Pemikiran Islam Kontemporer

29
PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA (Membaca Masa Depan Gerakan Islam di Indonesia) Oleh: Utawijaya Kusumah ABSTRAK Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metode pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Pertanyaan yang menggugah para intelektual Islam adalah “di manakah pemikiran Islam kontemporer?” Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas seakan- akan pemikiran Islam kontemporer menghadapi krisis yang cukup akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnya kebebasan berfikir. Wujud ekstrem dari itu semua adalah pengkafiran terhadap pemikiran liberal yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi pemikiran Islam kontemporer, seperti kasus pengkafiran terhadap Nashr Hamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di Belanda. Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan berfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang konstruktif. Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer seakan-akan sudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam tersebut. Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer semakin meluas. Namun secara umum gema tersebut masih dalam kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik. Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat dengan masa keemasan para pendahulunya, mereka membuka lembaran masa lalu, 1 untuk menggali inspirasi. Masa lalu adalah pemicu para intelektual muslim kontemporer untuk melakukan reaktualisasi, rekonstruksi dan dekonstruksi. Murâd Wahbah menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf muslim kelahiran Maroko adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. 2 Bahkan sampai saat ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori 1 Di saat khazanah keilmuan dunia Islam pernah berkibar dan menguasai dunia. 2 Murâd Wahbah, Madkhal ilâ al-Tanwîr, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1994), hal. 14.

description

AA

Transcript of Pemikiran Islam Kontemporer

Page 1: Pemikiran Islam Kontemporer

PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA(Membaca Masa Depan Gerakan Islam di Indonesia)

Oleh: Utawijaya Kusumah

ABSTRAK

Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metode pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Pertanyaan yang menggugah para intelektual Islam adalah “di manakah pemikiran Islam kontemporer?”

Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas seakan-akan pemikiran Islam kontemporer menghadapi krisis yang cukup akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnya kebebasan berfikir. Wujud ekstrem dari itu semua adalah pengkafiran terhadap pemikiran liberal yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi pemikiran Islam kontemporer, seperti kasus pengkafiran terhadap Nashr Hamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di Belanda.

Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan berfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang konstruktif. Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer seakan-akan sudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam tersebut.

Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer semakin meluas. Namun secara umum gema tersebut masih dalam kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik. Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat dengan masa keemasan para pendahulunya, mereka membuka lembaran masa lalu,1 untuk menggali inspirasi. Masa lalu adalah pemicu para intelektual muslim kontemporer untuk melakukan reaktualisasi, rekonstruksi dan dekonstruksi. Murâd Wahbah menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf muslim kelahiran Maroko adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. 2 Bahkan sampai saat ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori komentar terhadap buku-buku Aristoteles, sehingga ia dijuluki dengan al-syârih al-‘adham (komentator agung). Maka dari itu, di akhir abad 20-an para intelektual Islam, baik di wilayah Timur maupun wilayah Barat, mulai mengangkat khazanah rasionalitas Ibnu Rushd dalam rangka membumitanahkan pencerahan pemikiran Islam.

Kata Kunci: Pemikirdan, Islam, Kontemporer

1Di saat khazanah keilmuan dunia Islam pernah berkibar dan menguasai dunia.

2Murâd Wahbah, Madkhal ilâ al-Tanwîr, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1994), hal. 14.

Page 2: Pemikiran Islam Kontemporer

A. Pendahuluan

Setiap pemikiran merupakan refleksi sekaligus embrio dari

gerak sosio-kultural yang berguna untuk menjawab berbagai

persoalan yang muncul. Di sini, setiap pemikiran tidak

selamanya absolut, tetapi mengalami evolusi dan pasang surut,

sebagaimana ditengarai Ibnu Khaldun dalam mognum opus-nya

Al-Muqadimah. Ibnu Khaldun menggambarkan pasang-surut

peradaban Islam dengan tinjauan sosiologis. Lebih jelasnya,

pemikiran adalah produk eksperimentasi, pengalaman dan

kolaborasi-dialektik yang dinamis dengan realitas.3 Demikian

juga berbagai pemikiran yang berkembang di Indonesia.

Mengkaji peta pemikiran Islam kontemporer di Indonesia

dibutuhkan beberapa perangkat metode untuk menyingkap akar

persoalan (isykâliyah), sehingga mencapai sebuah kesimpulan

yang mendekati kebenaran dan bersifat obyektif. Diharapkan,

atas dasar tersebut, muncul teori-teori analisis untuk

menyingkap pemikiran Islam di Indonesia dalam rangka

merekonstruksi pemikiran Islam kontemporer di Indonesia.4 Yang

mana secara keseluruhan kajian ini berada dalam kerangka

ijtihad yang tentu saja absah, karena masih dalam proses

3 Mahmûd Amîn al-‘Alîm, Al-Fikr al-‘Araby Bayn al-Nadzariyah wa al-Tathbîq, Jurnal ‘A:am al-Fikr, Jilid 26, Edisi III dan IV, Kuwait, 1998, hal. 359.

4Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia telah mencapai pada pluralitas teori dan bentuk. Teori-teori modern yang lahir di blantika pemikiran Barat, khususnya Amerika dan Eropa kian diimpor ke Indonesia. Hal itu secara langsung dipengaruhi oleh arus dialektika pemikiran yang berkembang di Barat dan mengilhami kecenderungan relativisme pemikiran. Selain itu, kehadiran intelektual Islam Indonesia di beberapa universitas, baik di Amerika, Perancis, Inggris, Belanda, dan negara-negara Barat lainnya, telah menyemarakkan dinamika intelektual, seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, dan lain sebagainya. Sehingga teori semiotika, hermeneutika, fenomenologi dan dekonstruksi menjadi trend baru pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Maka dari itu, pemikiran Islam kontemporer Indonesia sedang berkiblat ke Barat dan telah menghasilkan pemikiran yang betul-betul brilian. Buktinya, para intelektual muslim Indonesia mulai tampil di pelbagai event internasional.

