Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Disusun untuk Memenuhi...
Transcript of Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Disusun untuk Memenuhi...
ASYHUR AL-HURUM MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’ÁN
(STUDI KOMPARATIF ANTARA MUTAWALLI AL-
SYA`RÂWI DAN SAYYID QUTHB DAN RELEVANSINYA
SAAT INI)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh :
Sayyida
NIM : 11140340000154
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’ÁN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018
ii
ASYHUR AL-HURUM MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’ÁN
(STUDI KOMPARATIF ANTARA MUTAWALLI AL-
SYA`RÂWI DAN SAYYID QUTHB DAN RELEVANSINYA
SAAT INI)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Sayyida
NIM. 11140340000154
Di bawah bimbingan
Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA
NIP. 19550725 200012 2 001
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
1440 H / 2018 M
"7
PENGESAHAN PAi'-]TL\ UJIAN
Skripsi yang berjudul "Asyflur Al-flurum Menurut Persfektif AI
Qur'an (Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Sya'rawi dan Sayyid Quthb
Tentang Relevansinya Saat lni)" telah cliujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ushuluddin UfN Syarif Hidayatullah Jakaiia pada 17 Oktober 2018.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir
Ciputat, 17 Oktober 2018
Sidang Munaqasyah
Ketua
Dr. Bustamin, S.E., M.M. NIP: 19630701 199803 1 003
Penguji I
Gr�� Moh. Anwar Syarifuddin, M.A. NIP: 19720518 199803 1 003
Sekretaris
/'
Dra. Banun inaninorum. M. Pd NIP: 19680618 199903 2 001
Penguji II
Svahrullah, M.A. NIP: 19780818 200901 1 016
Pembimbing I
iv
ABSTRAK
SAYYIDA
Asyhur Al-Hurum Menurut Persfektif Al-Qur’ân (Studi Komparatif Antara
Tafsir Al-Sya’râwi dan Sayyid Quthb dan Relevansinya Saat Ini)
Skripsi membahas pandangan al-Qur’an mengenai Asyhur Al-Hurum
menurut pandangan dua mufassir yaitu Mutawalli Al- Sya’râwi dan Sayyid
Quthb.
Penelitian ini bermaksud meneliti bagaimana pandangan al-Qur’ân
terhadap Asyhur Al-Hurum melalui penafsiran kedua ulama dengan mengambil
dua perbandingan kitab tafsir yaitu tafsir Mutawalli Al-Sya’râwi karya Mutawalli
Al-Sya’râwi, dan Tafsir Sayyid Quthb Penelitian ini bertujuan memberikan
penjelaskan bagaimanakah penafsiran kedua ulama terhadap Asyhur Al-Hurum
serta menjelaskan bagaimana relevansinya saat ini. Penelitian ini termasuk
dalam penelitian pustaka yang mengkaji penafsiran kedua ulama tentang Asyhur
Al-Hurum. Penelitian ini bersifat deskriptif- analisis, serta mengeksplorasi secara
mendalam terhadap panafsiran dua surat diantaranya QS. Al-Baqarah ayat 216
dan 217.
Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa dari dua kitab tafsir yang
penulis teliti yaitu tafsir Mutawalli Al-Sya’râwi karya Mutawalli Al-Sya’râwi,
dan Tafsir Sayyid Quthb penulis menemukan pandangan al Quran terhadap
Asyhur Al-Hurum berdasarkan penafsiran kedua ulama tersebut terhadap surah
Al- Baqarah Ayat 216 dan 217. Mereka semua menafsirkan bahwa larangan
perang di bulan hurûm dan larangan melakukan pembunuhan sangat relevan saat
ini . Hal tersebut berkaitan dengan keamanan proses perjalanan calon jemaah haji
dan saat-saat ketika melakukan ibadah haji.
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya milik Allah Swt. Salawat
dan salam semoga dilimpahkan kepada rasulullah, Nabi Muhammad Saw, semua
sahabat, keluarga serta umatnya. Syukur, Alhamdulillah, karena pertolongan-Nya,
akhirnya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Asyhur
Al-Hurum Menurut Perspektif Al-Qur’ân Kajian Komparatif Antara Tafsir
Mutawalli Al- Sya’râwi dan Sayyid Quthb dan Relevansinya Saat Ini .”
Skripsi ini, dengan ikhtiyar pertolongan banyak pihak dapat selesai dengan
baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir (Kajur IAT) yang membantu mempermudah proses administrasi dan
memotivasi agar penulis segera menyelesaikan tugas akhir.
4. Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir (Sekjur IAT) yang telah membantu pula mempermudah dalam
proses administrasi.
5. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA, Dosen Pembimbing yang ramah dan
sabar, tidak bosan-bosan serta meluangkan banyak waktunya dalam
vi
membimbing penulis selama proses penyelesaian skripsi ini, mulai dari
kesesuaian konten hingga sitematika dan cara penulisan.
6. Seluruh dosen pada Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir atas segala
motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang
diberikan kepada penulis selama menempuh studi. Semoga itu menjadi
bekal dalam kehidupan penulis dan amal jariyah baginya semua. Tidak
lupa, seluruh staff Fakultas Ushuluddin, khususnya Om Najib dan Kak
Hani yang membantu proses administrasi di ruang Kajur dan Sekjur.
7. Kedua orang tua penulis, yang tidak bisa penulis sebut satu-persatu mulai
dari om, sepupu dan lainnya yang sudah mendukung semua aktifitas dan
mendoakan penulis hingga penulis sampai pada keadaan sekarang ini.
8. Teman-teman kampus angkatan 2014, UKM BAHASA- FLAT, UKM
HIQMA, IRMAFA, Pondok Darus Sa’adah. Mohon maaf tidak saya
sebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat. Semoga niat dan
perlakuan baik mereka semua mendapat balasan lebih baik oleh Allah.
Kepada Allah lah penulis berharap ridha dan bersyukur, dan kepada-Nya
memohon ampun. Semoga tulisan ini sesuai dengan Tujuan dan Manfaat
Penelitian. Amin.
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja
oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,
khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol
dalam penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi
di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri
hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
disusun dengan logika yang sama.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H H dengan garis bawah ح
viii
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
(S Es dengan garis di bawah ص
(D De dengan garis di bawah ض
(T Te dengan garis di bawah ط
Z Zet dengan garis di bawah ظ
‘ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ي
ix
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ـ
I Kasrah ـ
U Dammah ـ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يـ Ia a dan i
وـ Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), ynag dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dan garis di atas ـا
Î i dan garis di atas ـي
Û u dan garis di atas ـو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
x
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydīd (ـ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah,
demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû
Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
xi
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian
seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
Dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد
Tsabata al-ajru ثبت األجر
Al-harakah al-‘asriyyah احلركة العصرية
Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشهد أن ال إله إال هللا
Maulânâ Malik al-Sâlih موالان ملك الصاحل
yu`atstsirukum Allâh يؤثركم هللا
Al-maẕâhir al-‘aqliyyah املظاهر العقلية
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Rahmân.
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................... . i
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................. vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................... 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................ 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................... 7
E. Kerangka Teori .............................................................. 7
F. Metode Penelitian.......................................................... 9
G. Kajian Pustaka ............................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ................................................... 11
BAB II BIOGRAFI DAN KARYA MUFASSIR .......................... 13
A. Profil Mutawalli asy-Sya’rawi ........ ............................. 13
1. Nama dan Nasab al-Sya`râwî ........ ......................... 13
2. Riwayat Pendidikan ................................................. 14
xiii
3. Penghargaan yang Diterima al-Sya`râwî .................. 15
4. Karya-karyanya ........................................................ 15
5. Pandangan Ulama terhadap al-Sya`râwî .................. 18
6. Profil Kitab Tafsir al-Sya`râwî ................................. 18
a. Sejarah Tafsiral-Sya’râwi .................................... 18
b. Sumber Penafsiran dalam Tafsir al-Sya`râwî ......... 20
c. Metode Tafsir al-Sya`râwî .................................... 24
d. Apresiasi terhadap Kitab Tafsir al-Sya`râwî ....... 25
B. Profil Sayyid Quthb......... ............................................ 26
1. Profil Mufassir ........................................................ 26
a. Nama dan Nasabnya ........................................... 26
b. Riwayat Pendidikan ............................................ 27
c. Karir Sayyid Qutb ............................................... 28
2. Profil Kitab Tafsir Sayyid Quthb ............................ 29
a. Pemikiran terhadap Al Quran dan Penafsiran ..... 29
b. Sumber Penafsiran .............................................. 33
c. Karya-karya Sayyid Qutb ................................... 37
d. Komentar Ulama ................................................. 40
e. Penghargaan yang Diterima ................................ 41
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG BULAN DAN TAHUN DALAM
AL-QUR’AN ........................................................................... 42
A. Bulan dan Tahun dalam Kalender Arab ....................... 42
B. Nama-nama Bulan dalam Kalender Arab .................... 45
xiv
C. Pengertian Kalender Hijriah ......................................... 46
D. Dasar Hukum Kalender Hijriah .................................... 50
1. Dasar Hukum dari al-Qur’an ................................... 50
2. Dasar Hukum dari Hadits ........................................ 54
E. Fungsi Hilal ................................................................. 56
F. Latar Belakang Penanggalan Hijriah ........................... 58
G. Penetapan Awal Tahun Hijriah .................................... 60
H. Dasar Hukum dari al-Hadis .......................................... 61
I. Penentuan Bulan ........................................................... 64
BAB IV BULAN-BULAN HURUM DALAM ISLAM (ASHUR AL-
HURUM) ............................................................................. 71
A. Definisi Bulan Hurum .................................................. 71
1. Asyhur al-Hurum Masa pra Islam ......................... 71
2. Asyhur al-Hurum dalam Pandangan Islam ............. 73
3. Keutamaan Bulan Hurum dalam Islam ................... 75
B. Penafsiran Sya’râwi dan Quthb terhadap Perintah
Perang………………………………………................ 78
1. Pandangan Sya’râwi tentang Perang pada Bulan-Bulan
Hurum .................................................................... 81
2. Penafsiran Sayyid Qutb tentang Perang pada Bulan
Hurum........................................................................ 83
C. Relevansi Larangan Perang dalam Asyhur al-Hurum ...... 86
1. Relevansi Larangan Perang pada Asyhur al-Hurum Saat Ini
………………………………………………………. 88
xv
BAB V PENUTUP .......................................................................... 91
A. Kesimpulan ................................................................... 91
B. Saran ............................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 93
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
melalui malaikat Jibril sebagai mukjizat kenabiannya. Ia menjadi sumber pertama
hukum Islam oleh sebab itu membacanya adalah ibadah.1 Al-Qur’ân sebagai
kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran moral universal bagi umat
manusia sepanjang masa.2 Ajaran moral itu disebut agama yang menjadi landasan
hidup manusia di dunia.
Mahmûd Syaltût sebagaimana dinukil oleh M. Quraish Shihab
menyatakan bahwa agama (Islam) adalah ketetapan-ketetapan Ilahi yang
diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.3 Pedoman
ini sangat dibutuhkan seorang anak manusia dalam menjalankan perannya dalam
hidup di dunia yaitu sebagai khalifatullah (QS al-Baqarah [2]: 30) yang bertugas
membangun kehidupan di alam semesta ini bersama manusia lainnya. Setiap
orang dituntut untuk melakukan tugasnya dengan penuh dedikasi, pengabdian
serta menyempurnakannya; dan setiap orang harus dapat bekerja sesuai dengan
kemampuannya.
Dengan demikian Allah yang menetapkan pedoman tersebut yaitu agama
Islam. sebagai agama, Islam memiliki peraturan-peraturan hidup, baik secara
1 Manna’ KhalÎl al-Qattàn, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Penterjemah Mudzakir AS, (Jakarta:
PT. Pustaka Litera Antar Nusa 2004), h. 17 2Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Printing
Cemerlang, 2010), h. V 3 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran ( Ciputat: Lentera Hati, 2015), h. 324
2
umum maupun secara terperinci, khususnya pada hal-hal yang tak terjangkau akal
dan penalaran manusia.
Dengan menelaah makna Islâm, dapat diketahui bahwa ia adalah agama
yang mendambakan perdamaian. Kedamaian yang didambakan bukan hanya
untuk diri sendiri, tetapi juga untuk pihak lain. Hal ini terbukti dengan adanya
ucapan yang dianjurkan untuk disampaikan pada setiap pertemuan dengan
manusia lainnya yaitu, “Assalamu’alaikum ” (Damai untuk Anda), dengan
demikian perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam.
M. Quraish Shihab mengatakan bahwa perdamaian dan kerukunan yang
dikembangkan Islam, bukanlah yang bersifat semu, tetapi memberi rasa aman
pada jiwa setiap insan. Karena itu, langkah pertama yang dilakukannya adalah
mewujudkannya dalam jiwa setiap pribadi. Setelah itu ia melangkah kepada unit
terkecil dalam masyarakat yakni keluarga. Dan dari sini ia beralih kemasyarakat
luas, seterusnya kepada seluruh bangsa dipermukaan bumi ini, dengan demikian
dapat tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud hubungan harmonis serta
toleransi dengan semua pihak.4
Meskipun Islam datang membawa nilai-nilai kedamaian dan
menganjurkan manusia agar menghiasi diri dengannya, serta memerintahkan
manusia agar memperjuangkannya. Tapi hal itu tak dapat terlaksana dengan
sendirinya, kecuali melalui perjuangan berat yaitu jihad bahkan melalui
peperangan.
M. Quraish Shihab mengatakan bahwa jihad merupakan aktivitas yang
4 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999 ), h. 382
3
unik, menyeluruh, dan tidak dapat dipersamakan dengan aktivitas lain sekalipun
aktivitas keagamaan. Tidak ada satu amalan keagamaan yang tidak disertai
dengan jihad. Paling tidak, jihad diperlukan untuk menghambat rayuan nafsu yang
selalu mengajak pada kedurhakaan dan pengabaian tuntunan agama. 5
Allah Swt. mewajibkan perang dan jihad, karena sebagaimana dalam
firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 251,
ذو ولول دفع الله النهاس ب عضهم بب عض لفسدت ا فضل على العالمني لرض ولكنه الله "Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia
dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai
karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Peperangan meskipun diwajibkan dalam Islam namun pada hakikatnya
tidak dikehendaki oleh manusia. Hal ini dijelaskan dalam Firman Allah QS.Al-
Baqarah [2] : 216
ئا وهو خي لكم وعسى أن تبوا ئا كتب عليكم القتال وهو كره لكم وعسى أن تكرهوا شي شي ي علم وأن تم ل ت علمون وهو شر لكم والله
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang
kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Meskipun perang diwajibkan ketika musuh menyerang namun Allah Swt
telah menetapkan empat bulan tertentu sebagai bulan-bulan agung. Bulan-bulan
yang diharamkan berperang. Bulan tidak boleh diubah oleh siapapun serta tidak
boleh juga mengganti tanggal dan bulannya atau mengundurkan dan memajukan
dari waktu yang telah ditetapkan-Nya. Allah berfirman dalam QS. At-Taubah [9]
5 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung :Mizan, 1999 ), h. 503
4
: 36
ة الشهور عند الله اث نا عشر شهرا ف كتاب الله ي وم خلق السهماوات والرض من ها إنه عده
ين القي م فل تظلموا فيهنه أن فسكم وقاتلوا المشركني كافهة كما ي قاتلونكم أرب عة حرم ذلك الد
مع المتهقني كافهة واعلموا أنه الله“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya
empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum
musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya,
dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. “
Tafsiran Al-Qurtubi6 terhadap ayat diatas mengatakan bahwa Allah
menyebutkan empat bulan haram secara khusus, lalu melarang pada bulan-bulan
ini untuk berbuat kezaliman, sebagai bentuk penghormatan baginya.7 Berperang
di bulan-bulan Haram memang tidak boleh, haram hukumnya, kecuali kalau
musuh menyerang.8
Dari sinilah kaum musyrikîn dikecam karena mengubah-ubah peraturan-
Nya. Sebagaimana terbaca dalam surat at-Taubah ayat 37.
6 Nama lengkap Al-Qurtubi adalah Abu ‘Abd Allah ibn Ahmad ibn Abi Bakr ibn Farh Al-
Anshori Al-Khuzroji Al-Andalusi Al-Qurthubi. Beliau dilahirkan di Andalusia. Pada
muqodimahnya tidak disebutkan tahun kelahirannya, tetapi terdapat informasi mengenai kematian
beliau malam Senin tanggal 7 Syawwal 671 H di kota Maniyyah ibn khasib. Beliau seorang yang
bermadzhab maliki. Abu ‘abdillah muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr Ibn Farh al-Ansari al-
Khazroji al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, I, pada Muqaddimah
Tarjamatu Shohibu al-Kitab. (Lebanon: Dar al-Kotob Al—Ilmiyyah, 1971). Hasan
Salman, Tarjamatu al-Imam al-Qurtubi, (Damsyq : Dar al-Qalm 1413), dalam Muhammad Tolhah
Bilal, Muqoddimah Tafsir al-Imam al-Qurtubi,(Libanon: Dar Ibn Hizm) h. 5. dalam Muhammad
Tolhah Bilal, Muqoddimah Tafsir al-Imam al-Qurtubi,(Libanon: Dar Ibn Hizm) h. 10. Hasan
Salman, Tarjamatu al-Imam al-Qurtubi, (Damsyq : Dar al-Qalm 1413), dalam Muhammad Tolhah
Bilal, Muqoddimah Tafsir al-Imam al-Qurtubi,(Libanon: Dar Ibn Hizm) h. 5. 7 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, penerjemah Ahmad Khotib,
(Jakarta:Pustaka Azzam, 2008). h. 315 8 Lihat Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan
Tafsirnya, 1983/1984, h. 383
5
ا النهسيء زيدة ف الكفر يضل به الهذين كفروا يلونه عاما وير مونه عاما لي و ة ما إنه اطئوا عده
ل ي هدي الق زي ن لم سوء أعمالم والله ف يحلوا ما حرهم الله وم الكافرين حرهم الله
"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah
kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu,
mereka menghalalkan pada suatu tahun dan mengharamkan pada tahun yang
lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan oleh
Allah. Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Setan)
menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu dan
Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang kafir. “9
Allah Swt mencela tindak tanduk orang-orang kafir yang mengubah-ubah
syariat Allah, merusak hukum-hukum Allah dan menghalalkan apa yang
diharamkan Allah serta sebaliknya. Di antara sikap dan kelakuan yang tercela itu
ialah mereka tidak segan-segan mengubah ketentuan bulan-bulan haram. Hal ini
untuk menyesuaikannya dengan kepentingan strategi mereka. Keadaan tersebut
menyebabkan bulan Muharram dijadikannya bulan halal dan Shafar sebagai
gantinya dijadikannya bulan haram. 10
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis akan membahas lebih lanjut tentang
apa motivasi adanya bulan-bulan yang dimuliakan Allah dan apa hikmah pengharaman
perang pada bulan- bulan hurum tersebut dalam dua tafsīr dengan judul "Asyhur Al-
Hurum Menurut Persfektif Al-Qur’an (Studi Komparatif Antara Tafsir
Mutawâli Al-Sya’rawi dan Tafsir Sayyid Quthb dan Relevansinya saat ini)”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
9Kementrian Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan
Agama Islam Dan Pembinaan Syariah, al-Qur’n Dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 815 10Muhammad Nasib Ar- Rifai’I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibn Katsir,
Penerjemah, Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999). h. 35
6
1. Identifikasi Masalah
Dari judul yang dibahas oleh penulis, dapat ditemukan beberapa masalah yang
patut untuk dibahas, diantaranya adalah
a. Bagaimana sistem penanggalan pra Islam dan masa Islam.
b. Bulan-bulan apa saja yang disebut dengan bulan-bulan Hurum
c. Bagaimana sejarah Asyhur Al-Hurum
d. Bagaimana orang-orang Arab jahiliah menyikapi bulan-bulan Hurum .
e. Motivasi diharamkannya perang pada bulan-bulan Hurum
f. Apakah yang dimaksud dengan jihad dan perang dalam Islam
g. Apakah hikmah dari larangan perang pada bulan-bulan Hurum
2. Pembatasan dan Perumusan masalah
Mengingat luasnya masalah yang terkait dengan Asyhur Al-Hurum dan
mengingat keterbatasan penulis sebagai peneliti pemula disamping singkatnya
waktu yang tersedia untuk menyelesaikan penulisan maka penulis membatasi
penelitian ini hanya pada bagaimana pendapat kedua mufassir terhadap Asyhur
Al-Hurum dan relevansinya saat ini. Dengan demikian rumusan masalah dari
skripsi ini adalah:" Bagaimana pendapat Al-Sya’rawi dan Sayyid Quthb
terhadap Asyhur Al-Hurum dan relevansinya saat ini.”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui apa motivasi Asyhûr Al-Hurûm dijadikan sebagai bulan bulan-
bulan damai karena diharamkannya perang pada bulan-bulan tersebut..
7
2. Mengetahui, bagaimana orang-orang kafir dan orang-orang mukmin menyikapi
larangan perang pada Asyhûr Al-Hurûm
3. Mengetahui hikmah dilarangnya perang pada bulan-bulan Hurûm.
Adapun manfaatnya yaitu :
Manfaat secara akademik atau teoritis dari penelitian ini adalah mengetahui
penafsiran Mutawali al-Sya`râwî dan Sayyid Quthb dalam menafsirkan ayat-ayat
terkait larangan perang pda bulan Asyhûr Al-Hurûm baik dari sisi motivasi
pelarangan maupun hikmah dibalik pelarangan perang tersebut.
D. Kerangka Teori
Menurut Hamzah dalam Tafsir Mufradat bulan haram disbut sebagai al-
Syahûr al-Haram yaitu bulan yang di dalamnya haram melakukan peperangan.
