Konsep Tarif,Kuota,Larangan Ekspor,Larangan Impor,Subsidi,Premi,Diskriminasi Harga Dan Dumping
PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON...
Transcript of PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON...
PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG
POHON BIDARA
(Kajian Kualitas Sanad Hadis dan Pemahaman Hadis)
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
AHMAD BAIHAQI
NIM: 1112034000134
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
i
ii
iii
iv
Pedoman Transliterasi
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ة
„ ‘ ع t t د
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh ر
l l ه d d د
dz dh m m ذ
r r n n ر
w w و z z ز
s s h h ش
, , ء sy sh ظ
y y ي ṣ ṣ ص
h h ح ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā أ
ī ī إى
ū ū أو
v
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas dan kehujahan hadis
larangan menebang pohon bidara sebagaimana diriwayatkan oleh Abū Dāwūd
dalam Sunannya. Selain itu penelitian ini juga bermaksud untuk mengetahui
pemahaman yang komprehensif terkait larangan menebang pohon dengan
dikaitkan dengan usaha pelestarian lingkungan atau go green.
Penelitian ini akan menggunakan metode pemahaman hadis yang digunakan
oleh al-Qarḍāwī. Menurutnya suatu hadis dapat dipahami dengan, di antaranya
tiga pendekatan. Pertama dengan petunjuk al-Qur‟an, kedua, dengan
menghimpung hadis-hadis secara tematik, dan ketiga, memahami hadis
berdasarkan konteks sosio-historisnya. Adapun bentuk dari penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research), dengan sumber peimer kitab Sunān Abī
Dāwūd. Sedangkan sumber sekunder dalam penelitian ini adalah kitab-kitab hadis
yang memiliki korelasi dengan pembahasan ini seperti Kutub al-Sittah dan Kutub
al-Rijāl.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, bahwa
kualitas hadis larangan menebang pohon adalah ṣaḥīḥ karena diriwayatkan rawi-
rawi yang tsiqah. Dengan demikian hadis ini dapat dijadikan sebagai dalil atau
hujjah terkait dengan larangan merusak lingkungan hidup. Kedua, Hadis ini
memiliki pemahaman bahwa larangan menebang pohon bidara oleh Nabi Saw.
berlandaskan konteks sosial yaitu tujuan dari pohon tersebut untuk tempat
berteduh bagi para musafir, sehingga seandainya ditebang akan menyusahkan
musafir karena terik matahari. Ketiga, menebang pohon bidara tentu
diperbolehkan selama tidak mengganggu kemaslahatan hidup manusia dan
makhluk lainnya. Keempat, hadis ini pula dapat dijadikan sebagai landasan
teologis untuk melestarikan lingkungan hidup (go green) karena banyak didukung
oleh ayat-ayat al-Qur‟an.
Kata Kunci: Hadis, Abū Dāwūd, Pemahaman Hadis, Pohon Bidara
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Segala puji beserta syukur kepada Allah SWT., Tuhan semesta alam yang
telah melimpahkan rahmat, kurnia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul PEMAHAMAN
LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA (STUDI KAJIAN
KUALITAS SANAD HADIS DAN PEMAHAMAN HADIS). Salawat dan
salam bagi baginda Rasulullah SAW., sebagai sebaik-baik contoh dan teladan
bagi seluruh umatnya.
Sebagai karya tulis yang jauh dari kata sempurna, tentunya di dalam
skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan. Segala kesalahan
tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian
ini.
Penelitian ini merupakan wujud keingintahuan penulis terhadap beberapa
objek yang kelihatannya terkesan sepele namun penting untuk dikaji, sebagai
usaha mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam terkait “hadis larangan
menebang pohon bidara”. Penulis sangat bersyukur karena pada akhirnya dapat
menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan Setara (S1). Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya. Tak lupa, penulis ucapkan rasa terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah mendukung, mendorong dan mendo`akan sehingga dapat
vii
terselesaikannya karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih ini penulis sampaikan
kepada:
1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta: Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya; Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag, selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dr. Lilik Ummi
Kaltsum, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir
(IQTAF) dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku sekretaris
Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir (IQTAF).
2. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A, selaku pembimbing skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktu serta memberikan arahan, saran serta
dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon
maaf yang sebesar-besarnya jika selama bimbingan penulis banyak
merepotkan. Semoga Bapak selalu sehat, diberi kelancaran dalam segala
urusan dan selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Amin.
3. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, MA, selaku dosen pembimbing akademik yang
telah ikut membimbing penulis selama menimba ilmu di kampus tercinta
ini yang sekaligus sebagai dosen penguji proposal penulis. Semoga Ibu
selalu sehat, diberi kelancaran dalam segala urusan dan selalu berada
dalam lindungan Allah SWT. amin.
4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin khususnya di Program Studi Ilmu al-
Qur`an dan Tafsir yang telah memberikan ilmu serta motivasi, bimbingan
viii
dan pengalamannya kepada penulis. Dan tidak lupa pula kepada seluruh
staff dan karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada keluarga besar H.Jauhary, terutama kedua orang tua tercinta,
bapak H. Syahruddin dan Ibu Hj. Ariyah yang tiada henti-hentinya
memberikan doa-doa, membiayai, merawat, membesarkan, memotivasi,
memberi semangat, mendidik serta memberikan dukungan untuk penulis.
Untuk saat ini hanya ini yang mampu anakmu berikan. Dan tak lupa
kepada semua kakak-kakak, Ahmad zaini, Siti Marfuah, ipah Fauziah.
yang selalu memberikan motivasi semangat dalam menyelesaikan studi
ini.
7. Teman-teman seperjuangan, seluruh teman-teman Jurusan Tafsir Hadis
angkatan 2012,:Anisul Fahmi, Ridho Ilahi, Yasir Muharrom, Neng Ayu,
Farhana, Fathiyatul Makkiyah, Inayah dan lain-lain yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-satu seluruh nama-nama kalian seangkatan, tetapi
percayalah pertemanan kita akan selalu dikenang. Kepada teman-teman
yang pernah satu pondokan di DARHIK dengan penulis: Setyo Hari,
Zuyin, Aldi, Adnan, Sayid, Jajang, Sahlan, Pandi, Ipeh, putri dan yang
lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala
urusanku dan urusan kalian diberi kemudahan. Amin.
8. Kepada segenap teman-teman satu perjuangan, alumni Daarul Muttaqqin
yang tergabung ke dalam perkumpulan INADA Ciputat: Satria, Sulfi,
ix
Azmi, Zakariya, Ais, Farha, Fuji, Ayu sam setia, dan masih banyak
lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, tetapi yakinlah
bahwa hal ini tidak mengurangi rasa terimakasih penulis atas kebersamaan,
dan persaudaraannya..
9. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu atas bantuan moril, materil dan doa sehingga dapat
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
Ciputat, 3 Juli 2018,
Ahmad Baihaqi
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Persetujuan Pembimbing .......................................................................... i
Lembar Pengesahan Panitian Ujian ......................................................... ii
Lembar Pernyataan Orisinalitas .............................................................. iii
Pedoman Transliterasi ............................................................................... iv
Abstrak ........................................................................................................ v
Kata Pengantar .......................................................................................... vi
Daftar Isi ..................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 7
D. Tinjauan Pustaka .............................................................. 8
E. Metodologi Penelitian ...................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ...................................................... 11
BAB II CARA MEMAHAMI HADIS NABI SAW. VERSI YUSUF
AL-QARḌAWĪ
A. Memahami Hadis Berdasarkan Petunjuk al-Qur‟an ........ 13
B. Menghimpun Hadis-Haadis Secara Tematik ................... 18
C. Memahami Hadis Berdasarkan Konteks Sosio-Historis .. 21
BAB III KAJIAN TAKHRIJ HADIS LARANGAN MENEBANG
POHON BIDARA
A. Deskripsi Umum Hadis .................................................... 26
B. Skema Sanad .................................................................... 28
C. Kajian Sanad Hadis .......................................................... 29
D. Tabel Sanad Hadis ........................................................... 40
E. Hukum Hadis ................................................................... 42
BAB IV PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG
POHON BIDARA
A. Makna Umum Konteks Historis Hadis Larangan
Menebang Pohon Bidara ..................................................
45
B. Petunjuk Qur‟anik tentang Larangan Berbuat
Kerusakan ........................................................................
49
C. Anjuran Menanam Pohon dalam Hadis Nabi Saw .......... 51
xi
D. Signifikansi dan Relevansi Hadis Larangan Menebang
Pohon Bidara ....................................................................
55
E. Islam dan Lingkungan Hidup: Refleksi Atas Hadis
Larangan Menebang Pohon Bidara ..................................
58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 63
B. Saran-Saran ...................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan bumi sebagai hunian bagi makhluk-Nya dalam
mengarungi kehidupan di dunia ini. Sebagai tempat hunian, bumi menyediakan
berbagai macam sarana kebutuhan hidup seperti kebutuhan pangan, sandang dan
papan yang terdapat di laut dan gunung. Allah Swt. menegaskan di dalam al-
Qur‟an, surat al-Baqarah [2] ayat 29; bahwa semua yang diciptakan-Nya di muka
bumi tak lain untuk kelangsungan hidup umat manusia dan makhluk lainnya.
Semua itu sebagai bentuk karunia dan manifestasi kasih sayang Tuhan terhadap
makhluk-Nya.
Namun dalam perjalanannya, manusia tak jarang melakukan berbagai
macam kerusakan di muka bumi. Allah Swt. dalam surat al-Rūm [30] ayat 41; pun
menegur dan menegaskan bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan ulah perbuatan manusia. Senada dengan teguran di atas, pada Surat al-
Baqarah [2] ayat 12, Allah Swt. juga menegaskan bahwa sesungguhnya manusia
telah membuat kerusakan di muka bumi, tetapi mereka tidak menyadarinya.
Padahal, Allah Swt. telah memberikan mandat kepada manusia agar selalu
menjaga, merawat dan memakmurkan bumi, bukan merusaknya.
Secara historis, kerusakan di muka bumi ini juga telah dikhawatirkan oleh
para malaikat tepatnya pada saat awal mula penciptaan manusia itu sendiri. Hal
itu, terekam jelas dalam al-Quran Surat al-Baqarah [2] ayat 30, di mana Allah
Swt. berfirman:
2
فطد فهب وإذ ق لئنخ إ جبعو ف الرض خيفخ قبىىا أرجعو فهب به رثل ىي
( ى ب ل رعي ش ىل قبه إ أعي دك وقد طجخ ثذ بء وذ (03وطفل اىد
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Ayat di atas menjelaskan tentang sikap para malaikat yang seakan
mempertanyakan kebijakan Allah ketika hendak mengangkat seorang dari
makhluk-Nya untuk dijadikan sebagai khalifah atau pemimpin yang akan
mengatur, melestarikan, dan menyejahterakan dunia ini. Para malaikat merasa
keberatan dan terus mempertanyakan lantaran mereka memprediksi bahwa pada
dasarnya seorang yang akan diangkat sebagai khalifah tersebut akan membuat
kerusakan di dunia yang akan diserahkan kepadanya. Keterangan di atas
menjelaskan bahwa sesungguhnya kerusakan di muka bumi ini telah diprediksi
oleh makhluk Allah yang lain seperti malaikat. Seorang makhluk Allah yang akan
diangkat menjadi khalifah menurut para ulama adalah Adam atau manusia.1
Prediksi yang tercatat jelas dalam firman Allah pada surat al-Baqarah ayat
30 di atas memiliki relevansi dengan kerusakan yang sering kali terjadi di muka
bumi ini oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab dan selalu
berbuat kerusakan untuk keuntungan dirinya sendiri. Di antara bentuk kerusakan,
kehancuran, yang dilakukan akibat perbuatan manusia seperti kebakaran hutan,
banjir, longsor, dan lainnya.
1 Muḥammad „Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsīr (Kairo: Dār al-Ṣābūnī, 1997), h. 41.
3
Kebakaran hutan misalnya, hampir selalu terjadi setiap tahun dibeberapa
daerah di Indonesia.2 Sebagian manusia juga seringkali memanfaatkan bumi dan
isinya secara bebas dan tak terbatas, sehingga berakibat pada perubahan
lingkungan menuju kerusakan dunia yang berkelanjutan, salah satunya ialah
terjadinya pemanasan global (global warming) dengan segala dampak negatif
yang diakibatkannya.3 Hal ini, tentu akan sangat berdampak pada hilangnya
kesejahteraan hidup manusia. Oleh karenanya, masalah tersebut harus segera
dibenahi dan dicarikan solusi untuk menyelamatkan keadaan bumi ini supaya
tetap lestari.
Berbagai fenomena kerusakan alam yang banyak terjadi dewasa ini, pada
gilirannya menuntut sejumlah kalangan agar berupaya membenahinya. Salah satu
upaya yang diwacanakan yaitu dengan melakukan penyelamatan lingkungan atau
biasa disebut dengan istilah go green. Maksud dari istilah go green ialah upaya
penghijauan atau reboisasi dengan cara menggalakan penanaman pohon.
Penanaman pohon tersebut diharapkan dapat meminimalisir atau mencegah
pemanasan global, meminimalisir kejadian longsor dan banjir yang kerapkali
terjadi disetiap musim penghujan diberbagai daerah di Indonesia.4
2 Banyak korban kebakaran hutan yang hampir selalu terjadi setiap tahun di negeri ini.
Pada tahun 1997-1998, telah terjadi kebakaran utan yang sangat dahsyat sehingga merusak sekitar
9,7 juta hektar hutan dan lahan di tanah air. Kebakaran terjadi diseluruh pulau. 6,5 juta hektar di
Kalimantan, 1, 75 hektar di Sumatera, 100 ribu hektar di Jawa, 400 ribu hektar di Sulawesi, dan 1
juta hektar di Papua. Selengkapnya, lihat Fakhrudin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam
Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 39. 3 Sukandamuri, Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pemanasan Global (Yogyakarta: Andi,
2010). Pemanasan global ialah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan
daratan bumi. Pemanasan global terjadi akibat ada peningkatan kadar gas rumah kaca. Lihat
Mukono, Aspek Kesehatan Pencemaran Udara (Surabaya: Airlangga University Press, 2011), h.
54. 4 Selengkapnya, lihat Suhendri Cahya Purnama, Islam dan Go Green. Artikel diakses dari
http://www.daaruttauhiid.org/artikel/read/global/226/islam-dan-go-green.html. Pada 17 Agustus
2017.
4
Kejadian-kejadian yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam merusak
ekosistem di muka bumi ini dan membuat kerusakan di berbagai tempat ini tentu
tidaklah diperintahkan oleh Allah, bahkan perbuatan tersebut termasuk kategori
perbuatan yang tercela dan tidak diridhoi Allah Swt.
Apabila kita merujuk pada doktrin teologis yang terdapat di dalam ayat suci
al-Qur‟an, maka akan kita dapatkan bahwa Allah Swt. memberikan teguran keras
kepada umat manusia agar tidak melakukan kerusakan di muka bumi ini yang
menyebabkan tidak seimbangnya ekosistem yang justru akan membuat kerugian
sendiri bagi kehidupan umat manusia ke depannya. Allah berfirman dalam Surat
al-A„raf [7] ayat 56, bahwa:
ذ ول رفطدوا ف الرض ثعد إصلدهب و رد عب إ للا ادعى خىفب وط قرت
( ذط (65اى
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Bukan hanya terdapat di dalam al-Qur‟an saja, pengertian go green yang
memiliki tujuan untuk usaha penghijaun bumi ini mendapatkan legitimasi dari
hadis Nabi Saw. dalam riwayat al-Bayhaqi dalam Sunan al-Kubra, sebagai
berikut:
: وضي صيى للا عي أص، قبه: قبه رضىه للا »ع طي ب غرش غرضب، أو
خ إل مبذ ى صدقخ ، أو ثه طب ر، أو إ ط «سرع زرعب، فأمو 5
Dari Anas bin Malik ra, bahwa Nabi saw telah bersabda: Tidaklah seorang
Muslim menanam suatu tanaman, kemudian hasil tanamannya dimakan oleh
burung, manusia dan hewan, melainkan akan menjadi shadaqah bagi
pemiliknya.
5 Aḥmad bin Ḥusayn bin „Alī bin Mūsā‟ al-Bayhaqī, Sunan al-Kubrā (Mekah: Dār al-Bāz,
1994), 6, 137.
5
Hadis di atas memiliki pemahaman bahwa seorang yang menanam pohon
akan dihitung oleh Allah sebagai amalan baik baginya. Ini menunjukkan bahwa
dalam hadis di atas secara eksplisit Nabi Saw. menganjurkan supaya setiap
individu menanam pohon apa pun yang berguna untuk usaha pelestarian
lingkungan yang akan dicatat sebagai perbuatan baik.
