CRS rhinilis alergi

43
BAB I PENDAHULUAN Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1,2 Penyakit inflamasi ini disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik terse but. 3 Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk amerika. Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki- laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia senja rinitis alergi jarang ditemukan. 1,2 Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. 1

description

crs rhinitis alergi

Transcript of CRS rhinilis alergi

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1,2Penyakit inflamasi ini disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.3

Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk amerika. Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia senja rinitis alergi jarang ditemukan.1,2 Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama

: Winda Lestari Umur

: 30 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan Alamat

: Jl. Kemas Tabro no. 16 Rt 05 Rw 03 Sengeti, Muaro Jambi Agama

: Islam Pekerjaan

: Swasta Pekerjaan orang tua

: - Pendidikan pasien

: S1 kedokteran gigi Pendidikan orang tua

: - Tanggal pemeriksaan

: 23 Juni 20142.2 ANAMNESIS Keluhan Utama

Hidung tersumbat sejak bangun tidur pagi hari ini. Riwayat Perjalanan Penyakit

Keluhan mulai muncul sejak 10 tahun yang lalu, keluhan dirasakan terutama pada pagi hari, hidung terasa buntu, bersin berturut-turut, keluar cairan, suara sengau. Kedua mata juga terasa gatal. Selain muncul di pagi hari, keluhan juga timbul jika os terkena debu, udara panas, dan udara dingin. Keluhan yang dirasakan pasien saat ini adalah hidung buntu, bersin (-), cairan (-), suara sengau, dan kedua mata terasa gatal. Akibat keluhan ini pasien mengalami gangguan tidur dan gangguan aktivitas harian sebagai dokter gigi. Riwayat Pengobatan

Os mulai berobat ke dokter spesialis THT sejak 10 tahun yang lalu, seminggu yang lalu os berobat ke dokter spesialis THT Sengeti dan diberikan obat antibotik, pseudoefedrin dan antihistamin. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat alergi obat (-), Riwayat asma (-). Riwayat Penyakit Keluarga

Kakak kandung Os mengalami penyakit yang sama. TELINGAHIDUNGTENGGOROKLARING

Gatal : -/-Rinore : -/-Sukar Menelan : -Suara parau : -

Dikorek : -/-Buntu : +/+Sakit Menelan : -Afonia : -

Nyeri : -/-Bersin : - Trismus :-Sesak napas : -

Bengkak : -/-* Dingin/Lembab : +Ptyalismus : -Rasa sakit :

Otore : -/-* Debu Rumah : +Rasa Ngganjal : -Rasa ngganjal : -

Tuli : -/-Berbau : -/-Rasa Berlendir : -

Tinitus : -/-Mimisan : -/-Rasa Kering : -

Vertigo : -Nyeri Hidung : -/-

Mual : -Suara sengau : +

Muntah : -

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran: compos mentis TD

: 140/100 mmHg Pernapasan: 20 x/i Suhu: 36,5 C Nadi : 84 x/i Anemia: -/-

Sianosis: - Stridor inspirasi: -/-

Retraksi suprasternal: -/- Retraksi interkostal: -/-

Retraksi epigastrial: -/-a) TelingaDaun TelingaKananKiri

Anotia/mikrotia/makrotia--

Keloid --

Perikondritis--

Kista--

Fistel--

Ott hematoma--

Nyeri tekan tragus--

Nyeri tarik daun telinga--

Liang TelingaKananKiri

Atresia--

Serumen --

Epidermis prop--

Korpus alineum--

Jaringan granulasi--

Exositosis --

Osteoma--

Furunkel--

Membrana TimpaniKananKiri

Hiperemis--

Retraksi--

Bulging--

Atropi--

Perforasi--

Bula--

Sekret--

Refleks CahayaArah jam 5Arah jam 7

Retro-aurikularKananKiri

Fistel --

Kista--

Abses--

Pre-aurikularKananKiri

Fistel--

Kista--

Abses--

Tuba eustachii valsava testNormal

b) HidungRinoskopi AnteriorKananKiri

Vestibulum nasiHiperemis (-), livide (-)Hiperemis (-), livide (-)

Kavum nasiSekret (+), hiperemis (-), Edema mukosa (-), pucatSekret (+), hiperemis (-), Edema mukosa (-), pucat

