CRS Epilepsi

30
CASE REPORT SESSION EPILEPSI Oleh : Andi Tekri 1301-1208- Charanjit Kaur 1301-1208-00 P.Putri Karina1301-208-0077 Preceptor : o!ar"ati# dr.# p. Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran ni!ersitas Pad"ad"aran Ruma# Sakit $asan Sadikin Bandung %&&'

description

a case report

Transcript of CRS Epilepsi

CASE REPORT SESSION

CASE REPORT SESSION

EPILEPSIOleh :

Andi Tekri

1301-1208-Charanjit Kaur 1301-1208-00P.Putri Karina1301-208-0077Preceptor :

Sobaryati, dr., Sp.S

Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Rumah Sakit Hasan Sadikin

Bandung

2009IDENTITAS UMUMNama

: Ny. MJenis kelamin

: PerempuanUsia

: 37 tahun

Alamat

: CimahiPendidikan Terakhir: SMUStatus Marital

: MenikahAgama

: Islam

Tanggal pemeriksaan: 25 Maret 2009I. ANAMNESA (autoanamnesa)Keluhan Utama: Kejang-kejang

Anamnesa khusus:

1 bulan sebelum ke poliklinik saraf RSHS, pasien mengalami serangan kejang. Serangan dimulai secera mendadak, tanpa didahului mencuim bau-bauan atau melihat cahaya berkilauan, nyeri kepala, ataupun jeritan. Dari keluarga, pasien diberitahu bahwa serangan dimulai dari kedua tangan kaku kearah bawah tanpa kelojotan, pasien dalam keadaan duduk, tidak diketahui apakah pasien terjatuh. Saat serangan kepala menengok ke kiri, arah mata melirik saat serangan tidak diketahui, bola mata berputar, bunyi nafas berdengkur saat seragan tidak diketahui. Pada saat serangan, lidah pasien terjulur keluar, namun tidak tergigit dan mulut pasien tidak berbusa, pasien berbicara ngacau, namun tidak ada mengunyah, mengecap-mengecap atau bergerak bolak balik tanpa tujuan . Pasien tahu dari keluarga bahwa serangan berlangsung selama 1-2 menit, pada saat serangan pasien tidak sadarkan diri, setelah serangan berakhir pasien tertidur dan bangun sesudahnya tanpa bingung (masih tahu lokasi, waktu dan mengenal orang-orang sekitarnya), namun tidak diketahui apakah ada bekas ompol, nyeri otot, dan nyeri kepala saat tersadar dari serangan.

Malam sebelum pasien mengalami serangan, pasien mengalami kelelahan. Tidak ada riwayat sedang banyak beban pikiran atau beban emosi, benjolan di tubuh disertai penurunan berat badan drastis dan demam lama sebelum serangan. Tidak ada keluhan lemah/ lumpuh sebelah badan yang didahului gangguan pengelihatan disertai bicara rero, tidak ada nyeri kepala disertai demam dan kaku kuduk, tidak ada demam disertai penurunan kesadaran, dan tidak ada riwayat terbentur sebelum terjadinya serangan kejang. Riwayat penyakit ginjal, hati, atau kurang darah pada pasien tidak ada. Riwayat keluhan yang sama pada keluarga pasien tidak ada. Pasien tidak pernah mengkonsumsi narkoba atau alkohol.

Pasien pertama kali mengalami serangan 7 tahun yang lalu, sebelum melahirkan anak ke-dua. Awitan, lama dan bentuk serangan tidak diketahui. Saat mengandung anak ke-dua, ada riwayat tekanan darah tinggi dan kejang, namun pasientidak ingat tekanan darah tertinggi dan banyaknya serangan saat mengandung.

Setelah serangan pertama , pasien dilarikan ke RS Cibabat, diberi obat. Setelah 4 bulan memakai obat pasien merasa ada perbaiakan, sehingga pasien menghentikan obat dan serngan muncul kembali. Pengobatan kembali diulang pasien kembali menghentikan obat 1 tahun yang lalu dan serngan timbul kembali 1 bulan yang lalu. Pasien mengeluh sering lupa.II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan Umum

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 110 / 80

Nadi

: 95x / menit

Respirasi

: 24x / menit

Suhu

: afebris

Gizi

: Cukup

B. Status Interna

Kepala

: dbnConjunctiva : Tidak anemis

Sklera

: Tidak ikterik

Leher

: JVP: tidak dilakukan

KGB tidak teraba membesar

Toraks

: bentuk dan gerak simetris

Cor: iktus kordis ....teraba di..

batas jantung.... LMCS

Pulmo:

\

C. Pemeriksaan Neurologis

1. Penampilan

Kepala

: Normocephal

Collumna vertebra: Tidak ada deformitas

2. Rangsang Meningen/ iritasi radiks

Kaku Kuduk

: (-)

Brudzinski I, II, III: (-)

Laseque

: (-)

Kernig

: (-)3. Saraf Otak

N.I

Penciuman

: +/+N.II

Ketajaman penglihatan: Rosenbaum: (ka:20/25 ki: 20/25)

Lapang pandang

: normalN.III,IV,VIptosis

: -/-

pupil

: bulat isokor ODS 3mm

refleks cahaya

: +/+

posisi mata

: Simetris

gerak bola mata

: Baik kesegala arah

N.V

refleks kornea

: +/+

Sensoris

: menurun di wajah kanan

Motoris

: dbnN.VII

angkat alis mata

: t.a.k.

Pejam mata

: palpebra kanan lebih lemah.

Grimace face

: plika nasolabial turun di sebalah

Kanan (bibir tertarik ke kiri)

Rasa Kecap 2/3 depan lidah: dbnN.VIII pendengaran

: pendengaran kanan menurun

Rhine

:

Webber

:

Keseimbangan

: t.a.k.N.IX,X

suara/bicara

: dbn.

Menelan

: dbn.

Kontraksi palatum

: dbn.

Refleks gag

: tidak di lakukanN.XI

angkat bahu

: dbn.

