Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pemimpin dalam suatu organisasi memiliki peran yang sangat penting terlebih dalam situasi dimana terjadi ambiguitas peran. Fungsi pemimpin tidak hanya sekedar membimbing dan mengarahkan anak buah, namun yang terpenting adalah bagaimana pemimpin mampu memberikan visi dan misi atau arah yang jelas kemana organisasi akan dibawa. Dalam era dimana terjadi pergeseran budaya, maka tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kepekaan dan intuisi yang tajam sehingga anak buah tahu ke arah mana mereka hendak menuju. Pemimpin yang baik belum tentu memiliki kualitas yang sama, tapi biasanya mereka memiliki tiga karakter, yaitu empati (kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain), kesadaran diri sendiri, dan objektivitas dalam menghadapi orang lain. Banyak pemimpin besar mempunyai karakter lain, seperti keberanian, kemampuan untuk mengilhami orang lain, penuh semangat, komitmen, fleksibilitas, inovatif, dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam kenyataannya para pemimpin dapat 1

description

ringkasan chapter 7 dari buku "Black Hold"

Transcript of Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

Page 1: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan pemimpin dalam suatu organisasi memiliki peran yang sangat

penting terlebih dalam situasi dimana terjadi ambiguitas peran. Fungsi pemimpin

tidak hanya sekedar membimbing dan mengarahkan anak buah, namun yang

terpenting adalah bagaimana pemimpin mampu memberikan visi dan misi atau arah

yang jelas kemana organisasi akan dibawa. Dalam era dimana terjadi pergeseran

budaya, maka tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dibutuhkan seorang pemimpin yang

memiliki kepekaan dan intuisi yang tajam sehingga anak buah tahu ke arah mana

mereka hendak menuju. Pemimpin yang baik belum tentu memiliki kualitas yang

sama, tapi biasanya mereka memiliki tiga karakter, yaitu empati (kemampuan untuk

menempatkan diri dalam posisi orang lain), kesadaran diri sendiri, dan objektivitas

dalam menghadapi orang lain. Banyak pemimpin besar mempunyai karakter lain,

seperti keberanian, kemampuan untuk mengilhami orang lain, penuh semangat,

komitmen, fleksibilitas, inovatif, dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam

kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja,

keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi.

Para pemimpin juga memainkan peranan kritis dalam membantu kelompok,

organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Mereka juga harus berani

menantang kondisi status quo dari perusahaan dan membantu pihak lain untuk

menghadapi tantangan adaptif dari dunia kerja dewasa ini. Tantangan adaptif adalah

situasi dimana perusahaan harus dengan cepat menyesuaikan diri untuk menjaga

kelangsungan hidupnya. Gaya kepemimpinan terbaik yang diterapkan seringkali

tergantung pada budaya perusahaan, sistem dasar, kepercayaan, dan nilai yang dianut.

Semua hal seperti filosofi manajerial, jaringan komunikasi, serta lingkungan dan

1

Page 2: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

praktek kerja dapat mempengaruhi budaya perusahaan. Budaya perusahaan biasanya

dibentuk oleh para pemimpin yang mendirikan dan mengembangkan perusahaan serta

oleh para penerus mereka. Satu generasi karyawan meneruskan budaya organisasi

kepada karyawan baru.

1.2 Permasalahan

Era pembangunan telah berjalan sedemikian pesat dan hal ini tanpa dapat

dipungkiri telah membawa pada sejumlah dampak, baik dampak yang bersifat positif

maupun negatif. Budaya yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai, kebiasaan, ritual,

mitos maupun praktek-praktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat

merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins,

1996 ) semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini

budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya

tersebut memiliki peran sebagai pemberi identitas dan “normative glue”. Pemimpin

dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya

tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya. Namun

kenyataan justru menunjukkan bahwa peran pemimpin dalam hal ini menjadi sangat

tidak jelas sehingga anggota-anggotanya menjadi kehilangan kepercayaan dan pada

akhirnya kehidupan organsasi menjadi kehilangan keseimbangan. Jika kepercayaan

telah menipis, maka akibat yang timbul adalah nilai-nilai kebersamaan hilang dan

masing-masing individu berusaha menyelamatkan diri masing-masing dalam situasi

yang sangat rumit dan ambigu. Hal inilah yang perlu menjadi suatu bahan refleksi

bersama: bagaimana sebenarnya peran pemimpin terhadap perusahaan? Bagaimana

peran pemimpin dalam penanaman budaya organisasi? Kepemimpinan yang seperti

apa yang dinilai efektif pada suatu perusahaan? Berdasar pertanyaan-pertanyaan

itulah, maka makalah ini disusun agar kita dapat memahami lebih dalam peran

seorang pemimpin dan keterkaitannya dengan budaya di suatu perusahaan.

2

Page 3: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

BAB II

ISI

Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan masalah krisis kepemimpinan.

Konon sangat sullt mencari kader-kader pemimpin pada berbagai tingkatan. Orang

pada zaman sekarang cenderung mementingkan diri sendiri dan tidak atau kurang

peduli pada kepentingan orang lain, kepentingan lingkungannya. Krisis

kepemimpinan ini disebabkan karena makin langkanya keperdulian pada kepentingan

orang banyak, kepentingan lingkungannya. Sekurang-kurangnya terlihat ada tiga

masalah mendasar yang menandai kekurangan ini. Pertama adanya krisis komitmen.

Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk

memikirkan dan mencari pemecahan masalah kemaslahatan bersama, masalah

harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan dalam kebersamaan. Kedua, adanya

krisis kredibilitas. Sangat sulit mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu

menegakkan kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya

dengan kemampuan untukmenegakkan etika memikul amanah, setia pada

kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur dalam memikul tugas

dan tanggung jawab yang dibebankan padanya, kuat iman dalam menolak godaan dan

peluang untuk menyimpang. Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Saat ini tantangannya semakin kompleks dan rumit.

Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan pada bakat atau

keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar, harus membaca, harus

mempunyai pengetahuan mutakhir dan pemahamannya mengenai berbagai soal yang

menyangkut kepentingan orang-orang yang dipimpin. Juga pemimpin itu harus

memiliki kredibilitas dan integritas, dapat bertahan, serta melanjutkan misi

kepemimpinannya. Kalau tidak, pemimpin itu hanya akan menjadi suatu karikatur

yang akan menjadi cermin atau bahan tertawaan dalam kurun sejarah di kelak di

kemudian hari. Fungsi pemimpin tidak hanya sekedar membimbing dan mengarahkan

3

Page 4: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

anak buah, namun yang terpenting adalah bagaimana pemimpin mampu memberikan

visi dan misi atau arah yang jelas kemana organisasi akan dibawa. Dalam era dimana

terjadi pergeseran budaya, maka tidak bisa dipungkiri lagi ahwa dibutuhkan seorang

pemimpin yang memiliki kepekaan dan intuisi yang tajam sehingga anak buah tahu

ke arah mana mereka hendak menuju. Tanpa adanya seorang pemimpin maka tujuan

organisasi yang dibuat tidak akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak

sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada.

Jerome Want telah bertemu dengan CEO dari perusahaan layanan besar

untuk berbicara mengenai tantangan-tantangan yang dialami olehnya dan perusahaan

tersebut. CEO tersebut telah direkrut dari perusahaan layanan lain pada tahun

sebelumnya pada saat ia masih menjadi COO. Perusahaannya yang sebelumnya

memiliki reputasi sebagai perusahaan layanan besar yang menghasilkan pertumbuhan

keuangan yang stabil, dan ia sangat mengagungkan budaya perusahaannya. Di

perusahaan yang baru, kondisinya berbeda. Terdapat banyak masalah di mana-mana,

sebagian besar tidak dapat dikaitkan dengan masalah operasional. Pada satu titik

dalam suatu percakapan, Want meminta CEO tersebut untuk menggambarkan budaya

perusahaannya yang baru. Setelah beberapa saat memikirkannya, ia menjawab: "Ada

seekor gorilla seberat delapan ratus pound yang duduk di luar pintu". Itu merupakan