Hadis riwayat al-Bayhaqi di atas yang menyatakan bahwa seorang muslim
yang menanam pohon, kemudian hasil tanamannya tersebut dimakan oleh burung,
manusia atau hewan, maka hal itu akan menjadi ṣadaqah bagi orang yang
menanamnya. Tak hanya itu, pada hadis di atas, Nabi saw juga seolah hendak
menegaskan bahwa orang yang menanam pohon akan mendapatkan banyak
keuntungan. Hal itu, karena pahala menanam pohon akan terus mengalir kepada
pemiliknya selama pohon tersebut masih ada. Selama pohon yang ditanam oleh
seseorang, walaupun orang yang menanam pohon tersebut telah meninggal dunia,
bisa memberi manfaat kepada orang lain, atau bahkan untuk binatang sekalipun,
maka seorang yang menanam pohon akan tetap menuai pahala atas perbuatan baik
yang pernah dikerjakan tersebut. Dari sini, dapat dikatakan bahwa semangat go
green dalam bentuk anjuran penanaman pohon mendapat legitimasi langsung dari
Nabi Saw.
Semangat go green juga dapat dijumpai dalam hadis lain riwayat Abu
Dawud dalam Sunan Abi Dawud di mana Nabi Saw. pernah mengancam
sahabatnya yang menebang pohon bidara dengan suatu ancaman yang dapat
6
berujung pada siksaan kelak di akhirat.6 Hal itu, sebagaimana terekam pada hadis
berikut.
، قبه: قبه رضىه للا دجشئ قطع ضدرح -صيى للا عي وضي-ع عجد للا ث " :
ة للا رأض ف اىبر" .صى7
Dari Abdullah bin Hubsyi ia berkata, "Rasulullah Saw. bersabda:
"Barangsiapa menebang pohon bidara, maka Allah akan membenamkan
kepalanya dalam api neraka."
Hadis di atas secara substansial menegaskan terkait larangan menebang
pohon bidara. Bahkan, Nabi Saw. memberi ancaman keras bahwa siapa saja yang
menebang pohon bidara, maka Allah Swt. akan membenamkan kepalanya ke
dalam api neraka. Oleh karenanya, hadis ini kian menegaskan terkait pentingnya
merawat pepohonan sebagai bagian dari upaya go green.
Melihat fenomena kemasyarakatan yang kian kompleks terkait dengan
hubungan antara manusia dan alam, sekiranya sudah saatnya hubungan di antara
keduanya berjalan seirama dan menjalin hubungan yang saling menguntungkan
(simbiosis mutualisme). Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dari manusia
sebagai makhluk yang diamanati oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi ini
untuk selalu menjaga alam lingkungan dan tempat huni bagi mereka dengan
sebaik-baiknya. Maka perlu adanya bentuk pemahaman kepada manusia bahwa
sesungguhnya kesadaran untuk senantiasa merawat dan menjaga lingkungan itu
sangat penting dan mendapat anjuran dari Nabi Saw.
Dalam penelitian ini, penulis akan menyuguhkan bentuk doktrinal dari Nabi
Saw. terkait dengan usaha pelestarian lingkungan sebagai mana hadis yang
6 Bidara atau widara (ziziphus mauritiana) adalah sejenis pohon kecil penghasil buah yang
tumbuh di daerah kering. Tanaman ini dikenal pula dengan nama daerah seperti widara (Jawa),
Kok (Rote), Kon (Timor), bedara (Alor), kalanga (Sumba) dan rangga (Bima). Lih. K. Hayne,
Tumbuhan Berguna Indonesia (Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya, 1987), Jld. 3, h. 1270. 7 Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd (Beirut: Dār al-Kutub al-„Arabī, 2009), Jld. 4,
h. 530.
7
diriwayatkan oleh Abū Dāwūd di dalam kitab sunannya tentang larangan
menebang pohon bidara. Namun demikian, pertanyaan krusial yang muncul
berkaitan dengan hadis ini ialah, bagaimana kualitas hadis tersebut? kemudian,
apa yang dikatakan para ulama terkait substansi hadis tersebut. Hal ini menarik
untuk dikaji untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang maksud
ucapan Nabi Saw. di atas dalam hubungannya dengan go green.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini akan dibatasi pada hadis
yang mendukung usaha pelestarian lingkungan atau go green. Dalam hal ini hadis
riwayat Abū Dāwūd dalam kitab sunannya tentang larangan memotong pohon
bidara akan menjadi fokus kajian.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kualitas dan kehujahan hadis yang menyangkut larangan
menebang pohon bidara sebagaimana riwayat Abū Dāwūd dalam Kitab
Sunannya?
2. Bagaimana cara memahami hadis tentang larangan menebang pohon
bidara dalam konteks usaha pelestarian lingkungan atau go green?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk:
Pertama, mengetahui kualitas hadis tentang larangan menebang pohon
bidara yang diriwayatkan Abū Dāwūd di dalam Kitab Sunannya.
8
Kedua, untuk menjelaskan kehujahan hadis tersebut kepada masyarakat
secara luas
Ketiga, untuk memahami hadis larangan menebang pohon bidara secara
komprehensif
Adapun Manfaat dari penelitian ini adalah;
Pertama, mendeskripsikan dan menguraikan kualitas dan kehujahan hadis
larangan menebang pohon bidara
Kedua, memberikan pemahaman secara utuh tentang hadis larangan
menebang pohon kepada masyarakat
Ketiga, sebagai penguat landasan teologis untuk melarang masyarakat
berbuat semena-mena kepada tumbuhan dan alam sekitar
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa tulisan yang memiliki relevansi dengan penelitian yang akan
dilakukan oleh penulis yang berpusat pada usaha penghijauan dan penyelamatan
lingkungan hidup, di antaranya sebagai berikut:
Penelitian (skripsi) yang ditulis oleh Nur Istikhomah yang berjudul „Go
Green: Kajian Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi No Indeks 1387‟.8 Penelitian ini
hanya mengemukakan tentang kualitas dan kehujahan hadis riwayat al-Tirmidzi
dengan nomer indeks 1387 tanpa ada analisis dan memahami muatan makna dari
hadis yang dikajinya tersebut. Padahal memahami muatan hadis merupakan salah
satu kajian yang sangat urgen untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat
8 Nur Istikhomah, „Go Green: Kajian Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi No Indeks 1387‟,
Skripsi (Surabaya: UIN Sby, 2014).
9
tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup, bukan semata menilai kualitas
hadis dengan sahih dan dianggap bisa menjadi hujah.
Selanjutnya ada artikel dari Fadl Ihsan tentang „Pahala Bagi Seorang yang
Menanam Pohon di Dunia‟ dalam buletin al-Tauhid.9 Fadl membicarakan tentang
berbagai macam hadis yang berkaitan dengan anjuran menanam pohon dan
menilai kualitas dan kehujahan hadis di atas, tetapi ia tidak mengekpos tentang
cara memahami hadis tersebut secara komprehensif. Sehingga, walaupun ada
beberapa bagian hadis yang sama dengan penelitian yang penulis angkat namun
berbeda dengan Fadl, penulis akan mengekpos cara memahami hadis tersebut
secara komprehensif sesuai dengan pendapat-pendapat ulama yang memiliki
otoritas di bidang yang bersangkutan.
Adapula buku yang ditulis oleh Erni Misran, dkk yang berjudul Think Green
Go Green yang membahas tentang seluk beluk urgensi penghijauan dalam
konteks kekinian.10
Di dalam buku ini sempat mengutip penjelasan hadis riwayat
Abu Dawud tentang larangan menebang pohon bidara sebagai dasar legitimasi
ketidakbolehan dalam merusak lingkungan, namun tidak disertai dengan
pencantuman kualitas dan kehujahan hadis tersebut. Terlebih buku ini tidak
menghadirkan bentuk pemahaman cara baca terhadap hadis tersebut, kecuali
ditinjau dari perspektif sains modern.
E. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
9 Fadl Ihsan, „Pahala Bagi Seorang yang Menanam Pohon di Dunia‟, dalam buletin al-
Tauhid, edisi 121, tahun 2011. 10 Erni Misran, dkk, Think Green Go Green (Jakarta: Pustaka Jingga, 2013).
10
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang menjadikan sumber buku
pustaka sebagai kajian utama (library reseach), yaitu meneliti sejumlah buku-
buku kepustakaan dan sejumlah literatur lainnya yang berkaitan dengan obyek
pembahasan.
Sebagai data primer, penulis akan merujuk langsung pada literatur hadis,
terutama sejumlah kitab induk hadis semisal al-Kutub al-Sittah (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī,
Ṣaḥīḥ Muslim, Sunan Ibn Mājah, Sunan al-Nasā’ī, Sunan al-Tirmidzī dan Sunan
Abī Dāwūd). Tak hanya itu, penulis juga akan merujuk pada kitab Rijāl al-Hadīts
seperti kitab Siyar A‘lām al-Nubalā karya al-Dzahabī, Tahdzīb al-Kamāl karya
al-Mīzzī, Tahdzīb al-Tahdzīb karya Ibn al-Ḥajar al-„Asqalānī dan lain sebagainya.
2. Teknik Pegumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan di sebagian
besar perpustakaan yang menyediakan literatur di bidang hadis seperti
perpustakaan Ushuluddin UIN Jakarta, perpustakaan pascasarjana UIN Jakarta
dan perpustakaan lainnya yang menyediakan berbagai literatur hadis lainnya.
Sebagai langkah awal, penulis terlebih dahulu akan melacak seberapa
banyak kitab-kitab induk hadis yang merekam keberadaan hadis terkait larangan
menebang pohon bidara. Pelacakan ini tentunya dilakukan dengan menggunakan
metode takhrij hadis. Adapun metode takhrij yang digunakan dalam penelitian ini
ialah metode takhrij digital, yaitu berupa Maktabah Syamilah.
Langkah selanjutnya, untuk mengetahui dan memastikan kualitas hadis di
atas, penulis akan menelaah pendapat para kritikus hadis terkait kredibilitas dan
intelektualitas semua periwayat yang meriwayatkan hadis. Hal ini dilakukan
11
dengan cara merujuk langsung pada Kitab Rijāl al-Hadīts sebagaimana yang telah
disebutkan.
Tak hanya itu, untuk menguji kualitas matan sekaligus memahaminya,
penulis akan coba melakukannya melalui beberapa hal, yaitu: 1). Memahami
hadis melalui petunjuk al-Quran, 2). Memahami hadis melalui riwayat yang
semakna, dan 3). Memahami hadis melalui perkataan para ulama. Yang terakhir
ini dilakukan dengan cara merujuk pada sejumlah kitab syarah hadis.
3. Teknik Analisis Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit CeQda. Adapun
transliterasi dalam penulisan skripsi ini akan mengacu pada transliterasi yang
berasal dari ketentuan Jurnal Ilmu Ushuluddin tahun yang diterbitkan oleh
HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian yang penulis lakukan akan dibagi ke dalam lima bab pembahasan.
Bab pertama berisi pendahuluan, yang di dalamnya terdiri dari latar
belakang munculnya permasalahan penelitian ini. Setelah itu, permasalahan yang
ada, dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan dalam
rumusan masalah tersebut, akan dituliskan pula metodologi penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini.
Bab kedua adalah kerangka teori. Kerangka teori yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan teori yang menjelaskan cara memahami hadis yang
12
dikemukakan oleh Yūsuf al-Qarḍawī. Menurutnya, suatu hadis dapat dipahami
dengan melalui tiga macam pendekatan yaitu pertama, memahami hadis
berdasarkan petunjuk al-Qur‟an, kedua, memahami hadis yang memiliki
kandungan makna yang sama dan ketiga, adalah memahami hadis berdasarkan
konteks historis ketika suatu hadis dikemukakan oleh Nabi Saw.
Bab ketiga berisi tentang takhrij hadis tentang larangan menebang pohon
bidara. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui letak keberadaan hadis
larangan menebang pohon bidara. Kemudian akan disertakan pula kajian sanad
hadis yang mencakup nilai kredibilitas, intelektualitas para perawi hadis.
Selanjutnya adalah akan dihukumi status dari hadis yang ditakhrij apakah ṣaḥīḥ,
ḥasan, ḍa‘īf atau bahkan mauḍū‘.
Sedangkan bab keempat merupakan bab inti pembahasan yaitu seputar
memahami hadis larangan menebang pohon bidara. Pada bab ini akan
dikemukakan gambaran umum tentang maksud ucapan nabi Saw. berkaitan
dengan larangan menebang pohon bidara. Kemudian akan digali nilai-nilai yang
terkandung di dalam hadis tersebut dengan disesuaikan konteks sosial budaya
yang melingkupi eksistensi dari hadis tersebut.
Bab lima merupakan penutup. Pada bab ini penulis akan menjawab
pertanyaan masalah dalam penelitian hadis yaitu seputar kualitas dan kehujahan
hadis larangan menebang pohon bidara. Selain itu juga pada bab ini akan
menjawab tentang pemahaman secara komprehensif tentang hadis larangan
menebang pohon sebagai legitimasi akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar.
13
BAB II
CARA MEMAHAMI HADIS NABI SAW.
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan secara ringkas terkait cara atau
metode dalam memahami hadis Nabi Saw. Hal ini dilakukan sebagai kerangka
teori untuk memaknai hadis larangan menebang pohon bidara. Dalam hal ini,
penulis akan menggunakan metode pemahaman hadis Yūsuf al-Qarḍāwī yang
terdapat dalam karyanya berjudul “Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-
Nabawiyyah.11
Kendati demikian, penulis tidak akan menggunakan semua metode
pemahaman hadis al-Qarḍāwī, melainkan hanya beberapa poin yang kiranya
relevan dengan pembahasan yang sedang dikaji. Beberapa metode atau
pendekatan tersebut diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mengungkap
makna atau pesan inti yang terkandung dalam hadis larangan menebang pohon
bidara. Adapun beberapa metode yang menurut penulis relevan dan akan
digunakan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut.
A. Memahami Hadis Berdasarkan Petunjuk al-Qur’an
Salah satu metode yang digunakan al-Qarḍāwī dalam memahami hadis
Nabi Saw ialah memahaminya berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. Hal itu, karena
hadis berfungsi sebagai penjelas al-Qur‟an (mubayin li al-hukm). Oleh karenanya,
menurut al-Qarḍāwī, tidaklah mungkin ia bertentangan dengan naṣ al-Qur‟an itu
11 Dalam memahami hadis Nabi Saw, al-Qarḍāwī menggunakan beberapa langkah antara
lain: (1). Memahami hadis berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. (2). Menghimpun hadis secara tematik
(3). Menggabungkan atau mentarjih hadis-hadis yang bertentangan. (4). Memahami hadis
berdasarkan konteks sosio historisnya. (5). Membedakan antara sarana yang berubah dan tujuan
yang tetap. (6). Membedakan antara ungkapan yang hakiki dan majaz. (7). Membedakan antara
yang ghaib dan yang nyata. (8). Memastikan makna kata-kata dalam hadis. Selengkapnya lihat
Yūsuf al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Dār al-Wafā, 1996),
h. 93-110.
14
sendiri. Al-Qarḍāwī juga menegaskan bahwa jika ada seseorang yang menduga
adanya hadis Nabi saw yang bertentangan dengan naṣ al-Quran, maka dapat
dipastikan bahwa hadis tersebut tidaklah ṣaḥīḥ, atau pemahamannya lah yang
keliru. Bahkan, boleh jadi adanya dugaan pertentangan tersebut hanyalah bersifat
semu dan bukan hakiki.12
Sebagai legitimasi terkait pentingnya memahami hadis
berdasarkan petunjuk al-Qur‟an ini, al-Qarḍāwī mengutip ayat al-Quran surat al-
An„ām [6] ayat 115; yaitu.
ل لكلماتو وىو السميع العليم وتت كلمة ربك صدقا وعدل ل مبد
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur‟an) sebagai kalimat yang
yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya
dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Dalam konteks kajian ilmu hadis, al-Qarḍāwī bukanlah orang pertama
yang memahami hadis berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. Jauh sebelum al-Qarḍāwī,
para ulama lainnya juga telah melakukan hal yang sama. Dalam beberapa kitab
syaraḥ hadis misalnya, para ulama pada umumnya mengutip ayat al-Qur‟an
terlebih dahulu sebelum menjelaskan makna atau substansi hadis. Hal ini untuk
melihat dan memastikan tentang sejauhmana suatu hadis memiliki basis legitimasi
dari ayat-ayat al-Qur‟an. Bahkan, jika menelisik lebih jauh ke belakang, hal
semacam ini sesungguhnya telah dilakukan oleh Umm al-Mu’minīn „Ā‟isyah Ra.
pada saat mengkritik hadis yang disampaikan oleh seorang sahabat lantaran
bertentangan dengan naṣ al-Qur‟an.13
Dalam riwayat al-Bukhārī dan Muslim diceritakan bahwa „Ā‟isyah
mengkritik Abdullah bin „Umar yang melarang menangisi mayat. Adapun
12 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 93. 13 Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.tn), Jld. 2, h. 81., Muslim bin al-
Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2010), Jld. 2, h. 620.
