PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN...

112
PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN PENYELESAIANNYA DALAM SURAH AL-NISĀ’: 34 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Annalia 1110034000089 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

Transcript of PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN...

Page 1: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER

INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN

PENYELESAIANNYA DALAM SURAH AL-NISĀ’: 34

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Annalia

1110034000089

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M

Page 2: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

i

Page 3: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

ii

Page 4: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

iii

Nama-Nama Tim Penguji

- Dr. M. Suryadinata, MA (Ketua)

- Dr. Mafri Amir, M.Pd (Penguji 1)

- Jauhar Azizy, MA (Penguji 2)

Page 5: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

iv

Page 6: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

v

ABSTRAK

Annalia

Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyūz dan

Penyelesaiannya dalam Surah al-Nisā’:34

Studi ini membahas tentang nusyūz dan penyelesaiannya dalam surah al-

Nisā‟: 34, dengan membedah pemahaman ulama kontemporer Indonesia. Ulama

kontemporer Indonesia adalah ulama yang hadir di era sekarang dengan corak

pemikiran yang cenderung menggunakan latarbelakang sosio-kultur dalam

memahami ayat al-Qur„ān dan dengan spirit progresifitasnya juga berorientasi

pada perbaikan. Pembahasan nusyūz sendiri sudah pernah dibahas sebelumnya,

namun yang baru dari skripsi ini adalah penulis mencoba menghadirkan

pemahaman ulama kontemporer Indonesia dalam memaknai nusyūz dan

penyelesaiannya dengan melihat kondisi dan kebutuhan masyrakat pada saat ini.

Adapun pemahaman ulama kontemporer Indonesia yang penulis teliti di

antaranya: Quraish Shihab, Khuzaimah T. Yanggo, Zaitunah Subhan, Husein

Muhammad, dan Musdah Mulia. Selain itu fokus penelitian ini juga terkait

dengan penggunaan istilah. Di mana penulis memilih menggunakan istilah

“pemahaman ulama” bukan “penafsiran ulama”. Hal ini karena, terdapat

perbedaan penjelasan dan makna soal pemahaman dan penafsiaran.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodologi kualitatif dengan

mengandalkan sumber primer yang berasal dari buku-buku hasil pemahaman

ulama-ulama kontemporer Indonesia yang diteliti dan wawancara dengan ulama

terkait pemahaman yang ada dalam karya-karya mereka. Ulama-Ulama yang

diwawancara antara lain: Husein Muhammad, Zaitunah Subhan dan Musdah

Mulia. Data-data yang penulis hasilkan kemudian diolah dengan metode deskriptif

interpretatif.

Hasil dari penelitian ini, penulis menemukan bahwa dalam memaknai

nusyūz pada surah al-Nisā‟: 34, secara garis besar dapat dipahami bahwa ulama

kontemporer Indonesia memaknai nusyūz sebagai pelanggaran yang dilakukan

oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya dalam berumah tangga, terkecuali

Musdah Mulia yang memaknai nusyūz sebagai pelanggaran pasangan suami istri,

artinya nusyūz bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Selanjutnya terkait

penyelesaian nusyūz itu sendiri ulama kontemporer Indonesia yang penulis teliti

cenderung menghilangkan pemukulan dan menggantinya dengan menyerahkan ke

pengadilan sebagai jalan terakhir (Husein Muhammad), memberikan nasehat

mendalam dengan pertimbangan psikologis (Musdah Mulia dan Zaitunah

Subhan), rekonsiliasi terkait peran suami istri (Huzaemah T, Yanggo) dan yang

terakhir Quraish Shihab, memberikan keleluasaan dalam memilih jalan yang

paling efektif dengan catatan menghindari KDRT.

Page 7: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, segala puji Tuhan semesta alam, Tuhan yang Maha indah,

Maha baik dan Maha kasih, atas segala limpahan rahmat dan nikmatNya-lah

maka penulis berkesempatan meneliti dan menyelesaikan Skripsi yang berjudul

“Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyūz dan

Penyelesaiannya dalam Surah al-Nisā‟: 34” tak ada kata lain yang mampu

mewakili rasa syukur ini kecuali ungkapan bahwa tanpaMu Rabb penulis tak

berarti apa-apa.

Salawat beriring salām pun semoga senantiasa tercurah kepada Nabi

Agung Muhammad yang telah dianugrahkan agama raḥmatan li-al-‘ālamīn ini.

Semoga penulis senantiasa dapat mempelajari akan arti agama yang diajarkannya

dengan bijaksana. Karena sungguh hal yang tak mungkin jika seorang utusan

mengajarkan kepada umatnya berupa keburukan yang akan menjerumuskannya ke

dalam lembah hitam nan kelam.

Skripsi ini ditulis atas keinginan pribadi penulis yang berangkat dari

melihat berbagai permasalahan sosial yang melanda hingga saat ini, khususnya

kasus-kasus yang terjadi kaum perempuan, baik dari lingkungan publik maupun

domestik. Salah satu yang menjadi bahasan penulis yaitu adanya kekerasan yang

terjadi pada perempuan di dalam keluarga atau yang biasa dikenal dengan KDRT.

Dalam berbagai sumber yang penulis temukan baik dari buku, wawancara dan

berita lainnya salah satu pemicu terjadinya KDRT adalah berkaitan dengan ayat

al-Quran surah al-Nisā‟: 34 yang membolehkan pemukulan terhadap perempuan

Page 8: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

vii

yang nusyūz. Maka dari itu penulis merasa perlu untuk mebeda tafsir khususnya

penafsiran-penafsiran ulama nusantara terkait interpretasi surah al-Nisā‟: 34

tersebut.

Akhirnya, penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak

yang sudah membantu dalam penulisan skripsi ini, diantaranya:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Univesitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Lilik Umi Kultsum, M.A., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, Dra.

Banun Binaningrum, selaku Sekertaris Jurusan Tafsir Hadis. Terima kasih

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mencicipi indahnya

bangku kuliah.

4. Dr. Abd. Muqsith, M.Ag., selaku dosen pembimbing, terima kasih atas

ilmu yang sangat luar biasa yang bapak berikan, mengenal beliau adalah

satu kesyukuran tersendiri atas banyaknya pembelajaran yang diberikan

oleh beliau. Bukan saja sebagai dosen pembimbing tapi juga hadir sebagai

guru dan orangtua yang baik.

5. Jauhar Azizy, M.Ag., atas bimbingan dan pembelajaran terkait penulisan

skripsi yang baik dan benar.

6. Kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

terkhusus dosen-dosen Ushuluddin, terima kasih sudah mendidik penulis

dengan penuh kesabaran.

Page 9: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

viii

7. Untuk kedua orangtua yang hebat Bapak Baharuddin B dan Ibu Hj. Hasna

yang sudah membesarkan, mendidik, membina dan mengajarkan nilai-nilai

kehidupan dan selalu sabar untuk setiap kesalahan yang anaknya lakukan.

Terima kasih untuk jasa-jasa kalian. Semoga anakmu bisa menorehkan

senyummu kelak. Amin Rabb. Terima kasih juga untuk adik penulis satu-

satunya M. Zaelani B.

8. Dalam kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih

terindah untuk terkasih Erwin Saputra Muhammad S.Sos., yang sudah

setia dan sabar dalam mendampingi dan membantu penulis dalam

menyusun skripsi ini.

9. Kepada Bapak Kusmana, Bunda Musdah Mulia, Bunda Zaitunah, Kiyai

Husain, Kiyai Nahe‟i, Ibu Badriyah dan segenap Narasumber yang sudah

penulis temui yang tidak penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas

ilmu yang diberikan kepada penulis.

10. Terima kasih penulis juga ucapkan kepada kedua abang non biologis Dani

Ramdhany dan Dwi Haryanto, terimakasih untuk setiap kebaikan kalian.

11. Kepada kawan terbaik Dzulfikri, kawan seperjuangan juga kawan bertukar

pikiran, ide dan juga kawan yang selalu membantu penulis sehingga

skripsi ini bisa selesai.

12. Kepada seluruh Keluarga Besar Kohati HMI cabang Ciputat terimakasih

untuk setiap pembelajaran yang sudah penulis dapatkan.

13. Kawan-kawan organisasi dari Keluarga Besar PIUSH, KOMFUF, IKAMI

sul-sel, FORMACI, terimakasih utuk support kalian.

Page 10: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

ix

14. Untuk sahabatku Rana Hamdah, Adis Puji Astuti, Sintia Aulia Rahma,

Laila Nihayati, Eva Nurfadilah, Lusty dan segenap sahabat seperjuangan

terimakasih untuk setiap semangat kalian.

15. Adik seperjuangan Ulfiana, Ayu Alfiah Jonas, Anifah ayu, Laila Idayanty

Zul, Raudatul Jannah, Ariani, dan lain-lain yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu.

16. Teman-teman seperjuangan Tafsir Hadis angkatan 2010.

17. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT

memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka.

Amin.

Pada akhirnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Sang pencipta dan

pemilik alam semesta, penulis hanya berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi

studi Ilmu Tafsir, masyarakat, dan tanah air beta nusantara.

Jakarta, Maret 2016

Annalia

Page 11: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

x

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Penulisan transliterasi aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin merujuk

kepada Turabian ala-lc-romanization-tables.

b = ب

t = ت

th = ث

j = ج

ḥ = ح

kh = خ

d = د

dh = ذ

r = ر

z = ز

s = س

sy = ش

ṣ = ص

ḍ = ض

ṭ = ط

ẓ = ظ

ع = „

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م

n = ن

h = ه

w = و

y = ي

Short: a = ´ ; i = ; u =

Long: a< = ا ; i> = ا ي ; ū = ا و

Diphthong: ay = ا ي ; aw = ا و

Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis Rangkap

ditulis „iddah عدة

Ta’ Marbutah

1. Bila dimatikan ditulis h

هبت

جسيت

ditulis

ditulis

hibah

jizyah

Page 12: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

xi

(ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke

dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila

dikehendaki lafal aslinya).

Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah,

maka ditulis dengan h.

‟ditulis Karāmah al-awliyā كرامت األولياء

2. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah dan dammah

ditulis t.

ditulis Zakātul fitri زكاة الفطر

Page 13: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................

PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................ ii

NAMA-NAMA PENGUJI ........................................................................................ iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................................ iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................ x

DAFTAR ISI .............................................................................................................. xii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................... 9

C. Tujuan dan Mamfaat penelitian .............................................................. 9

D. Kajian Terdahulu/ Studi Pustaka ............................................................ 10

E. Metodologi Penelitian ............................................................................. 12

F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 15

BAB II: RELASI SUAMI DAN ISTRI DALAM ISLAM

A. Kesetaraan Suami dan Istri ...................................................................... 20

B. Keadilan dalam Keluarga ........................................................................ 24

C. Hak dan Kewajiban Suami Istri .............................................................. 25

BAB III: PEMAHAMAN ULAMA KLASIK DAN MODERN TENTANG

NUSYŪZ DAN PENYELESAIANNYA DALAM SURAH AL-NISĀ’:

34

A. Pemahaman Ulama Klasik ..................................................................... 35

B. Pemahaman Ulama Modern .................................................................... 46

BAB IV: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA

TENTANG NUSYŪZ DALAM SURAH AL-NISĀ’: 34

A. Pemahaman Ulama Kontemporer ........................................................ 56

1. Pemahaman Quraish Shihab (Tafsir Al-Mishbāh) ........................... 61

Page 14: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

xiii

2. Pemahaman Huzaemah T. Yanggo (Hukum Keluarga dalam

Islam) .................................................................................................. 63

3. Pemahaman Zaitunah Subhan (Tafsir Kebencian) ........................... 65

4. Pemahaman KH. Husain Muhammad (Fiqh Perempuan) ............... 68

5. Pemahaman Musdah Mulia (Muslimah Reformis) ........................... 70

B. Analisis Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang nusyūz

dan penyelesaiannya Surah al-Nisā‟: 34 ............................................... 73

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................... 82

B. Saran ..................................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 84

LAMPIRAN .............................................................................................................. 92

Page 15: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan sebagai suami-isteri, untuk membentuk rumah tangga

(keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.1

Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa pernikahan adalah

akad yang sangat kuat atau disebut juga mīthāqan galīsān untuk mentaati perintah

yang bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,

dan rahmah.2 Oleh karena itu Islam mengatur masalah pernikahan dengan sangat

teliti dan terperinci, untuk membawa manusia kepada kehidupan yang lebih

terhormat, yang harus didasari pada norma etika dan syariat Islam yang benar.

Kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah bisa diraih bila

antara suami-istri menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik sesuai

ketentuan yang berlaku dalam kehidupan rumah tangga, sebagai konsekuensi logis

dari adanya ikatan pernikahan.3 Suami mesti melaksanakan kewajibannya

terhadap istri dalam bentuk memenuhi kebutuhan istri baik lahir maupun batin

sesuai dengan kemampuan sang suami. Sedangkan kewajiban istri adalah berbakti

lahir dan batin kepada suami dalam batasan-batasan yang dibenarkan oleh hukum

Islam.

1Definisi perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974

2Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2 dan 3, Lihat: Abdul Gani Abdullah. Pengantar

Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Pers. 1994). h. 78 3 Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Bisma Optima, 2014), h.

58-59

Page 16: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

2

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hak dan kewajiban suami-istri ada tiga

macam, yaitu hak istri atas suami, hak suami atas istri, dan hak bersama. Masing-

masing dari hak tersebut bersifat kebendaan; seperti mahar dan nafkah.4 Selain

dari hak yang bersifat materi ada juga hak yang berupa hak kerohanian, seperti

bersikap adil, perlakuan baik, termasuk juga dalam hal menggauli istri.5ā

Bila hak dan kewajiban yang ada dalam rumah tangga terpenuhi sesuai

dengan porsinya masing-masing, maka akan tercipta keluarga yang baik serta

harmonis. Begitu pun sebaliknya apabila seorang istri atau suami tidak

melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga, seperti suami tidak mau

mempedulikan istrinya, atau istri tidak mau mentaati suaminya, maka akan

menumbuhkan konflik yang dapat merongrong stabilitas keluarga tersebut.6 Al-

Qur„ān tidak saja menetapkan peraturan untuk melindungi keluarga dalam arti

untuk menjamin keselamatan dan kelestarian, tetapi al-Qur„ān juga menerapkan

peraturan-peraturan lainnya yang merupakan solusi untuk menyelesaikan

persoalan secara tuntas untuk mengatasi konflik dalam rumah tangga.

Konflik suami-istri menurut penjelasan al-Qur„ān disebut dengan nusyūz,

yang secara umum mempunyai pengertian perubahan sikap salah seorang di

antara suami atau istri. Nusyūz dari pihak suami terhadap istrinya biasanya

ditandai dengan berubahnya sifat lembut dan penuh ramah serta kasih menjadi

sikap acuh, kasar, bermuka masam serta hilangnya kasih sayang terhadap istrinya.

Sedangkan nusyūz istri terhadap suaminya biasanya ditandai dengan

4Yang dimaksud dengan nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal,

pengobatan istri, pembantu rumah tangga jika dibutuhkan. Memberi nafkah hukumnya wajib

menurut al-Quran, Sunnah, dan Ijma‟. 5Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Nor Hasanuddin (pen.), (Jakarta: Pena, Pundi Aksara,

2006), hal. 39-40 6 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur‟ān,

(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1999), h. 92-93

Page 17: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

3

ditinggalkannya kewajiban sebagai istri, seperti bersikap menantang, keluar

rumah tanpa izin suami, menolak berhubungan seks dan lain-lain yang

mencerminkan ketidakpatuhan.7 Namun pembahasan nusyūz dan penyelesaiannya

dalam Islam lebih banyak membahas nusyūz istri ketimbang suami, baik yang ada

dalam al-Qur„ān, kitab-kitab fiqh, dan penafsiran ulama-ulama secara umum.

Penjelasan nusyūz istridalam al-Qur„ān disebutkan di dalam surah al-

Nisā‟: 34

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah

telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari

harta mereka. Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah dan

memelihara dirinya (dari fitnah) ketika suaminya tidak ada, oleh karena

Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan

nusyūznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat

tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu,

maka janganlah kamu mencari cara untuk menyusahkannya.

Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”8

Penjelasan kata (arrijalu) adalah jama‟ dari (rajulun) yang secara bahasa

berarti laki-laki.9 Namun dalam al-Qur„ān, kata rijal memiliki beberapa makna,

di antaranya bermakna laki-laki, orang baik (baik laki-laki maupun perempuan),

7Lihat Ensiklopedia Islam, NAH-SYA, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), hal.

49-50; lihat juga, Departemen Agama Republik Indonesia, al-Quran dan Terjemahannya,

(Surabaya: Mahkota, 1989), foot note no. 291 8Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Samara

Mandiri,1999),h. 55. 9 Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir. (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 479

Page 18: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

4

atau nabi dan rasul, ada juga yang berarti budak.10

Sedangkan kata (qowwamūna)

berarti yang menanggung, bertanggung jawab, atau menjaga dan memelihara.

Departemen Agama menterjemahkannya dengan „pemimpin‟. Di sisi lain, masih

diragukan apakah kata qawâmah bisa diterjemahkan dengan „pemimpin‟ dalam

bahasa Indonesia, karena Yusuf Ali sebagaimana dikutip Nasaruddinuddin Umar

menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan: man are the protector and

maintainers of women (laki-laki adalah pelindung dan pemelihara perempuan).

Secara bahasa penjelasan kata وشوز berasal dari وشس yang berarti فقام قاعدا كان (duduk

lalu berdiri). Muhammad Ali al Sâyis, menjelaskan nusyūz secara bahasa االمكاوه

االعصیان dan maksud nusyūz dalam ayat di atas (tempat yang tinggi) االمرتفع

(durhaka). Sedangkan kata ضعر adalah masdar ضاعر yang berarti berpaling.11

Melihat arti secara kebahasaan terkait surahal-Nisā‟: 34 ini

memperlihatkan bahwa nusyūz istri adalah sebagai bentuk sikap tidak patuhan istri

terhadap suami. Hal ini bisa dilihat dalam kata (nusyūzahunna) yang berarti

nusyūz perempuan.

Para ulama berbeda pandangan dalam merumuskan nusyūz ke dalam

contoh konkretyang dilakukan istri. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa

nusyūz istri adalah ketidakpatuhan istri terhadap suami, dengan keluarnya istri

tanpa seizin suaminya dan menutup diri bagi sang suami padahal ia tidak

mempunyai hak untuk melakukan demikian.12

Sedangkan menurut Imam Syafi‟I,

nusyūz adalah kedurhakaan istri terhadap suaminya dan pelanggaran-pelanggaran

yang dilakukan dari ketentuan-ketentuan yang diwajibkan Allah SWT

10

QS. al Zumar[39]: 29; 11

Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir….. h. 918 12

Johari, Ayat-Ayat Nusyūz (Tinjauan Psikologik Pedagogik), tesis pasca sarjana tidak

diterbitkan, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1995), h. 11-15

Page 19: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

5

kepadanya.13

Menurut Imam Hanafi nusyūz adalah ketidakpatuhan, seperti keluar

dari rumah tanpa izin suami dan tidak mau melayani suami tanpa alasan yang

dibenarkan syar‟i. Sedang Imam Maliki menyatakan nusyūz istri adalah tidak taat

pada suami, menolak untuk digauli, pergi ke suatu tempat tanpa izin suami dan

mengabaikan kewajibannya kepada Allah. Imam Syafi‟i mengatakan, istri

dianggap nusyūz jika istri tidak mau mematuhi suaminya, tidak menjalankan

syari‟at agama, serta tidak memenuhi hak-hak suami. Imam Hambali menyatakan

istri dianggap nusyūz jika istri tidak memenuhi hak-hak suami yang wajib

dipenuhi akibat adanya perkawinan itu.14

Menurut ulama Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawa mengatakan nusyūz istri

adalah istri tidak taat ketika diajak berhubungan intim, keluar rumah tanpa

seizinnya serta perbuatan lain yang mencerminkan ketidakpatuhan istri pada pada

suaminya (Ibnu Qudamah, t.t: 137). Selain itu Kompilasi Hukum Islam

menjelaskan nusyūz lebih merujuk pada nusyūz istri, bahwa seorang istri dianggap

nusyūz bila ia tidak melaksanakan kewajiban utama sebagai seorang istri yaitu

berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan

hukum Islam. Istri mesti menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah

tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.15

Menurut Departeman Agama RI dalam al Qur‟an dan Terjemahannya

memberikan definisi nusyūz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami-istri, nusyūz

dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Nusyūz dari

13

Zainuddin ibn Najm al-Hanafi, Bahru ar-Ra‟iq, (Pakistan: Karachi, tt), cet. 3, h. 76 14

Zainuddin ibn Najm al-Hanafi, Bahru ar-Ra‟iq, (Pakistan: Karachi, tt), cet. 3, h. 76-77 15

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 83 dan Pasal 84.

Page 20: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

6

pihak suami ialah bersikap keras terhadap istrinya, tidak mau menggaulinya, dan

tidak maumemberikan haknya.16

Selanjutnya setelah diketahui penafsiran tentang nusyūz istri maka al-

Qur„ān memberikan jalan keluar atas permasalahan tersebut.

Hal tersebut dijelaskan dalam surah al-Nisā‟:34

Artinya: Adapun perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan akan

ketidaktaatannya maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di

tempat tidur, dan pukulah mereka. Akan tetapi jika mereka sudah mentaati

kalian, maka janganlah kalian mencari cara untuk menyusahkan mereka.

Penjelasan dari pada ayat di atas: pertama, ( فعظوهن) yaitu memberikan

nasihat; dalam artian seorang istri diberikan bimbingan, petunjuk, dan peringatan

tentang ketakwaan kepada Allah SWTserta hak dan kewajiban suami dan istri

dalam rumah tangga. Kedua, (المضاجع في yaitu berpisah ranjang dan (واهجروهن

tidak bertegur sapa. Tahapan ini dilakukan bila tahap pertama tidak dapat

menyadarkan istri dari kesalahannya. Ketiga, ( واضربوهن) yaitu memukul dengan

pukulan yang tidak mencederainya.

Pemahaman atas penafsiran tentang hukum nusyūz istri dan

penyelesaiannya yang bersumber dari surah al-Nisā‟: 34 berbeda-beda. Sayangnya

tidak semua pemahaman atas penafsiran terkait nusyūz istri bersifat adil kepada

perempuan. Pemahaman masyarakat yang kurang tepat dalam memahami kajian

al-Qur„ān tentang nusyūz bisa mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah

16

Departemen Agama RI. al Qur‟an dan Terjemahannya. (Jakarta: Bumi Restu, 1977). h.

123

Page 21: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

7

tangga (KDRT), dengan dalih istri yang tidak mentaati suaminya, padahal belum

dilakukannya tahapan-tahapan sebelumnya.

Adanya keragaman pemahaman tentang nusyūz istri menarik untuk diteliti,

terutama adalah pemahaman tentang nusyūz istri yang berlangsung pada masa

sekarang ini. Karena kondisi yang dialami perempuan dari waktu ke waktu

berbeda-beda, sehingga belum tentu pemahaman ulama terdahulu tentang nusyūz

istri relevan dengan kondisi perempuan sekarang ini. Contohnya pada masa lalu

ketika tugas utama mencari nafkah ada pada suami sedangkan hari ini mencari

nafkah banyak juga dilakukan oleh perempuan, apakah pemahaman ulama

terhadulu tentang hukum nusyūz ketika dihadapkan dengan contoh istri yang

mencari nafkah dapat mengakibatkan nusyūz istri? Karena bisa jadi dengan istri

yang menggantikan suami mencari nafkah bisa menggantikan pemegang otoritas

di dalam keluarga.17

Pemahaman ulama yang paling tepat dan penting untuk

diteliti dalam melihat nusyūz istri di masa sekarang ini adalah pemahaman ulama

kontemporer, yang lebih difokuskan lagi pada pemahaman ulama kontemporer

Indonesia.

Penentuan atau pemilihan ulama kontemporer Indonesia dimaksudkan

untuk melihat adakah pergeseran makna atau penafsiran ulang terhadap kata

nusyūz dari yang telah dilakukan oleh mufassir sebelumnya (klasik). Selain itu,

apakah penafsirannya juga dikaitkan dengan realitas sosial yang melingkupi

mufassir, khususnya konteks keindonesiaan, baik dalam pemaknaan kata nusyūz

17

Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga Dalam Islam”, (Palu: Yamiba, 2013), Cet. 1,

h. 32-33

Page 22: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

8

dan penyelesaiannya. Penulis juga akan menggunakan konsep Abdul Mustaqim18

dalam menentukan kriteria dan menilai penafsiran ulama kontemporer, khususnya

ulama kontemporer Indonesia. Kriteria tersebut antara lain: memposisikan al-

Qur'an sebagai petunjuk (hudan), bernuansa hermeneutis, kontekstual dan

mengacu ke spirit al-Qur'an, ilmiah dan non sektarian.19

Fokus penelitian ini juga terkait dengan penggunaan istilah. Di mana

penulis memilih menggunakan istilah “pemahaman ulama” bukan “penafsiran

ulama”. Hal ini karena, terdapat perbedaan penjelasan dan makna soal

pemahaman dan penafsiaran.Pemahaman dalam bahasa Inggris dikenal dalam

istilah understanding (the ability to understand something; comprehension),20

yang berarti kemampuan untuk mengetahui sesuatu. Hal ini bisa di tandai dengan

membaca karya-karya ulama yang penulis angkat. Salah satunya Husein

Muhammad yang mencoba membahas nusyūz menggunakan pendekatannya

dalam memaknai kata nusyūz pada teks al-Qur„ān. Salah satu pendekatan dalam

karyanya yang berjudul Fiqih Perempuan adalah pemahaman feminisnya.