tanggapan yang dikatakan secara jujur. Want hanya ingin pemimpin perusahaan

lainnya dapat berterus terang. Ketika ditanya tentang budaya perusahaan, pegawai

lainnya memberi tanggapan, "Budaya perusahaan itu akan terpelihara dengan

sendirinya" dan "Anda harus berbicara dengan sumber daya manusia, hal itu tidak

dalam wilayah saya". Di eBay, satu pegawai senior berkomentar kepada Want: "Di

eBay, kami benar-benar tidak berpikir tentang budaya", yang menunjukkan bahwa

budaya bukan masalah yang benar-benar penting bagi perusahaan. Ketika berhadapan

dengan subyek budaya perusahaan, Want telah menemukan bahwa pemimpin

perusahaan jatuh ke dalam salah satu dari tiga kategori berikut:

1. Saya tidak tahu.

2. Saya tidak tahu bagaimana.

3. Saya tidak peduli.

4

Page 5: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

2.1 Kepemimpinan yang Salah dan Konsekuensinya

Terdapat beberapa alasan mengapa pemimpin memiliki kesulitan saat

berhubungan dengan budaya perusahaan, termasuk: tekanan yang kuat (oleh para

dewan) untuk menyampaikan tujuan keuangan jangka pendek secara berturut-turut;

peningkatan ukuran dan kompleksitas organisasi bisnis saat ini; keinginan dan

kebutuhan dalam mengelola krisis yang berulang; dan kurangnya pemahaman tentang

cara memimpin seluruh organisasi. Dalam beberapa tahun terakhir, para pemimpin

perusahaan bisnis dari semua ukuran telah diidentifikasi lebih dekat dengan hal

memperkaya diri dan penyalahgunaan kekuasaan daripada memperkaya dan

memajukan organisasi bisnis yang mereka pimpin. Pemimpin juga kadangkala

memiliki pengetahuan yang kurang tentang pekerjaan teknis dan sering bersikap kritis

terhadap perubahan-perubahan.

Kita telah melihat terlalu banyak CEO yang telah memperlakukan

perusahaan publik mereka sendiri seolah-olah mereka adalah satu-satunya pemilik

pribadi perusahaan tersebut. Dalam hal demikian, mereka membagi-bagi dan

menghancurkan perusahaan melalui kepemimpinan yang salah dan mengubah

perusahaan menjadi tidak lebih dari rekening pribadi mereka sendiri. Mantan CEO

seperti Al Dunlap dari Scott Paper dan Sunbeam, Joseph Nacchio dari Qwest

Communications, Bernie Ebbers dari WorldCom, Dennis Kozlowski dari Tyco, dan

John Rigas dan anak-anaknya dari Adelphia Cable, menjadi Gordon Gekkos yang

nyata pada dunia bisnis. Dalam beberapa kasus, kepemimpinan pribadi mereka

sebenarnya telah membawa perusahaan kepada kehancuran keuangan. Hanya dalam

waktu enam bulan, antara Desember 2001 dan Juni 2002, nilai saham Tyco hilang

75%. Bernie Ebbers merusak MCI, yang pada saat itu merupakan budaya bisnis New

Age yang mengkombinasikan praktek bisnis inovatif dengan layanan pelanggan yang

luar biasa yang telah mengubah industri telekomunikasi. Alfred Taubman, pimpinan

dari rumah lelang Sotheby's, dan rekannya di Christie's, Sir Anthony Tennant,

berkonspirasi untuk memperbaiki komisi pelelangan: Pada tahun 1990-an mereka

menipu penjual seni lebih dari $ 400 juta untuk komisi. Rupanya, tidak cukup bahwa