Selaput lendirDBNDBN

Septum nasiDeviasi (-), luka (-)Deviasi (-), luka (-)

Lantai + dasar hidungDBNDBN

Konka inferiorHipertrofi (-), hiperemis (-), livide (-), pucatHipertrofi (-), hiperemis(-), livide (-), pucat

Meatus nasi inferiorDBNDBN

Polip--

Korpus alineum--

Massa tumor--

Rinoskopi PosteriorKananKiri

Kavum nasiSekret (-), hiperemis (-), Edema mukosa (-)Sekret (-), hiperemis (-), Edema mukosa (-)

Selaput lendirDBNDBN

KoanaDBNDBN

Septum nasiDeviasi (-)Deviasi (-)

Konka superiorHiperemis (-), livide (-), hipertrofi (-)Hiperemis (-), livide (-), hipertrofi (-)

AdenoidDBNDBN

Massa tumor--

Fossa rossenmuller--

Transiluminasi SinusKananKiri

Tidak dilakukan

c) MulutHasil

Selaput lendir mulutDBN

Bibir Sianosis (-) raghade (-)

LidahAtropi papil (-), tumor (-)

GigiM1 kiri bawah hilang

Kelenjar ludahDBN

d) FaringHasil

UvulaBentuk normal, terletak ditengah

Palatum mole hiperemis (-), benjolan (-)

Palatum durumHiperemis (-), benjolan (-)

Plika anteriorHiperemis (-)

TonsilDekstra : tonsil T1, hiperemis (-), permukaan rata, kripta tidak melebar detritus (-)

Sinistra : tonsil T1, hiperemis (-), permukaan rata, kripta tidak melebar detritus (-)

Plika posteriorHiperemis (-)

Mukosa orofaringHiperemis (-), granula (-)

e) Laringoskopi indirectHasil

Pangkal lidahTonsil lingual hiperemis (-)

EpiglotisHiperemis (-), granula (-)

Sinus piriformisDBN

AritenoidDBN

Sulcus aritenoidDBN

Corda vocalisDBN

MassaTidak ada

f) Kelenjar Getah Bening LeherKananKiri

Regio IDBNDBN

Regio IIDBNDBN

Regio IIIDBNDBN

Regio IVDBNDBN

Regio VDBNDBN

Regio VIDBNDBN

area ParotisDBNDBN

Area postauriculaDBNDBN

Area occipitalDBNDBN

Area supraclaviculaDBNDBN

g) Pemeriksaan Nervi CranialesKananKiri

Nervus III, IV, VIDBNDBN

Nervus VIIDBNDBN

Nervus IXDBN

Regio XIIDBN

2.4 PEMERIKSAAN AUDIOLOGITes PendengaranKananKiri

Tes rinne++

Tes weberLateralisasi (-)

Tes schwabachSama dengan pemeriksaSama dengan pemeriksa

Kesimpulan: Fungsi pendengaran telinga kanan dan kiri normal2.5 DIAGNOSIS Rinitis Alergi Persisten Sedang Berat2.6 DIAGNOSIS BANDING1. Rinitis vasomotor2. Rinitis simpleks2.7 PENATALAKSANAANTerapi

Menghindari kontak dengan alergen Pada pasien ini keluhan dirasa adalah buntu maka diberikan dekongestan 3-5 hari Obat-obatan lain yang dapat diberikan adalah1. Kortikosteroid topikal evaluasi selama 2-4 minggu : obat steroid topical mometasone furoate nasal spray 1x1 spray pada hidung kanan dan kiri2. Antihistamin oral dengan dekongestan yaitu loratadine 5 mg + pseudoefedrin 60 mg.Monitoring Minta pasien untuk kontrol ulang dalam 1 bulan lagi atau dapat dating kembali jika ada keluhan. Lihat apakah ada perbaikan dari keluhan yang dialami pasien, yaitu buntu, bersin, gatal pada mata dan keluarnya sekret dari hidung. KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)

1. Menjelaskan kepada pasien mengenai tujuan dan manfaat dari pengobatan yang diberikan kepada pasien.2. Memberitahu kepada pasien akan pentingnya follow up dan terapi yang adekuat untuk penyakitnya.3. Memberitahukan kepada pasien untuk menghindari kontak dengan allergen yang memicu timbulnya gejala rhinitis alerginya.2.8 PROGNOSISQuo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA3.1 Anatomi dan Fisiologi 4,5,6A. Embriologi

Hidung dibentuk oleh lima prominensia facialis. Prominensia frontalis membentuk jembatan hidung. Prominensia nasalis mediana yang menyatu membentuk lengkung dan ujung hidung. Dan prominensia nasalis lateralis menghasilkan cuping hidung.

