Dispepsia Hipertiroid Hipertensi

download Dispepsia Hipertiroid Hipertensi

of 31

Transcript of Dispepsia Hipertiroid Hipertensi

BAB I PENDAHULUAN DISPEPSIA, HIPERTIROID, HIPERTENSI

1.1 PENDAHULUAN 1.1.1 Dispepsia Dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri. Sedangkan pada penderita lain, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sebelit, diare, dan flatulensi (perut kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak member respon terhadap pengobatan atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja. Barium enema untuk pemeriksaan kerongkongan, lambung, atau usus halus dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan, mengalami nyeri yang memburuk ketika makan. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung, atau usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsy dan lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahuui apakah lambung terinfeksi Helicobacter pylori. Terkadang juga dilakukan pemeriksaan lain seperti pengukuran kontraksi kerongkongan atau respon kerongkongan terhadap asam. 1.1.2 Hipertirod Hipertiroid adalah suatu kondisi dimana suatu kelenjar tiroid yang terlalu aktif menghasilkan jumlah hormon tiroid dalam darah. Tirotoksikosis

1

adalah suatu kondisi keracunan yang disebabkan oleh kelebihan hormone tiroid. Tirotoksikosis dapat disebabkan oleh suatu pemasukan yang berlebihan dari hormone tiroid atau produksi hormone tiroid yang berlebihan oleh kelenjar tiroid. Sindrom tirotoksikosis adalah gugup, anxietas, palpitasi, emosi yang tidak stabil, sangat mudah lemas, kehilangan bobot badan yang ddikuti dengan peningkatan nafsu makan, peningkatan frekuensi BAB, lemah pada otot proksimal (ketika menaiki tangga atau bangun dari posisi duduk) atau menstruasi yang tidak teratur pada wanita. Tanda-tanda fisik dari tirotoksikosis adalah kulit terasa hangat, lembut, lembab, dan terdapat rambut halus yang tidak wajar, lepasnya kuku sari (onikolisis), penarikan kelopak mata, takikardia pada saat istirahat, tekanan pulsa yang melebar, dan murmur sistolik, ginekomastia pada pria, tremor halus pada lidah yang dijulurkan dan tangan yang direnggangkan dan hiperaktivitas reflex tendon dalam. Diagnosis hipertiroid adalah nilai TSH yang rendah dan tingginya nilai T3 dan T4 bebas dalam sirkulasi. Hipertiroid direkomendasikan oleh beberapa tanda-tanda dan gejala-gejala. Bagaimanapun pasien-pasien dengan penyakit yang ringan biasanya tidak mengalami gejala-gejala. Pada pasien yang lebih tua dari 70 tahun, tanda-tanda dan gejala-gejala yang khas mungkin juga tidak ada. Pada umumnya, gejala-gejala menjadi lebih khas ketika derajat hipertiroid meningkat. Gejala-gejala biassanya berkaitan dengan suatu peningkatan kecepatan metabolisme tubuh. 1.1.3 Hipertensi Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular. Diperkirakan telah menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung jawab terhadap tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya

2

angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan / atau penggunaan obat jangka panjang. Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat pemeriksaan fisik karena alas an penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai silent killer. Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti jantung, otak ataupun ginjal. Gejala-gejala akibat hipertensi, seperti pusing, gangguan penglihatan, dan sakit kepala, seringkali terjadi pada saat hipertensi sudah lanjut disaat tekanan darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna. Healthy People 2010 for Hypertension menganjurkan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan intensif guna mencapai pengontrolan tekanan darah secara optimal. Maka untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan partisipasi aktif para sejawat Apoteker yang melaksanakan praktek profesinya pada setiap tempat pelayanan kesehatan. Apoteker dapat bekerja sama dengan dokter dalam memberikan edukasi ke pasien mengenai hipertensi, memonitor respons pasien melalui farmasi komunitas, adherence terhadap terapi obat dan non-obat, mendeteksi dan mengenali secara dini reaksi efek samping, dan mencegah dan/atau memecahkan masalah yang berkaitan dengan pemberian obat.

1.2 PATOFISIOLOGI 1.2.1 Patofisiologi Dispepsia Patofisiologi dispepsia yaitu perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-batan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong. Kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, sehingga mengakibatkan peningkatan produksi HCl yang merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.