Page 3: Pemikiran Islam Kontemporer

mencari dan membentuk, sehingga kilas-balik dan dialektika

bertebaran, bahkan kadangkala masih rigid dan gamang.

Kendatipun demikian, makalah ini berusaha

mengetengahkan tiga model cara dalam membedah pemikiran

Islam kontemporer di Indonesia. Pertama, studi strukturalis,

yaitu menelaah pemikiran secara menyeluruh dan melakukan

komparasi dengan pemikiran yang lain, sehingga menyingkap

persoalan inti atau diupayakan mencari dimensi yang hilang (al-

bu’d a;-mafqûd). Kedua, analisis historis, yaitu mengurai sisi

historitas pemikiran dalam kaitannya dengan struktur di atas,

sehingga ditemukan kebenaran ilmiah dalam pemetaan.

Ketiga, analisis ideologis, yaitu membaca aspek ideologis yang

terkandung dalam pemikiran serta merta meletakkannya pada

era tertentu serta latar belakang politik dan ekonominya. 5

B. Akar Pemikiran Islam Kontemporer di Dunia Islam

Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran

Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi)

hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif

yang berkembang dengan metodo pemikiran baru dalam

menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Muhammad

Arkoun, pemikir muslim asal Aljazair yang menetap di Perancis,

pernah melontarkan sebuah pertanyaan yang menggugah para

intelektual Islam, “di manakah pemikiran Islam kontemporer?” 6

Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas seakan-akan

pemikiran Islam kontemporer menghadapi krisis yang cukup

akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnya kebebasan berfikir.

Wujud ekstrem dari itu semua adalah pengkafiran terhadap

5Muhammad ‘Abid Al-Jâbiry, Nahnu wa al-Turâts: Qirâat Mu’âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafy, (Bairut: Markaz al-Tsaqafy al-‘Araby, 1990), hal. 24.

6Muhammad Arkoun, Aina huwa al-Fikr al-Islâmy al-Mu’âshir, Cet. II, (Bairut: Dâr el-Sâqy, 1996), hal. ii-viii.

Page 4: Pemikiran Islam Kontemporer

pemikiran liberal yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi

pemikiran Islam kontemporer, seperti kasus pengkafiran

terhadap Nashr Hamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di

Belanda. Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana

kebebasan berfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi

keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang

mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang

konstruktif. Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer

seakan-akan sudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam

tersebut.

Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer semakin

meluas. Namun secara umum gema tersebut masih dalam

kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik. Karena

keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat dengan masa

keemasan para pendahulunya, mereka membuka lembaran

masa lalu,7 untuk menggali inspirasi. Masa lalu adalah pemicu

para intelektual muslim kontemporer untuk melakukan

reaktualisasi, rekonstruksi dan dekonstruksi. Murâd Wahbah

menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf muslim kelahiran Maroko

adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. 8 Bahkan sampai

saat ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori

komentar terhadap buku-buku Aristoteles, sehingga ia dijuluki

dengan al-syârih al-‘adham (komentator agung). Maka dari

itu, di akhir abad 20-an para intelektual Islam, baik di wilayah

Timur maupun wilayah Barat, mulai mengangkat khazanah

rasionalitas Ibnu Rushd dalam rangka membumitanahkan

pencerahan pemikiran Islam. 9

7Di saat khazanah keilmuan dunia Islam pernah berkibar dan menguasai dunia.

8Murâd Wahbah, Madkhal ilâ al-Tanwîr, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1994), hal. 14.

9Tulisan mengenai filsafat Ibnu Rushd mulai diangkat pada tahun 80-an dan puncaknya pada tahun 1999. kajian Ibnu Rushd kian marak di dunia

Page 5: Pemikiran Islam Kontemporer

Lebih radikal dari pemikiran tersebut, Dr. Athif Iraqi, Guru

Besar Filsafat di Universitas Kairo menyatakan bahwa setelah

wafatnya Ibnu Rushd, maka berakhirlah masa filsafat Islam.

Karena setelah itu pemikiran-pemikiran filsafat tidak lagi lahir. 10

Maka dari itu, menerawang pemikiran Islam klasik akan

menemukan percikan-percikan yang sangat bermakna dan

menentukan bagi tumbuh-kembangnya pemikiran Islam

kontemporer.

Selain Ibnu Rushd, intelektual muslim kontemporer tidak

bisa melupakan ketenaran sosiolog muslim, Ibnu Khaldun. Dr.

Misbâh al-‘Amily, menyatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah putra

mahkota umat Islam yang kecanggihan cakrawalanya

menunjukkan bahwa pemikiran Islam lebih unggul dari pada

pemikiran Yunani. 11

Kendatipun pemikiran tersebut lebih mengedepankan

fanatisme Arab/Islam, tapi kecemerlangan masa lalu merupakan

nuqthat al-inthilâq (titik tolak) pemikiran Islam kontemporer.