Dalam konteks ini adalah bulan Rajab. Bulan-bulan haram ( Asyhur al-Hurum)
dalam Islam adalah Rajab, Żûl Qa’dah, Żûl Ңijjah dan Muharram.11
Di antara keutamaan yang telah Allah turunkan pada bulan-bulan haram
ini, dilipatgandakannya ganjaran dan balasan bagi seorang yang mengerjakan
amalan shalih, sehingga seorang hamba akan bersemangat untuk terus berada di
tengah-tengah amalan kebaikan. Begitu pula, ketika perbuatan dosa dan
kemaksiatan menjadi lebih besar dihadapan Allah, maka akan mengantarkan
dirinya kepada kekhawatiran dan ketakutan dari melakukan hal tersebut, karena
akan adanya siksaan dari Allah SWT kelak di hari akhir, yang akan menjadikan
dia selalu berusaha untuk menjauh dari perbuatan-perbuatan keji tersebut. Oleh
karena itu, keutamaan ini akan menjadikan dirinya untuk selalu berusaha meraih
11Hamzah, Tafsīr Maudhu’i al-Muntaha, Jilid I (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), h.
240
8
keutamaan yang banyak dengan menjalankan ketaatan-ketaatan pada Allah dan
menghindari seluruh keburukan dengan menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa
dan kemaksiatan serta melatih dirinya agar menjadi pribadi muslim yang selalu
memegang teguh konsekuensi keimanan dia kepada Allah dan Rasul-Nya.Yang
mana perkara ini akan mengantarkan dirinya kepada puncak kemuliaan, yaitu
tatkala ia diselamatkan oleh Allah SWT dari siksaan api Neraka dan dimasukkan
ke dalam surga-Nya.
Salah satu keutamaan amal shalih dalam bulan haram yaitu berpuasa.
Adapun bulan haram yang paling utama untuk menjalankan puasa adalah bulan
Muharram. Hadīś sahih menyebutkan, “Seutama-utama puasa setelah Ramadān
adalah puasa di bulan Muharram.” Dan seutama-utama shalat setelah shalat
fardlu adalah shalat malam.21
Penafsiran Mutawali dan Sayyid Quthb terhadap ayat-ayat al-Qur’an
dilakukannya melalui berbagai pendekatan. Akan tetapi dari berbagai
pendekatan tersebut maka yang paling menonjol adalah pendekatan sejarah
yang kemudian dipadukannya dengan sosiokultural.12 Oleh karena itu, ketika
kedua tafsir tersebut menceritakan peristiwa sejarah maka kadang-kadang
dikaitkannya pula dengan kondisi yang sedang dihadapi oleh masyarakat
berkaitan dengan hal tersebut maka penulisan ini menggunakan Tafsîr al-
Mutawâli al-Sya`râwî dan Tafsîr Sayyid Quthb dalam membahas bulan-bulan
haram dan keutamaannya.
12 Sosiokulturan menurut KBBI memiliki 1 arti. Sosiokultural memiliki arti dalam
kelas adjektiva atau kata sifat sehingga sosiokultural dapat mengubah kata benda atau kata ganti,
biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik.
9
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan
(library research) dan bukan penelitian lapangan (field research). Penelitian
kepustakaan adalah bentuk penelitian yang dilakukan dengan penelusuran
buku-buku (pustaka) yang berkaitan dengan obyek yang diteliti. Jenis
penelitiannya menggunakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis
statistik atau cara kuantifikasi lainnya.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tematik
dan metode muqâran (perbandingan). Metode muqāran adalah metode tafsir
yang menggunakan cara perbandingan (Komparasi). Yaitu mengemukakan
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah para penafsir. Dan
juga membandingkan ayat satu dengan yang lain, dan ayat al-Qur’an dengan
hadis Nabi yang secara lahiriah tampak berbeda.13 Metode tematik untuk
mengumpulkan ayat-ayat yang terkait dengan judul. Sedangkan metodologi
muqâran ini dipilih untuk melihat penafsiran Sayyid Qutub dan penafsiran al-
Sya`râwî terhadap Asyhur al-Hurum dan relevansi saat ini.
13Ibnu Katsir, Tafsīr Ibnu Katsir, Jilid IV, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1998). hlm.50.
10
Menurut Kirk dan Miller penelitian kualitatif didefinisikan sebagai
suatu tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun
dalam peristilahannya.14
2. Sumber Data
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an, hadis,
kitab tafsir Mutawalli al-Sya`râwî dan kitab tafsir Sayyid Qutub tentang Asyhur
al-Hurum diantaranya adalah kitab Tafsir Fî Zhilalil Qur’an yang
menggunakan kata kunci Asyhur dan Hurum dan derivasinya serta
perbandingan antara kedua penafsir.
Sumber data sekunder adalah bahan rujukan kepustakaan yang mendukung
permasalahan yang dibahas, baik berupa buku, artikel, skripsi, jurnal, disertasi,
maupun lainnya yang dapat dijadikan sebagai data untuk memperkuat
argumentasi dalam penyusunan skripsi ini.
3. Analisis Data
Jenis pendekatan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian pustaka
yang bersifat kualitatif, metode ini akan diterapkan sebagai eksplorasi terhadap
setiap jenis data. Sedangkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan model analisis data induktif. Data-data yang diperoleh akan
dianalisa sehingga menghasilkan kesimpulan yang lebih komprehensif.15
14 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), h. 4
15 Abdul Hakim Wahid, Autentisitas Hadis Nabi Studi Riwayat Nafi Dalam Kitab al-
Sahihayn (Jakarta, 2017), h. 17.
11
4. Langkah-langkah Penelitian
Langkah dalam menyelesaikan penelitian ini yaitu dengan menganalisa
data agar menyentuh kepada inti permasalahan. Dalam menganalisa data ini,
penulis mengumpulkan dan membandingkan antara tafsir Mutawalli al-
Sya`râwî dan penafsiran Sayyid Qutub dari tafsir yang berkaitan dengan tema.
Kemudian menentukan kesimpulan dengan cara analogi yang mengacu kepada
komparatif antara tafsir Mutawalli al-Sya`râwî dan penafsiran Sayyid Qutub
tentang Asyhur al-Hurum.
F. Tinjauan Pustaka
Kajian pustaka dalam penelitian ini adalah telaah terhadap karya-karya
tulis baik berupa skripsi, majalah, maupun buku. Setelah ditelaah, penulis mencari
perbedaan-perbedaan dari karya-karya tersebut dengan penelitian ini. Berdasarkan
pencarian yang penulis lakukan ada beberapa karya tulisan yang berkaitan dengan
tema yang penulis teliti. Di antara karya-karya tersebut adalah:
Pertama, Pemahaman Asyhûr Al-Hurûm menurut Perspektif Hadis (Studi
Kualitas Sanad dan Matan Hadis) karya Achmad Alvienoer. Pembahasan tentang
Kualitas Sanad dan Matan Hadis beserta metodologi kritik sanad dan matan.16
Sedangkan penulis memfokuskan diri pada penelitian seputar ayat-ayat Al-Quran
melalui penafsiran Sayyid Quthub dan penafsiran Sya’rawi.
Kedua, penulis dalam skripsi Samsul Abidin (UIN Jogjakarta) yang
berjudul Arba’atun Hurûm Dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang kesucian
16Achmad Alvinoer,Pemahaman Asyhûr Al-Hurûm menurut Perspektif Hadis (Studi
Kualitas Sanad dan Matan Hadis), (Jakarta: UIN, 2014), h.11
12
arba’atun hurum. Hasil penelitiannya yaitu Arba'atun Hurûm adalah empat
bulan yang dimuliakan yaitu, bulan Żûl Qa’dah, bulan Żûl Ңijjah, bulan
Muharram dan bulan Rajab. Dari hasil penelitian, peneliti menemukan apa yang
melatarbelakangi sehingga keempat bulan tersebut memiliki status dimuliakan.
Semisal bulan Żûl Qa’dah merupakan salah satu bulan Haji, bulan Żûl Ңijjah
seluruh manasik haji dilakukan pada bulan ini, bulan Muharram disunahkannya
puasa Asyura, bulan Rajab terdapat peristiwa yang bersejarah yaitu peristiwa
Isra' dan Mi'rajnya Nabi Muhammad saw. 17 sedangkan penulis akan
memfokuskan penelitian ini pada hikmah dibalik pelarangan perang pada bulan-
bulan Hurum dan relevansinya saat ini.
Ketiga penulis pada skripsi Suparmi (IAIN Walisongo Semarang) yang
berjudul Rahasia Dibalik Empat Bulan Yang Dimuliakan Allah dalam Tafsîr al-
Qur’an. Hasil penelitiannya yaitu Allah Swt telah memberikan keutamaan pada
empat bulan haram yang mana keutamaan-keutamaan ini tidak diberikan pada
bulan-bulan yang lain. Walaupun pada dasarnya bahwa semua bulan adalah baik
dan ada keutamaan-keutamaan tersendiri, namun empat bulan haram adalah
bulan dimana Allah sangat mengutamakan, sehingga siapa yang dapat
menggunakan waktunya dengan baik pada bulan haram niscaya Allah akan
memberikan tempat yang baik disisinya hal ini dikarenakan Allah telah
memerintahkan pada kita untuk menjalankan ibadah. Ibadah adalah prinsip
pertama yang diturunkan Allah di dalam kitab-kitab-Nya, mengutus para Rasul-
Nya untuk menyeru umat manusia supaya beribadah, mengingatkan mereka pada
17Samsul Abidin, Arba’atun Hurum Dalam al-Qur’an, (Jogjakarta: UIN, 2001), hlm. 10.
13
ibadah saat mereka lupa atau mereka tersesat, ibadah mencapai segala bentuk
kegiatan (perbuatan dan perkataan) yang dilakukan oleh setiap muslim dengan
tujuan untuk mencari keridhaan Allah.18
Keempat penulis dalam jurnal Satibi Darwis (Sekretaris Dewan
Pengawas Syariah) yang berjudul Bulan-bulan Haram. Hasil karya ilmiah atau
jurnal ini berisikan dengan bulan apa saja yang dikategorikan bulan haram dan
keutamaan bulan haram dari bulan-bulan lainnya. Bulan Dzul Qa’dah termasuk
bulan haram, karena pada bulan itu, orang-orang mulai melakukan perjalanan
menuju Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. bulan Dzul Hijjah, termasuk
bulan haram, karena pada bulan tersebut merupakan bulan dilaksanakannya
ibadah haji. Bulan Muharram, juga termasuk bulan haram, karena pada bulan
tersebut waktu pulangnya para jamaah haji, dan bulan Rajab termasuk bulan
haram, karena bulan rajab berada di tengah-tengah bulan, dan merupakan waktu
yang sangat tepat untuk melakukan ibadah umrah, khususnya untuk orang-orang
yang tinggal disekitar Mekah. Sedangkan penulis akan memfokuskan penelitian
ini pada hikmah dibalik pelarangan perang pada bulan-bulan Hurum dan
relevansinya saat ini.
Kelima, penulis dalam jurnal Abdul Mu'thi bin Mughni Karim
(Islamhouse.com Divisi Indonesia) yang berjudul Keutamaan Bulan-bulan
Haram Dalam Islam. Hasil karya ilmiah jurnal ini menjelaskan tentang
keutamaan bulan haram dan keutamaan puasa 'Asyura serta hikmah-hikmah dan
kemuliaan yang ada di dalam bulan haram. Sedangkan penulis memfokuskan diri
18Suparmi, Rahasia Dibalik Empat Bulan Yang Dimuliakan Allah dalam Tafsīr al-Qur’an,
Skripsi, (IAIN Walisongo: Semarang, 2007).
14
pada penelitian seputar ayat-ayat Al-Quran melalui perbandingan penafsiran
Sayyid Quthub dan penafsiran Asy-Sya’rawi.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan penulis sajikan menjadi lima bab. Setiap bab memiliki
beberapa sub bab.
Bab pertama, sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu berisi pendahuluan
yang membahas tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas tentang biografi al-Sya`râwî dan Sayyid Quthb,
beserta karya-karyanya.
Bab tiga, tinjauan umum tentang bulan dan perhitungan tahun dalam al-
Qur’an.
Bab empat, menjelaskan Analisa perbandingan antara tafsir Mutawali dan
Sayyid Quthb.
Bab kelima, adalah penutup dan kesimpulan. Bab ini menjawab rumusan
masalah penelitian ini dan memberikan rekomendasi serta saran untuk penelitian
lebih lanjut.
15
BAB II
BIOGRAFI DAN KARYA MUFASSIR
MENGENAL MUHAMMAD MUTAWALLI AL-SYA`RÂWI DAN
KITAB TAFSÎR AL-SYA`RÂWI
A. Mengenal Profil Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi
1. Nama dan Nasab al-Sya`râwî
Nama lengkap al-Sya`râwî adalah Muhammad Mutawalli al-
Sya`râwî. Beliau adalah seorang tokoh kenamaan yang lahir di tanah Mesir
yang menjadi daerah tempat tinggalnya para ulama pembaharu Islam
(mujaddid). Al-Sya`râwî yang dikenal sebagai seorang ahli tafsir kontemporer
yang telah melahirkan karya tafsir.19
Muhammad Mutawalli al-Sya`râwî dilahirkan pada hari Ahad tanggal
17 Rabi` al-Akhir 1329 H bertepatan dengan tanggal 16 April 1911 M di
Daqadus, salah satu kota kecil yang terletak tidak jauh dari kota Mayyit
Ghamr, ibukota provinsi al-Daqhaliyyat,20 Mesir. Daerah tersebut terletak di
tengah delta sungai Nil.21 Beliau wafat pada tanggal 22 Safar 1419 H
bertepatan dengan 17 Juni 1998 M dan dimakamkan di daerah Daqadus.
Ayahnya memberi gelar “Amin” dan gelar ini dikenal masyarakat di
19Muhammad Yasin Jazar, Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi; `Âlim `Ashruhu fî`Uyûn `Ashrihi, (Kairo: Maktabah al-Turâts al-Islâmiy, 1409 H), h. 15
20Ahmad al-Masri Husain Jauhar (selanjutnya ditulis Husain Jauhar), al-Syaikh
Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi (selanjutnya ditulis al-Sya`râwi), (Kairo: Nahdat Mishr,
1990), h. 11 21Muhammad Fawzi, al-Syaikh al-Sha‟rawi min al-Qaryah ila al-Qimmah, (Kairo: Dâr
al-
Nashr, 1992) h. 5
16
daerahnya.22 gelar ‟Amin‟ yang diberikan kepada al-Sya`râwî berkaitan
dengan sifat jujur dan amanah.
Berkaitan dengan nasab (keturunan) al-Sya`râwî, dalam sebuah kitab
berjudul Anâ min Sulâlat Ahl al-Bait, al-Sya`râwî menyebutkan bahwa beliau
merupakan keturunan dari cucu Nabi Saw yaitu Hasan dan Husain.23 Ia
dibesarkan di lingkungan keluarga terhormat yang punya pertalian dengan
para ulama serta para wali.24 Ayahnya adalah seorang petani sederhana yang
mengolah tanah milik orang lain. Walaupun demikian, ayah al-Sya`râwî
mempunyai kecintaan terhadap ilmu dan sering mendatangi majelis-mejelis
untuk mendengarkan taushiyah- taushiyah para ulama.25 Ia mempunyai hasrat
dan keinginan yang besar untuk mengarahkan anaknya menjadi seorang
ilmuwan. Untuk merealisasikan cita-citanya ini, ia selalu memantau al-
Sya`râwî kecil ketika sedang belajar. Ia ingin kelak al-Sya`râwî masuk ke
Universitas al- Azhar.Al Sya`râwî sendiri mengakui besarnya peranan sang
ayah.7
2. Riwayat Pendidikan
Al-Sya’râwi terdaftar di Fakultas Bahasa Arab tahun 1937 M, dan
beliau sibuk dengan gerakan nasional dan gerakan al-Azhar. Pada tahun 1919
M revolusi pecah di al-Azhar, kemudian al-Azhar mengeluarkan
22Husain Jauhar, Ma`a Dâ`iyah al-Islâm Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi Imâm
al-`Asr (selanjutnya ditulis: Imam al-`Asr), (Kairo: Maktabah Nahdah, t. th.), h. 14 23Sa`îd Abû al-`Ainain, al-Sya`râwi Anâ min Sulâlat Ahl al-Bait, (Kairo: Akhbâr al-
Yaum, 1995), h.6 24Husain Jauhar, Ma`a Dâ`iyah al-Islâm Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi Imâm
al-`Asr (selanjutnya ditulis: Imam al-`Asr), (Kairo: Maktabah Nahdah, t. th.), h. 14 25Sa`îd Abû al-`Ainain, al-Sya`râwi alladzî lâ na`rifuhu, (Mesir: Dâr Akhbâr al-Yaum,
1995), h. 16
17
pengumuman yang mencerminkan kejengkelan orang Mesir melawan
penjajah Inggris.26
Al-Sya`râwî ini merupakan salah seorang ulama yang sangat peka
dan jeli terhadap hal-hal yang bersifat ilmiah pada masanya. Ia selalu
menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ilmu-ilmu pengetahuan dan
sains modern. Oleh karena itu, ia mengarang sebuah kitab yang secara khusus
membahas masalah ini dengan judul Mu`jizat al- Qur’ân al-Karîm sebanyak
3 jilid.27
3. Penghargaan yang Diterima al-Sya`râwî
Al-Sya’râwi diberikan tanda penghargaan pertama pada usia
pensiunnya pada tanggal 15 Maret 1976 M sebelum ditugaskan menjadi
Menteri Wakaf dan Urusan al-Azhar. Ia mendapatkan penghargaan nasional
tingkat pertama pada tahun 1983 M dan tahun 1988 M, dan pada hari Da'i
Nasional beliau mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa pada bidang sastra
dari Universitas Manshurah dan Universitas al-Azhar Daqhalia.28
4. Karya-karyanya
Al-Sya’râwi mempunyai sejumlah karya tulisan, beberapa orang
yang mencintainya mengumpulkan dan menyusunnya untuk disebarluaskan,
26Sa`îd Abû al-`Ainain, al-Sya`râwi alladzî lâ na`rifuhu, (Mesir: Dâr Akhbâr al-Yaum,
1995), h. 16 27Sa`îd Abû al-`Ainain, al-Sya`râwi alladzî lâ na`rifuhu, (Mesir: Dâr Akhbâr al-Yaum,
1995), h. 16 28Sa`îd Abû al-`Ainain, al-Sya`râwi alladzî lâ na`rifuhu, (Mesir: Dâr Akhbâr al-Yaum,
1995), h. 16
18
sedangkan hasil karya yang paling populer dan yang paling fenomenal adalah
Tafsir Al-Sya’râwi. Selain itu karya-karya beliau antara lain:
1. Al-Mukhtâr min Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm, 3jilid
2. Mu`jizat al-Qur‟ânal-Karîm
3. Al-Qur‟ân al-Karîm Mu`jizah waManhaj
4. Al-Isrâ‟ waal-Mi`râj
5. Al-Qashsash al-Qur‟âniy fî Sûratal-Kahf
6. Al-Mar'ah fî al-Qur‟ânal-Karîm
7. Al-Ghaib
8. Mu`jizât al-Rasûl
9. Al-Halâl waal-Harâm
10. Al-Hajjal-Mabrûr
11. Khawâthir al-Sya`râwi haula `Imrânal-Mujtama`
12. Al-Sihr waal-Hasad
13. AsrâruBismillâhirrahmânirrahîm
14. Al-Islâmu wa al-Fikrual-Mu'ashiri
15. Al-Islâmu wa al-Mar'átu, 'Aqîdatun waManĥajun
16. Al-Syûrâ wa at-Tasyrî'u fîal-Islâmi
17. Ash-Shalâtu wa Arkânual-Islâmi
18. Ath-Tharîqu ilaAllâh
19. Al-Fatâwâ
20. Labbayka AllâhummaLabbayka
21. Suâlu wa Jawâbu fî al-Fiqhi al-Islâmî100
19
22. Al-Mar'átu Kamâ ArâdahâAllâhu
23. Mu'jizat al-Qurâni
24. Min Faydhial-Qurâni
25. Nazharâtu al-Qurâni
26. 'Ala Mâídati al-Fikrial-Islâmî
27. Al-Qadhâu waal-Qadaru
28. Hâdzâ Huwaal-Islâm
29. Al-Muntakhabu fî Tafsîr al-Qurânal-Karîm29
29Lihat: Muhammad Alî Iyâzi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu‟assasah al-Thabâ`ah wa al-Nasyr, 1372 H), h.268-269
20
5. Pandangan Ulama terhadap al-Sya`râwî
Berikut beberapa pandangan ulama terhadap al-Sya’râwî antara lain
Ahmad `Umar Hâsyim mengemukakan bahwa al-Sya’râwi merupakan profil
da`i yang mampu menyelesaikan masalah umat secara proporsional. Tidak
hanya menolak mentah-mentah inovasi masa kini, bahkan ia sangat antusias
terhadap penemuan ilmiah terutama yang berkaitan dengan substansi al-
Qur‟an.30
Selain itu, Yusuf al-Qarâdhâwî memandangnya sebagai penafsir
yang handal karena penafsirannya tidak terbatas ruang dan waktu tetapi juga
mencakup kisi-kisi kehidupan.31
Abd al-Fattâh al-Fâwi berpendapat bahwa al-Sya`râwî bukanlah
seorang yang tekstual, beku dihadapan nash, tidak terlalu cenderung ke akal,
tidak pula sufi yang hanyut dalam ilmu kebatinan, namun ia menghormati
nash, memakai akal, terpancar darinya keterbukaan dan
kekharismatikannya.32
6. Profil Kitab Tafsir al-Sya`râwî
a. Sejarah Tafsiral-Sya’râwi
Kitab ini merupakan hasil kreasi yang dibuat oleh murid al-Sya`râwî,
yaitu Muhammad al-Sinrâwi dan `Abd al-Wâris al-Dâsûqi dari kumpulan
30Husain Jauhar, Ma`a Dâ`iyah al-Islâm Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi Imâm
al-`Asr (selanjutnya ditulis: Imam al-`Asr), (Kairo: Maktabah Nahdah, t. th.), h. 14 31Husain Jauhar, Ma`a Dâ`iyah al-Islâm Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi Imâm
al-`Asr (selanjutnya ditulis: Imam al-`Asr), (Kairo: Maktabah Nahdah, t. th.), h. 14 32Husain Jauhar, Ma`a Dâ`iyah al-Islâm Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya`râwi Imâm
al-`Asr (selanjutnya ditulis: Imam al-`Asr), (Kairo: Maktabah Nahdah, t. th.), h. 14
21
pidato-pidato atau ceramah-ceramah yang menjelaskan tafsir ayat-ayat al-
Qur’an. Sementara itu, hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Tafsir al-
Sya‟râwi di takhrîj oleh Ahmad `Umar Hâsyim. Kitab tafsir ini diterbitkan
oleh penerbit Akhbâr al- Yaum Idârah al-Kutub wa al-Maktabât pada tahun
1991 (tujuh tahun sebelum al-Sya‟râwi meninggal dunia). Sebelum
diterbitkan, kitab tafsir ini pernah dimuat dalam majalah al-Liwâ‟ dari
tahun 1986 – 1989, pada edisi 251-332.33\
Dengan demikian, Tafsir al-Sya`râwi ini merupakan kumpulan hasil-
hasil penafsirannya yang diajarkan di hadapan murid-muridnya kala itu atau
ceramah al-Sya’râwi yang kemudian diedit dalam bentuk tulisan buku oleh
murid-muridnya.34
\Al-Sya`râwî dalam muqaddimah tafsirnya menyatakan: “Hasil
renungan saya terhadap al-Qur’an bukan berarti merupakan sebuah tafsiran
al-Qur’an, melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati
seorang mukmin saat membaca al-Qur’an‟. Kalau memang al-Qur’an dapat
ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah
saw. , karena kepada beliaulah al-Qur’an diturunkan.