15
landasan Abdullah melarang menangisi mayat merujuk pada hadis Nabi Saw.
yang mengatakan bahwa “sesungguhnya mayat akan diadzab karena tangisan
keluarganya”. Spontan „Ā‟isyah merespon pandangan dan pemahaman Abdullah
bin „Umar yang dinilai kurang tepat. „Ā‟isyah menilai bahwa Abdullah bin „Umar
telah keliru memahami hadis ini atau boleh jadi ia lupa.14
„Ā‟isyah mengungkapkan alasan bahwa hadis ini diucapkan Nabi Saw.
pada saat bertemu dengan orang Yahudi yang sedang menangis di kuburan. Nabi
Saw. mengatakan; “mereka menangisinya dan dia (mayat) akan diadzab di dalam
kuburnya. Penolakan Aisyah terhadap riwayat Abdullah bin Umar dikarenakan
larangan menangisi mayat tersebut bertolak belakang dengan surat al-Najm [53]
ayat 38, yang berbunyi أل تزر وازرة وزر أخرى . Ayat tersebut mempunyai arti bahwa
seseorang tidaklah memikul dosa orang lain.
Sementara itu, di era kontemporer, muncul tokoh semisal Muḥammad al-
Ghazālī dengan karyanya berjudul “al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayn Ahl-al-Fiqh
wa Ahl-Ḥadīts”. Dalam karyanya tersebut, ia menegaskan bahwa salah satu
langkah dalam melakukan kritik matan ialah dengan cara menguji validitas matan
hadis berdasarkan al-Qur‟an. Jika secara substansial bertentangan dengan al-
Qur‟an, maka secara otomatis dapat dipastikan bahwa ia bukanlah hadis ṣaḥīḥ,
melainkan hadis ḍa‘īf.15
Salah satu contoh memahami hadis berdasarkan petunjuk al-Qur‟an ialah
hadis yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Mālik tentang keberadaan orang
tua Nabi Saw. di neraka.
14 Muḥammad bin „Alī al-Syawkānī, Nayl al-Awṭār min Asrār al-Muntaqā’ al-Akhbār
(Mekah: Dār Ibn al-Jawzī, 1427 H.), Juz. 4, h. 111-2. 15 Muḥammad al-Ghazālī, Al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīts
(Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣhr, 2012), h. 169.
16
عن أنس أن رجال قال يا رسول اهلل أين أب قال ف النار ف لما ق في دعاه ف قال إن أب وأباك ف النار
Dari Anas bin Mālik diceritakan, ada seorang lelaki bertanya, wahai
Rasulullah saw, di manakah bapakku berada? Nabi saw menjawab,
(bapakmu) di neraka. Ketika ia berpaling, Nabi saw memanggilnya dan
berkata, sesungguhnya bapakku dan bapakmu di Neraka.16
Hadis yang mengatakan bahwa keberadaan ayah/bapak Nabi Muhammad
Saw. di neraka, baik ditinjau secara matan dan sanad adalah valid, benar. Hal ini
karena hadis tersebut terdapat di dalam kitab Ṣaḥīḥ Muslim yang dinilai sebagai
salah satu kitab hadis paling valid selain Ṣaḥīḥ al-Bukhari. Dengan demikian,
secara kualitas, ia masuk dalam katagori hadis Ṣaḥīḥ yang dapat dijadikan sebagai
landasan dalil (ḥujjah).
Apabila dilihat dari kronologis sebab diucapkannya (asbāb al-nuzul) hadis
ini, maka akan diketahui bahwa hadis ini diucapkan oleh Nabi Saw. sebagai
jawaban atas pertanyaan seorang sahabat tentang keberadaan bapaknya. Nabi saw
pun menjawab bahwa “bapakku dan bapakmu di neraka”.
Secara tekstual, hadis ini terkesan problematis karena menyatakan bahwa
orang tua Nabi Saw berada di neraka. Pertanyaannya, benarkah orang tua Nabi
Saw berada di neraka? apa yang menyebabkan orang tua Nabi Saw berada di
neraka? Dalam hal ini, al-Qarḍāwī mencoba memahami hadis di atas berdasarkan
petunjuk al-Qur‟an. Yang menjadi permasalahan utama dalam hadis ini ialah
terkait makna redaksi أث أة Apakah kata . إ (ayah/bapak) di sana bermakna
“bapak” dalam pengertian ayah kandung, ataukah mengandung kata tersebut
memiliki makna dan arti lain selain ayah kandung?
16 Al-Ḥusayn Muslim bin al-Ḥajjāj bin Muslim al-Qusyairī al-Naisabūrī, Ṣaḥīḥ Muslim,
(Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, t.th.), Vol. 1, h. 191.
17
Menurut al-Qarḍāwī, kata أة pada hadis di atas tertuju kepada pamannya
Nabi Saw yaitu Abu Thalib, yang telah merawat Nabi Saw setelah ditinggal wafat
kakeknya, Abd al-Muthalib. Pemaknaan kata أة dengan makna ع (paman(
merupakan hal yang lumrah dalam bahasa Arab, bahkan dapat dijumpai dalam al-
Qur‟an. Ia kemudian mengutip surat al-Bāqarah [2] ayat 133 sebagai berikut.17
ب عدي قالوا ن عبد أم كنتم شهداء إذ حضر ي عقوب الموت إذ قال لبنيو ما ت عبدون من ا واحدا وحن لو مسلمون ل وإسحاق وي عقوب إل إب راىيم وإساعيو آبائك ك وإل إل
Adakah kamu hadir ketika Ya‟qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika
ia bertanya kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu
dan Tuhan bapak moyangmu, Ibrahim, Isma‟il, dan Ishak, (yaitu) Tuhan
Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.
Pada ayat di atas, makna kata آثبء yang merupakan bentuk jamak dari kata
tertuju kepada Isma‟il, padahal Ismail bukanlah bapaknya Ya‟qub, melainkan أة
pamannya. Akan tetapi, dalam hal ini al-Qur‟an menggunakan kata أة dan bukan
kata ع . Dengan adanya bukti normatif dari al-Qur‟an yang menunjukkan makna
kata أة bukan semata memiliki arti tunggal sebagai bapak kandung, maka kata
tersebut pada dasarnya memiliki kemungkinan lebih dari satu kata atau
pengertian, yaitu bisa bermakna paman.
Sementara itu, anggapan bahwa makna kata أة pada hadis di atas ialah
tertuju kepada Abū Ṭālib (paman Nabi Saw.), didasarkan pada fakta historis
bahwa ia telah menolak untuk mengucapkan kalimat syahadat di akhir hidupnya.
Kejadian tersebut banyak direkam di dalam hadis ṣaḥīḥ seperti Ṣaḥīḥ Muslim
yang menyatakan bahwa pada akhir hayat wafatnya Abū Ṭālib, Nabi Saw.
17 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 117.
18
memintanya untuk mengucapkan kalimat tauhid supaya ia (Nabi) dapat
menyelamatkannya di akhirat kelak. Namun sampai akhir nafas berhenbus, Abū
Ṭālib tidak mengucapkan kalimat yang dikehendaki Nabi Saw. Maka dengan
demikian, di dalam kitab-kitab hadis, paman Nabi Muhammad Saw. dimasukkan
ke dalam orang yang tidak beriman dan akan dimasukkan ke dalam neraka. Tatapi
hukuman yang akan diterimanya di neraka kelak, merupakan hukuman yang tidak
seberat orang-orang kafir musyrikin yang memusuhi dan membenci Nabi Saw.18
B. Menghimpun Hadis-Hadis Secara Tematik
Menurut al-Qarḍāwī, hal lainnya yang mesti dilakukan dalam memahami
hadis Nabi ialah menghimpun atau memadukan hadis-hadis ṣaḥīḥ yang berkenaan
dengan tema tertentu. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan yang
mutasyabih (belum jelas maknanya) kepada yang muḥkam (jelas maknanya),
mengaitkan yang muṭlak (terurai) dengan yang muqayyad (terbatas), serta
menafsirkan yang „am (umum) dengan yang khāṣ (khusus). Sehingga, makna
yang dimaksudkan dapat diketahui dengan jelas dan tidak bertentangan satu
dengan yang lainnya.
Pendapat al-Qarḍāwī ini, sama persis dengan pandangan Ali Mustafa
Ya‟qub. Ia berkata:
“Secara redaksional, hadis Nabi Saw. adakalanya bersifat umum, dan
adakalanya bersifat khusus. Oleh karenanya, hadis Nabi yang bersifat
umum, mesti dipahami dengan hadis Nabi yang bersifat khusus. Begitu
pula lafadz hadis yang muṭlak, muqayyad, mujmal dan mubayan.
Hendaklah mengaitkan yang muṭlak dengan yang muqayyad dan
menafsirkan yang mujmal dengan yang mubayan. Dengan kata lain, hadis
18 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 117.
19
Nabi yang tidak jelas maknanya, mesti ditafsirkan dengan hadis yang jelas
maknanya”.19
Pandangan Ali Musthafa Ya‟qub terkait keharusan memahami hadis
secara tematik ini, pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari kaidah yang
dikemukakan oleh Aḥmad bin Hanbal bahwa “hadis akan terasa sulit dipahami
jika periwayatannya tidak dikumpulkan dalam satu tema, karena hadis saling
menafsirkan satu dengan yang lainnya”. (al-Ḥadīts Idzā Lam Tajma‘ Ṭurūqahu
Lam Tafhamhu wa al-Ḥadīts Yufassir Ba‘ḍuhu Ba‘ḍan).20
Sebagai sebuah contoh ialah terkait hadis larangan menjulurkan pakaian di
bawah mata kaki sebagaimana tercatat di dalam Sunan al-Kubrā karya al-Nasā‟ī,
yang diriwayatkan dari Abū Dzar Ra. sebagai berikut.
ثالثة ل يكلمهم اللو ي وم القيامة : م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص اهلل ل و س ر ال ق ال ق ر ذ ب أ ن ع ، والمنفق سلعتو والمسبل إزاره ول ي نظر إليهم ول ي زكيهم ولم عذاب أليم: المنان با أعطى،
باللف الكاذب
Ada tiga jenis manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari
kiamat, tidak dipandang, dan tidak akan disucikan oleh Allah. Mereka
bertiga akan mendapatkan siksa yang pedih. Pertama, orang yang
mengungkit-ungkit pemberian (sedekah), kedua, orang yang isbal
(menjulurkan pakaian di bawah mata kaki), dan ketiga, orang yang
melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.21
Secara tekstual, hadis ini memberi ancaman keras salah satunya kepada
orang yang menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki (musbil). Hadis ini
dijadikan landasan oleh sebagian kalangan menyangkut larangan menjulurkan
19 Ali Mustafa Yaqub, al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah (Ciputat:
Maktabah Darussunnah, 2016), h. 119. 20 Khaṭīb al-Baghdādī, al-Jāmi‘ li Akhlak al-Rāwī wa Ādab al-Sāmi‘ (Riyaḍ: Maktabah
al-Ma„ārif, t.tn). h. 212. 21 Aḥmad bin Syu„ayb al-Nasā‟ī, Sunan al-Kubrā’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1991), Vol. 5, h. 588.
20
pakaian di bawah mata kaki. Bahkan, sebagian golongan berani memberikan
stigma negatif terhadap orang yang menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki
sebagai orang yang tak paham agama karena dinilai menyalahi sabda Nabi Saw.
tentang larangan isbal.22
Padahal, jika hadis tersebut dipahami secara utuh, yaitu dengan cara
menghimpun semua hadis-hadis yang berkenaan dengan tema tersebut, tentu
mereka akan terhindar dari sikap ekstrim semacam itu. Menurut al-Qarḍāwī,
ungkapan اىطجو إزار tidak dapat dipahami secara literal, melainkan harus
dipahami dengan melihat hadis lainnya. Al-Bukhārī di dalam Ṣaḥīḥnya
meriwayatkan hadis yang berasal dari sahabat Abdullah bin „Umar sebagai
berikut.
هما أن رسول اللو صلى اهلل عن ابن عمر رضي إل من اهلل عليو وسلم قال ل ي نظر اهلل عن جر ث وبو خيالء
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa sesungguhnya Nabi Saw. bersabda:
“Allah Swt. tidak akan memandang kepada orang yang menjulurkan
pakaiannya karena sombong”.23
Menurut al-Qarḍāwī, hadis ini mentaqyid” (mengikat) keumuman hadis
sebelumnya yaitu tentang larangan menjulurkan pakaian sampai mata kaki
(isybal). Keberadaan kata خلء yang bermakna “sombong” pada hadis ini, menjadi
penjelas bagi hadis sebelumnya. Artinya, ancaman keras yang ditegaskan oleh
hadis larangan berbuat isybal, sesungguhnya tertuju kepada kelompok yang
menjulurkan pakaiannya dengan disertai sikap sombong. Dengan demikian, yang
mesti digaris bawahi dalam hal ini bukanlah menjulurkan pakaian di bawah mata
22 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 123. 23
Al-Bukhārī. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ṭauq al-Najah, t.tn.), Vol. 7, h. 141.
21
kaki, melainkan adanya sikap sombong dari orang atau kelompok yang
bersangkutan.
C. Memahami Hadis Berdasarkan Konteks Sosio-Historis
Selain dua perangkat yang telah dijelaskan di atas, hal lainnya yang mesti
dilakukan dalam memahami hadis ialah memperhatikan konteks sosio-historis
yang melatari munculnya suatu hadis. Hal itu, karena suatu hadis tidaklah muncul
dengan sendirinya. Ia tidak muncul dalam ruang yang kosong, melainkan dilatar
belakangi oleh sebab dan tujuan.24
Sebagai contoh ialah hadis terkait larangan
berpergian bagi perempuan kecuali dengan mahramnya.25
Aḥmad bin Hanbal
dalam Musnadnya dan al-Ṭabrānī dalam Mu‘jam al-Kabīr meriwayatkan hadis
yang berasal dari Abū Ma„bad, bekas budak dari Ibn „Abbās, sebagai berikut:
ى اهلل ل ص اهلل ل و س ر ب ط : خ ل و ق ي اس ب ع ن اب ت ع س ال ق اس ب ع ن اب ل و د م ب ع م ب أ ن ع : ول تسافر امرأة إل ومعها ذو مرم م ل س و و ي ل ع
Dari Abi Ma‟bad (Mawla Ibn Abas), bahwa aku pernah mendengar Ibn
Abas berkata: Nabi saw pernah berkhotbah lalu bersabda: Janganlah
seorang perempuan berpergian kecuali bersama mahramnya. 26
Hadis ini menyatakan terkait larangan berpergian bagi perempuan kecuali
dengan mahramnya. Konteks yang melatarbelakangi adanya ucapan Nabi Saw.
tersebut dikemukakan oleh „Adil Mursyid, pentahqiq kitab Musnad Aḥmad bin
24
Pada dasarnya, memahami hadis berdasarkan konteks sosio historis merupakan
pengembangan dari sabab al-wurūd al-hadīts. Terkait sabab al-wurūd ini, Ibn Taimiyah
menegaskan bahwa sebagaimana pentingnya sabab al-nuzūl dalam konteks kajian al-Quran, maka
dalam konteks kajian hadis, pengetahuan menyangkut sabab al-wurūd juga sangat dibutuhkan oleh
seorang ahli fiqh ataupun mujtahid sehingga tak terjebak pada sebuah pemahaman yang keliru.
Selengkapnya, lihat „Alī Nayif al-Syuhūd, al-Mufaṣṣal fī ‘Ulūm al-Hadīts (t.tp.: Hay‟at al-„Ilmiyah
wa al-Khairiyah, 2008), h. 132. 25 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 145. 26 Aḥmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal (Kairo: Mu‟assasah al-Risālah, 2001),
Jld. 3, h. 408., , Abū al-Qāsim, al-Ṭabrānī, Mu‘jam al-Kabīr (Mosul: Maktabah al-Ulum wa al-
Hikam, 1983), Vol. 11, h. 425.
22
Hanbal, bukan diartikan sebagai usaha pengekangan bagi seorang perempuan.
Bahkan hal ini dilakukan sebagai usaha melindungi perempuan dari segala
tindakan yang tidak baik. Kondisi ini diambil karena mengingat kondisi bangsa
Arab pada saat itu tidak aman dan memungkinkan bagi seorang perempuan
melakukan bepergian di luar rumah tanpa didampingi oleh seorang mahramnya.27
Oleh karena itu, seorang perempuan mendapat larangan bepergian baik itu
satu hari, dua, hari atau bahkan tiga hari tanpa didampingi oleh suami, bapak atau
keluarganya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya bentuk pelarangan dalam
hadis Nabi di atas sangat disebabkan dan dipengaruhi oleh kondisi sosial dan
historis ketika suatu hadis diucapkan.