Menoleh kanan /kiri

: dbn.N.XII

posisi lidah

: Simetris4.Motorik

KekuatanTonusAtrofiFasikulasi

Anggota gerak atas5/5Normotonus(-)(-)

Anggota gerak bawah4/5Normotonus(-)(-)

5. Sensorik

Eksteroceptif

Propioseptif

Anggota badan atas: kiri menurun

Posisi: dbnAnggota bawah badan: kiri menurun

Vibrasi:dbn

6. Koordinasi

Cara bicara

: Baik

Tremor

: -

Tes telunjuk hidung: Tidak dilakukan

Tes tumit lutut

: Tidak dilakukan

Tes Romberg

: Tidak dilakukan7. Refleks

Fisiologis

KananKiri

Biceps(+

Triceps(+

Radiobrachialis(+

Pattela(+

Achilles(

Patologis

Babinski--

Chaddock--

Oppenheim--

Gordon--

Sheiffer--

Rossolimo--

Mendel-bechterew--

Hoffman-trommer--

Primitive

Glabella--

Palmomental--

Snout--

Graps--

8. Fungsi Luhur: MMSE: 22RESUMEANAMNESA

DIAGNOSA KLINIS :

Epilepsi Bangkitan Parsial kompleks (idiopathic) DIAGNOSA BANDING :

Epilepsi Bangkitan Umum TonikUSUL PEMERIKSAAN TAMBAHAN :

EEG

MRI kepalaUSUL TERAPI :

Non-Farmakoterapi: - Terapi Supportif Farmakoterapi : - Fenitoin

- Fenobarbital

Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonamEPILEPSI

A. Definisi

Epilepsi merupakan sekumpulan gejala neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang berulang dan tidak diprovokasi. Bangkitan epilepsi adalah suatu manifestasi klinis yang disebabkan karena adanya pelepasan muatan listrik yang abnormal, berlebihan dan timbul bersamaan/sinkron dari neuron yang terutama terletak pada korteks serebri. Aktivitas paroksismal ini umumnya timbul intermitten dan self limited. Manifestasi klinis dapat melibatkan motorik, sensorik dan psikis dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Sindroma epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, anatomi, etiologi, usia saat awitan, faktor pencetus, beratnya penyakit, dan prognosa).

Angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4 % (WHO). Angka kejadian tahunan di negara berkembang berkisar anatara 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Angka kesakitan di negara berkembang dan dinegara maju berkisar 1%. Lebih dari dua pertiga kasus epilepsi berawal pada usia anak-anak (terutama di tahun pertama kehidupan).

B. Etiologi

1. Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik.

2. Kriptogenik : dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gestaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatik : disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat

Misalnya; cedera kepala, Infeksi ssp, Kelainan congenital, Lesi desak ruang, Gangguan peredaran darah otak, Toksik (alkohol, obat), Metabolik, Kelainan neurodegeneratif

Karena epilepsi ditandai dengan bangkitan atau kejang, maka untuk mempermudah mencari penyebabnya, akan diklasifikasikan penyebab kejang berdasarkan usia:

1.neonatus ( 60 tahun)

penyakit vaskular

tumor otak

trauma

C. Klasifikasi

Berdasarkan International League Against Epilepsy tahun 1981, untuk tipe bangkitan epilepsi berdasarkan data klinis dan EEG, dibagi sebagai berikut:

1. Bangkitan Parsial

Bangkitan parsial terjadi pada regio tertentu otak. Dibagi menjadi :

a. Bangkitan parsial sederhana

Bangkitan parsial sederhana terjadi tanpa adanya kehilangan kesadaran. Manifestasi klinisnya tergantung dari lokasi pelepasan listrik yang abnormal pada korteks. Jadi manifestasi klinisnya dapat berupa gambaran motorik, sensorik, otonom dan psikis. Misalnya bila terjadi di daerah korteks motoris maka akan menimbulkan gerakan ritmis pada daerah yang diurusnya. Atau bila terjadi pada daerah sensoris maka akan menghasilkan parestesi pada daerah yang diurusnya. Bila terjadi di daerah pengatur emosi dan memori dapat menimbulkan gejala seperti halusinasi lihat atau dengar, de javu (merasa pernah melakukan apa yang sebenarnya tidak pernah dilakukan), jamais vu (merasa tidak pernah melakukan apa yang sudah pernah dilakukan), perasaan takut, panik atau euphoria.

b. Bangkitan parsial kompleks

Bangkitan parsial kompleks ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara dimana pasien tidak mampu mempertahankan kontak normalnya dengan lingkungan (kurang lebih30 detik sampai 2 menit). Sebelum bangkitan biasanya ditandai dengan adanya aura yang khas untuk tiap-tiap pasien. Permulaan fase iktal biasanya pasien menghentikan apa yang sedang dikerjakan kemudian melihat ke depan dengan tatapan kosong. Kemudian diikuti otomatisme yaitu gerakan berulang yang tidak disadari, tidak bertujuan dan tidak dapat diingat kembali oleh pasien. Contoh gerakannya seperti mengunyah, menelan, mengetuk-ngetuk, berjalan berkeliling atau berlari bahkan membuka bajunya. Setelah serangan, pasien merasa bingung, mengantuk atau mengeluhkan nyeri kepala yang berlangsung beberapa menit samapai beberapa jam.

c. Bangkitan parsial yang berkembang jadi bangkitan umum

bangkitan parsial sederhana menjadi tonik klonik

bagkitan parsial kompleks menjadi tonik klonik

bangkitan parsial sederrhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik

2.Bangkitan Umum

Bangkitan timbul dari struktur subkortikal dan menyebar ke kedua hemisfer. Bangkitan umum dibagi dua tipe yaitu konvulsif dan non konvulsif. Yang termasuk bangkitan konvulsif adalah tipe tonik klonik, tonik, klonik. Sedangkan tipe non konvulsif adalah bangkitan absance, mioklonik dan atonik.

a. Bangkitan absance (lena atau petit mal)

Umumnya terjadi pada anak-anak (4-12 tahun). Bisa berulang kali terjadi dalam satu hari dengan durasi 5-15 detik. Biasanya terjadi tanpa adanya aura, berupa gangguan kesadaran secara mendadak dan selama itu aktivitas yang dilakukan menjadi terhenti, pasien diam tanpa reaksi.

b. Bangkitan tonik-klonik (grandmal)

