DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS...

14
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG Laporan Kasus : Tatalaksana Pterigium Rekuren dengan Simblefaron Penyaji : Ade Triyadi Pembimbing : dr. Angga Fajriansyah, Sp.M Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh: Pembimbing dr. Angga Fajriansyah, Sp.M Jumat 13 Februari 2020 Pukul 13.00 WIB

Transcript of DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS...

  • DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

    PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO

    BANDUNG

    Laporan Kasus : Tatalaksana Pterigium Rekuren dengan Simblefaron

    Penyaji : Ade Triyadi

    Pembimbing : dr. Angga Fajriansyah, Sp.M

    Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh:

    Pembimbing

    dr. Angga Fajriansyah, Sp.M

    Jumat 13 Februari 2020

    Pukul 13.00 WIB

  • 1

    Management of Recurrent Pterygium with Symblepharon

    ABSTRACT

    Introduction: Pterygium is a wing-shaped growth of fibrovascular tissue on the

    superficial cornea. One of the complication from pterygium is symblepharon.

    Formation of symblepharon may occured from post operative procedure, ocular

    chemical injury, and another traumatic ocular lesion.

    Purpose: To report the management of recurent pterygium with symblepharon.

    Case Report: A seventy-six years old woman came to Cicendo Eye Hospital with a

    recurrent of reddish membrane on her left eye and foreign body sensation on her eye

    as a chief complaint since 2 years ago. She underwent pterygium surgery on her left

    eye 15 years ago in Cicendo Eye Hospital. Ophthalmological examination revealed

    visual acuity right eye 0.03 PH 0.08, visual acuity of left eye 1/300 and restriction of

    left eye movement. From the anterior segment examination of her left eye revealed

    symblepharon, fibrovascular membrane extended from conjungtiva to medial area of

    cornea, shortening of the fornix, scaring cornea of left eye and opacity of the lens. The

    patient diagnosed as pterygium grade III + symblepharon + scaring cornea of left eye

    + senile immature cataract of both eye. The patient treated with pterygial excision with

    conjungtival autograft + 5FU + symblepharectomy + amniotic membrane graft +

    tarsoraphy of left eye. Topical eye drops are applied combination from polymicin B

    sulphate, neomycin sulphate and dexamethason eye drop 6x of left eye. Artificial tears

    6x of left eye. Mefenamif acid 3x500 miligram tablet per oral. Application of bandage

    contact lens of left eye.

    Discussion: Pterygium may occur with symblepharon as complication from post

    surgical excision of pterygium. Reccurency of pterygium could be different based on

    history of surgical technique of pterigyum excision before.

    Conclusion: Symblepharectomy combined with conjungtival autograft and amnion

    membrane graft in management of symblepharon with reccurent pterygium could be

    performed to reduce the chance of recurrent of the disease.

  • 2

    Pendahuluan

    Pterigium adalah pertumbuhan dari jaringan konjungtiva dan jaringan fibrovaskular

    pada kornea mata yang berbentuk sayap. Komplikasi daripada pterigium salah satunya

    adalah simblefaron. Simblefaron merupakan perlengketan pada konjungtiva tarsal

    terhadap konjungtiva bulbar. Keadaan ini terjadi akibat dari komplikasi penyakit yang

    terjadi sebelumnya pada mata. Perlengketan tersebut terjadi dengan faktor risiko

    berupa luka pasca trauma maupun pasca tindakan operasi. Pada laporan kasus ini

    terdapat dua kondisi yaitu terdapat pterigium rekuren pada mata kiri disertai dengan

    simblefaron pada mata kiri, dengan riwayat operasi eksisi pterigium 15 tahun yang lalu.

    Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan tatalaksana kasus pada pasien

    pterigium rekuren dengan komplikasi simblefaron pada mata kiri.

    Laporan Kasus

    Pasien Ny. E usia 76 tahun datang ke unit Infeksi dan imunologi PMN RS Mata

    Cicendo Bandung pada tanggal 10 Februari 2020 dengan keluhan utama terdapat

    selaput kemerahan pada mata kiri sejak 2 tahun yang lalu, disertai sensasi mengganjal

    pada mata, keluhan disertai penglihatan buram pada kedua mata sejak lebih dari 2 tahun

    yang lalu. Saat ini pasien tidak bekerja, aktivitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga,

    memiliki riwayat pekerjaan sebagai petani sebelumnya, pasien bekerja tanpa

    mengunakan pelindung mata. Riwayat operasi eksisi pterygium mata kiri sebelumnya

    di PMN RS Mata Cicendo 15 tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat diabetes

    mellitus maupun hipertensi.

    Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis.

    Tekanan darah 120/80, nadi 92x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,4 0C. Pemeriksan

    oftalmologis didapatkan visus dasar mata kanan adalah 1/60 pinhole 0,08. Visus dasar

    mata kiri 1/300 pinhole tetap. Tekanan intraokular mata kanan 18 (nct), palpasi mata

    kiri normal. Gerakan bola mata kiri -2 (superonasal, superotemporal, temporal dan

  • 3

    inferotemporal), -1 (inferonasal dan medial). Gerakan bola mata kanan dalam batas

    normal.

    Pemeriksan segmen anterior mata kanan dan kiri palpebra tenang. Konjungtiva mata

    kanan tenang, mata kiri terdapat pterygium grade III dan simblefaron anterior pada

    region inferonasal. Kornea mata kanan jernih, mata kiri terdapat sikatrik, head of

    pterygium dan simblefaron. Bilik mata depan pada mata kanan dan kiri VH grade III,

    flare/sel -/-. Pupil mata kanan dan kiri bulat, reflek cahaya +/+. Iris mata kanan dan kiri

    tidak terdapat sinekia. Lensa mata kanan dan kiri agak keruh. segmen posterior mata

    kanan reflek fundus menurun, media agak keruh, papil bulat, batas tegas, c/d rasio 0,3.

    Pasien didiagnosis dengan pterygium grade III OS rekuren + simblefaron anterior OS

    + katarak senilis imatur ODS. Pasien direncanakan untuk tindakan simblefarektomi OS

    yang dikombinasikan dengan eksisi pterygium + CAG + 5FU dalam NU pada tanggal

    14 Januari 2020.

    Gambar 1 Simblefaron pada pasien sebelum tindakan operasi

    Pasien menjalani operasi pada tanggal 17 Februari 2020 dengan prosedur eksisi

    pterigium dengan simblefarektomi yang dimulai dengan jahitan traksi sebanyak 2 buah

    pada palpebra superior dan palpebra inferior. Dilakukan simblefarektomi dengan

    mengangkat konjungtiva dan dilakukan eksisi sehingga konjungtiva terpisah dari

    jaringan parut yang mendasarinya disertai dengan pengangkatan jaringan parut

    subkonjungtiva. Eksisi kepala pterigium dari kornea serta mengangkat badan

  • 4

    pterigium, memisahkan konjungtiva menjadi 2 bagian membentuk flap masing-masing

    untuk membuat flap penutup sklera dan flap untuk membuat fornix.

    Aplikasi 5FU selama 3 menit pada subkonjungtiva bagian inferonasal, dilakukan

    rekonstruksi subkonjungtiva area inferonasal, fiksasi flap rotasi di fornix superonasal

    dan pemasangan sponge pada jaringan palpebra inferonasal. Pengambilan graft pada

    bagian konjungtiva superotemporal dengan ukuran 5x5 mm, lalu pemasangan graft

    pada area eksisi pterigium pada inferonasal dengan penjahitan pada graft secara

    interupted. Dilakukan pemasangan amnion membrane graft dengan ukuran 7x6 mm

    satu lapis dengan penjahitan interupted, dilakukan pemasangan bandage contact lens,

    dilakukan pemasangan tube pada palpebra inferior dan superior dengan fiksasi

    penjahitan secara interupted.

    Gambar 2 Pasca tindakan hari ke-1

    Pemeriksaan oftalmologis POD I tanggal 18 Februari 2020 didapatkan visus dasar

    mata kanan adalah 1/60 pinhole 0,08. Visus dasar mata kiri 1/300 pinhole tetap.

    Tekanan intraokular mata kanan 19 (nct), palpasi mata kiri normal. Gerakan bola mata

    kanan dalam batas normal, gerakan bola mata kiri -1 (superonasal, superotemporal,

    temporal, inferotemporal, inferonasal dan nasal). Pemeriksaan palpebra kanan tenang,

    palpebra kiri blefarospasme, terdapat tube pada palpebra inferior dan superior dengan

    struktur intak dan hekting intak. Konjungtiva bulbar mata kanan tenang, mata kiri

    terdapat injeksi konjungtiva dan injeksi siliar, subkonjungtival bleeding minimal,

  • 5

    terdapat graft intak, AMG intak, hecting intak, bandage contact lens (+), tube (+)

    palpebra inferior dan superior intak. Pada kornea mata kanan jernih, mata kiri

    didapatkan sikatrik. Pemeriksaan bilik mata depan kedua mata VH grade III, flare/sel -

    /-. Pupil bulat, tidak terdapat sinekia. Lensa kedua mata agak keruh. segmen posterior

    kedua mata didapatkan reflek fundus menurun, media agak keruh, papil bulat batas

    tegas, c/d rasio 0,3. Pasien didiagnosa dengan post eksisi pterigium + CAG + 5FU +

    simblefarektomi + AMG OS + KSI ODS.

    Gambar 3 Dokumentasi intra operasi. Membelah konjungtiva menjadi 2 flap (A).

    pembebasan simblefaron (B). Pemasangan AMG (C). Pemasangan tube

    tarsorafi (D).

    Pasien mendapat terapi tetes mata kombinasi dexamethasone, polimiksin B serta

    neomisin sulfat 8 x 1gtt OS, air mata artifisial 1 gtt/jam, tetes mata sodium hyaluronate

    4 x OS serta ciprofloxacin 2x 500 mg per oral, pemasangan bandage contact lens.

    Pasien saran rawat jalan dan kontrol ke polikinik Infeksi dan Imunologi 1 minggu yang

    akan datang.

    Pemeriksaan oftalmologis POD 8 tanggal 25 Februari 2020 didapatkan visus dasar

    mata kanan adalah 1/60 pinhole 0,08. Visus dasar mata kiri 1/300 pinhole tetap.

  • 6

    Tekanan intraokular mata kanan 18 (nct), palpasi mata kiri normal. Gerakan bola mata

    kanan dalam batas normal, gerakan bola mata kiri 0 (superonasal, superotemporal,

    temporal, inferotemporal, inferonasal dan nasal). Pemeriksaan palpebra kanan tenang,

    palpebra kiri blefarospasme, terdapat tube pada palpebra inferior dan superior dengan

    struktur intak dan hekting intak. Konjungtiva bulbar mata kanan tenang, mata kiri

    terdapat injeksi konjungtiva dan injeksi siliar, subkonjungtival bleeding minimal,

    terdapat graft intak, AMG intak, hecting intak, bandage contact lens (+). Pada kornea

    mata kanan jernih, mata kiri didapatkan sikatrik. Pemeriksaan bilik mata depan kedua

    mata VH grade III, flare/sel -/-. Pupil bulat, tidak terdapat sinekia. Lensa kedua mata

    agak keruh. Segmen posterior kedua mata didapatkan reflek fundus menurun, media

    agak keruh, papil bulat batas tegas, c/d rasio 0,3. Pasien didiagnosa dengan post eksisi

    pterigium + CAG + 5FU + simblefarektomi + AMG OS + KSI ODS.

    Pasien mendapat terapi tetes mata kombinasi dexamethasone, polimiksin B serta

    neomisin sulfat tappering off minggu ke-1 6 x 1gtt OS, minggu ke-2 5 x1 gtt OS, air

    mata artifisial 6x 1 gtt OS, serta penggantian bandage contact lens. Dilakukan aff tube

    palpebra inferior dan superior dengan gunting di ruang tindakan. Pasien saran kontrol

    ke polikinik Infeksi dan Imunologi 2 minggu yang akan datang.

    Diskusi

    Pterigium adalah pertumbuhan dari jaringan konjungtiva dan jaringan fibrovaskular

    pada kornea mata yang berbentuk sayap, berasal dari bahasa Yunani “pteros” yang

    berarti sayap. Patogenesis pterigium berawal dari radiasi sinar ultraviolet ataupun

    pemicu iritasi kronis lainnya, kelainan berawal dari gangguan pada stem sel limbus.

    Sel pterigium yang dipicu oleh sitokin inflamasi, mengekspresikan growth factor yang

    memicu pertumbuhan jaringan fibrovaskular. Berdasarkan kondisi stem sel limbus

    yang mengalami gangguan, yang mana bagian tersebut sebagai barier daripada

    pertumbuhan jaringan luar kornea, dikarenakan barier tersebut mengalami gangguan

  • 7

    sehingga pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva akan melewati batas hingga

    mencapai struktur kornea.1-3

    Faktor risiko dari pterigium berkaitan erat dengan paparan terhadap sinar matahari

    atau sinar ultraviolet. Faktor lain yang dapat berkontribusi terhadap munculnya

    pterigium adalah paparan trauma kecil terhadap angin, debu, atau benda lainnya yang

    memicu iritasi kronis terhadap mata. Area pada kornea yang paling sering muncul

    pterigium adalah pada region nasal. 1-5 Pada pasien ini sesuai dengan faktor risiko yaitu

    paparan sinar matahari dan pekerjaan di luar ruangan.

    Prevalensi dari pterigium meningkat pada daerah tropis, usia terbanyak pada 20 –

    30 tahun, lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan, faktor pekerjaan di luar

    ruangan meningkatkan risiko pterigium. Pasien ini berasal dari area tropis dan

    diperberat dengan aktivitas sebagian besar terpapar sinar matahari. Silindris reguler

    maupun ireguler dapat dipicu oleh timbulnya pterigium. Keluhan lain dapat berupa

    mata sensasi mengganjal, penglihatan semakin buram seiring dengan perluasan

    pterigium yang menutup axis visual. 1-6 Keluhan pada pasien ini sesuai dengan gejala

    sensasi mengganjal pada mata, penglihatan semakin buram. Kondisi diperberat dengan

    terbatasnya pergerakan bola mata kiri dikarenakan terdapat komplikasi simblefaron.

    Gambar 4 Grading pterigium beradasarakan klasifikasi Tan. Dikutip dari : Tan DTH

    Pterigium memiliki tingkatan atau grading berdasarkan morfologi jaringan

    fibrovaskular yang ditunjukkan berdasarkan parameter dari pembuluh darah episklera

    menurut klasifikasi Tan. Grade T1 (atropi) apabila pembuluh darah episklera dibawah

    badan pterigium dapat terlihat jelas (A), grade T2 (intermediate) apabila pembuluh

  • 8

    darah episklera dibawah badan pterigium dapat terlihat namun agak sulit untuk

    dibedakan secara detail(B), atau tertutup sebagian, grade T3 (fleshy) apabila pembuluh

    darah episklera tertutup secara total oleh badan pterigium(C). Penentuan grade lainnya

    berdasarkan area invasi dari struktur fibrovaskular terhadap kornea. Pterigium terdiri

    atas 4 grade, grade I jaringan fibrovaskular mencapai limbus, grade II jaringan

    fibrovaskular mencapai kornea sejauh 2 mm dari limbus, grade III jaringan

    fibrovaskular mencapai tepi pupil, sedangkan grade IV jaringan fibrovaskular telah

    menutup visual axis atau menutup pupil. Pada pasien ini termasuk dalam grade III

    dikarenakan jaringan fibrivaskular telah mencapai tepi pupil dengan jarak melebihi

    2mm dari limbus.1-3, 6 Grading morfologi pterigium pada pasien ini termasuk pada

    grade T1 berdasarkan klasifikasi Tan dikarenakan pembuluh darah episklera masih

    dapat terlihat jelas. Berdasarkan invasi terhadap kornea termasuk pada grade III

    dikarenakan telah mencapai tepi pupil dan melebihi 4 mm dari kornea.

    Gambar 5 Teknik penutupan eksisi pterigium. Bare sclera (A). Simple closure (B).

    Sliding flap (C). Rotational flap (D). Conjungtival autograft (E).

    Tatalaksana utama pada pterigium adalah pembedahan. Indikasi untuk tindakan

    pembedahan adalah rasa mengganjal yang menyebabkan ketidaknyamanan pada

    pasien. Penurunan tajam penglihatan dikarenakan adanya astigmat atau penutupan

    visual axis. Pertumbuhan pterigium yang signifikan lebih dari 3-4 mm dari batas

    limbus. Terbatasnya pergerakan bola mata. Pada pasien ini terdapat keluhan tidak

  • 9

    nyaman karena sensasi mengganjal pada mata, penurunan visus dan terbatasnya

    pergerakan bola mata.1-3, 7

    Terdapat beberapa teknik pembedahan pterigium, bare sclera dengan cara eksisi

    dengan membiarkan sklera terekspose, biasa mengunakan jahitan dengan benang

    absorbable untuk mengaproksimasi konjungtiva dan sklera pada area insersi tendon

    otot rektus, teknik ini memiliki tingkat rekurensi paling tinggi. Teknik conjungtival

    limbal graft dengan angka rekurensi paling rendah. Teknik ini digunakan dengan

    menggunakan graft dari mata yang sama, diambil dari area superior untuk dipasangkan

    pada area post eksisi pterigium pada regio nasal atau temporal. Penambahan amnion

    membrane graft, aplikasi 5-fluorouracil atau MMC sebagai anti metabolit terbukti

    dapat menurunkan rekurensi dan mempercepat proses penyembuhan bahkan pada

    pasien dengan komplikasi simblefaron.1, 7-12

    Gambar 6 Grading simblefaron Dikutip dari Tseng CG

    Komplikasi dari pterigium maupun pasca tindakan pada pterigium salah satunya

    adalah simblefaron. Simblefaron merupakan perlekatan abnormal antara permukaan

    konjungtiva bulbar dan konjungtiva tarsal yang dapat terjadi akibat pasca tindakan

  • 10

    operasi, reaksi radang maupun pasca trauma. Simblefaron dapat terjadi akibat proses

    penyembuhan permukaan antara konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi.

    Penyebab umumnya ditimbulkan dari komplikasi trauma kimia mata, konjungtivitis

    membran, ulserasi konjungtiva, Steven-Johnson Syndrome dan dapat terjadi pada anak

    dengan kondisi infeksi kronis keratokonjungtivitis. Gambaran klinis yang dikeluhkan

    oleh pasien pada simblefaron adalah terdapatnya sensasi mengganjal pada mata,

    pergerakan bola mata terbatas, diplopia dan lagopthalmos.13-16

    Simblefaron memiliki pembagian berdasarkan luasnya adhesi dan letak adhesi yang

    terjadi. Berdasarkan lokasi yaitu simblefaron anterior, simblefaron posterior, dan

    simblefaron total yang mencakup dari area margo hingga ke forniks konjungtiva.

    Lokasi simblefaron menggunakan kode upper lid (U), lower lid (L), nasal (N), middle

    (M) atau T (temporal).6, 14-16

    Tingkat keparahan dinilai berdasarkan tiga parameter. Pertama yaitu parameter

    panjang simblefaron vertikal terpendek diukur dari limbus ke lid margin dari

    pemendekan forniks, dinyatakan mild apabila panjangnya lebih besar dari konjungtiva

    palpebral (A); moderate apabila panjangnya lebih besar dari konjungtiva tarsal tetapi

    lebih pendek dari konjungtiva palpebra(B); severe apabila panjangnya lebih pendek

    dari konjungtiva tarsal normal(C). Lebar horizontal terpanjang simblefaron

    dibandingkan dengan panjang kelopak mata. Dikatakan sebagai mild jika lebarnya

    kurang dari sepertiga(D); moderate apabila lebarnya lebih besar dari sepertiga tetapi

    kurang dari dua pertiga(E); severe apabila lebih lebar dari dua pertiga tutupnya(F).

    Tingkat keparahan dan lokasi inflamasi aktif simblefaron. Inflamasi dinilai nol apabila

    tidak terdapat tanda inflamasi(G); +1 apabila mild inflamasi(H); +2 apabila moderate

    inflamasi(I); +3 apabila severe inflamasi dengan ditandai vaskularisasi beserta ada atau

    tidaknya jaringan parut(J).6, 14-16 Pada pasien ini termasuk pada grading panjang

    simblefaron vertikal termasuk mild, lebar horizontal kurang dari 1/3 sehingga masuk

    pada kategori mild, kemudian untuk tanda inlamasi termasuk pada grading +1 atau

    mild. Tatalaksana pada pasien ini menggunakan tindakan operasi dengan prinsip

  • 11

    membagi dua konjungtiva pada simblefaron dengan potongan pertama digunakan

    untuk flap pada sclera pasca tindakan eksisi pterigium, lalu potongan pertama

    digunakan untuk pembentukan fornix.

    Simpulan

    Penanganan simblefaron disertai dengan rekuren ptrerigium memiliki banyak teknik

    operasi yang dapat dilakukan, dengan tingkat rekurensi dan kemungkinan komplikasi

    yang bervariasi. Pilihan tatalaksana pada kasus ini adalah simblefarektomi beserta

    eksisi pterigium dengan graft konjungtiva, aplikasi 5-fluoroluracil, amnion membran

    graft mata kiri dan tarsorafi palpebra mata kiri, menunjukkan kondisi pada pasien

    sampai pada hari ke-14 pasca operasi memiliki perkembangan yang baik.

  • 12

    Daftar Pustaka

    1. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Clinical approach to deposition and degeneration of the conjungtiva, cornea and sclera. Dalam: American Academy

    of Ophthalmology. Basic clinical science course section 8: External disease and

    cornea. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2016. Hlm.

    252-3.

    2. Bowling B. Pterygium. Dalam: Kanski’s clinical ophthalmology, 8th editions. New South Wales: Elsevier; 2016. Hlm. 162 – 4.

    3. Chu WK, Choi HL, Bhat AK, Jhanji V. Pterygium: New insight. Eye. 2020; 10:782 – 6.

    4. Rezvan F, Khabazkoob M, Hooshmand E, Yekta A, Saatchi M, et. al. Prevalence and risk factors of pterygium: a systematic review and meta-

    analysis. Survey of ophthalmology. 2018; 63: 719 – 35.

    5. Tan DTH, Chee SP, Dear KBG, Lim ASM. Effect of pterygium morphology on pterygium recurrence in a controlled trial comparing conjungtival

    autografting with bare sclera excision. Arch Ophthalmol. 1997; 115: 1235 – 40.

    6. Tseng CG, Blanco G, Criopreserved amnion grafts for fornix reconstruction. The ocular surface research and education foundation. 2006; 1(6).

    7. Campagna, Giovani BS, Matthew A, Li W, Sumitra K, et. al. Comparison of pterygium recurrence rates among different races and ethnicities after primary

    pterygium excision by surgeons in training. The journal of cornea and external

    disease. 2018; 37(2): 199 – 204.

    8. Clearfield E, Muthappan V, Wang X. Conjungtival autograft for pterygium. Cochrane library. 2016; 10(2).

    9. Toker E, Eraslan M. Recurrence After Primary Pterygium Excision: Amniotic Membrane Transplantation with Fibrin Glue Versus Conjunctival Autograft

    with Fibrin Glue. Current eye research. 2015; 1 – 8.

    10. Bekibele CO, Sarimiye TF, Ogundipe A, Olaniyan S. 5-Fluorouracil vs avastin as adjunct to conjunctival autograft in the surgical treatment of pterygium. Eye.

    2016; pages 515 – 21.

    11. Hamal D, Singh SK, Lamichhane B, Sharma A, Anwar A, et. al. Amniotic membrane transplantation: Current indications in a tertiary eye hospital of

    eastern Nepal. Nepalese journal of ophthalmology. 2016; 8(16): 151-60.

    12. Abdi P, Latifi G, Ghassemi H. Oral mucosal grafting in ophthalmology. Application of biomedical engineering in dentistry. 2019; 329 – 38.

    13. Patel SY, Phil WH, Vuppala S. Complications of pterygium excision. UT Southwestern medical center. 2017; 2: 152 – 5.

    14. Akkaya S, Ozkurt YB, Persistent symblepharon in an infant following epidemic keratoconungtivitis. Med hypothesis discov innov ophthalmol. 2016; 5(3): 74-

    77.

    15. Lee WW, Portalou D, Sayed MS, Kankariya S. Diplopia and Symblepharon Following Mueller’s Muscle Conjunctival Resection in Patients on Long-Term

  • 13

    Multiple Antiglaucoma Medications. Ophthalmic Plastic and Reconstructive

    Surgery. Volume 33, Supplement 1, May/June 2017; 79 - 82(4).

    16. Srinivasan B, Agarwal S, Iyer G. Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Other Mucocutaneous Syndromes. Emergencies of

    the Orbit and Adnexa. 2016; 217 – 24.

    https://www.ingentaconnect.com/content/wk/iop;jsessionid=d4kryfnmccie.x-ic-live-03https://www.ingentaconnect.com/content/wk/iop;jsessionid=d4kryfnmccie.x-ic-live-03https://link.springer.com/book/10.1007/978-81-322-1807-4https://link.springer.com/book/10.1007/978-81-322-1807-4