Pemikiran Islam Kontemporer
-
Upload
effan-ferrary -
Category
Documents
-
view
30 -
download
3
description
Transcript of Pemikiran Islam Kontemporer
PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA(Membaca Masa Depan Gerakan Islam di Indonesia)
Oleh: Utawijaya Kusumah
ABSTRAK
Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metode pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Pertanyaan yang menggugah para intelektual Islam adalah “di manakah pemikiran Islam kontemporer?”
Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas seakan-akan pemikiran Islam kontemporer menghadapi krisis yang cukup akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnya kebebasan berfikir. Wujud ekstrem dari itu semua adalah pengkafiran terhadap pemikiran liberal yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi pemikiran Islam kontemporer, seperti kasus pengkafiran terhadap Nashr Hamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di Belanda.
Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan berfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang konstruktif. Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer seakan-akan sudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam tersebut.
Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer semakin meluas. Namun secara umum gema tersebut masih dalam kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik. Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat dengan masa keemasan para pendahulunya, mereka membuka lembaran masa lalu,1 untuk menggali inspirasi. Masa lalu adalah pemicu para intelektual muslim kontemporer untuk melakukan reaktualisasi, rekonstruksi dan dekonstruksi. Murâd Wahbah menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf muslim kelahiran Maroko adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. 2 Bahkan sampai saat ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori komentar terhadap buku-buku Aristoteles, sehingga ia dijuluki dengan al-syârih al-‘adham (komentator agung). Maka dari itu, di akhir abad 20-an para intelektual Islam, baik di wilayah Timur maupun wilayah Barat, mulai mengangkat khazanah rasionalitas Ibnu Rushd dalam rangka membumitanahkan pencerahan pemikiran Islam.
Kata Kunci: Pemikirdan, Islam, Kontemporer
1Di saat khazanah keilmuan dunia Islam pernah berkibar dan menguasai dunia.
2Murâd Wahbah, Madkhal ilâ al-Tanwîr, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1994), hal. 14.
A. Pendahuluan
Setiap pemikiran merupakan refleksi sekaligus embrio dari
gerak sosio-kultural yang berguna untuk menjawab berbagai
persoalan yang muncul. Di sini, setiap pemikiran tidak
selamanya absolut, tetapi mengalami evolusi dan pasang surut,
sebagaimana ditengarai Ibnu Khaldun dalam mognum opus-nya
Al-Muqadimah. Ibnu Khaldun menggambarkan pasang-surut
peradaban Islam dengan tinjauan sosiologis. Lebih jelasnya,
pemikiran adalah produk eksperimentasi, pengalaman dan
kolaborasi-dialektik yang dinamis dengan realitas.3 Demikian
juga berbagai pemikiran yang berkembang di Indonesia.
Mengkaji peta pemikiran Islam kontemporer di Indonesia
dibutuhkan beberapa perangkat metode untuk menyingkap akar
persoalan (isykâliyah), sehingga mencapai sebuah kesimpulan
yang mendekati kebenaran dan bersifat obyektif. Diharapkan,
atas dasar tersebut, muncul teori-teori analisis untuk
menyingkap pemikiran Islam di Indonesia dalam rangka
merekonstruksi pemikiran Islam kontemporer di Indonesia.4 Yang
mana secara keseluruhan kajian ini berada dalam kerangka
ijtihad yang tentu saja absah, karena masih dalam proses
3 Mahmûd Amîn al-‘Alîm, Al-Fikr al-‘Araby Bayn al-Nadzariyah wa al-Tathbîq, Jurnal ‘A:am al-Fikr, Jilid 26, Edisi III dan IV, Kuwait, 1998, hal. 359.
4Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia telah mencapai pada pluralitas teori dan bentuk. Teori-teori modern yang lahir di blantika pemikiran Barat, khususnya Amerika dan Eropa kian diimpor ke Indonesia. Hal itu secara langsung dipengaruhi oleh arus dialektika pemikiran yang berkembang di Barat dan mengilhami kecenderungan relativisme pemikiran. Selain itu, kehadiran intelektual Islam Indonesia di beberapa universitas, baik di Amerika, Perancis, Inggris, Belanda, dan negara-negara Barat lainnya, telah menyemarakkan dinamika intelektual, seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, dan lain sebagainya. Sehingga teori semiotika, hermeneutika, fenomenologi dan dekonstruksi menjadi trend baru pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Maka dari itu, pemikiran Islam kontemporer Indonesia sedang berkiblat ke Barat dan telah menghasilkan pemikiran yang betul-betul brilian. Buktinya, para intelektual muslim Indonesia mulai tampil di pelbagai event internasional.
mencari dan membentuk, sehingga kilas-balik dan dialektika
bertebaran, bahkan kadangkala masih rigid dan gamang.
Kendatipun demikian, makalah ini berusaha
mengetengahkan tiga model cara dalam membedah pemikiran
Islam kontemporer di Indonesia. Pertama, studi strukturalis,
yaitu menelaah pemikiran secara menyeluruh dan melakukan
komparasi dengan pemikiran yang lain, sehingga menyingkap
persoalan inti atau diupayakan mencari dimensi yang hilang (al-
bu’d a;-mafqûd). Kedua, analisis historis, yaitu mengurai sisi
historitas pemikiran dalam kaitannya dengan struktur di atas,
sehingga ditemukan kebenaran ilmiah dalam pemetaan.