Serangan ditandai dengan adanya suatu jeritan atau tangisan, kemudian pasien terjatuh, menjadi kaku (fase tonik) dimana pada fase ini pasien bisa mengalami sianosis karena spsme otot-otot pernafasan. Kemudian disusul denggan fase klonik dimana terjadi gerakan-gerakan kejang (biasanya pada ke empat ekstrimitas), bunyi nafas mendengkur dan mulut berbusa. Setelah fase klonik pasien terbaring lemas dan kesadaran berangsur pulih. Pasien sering dalam keadaan bingung selama beberapa saat kemudian.

c. Bangkitan tonik

Terjadi kontraksi otot tiba-tiba dengan disertai hilangnya kesadaran.

d. Bangkitan klonik

Terjadi kontraksi otot ritmik ataupun semi ritmikyang khasnya terjadi pada ekstrimitas atas, leher dan wajah.

e. Bangkitan mioklonik

Kontraksi otot yang singkat dan terjadi tiba-tiba meliputi satu bagian ekstrimitas atau seluruh otot.

f. Bangkitan atonik

Berupa kehilangan tonus otot secara mendadak, pasien kehilangan kesadaran dan terjatuh.

3.Bangkitan yang tidak terklasifikasi

Klasifikasi Sindroma Epilepsi (menurut ILAE tahun 1989) adalah sebagai berikut:

I. Fokal

a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan )

1. Benign childhood epilepsy with centro-temporal spikes

2. Childhood epilepsy with occipital paroxysmal

3. Primary reading epilepsy

b. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau non spesifik)

1. Chronic progressive epilepsia partialis continua of childhood (kojewnikows syndrome)

2. Syndrome characterized by seizures with spesific modes of precipitation

3. Epilepsi lobus temporalis / frontal / oksipital

c. Kriptogenik

II. Umum

a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

1. Benign neonatal Familial convulsion

2. Benign neonatal convulsion

3. Benign myoclonic epilepsy in infancy

4. Childhood absance epilepsy (pyknolepsy)

5. Juvenile absance epilepsy

6. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

7. Epilepsies with grandmal (GTCS) seizures on awakening

8. Others generalized idiopathic epilepsies not define above

9. Epilepsies with seizures precipitated by specific modes of activation

b. Kriptogenik/simptomatik

1. West syndrome (infantile spasm, blitz Nick-Salaam Krampfe)

2. Lennox-Gaustat syndrome

3. Epilepsy with myoclonic-astatic seizures

4. Epilepsy with myoclonic absencec. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik)

1. Dengan etiologi yang non spesifik

a. Early myoclonic encephalopathy

b. Early infantile epileptic encephalopathy with suppression burst

c. Other symptomatic generalized epilepsies not defined above2. Sindroma spesifik

a. Bangkitan epilepsi yang disebabkan oleh penyakit lain

III. Tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum

1.Dengan bangkitan umum atau fokal

a. Neonatal seizures

b. Severe myoclonic epilepsy in infancy

c. Epilepsy with continuous spike wave during slow-wave sleep

d. Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner syndrome)

e. Other undetermined epilepsies

2.Dengan bangkitan umum atau fokal (sama banyak )

IV. Sindroma Spesial

1. Bangkitan yang berhubungan dengan situasi

a. kejang demam (febrile convulsion)

b. bangkitan berulang atau status epileptikus

2. Bangkitan yang disebabkan oleh gangguan metabolik akut yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti alkohol, obat-obatan, eklampsi, hiperglikemi dan non ketosis.

D. Patofisiologi

Aktifitas serangan epilepsi dapat terjadi sesudah suatu gangguan pada otak, dan ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah:

1. ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan

2. neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan

3. mungkin terjadi polarisasi yang abnormal (polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi, atau terhentinya repolarisasi)

4. ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron. Pada waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada tingkat neuronal, mengalami perubahan. Ketidaksetimbangan ini akan menyebabkan membran neuron mudah mengalami depolarisasi

Penelitian pada model hewan menunjukkan bahwa terdapat peran glutamat dalam eksitasi sel neuron. Hal ini akan menyebabkan timbulnya depolarisasi dengan mengaktivasi reseptor yang akan memfasilitasi influks ion Na, K, Ca. Gamma-aminobutyric acid (GABA) memiliki peran penting dalam menginhibisi cetusan abnormal di kortikal dan mencegah timbulnya bangkitan umum.

Ada hipotesa yang menduga bahwa suatu epileptogenesis dapat terjadi karena adanya kelompok neuron yang secara intrinsik terdapat kelainan pada membrannya, ini bisa karena didapat atau diturunkan. Neuron abnormal tersebut akan menunjukkan depolarisasi berkelanjutan dan sangat besar, kemudian melalui hubungan yang efisien akan mengimbas depolarisasi pada sebagian neuron di sekitarnya. Bila proses inhibisi juga mengalami gangguan, entah karena suatu cedera, hipoksik iskemia, atau genetis akibat gangguan mutasi, maka kumpulan neuron yang hampir bersamaan melepaskan potensial aksinya, sehingga terjadilah bangkitan.

Pada bangkitan umum primer, letak massa neuron yang abnormal belum diketahui, ada dugaan terletak di kelompok sel-sel subkortikal, sedangkan pada bangkitan parsialis, massa neuron abnormal terletak di korteks atau hipokampus. Suatu bangkitan parsialis dapat menjadi bangkitan umum bila massa neuron abnormal di neokorteks atau hipokampus melibatkan neuron yang terletak di subkortikal.

E. Diagnosa

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar anamnesis baik auto maupun aloanamnesis karena pada pemeriksan fisik jarang ditemukan adanya gambaran epilepsi. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi dan bila memungkinkan. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gambaran epileptiform pada penderita epilepsi dan juga membantu menentukan letak fokus. Pemeriksaan EEG dilakukan saat bangun tidur dengan stimulasi sesuai pencetus bangkitan atau hiperventilasi. Untuk melihat kelainan stuktural, maka diperlukan pemeriksaan MRI ataupun CT scan. Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi kadar glukosa darah, fungsi hati, ureum, kreatinin, pemeriksaan elektrolit yaitu natrium, kalium,kalsium, magnesium. Ini dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan metabolik. Lumbal Punksi juga dilakukan untuk kecurigaan terhadap infeksi SSP. Beberapa tes lainnya seperti tes beben jantung, Holter monitor, tilt table testing, monitoring jantung jangka panjang juga pemeriksaan saat tidur penting untuk mengesampingkan penyakit lain yang menyerupai epilepsi.