Beliau banyak menjelaskan kepada manusia ajaran al-Qur’an dari
dimensi ibadah, karena hal itu yang diperlukan umatnya saat ini. Adapun
rahasia al-Qur’an tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena
33Lihat: Muhammad Alî Iyâzi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu‟assasah al-Thabâ`ah wa al-Nasyr, 1372 H), h.268-269 34Buku ini diberi pengantar oleh Muhammad Abu Thâlîb Syâhîn. Dalam pengantarnya ia
menyatakan bahwa buku Khawâthiri hawl al-Qurân al-Karîm tidak ditulis dengan gaya bahasa
pidato dan dan gaya bahasa tulisan ilmiah, melainkan ditulis dengan gaya bahasa ceramah untuk
menunjukkan bahwa buku ini diperuntukkan bagi semua kalangan dan bukan kalangan tertentu
agar kemanfaatannya lebih besar. Lihat: Al-Sya‟râwi, Khawâthiri hawl al-Qurân al-Karîm,
(Kairo: Dâr Mayu al-Wathaniyyah, cet.I, vol. I, 1982), h. 18
22
kondisi sosio-kultural saat itu tidak memungkinkan untuk dapat
menerimanya. Jika hal itu disampaikan, maka akan menimbulkan polemik
yang pada suatu saat akan merusak sendi-sendi agama, bahkan akan
memalingkan umat dari jalan Allah Swt.35
b. Sumber penafsiran dalam tafsiral-Sya`râwî
Dalam melakukan kegiatan penafsiran, al-Sya`râwî menggunakan
sumber penafsiran sebagai berikut:
1) Kategori sumber tafsir bilma’tsûr
a) Penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
Tafsir ini menggunakan kaidah bahasa bukan berarti tafsir ini
hanya mengandalkan gramatikal bahasa namun kaidah bahasa ini hanya
untuk mempermudah memahami penjelasan ayat al-Qur’an.
Contoh ketika menjelaskan QS. al-Nisâ’ 3 ) : 33
الله إنه نصيب هم فآتوهم أيانكم عقدت والهذين والق ربون الوالدان ت رك مها موال جعلنا ولكل
(33) شهيدا شيء كل على كان
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, kami jadikan pewrais-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-
orang yang telah kamu bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada
mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.
Namun, ketika penulis memahami penafsiran al-Qurطan dengan al-
Qur’an dengan istilah penafsiran âyat bi al-âyat, terdapat dua kemungkinan
pemahaman. Pertama, ayat al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat al-Qur‟an yang
35Muhammad Mutawalli al-Sya`rawi, Tafsir al-Sya`rawi, (Kairo: Akhbâr al-Yaum Idârah
al-Kutub wa al-Maktabât, 1991), jilid I, h. 9. Lihat juga: Muhammad `Ali Iyâzi, al Mufassirûn
Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu‟assasah al-Thabâ`ah wa al-Nasyr, 1372 H), h. 270
23
lain. Pemahaman yang kedua, ayat al- Qur’an ditafsirkan dengan ayat Allah
Swt. yang terdapat di alam semesta dalam artian ayat di sini dipahami dengan
tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.36
b) Penafsiran al-Qur’an dengan riwayat
Al-Sya’râwi tidak menempatkan posisi hadis yang dijadikan sumber
hadis yang berisi informasi tentang tafsir suatu ayat melainkan hadis
dijadikan sumber untuk memberikan pemahaman akan maksud ayat, dimana
hadis itu tidak mesti berisi penjelasan ayat melainkan cukup memilki
kandungan isi yang sama dengan apa yang dimaksud dalam ayat.
Contoh ayat: QS. Al-An`âm : 52:
م يدعون الهذين تطرد ول وما شيء من حسابم من عليك ما وجهه يريدون والعشي بلغداة ربه ( 52) الظهالمني من ف تكون ف تطردهم شيء من عليهم حسابك من
“Janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi
dan petang hari, mereka mengharapkan keridhaan-Nya. Engkau tidak memikul
tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan mereka tidak
memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan
engkau (berhak) mengusir mereka, sehingga engkau termasuk orang-orang
zhalim”
Menurut al-Sya`râwi yang menjadi hal utama pada ungkapan tersebut
adalah wasiat untuk memelihara anak yatim, baik padanya ada harta atau tidak.
Ia memperkuat pertanyaannya dengan merujuk hadis yang berbunyi:
“Dari Sahl ibn Sa‟ad Ra. Berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda “Aku dan
36Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya‟râwî, j. IV, h. 258
24
orang yang mengurus anak yatim di surga seperti begini (dan beliau
mengisyaratkan dengan telunjuk dan jari tengah, dan merenggangkan
keduanya”.
c) Penafsiran al-Qur‟an dengan Qaulal-Shahâbah
Penggunaan sumber qaul sahabat atau tabiin dalam menafsirkan
banyak digunakan al-Sya`râwi untuk menjelaskan pemahaman dan term-
term tertentu. Hal itu dilakukan untuk mencari pemahaman awal dari
mufasir sebelumnya tentang maksud suatu kata atau kalimat. Contoh
dalam menafsirkan surat al-Taubah (9):55
ا أولدهم ول أموالم ت عجبك فل بم الله يريد إنه ن يا الياة ف با لي عذ وهم أن فسهم وت زهق الد
(55) كافرون
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu.
Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak
itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan melayang
nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaankafir.”
Al-Sya`râwî menukil pernyataan `Alî Ra. ketika ditanya tentang ahli dunia
dan ahli akhirat:
“Dikatakan kepada „Alî Ra., „Wahai Imam, akun ingin mengetahui
menginginkan jawaban pertanyaan ini bukan dariku tetapiharus dari kamu.
Jika engkau lebih suka kepada orang yang datang kepadamu dan akan
meminta sesuatu dibanding dengan orang yang datang kepadamu dan ia
25
akan memberi sesuatu, maka kamutermasuk ahliakhirat.”37
2) Kategori bi al-ra’yi
Penafsiran bi al-Ra’yi ini mempunyai peranan penting bagi corak
tafsir`ilmî yang dilakukan al-Sya`râwi pada penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an.
Penafsiran ilmiah yang dilakukan al-Sya`râwi banyak berasal dari penalaran
ilmiah al-Sya`râwi, yang pada awalnya menurut penulis, adalah karena
kecintaan al-Sya`râwi terhadap ilmu pengetahuan termasuk ilmu-ilmu
umum.38
Berkaitan dengan sumber ilmiah penafsiran al-Sya`râwi, menurut
penulis pada awalnya berasal dari permintaannya kepada ayahnya, untuk
dibelikan buku-buku literatur termasuk buku-buku umum. Dari buku-buku
itulah al-Sya`rawi mulai mempelajari ilmu-ilmu umum dan sains. Selain itu,
pastinya wawasannya tentang ilmu-ilmu umum terus bertambah karena
kecintaannya kepada ilmu pengetahuanmulai bertambah seiring
perkembangan keilmuannya ketika menuntut ilmu dan mengajar di
Universitas al-Azhar. Namun, yang perlu digarisbawahi, meskipun
penafsiran al-Sya`râwi bisa dikatakan penafsiran modern, tetapi tetap saja
ukuran modernnya sampai terbatas pada waktu ketika kitab tafsir ini
disusun.
Penafsiran al-Sya`râwî terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan
penciptaan Adam As., dapat dipandang sebagai hasil pemikiran dari al-
Sya`râwî ketika berusaha memahami ayat untuk para pembaca lainnya
37Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya‟râwî, j. IV, h. 258 38 Al-Sya`râwî., j. IX, h.5201
26
dengan lebih komprehensif dan realistik. Menurutnya kisah tersebut adalah
miniatur kehidupan manusia dimuka bumi ini. Ia membahas hal tersebut
secara tematis di dalam sebuah buku khusus,39 selain di dalam kitab
tafsirnya. Inilah di antara penafsiran-penafsiran al-Sya`râwî yang bersumber
dari hasil ijtihadnya sendiri.
c. Metode tafsir al-Sya`râwî
Pada umumnya para mufasir menggunakan metode yang tidak terlepas
dari empat metode penafsiran, yaitu tahlîliyy, ijmâlî, muqâran, dan maudhui‟
Adapun metode umum yang dipakai al-Sya`râwî dalam penafsirannya adalah
metode tahlîliyy yaitu menjelaskan kandungan makna ayat-ayat al-Qur‟an dari
berbagai aspeknya, denganmemperhatikan urutan ayat sebagaimana yang
tercantum dalam mushhaf.40
Langkah-langkah yang dilakukan al-Sya`râwî telah sesuai dengan ciri-
ciri kitab tafsir yang menggunakan metode tahlîliyy, yaitu menjelaskan kosa
kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan
kandungan ayat yaitu unsur i‟jâz, balâghah, dan keindahan susunan kalimat,
menjelaskan istinbâth dari ayat, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat
dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya (munâsabât al-âyât wa
al-suwar), dengan merujuk kepada asbâb al-nuzûl, hadis-hadis Rasulullah
Saw., riwayat sahabat dan juga riwayat tabi`in.41
39 Al-Sya`râwî., j. IX, h.5201 40 Al-Sya`râwî, op. cit., j. IX, h.5201
41`Alî Hasan al-„Âridh, Tarîkh „Ilm al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, (t. tp.: Dâr al-
I`tishâm, t. th.), h. 47
27
d. Apresiasi terhadap Kitab Tafsir al-Sya`râwî
Kitab ini merupakan tafsir modern yang cukup diperhitungkan.
Sebagai salah satu buktinya, setelah kitab ini selesai disusun dan dicetak, al-
Sya`râwî mendapat sambutan besar dari para ulama Mesir saat itu. Selain itu, ia
pun menerima hadiah dari negara Kuwait hingga ribuan dollar,42 yang
dihibahkan untuk membantu para mahasiswa Thailand pada saat itu. Faraj
Fodah pada pendahuluan menceritakan bahwa salah satu hal yang mendorong
Mutawalli Sya’râwi menyelesaikan kitab tafsirnya ialah untuk membuktikan
bahwa ia tidak hanya berorientasi pada bidang ekonomi belaka, akan tetapi
juga ingin menunjukkan dirinya sebagai seorang ilmuan (mufasir),
sebagaimana para ulama lainnya, seperti Kadafi, Anwar Syadat, Ayatullah
Khomaeni, dan Yûsuf al-Qarâdhâwi. Atau mungkin, untuk menafikan
anggapan sebagian kelompok minoritas yang memberikan penilaian negatif
terhadapnya.43
B. Mengenal Profil Sayyid Quthb
1. Profil Mufassir
a. Nama dan Nasabnya
Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain Syadzili.
Lahir pada tanggal 09 Oktober 1906 di desa Mausyah, dekat kota Asyut,
Mesir. Sayyid Quthb adalah seorang kritikus sastra, novelis, pujangga,
42Informasi ini didapat dari beberapa mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di
Universitas Al-Azhar. Mereka juga berpendapat bahwa ada dua pendapat tentang penyelesaian
kitab itu: Pertama, penulisan kitab tafsirnya sudah rampung dalam bentuk jilidan sebelum ajal
menjemputnya; Kedua, Ada juga yang mengatakan tafsirnya sudah rampung 30 juz tetapi baru
sebagian saja yang dijilid, kemudian ajal menjemputnya. 43Lihat: Pengantar Tafsîr al-Sya`râwi, al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwi,., j. I, h. 9-26
28
pemikiran Islam dan aktivis Islam Mesir paling terkenal pada abad ke-20.
Ayahnya bernama al-Hajj Quthb Ibrahim. Sayyid Quthb terkenal sebagai
anak yang cerdas, beliau mampu menghafal seluruh al-Qur’an di usia
sepuluh tahunnya.44
Sayyid Quthb bin Ibrahim, tokoh Ikhwanul Muslimin, jurnalis,
sastrawan, dan seorang syahid yang mati di tiang gantungan, lahir di
Musyah, Provinsi Asiyuth, pesisir Mesir, 9 Oktober 1906 M45 Bentuk
tubuhnya kecil, kulitnya hitam dan bicaranya lembut, oleh teman-teman
sezamannya ia dikenal sangat sensitif, serius, dan mengutamakan persoalan
tanpa rasa humor.46
b. Riwayat Pendidikan
Pada umur enam tahun, dia masuk ke sekolah Awwaliyah (Pra
Sekolah Dasar) di desanya selama empat tahun. Di Madrasah tersebut, dia
menghafal Al-Qur’an Al-Karim. Pada tahun 1921 M, dia pindah ke Kairo
untuk meneruskan belajarnya. Kemudian dia melanjutkan ke sekolah
persiapan Darul Ulum, 1925. Pada tahun 1929 Sayyid Quthb melanjutkan
pendidikannya ke Universitas Darul Ulum dan lulus dengan gelar Lisance
(Lc) dibidang sastra pada tahun 1933.
44Shalah Abdul Fatah al-Kalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dilalil Qur’an, terj
Salafuddin Abu Sayyid (Surakarta: Era Internasional, 2001), h. 24 45Herry Muhammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta:Gema Insani,
2006), h.296. Lihat Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’an (Al
Fatihah-Al-Baqarah), Jilid I, terj. As’ad Yassin Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah,
(Jakarta: Gema Insani, 2000), h.406 46(Sayyid Qutb I 2000 : 406-407)Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al Quran Al Mujallad Al
Awwal,Dar asy Syuruq, Kairo, 1992, h. 2
29
Setelah Sayyid Quthb lulus dari Universitas Darul Ulum, dia bekerja
di Departemen Pendidikan dengan tugas sebagai tenaga pengajar di sekolah-
sekolah milik Departemen Pendidikan selama enam tahun. Setahun di
Suwaif, setahun lagi di Dimyat, dua tahun di Kairo, dan dua tahun di
Madrasah Ibtida’iyah Halwan. Di daerah pinggiran kota Halwan, yang
kemudian menjadi tempat tinggal Sayyid Quthb bersama saudara-
saudaranya.47
Sayyid Qutb mempunyai lima saudara kandung, yang pertama
adalah Nafisah, yang kedua: Aminah, ia juga aktivis Islam dan juga aktif
menulis buku-buku sastra, ada dua buku yang diterbitkannya yaitu: Fi
Tayyar Al-Hayah (dalam arus kehidupan ) dan Fith-Thariq (di jalan).
Ketiga, Hamidah. Hamidah adalah adik perempuan Qutb yang bungsu. Ia
juga seorang penulis buku. Ia menulis buku bersama saudara-saudaranya
dengan judul Al-Athyaf Al- Arba’ah. Keaktifannya dalam pergerakan Islam,
membuat dirinya divonis hukuman penjara 10 tahun dan dijalaninya selama
enam tahun empat bulan. Setelah kelar dari penjara, ia menikah dengan Dr.
Hamdi Mas’ud. Keempat, Muhammad Qutb. Ia adalah adik Sayyid Qutb
yang selisih umurnya 13 tahun. Ia mengikuti jejak Sayyid Qutb menjadi
aktivis pergerakan Islam dan penulis masalah Islam dalam berbagai
aspeknya,lebih dari 12 buku telah ditulisnya.48
47Ensiklopedi Islam Jilid 4, (Jakarta: Ichtra Hoeve, 2005), h. 90 48Shalah Abdul Fattah al Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan Di Bawah Naungan al
Quran, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Yayasan Bunga Karang,Jakarta, h. 23-36
30
c. Karir Sayyid Qutb
Setelah menjadi tenaga pengajar, Sayyid Quthb kemudian berpindah
kerja sebagai pegawai kantor Departemen Pendidikan, sebagai penilik untuk
beberapa waktu lamanya. Kemudian dia pindah tugas lagi ke Lembaga
Pengawasan Pendidikan Umum yang terus berlangsung selama delapan
tahun sampai akhirnya kementerian mengirimnya ke Amerika.
Tahun 1948, ia diutus Departemen Pendidikan ke Amerika untuk
mengkaji kurikulum dan sistem pendidikan Amerika. Di Amerika selama
dua tahun, lalu ia pulang ke Mesir tanggal 20 Agustus 1950 M. Setelah itu
ia diangkat sebagai Asisten Pengawas Riset Kesenian di kantor Mentri
Pendidikan. Tanggal 18 Oktober 1952, ia mengajukan permohonan
pengunduran diri. Dalam masa tugasnya di Amerika, ia membagi waktu
studinya antara Wilson’s Theacher’s College di Washington, Greeley
College do Colorado, dan Stanford University di California. Hasil studinya
dan pengalamannya itu meluaskan pemikirannya mengenai problema-
problema sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham materialisme
yang gersang akan pahan ketuhanan.
Ketika berada di Departemen pendidikan, Sayyid Quthb adalah
seorang pegawai yang tekun, pemikir yang berani, serta seorang yang mulia.
Sifat-sifat ini akhirnya banyak menyebabkan Sayyid Quthb mendapat
berbagai kesulitan dan sesudah itu akhirnya Sayyid Quthb pun melepaskan
pekerjaannya. Sayyid Quthb mengajukan surat pengunduran diri dari
pekerjaannya sekembalinya dari Amerika, karena pada tahap ini beliau
31
lebih memfokuskan pikiran beliau untuk dakwah dan pergerakan serta untuk
studi dan mengarang.49
2. Profil Kitab Tafsir Sayyid Quthb
a. Pemikiran terhadap Al Quran dan Penafsiran
Sayyid Quthb memandang bahwa al-Quran adalah satu kesatuan
yang menyatu dan berlandaskan kepada kaidah khusus, yaitu suatu
kaidah yang mengandung keserasian. Keserasian itu begitu menakjubkan
dalam bentuk yang tidak pernah diimpikan dan belum pernah ada orang
yang membuat gambaran seperti itu. Pandangan ini berdasarkan
pengalamannya yang sejak kecil dididik oleh Ibunya untuk selalu diam
mendengarkan ketika ada bacaan al-Quran. Sayyid Quthb
mengatakan:Sesungguhnya aku telah membaca al Quran sejak masih
kecil, dan wawasan pengetahuanku tentang alQuran saat itu belum
mencapai tingkat memahami cakrawala maknanya, dan belum dapat
meliputi kebesaran tujuannya.50 Akan tetapi, aku menemukan sesuatu
yang menakjubkan dalam diriku tentangnya. Sesungguhnya hal yang
terlintas dalam imajinasiku yang sederhana karena masih kecil, adalah
terperagakannya sebagian gambaran-gambaran yang aku bayangkan dari
celah ungkapan al-Quran.Sesungguhnya hal ini benar-benar merupakan
gambaran yang sederhana, tetapi membangkitkan rasa rindu dalam diriku
kepadanya dan membuat perasaanku menikmatinya, sehingga
mendorongku untuk senantiasa merenungkannya dalam masa yang tidak
49Adegabriel, Negara Tuhan (Yogyakarta: IRNIS, 2006), h. 257 50Sayyid Quthb, Keindahan Al Quran yang Menakjubkan, terj. Bahrun Abu Bakar, Robbani
Press, Jakarta, 2004, h. 10
32
pendek, sedang aku merasa gembira dan bersemangat dengannya.51
Sayyid Quthb menyimpulkan dari pemikiran-pemikirannyaterhadap
keindahan al Quran adalah bahwa al-Quran mempunyai metode terpadu
dalam berungkap. Tujuannya adalah untuk menyampaikan semua sasaran
yang dituju secara merata hingga menyangkut tujuan pembuktian dan
perdebatan. Akan tetapi, ini bukanlahkeistimewaan al-Quran yang paling
besar. Ini karena sesungguhnya metode yang dipergunakan al-Quran
dalam berungkap adalah yang menonjolkan semua tujuan dan semua
tema. Tidak sekedar keindahan seni dan keterpaduannya dalam al-
Quran.52Sayyid Quthb berpendapat bahwa sesungguhnya ciri khas utama
ungkapan al-Quran adalah mengikuti metode tashwir (gambaran)
berbagai makna pikiran dan kondisi kejiwaan, lalu menampilkannya ke
dalam gambaran-gambaran yang dapat diindra53.
Semua tujuan dan tema di dalamnya seakan-akan dihadirkan
secara nyata dan dapat dirasakan oleh imajinasi perasaan yang dipenuhi
oleh gerakan yang terbayangkan. Inilah yang disebut dengan metode
gambaran dan personifikasi melalui imajinasi dan perupaan. Akan tetapi,
ketika memandang tujuan pokok al-Quran, Sayyid berpendapat bahwa al
Quran bukan hanya sebagai kitab bacaan, buku ilmu pengetahuan,
penerangan, seni dan bahasa, serta bukan hanya sebagai kitab hukum
saja.