kedua rumah lelang tersebut telah mengendalikan 90 persen pasar. Taubman akhirnya

divonis melakukan penipuan bersama dengan CEO, Diana D. Brooks. John Rigas,

5

Page 6: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

pendiri Adelphia, juga merupakan penyebab kehancuran perusahaannya. Di bawah

kepemimpinan CEO Joseph Nacchio, Qwest Communications kehilangan 70 persen

nilai sahamnya antara tahun 2001 dan 2002 dan perusahaan telah didenda $ 43 juta

oleh berbagai komisi utilitas publik negara bagian atas layanan pelanggannya yang

buruk. Pada saat yang sama, Nacchio diduga telah mengambil puluhan juta dolar dari

perusahaan untuk dirinya sendiri (ia sekarang di bawah dakwaan). Yang terakhir

adalah Ken Lay, divonis berbagai tuduhan penipuan, dan tampaknya tidak memahami

bahwa tindakannya telah membunuh entitas bisnis yang unik yang telah ia buat.

Beberapa pemimpin perusahaan yang telah disebutkan diatas merupakan

para pemimpin yang telah menghancurkan perusahaan mereka sendiri.

Kepemimpinan yang salah telah memberikan dampak negatif yang sangat fatal bagi

perusahaannya. Kadangkala peran seorang pemimpin sering disalahartikan, banyak

yang beranggapan bahwa pemimpin memiliki kewenangan penuh dan satu-satunya

orang yang berhak mengambil keputusan tanpa mengkomunikasikannya terlebih

dahulu dengan pihak-pihak lainnya yang terlibat di dalam perusahaan. Mereka

bertindak diluar wewenang mereka yang seharusnya. Ketidakmampuan para

pemimpin dalam memahami perannya telah membuat pemimpin-pemimpin tersebut

melakukan tindakan-tindakan yang dinilai tidak benar dan telah menghancurkan

perusahaan melalui berbagai kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mereka

lakukan. Selain itu, para pemimpin tersebut dinilai lalai dalam menerapkan budaya

perusahaan, bahkan mengabaikannya. Diantara para CEO yang secara efektif

memimpin dan berinvestasi pada budaya bisnis perusahaan mereka dan para CEO

yang mengkhianati budaya oganisasi mereka, terdapat zona abu-abu yang besar bagi

kebanyakan pemimpin perusahaan lainnya. Para pemimpin ini menolak untuk

berurusan dengan bisnis sebagai suatu organisasi, dan mereka tidak terlalu berani

untuk melihat budaya perusahaan mereka secara mendalam. Ivan Seidenberg dari

Verizon, Brian Roberts dari Comcast, Tony Nicely dari Geico, Dick Notebaert dari

Qwest, Jay Johnson dari Dominion Resources, dan Edward Whitaker, pimpinan dan

CEO AT&T (mantan SBC), menjadi contoh CEO yang paling tahu bahwa adalah

budaya perusahaan mereka terlalu birokratis, lambat untuk berinovasi, pemecah

masalah yang buruk, dan tidak responsif terhadap pasar. Mereka adalah CEO yang

mengatakan "Saya tidak peduli" terhadap cara mereka menjalankan perusahaan, dan

6

Page 7: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

mereka adalah CEO yang selalu bertanya-tanya mengapa mereka tidak dapat

menghasilkan margin keuntungan yang lebih besar atau mengurangi omset

pelanggan.

2.2 Kepemimpinan yang Tepat

Kepemimpinan yang paling tepat tergantung pada fungsi seorang pemimpin,

bawahan, dan situasi yang dihadapi. Beberapa pemimpin tidak cocok dengan

tingginya partisipasi para bawahan dalam pengambilan keputusan. Beberapa

karyawan telah kehilangan kemampuan atau keinginan untuk bertanggung jawab.