Rongga Hidung

Selama minggu keenam, fovea nasalis menjadi semakin dalam, sebagian karena pertumbuhan prominensia nasalis sekitar dan sebagian karena penetrasi ke mesenkim dibawahnya. Mula mula membrana oronasalis memisahkan kedua lekukan dari rongga mulut primitif melalui foramen yang baru terbentuk, koana primitif.

Kedua koana ini terletak di kedua sisi garis tengah dan tepat di belakang palatum primer. Kemudian dengan terbentuknya palatum sekunder dan perkembangan lebih lanjut rongga hidung primitif, terbentuknya koana defenitif di taut antara rongga hidung dan faring.

Sinus udara paranasal berkembang sebagai divertikulum dinding hidung lateral dan meluas ke dalam maksila, os etmoidale, os frontale, dan os sfenoidale. Sinus sinus ini mencapai ukurannya yang maksimal selama pubertas dan ikut membentuk wajah yang definitif.B. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah: 1. Pangkal hidung (bridge)

2. Dorsum nasi

3. Puncak hidung

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :

- Superior : os frontal, os nasal, os maksila

Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan kartilago alaris minor .Perdarahan :

1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).

2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna)

3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)

Persarafan :

1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)

2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior) C. Kavum Nasi

Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas batas kavum nasi : Posterior: berhubungan dengan nasofaring

Atap

: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan sebagian os vomer

Lantai

: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.

Medial

: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.

Lateral

: dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.

Perdarahan :

Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama sama arteri. Persarafan :

1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior

2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N. SfenopalatinusD. Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.E. Sinus Paranasal

Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga udara hidung; jumlah, bentuk, ukuran dan simetris bervariasi. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulangwajah dan diberi nama yang sesuai; sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis dan etmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa kelompok-kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungan, masing-masing kelompok bermuara ke dalam hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.F. Fisiologi hidung

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh :

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.

d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasalMukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.3.2 Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersentisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.1,2

Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Onset pajanan alergen terjadi lama dan gejala umumnya ringan, kecuali bila ada komplikasi lain seperti sinusitis.1,2

B. Etiologi

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 30 % semua populasi dan pada 10 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi yaitu sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.a. Sumber pencetus7Rhinitis Alergi jenis musiman muncul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap

partikel udara seperti berikut ini:

Ragweed Bulubulu rumput yang paling umum terdapat sebagai pencetus

(di musim gugur)

Serbuk sari rumput (di akhir musim semi dan musim panas)

Serbuk sari pohon (di musim semi)

Jamur (berbagai jamur yang tumbuh di daundaun kering, umumnya

terjadi di musim panas)

Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas :31. Allergen inhalan masuk bersama udara pernapasan seperti bulu binatang peliharaan, debu dan tungau rumah, Kecoa, Jamur yang tumbuh di dinding, tanaman rumah, karpet, dan kain pelapis

2. Allergen ingestan yang masuk ke saluran cerna berupa makanan.3. Alergen injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin atau sengatan lebah. b. Faktor Risiko7 Sejarah keluarga alergi