Hadis tentang larangan bepergian bagi seorang perempuan tentu menjadi
problematis ketika diterapkan dalam konteks kekinian di mana kondisi sekarang
yang relatif lebih aman dan tenteram dibandingkan dengan pada masa dulu
khususnya di Arab. Sehingga hal ini memerlukan kajian lanjutan untuk
memahami hadis tersebut secara komprehensif dengan melihat berbagai macam
cara dan metode seperti mempertimbangkan kondisi sosial pada masa itu sehingga
dapat dipahami dalam konteks kekinian.
Dalam hal ini, al-Qarḍāwī memahami hadis tersebut berdasarkan konteks
sosio-historisnya. Menurutnya, hadis tersebut muncul dalam konteks sosial jazirah
Arab yang sangat rawan. Di mana seseorang yang hendak berpergian mesti
melewati gurun pasir dengan mengendarai unta atau keledai. Situasi gurun pasir
pada saat itu sangatlah gersang dan sepi dari kehidupan. Hal ini, tentu akan sangat
membahayakan bagi perempuan jika ia berpergian sendirian. Oleh karena itu,
27 „Adil Mursyid, dalam komentar taḥqīq kitab Musnad Aḥmad bin Hanbal. Aḥmad bin
Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal, Jld. 3, h. 408.
23
sangatlah wajar jika Nabi saw melarang seorang perempuan untuk berpergian
kecuali ditemani mahramnya.28
Akan tetapi, keadaannya berbeda dengan konteks sekarang, di mana
perempuan yang hendak berpergian bisa menggunakan kendaraan semisal
pesawat terbang yang di dalamnya terdapat seratus penumpang bahkan lebih.
Sehingga, tidak ada lagi yang layak dikhawatirkan menyangkut keamanan
perempuan sekalipun ia berpergian tanpa ditemani mahramnya.
Tak hanya itu, bahkan para ulama telah membolehkan bagi perempuan
untuk pergi menunaikan haji meskipun tanpa ditemani mahram atau suaminya.
Hal ini, sebagaimana pernah dilakukan Aisyah Ra. ketika menunaikan haji
bersama istri-istri Nabi lainnya tepatnya pada masa khalifah „Umar bin Khaṭṭab.
Pada saat itu, tak seorang pun yang ditemani mahramnya, melainkan ditemani
„Utsmān bin „Affān dan „Abd al-Raḥman bin „Auf.29
Pentingnya memahami hadis berdasarkan konteks sosio-historis juga dapat
dilihat pada saat memahami hadis lainnya yaitu menyangkut kepemimpinan
Quraisy sebagai berikut. Al-Ṭabrānī dalam Mu‘jam al-Awsaṭ meriwayatkan hadis
yang berasal dari „Alī bin Abī Ṭālib, sebagai berikut:
ة من ق ريش م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص اهلل ل و س ر ال ق ال ق ي ل ع ن ع األئم
Dari „Alī Ra, bahwa Nabi saw bersabda: Para pemimpin itu dari golongan
Quraisy.30
28 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 149. Bandingkan
dengan Muḥammad Azīz „Ābidīn, al-Tsawābit wa al-Mutaghayyirāt fī al-Qur’ān wa al-Sunnah
(Damaskus: Dār al-Mahabah, 2011), h. 14. 29 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 149. 30 Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad al-Ṭabrānī, Mu‘jam al-Awsaṭ (Kairo: Dār al-
Haramain, 1415 H), Vol. h. 357. Lihat juga Abū Ya„lā al-Muṣīlī al-Tamīmī, Musnad Abī Ya‘lā,
(Damaskus: Dār al-Ma‟mūn, 1984), Vol. 6, h. 321.
24
Secara tekstual, hadis di atas hendak menegaskan bahwa mengangkat
seorang pemimpin dari golongan Quraisy merupakan sebuah keharusan.
Konsekuensi logisnya ialah adanya larangan untuk mengangkat seorang
pemimpin di luar golongan Quraisy. Dengan mengacu pada makna literal hadis
ini, kelompok ektrimis seperti Islamic State Irak and Suriah (ISIS) meyakini
bahwa mengangkat pemimpin yang berasal dari golongan Quraisy merupakan
sebuah keharusan. Sehingga, pada tahun 2014, mereka mengangkat Abū Bakar al-
Baghdādī sebagai pemimpin (khalifah).31
Namun demikian, pertanyaan yang
muncul kemudian ialah, bagaimana substansi atau pesan moral dari hadis
tersebut? Dalam konteks sosio-historis seperti apa hadis tersebut diucapkan oleh
Nabi Saw.?
Dalam hal ini, al-Qarḍāwī mengutip pendapat Ibn Khaldun bahwa alasan
utama Nabi Saw. mensyaratkan pemimpin dari golongan Quraisy lantaran mereka
merupakan suku terkuat dan memiliki ‘aṣabiah yang tinggi pada saat itu.
Sehingga, kiranya logis jika Nabi memilih suku Quraisy sebagai pemimpin.
Dengan perkataan lain, yang menjadi prinsip utama bukanlah karena faktor
keturunan, melainkan karena kekuatan, solidaritas dan pengaruh yang dimiliki
oleh golongan Quraisy pada saat itu. Jika demikian alasannya, menurut al-
Qarḍāwī, maka pengamalan hadis di atas tak dapat digeneralisasi dalam konteks
sekarang.32
Kiranya logis jika Nabi Saw. pada saat itu mensyaratkan pemimpin
harus selalu dari golongan Quraisy. Alasannya, di samping memiliki pengaruh
kuat dan ‘aṣabiah yang tinggi, konon mereka juga merupakan suku yang paling
mendominasi bangsa Arab saat itu.
31 Abdul Karim Munthe dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Ciputat: el-
Bukhari Institute, 2017), h. 92. 32 Al-Qarḍāwī, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 150.
25
Sejarah juga telah mencatat, bahwa mereka merupakan suku terkemuka
dibandingkan suku atau kabilah-kabilah lainnya di jazirah Arab. Oleh karenanya,
dengan berbekal pengaruh, solidaritas, dominasi dan kewibawaan yang mereka
miliki, diharapkan dapat mencegah perpecahan dan meredam konflik antar
golongan. Sehingga, pada akhirnya dapat menjaga keberlangsungan dan stabilitas
pemerintahan dengan baik.33
Selain dari pada itu, dalam konteks sekarang, sangat sulit jika mengangkat
memimpin harus selalu dari golongan Quraisy. Terlebih, umat Islam telah tersebar
ke berbagai penjuru dunia. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa generalisasi
pengamalan makna hadis di atas dalam konteks sekarang sangatlah irasional dan
tidak relevan.
Beberapa uraian di atas, kian menegaskan terkait pentingnya memahami
hadis berdasarkan konteks sosio-historis yang melatarinya. Oleh karena itu,
tidaklah berlebihan sekiranya dikatakan bahwa memahami hadis dengan cara
meletakkan pada konteks historisnya tak lain merupakan sikap yang arif dan
bijaksana. Dengan melihat konteks historis suatu hadis dikemukakan, diharapkan
dapat mendapatkan bentuk pemahaman hadis yang holistik dan komprehensif dan
meminimalisir penyalahgunaan hadis karena didapatkan dari hasil pengamatan
dan pemahaman hadis yang parsial.
33
Abdul Karim Munthe dkk, Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, h. 93.
26
BAB III
KAJIAN TAKHRIJ HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA
Pada bab ini, penulis akan menguji kualitas sanad hadis larangan
menebang pohon bidara. Sebagai langkah awal, penulis terlebih dahulu akan
melakukan takhrij hadis. Hal ini penting dilakukan, bukan hanya untuk dapat
mengetahui letak atau sumber keberadan hadis tersebut, melainkan juga untuk
mengungkap seberapa banyak hadis tersebut direkam dalam sumber-sumber
primer hadis. Selanjutnya, penulis akan berusaha melacak dan menghadirkan
biografi sekaligus penilaian para ulama kritikus hadis terkait masing-masing
periwayat. Terakhir ialah penjelasan mengenai hukum hadis tersebut, apakah
ṣaḥīḥ, ḥasan, ḍa‘īf, atau bahkan mawḍū‘?
A. Deskripsi Umum Hadis
Berdasarkan takhrij hadis yang telah penulis lakukan, menunjukan bahwa
secara referensial, hadis larangan menebang pohon bidara terdapat dalam
beberapa kitab induk hadis. Sekurang-kurangnya, ada tiga kitab induk hadis yang
merekam keberadaan hadis tersebut yaitu Sunan Abī Dāwūd karya Abū Dāwūd,
Sunan al-Nasā’ī karya al-Nasā‟ī dan Mu‘jam al-Awsaṭ karya Abū al-Qāsim al-
Ṭabrānī. Ketiga sumber tersebut merekam hadis larangan menebang pohon bidara
dengan redaksi matan yang sama persis tanpa dijumpai adanya perbedaan sedikit
pun. Adapun beberapa riwayat yang dimaksud ialah sebagai berikut.
27
1. Riwayat Abū Dāwūd
ن ع ان م ي ل س ب أ ن ب ان م ث ع ن ع ج ي ر ج ن اب ن ع ة ام س أ و ب ا أ ن ر ب خ ى أ ل ع ن ب ر ص ا ن ن ث د ح و ي ل ع ى اهلل ل ص - اهلل ل و س ر ال ق ال ى ق ش ب ح ن ب اهلل د ب ع ن ع م ع ط م ن ب ي ب ج ن ب د م م ن ب د ي ع س 1«. من قطع سدرة صوب اللو رأسو ف النار » -م ل س و
2. Riwayat al-Nasā‟ī
ج ي ر ج ن ا ب ن ث د ح ال ق د ي ز ي ن ب د ل ا م ن ث د ح ال ق ان ر ال ر م ع و ب أ د م م ن ب د ي م ال د ب ع أ ب ن أ اهلل ول س ر ال ق ال ق ي م ع ث ال اهلل د ب ع ن ع ي ب ج ن ب د م م ن ب د ي ع س ن ع ان م ي ل س ب أ ن ب ان م ث ع ن ع
2 من قطع سدرة صوب اللو رأسو ف النار : م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص
3. Riwayat al-Ṭabrānī
ن ع ان م ي ل س ب أ ن ب ان م ث ع ن ع ج ي ر ج ن ب ن ع م اص ع و ب ا أ ن ث د ح ال ق م ل س م و ب ا أ ن ث د ح من قطع سدرة ) م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص اهلل ل و س ر ال ق ال ي ق ش ب ح ن ب اهلل د ب ع ن ع د م م ن ب د ي ع س
3(اللو رأسو ف النار صوب
1 Abū Dāwūd Sulaimān bin Asy„ats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd (Beirut: Dār al-Kitab
al-„Arabī, tt), Vol. 4, h. 530. 2 Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin Syu„aib bin „Alī al-Nasā‟ī, Sunan al-Nasā’ī (Beirut:
Mu‟assasah al-Risālah, tt), Vol. 8, h. 21. 3 Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad al-Ṭabrānī, Mu‘jam al-Awsaṭ (Riyaḍ, Dār al-
Haramayn, tt), Vol. 5, h. 182.
28
B. Skema Sanad
Nabi Saw.
Abdullah bin Ḥubsyi
Sa„īd bin Muḥammad
„Utsmān bin Abī Sulaimān
Ibn Juraij
Abū Usāmah Mikhlad Abu „Āṣim
Naṣr bin „Alī „Abd al-Ḥamīd bin Muḥammad Abū Muslim
Abū Dāwūd Al-Nasā‟ī Al-Ṭabrānī
Skema sanad di atas menunjukkan bahwa hadis larangan menebang pohon
bidara masuk dalam katagori hadis gharīb al-muṭlak4 yang merupakan bagian dari
hadis ahad. Hal itu, karena pada fase (ṭabaqat) sahabat, tak seorang pun yang
meriwayatkan hadis tersebut kecuali Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī. Begitu
pula pada dua fase setelahnya, hadis tersebut juga masing-masing hanya
diriwayatkan oleh satu orang periwayat, yaitu Sa„īd bin Muḥammad dan „Ustmān
4 Yang dimaksud dengan gharīb al-Muṭlak ialah hadis yang ketersendirian (gharabah)nya
terjadi pada awal sanad. Dengan kata lain, pada fase sahabat, hanya ada satu orang sahabat yang
meriwayatkan. Selengkapnya, lihat Maḥmūd al-Ṭaḥḥān, Taysīr Musṭalaḥ al-Ḥadīts (Beirut: Dār
al-Fikr, t.tn), h. 28.
29
bin Abī Sulaimān. Penyebaran hadis tersebut baru terjadi tepatnya oleh Ibn Juraij.
Melalui Ibn Juraij ini, hadis tersebut kemudian tersebar kepada tiga jalur sanad,
yaitu sanad Abā Dāwūd, al-Nasā‟ī dan Abū al-Qāsim al-Ṭabrānī.
C. Kajian Sanad Hadis
Dalam hal ini, penulis akan membagi pembahasan berdasarkan jalur sanad
masing-masing periwayat tanpa melakukan pengulangan terkait biografi (tarājum)
beberapa periwayat yang telah dijelaskan sebelumnya, semisal Abdullah bin
Ḥubsyi al-Khats„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān
dan Ibn Juraij. Keempat periwayat tersebut hanya akan dijelaskan pada
pembahasan sanad yang terdapat dalam Abū Dāwūd.
Sanad Abū Dāwūd
Secara keseluruhan, di dalam jalur sanad Abū Dāwūd ini terdapat tujuh
periwayat yaitu: Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin
Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān, Ibn Juraij, Abū Usāmah, Naṣr bin „Alī dan
terakhir ialah Abū Dāwūd. Di bawah ini, akan dijelaskan secara spesifik terkait
profil masing-masing periwayat.
1. Abdullah bin Ḥubsyi (w. 72 H.)
Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī. Kunyahnya
ialah Abū Qatīlah. Ia merupakan seorang sahabat Nabi Saw. yang tinggal di
30
Mekah. Ia meriwayatkan beberapa hadis dari Nabi Saw., salah satunya ialah hadis
terkait larangan menebang pohon bidara5 sebagaimana yang sedang penulis kaji.
Dengan melihat status Abdullah bin Ḥubsyi yang merupakan seorang
sahabat Nabi Saw, maka secara otomatis dapat dikatakan bahwa ia merupakan
seorang yang „adil (‘adl), tanpa harus melacak komentar ulama mengenai
kredibilitasnya. Hal itu, berdasarkan kaidah populer dalam ilmu hadis bahwa
setiap sahabat adalah „adil (al-ṣaḥābah kulluhum ‘udūl).
2. Sa‘īd bin Muḥammad bin Jubair bin Muṭ‘im (w. 120 H.)
Nama lengkapnya ialah Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair bin Muṭ„im al-
Nawfalī, al-Madanī. Ia meriwayatkan hadis langsung dari para sahabat Nabi Saw.
di antaranya Abdullah bin Ḥubsyi, Abū Hurairah, dan juga dari kakeknya, yaitu
Jubair bin Muṭ„im. Sementara itu, beberapa muridnya yaitu „Utsmān bin Abī
Sulaimān, Abdullah bin Wahhāb dan beberapa ulama lainnya.6
Terkait Sa„īd bin Muḥammad ini, penulis tidak menemukan komentar para
ulama mengenai kredibilitasnya kecuali Ibn Ḥibbān yang menilainya sebagai
seorang yang tsiqah (terpercaya).7 Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa ia
merupakan seorang yang dapat diterima periwayatannya.
3. ‘Utsmān bin Abī Sulaimān )w. 130 H. )
5 Abū „Amr Yūsuf bin „Abdullah al-Qurṭubī, al-Isti‘āb fī Ma‘rifah al-Aṣḥāb (Beirut: Dār
al-Jīl, 1412 H.), Vol. 3, h. 887., Lihat juga Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar al-„Asqalānī, al-Iṣābah fī
Tamyīz al-Ṣaḥābah (Beirut: Dār al-Jīl, 1992), Vol. 4, h. 52. 6 „Abd al-Raḥmān bin Abū Ḥātim al-Rāzī, al-Jarh wa al-Ta‘dil (Beirut: Dār Iḥyā‟ Turāts
al-„Arabī, 1952), Vol. 4, h. 57. 7 Muḥammad bin Ḥibbān bin Aḥmad al-Tamīmī, al-Tsiqāt (Beirut: Dār al-Fikr,
1975),Vol. 4, h. 290.