F. Diagnosa Banding

Diagnosa banding epilepsi antara lain gerak involunter (tics, head nodding, paroxysmal choreoathetosis/ dystonia,benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, jitterness, dll), Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, narkolepsi, attention deficit), gangguan respirasi (apnoe, breath holding, hiperventilasi), gangguan prilaku (night terrors, sleep walking, nightmares, confusion, sindroma psikosis), gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen), keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hidrocepahalic speels, aritmia jantung, hipoglikemi,hipokalsemi, periodic paralisis, dll).

G. Penatalaksanaan Epilepsi

Tujuan TerapiMengontrol gejala atau tanda secara adekuat dengan menggunakan obat tanpa / dengan efek samping minimal.

Prinsip Terapi

Terapi dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.

Terapi mulai diberikan bila diagnosis epilepsi telah ditegakkan dan setelah pasien dan atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping ( terapi diberikan seawal mungkin)

Pemilihan jenis obat sesuai dengan jenis bangkitan.

Sebaiknya terapi dimulai dengan monoterapi.

Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.

Pada prinsipnya terapi dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila diperlukan penggantian obat, maka dosis obat kedua dinaikkan secara bertahap kemudian dosis obat pertama diturunkan secara bertahap

Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dapat dipertimbangkan untuk digunakan kombinasi obat anti epilepsi (OAE).

Bila memungkinkan dilakukakan pemantauan kadar obat sesuai indikasi (bila kejang belum teratasi walaupun dosis OAE sudah maksimal)

Pasien dengan bangkitan pertama direkomendasikan untuk dimulai terapi bila :

Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG.

Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan.

Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak.

Ada riwayat epilepsi pada orang tua dan saudara kandung, kecuali kejang demam sederhana.

Ada riwayat infeksi otak atau trauma kapitis terutama yang disertai penurunan kesadaran.

Bangkitan pertama berupa status epileptikus.

Pemilihan obat anti-epilepsi didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping, interaksi antara obat anti-epilepsi.

Pemilihan obat anti-epilepsi atas dasar jenis bangkitan epilepsi TIPE KEJANG OBAT LINI PERTAMAOBAT LINI KEDUA

Kejang sederhana dan kejang parsial kompleks, kejang umum tonik-klonik primer dan sekunder

Carbamazepine, valproate dan phenytoin

Levetiracetam, Acetazolamide, clobazam, clonazepam, ethosuximide*, gabapentin, lamotrigine, , oxcarbazepine, phenobarbital, primidone*, tiagabine*, topiramate, vigabatrin

Generalized absence seizures

Valproate, ethosuximde*

Acetazolamide, clobazam, clonazepam , lamotrigine, phenobarbital, primidone*

Atypical absence, tonic and clonic seizures

Valproate

Acetazolamide, carbamazepine, clobazam, clonazepam, ethosuximide* , lamotrigine, oxcarbazepine, phenobarbital, phenytoin, primidone*, topiramate

Myoclonic seizures

Valproate

Clobazam, clonazepam, ethosuximide* , lamotrigine, phenobarbital, piracetam, primidone*

* Obat tersebut belum tersedia di Indonesia Pedoman dosis obat anti-epilepsi lini pertama pada orang dewasa OBATINDIKASIDOSIS AWALDOSIS HARIAN UMUM (Miligram)JUMLAH DOSIS PER HARI

CarbamazepineParsial & KUTK4006002-3*

Phenytoin

Parsial & KUTK atau status epilepticus3003001

Valproic acid Parsial & KUTK500-100010002

PhenobarbitalParsial & KUTK, kejang neonatal, atau status epilepticus60-901201

Primidone Parsial & KUTK100-1255003

EthosuximideKejang absans umum50010002

ClonazepamEpilepsi mioklonik, sindroma L-G, spasme infantil, atau status epilepsticus141 atau 2

* KUTK (Kejang Umum Tonik Klonik) L-G (Lennox Gastaut) : dewasa : anak-anak

Pedoman dosis obat anti-epilepsi klasik pada anak-anak OBATINDIKASIDOSIS AWALDOSIS RUMATAN STANDAR (RANGE)JUMLAH DOSIS/ HARI

Mg/kg/hariMg/kg/hari

CarbamazepineParsial & KUTKS510-25

PhenytoinParsial & KUTKS atau status epilepsi55-151 or 2

Valproic acidParsial & KUTKS515-401-3

PhenobarbitalParsial & KUTKS, kejang neonatal, atau status epileptikus44-81 or 2

ClonazepamEpilepsi mioklonik, sindroma Lennox-Gastaut, spasme infantil, atau status epileptikus0.0250.025-0.12 or 3

KUTKS : Kejang Umum Tonik-Klonik Sekunder

Efek samping obat anti-epilepsi klasik Obat Efek samping

TERKAIT DOSISIDIOSINKRETIK

CarbamazepinDiplopia, dizziness, nyeri kepala, mual, mengantuk, neutropenia, hiponatremiaRuam morbiliform, agranulositosis, anemia aplastik, efek hepatotoksik, Sindroma Stevens-Johnson, teratogenecity

PhenytoinNistagmus, ataxia, mual, muntah, hipertrofi gusi, depresi, mengantuk, paradoxical increase in seizure, anemia megaloblastikJerawat, coarse facies, hirsutism, cariasis, lupus-like syndrome, ruam, Sindroma Stevens-Johnson, Dupuytrens contracture, efek hepatotoksik, teratogenicity

Valproic acidTremor, berat badan bertambah, dispepsia, mual, muntah, kebotakan, tetratogenicityPankreatitis akut, efek hepatotoksik, trombositopenia, ensefalopati , udem perifer