Hassan Hanafi, penggagas “kiri Islam”, sedang menapak tilas

keberhasilan Ibnu Khaldun dengan menyoroti pasang-surut

pemikiran Islam pasca Ibnu Khaldûn sampai sekarang. 12 Dengan

Islam dengan perayaan 8 abad atas wafatnya Ibnu Rushd.10Lihat beberapa karya Dr. Athif Iraqi, seperti al-Falsafat al-Arabiyah

wa al-Tharîq ilâ al-Mustaqbal, Al-‘Aql wa al-Tanwîr, dan lain-lain.11Misbâh Al-‘Amily, Tafawwuq al-Fikr al-‘Araby ‘alâ al-Fikr al-

Yûnâny bi Wasâiq Falsafah, (Bairut: Dâr el-Fikr, 1991), hal. 127.12Dalam wawancara dengan reporter televisi Nilsat program kebudayaan,

Hassan Hanafi menegaskan bahwa proyek pemikirannya adalah follow up Ibnu Khaldun, sejarahwan muslim yang mampu membuat bunga rampai sosiologi Islam. Maka dari itu, ia berusaha melanjutkan proyek tersebut dengan menulis perjalanan peradaban Islam sejak Ibnu Khaldun hingga sekarang. Di antara buku yang baru diterbitkan Hassan Hanafi pada tahun 1999 yaitu Min al-Naql ilâ al-Ibdâ’ jilid I. Buku tersebut mengupas sosiologi dan antropologi pemikiran Islam dari proses nukil, komentar, tafsir, kemudian kreasi. Dalam waktu dekat akan diterbitkan buku terbarunya dengan judul Min al-Ibdâ’ ilâ al-Wâqi’ sebagai pelengkap dari proyek tersebut. Dengan demikian Hassan Hanafi ingin membuktikan bahwa pemikiran Islam kontemporer tidak bisa dipisahkan dari faktor sosiologis dan proses yang panjang.

Page 6: Pemikiran Islam Kontemporer

demikian, filterisasi terhadap pemikiran Islam klasik merupakan

salah satu kecenderungan umum dalam panggung pemikiran

Islam kontemporer, tak ubahnya reinkarnasi pemikiran.

Jadi dengan demikian, Islam kontemporer merupakan

gerakan pemikiran Islam di kalangan intelektual Islam dalam

menafsirkan kembali pemikiran Islam klasik dengan situasi

modern. Para tokohnya kebanyakan adalah para intelektual

Islam yang banyak belajar di lembaga-lembaga pendidikan Barat

maupun Eropa. Inti pemikirannya adalah mengembalikan

kejayaan dan keunggulan pemikiran para intelektual Islam klasik

pada abad modern, sehingga melahirkan Islam modern.

Alasannya, karena pemikiran Islam klasik sangat relevan dengan

perkembangan peradaban modern. Sehingga, jika peradaban

Islam ingin berkembang dan maju di abad modern ini, maka

pemikiran Islam harus ditafsirkan sesuai dengan perkembangan

zamannya.

C. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia

Peta perkembangan pemikiran Islam kontemporer di

Indonesia sesungguhnya tidak lepas dari perkembangan Islam

kontemporer di dunia Islam umumnya. Hal ini disebabkan

karena para intelektual muslim Indonesia banyak belajar di

negara-negara Islam modern dan juga di negara-negara Barat.

Oleh karena itu, pemikiran Islam kontemporer di Indonesia yang

dilakukan oleh kaum intelektual muslimnya sedikit terjadi

kolaborasi pemikiran antara pemikiran Islam kontemporer yang

berasal dari jazirah Arab dan pemikiran Islam kontemporer yang

dikembangkan oleh para Islamolog yang ada di universitas-

universitas di Barat.

Page 7: Pemikiran Islam Kontemporer

Sebenarnya, perkembangan pemikiran Islam kontemporer di

Indonesia tidak lepas dari upaya mereka dalam menafsirkan

kembali Islam (baca: Al-Qur’ân). Menurut Dawam Rahardjo13,

kegiatan intelektual di dunia Islam dewasa ini dikuasai oleh

sekitar lima tema sentral, yaitu: Pertama, “interpretasi

kembali Al-Qur’an”. Salah satu latar belakang gagasan

interpretasi kembali Al-Qur’an adalah keinginan untuk melakukan

rekonstruksi terhadap ajaran-ajaran Islam sebagai dasar

pembinaan suatu masyarakat modern. Pendekatan yang diambil

adalah mencari esensi-esensi ajaran Islam itu sendiri atau

menggali nilai-nilai yang paling fundamental. Dari titik tolak

inilah disusun teori-teori baru atau konsep-konsep baru di

berbagai bidang, misalnya tentang masyarakat, negara,

ekonomi, pendidikan, sosiologi, lingkungan hidup, bahkan

tentang bidang-bidang yang lebih sempit, seperti administrasi.

Tokoh-tokohnya di antaranya adalah K.H. Imam Ghozali dari Solo,

K.H. Maksum dari Yogya, K.H. Moenawar Cholil sendiri yang

menerbitkan buku berjudul “Kembali kepada Al-Qur’an dan

as-Sunnah” pada tahun 1956. Kemudian T.M. Hasbi Ash-

Shiddieqy yang menggagas fiqih baru dan menyusun tafsir

(Tafsir Al-Bayân dan Tafsir An-Nûr). Tokoh lainnya adalah Buya

Hamka (tokoh Muhammadiyah) yang menulis Tafsir Al-Azhar, dan

Ustadz A. Hassan Bandung (tokoh Persis) yang menulis Tafsir Al-

Furqan.

Tema kedua, adalah “aktualisasi tradisi”. Tema ini

cenderung sebagai reaksi terhadap tema pertama (Interpretasi

Kembali Al-Qur’ân). Penganjur tema ini bermaksud juga untuk

melakukan pembaharuan pemikiran. Tapi menurut tema ini,

pembaharuan hendaknya jangan dilakukan dengan membuat 13M. Dawam Rahardjo, “Melihat ke Belakang, Merancang Masa

Depan: Pengantar”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Peny.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Cet. I (Jakarta: P3M, 1989), hal. 1.