31
Nama lengkapnya ialah „Utsmān bin Abī Sulaimān bin Jubair bin Muṭ„im
bin „Adī bin Naufal, al-Qurasyī al-Makkī. Al-Mīzī mengutip pernyataan Ibn
Ḥibbān bahwa „Utsmān bin Abī Sulaimān merupakan seorang Qaḍī di Mekah.8
Ia meriwayatkan hadis dari beberapa gurunya yaitu Sa‘īd bin
Muḥammad bin Jubair bin Muṭ‘im, Nāfi„ bin Jubair bin Muṭ„im, Syu„aib bin
Khālid al-Khats„amī dan lain-lain. Adapun muridnya ialah Ibn Juraij, Ismā„īl bin
Umayyah, Sufyān bin „Uyainah dan sejumlah ulama lainnya.
Sementara itu, sejumlah ulama hadis semisal Aḥmad bin Hanbal, Yaḥyā
bin Ma„īn dan Abū Ḥātim al-Rāzī menilai bahwa „Utsmān bin Abī Sulaimān
merupakan seorang yang tsiqah (terpercaya). Al-Mīzī juga mengatakan bahwa
nama „Utsmān bin Abī Sulaimān dikutip oleh al-Bukhārī dalam Ṣaḥīḥnya.9
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa „Utsmān bin Abī Sulaimān
merupakan seorang periwayat yang sangat tsiqah dan dapat diterima
periwayatannya.
4. Ibn Juraij (w. 150 H.)
Nama lengkapnya ialah „Abd al-Mālik bin „Abd al-„Azīz bin Juraij al-
Qurasyi.10
Ia memiliki dua kunyah yaitu Abū Khālid dan Abū al-Wālid.11
Beberapa guru Ibn Juraij yaitu „Ustmān bin Abī Sulaimān, Yaḥyā bin
Abdullah, Ya„lā bin Hākim, Zayd bin Aslam, Isḥāk bin Abī Ṭalḥah, Ṣāliḥ bin
Kaisān, A„ṭa bin Abī Rabāh, dan lain-lain. Adapun murid-muridnya, yaitu Abū
8 Yūsuf bin al-Zakī „Abd al-Raḥmān Abū al-Ḥajjāj al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl (Beirut:
Mu‟assasah al-Risālah, 1980), Vol. 19, h. 384. 9 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 19, h. 384. 10 Sulaimān bin Khalāf bin Sa„d, al-Ta‘dīl wa al-Tajrīḥ (Riyaḍ: Dār al-Liwā, 1986), 2,
904. 11 Muḥammad bin Aḥmad bin Ḥammād al-Daulabī, al-Kunā wa al-Asmā (Beirut: Dār Ibn
Ḥazm, 2000), Vol. 2, h. 505.
32
Usāmah, Yaḥyā bin Sa„īd al-Umawī, Yaḥyā bin Sa„īd al-Anṣārī, Hisyām bin
Yūsuf al-Ṣan„ānī dan lain-lain.12
Yaḥyā bin Ma„īn menilai bahwa Ibn Juraij merupakan seorang yang
tsiqah. Ulama lainnya semisal Yaḥyā bin Sa„īd menilai Ibn Juraij sebagai seorang
yang jujur (ṣadūq).13
Kredibilitas Ibn Juraij juga dapat dipastikan karena ia
termasuk periwayat yang tercantum dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, salah satunya pada
saat meriwayatkan hadis terkait dzikir setelah shalat.14
Dari sini, dapat dikatakan
bahwa hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.
5. Abū Usāmah (w. 201 H.)
Nama lengkapnya ialah Ḥammād bin Usāmah bin Zayd al-Qurasyī.
Kunyahnya ialah Abū Usāmah al-Kūfī.15
Abū Usāmah meriwayatkan hadis dari
sejumlah ulama yaitu Ibn Juraij, Abū Isḥāk al-Fazarī, Aḥwaṣ bin Hākim al-
Syāmī, Bisyr bin Khālid al-Kūfī, Ajlah bin Abdullah al-Kindī, Bahz bin Hākim,
Usāmah bin Zayd al-Laitsī, Sa„d bin Sa„īd al-Anṣārī dan sejumlah ulama
lainnya.16
12 Ahmad bin Ali bin Ḥajar Abu al-Fadhl al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (Beirut: Dar
al-Fikr, 1984), Vol. 6, h. 357. 13 Ahmad bin Ali bin Ḥajar Abu al-Fadhl al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Vol. 6, h. 358. 14 Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
(Beirut: Dar Thauq al-Najah, tt), Vol. 1, h. 168. Adapun hadis yang dimaksud ialah sebagai
berikut:
ث نا عبد الرزاق قال أخب رنا ح ث نا إسحاق بن نصر قال حد قال أخب رن عمرو أن أبا معبد مول ابن عباس أخب ره ابن جريج دهما أخب ره أن رفع الصوت بالذكر حني ي نصرف الناس من ال صلى اللو علي أن ابن عباس رضي اللو عن و مكتوبة كان على عهد الن
وسلم Dari Ibn „Abbas mengatakan bahwa mengeraskan suara dzikir ketika selesai menunaikan ibadat
shalat wajib dilakukan pada masa Nabi Saw. 15
Al-Mizi, Tahdzib al-Kamal, Vol. 7, h. 217. 16 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 7, h. 218.
33
Adapun muridnya yaitu Naṣr bin ‘Alī, Yaḥyā bin Ma„īn, Aḥmad bin
Hanbal, Abū Khaitsamah bin Zuhair bin Ḥarb, Sufyān bin Waqi„ bin Jarrāḥ, „Alī
bin al-Madīnī, Utsmān bin Muḥammad bin Abī Syaibah, Muḥammad bin Idrīs al-
Syāfi‟ī dan beberapa ulama lainnya.17
Aḥmad bin Hanbal menilai, bahwa Abū Usāmah merupakan seorang
ulama yang tsiqah dan ṣaduq.18
Bahkan, ketika Aḥmad bin Hanbal ditanya oleh
anaknya, siapakah yang lebih tsiqah dalam bidang hadis antara Abū „Āṣim dan
Abū Usāmah? Beliau menjawab, Abū Usamāh jauh lebih tsiqah sekalipun
dibandingkan dengan seratus orang semisal Abū „Āṣim (Abū Usāmah atsbat min
mi’ah mistli Abī ‘Āṣim).19
Tak hanya itu, Abū Usamāh juga merupakan periwayat yang namanya
tercantum dalam Ṣaḥīḥ Muslim.20
Dengan demikian, keberadaan nama Abū
Usamāh sebagai salah seorang periwayat dalam Ṣaḥīḥ Muslim menunjukan bahwa
ia merupakan seorang yang sangat tsiqah. Hal ini berdasarkan pandangan umum
dalam ilmu hadis bahwa seluruh periwayat yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ Muslim
ialah orang-orang tsiqah.
6. Naṣr bin ‘Alī (w 250 H)
Nama lengkapnya adalah Naṣr bin „Alī bin Naṣr bin „Alī bin Ṣaḥbānī bin
Abī al-Azdi bin al-Jahḍamī. Kunyahnya ialah Abū „Amr al-Baṣri.
17 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 7, h. 220. 18 Syams al-Dīn bin Abī Bakar Aḥmad bin Muḥammad bin „Utsmān bin Qaimaz al-
Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā )Kairo: Mu‟assasah al-Risālah, 1985), Vol. 9, h. 277. 19 Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 9, h. 277. 20 Aḥmad bin „Alī bin Manjawaih al-Aṣbihānī, Rijāl Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār al-
Ma‟rifah, tt),Vol. 1, h. 158 .
34
Naṣr bin „Alī berguru pada sejumlah ulama hadis di antaranya Abū
Usāmah, Aḥmad bin Mūsā al-Khazā‟ī, Ismā„īl bin „Ulayah, Ismā„īl bin
Muḥammad bin Jahadah, Bisyr bin al-Mufaḍḍal, Bisyr bin „Amr al-Zahrānī,
Ḥātim bin Wardanī dan sejumlah ahli hadis lainnya.21
Adapun murid-muridnya terdiri para imam besar dalam ilmu hadis yaitu
al-Bukhārī, Muslim, al-Tirmidzī, Abū Dāwūd, al-Nasā‟ī, Ibn Mājah, Ibn Abī al-
Dunyā, Abdullah bin Aḥmad, Ibn Khuzaimah, Ibn Sa„īd, Abū Ḥāmid al-Haḍramī
dan sejumlah ulama hadis lainnya.22
Sementara itu, secara kredibilitas, al-Nasā‟ī dan Abū Ḥātim al-Rāzī
menilai bahwa Naṣr bin „Alī adalah seorang ulama yang tsiqah.23
Tak hanya itu,
dengan melihat beberapa nama besar muridnya di atas, yang sebagian besarnya
merupakan para imam ahli hadis semisal al-Bukhāri dan Muslim, menunjukan
bahwa Naṣr bin „Alī merupakan seorang yang sangat tsiqah. Hal itu, karena al-
Bukhārī dan Muslim tidak mungkin meriwayatkan hadis kecuali dari seorang
yang tsiqah. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa Naṣr bin „Alī merupakan
seorang ulama yang dapat diakui, baik secara kredibilitas, maupun
intelektualitas.24
7. Abū Dāwūd (w. 275 H.)
Nama lengkapnya ialah Sulaimān bin Asy‟ats bin Iṣḥāk bin Basyīr bin
Syidād al-Azdī al-Sijistānī. Kunyahnya adalah Abū Dāwūd. Abū Dāwūd
merupakan seorang ulama besar dalam ilmu hadis, sekaligus sebagai penulis kitab
21 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 29, h. 355. 22 Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 12, h. 133. 23
Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 29, 355. 24 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol. 29, 355.
35
Sunan yang selama ini dikenal dengan sebutan Sunan Abī Dāwūd. Ia dikenal
sebagai seorang yang tsiqah dan hāfīẓ.25
Sanad al-Nasā’ī
Secara keseluruhan, di dalam jalur sanad al-Nasā‟ī ini terdapat tujuh
periwayat yaitu: Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin
Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān, Ibn Juraij, Mikhlad bin Yazīd, „Abd al-Ḥāmid
bin Muḥammad dan terakhir ialah al-Nasā‟ī. Di bawah ini, akan dijelaskan terkait
profil masing-masing periwayat.
1. „Abdullah bin Ḥubsyi, profil dan penilaian para ulama terkait beliau
telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.
2. Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair, profil dan penilaian para ulama
terkait beliau telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.
3. „Utsmān bin Abī Sulaimān, profil dan penilaian para ulama terkait
beliau telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.
4. Ibn Juraij, profil dan penilaian para ulama terkait beliau telah
dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.
5. Mikhlād bin Yazīd (w 193 H )
Nama lengkapnya ialah Mikhlād bin Yazīd al-Qurasyī al-Ḥaranī,
Kunyahnya ialah Abū Yaḥyā. Ada pula yang mengatakan Abū al-Ḥusein.
Ia berguru kepada Ibn Juraij, Yaḥya bin Sa„īd al-Anṣārī, Yūnus bin Abī
Isḥāk dan lain-lain. Adapun murid-muridnya yaitu „Abd Ḥāmid bin
25 Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar al-„Asqalānī, Taqrīb al-Tahdzīb (Suriah: Dār al-Rasyid,
1986), 1, 250.
36
Muḥammad, Aḥmad bin Hanbal, Isḥāk bin Rahawaih, Aḥmad bin Bakar al-
Ḥaranī dan sejumlah ulama lainnya.
Yaḥya bin Ma„īn, Abū Dāwūd dan Ya„qūb bin Sufyān menilai bahwa
Mikhlād bin Yazīd merupakan seorang yang tsiqah. Sementara itu, Abū Ḥātim
menilainya sebagai seorang yang jujur (ṣadūq). Dengan mengacu pada komentar
positif yang dikemukakan beberapa ulama tersebut, dapat dikatakan bahwa
periwayatan Mikhlād bin Yazīd dapat dipertanggungjawabkan. 26
6. ‘Abd al-Ḥāmid bin Muḥammad (w. 266 H.)
Nama lengkapnya ialah „Abd al-Ḥāmid bin Muḥammad bin al-Mustam bin
Ḥākim bin „Amr. Kunyahnya adalah Abū „Amr al-Harani.
Beberapa gurunya dalam bidang hadis yaitu Mikhlād bin Yazīd, „Abd al-
Jabbār bin Muḥammad al-Khaṭābī, „Utsmān bin Muḥammad al-Ṭarā‟ifī, Mughīrah
bin Sufyān dan lain-lain. Adapun murid-muridnya yaitu al-Nasā’ī, Abū „Awānah
al-Isfarā‟inī, Abū „Arūbah dan beberapa ulama hadis lainnya.
Ibn Ḥibbān dan al-Nasā‟ī menilai bahwa „Abd al-Hāmid merupakan
seorang yang tsiqah.27
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa periwayatan
„Abd al-Hāmid dapat dipertanggungjawabkan.
7. al-Nasā’ī (w. 303 H.)
Nama lengkapnya ialah Aḥmad bin Syu‟aib bin „Alī al-Nasā‟ī. Kunyahnya
ialah Abū „Abd al-Raḥmān.
26
Ibn Ḥajar al-„Asqalānī, Tahdzīb al-Tahdzīb, Vol. 10, h. 69. 27 Ibn Ḥajar al-„Asqalānī, Tahdzīb al-Tahdzīb, Vol. 6, h. 110.
37
Beberapa gurunya yaitu Isḥāk bin Rahawaih, Hisyām bin „Ammār, Suwaid
bin Naṣr dan lain lain. Adapun murid-muridnya yaitu Abū Basyar al-Daulabī, Abū
Ja„far al-Ṭaḥāwī dan beberapa ulama lainnya.
Al-Nasā‟ī merupakan seorang ḥāfīẓ dan dijuluki sebagai syaikh al-Islam
dalam bidang hadis. Ia juga merupakan penulis kitab Sunan al-Kubrā atau yang
selama ini dikenal dengan Sunan al-Nasā’ī.28
Sanad al-Ṭabrānī
Secara keseluruhan, di dalam jalur sanad al-Ṭabrānī ini terdapat tujuh
periwayat yaitu: Abdullah bin Ḥubsyi al-Khat„amī, Sa„īd bin Muḥammad bin
Jubair, „Utsmān bin Abī Sulaimān, Ibn Juraij, Abū „Āṣim, Abū Muslim dan
terakhir ialah al-Ṭabrānī. Di bawah ini, akan dijelaskan terkait profil masing-
masing periwayat.
1. Abdullah bin Ḥubsyi al-Khats„amī, profil dan penilaian para ulama
terkait beliau telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd
2. Sa„īd bin Muḥammad bin Jubair, profil dan penilaian para ulama
terkait beliau telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.
3. „Utsmān bin Abī Sulaimān, profil dan penilaian para ulama terkait
beliau telah dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.
4. Ibn Juraij, profil dan penilaian para ulama terkait beliau telah
dijelaskan pada pembahasan sanad Abū Dāwūd.
28 Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 14, h. 125.
38
5. Abū ‘Āṣim (w. 212 H.)
Nama lengkapnya ialah Ḍaḥḥāk bin Mikhlād bin Ḍaḥḥāk bin Muslim bin
Ḍaḥḥāk al-Syaibānī. Kunyahnya ialah Abū „Āṣim al-Baṣrī.
Beberapa gurunya dalam bidang hadis yaitu Ibn Juraij, Abān bin Ṣam„ah,
Bakar bin „Abd al-Azīz bin Bakrah dan beberapa ulama lainnya.29
Adapun murid-
muridnya yaitu Abū Muslim al-Kājī, Muḥammad bin „Abd al-Mālik al-Daqīq,
Ḥārīts bin Abī Usāmah, Abdullah bin Munīr, Ibrāhīm bin Ya„qub al-Jawzanī dan
beberapa ulama lainnya tak terkecuali al-Bukhārī.30
Yaḥyā bin Ma„īn dan „Abdullah al-„Ījli menilai bahwa Abū „Āṣim
merupakan seorang yang tsiqah. Sementara itu, Abū Ḥātim al-Rāzī menilainya
sebagai seorang yang jujur (ṣaduq).31
Oleh karenanya, dengan melihat kredibilitas
Abū „Āṣim tersebut, dapat disimpulkan bahwa periwayatannya dapat
dipertanggungjawabkan.
6. Abū Muslim (w. 291 H.)
Nama lengkapnya ialah Ibrāhīm bin Abdullah bin Muslim bin Mā„iz bin
al-Muhājir al-Baṣrī. Kunyahnya ialah Abū Muslim al-Kajī.
Ia berguru kepada sejumlah ulama hadis di antaranya ialah Abū ‘Āṣim,
Muḥammad bin „Abdullah al-Anṣārī, „Abd al-Raḥmān bin Ḥammād al-Syu‟atsī,
„Abd al-Mālik al-Aṣmā„ī dan sejumlah ulama lainnya. Adapun murid-muridnya
29
Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol.13, h. 281. 30
Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 9, h. 480. 31 Al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, Vol.13, h. 281.