Berbeda dengan penafsiran yang dikenal dengan istilah interpretation (the action

of explaining the meaning of something)21

yang berarti usaha menjelaskan arti

sesuatu. Terkait penafsiran teks al-Qur„ānm, usaha yang dilakukan dengan

menggunakan pendekatan Fiqh, tasawuf, sastra dan bahasa.Hal ini bisa dilihat

melalui hasil karya Quraish Shihab misalnya ketika membahas nusyūz dalam

18

Abdul Mustaqim, lahir di Purworejo pada 4 desember 1972. Menyelesaikan pendidikan

dasarya di kota kelahiran dan melanjutkan studinya studinya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

dengan mengambil konsentrasi Tafsir Hadits. 19

Mustaqim Abdul, “Epitimologi Tafsir Kontemporer”, (Yogyakarta: LKIS, 2011), Cet

1, h. 59-63 20

Edward N Teall, Webster‟s World University Dictonary, (Washington D.c: Publishers

Company, 1965), h.1086 21

Edward N Teall, Webster‟s World University Dictonary, (Washington D.c: Publishers

Company, 1965), h. 505

Page 23: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

9

tafsirnya al-Misbah, yang dimulai dengan pendekatan bahasa, fiqih dan sastra.

Selain itu ulama bisa dikatakan menghasilkan tafsir dengan memiliki kriteria, di

antaranya: mampu menafsirkan ayat al-Qur„ān dengan ayat al-Qur„ān yang lain,

dalam menafsirkan bersandar pada hadis, pendapat sahabat dan ulama, dan

menguasai ilmu bahasa arab.Melalui perbedaan pengertian pemahaman dan

penafsiran ini adalah ingin menjelaskan alasan penulis fokus pada pembahasan

pemahaman karena sumber yang berasal dari ulama yang akan penulis teliti

adalah buku-buku yang berasal dari proses pemikiran untuk mengetahui atau

mengerti suatu teks dalam al-Qur„ān, sedangkan penafsiran adalah menjelaskan

arti teks al-Qur„ān dengan menggunakan beberapa pendekatan.

Ulama kontemporer Indonesia yang akan penulis teliti pemahamannya

mengenai nusyūz istri ada 5 tokoh, diantaranya adalah Quraish Shihab (lahir

1944), Huzaemah T. Yanggo (lahir 1946), Zaitunah Subhan (lahir 1950), Husain

Muhammad (lahir 1953), dan Musdah Mulia (lahir 1958). Penetuan 5 ulama yang

akan penulis teliti ini karena para ulama ini menghasilkan pemahaman tentang

nusyūz yang ada dalam buku-buku mereka. Oleh karena itu judul skripsi ini adalah

“Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyūz dan

Penyelesaiannya dalam Surah Al-Nisā‟: 34”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pembatasan masalah

yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Membahas pemahaman ulama kontemporer Indonesia tentang penjelasan dan

penyelesaian nuzyus.

Page 24: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

10

2. Ulama yang diangkat adalah ulama-ulama yang membahas nusyūz dan

penyelesaiannya, lebih dikerucutkan lagi pada ulama kontemporer Indonesia

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

“Bagaimana pemahaman ulama kontemporer Indonesia tentang nusyūz dan

penyelesaiannya berdasarkan Surah al-Nisā‟:43?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian:

a. Untuk mengetahui pemahaman ulama kontemporer Indonesia tentang

pejelasan nusyūz.

b. Untuk mengetahui pemahaman ulama kontemporer Indonesia tentang

penyelesain nusyūz.

2. Manfaat Penelitian:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

penggiat tafsir mengenai kajian nusyūz dan penyelesaiannya,khususnya

dalam literatur tafsir kontemporer Indonesia\

b. Menambah khazanah keilmuan di bidang tafsir dalam literatur tafsir

Indonesia dari kalangan ulamakontemporer.

D. Kajian Terdahulu/ Studi Pustaka

Telah cukup banyak studi sebelumnya yang membahas terkait konsep

nusyūz. Mulai dari pendapat para tokoh terkait nusyūz, tolak ukur atau batasan

nusyūz, dan bagaimana penyelesaian nusyūz itu sendiri. Karenanya penulis

melakukan penelitian baru dengan meneliti sisi lain tentang nusyūz beserta

Page 25: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

11

penyelesaiannya dan menghadirkan pemahaman-pemahaman ulama kontemporer

Indonesia tentang nusyūz, sehingga dapat diketahui apakah ada perbedaan

pendapat dalam memahami konsep nusyūz dan penyelesaiannya khususnya oleh

ulama-ulama kontemporer Indonesia. Beberapa penelitian terdahulu yang

membahas konsep nusyūz di antaranya:

1. Skripsi dengan judul Kajian surah al-Nisā‟(4): 128 dalam tafsir al-Siraj al-

Munir karya Syeikh Muhammad al-Syarbini al-Khatib, yang ditulis oleh Rizki

Zulkarnaen, pada tahun 2007 sebagai persyaratan tugas akhir di Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini membahas nusyūz

dalam surah al-Nisā‟:128 yang ada di dalam tafsir al-Siraj karya al-Syarbini

al-Khatib, namun dalam skripsi tidak dijelaskan penyelesaian dari nusyūz

tersebut.

2. Skripsi dengan judul Gender dalam al-Qur‟an dan Hadis: Studi atas Isu-Isu

Gender (Konsep Nusyūz) yang ditulis oleh Agustin Nailatul Izzah, pada tahun

2008 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini membahas nusyūz istri

melalui pendekatan gender.

3. Skripsi dengan judul Studi Analisis Pendapat Syeikh Muhammad Nawawi al-

Bantani Tentang Penyelesaian Nusyūz, yang ditulis oleh Amin Rois, pada

tahun 2009 di IAIN Walisongo, Semarang. Skripsi ini membahas tentang

pandangan syeikh Nawawi al-Bantany terkait penyelesaian nusyūz dengan

melakukan kajian terhadap kitab Uqud al-Jein terutama dalam bab pernikahan

dan khususnya pada pembahasan nusyūz.

4. Skripsi dengan judul Pendapat Musdah Mulia Terkait Nusyūz dalam Pasal 84

Kompilasi Hukum Islam, yang ditulis oleh Khoirul Anam pada tahun 2014 di

Page 26: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

12

IAIN Walisongo, Semarang. Skripsi menulis tentang kritik yang dilakukan

oleh Musdah Mulia dalam melihat pembahasan nusyūz yang ada di dalam

KHI, yang cenderung membahas nusyūz pada istri tidak membahas nusyūz

yang terjadi pada suami.

Banyaknya kajian tentang nusyūz seperti disebutkan di atas, maka penulis

merasa perlu meneliti sisi lain terkait nusyūz dan penyelesaiannya, terutama

pemahaman atas penafsiran ulama kontemporer Indonesia, beberapa literatur

terkait pembahasan nusyūz dan penyelesainnya yang menjadi objek penelitian ini

di antaranya: Zaitunah Subhan dalam karyanya Tafsir Kebencian, Husein

Muhammad dalam karyanya al-Qur„ān Ramah Perempuan, dan Musda Mulia

dalam karyanya Muslimah Reformis.

E. Metodologi Penelitian

Untuk mendapatkan kajian yang bisa dipertanggung jawabkan secara

ilmiah, maka penelitian dalam skripsi ini menggunakan metodologi sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian dan subjek yang diteliti, studi ini

merupakan penelitian pustaka, yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai

sumber data utama, penelitian ini juga termasuk dalam kategori historis

faktual karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang.22

22

Anton Bakar dan Ahmad Kharis Zubair, Metode Penelitian Filsafat (Kanisius:

Yogyakarta, 1990), h. 136

Page 27: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

13

Pendekatan yang digunakan oleh penulis juga berupa penelitian

kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari seorang tokoh.23

2. Sumber Data

Mengingat penelitian skripsi ini adalah penelitian kualitatif yang

sumber datanya adalah kepustakaan, maka untuk mencapai hasil yang optimal,

sumber data dibedakan sesuai dengan kedudukan data tersebut, yaitu sumber

data primer, sumber data sekunder, dan wawancara.

a. Sumber Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang dapat memberikan

data penelitian secara langsung.24

Sumber data primer ini berbentuk

karangan yang langsung ditulis oleh ulama dan wawancara langsung

terhadap para ulama.

Sumber primer yang digunakan oleh penulis adalah: Quraish

Shihab Tafsir al-Misbah, Huzaemah T. Yanggo Hukum Keluarga Dalam

Islam, Zaitunah Subhan dalam karyanya Tafsir Kebencian, Husein

Muhammad dalam karyanya al-Qur„ān Ramah Perempuan, dan Musda

Mulia dalam karyanya Muslimah Reformis.

Kemudian sumber yang lain adalah Kemitrasejajaran antara Laki-

laki dan Perempuan karya Zaitunah Subhan, yang berusaha

menggambarkan relasi seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam

kehidupan rumah-tangga, Argumentasi Kesetaraan Gender dalam

23

Lexy S. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,

1988), h. 34 24

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka

Cipta, 2002), h. 117

Page 28: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

14

Perspektif al-Qur„ān karya Nasaruddin Umar, yang mengungkap

penafsiran al-Qur„ān yang cenderung bias gender, Tafsir Gender karya

Hamka Hasan yang melakukan perbandingan terhadap tokoh Indonesia

dan Mesir dalam penafsiran Al-Qur„ān serta beberapa buku yang memiliki

pembahasan nusyūz dalam tafsir dan perkembangannya.

Dalam penelitian ini penulis juga melakukan wawancara terhadap

para uama kontemporer Indonesia yang peneliti angkat dalam skripsi ini,

di antaranya: Zaitunah Subhan, Husein Muhammad, dan Musdah Mulia.

b. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang materinya secara tidak

langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.25

Data ini

adalah sebagai pelengkap dari data primer yang berisi dengan kajian-

kajian pokok yang dikaji oleh penulis. Data ini berupa buku-buku, artikel,

majalah, atau media lain yang mendukungnya. Seperti buku Perempuan

karya Quraish Shihab, dengan mengambil pembahasan yang terkait

dengan penafsiran Al-Qur‟an (surah al-Nisā‟ ayat 34) dan seputar

problematika perempuan dan Fiqih Perempuan karya KH. Husein

Muhammad yang menghadirkan bagaimana kedudukan perempuan dalam

berbagai permasalahan dalam sudut pandang Islam.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan penelitian ini metode pengumpulan data yang penulis

gunakan adalah metode telaah dokumen dan wawancara lapangan. Dengan

cara membaca, memahami serta mengkaji buku-buku, baik berupa karya

25

Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 1996), h. 217

Page 29: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

15

tafsir, kajian tafsir oleh tokoh-tokoh tersebut di atas, juga melakukan

wawancara terhadap tokoh-tokoh kontemporer yang disebutkan dalam

penelitian ini yaitu Zaitunah Subhan, KH. Husein, dan Musdah Mulia.

4. Metode Analisis Data

Karena penelitian yang penulis lakukan berbentuk penelitian yang

mengkaji tentang pemikiran tokoh maka penulisan ini menggunakan metode

analisis sebagai berikut:

a. Metode Deskriptif Interpretatif

Penelitian ini menggunakan metode interpretasi.26

Yaitu dengan

melakukan tahap pemahaman terhadap pemikiran ulama-ulama

kontemporer Indonesia, mengenai pemahamannya dalam bidang al-

Qur‟an, khususnya dalam pemaknaannya terhadap QS. al-Nisā‟ ayat 34.

F. Sistematika Penulisan

Dalam mengkaji pokok permasalahan dalam penelitian ini, penulis akan

menguraikannya dalam lima bab bahasan, masing-masing bab diposisikan saling

memiliki korelasi yang berkaitan secara koheren. Pembahasan diawali dengan

“Pendahuluan” dalam bab pertama, dan diakhiri dengan “Kesimpulan” dalam bab

kelima.

Bab Pertama: Pendahuluan.Bab ini meliputi latarbelakang masalah untuk

memberikan penjelasan mengapa penulisan ini perlu dilakukan dan apa yang

melatarbelakangi penelitian ini. Perumusan masalah dimaksudkan untuk

mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti untuk menetapkan batasan

fokus masalah. Kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian

26

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Sarasin, 1996), h.

104

Page 30: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

16

untuk menjelaskan tujuan dan urgensi dari penelitian ini. Studi pustaka dilakukan

untuk memberikan penjelasan di mana posisi penulis dalam hal ini, di mana letak

kebaharuan dan pembaruan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian maupun

karya dengan pembahasan yang sepadan. Kerangka teoritis merupakan tinjauan

mengenai pandangan atau pendapat para ulama kontemporer Indonesia terkait

konsep nusyūz dalam kajian al-Qur„ān surah al-Nisā‟ ayat 34 secara umum.

Adapun metodologi penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimna cara

yang dilakukan penulis dalam penelitian ini, pendekatan apa yang digunakan

menurut sistematika keilmuan serta tahapan-tahapan penelitian yang akan

dilakukan. Yang terakhir adalah sistematika pembahasan untuk memberikan

gambaran secara umum, sistematis, logis, dan korelatif mengenai kerangka

bahasan penelitian.

Bab Kedua: Tinjauan terhadap relasi suami dan istri dalam ajaran agama

Islam. Bab ini mencakup pemaparan konsep dari kesetaraan suami-istri dan

keadilan dalam rumahtangga, sampai pada pemaparan hak dan kewajiban suami

dan istri. Pembahasan relasi suami-istri pada bab 2 ini dimaksudkan untuk melihat

posisi yang ada pada suami dan istri, hak dan kewajibannya serta keadilan dalam

rumah tangga sehingga ada tolak ukur dalam melakukan kategorisasi nusyūz baik

nusyūz istri maupun suami.

Bab Ketiga: Pembahasan mengenai pandangan berbagai ulama dalam

memahami dan memaknai surah al-Nisā‟ ayat 34. Bagian ini akan menjelaskan

pandangan para ulama klasik dan modern untuk melihat perbandingan

pemahaman di luar pemahaman atas penafsiran surah al-Nisā‟: 34 oleh ulama

kontemporer Indonesia. Tentunya dalam bab ini penulis menghadirkan beberapa

Page 31: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

17

ulama Timur Tengah dari periode klasik sampai modern. Adapun yang penulis

cantumkan adalah ulama-ulama yang secara khusus membahas nusyūz dan

penyelesaianya.

Bab Keempat: Analisis pemahaman ulama kontemporer Indonesia. Bab ini

mencoba menguraikan pandangan ulama kontemporer Indonesia dalam memaknai

konsep nusyūz dan penyelesaiannya serta menganalisis letak perbedaan dalam

pemahamannya. Selain itu penulis juga akan menguraikan latar belakang

penafsiran yang berbeda tersebut.

Bab Kelima: Penutup.Bab ini mencakupkesimpulan dan saran-saran yang

berkaitan dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh penulis, diajukan sebagai

bentuk jawaban atas perumusan masalah.

Pada bagian akhir dari skripsi ini juga memuat hal-hal penting dan relevan

dengan penelitian terdiri atas daftar pustaka dan lampiran.

Page 32: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

18

BAB II

RELASI SUAMI DAN ISTRI DALAM ISLAM

Keluarga adalah komunitas terkecil dalam sturuktur masyarakat, di

dalamnya ada suami, istri dan “buah” dari pernikahan keduanya, anak-anak.

Masing-masing dari mereka mempunyai peran berbeda dalam upaya mewujudkan

sebuah keluarga yang sakinah. Pembinaan keluarga diawali oleh sebuah

perjanjian yang sangat kuat (mīthāqan galīsān) yang disebut “akad” nikah, yang

dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Ketika keduanya

telah mempunyai anak, maka perannya bertambah satu lagi, yaitu sebagai ayah

dan ibu.33

Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Satu bentuk

elaborasi dari perwujudan nilai-nilai tersebut adalah pengakuan yang tulus

terhadap kesetaraan dan kesatuan sesama manusia, melalui relasi yang baik antara

laki-laki dan perempuan, atau sebagai suami dan istri dalam keluarga. Seperti

yang dijelaskan dalam surah al-Nisā‟ (4): 1.

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah

menciptakan kamu dari unsur yang satu dan daripadanya Allah

menciptakan pasangannya; dan dari keduanya (perempuan dan laki-laki)

Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

33

Kementerian Agama Rl, Tafsir al-Qur‘ān Tematik; Peran Perempuan dalam Keluarga,

(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur„ān, 2009), Cet. 2, h.133.

Page 33: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

19

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan menggunakan nama-Nya

kamu saling meminta satu sama lain, dan periharalah hubungan

silaturahmi. “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi

kamu.”34

Pembagian peran maupun tugas rumah tangga yang adil antara suami dan

istri terkadang masih dipengaruhi cara pandang masyarakat mengenai peran

gender yang cenderung memposisikan perempuan dalam peran domestik.

Karenanya, dalam “bahtera” rumah tangga selalu ada kemungkinan munculnya

„keretakan‟ dalam hubungan perkawinan. Keadaan seperti itu dapat merusak

kemaslahatan di antara suami istri. Kedamaian, ketentraman, kesejahteraan, kasih

sayang, dan keselamatan, merupakan nilai-nilai yang harus ada dalam setiap

rumah tangga. Namun terkadang timbul problematika atau konflik dalam rumah

tangga yang, jika tidak dapat teratasi, akan mengakibatkan percekcokan, sikap

pengabaian sepihak, hingga perceraian.35

Sehubungan dengan contoh permasalahan tersebut di atas, agar pasangan

suami istri dapat dapat membina keluarga sakinah yang diridhai oleh Allah, maka

pasangan tersebut harus menjaga etika dalam relasi yang dibangun sesuai dengan

ketetapan Al-Qur„ān, yang terwujud dalam bentuk hak dan kewajiban dalam be-

rumah tangga. Suami sebagai kepala rumah tangga harus mampu melaksanakan

tanggung jawabnya, masing-masing pasangan saling mencintai dan menyayangi,

saling pengertian, dan saling menghormati.

Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan relasi suai-istri, dengan

penjelasan tentang kesetaraan antara suami dan istri, keadilan dalam rumah

tangga, dan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam Islam.

34

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta Pusat: Lentera Hati, 2009), Cet. 1, h.397 35

Dyah Purbasari, “Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada Pasangan Suami Istri

Jawa dalam Jurnal Penelitian Humaniora, vol. 16, no. 1, Februari 2015, h. 1-14

Page 34: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

20

A. Kesetaraan Suami dan Istri

Sesungguhnya semua manusia setara di hadapan Allah, hanya prestasi dan

kualitas takwa yang menjadi pembeda di antara mereka, dan hanya Allah yang

berhak untuk menilai, bukan manusia.36

Di dalam Al-Qur„ān disebutkan:

“Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari laki-laki dan

perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku,

supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di

antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya

Allah maha mengetahui dan maha mengenal.” (QS. Al-Hujurat (49) 13).

Ayat tersebut menerangkan tujuan penciptaan manusia dalam keadaan

yang begitu beragam, beragam jenis kelamin, beragam suku, dan bangsa

diperuntukkan agar manusia bisa saling mengenal dan saling memahami (mutual

understanding). Dari pemahaman tersebut maka manusia akan mudah memahami

perbedaan yang ada, dan akan saling menghormati dan menghargai manusia

sebagai makhluk bermartabat, ciptaan Tuhan, siapapun dia.37

Begitu pun posisi

perempuan sebagai istri dalam rumah tangga, sebagai seorang muslimah yang

qānitat memiliki kedudukan dan peran sederajat sebagai partner bagi suaminya.

Tidak disubordinasikan atau suami dianggap lebih superior daripadanya.38

36

S. Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Megawati Insitute,

2014), h. 32 37

Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Megawati Institute,

2014), Cet.1, h. 33-35. 38

Agus Nuryatno, “Examining Asghar Ali Engineer‟s Qur‟anic Interpretation Of Women

In Islam” dalam Al-Jāmi`ah, vol. 45, no. 2, 2007, h. 1-26. Lihat juga, Ahmad Parvez, Matalib Al-

Furqan Fi Durūs Al-Qur’an, (Lahore: 1979), h. 364

Page 35: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

21

Bertemunya laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan akan

menambah relasi baru yang harus diperhatikan terkait dengan prilaku yang bisa

menjadikan hubungan suami istri tersebut harmonis. Menurut Quraish Shihab,

relasi suami istri ini merupakan janji untuk hidup bersama, sebagai pasangan dan

mitra berdampingan yang menyatu dan terhimpun dalam suka maupun duka.

Hal mendasar yang harus dibangun untuk membangun rumah tangga yang

ideal adalah memperhatikan relasi suami dan istri, dengan kedudukan yang sama

tanpa ada dominasi/tuntutan berlebihan dari satu pihak. Kesetaraan antara suami

dan istri dalam berumah tangga bukan berarti membalik posisi dari kondisi

berkuasa dan dominannya kaum pria (suami), lalu menjadikan perempuan (istri)

sebagai penguasa yang mendominasi pria (suami). Masalahnya bukan pada siapa

yang mendominasi atau sebaliknya siapa yang didominasi, tetapi justru

menghilangkan dominasi itu sendiri dalam tatanan berkeluarga, berumah tangga,

dan bermasyarakat. Siapa pun pelakunya, baik suami (laki-laki) maupun istri

(perempuan). Karena dominasi adalah sebuah sikap yang mana di dalamnya ada

penisbian hak, ada pengingkaran eksistensi, yakni hak dan eksistensi yang

didominasi. 39

Rumah tangga yang ideal disebutkan dalam Al-Qur„ān sebagai rumah

tangga dengan sifat mawaddah wa rahmah. Mawaddah, menurut Quraish Shihab

diambil dari kata wadadah yang artinya kelapangan dan kekosongan. Dengan

demikian, mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak

buruk. Pengertian tersebut menujukan perasaan cinta kasih antara yang satu

dengan yang lain, sehingga pintu-pintu hatinya tertutup dari keburukan lahir dan

39

Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur‘ān,

(Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. 1, h. 131.

Page 36: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

22

batin, yang mungkin ada dalam diri pasangannya. Bahkan pakar Al-Qur„ān,

Ibrahim al-Biqa‟i, menafsirkan mawaddah sebagai cinta yang dampaknya akan

terlihat pada sikap dan perlakuan, sama seperti tampaknya kepatuhan karena

adanya rasa kagum dan hormat kepada seseorang.40

Kata Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati ketika

melihat ketidakberdayaan, sehingga mendorong seseorang untuk melakukan

pemberdayaan pada kondisi ketidakmampuan tersebut. Oleh karenanya, sifat

rahmah melahirkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu, tidak bersikap angkuh,

tidak mencari keuntungan sendiri, tidak pemarah apalagi pendendam. Ia sanggup

menutupi kekurangan yang ada pada pasangannya, dan sabar menanggung

resikonya. Sedangkan mawaddah tidak mengenal batas dan tiada hentinya.41

Anjuran membangun relasi yang baik antara suami istri sangatlah penting.

Mengingat adanya perkembangan ilmu dan teknologi yang berpengaruh merubah

nilai dan persepsi. Di mana adanya anggapan awal bahwa perempuan memiliki

ruang hanya pada wilayah domestik, menjadi konco wingking yang kemudian

menempati posisi subordinat, inferior, dan banyak mendapat tekanan, menjadi

perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki.42

Suami adalah pasangan istri, dan istri adalah pasangan suami. Keduanya

saling melengkapi, tanpa salah satunya hidup menjadi tidak sempurna dan tidak

bermakna. Sebagaimana fiman Allah:

40

Ahmad Fatah, Jurnal Penelitian: Mendambakan Paradigma Kesetaraan dalam

Pernikahan, (Jawa tengah: 2014) vol. 8, no 2, h. 344. 41

Ahmad Fatah, Jurnal Penelitian: Mendambakan Paradigma Kesetaraan dalam

Pernikahan, (Jawa tengah: 2014) vol. 8, no 2, h. 344. 42

Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian …, h. 68-72.

Page 37: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

23

“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi

mereka” (QS. Al-Baqarah 2:187)

Gambaran kesetaraan dalam relasi suami istri dilukiskan dalam Al-Qur„ān

surah al-Nisā‟ 4:19, yatu istri berhak mendapatkan perlakuan yang baik dan

menyenangkan dari suami, sebagaimana suami berhak mendapatkan perlakuan

yang sama dari istri.

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu menyerahkan

wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka

karena hendak mengambil kembali sebagian dari yang telah kamu berikan

kepadanya, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan

bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak

menyukai mereka (maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak

menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang

banyak”.

Dalam sebuah Hadis juga disebutkan:

ثنا ثنا: قال كريب أبو حد د عن سليمان، بن عبدة حد و بن محم ثنا: قال عمر عن سلمة، أبو حد صلى للا رسول قال: قال هريرة أبي

خلقا، أحسنهم إيمانا المؤمنين أكمل: وسلم عليه للااس وابن عائشة، عن الباب وفي «لنسائهم خيركم وخيركم هذا هريرة أبي حديث».: عبصحيح حسن حديث

43

“Dan orang-orang yang paling baik di antara kamu adalah orang orang

yang paling baik kepada istrinya.” (HR. Tirmidhi)

Semuanya itu bertujuan untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang

bahagia, sakinah yang dipenuhi mawaddah wa rahmah. Konsep pernikahan yang

sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Al-Qur„ān, jelas mengutamakan cinta

kasih, kesetaraan, dan jauh dari sifat diskriminatif dan kekerasan.

B. Keadilan dalam Keluarga

43

Tirmidhi, Sunan Al-Tirmidhi, kitab Al-Raḍā`, bab Ma Jā’a Fi Ḥaqq Al-Mar’ah `ala

Zaujiha, (Riyadh: Bait Al-Afkār, 1420 H), h. 206, hadis nomor 1162.