Page 8: Pemikiran Islam Kontemporer

garis demarkasi dengan Islam sejarah. Pembaharuan bukan

harus berarti berimplikasi berputus dengan sejarah, melainkan

justeru bertolak dari warisan sejarah. Tokoh terpenting yang

mengusung tema “aktualisasi tradisi” di antaranya adalah

Mohammad Natsir yang mengungkapkan kembali kebudayaan

Islam klasik pada akhir dasawarsa 30-an. Kemudian Nurcholis

Madjid yang menghidangkan kembali fragmen-fragmen

pemikiran para filsuf muslim masa lalu.

Tema ketiga adalah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi”. Gagasan ini awalnya dikembangkan oleh Ismail Raji

al-Faruqi yang telah menulis sebuah karya monumental yang

berjudul The Cultural Atlas of Islam pada tahun 1986. Inti

daripada gagasan Islamisasi ini adalah memberikan esensi

peradaban Islam modern dengan nilai-nilai tauhid. Gagasan

Islamisasi itu sendiri sebenarnya telah dicetuskan secara formal

dalam suatu seminar internasional tahun 1982 di Islamabad, di

mana Ismail Raji Al-Faruqi adalah aktor intelektualnya. Gema

gerakan Islamisasi ini juga masuk ke Indonesia. Salah satu

tokohnya adalah A.M. Saefuddin yang mencoba

mengislamisasikan pemikiran ekonomi.

Tema keempat adalah mempunyai kaitan tertentu dengan

ide Islamisasi maupun interpretasi kembali Al-Qur’an. Tema ini

barangkali hanya terdengar di Idonesia, melalui suara K.H.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Dewan Syura PKB dan

mantan Ketua PBNU, yaitu tema “Pribumisasi Islam”. Tema ini

sempat memancing reaksi keras, karena contoh yang

dikemukakannya di antaranya adalah mengganti kata

“Assalamu’alaikum”b dengan “Selamat Pagi” atau

“Selamat Malam”.

Page 9: Pemikiran Islam Kontemporer

Dengan tema-tema tersebut maka lahirlah istilah pemikiran

Islam kontemporer di Indonesia. Gerakan pemikiran Islam

kontemporer tersebut intinya bermaksud untuk meraih masa

depan Islam. Tema-tema ini merupakan tema tersendiri yang

menjadi obsesi kaum cendekiawan muslim Indonesia yang

memiliki obsesi bagi maju dan jayanya Islam di Indonesia.

Memang, Islam yang dibawa ke Indonesia itu bersifat

adaptable, maka ia bisa diterima dengan baik oleh banyak

orang. Kemungkinan Islam disesuaikan dengan berbagai

keadaan, itulah salah satu kekuatan Islam. Islam tidak

reaksioner, nammun elastis (lentur). Terlihat misalnya,

interpretasi Islam sebagai way of life di Indonesia, semacam

sintesis “Islamisasi” yang diperjuangkan oleh para Wali Songo,

sangat erat dengan kebudayaan setempat, betapa pun tidak

kecil pengaruh kondisi sosio-politik dan sosio-ekonomi yang

terjadi. Tidaklah aneh apabila perkembangan Islam di Indonesia

bersifat periodik sebagaimana analisis Kuntowijoyo. Menurut

Kuntowijoyo14, Islam di Indonesia mengalami tiga macam

periode, yaitu:

1. Periode tradisi mistis-religius (…..-1900)

2. Periode forulasi normatif (1900-1965)

3. Periode ide (1965-orde baru)

Periode pertama (….-1900_ ditandai dengan tradisi mistis-

religius. Misalnya pada abad ke-19 umat Islam mengadakan

perlawanan terhadap kekuatan kolonial dengan ideologi yang

bersifat utopis. Utopia, karena umat Islam tidak merumuskan

pikiran-pikirannya berdasarkan aktualisasi sejarah, melainkan

berdasrkan kepada mitos, pandangan mistis menghenai

masyarakat yang dirumuskan dalam bentuk cita-cita Ratu Adil.

14Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Cet. I (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hal. 18.

Page 10: Pemikiran Islam Kontemporer

Periode kedua (1900-1965), yang mulanya Islam dipahami

secara mistis bergeser menjadi formulasi normatif. Keudian

berkembang menjadi ideologi, lalu menjadi aksi. Dalam era ini,

Syarekat Islam (SI) mulai mengenal ideologi Komunsime dan

Marhaenisme.

Sesudah kegagalan pemberontakan PKI (Partai Komunis

Indonesia) tahun 1965, tak terasakan lagi adanya ancaman dari

ideologi lain, sehingga muncul benih-benih baru di mana Islam

ditampakkan sebagai ilmu. Islam yang menjadi ideologi dan aksi

pada masa itu, ketika zaman ilmu menjadi formulasi teoretis. Ia

selanjutnya berkembang menjadi disiplin ilu dan memiliki

program aplikasi, misalnya ilmu sosial Islam. Program dan

planningnya kemudian direalisir dengna kegiatan empiris.

Dalam era ini Islam memasuki periode ide. Mulai dari periode ide

inilah kemudian berkembang pemikiran-pemikiran Islam

kontemporer.

Jadi, pemikiran Islam kontemporer di Indonesia dimulai sejak

berkembangnya umat Islam Indonesia pada periode ide,

terutama setelah para intelektual Islam Indonesia banyak

bersentuhan dengan pembaharuan pemikiran Islam, baik

pengaruh dari dunia Islam sendiri maupun dunia Barat.

Ormas Islam yang muncul pada periode pertaa, yang paling

menonjol hingga kini adalah Muhammadiyah (1912) dan NU

(1926). Kelahiran kedua ormas Islam ini kemudian menimbulkan

pandangan dikhotomis tentang corak gerakan Islam di Indoensia.