39
yaitu Abū al-Qāsim al-Ṭabrānī, Ismā„īl al-Ṣaffār, Abū Bakr al-Najad, Farūq al-
Khaṭābī, Aḥmad bin Ja„far al-Khutūlī dan lain-lain.32
Al-Dāruquṭnī dan sejumlah ulama hadis lainnya menilai bahwa Abū
Muslim merupakan seorang yang tsiqah. Beliau juga merupakan seorang yang
ḥāfīẓ dalam bidang hadis.33
Dengan demikian, berdasarkan penilaian tersebut
dapat ditegaskan bahwa Abū Muslim merupakan seorang yang kredibel dan dapat
diterima periwayatannya.
7. Al-Ṭabrānī (w. 360 H.)
Nama lengkapnya ialah Sulaimān bin Aḥmad bin Ayūb bin Maṭīr bin al-
Lakhmī al-Syāmī al-Ṭabrānī. Kunyahnya ialah Abū al-Qāsim. 34
Ia meriwayatkan hadis dari Abū Muslim al-Kajī, Isḥāk bin Ibrāhīm al-
Miṣrī, Idrīs bin „Abd al-Hākim al-Ḥaddād dan lain-lain. Adapun murid-muridnya
yaitu Abū Khalīfah al-Jamhī dan beberapa ulama lainnya.
Dalam bidang ilmu hadis, al-Ṭabrānī merupakan seorang muhadis besar. Ia
bahkan dijuluki sebagai muhadīts al-Islām. Beberapa karyanya yang paling
populer ialah Mu‘jam al-Kabīr, Mu‘jam al-Awsaṭ dan Mu‘jam al-Ṣaghīr. Al-
Ṭabrānī merupakan seorang ḥāfīẓ al-ḥadīts dan tsiqah.35
Berdasarkan data
tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa hadis yang .diriwayatkannya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
32
Syams al-Dīn Abū 'Abd Allah Muḥammad bin Aḥmad bin „Utsmān al-Dzahabī, Tārīkh
al-Islām wa-Wafayah al-Masyāhir wa al-A‘lām (Beirut: Dār al-Gharb al-Islamī, 2003), Vol. 6, h.
911. 33 Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 13, h. 423. 34 Al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā, Vol. 16, h. 119. 35 Al-Dzahabī, Tadzkirah al-Huffāẓ (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1998), Vol.3, h.
87.
40
D. Tabel Sanad
Berikut ini adalah tabel yang merupakan kesimpulan berdasarkan hasil
pengkajian seluruh rangkaian sanad.
Sanad Abū Dāwūd
No Nama Wafat Guru Keterangan
1.
Abdullah bin
Ḥubsyi
72 H Nabi Saw Bertemu
2.
Sa„īd bin
Muḥammad bin
Jubair
120 H
Abdullah bin
Ḥubsyi
Bertemu
3.
„Utsmān bin Abī
Sulaimān
130 H
Sa īd bin
Muḥammad bin
Jubair
Bertemu
4. Ibn Juraij 150 H
„Utsmān bin Abī
Sulaimān
Bertemu
5. Abū Usāmah 201 H Ibn Juraij Bertemu
6. Naṣr bin „Alī 250 H Abū Usāmah Bertemu
7. Abū Dāwūd 275 H Naṣr bin „Alī Bertemu
41
Sanad al-Nasā’ī
No Nama Wafat Guru Keterangan
1.
Abdullah bin
Ḥubsyi
72 H Nabi Saw Bertemu
2.
Sa„īd bin
Muḥammad bin
Jubair
120 H
Abdullah bin
Ḥubsyi
Bertemu
3.
„Utsmān bin Abī
Sulaimān
130 H
Sa„īd bin
Muḥammad bin
Jubair
Bertemu
4. Ibn Juraij 150 H
„Utsmān bin Abī
Sulaimān
Bertemu
5. Mikhlād bin Yazīd 193 H Ibn Juraij Bertemu
6.
„Abd al-Ḥāmid bin
Muḥammad
266 H
Mikhlād bin
Yazīd
Bertemu
7. al-Nasā‟ī 303 H
„Abd al-Ḥāmid
bin Muḥammad
Bertemu
42
Sanad al-Ṭabrānī
No Nama Wafat Guru Keterangan
1.
Abdullah bin
Ḥubsyi
72 H Nabi Saw Bertemu
2.
Sa„īd bin
Muḥammad bin
Jubair
120 H
Abdullah bin
Ḥubsyi
Bertemu
3.
„Utsmān bin Abī
Sulaimān
130 H
Sa„īd bin
Muḥammad bin
Jubair
Bertemu
4. Ibn Juraij 150 H
„Utsmān bin Abī
Sulaimān
Bertemu
5. Abū „Āṣim 212 H Ibn Juraij Bertemu
6. Abū Muslim 291 H Abū „Āṣim Bertemu
7. al-Ṭabrānī 360 H Naṣr bin „Alī Bertemu
E. Hukum Hadis
Setelah melacak komentar dan penilaian para ulama kritikus hadis terkait
masing-masing periwayat dalam seluruh rangkaian sanad di atas, dapat dijumpai
bahwa sejumlah periwayat yang ikut andil dalam meriwayatkan hadis larangan
menebang pohon bidara terdiri dari para periwayat yang “tsiqah”. Seluruh
43
periwayat di atas terbukti sebagai orang-orang yang memenuhi kriteria keṣaḥīḥan
suatu hadis. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa seluruh
sanad atau jalur periwayatan hadis di atas, baik sanad Abū Dāwūd, al-Nasā‟ī
maupun al-Ṭabrānī bernilai “ṣaḥīḥ” dan dapat dipertanggungjawabkan menurut
standar ilmiah ilmu hadis. Dengan kata lain, hadis larangan menebang pohon
bidara dapat dijadikan sebagai dalil dan hujjah sekaligus sebagai landasan dalam
menghukumi usaha-usaha terkait penebangan suatu pohon atau merusak
kelestarian lingkungan.
44
BAB IV
PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENEBANG POHON BIDARA
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan secara spesifik terkait pemahaman
hadis larangan menebang pohon bidara. Beberapa pertanyaan yang diajukan pada
bab ini ialah, bagaimana makna atau substansi hadis larangan menebang pohon
bidara? sejauh mana hadis tersebut mendapat legitimasi dalam al-Qur‟an? adakah
hadis lain yang secara substansial melegitimasi hadis tersebut? dalam konteks apa
hadis tersebut diucapkan oleh Nabi Saw? dan lain sebagainya.
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, sekurang-kurangnya ada
tiga langkah yang akan penulis lakukan. Pertama, penulis coba memahami dan
menjelaskan hadis tersebut berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. Hal ini bukan hanya
untuk memastikan adanya ayat al-Qur‟an yang melegitimasi hadis tersebut,
melainkan juga untuk menunjukkan bahwa hadis tersebut selaras dengan isi
kandungan al-Qur‟an. Kedua, penulis coba menjelaskan makna hadis tersebut
dengan cara menghimpun riwayat-riwayat yang semakna (Wiḥdah al-
Mawḍū‘iyyah fī al-Ḥadīts). Hal ini juga penting dilakukan dengan harapan
menemukan riwayat yang lebih spesifik sehingga potensial saling menafsirkan
antara satu dengan yang lainnya. Ketiga, atau yang terakhir ialah penulis coba
menghadirkan konteks sosio-historis yang pernah melatari kemunculan hadis
larangan menebang pohon bidara. Dengan mengacu kepada konteks historisnya,
diharapkan dapat memahami hadis tersebut secara holistik.
Tak hanya itu, pada bagian terakhir dari bab ini, penulis akan menjelaskan
relevansi hadis larangan menebang pohon bidara dalam konteks sekarang,
45
terutama kaitannya dengan penghijauan lingkungan (Goo Green) sebagai bagian
dari upaya pencegahan terjadinya pemanasan global (global warming) yang saat
ini tengah mengancam kehidupan masyarakat.
A. Makna Umum dan Konteks Historis Hadis Larangan Menebang Pohon
Bidara
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, bahwa
hadis larangan menebang pohon bidara dapat dijumpai dalam beberapa kitab
induk hadis seperti Sunan Abī Dāwūd, Sunan al-Nasā’ī, dan Mu‘jam al-Awsaṭ,
namun, sejauh pengamatan penulis, tak dijumpai adanya literatur hadis ataupun
keterangan para ulama yang secara ekplisit menjelaskan terkait sabab al-wurūd
hadis larangan menebang pohon bidara. Tentu hal tersebut akan berdampak pada
bentuk pemahaman atas hadis tersebut. Apakah larangan tersebut berlaku secara
umum, ataukah hanya berlaku dalam konteks tertentu?
Dengan perkataan lain, hadis tentang larangan menebang pohon tak dapat
ditemukan konteks sosial dikemukakannya hadis tersebut oleh Nabi Saw.
Walaupun demikian ada sedikit keterangan yang dikemukakan oleh Abū Dāwūd
ketika ditanya tentang pemahaman hadis larangan menebang pohon bidara. Abū
Dāwūd menjelaskan bahwa pohon bidara yang dimaksud dalam matan hadis
tersebut ialah pohon bidara yang tumbuh di daerah Padang pasir. Abū Dāwūd
mengatakan di dalam Sunan Abī Dāwūd sebagai berikut;
ف ة ر د س ع ط ق ن م ن ع ي ر ص ت م ث ي د ا ال ذ ى ال ق ف ث ي د ا ال ىذ ن ع م ن ع د او د و ب أ ل ئ س ار الن ف و س أ ر اهلل ب و ا ص ه ي ف و ل ن و ك ي ق ح ي غ ا ب م ل ظ ا و ث ب ع م ائ ه لب ا و ل ي ب الس ن ا اب ب ل ظ ت س ي ة ال ف
Abū Dāwūd ditanya tentang makna hadis larangan menebang pohon
bidara. Ia menegaskan bahwa hadis tersebut cukup ringkas. Artinya,
46
barangsiapa yang menebang pohon bidara yang tumbuh di Padang Pasir,
yang merupakan tempat berteduh para musafir dan hewan ternak tanpa ada
kemaslahatan sedikitpun, maka Allah swt akan menuangkan air panas ke
atas kepalanya di neraka nanti.1
Pernyataan Abū Dāwūd di atas mengisyaratkan bahwa hadis larangan
menebang pohon bidara sesungguhnya terikat oleh konteks, yaitu pohon bidara
yang tumbuh di daerah padang pasir. Pernyataan Abū Dāwūd di atas juga
mengisyaratkan bahwa di daerah padang pasir saat itu, pohon bidara merupakan
tempat berteduh bagi para musafir dan binatang ternak. Sehingga, menebang
pohon bidara di padang pasir tentu sangat mengganggu kemashlahatan, terutama
bagi para musafir dan binatang ternak. Keduanya akan kehilangan tempat
berteduh jika pohon bidara ditebang. Oleh karenanya, sangatlah wajar sekiranya
Nabi Saw. melarang bahkan memberi ancaman keras kepada orang yang
menebangnya.
Penjelasan di atas, sekali lagi, menunjukkan bahwa larangan menebang
pohon bidara tidak berlaku mutlak pada setiap keadaan, melainkan terikat oleh
konteks yang mengitarinya. Dengan perkataan lain, menebang pohon bidara tentu
dibolehkan selama tidak mengganggu kemaslahatan hidup manusia dan makhluk
lainnya.
Abū Dāwūd menjelaskan bahwa makna hadis tersebut adalah larangan
menebang pohon bidara dimaksudkan sebagai suatu tindakan merusak (menebang
pohon) bidara yang sedang tumbuh kokoh di padang pasir. Pada umumnya orang-
orang yang sedang melakukan perjalanan jauh, ketika sampai di tengah-tengah
padang gurun nan gersang akan mencari tempat untuk berteduh supaya keletihan
1 Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, Vol. 4, h. 361.
47
dalam dirinya hilang. Dengan adanya pohon bidara di tengah padang gurun pasir
itu, seorang musafir akan berteduh untuk sementara waktu di pohon tersebut.
Sebenarnya makhluk yang memanfaatkan keberadaan pohon bidara di
tengah gurun bukan hanya sebatas pada manusia saja. Namun binatang ternak
yang dibawa para mufasir atau binatang yang hidup di padang pasir pada
umumnya menjadikan pohon tersebut sebagai tempat berteduh karena dinilai
sangat sejuk. Sehingga wajar apabila Nabi Saw. memberikan peringatan keras
terhadap sahabat dan umat Islam untuk tidak menebang pohon yang tumbuh di
padang pasir yang digunakan sebagai tempat untuk berteduh tanpa adanya unsur
kemaslahatan lainnya. Apabila ada orang yang melanggar aturan dan sabda Nabi
Saw. tersebut maka Allah Swt. akan menuangkan air panas ke atas kepalanya
kelak di neraka atau dalam pengertian lain orang yang melanggar aturan Nabi
Saw. tersebut akan menerima siksaan yang berat.2
Al-Ṭaḥāwī dalam Syarḥ Musykil al-Ātsār pernah mempermasalahkan
hadis larangan menebang pohon bidara. Menurut pendapat al-Ṭaḥāwī, bahwa
hadis tentang larangan menebang pohon telah dihapus status hukumnya
(mansūkh) dari yang sebelumnya memiliki hukum haram, menjadi boleh.
Pernyataan mansukh dari al-Ṭaḥāwī didasarkan pada pendapat „Urwah bin Zubair
yang membolehkan menebang pohon bidara dan menjadikannya sebagai olahan
dan bahan pembuatan pintu dan perkakas rumah lainnya.3
Abū Dāwūd mengabadikan kisah dan pendapat „Urwah bin Zubair dalam
Sunnannya. Ia meriwayatkan hadis dari Ḥasan bin Ibrāhīm bahwa „Aku pernah
bertanya kepada Hisyām bin „Urwah bin Zubair tentang hukum menebang pohon
2 Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, Vol. 4, h. 361. 3 Abū Ja„far al-Ṭaḥāwī, Syarḥ Musykil al-Ātsār (Beirut: Mu‟assasah al-Risālah, 2008),
Jld. 6, h. 425-7.
48
bidara. Pada saat ia bersandar di pintu ia berkata; „apakah engkau perhatikan
bahan pintu dan kusen ini?‟. Pintu dan kusen ini terbuat dari pohon bidara milik
„Urwah. Dahulu „Urwah bin Zubair menebang pohon tersebut yang tumbuh di
tanahnya dan berkata, „boleh saja menebang pohon bidara‟.4
Dalam persoalan ini al-Sayūṭī tampaknya lebih memilih pendapat yang
cenderung kompromis bahwa larangan menebang pohon bidara dalam hadis
tersebut hanya dimaksudkan untuk pohon bidara yang tumbuh di tanah haram.
Adapun pohon yang tumbuh di daerah dan wilayah lain tidak ada larangan untuk
menebang pohon. Pendapat al-Sayūṭī di atas merupakan usaha kompromis dan
telaah mendalam atas riwayat Abū Dāwūd dan al-Ṭabrānī di dalam kitab Raf‘u al-
Ḥidzr ‘An Qat‘ al-Ṣidr.5
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa secara substansial, hadis
larangan menebang pohon bidara hendak menegaskan terkait pentingnya menjaga
dan merawat lingkungan, bukan merusaknya tanpa ada kemaslahatan sedikitpun
bagi kehidupan manusia. Adapun perkataan al-Ṭaḥāwī yang menilai larangan
menebang pohon bidara telah dimansūkh tampaknya tidak menjadikan status
hukum dan semangat merawat lingkungan ikut terhapus pula. Apalagi klaim
mansūkh oleh al-Ṭaḥāwī bersandarkan pada pendapat „Urwah semata.
Sedangkan susbtansi ucapan Nabi dalam hadis tersebut sangat jelas dan
bersifat umum. Keumuman tersebut adalah anjuran untuk merawat lingkungan
dan tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Berbeda keadaan dan
permasalahan jika seseorang yang melakukan penebangan terhadap pohon yang
dikhawatirkan membahayakan keselamatan umat manusia karena akan rawan
4 Abū Dāwūd al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwūd, Vol. 4, h. 368. 5 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Ḥāwī li al-Fatāwī (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1982),
Jld. 2, h. 212.
49
tumbang dan sebagainya. Maka dalam kasus-kasus tertentu seseorang boleh
melakukan tindakan menebang pohon dengan alasan kemaslahatan umat.
Ibn Mulqin al-Anṣārī mengatakan di dalam al-Tawḍīḥ li Syarḥ al-Jāmi‘ al-
Ṣaḥīḥ bahwa boleh hukumnya menebang pohon dengan tujuan untuk
dimanfaatkan kayunya, atau untuk ditanam pohon lainnya, atau dengan tujuan
kemaslahatan manusia yang lebih besar. Ibn Mulqin memberikan landasan
argumentasi bahwa kebolehan tersebut dengan alasan kemaslahatan umat dapat
ditemukan dalam sejarah ketika Nabi Muḥammad Saw. menebang pohon untuk
kepentingan pembuatan Masjid Nabawī.6
B. Petunjuk Qur’anik Tentang Larangan Berbuat Kerusakan
Jika dikaji lebih jauh, larangan membuat kerusakan alam mendapat
legitimasi langsung dalam al-Quran. Beberapa ayat al-Quran yang berkenaan
dengan hal ini yaitu sebagai berikut.