PhenobarbitalKelelahan, listlesness, depresi, insomnia (pada anak), distractability (pada anak), hiperkinesia (pada anak), irritability (pada anak)Ruam makulopapular, exfoliation, nekrosis epidermal toksik, efek hepatotoksik, arthritic changes, Dupuytrens contracture, teratogenicity

PirimidoneKelelahan, listlessness, depresi, psikosis, libido menurun, impotenRuam, agranulositosis, trombositopenia, lupus-like syndrome, teratogenicity

EthosuximideMual, anoreksia, muntah agitasi, mengantuk, nyeri kepala, lethargyRuam, eritema multiformis, Sindroma Steven-Johnson, lupus-like syndrome, agranulositosis, anemia aplastik

ClonazepamKelelahan, sedasi, mengantuk, dizziness, agresi (pada anak) hiperkinesia (pada anak)Ruam, trombositopenia

Dosis obat untuk status epileptikus konvulsif OAECara pemberianDosis dewasaDosis anak

DiazepamIV Bolus

Rectal

IV Infus10-20 mg pada pemberian< 5 mg/menit

10-30 mg

3 mg/kg/hari0,25-0,5 mg/kg pada pemberian 2-5 mg/menit

0,5-0,75 mg/kg

200-300 g/kg/hari

PentobarbitalIV Infusa5-20 mg/kg pada rentang pemberian < 25 mg/menit, dilanjutkan 0,5-1,0 mg/kg/jam meningkat sampai 1-3 mg/kg/jam

PhenytoinIV Bolus / Infusa15-18 mg/kg pada rentang pemberian < 50 mg/kg

PropofolIV Infusa2 mg/kg, dilanjutkan 5-10 mg/kg/jam, kemudian diturunkan menjadi 1-3 mg/kg/jam untuk rumatan burst suppression

ThiopentalIV Infusa100-250 mg bolus diberikan lebih dari 20 detik, kemudian dilanjutkan 50 mg bolus tiap 2-3 menit sampai kejang dapat dikendalikan. Kemudian pemberian lewat infus untuk rumatan burst suppression (3-5 mg/kg/jam)

Penghentian OAE Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan dan sesuai prognosis, tergantung bentuk bangkitan.

Gambaran EEG normal / membaik.

Bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.

Penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.

Pertimbangkan kemungkinan kekambuhan bangkitan lebih besar pada:

riwayat KUTK primer atau sekunder.

penggunaan lebih dari satu OAE.

bangkitan mioklonik.

masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

riwayat bangkitan neonatal

gambaran EEG masih abnormal

Kemungkinan kekambuhan kecil pada pasien yang telah bebas bangkitan tiga sampai lima tahun, atau lebih dari lima tahun

Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.

Pengobatan epilepsi pada wanita

a. OAE pada kehamilan

Pada paseien yang berencana ingin hamil sebaiknya menggunakan OAE yang efek teratogeniknya minimal

Pada pasien epilepsi yang telah terkontrol, tidak perlu ganti OAE

Penolong persalinan perlu diberi informasi mengenai kondisi epilepsi dari pasien

Suplemen asam folat 5 mg/hari diberikan kepada semua wanita pasien epilepsi terutama sebelum dan selama trimester I kehamilan, untuk mencegah defek tuba neural pada janin.

b. Pemakaian obat kontrasepsi

Perlu diingat adanya interaksi OAE dengan obat kontrasepsi terutama yang mengandung esterogen.

c. Pengaruh pada laktasi

Penggunaan OAE tidak merupakan halangan untuk menyusui.

Mekanisme Kerja Obat Anti Epilepsi (OAE)

1. mempengaruhi influks Na ke dalam sel

peningkatan potensial aksi neuron dipengeruhi oleh influks Na ke dalam sel melewati kanal Na. Ada tiga jenis kanal Na, (a.) Kanal yang aktif (yang melewatkan Na), (b.) kanal yang istirahat (dapat melewatkan Na), dan (c.) kanal yang inaktif (tidak melewatkan Na). Setelah diaktivasi, sebagian besar kanal Na menjadi inaktif untuk beberapa saat. Beberapa oAE akan memperlama fase inaktif ini dan mrncegah akson kembali ke fase aktif sehingga mencegah terjadinya cetusan-cetusa potensial aksi di dalam neuron.

2. mempengaruhi reseptor GABA

perlekatan GABA pada reseptornya akan memfasilitasi influks Cl melalui kanal Cl. Masuknya CL akan menyebabkan potensial istirahat membran dalam sel menjadi lebih negatif . sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Babarapa oAE kan meningkatkan pengambilan kembali GABNA dan meningkatkan konsentrasi GABA pada resptor di postsinaps.

3. mempengaruhi kalsium

4. glutamat reseptor antagonis

eksitasi nervus dihasilkan oleh pengikatan amino asid glutamat pada reseptornya. Pengikatan ini mengakibatkan influks Ca dan Na serta efluks K yang meningkatkan potensial istirahat membran sehingga menjadi lebih tidak stabil. OAE akan mengahambat reseptor glutamat ini sehingga sel akan menjadi lebih stabil.

FARMAKOLOGI OBAT ANTI EPILEPSIA. Fenitoin

Fenitoin efektif dalam menekan serangan serangan tonik klonik dan parsial. merupakan suatu obat pilihan untuk terapi pertama terutama dalam mengobati orang dewasa.

1. Mekanisme kerja

Fenitoin menstabilkan membran saraf terhadap depolarisasi dengan cara mengurangi masuknya ion ion natrium dalam neuron pada keadaan istirahat atau selama depolarisasi. fenitoin juga menekan dan mengurangi influks ion kalsium selama depolarisasi san menekan perangsangan sel saraf yang berulang

2. Penggunaan terapeutik

Fenitoin efektif untuk semua serangan parsial, serangan tonik klonik, dan status epileptikus yang disebabkan oleh serangan tonik klonik yang berulang. fenitoin tidak efektif untuk serangan absence.

3. Absorpsi dan Metabolisme

Absorpsi oral fenitoin lambat tetapi sekali diabsorpsi distribusinya cepat dan konsentrasi dalam otak tinggi. Pemberian fenitoin secara kronis selalu peroral; pada status epileptikus fenitoin harus diberikan secara intravena. fenitoin sebagian besar terikat pada albumin plasma. kurang lebih 5 % dosis yang diberikan diekskresikan tanpa diubah melalui urin.