Setelah ada riwayat pernah terkena alergi lain, seperti alergi makanan atau

eksim

Paparan bekas asap rokok

Gender lakilaki.7C. Klasifikasi

Rhinitis alergi sering dibagi berdasarkan penyebab menjadi 2 tipe yaitu :1,21. Rhitis alergi musiman (hay fever) umumnya disebabkan kontak dengan alergen dari luar rumah seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya dan spora jamur. Alergi terhadap tepung sariber beda beda bergantung geografi dan jenis tanaman yang ada, juga jumlah serbuk yang ada di dalam udara. Udara panas, kering dan angin mempengaruhi banyaknya serbuk di udara bila dibandingkan dengan saat udara dingin, lembab dan hujan, yang membersihkan udara dari serbuk tersebut. Jenis ini biasanya terjadi di negara dengan 4 musim.2. Rhinitis alergi terus menerus (perennial), diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, kecoa, tumbuhan kering, jamur, bulu binatang atau protein yang dikandung pada kelenjar lemak kulit binatang. Protein ini dapat tetap berada di udara selama berbulan-bulan setelah binatang itu tidak ada diruangan.2 Namun, definisi di atas kurang sesuai bila diterapkan dalam kehidupan nyata. Karena, serbuk sari banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan gejala alergi tidak secara terus menerus terjadi. Karena itu the Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasi kembali pedoman Rhinitis alergika, berdasar waktu dan frekuensi gejala yang ada. Intermittent Allergic Rhinitis dan Persistent Allergic Rhinitis, keduanya dapat dibagi berdasar tingkat keparahan pasien mulai dari ringan, sedang hingga berat. World Health Organization (WHO) merekomendasikan pembagian rhinitis alergi ke dalam dua klasifikasi :1,81. Intermittents (kadang-kadang), gejala yang ditemukan kurang dari 4 hari per minggu dan atau kurang dari 4 minggu.

2. Persistent (menetap), gejala-gejala yang ditemukan lebih dari 4 hari

Dan berdasarkan tingkat beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan (mild), ditemukan dengan tidur normal, aktivitas sehari-hari, saat olah raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak ada keluhan mengganggu.

2. Sedang berat (moderatesevere), ditemukan satu atau lebih gejala berikut ; tidur terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan saat santai terganggu, masalah saat bekerja dan sekolah, ada keluhan yang menggangu.8D. Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, Yaitu reaksi alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu jam setelahnya, dan reaksi fase lambat yang berlangsung 2 sampai 4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktiftas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida MHC (Mayor Histo Compatibility) kelas II, yang kemudian di presentasikan pada sel T-helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin I (IL-1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2. kemudian Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. L-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig-E). Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi bila mukossa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk, terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan prostaglandin leukotrin D4, leukotrin C4, brakinin, platelet actifating factor dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi. Dan permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung syaraf vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran interseluler adhesion molekul.1,3

Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul kemotaktif yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ni tidak berhenti disini saja, tapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam, setelah pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4 dan IL5, dan granulosit makrofag koloni stimulating faktor pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase ini selain faktor spesifk (alergen) iritasi oleh faktor nonspesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok bau yang merangsang perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1

Skema 1. Skema pathogenesis rhinitis alergi.9E. Gejala klinis

Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin biasanya pada pagi hari dan karena debu. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala lain berupa keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung tersumbat, mata gatal dan banyak air mata. Pada anak-anak sering gejala tidak khas dan yang sering dikeluhkan adalah hidung tersumbat.10,11Pada anak-anak, akan ditemukan tanda yang khas seperti:

1. Allergic salute2. Allergic crease3. Allergic shiner4. "Bunny rabbit" nasal twiching soundAllergic salute adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena gatal. Allergic crease adalah alur yang melintang di sepertiga bawah dorsum nasi akibat sering menggosok hidung. Allergic shiner adalah bayangan gelap di bawah mata yang terjadi akibat stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Bunny-rabbit sound adalah suara yang dihasilkan karena lidah menggosok palatum yang gatal dan gerakannya seperti kelinci mengunyah.1,10,11

Gambaran klinis Rinitis AlergiF. Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan:1,10,111. Anamnesis