QS. al-A„raf [7]: 56
قريب من اهلل إن رحت وه خوفا وطمعا ول ت فسدوا ف األرض ب عد إصالحها وادع المحسنني
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
QS. al-Baqarah [2]: 12.
6 Ibn Mulqin al-Anṣārī, al-Tawḍīḥ li Syaḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ (Qatar: Wizārat al-Awqāf wa
al-Syu‟ūn al-Islāmiyah, 2009), Jld. 4, h. 261.
50
ا حن مصلحون ) هم ىم المفسدون ( أل إن 11وإذا قيل لم ل ت فسدوا ف األرض قالوا إن يشعرون ن ل ك ول
“Dan bila dikatakan kepada mereka “Janganlah kamu membuat kerusakan
di muka bumi”, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami adalah orang-
orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah
orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, tetapi mereka tidak
menyadarinya”.
QS. Ar-Rum [30]: 41
ظهر الفساد ف الب ر والبحر با كسبت أيدي الناس ليذيقهم ب عض الذي عملوا لعلهم ي رجعون
“Telah nampak kerusakan di bumi akibat ulah manusia, supaya Allah
menyadarkan atas apa yang manusia lakukan. Hal demikian supaya
mereka kembali [ke jalan-Nya]”.
QS. al-Qaṣaṣ [28]:77.
ل يب المفسدين اهلل ول ت بغ الفساد ف األرض إن "
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
QS. al-Baqarah [2]: 205.
(536ل يب الفساد ) واهلل وإذا ت ول سعى ف األرض لي فسد فيها وي هلك الرث والنسل
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk
mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan
binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”
Dari penjabaran dan penyebutan beberapa ayat al-Qur‟an di atas, memiliki
konklusi besar bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Allah tidak boleh
51
(dilarang) berbuat keonaran, kerusuhan, kerusakan dan perbuatan merusak lainnya
di muka bumi. Bahkan, pada ayat terakhir di atas, Allah Swt. secara eksplisit
mengatakan bahwa Dia tidak menyukai kerusakan dan kebinasaan, baik berupa
kerusakan tanaman-tanaman ataupun binatang ternak.
Senada dengan beberapa ayat di atas, pada surat al-Hūd [11] ayat 61; Allah
swt berfirman.
ىو أنشأكم من األرض واست عمركم فيها فاست غفروه ث توبوا إليو
„Dia telah menjadikan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya. Karena itu, mohonlah ampun kepada-Nya, kemudian
bertaubatlah kepada-Nya‟.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt. telah menciptakan manusia dari
tanah, kemudian menjadikan mereka sebagai pemakmur di muka bumi ini.
Melalui ayat ini, dapat dipahami bahwa di samping menjadikan manusia sebagai
penguasa (khalīfah), Allah Swt. juga memberikan mandat kepada umat manusia
agar selalu menjaga, merawat, melindungi dan memakmurkan bumi, bukan
membuat kerusakan di dalamnya.
Dengan mengkomparasikan pesan beberapa ayat di atas, dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa larangan menebang pohon bidara yang terdapat di
dalam hadis Nabi Saw., sesungguhnya mendapat legitimasi dalam al-Quran dan
selaras dengan prinsip universal ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemashlahatan.
C. Anjuran Menanam Pohon dalam Hadis Nabi Saw.
52
Sebagai mana telah disinggung di atas, bahwa larangan menebang pohon
bidara, dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya merawat lingkungan. Jika
menelaah literatur hadis, dapat dijumpai bahwa hadis larangan menebang pohon
bidara, juga mendapat legitimasi dari sejumlah hadis lainnya. Al-Baihaqī dalam
kitab Sunan al-Kubrā meriwayatkan hadis yang berasal dari sahabat Anas bin
Mālik sebagai berikut:
ا ع ر ز ع ر ز ي و ا أ س ر غ س ر غ ي م ل س م ن ا م م م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص اهلل ل و س ر ال ق ال ق س ن أ ن ع ة ق د ص و ل ت ان ك ل إ ة م ي ب و أ ان س ن إ و أ ر ي ط و ن م ل ك أ ي ف
Dari Anas bin Mālik ra, bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Tidaklah
seorang Muslim menanam suatu tanaman, kemudian hasil tanamannya
dimakan oleh burung, manusia dan hewan, melainkam akan menjadi
sadaqah bagi pemiliknya.7
Senada dengan hadis di atas, dalam riwayat Muslim bin Ḥajjāj dalam
Ṣaḥīḥ Muslim juga diriwayatkan sebagai berikut:
ر إل كان لو صدقة إل ي وم المسلم غرسا ف يأكل فال ي غرس منو إنسان و ل دابة و ل طي القيامة
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu dimakan
manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu menjadi sedekah
baginya sampai hari kiamat.”8
Kedua Hadis di atas secara eksplisit menjelaskan terkait anjuran menanam
pohon. Bahkan, pada hadis tersebut Nabi Saw. mengatakan bahwa seorang
Muslim yang menanam pohon, kemudian hasil tanamannya tersebut dimakan oleh
burung, manusia atau hewan, maka hal itu akan menjadi pahala sadaqah bagi
7 Aḥmad bin Ḥusain bin „Alī bin Mūsā al-Baihaqī, Sunan al-Kubrā (Mekah: Dār al-Bāz,
1994), Vol. 6, h. 137. 8 Muslim bin Ḥajjāj bin Muslim al-Qusyairī al-Naysabūrī, Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār
al-Jil, tt), Vol. 3, h. 1189.
53
pemiliknya. Di samping itu, pada hadis di atas, Nabi Saw. juga seolah hendak
menegaskan bahwa menanam pohon merupakan bagian dari ibadah, karena pahala
menanam pohon akan terus mengalir kepada pemiliknya selama pohon tersebut
masih ada dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.9
Tak hanya itu, hadis terkait larangan menebang pohon bidara, juga
mendapat legitimasi dari hadis lainnya yang secara substansial menjelaskan terkait
anjuran menanam pohon. Aḥmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang bersumber
dari Anas bin Mālik, sebagai berikut:
وبيد أحدكم فسيلة ، فإن استطاع أن ل قال رسول اهلل صلى اللو عليو وسلم : إن قامت الساعة ي قوم حت ي غرسها ف لي فعل
"
Jika hari kiamat telah tegak, sedang di tangan seorang di antara kalian
terdapat bibit pohon korma; jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia
menanamnya, maka lakukanlah”.10
Hadis di atas menarik untuk diamati. Pada hadis di atas, Nabi Saw.
memerintahkan bahwa pada hari kiamat kelak, jika ada seseorang yang memiliki
bibit pohon yang belum ditanam, maka hendaknya ia menanam bibit pohon
tersebut sekalipun kiamat telah terjadi. Padahal, pada hari kiamat kelak, Allah
Swt. akan membinasakan bumi beserta segala isinya.11
Sehingga, menanam pohon
dalam situasi seperti itu tentu merupakan sesuatu yang sia-sia. Namun, alih-alih
9 Jenis ibadah semacam ini dapat dikatagorikan sebagai bentuk ibadah sosial. Pasalnya,
manfaat menanam pohon tidak hanya dirasakan oleh pemiliknya secara individual, melainkan juga
oleh orang-orang disekitanya bahkan oleh burung sekalipun. Dalam konteks ilmu fiqh, ibadah
sosial lebih utama dibandingkan dengan ibadah individual. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh
bahwa al-Muta‘ādī Afḍal min al-Qāṣir. Penjelasan spesifik terkait kaidah tersebut, dapat dilihat
dalam Muḥammad Yāsīn bin „Īsā‟ al-Fadānī, Fawā’id al-Janiyyah (Beirut: Dār al-Mahjah al-
Bayḍā, 2008), h. 514. 10 Aḥmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal (Kairo: Mu‟asasah al-Risālah, 1999),
Vol. 20, h. 296. 11 QS. al-Nazi‟at, [79] : 6. Lihat juga QS. al-Haqqah [69]: 13-17.
54
memerintahkan hal lain, dalam situasi genting seperti itu, Nabi Saw.
memerintahkan umatnya untuk menanam bibit pohon yang belum ditanam.
Secara implisit, hadis ini mengandung pesan moral yang sangat
mendalam. Pada hadis tersebut, Nabi Saw. seolah ingin menegaskan betapa
pentingnya menanam pohon sehingga memerintahkan seseorang agar menanam
bibit pohon yang ia punya sekalipun dalam situasi yang amat genting semisal hari
kiamat. Dengan demikian, secara substansial, hadis di atas melegitimasi hadis
larangan menebang pohon bidara. Artinya, pemahaman sebaliknya (mafhūm
mukhālafah) dari hadis di atas ialah adanya larangan untuk menebang pohon
secara liar yang dapat mengganggu kemaslahatan hidup umat manusia.
Hadis lainnya yang juga menarik diamati ialah hadis terkait larangan
menebang pohon pada saat perang. Al-Baihaqī meriwayatkan hadis tersebut yang
berasal dari sahabat Khālid bin Zayd sebagai berikut:
عن خالد بن زيد، قال: خرج مع رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم مشي عا ألىل مؤتة حت عدو اهلل وعدوكم بالشام، ب لغ ثنية الوداع، ف وقف ووق فوا حولو، ف قال: " اغزوا باسم اهلل ف قاتلوا
[ وستجدون فيهم رجال ف الصوامع معتزلني من الناس فال ت عرضوا لم، وستجدون 166]ص:ا امرأة، ول صغيا ضرعا، ول آخرين للشيطان ف رءوسهم مفاحص فافلقوىا بالس يوف، ول ت قت لو
كبيا فانيا، ول ت قطعن شجرة، ول ت عقرن نال، ول ت هدموا ب يتا "
Dari Khālid bin Zayd berkata: Suatu ketika ia keluar bersama Nabi Saw.
untuk memerangi penduduk Mu‟tah. Setibanya di bukit Wada‟, Nabi Saw.
dan pasukannya berhenti lalu Nabi saw berkata: Berperanglah dengan
nama Allah Swt. Perangilah musuh Allah dan musuhmu di Syam. Dan
kalian akan menjumpai sekelompok orang di suatu tempat yang
memisahkan diri dari manusia. Maka janganlah menyerang/menghalangi
mereka. Dan kalian juga akan menjumpai sekelompok orang yang
kepalanya menjadi tempat berdiam setan, maka pukulah dengan pedang.
Dan janganlah membunuh perempuan, anak kecil dan orang yang sudah
tua renta. Jangan pula menebang pohon, merusak pohon kurma dan
merusak rumah.12
12 Aḥmad bin Ḥusain bin „Alī bin Mūsā al-Baihaqī, Sunan al-Kubrā, Vol. 9, h. 194.
55
Hadis di atas, menjelaskan terkait kisah Khālid bin Zayd bersama Nabi
Saw. dan para sahabat lainnya ketika hendak melakukan peperangan. Pada saat
itu, Nabi Saw. mengingatkan terkait larangan-larangan yang mesti dihindari dalam
peperangan, di antaranya ialah terkait larangan menebang pohon. Dengan
demikian, secara substansial, hadis di atas kian menguatkan subtansi hadis
larangan menebang pohon bidara.
D. Signifikansi dan Relevansi Hadis Larangan Menebang Pohon Bidara
Signifikansi hadis tentang larangan menebang pohon bidara adalah sebagai
landasan teologis dalam rangka menggalakkan program penghijauan lingkungan
(goo green). Program tersebut penting dilakukan sebagai bentuk pencegahan
terjadinya pemanasan global (global warming) yang saat ini tengah mengancam
kehidupan masyarakat global.
Sebagaimana telah disinggung pada bab awal, bahwa dewasa ini telah
terjadi pemanasan global yang diakibatkan oleh beberapa hal, salah satunya
karena banyaknya penebangan liar. Sebagian kalangan kerap melakukan
penebangan liar demi kepentingan kelompoknya tanpa mempertimbangkan sisi
kemaslahatan hidup manusia. Akibatnya, bumi terancam mengalami pemanasan
di atas rata-rata yang pada akhirnya dapat berdampak pada terjadinya beberapa
bencana alam semisal tanah longsor, gempa bumi, banjir dan lain sebagainya.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah bencana tersebut kerap terjadi
dibeberapa belahan bumi khususnya di wilayah Indonesia. Tak pelak, persoalan
ini telah mengundang perhatian serius dari berbagai pihak. Mereka dituntut untuk
56
mampu menghadirkan sebuah solusi sebagai tindakan preventif dalam mencegah
berbagai kemungkinan terburuk yang dapat diakibatkan oleh adanya pemanasan
global.
Berkaitan dengan problem tersebut, kiranya apa yang pernah Nabi saw
katakan terkait larangan bahkan ancaman keras bagi seseorang yang menebang
pohon bidara tanpa mempertimbangkan kemaslahatan bagi kehidupan di
sekitarnya tentu menemukan relevansinya. Dengan didukung oleh naṣ al-Qur‟an
dan beberapa hadis lainnya, hadis larangan menebang pohon bidara tersebut dapat
menjadi landasan teologis sebagai bentuk peringatan bagi sejumlah kalangan yang
kerap kali melakukan penebangan liar.
Oleh karenanya, dalam konteks ini, peran agamawan tentu akan sangat
dibutuhkan oleh berbagai pihak. Para agamawan diharapkan mampu
menyampaikan sekaligus memahamkan substansi atau pesan moral yang
terkandung di balik hadis tersebut. Oleh karenanya, sekali lagi, dengan berpijak
pada hadis tersebut, dapat ditegaskan bahwa larangan menebang pohon secara liar
memiliki dasar teologis yang kuat dalam hadis Nabi Saw.
Larangan dalam hadis Nabi Saw. tentang menebang pohon bidara dalam
usaha pelestarian dan penghijauan lingkungan dapat dikaitkan dengan peran
manusia di bumi sebagai khalifah Allah. Allah telah menyerahkan bumi ini
menyangkut pelesarian bumi dari hal-hal yang dapat menghancurkan kepada
manusia dan tidak kepada makhluk Allah lainnya. Ini berarti bahwa manusia
sebagai seorang khalifah di bumi memiliki peran sangat penting dalam usaha
pelestariannya.
57
Sudah diketahui bahwa manusia merupakan makhluk yang mempunyai
akal pikiran. Dengan akalnya, manusia dapat melakukan apa yang dikehendaki
karena di dalam tubuhnya terdapat nafsu. Nafsu memiliki dua arah
kecenderungan, yaitu nafsu baik (ḥasanah, muṭma’innah) dan nafsu buruk
(sayyi’ah/lawwāmah). Apabila manusia dikendalikan oleh nafsu yang baik dengan
melalui pertimbangan akal yang matang, maka ia akan melakukan perbuatan-
perbuatan yang menjurus pada hal yaang baik (positif). Sedangkan apabila
manusia dikendalikan oleh nafsu yang buruk maka ia akan melakukan hal-hal
yang buruk (negatif). Dalam konteks pelesatrian dan penghijauan lingkungan (go
green), maka manusia hendaknya terus untuk bisa melakukan hal-hal yang
bersifat positif untuk menjadikan bumi ini menjadi damai dan tenang.13
Dengan kata lain manusia merupakan makhluk satu-satunya yang dapat
mengubah keadaan alam atau bumi ini. Nasib bumi ke depan ada di tangan
manusia. Manusia dapat mengubah keadaan alam baik secara positif maupun
negatif. Bahkan diera postmodern seperti sekarang ini, di mana manusia tengah
dilimpahi kekayaan intelektual informasi dan teknologi, manusia dapat melakukan
apapun yang dikehendakinya. Maka dengan pesatnya kemajuan teknologi yang
diciptakan manusia, sudah selayaknya teknologi yang dirancang tersebut
menambah keimanan manusia kepada Allah dengan memanfaatkannya untuk
kepentingan manusia dan alam lingkungannya. Segala kentuk keburukan yang
akan menjadi dampak dari perkembangan teknologi selayaknya diminimalisir
semaksimal mungkin. Bahkan justeru sebaliknya, manusia dengan ilmu dan
teknologi yang dimiliki harus mampu memperbaiki keadaan lama lingkungan
13 Ulfah Utama, Konservasi Sumber Daya Alam Perspektif Islam dan Sains (Malang: UIN
Malang press, 2008), h. 69-70.
58
yang rusak akibat bencana atau yang ditimbulkan oleh kekhilafan manusia.