Page 38: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

24

Manusia menurut fitrahnya diciptakan sebagai makhluk sosial, di samping

sifat alaminya sebagai makhluk individu yang egois. Perilaku sosial dalam bentuk

terkecil adalah dalam sifat kekeluargaan yang diawali oleh sepasang laki-laki dan

perempuan. Sejarah tidak memberikan suatu bukti untuk teori bahwa manusia

pada suatu masa hidup tanpa keluarga. Dengan kata lain laki-laki dan perempuan

tidak pernah tepisah (hidup sendiri-sendiri). Dalam kehidupan berkeluarga, agama

Islam mempunyai falsafah khusus mengenai hak dan kewajiban laki-laki dan

perempuan, di mana laki-laki dan perempuan memilki hak dan kewajiban yang

sejajar. Hal ini sesuai dengan ungkapan Murthada Muthari bahwa dilihat dari

aspek sosiologi kehidupan laki-laki dan perempuan sudah masuk pada zaman

persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.44

Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa istilah pasangan di dalam Al-

Qur„ān, didasarkan pada sikap kasih sayang yang penuh rahmat.45

Hak dan

kewajiban bagi pasangan suami-istri pun harus dilakukan dengan rasa kasih

sayang, yang didasari prinsip keadilan sebagai tiang agama dan ketetapan syariat

Islam. Prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental yang melahirkan

keserasian antara pertimbangan akal dan ketetapan syariat Islam.

Dalam menelaah relasi suami dan istri dalam keluarga, penulis merujuk

kepada prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan yang telah digariskan oleh Al-

Qur„ān. Beberapa prinsip tersebut di antaranya:

44

Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur‘ān,

(Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. 1, h. 134-135. 45

Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Misbah dalam Disertasi Bidang

Ilmu Agama Islam, Konsentrasi Tafsir Hadis, Program PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2006, h. 142. Lihat juga: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-

Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 179

Page 39: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

25

1. Perempuan (Istri) dan laki-laki (suami) diciptakan dari entitas (nafs) yang

sama (Al-Nisā‟4:1), karena itu kedudukan mereka sama dan sejajar, yang

membedakan hanyalah kualitas ketakwaan (Al-Ḥujurāt 49:31).

2. Suami maupun istri dtuntut untuk mewujudkan kehidupan yang baik (ḥayātan

Ṭayyibatan) dengan melakukan aktifitas yang positif `amalan ṣāliḥan (Al-

Naḥl 16:97). Untuk tujuan ini, diharapkan keduanya bisa saling membantu

satu dengan yang lainnya. (Al-Taubah 9:71)

3. Istri maupun suami memiliki hak yang sama untuk memperoleh apresiasi atas

aktifitas yang dilakukan. (Al-Aḥzāb 33:35)

4. Istri dan suami memiliki komitmen bersama dalam membangun kehidupan

yang tentram (sakinah) dan penuh cintah kasih (mawaddah warahmah) (Al-

Rūm 30:21), perlakuan yang baik antara suami istri (Al-Nisā‟ 4:19), dan selalu

bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan (Al-Baqarah 2:233, Ali

`Imrān 3:159, dan Al-Shurá 42:38).

C. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Kehidupan berkeluarga yang dibangun sepasang suami istri didasarkan

pada hubungan komunikasi yang baik antara keduanya. Menciptakan suasana

yang harmonis, yaitu dengan bersikap saling pengertian, saling menjaga, saling

menghormati, saling menghargai, dan saling memenuhi kebutuhan masing-

masing. Apabila suami istri melalaikan tugas dan kewajiban, maka akan terjadi

kesenjangan yang dapa berakibat timbulnya berbagai masalah, seperti

kesalahpahaman, perselisihan, dan ketegangan hidup berumah tangga.

Suami maupun istri harus selalu menjaga etika dalam berkeluarga, yaitu

selalu menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan baik secara

Page 40: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

26

batiniyah dan lahiriah dengan melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing

yang disertai perasaan tolong menolong dan saling pengertian. Sehingga dapat

terwujud keluarga sakinah, seperti firman Allah suurah Al-Rūm (30): 21.

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan

pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung

dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa

kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (QS. Al-Rūm (30):

21)”

Pada dasarnya prinsip dan tujuan perkawinan berdasarkan ayat tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Membina keluarga yang tenang dan bahagia

2. Hidup saling mencintai

3. Bertakwa kepada Allah SWT dan menjaga diri dari perbuatan maksiat,

terlebih penyelewengan seksual.

4. Membina hubungan kekeluargaan dan mempererat silaturahmi antar

keluarga.46

Adapun hak dan kewajiban yang harus diperhatikan oleh pasangan suami

istri adalah mengerti bahwa hak suami berarti kewajiban yang harus diberikan

oleh istrinya, demikian hak istri adalah kewajiban yang harus diberikan oleh

suaminya. Oleh karena itu, ada kewajiban yang harus dilakukan bersama-sama

antara suami istri, ada kewajiban yang khusus bagi istri dan ada pula kewajiban

yang khusus bagi suami.

46

Lihat: Depag RI, Peningkatan Kesejathteraan Ibu dan Penggunaan Air Susu Ibu (ASI)

dalam Ajaran Islam, (Jakarta: Depag RI, 1993/1994), Cet.1, h. 78-79.

Page 41: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

27

Sayyid Sabiq juga menjelaskan bahwa hak dan kewajiban suami istri ada

tiga macam, yaitu hak istri atas suami, hak suami atas istri, dan hak bersama.

Masing-masing dari hak tersebut bersifat kebendaan, seperti mahar dan nafkah47

;

ada yang berupa hak rohaniah, seperti bersikap adil, perlakuan baik, termasuk

juga dalam hal suami mendatangi istrinya.48

1. Kewajiban suami, di antara kewajiban suami adalah:

a. Menjadi pemimpin atau kepala rumah tangga yang baik dan mampu

mengarahkan keluarga dengan cara-cara yang benar.

b. Membayar mahar dan memberi nafkah, seperti makanan, pakaian, dan

tempat tinggal.

c. Menggauli istri dengan cara yang makruf (baik dan harmonis) serta adil.

d. Bergurau, dan menciptakan suasana romantis.

e. Tidak berlebihan dalam cemburu.

f. Memenuhi kebutuhan biologis istri demi menjaga kehormatannya.

g. Menasehati istri jika melakukan kesalahan.

h. Mendidik dan mengajari ilmu-ilmu agama yang ia butuhkan, khususnya

tentang kewajiban-kewajiban utama.49

2. Kewajiban istri, di antara kewajiban istri adalah:

a. Taat dan patuh kepada suaminya, selama itu tidak bertentangan dengan

perintah Allah.

b. Menjaga diri, kehormatannya, dan rumah tangga.

47

Yang dimaksud nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pengobatan

istri, pembantu rumah tangga jika dibutuhkan. Memberi nafkah hukumnya wajib menrut Al-

Qur„ān, Sunnah, dan Ijma`. 48

Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Nor Hasanuddin (pen.), (Jakarta: Pena, Pundi Aksara,

2006), hlm. 39-40. 49

Depag RI, Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan Berpolitik, (Jakarta: Lajnah

Pentashihan Mushaf al-Qur„ān), Cet.1, h. 347-356.

Page 42: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

28

c. Membantu suami dalam mengatur rumah tangga dan kesejahteraan serta

keharmonisan keluarga.

d. Melayani kebutuhan seksualitas suami dengan cara yang baik.

e. Memelihara harta suami serta rela atas rezeki dari Allah terhadapnya.

f. Menjaga dan mendidik anak-anaknya dari segi pengetahuan maupun

akhlak.

g. Menjaga diri serta teguh memegang amanah.

h. Bergaul dengan baik terhadap keluarga suaminya.

Selain dari hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri, ada hak

dan kewajiban yang harus ditunaikan bersama. Mengingat relasi suami-istri

adalah relasi yang dibangun di dalam keluarga sehingga ada beberapa hal yang

harus di penuhi bersama.

3. Hak dan kewajiban bersama (suami dan istri)

Wahbah al-Zuhaili dalam karya monumentalnya, al-Fiqh al-Islami wa

Adillatuhu, memberikan analisis yang mendalam terhadap permasalahan

suami dan istri. Tidak terkecuali mengenai hak dan kewajiban suami dan istri.

Antara laki-laki dan perempuan ada rasa ketergantungan satu sama lain. Rasa

ketergantungan itu berupa perlindungan, kasih sayang, kepuasan hati,

kepuasan gairah seksual, dan masih banyak lagi hal yang menyebabkan

ketergantungan satu sama lain. Di dunia seorang laki-laki tak akan dapat

mengeyam kesempurnaan hidup jika tidak ada perempuan. Demikian juga

perempuan akan merasa bahwa dirinya serba kekurangan dan jauh dari

sempurna seandainya di duia ini tidak ada dijumpai seorang laki-laki. Maka

Page 43: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

29

perempuan dan laki-laki adalah satu kesatuan yang saling melengkapi satu

sama lain. Kedua makhluk ini saling terikat pada ketergantungan.50

Hak-hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri yang lain,

peraturannya diserahkan sesuai dengan kelaziman adat yang berlaku dan

berkembang dalam masyarakat tempat pasangan itu berdiam.

Suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama, serta saling

membutuhkan. Oleh karena itu tidaklah adil dan tidak maslahat, apabila pihak

dari suami atau istri berlaku sewenang-wenang terhadap yang lain.

Kebahagiaan baru bisa terwujud, jika masing-masing saling menghormati.51

Selain dari itu ada beberapa hal lain yang harus diupayakan suami dan

istri dalam membina rumah tangganya, antara lain sebagai berikut.

a. Setia, saling mencintai dan saling menyayangi.

b. Saling menghormati dan saling menghargai, saling mempercayai, saling

membantu, dan seiya sekata dalam memikul kerumahtanggaan.

c. Mengasuh dan mendidik anak menjadi tugas bersama.

d. Saling pengertian dan saling memahami.

e. Saling menghormati keluarga masing-masing.

f. Pasangan suami dan istri menjadi teladan bagi anak-anak dan keluarga

lainnya yang ada dalam rumah.

g. Suami istri hendaklah bermusyawarah dan transparan dalam segalah hal.

Jika ada suatu kesulitan hendaklah dibicarakan dengan hati terbuka, tidak

50

Kholilah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, (Surabaya: Bintang Pelajar, tth),

Cet.1, hlm. 118. 51

Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid Al-Nur, (Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2000), Cet Ke-2, h. 387-388

Page 44: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

30

segan meminta maaf jika merasa bersalah, karena yang demikian itu akan

menambah kekalnya hubungan cinta kasih.

h. Menyiapkan rumah yang memenuhi syarat kesehatan, agar anggota

keluarga merasa nyaman di rumah.

i. Menjadikan rumah dapat berperan untuk pembinaan generasi muda.

j. Menjadikan rumah tangga yang dapat mengelola keuangan keluarga

dengan baik, sesuai dengan pendapatan, tidak boros, dan tidak kikir.

k. Tidak egois dan dapat memahami kelemahan dan kekurangan masing-

masing.

l. Menghindarkan penghuni rumah dari hal-hal yang tidak berkenaan dengan

syariat, karena hal itu akan dipertanggung jawabkan pada hari kiamat.

Sesuai dengan perintah Allah dalam surah QS. Al-Tahrīm (66): 6.

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu

dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya

adalah malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka

kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu

mengerjakan apa yang diperintahkan kepada.” (QS. Al-Taḥrīm (66): 6).

m. Menghindari menghutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.

n. Menghindari salah paham, seperti mengungkit-ungkit masa lalu, atau

mengeluarkan kata-kata yang kasar, atau menuduh tanpa bukti,

memojokkan dan lain-lain.

o. Menghindari pertengkaran agar tidak diketahui oleh orang lain dan

mencari solusi yang baik.

Page 45: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

31

p. Mengomsumsi makanan yang halal dan baik, sebagaimana disebutkan

dalam surah Al-Baqarah (2): 168, Al-Mā‟idah (5): 88, dan Al-Naḥl (16):

144.

Dari uraian di atas dapat diambil disimpulkan bahwa suami istri pada

hakikatnya saling membutuhkan. Sehingga keduanya dituntut untuk

bekerjasama, saling membantu, melengkapi, dan menghormati. Di samping itu

suami dan istri dituntut supaya mewujudkan pergaulan yang serasi, rukun,

damai dan saling pengertian, menyayangi anak, memelihara, menjaga,

mengajarkan dan mendidiknya. Selain itu menghormati dan berbuat baik

kepada keluarga keduanya. Maka dengan ini akan tercipta keluarga sakinah,

mawaddah, dan warahmah.

Page 46: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

32

BAB III

PEMAHAMAN ULAMA KLASIK DAN MODERN TENTANG NUSYŪZ

DALAM SURAH AL-NISĀ’: 34

Al-Qur„ān seperti teks suci lainnya, sebagai sumber ajaran Islam juga

bersifat multiTafsīr, yang terbuka pada berbagai model penafsiran, termasuk

penafsiran yang bersifat mendukung patriarki.50

Bermacam kepentingan ataupun

kondisi sosial pun memengaruhi pemikiran mufasir. Bagaimana pun setiap

Muslim berhak menafsirkan al-Qur„ān, karena melalui cara tersebut kekuatan al-

Qur„ān sebagai petunjuk (al-huda) dapat ditampilkan.51

Tema pembahasan dalam QS Al-Nisā‟ ayat 34 yang berbunyi:

Diawali dengan penegasan kepemimpinan laki-laki atas perempuan,

karakteristik istri “ideal” (exhortation), permasalahan nusyūz (crisis), cara

mengatasi nusyūz (discipline), dan istri yang kembali taat (reconciliation).52

50

Asma Barlas, “The Qur‟an and Hermeneutics: Reading The Qur‟ān‟s Opposition To

Patriarchy” dalam Journal of Qur’anic Studies, vol. 3, no. 2, 2001, h. 1-25,

http://www.jstor.org/stable/25728036, diakses pada 23 November 2015, 12:14 UTC. 51

Islah Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia dari Hermenetik Hingga Ideologi,

(Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 215-220 52

Mohamed Mahmoud, “To Beat Or Not To Beat: On The Exegetical Dilemma Over

Qur‟an 4:34” dalam Journal of The American Oriental Society, vol. 126, no. 4, Oktober-Desember

2006, h. 1-3, http://www.jstor.org/stable/20064542 diakses pada 23 November 2015, 12:13 UTC.

Page 47: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

33

Dalam penelitian ini akan dibahas tema nusyūz dari sudut pandang pemahaman

ulama klasik dan modern sebagai dasar teoritis untuk memahami pemahaman

ulama kontemporer.

Terkait Asbāb al-Nuzūl surah Al-Nisā‟: 34, Fazlur Rahman mengatakan

bahwa ayat al-Qur„ān harus dipahami dengan mengetahui dan memahami konteks

turunnya ayat, kemudian dikomparasikan dan disintesakan dengan konteks

penggunaan ayat dalam konteks permasalahan kontemporer untuk mendapatkan

pemahaman ayat yang utuh.53

Untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat

diperlukan asbabun nuzul dalam bentuk keterangan riwayat/hadis yang

menjelaskan keadaan ketika ayat tersebut diwahyukan.

Turunnya ayat 34 dalam surah Al-Nisā‟ berkenaan dengan kasus Ḥabībah

bint. Zaid bin Abi Zuhair, istri sahabat dari kalangan Ansar, yang melaporkan

kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah ditampar oleh suaminya, Sa`ad bin al-

Rabi`. Habibah mengadu kepada Rasulullah SAW bersama ayahnya. Saat

pertama, Rasulullah SAW membolehkan untuk meng-qisas suaminya. Namun

kemudian Habibah dipanggil kembali dan Rasulullah SAW bersabda malaikat

Jibril AS telah mewahyukan ayat ini (QS. Al-Nisā‟ ayat 34), kemudian bersabda:

“Kita menginginkan suatu, dan Allah menghendaki sesuatu, dan apa yang Allah

kehendaki adalah yang terbaik.”54

Al-Bukhari menyebutkan riwayat dari Muhammad ibn Muqatil, yang

dikabarkan dari Abdullah dari Hisham ibn al-`Urwah dari ayahnya mengabarkan

dari `Aisyah RA, “Seorang laki-laki berkata ia kurang menyukai istrinya dan ingin

53

Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition, (London:

University of Chicago Press, 1984), h. 130-164 54

Ali ibn Aḥmad al-Wāḥidi, Asbāb al-Nuzūl Al-Qur’ān, `Aṣām bin `Abdul Muḥsin (ed),

(Dimām: Dār al-Iṣlāḥ, 1992), cet. Kedua, h. 152

Page 48: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

34

bercerai, istrinya menjawab ia, “engkau boleh meninggalkanku tanpa

menceraikanku”, maka turunlah ayat ini.55

Riwayat ini juga dikemukakan oleh

Muslim, Abu Daud, dan Tirmidhi.

Abu Daud meriwayatkannya dengan matan yang berbeda;

“Saudah binti Zam‟ah, istri Rasulullah SAW yang telah berusia lanjut,

merasa khawatir dicerai oleh Rasulullah SAW maka ia menghadiahkan

“giliran”-nya kepada Aisyah RA”.56

Ayat 34 dan ayat 128 dalam surah al-Nisā‟, keduanya menjelaskan tentang

nusyūz. Pertama, perilaku nusyūz dilakukan oleh istri seorang sahabat dari

kalangan Ansar, QS al-Nisā‟ ayat 34 kemudian diwahyukan untuk menanggapi

jawaban Nabi SAW sebagai penangguh hukuman qisas. Kedua, tentang ayat 128

dalam riwayat dari Bukhari dan Muslim, menyebutkan perilaku laki-laki yang

dapat dikategorikan nusyūz karena perasaan kepada istrinya telah berkurang.

Dalam riwayat dari Abu Daud, perilaku nusyūz tidak terlihat, namun istri

Rasulullah SAW, Zam`ah, menutupi kekhawatirannya (atas kemungkinan nusyūz)

dengan memberikan “hadiah” kepada Nabi SAW. Dapat dipahami kedua ayat

tersebut menggambarkan hubungan suami-istri dalam rumah tangga, terkait

perilaku nusyūz yang berpotensi dilakukan antara keduanya.

Hadis-hadis yang digunakan dalam periwayatan QS Al-Nisā‟ ayat 34

tersebut dinilai mursal oleh Ibnu Jarir.57

Karena tidak memiliki „syahid’ sebagai

pendukung (muttabi`) jalur periyawatan lainnya. Maka dapat dikatakan benar

bahwa dengan melihat pemahaman terhadap ayat tersebut dan keterkaitannya

55

Muqbil ibn Hadi, Sahih Asbāb al-Nuzūl Al-Qur’ān, Agung Wahyu (pen.), (Depok:

Meccah, 2006), h. 158-160. Riwayat tersebut diambil dari: Sahih Al-Bukhari, (Bairūt: Dār al-Fikr,

1420 ), h. 587 dan 1130, hadis nomor 2450 dan 4601. Bandingkan periwayatan yang berbeda dari

Hisyam dalam, Muslim, Sahih Muslim, (Bairūt: Dār al-Fikr, 2003), h. 1477, hadis nomor 3021. 56

Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Riyadh: Bait al-Afkār, 1420 H), h. 243, hadis nomor 2135. 57

Ali ibn Aḥmad al-Wāḥidi, Asbāb al-Nuzūl Al-Qur’ān, h. 153-154

Page 49: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

35

dengan penafsiran QS Al-Nisā‟ ayat 1 dari kalangan ulama klasik – perempuan

diposisikan berada di bawah dominasi laki-laki. Dalam versi lain, wanita

diciptakan dari tulang rusuk Adam AS yang didukung hadis-hadis Muttafaq

`Alaih.

Selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut terkait pemahaman surah Al-Nisā‟:

34, maka penulis menjelaskan atau melakukan pendekatan dengan memahami

pemahaman di luar pemahaman ulama kontemporer Indonesia yaitu pemahaman

ulama Timur Tengah dan Indonesia dari periode klasik dan modern.

A. Pemahaman Ulama Klasik

Selain periode klasik yang dimulai pada abad ke 16 sampai pada akhir

abad ke 19, ulama klasik juga bisa dilihat model pemahaman yang digunakan.

Ulama klasik dalam kitab-kitab Tafsīrnya menggunakan hadis sebagai sumber

penafsiran. Pada periode Tafsīr pertama dan periode Tafsīr kedua, penafsiran al-

Qur„ān cenderung mengambil bentuk Tafsīr bi al-ma‘thūr58

/bi al-riwayah dengan

mengambil hadis Nabi SAW maupun periwayatan dari para sahabat (aśar),

sebagai sumber utama.59

Penggunaan riwayat dan hadis yang demikian banyak ini menjadi ciri khas

dari Tafsīr-Tafsīr al-Qur„ān klasik. Dengan mendasarkan penafsiran secara literal

pada penjelasan yang sudah ada sebelumnya.

Penafsiran klasik yang akan dijadikan objek penelitian di sini antara lain

oleh: Muhammad ibn Jarīr al-Ṭabarī60

(w. 310 H) dalam karnyanya Jāmi` Al-

58

Menurut istilahnya, Tafsīr bi al-ma’thūr berarti “penafsiran Al-Quran dengan

menggunakan sumber dari Al-Quran, hadis, pendapat Sahabat, dan tabiin”. Khalid Abdurrahman

al-`Ak, Uṣūl Al-Tafsīr wa Qawā‘iduhu, (Damaskus: Dār al-Nafa‟is, 1986), h. 114 59

Husein Al-Dhahabī, Tafsīr Wa Al-Mufassirūn, (Mesir: Maktabah Wahbah, tt), h. 76-79 60

Abū Ja`far Muhammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī, lahir tahun 225 H/839 M di Amol, Tabaristan

tahun. Wafat di Baghdad pada 310 H/923 M. Al-Ṭabari mempelajari hadis di Kufah, Suriah, dan

Page 50: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

36

Bayān Fi Ta’wil Al-Qur’ān, Mahmud ibn `Amr al-Zamakhsharī (w. 538 H) dalam

karyanya Al-Kashshāf `An Ḥaqāiq Ghawāmiḍ Al-Tanzīl, Muhammad ibn Umar

al-Razi (w. 606 H) dalam karyanya Mafātiḥ Al-Ghaib Tafsīr Al-Kabīr,

Muhammad ibn Ahmad al-Qurṭubī (w. 671 H) dalam karyanya Al-Jāmi` Li-

Aḥkām Al-Qur’ān Tafsīr Al-Qurṭubi, dan Nāṣir al-Dīn al-Baiḍawī (w. 685 H)

dalam karyanya Anwār Al-Tanzīl Wa Asrār Al-Ta’wīl.

Kelima kitab Tafsīr tersebut memiliki coraknya tersendiri berdasarkan

pendekatan yang berbeda; corak bi-l-ma’thur dalam Jāmi` Al-Bayān; corak bi-l-

ra’yi dalam Al-Kashshāf dan Anwār Al-Tanzīl, Al-Kashshāf juga disebutkan

memiliki corak ishari; corak falsafí dalam Mafātiḥ Al-Ghaib, pendapat lain

mengatakannya termasuk dalam Tafsīr `ilmi, dan corak fiqhi karena

kecenderungannya menggunakan pendapat Mazhab Syafii; dan corak fiqhi dalam

Al-Jāmi` Li-Aḥkām Al-Qur’ān.61

Adapun alasan mengapa penulis memilih penafsiran yang telah disebutkan

sebelumnya, yaitu dikarenakan pertimbangan periode para ulama yang ada di

zaman klasik dan selain itu ke-lima ulama tersebut juga membahas tentang

permasalahan nusyūz dan penyelesaiannya.

Selanjutnya, meninjau penafsiran milik al-Ṭabari (w. 310 H), corak bi-l-

matśūr mudah dilihat dengan sangat banyaknya hadis yang digunakan sebagai

sumber penafsirannya.

Mesir, kemudian meneruskannya hingga wafat di Baghdad. Karyanya dalam bidang sejarah adalah

Tarīkh Al-Umam Wa Al-Mulūk dan Tarīkh Al-Rijāl. Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta:

Logos, 1997), h. 113-124 61

Hujair Sanaky, “Metode Tafsīr Perkembangan Metode Tafsīr Mengikuti Warna Atau

Corak Mufassirin” dalam Al-Mawarid edisi XVIII, tahun 2008, h. 1-22

Page 51: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

37

Dikemukakan oleh al-Ṭabari, penafsiran ayat ini dibagi mengikuti batasan

pada lafaz/tema tertentu:

Tentang lafaz “wa al-latí takhāfūna nusyūzahunna”, al-Ṭabari (w. 310 H)

menerangkan perbedaan pendapat mengenai arti “khauf” antara bermakna

“mengetahui” (علم) sebagai keadaan yang telah pasti diketahui nusyūz-nya, atau

“prasangka” (ظه). Disebutkan tentang asal kata nusyūz bermakna “terangkat”

.secara istilah yaitu maksiat yang dilakukan pasangannya (al-zauj) ,(ارتفع)

Hadis dari `Ikrimah, jika perilaku nusyūz masih bersifat kemungkinan,

maka letak acuannya pada keadaan "إذا عصينكم في المعروف", ketidaktaatan dalam

hal makruf.62

Hadis dari rawi pertama al-Sadí, nusyūz artinya, “kebencian

istrinya” (بغضهه). Dari Ibnu Zaid artinya, “maksiat istri” (معصيتها). Dalam athar

dari Ibnu `Abbas artinya, “istri tersebut melakukan nusyūz” (تلك المرأة تنشز).

Riwayat yang bersumber dari Ibnu Waki`, disebutkan bahwa turunnya ayat ini

sebelumnya diiringi ayat QS. Ṭaha ayat 114.63

62

Al-Ṭabarī, Jāmi` Al-Bayān Fi Ta’wil Al-Qur’ān, h. 84 63

Al-Ṭabarī, Jāmi` Al-Bayān Fi Ta’wil Al-Qur’ān, h. 84

Page 52: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

38

Mengatasi perilaku nusyūz, al-Ṭabarī (w. 310 H) menafsirkan kata

fa`iẓūhunna dengan “teguran yang berdasarkan ilmu Al-Qur„ān”. Berikutnya al-

Ṭabari menafsirkan kata wahjurūhunna dan perdebatan mengenainya dalam

penjelasan yang panjang; (1) dengan memisahkan ranjang dan tidak memberikan

nafkah batin, (2) memisahkan ranjangnya sampai ia (mau) kembali (taat)

seranjang dengan suami, (3) tidak mendekati tempat tidurnya, sampai (tabiat) ia

kembali menjadi istri yang disenangi suami, (4) menegurnya secara lisan “aku

akan memisahkan ranjangmu”. Diakhiri dengan cara memukul yang tidak

meninggalkan bekas.

Al-Zamakhshari (w. 538 H) memaknai nusyūz dengan kata nusyūṣ. Secara

harfiah berarti “tombak yang berdiri tegak” atau unta berpunuk besar. Maksud

istilahnya mendurhakai suami dan tidak menenangkan, dan membuatnya cemas

ketika di atas ranjang, al-murāqad sebagai bahasa kināyah64

dari kata jimak atau

seks. Diartikan pula pembacaan al-maḍāji` seperti al-maḍja`i (tempat tidur) atau

al-maḍṭaja`i.65

Untuk mengenali perilaku nusyūz ini al-Zamakhshari (w. 538 H)

mengartikan cara kedua (wahjurūhunna, “menegur”) dengan bersikap benci

terhadap perilaku nusyūz istri, dan bersabar terhadapnya. Dengan menambahkan

hadis dalam al-Bukhari, dan riwayat dari Asma‟ bint Abu Bakar.66

64

Al-Kināyah, berarti “penggunaan kata-kata yang tidak terang-terang”, dari kata kaná

Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, h. 1235. Kata yang ditujukan untuk menunjukan .(كنى)

pengertian lazim sebagai makna asal, “mendatangkan hal-hal yang abstrak dalam bentuk yang

bersifat konkrit.” Ali al-Jarim, dan Mustafa Amin, Al-Balāghah Al-Wāḍiḥah, Mujiyo Nurkholis

dan Bahrun Abu Bakar (pen.), (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), Cet. Kesembilan, 173-187 65

Al-Zamakhshari, Al-Kashshāf, h. 506 66

Al-Zamakhshari, Al-Kashshāf, h. 508

Page 53: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

39

Al-Rāzi (w. 606 H) menghubungkan kepemimpinan laki-laki dalam ayat

ini dengan QS. Al-Nisā‟ ayat 32.

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah

kepada sebagian yang lain”67

Al-Rāzi (w. 606 H) menyebutkan, selain perempuan yang ṣāliḥāt, ada juga

perempuan yang nusyūz. Al-khauf sebagai ibarat/perumpamaan kondisi di dalam

hati atau perasaan dengan munculnya prasangka akan sesuatu yang tidak

disenangi di waktu yang akan datang. Dengan menyandarkan pada penjelasan

Imam Syafii.68

Nusyūz dapat berupa perkataan atau perbuatan. Dalam perkataan misalnya

ketika ia (istri) sedang bercakap-cakap kemudian berubah gaya bahasanya

(penuturannya). Dalam perbuatan, jika suami menginginkan istri berada di

ranjang, ia menolaknya. Jika semua tanda ini muncul maka bolehlah khawatir istri

bersikap nusyūz. Karena sikap demikian adalah maksiat atau mungkin juga

kekhilafan.69

Pada bagian lafaz cara-cara mengatasi nusyūz terdapat dua mas’alah.

Pertama, lagi dengan menyandarkan pada Imam Syafii al-Rāzi (w. 606 H)

menegaskan melakukan ketiga cara ini secara berurutan/bertahap.

Dimulai dengan al-wa`ẓu, adalah mengatakan kepada ia (istri):

“bertakwalah kepada Allah sesungguhnya aku memiliki hak kepadamu dan

67

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 30, (Solo: Qomari, 2007), h.

108. 68

Al-Rāzi, Mafātiḥ Al-Ghaib, h. 71 69

Al-Rāzi, Mafātiḥ Al-Ghaib, h. 72

Page 54: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

40

kembalilah (taat), dan ketahuilah menaatiku adalah ridha bagimu”. Tidak boleh

langsung dipukul.70

Jika tidak mengena, berpisahlah (jarak) dengannya di tempat tidur, dengan

cara tidak berbicara kepadanya dan diingatkan secara berulang 2 kali selama ia

masih nusyūz. Jika tidak dapat juga baru boleh dipukul, tidak melakukannya lebih

diutamakan. Al-Rāzi (w. 606 H) menambahkannya dengan pemaknaannya atas

riwayat dari Umar ibn Khattab Ra., “orang yang memukul istrinya tidak lebih baik

dari yang tidak memukul”.71

Pendapat lainnya mengatakan. Pukulah dengan “sapu tangan”, tidak boleh

dengan cemeti atau tongkat. Juga tidak boleh dengan cara menendang

(menggunakan kaki).72

Pada mas’alah kedua, disebutkan perbedaan pendapat para

Sahabat, salah satunya riwayat dari Ali ibn Abi Thalib yang menganjurkan cara

tersebut dilakukan secara bertahap/berurut (tartīb).

Jika sebelumnya al-Razi sering menyandarkan pendapatnya dari Imam

Syafii. Al-Qurṭubi (w. 671 H) menyebutkan terdapat sebelas mas’alah (bagian)

dalam ayat ini dengan penjelasan hukum dari berbagai mazhab.

Tentang makna nusyūz diambil dari beberapa periwayatan termasuk

penafsiran Ibnu `Abbas. Makna firman Allah Ta`ala fa`iẓūhunna, mengingatkan

istri atas perintah Allah Swt. supaya berperilaku menyenangkan dan

mempercantik diri untuk suaminya, berdasarkan matan hadis:

أحد أن يسجد ألحد ألمرت المرأة أن تسجد لزوجهالى أمرت

70

Al-Rāzi, Mafātiḥ Al-Ghaib, h. 72 71

Al-Rāzi, Mafātiḥ Al-Ghaib, h. 72 72

Al-Rāzi, Mafātiḥ Al-Ghaib, h. 72-73

Page 55: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

41

Makna lafaz wahjurūhunna fi al-maḍāji`, diTafsīrkan dengan pendapat

Imam Malik memaknainya dengan uhjurhu fi-Allah, “pisahkan ia karena Allah”.

Seperti penafsiran sebelumnya, pada bahasan ini juga disebutkan riwayat tentang

pengaduan Asma‟ Ra. kepada ayahnya, Abu Bakr Ra., mengenai keadaan

pernikahannya yang merasa dididik lebih keras oleh Zubair daripada istrinya yang

lain.

Lafaz waḍribūhunna, al-Qurṭubi menjelaskan jika kedua cara sebelumnya

tidak berhasil maka dengan memukulnya (diharapkan) dapat memperbaikinya dan

mengembalikannya kepada (membuatnya menyadari) kesalahan (nusyūz)

sebenarnya. Al-Qurṭubi (w. 671 H) menerangkan bahwa Allah Swt. tidak

memerintahkan dalam Kitab-Nya “pukulan” yang nyata (ṣurāḥan/wāḍiḥan)

kecuali sebagai tujuan/kepentingan hukum. Karena maksiat istri sama dengan

dosa besar.73

Al-Baiḍawi (w. 685 H) menafsirkan mengenai makna nusyūz dengan,

sikap mengabaikan atau menyombongkan diri yang dilakukan istri dari menaati

suaminya.74

Al-Baiḍawi (w. 685 H) memaknai cara mengatasinya ketika „di

dalam „peraduan‟ untuk tidak berhubungan seks dengannya atau di bawah satu

selimut, atau jangan sekamar dengannya‟. Dan jika memukul jangan sampai

berbekas. Al-Baiḍawi (w. 685 H) dalam hal ini mendukung keberurutan sebagai

tahapan-tahapan (tartīb) dalam melakukan perkara-perkara tersebut.75

73

Muhammad ibn Ahmad al-Qurṭubī, Al-Jāmi` Li-Aḥkām Al-Qur’ān Tafsīr Al-Qurṭubi,

Ahmad & Ibrahim (tahqiq), (Mesir: Dār al-Kutub al-Miṣriyah, 1964), h. 173-174 74

Al-Baiḍawi, Anwār Al-Tanzīl Wa Asrār Al-Ta’wīl, (Beirut: Dār Iḥyā‟ al-Turāth, 1418 H),

h. 73 75

Al-Baiḍawi, Anwār Al-Tanzīl Wa Asrār Al-Ta’wīl, h. 73

Page 56: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

42

Begitu pun al-Suyūṭi (w. 911 H) mengartikan fungsi suami untuk

mendidik istri (yu’addibūhunna), jika istrinya mulai melawan perintah suami

maka takutilah/ingatkan dia kepada Allah, dan pindah ke ranjang/kasur yang lain,

dan pukulah tanpa berbekas.76

Selain dari pemahaman ulama timur tengah tentang nusyūz yang telah

penulis sebutkan diatas, terdapat juga pemahaman yang dilakukan oleh ulama

Indonesia. Abdul Assingkili77

misalnya menuliskan dalam Tafsīrnya mengenai

nusyūz,

“...dan segala perempuan (istri) yang kamu takuti akan durhaka mereka itu

bagi kamu mereka takutilah oleh kamu mereka itu akan Allah Ta`ala dan

halangi oleh kamu mereka itu dari segala ketiduran dan pukul oleh kamu

mereka itu dengan pukul yang tiada memberi cedera apabila tiada mereka

itu kembali kepada taat dengan hilang itu (nusyūz)”.78

Secara singkat `Abdul Ra‟uf al-Sinkel (w. 1693) memaknai perilaku

nusyūz dengan kata “durhaka”. Abd. Rauf Assinkel menjelaskan bahwasanya

ketika ada “kekhawatiran” akan perbuatan nusyūz oleh perempuan (istri) maka

terlebih dahulu memberikan pengertian kepada perempuan yang nusyūz agar takut

kepada Allah dan menghimbau agar dia kembali dari nusyūznya. Adapun untuk

menetapkan nusyūz, Abdul Rauf Assinkel menggunakan kata “ketakuti” atau

diartikan kekhawatiran.

Setelah itu Abdul Rauf Assinkili melanjutkan pembahsannya dengan

pembahasan cara mengatasi nusyūz yaitu dengan pertama, menasehatinya agar

76

Jalāl al-Dīn al-Maḥalli dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, Tafsīr Al-Jalālain, (Mesir: Dār al-

Ḥadīth, tt), h. 106 77

Abdul Ra‟uf al-ibn Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkel, lahir tahun 1620 di Singkel, Fansur

Utara, Aceh. Wafat pada tahun 1693. Lebih dikenal karena kiprahnya dalam bidang tasawuf.

Terutama dalam pertentangannya dengan Al-Raniri soal paham wujūdiyah, ketika menjadi mufti

Sultan Safiatuddin Syah. P. Voorhoeve, “`Abd al-Ra‟uf ...”, dalam The Encyclopaedia of Islam,

(Leiden: E. J. Brill, 1986), vol. 1, h. 88 78

`Abdul Ra‟uf Al-Sinkel, Tarjumān Al-Mustafīd hal.85

Page 57: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

43

takut kepada Allah Allah SWT, kedua, menakutinya dengan tidak mengajaknya

tidur, dan yang ketiga adalah memukul dengan tidak meninggakan cedera jika

nusyūz istri belum berubah.

Selanjutnya Abdul Rauf Assinkili menjelaskan ketika istri yang nusyūz

kembali taat pada suaminya, maka suami dianjurkan untuk tidak mencari-cari cara

untuk menyususahkan istri. Kemudian Abd. Rauf Assinkii menutup

pembahasannya dengan mengatakan “sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan

Maha Besar”.79

Selain itu, nusyūz juga dijelaskan oleh Nawawi al-Bantani adalah bentuk

pengabaian istri terhadap suami seperti menolak hubungan seksual dan keluar

rumah tanpa izin suami. Adapun penyelesaiannya Nawawi al-Bantani

membolehkan memukul dengan catatan untuk mendidiknya dan setelah upaya

menasehati dan pisah ranjang tidak berhasil menyadarkan istri dari nusyūznya.

Penjelasan dari beberapa penafsiran ulama kalangan klasik baik dari

kalangan ulama yang berasal dari Timur Tengah maupun Indonesia sebelumnya

memiliki kesimpulan yang hampir sama di mana nusyūz dimaknai sebagai

pelanggaran/ketidaktaatan istri terhadap suami. Adapun solusi atau

penyelesaiannya para ulama diatas memberikan syarat-syarat yang harus

ditempuh ketika melakukan ketiga macam cara mengatasi nusyūz dari pihak istri,

seperti menegur dengan dasar ilmu Al-Qur„ān (fa`iẓūhunna), memisahkan tempat

tidur atau memisah kamar sampai hati istrinya lunak kembali (wahjurūhunna fi al-

maḍāji`), dan memukul tanpa meninggalkan bekas (fisik) (waḍribūhunna).

79

Abdul Ra‟uf Al-Sinkel, Tarjumān Al-Mustafīd hal.85

Page 58: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

44

Tabel Pemaknaan Nusyūz Menurut Ulama Klasik di Luar Indonesia

No Ulama Klasik Pemaknaan Nusyūz Penyelesaian

1. Muhammad ibn Jarīr

al-Ṭabarī

Nusyūz adalah ketidaktaan istri

dalam hal yang ma‟ruf. Selain

itu nusyūz juga bisa berarti

kebencian atau maksiat yang

dilakukan oleh istri.

Untuk penjelasan penyelesaian

Muhammad ibn Jarīr al-

Ṭabarī, memberikan solusi

memperingatkan secara lisan

sebagai langka awal bahwa

istri sedang nusyūz, memisahi

ranjang sampai dia tidaklagi

nusyuz, selanjutnya di pukul

namun tidak meninggalkan

bekas.

2. Mahmud ibn `Amr

al-Zamakhsharī

Nusyūz adalah perbuatan

mendurhakai suami, berbuat

tidak menyenangkan dan

menolak saat diajak

berhubungan seksual.

Memberikan teguran dan

menujukkan sikap benci

terhadap prilaku nusyuz istri

serta sabar terhadapnya.

Adapun untuk cara ketiga

Mahmud ibn `Amr al-

Zamakhsharī tidak

menjelaskan hal tersebut dan

memilih jalan bersabar.

3. Muhammad ibn

Umar al-Razi

Nusyūz adalah perumpamaan

kondisi di dalam hati atau

perasaan dengan munculnya

prasangka akan sesuatu yang

tidak disenangi di waktu yang

akan datang. Hal ini terlihat dari

perubahan sikap istri yang

biasanya lembut lalu berubah

menjadi kasar dan menolak saat

diajak berhubungan seksual.

Untuk langka pertama,

Muhammad ibn Umar al-Razi

menghimbau untuk taat

kepada Allah dan

mempertegas akan hak suami

terhadap istrinya, yang kedua,

berpisahlah (jarak) dengannya

di tempat tidur, dengan cara

tidak berbicara kepadanya dan

diingatkan secara berulang 2

kali selama ia masih nusyūz,

dan yang ketiga Jika tidak

dapat merubah sikapnya baru

boleh dipukul, namun tidak

melakukannya lebih

diutamakan. Untuk kasus

pemukulan sendiri Muhammad

ibn Umar al-Razi

menambahkan riwayat dari

Umar ibn Khattab Ra., “orang

yang memukul istrinya tidak

lebih baik dari yang tidak

memukul”.

Page 59: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

45

4. Muhammad ibn

Ahmad al-Qurṭubī

Nusyūz adalah mengutip dari

pandangan Ibnu Abbas bahwa

nusyūz merupakan tindakan

tidak menyenangkan istri

terhadap suami. Biasanya

tercermin saat perempuan tidak

lagi tampil menarik dihadapan

suaminya.

Langka pertama, dengan

memperingatkan sikap nusyūz

istri, yang kedua, tidak tidur

dalam satu ranjang, dan yang

ketiga di pukul. Muhammad

ibn Ahmad al-Qurṭubī

menerangkan bahwa Allah

Swt. tidak memerintahkan

dalam Kitab-Nya “pukulan”

yang nyata (ṣurāḥan/wāḍiḥan)

kecuali sebagai

tujuan/kepentingan hukum.

5. Nāṣir al-Dīn al-

Baiḍawī

Nusyūz adalah sikap

mengabaikan atau

menyombongkan diri yang

dilakukan istri dari menaati

suaminya.

Adapun penyelesaiannya Nāṣir al-Dīn al-Baiḍawī mendukung

keberurutan dari penyelesaian

nusyūz tersebut. Dengan

memberikan nasehat sebgai

langka awal, kedua, tidak tidur

seranjang dengannya, dan

yang ketiga memukul namun

tidak memberikan bekas.

Dalam memaknai nusyūz ulama klasik yang penulis angkat dalam

penelitian ini memaknai nusyūz sebagai prilaku berupa pembangkangan,

penolakan dan kesombongan yang dilakukan oleh istri terhadap suami. Untuk

penyelesaiannya Ulama klasik mendukung keberurutan dalam menyelsaikan

permasalahan nusyūz tersebut, terkecuai pandangan Mahmud ibn `Amr al-

Zamakhsharī yang memilih jalan nasehat dan bersabar dalam menyelesaikan

nusyūz. Selanjutnya para ulama klasik yang penulis teliti memulai dari langka

yang paling awal adalah berupa peringatan dan nasehat untuk kembali dari prilaku

nusyūznya, yang kedua tidak tidur dalam satu ranjang, dan ketiga memukul namun

tidak meninggalkan bekas. Terkait pemukulan Muhammad ibn Umar al-Razi

menggunakan penekanan untuk tidak memukul. Umar al-Razi menambahkan

riwayat dari Umar ibn Khattab Ra., “orang yang memukul istrinya tidak lebih baik

dari yang tidak memukul”.

Page 60: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

46

B. Pemahaman Ulama Modern

Ignaz Goldziher, melalui karyanya yang terkenal dalam terjemah bahasa

Indonesia, Mazhab Tafsīr, dengan judul asli Die Ricchatungen der Islamischen

Koranauslegung, telah mengulas berbagai karya Tafsīr klasik dengan cukup baik.

Meskipun tentunya banyak kekurangan di dalamnya secara objektif, terlepas dari

statusnya sebagai orientalis. Di almamater yang sama, J.J.G. Jansen melanjutkan

ulasan penafsiran al-Qur„ān pada masa modern. Dimulai dengan penafsiran

Muhammad Abduh (1845-1905) dan Rashid Ridha (1865-1935) pada abad ke-19,

dalam disertasinya berjudul The Interpretation of The Koran In Modern Egypt

pada tahun 1972.80

Menurut Ignaz Ide utama yang diusung Abduh adalah perlunya “ijtihad”

baru dalam dunia pemikiran umat Muslim. Ijtihad yang dimaksud tidak hanya

dalam permasalahan usul fikih, tetapi juga teologi, Tafsīr, studi hadis, dan

keilmuan lainnya. Karena ilmu-ilmu yang disebut terakhir, terlalu bersifat

“sempurna” menurut pandangan ulama terdahulu, dan menyusahkan pembaca dari

kalangan awam untuk memahami al-Qur„ān.81

Dari pengertian yang dikemukan oleh Ignaz Goldziher bisa disimpulkan

bahwa periode modern masuk pada akhir abad ke-19 sampai dengan sekarang.

Adapun pendekatan yang digunakan oleh ulama modern dalam melakukan

penafsiran ditandai menggunakan metodologis dengan memamfaatkan perangkat

80

Abu Bakar, “Pemikiran Tafsīr Modern J.J.G Jansen Telaah Atas Karya J.J.G Jansen The

Interpretation of The Koran In Modern Egypt” dalam Al-Ihkam vol. VI, 1 Juni 2011, h. 1-10 81

Abdullah Saeed, Interpreting The Qur’ān Towards A Contemporary Approach, (New

York: Routledge, 2006), h. 116-117

Page 61: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

47

keilmuan ilmiah, kemanusian, dan sosial, bahkan melalui pendekatan keilmuan

medis dan psikologis.82

Dalam pembahasan penafsiran ulama modern penulis meneliti penafsiran

Abduh dan Rasyid Ridha dalam karyanya Tafsīr al-Mana, Ibnu Ashur dalam

karyanya al-Tahrir wa al-Tanwir, Muhammad Ali al-Sabuni dalam karyanya

Wasail Mu’aalajah al-Shiqaq Baina al-Zaujain, Wahbah Zuhaili dalam karyanya

Tafsīr al-Munir.

Dimulai dari Muhammad Abduh dan Rashid Ridha menunjukan

penafsiran yang berbeda dalam Tafsīr Al-Manār83

dibandingkan dengan penafsiran

sebelumnya yang menunjukan banyak keunggulan sifat maupun kemampuan laki-

laki dibandingkan perempuan. Makna nusyūz, menurut Muhammad Abduh adalah

ketika “seorang perempuan (istri) keluar dari (memenuhi) hak-hak suaminya,

maka ia telah membangkang dan berusaha berdiri (ḥāwalat) di atas (melebihi

posisi) suaminya yang tidak sesuai dengan tabiatnya”.84

Abduh mengatakan, “... lima lam yaqul: wa al-latí yanshuzna ...”. makna

penggunaan lafaz khauf dalam ayat ini dimaksudkan sebagai hikmah

“kelembutan” (ḥikmatan laṭīfatan) dalam hal pengajaran Al-Qur„ān bagi

perempuan (istri). Maka harus didapati perbuatan yang jelas menunjukan sikap

nusyūz yang dilakukan istri. Suami harus memiliki cara dan penyikapan yang

82

Islah Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia dari Hermenetik Hingga Ideologi, h. 2 83

Awalnya dibentuk dari tulisan keduanya dalam majalah dengan judul yang sama. Dalam

hal QS. Al-Nisā‟ ayat 34, ayat ini masih diTafsīrkan Muhammad Abduh sampai dengan ayat ke-

126. Setelahnya penafsiran dilakukan oleh Rashid Ridha, hingga QS. Yūsuf ayat 52.Uswatun

Hasana, “Model dan Karakteristik Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsīr

Al-Manar” dalam Hermeneutik, vol. 9, no. 2, Desember 2015, h. 1-22. Malik Madany, Tafsīr Al-

Manar (Antara al-Syaikh Muhammad „Abduh dan al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha),

Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008, h. 1-19, http://digilib.uin-

suka.ac.id/337/, diakses pada 23.35 WIB. Lihat juga Rashid Ridha, Tafsīr Al-Qur’ān Al-Ḥakīm

Tafsīr Al-Manār, (Mesir: al-Hai‟ah al-Miṣriyah al-`Āmmah, 1990), juz 12, h. 268 84

Rashid Ridha, Tafsīr Al-Qur’ān Al-Ḥakīm Tafsīr Al-Manār, (Mesir: al-Hai‟ah al-

Miṣriyah al-`Āmmah, 1990), juz 5, h. 55-56

Page 62: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

48

lembut bagi istrinya, sehingga ia mau kembali melaksanakan tugas/haknya

sebagai istri pasangannya (ḥuqūq al-zaujiyyah).85

Cara yang pertama adalah dengan menasehati (al-wa`ẓu) yang membekas

di hatinya (aththiru), baik dengan peringatan/ancaman dari Allah Swt. dan

akibatnya terhadap nusyūz (ukhrawi), atau hal duniawi; seperti tidak memberikan

beberapa hal yang disenanginya semacam pakaian yang bagus atau perhiasan.

Menurut Abduh, terkadang istri melakukan nusyūz supaya keinginannya untuk

mendapatkan perhiasan (atau barang yang disenangi) dengan kerelaan dari

suami.86

Selanjutnya dengan cara memisahkan tempat tidurnya, atau secara kiasan

memisahkan kamarnya.

Perbedaan makna menurut para ulama, hakikatnya al-maḍāji` merupakan

tempat yang membangkitkan “rasa” (kecintaan) dalam hubungan pernikahan (al-

ladhí yuhayyiju shu`ūra al-zaujiyyah). Sehingga ada yang mengartikannya sebagai

tempat tidur (ranjang), kamar, atau rumah, yang intinya sebagai tempat terjadinya

hubungan jimak (bersenggama).87

Ibnu „Asyur(1879-1973) menyatakan tentang ayat ini sebagai penjelasan

hak-hak suami dan istri dalam hubungan rumah tangga atas ketetapan syariat,

terkait masalah `urf (kebudayaan) setempat (li-ta`līl shar`in khāṣṣin).88

Ibnu

„Asyurmenjelaskan nusyūz adalah kebalikan dari sikap yang baik/perbaikan (al-

85

Rashid Ridha, Tafsīr Al-Manār, h. 56-57 86

Rashid Ridha, Tafsīr Al-Manār, h. 59 87

Rashid Ridha, Tafsīr Al-Manār, h. 60 88

Muhammad Ṭāhir Ibn `Ashur al-Tunisy, Al-Taḥrīr Wa Al-Tanwīr (Taḥrīr Al-Ma`ná Al-

Sadīd Wa Tanwīr Al-`Aql Al-Jadīd Min Tafsīr Al-Kitāb Al-Majīd), (Tunis: Dār al-Tūnisiyah, 1984

H), juz 5, h. 37

Page 63: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

49

muḍāddati li-l-ṣalāḥ) atau kebencian kepada pasangan dan keburukan sikap

seorang istri. Secara bahasa berarti nuhūḍ.89

Menurut jumhur ulama, dikutip oleh Ibnu „Asyur(1879-1973) tentang

nusyūz, sikap istri ketika mengabaian pasangan dan menunjukan kebenciannya

tetapi bukan kebiasaan. Untuk mengatasinya, Ibnu „Asyur mengutarakan untuk

melaksanakan lafaz fa`iẓūhunna wahjurūhunna fi al-maḍāji` dan waḍribūhunna

secara bertahap. Yang dihubungkan dengan huruf “wau” `aṭaf.90

Selain itu Muhammad Ali Al-Ṣābūni91

menafsirkan tentang QS. al-Nisā‟

ayat 34, ini dengan judul “Wasā’il Mu`ālajah al-Shiqāq Baina al-Zaujain”92

, atau

menjelaskan “Cara-Cara Mengatasi Syiqaq”93

. Ayat yang menyebutkan tentang

syiqaq dijelaskan dalam QS. al-Nisā‟ ayat 35, kelanjutan dari nusyūz. Al-Ṣābūni

menyebutkan perempuan/istri yang nusyūz sebagai „jenis‟ istri selain dari yang

telah difirmankan Allah Swt, yaitu perempuan saleh.

Ketiga cara yang dijelaskan dalam ayat ini diTafsīrkan Al-Ṣābūni untuk

dilakukan secara berurutan, dengan mengatakan “jika tidak tercapai” (fa-in lam

yanjaḥ) cara sebelumnya dan mengutip penafsiran Ibnu `Abbas Ra.94

Al-Ṣābūni

89

Ibn `Ashur, Al-Taḥrīr Wa Al-Tanwīr, juz 5, h. 41 90

Ibn `Ashur, Al-Taḥrīr Wa Al-Tanwīr, juz 5, h. 41 91

Lahir pada Januari 1930, di Aleppo, Syria. Al-Ṣābūni telah banyak menuliskan karyanya

terkait ilmu-ilmu dan Tafsīr Al-Quran, di antaranya Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kathīr dan Ṣafwah Al-

Tafāsīr. Dalam kitab Ṣafwah Al-Tafāsīr, Ali Al-Ṣābūni menerangkan Tafsīran ayat perayat dengan

meringkas banyak penafsiran sebelumnya. Namun penafsirannya lebih rinci dituliskan secara utuh

dalam kitab Rawāi` Al-Bayān Tafsīr Ayāt Al-Aḥkām Min Al-Qur’ān. Tetapi tidak seluruh ayat

diTafsīrkan dalam kitab ini. Kitab ini ditulis dalam dua jilid dengan 70 pembahasan hukum dalam

Al-Quran. 92

Muhammad Ali Al-Ṣābūni, Rawāi` Al-Bayān Tafsīr Ayāt Al-Aḥkām Min Al-Qur’ān,

(Beirut: Mu‟assasah Manāhil al-`Irfān, 1980), juz 1, h. 463 93

Muhammad Ali Al-Ṣābūni, Terjemahan Tafsīr Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Mu‟ammal

Hamidy & Imron Manan (pen.), (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), h. 403 94

Muhammad Ali Al-Ṣābūni, Ṣafwah Al-Tafāsīr, juz 1, h. 251-252

Page 64: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

50

kemudian menjelaskan lafaz wahjurūhunna fi al-maḍāji` adalah maksud dari

jimak/bersetubuh, seperti difimankan Allah Ta`ala dalam QS. Al-Nisā‟ ayat 43.95

Al-Ṣābūni juga mengatakan “pemukulan” perempuan dalam ayat ini

dijadikan sebagai argumentasi musuh-musuh Islam untuk mempertanyakan

kemuliaan al-Qur„ān daripada menghinakan perempuan dengan perintah

memukulnya? Harus dilihat bahwa konteks pemukulan dalam ayat ini sifatnya

“tidak berbekas”, dan hanya ketika istri “melakukan nusyūz”.96

Wahbah al-Zuhaili (1932-2015), seorang ulama terhormat bagi muslim

sunni maupun syiah yang baru saja meninggal dunia memiliki banyak tulisan dan

karya berpengaruh selama hidupnya. Salah satunya Tafsīr Al-Munīr.

Pada penjelasan mufradat Nusyūzahunna, Wahbah mengartikannya

dengan “sikap pembangkangan istri kepada kalian (suami) dan bersikap sombong

kepada pasangannya, dengan menunjukan amarahnya”.97

Dijelaskan dalam rumah tangga terdapat dua macam istri; yang taat

(ṣāliḥāt), dan yang suka melawan (nāshizāt). Istri yang nāshizāt adalah “yang

kamu (suami) sangka atau telah kamu ketahui bersikap sombong (taraffa`a)

melewati batasan hak dan kewajibannya (sebagai istri)”.98

Istri seperti ini boleh

diatasi dengan empat macam cara99

:

1. Al-wa`ẓu wa al-irshād idha athara fi nufūsihinna. Dengan si suami

mengatakan “bertakwalah kepada Allah, karena aku memiliki hak padamu,

95

Muhammad Ali Al-Ṣābūni, Ṣafwah Al-Tafāsīr, juz 1, h. 254 96

Muhammad Ali Al-Ṣābūni, Ṣafwah Al-Tafāsīr, juz 1, h. 254-255 97

Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr Al-Munīr fi Al-`Aqīdah wa Al-Sharī`ah wa Al-Manhaj,

(Damaskus: Dār al-Fikr, 2009), jilid 3, h. 55 98

Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr Al-Munīr ..., h. 59 99

Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr Al-Munīr ..., h. 59-63

Page 65: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

51

dan wajib menaatiku selama berhubungan dengan takut kepada Allah”, dan

semacamnya.

2. Al-hajarah wa al-i`rāḍ fi al-maḍaji` (al-muraqad). Yaitu meninggalkan istri

dari berhubungan jimak, atau bermalam (tidur) dengannya di atas kasur yang

sama, dan jangan menahan pembicaraan kepadanya lebih dari 3 hari.

3. Al-ḍarbu ghairu al-mubarriḥ. “Seperti pukulan ringan di bahunya sebanyak

tiga kali, atau dengan siwak, atau batang kayu tipis, dengan maksud

memperbaiki/mendidiknya”. Dengan dukungan riwayat dari Jabir, dan Aṭā‟

dikutip dari Tafsīr Al-Jaṣṣās juz 2 halaman 189. Jangan memukul pada satu

bagian tubuh saja ataupun dengan tongkat, karena pemukulan itu dimaksudkan

untuk mendidik pun tidak melakukannya masih lebih baik. Ditambahkan

dengan riwayat dari Ummu Kulthum binti Abu Bakar Ra, dan QS. al-Baqarah

ayat 229. Wahbah juga menambahkan perbedaan pendapat mengenai

periwayatan tersebut dengan sifat tartīb.

4. Al-Taḥkīm. Pada penjelasan ini, terkait QS. al-Nisā‟ ayat ke-35 Wahbah

menyebutkan penyelesaian terhadap nusyūz, yang telah berlanjut kepada

tahapan shiqāq, harus diselesaikan dengan cara mempertemukan masing-

masing ahli/keluarga dari suami maupun istri untuk mendapatkan jalan damai

bagi hubungan antara keduanya. Berikut dengan penjelasan dari fikih empat

mazhab.

Ulama modern dari kalangan Indonesia juga menafsirkan tentang nusyūz

surah AL-NISĀ‟‟: 34, salah satunya dijelaskan juga oleh Mahmud Yunus dalam

penafsirannya mengenai ayat ini.

Page 66: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

52

“... Dalam ayat ini dijelaskan, kalau isteri durhaka dan membangkang

kepada suaminya, maka suami harus menghadapinya dengan hati sabar. Mula2

hendaklah diberi nasihat dengan perkataan yang lemah lembut. Kalau nasihat itu

tidak mempan, maka tinggalkan dia ditempat berbaringnya seorang diri. Kalau hal

itu tidak berhasil juga, boleh dipukul dengan pukulan yang tidak menyakiti

badannya. Kalau hal itu tidak juga berhasil, melainkan bertambah keras kepala,

sehingga tak dapat tercipta pergaulan yang damai dalam rumah tangga, maka

waktu itu bolehlah suami menjatuhkan talak kepada isterinya. Dengan demikian

teranglah, bahwa menjatuhkan talak adalah tindakan yang terakhir kali kalau tak

berhasil usaha2 perdamaian sebelum itu...”100

Selanjutnya Quraish Shihab juga memaparkan dengan penjelasan jika

kepemimpinan suami dihadapi dengan nusyūz istri, yang mana dalam hal ini

Quraish Shihab memaknai nusyūz sebagai “keangkuhan dan pembangkangan”

terhadap suami sebagai kepala rumah tangga. Maka telah disebutkan tiga macam

cara mengatasinya; memberikan nasehat, menghindari hubungan seks, dan

memukul. Ketiganya dihubungkan dengan huruf “wau” tetapi bukan bermakna

berurutan, dibolehkan misalnya untuk menghindari hubungan seks lebih dulu

sebelum menasehati istri yang nusyūz. Sesuai makna bahasa wahjurūhunna

menolak berhubungan seks dengan istri harus dimaksudkan untuk menunjukan

ketidaksenangan terhadap perlakuan nusyūz istri dan berusaha membuatnya

bersikap baik kembali. Penolakan seks ini tetap dibatasi di dalam kamar yang

100

Mahmud Yunus, Tafsīr Qur’an Karim, h. 114

Page 67: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

53

sama, hanya saja suami tetap tidur bersama tanpa berhubungan seks, bercumbu,

ataupun kata-kata manis.101

Quraish Shihab juga mengungkapkan ketidaksetujuannya jika cara

“memukul” (meskipun dengan maksud mendidik) tidak relevan lagi pada masa

ini. Ia menyebutkan “...pakar-pakar pendidikan masih mengakuinya untuk kasus

tertentu, bahkan di kalangan militer...”. Sehingga bisa dipahami maksud

sebenarnya untuk membuat istri yang nusyūz jera.102

Tabel Pemeknaan Nusyūz Menurut Ulama Modern di Luar Indonesia

No Ulama Klasik Pemaknaan Nusyūz Penyelesaian

1. Abduh dan Rasyid

Ridha

Nusyūz adalah ketika prilaku

seorang perempuan (istri)

keluar dari memenuhi hak-

hak suaminya, maka ia telah

membangkang dan berusaha

berdiri (ḥāwalat) di atas

(melebihi posisi) suaminya

yang tidak sesuai dengan

tabiat seorang istri terhadap

suaminya.

Untuk penjelasan penyelesaian Abduh

dan Rasyid Ridha memberikan cara yang

pertama adalah dengan menasehati (al-

wa`ẓu) yang membekas di hatinya

(aththiru), baik dengan

peringatan/ancaman dari Allah Swt.

Kedua, dengan cara memisahkan tempat

tidurnya, atau secara kiasan memisahkan

kamarnya yang berarti tidak melakukan

hubungan hubungan jimak dengannya.

Ketiga memukul, namun disarankan

untuk tidak melakukan hal tersebut

dikarenakan ditakutkan akan menambah

kebencian istri.

2. Ibnu „Asyur Nusyūz adalah sikap istri

ketika mengabaian pasangan

dan menunjukan

kebenciannya tetapi bukan

kebiasaan. Contohnya

hilangnya sikap lemah

lembut yang biasanya ada

padanya.

Cara pertama adalah dengan

memberikan nasehat mendalam dan

memintanya untuk kembali dari nusyūz

nya. Cara yang kedua dengan tidak tidur

dalam satu ranjang dengannya. Ketiga

memukul namun dengan pukulan yang

tidak meninggakan bekas. Namun dalam

penjelasannya Ibnu „Asyur menyarankan

untuk dilakukan secara bertahap.

101

Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, vol. 2, h. 409-410 102

Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, vol. 2, h. 410-412

Page 68: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

54

3. Muhammad Ali

Al-Ṣābūni

Nusyūz adalah prilaku istri

yang tidak lagi menghormati

suaminya dan tidak lagi

menjalankan kewajibannya

sebagai istri dan hal ini bisa

berlanjut pada prilaku syiqa.

Untuk langka pertama, Muhammad Ali

Al-Ṣābūni menganjurkan nasehat

kepada istri yang nusyūz, yang kedua,

berpisahlah (jarak) dengannya di tempat

tidur, dengan tidak melakukan hubungan

jimak, dan yang ketiga Jika tidak dapat

merubah sikapnya baru boleh dipukul,

namun tidak meninggakan bekas. Karena

Harus dilihat bahwa konteks pemukulan

dalam ayat ini sifatnya “tidak berbekas”,

dan hanya ketika istri “melakukan

nusyūz

4. Wahbah Zuhaili Nusyūz adalah sikap

pembangkangan istri kepada

kalian (suami) dan bersikap

sombong kepada

pasangannya, dengan

menunjukan amarahnya.

Langka pertama, Al-wa`ẓu wa al-irshād

idha athara fi nufūsihinna. Dengan si

suami mengatakan “bertakwalah kepada

Allah, karena aku memiliki hak padamu,

dan wajib menaatiku selama

berhubungan dengan takut kepada

Allah”, dan semacamnya.

Yang kedua, Al-hajarah wa al-i`rāḍ fi

al-maḍaji` (al-muraqad). Yaitu

meninggalkan istri dari berhubungan

jimak, atau bermalam (tidur) dengannya

di atas kasur yang sama, dan jangan

menahan pembicaraan kepadanya lebih

dari 3 hari. Ketiga Al-ḍarbu ghairu al-

mubarriḥ. Seperti pukulan ringan di

bahunya sebanyak tiga kali, atau dengan

siwak, atau batang kayu tipis, dengan

maksud memperbaiki/mendidiknya.

Dalam memaknai nusyūz ulama modern yang penulis angkat dalam

penelitian ini memaknai nusyūz sebagai prilaku berupa perubahan sikap istri

terhadap suaminya dan hilangnya tanggung jawab dalam dirinya sebagai seeorang

istri. Untuk penyelesaiannya 2 dari ulama modern yang penulis teliti menekankan

agar diakukan secara berurutan dan bertahap yaitu Ibnu Asyur dan Wahbah

Zuhaili. Selanjutnya para ulama modern yang penulis teliti memulai dari langka

yang paling awal adalah berupa peringatan dan nasehat untuk kembali dari prilaku

nusyūznya, yang kedua tidak tidur dalam satu ranjang, dan ketiga memukul namun

tidak meninggalkan bekas. Untuk cara yang ketiga menurut Muhammad Ali Al-

Page 69: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

55

Ṣābūni mengatakan bahwa konteks pemukulan dalam ayat ini sifatnya “tidak

berbekas”, hal ini dimaksudkan untuk mendidik dan dilakukan hanya ketika istri

melakukan nusyūz.

Page 70: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

56

BAB lV

PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG

NUSYŪZ DAN PENYELESAIANNYA DALAM SURAH AL-NISĀ’: 34

A. Pemahaman Ulama Kontempor

Kontemporer berarti pada masa kini, berhaluan ke arah perbaikan, keadaan

sekarang, dan juga suatu perkembangan yang terkontaminasi dengan

modernisasi.105

Di mana para ulama kontemporer berorientasi pada masa depan

dengan menunjukan pemikiran-pemikiran baru sebagai pembaruan pemikiran

terdahulu dan juga menyesuaikan dengan keadaan sekarang.106

Ulama Kontemporer dalam bahasa Abdullah Saeed, adalah kalangan

kontekstualis yang cenderung menggunakan latar belakang sosio-historis dalam

memahami ayat-ayat al-Qur„ān, dan memberikan perhatian pada perubahan sosial

yang terjadi.107

Jadi bisa disimpulkan bahwa ulama kontemporer adalah ulama yang hadir

di era sekarang dengan corak pemikiran yang cenderung menggunakan latar

belakang sosio-kultur dalam memahami ayat al-Qur„ān dan juga berorientasi pada

perbaikan.

Mengukur ulama kontemporer sebenarnya bisa dilakukan dengan dua cara,

yang pertama dari periodesasi dan yang kedua dari pemikiran. Berdasarkan uraian

Harun Nasution, ulama kontemporer berdasarkan periode adalah ulama yang hadir

selepas tahun 1800 M sampai sekarang. Namun yang dimaksud dalam

pembahasan ini bukan cara periodesasi melainkan membaca pemikiran ulama

105

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 790 106

Abdul Moqsith, “Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif ...”, h. 3-4 107

Abdullah Saeed, Interpreting The Qur‟an, h. 1-7

Page 71: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

57

kontemporer yang ditandai dengan pemikiran yang progresif. Generasi ulama

kontemporer beranggapan bahwa teks sejatinya hidup dan bisa terus berkembang

sesuai perkembangan zaman.108

Dalam Epistomologi Tafsir Kontemporer karya Dr. Abdul Mustaqim

dijelaskan bahwa pemikiran-pemikiran yang muncul di era kontemporer tidak

dapat dilepaskan dengan perkembangan di masa modern. Paling tidak, gagasan-

gagasan yang muncul di era kontemporer sudah bermula sejak zaman modern

yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang sangat kritis melihat

pemahaman-pemahaman terhadap al-Qur„ān. Jadi bisa dikatakan bahwa

paradigma ulama kontemporer adalah model atau cara pandang, totalitas premis-

premis dan metodologis yang dipergunakan dalam pemahaman terhadap teks al-

Qur„ān di era kekinian.109

Untuk mengetahui karasteristik dari ulama kontemporer Abdul Mustaqim

menjelaskan dalam bukunya:

1. Memposisikan al-Qur„ān sebagai kitab petunjuk.

Dalam rangka mengembalikan al-Qur„ān sebagai kitab petunjuk, para

ulama kontemporer tidak lagi menjadikan al-Qur„ān sebagai wahyu yang

“mati” sebgaiamana yang dipahami oleh para ulama-ulama klasik-tradisionais.

Para ulama kontemporer menganggap wahyu yang berupa teks al-Qur„ān itu

sebagai sesuatu yang “hidup”. Dengan demikian mereka pun mengembangkan

model pembacaan dan penafsiran yang lebih kritis dan produktif, bukan

pembaca yang mati dan ideologis. Meminjam istilah Ali Harb, yang dimaksud

108

Saiful Amin Gofur “Profil Para Mufassir al-Qur„ān”, (Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2008), Cet. Vi, h. 26-27 109

Mustaqim Abdul, “Epitimologi Tafsir Kontemporer”, (Yogyakarta: LKIS, 2011), Cet

1, h. 59

Page 72: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

58

pembacaan kritis menurutnya adalah pembacaan atas teks al-Qur„ān yang tak

tak terbaca dan ingin menyingkap kembali apa yang tak terbaca tersebut. 110

2. Bernuansa Hermeneutis

Terkait dengan hal ini, Roger Trigg menyatakan bahwa hermeneutika

merupakan suatu model pamahaman atau penafsiran terhadap teks tradisonalis

(klasik), di mana suatu permasalahan harus selalu diarahkan supaya teks selalu

dapat dipahami dalam konteks kekinian yang situasinya berbeda.111

Model

pembacaan hermeneutis rupaya menjadi trend di era kontemporer. Model

pendekatan hermeneutika ini akhirnya menjadi “menu alternatif” dalam kajian

ulama kontemporer sebagai rekonstruksi atas pendekatan pendekatan

pemahaman yang selama ini dianggap kurang memadai lagi untuk menjawab

tantangan zaman.

Kensekuensi dari digunakannya model pembacaan hermeneutis dalam

memahami al-Qur„ān adalah bahwa kita tidak lagi hanya mengandalkan

perangkat keilmuan klasik seperti yang digunakan oleh para ulama terdahulu,

seperti ilmu nahwu sharaf, ushul fiqh, dan balaghah, tetapi diperlukan juga

perangkat ilmu-ilmu lain seperti sosiolgi, antropologi, filsafat ilmu, dan

sejarah. Dengan demikian meminjam istilah Amin Abdullah-paradigma

interkoneksi-integrasi antara disiplin keilmuan dalam penafsiran menjadi suatu

hal yang niscaya.

3. Kontekstual dan Berorientasi pada Spirit al-Qur„ān

Salah satu karasteristik pemahaman al-Qur„ān di era kontemporer

adalah sifatnya yang kontekstual dan berorientasi pada semangat al-Qur„ān.

110 Ali Harb, Naqd an-Nashsh, (Bairut: al-Markaz ats-Tsaqafi, 1995), h. 2004-2005.

111 Dikutip dari Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina,

1996), h. 161)

Page 73: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

59

Hal ini dilakukan dengan cara mengembangkan dan bahkan tidak segan-segan

mengganti metode dan paradigma penafsiran lama. Jika metode penafsiran al-

Qur„ān yang digunakan oleh para ulama klasik-tradisonal adalah metode

analitik yang bersifat parsial maka tidak demikian halnya dengan para ulama

kontemporer yang menggunakan metode tematik (mawdhu‟i). Tidak hanya

itu, mereka juga menggunakan pendekatan interdisipliner dengan

memamfaatkan perangkat keilmuan modern, seperti filsafat bahasa, semantik,

simiotik, antropologi, sosiologi, dan sains.

Salah satu pernyataan yang selalu menjadi jargon para ulama

kontemporer berbunyi: al-Qur„ān itu abadi, namun penyajiannya selalu

kontekstual sehingga meskipun ia turun di Arab dan menggunakan bahasa

Arab, tetapi ia berlaku universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami

manusia.

Selain itu ulama kontemporer cenderung menegaskan bahwa nilai-nilai

universal yang mereka junjung adalah nilai kebebasan, kemanusiaan, keadilan,

dan kesetaraan. Nilai-nilai inilah yang ingin ditekankan oleh al-Qur„ān melalui

berbagai ayatnya. 112

Jika ayat-ayat al-Qur„ān itu dipahami secara literal,

parsial, dan sepotong-sepotong tentu saja nilai-nilai universal ini mustahil bisa

ditemukan, dan dimensi humanistik al-Qur„ān pun menjadi terabaikan.113

4. Ilmiah, Kritis, dan Non-Sektarian

Karasteristik lain dari pemikiran ulama kontemporer adalah

pemikirannya yang ilmiah, kritis, dan non-sektarian. Dikatakan ilmiah, karena

112

Lihat misalnya Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, ter. Farid

Wajdi dan Ciciek Farcha, (Yogyakarta: LSPPA, 1994) 113

Abdul Mustaqim dan Ahmad Baidlowi. “Paradigma Tafsir Kontemporer dan

Implikasinya dan Implikasinya terhadap Akseptabilitas Islam,” dalam Dinamika. Jurnal

Dialektika Peradaban Islam, No. 1, (Juli 2003), h. 8-9

Page 74: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

60

produk pemikirannya dapat diuji kebenarannya berdasarkan konsistensi

metodologi yang dipakai oleh ulama dan siap menerima kritik dari komunitas

akademik. Dikatakan kritis dan non sektarian kerena umumnya para ulama

kontemporer tidak terjebak pada kunkungan mazhab. Mereka justru mencoba

bersikap kritis terhadap pendapat-pendapat ulama klasik maupun kontemporer

yang dianggap sudah tidak kompatibel dengan era sekarang. Inilah salah satu

implikasi dari digunakannya metode hermeneutis dalam memahami teks al-

Qur„ān maupun teks-teks lainnya.

Dalam tradisi pemahaman al-Qur„ān yang menggunakan metode

hermeneutis selalu terjadi dialog komunikatif yang berimbang antara dunia

teks (the world of teks), dunia penulis (the world of author), dan dunia

pembaca (the world of reader). Artinya antara teks, konteks, dan

kontekstualisasi selalu berdialektika secara sirkular. Paradigma hermeneutika

selalu melihat teks secara kritis dan memposisikannya sebagai suatu yang

harus dibaca secara produktif. Inilah yang oleh Nasr Hamid disebut dengan

pemahaman ulama yang berangkat dari realitas (al-waqi‟) untuk mengungkap

apa yang ditunjukkan oleh teks yang hadir di masa lalu, untuk kemudian

kembali membangun signifikansi.

Pada bab ini penulis membahas nusyūz berdasarkan pemahaman ulama-

ulama kontemporer Indonesia, diantaranya: Quraish Shihab, Huzaemah T.

Yanggo, Husein Muhammad, Zaitunah Subhan, dan Musdah Mulia. Penulis

memilih ulama-ulama tersebut dengan pertimbangan berdarakan pemikiran

mereka yang progresif dan mencirikan pemikiran-pemikiran yang lahir di era

sekarang. Selain itu para ulama yang penulis sebutkan adalah ulama-ulama yang

Page 75: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

61

secara khusus membahas pembahasan nusyūz dalam karyanya seperti Quraish

Shihab dalam Tafsir Al-Misbah Kajian Surah an-Nisa‟:34, Husein Muhammad

dalam karyanya Fiqih Perempuan, Zaitunah Subhan dalam karyanya Tafsir

Kebencian, Musdah Mulia dalam karyanya Muslimah Reformis, dan Huzaemah T

Yanggo dalam karyanya Hukum Keluarga dalam Islam. Hal ini juga menguatkan

data penulis dikarenakan persoalan nusyūz yang penulis teliti adalah persoalan

nusyūz yang terkhusus cenderung menyudutkan perempuan. Dalam proses

penulisan skripsi ini, penulis juga melakukan wawancara kepada para ulama

tersebut untuk menguatkan argument mereka dalam pembahasan nusyūz yang

ditulis.

Berikut pemahaman para ulama kontemporer Indonesia terkait nusyūz dan

penyelesaiaanya.

1. Pemahaman Quraish Shihab

Quraish Shihab114

mengawali penafsirannya dalam ayat ini dengan

penjelasan singkat mengenai hubungannya dengan QS. al-Nisā‟ ayat 32, yaitu

tidak boleh berangan-angan pada keistimewaan atau kelebihan orang lain.

Karena Allah SWT menentukan fungsi masing-masing manusia dalam

masyarakat. Begitu pun ketentuan pembagian warisan yang telah dijelaskan

dalam al-Qur„ān.115

Tugas laki-laki untuk menafkahi perempuan telah menjadi kenyataan

umum dalam kehidupan masyarakat, yang ditunjukan dengan kata kerja

114

Dikenal sebagai seorang pelopor dalam bidang penafsiran Alquran era modern di

Indonesia. Karya-karyanya secara langsung terkait dengan pembahasan dalam Al-Qur„ān. Selain

Tafsir Al-Mishbāh, Al-Lubab, Tafsir Al-Qur„ān Al-Karim, Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil,

Wawasan Al-Qur‟an, Perempuan, dan masih banyak lainnya. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir

Indonesia, h. 82, -87, dan 108-109 115

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-

Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 2, h. 402

Page 76: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

62

lampau anfaqū dalam ayat ini. Quraish Shihab juga mengutip pendapat Ibn

Ḥazm yang menyatakan hal seperti menyediakan makanan dan menjahit

bukan kewajiban istri sebagai ibu rumah tangga, suami yang harus memenuhi

nafkah pakaian dan makanan jadi.116

Jika kepemimpinan suami dihadapi dengan nusyūz istri, yang mana

dalam hal ini Quraish Shihab memaknai nusyūz sebagai “keangkuhan dan

pembangkangan” terhadap suami sebagai kepala rumah tangga. Maka telah

disebutkan tiga macam cara mengatasinya; memberikan nasehat, menghindari

hubungan seks, dan memukul. Ketiganya dihubungkan dengan huruf “wau”

tetapi bukan bermakna berurutan, dibolehkan misalnya untuk menghindari

hubungan seks lebih dulu sebelum menasehati istri yang nusyūz. Sesuai makna

bahasa wahjurūhunna menolak berhubungan seks dengan istri harus

dimaksudkan untuk menunjukan ketidaksenangan terhadap perlakuan nusyūz

istri dan berusaha membuatnya bersikap baik kembali. Penolakan seks ini

tetap dibatasi di dalam kamar yang sama, hanya saja suami tetap tidur bersama

tanpa berhubungan seks, bercumbu, ataupun kata-kata manis.117

Dalam pemaparan di atas jelas bahwa Quraish Shihab mencoba

menghadirkan makna nusyūz sebagai salah satu pelanggaran yang dilakukan

oleh istri terhadap suami dengan beberapa pertimbangan yang hari ini bisa

dikatakan sudah berubah. Artinya hukum nusyūz bisa saja berubah dan bisa

jatuh pada suami ataupun istri.

Quraish Shihab juga mengungkapkan ketidaksetujuannya jika cara

“memukul” (meskipun dengan maksud mendidik) tidak relevan lagi pada

116

Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, vol. 2, h. 407-408 117

Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, vol. 2, h. 409-410

Page 77: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

63

masa ini. Ia menyebutkan “... pakar-pakar pendidikan masih mengakuinya

untuk kasus tertentu, bahkan di kalangan militer ...”. Sehingga bisa dipahami

maksud sebenarnya untuk membuat istri yang nusyūz jera.118

Hal ini justru

berbeda dengan kondisi sekarang di mana pemukuan bukan lagi cara tepat

untuk menyeesaikan persoalan rumah tangga, akan tetapi ruang dialog dan

penyeran ke pengadian menjadi alternatif baru. Bagaiamana pun al-Qur„ān

berusaha memberikan kemudahan bagi pembacanya dan menghilangkan

segala hal yang menyulitkan.

2. Pemahaman Huzaemah T. Yanggo

Khuzaemah menjelaskan surah al-Nisā‟: 34 terkait kedudukan laki-laki

yang lebih tinggi dari perempuan. Menurutnya, ayat ini mempertegas

pembagian tugas antara laki-laki selaku suami dan perempuan selaku isteri.

Tugas suami adalah melindungi, menjaga, membela, bertindak sebagai wali,

memberi nafkah, dll. Lain halnya dengan perempuan, ia justru mendapat

jaminan keamanan dan nafkah.

Sekilas terlihat kelebihan laki-laki dibanding perempuan. Namun

mereka tidak dibenarkan berlaku sewenang-wenang terhadap perempuan

(isteri). Begitu pula tidak dibenarkan bagi perempuan (isteri) meremehkan

kelebihan yang dimiliki laki-laki.

Masuk pada pembahasan nusyūz Huzaemah mengartikannya sebagai

pelanggaran terhadap perintah suami dalam konteks ajaran agama.119

118

Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, vol. 2, h. 410-412 119

Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga dalam Islam”, (Palu: Yamiba, 2013), Cet.1,

h. 34

Page 78: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

64

Contohnya melakukan atau memutuskan sesuatu secara sepihak, membakang

terhadap suami yang sebenarnya itu adalah tugas dan tanggung jawabnya. 120

Selanjutnya berkaitan dengan penjelasan nusyūz dalam surah al-Nisā‟

ayat 34 disebutkan bahwa Allah menyuruh memukul isteri dengan pukulan

yang tidak mencederai, jika dikhawatirkan nusyūz-nya. Bila masih tetap

nusyūz setelah dinasehati dan pisah ranjang atau tidak berbicara selama tiga

hari, menurut sebagian ulama yang dijadikan sebagai alasan salah satu dari

mazhab kedua yang mengatakan bahwa perempuan tidak sejajar dengan laki-

laki, Huzaemah berpendapat bahwa pada dasarnya Islam melarang memukul

perempuan. Di sini Allah memperbolehkan memukul yang tidak mencederai

karena darurat, yaitu untuk mendidik, sebagai cara untuk memperbaiki.

Apabila memukul itu membahayakan atau menyakiti, maka Islam tidak

memperbolehkan bahkan mengharamkannya. Memukul merupakan tahap

terkahir dari proses mendidik dan memperbaiki.

Adapun tahap pertama menasehati, yaitu mengingatkan tentang hak-

hak suami agar isteri takut kepada Allah SWT yang apabila berhasil, maka

suami tidak boleh meneruskan pada tahap yang kedua yaitu pisah tempat tidur

atau tidak menegur isteri selama tiga hari. Tahap pertama dan kedua ini

dilakukan agar isteri terdidik dan mengajarkannya sehingga isteri kembali

dewasa dan tidak melakukan Nusyūz lagi. Semua ini dilakukan demi

kemaslahatan isteri sehingga tidak terjadi talak. Apabila itu berhasil, maka

suami tidak boleh meneruskan pada tahap ketiga yaitu memukul. Memukul ini

merupakan alternative terkahir, yang menurut Syekh Abdullah ibn Ahmad al-

120

Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga dalam Islam”, (Palu: Yamiba, 2013), Cet.1,

h. 35

Page 79: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

65

Jalali dalam kitabnya Syubuhat fi Thariq al-Mar‟ah al-Muslimah fi al-Islam

bahwa arti memukul dalam ayat tersebut bukan memukul dalam arti yang

sebenarnya, tetapi untuk menakut-nakuti dan tidak menyakitkan.121

Setelah isteri telah kembali dari nusyūznya maka suami tidak boleh

mencari-cari alasan untuk mempersulit isterinya. Khuzaemah juga mengutip

pendapat Syekh Muhammad Abduh bahwa laki-laki teladan tidak pernah

memukul isterinya kendatipun disaat darurat.122

Berdasarkan penjelasan Khuzaemah terkait Nusyūz dan penjelasannya

dapat disimpulkan bahwa dalam surah al-Nisā‟ ayat 34 tidak menunjukkan

ketidak sejajaran perempuan dan laki-laki, tetapi justru mengisyaratkan

kedudukan mereka yang sama. Kalaupun ada perbedaan itu hanya akibat dari

fungsi utama masing-masing jenis kelamin, yang artinya tidak dibenarkan

suami (laki-laki) berlaku sewenang-wenang kepada perempuan termasuk

dalam kondisi Nusyūz dan penerapan penyelesaiannya.

3. Pemahaman Zaitunah Subhan

Zaitunah Subhan123

mengatakan QS al-Nisā‟ ayat 34 tidak secara

spesifik menjelaskan masalah kepemimpinan laki-laki atas istri, melainkan

masalah kekerasan suami.

“... artinya justru ditegaskan di dalam ayat inilah menegaskan bahwa

tidak ada sedikit pun toleransi melakukan kekerasan dalam rumah tangga apa

pun bentuknya ...”124

121

Syekh Abdullah ibn Ahmad al-Jalali, Syubuhat fi Thariq al-Mar‟ah al-Muslimah fi al-

Islam, terj. Judian Wahyudi Asmin dan Umi Bararah, (Pustaka al-Kautsar, 1993), Cet. II, h. 62 122

Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga dalam Islam”, (Palu: Yamiba, 2013), Cet.1,

h. 35 123

Lahir di Gresik, 10 Oktober 1950. Diketahui sebagai Staf Ahli Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan RI, dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karyanya terkait

bidang tafsir Al-Qur„ān adalah Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur‟an.

Page 80: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

66

Karenanya akan kurang tepat jika dijadikan sebagai dalil laki-laki

menguasai perempuan dan berwenang memukulnya. Seperti yang sering

terjadi dalam rumah tangga dengan konsep patriarki.

Menurut Zaitunah, istilah kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan

tergambarkan dalam ayat ini; laki-laki pemberi nafkah dan istri menjaga harta

milik suami. Karenanya, sejak awal pemakluman kepada otoritas suami secara

mutlak dalam konteks apa pun tidak dibenarkan. Akan terlalu berlebihan pula

menjadikan dasar hadis, “... Bangsa yang menyerahkan kepemimpinannya

kepada wanita tidak akan pernah mencapai kesejahteraan ...”.125

Terkait masalah nusyūz Zaitunah mengartikannya sebagai

“pembangkangan” istri terhadap suami yang ada kaitannya ada hubungan

manusia dengan Tuhannya. misalnya suami meminta istri untuk melakukan

hal-hal yang baik tapi istri menolak, seperti meminta sholat berpuasa dan lain-

lain. Adapun berhubungan penolakan seksual tidak bisa dijadikan alasan

penuh untuk menentukan istri nusyūz, dikarenakan hal ini bisa saja terjadi

dalam keadaan istri yang tidak memungkinkan. Adapun hubungannya dengan

isu gender, Zaitunah mengulang kembali pandangan bahwa istri objek nusyūz

adalah bagian dari budaya patriarki dalam sistem sosial masyarakat.126

“... Karena nusyūz merupakan salah-satu permasalahan gender.

Seringkali hanya dibebankan kepada perempuan padahal pada hakikatnya

laki-laki juga memiliki nusyūz. Nusyūz pada dasarnya adalah pembangkangan

istri terhadap perintah suami. Contoh istri disuruh sholat tidak mau. Namun

124

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta Selatan: el-

Kahfi, 2008), h. 96-104 125

Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur‟an,

(Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 101-113 126

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 289-294

Page 81: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

67

perlu dipahami pembangkangan disini adalah pembangkangan yang masih

dalam koridor agama, tidak dibenarkan perintah yang di luar perintah agama

...”127

Adapun penyelesaian nusyūz menurut Zaitunah Subhan adalah dengan

menasehati, jika nasehat tidak berefek baginya, maka tidak menggaulinya dan

yang terakhir adalah memukul. Meskipun begitu, dalam konteks nusyūz istri,

Zaitunah menegaskan untuk menghindari pemukulan terhadap istri dengan

melihat makna lain dari lafaz ḍaraba dengan menggunakan pemahaman

berbeda. Misalnya dengan lebih memahami watak atau tabiat (psikologis) istri,

sebelum melakukan pemukulan kepada istri yang nusyūz. Seperti diungkapkan

Hamka sebelumnya, perempuan/istri juga memiliki kepribadian yang berbeda-

beda, maka tidak pantas jika cara “memukul” harus di-generalisasikan untuk

semua perilaku nusyūz.

“... Kata ḍaraba dalam al-Qur„ān, itu memiliki banyak makna. Seperti

dalam ayat “waḍaraba mathalan kalimatan ṭayyibatan”, ayat lain “wayaḍribu

Allah amthāl”. Karena pada dasarnya kata dalam al-Qur„ān tidak „mono‟ akan

tetapi „multi‟-makna. Maka suami juga dituntut untuk memahami bagaimana

watak istrinya untuk menciptakan harmonisasi. Maka tidak akan terjadi

pemukulan . Hal lain yang seharusnya lebih ditekankan selain pemukulan

adalah mengajak istri untuk berdialog terutama mengenai peranan yang pas

dalam rumah tangga.”128

Dalam hal ini Zaitunah lebih menekankan bahwa ketika istri

mengalami nusyūz, salah satu yang harus menjadi pertimbangan untuk

127

Zaitunah Subhan, Wawancara, Ciputat, 2 agustus 2015 128

Zaitunah Subhan, Wawancara, Ciputat, 2 agustus 2015

Page 82: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

68

menerapkan pemukulan terhadapnya adalah faktor psikologis. Hal ini

diharapkan menghindari adanya perubahan psikis pada istri yang seharusnya

bisa merubah prilakunya menjadi lebih baik justru sebaliknya.

4. Pemahaman KH. Husain Muhammad

Husein Muhammad129

menekankan permasalahan nusyūz yang muncul

selama ini karena pemahaman literal terhadapnya. Seperti “penolakan,

pembangkangan, durhaka, pelanggaran komitmen perjanjian”. Yang terkait

dalam pemahamannya dengan hubungan seks.

“... Adapun bentuk dari nusyūz perempuan atau laki-laki itu berbeda.

Orang lebih hafal dengan nusyūz perempuan. Ayatnya jelas yaitu ayat yang

ada kaitannya dengan kepemimpinan perempuan. Nusyūz perempuan adalah

penolakan istri terhadap suami, yang sebetulnya hanya terkait pada hubungan

seks. Tetapi konsep nusyūz ini kemudian dikembangkan bukan hanya

berkaitan dengan hubungan seks akan tetapi banyak hal lain seperti keluar

rumah harus dengan izin suami jika tidak mereka akan terkena nusyūz ...”130

Adapun pemaknaan nusyūz yang cenderung tertuju pada istri tersebut

dikarenakan adanya pemahaman yang tertanam dalam benak masyarakat dan

menghubungkannya dengan posisi perempuan sebagai istri dengan segala

perangkat dogma patriarki, sesuai dengan penjelasan penafsiran di

pembahasan sebelumnya yang memberikan pemaknaan nusyūz bukan saja

penolakan pada hubungan seksual tapi memiliki makna lain yaitu keluar

rumah tanpa izin suami, dan lain-lain.

129

Husain Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Daarut Tauhid Cirebon. Wawancara

dilakukan di Hotel Gatot Subroto Jakarta, 28 Juni 2016, 16:32 WIB 130

Husain Muhammad,Wawancara, Jakarta, 28 Juni 2016

Page 83: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

69

Penolakan yang dimaksud oleh Husein Muhammad dalam pembahasan

nusyūz ini dikaitkan pada sikap-sikap yang tidak disenangi/mengecewakan

suami. Dimana saat hal ini terjadi istri mendapatkan perlakuan berupa dipisahi

dari tempat tidurnya, tidak diajak bicara, dan bisa menerima pukulan. Hal

inilah yang kemudian telah mengesampingkan peran perempuan yang

hakikatnya sejajar dengan suami.131

Hal lain yang diungkapkan oleh Husein Muhammad adalah

menjelaskan bahwa penyebab adanya dominasi suami dalam rumah tangga itu

dikarenakan peran menafkahi yang secara penuh diberikan kepada suami

sehingga dia berhak untuk mengatur istri bahkan sebagai pemilik istri. Hal ini

dijelaskan dalam wawancara dengannya :

“...Selanjutnya laki-laki difungsingkan sebagai orang yang akan

memenuhi nafkah dan mendikotomi ruang publik, dan perempuan adalah

pemegang domestik. Maka akan muncul konsekuensi ketika suami wajib

mencari nafkah seutuhnya maka istri berkewajiban memberikan tubuhnya.

Apabilah suami tidak memberi nafkah, maka suami nusyūz dan apabila istri

tidak memberikan tubuhnya maka istri nusyūz. karena bisa jadi suami akan

tunduk pada perempuan dikarenakan perempuan adalah pemilik seks atau

sebaliknya, uang yang mendominasi ....”132

Selanjutnya dalam menyelesaikan nusyūz Husein Muhammad

memberikan pandangannya bahwa ketika istri nusyūz, hal pertama yang

dilakukan adalah menasehati istri tersebut dengan cara yang baik, sembari

melakukuan rekonsiliasi terhadap peranan dalam rumah tangga, selanjutnya

131 Husain Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender,

(Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 7-11 132

Husain Muhammad,Wawancara, Jakarta, 28 Juni 2016

Page 84: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

70

ketika hal tersebut belum memberikan dampak maka jangan diajak tidur

seranjang, yang dimaksudkan untuk menyadarkannya atau meberikan teguran

secara mendalam. Selanjutnya yang menjadikan penafsiran Husein

Muhammad berbeda dengan ulama Nusantara dari kalangan progresif yang

penulis bahsa sebelumnya adalah menolak pemukulan. hal tersebut

diungkapkan dalam wawancara.

“Dalam Hadis Nabi Saw. mengatakan (la taḍribu imā‟a Allah)

janganlah kamu memukul hamba-hamba Allah yang perempuan, dan sebaik-

sebaik laki-laki adalah yang tidak memukul istrinya. Pertanyaannya apakah

memukul hari ini masih efektif? kan tidak. Maka dari itu mendidik perempuan

hari ini tidak lagi dengan memukul. Maka alternatif yang saya tawarkan jika

terjadi nusyūz yang berkelanjutan adalah pengadilan ...”133

Menurutnya pemukulan hari ini tidak lagi efektif, dikarenakan kondisi

perempuan yang hari ini sudah maju, dan pengakuan masyarakat terhadap

peran perempuan dalam ruang publik yang akhirnya sama dengan keadaan

laki-laki pada umumnya. Sehingga tidak pas jika pemukulan tersebut

digeneralsir untuk semua perempuan atau istri. Karenanya Husein Muhammad

menawarkan solusi lainnya dalam bentuk pengajuan ke pengadilan untuk

menyikapi istri nusyūz setelah teguran nasihat tidak lagi diindahkan oleh istri

yang nusyūz.

5. Pemahaman Musda Mulia

Dalam membahas surah al-Nisā‟:34, Musdah mengawali pembahasan

tentang “Kepemimpinan Perempuan” dalam Muslimah Reformis, Musdah

133

Husain Muhammad, Wawancara, Jakarta, 28 Juni 2016

Page 85: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

71

Mulia134

menuliskan catatan yang terjadi dalam Kongres Umat Islam

Indonesia ke-2, November 1998. Di dalamnya pernah dibahas pula perbedaan

pendapat tentang eksistensi perempuan sebagai pemimpin. Salah satu dalil

argumennya adalah QS. al-Nisā‟ ayat 34.135

Musdah berpandangan dalam kongres tersebut terlihat jelas

penggunaan/pemaknaan ayat al-Qur„ān yang ditafsirkan bias gender. Karena

istilah-istilah yang menyudutkan perempuan pun diungkapkan, seiring dengan

dalil al-Qur„ān dan hadis. Terlebih konteks pemanfaatannya jelas menomor-

duakan pendapat perempuan dalam kongres tersebut.136

Pada kritikannya tentang pasal 80 ayat 7, dan pasal 84 dalam

Kompilasi Hukum Islam. Musdah menegaskan.

“... Secara harfiah nusyūz adalah membangkang atau tidak tunduk pada

Tuhan. Di antara perintah Tuhan adalah keharusan untuk tidak menyakiti hati

sesama manusia, apalagi menyakiti hati pasangan yang pada prinsipnya

merupakan belahan jiwa kita. Karena itu menyakiti hati istri atau suami, baik

melalui ucapan maupun perbuatan adalah nusyūz ...”137

Nusyūz dalam pandangan Musdah Mulia bukan saja membangkang

terhadap perintah suami, melanggar aturan/larangan darinya seperti keluar

rumah tanpa izin suami, tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan lain-lain.

Terlebih hanya sebatas pada permasalahan seksual yang kemudian terjadi

pemukulan dan akhirnya mengalami KDRT, namun nusyūz adalah prilaku

134

Siti Musdah Mulia, lahir di Bone, Sulawesi Selatan, pada 3 Maret 1958. Pernah

menjabat sebagai Ketua Indonesian Conference on Relgion and Peace (ICRP), dan Direktur LKAJ

(Lembaga Kajian Agama dan Jender). 135

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung:

Misan, 2005), h. 292-294 136

Musdah Mulia, Muslimah Reformis, h. 298-301 137

Siti Musdah Mulia, Ketua IRCP, Wawancara, Jakarta, 12 januari 2016

Page 86: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

72

yang menolak kepada ajakan pasangan untuk berbuat kebaikan. Contohnya:

menolak untuk diajak ibadah, dan kebaikan-kabaikan dalam ajaran agama.

Adapun dalam penyelesaian nusyūz menurut Musda adalah dengan Nasehat,

pisah ranjang dan yang terakhir adalah musyawarah antara suami istri. Musda

menghilangkan pemukulan dalam penyelesaian nusyūz, menurutnya hal ini

tidak efektif karena hanya akan menimbulkan masalah baru, contohnya

KDRT. Dalam wawancara Musda menjelaskan:138

“... Pertanyaannya, mengapa dipilih makna memukul, bukan makna

yang lain? Artinya, terjemahan ayat itu saja sudah mengandung bias

kepentingan. Kepentingan siapa yang dibela di sana? Itu yang harus kita

pahami ...”139

Kepentingan untuk menegaskan makna “memukul” sebagai hal yang

benar dalam menindak istri tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Musdah.

Pernyataan lain justru diungkapkan untuk menghindari makna pemukulan

tersebut dengan maksud menghindarkan kekerasan dalam rumah tangga.

“Kenapa kita tidak menghindari memukul yang nantinya akan

menimbulkan masalah baru. Berilah nasehat yang mendalam dengan jalan

musyawarah”140

Musyawarah dalam arti memperbaiki hubungan antara suami-istri

dengan tetap menjunjung prinsip keharmonisan dalam rumah tangga.

“... Satu hal yang ingin saya katakan ketika berbicara mengenai

nusyūz, bahwa kita tidak bisa memahami nusyūz dengan baik tanpa memahami

terlebih dahulu hakikat perkawinan dalam Islam. Kita harus memahami

138 Siti Musdah Mulia, Ketua IRCP, Wawancara, Jakarta, 12 januari 2016

139 Siti Musdah Mulia, Sekjen IRCP, Wawancara, Jakarta, 12 januari 2016

140 Siti Musdah Mulia, Sekjen IRCP, Wawancara, Jakarta, 12 januari 2016

Page 87: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

73

dengan baik hakikat perkawinan dalam Islam. Baru setelah itu, kita masuk

pada persoalan rumah tangga lainnya, seperti nusyūz ini ...”141

Menurut Musdah pembolehan pemukulan terhadap istri hanya

menimbulkan kerugian pada istri yang berujung pada kekerasan dalam rumah

tangga. yang jelas-jelas hal tersebut sangat berbeda dengan prinsip pernikahan

dengan dalam islam yang menjunjung tinggi musyawara sehingga

terbinanhnya rumah tangga yang mawaddah dan warahmah. Selain Itu hukum

pemukulan terhadap istri sudah dilarang oleh undang-undang PKDRT yang

berbunyi:

“Segala bentuk kekerasan, terutama kekeasan dalam rumah tangga,

merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

kemanusian serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.”142

Maka dari sini bisa disimpulkan bahwa Musda tidak sepakat dengan

adanya pemukulan dan memilih alternatif Musyawarah untuk menyelesaikan

setiap permasalahan rumah tangga.

B. Analisis Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyūz dan

Penyelesaiannya dalam Surah al-Nisā’: 34

Dalam memaparkan pandangan para ulama kontemporer di atas telah

memberikan deskripsi mengenai pemahaman mereka terkait pembahasan nusyūz

dan penyelesaiannya yang penulis angkat dalam penulisan skripsi ini.

Namun perlu diketahui bahwa hasil dari pemahaman mereka sangat

tergantung pada latar belakang pemikirian mereka sebagai ulama kontemporer

yang memiliki pola yang cenderung menginginkan perubahan atas tafsir-tafsir

141 Siti Musdah Mulia, Sekjen IRCP, Wawancara, Jakarta, 12 Januari 2016

142 Undang-undang PKDRT pasal 1 no 23 tahun 2014 tentang penghapusan kekerasan

dalam rumah tangga.

Page 88: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

74

sebelumnya dan berusaha menyajikan pemahaman teks sesuai dengan kondisi

masyarakat hari ini. Seperti dalam pemaparan Abdul Mustaqim terkait kriteria

dari ulama kontemper yang terdiri dari: menjadikan al-Qur „ān sebagai petunjuk,

bernuansa hermeneutis, kontekstual, dan berorientasi pada sprit al-Quran, ilmiah

dan non sektarian.

Masuk kepada pembahasan nusyūz, dimulai dari pemaknaan. Hampir dari

semua ulama kontemporer Indonesia yang penulis angkat, memaknai nusyūz

sebagai penolakan istri untuk melakukan hubungan seksual, bersikap sombong

dan berubahnya sikap istri dari yang lembut menjadi kasar atau semisalnya dan

hilangnya tanggung jawab dari seorang istri terhadap suaminya. sedangkan dia

dalam kondisi sehat walafiat dan mampu, seperti yang dijelakan oleh KH. Husein.

Namun hal lain juga terlihat dalam penafsiran Musdah Mulia dalam memaknai

nusyūz sebagai sikap melawan /tidak taat kepada Allah SWT yang itu bisa saja

terjadi pada pasangan suami maupun istri. Seperti menolak untuk diajak beribah

kepada Allah, menyakiti hati pasangan dan tidak menghargai satu sama lain.

Artinya nusyūz bisa terjadi pada pasangan suami maupun istri. 143

Hal ini sebanarnya berbeda dengan pemahaman ulama klasik-tradisionalis,

di mana ulama klasik memberikan definisi nusyūz sebagai pelanggaran istri

terhadap perintah suami, seperti menolak berhubungan seksual, keluar rumah

tanpa izin suami, menolak berhias dan lain-lain. Kemudian pembahasan nusyūz

biasanya cenderung ditujukan kepada istri. Maka dari itu para ulama kontemporer

mencoba memahami nusyūz dari perspektif lain dengan mempertimbangkan

kondisi saat ini. Contohnya larangan keluar rumah tanpa izin suami oleh ulama

143

Lihat penjelasan halaman 53-59

Page 89: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

75

kontemporer Husein Muhammad, menghilangkan larangan tersebut dan

menganjurkan untuk mengkomunikasikan satu sama lain antara suami dan istri.

Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani pemahaman teks agar bisa di terapkan

di era sekarang, dengan melihat kondisi perempuan yang hari ini telah memiliki

akses sama dengan laki-laki.

Selanjutnya, yang menjadi pembahasan dalam permasalahan nusyūz

adalah penyelesaian dari nusyūz itu sendiri. Di mana untuk kategorisasi dalam

penetapan istri nusyūz, secara keseluruhan ulama kontemporer Indonesia

menetapkan nusyūz, jika hal tersebut sudah terlihat jelas.

Untuk penyelesaian nusyūz, Seperti yang tertera dalam penjelasan teks al-

Qur„ān surah al-Nisā‟: 34, bahwa saat terjadi prilaku nusyūz oleh istri maka ada

tiga tahapan yang bisa ditempuh. Pertama, memberikan nasihat, kedua tidak tidur

satu ranjang, dan ketiga boleh dipukul. Kalangan ulama kontemporer mencoba

memberikan pemahaman lain terkait dharaba dengan memaknainya bukan hanya

pemukulan melainkan nasehat mendalam dan cenderung menghilangkan

pemaknaan boleh memukul dikarenakan di khawatirkan justru menimbulkan

masalah baru yaitu KDRT.

Misalnya Qurais shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pemukulan

tidak lagi relevan, dan memberikan pilihan efektif dalam menyelesaikan

nusyūznya sesuai dengan cara yang relevan dengan catatan mampu memberikan

efek yang lebih baik dan tidak adanya KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga).

Huzaemah T. Yanggo yang memberikan penjelasan bahwa daraba lebih tepat

untuk dimaknai sebagai contoh, artinya memberikan contoh kepada istri untuk

meruba sikap nusyūznya. Selanjutnya Husein Muhammad memberikan

Page 90: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

76

rekomendasi untuk menyerahkan permasalahnnya ke pengadilan jika nasehat dan

pisah ranjang sudah tidak lagi bisa menyelesaiakan. Zaitunah dan Musdah Mulia

memilih untuk membuat rekonsiliasi terkait peran dan tanggung jawab dalam

berumahtangga sehingga peran masing-masing bisa dimengerti.

Pendekatan penafsiran kontekstual oleh ulama kontemporer, misalnya

Quraish Shihab yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk

menyelesaikan nusyūz istri dengan catatan tidak ada KDRT dan bisa

mendatangkan kemaslahatan. Huzaimah T. Yanggo memaparkan peran

perempuan yang sama dengan laki-laki, yang secara tidak langsung memiliki

otoritas dalam setiap keputusan dalam rumah tangga sama dengan laki-laki.

Begitu juga keleluasan dan pembagian peran yang merata antara istri dan

perempuan yang dihasilkan dari pembacaan terhadap fenomena dalam kehidupan

masyarakat kontemporer. Hal ini untuk meninjau perubahan kondisi yang terjadi

di masyarakat, dimana peran perempuan dan laki-laki sama dalam ruang domestik

dan publik.144

Hal ini dimaksudkan oleh agar perselisihan dalam rumah tangga

bisa diselesaikan dan kekerasan dalam rumah tangga bisa di hapuskan. Mengingat

hal ini sebanarnya sudah diatur dalam undang-undang PKDRT (Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga).

Selanjutanya hal yang mencirikan pemahaman ulama kontemporer di sini

adalah pemahaman mereka yang ilmiah dan non sektarian. Hal ini jelas terlihat di

mana para ulama yang penulis teliti tidak terikat oleh satu golongan mazhab

tertentu.

144

Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 17-19

Page 91: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

77

Tabel Pemahaman Ulama Kontemporer tentang Nusyūz dalam Surah al-Nisā’: 34

NO Nama Ulama Pemahaman Nusyūz Penyelesaiannya Nusyūz Karasteristik Pemahaman

1. Quraish Shihab Nusyūz adalah

keangkuhan dan

pembangkangan

terhadap suami sebagai

kepala rumah tangga.

Memberikan nasehat, menghindari

hubungan seks, dan Quraish Shihab

menyatakan ketidak setujuannya

terhadap opsi ketiga yaitu

pemukulan, karena dianggap sudah

tidak relevan lagi. Namun Quraish

Shihab menyerahkan cara opsi ketiga

ke masyarakat dengan catatan tidak

menimbukan kekerasan dalam rumah

tangga tentunya mendatangkan

kemaslahatan bersama serta bisa

memperbaiki hubungan suami istri.

- Bersifat memposisikan al-Qur„ān sebagai petunjuk

adalah Memberikan penjelasan mengenai maksud

nusyūz dalam al-Qur„ān, seperti memaknainya

dengan nusyūz adalah keangkuhan dan

pembangkangan terhadap suami sebagai kepala

rumah tangga.

- Bernuansa Hermeneutis adalah upaya Quraish

Shihab membaca perubahan sosiologis dari

perempuan dan laki-laki yang mana keduanya

memiliki ruang yang sama dalam kiprahnya di

pablik dan domestik sehingga permasalahan peran

rumah tangga bisa diselesaikan dengan

kesepakatan bersama.

- Kontekstual dan berorientasi pada spirit al-Qur„ān

termuat dalam penjelasan Quraish Shihab yang

memberikan keleluasaan dalam memilih

menyelesaikan nusyūz istri selama hal tersebut

relevan dan mampu memperbaiki hubungan suami

istri.

- Ilmiah dan non sektarian terlihat dalam

penjelasannya yang menggunakan ilmu bahasa

Arab dalam menjelaskan penyelesaian nusyūz

selain itu Quraish Shihab dalam memberikan

pemahaman tidak terikat dalam satu mazhab

tertentu.

2. Huzaemah T. Yanggo Nusyūz adalah Memberikan nasehat secara - Menjadikan al-Qur„ān sebagai petunjuk terlihat

dari pemaparan Huzaimah T. Yanggo yang

Page 92: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

78

pelanggaran terhadap

perintah suami dalam

konteks ajaran agama.

Contohnya melakukan

atau memutuskan

sesuatu secara sepihak,

membakang terhadap

suami yang sebenarnya

itu adalah tugas dan

tanggung jawabnya.

Namun lebih lanjut

Huzaemah T. Yanggo

juga menjelaskan bahwa

pada dasarnya nusyūz

bisa terjadi bukan saja

kepada istri, akan tetapi

juga bisa terjadi kepada

suami yang tidak

menunaikan

kewajibannya.

mendalam, tidak tidur dalam satu

ranjang atau tidak mengajak

berbicara selama 3 hari dan yang

terakhir memukul, tapi dengan

catatan tidak secara fisik, namun

menggunakan alternatif lain.

Contohnya dengan berdialog

kembali tentang peran suami isteri.

menjelaskan makna nusyūz. Dia memaknai nusyūz

sebagai pelanggaran terhadap perintah suami

dalam konteks ajaran agama.

- Bernuansa Hermeneutis oleh Khuzaima T.

Yanggo di sini dijelaskan dalam pendekatannya

memahami kondisi peran suami dan istri yang

cenderung sama dalam wilayah publik dan

domestik, sehingga permasalahan rumah tangga

pun bisa diselesaikan dengan berdialog antara

suami dan istri.

- Kontekstual dan berorientasi pada semangat al-

Qur„ān terlihat dalam penjelasannya mengenai

setiap laki-laki memiliki kelebihan masing-

masing, namun bukan berarti hal ini dijadikan alat

untuk berlaku kesewenang-wenangan antara satu

sama lain. Dan saat nusyūz terjadi dianjurkan

untuk menghadirkan ruang dialog untuk

mebicarakan kembali tentang peran suami istri.

- Ilmiah dan non sektarian, di mana Huzaemah T.

Yanggo tidak terfokus pada satu mazhab dan

secara ilmiah menjelaskan bahwa memang

terdapat pembolehan dalam pemukulan akan tetapi

tidak boleh mencedarai artinya lebih tidak,

terlebih mengingatkondisi sosial terkait peran

suami dan istri yang sama dalam wilayah publik

dan domestik.

3. Zaitunah Subhan Nusyūz adalah

pembangkangan” istri

terhadap suami yang ada

kaitannya dalam

Menasehati, jika nasehat tidak ada

pengaruh baginya, maka tidak

menggaulinya dan yang terakhir

adalah memukul. Namun baginya

- Manjadikan al-Qur„ān sebagi petunjuk terlihat

dalam pandangan Zaitunah Subhan dalam

memaknai nusyūz sebagai pembangkangan” istri

terhadap suami yang ada kaitannya dalam

Page 93: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

79

hubungan manusia

dengan Tuhannya.

Misalnya suami

meminta istri untuk

melakukan hal-hal yang

baik tapi istri menolak.

seperti meminta sholat,

berpuasa dan lain-lain.

memukul tidak lagi dianjurkan

dengan mempertimbangkan

psikologis istri.

hubungan manusia dengan Tuhannya. Misalnya

suami meminta istri untuk melakukan hal-hal yang

baik tapi istri menolak. Seperti meminta sholat,

berpuasa dan lain-lain.

- Bernuansa Hermenetius jelas dalam metode yang

digunakan oleh Zaitunah yang menerapkan

keilmuan psikologi dalam memprtimbangkan efek

yang terjadi pada perempuan jika dilakukan

pemukalan oleh suami terhadapnya.

- Berorientasi pada spirit al-Qur„ān jelas terlihat

saat Zaitunah Subhan menjelaskan bahwa

kedudukan suami dan istri memiliki derajat yang

sama di hadapan Allah.

- Ilmiah dan non sektarian terlihat dari caranya

menjelaskan bahwa nusyūz tidak hanya terjadi

pada perempuan akan tetapi suami juga demikian.

Selain itu Zaitunah Subhan tidak terpaku pada satu

mazhab dalam memaparkan pemahamannya

mengenai nusyūz.

4. Husein Muhammad Nusyūz adalah

penolakan istri terhadap

suami dalam hal

hubungan seksualitas.

Menasehati istri yang sedang nusyūz

dan kembali melakukan rekonsiliasi

terkait peran rumah tangga.

Selanjutnya Husein Muhammad

berpandangan bahwa memukul tidak

efektif lagi dilakukan. Maka jika

prilaku nusyūz istri masih berlanjut

maka serahkan penyelesainnya ke

pengadilan.

- Menjadikan al-Qur„ān sebagai petunjuk terlihat

saat Husein Muhammad menjelaskan ayat tentang

nusyūz.

- Bernuansa Hermeneutis di sini dijelaskan bahwa

metode yang digunakan oleh Husain Muhammad

dalam menjelaskan nusyūz perempuan yaitu sosio-

historis di mana pada zaman klasik perempuan

dikatakan nusyūz saat keluar rumah itu karna

peran yang diterimahnya masih seputar peran

domestik, namun sekarang berbeda. Di mana

perempuan dengan bebas mengambil perannya.

Page 94: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

80

- Spirit al-Qur„ān tentunya termuat dalam

penjelasannya yang menginginkan kesetaraan

sesuai dengan pemberitaan al-Qur„ān bahwa laki-

laki dan perempuan sama di hadapan Allah SWT,

yang membedakan hanya amalannya. Hal itu pun

yang diterapkan saat melihat kedudukan suami

dan istri.

- Ilmiah, di mana Husein Muhammad melakukan

pendekatan feminism dalam melihat peranan

perempuan. adapun non sektarian, Husein

Muhammad tidak memaparkan pemahamannya

terhadap satu mazhad dan pada satu kajian tertentu

seperti kajian feminism yang dia geluti.

5. Musdah Muia Nusyūz adalah

membangkang atau tidak

tunduk pada Tuhan. Di

antara perintah Tuhan

adalah keharusan untuk

tidak menyakiti hati

sesama manusia, apalagi

menyakiti hati pasangan

yang pada prinsipnya

merupakan belahan jiwa.

Melakukan nasehat yang mendalam,

pisah ranjang dan yang terakhir

adalah musyawarah antara suami dan

istri.

- Menjadikan al-Qur„ān sebagai petunjuk terlihat

saat Musdah Mulia mencoba memaparkan maksud

nusyūz dari surah al-Nisā‟: 34.

- Bernuansa Hermenetius terkait dengan

pendekatannya yang cenderung menggunakan

teori feminism dalam memaparkan

pemahamannya terkait nusyūz dalam surah al-

Nisā‟: 34. Seperti memaknai nusyūz sebagai

pelanggaran terhadap Allah bukan terhadap

Suami.

- Kontekstual, terlihat dari pemahamannya yang

memaparkan sesuai dengan kondisi suami dan istri

di era sekarang, di mana laki-laki bukan lagi

sebagai pencari nafkah utama melainkan istri pun

mengemban hal itu. Artinya setiap kebijakan yang

dihasilkan dalam rumah tangga harus sesuai

keputusan kedua belah pihak suami dan istri.

Page 95: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

81

Opsi ketiga, yaitu kata “daraba” diartikan dengan

berkomuniaksi yang sehat atau bermusaywarah

antara suami dan istri.

- Ilmiah dan non sektarian, menghadirkan

argumentasi bahwa pemukulan terhadap pasangan

yang sedang nusyūz harus dihilangkan

dikarenakan hadirnya Undang-Undang PKDRT

no.23 tahun 2004. Non sektarian, terlihat dari

pemahamannya yang tidak terpengaruh oleh satu

mazhab tertentu.

Page 96: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

73

Page 97: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

82

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan skripsi ini menunjukkan bahwa secara umum ulama

kontemporer Indonesia memiliki pemahaman yang sama tentang makna nusyūz.

Nusyūz dipahami dengan pelanggaran atau pembangkangan yang dilakukan oleh

istri kepada suami. Pemahaman seperti ini dikemukakan oleh Quraish Shihab,

Huzaemah T. Yanggo, Zaitunah Subhan, dan Husein Muhammad. Sedangkan

Musdah Mulia memahami nusyūz dengan pelanggaran dalam pernikahan yang

dilakukan oleh pasangan, baik istri maupun suami.

Penyelesaian nusyūz menurut kelima ulama kontemporer Indonesia

menunjukkan bahwa pemukulan bukanlah salah salah cara menyelesaikan nusyūz.

Lebih jelasnya adalah sebagai berikut:

1. Quraish Shihab. Memberikan nasehat, menghindari hubungan seks, dan pada

dasarnya Quraish Shihab tidak lagi setuju dengan adanya pemukulan,

dikarenakan hal ini tidak lagi relevan diterapkan mengingat pemukulan hari

ini akan selalu berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

2. Huzaemah T Yango. Menyelesaikan nusyūz tiga tahapan, yang Pertama

Memberikan nasehat, nasehat yang diberikan adalah nasehat yang mendalam,

tidak tidur dalam satu ranjang atau tidak mengajak berbicara selama 3 hari dan

yang terakhir memukul, tapi dengan catatan tidak secara fisik, namun

menggunakan alternatif lain. Contohnya dengan berdialog kembali tentang

peran suami isteri.

Page 98: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

83

3. Zaitunah Subhan. Menasehati, jika nasehat tidak ada pengaruh baginya, maka

tidak menggaulinya. Untuk alternatif berikutnya Zaitunah Menghindari

pemukulan dengan argumentasi kajian psikologis. Di mana banyak penelitian

yang menyebutkan bahwa pemukulan pada isteri tidak akan memperbaiki

keadaan dalam kasus-kasus tertentu, justru akan lebih memperburuk suasana

dan menimbulkan masalah. Maka jalan satu-satunya adalah duduk kembali

dan melakukan rekonsiliasi terkait peran antara suami dan isteri.

4. Husein Muhammad. Menasehati istri yang sedang nusyūz dan kembali

melakukan rekonsiliasi terkait peran rumah tangga. Selanjutnya Husein

Muhammad berpandangan bahwa memukul tidak efektif lagi dilakukan. Maka

jika perilaku nusyūz istri masih berlanjut maka serahkan penyelesaiannya ke

pengadilan.

5. Musdah Mulia. Melakukan nasehat yang mendalam, pisah ranjang dan yang

terakhir adalah musyawarah antara suami dan isteri.

B. Saran

Penulis menyarankan akademisi lainnya yang ingin meninjau

permasalahan nusyūz dalam lingkup pemahaman ulama kontemporer lebih

membahasnya dalam cakupan luas. Dimana menghadirkan dan membandingkan

pemahaman ulama Kontemporer yang berasal dari Indonesia dan juga pemahaman

ulama kontemporer yang berasal dari luar Indonesia. Selain itu membahas ayat-

ayat nusyūz lainnya selain surah al-Nisā’: 34, seperti al-Baqarah ayat 128.

Page 99: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

79

DAFTAR PUSTAKA

Buku Rujukan

Abdurrahman, Khalid al-`Ak. Uṣūl Al-Tafsīr wa Qawā`iduhu. Damaskus: Dār al-

Nafa‟is. 1986.

Al-Baiḍawi, Nāṣir al-Dīn. Anwār Al-Tanzīl Wa Asrār Al-Ta’wīl. Beirut: Dār Iḥyā‟

al-Turāth. 1418 H.

Bauer, Karen. Gender Hierarchy in The Qur’ān: Medieval Interpretations,

Modern Responses. New York: Cambridge University Press. 2015.

Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Sahih Al-Bukhari. Beirut: Dār al-Fikr. 1420

Al-Dhahabi, Husein. Tafsīr Wa Al-Mufassirūn. Mesir: Maktabah Wahbah. tt.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Qur,an

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermenetik hingga

Ideologi.Yogyakarta: LKIS. 2013.

Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Panjimas. 1983.

Hasan, Hamka. Metodologi Penelitian Tafsir Hadis. Jakarta: Lembaga Penelitian

UIN Syarif Hidayatullah. 2008.

Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Sarasin. 1996.

Lexy S, Moloeng. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya. 1988.

Al-Maḥalli, Jalāl al-Dīn, dan al-Suyūṭi, Jalāl al-Dīn. Tafsīr Al-Jalālain. Mesir:

Dār al-Ḥadīth. tt.

Marhijanto, Kholilah. Menciptakan Keluarga Sakinah. Surabaya: Bintang Pelajar.

Tth. Cetakan Pertama.

Mernissi, Fatima. Setara di Hadapan Allah. Yogyakarta: LSPPA. 2000.

Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN Malang.

2008.

Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan

Gender. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang. 2001.

Mulia, Musdah. Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Megawati Institute.

2014. Cetakan Pertama.

_______. Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan. Bandung:

Misan. 2005.

Page 100: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

80

Muqbil bin Hadi. Shohih Asbabun Nuzul. Agung Wahyu (pen.). Depok: Meccah.

2006.

Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS, 2010.

Mustofa, Bisri. Al-Ibrīz Li-Ma`rifah Tafsīr Al-Qur’an Al-`Azīz. Kudus: Menara

Kudus. 1960.

Al-Naisaburi, Muslim ibn al-Ḥajjāj. Sahih Muslim. Beirut: Dār al-Fikr. 2003

Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. Penelitian Terapan.Yogyakarta: Gajah Mada

University Press. 1996.

Nawawi, Muhammad ibn Umar al-Bantani. Marāḥ Labīd li-Kashfi Ma`ná Al-

Qur’ān Al-Majīd, M. Amin al-Ṣanawi (muhaqqiq). Beirut: Dār al-Kutub

al-`Ilmiyah. 1417 H.

_______. Sharḥ `Uqūdu-l-Lujain Fi Bayān Ḥuqūq Al-Zaujain. Sangapura: Al-

Haramain. tt.

Parvez, Ahmad. Matalib Al-Furqān Fi Durūs Al-Qur’an. Lahore: 1979.

Al-Qurṭubi, Muhammad ibn Ahmad. Al-Jāmi` Li-Aḥkām Al-Qur’ān Tafsīr Al-

Qurṭubi. Ahmad & Ibrahim (tahqiq). Mesir: Dār al-Kutub al-Miṣriyah.

1964.

Rahman, Fazlur. Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition.

London: University of Chicago Press. 1984

Al-Razi, Muhammad ibn Umar. Mafātiḥ Al-Ghaib Tafsīr Al-Kabīr. Beirut: Dār

Iḥyā‟ al-Turāth. 1420 H.

Rianse, Usman. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Bandung:

ALFABETA CV. 2008.

Ridha, Rashid. Tafsīr Al-Qur’ān Al-Ḥakīm Tafsīr Al-Manār. Mesir: al-Hai‟ah al-

Miṣriyah al-`Āmmah. 1990.

Al-Ṣābūni, Muhammad Ali. Ṣafwah Al-Tafāsīr. Mesir: Dār Al-Ṣābūni. 1417

H/1997

_______. Rawāi` Al-Bayān Tafsīr Ayāt Al-Aḥkām Min Al-Qur’ān. Beirut:

Mu‟assasah Manāhil al-`Irfān. 1980.

_______. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Mu‟ammal Hamidy &

Imron Manan (pen.). Surabaya: Bina Ilmu. 1983.

Saeed, Abdullah. Interpreting The Qur’ān Towards A Contemporary Approach.

New York: Routledge. 2006.

Salam, Abdul. Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporer. Jawa Timur: AL IZZAH.

1997.

Page 101: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

81

Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan. 1992

_______. Tafsir Al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta:

Lentera Hati. 2002.

Al-Sinkel, Abdul Ra‟uf. Tarjumān Al-Mustafīd. Beirut: Dār al-Fikr. Tt.

Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta Selatan:

el-Kahfi. 2008.

_______. Rekonstruksi Pemahaman Gender Dalam Islam. Jakarta Selatan: el-

Kahfi. 2002.

_______. Tafsir Kebencian : Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.

Yogyakarta: LkiS. 1999

Suharsini, Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta. 2002.

Sulaiman, Abu Daud Al-Sijistāni. Sunan Abi Daud. Riyadh: Bait al-Afkār. 1420

H

Al-Ṭabari, Muhammad Ibnu Jarīr. Jāmi` Al-Bayān Fi Ta’wil Al-Qur’ān. Ahmad

Shākir (muhaqqiq). ttp: Mu‟assasah al-Risalah. 2000.

Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1996.

Al-Tirmidhi, Muhammad ibn Isa. Sunan Al-Tirmidhi. Mesir: Muṣṭafa al-Babi al-

Ḥalabi. 1975.

Al-Tunisy, Muhammad Ṭāhir Ibn `Ashur. Al-Taḥrīr Wa Al-Tanwīr (Taḥrīr Al-

Ma`ná Al-Sadīd Wa Tanwīr Al-`Aql Al-Jadīd Min Tafsīr Al-Kitāb Al-

Majīd). Tunis: Dār al-Tūnisiyah. 1984 H.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an. Jakarta

Selatan: Paramadina. 2001.

Ummi Kultsum, Lilik, dan Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. (Ciputat:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.

Al-Wāḥidi, Ali ibn Aḥmad. Asbāb al-Nuzūl Al-Qur’ān. `Aṣām bin `Abdul Muḥsin

(ed). Dimām: Dār al-Iṣlāḥ, 1992. Cetakan Kedua

Warson, Ahmad Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.

Ali Ma`shum & Zainal Abidin (ed.). Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.

Yunus, Mahmud. Tafsir Qur’an Karim, cetakan ke-73. Jakarta: Hidakarya Agung.

2004.

Al-Zuḥaili, Wahbah. Tafsīr Al-Munīr fi Al-`Aqīdah wa Al-Sharī`ah wa Al-Manhaj.

Damaskus: Dār al-Fikr. 2009.

Page 102: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

82

Jurnal & Artikel

Bakar, Abu. “Pemikiran Tafsir Modern J.J.G Jansen Telaah Atas Karya J.J.G

Jansen The Interpretation of The Koran In Modern Egypt” dalam Al-Ihkam

vol. VI, 1 Juni 2011, h. 1-10

Fatah, Ahmad. Jurnal Penelitian: Mendambakan Paradigma Kesetaraan dalam

Pernikahan. Jawa tengah: 2014.Vol. 8, no 2. Halaman 344.

Hasana, Uswatun. “Model dan Karakteristik Penafsiran Muhammad Abduh dan

Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar” dalam Hermeneutik, vol. 9, no. 2,

Desember 2015, h. 313-334

Moqsith, Abdul, “Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif tentang

Ayat Lā Ikrāh Fi al-Dīn” dalam Jurnal Studi Keislaman Islamica, vol. 1,

no. 8, September 2013, h. 219-240

Nirwana, Dzikri. “Peta Tafsir di Mesir Melacak Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an

dari Abad Klasik Hingga Modern”, dalam Jurnal Falasifa, vol. 1, no. 1,

Maret 2010, h. 27-46

Nuryatno, Agus. “Examining Asghar Ali Engineer‟s Qur‟anic Interpretation of

Women In Islam” dalam Al-Jāmi`ah, vol. 45, no. 2, 2007, h. 389-413.

Purbasari, Dyah. “Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada Pasangan Suami

Istri Jawa” dalam Jurnal Penelitian Humaniora, vol. 16, no. 1, Februari

2015. Halaman 72-85

Sanaky, Hujair. “Metode Tafsir Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna

Atau Corak Mufassirin” dalam Al-Mawarid edisi XVIII, tahun 2008, h.

263-284.

Subhan, Zaitunah. “Gender dalam Tinjauan Tafsir”, Jurnal Ilmiah Kajian Gender,

h. 1-11.

Jurnal dan Artikel Online

Barlas, Asma. “The Qur‟an and Hermeneutics: Reading The Qur‟an‟s Opposition

To Patriarchy” dalam Journal of Qur’anic Studies, vol. 3, no. 2, 2001, h. 15-

38. http://www.jstor.org/stable/25728036

Madany, Malik. Tafsir Al-Manar (Antara al-Syaikh Muhammad „Abduh dan al-

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha), Perpustakaan Digital UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2008, h. 1-19. Http://digilib.uin-suka.ac.id/337/.

Mahmoud, Mohamed. “To Beat Or Not To Beat: On The Exegetical Dilemma

Over Qur‟an 4:34” dalam Journal of The American Oriental Society, vol.

126, no. 4, Oktober-Desember 2006. h. 537-550.

http://www.jstor.org/stable/20064542

Page 103: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

83

Penelitian Tidak Diterbitkan

Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Misbah. Disertasi Bidang

Ilmu Agama Islam, Konsentrasi Tafsir Hadis, Program PascaSarjana UIN

Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2006.

Bahri, Syamsul, Tasawuf Syaikh `Abd Al-Ra’uf Sinkel dan Paham Wujūdiyyah

Dalam Karyanya Kitab Tanbīh al-Māsyī, Tesis tidak diterbitkan, Program

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

Zuhdi, M. Nurdin, Tipologi Tafsir Al-Qur’an Mazhab Indonesia, Tesis tidak

diterbitkan, Program Pascasarjana Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta. 2011.

Publikasi Departemen

Departemen Agama RI. Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan Berpolitik.

Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran. Cetakan Pertama.

_______. Peningkatan Kesejathteraan Ibu dan Penggunaan Air Susu Ibu (ASI)

dalam Ajaran Islam. Jakarta: Depag RI. 1993/1994. Cetakan Pertama.

Kementerian Agama Rl. Tafsir Al-Quran Tematik; Peran Perempuan dalam

Keluarga. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran. 2009. Cetakan

Kedua.

_______. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-

Qur‟an. 2012

Referensi Online

Http://citizen6.liputan6.com/read/2498306/istri-tolak-punya-anak-lagi-suami-

hajar-sampai-koma, diakses Kamis, 9 Juni 2016, 23.28 WIB

Http://news.liputan6.com/read/2147213/tak-diizinkan-beli-motor-suami-tega-

bakar-hidup-istrinya, diakses Jumat, 10 Juni 2016, 00.10 WIB

Http://regional.liputan6.com/read/2286410/tersinggung-ditegur-suami-bacok-

istri-hamil-2-bulan, diakses Kamis, 9 Juni 2016, 23.20 WIB

Http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/12/24/myb49q-kawin-

tidak-izin-istri-suami-dilaporkan-ke-polisi,

http://citizen6.liputan6.com/read/2313654/tak-angkat-telepon-suami-

hidung-istri-digigit-hingga-putus

Page 104: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

91

Lampiran

1. Wawancara dengan prof. Zaitunah Subhan (Guru besar di UIN syarif Hidayatullah

JKT fakultas Syariah dan Hukum ) 2-8-15

Pengantar dari penulis: dalam skripsi ini penulis membahas tentang konsep Nusyūz yang

mana dalam pembahsan sebelumnya banyak yang sudah melakukan terkait konsep

nusyūz ini, namun dalam penelitian kali ini penulis melakukan pendekatan dengan

membandingkan tokoh-tokoh mufassir baik dari kalangan mufassir konservatif maupun

progresif, namun dibatasi hanya pada mufassir nusantara.

Keterangan:

A = Penulis

B = Tokoh

A: pandangan Ibu tentang konsep Nusyūz?

B: pertama ibu mau bicara masalah gender. Karna nusyūz merupakan sala-satu

permasalahn gender. Dimna nusyūz seringkali hanya dibebankan kepada perempuan

padahal pada hakikatnya laki-laki juga memiliki nusyūz. Oleh Karna itu harus disadari

bahwa adanya budaya patriarki dilingkungan masyarakat kita sudah cukup mendara

daging, sehingga perlu adanya kesadaran setiap orang terkait perannya sebagai makhluk

sosial yang sama satu sama lain, tanpa membedakan dia laki-laki atau perempuan.

sehingga diskriminasi tidak terjadi.

Nusyūz pada dasarnya adalah pembangkangan istri terhadap perintah suami. Contoh istri

disuruh sholat tidak mau, keluar rumah tanpa izin suami. Namun perlu di pahami bahwa

pembangkangan disini adalah pembangkangan yang masih dalam koridor agama, tidak

dibenarkan perintah yang di luar perintah agama.

A: berawal dari Mahar dan nafaqoh yang diterimah oleh istri sehingga menjadikannya

terikat oleh perintah suami, seperti yang Kiyai jelaskan sebelumnya, akan tetapi kondisi

tersebut

berubah, apakah konsep Nusyūz tadi bisa di pertimbangkan atau dihapuskan. Dan terjadi

tuntutan yang sama antara satu sama lain, contohnya ketika suami melarang istri keluar

tanpa izin suami maka istri juga menuntut hak yang sama, bagaimana tanggapan Kiyai?

Page 105: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

92

B: sala-satunya tapi bukan faktor dominan.

A: bisa disimpulkan bahwa keterikatan istri dimulai dari mahar dan pemberian nafkah,

hanya itu ?

B: karna hari ini banyak laki-laki yang tidak memenuhi tugasnya memberi nafkah, justru

sebaliknya perepuan yang menjadi tulang punggung keluarga.

A: pada perinsipnya ada 3 tahap dalam penyelesaian Nusyūz tadi Kiyai juga sempat

menyinggung. Namun ada satu yang saya ingin perdalam dari Kiyai yaitu konsep

Pemukulan yang mana terindikasi pada kasus yang berujung pada KDRT, apakah

sebaiknya dilakukan reinterpretasi baru terhadap pemaknaan fadribuhunna ? gimana

tanggapan Kiyai ?

B: kata haraba dalam al-Quran , itu memiliki banyak makna. Seperti dalam ayat lain

wadharaba matsalan kalimatan thoyyibatan yang memiliki makna member contoh

dengan baik, ayat lain wayadribullahu amtsal yang artinya memberikan contoh, maka

dalam memaknai kata dalam al-Quran itu harus dengan melihat lain. Karna pada dasarnya

kata al-Quran tidak mono makna akan tetapi multi makna. Sama dengan dharaba kita

tidak bisa seenaknya memaknai dharaba itu hanya dengan memukul. Adapun tafsiran

untuk memukul. Misalnya dipukul dengan satu tangan, dipukul dengan tidak menyakiti.

Adapun dalam beberapa tafsir seperti Qurtubi suami dan istri diibaratkan seperti raja dan

rakyat. Posisi pimpinan dan bawahan, padahal secara logika pimpinan yang baik harus

memahami rakyatnya. Maka suami juga dituntut untuk memahami bagaimna watak

istrinya untuk menciptakan harmonisasi. Maka tidak akan terjadi pemukulan.

A: batasan dalam prilaku nusyūz ?

B: sebenarnya baik nusyūz laki-laki maupun perempuan tidak ada penjelasan batasan

dalam al-Quran. Ini dimulai dari melihat surah al-Nisa’ :34 (menafsirkan ) intinya

memaknai al-Quran tidak bisa hanya parsial tapi harus komperhensif. Untuk batasan

maka dilihat dari perspektif agama.

A: dari penelitian sementara penulis ada kesimpulan bahwa dikalangan ulama konservatif

ini masih mengamini penyelesaian nusyūz ini dengan menggunakan method lama yang

didalamnya masih ada pemukulan. Yang terkesan tidak ramah perempuan. apa yang

menyebabkan perbedaan penafsiran dikalangan ulama konservatif dan progresif ?

Page 106: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

93

B: manyoritas pemahaman ulama terdahulu adalah dipengaruhi oleh ulama sebelumnya,

karna mereka beranggapan bahwa pendapat yang benar itu berumber dari nabi, sahabat

dan ulama.

A: pernikahan yang ideal menurut ibu?

B: saya menulis buku tentang kemitrasejajaran. Dimana disini saya menjelaskan bahwa

pernikahan yang ideal itu idealnya dibentuk adanya pemikiran yang saling menghormati

satu sama lain. Sehingga tidak ada justifikasi sepihak. Dan saling memehami satu sama

lain tanpa mempermasalahkan laki-laki atau perempuan.

2. Wawancara dengan prof. Musdah Mulia (ketua ICRP 2007) 12-01-16

Pengantar dari penulis: dalam skripsi ini penulis membahas tentang konsep Nusyūz yang

mana dalam pembahsan sebelumnya banyak yang sudah melakukan terkait konsep

nusyūz ini, namun dalam penelitian kali ini penulis melakukan pendekatan dengan

membandingkan tokoh-tokoh mufassir baik dari kalangan mufassir konservatif maupun

progresif, namun dibatasi hanya pada mufassir nusantara.

Keterangan:

A = Penulis

B = Tokoh

A: pandangan Bunda tentang konsep Nusyūz?

B: Nusyūz berarti pembangkangan atau ketidaktundukan. Dalam relasi suami isteri,

kebanyakan masyarakat memahami nusyūz sebagai ketidaktundukan isteri pada suami.

Hal ini dipertegas dengan aturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadikan

nusyūz hanya dilekatkan kepada isteri yang melakukan pembangkangan terhadap suami.

Dampak dari pengertian ini, apabila isteri nusyūz maka gugurlah kewajiban suami, baik

lahir maupun batin (pasal 80 ayat (7) dan pasal 84 KHI). Padahal Al-Quran menyatakan

bahwa nusyūz bisa dilakukan oleh suami maupun isteri. (QS an-Nisa, 4: 34 dan

128).Secara harfiyah nusyūz adalah membangkang atau tidak tunduk pada Tuhan. Dalam

Islam, tidak ada ketundukan selain hanya pada Tuhan. Tapi sayangnya pemahaman di

masyarakat sudah salah. Nusyūz selalu dipahami sebagai pembangkangan isteri terhadap

suami. Lebih fatal lagi, istilah nusyūz sering dikaitkan dengan urusan seksual. Itu kan

sudah keliru banget. Semestinya nusyūz yang berasal dari akar kata al-nasyaz secara

Page 107: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

94

lughawi adalah membangkang terhadap perintah Tuhan, jadi bukan terhadap suami. Di

antara perintah Tuhan adalah keharusan untuk tidak menyakiti hati sesama manusia,

apalagi menyakiti hati pasangan yang pada prinsipnya merupakan belahan jiwa kita.

Karena itu menyakiti hati isteri atau suami, baik melalui ucapan maupun perbuatan,

adalah nusyūz

A: pada perinsipnya ada 3 tahap dalam penyelesaian Nusyūz, pertama menasehati, pisah

ranjang dan terakhir pemukulan . komentar Bunda?

B: Apa yang dimunculkan dalam al-Quran adalah hasil rekaman yang bersifat khabariyah

dan bukan perintah. Itu merupakan rekaman sosiologis masyarakat Arab pada saat itu.

Pertanyaannya adalah apakah ayat-ayat yang sifatnya khabariyah seperti ini harus

diterapkan? Menurut saya tidak. Banyak ayat lain yang sifatnya khabariyah itu yang tidak

perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi menurut saya, ayat tersebut adalah

ayat khabariyah yang berarti bukan ayat perintah. Kedua, memang betul ada kalimat

perintah dalam ayat 34 an-Nisa: wadhribûhunna dari kata dharaba. Persoalannya,

mengapa kata itu diartikan “pukullah”, sementara dalam analisa semantik kata dharaba

tidak selamanya bermakna memukul. Kata itu memiliki banyak arti, antara lain:

“memberi contoh”, “mendidik”, bahkan juga dapat berarti “bersetubuh”. Pertanyaannya,

mengapa dipilih makna memukul, bukan makna yang lain? Artinya, terjemahan ayat itu

saja sudah mengandung bias kepentingan. Kepentingan siapa yang dibela di sana? Itu

yang harus kita pahami.

A : untuk makna fadribuhunna yang berarti pemukulan fisik ini Bunda sepakat ? jika

tidak ada alternative gak yang Bunda tawarkan ?

B: makna dharaba dalam al-Quran sangat banyak. Mulai dari teguran, berjalan dan

nasehat yang mendalam serta banyak lagi makna lainnya. Kenapa tidak kita menghindari

memukul yang nantinya akan menimbulkan masalah baru. Berilah nasehat yang

mendalam dengan jalan musyawarah.

A: dalam hubungan suami istri ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Contohnya

istri wajib melayani seksualitas suami, nah apakah suami juga memiliki kewajiban dalam

memenuhi hasrat seksualitas istri, karena pada dasarnya hubungan seksualitas itu hasrat

yang sifatnya manusiawi. Tanggapan Kiyai ?

Page 108: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

95

B: pasti. Dalam hubungan suami istri harus ada kesalingan untuk pasangan suami istri.

Apa yang menjadi hak istri maka menjadi kewajiban suami, sebaliknya apa yang menjadi

hak suami maka menjadi kewajiban istri. Termasuk dalam hal memuaskan hasrat seksual.

A: dari penelitian sementara penulis ada kesimpulan bahwa dikalangan ulama konservatif

ini masih mengamini penyelesaian nusyūz ini dengan menggunakan method lama yang

didalamnya masih ada pemukulan. Yang terkesan tidak ramah perempuan. apa yang

menyebabkan perbedaan penafsiran dikalangan ulama konservatif dan progresif ?

B: Apa yang muncul dalam kitab-kitab fikih itu adalah upaya ijtihad secara optimal dari

para ulama di masa lampau dalam rangka merespon persoalan sosial yang mereka hadapi.

Tentu saja respon mereka dalam bentuk ijtihad itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-

historis dan sosio-politis pada masanya. Sekaligus juga merekam tatanan budaya pada

masa itu. Tentu saja kita sebagai generasi yang datang kemudian harus tetap respek pada

hasil ijtihad ulama terdahulu dalam bentuk pemikiran fikih tersebut. Namun, respek tidak

berarti kita harus menerima sepenuhnya, tanpa kritis sedikit pun. Buat saya, sejumlah

pandangan fikih, khususnya soal nusyūz dan relasi suami-isteri tidak relevan lagi untuk

diterapkan pada saat ini. Kita perlu ijtihad.

Satu hal yang ingin saya katakan ketika berbicara mengenai nusyūz, bahwa kita tidak bisa

memahami nusyūz dengan baik tanpa memahami terlebih dahulu hakikat perkawinan

dalam Islam. Kita harus memahami dengan baik hakikat perkawinan dalam Islam. Baru

setelah itu, kita masuk pada persoalan assesoris, seperti nusyūz ini.

A: pernikahan yang ideal itu seperti apa ?

B: Buat saya begini, setiap muslim harus memahami ajaran Islam dengan baik. Setiap

muslim harus memahami terlebih dahulu tujuan beragama itu apa? Bahwa agama datang

untuk memanusiakan manusia. Artinya, dengan menaati ajaran agama, menjadikan

manusia lebih jinak—dalam makna beradab—, tidak liar dan biadab. Yang tadinya mata

kita liar, pikiran kita liar, syahwat kita liar, lalu dengan taat beragama kita menjadi lebih

beradab. Indikasinya, mata, pikiran dan syahwat kita lebih terkendali. Itulah inti dari

hadis Nabi yang berbunyi: al-Muslimu man salima almuslimîna min lisânihi wa yadihi.

Artinya: Muslim sejati adalah seseorang yang dapat melindungi orang lain dari kejahatan

ucapan dan perilakunya. Sungguh indah ajaran Islam.

Page 109: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

96

3. Wawancara bersama Kh. Husein (kominisioner Komnas Perempuan, Pengasuh

Pondok Pesantren Daruttauhid Cirebon)20-7-16

Pengantar penulis

Penelitian ini adalah kajian nusyūz dalam perspektif ulama nusantara baik dari kalangan

Konservatif maupun progresif.

Penulis : pandangan Kiyai terhadap konsep Nusyūz?

Narasumber : nusyūz itu secara leterlet adalah penolakan atau pembangkangan,

durhaka, pelanggaran, atas komitmen atau perjanjian, baik dari laki-laki ataupun

perempuan. adapun bentuk dari nusyūz laki-laki atau perempuan itu berbeda. Umumnya

kita mengenal nusyūz itu hanya ada pada perempuan. orang lebih hapal dengan nusyūz

perempuan. ayatnya jelas yaitu ayat yang ada kaitannya dengan kepemimpinan

perempuan. nusyūz perempuan adalah penolakan istri terhadap suami, yang sebetulnya

hanya terkait pada hubungan seks. Dengan alasan ketika suami mengajak istri

berhubungan seks kemudian istri menolak, maka itu disebut seks. Tetepi konsep nusyūz

ini kemudian dikembangkan bukan hanya berkaitan dengan hubungan seks akan tetapi

banyak hal lain seperti keluar rumah harus dengan izin suami jika tidak mereka akan

terkena nusyūz. Ini persoalannya karena adanya konsep bahwa istri adalah milik suami

dan untuk kesenangan suami. Dia harus ada setiap saat dirumahnya, maka apapun yang

akan dikerjakan perempuan termasuk keluar rumah harus mendaptkan izizn suaminya.

Sebab jika tidak aktivitas seks suami bisa saja terhambat dan akan terjadi nusyūz pada

perempuan.

Penulis : apakah konsep nusyūz hanya terbatas pada hubungan seksual saja ?

Narasumber : pada dasarnya memang terbatas sampai disitu, namun para ulama

mengembangkannya, dimana apapun bentuk pelanggaran atau penolakan yang dilakukan

oleh istri dikategorikan nusyūz. Bahkan sampai bermuka masam pun disebut sebagai

nusyūz. Jadi pada dasarnya hanya ada satu tolak ukur nusyūz yaitu penolakan seks.

Begitupulah di al-Quran mengenai nusyūz inipun adalah potongan dari ayat panjang.

(arrijalu ila akhiri beserta terjemahannya ) yang harus dibaca secara komplit. Dan

kemudian di perjelas oleh hadis nabi bahwa nusyūz adalah penolakan istri terhadap

ajakan suami untuk melakukan hubungan seks. Apabila suami melihat hal itu terjadi

maka suami menasehati, pisah ranjang dan terakhir memukul. Pukullah pun dijelaskan

Page 110: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

97

bahwa pukul jangan wajah, jangan yang melukai, jgan dengan bahan yang keras,

walaupun banyak pendapat oleh para ulama.

Penulis : dalam tradisi pernikahan kita ada tradisi pemberian mahar dan nafaqoh

oleh suami kepada istri. Apakah menurut kiyai hal ini menjadi sala-satu faktor dominasi

laki-laki atas perempuan?

Narasumber : faktor yang paling mendasar adalah faktor yang menempatkan laki-laki

sebagai pemimpin, selanjutnya laki-laki difungsingkan sebagai orang yang akan

memenuhi nafkah dan mendikotomi ruang publik, dan perempuan adalah pemegang

domestik. Dan ini harus di lihat dari sejarah panjang bahwa perempuan adalah objek.

Objek seksualitas, objek kemarahan lelaki, maka perempuan memeng di benturkan oleh

kondisi sosial yang mana perempuan adalah objek seks yang menjadikan mereka tidak

bisa manusia merdeka seutuhnya. Maka akan muncul konsekuensi ketika suami wajib

mencari nafkah seutuhnya maka istri berkewajiban memberikan tubuhnya. Apabilah

suami tidak member nafkah, maka suami nusyūz dan apabila istri tidak memberikan

tubuhnya maka istri nusyūz. Maka disini terjadi pembagian peran. Maka pada dasarnya

ketika konsep dasar di terapkan maka posisi perempuan hanya berada di rumah sebagai

pelayan seks suaminya dan suami berkewajiban memenuhu sandang, pangan, dan papan

untuk istrinya. Maka nusyūz disini adalah pelanggaran atau pengabaian atas hak. Dalam

buku saya dijelaskan bahwa kuat mana antra seks dan uang ? karna bisa jadi suami akan

tunduk pada perempuan dikarenakan perempuan adalah pemilik seks atau sebaliknya,

uang yang mendominasi.

Penulis : bagaimna kiyai membaca kondisi sosial hari ini yang mana peranan laki-

laki dan perempuan sudah seimbang bahkan perempuan bisa lebih dominanan

perempuan?

Narasumber : ya tentu tidak bisa. Al inilah yang mendasari pemikiran saya bahwa

keadaan telah berubah, dimana perempuan sudah berpartisipasi aktif, perempuan sudah

bekerja, perempuan sudah menghasilkan ekonomi, sedangkan tekadang laki-laki tidak

mampu menghasilkan nafkah, bodoh, miskin, maka hal tidak adil jika masih menerapkan

konsep lama, harus ada pembaharuan pemikiran dimana hal ini harus diberikan titik

tengah. Maka untuk melihat kasus kasus hari ini harus di mulai dari membicarakan

konsep dasar atau filosofinya, apakah hal itu masih relevan hingga hari ini, dan kmudian

memunculkan pandangan yang relevan hingga hari ini. Maka dari itu keadilan harus

ditegakkan karna itu merupakan prinsip. Siapa yang menghasilkan maka dialah yang

Page 111: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

98

mempin atau siapa yang pintar maka dia yang memimpin. Dan kemudian hal itu harus

dikomunikasikan sebaik mungkin terhadap pasangan. Diperbolehkan untuk melakukan

negoisasi. Namun hal ini tidak gampang untuk diterapkan di dalam lingkungan sosial

dengan kondisi budaya patriarkhi yang sudah mendara daging, dibutuhkan komunikasi

yang baik antara satu sama lain.

Penulis : dalam penyelesaian nusyūz dijelaskan ada tiga tahap dalam penyelesaian

nusyūz nasehat, pisah ranjang dan pukul. Pandangan Kiyai terhadap pembolehan

memukul ada tidak alternative lain?

Narasumber : harus dipahami bahwa tradisi Arabia sebelum ayat ini turun memiliki

tradisi yang apabila istri melanggar suami maka boleh dipukul, al-Quran turun untuk

menghentikan tradisi tersebut. Berbagai solusi ditawakan oleh al-Quran dengan langka-

langka yang terdiri dari nasehat, jika belum terjadi perubahan maka jangan diajak tidur

dulu, maka yang terakhir adalah pukullah, ini menandakan adanya dekonstruksi Arabia

dimana memukul adalah alternative yang terakhir. Dan kalaupun memukul maka diberi

catatan. Selain itu harus dilihat dari filosofi memukul yang dimaksud. Contohnya catatan

boleh memukul tidak boleh melukai, tidak boleh dengan alat yang berat, dan lain-lain.

Artinya pada dasarnya al-Quran tidak menghendaki adanya pemukulan, hanya saja di kias

dengan kata-kata lain. Karena pada dasarnya menghilangkan hukumnya secara langsung

tidak bisa dikarenakan tradisi arab pada zaman itu masih kental. Nabi pun menjelaskan

jangan pukul. Hal ini ada kaitannya dengan metodologi, dengan melihat perbandingan al-

Quran membolehkan sedangkan nabi melarang. Hadis nabi mengatakan (la tadribu

imaAllah) janganlah kamu memukul hamba-hamba Allah yang perempuan, dan sebaik-

sebaik laki-laki adalah yang tidak memukul istrinya. Lalu apa maksud dengan bolehya

memukul. Memukul disini dimaksudkan dengan mendidik, dan pertanyaannya apakah

memukul hari ini masih efektif ? kan tidak. Maka dari itu mendidik perempuan hari ini

tidak lagi dengan memukul. Maka alternative yang saya tawarkan jika terjadi nusyūz

yang berkelanjutan adalah pengadilan.

Penulis : kira-kira apa yang mempengaruhi penafsiran para ulama yang terkesan

tidak ramah perempan ?

Narasumber : pertama metodologi lama yang cenderung memaknai al-Quran secara

tekstual, ditambah mayoritas ulama sebelumnya mengatakan demikian, sehingga mereka

ikut dan mengadopsi pemahaman ulama sebelumnya.

Page 112: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34687/1/ANNALIA-FUF.pdf · oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya

99

Rekomendasi buku

-fikih perempuan

-islam ramah perempuan

- Ijtihad kiyai Husain

- perempuan islam dan negara

Penulis : konsep pernikahan ideal menurut Kiyai ?

Narasumber : kesalingan membagi cinta, kesalingan membantu, kesalingan

menghormati, tidak boleh ada dominasi, segala sesuatunya harus dimusyawarahkan,

termasuk kepemimpinan dalam rumah tangga, sesuai dengan ayat al-Quran yang

harusnya diterjemahkan secara baik. *wajaalna baina kuma mawaddah adanya

kesalingan. Selain itu ada ayat lain *wattaqullah tasaalna bihi walarham