Kadang-kadang pemimpin harus menangani masalah yang membutuhkan solusi

segera tanpa berkonsultasi dengan para karyawan. Dalam situasi yang berbeda dan

tanpa adanya tekanan waktu, pengambilan keputusan partisipatif mungkin berjalan

lebih baik untuk orang yang sama. Para pemimpin yang demokratis seringkali

meminta saran dan pendapat dari karyawannya, tetapi tetap mengambil keputusan

sendiri. Apabila konfigurasi kepemimpinan terbangun dari tiga unsur yang

interdependensial, yaitu pemimpin, kondisi masyarakat termasuk orang-orang yang

dipimpin, dan perkembangan lingkungan nasional dan internasional yang senantiasa

mengalami perubahan, maka adalah valid jika kita mempertanyakan kualifikasi

kepemimpinan atau persyaratan yang diperlukan bagi adanya kepemimpinan yang

efektif dalam menghadapi kompleksitas perkembangan dan dinamika perubahan

lingkungan bisnis.

Suatu persyaratan penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin

(kepemimpinan) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, ataupun tanggung jawabnya

masing-masing adalah kompetensi. Konsep mengenai kompetensi untuk

pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982) yang didefinisikan kompetensi

sebagai “kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang

sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan

memberikan hasil yang diinginkan”. Kompetensi merupakan karakteristik atau

kepribadian (traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi

kinerja seseorang. Adapun ciri khas pemimpin yang dikagumi sehingga para bawahan

bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila pemimpin tersebut memiliki sifat

7

Page 8: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan

teknikal maupun manajerial. Pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan “status

quo” dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria

kualitas kepemimpinan pemimpin yang baik antara lain, memiliki komitmen

organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan

kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang

tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai

pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual

yang kuat, dan selalu siap melayani.

Seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter

semata, tetapi juga harus memiliki serangkaian metoda kepemimpinan agar dapat

menjadi pemimpin yang efektif. Banyak sekali pemimpin memiliki kualitas dari

aspek yang pertama, yaitu karakter dan integritas seorang pemimpin, tetapi ketika

menjadi pemimpin formal, justru tidak efektif sama sekali karena tidak memiliki

metoda kepemimpinan yang baik. Hal ini karena mereka tidak memiliki metoda

kepemimpinan yang diperlukan untuk mengelola mereka yang dipimpinnya. Tidak

banyak pemimpin yang memiliki kemampuan metoda kepemimpinan ini. Karena hal

ini tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah formal. Oleh karena itu seringkali dalam

berbagai kesempatan mendorong institusi formal agar memperhatikan ketrampilan

seperti ini yang disebut dengan softskill atau personal skill. Kepemimpinan (dalam

hal ini metoda kepemimpinan) dapat diajarkan sehingga melengkapi mereka yang

memiliki karakter kepemimpinan. Ada tiga hal penting dalam metoda kepemimpinan,

yaitu: Kepemimpinan yang efektif dimulai dengan visi yang jelas.Visi ini merupakan

sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, yang mendorong terjadinya

proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai

keahlian dari orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Bahkan dikatakan

bahwa nothing motivates change more powerfully than a clear vision. Visi yang jelas

dapat secara dahsyat mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi. Seorang

pemimpin adalah inspirator perubahan dan visioner, yaitu memiliki visi yang jelas

kemana organisasinya akan menuju. Kepemimpinan secara sederhana adalah proses

untuk membawa orang-orang atau organisasi yang dipimpinnya menuju suatu tujuan

yang jelas. Tanpa visi, kepemimpinan tidak ada artinya sama sekali. Visi inilah yang

8

Page 9: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

mendorong sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar, serta berkembang

dalam mempertahankan survivalnya sehingga bisa bertahan sampai beberapa

generasi. Ada dua aspek mengenai visi, yaitu visionary role dan implementation role.

