidak menghabiskan
makanannya, dirasakan beberapa kali seminggu
3. Kriteria pendukung lain adalah rasa kembung, mual, dan
sendawa.
Dalam ROME II, untuk kepentingan praktis pengobatan,
dispepsia fungsional dibagi berdasarkan gejala yang dominan
yaitu dispepsia tipe ulkus dimana rasa nyeri epigastrik yang
terutama dirasakan, dispepsia tipe dimotil dimana keluhan yang
dominan adalah kembung, mual, muntah, dan rasa cepat
kenyang. Dispepsia dikatakan tipe non-spesifik bila tidak ada
keluhan yang dominan. Namun, pembagian ini dirasa kurang
memuaskan karena definisi dispepsia fungsional menjadi tidak
seragam. Selain itu, pengobatan menjadi lebih bersifat
simptomatik dan tidak mengobati sindrom secara keseluruhan.1,2
Penatalaksanaan2
Pada pasien yang datang pertama kali dan belum dilakukan
investigasi terhadap keluhan dispepsianya, terdapat 6 strategi
yang terdiri atas
1. Pastikan bahwa keluhan kemungkinan besar berasal dari
saluran cerna bagian atas
2. Singkirkan adanya alarm symptom seperti penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan, muntah berulang,
disfagia yang progresif, atau perdarahan
3. Evaluasi penggunaan obat-obatan. Adakah konsumsi asam
asetil salisilat atai OAINS
4. Bila ada gejala regurgitasi yang khas, maka dapat
didiagnosa awal sebagai GERD dan dapat langsung diterapi
dengan PPI. Apabila keluhan EP atau PD tetap persisten
meskipun terapi PPI sudah adekuat, maka diagnosa GERD
menjadi patut dipertanyakan.
5. Tes non-invasif untuk H.pylori, dilanjutkan dengan terapi
eradikasi merupakan pendekatan yang cukup efektif,
terutama untuk mengurangi biaya endoscopy. Strategi ini
dapat digunakan bila tidak terdapat alarm symptom. Bila
gejala menetap setelah terapi eradikasi, maka terapi PPI
dapat diberikan. Strategi ini kurang efektif bila diterapkan
pada daerah dengan prevalensi H.pylori rendah
6. Endoskpi dapat direkomendasikan pada pasien
dengan alarm symptom atau dengan usia tua (diatas 45-
55tahun).
Pada dispepsia organik, terapi utama adalah dengan
menyingkirkan penyebabnya. Pada dispepsia fungsional, karena
patofisiologi yang beragam, penatalaksanaannya pun masih
belum ada yang benar-benar terbukti. Beberapa percobaan klinis
menunjukkan efek placebo masih cukup besar yaitu sekitar 20-
60%. Terapi non-farmakologik seperti psikoterapi, makan dalam
jumlah kecil tapi sering, penghentian kebiasaan merokok, minum
alkohol, dan konsumsi obat-obatan OAINS yang tidak perlu
memang disarankan tapi belum ada bukti yang cukup kuat untuk
menunjukkan efikasinya. Beberapa obat yang disarankan adalah
obat penghambat asam lambung seperti antagonis reseptor
H2(H2B) dan penghambat pompa proton(PPI). Terapi eradikasi
H.pylori diberikan dengan mempertimbangkan risiko dan
manfaat bagi pasien. Obat-obatan prokinetik seperti
metoklopramid, domperidon, dan cisaprid dikatakan memiliki
manfaat bila dibandingkan dengan placebo, namun penelitian
yang ada masih sedikit dan bias. Obat-obatan anti-depresan
seperti amitriptilin dosis kecil juga dikatakan memperbaiki
gejala.2
ULKUS PEPTIKUM
Patogenesis3
Penyakit tukak peptik terdiri atas tukak lambung dan tukak
duodenum. Patogenesis terjadinya tukak peptik adalah
ketidakseimbangan antara faktor agresif yang merusak mukosa
dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa lambung
dan duodenum. Faktor-faktor agresif diantaranya adalah
1. Helicobacter pylori. Bakteri H.pylori merupakan bakteri
gram negatif, berflagel, dan berbentuk kurva yang hidup
dalam suasana asam. Bakteri ini ditransmisikan secara fekal-
oral atau oral-oral. Bakteri ini terutama ditemukan di antrum
pada lapisan mukus di permukaan epitel, kadang-kadang
dapat menembus sel-sel epitel. H.pylori yang masuk ke
lambung akan melekat pada permukaan epitel dengan
bantuan adhesin. Bakteri ini kemudian akan mengeluarkan
berbagai sitokin yang secara langsung dapat merusak
mukosa seperti vacuolating cytotoxin dan cytotoxin
assicoated gen A. Disamping itu, H.pylori juga akan
mengeluarkan enzim yang dapat merusak epitel seperti
urease, protease, lipase, dan fosfolipase. Urease akan
memecah urea dalam lambung menjadi ammonia yang toksik
terhadap epitel. Protease dan fosfolipase A2 akan menekan
sekresi mukus sehingga daya tahan mukosa berkurang,
merusak lapisan lipid, yang pada akhirnya menyebabkan
ulkus yang lebih luas. H.pylori yang dominan di antrum akan
merusak sel D yang menghasilkan somatostatin.