Fenitoin dimetabolisme oleh sistem hidroksilasi hati. Pada dosis rendah fenitoin memiliki waktu paruh 24 jam tetapi setelah dosis yang relatif kecil dapat menghasilkan peningkatan konsentrasi plasma yang besar menyebabkan toksisitas akibat obat.

4. Efek samping

Depresi saraf pusat terjadi terutama dalam serebelum dan sistem vestibular, menyebabkan nistagmus dan ataksia. Masalah gastrointestinal (mual dan muntah) sering terjadi. hyperplasia gusi bisa menyebabkan gusi tumbuh melampaui gigi terutama pada anak anak. Anemia megaloblastik terjadi karena obat bertumpang tindih dengan vitamin B12. Perubahan tingkah laku seperti kebingungan, halusinasi, dan mengantuk sering terjadi. pengobatan dengan fenitoin tidak boleh dihentikan secara mendadak.

5. efek efek teratogenik

Fenitoin menyebabkan efek efek teratogenik pada keturunan ibu ibu yang mendapatkan pengobatan kehamilan. Fetal hydantoin syndrome meliputi bibir sumbing (cleft lip), palatoskizis(cleft palate), penyakit jantung bawaan serta pertumbuhan terlambat dan defisiensi mental.

6. interaksi obat

a. inhibisi terhadap metabolisme fenitoin

Inhibisi metaboisme mikrosomal fenitoin dalam hati disebabkan oleh kloramfenikol, dikumarol,simetidin, sulfonamide, dan isoniazid. bila digunakan lama, obat obat ini meningkatkan konsentrasi fenitoin dalam plasma dengan mencegah metabolismenya. penurunan konsentrasi fenitoin dalam plasma disebabkan oleh karbamazapin yang memperkuat metabolisme fenitoin.

b. peningkatan metabolisme obat obat lain oleh fenitoin

Fenitoin menginduksi system P-450 yang menyebabkan suatu peningkatan dalam metabolisme antiepilepsi lain, anti koagulan, kontrasepsi oral, kuinidin, doksisiklin, siklosporin, mexiletine, metadon dan levodopa.

B. Karbamazepin

1. mekanisme kerja

Karbamazepin mengurangi perambatan impuls abnormal di dalam otak dengan cara menghambat kanal natrium, sehingga menghambat timbulnya potensial kerja yang berulang ulang di dalam fokus epilepsi.

2. penggunaan terapeutik

Karbamazepin sangat efektif untuk semua serangan epilepsi parsial dan sering merupakan obat pilihan pertama. selain itu, obat tersebut sangat efektif untuk serangan tonik klonik dan digunakan untuk mengobati neuralgia trigeminal.

3. absorpsi dan metabolisme

Karbamazepin diabsorpsi dengan lambat setelah pemberian oral. karbamazepin memasuki otak secara cepat karena kelarutannya dalam lipid yang tinggi. Karbamazepin menginduksi enzim enzim metabolisme obat di dalam hati dan oleh karena itu, waktu paruhnya berkurang pada pemakaian lama. Aktivitas system P-450 hati yang menguat juga meningkatkan metabolisme obat obat anti epilepsi lainnya.

4. efek samping

Pemberian lama karbamazepin dapat menyebabkan stupor, koma, dan depresi pernafasan, bersamaan dengan rasa pusing, vertigo, ataksia, dan pandangan kabur. obat ini bersifat merangsang lambung dan bisa timbul mual dan muntah. Anemia aplastik, agranulositosis dan trombositopenia telah terjadi pada beberapa pendeerita. obat ini mempunyai potensi untuk menyebabkan toksisitas hati yang berat. Oleh karena itu, setiap penderita yang mendapat pengobatan dengan karbamazepin harus mendapatkan pemeriksaan fungsi hati yang berulang ulang.

5. interaksi obat

Metabolisme karbamazepin dalam hati dihambat oleh beberapa obat seperti simetidin, diltiazem, eritromisin, isoniazid, dan propoksifen. Gejala gejala toksik bisa timbul bila dosis tidak disesuaikan.

C. Fenobarbital

1. mekanisme kerja

Fenobarbital membatasi penyebaran lepasan kejang di dalam otak dan meningkatkan ambang serangan epilepsi. Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan potentiasi efek inhibisi dari neuron neuron yang diperantai oleh GABA.

2. penggunaan terapeutik

Fenobarbital digunakan untuk serangan parsial sederhana tetapi kurang efektif untuk serangan parsial kompleks. obat pilihan pertama dalam mengobati serangan epilepsy berulang pada anak anak. Fenobarbital juga digunakan untuk mengobati serangan tonik klonik.

3. absorbsi dan metabolisme

Diabsorpsi baik secara peroral. obat tersebut menembus otak secara ebas. sekitar 75 % fenobarbital tidak diaktifkan oleh sistem mikrosomal hati, selebihnya disekresi oleh ginjal dalam keadaan tidak diubah.

4. efek samping

Sedasi, ataksia, nistagmus, vertigo dan reaksi psikotik akut bisa terjadi pada pemakaian kronis. mual dan muntahdapat ditemukan. agitasi dan kebingungan terjadi pada dosis tinggi. serangan serangan rebound dapat terjadi pada penghentian fenobarbital.

D. Pirimidon

1. mekanisme kerja

Primidon memiliki struktur kimia yang terkait dengan fenobarbital dan menyerupai fenobarbital dalam aktivitas antikonvulsi.

2. penggunaan terapeutik

Banyak efektivitas primidon berasal dari metabolitnya, yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid. fenobarbital efektif terhadap serangan tonik klonik dab parsil sederhana,sedangkan feniletilmalonamid efektif terhadap serangan parsial kompleks.

3. efek samping

Efek samping yang sama dengan efek samping yang disebabkan oleh fenobarbital.

E. Asam valproat

1. mekanisme kerja

Asam valproat mengurangi perambatan lepasan listrik abnormal di dalam otak. Asam valproat bisa memperkuat kerja GABA pada sinaps sinaps inhibisi.