3

1.2.2

Patofisiologi Tiroid Tirotoksikosis terjadi ketika jaringan terpapar kelebihan T4, T3, atau

keduanya. Tumor pituitari yang mensekresi TSH melepaskan hormon aktif secara biologi yang tidak memberi respon pada kontrol umpan balik normal. Tumor dapat menghasilkan hormon prolaktin atau hormon pertumbuhan. Oleh karena itu pasien mengalami amenorhea, galaktorhea, atau akromegali. Pada penyakit Grave, hipertiroid terjadi karena aktivitas langsung dari antibodi yang menstimulus tiroid secara langsung terhadap reseptor tirotropin pada permukaan sel tiroid. Antibodi immunoglobulin G berikatan dengan reseptor dan mengaktivasi enzim adenilat siklase yang sama tejadi dengan TSH. Nodul Tiroid autonomous (adenoma toksik) adalah ditandai dengan massa tiroid yang fungsinya tidak tegantung pada kontrol pituitari. Hipertiroid biasanya muncul dengan nodul-nodul yang lebih besar (diameter lebih dari 4 cm). Pada multinodul gondok (penyakit Plummer), folikel-folikel derajat tinggi dari fungsi otonom hidup bersamaan dengan folikel normal atau bahkan folikel-folikel nonfungsional. Tirotoksikosis muncul ketika folikel otonom menghasilkan lebih banyak hormon tiroid daripada yang dibutuhkan. Tiroiditis subakut yang menimbulkan rasa nyeri dipercaya disebabkan oleh invasi virus atau parenkim tiroid. Tiroiditis yang tidak memberikan rasa nyeri (tanpa gejala, limfositik, post-partum) adalah penyebab utama dari tirotoksikosi, etiologinya belum diketahui secara pasti. Tirotoksikosis faktitia adalah hipertiroidisme yang disebabkan oleh penguraian dari hormon tiroid. Hal ini terjadi ketika hormon tiroid digunakan untuk indikasi yang tidak tepat. Amiodaron dapat menginduksi tirotoksikosis (2-3% dari pasien) atau hipotiroidisme. Amiodaron mengganggu tipe (5doiodinase, memicu konversi reduksi T4 menjadi T3, dan iodida yang dilepaskan dari obat dapat mempengaruhi jumlah iodida. Amiodaron juga menyebabkan kerusakan tiroiditis dengan kehilangan hormon tiroid dan tiroglobulin.

4

1.2.3 Patofisiologi Hipertensi Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh penyebab yangspesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder bernilai kurang dari 10% kasus hipertensi, pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh. Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder antara lain pheochromocytoma, sindron cushing, hipertiroid, aldosteron primer, kehamilan, obstruktif sleep apnea, dan kerusakan aorta. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah adalah kortikosteroid, estroid, AINS (Anti Inflamasi Non Steroid), amphetamine, sibutramin, siklosporin, tacrolimus, erythropoietin, dan venlafaxine. Multi faktor yang dapat menimbulkan hipertensi primer, adalah: Ketidaknormalan humoral meliputi sistem renin-angiostensin-aldosteron, hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia; Masalah patolgi pada sistem syaraf pusat, serabut syaraf otonom, volume plasma dan konstriksi arteriol; Defisiensi senyawa sintesis lokal vasodilator pada endotelium vaskular, misalnya prostasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida, atau terjadinya peningkatan produksi senyawa vasokonstriktor seperti angiostensin II dan endotelin I. Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriuretik yang menginhibisi transpor natrium intraseluler, menghasilkan peningkatan reaktivitas vaskular dan tekanan darah. Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, memicu perubahan vaskular, fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Penyebab utama kematian pada hipertensi adalah serebrovaskular, kardiovaskular, dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian prematur adal korelasinya dengan meningkatnya tekann darah.

5

1.3 TUJUAN TERAPI Disepsia : untuk mengurangi dan menghilangkan gejala seperti mengurangi rasa nyeri yang menyesak ke ulu hati, mengurangi mual dan muntah, mencegah terjadinya perasaan yang tidak enak pada lambung. Hipertiroid : untuk mengatasi dan mengurangi gejala, mengurangi jumlah hormone tiroid yang berlebih hingga ke nilai normal dan mencapai eutiroidisme secara biokimia, dan mencegah komplikasi jangka panjang dari hipertiroidisme. Hipertensi : untuk penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target.

1.4 PENATALAKSANAAN 1.4.1 Penatalaksanaan Dyspepsia Penatalaksanaan berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan

Helicobacter pylori 1996, ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan dispepsia di masyarakat. Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu: Antasida 20-150 ml/hr Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akanmenyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Antikolinergik Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan

6

seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif. Antagonis reseptor H2 Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonisrespetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin. Penghambat pompa asam ( proton pump inhibitor = PPI) Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah

omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Sitoprotektif Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen,yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA). Golongan prokinetik Obat yang termasuk golongan ini, yaitu cisaprid, domperidon, dan

metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dyspepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance). Psikoterapi dan psikofarmaka Obat anti-depresi dan cemas kadang kala pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.