Ketiga, analisis ideologis, yaitu membaca aspek ideologis yang
terkandung dalam pemikiran serta merta meletakkannya pada
era tertentu serta latar belakang politik dan ekonominya. 5
B. Akar Pemikiran Islam Kontemporer di Dunia Islam
Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran
Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi)
hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif
yang berkembang dengan metodo pemikiran baru dalam
menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Muhammad
Arkoun, pemikir muslim asal Aljazair yang menetap di Perancis,
pernah melontarkan sebuah pertanyaan yang menggugah para
intelektual Islam, “di manakah pemikiran Islam kontemporer?” 6
Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas seakan-akan
pemikiran Islam kontemporer menghadapi krisis yang cukup
akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnya kebebasan berfikir.
Wujud ekstrem dari itu semua adalah pengkafiran terhadap
5Muhammad ‘Abid Al-Jâbiry, Nahnu wa al-Turâts: Qirâat Mu’âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafy, (Bairut: Markaz al-Tsaqafy al-‘Araby, 1990), hal. 24.
6Muhammad Arkoun, Aina huwa al-Fikr al-Islâmy al-Mu’âshir, Cet. II, (Bairut: Dâr el-Sâqy, 1996), hal. ii-viii.
pemikiran liberal yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi
pemikiran Islam kontemporer, seperti kasus pengkafiran
terhadap Nashr Hamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di
Belanda. Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana
kebebasan berfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi
keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang
mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang
konstruktif. Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer
seakan-akan sudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam
tersebut.
Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer semakin
meluas. Namun secara umum gema tersebut masih dalam
kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik. Karena
keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat dengan masa
keemasan para pendahulunya, mereka membuka lembaran
masa lalu,7 untuk menggali inspirasi. Masa lalu adalah pemicu
para intelektual muslim kontemporer untuk melakukan
reaktualisasi, rekonstruksi dan dekonstruksi. Murâd Wahbah
menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf muslim kelahiran Maroko
adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. 8 Bahkan sampai
saat ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori
komentar terhadap buku-buku Aristoteles, sehingga ia dijuluki
dengan al-syârih al-‘adham (komentator agung). Maka dari
itu, di akhir abad 20-an para intelektual Islam, baik di wilayah
Timur maupun wilayah Barat, mulai mengangkat khazanah
rasionalitas Ibnu Rushd dalam rangka membumitanahkan
pencerahan pemikiran Islam. 9
7Di saat khazanah keilmuan dunia Islam pernah berkibar dan menguasai dunia.
8Murâd Wahbah, Madkhal ilâ al-Tanwîr, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1994), hal. 14.
9Tulisan mengenai filsafat Ibnu Rushd mulai diangkat pada tahun 80-an dan puncaknya pada tahun 1999. kajian Ibnu Rushd kian marak di dunia
Lebih radikal dari pemikiran tersebut, Dr. Athif Iraqi, Guru
Besar Filsafat di Universitas Kairo menyatakan bahwa setelah
wafatnya Ibnu Rushd, maka berakhirlah masa filsafat Islam.
Karena setelah itu pemikiran-pemikiran filsafat tidak lagi lahir. 10
Maka dari itu, menerawang pemikiran Islam klasik akan
menemukan percikan-percikan yang sangat bermakna dan
menentukan bagi tumbuh-kembangnya pemikiran Islam
kontemporer.
Selain Ibnu Rushd, intelektual muslim kontemporer tidak
bisa melupakan ketenaran sosiolog muslim, Ibnu Khaldun. Dr.
Misbâh al-‘Amily, menyatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah putra
mahkota umat Islam yang kecanggihan cakrawalanya
menunjukkan bahwa pemikiran Islam lebih unggul dari pada
pemikiran Yunani. 11
Kendatipun pemikiran tersebut lebih mengedepankan
fanatisme Arab/Islam, tapi kecemerlangan masa lalu merupakan
nuqthat al-inthilâq (titik tolak) pemikiran Islam kontemporer.
Hassan Hanafi, penggagas “kiri Islam”, sedang menapak tilas
keberhasilan Ibnu Khaldun dengan menyoroti pasang-surut
pemikiran Islam pasca Ibnu Khaldûn sampai sekarang. 12 Dengan
Islam dengan perayaan 8 abad atas wafatnya Ibnu Rushd.10Lihat beberapa karya Dr. Athif Iraqi, seperti al-Falsafat al-Arabiyah
wa al-Tharîq ilâ al-Mustaqbal, Al-‘Aql wa al-Tanwîr, dan lain-lain.11Misbâh Al-‘Amily, Tafawwuq al-Fikr al-‘Araby ‘alâ al-Fikr al-
Yûnâny bi Wasâiq Falsafah, (Bairut: Dâr el-Fikr, 1991), hal. 127.12Dalam wawancara dengan reporter televisi Nilsat program kebudayaan,
Hassan Hanafi menegaskan bahwa proyek pemikirannya adalah follow up Ibnu Khaldun, sejarahwan muslim yang mampu membuat bunga rampai sosiologi Islam. Maka dari itu, ia berusaha melanjutkan proyek tersebut dengan menulis perjalanan peradaban Islam sejak Ibnu Khaldun hingga sekarang. Di antara buku yang baru diterbitkan Hassan Hanafi pada tahun 1999 yaitu Min al-Naql ilâ al-Ibdâ’ jilid I. Buku tersebut mengupas sosiologi dan antropologi pemikiran Islam dari proses nukil, komentar, tafsir, kemudian kreasi. Dalam waktu dekat akan diterbitkan buku terbarunya dengan judul Min al-Ibdâ’ ilâ al-Wâqi’ sebagai pelengkap dari proyek tersebut. Dengan demikian Hassan Hanafi ingin membuktikan bahwa pemikiran Islam kontemporer tidak bisa dipisahkan dari faktor sosiologis dan proses yang panjang.
demikian, filterisasi terhadap pemikiran Islam klasik merupakan
salah satu kecenderungan umum dalam panggung pemikiran
Islam kontemporer, tak ubahnya reinkarnasi pemikiran.
Jadi dengan demikian, Islam kontemporer merupakan
gerakan pemikiran Islam di kalangan intelektual Islam dalam
menafsirkan kembali pemikiran Islam klasik dengan situasi
modern. Para tokohnya kebanyakan adalah para intelektual
Islam yang banyak belajar di lembaga-lembaga pendidikan Barat
maupun Eropa. Inti pemikirannya adalah mengembalikan
kejayaan dan keunggulan pemikiran para intelektual Islam klasik
pada abad modern, sehingga melahirkan Islam modern.
Alasannya, karena pemikiran Islam klasik sangat relevan dengan
perkembangan peradaban modern. Sehingga, jika peradaban
Islam ingin berkembang dan maju di abad modern ini, maka
pemikiran Islam harus ditafsirkan sesuai dengan perkembangan
zamannya.
C. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia
Peta perkembangan pemikiran Islam kontemporer di
Indonesia sesungguhnya tidak lepas dari perkembangan Islam
kontemporer di dunia Islam umumnya. Hal ini disebabkan
karena para intelektual muslim Indonesia banyak belajar di
negara-negara Islam modern dan juga di negara-negara Barat.
Oleh karena itu, pemikiran Islam kontemporer di Indonesia yang
dilakukan oleh kaum intelektual muslimnya sedikit terjadi
kolaborasi pemikiran antara pemikiran Islam kontemporer yang
berasal dari jazirah Arab dan pemikiran Islam kontemporer yang
dikembangkan oleh para Islamolog yang ada di universitas-
universitas di Barat.
Sebenarnya, perkembangan pemikiran Islam kontemporer di
Indonesia tidak lepas dari upaya mereka dalam menafsirkan
kembali Islam (baca: Al-Qur’ân). Menurut Dawam Rahardjo13,
kegiatan intelektual di dunia Islam dewasa ini dikuasai oleh
sekitar lima tema sentral, yaitu: Pertama, “interpretasi
kembali Al-Qur’an”. Salah satu latar belakang gagasan
interpretasi kembali Al-Qur’an adalah keinginan untuk melakukan
rekonstruksi terhadap ajaran-ajaran Islam sebagai dasar
pembinaan suatu masyarakat modern. Pendekatan yang diambil
adalah mencari esensi-esensi ajaran Islam itu sendiri atau
menggali nilai-nilai yang paling fundamental. Dari titik tolak
inilah disusun teori-teori baru atau konsep-konsep baru di
berbagai bidang, misalnya tentang masyarakat, negara,
ekonomi, pendidikan, sosiologi, lingkungan hidup, bahkan
tentang bidang-bidang yang lebih sempit, seperti administrasi.
Tokoh-tokohnya di antaranya adalah K.H. Imam Ghozali dari Solo,
K.H. Maksum dari Yogya, K.H. Moenawar Cholil sendiri yang
menerbitkan buku berjudul “Kembali kepada Al-Qur’an dan
as-Sunnah” pada tahun 1956. Kemudian T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy yang menggagas fiqih baru dan menyusun tafsir
(Tafsir Al-Bayân dan Tafsir An-Nûr). Tokoh lainnya adalah Buya
Hamka (tokoh Muhammadiyah) yang menulis Tafsir Al-Azhar, dan
Ustadz A. Hassan Bandung (tokoh Persis) yang menulis Tafsir Al-
Furqan.
Tema kedua, adalah “aktualisasi tradisi”. Tema ini
cenderung sebagai reaksi terhadap tema pertama (Interpretasi
Kembali Al-Qur’ân). Penganjur tema ini bermaksud juga untuk
melakukan pembaharuan pemikiran. Tapi menurut tema ini,
pembaharuan hendaknya jangan dilakukan dengan membuat 13M. Dawam Rahardjo, “Melihat ke Belakang, Merancang Masa
Depan: Pengantar”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Peny.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Cet. I (Jakarta: P3M, 1989), hal. 1.
garis demarkasi dengan Islam sejarah. Pembaharuan bukan
harus berarti berimplikasi berputus dengan sejarah, melainkan
justeru bertolak dari warisan sejarah. Tokoh terpenting yang
mengusung tema “aktualisasi tradisi” di antaranya adalah
Mohammad Natsir yang mengungkapkan kembali kebudayaan
Islam klasik pada akhir dasawarsa 30-an. Kemudian Nurcholis
Madjid yang menghidangkan kembali fragmen-fragmen
pemikiran para filsuf muslim masa lalu.
Tema ketiga adalah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi”. Gagasan ini awalnya dikembangkan oleh Ismail Raji
al-Faruqi yang telah menulis sebuah karya monumental yang
berjudul The Cultural Atlas of Islam pada tahun 1986. Inti
daripada gagasan Islamisasi ini adalah memberikan esensi
peradaban Islam modern dengan nilai-nilai tauhid. Gagasan
Islamisasi itu sendiri sebenarnya telah dicetuskan secara formal
dalam suatu seminar internasional tahun 1982 di Islamabad, di
mana Ismail Raji Al-Faruqi adalah aktor intelektualnya. Gema
gerakan Islamisasi ini juga masuk ke Indonesia. Salah satu
tokohnya adalah A.M. Saefuddin yang mencoba
mengislamisasikan pemikiran ekonomi.
Tema keempat adalah mempunyai kaitan tertentu dengan
ide Islamisasi maupun interpretasi kembali Al-Qur’an. Tema ini
barangkali hanya terdengar di Idonesia, melalui suara K.H.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Dewan Syura PKB dan
mantan Ketua PBNU, yaitu tema “Pribumisasi Islam”. Tema ini
sempat memancing reaksi keras, karena contoh yang
dikemukakannya di antaranya adalah mengganti kata
“Assalamu’alaikum”b dengan “Selamat Pagi” atau
“Selamat Malam”.
Dengan tema-tema tersebut maka lahirlah istilah pemikiran
Islam kontemporer di Indonesia. Gerakan pemikiran Islam
kontemporer tersebut intinya bermaksud untuk meraih masa
depan Islam. Tema-tema ini merupakan tema tersendiri yang
menjadi obsesi kaum cendekiawan muslim Indonesia yang
memiliki obsesi bagi maju dan jayanya Islam di Indonesia.
Memang, Islam yang dibawa ke Indonesia itu bersifat
adaptable, maka ia bisa diterima dengan baik oleh banyak
orang. Kemungkinan Islam disesuaikan dengan berbagai
keadaan, itulah salah satu kekuatan Islam. Islam tidak
reaksioner, nammun elastis (lentur). Terlihat misalnya,
interpretasi Islam sebagai way of life di Indonesia, semacam
sintesis “Islamisasi” yang diperjuangkan oleh para Wali Songo,
sangat erat dengan kebudayaan setempat, betapa pun tidak
kecil pengaruh kondisi sosio-politik dan sosio-ekonomi yang
terjadi. Tidaklah aneh apabila perkembangan Islam di Indonesia
bersifat periodik sebagaimana analisis Kuntowijoyo. Menurut
Kuntowijoyo14, Islam di Indonesia mengalami tiga macam
periode, yaitu:
1. Periode tradisi mistis-religius (…..-1900)
2. Periode forulasi normatif (1900-1965)
3. Periode ide (1965-orde baru)
Periode pertama (….-1900_ ditandai dengan tradisi mistis-
religius. Misalnya pada abad ke-19 umat Islam mengadakan
perlawanan terhadap kekuatan kolonial dengan ideologi yang
bersifat utopis. Utopia, karena umat Islam tidak merumuskan
pikiran-pikirannya berdasarkan aktualisasi sejarah, melainkan
berdasrkan kepada mitos, pandangan mistis menghenai
masyarakat yang dirumuskan dalam bentuk cita-cita Ratu Adil.
14Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Cet. I (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hal. 18.
Periode kedua (1900-1965), yang mulanya Islam dipahami
secara mistis bergeser menjadi formulasi normatif. Keudian
berkembang menjadi ideologi, lalu menjadi aksi. Dalam era ini,
Syarekat Islam (SI) mulai mengenal ideologi Komunsime dan
Marhaenisme.
Sesudah kegagalan pemberontakan PKI (Partai Komunis
Indonesia) tahun 1965, tak terasakan lagi adanya ancaman dari
ideologi lain, sehingga muncul benih-benih baru di mana Islam
ditampakkan sebagai ilmu. Islam yang menjadi ideologi dan aksi
pada masa itu, ketika zaman ilmu menjadi formulasi teoretis. Ia
selanjutnya berkembang menjadi disiplin ilu dan memiliki
program aplikasi, misalnya ilmu sosial Islam. Program dan
planningnya kemudian direalisir dengna kegiatan empiris.
Dalam era ini Islam memasuki periode ide. Mulai dari periode ide
inilah kemudian berkembang pemikiran-pemikiran Islam
kontemporer.
Jadi, pemikiran Islam kontemporer di Indonesia dimulai sejak
berkembangnya umat Islam Indonesia pada periode ide,
terutama setelah para intelektual Islam Indonesia banyak
bersentuhan dengan pembaharuan pemikiran Islam, baik
pengaruh dari dunia Islam sendiri maupun dunia Barat.
Ormas Islam yang muncul pada periode pertaa, yang paling
menonjol hingga kini adalah Muhammadiyah (1912) dan NU
(1926). Kelahiran kedua ormas Islam ini kemudian menimbulkan
pandangan dikhotomis tentang corak gerakan Islam di Indoensia.
Pemikiran Muhammadiyah yang bercorak rasional dan bermotto
sebagai gerakan tajdîd (pembaruan) dipandang sebagai gerakan
modernis. Sedangkan NU yang mendasarkan diri pada pola
pemikiran empat madzhab fikih (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan
Hambali), dan berpegang pada teologi Asy’ariyah dan
Maturidiyah, dilihat sebagai gerakan tradisionallis.
Anggota simpatisan kedua ormas itu tidak bisa melepaskan
diri dari kondisi politik yang berkembang. Dapat dikatakan sejak
tahun 1970-an terdapat dua lapisan umat Islam yang terlibat
dalam proses mobilisasi vertikal, yaitu kelompok muslim politisi
dan kelompok muslim cendekiawan. Aspirasi kedua kelompok ini
pun berbeda. Kalau aspirasi muslim politisi bercorak ideologi,
sedangkan aspirasi muslim cendekiawan bercorak intelektual
tanpa terikat dengan salah satu partai politik atau ormas.
Hal ini menunjukkan bahwa kendatipun Islam telah
memasuki periode ide, tidak semua penggerak atau pejuangnya,
terutama kaum politisi, mampu menangkap kecenderungan baru
dari fokus kebudayaan yang berkembang atau dominan saat itu.
Sebagaimana diketahui bahwa setelah tumbangnnya Orde
Lama oleh Orde Baru, maka berakhirlah fokus kebudayaan yang
menganggap ideologi sebagai panglima. Lalu hadirnya Orde
Baru yang memusatkan programnya pada pembangunan
ekonomi, menggeser fokus kebudayaan ke level yang
memprioritaskan sektor ekonomi.
Kelompok muslim cendekiawan (penggerak Islam
kontemporer di Indonesia) cukup adaptif membaca suasana
tersebut bahwa jalur politik bukan satu-satunya cara untuk
memajukan Islam di Indonesia. Fokus kebudayaan baru yang
diprakarsai oleh Orde Baru lalu ditafsirkannya sebagai peluang
untuk melakukan terobosan-terobosan non-politik yang lebih
menyentuh kebutuhan mendasar kaum muslimin.
Problematika ummat Islam di masa itu terjerat pada
pandangan dikhotomi antara Islam modern dan Islam tradisional.
Ini mengakibatkan terjadinya kemacetan komunikasi bahkan dis-
integrasi di dalam intern umat Islam, seperti pertentangan
masalah khilafiyah, juga persoalan hubungan politik dan agama
yang diklaim sebagai masalah wajib. Padahal aneka
keterbelakangan umat seperti kemiskinan, kebodohan,
ketidakadilan, keterasingan, dan sebagainya merupakan fakta
yang lebih mendesak untuk segera ditanggulangi.
Tentu saja kehadiran visi baru tentang “Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”
oleh Nurcholis Madjid pada tahun 1970 merupakan dobrakan
budaya (cultur switch) sekaligus koreksi sehingga semakin
mempertajam pentingnya aksentuasi di bidang ide dan ilmu
dalam rangka merintis transformasi sosial budaya yang lebih
kontekstual. 15
Menurut Nurcholis Madjid, kaum muslimin Indonesia
sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran
dan pengembangan ajaran-ajaran Islam serta kehilangan
psychological striking force (kemantapan jiwa untuk
berinisiatif) dalam perjuangannya. Hal itu disebabkan antara lain
oleh budaya berfikir kuantitatif yang membanggakan jumlah kau
muslimin dan perolehan suara dalam pemilu, dan sikap eksklusif
di kalangan umat Islam serta tidak adanya kebebasan berfikir.
Ia memberi solusi, hendaknya kaum muslimin menemukan
kembali gagasan kemajuan (idea of progress) dalam khazanah
nilai-nilai Islam dan berpola fikir kualitatif. Salah satu anifestasi
tentang idea of progress di dalam Islam ialah kepercayaan
akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Maka
tidak perlu lagi khawatir akan perubahan-perubahan yang selalu
terjadi pada tata nilai duniawi. Sebetulnya, sikap reaksioner dan
tertutup (eksklusif) terbit dari rasa pesimis terhadap sejarah.
15Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indoensia: Respon Cendekiawan Muslim, Cet. I (Jakarta: LSI, 1987), hal. 243-252.
Karena itu, Islam hanya diteria sebagai agama (al-Dîn), bukan
sebagai politik praktis, sebagaimana jargon yang ia lontarkan
“Islam Yes, Partai Islam No”.
Pemikiran Nurcholis Madjid ini terlihat kemudian diaplikasi
oleh beberapa santri dari kalangan NU yang umumnya pernah
mengecap pendidikan akademis dan beberapa aktivis
Muhammadiyah, yang di antaranya mungkin telah ter-“santri”-
kan dalam bentuk kegiatan-kegiatan transformasi sosial ekonomi
kemasyarakatan. Mereka dapat disebut di antaranya
Abdurrahman Wahid, Aswab Mahasin, Habib Hirzin, K.H. Sahal
Mahfudh, Dawam Rahardjo, Hadimulyo, K.H. Hamam Dja’far,
Masdar F. Mas’udi, Adi Sasono, Fachry Ali, K.H. Abdul Basith AS,
Ison Basuni, Ali Musthofa Trajutisna, Mansour Fakih, Rum
Topatimasang, dan sebagainya. Mereka kemudian dikenal
sebagai aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan LPSM
(Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat). bahkan kini
ada satu LSM yang telah menjadikan dirinya sebagai ormas,
tidak tergantung kepada founding-agency (lembaga donor
dana), yaitu Pusat Peranserta Masyarakat (PPM).
Kemudian, memasuki tahun 1985, Orde Baru
menggelindingkan keharusan berasas tunggal Pancasila bagi
Parpol, Golkar dan ormas-ormas, sebagai upaya menyelesaikan
pertentangan ideologi di antara kelompok-kelompok masyarakat.
Ternyata rekayasa politik dalam bentuk asas tunggal itu dan
segenap implikasinya terhadap kehidupan intern umat Islam
secara implisit merupakan implementasi visi Nurcholis Madjid
mengenai “Islam Yes, Partai Islam No”. Visinya bahwa politik
praktis bukan panglima perjuangan dan sifatnya tidak sakral
telah menjadi kenyataan dewasa ini. Tidak ada lagi fatwa
pewajiban atau pengharaman terhadap salah satu partai yang
ada bilamana enjadi anggotanya. Asas tunggal tidak saja
menggusur idealisme partai Islam di Indonesia, namun terutama
mengukuhkan urgensi memasyarakatkan ilmu dan ide ke tingkat
pengambilan keputusan.
Jika dikaji secara analitis dan historis, sesungguhnya
Pancasila dapat memeprtemukan wawasan keislaman dan
wawasan keindonesiaan. Sebab, ajaran-ajaran Islam
menyediakan bahan yang tak habis-habisnya untuk pengisian
konstitusional bagi pelaksanaan nilai-nilai keislaman di Indonesia
sehingga semakin relevan dengan masalah-masalah bangsa dan
negara.
Kemudian setelah Orde Baru “tumbang” pada tahun 1998
oleh gerakan reformasi mahasiswa, perkembangan pemikiran
Islam semakin tidak menentu dan ada upaya mengembalikan
“persoalan lama” kembali dihidupkan. Hal itu ditandai dengan
ramai-ramainya para pimpinan ormas Islam memimpin partai
politik, seperti Amien Rais dengan PAN (Partai Amanat Nasional),
Gus Dur mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), kalangan
pendukung Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB), dan
munculnya kecenderungan kaum intelektual ke gelanggang
politik praktis. Namun pada akhirnya yang memenangkan
pergulatan itu adalah kaum nasionalis agamis, yaitu dengan
terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden.
Melihat sejarah perkembangan pemikiran tersebut di atas,
ternyata perkembangan pemikiran kontemporer Islam di
Indonesia tidak lepas dari pengaruh sosio-budaya dan sosio-
politik bangsa Indonesia. Semakin besar pengaruh sosio-budaya,
maka semakin modern pemikiran Islam kaum intelektual
Indonesia. Sebaliknya, semakin besar pengaruh sosio-politik,
maka pemikiran Islam kaum intelektual muslim akan lebih
tradisionalis. Dengan demikian, perkembangan Islam
kontemporer mengalami pasanng-surut seiring berkembangnya
sosio-budaya dan sosio-politik bangsa Indonesia. Namun yang
jelas, berkembangnya Islam kontemporer di Indonesia terjadi
pada periode ide.
D. Pemikiran Islam Kontemporer Indonesia Masa Depan
Setelah melihat perkembangan pemikiran Islam
kontemporer di Indonesia yang mengalami pasang-surut seiring
dengan adanya tarik-ulur kepentingan antara kondisi sosio-
budaya dan sosio-politik bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia di
masa depan sangat bergantung kepada kekuatan kedua kondisi
tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa abad 21 sekarang telah
berada di depan mata kita. Bagaimana kaum muslimin dapat
berperan serta untuk memajukan Indonesia di masa depan? Di
sinilah peranan kaum intelektual muslim sebagai pengusung
Islam kontemporer itu dituntut.
Menurut hemat penulis, masa depan akan menyuguhkan
perubahan-perubahan dahsyat yang pasti mempengaruhi
manusia pasca-modern ke arah ultra-modern atau neo-modern.
Menurut Alvin Toffler, kini kita berhadapan dengan era
gelombang peradaban informasi-komunikasi pasca peradaban
industri. Peradaban ini ditandai dengan superioritas akses
informasi, bukan lagi alat produksi atau lahan pertanian. T
eknologi elektronika dan komputer di zaman ini akan membuat
60% pekerjaan bergerak di bidang jasa informasi. Komputer
menjadi trend global dan dapat mengkomunikasikan mansuia
lintas negara. Agen-agen sosialisasi, seperti orang tua, guru,
atau pemimpin agama, akan digeser oleh peranan komputer dan
dapat membentuk keluarga besar baru yang dihubungkan secara
elektronis. Adapun yang sanggup bertahan adalah yang
berorientasi ke masa depan dan kreatif mengubah pengetahuan
menjadi kebijaksanaan. 16
Senada dengan Alvin Toffler, Soedjatmiko mensinyalir proses
globalisasi ekonomi nasional dan bangkitnya suatu lapisan
tradisional di dunia yang menguasai modal, teknologi canggih,
kepakaran tinggi, akses informasi dan pasar, mau tidak mau
akan sangat berpengaruh dalam usaha pembangunan di
Indonesia.
Atas dasar itu, mengkiprahkan diri untuk mendesain format
Islam demi masa depan Indonesia, sebagaimana kata Nurcholis
Nadjid, kaum muslimin harus pandai-pandai mencari idea of
progress yang terkandung di dalam cita idel (das sollen) nilai-
nilai Islam, kemudian dijabarkan dalam kenyataan sosial sesuai
dengan cita realitas (das sein) Islam yang seutuhnya. Nilai-nilai
itu tersimpan di dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber
hukum Islam.
Islam memiliki lima prinsip (kulliyat al-khams) yang harus
dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Prinsip pertama, jaminan atas jiwa seseorang dari penindasan
dan kesewenang-wenangan (hifdz al-nafs). Prinsip kedua,
perlindungan terhadap kebebasan berpendapat secara rasional
(hifdz al-‘aql). Prinsip ketiga, perlindungan atas harta benda
sebagai hak milik (hifdz al-mâl). Prinsip keempat,
perlindungan atas kepercayaan dan agama yang diyakini (hifdz
16A. Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya, Cet. I (Jakarta: Deviri Ganan, 1993), hal. 173.
al-dîn). Dan prinsip kelima, jaminan atas kelangsungan hidup
dan profesi (hifdz al-nasl wa al-‘irdl). 17
Lima dasar jaminan Islam terhadap ummatnya tersebut
menunjukkan betapa universalitas Islam tidak hanya
menyangkut komunikasi vertikal antara manusia dan Allah Swt,
tetapi juga bermuatan komunikasi horizontal antar sesama
manusia, serta bagaimana mengelola lingkungan sekitar.
Bila disimpulkan secara sederhana, lima dasar jaminan
tersebut tercakup dalam terminologi nilai-nilai dari: toleransi
beragama, spiritualisme, keadilan sosial, penghormatan
terhadap hak-hak asasi dan membelanya jika diinjak-injak,
demokrasi, egalitarian (sederajat), solidaritas, harmonitas, dan
berkebudayaan maju (progresif). Dalam era reformasi dan
upaya membangun kebangkitan kembali pemikiran Islam
kontemporer di Indonesia, maka nilai-nilai ini sangat mendesak
untuk ditransformasikan ke tengah realitas sosial budaya,
mengingat telah semakin kuatnya penetrasi arus modernisasi
beserta segala dampak negatifnya.
Memasyarakatkan nilai-nilai jaminan Islam tersebut pada
hakekatnya melakukan inisiatif mengisi kegiatan modernisasi
supaya lebih bermakna transendental, yakni mengandung roh-
roh etis dan religius. Sehingga modernisasi tidak berarti
westernisasi (pem-Barat-an), namun mengakomodir semangat
rasionalitas yang terkandung di dalamnya. Rasionalisasi cara
berfikir dan menginterpretasi konsep-konsep strategis yang
terkandung dalam Al-Qur’ân dan Hadits adalah agenda utama
yang harus ditanamkan dalam merangkai sistem budaya dan
sistem sosial kaum muslimin.
17Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, Cet. I (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 93.
Kuntowijoyo mengklasifikasikan sosialisasi nilai-nilai tersebut
sebagai tiga macam gerakan kebudayaan, yaitu: Islam sebagai
sebagai gerakan intelektual, Islam sebagai gerakan etik, dan
Islam sebagai gerakan estetik. 18 Sebagai gerakan intelektual,
nilai-nilai Islam diangkat menjadi konsep ilmu pengetahuan yang
dapat menandingi konsep-konsep yang dianut saat ini. Al-Qur’an
sangat kaya memuat nilai-nilai, maka sangat perlulah sekarang
diangkat menjadi suatu scientific untuk memberi roh etis
terhadap ilmu-ilmu modern. Sedangkan sebagai gerakan etik,
Islam dapat memberikan etos tentang sesuatu. Jika etos
kapitalisme adalah pertumbuhan, maka Islam dapat
menyempurnakannya dengan pemerataan, keadilan,
kebersamaan, dan sebagainya. Dan sebagai gerakan estetik,
Islam diaktualisasi untuk menciptakan lingkungan yang lebih
bermakna keislaman. Tempat-tempat bekerja, misalnya,
dilengkapi dengan sarana mushalla atau masjid. Kesenian diberi
nafas keislaman dan sebagainya.
Atas dasar itulah, maka dalam kerangka membangun
pemikiran Islam kontemporer di masa mendatang, teori
Kuntowijoyo di atas terasa sesuai dengan makna sejarah
peradaban Islam yang telah berusia 15 abad yang silam. Ajaran
Islam yang tidak mengistimewakan suku Arab atas suku asing
(‘ajami) betul-betul menghilangkan batasan etnis dan menolak
segala tindakan diskriminatif.
Selain itu juga memberi ruang bagi kemajemukan budaya
dan politik. Tidak adanya doktrin absolut tentang politik
menunjukkan adanya dimensi kosmopolitanisme yang kuat
dalam Islam Indonesia. Islam membebaskan pemeluknya untuk
menata kehidupan politik sesuai dengan tradisi dan corak
18Kuntowijoyo, “Konvergensi Sosial dan Alternatif Gerakan Kultural”, Majalah Pesantren, Nomor 3/Vol. III (Jakarta: P3M, 1986), hal.11.
budaya sebagai sabda Nabi Sawq: “Antum a’lamu bî umuri
dunyakum” (Engkaulah yang lebih mengetahui urusan-urusan
duniamu).
Karena itu, sangatlah tepat dan strategis, apabila
perjuangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia di masa
depan adalah memilih jalur gerakan kebudayaan dan
menitikberatkan sosialisasi nilai-nilai, bukan doktrin-doktrin
normatif yang seringkali cenderung diideologikan. Politik praktis
tidaklah untukdijadikan tujuan, tetapi hanya salah satu wahana
yang bersifat kondisional.
Maka tantangan zaman yang kian meningkat di depan kita
hanya dapat dipenuhi jika terdapat perkembangan intelektual
Islam yang bercabang dua, yaitu suatu intelektualisme yang
mengambil inspirasi dari kekayaan Islam klasik yang luwes, dan
suatu usaha pengembangan kemampuan menjawab tantangan
zaman dengan membuka diri (inklusif) kepada hal-hal baru
yang lebih maju. 19
Atau menurut jargon klasik kalangan ulama, bagaimana
melaksanakan pedoman “al-muhafadhah ‘alal
qadîmishshalîh wal akhdzu di al-jadîd al-ashlâh”,
memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru
yang lebih baik. Hal itu dapat dipenuhi jika kita selalu
menynempurnakan sistem budaya Islam tanpa menghilangkan
corak positif budaya lokal. Agenda ini amat menentukan corak
sistem sosial kaum muslimin yang hendak dibangun. Dalam
konteks perubahan yang selalu akan terjadi, masa depan
kebudayaan Islam di Indonesia sangat tergantung kepada
kreatifitas kaum muslimin dalam menjabarkan nilai-nilai Islam
dalam bentuk ruusan-rumusan yang layak diaplikasikan.
19Nurcholis Madjid, “Suatu Tatapan Islam terhadap Masa Depan Politik Indonesia, Majalah Prisma, No. Ekstra, 1984, hal.21.
Jadi, gerakan Islam di masa depan untuk membangun
kejayaan Islam kontemporer di Indonesia adalah gerakan
kebudayaan Islam, dalam artian bahwa Islam dijadikan sebagai
gerakan kebudayaan, yang di dalamnya adalah
mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam yang termaktub dalam
Al-Qur’an dan Hadits kepada ummat Islam dan masyarakat
Indonesia umumnya, baik dalam bentuk pemikiran, sikap, dan
perilaku. Dengan cara demikian, insya Allah pemikiran Islam
kontemporer di Indonesia akan terus maju dan dapat diterima
oleh seluruh kalangan bangsa Indonesia yang terkenal majemuk
ini. Amîn.
E. Kesimpulan
Dari hasil kajian dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Lahirnya Islam kontemporer di dunia Islam tidak terlepas dari
terjadinya persentuhan budaya berfikir kaum intelektual
muslim dengan tradisi keilmuan Barat atau Eropa.
2. Islam kontemporer maksudnya adalah penafsiran Islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits dengan perkembangan
pemikiran oleh kaum intelektual muslim dalam membaca
perubahan zaman.
3. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia dipengaruhi oleh
interaksi pemikiran kaum intelektual muslim Indonesia
dengan kalangan pembaharu dan tradisi keilmuan Barat.
4. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia mengalami pasang-
surut seiring dengan berkembangnya kondisi sosio-budaya
dan sosio-politik bangsa Indonesia.
5. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia akan mengalami
perkembangan di masa depan apabila format pemikiran dan
pergerakan mengarah kepada gerakan kebudayaan, bukan
pada gerakan politik praktis.
KEPUSTAKAAN
Dawam Rahardjo, M. 1989. “Melihat ke Belakang, Merancang Masa Depan: Pengantar”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Peny.). Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Cetakan Pertama. Jakarta: P3M.
Kuntowijoyo. 1985. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Shalahuddin Press.
-------------------------.1986. “Konvergensi Sosial dan Alternatif Gerakan Kultural”. Majalah Pesantren, Nomor 3/Vol. III. Jakarta: P3M.
Muhamad ‘Abid Al-Jâbiry. 1990. Nahnu wa al-Turâts: Qirâat Mu’âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafy. Bairut: Markaz al-Tsaqafy al-‘Araby.
Mahmûd Amîn al-‘Alîm. 1998. Al-Fikr al-‘Araby Bayn al-Nadzariyah wa al-Tathbîq. Jurnal ‘A:am al-Fikr, Jilid 26, Edisi III dan IV, Kuwait.
Misbâh Al-‘Amily. 1991. Tafawwuq al-Fikr al-‘Araby ‘alâ al-Fikr al-Yûnâny bi Wasâiq Falsafah. Bairut: Dâr el-Fikr.
Muhammad Arkoun. 1996. Aina huwa al-Fikr al-Islâmy al-Mu’âshir. Cetakan Kedua. Bairut: Dâr el-Sâqy.
Muhammad Kamal Hasan. 1987. Modernisasi Indoensia: Respon Cendekiawan Muslim. Cetakan Pertama. Jakarta: LSI.
Murâd Wahbah. 1994. Madkhal ilâ al-Tanwîr. Kairo: Dâr el-Fikr.
Naufal Ramzy (Editor), A. 1993. Islam dan Transformasi Sosial Budaya. Cetakan Pertama. Jakarta: Deviri Ganan.
Nurcholis Madjid. 1984. “Suatu Tatapan Islam terhadap Masa Depan Politik Indonesia. Majalah Prisma, No. Ekstra.
Said Aqiel Siradj. 1999. Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri. Cetakan Pertama. Jakarta: Pustaka Ciganjur.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan …………………………………………….
1
B. Akar Pemikiran Islam Kontemporer di Dunia Islam…
3
C. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia ………….
5
D. Pemikiran Islam Kontemporer Indonesia Masa Depan
11
E. Kesimpulan …………………………………………….
17
KEPUSTAKAAN ……………………………………………
19