51Sayyid Quthb, Keindahan Al Quran yang Menakjubkan, terj. Bahrun Abu Bakar,
Robbani Press, Jakarta, 2004, h. 10 52Sayyid Quthb, Keindahan Al Quran yang Menakjubkan, terj. Bahrun Abu
Bakar,Robbani Press, Jakarta, 2004, h. 445-446 53Sayyid Quthb, Keindahan Al Quran yang Menakjubkan, terj. Bahrun Abu Bakar,
Robbani Press, Jakarta, 2004, h. 449
33
Tetapi untuk membentuk kepribadian muslim dan mewujudkan
umat Islam sebagai umat yang terbaik yang dilahirkan untuk seluruh
manusia.54Sedangkan keindahan dan seni dalam al-Quran hanyalah
sebagai nilai tambah untuk memukau para pendengarnya dan
mengalahkan semua orang, baik yang mukmin maupun kafir. Selain itu,
Sayyid Quthb memandang al-Quran sebagai kitab yang hidup dan penuh
dengan hikmah dalam semua ayatnya. Al-Quran adalah kitab dakwah
untuk umat Islam agar mampu menjadi umat seperti yang diharapkan
Allah subhaanahu wa ta’ala. Al-Quran juga memberi gambaran yang
jelas tentang jalan hidup dan kewajiban manusia, serta mampu menjawab
semua problem manusia dengan aktual. Inilah yang disebut Sayyid Quthb
sebagai manhaj Al Quran.55
Pengetahuannya tentang keuniversalan al-Quran membuatnya
berpendapat bahwa al-Quran itu tidak akan pernah habis keajaiban-
keajaibannya dan tidak pernah usang meskipun terlalu sering diulang-
ulang. Ini karena nash-nash al-Quran sangat kaya dengan arti, hakikat,
dan ketetapannya, sehingga orang-orang yang mengkaji al-Quran bisa
menjadikannya sebagai penjelasan dan pedoman dalam hidup. Juga
berperan besar dalam dakwah, pendidikan pergerakan, dan
perjuangan.56Pemikiran Sayyid Quthb terhadap al-Quran ini, sangat
bertalian dengan esensi dasar al-Quran dan pemahaman sahabat terhadap
54Shalah Abdul Fattah al Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan di Bawah Naungan al
Quran, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Yayasan Bunga Karang,Jakarta, h. 39 55Shalah Abdul Fattah al Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan di Bawah Naungan al
Quran, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Yayasan Bunga Karang,Jakarta, h. 40-41 56Shalah Abdul Fattah al Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan Di Bawah Naungan al
Quran, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Yayasan Bunga Karang, Jakarta, h. 39
34
al- Quran, dimana sahabat menggunakan metodologi dan sistem
menerima untuk dilaksanakan. Dari pandangannya terhadap sahabat ini,
Sayyid menyimpulkan bahwa Al Quran selalu melakukan pergerakan
yang dinamis dan aktual kekinian dengan aqidah. Ini karena dengan
aqidah, al-Quran selalu memberi bimbingan kepada manusia seutuhnya
dalam semua problematika kehidupannya.57Adapun pemikiran Sayyid
Quthb terhadap urutan masing-masing surah beserta tata urutan ayat-
ayatnya adalah bersifat tauqifi (begitu adanya dari Rasul). Sayyid Quthb
mengambil beberapa riwayat shahih yang menyimpulkan bahwa
Rasulullah telah membacakan al-Quran secara keseluruhan kepada
malaikat Jibril sebagaimana malaikat Jibril membacakannya kepada
Rasul. Ini berarti bahwa keduanya membaca ayat-ayat al-Quran secara
berurutan di dalam surah-surahnya.58 Dari pengalaman yang diperoleh
selama belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma
baru dalam pemikiran Sayyid Qutb atau bisa juga dikatakan sebagai titik
tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan. Sepulangnya dari
belajar di negeri Barat, Sayyid Qutb langsung bergabung dalam
keanggotaan gerakan Ikhwân al- Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan
al-Banna. Dan dia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang
masalah keislaman.59
b. Sumber Penafsiran
57Shalah Abdul Fattah al Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan Di Bawah Naungan al
Quran, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Yayasan Bunga Karang, Jakarta, h. 28-29 58Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al Quran Al Mujallad Al Awwal,Dar asy Syuruq, Kairo, 1992,
h. 2 59Nuim Hidayat Sayyid Qutb Dan Kejernihan Pemikirannya, Gema Insani Press, Jakarta,
2005. h. 41
35
Seluruh hayat Sayyid Quthb selalu digunakan untuk mempelajari
dan mengkaji Al Quran60. Hal inilah yang kemudian banyak
mempengaruhi pemikirannya dalam menafsirkan al-Quran. Secara
keseluruhan, Sayyid Qutb menggunakan pemikiran penafsiran
berdasarkan manhaj Ilahi, sesuai dengan metode al-Quran dan kehidupan
sahabat di masa jahiliyyah. Al-khalidiy telah meneliti dan membahas
secara mendalam tentang tafsir Fi Zhilaali Al-Quran dalam tiga bukunya
yang berjudul Madkhal Ila Zhilaali Al-Quran, Al-Manhaj Al-Harakiy Fi
Zhilali Al-Quran, Dan Fi Zhilaali Al-Quran Fi Al-Mizan beliau
menjelaskan 61 perkembangan pemikiran terhadap penafsiran, Sayyid
Quthb menggunakan tiga manhaj berikut:
1) Manhaj Jamali (Metodologi Keindahan Bahasa)
Manhaj Jamali Sayyid Quthb adalah manhaj yang memandang
al -Quran dari sudut keindahan ta’bir al-Quran62. Sayyid Quthb
membeberkan kaidah umum tentang ta’bir (ungkapan) al-Quran,
dengan balaghah sebagai alat yang paling utama dalam memahami
uslub qur’ani untuk mengungkap arti berdasarkan pemahaman hati
dan jiwa serta peristiwa yang terjadi. Metodologi ini digunakan
Sayyid Quthb semasa hidupnya ketika menulis makalah berjudul “At
Tashwir Al Fanniy Fi Al Quran”dalam majalah Al Muqtathaf di akhir
tahun 1939 M dan ketika menulis kitab dengan judul yang sama di
60Shalah Abdul Fattah al Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan Di Bawah Naungan al
Quran, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Yayasan Bunga Karang, Jakarta, h. 8 61 Toto Haryanto Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Pemikiran Sayyid Qutb, Tesis,
Program Pasca Sarjana, IAIN Raden Fatah, Palembang, 2007. h. 52-54 62Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al Quran Al Mujallad Al Awwal,Dar asy Syuruq, Kairo, 1992,
h. 11
36
tahun 1945 M.63Kedua tulisan tersebut berisi tentang pandangan
Sayyid Quthb dalam hal penafsiran, yaitu tentang kaidah,
karakteristik, wawasan, dan tema-tema Al-Quran.
2) Manhaj Fikri (Metodologi Pemikiran)
Metodologi pemikiran Sayyid Quthb dalam penafsiran ini
adalah hasil dari kepeduliannya terhadap kehidupan sosial dan
pembaharuan masyarakat. Mengacu dari metode tashwir yang
dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâali
al-Quran dapat digolongkan ke dalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i64
(sastra-budaya dan kemasyarakatan). Dalam metode ini, Sayyid Quthb
memaparkan konsepsi Islam dan merealisasikan keadilan Islam dalam
masyarakat setelah menjelaskan penyakit masyarakat dengan
memberikan diagnosanya65, yang kemudian dihadapkan pada al-
Quran untuk mencari obat penyembuh dan jalan keluarnya. Sayyid
menyerukan hal itu kepada kaum pemikir, intelektual, dan semua
bangsa untuk komitmen terhadap metodologi al-Quran. Pemikiran ini
disebarluaskan dalam majalah Al-Muslimun selama tujuh edisi
63Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al Quran Al Mujallad Al Awwal,Dar asy Syuruq, Kairo, 1992,
h. 12 64Yaitu: corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat Al-Quran yang berkitan
langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulanginya. Corak ini
disebut oleh Qurais Shihab dengan corak sastra, budaya dan kemasyarakatan.Tafsir ini seperti juga
Tafsir Al-Maraghi (W. 1945), atau Tafsir Al-Quran Al-‘Adhim karya Mahmud Syalthuth. Lihat:
Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, cet. Ke-3, 1993, hlm: 73. lihat juga:
Lukman Nul Hakim, Buku Daras Metodologi Dan Kaidah-Kaidah Tafsir, IAIN Raden Fatah,
Palembang, 2007, hlm: 59. lihat juga: Abd Hayy Al-Farmawi, Muqaddimah Fi Al-Tafsir Al-
Mawdhui, Kairo: Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1977, Terj. Jakarta, Raja Grafindo, Persada, 1996,
hlm:24. dan M.Alfatih Suryadilaga, Dkk. Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Teras, 2005,
hlm:45. 65Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al Quran Al Mujallad Al Awwal,Dar asy Syuruq, Kairo, 1992,
h. 16-17
37
berturut-turut yang kemudian dilanjutkan dalam penulisan Fi Zhilal Al
Quran.66
3) Manhaj Haraki (Metodologi Pergerakan)
Sayyid Quthb selalu masuk ke dunia al Quran yang luas
dengan kondisi dan pengalaman yang banyak, dan semua itu serupa
dengan kondisi dan pengalaman yang menyertai turunnya al-Quran
yang dialami oleh jamaah Islam pertama67. Inilah yang menyebabkan
Sayyid akhirnya mengubah pemikiran terhadap penafsirannya ke arah
pergerakan. Pengalaman dan pandangannya membantu Sayyid untuk
mampu mengetahui esensi al-Quran dalam amaliah pergerakan dan
memahami kunci untuk membuka gudang pergerakan al-Quran.
Dalam metodologi ini, Sayyyid selalu mengajak kepada para
pembaca, pengamat, penulis, intelektual, dan pengarang buku, jika
mereka ingin mengetahui al-Quran dan manhajnya, maka mereka
harus bergerak dengan al-Quran dalam pergerakan yang aktual dan
amal nyata. Dalam metodologi inilah, akhirnya Sayyid mampu
mengerti karakteristik al-Quran yaitu pergerakan yang aktual dimana
ini menjadi titik akhir pemikirannya terhadap penafsiran dan
pemahaman al-Quran. Mengenai klarifikasi metodologi penafsiran,
Dr. Abdul Hayy al- Farmawy68 seorang guru besar Tafsir dan Ilmu-
ilmu al-Quran Universitas al-Azhar membagi corak penafsirkan al-
66Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al Quran Al Mujallad Al Awwal,Dar asy Syuruq, Kairo, 1992,
h. 18 67Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al Quran Al Mujallad Al Awwal,Dar asy Syuruq, Kairo, 1992,
h. 22 68Abdul Hayy Al-Farmawi , Metode Tafsir Maudhu’i Dan CaraPenerapannya (Terj.
Rosihon Anwar), Pustaka Setia, Bandung, 2002.
38
Quran menjadi tiga bentuk; yaitu tahlily, maudhu’i dan ijmali
muqârin. Dilihat dari corak penafsiran yang terdapat yang tafsir Fi
Zhilal al-Quran dapat digolongkan ke dalam jenis tafsir tahlili.
Artinya, seorang penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai
aspek yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat
sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.69
c. Karya-karya Sayyid Qutb
Dalam beberapa literatur biografi tokoh-tokoh Islam, Sayyid Qutb
adalah salah seorang yang aktif berjuang dengan tulisan. Karya-karyanya
selain beredar di negara-negara Islam, juga beredar di kawasan Eropa,
Afrika, Asia dan Amerika. Ia menulis lebih dari 20 buku
yangditerjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia. Di antara bukunya
adalah:70
1) Al-Taswir Al-Fanny Fi Al-Qur’an, Kairo, Dar Al-Maarif, 1945. Buku
ini mengupas tentang seni terutama dalam etika penggambaran dalam
Al-Qur’an.
2) Muhimmat Al-Sya’ir Fi Al-Hayat, Cairo, Lajnatu Al-Nashr Li Al-
Jami’iyyin, tt. Buku ini menjelaskan tentang urgensi penyair dalam
kehidupan berdasarkan syariat Islam.
3) Thifl Min Al-Qaryah, Cairo: Lajnatu Al-Nashr Li Al-Jami’iyyin, 1946.
Buku ini menjelaskan cerita anak desa, beberapa pandangan bahwa
buku ini merupakan refleksi dari biografi Sayyid Qutb.
69Lukman Nul hakim Buku Daras Metodologi dan Kaidah-Kaidah Tafsir, IAIN R.F.
Palembang, t.p, 2007.h. 73 70Sri AliyahKaidah-kaidah TafsirFi ZhilaliI Al-Qur’an JIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60
39
4) Al-Asywak, Cairo: Dar Sa’ad Mishr Bi Al-Fuja’ah, 1947. Secara inti
penulis belum mendapatkan dan membaca kitab ini namun bila
diartikan secara etimologi kata al-asywak berarti duri-duri.71
5) Musyaahidat Al-Qiyamah Fi Al-Quran, Cairo: Dar Al-Maarif, 1947.
Dalam buku ini menjelaskan hari kiamat menurut Al- Quran.
6) Fi Zhilali Al-Quran, Cairo: Dar Ihya Kutub Al-‘Arabiyyah, 1986.
7) Al-Salam Al-Alamy Wa Al-Islam, Cairo: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1951.
Buku ini menjelaskan bagaimana membentuk dunia yang damai melalui
jalan syariat Islam.72
8) Al-Mustaqbal Li Hadza Al-Diin, Cairo: Maktabah Alwahbah, tt. Buku
ini berintikan gagasan dan pandangan menyongsong masa depan
dengan syariat Islam.
9) Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah Fi Al-Islam, Cairo: Dar Alkitab Al-‘Arabi,
Dar Al-Maarif, 1948. buku pertama Sayyid Qutb dalam hal pemikiran
Islam. Inti dari buku ini adalah membedakan antara pemikiran sosialis
dengan pemikiran Islam, bagaimana keadilan dalam perspektif sosialis
dan Islam berdasarkan syari’at.
10) Hadza Ad-Din (inilah agama), Kairo, Dar Al-Qalam, 1955. kumpulan
berbagai macam artikel yang dihimpun oleh Muhibbudin al-khatib,
terbit 1953. buku ini menjelaskan secara rinci hakikat agama Islam.
JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60
71Sri AliyahKaidah-kaidah TafsirFi ZhilaliI Al-Qur’anJIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60 72Sri AliyahKaidah-kaidah TafsirFi ZhilaliI Al-Qur’anJIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60
40
11) Dirasah Al-Islamiyyah, Kairo: Maktabah Lajnah Syabab Al- Muslim,
1953, buku ini menjelaskan lebih spesifik terhadap agama Islam.73
12) Al-Islam Wa Muskilah Al-Hadharah, Dar Ihya Al-Kutub Al-
‘Arabiyyah, 1960/1962. Buku ini menerangkan bagaimana
problematika kebudayaan yang semakin kedepan semakin kompleks
dan bagaimana peran Islam dalam memandang problematika tersebut.
13) Khasaisu Tashawuri Al-Islami Wa Muqawwamatuhu (ciri dan nilai visi
Islam), buku dia yang mendalam yang dikhususkan untuk
membicarakan karakteristik akidah dan unsur-unsur dasarnya. Dar Ihya
Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, 1960/1962. Buku ini menjelaskan tifologi
konsep-konsep islam dalam ekonomi, sosial, politik dan budaya.
14) Ma’alim Fi Al-Thariq, Cairo: Maktabah Al-Wahbah, 1964, buku ini
berintikan petunjuk-petunjuk jalan menuju Islam Kaffah.
15) Ma’rakatuna Ma’a Al-Yahudi, Beirut: Dar Al-Syuruq, 1978, inti dalam
wacananya adalah gerakan Islam terhadap kelompok Yahudi.74
16) Nahwa Mujtama’ Al-Islamiy, Cairo: Maktabah Al-Wahbah, 1966. Buku
ini berisi pembentukan masyarakat Islam.
17) Fit-Tariikh, Fikrah Wa Manaahij (teori dan metode dalam sejarah).
18) Ma’rakah Al-Islaam War-Ra’sumaaliyah (perbeturan Islam
dankapitalisme).
19) An-Naqd Al-Adabii Usuuluhu Wa Maanaahijuhu (kritik sastra, prinsip,
dasar dan metode-metode).
73Sri AliyahKaidah-kaidah TafsirFi ZhilaliI Al-Qur’anJIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60 74Sri AliyahKaidah-kaidah TafsirFi ZhilaliI Al-Qur’anJIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60
41
20) As-Syathi’ Al-Majhul, kumpulan sajak Qutb satu-satunya, terbit februari
1935.
21) Nadq Kitab “Mustaqbal Ats-Tsaqafah Di Mishr” Li Ad-Duktur Thaha
Husain, terbit tahun 1939.
22) Al-Athyaf Al-Arba’ah, ditulis bersama saudara-saudaranya: Aminah,
Hamidah, Muhammad. Terbit tahun 1945.75
Beberapa ulama lainnya yang memberikan penilaian terhadap
tafsir Fi Zhilaali Al-Quran adalah Mahdi Fadhullah yang menilai
bahwa tafsir Sayyid Qutb yang tiga puluh juz itu merupakan
“Terobosan penafsiran yang sederhana dan jelas.” 76
d. Komentar Ulama
Sedangkan Subhi Shalih menilai bahwa dalam tafsir Fi Zhilaali Al-
Quran lebih banyak bersifat pengarahan dari pada pengajaran dan Jansen
menilai bahwa tafsir Sayyid Qutb hampir bukan merupakan tafsir Al-
Quran dalam pengertian yang ketat tetapi lebih merupakan kumpulan
khutbah-khutbah keagamaan.77
e. Penghargaan yang Diterima
Kemudian reputasi Qutb sebagai seorang fundamentalis modern
diraih lewat bukunya yang terkenal al-‘Ada’ lahal Ijtima’iyyah fi al-Islam.
75Sri AliyahKaidah-kaidah TafsirFi ZhilaliI Al-Qur’anJIA/Desember
2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60 76Shalah Abdul Fattah al Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan Di Bawah Naungan al
Quran, terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Yayasan Bunga Karang, Jakarta, h. 17-20.
Lihat Fadhullah, Mahdi, Ma’a Sayyid Quthub Fi Fikrihi Al-Siyasah Wa Al-Din, Mua’sasah Al-
Risalah, Beirut,1979. 77Muhammad Chirzin Jihad Menurut Sayyid Qutb Dalam Tafsir Fi Zhilali Al-Qur’an,
Era Intermedia, Jakarta, 2001.h.135
42
Meski ia fundamentalis modern, banyak pengamat Barat dan kaum liberal
mendapati bahwa gagasan-gagasannya sesekali cukup menenteramkan
hati.21 Dalam buku itu Qutb memaparkan konsep tentang keadilan dalam
islammelalui beberapa asas di antaranya kebebasan jiwa, persamaan
kemanusiaan dan jaminan sosial. Ia tak hanya ingin menampilkan konsep
yang matang saja, melainkan ia berharap agar umat islam bersatu padu
dalam merealisasikan syariat islam dalam bentuk amaliah yang telah
diletakkan asasnya tersebut.
43
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG BULAN DAN TAHUN DALAM AL-
QUR’AN
A. Bulan, dan Tahun dalam Kalender Arab
Kalender Hijriah berasal dari dua kata yaitu kalender dan Hijriah. Istilah
Kalender berasal dari bahasa Inggris modern calendar, dari bahasa Inggris
pertengahan berasal dari bahasa Perancis lama calendier yang asal mulanya dari
bahasa Latin kalendarium yang artinya buku catatan pemberi pinjaman uang.
Dalam bahasa Latinnya kalendarium berasal dari kata kalendae atau calendae
yang artinya hari permulaan suatu bulan78
Istilah Hijriah berasal dari bahasa arab hajara-yuhajiru-hijratan 79yang
artinya pindah ke negeri lain atau hijrah, karena penamaan Hijriah mengacu pada
perhitungan tahun pertama yang dimulai sejak peristiwa hijrahnya Nabi dari
Makkah ke Madinah80
Definisi asyhûr dari kebahasaan asal katanya asy-syahr jama’ ashur dan
suhur yaitu bulan dari bulan-bulan. Kalender yang berjumlah 12 solar kalender.
Menurut bulan kalender arab : Qanun atsani 31 hari, tsabat 28 hari dan oada tahun
kabisat 29 hari), khuzaron 30 hari, tanuz 31 hari, aab 31 hari, ilul 30 hari tisin
78Ruswa Darsono, Penanggalan Islam: Tinjauan Sistem, Fiqih dan Hisab Penanggalan,
Yogyakarta: LABDA Press, 2010, Hal.27. 79Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Penerbit
Pustaka Progressif, cet-14, 1997, Hal.1489. 80Ruswa Darsono, Penanggalan Islam: Tinjauan Sistem, Fiqih dan Hisab Penanggalan,
Yogyakarta: LABDA Press, 2010, Hal.28.
44
tsani 30 hari kanun al-awwal 31 hari.
Penangalan ini masih tetap berlaku di negara arab dan ditulis di majalah
dan surat kabar yang terbit di negara arab sedangkan oenanggalan syamsiah
Muharrom 30 hari, sofar 2 hari, rabi’ul awwal 30 hari, rabi’u tsani 29, jummadil
awwal 30 hari, jumadil akhiroh 29 hari, rajab 30 hari, sya’ban 29 hari, romadon
30 hari, syawal 29 hari, Dzulhijjah 29 hari, Dzulqo’dah 30 hari.81
Kalender merupakan salah satu karya cipta umat manusia dalam
mempelajari dan memanfaatkan keteraturan gerak alam. Pembahasan mengenai
kalender penelitian ini terkait dengan system penanggalan yang berdasarkan pada
perjalanan (pergerakan) bulan dan murni merupakan perhitungan bulan
mengelilingi matahari82 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kalender
memiliki makna yang sama dengan penanggalan, almanak, takwim, dan
tarikh.83Menurut Ruswa Darsono dalam bukunya Penanggalan Islam menjelaskan
bahwa kalender merupakan sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu yang
dengannya permulaan, panjang dan pemecahan bagian tahun ditetapkan yang
bertujuan menghitung waktu melewati jangka yang panjang.84Sebagaimana yang
dikutip oleh Susiknan Azhari dalam Leksikon Islam bahwa kalender Hijriah
adalah penanggalan Islam yang dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad
saw.85Dalam bahasa Inggris hijrah ditulis Hegira atau Hejira dengan kata sifatnya
81 Munjid Filughoh wal I’lam bab syin hal 406 82 Tono Saksono, Mengompromikan Hisab Rukyat (Jakarta: Amythas Publicita, 2007), h.