Artinya seorang pemimpin tidak hanya dapat membangun atau menciptakan visi bagi

organisasinya tetapi memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan visi tersebut

ke dalam suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang diperlukan untuk mencapai visi

itu. Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang sangat responsif. Artinya dia

selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan dan impian dari mereka

yang dipimpinnya. Selain itu selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap

permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi organisasinya. Seorang pemimpin

yang efektif adalah seorang pelatih atau pendamping bagi orang-orang yang

dipimpinnya (performance coach). Artinya dia memiliki kemampuan untuk

menginspirasi, mendorong dan memampukan anak buahnya dalam menyusun

perencanaan (termasuk rencana kegiatan, target atau sasaran, rencana kebutuhan

sumber daya, dan sebagainya), melakukan kegiatan sehari-hari (monitoring dan

pengendalian), dan mengevaluasi kinerja dari anak buahnya.

2.3 Studi Kasus

[STUDI KASUS]

Mengubah Budaya Face Time

Bisnis hotel merupakan bisnis yang kejam. Kami harus menyediakan

layanan 24/7 dan 365 hari setahun, dan setiap hari sama pentingnya dengan yang lain.

Sehingga ketika timbul masalah pada akhir Jumat sore, seseorang harus

menyelesaikan masalah tersebut pada malam harinya atau pada sisa akhir pekan.

Manajer yang memiliki sikap "Saya akan melakukannya pada hari Senin" tidak akan

bertahan lama di industri kami. Tidak mengherankan, Marriott, yang membanggakan

dirinya dengan memberikan layanan pelanggan yang sangat baik, selama bertahun-

tahun memiliki budaya “face time” yang sangat melekat, lebih banyak waktu yang

anda sediakan, akan semakin baik. Pekan kerja khusus melebihi 50 jam bagi para

9

Page 10: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

manajer kami. Filosofi bahwa "melihat dan dilihat" telah efektif dalam melayani

pelanggan, namun ada harga yang harus dibayar: Pada pertengahan tahun 1990-an,

kami telah menemukan bahwa ternyata semakin sulit untuk merekrut orang berbakat,

dan beberapa manajer terbaik kami telah pergi, karena mereka sering ingin

menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga mereka. Karyawan merupakan

dasar dari setiap bisnis, tetapi tidak ada tempat yang lebih tepat daripada di industri

perhotelan. Produk kami satu-satunya adalah layanan yang kami berikan untuk

keluarga dan wisatawan bisnis. Jika kami kehilangan kemampuan kami untuk

menarik dan mempertahankan manajer dan staf terbaik, mungkin kami akan berada

dalam masalah. Sehingga kami tahu bahwa perhatian kami pada face time harus terus

berlanjut. Pada awal 2000, Marriott melaksanakan program percobaan yang disebut

Manajemen Fleksibilitas pada tiga hotel perusahaan di daerah timur laut. Tujuan dari

enam bulan uji coba ini adalah untuk membantu manajer Marriott dalam mencapai

keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan pribadi dan profesional mereka,

semua itu dilakukan sambil tetap menjaga kualitas layanan pelanggan kami dan

bottom line dari hasil keuangan kami. Kami menemukan banyak perbaikan cepat

dengan menghapuskan pertemuan yang berlebihan dan prosedur lainnya yang tidak

efisien. Tugas yang lebih berat adalah memeriksa secara seksama dasar pemikiran

tentang cara kami bekerja. Mentransformasi budaya perusahaan akan lebih sulit

daripada mengubah hal yang lain; kecenderungan alami orang-orang adalah untuk

terus bergantung pada apa yang terasa familiar bagi mereka, walaupun ada alternatif

yang lebih baik. Karena program uji coba, para manajer di tiga hotel tersebut

sekarang bekerja sekitar kurang dari lima jam perminggu. Lebih penting lagi, mereka

merasakan perubahan yang pasti pada budaya kami, dengan kurangnya perhatian

yang dibayar pada jam kerja dan lebih menekankan pada tugas-tugas yang dicapai.

Selanjutnya, melalui survei dan bukti yang bersifat anekdot, kami mengetahui bahwa

para manajer yang kurang pengalaman secara signifikan mengalami stres pekerjaan.