Pemikiran Muhammadiyah yang bercorak rasional dan bermotto

sebagai gerakan tajdîd (pembaruan) dipandang sebagai gerakan

modernis. Sedangkan NU yang mendasarkan diri pada pola

pemikiran empat madzhab fikih (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan

Page 11: Pemikiran Islam Kontemporer

Hambali), dan berpegang pada teologi Asy’ariyah dan

Maturidiyah, dilihat sebagai gerakan tradisionallis.

Anggota simpatisan kedua ormas itu tidak bisa melepaskan

diri dari kondisi politik yang berkembang. Dapat dikatakan sejak

tahun 1970-an terdapat dua lapisan umat Islam yang terlibat

dalam proses mobilisasi vertikal, yaitu kelompok muslim politisi

dan kelompok muslim cendekiawan. Aspirasi kedua kelompok ini

pun berbeda. Kalau aspirasi muslim politisi bercorak ideologi,

sedangkan aspirasi muslim cendekiawan bercorak intelektual

tanpa terikat dengan salah satu partai politik atau ormas.

Hal ini menunjukkan bahwa kendatipun Islam telah

memasuki periode ide, tidak semua penggerak atau pejuangnya,

terutama kaum politisi, mampu menangkap kecenderungan baru

dari fokus kebudayaan yang berkembang atau dominan saat itu.

Sebagaimana diketahui bahwa setelah tumbangnnya Orde

Lama oleh Orde Baru, maka berakhirlah fokus kebudayaan yang

menganggap ideologi sebagai panglima. Lalu hadirnya Orde

Baru yang memusatkan programnya pada pembangunan

ekonomi, menggeser fokus kebudayaan ke level yang

memprioritaskan sektor ekonomi.

Kelompok muslim cendekiawan (penggerak Islam

kontemporer di Indonesia) cukup adaptif membaca suasana

tersebut bahwa jalur politik bukan satu-satunya cara untuk

memajukan Islam di Indonesia. Fokus kebudayaan baru yang

diprakarsai oleh Orde Baru lalu ditafsirkannya sebagai peluang

untuk melakukan terobosan-terobosan non-politik yang lebih

menyentuh kebutuhan mendasar kaum muslimin.

Problematika ummat Islam di masa itu terjerat pada

pandangan dikhotomi antara Islam modern dan Islam tradisional.

Ini mengakibatkan terjadinya kemacetan komunikasi bahkan dis-

Page 12: Pemikiran Islam Kontemporer

integrasi di dalam intern umat Islam, seperti pertentangan

masalah khilafiyah, juga persoalan hubungan politik dan agama

yang diklaim sebagai masalah wajib. Padahal aneka

keterbelakangan umat seperti kemiskinan, kebodohan,

ketidakadilan, keterasingan, dan sebagainya merupakan fakta

yang lebih mendesak untuk segera ditanggulangi.

Tentu saja kehadiran visi baru tentang “Keharusan

Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”

oleh Nurcholis Madjid pada tahun 1970 merupakan dobrakan

budaya (cultur switch) sekaligus koreksi sehingga semakin

mempertajam pentingnya aksentuasi di bidang ide dan ilmu

dalam rangka merintis transformasi sosial budaya yang lebih

kontekstual. 15

Menurut Nurcholis Madjid, kaum muslimin Indonesia

sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran

dan pengembangan ajaran-ajaran Islam serta kehilangan

psychological striking force (kemantapan jiwa untuk

berinisiatif) dalam perjuangannya. Hal itu disebabkan antara lain

oleh budaya berfikir kuantitatif yang membanggakan jumlah kau

muslimin dan perolehan suara dalam pemilu, dan sikap eksklusif

di kalangan umat Islam serta tidak adanya kebebasan berfikir.

Ia memberi solusi, hendaknya kaum muslimin menemukan

kembali gagasan kemajuan (idea of progress) dalam khazanah

nilai-nilai Islam dan berpola fikir kualitatif. Salah satu anifestasi

tentang idea of progress di dalam Islam ialah kepercayaan

akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Maka

tidak perlu lagi khawatir akan perubahan-perubahan yang selalu

terjadi pada tata nilai duniawi. Sebetulnya, sikap reaksioner dan

tertutup (eksklusif) terbit dari rasa pesimis terhadap sejarah.

15Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indoensia: Respon Cendekiawan Muslim, Cet. I (Jakarta: LSI, 1987), hal. 243-252.

Page 13: Pemikiran Islam Kontemporer

Karena itu, Islam hanya diteria sebagai agama (al-Dîn), bukan

sebagai politik praktis, sebagaimana jargon yang ia lontarkan

“Islam Yes, Partai Islam No”.

Pemikiran Nurcholis Madjid ini terlihat kemudian diaplikasi

oleh beberapa santri dari kalangan NU yang umumnya pernah

mengecap pendidikan akademis dan beberapa aktivis

Muhammadiyah, yang di antaranya mungkin telah ter-“santri”-

kan dalam bentuk kegiatan-kegiatan transformasi sosial ekonomi

kemasyarakatan. Mereka dapat disebut di antaranya

Abdurrahman Wahid, Aswab Mahasin, Habib Hirzin, K.H. Sahal

Mahfudh, Dawam Rahardjo, Hadimulyo, K.H. Hamam Dja’far,

Masdar F. Mas’udi, Adi Sasono, Fachry Ali, K.H. Abdul Basith AS,

Ison Basuni, Ali Musthofa Trajutisna, Mansour Fakih, Rum

Topatimasang, dan sebagainya. Mereka kemudian dikenal

sebagai aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan LPSM

(Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat). bahkan kini

ada satu LSM yang telah menjadikan dirinya sebagai ormas,

tidak tergantung kepada founding-agency (lembaga donor

dana), yaitu Pusat Peranserta Masyarakat (PPM).