Somatostatin yang berkurang menyebabkan produksi
gastrin yang berlebihan sehingga sel-sel parietal akan
menghasilkan asam lambung berlebihan. Asam lambung
yang berlebihan akan masuk ke duodenum menyebabkan
duodenitis yang berlanjut menjadi tukak duodenum.
Tingginya keasaman di duodenum menyebabkan gastrik
metaplasia sehingga menjadi tempat hidup H.pylori dan
sekaligus dapat memproduksi asam.
2. Obat antiinflamasi non-steroid(OAINS). OAINS bekerja
dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX).
Enzim ini merubah asam arakhidonat (AA) menjadi
prostaglandin yang salahsatunya dibutuhkan dalam produksi
mukus gaster. Secara fisiologis tubuh memprduksi COX-1 di
gastrointestinal, ginjal, endotel, otak, dan trombosit,
sementara COX-2 terutama dibentuk pada saat terjadi
inflamasi. OAINS tradisional menghambat baik COX-1
maupun COX-2, sehingga selain mengurangi inflamasi obat
ini juga memiliki efek samping mengurangi mukus gaster
dan bikarbonat. OAINS juga dapat merusak mukosa secara
langsung yaitu dengan sifatnya yang bersifat asam sehingga
dapat masuk ke intraseluler epitel mukosa lambung.
Penumpukan OAINS intraseluler tersebut menyebabkan
pembengkakan sel dan akhirnya sel menjadi lisis. Beberapa
faktor risiko yang memudahkan terjadinya tukak peptik pada
penggunaan OAINS adalah usia tua (>60th), riwayat adanya
tukak peptik sebelumnya, dispepsia kronik, intoleransi
terhadap OAINS, jenis, dosis, dan lama penggunaan OAINS,
penggunaan OAINS lebih dari dua macam, dan adanya
penyakit penyerta.
3. Faktor lain. Merokok dikatakan meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi H.pylori. stress, malnutrisi, makanan tinggi
garam, defisiensi vitamin C, beberapa penyakit seperti
sindrom Zolinger Elison, penyakit Crohn,
hiperparatiroidisme, dan faktor genetik.
Sementara faktor defensif yang memelihara daya tahan mukosa
gastroduodenal diantaranya adalah
1. Faktor preepitel. Terdiri atas mukus dan bikarbonat yang
berfungsi menahan pengaruh asam lambung; mucoid
cap yang merupakan struktur mukus dan fibrin yang
terbentuk sebagai respon terhadap inflamasi; active surface
phospholipid yang meningkatkan hidrofobisitas membrane
sel dan meningkatkan viskositas mukus.
2. Faktor epitel. Kemampuan repair epitel dengan cara migrasi
sel-sel yang sehat ke daerah yang rusak; pertahanan seluler
yaitu kemampuan mempertahankan gradient elektrik dan
mencegah pengasaman sel; kemampuan transporter asam-
basa untuk mengangkut bikarbonat ke lapisan mukus dan
jaringan subepitel; growth factor, prostaglandin, dan NO.
3. Faktor subepitel. Mikrosirkulasi yang berperan mengangkut
nutrisi, oksigen, dan bikarbonat ke epitel sel; prostaglandin
endogen untuk menekan perlekatan dan ekstravasasi
leukosit yang merangsang inflamasi.
Diagnosis3
Gambaran klinis tukak peptik sebagai salah satu bentuk
dispepsia organik adalah nyeri atau rasa tidak nyaman di daerah
epigastrium. Keluhan ini biasanya bersifat remisi-eksaserbasi.