13 83Muh. Nashirudin, Kalender Hijriah Universal..... Hal.23. 84Ruswa Darsono, Penanggalan Islam: Tinjauan Sistem, Fiqih dan Hisab Penanggalan,
Yogyakarta: LABDA Press, 2010, Hal.28. 85Susiknan azhari, Kalender Islam..... Hal.27.
45
Hejric, sehingga dalam bahasa Inggris kalender Hijriah disebut Hejric Calendar.86
Kalender hijriyah adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-
hukum Islam. Seperti haji, puasa, haul zakat, ‘idah thalaq dan lain sebagainya.
Dengan menjadikan hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung
dalam firman Allah ta’ala,
والج للنهاس مواقيت هي قل الهلهة عن سألونك ي
“Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad
katakanlah: “Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi
haji.”(QS. Al-Baqarah: 189)
Sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu
menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun. Tahun renovasi
Ka’bah misalnya, karena pada tahun tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat
banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar. Tahun fiil (gajah), karena
saat itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena itu kita
mengenal tahun kelahiran Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dengan istilah
tahun fiil/tahun gajah. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian
seorang tokoh sebagai patokan, misal 7 tahun sepeninggal Ka’ab bin Luai.” Untuk
acuan bulan, mereka menggunakan sistem bulan qomariyah (penetapan awal
bulan berdasarkan fase-fase bulan)Kalender lunisolar pra Islam memiliki 12 bulan
yang tiap bulannya berjumlah 29 atau 30 hari, sehingga jumlah hari dalam satu
tahun kalender adalah 354 hari. Untuk menyesuaikan jumlah hari yang didasarkan
pada perputaran Bulan mengelilingi Bumi (lunar month) dengan jumlah hari
86Ruswa Darsono, Penanggalan Islam: Tinjauan Sistem, Fiqih dan Hisab Penanggalan,
Yogyakarta: LABDA Press, 2010, Hal.70.
46
dalam tahun Matahari yang jumlahnya mencapai sekitar 11,53 hari setiap
tahunnya, dibuatlah bulan sisipan87 (intercalary month) sebagai bulan ke-13 yang
dalam al-Quran disebut dengan an-nasi’.88
B. Nama-nama Bulan dalam Kalender Arab
Bulan sisipan inilah yang kemudian dijadikan oleh Arab pra Islam sebagai
alat untuk mempermainkan bulan Muharam yang dilarang untuk melakukan
peperangan. Jika mereka menginginkan peperangan, maka bulan Muharam akan
dirubah menjadi Safar sehingga tidak lagi menjadikan bulan tersebut sebagai
bulan yang dilarang untuk berperang89Sekilas nama-nama bulan pada kalender pra
Islam dengan kalender Islam saat ini sama, bahkan nama-namanya mirip dengan
pembagian bulan dalam zaman kuno yang dihitung berdasarkan pada tahun
Matahari90diantaranya adalah:
1. Muharam (bulan yang disucikan)91
2. Safar (bulan yang dikosongkan)92
3. Rabiul awal (musim semi pertama)93
87Bulan sisipan pada kalender yahudi dan kalender Arab sebelum masa kerasulan
Muhammad saw dilakukan penggabungan setiap tiga tahun agar kalender Kamariah tetap sesuai
dengan musim. Nama bulannya disesuaikan dengan musim, seperti bulan Ramadhan yang semula
berarti bulan musim panas terik. Disebut Nasi’artinya dilarang karena dalam ajaran Islam pada
bulan ke-13 itu diisi dengan upacara atau pesta yang dipandang sesat. Lihat T. Djamaluddiin,
Menggagas Fiqih Astronomi..... Hal.89. 88Tono Saksono, Mengkrompomikan Hisab..... Hal.61. lihat juga Moh. Nashiruddin,
Kalender Hijriah..... Hal.61 89Moh. Nashiruddin, Kalender Hijriah.....Hal.61. 90Maskufa, Ilmu Falaq, Jakarta: Gaung Persada, 2009, Hal.190. 91 A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133. artinya yang
diharamkan atau yang menjadi pantangan. Sebab pada bulan tersebut dilarang menumpahkan
darah atau berperang. Lihat Luwis Ma’luf, Munjid, (Beirut: Dar al-Masyrik, cet. 17 1986), hal.
130. Lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Al-‘Asri) Arab-Indonesia.
hal. 1645. 92 A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133. Artinya Kosong.
Dahulu, laki-laki Arab pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga, dan berperang ,
sehingga pemukiman kosong dari laki-laki. Lihat Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 427
47
4. Rabiul akhir (musim semi kedua)94
5. Jumadil ula (musim kering pertama)95
6. Jumadil akhir (musim kering kedua)96
7. Rajab (bulan pujian)97
8. Sya’ban (bulan pembagian)98
9. Ramadhan (bulan yang sangat panas)99
10. Syawal (bulan berburu)100
11. Zulkaidah (bulan istirahat)101
12. Dzulhijjah (menunaikan haji)102
93A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133. Rabi’ artinya
menetap dan awwal artinya pertama. Maksudnya kembalinya laki-laki yang merantau. Yaitu awal
menetapnya laki-laki di rumahLihat Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 246,21 94A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133. masa menetapnya
kaum laki-laki untuk terakhir atau penghabisan. Lihat Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 100 95A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133. Jumadi artinya
kering dan awwal artinya pertama. Lihat Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 100 96A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133. Disebut juga
musim kemarau yang penghabisan. Karena akhir dari penghabisan bulan kemarau. Lihat Luwis
Ma’luf, Munjid, hal. 100 97A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133. Disebut juga bulan
Mulia, . Lihat. Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 249. dulu bangsa Arab memuliakan bulan ini dengan
melarang berperang dan dinisbatkan kepada suku Mudhar karena mereka sangat komitmen dengan
bulan ini dan mengagungkannya berbeda dengan suku lainnya. Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar al-
Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah tth), hal.751. Lihat Fathul Bari
(Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet
II. Buku ke-22 hal. 617 98A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133. artinya
berkelompok. Lihat. Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 249 99A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133Lihat Luwis
Ma’luf, Munjid, hal. 280 100A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133. Artinya
Kebahagiaan. Lihat Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 408 101A. Kadir, Formula Baru Ilmu Falak, Jakarta: Amzah, 2012, Hal.133. Dzu Artinya
Pemilik dan Qa’dah artinya duduk. Lihat Luwis Ma’luf, Munjid, hal. 643, 237. Lihat Atabik Ali
dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Al-‘Asri) Arab-Indonesia. hal. 936 102 Luwis Ma’luf, Munjid, (Beirut: Dar al-Masyrik, cet. 17 1986), hal. 118
48
C. Pengertian Kalender Hijriyah
Kalender Hijriyah adalah sebuah kalender yang dipegangi umat Islam,
semua syari’at Islam yang berhubungan dengan hari, pekan, bulan dan tahun,
patokannya adalah pergerakan bulan (qamar) yang kemudian disebut dengan
kalender Qamariyah atau kalender Hijriyah.
Kalender Hijriyah ini adalah kalender murni yang menggunakan
perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi. Karena bulan sinodik (Synodic
Month) hanya memiliki 12 x 29,53 hari, maka satu tahun kalender Qamariyah ini
hanya memiliki 354,36707 hari. Berarti bahwa kalender Islam secara lebih
konsisten lebih pendek sekitar 11, 256 hari dari kalender Syamsiyah (tahun tropis)
karenanya juga selalu bergeser (maju) terhadap kalender Kristen Gregorian.103
Kalender Hijriyah yang digunakan oleh umat Islam merupakan sebuah
system penanggalan yang dikelompokkan ke dalam Astronomical Calendar, hal
ini dikarenakan kalender Hijriyah didasarkan pada realitas astronomi yang
terjadi.104Berbeda dengan kalender Masehi yang hanya didasarkan pada aturan
numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya) sehingga membuatnya
disebut Aritmathical Calendar.
Djamaluddin.T.,105 mengatakan bahwa kalender Hijriyah merupakan
kalender yang paling sederhana, yang mudah dibaca di alam. Awal bulan ini
ditandai dengan penampakan hilal sesudah matahari tenggelam (maghrib). Alasan
utama dipilihnya kalender bulan (Qamariyah) walaupun tidak dijelaskan dalam al-
103 Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqih Astronomi: Telaah Hisab Rukyat dan
pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, Bandung: Kaki Langit 2005, h. 88-89 104 Muhammad Ilyas,Sistem Kalender Islam dari Perspektif Astronomi, Cet. I, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997, h. 40 105 Hendro Setyanto, Membaca Langit,......, h. 46
49
Qur’an maupun al- Hadis- nampaknya karena kemudahan dalam mengenali
tanggal dari perubahan bentuk (fase bulan).Hal ini berbeda dengan kalender
Syamsiyah yang menekankan kepada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan
musim, tanpa memperhatikan perubahan hariannya.
Adapun Tahun Hijriyah (sanāh al-hijrī) adalah tahun yang dimulai pada
saat nabi Muhammad saw melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, sedangkan
perhitungan tahunnya didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dan
awal bulannya menggunakan penampakan bulan setelah terjadinya ijtimak pada
saat matahari terbenam. Dalam sistem penanggalan Hijriyah, pergantian hari
dimulai sesaat setelah matahari terbenam. Menurut hisab, kriteria pergantian bulan
hijriyah antara lain yaitu bahwa pergantian bulan hijriyah itu manakala ijtimak itu
terjadi sebelum terbenam matahari. Artinya jika ijtimak terjadi sebelum matahari
terbenam maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal 1 bulan
berikutnya, tetapi apabila sebaliknya yakni ketika ijtimak terjadi sesudah matahari
terbenam maka malam itu dan keesokan harinya merupakan hari ke-30 bulan yang
sedang berlangsung.106
Pendapat lain menyatakan bahwa pergantian bulan hijriyah itu tatkala
matahari terbenam dan posisi hilal sudah sedemikian rupa yakni hilal dapat
dilihat (imkan rukyah) sebagaimana menurut kriteria Kementerian Agama RI
tinggi hilal adalah > 2°dari ufuk mar’i. Artinya apabila pada saat matahari
terbenam sedangakan saat itu posisi hilal sudah imkan rukyah maka malam itu dan
keesokan harinya adalah tanggal 1 bulan berikutnya, tetapi apabila saat matahari
terbenam dan posisi hilal belum imkan rukyah maka malam itu dan keesokan
106 Muhyiddin Khazin, 2004, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana
Pustaka, h. 145
50
harinya merupakan hari ke 30 bulan yang sedang berlangsung.107
Dari beberapa pendapat tentang pergantian hari di atas maka pada
dasarnya perhitungan awal bulan itu adalah proses perhitungan untuk mengetahui
waktu matahari terbenam, waktu ijtimak, waktu hilal terbenam, dan posisi hilal
ketika matahari terbenam.108
Pada dasarnya, ada dua sistem kalender atau penanggalan. Pertama, sistem
penanggalan yang berdasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari, yang
selanjutnya dikenal dengan sistem syamsiah (solar sistem) atau tahun surya. Lama
hari dalam tahun syamsiah adalah 365 hari (untuk tahun pendek) dalam satu
tahun, sedangkan untuk tahun panjangnya adalah 366 hari. Kedua, sistem yang
didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi, yang dikenal dengan system
kamariah (lunar sistem) atau tahun candra. Satu tahun kamariah lamanya 354 hari
(untuk tahun pendek) dan 355 hari (untuk tahun panjang)).109
D. Dasar Hukum Kalender Hijriah
1. Dasar Hukum dari al-Qur’an
a. Surat Yunus ayat 5
ما والساب الس نني عدد لت علموا منازل وقدهره نورا والقمر ضياء الشهمس جعل الهذي هو
ي علمون لقوم اليت ي فص ل بلق إله ذلك الله خلق
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
107 Muhyiddin Khazin, 2004, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana
Pustaka, h. 145-146 108 Muhyiddin Khazin, 2004, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana
Pustaka, h. 146 109Muhyiddin Khazin, 2004, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana
Pustaka, h. 146
51
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.110Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt telah menetapkan manzilah-
manzilah bagi Bulan sebagai tempat-tempat dalam perjalanannya mengitari
Matahari, sehingga Bulan terlihat berbeda di Bumi sesuai dengan posisinya
dengan Matahari111
Kata qaddarahû manâzila dipahami dalam arti Allah swt menjadikan
bagi bulan manzilah-manzilah, yakni tempat-tempat dalam perjalanannya
mengitari matahari, setiap malam ada tempatnya dari saat ke saat sehingga
terlihat di bumi ia selalu berbeda sesuai dengan posisinya dengan matahari.
Inilah yang menghasilkan perbedaan-perbedaan bentuk bulan dalam pandangan
kita di bumi. Dari sini pula dimungkinkan untuk menentukan bulan-bulan
hijriyah. Untuk mengelilingi bumi, bulan menempuhnya selama 29 hari 12 jam
44 menit 2,8 detik. Ada juga ulama’ yang memahami kata qaddaraû manâzila
bukan hanya terbatas pada bulan tetapi juga matahari. Memang żamir / kata
ganti nama yang digunakan ayat ini berbentuk tunggal, tetapi menurut mereka
al-Qur’an tidak jarang menggunakan bentuk tunggal tetapi maksudnya adalah
dual dalam rangka mempersingkat. Ini serupa dengan firman-Nya dalam surat
at-Taubah: 62: “Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patutmereka
cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mu’min.” Kata
“nya” yang menyertai kata “keridhaannya” disini berbentuk tunggal padahal
yang dimaksud adalah Allah dan Rasul-Nya. Ulama’ yang memahaminya
110Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma,
melainkan dengan penuh hikmah. 111 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 20.
52
demikian mempersamakan kandungan ayat 5 surat ini dengan firman-Nya:
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulandan malampun tidak
dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredarpada garis edarnya”
(QS. Yasin: 40).112
b. Surat al-An’am ayat 96
صباح فالق العليم العزيز ت قدير ذلك حسبان والقمر والشهمس سكنا اللهيل عل وج ال
“Dan Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk
beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan.
Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.”
Kata husbânan terambil dari kata hisab. Penambahan huruf alif dan
nun, memberikan arti kesempurnaan sehingga kata tersebut diartikan
perhitungan yang sempurna dan teliti. Penggalan ayat ini dipahami oleh
sebagian ulama’ dalam arti peredaran matahari dan bumi terlaksana dalam
satu perhitungan yang sangat teliti. Peredaran benda-benda langit sedemikian
konsisten, teliti, dan pasti, sehingga tidak terjadi tabrakan antar planet-planet,
dan dapat diukur sehingga diketahui –misalnya kapan terjadinya gerhana- jauh
sebelum terjadinya. Ada juga ulama’ yang memahami penggalan ayat di atas
dalam arti Allah menjadikan peredaran matahari dan bulan sebagai alat untuk
melakukan perhitungan waktu; tahun, bulan, minggu, dan hari, bahkan menit
dan detik. Bulan memantulkan sinar matahari ke arah bumi dari permukaannya
yang tampak terang, hingga terlihatlah bulan sabit. Apabila, pada paruh
pertama, bulan berada pada posisi di antara matahari dan bumi, bulan itu
menyusut, yang berarti bulan sabit baru muncul untuk seluruh penduduk
112 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 6,( Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.20.
53
bumi.113
Dengan cara demikian dapat ditentukan dengan mudah penanggalan
bulan hijriyah. Perputaran bulan itulah yang mengajarkan manusia cara
perhitungan bulan, termasuk di antaranya bulan haji. Peredaran matahari
mengilhami perhitungan bulan.114
Ayat di atas juga mengisyaratkan dampak perbedaan matahari dan
bulan terhadap munculnya cahaya dan gelap. Kedua makna husbânan di atas
dapat diterima oleh banyak ulama’ tanpa memilih salah satunya. Kata taqdīr
digunakan oleh al-Qur’an untuk makna pengaturan dan ketentuan yang sangat
teliti. Kata ini terulang di dalam al-Qur’an sebanyak tiga kali dalam konteks
uraian tentang penciptaan. Ia digunakan untuk menunjukkan konsistensi
hukum-hukum Allah yang berlaku di alam raya.115
c. Surat al-Baqarah [2] ayat 185
شهد فمن والفرقان الدى من وب ي نات للنهاس هدى القرآن فيه أنزل الهذي رمضان شهر
ة سفر على أو مريضا كان ومن ف ليصمه الشههر منكم م من فعده بكم الله يريد أخر أيه
وا العدهة ولتكملوا العسر بكم يريد ول اليسر تشكرون ولعلهكم هداكم ما على الله ولتكب
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yangbathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeritempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
113 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.20. 114 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.20. 115 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 6, Jakarta: Lentera Hati, 2004, Hal.210.
54
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur.
Ayat ini merupakan jawaban dari pertanyaan para sahabat tentang Bulan
Sabit. Demikian ditentukan perhitungan waktu melalui Bulan, demikian juga
diketahui permulaan dan akhir pelaksanaan ibadah haji. Penyebutan haji secara
khusus untuk menegaskan bahwa ibadah tersebut mempunyai waktu tertentu,
tidak boleh diubah dengan memajukan atau menundanya seperti yang dilakukan
oleh orang-orang musyrik melalui praktik apa yang dinamai oleh al-Quran dengan
nasi’116
2. Dasar hukum dari Hadits
a. Hadits Riwayat Muslim dari Ibn Umar (al-Hajjaj, tt: 481) :
هما للا رضي – عمر بن للا عبد عن : وسلهم عليه للا صلهى للا رسول قال : قال – عن رواه ،”له فاقدروا عليكم غمه فإن . ت روه حته ت فطروا ول اللل ت روا حته تصوموا ل “
ثلثني العدهة فأكملوا عليكم غمه فإن “ لما رواية وف ، ومسلم البخاري ”.
Artinya : “Dari Ibnu Umar ra. Berkata Rasulullah saw bersabda satu bulan
hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum melihat bulan, dan
jangan berbuka sebelum melihatnya dan jika tertutup awan maka
perkirakanlah. (HR. Muslim)117
116M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 1, Jakarta: Lentera Hati, 2004, Hal.417. 117 Abi al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayriy al-Naysaburiy, Shahîh
MuslimPenahkik: Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991),
Juz 2, h. 1027
55
b. Hadits Riwayat Bukhari (Bukhari, 1994: 34):118
ث نا ث نا مسلمة بن الله عبد حده هما الله رضي عمر بن الله عبد عن نفع عن مالك حده عن ول اللل ت روا حته تصوموا ل ف قال رمضان ذكر وسلهم عليه الله صلهى الله رسول أنه
له فاقدروا عليكم غمه فإن ت روه حته ت فطروا
Artinya : “Dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar bahwasanya Rasulullah saw
menjelaskan bulan Ramadhan kemudian beliau bersabda: janganlah kamu
berpuasa sampai kamu melihat hilal dan (kelak) janganlah kamu berbuka
sebelum melihatnya lagi. jika tertutup awan maka perkirakanlah (HR
Bukhari)
c. Hadits Riwayat Bukhari (Bukhari, 1994: 34)119
وهكذا هكذا الشههر , نسب ول نكتب ل ، أم يهة أمهة إنه
Artinya : “ Dari Said bin Amr bahwasanya dia mendengar Ibn Umar ra dari
Nabi saw beliau bersabda : sungguh bahwa kami adalah umat yang Ummi
tidak mampu menulis dan menghitung umur bulan adalah sekian dan sekian
yaitu kadang 29 hari dan kadang 30 hari (HR Bukhari)
d. Hadits riwayat Muslim dari Kuraib120
م، أخبن كريب، أنه أمه الفضل بنت الارث، ب عث ته إل معاوية بلشهام قال: ف قدمت الشهالة اجلمعة، ثه ف قضيت حاجت ها، واستهله عليه هلل رمضان وأن بل شهام، ف رأي نا اللل لي
118 Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhariy (194-256 H),Shahîh al-Imâm al-
BukhâriyPenahkik: M. Zahir Nashir al-Nashir(Beirut: Dar Thawq al-Nashir, 1422 H), Juz 7, h. 12
dan 95 119 Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhariy (194-256 H),Shahîh al-Imâm al-
BukhâriyPenahkik: M. Zahir Nashir al-Nashir(Beirut: Dar Thawq al-Nashir, 1422 H), Juz 7, h. 12
dan 95
56
قدمت املدينة ف آخر الشههر، فسألن ابن عبهاس، ثه ذكر اللل، ف قال: مت رأي تم لة اجلمعة، ف قال: أأنت رأي ت لة اجلمعة؟ ف قلت: رآه النهاس، اللل، ف قلت رأي ناه لي ه لي
لة السهبت، فل ن زال نصوم حته نكمل ثلثني وصاموا، وصام معاوية، قال: لكن رأي ناه لي أمرن رسول »مه، قال: ل، هكذا ي وما، أو ن راه، ف قلت: أل تكتفي برؤية معاوية وصيا
عليه وسلهم «الله صلهى الله
Artinya :“Dari Kuraib, bahwa Ummu Fadl binti al-Haris mengutus Kuraib
menghadap Muawiyah di Syam, lalu Kuraib berkata: Setelah saya sampai
di Syam, saya selesaikan urusan Ummu Fadl dan tampaklah oleh saya hilal
ramadlan ketika saya di Syam. Saya melihat hilal pada malam Jum’at.
Kemudian saya datang ke Madinah pada akhir bulan (ramadhan), lalu
Abdullah bin Abbas memanggilku lalu membicarakan tentang hilal.