Kemudian, memasuki tahun 1985, Orde Baru

menggelindingkan keharusan berasas tunggal Pancasila bagi

Parpol, Golkar dan ormas-ormas, sebagai upaya menyelesaikan

pertentangan ideologi di antara kelompok-kelompok masyarakat.

Ternyata rekayasa politik dalam bentuk asas tunggal itu dan

segenap implikasinya terhadap kehidupan intern umat Islam

secara implisit merupakan implementasi visi Nurcholis Madjid

mengenai “Islam Yes, Partai Islam No”. Visinya bahwa politik

praktis bukan panglima perjuangan dan sifatnya tidak sakral

telah menjadi kenyataan dewasa ini. Tidak ada lagi fatwa

pewajiban atau pengharaman terhadap salah satu partai yang

Page 14: Pemikiran Islam Kontemporer

ada bilamana enjadi anggotanya. Asas tunggal tidak saja

menggusur idealisme partai Islam di Indonesia, namun terutama

mengukuhkan urgensi memasyarakatkan ilmu dan ide ke tingkat

pengambilan keputusan.

Jika dikaji secara analitis dan historis, sesungguhnya

Pancasila dapat memeprtemukan wawasan keislaman dan

wawasan keindonesiaan. Sebab, ajaran-ajaran Islam

menyediakan bahan yang tak habis-habisnya untuk pengisian

konstitusional bagi pelaksanaan nilai-nilai keislaman di Indonesia

sehingga semakin relevan dengan masalah-masalah bangsa dan

negara.

Kemudian setelah Orde Baru “tumbang” pada tahun 1998

oleh gerakan reformasi mahasiswa, perkembangan pemikiran

Islam semakin tidak menentu dan ada upaya mengembalikan

“persoalan lama” kembali dihidupkan. Hal itu ditandai dengan

ramai-ramainya para pimpinan ormas Islam memimpin partai

politik, seperti Amien Rais dengan PAN (Partai Amanat Nasional),

Gus Dur mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), kalangan

pendukung Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB), dan

munculnya kecenderungan kaum intelektual ke gelanggang

politik praktis. Namun pada akhirnya yang memenangkan

pergulatan itu adalah kaum nasionalis agamis, yaitu dengan

terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden.

Melihat sejarah perkembangan pemikiran tersebut di atas,

ternyata perkembangan pemikiran kontemporer Islam di

Indonesia tidak lepas dari pengaruh sosio-budaya dan sosio-

politik bangsa Indonesia. Semakin besar pengaruh sosio-budaya,

maka semakin modern pemikiran Islam kaum intelektual

Indonesia. Sebaliknya, semakin besar pengaruh sosio-politik,

maka pemikiran Islam kaum intelektual muslim akan lebih

Page 15: Pemikiran Islam Kontemporer

tradisionalis. Dengan demikian, perkembangan Islam

kontemporer mengalami pasanng-surut seiring berkembangnya

sosio-budaya dan sosio-politik bangsa Indonesia. Namun yang

jelas, berkembangnya Islam kontemporer di Indonesia terjadi

pada periode ide.

D. Pemikiran Islam Kontemporer Indonesia Masa Depan

Setelah melihat perkembangan pemikiran Islam

kontemporer di Indonesia yang mengalami pasang-surut seiring

dengan adanya tarik-ulur kepentingan antara kondisi sosio-

budaya dan sosio-politik bangsa Indonesia. Oleh karena itu,

perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia di

masa depan sangat bergantung kepada kekuatan kedua kondisi

tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa abad 21 sekarang telah

berada di depan mata kita. Bagaimana kaum muslimin dapat

berperan serta untuk memajukan Indonesia di masa depan? Di

sinilah peranan kaum intelektual muslim sebagai pengusung

Islam kontemporer itu dituntut.

Menurut hemat penulis, masa depan akan menyuguhkan

perubahan-perubahan dahsyat yang pasti mempengaruhi

manusia pasca-modern ke arah ultra-modern atau neo-modern.

Menurut Alvin Toffler, kini kita berhadapan dengan era

gelombang peradaban informasi-komunikasi pasca peradaban

industri. Peradaban ini ditandai dengan superioritas akses

informasi, bukan lagi alat produksi atau lahan pertanian. T

eknologi elektronika dan komputer di zaman ini akan membuat

60% pekerjaan bergerak di bidang jasa informasi. Komputer

menjadi trend global dan dapat mengkomunikasikan mansuia

lintas negara. Agen-agen sosialisasi, seperti orang tua, guru,

Page 16: Pemikiran Islam Kontemporer

atau pemimpin agama, akan digeser oleh peranan komputer dan

dapat membentuk keluarga besar baru yang dihubungkan secara

elektronis. Adapun yang sanggup bertahan adalah yang

berorientasi ke masa depan dan kreatif mengubah pengetahuan

menjadi kebijaksanaan. 16

Senada dengan Alvin Toffler, Soedjatmiko mensinyalir proses

globalisasi ekonomi nasional dan bangkitnya suatu lapisan

tradisional di dunia yang menguasai modal, teknologi canggih,

kepakaran tinggi, akses informasi dan pasar, mau tidak mau

akan sangat berpengaruh dalam usaha pembangunan di

Indonesia.

Atas dasar itu, mengkiprahkan diri untuk mendesain format

Islam demi masa depan Indonesia, sebagaimana kata Nurcholis

Nadjid, kaum muslimin harus pandai-pandai mencari idea of

progress yang terkandung di dalam cita idel (das sollen) nilai-

nilai Islam, kemudian dijabarkan dalam kenyataan sosial sesuai

dengan cita realitas (das sein) Islam yang seutuhnya. Nilai-nilai

itu tersimpan di dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber

hukum Islam.