2. Pemeriksaan fisik : rinoskopi anterior

3. Pemeriksaan sitologi hidung

4. Uji kulit

Pasien rinitis alergi datang ke klinik dokter dengan bercerita bahwa ia sering bersin karena serangannya tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Pada rinoskopi anterior sering didapatkan mukosa berwarna keunguan (livid) atau pucat, edema, dan basah serta adanya sekret encer, bening yang banyak. Pemeriksaan sitologi hidung dilakukan dengan mengambil cairan hidung pasien dan menempelkannya pada kaca apus dan diberi pewarna Giemsa-Wright. Adanya sel netrofil, eosinofil, limfosit adalah fokus perhatian. Disebut eosinofilia bila ditemukan >10% eosinofil. Eosinofilia ini mengarah pada penyebab berupa alergi. Apabila ditemukan netrofil > 90% maka disimpulkan terjadinya infeksi. Netrofil dan eosinofil yang ditemukan bersamaan menunjukkan infeksi pada pasien alergi. Apabila eosinofilia ditemukan pada anak-anak, maka rinitis alergi perlu dicurigai. Sedangkan eosinofilia pada orang dewasa muda, maka rinitis alergi dan NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) perlu dipikirkan. NARES adalah keadaan pasien dengan eosinofilia yang tidak menunjukkan nilai positif pada tes kulit dengan allergen yang sering menyebabkan keluhan bersin. Alergen yang dimaksud adalah alergen yang banyak di lingkungan.1,3,10,11

Uji kulit atau Prick test, digunakan untuk menentukan alergen penyebab rinitis alergi pada pasien. Alergen dapat berupa tungau debu, bulu binatang, jamur, dan serbuk sari. Tes kulit yang positif menunjukkan adanya antibiodi IgE yang spesifik terhadap alergen tersebut. 11G. Penatalaksanaan

Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (avoidance). Bila faktor penyebab tidak mampu disingkirkan maka terapi selanjutnya adalah pemberian farmakoterapi maupun tindakan bedah berupa:

1. Antihistamin

2. Dekongestan oral

3. Sodium kromolin

4. Kortikosteroid inhalasi

5. Imunoterapi

6. Netralisasi antibodi

7. Konkotomi1. Antihistamin

Adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat ini bekerja secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1. Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama bersifat sedatif karena bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh antihistamin generasi pertama adalah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi kedua memiliki keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyata dilaporkan suatu kasus kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia. Antihistamin generasi kedua yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin. Dianjurkan konsumsi antihistamin agar dimakan secara reguler dan bukan dimakan seperlunya saja karena akan memberikan efek meredakan gejala alergi yang efektif. Apabila antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara reguler akan memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya. 3,112. Dekongestan oral

berkerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan gejala rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin. Obat ini cukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan pemberian dekongestan oral dibandingkan dekongestan topikal karena efek "rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian obat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase "tappering off" dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan terjadinya krisis hipertensi.

3. Sodium kromolin

Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaitu berupa mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini adalah dengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga degranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.

4. Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin.12

Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast. Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid bekerja secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif mengurangi eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonid, dan flunisolid. Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang menjalani pengobatan penyakit paru.

5. Imunoterapi.

Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya adalah dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen, tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan sama sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadi produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (lebih meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akan bersifat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen, kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsang membran mastosit.126. Antibodi netralisasi

bekerja dengan cara memberikan anti IgE monoklonal. Antibodi ini berikatan dengan IgE yang bebas di dalam tubuh dan tentu saja secara langsung akan mengurangi produksi IgE selanjutnya oleh sel B. Hasil akhirnya adalah konsentrasi IgE yang rendah mengurangi sensitivitas basofil. Cara ini tidak hanya digunakan untuk rinitis alergi, tetapi jenis alergi lain seperti alergi makanan. 7. Konkotomi

dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.H. Diagnosis Banding

NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat disingkirkan bila tes kulit menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan. Penyebab keluhan pada NARES adalah alergi pada makanan. Rinitis vasomotor dapat dibedakan dengan rinitis alergi dengan keluhan bersin pada perubahan suhu ekstrim, rokok, tidak terdapat gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat pada posisi miring dan bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat atau merah gelap, licin, edema juga mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit bernilai negatif. Rinitis alergi dan vasomotor dapat pula terjadi bersamaan dengan memberi gambaran rinoskopi anterior yang bercampur seperti mukosa pucat tetapi positif pada tes kulit. Sekresi hidung yang kekuningan dan tampak purulen tetapi eosinofilik sering terjadi pada rinitis alergi, tetapi pada sekresi yang berbau busuk dan purulen dan terjadi unilateral perlu dicurigai adanya benda asing.10,11I. Prognosis

Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.J. Komplikasi

1. polip hidung

2. Otitis media efusi yang residif

3. Sinusitis paranasalBAB IV

ANALISA KASUSBerdasarkan anamnesis yang telah dilakukan pada Nn. Winda Lestari, 30 tahun, diketahui bahwa Os datang ke Poliklinik THT RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan utama hidung terasa buntu pada kedua lubang hidung sejak bangun tidur tadi pagi (23-6-2014). Keluhan yang sama dirasakan setiap hari. Selain itu Os juga merasa suara sengau dan kedua mata terasa gatal. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik terhadap Nn. Winda Lestari dan didapat hasil keadaan umum dalam batas normal, pemeriksaan fisik hidung didapatkan mukosa hidung basah dan tampak pucat, konka inferior dan konka media juga tampak pucat.Hal tersebut diatas sesuai dengan keluhan rhinitis alergi yang merupakan kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Ini dapat membedakannya dengan diagnosis banding rhinitis vasomotor dan rhinitis simpleks. Selain itu juga diperkuat dengan riwayat kambuhan jika terpajan debu, cuaca panas dan cuaca dingin. Keluhan muncul setiap hari dan mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Kesimpulannya adalah Nn. Winda Lestari mengalami rhinitis alergi persisten sedang berat.

Pada pasien ini keluhan yang dominan adalah hidung terasa buntu, suara sengau dan mata yang terasa gatal, sehingga diberikan obat steroid topical mometasone furoate nasal spray 1x1 spray pada hidung kanan dan kiri, antihistamin oral dengan dekongestan yaitu loratadine 5 mg + pseudoefedrin 60 mg. Pasien diminta control 1 bulan lagi atau dapat datang kembali jika ada keluhan. Yang terpenting adalah menghindari kontak dengan allergen.Kortikosteroid topical ini efektif dalam menguragi proses inflamasi. Bioavailibilitas kurang dari 1 %. Tidak ditemukan keluhan tambahan pada pemberian selama 1 tahun. Pada pasien ini pengobatan kortikosteroid digabung dengan antihistamin oral, sesuai dengan kepustakaan rhinitis alergi kategori sedang berat. Terapi kombinasi antara loratadine dengan pseudoefedrin terbukti menurunkan gejala pada hidung dan kualitas hidup dari pasien rhinitis alergi. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam. Prognosis sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya.

BAB V KESIMPULAN

1. Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.2. Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan3. Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting, ditinjau dari faktor alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini.

4. Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat disingkirkan dapat dibantu dengan terapi medika mentosa hingga pembedahan.

5. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baikDAFTAR PUSTAKA1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung Tenggorok: Alergi Hidung. Edisi ke-5. Jakarta 2001. Hal 101-6

2. Ethical Diggest Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. Diagnosis Rhinitis Alergika. Diunduh tanggal 24 Juni 2014. Diakses dari URL : http://physalin.blogspot.com/2009/10/diagnosis- rhinitis-alergika.html. 2009.3. Soepardi Ea, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta: FKUI, 20074. Soepardi Ea, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Kelima. Jakarta: FkUI, 20075. Mansjoer A, Triyanti K, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid Pertama. Media Aesculapius. FKUI. 2001.6. Sadler TW. Langman Embriologi Kedokteran. Edisi 10. Jakarta: EGC, 20097. University of Maryland Medical Center. Pengobatan cara Medis, Herbal, Alternatif, untuk Alergi Rhinitis. Maryland : 2010.

8. Lumbanraja PLH. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H.. Adam Malik Medan. Tesis. Medan : FK USU. 2007.9. Suprihati. The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk Factors among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In : Indonesian Journal of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Vol, XXXV, no 1, Jakarta; 2005 : 64-70.

10. Shapiro GG. Understanding Allergic Rhinitis: Differential Diagnosis and Management. Pediatr.Rev. 1986;7;212 218. Diunduh tanggal 25 Juni 2014. Diakses dari URL:http://pedsinreview.aapublications.org

11. Virant FS. Allergic Rhinitis. Pediatr. Rev. 1992;13;323-328. Diunduh tanggal 25 Juni 2014. Diakses dari URL: http://pedsinreview.aappublications.org/12. Kuby. Fundamental Immunology, 1999, 4th ed. Lippincott-Raven, Philadelphia.2