Abdullah bertanya: Kapan kamu (Kuraib) melihat hilal?.” Saya menjawab:
“Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Kamu melihatnya? Aku
menjawab: ya, dan banyak orang yang melihatnya lalu mereka berpuasa,
Muawiyah juga berpuasa. Abdullah bin Abbas berkata: “Tetapi kami
melihatnya pada malam Sabtu, kita senantiasa (mulai)berpuasa hingga
menyempurnakan (Sya’ban)30 hari atau melihat hilal.” Kemudian saya
(Kuraib) berkata: tidak cukupkah dengan ru’yat mereka dan puasanya
Mu’awiyah? Jawab Abdullah: tidak, demikian inilah perintah Rasulullah
SAW. (HR. Muslim dari Kuraib)121
Sistem penanggalan seperti ini berlanjut sampai ke masa Rasulullah
121 Abi al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayriy al-Naysaburiy, Shahîh
MuslimPenahkik: Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991),
Juz 2, h. 1027
57
shallallahu’alaihiwasallam dan khalifah Abu Bakr Ash-Sidiq
radhiyallahu’anhu. Barulah di masa khalifah Umar bin Khatab
radhiyallahu’anhu, ditetapkan kalender hijriyah yang menjadi pedoman
penanggalan bagi kaum muslimin.Pada suatu saat terdapat persoalan yang
menyangkut sebuah dokumen pengangkatan Abu Musa al-Asy‟ari sebagai
gubernur di Basrah yang terjadi pada bulan Syakban. Muncul pertanyaan
bulan Syakban yang mana?122
E. Fungsi Hilal dalam Al-Qur’an serta Kaitannya dengan Siklus Peribadatan
Berkaitan dengan ayat di atas M. Quraish Shibab menjelaskan bahwa suatu
ketika para sahabat bertanya tentang bulan sabit. Firman-Nya: mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit, mengapa bulan pada mulanya terlihat seperti sabit
kecil, tetapi dari malam ke malam ia membesar hingga mencapai purnama,
kemudian mengecil dan mengecillagi, sampai menghilang dari pandangan?
Katakanlah, “bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia. Waktu
dalam penggunaan al-Qur’an adalah batas akhir peluang untuk menyelesaikan
suatu aktivitas. Iadalah kadar tertentu dari satu masa.
Dengan keadaan bulan seperti itu, manusia dapat mengetahui dan
merancang aktivitasnya sehingga dapat terlaksana sesuai dengan masa
penyelesaian (waktu) yang tersedia, tidak terlambat, apalagi terabaikan dengan
berlalunya waktu; dan juga untuk waktu pelaksanaan ibadah haji Seperti terlihat
diatas, jawaban yang diberikan ini tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan.
122Muhyiddin khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka,
2008, Hal.110.
58
Karena jawaban yang seharusnya diberikan adalah bahwa bulan memantulkan
sinar matahari ke bumi melalui permukaannya yang tampak dan terang hingga
terbitlah sabit. Apabila pada paruh pertama, bulan berada pada posisi di antara
matahari dan bumi, bulan itu menyusut yang berarti muncul bulan sabit baru. Dan,
apabila berada di arah berhadapan dengan matahari, di mana bumi berada di
tengah, akan tampak bulan purnama. Kemudian purnama itu kembali mengecil
sedikit demi sedikit sampai paruh kedua. Dengan demikian sempurnalah satu
bulan Hijriyah selama 29,5309 hari. Atas dasar ini dapat ditentukan penanggalan
arab, sejak munculnya bulan sabit hingga bulan tampak sempurna sinarnya.123
Bila bulan sabit tampak seperti garis tipis di ufuk barat, kemudian
tenggelam beberapa detik setelah tenggelamnya matahari, ketika itu dapat terjadi
rukyah terhadap bulan. Demikian ditentukan perhitungan waktu melalui bulan,
demikian juga diketahui permulaan dan akhir masa pelaksanaan ibadah haji.
Penyebutan haji secara khusus untuk menegaskan, bahwa ibadah tersebut
mempunyai waktu tertentu, tidak boleh diubah dengan mengajukan atau
menundanya.124
Mengetahui kehadirannya dengan melihat melalui mata kepala,atau
dengan mengetahui melalui perhitungan, bahwa ia dapat dilihat denganmata
kepala maka hendaklah ia berpuasa. Yang tidak melihatnya dalam pengertian di
atas wajib juga berpuasa bila ia mengetahui kehadirannya melalui orang yang
terpercaya.125
123 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 6,( Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.20. 124M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 6,( Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 417 125M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 6,( Jakarta: Lentera Hati, 2004), h.404.
59
F. Latar Belakang Penanggalan Hijriah
Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa Al-Asy-
‘Ari radhiyahullahu’anhu; sebagai Gubernur Basrah kala itu, dari khalifah Umar
bin Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah
melalui sepucuk surat,
اتريخ لا ليس كتب منك أيتينا إنه
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”126
Dalam riwayat lain disebutkan,
فل شعبان، حمله كتاب قرأن وقد نعمل، أي على ندري فل كتب، املؤمنني أمي من أيتينا إنهه املاضي أم فيه نن الذي أهو ندري
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak
tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca
salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban
tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat
untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan
penanggalan bagi kaum muslimin.127
Peristiwa hijrah adalah pengorbanan besar pertama yang dilakukan Nabi
126E. Dermawan Abdullah, Jam Hijriah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011, Hal.70-71. 127Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam..... Hal.110.
60
dan umatnya untuk keyakinan Islam, terutama dalam masa awal
perkembangannya128Tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriah ada yang berpendapat
jatuh pada hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M. Penetapan ini kalau berdasarkan
pada hisab, sebab irtifa’hilal pada hari Rabu 14 Juli 622 M sewaktu Matahari
terbenam sudah mencapai 5 derajat 57 menit. Pendapat lain mengatakan 1
Muharam 1 Hijriah jatuh pada hari Jumat tanggal 16 Juli 622 M. Ini apabila
permulaan bulan didasarkan pada rukyat, karena sekalipun posisi hilal pada
menjelang 1 Muharam 1 Hijriah sudah cukup tinggi, namun waktu itu tidak satu
pun didapati laporan hasil rukyat129
Surat at-Taubah ayat 36
ة إنه ها والرض السهماوات خلق ي وم الله كتاب ف شهرا عشر اث نا الله عند الشهور عده أرب عة من
ين ذلك حرم كافهة م ي قاتلونك كما كافهة المشركني وقاتلوا أن فسكم فيهنه تظلموا فل القي م الد
(36) المتهقني مع الله أنه واعلموا
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum
musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya,
dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini menceritakan tentang kaum musyrikin, tentang bulan yang
mempunyai kaitan erat dengan ibadah haji dan juga dengan zakat dari sisi haul,
yakni masa jatuhnya kewajiban membayar zakat. Allah menegaskan bahwa
sesungguhnya batas yang tidak dapat ditambah atau dikurangi menyangkut
128et Hambali, Almanak Sepanjang..... Hal.59. 129Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam..... Hal.110-111.
61
bilangan bulan di sisi Allah yaitu menurut ketetapan dan perhitungan-Nya
sebanyak dua belas bulan tidak lebih, tidak kurang dan juga tidak dapat
diputarbalikkan tempatnya130 Di antara dua belas bulan itu terdapat empat bulan
haram yaitu Zulkaidah, Zulhijjah, Muharam dan Rajab. Penyebutan empat bulan
haram ini sebagai penegasan tentang ketetapan Allah Swt tentang keharaman
berperang pada empat bulan tersebut melalui lisan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
dan terus berlaku hingga masa kenabian Muhammad saw.131Berdasarkan ayat-ayat
inilah kemudian para astronom muslim menentukan panjang garis edar Matahari
dan Bulan serta waktu tempuh kedua benda itu mengelilingi Bumi. Dan juga
membuat berbagai kalender berdasarkan perubahan fase Bulan dan pergerakan
Matahari132
G. Penetapan Awal Tahun Hijriah
Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul
beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.
Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi
shallallahu’alaihiwasallam. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat
sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan
penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander). Yang lain mengusulkan,
dimulai dari tahun hijrahnya Nabi shallallahu’alaihiwasalam ke kota Madinah.
Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hati
Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu ternyata condong kepada usulan ke dua ini,
130M. Quraish Shihab, Tafsir..... Juz 5, Hal.585-586. 131Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Juz 10, Beirut: Dar al-Fikr, tt, Hal.114. 132Anton Ramdan, Islam dan Astronomi, Jakarta: Bee Media Indonesia, 2009, Hal.57.
62
هبا فأرخوا والباطل احلق بني فرقت اهلجرة
”Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah
ia sebagai patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu
mengutarakan alasan.
Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah
sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala,
فيه ت قوم أن أحق ي وم أوهل من الت هقوى على أس س لمسجد
“Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. “(QS. At-Taubah:108)
Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah
hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi. Sehingga moment tersebut pantas
dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.
H. Dasar Hukum dari al-Hadis
Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani133 rahimahillah dalam Fathul Bari menyatakan,
التقوى على أسس ملسجد: تعال قوله من بلجرة التاريخ أخذوا الصحابة أن السهيلي وأفاد وهو مضمر شيء إل أضيف أنه فتعني ، مطلقا اليم أول ليس أنه املعلوم من لنه يوم أول من
133Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah
tth), hal.751. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin,
Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 617
63
وابتدأ ، آمنا ربه – وسلم عليه للا صلى – النيب فيه وعبد ، السلم فيه عز الذي الزمن أول قوله أن فعلهم من وفهمنا ، اليوم ذلك من التاريخ ابتداء الصحابة رأي فوافق ، املسجد بناء أول من: قوله معىن أن واملتبادر ، قال كذا ، السلمي التاريخ أيم أول أنه يوم أول من تعال . أعلم وللا املدينة وأصحابه – وسلم عليه للا صلى – النيب فيه دخل أي يوم
” Pelajaran dari As-Suhaili134: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah
sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah ta’ala,
فيه ت قوم أن أحق ي وم أوهل من الت هقوى على أس س لمسجد
“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108)
Sudah suatu hal yang maklum; maksud hari pertama (dalam ayat ini)
bukan berarti tak menunjuk pada hari tertentu. Nampak jelas ia dinisbatkan pada
sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat. Yaitu hari pertama kemuliaan islam. Hari
pertama Nabi shallallahu’alaihiwasallam bisa menyembah Rabnya dengan rasa
aman. Hari pertama dibangunnya masjid (red. masjid pertama dalam peradaban
Islam, yaitu masjid Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk
menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.
Hadis Riwayat Bukhori135
Dari keputusan para sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud “sejak
hari pertama” (dalam ayat) adalah, hari pertama dimulainya penanggalan umat
135Muhammad ibn Ismail al Bukhori, Shahih Bukhari, juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1992, Hal.588.
64
Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah
ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya
Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya ke kota Madinah.”136
Sebenarnya ada opsi-opsi lain mengenai acuan tahun, yaitu tahun
kelahiran atau wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Namun mengapa dua
opsi ini tidak dipilih? Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan alasannya,”
فأعرضوا الوفاة وقت وأما ، السنة تعيني ف النزاع من منهما واحد خيلو ل واملبعث املولد لن
. ، الجرة ف فانصر ، عليه السف من بذكره توقع ملا عنه
“Karena tahun kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum
diketahui secara pasti. Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak
memilihnya karena akan menyebabkan kesedihan manakala teringat tahun itu.
Oleh karena itu ditetapkan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.”137
Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Nabi
shallallahu’alaihiwasallam sebagai acuan; karena dalam hal tersebut terdapat
unsur menyerupai kalender Nashrani. Yang mana mereka menjadikan tahun
kelahiran Nabi Isa sebagai acuan.
Dan tidak menjadikan tahun wafatnya Nabi shallallahu’alaihiwasallam
sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang
Persia (majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan
penanggalan.
136Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah tth),
hal.7: 335. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin,
Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 617 137Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah tth),
hal.7:335. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin,
Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 617
65
I. Penentuan Bulan
Perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah.
Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khatab dan
Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.
حجهم من الناس منصرف فإنه بحملرم بل
“Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai
melakukan ibadah haji.” Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu.
Akhirnya para sahabatpun sepakat.
Alasan lain dipilihnya bulan muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu
Hajar rahimahullah138,
مقدمة وهي الجة ذي أثناء ف وقعت البيعة إذ ؛ احملرم ف كان الجرة على العزم ابتداء لن
جيعل أن فناسب احملرم هلل الجرة على والعزم البيعة بعد استهل هلل أول فكان ، الجرة
بحملرم البتداء مناسبة من عليه وقفت ما أقوى وهذا ، مبتدأ
“Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharam. Dimana
baiat terjadi dipertengahan bulan Dzulhijah (bulan sebelum muharom)
Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama
setelah peristiwa bai’at adalah hilal bulan muharam, serta tekad untuk berhijrah
juga terjadi pada hilal bulan muharam (red. awal bulan muharam). Karena inilah
muharam layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih
138 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah
tth), hal.751. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin,
Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 335-336. Bidayah wan Nihayah 3/206, Al-
I’lam bi at-Tauwbikh li man Dzammu At-Taarikh, Karya Asy-Syakhowi hal 78
66
bulan muharam.” (Fathul Bari, 7/335)139
Mereka memulai penanggalannya pada awal tahun itu yaitu bulan
Muharram, menurut Imam Malik. Sedangkan diceritakan dari as Suhaily dan yang
lainnya bahwa awal tahun diambil dari Robiul Awal saat kedatangan Rasulullah
saw ke Madinah. Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa awal tahun itu adalah
Muharram dan ia adalah awal tahun Islam. 140. As Suhaili141 menyebutkan bahwa
para sahabat memulai penanggalan dengan hijrah Rasulullah saw dari firman
Allah swt :
لهمسجد أس س على الت هقوى من أوهل ي وم أحق أن ت قوم فيه
”Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah : 108)
Ibnu Hajar menyebutkan saat mereka berselisih didalam penentuan
penanggalan itu, Umar mengatakan, ”Hijrahlah yang membedakan antara
kebenaran dan kebatilan maka mulailah penanggalan darinya.” Dan peristiwa ini
terjadi ditahun 17 H.142
Ia juga menyebutkan tatkala para sahabat bersepakat dengan hijrahnya
Rasulullah saw sebagaai penanggalan lalu ada yang mengusukan, ”Mulailah dari
139Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah
tth), hal.751. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin,
Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 617 140Bidayah wa Nihayah juz III hal 213, juz VII hal 78 – 79 141Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah
tth), hal.751. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin,
Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 617 142 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah
tth), hal.751. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin,
Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 617
67
bulan Ramadhan.” Maka Umar mengatakan, ”Akan tetapi.. mulailah dari bulan
Muharam karena ia adalah bulan haram.”143
Ada juga yang menyebutkan bahwa yang pertama kali menentukan
penanggalan adalah Ya’la bin Umayyah tatkala berada di Yaman sebagaimana
riwayat dari Ahmad bin Hambal dengan sanad yang shahih namun ada yang putus
yaitu antara ‘Amr bin Dinar dan Ya’la.144
Di dalam riwayat Hakim dari Said bin Musayyib disebutkan suasana
musyawarah yang terjadi diantara para sahabat dalam penentuan penanggalan itu.
Setelah disepakati dimulai dari hijrahnya saw kemudian Umar menanyakan—
kepada peserta musyawarah—dari bulan apa kita memulainya?
Sebagian mengatakan, ”Dari bulan rajab.” Ada yang mengatakan,
”Ramadhan.” Maka Utsman mengatakan, ”Mulailah penanggalan dari bulan
Muharram karena ia adalah bulan haram dan dia adalah awal tahun keberangkatan
manusia untuk pergi berhaji.” Dia (Hakim) menyebutkan bahwa peristiwa ini
terjadi pada tahun 17 H tapi ada juga yang mengatakan tahun 16 H di bulan
Robiul Awal.
143 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah tth),
hal.751. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin, Jakarta:
Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 617 144Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah
tth), hal.751. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin,
Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 617
68
Dari sejumlah data di atas maka yang mengusulkan agar penanggalan
dimulai dari bulan Muharam adalah Umar, Utsman dan Ali ra.”145
Sampai akhirnya di zaman Umar bin Khattab146radhiyallahu ‘anhu
menjadi khalifah. Di tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau
mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari 147radhiyallahu ‘anhu, yang
saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah. Dalam surat itu, Abu
Musa mengatakan:
إنه أيتينا من أمي املؤمنني كتب، فل ندري على أي نعمل، وقد قرأن كتاب حمله شعبان، فل ندري أهو الذي نن فيه أم املاضي
“Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin,
sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah
mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat
itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:
ضعوا للناس شيئا يعرفونه
“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”
145Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah
tth), juz VII hal.300-302. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah,
Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 617
69
Ada yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan
ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi
sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain148
Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-
Musayib, beliau menceritakan:
Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar
radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.”
Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali
adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian
Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama149
Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjadi acuan?
Jawabannya disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar150 sebagai berikut:
أن الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن المور اليت يكن أن يؤرخ با أربعة، هي مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن املولد واملبعث ل خيلو من النزاع ف تعيني سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته ملا يثيه من الزن والسى عند املسلمني، فلم يبق إل الجرة
148Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi Fashlul
Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab Amirul Mu’minin Umar bin Khotob ra, (Kairo: ‘ain al-syams,
2002 1:150) 149 al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi 150Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah
tth), hal.751. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin,
Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 7;268
70
Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab151, mereka
menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender
ada empat: tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun ketika
diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat. Namun
ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun
ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa
itu. Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan
menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun
hijrah beliau.152
Abu Zinad mengatakan:
استشار عمر ف التاريخ فأمجعوا على الجرة
“Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka
sepakat mengacu pada peristiwa hijrah153
Setelah mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan
apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama. Pada musyawarah tersebut, Utsman
bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender
Hijriah adalah Muharam. Karena beberapa alasan:
a. Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa
masa silam.
151 152Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah
tth), hal.751. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin,
Jakarta: Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 7;268 153(Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi Fashlul
Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab Amirul Mu’minin Umar bin Khotob ra, (Kairo: ‘ain al-syams,
2002 1:150)
71
b. Di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar
yaitu haji ke baitullah.
c. Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena
pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan
Baiat Aqabah yang kedua.154
154 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Alamiyah tth),
hal.751. Lihat Fathul Bari (Penjelasan Kitab Sahih al-Bukhari), Penerjemah, Amiruddin, Jakarta:
Pustaka Azzam :2007, cet II. Buku ke-22 hal. 7:268
72
BAB IV
PENGERTIAN ASYHUR AL-HURUM SEBELUM DAN SESUDAH ISLAM
A. Definisi Bulan Hurum
Al-Asyhur al-ḥurum155 adalah kata dari bahasa Arab yang memiliki arti
bulan-bulan yang dimuliakan Kata hurum jamak dari kata haram berasal dari kata
yahrumu, dengan - يحرم haruma, bentuk mudhory' (present tense)156 adalah - حرم
mashdar ada beberapa bentuk: حرم - hurmun, حرم - hurumun, حرمة - hirmatun, dan
رم ع ل يه اال مر harâmun. artinya: menjadi terlarang.157 – حرام م، ح ر ام، مح ر 158..ح
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa yang dimksud dengan bulan-bulan hurum
adalah empat bulan yang dimuliakan dari dua belas bulan yang ada dissisi Allah.
Yaitubulan Muharram, Rajab, Zulqo’dah dan Zulhijjah.
B. Asyhur al-Hurum pada masa pra Islam.
Apakah orang Arab menepati bulan Hurum? Ada satu suku yaitu Mudhar
yang sangat menepati bulan hurum. Larangan perang pada bulan haram telah ada
sejak zaman Jahiliyah dan tetap berlaku sampai permulaan Islam. Dalam Tafsir Fi
Zhilal Alquran karya Sayyid Quthb dijelaskan, bahwa pengharaman ini berkenaan
dengan diwajibkannya haji pada bulan-bulan tertentu sejak zaman Nabi Ibrahim
155 Bulan hurum terdiri dari kata Asyhur dan hurum. Asyhur adalah jama’ danri bulan dalam Bahasa
Arab sedangkan dalam Bahasa Indonesia artinya nama bulan. Hurum merupakan bentuk jamak dari kata
kharam, kata kharam merupakan bentuk derivative dari kata Arab harama yang mengandung makna larangan
dan pertentangan. Kata harama berkembang pula maknanya sehingga berarti hormat. Al-Qurthubi, seorang
ahli tafsir, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bulan hurum adalah empat bulan yang dimuliakan dari
dua belas bulan yang ada pada sisi Allah adalah bulan Muharam, Rajab, Zulqa’dah, dan Zulhijjah. (lihat:
Abdul Halim, Ensiklopedi Haji dan Umrah, Jakarta: PT Grafindo Persada: 2002), h. 31 156 Al-‘Alamah al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al- Fikr, 1992), h.
229 157Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Edisi Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif,
2002), h. 309 158Shihab, M Quraish,Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid III, (Ciputat:
Lentera Hati, 2001), 11
73
dan Ismail. 159
Meskipun bangsa Arab sudah banyak mengubah agama Nabi Ibrahim dan
sudah menyimpang darinya dalam kejahilan mereka sebelum Islam, mereka
masih menghormati bulan-bulan haram ini. Karena ada hubungannya dengan
musim haji yang menjadi amat penting bagi kehidupan suku Hijaz, khususnya
penduduk Makkah yang masa itu juga merupakan masa-masa perdamaian yang
menyeluruh di Jazirah Arab untuk berpergian dan berniaga. Bulan hurum tidak
selalu identic dengan haji karena bulan Rajab tidak terkait haji
Menurut Ensiklopedi Islam, orang Arab dahulu memuliakan bulan ini
dengan cara menyembelih anak unta yang pertama dari induknya. Kurban ini
disebut fara'a dan dilakukan pada 1 Rajab. Pada 10 Rajab, anak unta disembelih
lagi, tetapi tidak mesti anak unta pertama. Penyembelihan kurban ini disebut
'atirah, sebagai persembahan untuk tuhan mereka dalam rangka mendekatkan diri
kepada tuhan-tuhan.