7

Pencegahan : modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung. Berikut ini adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan mencegah timbulnya gangguan akibat dispepsia : 1. 2. Atur pola makan. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan

isi lambung (coklat, keju, dan lain-lain). 3. Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon,semangka, dan lain-lain). 4. 5. 6. Hindari makanan yang terlalu pedas. Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alcohol Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat anti-

inflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen. 7. 8. 9. Kelola stress psikologi se-efisien mungkin. Jika anda perokok, berhentilah merokok. Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan sebelum waktu tidur.

10. Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan terlalu banyak, terutama makanan berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makansesaat sebelum olahraga. 11. Pertahankan berat badan sehat. 12. Olahraga teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa hari seminggu) untuk mengurangi stress dan mengontrol berat badan, yang akan mengurangi dispepsia.13.Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatan 1.4.2 Penatalaksanaan Hipertiroid Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormone tiroid yang berlebihan (obat anti tiroid) atau merusak jaringan tiroid (yoodium radioaktif, tiroidektomi subtotal). Pembedahan dari kelenjer tiroid (tiroidektomi subtotal) jarang

diindikasikan namun dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kelenjer tiroid

8

yang sangat besar (>80 g), ophtalpati yang perah, atau yang kurangnya remisi dari terapi farmakologi. Jika tiroidektomi direncanakan, PTU atau metimazol biasanya diberikan sampai pasien eutiroid secara biokimia, (selama 10 hingga 14 hari sebelum pembedahan. Obat antitiroid yang utama adalah karbimazol dan methimazol (dosis awal 10-20 mg bid-tid) dititrasi hingga 50 mg qd) dan propeltiourasil (dosis awal 100299 mg q8h, dititrasi hingga 50 mg qd-bid). Fungsi tiroid harus diamati 3-4 minggu setelah terapi dimulai untuk memperoleh nilai T4 bebas yang normal. Efek samping yang umumnya muncul adalah ruam, urtikari, demam (1-5%). Efek samping yang jarang namun serius antara lain hepatitis, sindrom mirip SLE, dan agranolosiosis (1%). Sakit tenggorokan, demam, ulcer pada mulut adalah gejala yang mungkin muncul jika terjadi agranulositosis terjadi. Propiltiourasil dapat digunakan pada pasien yang sensitif terhadap karbimazol. Kedua obat ini bekerja dengan mempengaruhi sintesis hormon tiroid. Propanolol (20-40 mg q6h) atau beta bloker kerja panjang lainnya, atenolol (50 mg qd) dapat digunakan untuk mengontrol gejala adrenergic. Antikoagulan (warfarin) dapat dipertimbangkan pemberiannya pada pasien

dengan fibrilasi atrium. Radioiodine dapat digunakan sebagai terapi awal pada pasie yang tidak memberi respon yang baik terhadap terapi obat selama 1-2 tahun, dengan penghentian obat antitiroid 3-5 hari sebelum radioiodine diberikan. Radioiodine dikontraindikasikan pada kehamilan. 1.4.3 Penatalaksanaan Hipertensi Terapi nonfarmakologi Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; mengurangi konsumsi alcohol, dan rokok. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.

9

Terapi Farmakologi Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah resiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia. Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan: 1. Mempunyai efek aditif 2. Mempunyai efek sinergisme 3. Mempunyai sifat saling mengisi 4. Penurunan efek samping masing-masing obat 5. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu 6. Adanya fixed dose combination akan meningkatkan kepatuhan pasien (adherence) Petunjuk dari JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid bila memungkinkan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien, baik sendiri atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (ACEI, ARB, penyekat beta, CCB). Diuretik Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan.

Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat

10

menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton). Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang independen karena bukti mendukung indikasi khusus. Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi

seksual. Diuretik loop dapat menyebabkan efek samping yang sama, walau efek pada lemak serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadang-kadang dapat terjadi hipokalsemia. Guideline sekarang menyarankan dosis HCT atau klortalidone 12.5 25 mg/hari, dimana efek samping metabolik akan sangat berkurang. Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang

menerima ACEI, ARB, NSAID, atau supplemen kalium. Hiperkalemia sangat bermasalah terutama dengan eplerenone, antagonis aldosteron yang terbaru. selektif antagonis aldosteron, kemampuannya menyebabkan

Karena sangat

hiperkalemia melebihi diuretik penahan kalium lainnya, bahkan spironolakton. Eplerenone dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Kalau spironolakton menyebabkan

gynecomastia pada 10% pasien, dengan eplerenon gynecomastia jarang terjadi. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien dengan hipertensi. Studi ALLHAT menunjukkan kejadian gagal jantung dan stroke lebih sedikit dengan klortalidon dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke konsisten dengan hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project (CAPP). Pada studi dengan lansia, ACEI sama efektifnya dengan diuretik dan penyekat beta, dan pada studi yang lain ACEI malah lebih efektif. ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi

11

aldosteron. ACEI juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zatzat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACEI, tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek samping batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACEI. ACEI secara efektif mencegah dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi perangsangan langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE, dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI. Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya sama dengan pada penggunaan ACEI. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema; tetapi cross-reactivity telah dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan pada perempuan hamil. Penyekat Beta Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi penyekat beta. Tetapi, kardioselektifitas adalah fenomena yang tergantung dosis.

12

Beberapa penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsic (ISA). Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja secara agonis beta reseptor parsial. Tetapi penyekat beta ISA ini tidak menurunkan kejadian kardiovaskular dibanding dengan penyekat beta yang lain. Akhirnya, semua penyekat beta mempengaruhi aksi menstabilkan membrane (membrane-stabilising action) pada sel jantung bila dosis cukup besar digunakan. Antagonis kalsium (CCB) CCB mempunyai indikasi khusus untuk yang beresiko tinggi penyakit koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat tambahan atau pengganti. Data menunjukkan kalau dihidropiridine tidak memberikan perlindungan terhadap kejadian jantung (cardiac events) dibandingkan dengan terapi konvensional (diuretik dan penyekat beta) atau ACEI pada pasien tanpa komplikasi. Pada pasien dengan hipertensi dan diabetes, ACEI terlihat lebih kardioprotektif disbanding dihidropiridin. CCB dihidropiridin long-acting dapat digunakan sebagai terapi tambahan bila diuretik tiazid tidak dapat mengontrol tekanan darah, terutama pada pasien lansia dengan tekanan darah sistolik meningkat. Penyekat alfa-1 Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penyekat reseptor 1 selektif. Bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilasi dan menurunkan tekanan darah. Agonis 2 sentral Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor 2 adrenergic di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak dan meningkatkan tonus vagal. simpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas menurunkan denyut jantung, cardiac output, total

Penurunan aktivitas parasimpatetik, dapat

peripheral resistance, aktifitas plasma rennin, dan reflex baroreseptor. Klonidin

13

sering digunakan untuk hipertensi yang resistan, dan metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan. Kejadian hipotensi ortostatik dan pusing lebih tinggi dari pada dengan obat antihipertensi lainnya, jadi harus digunakan dengan hati-hati pada lansia. Klonidin mempunyai kejadian efek samping antikolinergik yang cukup banyak seperti sedasi, mulut kering, konstipasi, retensi urin, dan kabur penglihatan. Penghentian agonis hypertension. Reserpin Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan norepinefrin dari ujung saraf simpatetik dan memblok perjalanan norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin juga mengosongkan katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi, dan berkurangnya curah jantung. Reserpin digunakan sebagai terapi lini ke tiga pengobatan hipertensi. Vasodilator arteri langsung (direct arterial vasodilators) Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik, sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan rennin. Akibatnya terbentuk takifilaksis, efek hipotensi akan hilang dengan pemakaian seterusnya. Efek ini dapat diatasi dengan penggunaan penyekat beta bersamaan. 2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound

14

BAB II TINJAUAN KASUS

Seorang pasien, Ny. Y, umur 58 tahun, masuk ke interne dengan keluhan perut sakit menyesak ke ulu hati, mual dan kadang-kadang muntah, nafsu makan turun, badan lemah, demam, dan memiliki riwayat hipertensi. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Tingkat Kesadaran Tekanan Darah Nadi Suhu Pernafasan : Sedang : CMC : 140/90 mmHg : 80 kali per menit : 36.5C : 24 kali per menit

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tanggal 4 Maret 2012 Hemoglobin Leukosit Trombosit Hematokrit : 11,7 g/dL : 11.300 /mm : 304.000 /mcL : 39,5 vol% (N: 12-14 g/dL) (N: 5.000-10.000 mm) (N: 200.000-300.000 /mcL) (N: 42-52 vol%) (N: