Css Deepresi Postpartum
Transcript of Css Deepresi Postpartum
BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum sebagian besar wanita mengalami gangguan emosional
setelah melahirkan. Bentuk gangguan postpartum yang umum adalah depresi,
mudah marah dan terutama mudah frustasi serta emosional. Gangguan mood
selama periode postpartum merupakan salah satu gangguan yang paling sering
terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara.
Sebagian perempuan menganggap bahwa masa–masa setelah melahirkan
adalah masa–masa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan
secara emosional. Gangguan–gangguan psikologis yang muncul akan mengurangi
kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak
dan ibu dikemudian hari. Hal ini bisa muncul dalam durasi yang sangat singkat
atau berupa serangan yang sangat berat selama berbulan–bulan atau bertahun–
tahun lamanya.
Ada 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues,
postpartum depression dan postpartum psychosis. Postpartum blues atau sering
disebut juga sebagai maternity blues yaitu kesedihan pasca persalinan yang
bersifat sementara. Depresi postpartum yaitu depresi pasca persalinan yang
berlangsung saat masa nifas, dimana para wanita yang mengalami hal ini kadang
tidak menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan penyakit. Postpartum
psychosis, dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat karena
bisa menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya
setiap pasca melahirkan.
Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988.
Depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari dengan
menunjukkan kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan
libido (kehilangan selera untuk berhubungan intim dengan suami). Tingkat
keparahan depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrim yang paling ringan
yaitu saat ibu mengalami “kesedihan sementara” yang berlangsung sangat cepat
pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity blues.
1
Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum atau
melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrim tersebut terdapat kedaan yang relatif
mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi
postpartum.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Postpartum
2.1.1 Definisi
Dalam bahasa Latin, waktu tertentu setelah melahirkan anak disebut
puerperium, yaitu dari kata puer yang berarti bayi dan parous yang artinya
melahirkan. Puerperium berarti masa setelah melahirkan bayi.1 Masa nifas
(puerperium) menurut Sarwono Prawirohardjo dimulai setelah plasenta lahir dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti ketika sebelum hamil,
berlangsung kira-kira enam minggu.2
2.1.2 Periode
Nifas (pueperium) dibagi dalam tiga periode, yaitu :1
1. Pueperium dini, adalah kepulihan ketika ibu diperbolehkan berdiri dan
berjalan.
2. Pueperium intermedial, adalah kepulihan menyeluruh alat-alat genital.
3. Remote pueperium, adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna, terutama bila masa hamil dan melahirkan terdapat komplikasi.
2.1.3 Perubahan Fisiologis
Perubahan fisiologis pada masa post partum adalah sebagai berikut :
A. Uterus
Setelah persalinan, kaliber pembuluh ekstra uterus berkurang hingga hampir
mencapai keadaan sebelum hamil. Lubang serviks berkontraksi secara perlahan,
dan selama beberapa hari setelah persalinan lubang ini massih mudah dimasuki
dengan dua jari. Pada akhir minggu pertama, serviks menebal dan kanalis
terbentuk kembali. Os eksternus tidak pulih secara total ke bentuk pragravidanya.
Os eksternus tetap melebar dan cekungan bilateral di tempat laserasi menetap
hingga menjadi tanda serviks para. Setelah dua hari pertama, uterus mulai
menciut, dalam dua minggu uterus telah turun ke dalam rongga panggul sejati.
Ukuran uterus kembali seperti pada keadaan prahamil dalam waktu sekitar empat
minggu.
3
Tabel 2.1 Tinggi Fundus Uterus dan Berat Uterus Menurut Masa Involusi
Involusi Tinggi fundus uterus Berat uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Uri lahir 2 jari di bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat
simfisis
500 gram
2 minggu Tidak teraba di atas
simfisis
350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram
Afterpains
Pada multipara, uterus sering berkontraksi dengan kuat
pada interval-interval tertentu dan menimbulkan afterpains.
Afterpains terutama dirasakan jika bayi menyusui karena adanya
pelepasan oksitosin, kadang, nyeri ini terasa sangat hebat
hingga pasien memerlukan analgesik, tetapi pada umumnya
nyeri akan berkurang pada hari ketiga postpartum.
Lokia
Pada awal masa nifas, peluruhan jaringan desidua
menyebabkan pengeluaran rabas vagina dengan jumlah
bervariasi, rabas ini disebut dengan lokia. Selama beberapa hari
setelah persalinan, lokia mengandung cukup banyak darah
sehingga berwarna merah (lokia rubra). Setelah tiga atau empat
hari, lokia menjadi pucat (lokia serosa). Setelah sekitar hari ke-10
karena adanya leukosit dan penurunan kandungan air, lokia
berwarna putih atau putih kekuningan (lokia alba). Lokia dapat
menetap hingga empat minggu.
Subinvolusi
4
Kata ini menerangkan penghentian atau retardasi involusi,
proses saat uterus secara normal pulih ke ukuran semula pada
masa nifas. Hal ini disertai oleh perdarahan uterus yang ireguler
atau berlebihan. Kausa subinvolusi diantaranya adalah retensi
potongan plasenta dan endometritis.
B. Saluran kemih
Kehamilan normal berkaitan dengan peningkatan bermakna
air ekstrasel dan diuresis setelah kehamilan merupakan proses
fisiologis untuk membalikkan keadaan tersebut. Diuresis biasa
terjadi antara hari kedua dan kelima postpartum.
C. Vagina
Sama seperti seviks, vagina dan pintu keluar vagina jarang
pulih ke dimensi nulipara. Selain itu, perubahan pada penyangga
panggul selama persalinan mungkin mempermudah timbulnya
prolaps uterus dan inkontinensia urin.
D. Peritoneum dan Dinding Abdomen
Ligamentum latum dan teres memerlukan waktu yang
cukup lama untuk pulih dari peregangan dan pelonggaran yang
terjadi selama masa kehamilan. Dinding abdomen lunak dan
lembek karena ruptur serat elastik di kulit. Pemulihan struktur ini
ke keadaan normal membutuhkan waktu beberapa minggu.
E. Darah
Selama beberapa hari pertama postpartum, konsentrasi
hemoglobin dan hematokrit berfluktuasi dalam tingkat sedang.
Pada waktu satu minggu setelah melahirkan, volume darah
hampir kembali ke tingkat nonhamil. Leukositosis dan
trombositosis yang mencolok terjadi selama dan setelah
melahirkan. Kadang-kadang hitung leukosit mencapai 30.000/l.
5
F. Penurunan Berat Badan
Terjadi penurunan berat badan sekitar 5-6 kg karena
evakuasi uterus dan pengeluaran darah normal. Selain itu, terjadi
penurunan berat badan sekitar 2-3 kg melalui diuresis. Sebagian
besar wanita mencapai berat badan pada saat sebelum hamil
dalam waktu enam bulan.
G. Payudara
Pada waktu 24 jam pertama setelah melahirkan terjadi
sekresi lakteal, payudara mengalami distensi, menjadi padat,
dan nodular.
2.2 Depresi Postpartum
2.2.1 Definisi
Depresi adalah gangguan suasana perasaan (mood) yang memiliki gejala
utama dan gejala lainnya. Gejala utama meliputi afek depresif, kehilangan minat
dan kegembiraan dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas. Selanjutnya, gejala lainnya meliputi konsentrasi dan perhatian
berkurang; harga diri dan kepercayaan diri berkurang; gagasan tentang rasa
bersalah dan tidak berguna; pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri; tidur terganggu;
nafsu makan berkurang.3
Depresi postpartum adalah gangguan yang ditandai dengan mood depresi,
ansietas yang berlebihan, dan insomnia. Onsetnya dalam 3 hingga 6 bulan setelah
persalinan.4
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM IV-TR)
mengkategorikan depresi postpartum sebagai suatu kelainan depresi mayor akibat
pasca bersalin dan terdapat tanda-tanda bahwa gejala depresi timbul dalam jangka
waktu 4 minggu pasca persalinan.5 Menurut International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD-10), DPP ialah
6
kelainan ringan dari mental dan yang timbul dalam waktu 6 minggu pasca
persalinan.
Marcé Society suatu organisasi internasional yang mendedikasikan diri
untuk melakukan penelitian mengenai kelainan psikiatri pasca persalinan,
mendefinisikan penyakit psikiatri pasca persalinan sebagai suatu episode yang
terjadi dalam satu tahun setelah kelahiran bayi.6,7
2.2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologi, depresi postpartum dapat terjadi pada semua golongan
umur persalinan dan berbagai daerah di dunia, maupun di Indonesia. Berdasarkan
laporan WHO (1999) diperkirakan wanita melahirkan yang mengalami depresi
postpartum ringan berkisar 10 per 1000 kelahiran hidup dan depresi postpartum
sedang atau berat atau gangguan bipolar berkisar 30 sampai 200 per 1000
kelahiran hidup.
Beberapa penelitian juga mengemukakan bahwa depresi postpartum
bervariasi disetiap daerah penelitian. Hasil penelitian O’Hara dan Swain (1996)
menemukan kejadian depresi postpartum di Belanda sekitar 2%-10%, di
AmerikaSerikat 8%-26%, di Kanada 50%-70%.8 Di Asia, prevalensi terjadinya
depresi pasca persalinan antara 3,5% hingga 63,3% dimana Malaysia dan Pakistan
menjadi peringkat yang terendah dan tertinggi.9 Depresi postpartum terjadi dalam
10-15% wanita pada populasi umum.
Hasil penelitian lain yang dilakukan Wratsangka (1996) di RSUP. Hasan
Sadikin Bandung mencatat wanita yang mengalami depresi pada wanita primipara
sekitar 50-80%. Wanita yang mengalami depresi pada multipara sekitar 33%.10
Hasil penelitian yang dilakukan Alfiben (2000) di Rs.Cipto Mangunkusumo tidak
berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh Wratsangka, 70% wanita primipara
mengalami depresi dan psikosis postpartum dan 30 % pada wanita multipara.
Prevalensi keinginan bunuh diri pada periode postpartum antara 0.2%-15.4%
diantara populasi berbeda.11
Beberapa kelompok wanita memiliki kemungkinan yang jauh lebih besar
mengalami depresi selama masa nifas. Wanita yang menderita 1 episode depresi
7
mayor setelah melahirkan memiliki risiko kekambuhan sekitar 25%.4,12 Remaja
dan wanita yang memiliki riwayat penyakit depresif memiliki risiko depresi
postpartum sekitar 30%. Hampir 70% wanita yang memiliki riwayat depresi
postpartum akan kembali mengalami gangguan ini. Jika seorang wanita memiliki
riwayat depresi postpartum dan saat ini mengalami blues, kemungkinan wanita
tersebut menderita depresi mayor akan meningkat menjadi 85%.13
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan depresi post partum yaitu faktor
konstitusional, fisik, psikologi, sosial, karakteristik ibu, dan riwayat depresi atau
problem emotional. Pitt mengemukakan empat faktor penyebab depresi yaitu
faktor konstitusional, fisik, psikologi, sosial, sebagai berikut :14,15,16
a. Faktor konstitusional.
Gangguan postpartum berkaitan dengan status paritas yang meliputi
riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi dari kehamilan dan
persalinan sebelumnya. Depresi postpartum lebih banyak terjadi pada wanita
primipara karena setelah melahirkan wanita primipara berada dalam proses
adaptasi. Kalau sebelumnya wanita primipara hanya memikirkan diri sendiri
begitu bayi lahir ia harus memahami perannya sebagai ibu. Jika wanita
primipara tidak paham perannya sebagai ibu, ia akan menjadi bingung
sementara bayinya harus tetap dirawat. Hal ini bisa menjadi pemicu seorang
ibu menjadi stres.
b.Faktor fisik.
Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan
mental selama 2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik
dihubungkan dengan kelahiran pertama merupakan faktor penting. Perubahan
hormon secara drastis setelah melahirkan dan periode laten selama dua hari
diantara kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat berpengaruh
pada keseimbangan. Progesteron dan estrogen yang menurun secara cepat
setelah melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti. Faktor
biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar hormon
seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu
8
rendah dalam masa nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu
cepat atau terlalu lambat. Sensitivitas individual ibu terhadap perubahan
hormon juga dapat menjadi faktor penyebab.
c. Faktor psikologis.
Peralihan yang cepat dari keadaan dua jiwa dalam satu tubuh pada akhir
kehamilan menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada
penyesuaian psikologis individu. Klaus dan Kennel mengindikasikan
pentingnya cinta dalam menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai
hubungan baik antara ibu dan anak. Teori psikologis, meliputi sistem
pendukung yang buruk, stres psikologis atau memiliki hubungan yang kurang
baik dengan pasangannya dapat menimbulkan depresi pada ibu.
d. Faktor sosial.
Paykel dan Regina dkk (2001), mengemukakan bahwa pemukiman yang
tidak memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu-ibu, selain
kurangnya dukungan dalam perkawinan. Teori sosiokultural, meliputi tingkat
kepuasan sosial, dukungan dan kontrol di rumah yang rendah, serta hubungan
wanita baru melahirkan dengan suami/ibu/mertua yang kurang baik dapat
menimbulkan depresi pada wanita tersebut.
e. Menurut Kruckman, menyatakan terjadinya depresi pascapersalinan juga
dipengaruhi oleh faktor karakteristik ibu, yang meliputi :
1.) Faktor umur.
Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang
perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini
mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh
seorang ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan
persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan
tersebut untuk menjadi seorang ibu.
2.) Faktor pengalaman.
9
Beberapa penelitian diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Paykel dan Inwood, mengatakan bahwa depresi pascapersalinan ini lebih
banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran
seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi
yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain
itu, penelitian yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri
muda dari kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari
mereka mengalami krisis setelah kelahiran bayi pertama.
3.) Faktor pendidikan.
Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan
konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan
untuk bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran
mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak–anak mereka.
4.) Faktor selama proses persalinan.
Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang
digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik
yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula
trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang
bersangkutan akan menghadapi depresi pascapersalinan.
5.) Faktor dukungan sosial.
Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan
pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak
berkurang.
f. Riwayat depresi/ problem emosional :
Penyebab lain yang mungkin adalah adanya riwayat keluarga tentang
depresi, masa lalu ibu tersebut, yang mungkin mengalami penolakan dari orang
tuanya atau orang tua yang overprotective, kecemasan yang tinggi terhadap
perpisahan, dan ketidakpuasaan dalam pernikahan.16
Perempuan yang memiliki riwayat masalah emosional rentan terhadap
gejala depresi ini, kepribadian dan variabel sikap selama masa kehamilan seperti
kecemasan, kekerasan dan kontrol eksternal berhubungan dengan munculnya
10
gejala depresi. Karakteristik wanita yang berisiko mengalami depresi postpartum
adalah : wanita yang mempunyai sejarah pernah mengalami depresi, wanita yang
berasal dari keluarga yang kurang harmonis, wanita yang kurang mendapatkan
dukungan dari suami atau orang–orang terdekatnya selama hamil dan setelah
melahirkan, wanita yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama masa
kehamilannya misalnya kurang komunikasi dan informasi, wanita yang
mengalami komplikasi selama kehamilan.16 Faktor-faktor predisposisi meliputi
riwayat psikosis puerperium, gangguan bipolar (sebelumnya disebut sebagai
manik-depresif), delirium dan halusinasi, perubahan suasana hati yang cepat
agitasi atau bingung dan potensial bunuh diri atau membunuh anaknya.
2.2.4 Patofisiologi
Faktor Hormon
Selama kehamilan, kadar estrogen (estradiol,estriol, dan estron) dan
progesteron meningkat (100 dan 1000 kali lipat) akibat dari plasenta yang
memproduksi hormon tersebut. Akibat dari kelahiran plasenta saat persalinan,
kadar estrogen dan progesteron menurun tajam, mencapai kadar sebelum
kehamilan pada hari ke 5.17,18
Tidak ada hubungan yang konsisten, kadar estrogen dan perubahan pada
estrogen dengan depresi post partum yang benar-benar terbukti. O’Hara dkk
menemukan hubungan kadar estradiol pada usia kehamilan 36 minggu dan depresi
postpartum pada penelitian terhadap 182 perempuan. Penelitian lain terhadap
depresi postpartum menemukan kadar estrogen yang sama pada ibu-ibu yang
mengalami gangguan mood dan yang tidak mengalami gangguan mood. Ada
bukti menunjukkan interaksi estrogen dengan neurotransmitter. Sebagian data
mendapatkan estradiol mungkin memberi efek pada system transmitter dan
menganggu fungsi kognitif dan proses emosional. Reseptor estrogen menyebar
luas dalam otak pada manusia. Efek estrogen yang paling diakui adalah
interaksinya dengan reseptor dopamine terutama efek menghambat. Estrogen juga
memberi efek terhadap reseptor norepinephrine, adrenalin dan serotonin.19
Penelitian sebelumnya menyatakan aktifitas dopamine mungkin berkurang
pada pasien depresi.20 Hormon ovarium ditemukan memberi perubahan pada
11
aktivitas dopamine, primernya pada nigrostriatal dan jalur mesolimbik. Thompson
dkk telah melakukkan penelitian yang serial menyatakan estrogen menghambat
uptake dopamine pada area ini, sehingga mekanisme pasti masih ditelusuri. Ada
bukti menyatakan perubahan aktifitas dopamine oleh estrogen akibat berubahnya
protein G pada reseptor D2 dopamin.21
Berdasarkan percobaan pada hewan, estradiol menguatkan fungsi
neurotransmitter melalui peningkatan sintesis dan mengurangi pemecahan
serotonin, sehingga secara teoritis penurunan kadar estradiol akibat persalinan
berperan dalam menyebabkan depresi pasca persalinan. Namun suatu penelitian
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan berarti dari perubahan estradiol atau free
estriol saat kehamilan tua dan nifas pada wanita depresi dan tidak depresi.
Banyak dari penelitian gangguan mood, secara umumnya difokuskan ke
system serotonergik, yang mana system ini mengalami efek pada korteks
prefrontal, system limbic, aktifitas pituitary, dan perilaku seks. Sistem
serotonergik telah diketahui sensitif terhadap estrogen dan progestron. Bethea dkk
melakukkan penelitian lanjut terhadap primata bukan manusia atas hormon
ovarian dengan system serotonergik, dengan hasil terjadi perubahan pada system
serotonergik, akibat efek perubahan dari hormon ovarium dalam susunan saraf
pusat.21
Norepinefrin juga dipercaya berperan sebagai faktor utama patofisiologi
depresi. Penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan antara regulasi reseptor
B-andrenergic postsinaps dengan respons antidepresan, yang mana menunjukkan
efektivitas antidepresan dengan efek norandrenergik. Selain itu, terjadi
peningkatan densitas reseptor a2-andrenergik dilaporkan pada pasien depresi dan
cobaan bunuh diri. Peningkatan regulasi ini juga mungkin disebabkan kekurangan
relative norepinefrin di sinaps.20
Kadar prolaktin meningkat selama kehamilan, mencapai puncaknya saat
persalinan, dan pada wanita yang tidak menyusui kembali seperti keadaan
sebelum hamil dalam 3 minggu pasca persalinan. Dengan pelepasan oksitosin,
hormon yang merangsang sel lactotropik di hipofisis anterior, pemberian ASI
mempertahankan kadar prolaktin tetap tinggi. Namun pada wanita menyusui
sekalipun, kadar prolaktin tetap akan kembali seperti sebelum hamil. Prolaktin
12
diduga memiliki peran dalam terjadinya perasaan cemas, depresi, dan sifat kasar
pada wanita tidak hamil dengan hiperprolaktinemia.
Kadar prolaktin yang rendah dan berkurangnya respon prolaktin terhadap
test D-fenfl uramine ditemukan pada pasien depresi. Ini mungkin hubungannya
dengan depressi post partum yang mana kadar prolkatin rendah pada saat
kelahiran.20 Abou Salah dkk menyatakan ibu postpartum yang mengalami depresi
menunjukkan penurunan kadar prolaktin plasma yang signifikan dibanding ibu
yang tidak mengalami depresi. Dan pada ibu-ibu yang melakukkan Inisiasi
menyusu Dini mendapatkan skor mood yang lebih baik dan kadar prolaktin lebih
tinggi.21
Peran axis HPA dalam terjadinya depresi pasca persalinan
Perubahan dramatis pada axis HPA terjadi selama kehamilan sebagai akibat
perubahan dari kadar progesteron dan estrogen. Corticotrophin releasing homone
(CRH) diproduksi oleh trofoblas, fetal membran dan desidua, di regulasi oleh
steroid. Kadar CRH berkurang karena pengaruh progesteron dan berlawanan
dengan umpan balik pada hipotalamus, kadar CRH plasenta meningkat karena
pengaruh glukokortikoid. CRH plasenta selanjutnya diregulasi (seperti di
hipotalamus) oleh vasopressin, norepinefrin, angiotensin II, prostaglandin,
neuropeptida Y, dan oksitosin. Pelepasan CRH dirangsang oleh activin dan
interleukin, dan dihambat oleh inhibin dan nitrit oksida. Peningkatan progresif
kadar CRH maternal selama kehamilan akibat sekresi CRH intrauterin kedalam
sirkulasi maternal. Kadar tertinggi ditemukan selama persalinan. Kadar CRH
maternal meningkat selama kehamilan dalam keadaan stress, preeclampsia, dan
persalinan preterm.22 Protein pengikat untuk CRH terdapat pada sirkulasi manusia,
dan diproduksi di plasenta, fetal membran dan desidua. Kadar protein pengikat
pada sirkulasi maternal selama kehamilan tidak berbeda dengan saat tidak hamil,
sedikit meningkat pada usia kehamilan 35 minggu dan menurun drastis hingga
aterm. Placental CRH dan maternal CRH merangsang hipofisis anterior untuk
meningkatkan ACTH, sehingga merangsang sekresi maternal kortisol dari korteks
adrenal. Maternal plasma CRH berbanding lurus dengan kadar ACTH dan
kortisol, yang juga berkorelasi dengan CRH, sehingga terjadi hiperkortisolisme
13
pada kehamilan. Peningkatan glukokortikoid menginisiasikan umpan balik negatif
pada axis HPA, menghambat pelepasan maternal CRH, namun kortisol yang
dilepaskan oleh korteks adrenal memiliki efek umpan balik positif dengan CRH
plasenta, sehingga merangsang sekresi hipofisis ACTH dan kortisol. Kadar
kortisol mencapai puncaknya pada usia kehamilan 34-36 minggu, dan
berhubungan dengan maturasi paru janin akibat hipertrofi korteks adrenal. Pasca
persalinan, kadar kortisol kembali normal pada hari ke 4-5. Sistem CRH sangat
berperan dalam terjadinya depresi. Distribusi saraf CRH yang sangat luas. Ia
menjadi regulasi utama dalam sistem otonom, endokrin, imunitas, dan respon
perilaku terhadap stressor. Peningkatan kadar CRH dapat menyebabkan terjadinya
depresi.23 Akibat pelepasan plasenta pada persalinan, kadar progesteron, estrogen
dan CRH berkurang drastis, mencapai kadar seperti sebelum hamil pada hari ke 5
pasca persalinan. Kadar kortisol juga berkurang drastis pasca persalinan, namun
korteks adrenal yang mengalami hipertrofi kembali seperti sebelum hamil pada
hari ke 5 pasca persalinan. Diduga terdapat sensitifitas yang berbeda pada setiap
wanita sehingga perubahan hormon yang terjadi pada saat kehamilan dan pasca
persalinan menyebabkan terjadinya depresi pasca persalinan.
Serotonin (5HT, 5-hidroxytryptofan) berasal dari asam amino triptofan,
yang bisa didapatkan dari makanan. Oleh enzim triptofan hidroksilase, ia diubah
menjadi 5 HT. Serotonin berperan dalam menghambat sekresi CRH. Saat neuro-
transmitter serotonin terganggu, maka kadar CRH meningkat sehingga
menyebabkan terjadinya depresi.
Faktor Psikososial
Penelitian psikodinamik menunjukkan bahwa pada gangguan postpartum
terdapat konflik-konflik yang mempengaruhi. Kegagalan dalam pernikahan,
dukungan keluarga yang kurang menjadi faktor yang konstan, hubungan yang
buruk dengan suami, orangtua dan mertua, kekerasan dalam rumah. Pembatasan
aktifitas pasca persalinan serta pertolongan persalinan menggunakan tenaga
tradisional.22,23 Konflik ini dapat menghambat ibu menemukan jati dirinya.
Gangguan identifikasi ini menyebabkan perasaan terganggu karena mereka
14
sebagai ibu tidak mengetahui hal yang harus dilakukan untuk merawat
anaknya.14,16
15
2.2.5 Gejala Klinis
Paling sering mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang berakhir dengan
kematian. Gejala depresi seringkali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan.
Manifestasi dari kedua gangguan ini lebih lanjut sering timbul sebagai keluhan
umum seperti : sukar tidur, merasa bersalah, kelelahan, sukar konsentrasi,
hingga pikiran mau bunuh diri. Keluhan dan gejala depresi postpartum tidak
berbeda dengan yang terdapat pada kelainan depresi lainnya. Hal yang terutama
mengkhawatirkan adalah pikiran–pikiran ingin bunuh diri, waham–waham
paranoid dan ancaman kekerasan terhadap anak–anaknya.
Depresi postpartum muncul dengan gejala perubahan mood yaitu kurang
nafsu makan, sedih–murung, perasaan tidak berharga, mudah marah, kelelahan,
insomnia, anorexia, merasa terganggu dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi,
melukai diri, anhedonia, menyalahkan diri, lemah dalam kehendak, tidak
mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mau berhubungan dengan orang
lain. Di sisi lain kadang ibu jengkel dan sulit untuk mencintai bayinya yang tidak
mau tidur dan menangis terus serta mengotori kain yang baru diganti. Hal ini
menimbulkan kecemasan dan perasaan bersalah pada diri ibu walau jarang
ditemui ibu yang benar–benar memusuhi bayinya. Depresi postpartum sering
disertai gangguan nafsu makan dan gangguan tidur, rendahnya harga diri dan
kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau perhatian.
Tetapi dibandingkan dengan gangguan depresi yang umum, depresi
postpartum mempunyai karakteristik yang spesifik antara lain :4
1. Mimpi buruk. Biasanya terjadi sewaktu tidur REM. Karena mimpi-mimpi
yang menakutkan, individu itu sering terbangun sehingga dapat
mengakibatkan insomnia.
16
2. Insomnia. Biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang
mendasarinya seperti kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain
yang terjadi dalam hidup manusia.
3. Fobia. Rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang
tidak dapat dihilangkan atau ditekan oleh pasien, biarpun diketahuinya
bahwa hal itu irasional adanya. Ibu yang melahirkan dengan bedah Caesar
sering merasakan kembali dan mengingat kelahiran yang dijalaninya. Ibu
yang menjalani bedah Caesar akan merasakan emosi yang bermacam–
macam. Keadaan ini dimulai dengan perasaan syok dan tidak percaya
terhadap apa yang telah terjadi. Wanita yang pernah mengalami bedah
Caesar akan melahirkan dengan bedah Caesar pula untuk kehamilan
berikutnya. Hal ini bisa membuat rasa takut terhadap peralatan peralatan
operasi dan jarum.
4. Kecemasan. Ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul
karena dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi
sumbernya sebagian besar tidak diketahuinya.
5. Meningkatnya sensitivitas. Periode pasca kelahiran meliputi banyak sekali
penyesuaian diri dan pembiasaan diri. Bayi harus diurus, ibu harus pulih
kembali dari persalinan anak, ibu harus belajar bagaimana merawat bayi,
ibu perlu belajar merasa puas atau bahagia terhadap dirinya sendiri sebagai
seorang ibu. Kurangnya pengalaman atau kurangnya rasa percaya diri
dengan bayi yang lahir, atau waktu dan tuntutan yang ekstensif akan
meningkatkan sensitivitas ibu.
2.2.6 Diagnosis
A. Menurut DSM-IV-TR :
Tidak ada kriteria bagi gangguan depresi dan psikosis pada postpartum,
namun diagnosis bisa ditegakkan apabila depresi dan psikosis yang
terjadi mempunyai hubungan dengan persalinan dan perlangsungannya
hanya sementara.14-16
DSM IV memberikan spesifikasi dari gangguan mood postpartum jika
onset dari gejala– gejala klinis muncul dalam 4 minggu setelah kelahiran.
Gejala yang harus ada setiap hari, hampir setiap hari selama 2 minggu.
17
B. Menurut PPDGJ III3
F53.0 Gangguan jiwa dan perilaku ringan yang berhubungan dengan masa
nifas YTK.
Termasuk : Depresi pasca-lahir YTT
Depresi pasca-bersalin YTT
2.2.7 Diagnosis Banding
Ada 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues,
postpartum depression dan postpartum psychosis.4
A. Baby blue
Karakteristik Baby Blues Depresi Postpartum
Insidens 50% dari wanita yang
melahirkan
10% - 15% dari wanita
yang melahirkan
Onset 3–5 hari setelah
melahirkan
Dalam 3 – 6 bulan setelah
melahirkan
Durasi Beberapa hari –
minggu.
Beberapa bulan – tahun,
jika tidak diterapi
Stresor terkait Tidak ada Ya, terutama tidak ada
dukungan
Pengaruh
sosiokultural
(-) , ada di semua
kebudayaan dan
sosioekonomi
Ada kaitan kuat
Riwayat gangguan
mood
Tidak ada kaitannya Erat kaitannya
Riwayat keluarga
gangguan mood
Tidak ada kaitannya Ada kaitannya
Mood labil (+) Sering ada, tetapi kadang-
kadang mood selalu
depresi.
Anhedonia Tidak Sering
Gangguan tidur Kadang – kadang Sangat sering
18
Pikiran bunuh diri (-) Kadang – kadang
Pikiran menyakiti
bayi
Jarang Sering
Perasaan beresalah (-) / sangat ringan Sering muncul dan
berlebihan
B. Psikosis postpartum
Psikosis post partum adalah penyakit langka, dibandingkan dengan tingkat
depresi postpartum atau kecemasan. Hal ini terjadi pada sekitar 1-2 dari setiap
1.000 kelahiran, atau sekitar 0,01% dari kelahiran. Onset biasanya tiba-tiba, paling
sering dalam melahirkan 4 minggu pertama atau 2 minggu setelah melahirkan.
Gejala psikosis postpartum dapat mencakup:
Delusi atau keyakinan aneh
Halusinasi (melihat atau mendengar hal-hal yang tidak ada)
Merasa sangat kesal
Hiperaktif
Penurunan kebutuhan atau ketidakmampuan untuk tidur
Paranoia dan kecurigaan
Perubahan mood dengan cepat
Kesulitan berkomunikasi
Faktor risiko paling signifikan untuk psikosis pascamelahirkan adalah
sejarah pribadi atau keluarga gangguan bipolar, atau episode psikotik
sebelumnya.
Dari wanita yang mengalami psikosis pasca melahirkan, ada kemungkinan
sekitar 5% untuk terjadi pembunuhan bayi atau bunuh diri sendiri. Hal ini karena
perempuan yang mengalami psikosis sedang lari dari kenyataan. Dalam keadaan
psikotik pasien, delusi dan keyakinan masuk akal baginya, mereka merasa sangat
berarti dan sering religius. Perawatan segera untuk para wanita adalah penting.
Hal ini juga penting untuk mengetahui bahwa banyak korban psikosis
postpartum tidak pernah mendapatkan delusi berisi perintah kekerasan. Delusi
19
mengambil banyak bentuk, dan tidak semua dari mereka adalah destruktif.
Kebanyakan wanita yang mengalami psikosis postpartum tidak merugikan diri
sendiri atau orang lain. Namun, selalu ada risiko bahaya karena psikosis termasuk
delusi berpikir dan pertimbangan tidak rasional, dan inilah mengapa wanita
dengan penyakit ini harus dirawat dan dimonitor dengan baik oleh profesional
kesehatan yang terlatih.
Psikosis postpartum adalah darurat psikiatris yang biasanya membutuhkan
perawatan rawat inap. Kebanyakan pasien dengan psikosis postpartum mengalami
gangguan bipolar ataupun perburukan dari depresi mayor. Pengobatan akut
termasuk mood stabilizer (misalnya, lithium, asam valproat, carbamazepine)
dalam kombinasi dengan obat antipsikotik dan benzodiazepine. ECT (biasanya
bilateral) ditoleransi dengan baik dan cepat efektif.
C. Hipotiroidisme dan hipertiroidisme
Anamnesis dan pemeriksaan fisik cermat harus dilakukan terhadap wanita
yang memiliki depresi postpartum. Fungsi tiroid sebaiknya diperiksa karena
hipotiroid dan hipertiroid dapat pula menyebabkan perubahan mood pasca
melahirkan.
2.2.8 Alat Ukur Pemeriksaan
1. Edinburgh postnatal depression scale.24
(EPDS) ialah salah satu metode untuk mendeteksi depresi pasca persalinan.
Walaupun tidak umum, EPDS dapat dengan mudah digunakan selama 6 minggu
pasca persalinan.EDPS berupa kuisioner yang terdiri dari dari 10 pertanyaan
mengenai bagaimana perasaan pasien dalam satu minggu terakhir.
Cara penilaian EPDS
1. Pertanyaan 1, 2, dan 4
Mendapatkan nilai 0, 1, 2, atau 3 dengan kotak paling atas mendapatkan nilai 0
dan kotak paling bawah mendapatkan nilai 3
2. Pertanyaan 3,5 sampai dengan 10
20
Merupakan penilaian terbalik, dengan kotak paling atas mendapatkan nilai 3
dan kotak paling bawah mendapatkan nilai 0
3. Pertanyaan 10 merupakan pertanyaan yang menunjukkan keinginan bunuh diri.
4. Nilai maksimal : 30
5. Kemungkinan depresi: nilai 10 atau lebih.
Cara pengisian EPDS
1. Para ibu diharap untuk memberikan jawaban tentang perasaan yang terdekat
dengan pertanyaan yang tersedia dalam 7 hari terakhir.
2. Semua pertanyaan kuisioner harus dijawab.
3. Jawaban kuisioner harus berasal dari ibu sendiri. Hindari kemungkinan ibu
mendiskusikan pertanyaan dengan orang lain.
4. Ibu harus menyelesaikan kuisioner ini sendiri, kecuali ia mengalami kesulitan
dalam memahami bahasa atau tidak bisa membaca.
Keuntungan EPDS
1. Mudah dihitung (oleh perawat, bidan, petugas kesehatan lain).
2. Sederhana.
3. Cepat dikerjakan (membutuhkan waktu 5-10 menit bagi ibu untuk
menyelesaikan EPDS).
4. Mendeteksi dini terhadap adanya depresi pasca persalinan.
5. Lebih diterima oleh pasien.
6. Tidak memerlukan biaya.
Kekurangan EPDS
1. Tidak bisa mendiagnosis depresi pasca persalinan.
2. Tidak bisa mengetahui penyebab dari depresi pasca persalinan.
3. Belum divalidasi di Indonesia.
Para ibu yang memiliki skor diatas 10 sepertinya menderita suatu depresi
dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Skala ini menunjukan perasaan sang
21
ibu dalam 1 minggu terakhir khusus untuk nomor 10, jawaban: ya, cukup sering,
merupakan suatu tanda dimana dibutuhkan keterlibatan segera dari perawatan
psikiatri. Wanita yang mengalami gangguan fungsi (dibuktikan dengan
penghindaran dari keluarga dan teman, ketidakmampuan menjalankan kebersihan
diri, ketidakmampuan merawat bayi) juga merupakan keadaan yang
membutuhkan penanganan psikiatri segera. Wanita yang memiliki skor antara 5
dan 9 tanpa adanya pikiran untuk bunuh diri sebaiknya dilakukan evaluasi ulang
setelah 2 minggu untuk menentukan apakah episode depresi mengalami
perburukan atau membaik. EPDS yang dilakukan pada minggu pertama pada
wanita yang tidak menunjukkan gejala depresi dapat memprediksi kemungkinan
terjadinya depresi pasca persalinan pada minggu ke 4 dan 8. EPDS tidak dapat
mendeteksi kelainan neurosis, phobia, kecemasan, atau kepribadian, namun dapat
dilakukan sebagai alat untuk mendeteksi adanya kemungkinan depresi
antepartum. Sensitifitas dan spesifisitas EPDS sangat baik. Dengan menggunakan
cut of point.
22
2.2.9 Penatalaksanaan
Fungsi Strategi Penanggulangan
Lazarus dan rekan-rekannya membagi strategi penanggulangan ke dalam
dua fungsi utama, yaitu:
a. Strategi penanggulangan yang berfokus pada masalah, yaitu bertujuan
mengurangi tuntutan-tuntutan akibat situasi stressfull, atau
mengembangkan sumber-sumber dalam individu untuk mengatasi situasi
tersebut. Orang cenderung menggunakan pendekatan yang berfokus pada
masalah karena percaya dapat mengubah sumber-sumber dalam dirinya
atau tuntutan situasi stressfull.
b. Strategi penanggulangan yang berfokus pada emosi, yaitu bertujuan
mengontrol respon emosional terhadap situasi stressfull, baik melalui
pendekatan behavioral maupun kognitif. Orang cenderung menggunakan
pendekatan yang berfokus pada emosi ketika mereka percaya bahwa
mereka tidak dapat melakukan apapun untuk mengubah situasi stressfull.
Berdasarkan literatur di atas, maka jelaslah bahwa strategi penanggulangan
dibagi ke dalam dua fungsi utama, yaitu:
a. Coping yang berfokus pada masalah, yaitu coping yang berfungsi
membantu mengatasi sumber stres/ tuntutan-tuntutan akibat situasi stresful
secara langsung dengan mengembangkan sumber-sumber dalam individu.
b. Coping yang berfokus pada emosi, yaitu coping yang berfungsi mengurangi
gejala yang timbul akibat situasi stresful dengan mengatur atau
mengontrol respon emosional, baik melalui pendekatan behavioral
maupun strategi kognitif.
23
Strategi - Strategi Penanggulangan
Carver, Scheier, dan Weintraub (dalam Bishop, 1994) membuat taksonomi
strategi penanggulangan, yaitu:
a. Strategi yang berpusat pada masalah
1) Active coping, yaitu mengambil langkah aktif untuk mencoba
menjauhkan stresor, atau memperbaiki pengaruhnya.
2) Planning, yaitu berfikir mengenai bagaimana mengatasi stresor.
3) Suppression of competing activities, yaitu melakukan aktivitas-aktivitas
lain untuk mengatasi stresor.
4) Restraint coping, yaitu menunggu kesempatan yang paling tepat untuk
bertindak.
5) Seeking social support for instrumental reasons, yaitu mencari
masukan, bantuan, atau informasi.
b. Strategi yang berpusat pada emosi
1) Seeking social support for emotional reasons, yaitu mencari dukungan
moral, simpati, atau pemahaman.
2) Positive reinterpretation, yaitu menafsirkan kembali situasi dalam cara
yang positif.
3) Acceptance, yaitu menerima realitas dari situasi yang dihadapi.
4) Denial, yaitu menyangkal realitas dari situasi yang dihadapi.
5) Turning to religion, yaitu berdoa, mencari bantuan dari Tuhan, atau
mencari ketenangan dalam beragama.
6) Focusing on and venting emotions, yaitu menfokuskan pada segala
sesuatu yang menyedihkan dan mengekspresikan perasaan tersebut.
7) Behavioral disengagement, yaitu mengurangi upaya mengatasi masalah
atau menyerah.
8) Mental disengagement, yaitu beralih pada aktivitas-aktivitas lain untuk
mengalihkan perhatiannya dari situasi stressfull.
Strategi penanggulangan yang berfokus pada masalah dan emosi menurut
Cohen dan Lazarus, Moos dan Schaefer, Pearlin dan Schooler (dalam Sarafino
1994), diantaranya:
a. Strategi yang befokus pada masalah dan emosi
24
1) Direct action, yaitu melakukan sesuatu secara spesifik atau secara
langsung untuk mengatasi stresor. Strategi ini mencakup beberapa
pendekatan yang berfokus pada masalah, seperti negosiasi atau
konsultasi, atau pendekatan yang berfokus pada emosi, seperti
membantah, menghindari, atau menghukum seseorang.
2) Seeking Information, yaitu mencari pengetahuan mengenai situasi
stressfull, yang kemudian dapat digunakan untuk melakukan
penanggulangan yang berfokus pada masalah atau emosi.
3) Turning to others, yaitu mencari dukungan sosial untuk memperoleh
bantuan, jaminan rasa aman, dan kenyamanan dari keluarga, teman,
atau yang lain. Bantuan yang diterima seperti pinjaman ketika krisis
keuangan sangat berguna bagi penanggulangan yang berfokus pada
masalah.
Jaminan rasa aman dan kenyamanan penting bagi penanggulangan yang
berfokus pada emosi.
b. Strategi yang berfokus pada emosi
1) Resigned acceptance, yaitu mengatasi situasi stresul dengan cara
menerima apa adanya. Metode ini khususnya sesuai untuk keadaan
stresor yang tidak dapat diubah.
2) Emotional discharge, yaitu individu bertingkah laku dalam cara-cara
yang dapat mengekspresikan perasaannya atau mengurangi
ketegangan akibat situasi stres. Termasuk dalam strategi ini adalah
berteriak ketika marah, menangis, atau bercanda.
3) Intrapsychic processes, yaitu menggunakan strategi kognitif untuk
menilai kembali atau mengubah pandangan seseorang mengenai
situasi stressfull. Proses ini dapat dilakukan dengan dua cara:
a) Cognitive redefinition adalah strategi dimana orang mencoba untuk
berfikir positif pada situasi yang buruk. Strategi ini dapat
dilakukan dengan berfikir bahwa keadaan tersebut bisa jadi lebih
buruk, membuat pembandingan dengan individu lain yang
memiliki keadaan yang lebih buruk, melihat dampak positif yang
muncul akibat permasalahan tersebut.
25
b) Defense mechanisms adalah upaya untuk mengesampingkan
ingatan atau realitas dalam berbagai cara, dengan melakukan
penyangkalan (seseorang tidak mengakui adanya hal yang
menyakitkan), intelektualisasi (mengatasi atau menghadapi stresor
secara intelektual), dan supresi (upaya untuk melupakan ingatan
stressfull dengan mengendalikan pemikiran yang menyakitkan
secara sadar).
Secara umum, dalam menatalaksanaan ibu dengan depresi postpartum
diberikan dengan farmakologis, psikoterapi, hormonal therapy, dan prophylactic
treatment.
1. Terapi Farmakologi
Pasien yang telah didiagnosis dengan gangguan depresi postpartum,
diberikan pengobatan dengan antidepressant. Obat diberikan untuk depresi sedang
sampai berat, obat yang umum digunakan antara lain golongan selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRI), Serotonin Norepineprin Reuptake Inhibitor (SNRI),
dan tricyclic antidepressants serta benzodiasepin sebagai tambahan.
Pemberian selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) seharusnya
diberikan karena golongan obat tersebut mempunyai risiko efek toksik yang
rendah. SSRI bisa membantu pasien yang tidak mempunyai respon bagus
terhadap tricyclic antidepressant, golongan antidepressant lainnya dan cenderung
ditoleransi lebih baik dengan dosis yang rendah10. Jika pasien sebelumnya
mempunyai respon baik terhadap obat antidepresan jenis lainnya, obat tersebut
secara kuat dipertimbangkan untuk diberikan kembali.7
Obat anti depressant tidak dapat digunakan hanya 1-2 minggu, karena
efeknya baru terasa setelah 2 minggu. Umumnya diberikan selama 6 bulan.
26
27
2. Psikoterapi
Psikoterapi antara lain talking therapy, terapi interpersonal dan kognitif/
perilaku dan terapi psikodinamik. Talking therapy membantu pasien mengenali
masalah dan menyelesaikannya melalui give and take verbal dengan terapis. Pada
terapi kognitif/perilaku, pasien belajar mengidentifikasi dan mengubah persepsi
menyimpang tentang dirinya serta menyesuaikan perilaku untuk mengatasi
lingkungan sekitar dengan lebih baik.
Pada studi yang melibatkan 120 ibu melahirkan, interpersonal psikoterapi,
dengan pengobatan 12 sesi yang terfokus pada perubahan peran dan pentingnya suatu
hubungan sangat efektif untuk meredakan gejala depresi dan meningkatkan fungsi
psikososial. Sebuah grup berdasarkan intervensi pada psikotherapi interpersonal
diberikan selama kehamilan mencegah terjadinya depresi postpartum. Bagaimanapun,
psikoterapi sebagai tambahan dikombinasikan dengan fluoxetine tidkak
meningkatkan pengobatan daripada dengan fluoxetine saja.1,2,12
3. Konseling
Ibu akan diajak melihat bahwa merawat anak bukanlah kesulitan yang luar
biasa. Pelan-pelan diajak melihat fokus masalah, apa yang dihadapi dalam
merawat anak dan adakah masalah yang sekiranya bisa diselesaikan.
4. Modifikasi Lingkungan
Lingkungan keluarga penting dalam penyembuhan. Suami harus pengertian.
Serta keluarga harus mendukung ibu serta membantu dalam merawat anak.
28
5. Hormonal Replacement Therapy
Estradiol telah dievaluasi sebagai pengobatan untuk depresi postpartum.
Pada studi yang membandingkan transdermal estradiol dengan plasebo, grup yang
diobati dengan estradiol mempunyai penurunan skor depresi yang signifikan
selama bulan pertama.
6. Profilaksis Treatment
Pasien yang mengalami riwayat depresi setelah kehamilannya dapat berisiko
menjadi depresi postparrtum setelah melahirkan. Terapi preventif setelah
melahirkan harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat depresi
sebelumnya. Obat yang direspon pasien sebelumnya dengan selective-serotonin-
reuptake (SSRI) inhibitor adalah pilihan rasional, tricyclic antidepressant (TCAs)
tidak dapat melindungi sebagaimana dibandingkan dengan plasebo. Minimal,
penanganan depresi postpartum termasuk pengawasan untuk terjadinya
kekambuhan, dengan sebuah rencana intervensi cepat jika ada indikasi.1
Menyusui juga merupakan salah satu treatment yang bersifat profilaksis.
Menyusui tidak hanya mengurangi stress untuk ibu, namun juga mengurangi
tingkat stress pada bayi ketika ibunya mengalami depresi. Peneliti
membandingkan empat grup wanita yaitu ibu depresi yang menyusui atau melalui
susu botol dan ibu sehat yang menyusui atau melalui susu botol yang hasilnya
dicatat dalam babies electroencephalogram (EEG). Peneliti menemukan bahwa
bayi dari ibu yang depresi dan tidak menyusui mempunyai pola EEG abnormal.
Pasien dengan depresi dan bayinya menunjukkan pengaruh negatif daripada
pasien nondepresi. Pengaruh negatif ini tidak hanya timbul selama interaksi ibu
dan bayinya, namun juga timbul pada rangsangan yang diciptakan untuk
menghilangkan pengaruh negatif selama pemisahan ibu dan anak.14,15 Pada
akhirnya disimpulkan bahwa, menyusui melindungi suasana hati ibu dengan
mengurangi tingkat stress. Ketika tingkat stress rendah, respon inflamasi ibu tidak
aktif dan akan mengurangi resiko depresi.11
29
2.2.10 Komplikasi
Efek Depresi Pasca Persalinan Terhadap Ibu Dan Anak
Depresi pasca persalinan memiliki efek jangka pendek dan efek jangka panjang
bagi anak. Jika tidak mendapatkan penanganan serius, komplikasi yang
ditimbulkan bisa terjadi dari usia dini hingga dewasa.
Pada ibu yang mengalami depresi post partum minat dan ketertarikan terhadap
bayinya berkurang. Ia sering berespons tidak positif (menyambut dengan tidak
hangat terhadap komunikasi yang dilakukan oleh bayinya, baik melalui suara
tangis, tatapan mata, ataupun gerak tubuh) sehingga bayi akan lebih keras
menarik perhatian ibunya.
Ibu yang depresi juga tidak mampu merawat bayinya secara optimal, karena
merasa tidak berdaya atau tidak mampu sehingga akan menghindar dari
tanggung jawabnya, akibatnya kondisi kebersihan dan kesehatan bayinya pun
menjadi tidak optimal. Ia juga tidak bersemangat menyusui bayinya sehingga
pertumbuhan dan perkembangan bayinya tidak seperti bayi-bayi yang ibunya
sehat.
Akibat lainnya yaitu hubungan ibu dan bayi tidak optimal. Sebagaimana kita
ketahui bayi sangat senang berkomunikasi dengan ibunya. Komunikasi ini
dilakukannya dengan cara dan dalam bentuk yang bermacam-macam, misalnya
senyuman, tatapan mata, celoteh, tangisan, gerakan tubuh yang berubah-ubah,
yang semuanya itu perlu ditanggapi dengan respons yang sesuai dan optimal.
Bila hal ini tidak dapat dipenuhi oleh ibunya, anak menjadi kecewa, sedih,
bahkan frustasi. Hal ini dapat membuat perkembangan anak tersebut juga
menjadi tidak optimal, sehingga di kemudian hari kepribadiannya pun dapat
menjadi kurang matang.
Keturunan dari ibu yang mengalami depresi pasca persalinan juga berpotensi
untuk mengalami kelainan psikiatri jangka panjang.
Efek untuk ibu yang mengalami depresi pasca persalinan bervariasi. Dalam
perjalanannya depresi pasca persalinan dapat membaik, namun dapat
mengalami perburukan menjadi kelainan depresi mayor. Walaupun jarang
30
terjadi, depresi pasca persalinan dapat berkembang menjadi psikosis pasca
persalinan yang terburuk dari komplikasi ini ialah bunuh diri dan pembunuhan
atas anak sendiri.
2.2.11 Pencegahan
Pencegahan yang paling utama adalah informasi tentang faktor risiko
terjadinya depresi postpartum di masyarakat sebagai nilai penting untuk mencegah
terjadinya depresi ini. Skrining awal terjadinya depresi postpartum ini dapat
diketahui saat ibu membawa bayinya pada tempat pelayanan kesehatan untuk
dilakukan imunisasi sehingga pencegahan terjadinya depresi postpartum dan
depresi secara umum dapat dihindari.
2.2.12 Prognosis
Identifikasi dan intervensi secara dini prognosisnya pada wanita yang
mengalami depresi postpartum adalah baik. Beberapa kasus yang pernah
dilaporkan tertangani dengan baik jika efek depresi post partum ini diketahui sejak
awal.blog=5 Hampir pada semua kasus depresi postpartum prognosisnya adalah
baik, kebanyakan sembuh dalam waktu 3 bulan, 70% dalam waktu 6 bulan dan
30% kemungkinan rekurensi pada kehamilan yang berikutnya.
Perjalanan alami penyakit adalah dengan adanya perbaikan bertahap dalam
waktu enam bulan setelah persalinan. Kemungkinan untuk pulih sempurna
umumnya baik. Hampir 15% wanita mengalami perjalanan penyakit monofasik
disertai pemulihan total, dan separuhnya memperlihatkan perjalanan multifasik
dengan rata-rata 2,5 episode depresi per pasien dan akhirnya pulih sempurna.
Pada sebagian kasus depresi postpartum dapat bersifat asimtomatik sampai
berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun, keadaan ini dapat mempengaruhi
kualitas hubungan antara ibu dan anaknya. Ibu yang mengalami depresi terbukti
kurang berinteraksi sosial dan bermain dengan anaknya.
31
BAB III
KESIMPULAN
Depresi postpartum adalah gangguan yang ditandai dengan mood depresi,
ansietas yang berlebihan, dan insomnia. Onsetnya dalam 3 hingga 6 bulan setelah
persalinan.4 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM IV-TR)
mengkategorikan depresi postpartum sebagai suatu kelainan depresi mayor akibat
pasca bersalin dan terdapat tanda-tanda bahwa gejala depresi timbul dalam jangka
waktu 4 minggu pasca persalinan.5 Menurut International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD-10), DPP ialah
kelainan ringan dari mental dan yang timbul dalam waktu 6 minggu pasca
persalinan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya depresi postpartum yaitu faktor
konstitusional, fisik, psikologi, sosial, karakteristik ibu, dan riwayat depresi/emosi
ibu.
Secara garis besar, strategi penanggulangan (coping) dibagi menjadi dua
yaitu strategi penanggulangan yang berfokus pada masalah dan strategi
penanggulangan yang berfokus pada emosi. Deteksi dini depresi post partum
dapat dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan ibu hamil dan imunisasi. Depresi
post partum dapat dicegah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat
khususnya ibu hamil tentang faktor resiko terjadinya depresi. Pengobatan
farmakologis dan non-farmakologis sangat diperlukan bagi wanita atau ibu
dengan depresi post partum.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Bahiyatun., 2009. Buku Ajar Kebidanan Asuhan Nifas Normal. Jakarta: EGC2. Syafrudin., Hamidah., 2009. Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC. 3. Maslim R. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III. Jakarta; PT
Nuh Jaya. 2003. hal 64-54. Sadock, BJ and Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry
Behavioral Science Clinical Chemistry 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins. New York. 2007. p. 400; 864 – 7
5. American Psychiatric Association (APA): Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition, Text Revision. Washington. DC. American Psychiatric Association, 2000
6. Neurologic and Psyciathric Disorder. In:Cunningham FG, Lenovo KJ, eds.Williams Obstetrics. 23rd ed. McGraw-Hill Co,2010:
7. O'Hara MW, Segre LS. Psychologic Disorders of Pregnancy and the Postpartum Period. In: Danforth's Obstetrics and Gynecology 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2008: 504-16
8. O Hara M.W and Swain L.P. 1996. Social support life event and depression during pregnancy and the puerperium. Toronto: Prentice Hall Health.
9. Stone SD, Menken AE. Perinatal Mood Disorder: an Introduction. In Perinatal and Postpartum mood disorder: Perspectives and Treatment guide for Health Care Practicioner. Springer Publishing Company, 2008
10. Wratsangka. 1996. Faktor risiko wanita postpartum mengalami depresi.11. Alfiben. 2000. Efektifitas peningkatan dukungan suami dalam menurunkan
terjadinya depresi postpartum. Majalah Obstetrik Ginekologi Indonesia. Volume 24. Nomor 4. Januari 2000.
12. Gill, D. Hughes’ outline of Modern Psychiatry 5th ed. John Wiley and Sons, Ltd. England. 2007. p. 222 – 5
13. Sari, Laila Sylvia., 2009. Sindroma Depresi Pasca Melahirkan Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6370 [diakses April 2014].
14. Harms,Roger.W.M.D. Mayo Clinical guide to a Healthy Pregnancy. HarperCollinse-books.2009.Hal.261-264.
15. Soep. Pengaruh Intervensi Psikoedukasi dalam Mengatasi Depresi Postpartum di RSU Dr. Pirngandi Medan. Univ. Sumatra Utara, Medan.2009
16. Cockburn,Jayne. And Michael E.P. Psychological Challenges in Obstetrics and Gynecology The Clinical Management. Springer.London.2007. Hal.140-154.
17. Yim IS, et al. Risk of Postpartum Depressive Symptoms With Elevated Corticotropin-Releasing Hormone in Human Pregnancy.Arch Gen Psychiatry. 2009; 66(2): 162-169
18. Bloch M, Rotenberg N, koren D, Klein E. Risk Factors For Early Postpartum Depressive Symptoms. General Hospital Psychiatry.2006; 28: 3-8
19. Jossefson A. Post Partum Depression-Epidemiological and Biological Aspect. Linkoping University Medical Dissertation No. 781. University of Linkoping. 2003. Sweden.
33
20. Suttajit S. Roles Of Neurotransmitters, Hormones And Brain-Derived Neurothrophic Factors In Pathogenesis Of Depression. Chiang Mai Medical Journal. 2009. Chiang Mai University.
21. Zonana J, Gorman J M. The Neurobilogy of Postpartum Depression. CNS Spectrum. Vol 10. October 2005.
22. Dennis CL. Psychosocial and Psychological Interventions For Prevention of Postnatal Depression: systematic review. British Medical journal. 2005; 331: 1-8
23. Cohen LS, Nonacs RM. Postpartum Mood Disorder. In Mood and Anxiety Disorder During Pregnancy and Postpartum. Review of Psychiatry Vol. 24, Arlington: American Psychiatric Publishing, 2005:77-96
24. Gondo HK, dkk. Skrining Edinburgh postnatal depression scale (EPDS) pada post partum. Bagian Obstetri dan Ginekologi Faklutas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
34