Islam memiliki lima prinsip (kulliyat al-khams) yang harus

dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Prinsip pertama, jaminan atas jiwa seseorang dari penindasan

dan kesewenang-wenangan (hifdz al-nafs). Prinsip kedua,

perlindungan terhadap kebebasan berpendapat secara rasional

(hifdz al-‘aql). Prinsip ketiga, perlindungan atas harta benda

sebagai hak milik (hifdz al-mâl). Prinsip keempat,

perlindungan atas kepercayaan dan agama yang diyakini (hifdz

16A. Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya, Cet. I (Jakarta: Deviri Ganan, 1993), hal. 173.

Page 17: Pemikiran Islam Kontemporer

al-dîn). Dan prinsip kelima, jaminan atas kelangsungan hidup

dan profesi (hifdz al-nasl wa al-‘irdl). 17

Lima dasar jaminan Islam terhadap ummatnya tersebut

menunjukkan betapa universalitas Islam tidak hanya

menyangkut komunikasi vertikal antara manusia dan Allah Swt,

tetapi juga bermuatan komunikasi horizontal antar sesama

manusia, serta bagaimana mengelola lingkungan sekitar.

Bila disimpulkan secara sederhana, lima dasar jaminan

tersebut tercakup dalam terminologi nilai-nilai dari: toleransi

beragama, spiritualisme, keadilan sosial, penghormatan

terhadap hak-hak asasi dan membelanya jika diinjak-injak,

demokrasi, egalitarian (sederajat), solidaritas, harmonitas, dan

berkebudayaan maju (progresif). Dalam era reformasi dan

upaya membangun kebangkitan kembali pemikiran Islam

kontemporer di Indonesia, maka nilai-nilai ini sangat mendesak

untuk ditransformasikan ke tengah realitas sosial budaya,

mengingat telah semakin kuatnya penetrasi arus modernisasi

beserta segala dampak negatifnya.

Memasyarakatkan nilai-nilai jaminan Islam tersebut pada

hakekatnya melakukan inisiatif mengisi kegiatan modernisasi

supaya lebih bermakna transendental, yakni mengandung roh-

roh etis dan religius. Sehingga modernisasi tidak berarti

westernisasi (pem-Barat-an), namun mengakomodir semangat

rasionalitas yang terkandung di dalamnya. Rasionalisasi cara

berfikir dan menginterpretasi konsep-konsep strategis yang

terkandung dalam Al-Qur’ân dan Hadits adalah agenda utama

yang harus ditanamkan dalam merangkai sistem budaya dan

sistem sosial kaum muslimin.

17Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, Cet. I (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 93.

Page 18: Pemikiran Islam Kontemporer

Kuntowijoyo mengklasifikasikan sosialisasi nilai-nilai tersebut

sebagai tiga macam gerakan kebudayaan, yaitu: Islam sebagai

sebagai gerakan intelektual, Islam sebagai gerakan etik, dan

Islam sebagai gerakan estetik. 18 Sebagai gerakan intelektual,

nilai-nilai Islam diangkat menjadi konsep ilmu pengetahuan yang

dapat menandingi konsep-konsep yang dianut saat ini. Al-Qur’an

sangat kaya memuat nilai-nilai, maka sangat perlulah sekarang

diangkat menjadi suatu scientific untuk memberi roh etis

terhadap ilmu-ilmu modern. Sedangkan sebagai gerakan etik,

Islam dapat memberikan etos tentang sesuatu. Jika etos

kapitalisme adalah pertumbuhan, maka Islam dapat

menyempurnakannya dengan pemerataan, keadilan,

kebersamaan, dan sebagainya. Dan sebagai gerakan estetik,

Islam diaktualisasi untuk menciptakan lingkungan yang lebih

bermakna keislaman. Tempat-tempat bekerja, misalnya,

dilengkapi dengan sarana mushalla atau masjid. Kesenian diberi

nafas keislaman dan sebagainya.

Atas dasar itulah, maka dalam kerangka membangun

pemikiran Islam kontemporer di masa mendatang, teori

Kuntowijoyo di atas terasa sesuai dengan makna sejarah

peradaban Islam yang telah berusia 15 abad yang silam. Ajaran

Islam yang tidak mengistimewakan suku Arab atas suku asing

(‘ajami) betul-betul menghilangkan batasan etnis dan menolak

segala tindakan diskriminatif.

Selain itu juga memberi ruang bagi kemajemukan budaya

dan politik. Tidak adanya doktrin absolut tentang politik

menunjukkan adanya dimensi kosmopolitanisme yang kuat

dalam Islam Indonesia. Islam membebaskan pemeluknya untuk

menata kehidupan politik sesuai dengan tradisi dan corak

18Kuntowijoyo, “Konvergensi Sosial dan Alternatif Gerakan Kultural”, Majalah Pesantren, Nomor 3/Vol. III (Jakarta: P3M, 1986), hal.11.

Page 19: Pemikiran Islam Kontemporer

budaya sebagai sabda Nabi Sawq: “Antum a’lamu bî umuri

dunyakum” (Engkaulah yang lebih mengetahui urusan-urusan

duniamu).

Karena itu, sangatlah tepat dan strategis, apabila

perjuangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia di masa

depan adalah memilih jalur gerakan kebudayaan dan

menitikberatkan sosialisasi nilai-nilai, bukan doktrin-doktrin

normatif yang seringkali cenderung diideologikan. Politik praktis

tidaklah untukdijadikan tujuan, tetapi hanya salah satu wahana

yang bersifat kondisional.