Adanya peranan asam lambung biasanya ditunjukkan dengan
kualitas nyeri seperti rasa terbakar, rasa lapar, atau rasa tidak
nyaman yang tidak terlokalisir yang terjadi 1,5-3 jam setelah
makan. Keluhan juga biasanya berkurang dengan pemberian
antasida. Nyeri yang menjalar ke punggung perlu diwaspadai
kemungkinan keterlibatan pankreas. Sedangkan nyeri yang
menetap dan mengenai seluruh perut kemungkinan telah terjadi
perforasi. Pada tukak peptik akibat OAINS dapat terjadi
komplikasi perdarahan atau perforasi tanpa keluhan nyeri
sebelumnya, sehingga riwayat penggunaan OAINS harus
ditanyakan. Untuk membedakan dengan dispepsia fungsional,
maka perlu dicari alarm symptom yaitu
1. Umur >45-55 tahun
2. Hematemesis-melena
3. BB turun> 10% tanpa sebab yang jelas
4. Anoreksia
5. Riwayat tukak peptik
6. Muntah yang persisten
7. Anemia tanpa penyebab yang jelas
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan nyeri tekan di
daerah epigastrium. Temuan lain biasanya berkaitan dengan
komplikasi. Diagnosa pasti tukak petik adalah dengan
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas sekaligus
dilakukan biopsi untuk deteksi H.pylori. gambaran ulkus
diklasifikasikan menjadi 6 tingkatan berdasarkan klasifikasi
Forrest, yaitu7
IAà ulkus dengan perdarahan aktif menyemprot
IBà ulkus dengan perdarahan merembes
IIAà ulkus dengan pembuluh darah visibel tidak berdarah
IIBà ulkus dengan bekuan adheren
IICà ulkus dengan bintik pigmentasi
IIIà ulkus berdasar bersih
Deteksi Infeksi H.pylori.4
Terdapat beberapa modalitas untuk mendeteksi infeksi H.pylori
pada pasien, diantaranya adalah
1. Pemeriksaan serologi. Bertujuan memeriksa antibodi IgG
terhadap H.pylori. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang berbeda secara geografis terkait dengan
faktor antigen lokal dan titer yang relatif rendah pada
populasi tertentu. Di Jakarta digunakan cut off point 1800
EU/L
2. Urea breath test (UBT). Memanfaatkan sifat H.pylori yang
menggunakan urea untuk dimetabolisme menjadi amonia,
maka dikembangkan pemeriksaan UBT. Pasien diminta
menelan urea yang telah ditandai dengan isotop karbon C13
atau C14. Pasien kemudian diminta untuk makan makanan
berkalori tinggi untuk memperlambat pengosongan lambung
sehingga kontak isotop dengan mukosa lambung cukup
lama. Pasien kemudian diukur pernafasannya dengan
spectrometer untuk menilai adakah peningkatan kadar
isotop C13. Apabila meningkat 0,01% maka test dikatakan
positif. Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk
diagnosa infeksi H.pylori. obat-obatan penghambat sekresi
asam dan antibiotik harus dihentikan 2 minggu dan 4
minggu sebelum tindakan. Pemeriksaan ini juga dapat
digunakan untuk evaluasi pengobatan.
3. Biopsi endoskopik. Dilakukan di bagian antrum dua buah
dan di bagian korpus dua buah. Sedangkan untuk menialai
ada tidaknya metaplasia, biopsi dilakukan di angulus. Dari
biopsi ini dapat dikerjakan biopsi urea test(BUT), dimana
sediaan biopsi diberikan urea dan apabila warna berubah
menjadi merah maka hasilnya dinyatakan positif.
Pemeriksaan histopatologi, selain dapat mendeteksi infeksi
H.pylori juga dapat menilai derajat inflamasi gastritis.
4. PCR. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifitas
yang cukup tinggi, namun masih jarang dikerjakan. Sediaan
yang diambil dapat dari hasil biopsi atau cairan lambung.
Penatalaksanaan3,4
Tujuan penatalaksanaan tukak peptik adalah menghilangkan
keluhan-keluhan seperti rasa nyeri, mempercepat penyembuhan
tukak secara sempurna, mencegah komplikasi, dan mencegah
kekambuhan. Pengobatan pada umumnya menggunakan
medikamentosa, namun bila telah terjadi komplikasi seperti
perforasi, obstruksi, atau perdarahan yang tidak teratasi maka
dapat digunakan modalitas pembedahan.