2. penggunaan terapeutik

Digunakan pada serangan mioklonik, absence, tonik klonik

3. absorbsi dan metabolisme

Obat tersebut efektif peroral dan diabsorpsi dengan cepat. sekitar 90 % obat terikat kepada protein plasma dan hanya 3 % yang diekskresikan tanpa diubah; sisanya dikonversi menjadi metabolit yang aktif oleh hati. Asam valproat dimetabolisme oleh system P-450. metabolit yang mengalami glukuronilasi disekresikan di dalam urine.

4. efek samping

Dapat menyebabkan mual, muntah, sedasi, ataksia, dan tremor serta toksisitas hati.

F. Etosuksimid

1. mekanisme kerja

Etosuksimid mengurangi perambatan aktivitas listrik abnormal di dalam otak ..

2. penggunaan terapeutik

merupakan pilihan pertama pada serangan absence

3. absorbsi dan metabolisme

diabsorpsi dengan baik peroral. obat ini tidak terikat kepada protein plasma. sekitar 25 % obat diekresi dalam bentuk tidak diubah dalam urin, dan 75 % dikonversi menjadi metabolit tidak aktif dalam hati oleh system P-450 mikrosomal

4. efek samping

obat meiritasi lambung, mual , muntah, mengantuk, gelisah, sindrom Steven Johnson , dan lain lain.

Terapi Bedah Epilepsi

Tujuan :

terutama adalah membuat penderita terbebas kejang

meningkatkan kualitas hidup pasien

menurunkan morbiditas

menurunkan kecacatan psikososial

meminimalkan defisit neurologik fokal

Indikasi dan kriteria

Epilepsi refrakter

IQ > 70

Tidak ada kontra-indikasi pembedahan

Usia < 45 tahun

Tidak ada kelainan psikiatrik yang jelas

Kandidat pembedahan epilepsi Epilepsi refrakter

Secara umum pada epilepsi dengan durasi lama (beberapa tahun)

Mengganggu kualitas hidup

Manfaat operasi lebih besar dibanding resiko

H. Status Epileptikus

Status epileptikus adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit atau dua atau lebih bangkitan, dimana diantara dua bangkitan tidak terdapat pemulihan kesadaran.

PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS

StadiumPenatalaksanaan

Stadium I (0-10 menit)

Stadium II (0-60 menit)

Stadium III (0-60 90 menit)

Stadium IV (30-90 menit)Memperbaiki fungsi kardio-respirator

Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi

Memasang infus pada pembuluh darah besar

Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan lab.

Pemberian OAE emergensi : Diazepam 10-20 mg iv ( kecepatan pemberian < 2-5 mg/menit atau rectal dapat diulang 15 menit kemudian .

Memasukan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa thiamin 250 mg intravena

Menangani asidosis

Menentukan etiologi

Bila kejang berlangsung terus 30 menit setelah pemberian diazepam pertama, beri phenytoin iv 15-18 mg/kg dengan kecepatan 50 mg/menit

Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan

Mengoreksi komplikasi

Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, transver pasien ke ICU, beri Propofol ( 2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau Thiopentone (100-250 mg bolus iv pemberian dalam 20 menit , dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG terakhir, lalu dilakukan tapering off.

Memonitor bangkitan dan EEG, tekanan intracranial, memulai pemberian OAE dosis maintenance

I. Prognosa

Prognosa dipengaruhi oleh:

1. etiologi

bangkitan yang disebabkan oleh infeksi memiliki prognosa lebih baik daripada yang disebabkan oleh trauma, neoplasma, atau gangguan vaskuler

2. tipe epilepsi

epilepsi tipe mioklonik lebih sulit untuk dikontrol

3. umur pasien

pasien yang mengalami serangan umum sekunder pada usia anak-anak lebih resisten terhadap terapi.

K. Aspek Psikososial, Mediko-legal dan Kesehatan Reproduksi-Aspek sosial

Pasien epilepsi secara umum mempunyai kendala dalam hubungan sosial dan kemasyarakatan karena :

1. Kekeliruan persepsi masyarakat terhadap penyakit : kutukan, turunan, dsb.

2. Kekeliruan perlakuan keluarga terhadap pasien epilepsi : overproteksi, penolakan, dimanjakan, dsb.

3. Kekeliruan perlakuan masyarakat terhadap penyandang epilepsi : penolakan, direndahkan, diisolasikan, dsb

4. Keterbatasan pasien epilepsi akibat penyakit : dalam bidang pendidikan, kemasyarakatan, seni dan olah raga, dsb.

Beberapa karakteristik yang perlu dipertimbangkan :

1. Karakteristik penyakit : tidak menular, paroksismal, dapat disembuhkan, dsb.

2. Karakteristik bangkitan: umum, parsial sederhana, partial kompleks, atonik dsb.

3. Karakteristik pasien : kepribadian, pendidikan, keluarga, dsb

4. Sistem Sosial dan Hukum : adat istiadat, budaya, undang-undang, dsb

5. Sosialisasi penyakit pada instansi terkait : pendidikan, tenaga kerja, kepolisian, dsb

-Aspek pekerjaan

Epilepsi dapat menurunkan kesempatan dan efisiensi kerja serta meningkatkan risiko kecelakaan kerja, maka bangkitan harus terkontrol

Prinsip pilihan pekerjaan :

1. Disesuaikan dengan jenis dan frekuensi bangkitan.

2. Resiko kerja yang paling minimal.

3. Tidak bekerja sendiri dan di bawah pengawasan

4. Jadwal kerja yang teratur.

Lingkungan kerja (atasan dan teman kerja) tahu kondisi pasien dan dapat memberikan pertolongan awal dengan baik, maka epilepsi jangan dirahasiakan.

-Aspek Olahraga

1. Pasien Epilepsi masih diperbolehkan melakukan olahraga.

2. Pilihan jenis olah raga yang diperbolehkan, dengan pertimbangan :

Dilakukan di lapangan / gedung olah raga.

Olah raga yang dilakukan di jalan umum (balap, lari maraton, dll), di ketinggian (naik gunung, panjat tebing, dll) sebaiknya dihindari. Pengawasan khusus dan atau alat bantu diperlukan untuk beberapa jenis olah raga, seperti : renang, atletik, senam, dsb.