Orang Arab Jahiliyah160 meskipun mengakui adanya bulan yang
dimuliakan tersebut namun, mereka sering melanggarnya dengan melakukan
peperangan pada bulan haram tersebut. Apabila peperangan di antara mereka
sedang berlangsung dan bulan haram masuk, mereka sulit untuk menghentikan
159 Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al Quran Al Mujallad Al Awwal,Dar asy Syuruq, Kairo, 1992, h. 2 160 Masyarakat Arab pra-Islam selalu diidentikkan dan disebut dengan masyarakat jahiliah.
Dalam al-Qur’an, sebutan jahiliyah pada subtansinya adalah permusuhan atau kecenderungan
untuk memusuhi dalamberbagai bentuk. (Tentang istilah dan subtansi jahiliyah dapat dilihat dalam
QS (3): 154, (5): 50, (33): 33, dan (48): 26). Masyarakat jahiliyah ditegakkan atas dasar
permusuhan dan pertumpahan darah antar suku. Perang menjadi bagian dari hidup mereka,
sehingga sulit terbentuk kesatuan politik. (lihat: Effat, Al-Sharqawi, Filasafat Kebudayaan Islam,
ter. Ahmad Rofi’ Usmani, Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 69. Namun demikian, kejahiliahan
masyarakat Arab tidak berarti mereka tidak memilki peradaban dan nilai-nilai religius.
74
peperangan itu. Bulan haram mereka pindahkan ke bulan lain. Sehingga, mereka
ubah bulan-bulan haram yang telah ditetapkan oleh Allah ke bulan lain. Bahkan
sekadar untuk memenuhi nafsu peperangannya, mereka menambah jumlah
bilangan bulan dalam satu tahun menjadi tiga belas atau empat belas bulan.
Sehingga, demikian bertambah kafirlah mereka.161
Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa kaum kafir pra-Islam sering
mengubah penanggalan bulan serta menambah jumlah bulan menjadi tiga belas
untuk setiap tahun sehingga Muharram jatuh pada Shafar. Ini agar mereka dapat
menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam Muharram. Mereka biasa
mengubah, menambah, atau mengurangi jumlah tanggal atau bulan jika sesuai
kepentingan merek, baik sebagai strategi perang atau menghalalkan perburuan
pada bulan-bulan tersebut.
C. Asyhur Hurum Dalam Pandangan Islam
Larangan perang pada bulan haram yang telah ada sejak zaman Jahiliyah
tetap berlaku sampai permulaan Islam. Dalam Tafsir Fi Zhilal Alquran karya
Sayyid Quthb dijelaskan, pengharaman ini berkenaan dengan diwajibkannya haji
pada bulan-bulan tertentu sejak zaman Nabi Ibrahim dan Ismail, yang menjadi
amat penting bagi kehidupan suku Hijaz, khususnya penduduk Makkah. Bulan-
bulan Hurum juga merupakan masa-masa perdamaian yang menyeluruh di
161 Al-Sharqawi, Filasafat Kebudayaan Islam, ter. Ahmad Rofi’ Usmani, Bandung:
Pustaka, 1986), hlm. 69.
75
Jazirah Arab untuk berpergian dan berniaga di sana.162
Bulan-bulan haram itu ada empat yaitu: Rajab, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah,
dan Muharram. Satu bulan yang letaknya terpisah (dari yang lain) yaitu Rajab,
sementara sisanya terletak berurutan, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram.
Keharaman berperang ini termaktub dalam firman Allah pada surah al-Baqarah
[2] ayat 217:
والمسجد به وكفر الله سبيل عن وصد كبي فيه قتال قل فيه قتال الرام الشههر عن يسألونك
نة الله عند أكب منه أهله وإخراج الرام ي ردوكم حته ي قاتلونكم ي زالون ول القتل من أكب والفت
أعمالم حبطت فأولئك كافر وهو ف يمت دينه عن منكم ي رتدد ومن استطاعوا إن دينكم عن
ن يا ف خالدون فيها هم النهار أصحاب وأولئك والخرة الد
Artinya :”. Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.
Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar tetapi menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk)
Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya)
di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.
mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka
sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati
dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di
akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
. Bulan haram yang telah disebutkan oleh Allah ta’ala pada ayat di atas
adalah semakna dengan apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih,
منها ، شهرا عشر اثنا السنة ، والرض السماوات للا خلق يوم كهيئته استدار قد الزمان إن
162 Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al Quran Al Mujallad Al Awwal,Dar asy Syuruq, Kairo, 1992, h. 2
76
مجادى بني الذي مضر ورجب ، واحملرم الجة وذو القعدة ذو: ثلمثتواليات ، حرم أربعة
وشعبان
Artinya:“Sesungguhnya zaman ini telah berjalan (berputar) sebagaimana
perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu
tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram, tiga bulan
yang (letaknya) berurutan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram,
kemudian bulan Rajab Mudhar yang berada diantara Jumada (Akhir) dan
Sya’ban.” (HR. Al Bukhari: 4385 dan Muslim: 1679)163
Dalam hadits diatas, disebutkan secara terperinci apa saja bulan-bulan
haram. Yaitu tiga bulan berurutan yang dimulai dari Bulan Dzul Qa’dah sampai
bulan Muharram. Dan satu bulan yang terletak diantara bulan Jumada Akhir dan
Sya’ban yaitu bulan Rajab.
Menurut Ibnu Abbas ketika menjelaskan hadis ini menyatakan bahwa
Allah mengkhususkan 4 bulan sebagai bulan Haram (bulan yang dimuliakan)
adalah jika berbuat dosa pada bulan itu, maka dosanya akan lebih besar
dibandingkan dengan bulan yang lain, begitu juga sebaliknya jika berbuat amal
shaleh, maka ganjaran kebaikan akan diperoleh dengan pahala yang berlipat-
lipat.164
Muhammad Sholikhin dalam bukunya yang berjudul Misteri Bulan Suro:
Perspektif Islam Jawa menerangkan, ayat tersebut mengutuk perbuatan sewenang-
wenang dan sikap mementingkan diri sendiri di kalangan orang-orang Arab
Musyrik.
163Muhammad ibn Ismail al Bukhori, Shahih Bukhari, juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1992, Hal.4385. Abi al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayriy al-Naysaburiy,
Shahîh Muslim Penahkik: Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1991), Juz 2, h. 1679 164Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaif Al Ma’arif, Beirut Dar al-Kutub al-Aiamiyah, Cet 1,h.
207
77
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram.
Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar.”
Maka (dari ayat diatas) menjelaskan pada kita tentang haram (dilarang)
nya berperang dalam bulan-bulan tersebut, dan itu merupakan rahmat Allah
terhadap segenap hambaNya, agar mereka bisa melakukan perjalanan (dengan
aman) didalamnya, dan agar mereka bisa melaksanakan haji dan umrah.
D. Keutamaan bulan-bulan hurum dalam Islam
Di antara keutamaan yang telah Allah turunkan pada bulan-bulan haram
ini, dilipatgandakannya ganjaran dan balasan bagi seorang yang mengerjakan
amalan shalih, sehingga seorang hamba akan bersemangat untuk terus berada di
tengah-tengah amalan kebaikan. Begitu pula, ketika perbuatan dosa dan
kemaksiatan menjadi lebih besar dihadapan Allah, maka akan mengantarkan
dirinya kepada kekhawatiran dan ketakutan dari melakukan hal tersebut, karena
akan adanya siksaan dari Allah ta’ala kelak di hari akhir, yang akan menjadikan
dia selalu berusaha untuk menjauh dari perbuatan-perbuatan keji tersebut. Oleh
karena itu, keutamaan ini akan menjadikan dirinya untuk selalu berusaha meraih
keutamaan yang banyak dengan menjalankan keta’atan-keta’atan pada Allah dan
menghindari seluruh keburukan dengan menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa
dan kemaksiatan serta melatih dirinya agar menjadi pribadi muslim yang selalu
memegang teguh konsekuensi keimanan dia kepada Allah dan Rasul-Nya.Yang
mana perkara ini akan mengantarkan dirinya kepada puncak kemuliaan, yaitu
tatkala ia diselamatkan oleh Allah ta’ala dari siksaan api Neraka dan dimasukkan
78
ke dalam syurga-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ketika ada seorang
yang datang kepada beliau dan bertanya tentang shalat yang paling utama dan
puasa yang paling utama, maka beliau menjawab:
الشهر رمضان شهر بعد الصيام وأفضل الليل جوف ف الصلة املكتوبة بعد الصلة أفضل
احملرم يدعونه الذي
“Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat di penghujung
malam, dan puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah pada
bulan yang disebut dengan Muharram.” (HR. Muslim: 1163)165
Sungguh bulan Muharram yang telah dinyatakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits diatas adalah bulan yang sangat
dimuliakan oleh Allah dan para Nabi. Terkhusus pada hari kesepuluh dari bulan
itu, yang lebih dikenal dengan nama hari ‘Asyura. Bahkan nabi Nuh dan Musa
‘alaihima assalam berpuasa pada hari tersebut, begitupula nabi kita Muhammad
bin ‘Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, juga
berpuasa pada hari itu dan memerintahkan kaum muslimin untuk turut berpuasa
padanya. Sebagaimana dalam sebuah hadits shahih yang datang dari sahabat
‘Abdullah bin ‘Abbas, ketika beliau berkisah: Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam datang ke kota Madinah, maka beliau mendapati kaum yahudi berpuasa
pada hari kesepuluh dari bulan Muharram, maka beliau bertanya pada mereka:
“Mengapa kalian berpuasa pada hari ini?”, mereka pun menjawab: “Ini
merupakan hari dimana Allah ta’ala telah menyelamatkan Musa dari kejahatan
165Abi al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayriy al-Naysaburiy, Shahîh Muslim
Penahkik: Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), Juz 2, h.
1163
79
Fir’aun dan bala tentaranya, dan pada hari ini pula Allah menenggelamkan
mereka, maka Musa pun berpuasa dalam rangka bersyukur atas nikmat tersebut,
dan kami pun berpuasa sebagaimana Musa berpuasa.” Ketika mendengarkan
jawaban itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بصيامه وأمر فصامه منكم مبوسى أحق نن
Artinya “Kami lebih berhak untuk mengikuti Musa daripada kalian”, maka
beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan kami untuk berpuasa.” (HR. Al
Bukhari: 2004, dan Muslim: 1130)166
Dari hadits di atas, maka terdapat silang pendapat di kalangan para ulama,
apakah hukum berpuasa pada hari tersebut wajib ataukah mustahab? Dan yang
lebih kuat dari penjelasan-penjelasan yang mereka utarakan adalah wajibnya
berpuasa di hari ‘Asyura sebelum turun kewajiban berpuasa kepada kaum
muslimin di bulan Ramadhan, maka setelah turun kewajiban tersebut pada tahun
kedua setelah hijrahnya Nabi ‘alaihi ash shalatu wa assalam, maka berpuasa di
hari Asyura pun berpindah hukumnya menjadi mustahab, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
تركه شاء ومن صامه شاء فمن. للا أيم من يوم عاشوراء إن
“Sesungguhya Asyura ini adalah satu hari diantara hari-hari yang dimilik oleh
Allah ta’ala, maka bagi siapa yang hendak berpuasa maka baginya untuk
berpuasa dan bagi siapa yang ingin meninggalkan maka baginya pula untuk
meninggalkannya.” (HR. Muslim: 1126)167
166Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhariy (194-256 H),Shahîh al-Imâm al-
BukhâriyPenahkik: M. Zahir Nashir al-Nashir(Beirut: Dar Thawq al-Nashir, 1422 H), Juz 7, h.
2004 dan 95Abi al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayriy al-Naysaburiy, Shahîh
MuslimPenahkik: Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991),
Juz 2, h. 1130 167Abi al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayriy al-Naysaburiy, Shahîh
80
E. Penafsiran Sya’râwi terhadap perintah perang di bulan hurum.
Perintah berperang tertera dalam Al-Quran pada surah al-Baqarah [2] ayat 216
yaitu :
ئا تكرهوا أن وعسى لكم كره وهو القتال عليكم كتب ئا تبوا أن وعسى لكم خي وهو شي شي
ت علمون ل وأن تم ي علم والله لكم شر وهو
.Artinya :”Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu
adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia
Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. “
Sya’râwi memulai penafsirannya seputar kandungan ayat ini dengan
mengatakan bahwa sesungguhnya kebencian terhadap perang adalah fitrah
manusia yang disampaikan oleh sang penciptanya. Apapun yang menimpa
manusia dari hal-hal terkait perang yang dibencinya sudah diinformasikan, namun
demikian perang telah disyariatkan. kalau tidak diiforasikan oleh sang pencipta
bahwa perang itu suatu hal yang dibenci, maka manusia akan memahami bahwa
perang itu mudah. Padahal perang itu mengharuskan orang yang berperang
bersedia menerima semua kesulitan dan bersedia meninggalkan harta mereka dan
semua kesenangan mereka.168
Hal yang sama juga dilakukan oleh para petinggi Negara. Biasanya
mereka tidak suka berperang kecuali terpaksa. Apabila mereka terpaksa berperang
merekapun akan menerangkan kepada tentaranya bahwa mereka akan menghadapi
MuslimPenahkik: Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991),
Juz 2, h. 1027 168 Mutawali Asy-Syarowi, Tafsir Mutawali asy-Sya’rowi h. 924
81
berbagai kesulitan. Ini berarti seorang pemimpin negara harus mempersiapkan diri
tentaranya dan semangat semangat mereka untuk siap menghadapi situasi dan
kondisi perang. Oleh sebab itu, Allah swt ketika memerintahkan perang
menjelaskan bahwa urusan perang ini di luar kemampuan ilmu pengetahuan
manusia. Meskipun perintah perang itu berat namun tetap diwajibkan. Namun
Allah menjelaskan kepada manusia bahwa banyak dari hal-hal yang disenangi
datang daripadanya kejahatan atau kejelekan. Sebaliknya banyak hal yang
disangka bahwa kejahatan akan datang darinya tetapi yang datang adalah
kebaikan. sya’rawi juga mengatakan bahwa Allah tidak akan membebani atau
memerintahkan sesuatu kecuali sesuatu itu mengandung kebaikan. Kemudian
Allah juga tidak membebani kewajiban perang kecuali kepada orang-orang yang
yang beriman sehingga kewajiban berperang merupakan bagian dari keimanan.169
Di akhir penafsiran ayat ini sya’rawi berpesan untuk tidak melihat sebuah
kasus dari sisi dzhohirnya saja, baik atau buruknya, senang atau susahnya, tetapi
kita harus memandang suatu kasus dari berbagai aspek kehidupan, baik terkait
masa kini maupun masa mendatang, sebagaimana firman Allah swt ayat 23 al-
hadid :” (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap
orang yang sombong lagi membanggakan diri”.170
Menurut Sya’rawi, yang dimaksud dengan kesenangan yang diperoleh dari
169 Mutawali Asy-Syarawi, Tafsir Mutawali asy-Sya’rowi j. 2 h.925 170 Mutawali Asy-Syarawi, Tafsir Mutawali asy-Sya’rowi j. 2 h 927
82
peperangan adalah memperoleh kemenangan, mampu menghalau musuh, bisa
mempertahankan diri dan eksistensi negara, memperoleh harta rampasan perang
dan mampu memupuk kepercayaan pada diri sendiri dan negara yang
diperjuangkannya.171
Menjawab pertanyaan yang mungkin timbul adalah mengapa perang
diharamkan pada bulan-bulan hurum, sya’râwi menjelaskan bahwa peperangan
menyebabkan tidak hanya bagi para tentara yang berperang akan tetapi juga bagi
orang-orang yang berada di luar peperangan. Perang juga dapat memberikan
kemudharatan pada tempat perang itu terjadi. Serta perang akan berlangsung
terus-menerus selama belum ada pihak yang kalah. Maka, diperlukan intervensi
Allah swt., agar salah satu pihak bisa menghentikan perang, bukan karena mereka
adalah orang-orang yang kalah, akan tetapi karena menghormati perintah Allah
dan menghormati tempat-tempat suci yang diharamkan Allah berperang.
1. Pandangan Sya’râwi tentang perang pada bulan-bulan hurûm
Perang yang telah diwajibkan pada ayat yang tersebut diatas dilarang pada
bulan-bulan Hurum yang disebutkan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 217 yaitu
:
والمسجد به وكفر الله سبيل عن وصد كبي فيه قتال قل فيه قتال الرام الشههر عن يسألونك
نة الله عند أكب منه أهله وإخراج الرام ي ردوكم حته ي قاتلونكم ي زالون ول القتل من أكب والفت
أعمالم حبطت فأولئك كافر وهو ف يمت دينه عن م منك ي رتدد ومن استطاعوا إن دينكم عن
171 Mutawali Asy-Syarawi, Tafsir Mutawali asy-Sya’rowi h.921-922
83
ن يا ف خالدون فيها هم النهار أصحاب وأولئك والخرة الد
Artinya :” mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan
Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi
masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar
(dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada
membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka
sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati
dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di
akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
Sebab nuzul ayat ini menurut Sya’rawi adalah Rasulullah mengutus
delapan orang mata-mata yang dipimpin oleh Abdullah bin jahsin al asadi mereka
diperintahkan pergi ke Batni Nakhlah yaitu tempat antara mekah dan thaif, untuk
mencari berita tentang kafilah dagang. Di tengah perjalanan salah seorang
anggota mata-mata tersebut itu Sa’ad bin Abi Waqos serta aqobah bin gozwan
kehilangan unta mereka sehingga mereka terpaksa berpisah dengan kelompoknya
untuk mencari unta mereka. Enam orang mata-mata yang dipimpimpin oleh
Abdullah pergi ke batni nakhlah di tempat ini mereka bertemu dengan tiga orang
kafilah dagang quraish orang dipimpin oleh Amr bin al-Khadromi bersama tiga
orang lainnya yang menjaga kafilah. Maka terjadilah kontak senjata di antara
mereka peristiwa ini terjadi pada awal bulan rajab yaitu salah satu bulan yang
diharamkan perang.172 Kontak senjata ini mengakibatkan terbutuhnya Amr bin
Khadromi dan tertawannya dua orang bersamanya sedangakan seorang lainnya
berhasil melarikan diri. maka apa yang terjadi di Batni Nakhlah ini itu kontak
senjata antara kaum muslimin dan orang-orang quraish dianggap sebagai satu hal
yang melanggar kehormatan bulan rajab. Maka orang-orang Quraish mengatakan
172 Mutawali Asy-Syarawi, Tafsir Mutawali asy-Sya’rowi h.921-922
84
bahwa Muhammad yang mengaku-ngaku selalu menghormati tempat-tempat suci
dan bulan-bulan hurum ternyata telah menumpahkan darah di bulan tersebut maka
turunlah ayat 217173
Dalam menafsirkan ayat ini sya’rawi mengatakan bahwa orang-orang
musyrik Mekkah menanyakan kepada Nabi tentang bulan-bulan haram dan
peperangan yang terjadi dalam perang Batni Nakhlah. Maka Nabi diperintahkan
untuk menjawab pertanyaan mereka bahwa peperangan dalam salah satu bulan –
bulan hurum adalah persoalan yang sangat besar dosanya. Akan tetapi Nabi harus
mengingatkan kepada orang-orang Musyrik Mekah bahwa perbuatan mereka
yang melebihi dari perbuatan yang dilarang dalam bulan haram yaitu perang di
bulan haram, seperti upaya mereka mencegah orang-orang untuk beriman kepada
Allah dan beribadah di Masjidil haram, mengusir orang-orang muslim dari tanah
kelahiran mereka yaitu tanah mekah. Perbuatan ini dianggap lebih besar dosanya
dari perang di bulan hurum. Nabi juga diperintahkan untuk menyampaikan kepada
orang-orang musyrik mekah bahwa memfitnah orang-orang mukmin dalam
urusan agama mereka, dan mencegah mereka dari beriman kepada Allah, dan
kekafiran mereka kepada Allah serta melanggar kehormatan Masjidil haram
dengan peribadatan di luar peribadatan yang diajarkan kepada Allah kesemua
perbuatan ini merupakan dosa besar di sisi Allah bahkan lebih besar dosanya dari
perang di bulan-bulan hurum. Karena sudah menjadi keinginan orang-orang
musyrik mekah untuk selalu memerangi orang-orang muslimin sampai mereka
berhasil mengembalikan mereka kepada agama nenek moyang mereka. Hal 930,
173 Mutawali Asy-Syarowi, Tafsir Mutawali asy-Sya’rowi h.928
85
jilid 2 mutawalli asy-syarowi.174
Mengenai larangan perang pada empat bulan hurum, menurut Sya’rawi
adalah agar tercipta situasi damai, tenang dan pikiran tidak lagi terfokus hanya
pada perang. Apalagi pada bulan-bulan tersebut berlangsung persiapan dan
pelaksanaan ibadah haji. 175 Sedangkan Rajab dulu bangsa Arab memuliakan
bulan ini dengan melarang berperang dan dinisbatkan kepada suku Mudhar karena
mereka sangat komitmen dengan bulan ini dan mengagungkannya berbeda
dengan suku lainnya.
F. Penafsiran Sayyid Quthb Terhadap Ayat Perang di Bulan Hurum
Sayyid Quthb memulai penafsirannya dengan menjelaskan munasabah
ayat ini dengan ayat sebelumnya ia mengatakan bahwa sesudah menjelaskan
tentang ayat-ayat yang membahas tentang info perang yang diberikan kepada
kedua orangtua, anak yatim dan fakir miskin sebagai cara untuk mendekatkan diri
kepada Allah tetapi juga kepada sesama manusia (hablum minallah dan hablum
minan nas) maka ayat berikut ini berisi perintah untuk melaksanakan jihad yang
merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Sesungguhnya perang di jalan Allah
merupakan sebuah kewajiban yang berat namun tetap harus dilaksanakan karena
di balik terjadinya peperangan banyak terdapat kebaikan dan kemaslahatan baik
bagi pribadi seorang muslim, bagi kaum muslimin maupun bagi semua
manusia.176
Islam sebagai agama yang fitri tidak mengingkari adanya kesulitan besar
174 Mutawali Asy-Syarowi, Tafsir Mutawali asy-Sya’rowi h.930 175 Mutawali Asy-Syarowi, Tafsir Mutawali asy-Sya’rowi h.929 176 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Jilid 2, h. 167
86
dalam melaksanakan kewajiban perang dan bagaimana perasaan manusia yang
tidak menyukai peperangan karena begitu beratnya masuk dalam kancah
peperangan dengan berbagai dampaknya. Islam tidak mengabaikan semua
perasaan yang fitri dari manusia terhadap perang tetapi islam menangani masalah
perang dari sisi lain yaitu menetapkan bahwa kewajiban perang adalah suatu yang
dibenci akan tetapi dibalik peperangan itu ada hikmah yang bisa mengabaikan
semua kesulitan tersebut. Dan menghilangkan semua kesulitan-kesulitannya
sehingga muncul berbagai kebaikan yang pada mulanya tidak dilihat pada mata
manusia. Karena tidak ada yang tahu apa yang ada yang di balik sesuatu yang
dibenci bahwa itu mungkin suatu kebaikan atau bisa juga kejahatan hanya Allah
yang maha mengetahui yang ghaib yang tahu kebaikan apa yang ada di balik
sebuah peperangan.177 Ketika hal ini disadari maka dengan mudah orang akan
memasuki medan perang tanpa mengindahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Yang mereka lakukan hanyalah berharap kepada sang pencipta dengan ketataan
mereka melaksanakan kewajiban perang dengan penuh keyakinan dan keridhoan.
Dia menyadari bahwa Allah akan memberikan bantuannya dan akan memberikan
semangatnya. Dengan kepasrahan ini dia bertekad maju menghadapi berbagai
bencana. Dengan demikian dalam sebuah peperangan terkandung suatu kebaikan
dan kemudahan sesudah kesabaran. Ada pula ketenangan sesudah berbagai
kekacauan dari kesulitan. Begitu juga sebaliknya, ada kerugian dibalik
kenikmatan. Ada hal-hal yang tersembunyi dibalik orang-orang yang dicintai.
Kenyataan ini merupakan metode pendidikan yang mengagumkan dalam Islam
177 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Jilid 2, h. 167
87
yaitu metode yang memperkenalkan cara untuk menembus jiwa manusia dengan
yang hak, yang benar, bukan dengan iming-iming yang menipu yaitu benar
adanya ketidaksenangan jiwa manusia yang lemah terhadap sesuatu yang
tersembunyi di dalamnya semua kebaikan.
Quthub mengakhir penafsirannya dengan mengatakan bahwa Allah telah
membukakan alam lain atau dunia lain selain alam yang hanya bisa dilihat oleh
mata. Akibatnya mereka merespon apa yang diperintahkan namun mereka harus
tetap berharap memohon dan merasa takut dan menyerahkan seluruhnya ke tangan
Allah yang memiliki semua pengetahuan yang sempurna. Sedangkan mereka
harus rela terhadap keputusan Allah tersebut.178
Menurut Sayyid Quthb “Barangsiapa yang merusak kehormatan bulan
haram, balasannya adalah dirusaknya jaminan-jaminan yang diberikan kepada
mereka pada bulan haram itu. Allah telah menjadikan Baitul Haram sebagai
daerah khusus bagi keamanan dan kedamaian di tempat itu, sebagaimana dia
menjadikan bulan-bulan haram sebagai waktu khusus untuk keamanan dan
kedamaian di waktu itu, sehinggga pada masa-masa itu darah dilindungi.
Demikian pula segala sesuatu yang patut dihormati dan semua harta benda.
Artinya jika darah dilindungi maka sedikit demi sedikit pertumpahan darah tidak
akan terjadi.
G. Relevansi larangan berperang dalam Asyhûr al-Hurûm
Telah dijelaskan bahwa Ibnu Abbas menyatakan bahwa Allah
178 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Jilid 2, h. 167
88
mengkhususkan 4 bulan sebagai bulan Haram (bulan yang dimuliakan) adalah jika
berbuat dosa pada bulan itu, maka dosanya akan lebih besar dibandingkan dengan
bulan yang lain, begitu juga sebaliknya jika berbuat amal shaleh, maka ganjaran
kebaikan akan diperoleh dengan pahala yang berlipat-lipat.179Ayat ini juga
mengutuk perbuatan sewenang-wenang dan sikap mementingkan diri sendiri di
kalangan orang-orang Arab Musyrik yang melanggar larangan perang pada bulan-
bulan tersebut. oleh sebab itu Allah memerintahkan berhenti perang jika musuh
cenderung berdamai sebagaimana firman Allah SWT. Pada surah al-Anfal [8] ayat
61
العليم السهميع هو إنهه الله على وت وكهل لا فاجنح للسهلم جنحوا وإن
Artinya;”. dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka
condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah
yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam – sesuai dengan namanya- adalah
agama yang condong pada kedamaian. Kaum musrik Makahpun pun memperoleh
rasa aman dari adanya Islam, namun tentu saja rasa aman yang sempurna
dirasakan oleh orang-orang mukmin. Jangankan terhadap yang tidak berbuat baik,
terhadap yang berbuat jahil pun al-Qur’an menganjurkan agar diberikan
kepadanya “salam” karena demikian itulah sifat hamba-hamba Allah yang
Rahman: al-Furqon [25] :63
سلما قالوا اجلاهلون خاطب هم وإذا هون الرض على يشون ذين اله الرهحن وعباد
179Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaif Al Ma’arif, Beirut Dar al-Kutub al-Aiamiyah, Cet 1,h.
207
89
Artinya:”dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan”.
Sikap itu yang di ambil karena as-Salam/ keselamatan adalah batas antara
keharmonisan atau kedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan
siksaan. Inilah yang paling wajar atau batas minimal yang diterima seorang jahil
dari hamba Allah yang Rahman, atau si penjahat dari seorang yang muslim, atau
yang meneladani Allah yang memiliki sifat al-Mu’min ( pemberi rasa aman). Itu
dilakukannya dalam rangka menghindari kejahilan yang lebih besar atau menanti
waktu untuk lahirnya kemampuan mencegahnya. 180
Sejalan dengan ayat ini, bisa dinyataan bahwa seseorang yang meneladani
sifat Allah as-Salam paling tidak, bila dia dapat memberi manfaat kepada
selainnya, maka jangan sampai dia mencelakakannya , kalau dia tidak dapat
memasukkan rasa gembira ke dalam hatinya, maka paling tidak dia tidak
meresahkannya, kalau dia tidak dapat memujinya, maka paling tidak dia jangan
mencelanya.
H. Relevansi larangan perang pada Asyhûr al-Hurûm saat ini
Relevansi larangan berperang dalam ashurul Hurum terutama kaitannya
dengan pelaksanaan ibadah haji saat ini sangat besar Menurut Sayyid Quthb
“Barangsiapa yang merusak kehormatan bulan haram, balasannya adalah
dirusaknya jaminan-jaminan yang diberikan kepada mereka pada bulan haram itu.
apalagi jika yang dirusak itu adalah terkait dengan ritual ibadah haji. Allah telah
menjadikan Baitul Haram sebagai daerah khusus bagi keamanan dan kedamaian
180 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: PT Mizan Pusaka), h. 111
90
di tempat itu, sebagaimana dia menjadikan bulan-bulan haram sebagai waktu
khusus untuk keamanan dan kedamaian di waktu itu, sehinggga pada masa-masa
itu darah dilindungi. Demikian pula segala sesuatu yang patut dihormati dan
semua harta benda. Artinya jika darah dilindungi maka sedikit demi sedikit
pertumpahan darah tidak akan terjadi. Ke tanah suci Mekah terus berlangsung.
Larangan ini tidak hanya berlaku pada masa awal Islam tetapi juga relevan
diberlakukn saat ini, mengingat ibadah ritual haji yaitu pergi ketanah suci Makah
masih berlaku saat ini. jamaah haji pun tidak terbatas pada kota-kota diseputar
jazirah Arab, tetapi jamaah datang dari semua penjuru dunia. Contohnya pada
pecahnya perang Dunia I tahun 1921-1929 dan Perang Dunia II tahun 1940-1945
kekacauan dan ketidak amana akibat perang telah membuat situasi perhajian
menjadi tidak aman. Perang Dunia I membuat tidak aman jema’ah haji dari
wilayah Barat Arab Saudi karena keterlibatan Turki dalam perang dunia itu.
Perang Dunia II yang melibatkan Jepang terutama di wilayah Asia-Pasifik
membuat proses dan situasi perhajian juga tidak aman di wilayah Timur Jauh,
Asia Tenggara termasuk di dalamnya. Serangan sekutu atas Jepang
mempengaruhi keamanan perjalanan haji Indonesia yang kala itu masih
menggunakan jalur laut, sehingga KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Am Partai
Masyumi kala itu melarang Warga Negara Indonesia melaksanakan ibadah haji
dan menyatakan haram berhaji karena situasi itu.181
Larangaan berhaji tercantum dalam bab istitha’ah (kemampuan berhaji)
yang dalam penjelasan Rasulullah saw disebutkan dalam hal zad (bekal) dan
181 Kementerian Agama RI, Haji dari Masa Ke Masa, ( Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama, 2012), h. 111
91
rahilah (angkutan). Ketidakamanan dan gangguan dalam perjalanan haji termasuk
hambatan untuk bisa sampai ketujuan dengan aman, bisa menggugurkan
kewajiban menunaikan ibadah haji. Dalam fikih disebutkan, jika seseorang telah
mengenakan ihram dan kemudian terjadi gangguan keamanan dan dibatalkan
hajinya, maka ia tak perlu membayar dam.
Dalam fikih, hambatan berhaji ini disebut sebagai mawani’ul hajj yang
antara lain menyebutkan hambatan keamanan di jalanan bisa menjadi salah
satunya. Oleh karena situasi telah aman, penyelenggaraan haji dibuka dan
diizinkan kembali oleh Pemerintah Indonesia selesai agresi kedua tahun 1949.
Pendudukan Irak atas Kuwait 1990 nyaris memicu perang besar. Pasukan
Sekutu dipimpin Amerika Serikat mempersiapkan perang melawan Irak dengan
memanfaatkan Arab Saudi sebagai pangkalan. Terminal haji di Jeddah dijadikan
pusat logistic dan persenjataan oleh pasukan sekutu. .Pemerintah Indonesia
mengantisipasi kemungkinan terburuk untuk perhajian tahun 1991. Bahkan,
Menteri Agama Munawwir Sjadzali, MA, menyatakan adanya kemungkinan
terulangnya fatwa tidak wajib haji jika Perang Teluk terjadi. Sebab, saat itu
penerbangan sudah meminta tambahan biaya asuransi perang sebesar USD 60
untuk antisipasi itu. Tarif penerbangan haji dari USD 1.500 menjadi USD.1.760
karena adanya kenaikan harga avtur sebesar 44%. Jumlah Jemaah haji tahun itu
terdaftar 79.373 jemaah dengan biaya sebesar Rp. 6.000.000, untuk haji biasa dan
sekitar 4.600 jemaah ONH Plus (haji khusus). Namun, perang tidak jadi karena
Irak mundur dari Kuwait atas desakan beberapa negara Arab.182
182 Kementerian Agama RI, Haji dari Masa Ke Masa, ( Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementrian Agama, 2012), h. 111
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan penulis tentang Asyhur al-hurum yang melarang peperangan
di bulan-bulan tersebut dan relevansinya dengan ibadah haji, berdasarkan
pandangan mufassir Sya’rowi dan Sayyid Quthub dapat dipaparkan seperti berikut
ini.
1. Bahwa yang dimaksud dengan “Bulan-bulan haram itu ada empat: Rajab, Dzul
Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Satu bulan yang letaknya terpisah (dari
yang lain) yaitu Rajab, sementara sisanya terletak berurutan, Dzul Qo’dah,
Dzul Hijjah, dan Muharram.
2. Allah telah menjadikannya sebagai bulan-bulan haram, yang telah dilebihkan
kedudukannya daripada bulan yang lain. Dan perbuatan dosa yang dilakukan
didalamnya lebih besar dihadapan Allah, begitu juga amalan shalih yang
dilakukan akan menghasilkan ganjaran yang lebih besar pula.
3. Dalam menafsirkan ayat-ayat terkait Asyhur al-hurum dan larangan perang di
bulan-bulan tersebut, baik Sya’râwi maupun Sayyid Qutub sepakat
mengatakan bahwa larangan tersebut sangat penting apalagi jika dikaitkan
dengan kewajiban menjalankan ibadah haji . sebab walaupun haji itu wajib
namun ada hal-hal yang bisa menggugurkan kewajiban tersebut , diantaranya
tidak terjaminnya keamanan bagi jemaah haji baik dalam perjalanan menuju
kota Makah atau ketidakamanan situasi ketika jamaah haji sedang menjalani
ritual ibadah haji tersebut.
93
4. .Revansi larangan perang di bulan bulan Hurum yaitu empat bulan yang
dimuliakan dari dua belas bulan yang ada di sisi Allah. Yaitu bulan Muharram,
Rajab, Zulqo’dah dan Zulhijjah. Pada bulan tersebut dilarang untuk melakukan
peperangan kecuali jika musuh terlebih dahulu memerangi di bulan hurum
tersebut. Menjadikan bulan-bulan haram sebagai waktu khusus untuk
keamanan dan kedamaian di waktu itu, sehinggga pada masa-masa
melaksanakan ibadah haji itu darah dilindungi. Demikian pula segala sesuatu
yang patut dihormati termasuk harta benda. Artinya jika darah dilindungi maka
sedikit demi sedikit pertumpahan darah tidak akan terjadi. Bulan hurum tidak
selalu identik dengan haji karena bulan Rajab tidak terkait haji.
B. Saran-saran
Setelah penulis mengkaji tentang Asyhûr al-Hurûm penulis memberi saran-saran
berikut:
a. Mengingat sangat terbatasnya hasil penelitian ini karena keterbatasan waktu
dan keterbatasan penulis maka perlu ada kajian lanjut tentang Ashur al-Hurum
ini terutama kajian yang akan mengungkap hikmah larangan perang di bulan-
bulan tersebut. walaupun larangan ini sudah berfungsi mengerem nafsu
manusia untuk berperang.
b. Setiap negara hendaknya menghormati larangan perang di bulan-bulan tersebut
agar ibadah haji bisa dilaksanakan setiap umat Islam dengan tenang karena
terciptanya situasi aman dan damai baik ketika dalam perjalanan maupun
ketika pelakanaan ibadah haji tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin, Study Islam Kontemporer, Amzah, Jakarta, 2006.
Al’Arabi, Abu Bakar ibn. 534 H. Ahkam al-Qur’an, Jilid. I. Bairut: Dar al-Jil.
Al-Asfahani, Ar-Ragib, Mu’jam Mufradat Al-Fazh Al-Qur’an, Dar Alfikr, Beirut
Libanon, t.t.
Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfaz Al- Qur’an Al-
Karim, Cet Ke-2, Dar Al-Fikr, Beirut,1401 H/1981 M.
Al-Bukhori. 1994. Jawahirul al-Bukhori, ed. Musthofa Muhammad Hamrah,
Kitab al-Hibah “bab Man Da’a Imro’atuhu Ila Firaasyihi Fa’abat”. Beirut:
Dar al-Fikr.
Al-Farmawi, Abdul Hayy , Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Penerapannya
(Terj. Rosihon Anwar), Pustaka Setia, Bandung, 2002.
Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi, Asrar al-Tanzil wa Anwar At-Ta’wil, (Dar Al-
Jail,Beirut dan Al-Maktabah Al-Kulliyat Al-Azhariyat, Qairo, Mesir)
1992, 1997 Terj. M.Abdurrahman, (Tafsir Kalimah Tauhid, Pustaka
Hidayah, Bandung), 2007.
Al-Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, Jilid I, Darus
Sunnah, Jakarta, 2006.
Al-Khalidi, Shalah Abdul Fatah, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilali Al-
Qur’an, Intermedia, Solo, 2001.
--------------, Fi Zhilali Al-Qur’an Fi Al-Mizan, Darul Mannarah, Jeddah, 1986.
---------------, Tafsir Metodologi Pergerakan Di Bawah Naungan Al- Qur’an, Terj.
Jakarta, Yayasan Bunga Karang, 1995.
Al-Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid 1, Terj.
Bahrun Abu Bakar, Sinar Baru Al-Gensindo, Bandung, Cet. 3, 2005.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1998. Tafsir al-Maraghi, Jilid II. Bairut: Dar al-
Kutub al-Imiyah.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Jilid IV, VII, XXX, XXVII,
XXIII, Terj. Anwar Rusydi, et.al. Karya Toha Putra, Semarang,1974.
Al-Misri, Jamaluddin Muhammad Ibnu Mukram Ibnu Manzur Al-Ifriqi, Lisan Al-
‘Arab, Dar Al-Fikr, Beirut, 1990.
Al-Qur’an dan Terjemahannya: Ayat Pojok Bergaris. Semarang: As-Syifa’, 1998.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. T.tt: CV. Penerbit J-ART, 2005)
Al-Qurtubhi, Imam.2008. Tafsir al-Qurthubi, Penerjemah: Ahmad Rijali. Jakarta:
Pustaka Azzam.
Al-Shabuni, Ali, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, Jilid I, Dar Al-Qur’an Al-Karim,
Saudia Arabia,1396 H. Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Study
Ilmu Al-Qur’an, Terj: Aunur Rafiq El-Mazni, Pustaka Al Kautsar, Jakarta,
2006.
Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim (Hamka). Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasith. 2005. Tafsir al-‘Aliyyi al-Qadir al-Ikhtisar Tafsir
ibn Katsir, terjemahan Syihabudin, Ringkasan Tafsir ibn Katsir. Jilid. I.
Jakarta: Gema Insani Press.
As-Shidieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An- Nur, Juz
II, Jilid I, dan juz 23, jilid IV, Putra Rizki Putra, Semarang, 2000.
Ash-Shobuni, Muhammad Ali. 1997. Rawa’i al-Bayan: Tafsir Ayat Al-Ahkam
Min Al-Qur’an. Juz. 1. Bairut: Dar al-Qalam.
At-Tirmidzi, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ali Al-Hakim, Bayan Al- Faqri Baina
Al-Shadri Wa Al-Qalbi Wa Al-Fuad Wa Al-Lubb, Dar Al-‘Arab, Mesir, t.t.
Audah, Ali, Konkordansi Qur’an (Panduan Kata Dalam Mencari Ayat Al-
Qur’an), Pustaka Lintera Antar Nusa, Bogor,1991.
Badan Litbang dan Diklat De-Pag RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik (Tafsir
Maudhu’i) Pelestarian Lingkungan Jidup, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an, Jakarta,2009, Seri 4.
Baqi, Muhammad Fuad Abd al-. Mu’jam al-Mufahras Li Alfadz al-Qur’an Bi
Hasiyah al-Mushaf al-Syarif. Kairo: Dar al-Hadis, 2007.
Binjai, Abdul Halim Hasan. 2006. Tafsir al-Ahkam. Jakarta: Kencana.
Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Jilid 1, Terj. Achmad Sunarto, et.al., Wijaya, Jakarta,
t.t.
Chirzin, Muhammad, Jihad Menurut Sayyid Qutb Dalam Tafsir Fi Zhilali Al-
Qur’an, Era Intermedia, Jakarta, 2001.
Departemen Agama, Tarbiyah Uli Al-Albab: Dzikir, Fikr Dan Amal Saleh,
Konsep Pendidikan Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim
Malang, 2010.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Fadhullah, Mahdi, Ma’a Sayyid Quthub Fi Fikrihi Al-Siyasah Wa Al-Din,
Mua’sasah Al-Risalah, Beirut,1979.
Gulen, M. Fethullah, Memadukan Akal Dan Kalbu Dalam Beriman, Marai
Kencana, Jakarta, 2002.
Hakim, Lukman Nul, Buku Daras Metodologi dan Kaidah-Kaidah Tafsir, IAIN
R.F. Palembang, t.p, 2007.
Halimatussa’diyah, ulumul qur’an, Palembang, IAIN Raden Fatah Press, 2007.
JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2/39-60
Hamdan, Basyaruddin , Diktat Tafsir 1, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah,
Palembang, 1986.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 24, jilid 7, jilid 8, Pustaka Panji Emas, Jakarta,1983.
Haryanto, Toto, Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Pemikiran Sayyid Qutb, Tesis,
Program Pasca Sarjana, IAIN Raden Fatah, Palembang, 2007.
Hidayat, Nuim, Sayyid Qutb Dan Kejernihan Pemikirannya, Gema Insani Press,
Jakarta, 2005.
Ibrahim, Mohammad Ismail, Mu’jam Alfazh Wal-A’lam Al-Qur’aniyah, Dar Al-
Fikr Al-Arabiy, Kairo, 1968.
Kementrian Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
Direktorat Urusan Agama Islam Dan Pembinaan Syariah. Al-Qur’an Dan
Terjemahnya. Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.
Quthb, Sayyid. 1971. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz IV. Bairut: al-Ahya’ al-Turas
al- ‘Arabi.
----------------------- 1985. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz 1. Cairo: Dar asy-Syurua.
Qolay Sm. Hk , A. Hamid Hasan. Indeks Terjemah al-Qur’an al-Karim.. Jakarta:
Yayasan Halimatus-Sa’diyyah, 1997.
Razi, Muhammad al-. al-Tafsir al-Kabir Wa Mafatih al-Ghaib. Beirut: Dar al-
Fikr, 1990.
Sahil, Azharuddin. Indeks al-Qur’an: Panduan Mencari Ayat al-Qur’an
Berdasarkan Kata Dasarnya. Bandung: Mizan, 1994.
Shaleh, Qamaruddin, et, Al. 1982. Asbabun Nuzul. Bandung: CV
Diponegoro.Hatta, Ahmad.
Shihab, M.Quraish. 1999. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Berbagai
Persoalan Umat. Cet, 9. Bandung: Mizan
Sonhaji, HM. Dkk. al-Qur’an Dan Tafsirannya. Jilid. 10. Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, T. t.t.
----------------------- 2002. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an. Jilid. II. Jakarta: Alhmahira.
Tafsir Qur’an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul Dan Terjemahannya.
Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.
Thabari, Muhammad Bin Jarir al-. Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Aayi al-Qur’an.
Beirut: Dar al-Fikr, 1984.