Maka tantangan zaman yang kian meningkat di depan kita

hanya dapat dipenuhi jika terdapat perkembangan intelektual

Islam yang bercabang dua, yaitu suatu intelektualisme yang

mengambil inspirasi dari kekayaan Islam klasik yang luwes, dan

suatu usaha pengembangan kemampuan menjawab tantangan

zaman dengan membuka diri (inklusif) kepada hal-hal baru

yang lebih maju. 19

Atau menurut jargon klasik kalangan ulama, bagaimana

melaksanakan pedoman “al-muhafadhah ‘alal

qadîmishshalîh wal akhdzu di al-jadîd al-ashlâh”,

memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru

yang lebih baik. Hal itu dapat dipenuhi jika kita selalu

menynempurnakan sistem budaya Islam tanpa menghilangkan

corak positif budaya lokal. Agenda ini amat menentukan corak

sistem sosial kaum muslimin yang hendak dibangun. Dalam

konteks perubahan yang selalu akan terjadi, masa depan

kebudayaan Islam di Indonesia sangat tergantung kepada

kreatifitas kaum muslimin dalam menjabarkan nilai-nilai Islam

dalam bentuk ruusan-rumusan yang layak diaplikasikan.

19Nurcholis Madjid, “Suatu Tatapan Islam terhadap Masa Depan Politik Indonesia, Majalah Prisma, No. Ekstra, 1984, hal.21.

Page 20: Pemikiran Islam Kontemporer

Jadi, gerakan Islam di masa depan untuk membangun

kejayaan Islam kontemporer di Indonesia adalah gerakan

kebudayaan Islam, dalam artian bahwa Islam dijadikan sebagai

gerakan kebudayaan, yang di dalamnya adalah

mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam yang termaktub dalam

Al-Qur’an dan Hadits kepada ummat Islam dan masyarakat

Indonesia umumnya, baik dalam bentuk pemikiran, sikap, dan

perilaku. Dengan cara demikian, insya Allah pemikiran Islam

kontemporer di Indonesia akan terus maju dan dapat diterima

oleh seluruh kalangan bangsa Indonesia yang terkenal majemuk

ini. Amîn.

E. Kesimpulan

Dari hasil kajian dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Lahirnya Islam kontemporer di dunia Islam tidak terlepas dari

terjadinya persentuhan budaya berfikir kaum intelektual

muslim dengan tradisi keilmuan Barat atau Eropa.

2. Islam kontemporer maksudnya adalah penafsiran Islam yang

bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits dengan perkembangan

pemikiran oleh kaum intelektual muslim dalam membaca

perubahan zaman.

3. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia dipengaruhi oleh

interaksi pemikiran kaum intelektual muslim Indonesia

dengan kalangan pembaharu dan tradisi keilmuan Barat.

4. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia mengalami pasang-

surut seiring dengan berkembangnya kondisi sosio-budaya

dan sosio-politik bangsa Indonesia.

5. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia akan mengalami

perkembangan di masa depan apabila format pemikiran dan

Page 21: Pemikiran Islam Kontemporer

pergerakan mengarah kepada gerakan kebudayaan, bukan

pada gerakan politik praktis.

KEPUSTAKAAN

Dawam Rahardjo, M. 1989. “Melihat ke Belakang, Merancang Masa Depan: Pengantar”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Peny.). Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Cetakan Pertama. Jakarta: P3M.

Kuntowijoyo. 1985. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Shalahuddin Press.

-------------------------.1986. “Konvergensi Sosial dan Alternatif Gerakan Kultural”. Majalah Pesantren, Nomor 3/Vol. III. Jakarta: P3M.

Muhamad ‘Abid Al-Jâbiry. 1990. Nahnu wa al-Turâts: Qirâat Mu’âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafy. Bairut: Markaz al-Tsaqafy al-‘Araby.

Mahmûd Amîn al-‘Alîm. 1998. Al-Fikr al-‘Araby Bayn al-Nadzariyah wa al-Tathbîq. Jurnal ‘A:am al-Fikr, Jilid 26, Edisi III dan IV, Kuwait.

Page 22: Pemikiran Islam Kontemporer

Misbâh Al-‘Amily. 1991. Tafawwuq al-Fikr al-‘Araby ‘alâ al-Fikr al-Yûnâny bi Wasâiq Falsafah. Bairut: Dâr el-Fikr.

Muhammad Arkoun. 1996. Aina huwa al-Fikr al-Islâmy al-Mu’âshir. Cetakan Kedua. Bairut: Dâr el-Sâqy.

Muhammad Kamal Hasan. 1987. Modernisasi Indoensia: Respon Cendekiawan Muslim. Cetakan Pertama. Jakarta: LSI.

Murâd Wahbah. 1994. Madkhal ilâ al-Tanwîr. Kairo: Dâr el-Fikr.

Naufal Ramzy (Editor), A. 1993. Islam dan Transformasi Sosial Budaya. Cetakan Pertama. Jakarta: Deviri Ganan.

Nurcholis Madjid. 1984. “Suatu Tatapan Islam terhadap Masa Depan Politik Indonesia. Majalah Prisma, No. Ekstra.

Said Aqiel Siradj. 1999. Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri. Cetakan Pertama. Jakarta: Pustaka Ciganjur.

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

A. Pendahuluan …………………………………………….

1

B. Akar Pemikiran Islam Kontemporer di Dunia Islam…

3

Page 23: Pemikiran Islam Kontemporer

C. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia ………….

5

D. Pemikiran Islam Kontemporer Indonesia Masa Depan

11

E. Kesimpulan …………………………………………….

17

KEPUSTAKAAN ……………………………………………

19