Karena kesuksesan yang terlalu cepat ini, Marriott menerapkan Manajemen

Fleksibilitas di hotel yang berada di wilayah barat, selatan pusat dan Atlantik tengah,

dan perusahaan merencanakan pembangunan yang lebih luas pada tahun 2002.

Selama enam bulan program uji coba, kami telah meninjau manajer dan

karyawan lainnya untuk melacak bagaimana hal itu terjadi. Kami juga melakukan

10

Page 11: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

survei, yang menyatakan bahwa telah ada beberapa perbaikan secara dramatis.

Misalnya, manajer melaporkan bahwa sebelum uji coba mereka menghabiskan sekitar

11,7 jam per minggu pada pekerjaan yang "rendah nilai" yang telah ditetapkan

sebagai hal-hal yang mereka perlukan untuk menambahkan sedikit nilai ke bisnis

Marriott - seperti harus menghadiri rapat tertentu, meskipun berarti mereka harus

datang di luar jadwal kerja mereka. Pada akhir pengujian di bulan Agustus 2000,

waktu yang dihabiskan manajer pada perkerjaan yang rendah nilai telah berkurang

hampir setengahnya yaitu 6,8 jam per minggu. Secara keseluruhan, para manajer di

tiga hotel mengatakan bahwa mereka bekerja rata-rata sekitar kurang dari lima jam

setiap minggunya, dengan waktu yang paling banyak dihabiskan di departemen

pemasaran dan penjualan; grup melaporkan bahwa rata-rata pengurangan hampir

tujuh jam per minggu per manager.

Mungkin yang lebih penting lagi adalah perubahan sikap. Sebelum program

uji coba, 77% manajer merasa bahwa pekerjaannya sangat menuntut sehingga mereka

tidak bisa memperhatikan tanggung jawab pribadi dan keluarga mereka masing-

masing. Pada akhir uji coba, jumlah tersebut telah berkurang hingga 36%. Selain itu,

persentase manajer yang merasa bahwa tekanan di Marriott adalah pada jam kerja dan

tidak pada pencapaian pekerjaan turun dari 43% menjadi 15%.

Salah satu hal terpenting yang kita pelajari dari proyek uji coba adalah orang

bisa menjadi produktif - dan kadang-kadang bahkan lebih - ketika waktu kerja

mereka lebih sedikit. Bagaimana bisa? Karena ketika waktu kerja mereka lebih

sedikit, mereka lebih termotivasi untuk menyelesaikan pekerjaan itu, dan mereka

tidak membuang-buang waktu dalam melakukan apa yang mereka perlu lakukan.

Sepanjang program uji coba, kami sangat hati-hati dalam memantau kualitas layanan

pelanggan untuk memastikan standar-standar kami tidak terabaikan. Untungnya,

Marriott telah memiliki sistem masukan yang tepat: kuesioner yang diisi oleh tamu

kami secara rutin. Kantor pusat perusahaan kami mengumpulkan data (sekitar 70-80

tanggapan setiap bulan) dan mengirimkan laporannya kepada kami. Hasilnya

menunjukkan tidak ada perubahan dalam kualitas, yang kami yakin bahwa, sejauh

tamu kami peduli maka Manajemen Fleksibilitas itu berpengaruh tetapi tidak terlihat.

Kami juga memonitor dampak keuangan dari program uji coba dan lega saat

mengetahui bahwa hal itu tidak mempengaruhi bottom line secara merugikan.