Terapi tukak peptik akibat H.pylori lini pertama menggunakan
modalitas 2 antibiotik ditambah dengan 1 PPI. Terdapat tiga
rejimen yang direkomendasikan secara berurutan, yaitu
1. PPI+ Amoksisilin+ Klaritromisin
2. PPI+ Klaritromisin+ Metronidazole
3. PPI+ Tetrasiklin+ Metronidazole
Dosis
Omeprazole 2x20mg Amoksisilin 2x1g
Lansoprazole 2x30mg Klaritromisin 2x500mg
Rabeprazole 2x10mg Metronidazole 3x500mg
Esomeprazole 2x20mg Tetrasiklin 4x250mg
Terapi diberikan selama 1 minggu, namun bila dalam 4 minggu
pasca terapi masih didapatkan kuman H.pylori, maka
dikategorikan sebagai gagal terapi dan masuk ke terapi lini ke
dua yaitu dengan menambahkan koloid bismuth subsitrat
4x120mg pada rejimen lini pertama selama 1 minggu. Apabila
terapi lini kedua ini gagal, maka dianjurkan untuk uji resistensi
kuman.
Pada tukak peptik akibat OAINS maka yang paling penting
adalah menghentikan obat-obatan OAINS, namun apabila pasien
harus menggunakan OAINS jangka panjang maka pemilihan obat
OAINS dan sitoprotektor harus mempertimbakan risiko
perdarahan saluran cerna dan risiko kardiovaskular.
Tabel 1. Penatalaksanaan tukak peptik terkait OAINS6
Risiko Gastrointestinal
Ringan Sedang Berat
Risi
ko
KV
ren
dah
OAINS+rebamipid/
misoprostol
OAINS+PPI/
rebamipid/
misoprostol
Terapi alternatif
atau COX-2
inhibitor+PPI/miso
prostol/rebamipid
Risi
ko
KV
tin
ggi
Naproxen+PPI/
rebamipid/
misoprostol
Naproxen+PPI/
rebamipid/
misoprostol
Terapi alternatif
Termasuk dalam risiko gastrointestinal tinggi adalah riwayat
ulkus dan memiliki lebih dari 2 faktor risiko dibawah ini
1. Usia >65 tahun
2. Terapi OAINS dosis tinggi
3. Riwayat ulkus tanpa komplikasi
4. Penggunaan, aspirin, kortikosteroid, atau antikoagulan
Risiko sedang apabila memiliki 1-2 faktor risiko diatas, dana
risiko rendah bila tidak memiliki faktor risiko sama sekali.
Tukak peptik yang bukan disebabkan H.pylori atau OAINS
biasanya disebabkan produksi asam lambung yang berlebihan.
Obat-obat penetralisir asam seperti antasida, penghambat
produksi asam seperti H2RA dan PPI, atau mukoprotektor
seperti sukralfat dapat diberikan. Antasida digunakan untuk
mengatasi gejala nyeri tapi jarang digunakan untuk
menyembuhkan tukak. Dosis untuk penyembuhan tukak harus
lebih tinggi dengan risiko efek samping diare yang lebih sering
terjadi, sehingga antasida lebih sering digunakan untuk
menetralisir asam. H2RA digunakan dengan dosis 2×1 atau 1×2
diminum malam hari selama 8-12 minggu sama efektifnya
dengan terapi PPI 2×1 selama 4 minggu.
Belum ada bukti yang kuat mengenai pengaruh diet terhadap
kesembuhan tukak. Disarankan mengkonsumsi makanan yang
mudah dicerna selama fase aktif, mengurangi makanan yang
dapat merangsang sekresi asam, dan makan dalam porsi yang
kecil tapi sering dapat membantu mempercepat penyembuhan
tukak.
Daftar Pustaka
1. Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional dalam: Sudoyo AW,
Setyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi 5. Interna Publishing.
Jakarta. 2010. P 529-33
2. Tack J, Tally NJ, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, Malagelada
JR, Stanghelilini V. Functional Gastroduodenal Disorder.
Gastroenterology 2006; 130: 1466-79
3. Akil HAM. Tukak Duodenum dalam: Sudoyo AW, Setyohadi
B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid I edisi 5. Interna Publishing. Jakarta. 2010. P
523-8
4. Rani AA, Fauzi A. Infeksi Helicobacter Pylori dan Penyakit
Gastroduodenal dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid I edisi 5. Interna Publishing. Jakarta. 2010. P 501-8
5. Yamaoka Y. Mechanisms of disease: Helicobacter pylori
virulence factors. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2010
November ; 7(11): 629–641
6. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus 2011
Penatalaksanaan Gastro-enteropati OAINS di
Indonesia.Interna Publishing. Jakarta. 2011
7. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Atas
non Varises di Indonesia.Interna Publishing. Jakarta. 2012.