-Aspek mengemudi

Resiko kecelakaan tergantung pada jenis dan frekuensi bangkitan.

Yang penting penyakit epilepsi tidak meningkatkan kejadian kecelakaan lebih besar dibandingkan penyakit jantung, kencing manis, gangguan mental, alkoholisme dan penyalahgunaan obat.

Pemberian Surat Ijin Mengemudi ( SIM ) pada pasien epilepsi bervariasi sesuai hukum tiap negara dengan prinsip :

Bangkitan epilepsi telah terkontrol dengan OAE

Masa bebas bangkitan dalam jangka waktu tertentu ( 24 bulan berdasarkan pedoman POLRI ).

Hukum dan peraturan asuransi yang berlaku.

Dengan kondisi yang ada di Indonesia disarankan pemberian ijin mengemudi dengan pertimbangan-pertimbangan :

- Pasien sudah terkontrol bangkitannya dan bebas bangkitan dalam jangka tertentu ( perlu kesepakatan dengan pertimbangan berbagai aspek di atas ).

- Bagi pengemudi pribadi dengan asisten, masa bebas bangkitan lebih pendek ( 6 12 bulan ) dapat dipertimbangkan, seperti bangkitan parsial sederhana dan melibatkan anggota tubuh non dominan atau epilepsi nokturnal.

Bagi pengemudi angkutan umum, pengecualian ini tidak berlaku, bahkan mungkin diperlukan syarat tambahan, seperti : berobat secara rutin, rekaman EEG, Psikotes, atau masa bebas bangkitan lebih lama.

Perlu ditentukan batas waktu maksimal mengemudi bagi pasien epilepsi untuk menghindarkan stres fisik / psikis yang berlebihan ( maksimal 6 jam menurut pedoman POLRI)

Perlu adanya komunikasi serta kerjasama dengan pihak pimpinan /perusahaan tempat bekerja mengenai seluk beluk penyakit yang diderita untuk dapat memberikan pengawasan langsung ( jadwal kerja, lama kerja, lingkungan kerja, diet dsb ).

Perlu antisipasi khusus terhadap epilepsi refleks ,diperlukan tes povokasi

-Aspek Hukum

Prinsip umum : perlu ada perbedaan perlakuan hukum tertentu bagi pasien epilepsi, khususnya pada hak dan kewajiban hukum, pemberian asuransi kesehatan dan ijin mengemudi.

Perlu adanya komunikasi dan advokasi antara pihak / instansi yang terkait untuk meletakkan pasien epilepsi pada posisi sebenarnya.Apakah perbedaan dari epilepsi simptomatik, idiopatik dan kriptogeni ? Epilepsi Simptomatik

Epilepsi simptomatik merupakan manifestasi dari bangkitan epilepsi yang etiologinya telah diketahui. Sebagai contoh, pada tumor serebri atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat tersebut akan terjadi muatan listrik neuron-neuron yang dapat mengakibatkan bangkitan epilepsi. Pada kasus tersebut, etiologi dari epilepsi sudah dapat ditentukan, sehingga proses penanganan dan terapi sudah dapat dilakukan. Pada epilepsi simptomatik yang disebabkan oleh proses aktif harus segera ditindak. Seperti halnya dengan tumor serebri, hematoma subdural dan abses serebri, tindakan terapeutik primernya sudah dapat ditentukan, yaitu dengan operasi. Epilepsi Idiopatik

Epilepsi idiopatik merupakan manifestasi dari bangkitan epilepsi yang etiologinya tidak diketahui. Pada banyak tipe-tipe epilepsi seperti bangkitan umum yang tidak mempunyai riwayat penyakit pencetus bangkitan epilepsi, serangan yang terjadi biasanya mendadak, tidak terprovokasi dan tidak ada faktor presipitasinya. Sehingga kita tidak dapat menyimpulkan etiologi dan penyebab dari bangkitan epilepsi tersebut. Oleh karena itu, penanganan dan terapi pada epilepsi idiopatik tidak ditindak secara kausatif, tetapi lebih kepada terapi pencegah bangkitan, salah satunya adalah terapi farmako, dimana efek obat tersebut dapat menghambat terjadinya bangkitan epilepsi. Epilepsi Kriptogenik

Epilepsi kriptogenik sebenarnya merupakan istilah untuk epilepsi idiopatik, yang penyebab dari epilepsi tersebut sedikit sudah dapat diketahui, walaupun masih bersifat fragmentaris oleh berbagai penelitian . Seperti pada epilepsi petit mal, telah ditemukan kelainan struktur dendrit-dendrit di daerah sekitar inti-inti intralaminar talamik, yang mungkin dapat dianggap sebagai kelainan struktural yang mendasari lepas muatan listrik patologik dari nuklei intralaminares talami sehingga menyebabkan kejang umum. Dari segi biokimia, terdapat suatu substansi neurotransmiter yaitu GABA sebagai zat anti-konvulsi alamiah dan asetilkolin, yang apabila terdapat gangguan dapat menyebabkan suatu bangkitan epilepsi. Pada kasus diatas, ditemukan berbagai etiologi yang memungkinkan sebagai faktor serangan epilepsi, tetapi untuk mengetahui etiologi pasti dari epilepsi petit mal belum dapat ditentukan oleh banyaknya sebab-sebab faktor kemungkinan terjadinya serangan epilepsi.Mengapa pada epilepsi grand mal ( epilepsi tonik-klonik ) ditemukan mulut berbusa dan mengompol setelah terjadinya serangan ?

Pada epilepsi tonik-klonik, serangan epileptik primer itu berupa gerakan tonik-klonik involuntar otot segenap tubuh dengan hilang kesadaran tanpa suatu tanda yang mendahuluinya. Karena gerakan tonik-klonik otot dari kandung kemih, maka kandung kemih yang penuh dengan urin akan mengeluarkan isinya. Dalam hal itu, penderita grand mal akan mengompol pada waktu terjadinya serangan. Begitu juga mulut berbusa yang tampak keluar dari penderita grand mal, disebabkan apabila banyak air liur yang terkumpul di ruang mulut akan tergoncang oleh udara karena otot pernafasan mengalami kejang tonik-klonik.