Manusia dengan ilmu dan teknologinya tersebut harus menciptakan lingkungan
alam yang kondusif, indah, sehat dan segar untuk kelangsungan manusia dan alam
sekitarnya.14
E. Islam dan Lingkungan Hidup: Refleksi Atas Hadis Larangan
Menebang Pohon Bidara
Salah satu prinsip ajaran Islam dalam kaitannya dengan usaha pelestarian
lingkungan hidup adalah bahwa alam semesta diciptakan berdasarkan
keseimbangan dan harmoni antar anggota alam semesta seperti manusia, binatang,
tumbuhan dan lainnya. Unsur terpenting yang dapat mengendalikan prinsip
tersebut terletak pada manusia sebagai khalifah di bumi ini. Selain itu manusia
harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kesimbangan dan
berinteraksi secara benar dengan alam dan lingkungan lainnya.
Keseimbangan dan harmoni alam semesta terangkai di dalam al-Qur‟an
surat al-Furqan [25] ayat 2:
(5وخلق كل شيء ف قدره ت قديرا )
„Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-
ukurannya secara rapih‟.
Unsur keseimbangan juga tercatat dalam surat al-Raḥmān [55] ayat 5-8;
( والسماء رف عها ووضع الميزان 5( والنجم والشجر يسجدان )6الشمس والقمر بسبان ) (8( أل تطغوا ف الميزان )7)
14 Syamsul Bahri, Humanisasi Lingkungan, Merajuk Pemikiran Islam (Makasar: UIN
Makasar Press, 2011), h. 34-5.
59
„Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Bintang dan pohon
tunduk kepada-Nya. Allah meninggikan langit dan dan meletakkan
neracanya‟.
Seyyed Mohsen Miri mengatakan bahwa apabila manusia dapat menjaga
kelestarian alam, menjaga unsur keseimbangan dan harmoni tersebut berarti
manusia telah menjadi khalifah dengan baik karena sedari awal alam semesta ini
diciptakan untuk kepentingan manusia.15
Dengan memperhatikan beberapa landasan teologis baik dari al-Qur‟an
maupun hadis Nabi Saw. tentang pentingnya menjaga dan melestarikan
lingkungan hidup maka dapat diambil konklusi bahwa hukum pemeliharaannya
adalah wajib dan merusaknya adalah haram. Apabila doktrin ini dikaitkan dengan
metode hukum Islam yaitu lima konsep pokok (al-Ḍarūriyyah al-Khamsah),16
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, maka pemeliharaan atas
kelima maslahah pokok ini terkait langsung dengan pemeliharaan terhadap
lingkungan.
Konsepsi Islam tentang kewajiban memelihara lingkungan adalah sama
dengan kewajiban memelihara lima tujuan pokok agama. Sederhananya dapat
dikatakan bahwa lingkungan adalah prasyarat untuk mewujudkan tujuan pokok
agama. Menjaga shalat adalah salah satu bentuk perwujudan dari memelihara
agama. Lingkungan yang bersih sebagai infrastruktur untuk menjalankan shalat
juga merupakan salah satu faktor yang menentukan sah atau tidaknya shalat
seseorang. Apabila lingkungan tercemari, baik berupa air untuk berwudhu‟ atau
tempat untuk melaksanakan shalat kotor dan sebagainya, maka secara otomatis
15 Fachruddin M. Mangunjaya, dkk, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan
Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 33-34. 16 Al-Ghazālī, al-Muṣtasyfā’ (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.tn), h. 286.
60
pemeliharaan terhadap agama pun sudah terabaikan Dalam konteks keberadaan
lingkungan sebagai pra syarat pemeliharaan tujuan pokok agama dapat dibaca dari
kaidah fiqih yang menjelaskan “mā-lā yatimmu al-wājib illā bihi fahuwa al-
wājib” (sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia juga
menjadi wajib) artinya memelihara lingkungan adalah wajib dalam rangka
memelihara agama.
Kewajiban pemeliharaan terhadap jiwa sebagai tujuan pokok agama juga
terkait langsung dengan kewajiban memelihara lingkungan. Tanah longsor, erosi,
lumpur lapindo akibat eksploitasi lingkungan dan sebagainya merupakan bentuk-
bentuk pengerusakan terhadap eksistensi jiwa manusia. Maka kewajiban untuk
memelihara lingkungan pada dasarnya adalah kewajiban untuk memelihara jiwa
manusia. Sehubungan dengan perintah ini, Allah Swt. melarang untuk melakukan
pembunuhan dan eksploitasi lingkungan. Dalam surat al-Maidah (5) ayat 32:
ا من ق تل ن يعا ومن أحياىا فكأن ا ق تل الناس ج فسا بغي ن فس أو فساد ف األرض فكأنيعا أحيا الناس ج
“Siapa yang membunuh seorang manusia dan membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya Dan
siapa yang memelihara kehidupan manusia, maka seakan-akan ia telah
memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.
Berkaitan dengan pemeliharaan jiwa, Islam juga memerintahkan untuk
memelihara akal sebagai tujuan pokok agama. Perhatian agama terhadap
kesehatan akal sangat terkait dengan kondisi tubuh yang sehat (al-aqlu al-sālim fī
jism al-sālim/ akal yang baik terletak pada tubuh yang sehat). Jawaban praktis
adalah lingkungan yang bersih. Kondisi lingkungan yang bersih, baik dan tidak
tercemar adalah faktor utama dalam membentuk kesehatan yang baik. Dengan
61
begitu kewajiban atas pemeliharaan lingkungan sama halnya dengan kewajiban
pemerliharaan terhadap akal.
Memelihara keturunan sebagai tujuan agama yang keempat adalah syari‟at
yang diwajibkan kepada manusia. Kewajiban itu sekaligus dengan bentuk kualitas
yang terjamin. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nisā‟ [4] ayat 9;
وليخش الذين لو ت ركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka‟.
Generasi yang tidak memiliki iman, tidak memiliki resources (sumber
daya) ekonomi, tidak memiliki lingkungan yang baik dan sebagainya. Lingkungan
dengan segala sumber daya yang dimilikinya merupakan potensi besar untuk
keberlangsungan hidup manusia. Merusak lingkungan dengan mengeksploitasinya
tanpa perhitungan, akan merusak kehidupan dan penghidupan generasi
selanjutnya. Oleh sebab itu memelihara lingkungan sama wajibnya dengan
memelihara keturuanan.
Eksploitasi alam merupakan salah satu bentuk pengerusakan terhadap
harta sebagai tujuan pokok agama kelima, karena alam adalah karunia Allah untuk
kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia. Air, pohon-pohonan, mineral bumi
dan segala jenisnya menjadi harta kekayaan yang tak terhingga dan diberikan
untuk kebutuhan makhluk-Nya. Nabi Muḥammad Saw. dalam salah satu sabdanya
melarang kaum muslimin mencabut rumput pada waktu melaksanakan ibadah
haji. Demikian juga larangannya terhadap tanah yang diterlantarkan: maka orang
62
yang menggarapnya diperbolehkan mengambil jadi hartanya (konversi tanah).
Demikian perhatian Islam terhadap kemaslahatan manusia dan alam sekitarnya.17
Sebagai agama dengan spirit raḥmatan li al-‘ālamīn Islam meletakkan
pemeliharaan lingkungan sebagai basis terhadap pemeliharaan tujuan pokok
agama. Kemaslahatan lingkungan tidak hanya berimplikasi positif terhadap
pemeliharaan kelangsungan hidup manusia tetapi juga untuk lingkungan itu
sendiri. Karena bagaimanapun alam memiliki masa dan kapasitas yang terbatas.
Meskipun ada asumsi bahwa alam itu akan kembali membangun ekosistemnya
kembali menjadi baik, namun harus disadari bahwa alam juga bersifat
nonremovable, yang tidak mungkin tergantikan.
Di Indonesia eksploitasi yang berlebihan dan tidak proporsional terhadap
Sumber Daya Alam (SDA) sudah dalam taraf mengkhawatirkan dan
mencemaskan. Berbagai kerusakan alam yang diakibatkan ulah tangah manusia
telah memberi dampak negatif bagi ekosistem alam dan berdampak secara
langsung bagi kesejahteraan manusia. Sehingga sangat relevan apabila semangat
hadis Nabi Saw. tentang larangan menebang pohon bidara seperti yang penulis
kemukakan sangat penting untuk diperhatikan. Bahwa menebang pohon
diperbolehkan sejauh terdapat kemaslahatan bagi manusia. Apabila tidak memiliki
maslahat bagi manusia dan justeru merusak ekosistem alam yang sudah mapan,
maka hal ini yang dilarang dalam aturan normatif dalam Islam.
17 Abrar, „Islam dan Lingkungan‟, dalam Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, No.1, Vol. 1,
2012, h. 22.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beberapa penjelasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya,
mengantarkan penulis pada beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, terkait aspek sanad. Berdasarkan analisis yang telah penulis
lakukan terhadap masing-masing periwayat yang ikut andil dalam meriwayatkan
hadis larangan menebang pohon bidara, menunjukkan bahwa seluruh sanad atau
jalur periwayatan hadis tersebut berkualitas Ṣaḥīḥ, baik sanad Abū Dāwūd, al-
Nasā‟ī maupun al-Ṭabrānī. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sanad hadis
tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Kedua, terkait aspek matan. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada
bab IV, bahwa secara substansial, hadis larangan menebang pohon bidara terikat
oleh konteks, yaitu pohon bidara yang tumbuh di Padang Pasir tempat berteduh
para musafir dan binatang ternak tanpa mempertimbangkan kemaslahatan.
Dengan kata lain, menebang pohon bidara tentu diperbolehkan sejauh
mempertimbangkan sisi kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.
Dalam konteks sekarang, substansi atau pesan hadis tersebut menemukan
relevansinya, yaitu dalam rangka menggalakan penghijauan lingkungan (goo
green) sebagai tindakan preventif terjadinya pemanasan global (global warming).
Oleh karenanya, secara umum, hadis terebut hendak menegaskan terkait
pentingnya merawat lingkungan dan menjaga kemaslahatan. Selain itu,
kandungan matan hadis larangan menebang pohon bidara memiliki basis
64
legitimasi dalam sejumlah teks-teks keagamaan, baik al-Qur‟an maupun hadis
Nabi Saw.
B. Saran
Penelitian ini hanyalah bagian kecil dari beberapa persoalan lainnya yang
berkaitan dengan hadis-hadis goo green. Penulis menilai, masih ada celah untuk
dilakukan penelitian lanjutan salah satunya terkait kualitas hadis anjuran
menanam pohon pada hari kiamat sebagaimana yang telah disinggung pada bab
IV. Oleh karenanya, penulis merekomendasikan bagi para peneliti setelahnya
untuk melakukan penelitian lanjutan terkait hal ini.
Penulis juga merekomendasikan kepada pihak pemerintah untuk
memberikan hukuman yang seberat beratnya kepada individu atau kelompok yang
secara jelas merusak lingkungan. Kepada masyarakat juga dihimbau untuk tetap
melestarikan lingkungan supaya tetap terjaga sampai anak cucunya kelak.
Khususnya untuk setiap individu untuk menggalakkan pentingnya melestarikan
lingkungan seperti menanam pohon dan tidak merusaknya secara sembarangan.
65
Daftar Pustaka
Abū Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd. Beirut: Dār al-Kutub al-„Arabī, 2009.
Aḥmad bin Hanbal, Musnad Aḥmad bin Hanbal. Kairo: Mu‟assasah al-Risālah,
2001.
Al-Aṣbihānī, Aḥmad bin „Alī bin Manjawaih, Rijāl Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-
Ma‟rifah, ttn.
Al-„Asqalānī, Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar, Tahdzīb al-Tahdzīb. Beirut: Dār al-Fikr,
1984.
_______, al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah. Beirut: Dār al-Jil, 1992.
Al-Baghdādī, Khaṭīb, al-Jāmi‘ li Akhlāk al-Rāwī wa Ādāb al-Sāmī. Riyaḍ:
Maktabah al-Ma‟arif, t.tn.
Bahri, Syamsul, Humanisasi Lingkungan, Merajuk Pemikiran Islam. Makasar:
UIN Makasar Press, 2011.
Al-Baihaqī, Aḥmad bin Husain bin „Alī bin Mūsā‟, Sunan al-Kubrā. Mekah: Dār
al-Bāz, 1994.
Al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismā„īl bin Ibrāhīm bin Mughīrah, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.
Beirut: Dār Ṭuq al-Najah, ttn.
Al-Daulabī, Muḥammad bin A mad bin Ḥammād, al-Kunā wa al-Asmā. Beirut:
Dār Ibn Hazm, 2000.
Al-Dzahabī, Syams al-Dīn bin Abū Bakar, Siyar A‘lām al-Nubalā. Kairo:
Mu‟assasah al-Risālah, 1985.
_______. Tārikh al-Islām wa Wafayah al-Masyāhīr wa al-A‘lām. Beirut: Dār al-
Gharb al-Islāmī, 2003.
_______. Tadzkirah al-Ḥuuffāẓ. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1998.
Al-Ghazālī, al-Muṣtasyfā. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, t.tn.
Al-Ghazāli, Muḥammad, Al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-
Ḥadīts. Kairo: Dār al-Kutub al-Misṣr, 2012.
Hayne, K., Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya,
1987.
Ibn Mulqin al-Anṣārī, al-Tawḍīḥ li Syarḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ. Qatar: Wizārat al-
Awqāf wa al-Syu‟ūn al-Islāmiyah, 2009.
Ibn Sa„īd, al-Ta‘dīl wa al-Tajrīḥ. Riyaḍ: Dār al-Liwā, 1986.
66
Ihsan, Fadl, „Pahala Bagi Seorang yang Menanam Pohon di Dunia‟, dalam buletin
al-Tauhid, edisi 121, tahun 2011.
Istikhomah, Nur, „Go Green: Kajian Hadis dalam Sunan al-Tirmidzi No Indeks
1387‟, Skripsi. Surabaya: UIN Sby, 2014.
Mangunjaya, Fachruddin M., dkk, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan
Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Mangunjaya, Fakhrudin M., Konservasi Alam dalam Islam. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005.
Misran, Erni, dkk, Think Green Go Green. Jakarta: Pustaka Jingga, 2013.
Al-Mīzī, Yūsuf bin al-Zakī „Abd al-Raḥmān Abū al-Ḥajjāj, Tahdzīb al-Kamāl.
Kairo: Mu‟assasah al-Risālah, 1980.
Muḥammad „Aziz „Abidin, al-Tsawābit wa al-Mutaghayirāt fī al-Qur’ān wa al-
Sunnah. Damaskus: Dār al-Maḥabbah, 2011.
Mukono, Aspek Kesehatan Pencemaran Udara. Surabaya: Airlangga University
Press, 2011.
Muslim bin al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 2010.
Al-Nasā‟ī, Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin Syu„aib bin „Alī, Sunan al-Nasā’ī.
Beirut: Mu‟assasah al-Risālah, ttn.
Al-Qarḍāwī, Yūsuf, Kayfa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo: Dār
al-Wafā, 1996.
Al-Qurṭubī, Abū „Amr Yūsuf bin „Abdullah, al-Isti‘āb fī Ma‘rifah al-Aṣḥāb.
Beirut: Dār al-Jīl, 1412 H.
Al-Rāzī, „Abd al-Raḥmān bin Abū Ḥātim, al-Jarḥ wa al-Ta‘dīl. Beirut: Dār Iḥyā
Turāts al-„Arabī, 1952.
Al-Ṣābūnī, Muḥammad „Alī, Ṣafwat al-Tafāsir. Kairo: Dār al-Ṣābūnī, 1997.
Sukandamuri, Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pemanasan Global. Yogyakarta:
Andi, 2010.
Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn, al-Ḥāwī li al-Fatāwī. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah,
1982.
Al-Syawkānī, Muḥammad bin „Alī, Nayl al-Awṭār min Asrār al-Muntaqā al-
Akhbār. Makah: Dār Ibn al-Jawzī, 1427 H.
Al-Syuhūd, „Alī Nayif, al-Mufaṣṣal fī ‘Ulūm al-Ḥadīts. t.tp.: Hay‟at al-„Ilmiyah
wa al-Khairiyah, 2008.
67
Al-Tamīmī, Muḥammad bin Ḥibbān bin Aḥmad, al-Tsiqāt. Beirut: Dār al-Fikr,
1975.
Al-Ṭabrānī, Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad, Mu‘jam al-Awsaṭ. Riyaḍ, Dār al-
Ḥaramayn, tt.
Al-Ṭaḥḥān, Maḥmūd, Taysīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīts. Beirut: Dār al-Fikr, t.tn.
Al-Ṭaḥāwī, Abū Ja„far, Syarḥ Musykil al-Atsār. Beirut: Mu‟assasah al-Risālah,
2008.
Utama, Ulfah, Konservasi Sumber Daya Alam Perspektif Islam dan Sains.
Malang: UIN Malang press, 2008.
Yaqub, Ali Mustafa, al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah.
Ciputat: Maktabah Darussunnah, 2016.