11

Page 12: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

Walaupun kami tidak ada tambahan pengeluaran modal (misalnya, penyediaan

komputer dan akses internet bagi beberapa manajer), biaya tersebut lebih diimbangi

oleh keuntungan dalam produktivitas (misalnya, manajer penjualan dapat

memperoleh tambahan pelanggan). Pesan penting yang bisa diambil dari uji coba

adalah bahwa manajemen hendaknya tidak mendikte orang yang melakukan sesuatu

yang tidak masuk akal; karyawan yang melakukan pekerjaannya tiap hari seringkali

tahu cara terbaik untuk menemukan cara-cara yang efisien dalam melakukan

pekerjaan mereka. Setelah itu, ide-ide yang terbaik tidak selalu datang dari para

pemimpin dalam suatu organisasi, dan sangat mudah bagi setiap perusahaan untuk

terperosok pada kebiasaan buruk dalam melakukan sesuatu hanya karena cara itu

yang selalu dilakukan.

Pada kasus diatas dapat disimpulkan bahwa Marriott ingin mengubah

budaya perusahaan mereka dengan melakukan program uji coba. Pada awalnya,

Marriott menerapkan budaya face time dimana hal yang menjadi filosofi budaya ini

adalah semakin banyak waktu yang anda habiskan di tempat kerja akan semakin baik.

Namun menurut para senior, budaya tersebut telah membuat para manajer dan

karyawan tidak memiliki cukup banyak waktu untuk kehidupan mereka diluar kantor.

Tidak adanya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kantor telah

membuat dampak negatif yang secara tidak langsung mempengaruhi produktivitas

manajer dan karyawan. Dari kasus tersebut, telah dibuktikan bahwa produktivitas

seseorang tidak dapat diukur dari seberapa banyak waktu yang ia habiskan selama

bekerja. Kadangkala mereka hanya membuang-buang waktu padahal pekerjaannya

mereka dapat dikatakan telah terselesaikan. Kebijakan perusahaan merupakan

penyebab utama. Perusahaan kadangkala menetapkan batas waktu kapan karyawan

seharusnya pulang, biasanya karyawan tersebut telah menyelesaikan pekerjaan

mereka jauh sebelum waktu yang telah ditetapkan untuk pulang tersebut berakhir.

Marriott telah membuktikan bahwa budaya face time tidak lagi dapat memberikan

dampak yang baik bagi perusahaan, sehingga budaya tersebut diubah. Hal itu terbukti

dengan hasil yang dicapai pada saat program uji coba tersebut dilakukan. Salah satu

pencapaiannya adalah para karyawan yang lebih produktif dengan lebih sedikitnya

waktu kerja mereka sehingga mereka lebih termotivasi untuk menyelesaikan

pekerjaannya itu.

12

Page 13: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

2.4 Peran Pemimpin dalam Mengubah Budaya

Keberadaan pemimpin dalam suatu organisasi memiliki peran yang sangat

penting terlebih dalam situasi dimana terjadi ambiguitas peran. Fungsi pemimpin

tidak hanya sekedar membimbing dan mengarahkan anak buah, namun yang

terpenting adalah bagaimana pemimpin mampu memberikan visi dan misi atau arah

yang jelas kemana organisasi akan dibawa. Dalam era dimana terjadi pergeseran

budaya, maka tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dibutuhkan seorang pemimpin yang

memiliki kepekaan dan intuisi yang tajam sehingga anak buah tahu ke arah mana

mereka hendak menuju. Budaya yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai,

kebiasaan, ritual, mitos maupun praktek-praktek yang terus berlanjut dalam

kehidupan bermasyarakat merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku

para anggota semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal

ini budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya

tersebut memiliki peran sebagai pemberi identitas dan ”normative glue”. Pemimpin

dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya

tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya. Sewaktu

melakukan konsultasi selama bertahun-tahun, Jerome Want telah menemukan bahwa

pemimpin yang efektif dari budaya perusahaan menunjukkan kumpulan kualitas dan

kepercayaan yang secara jelas memberi keuntungan bagi budaya perusahaan serta

kinerja bisnis secara keseluruhan. Mereka tidak hanya mencakup CEO tetapi juga

para manajer senior lainnya serta manajer Frontline dan manajer tengah yang

mengelola dan mengembangkan budaya pada suatu organisasi. Namun demikian,

para CEO memiliki keuntungan yang tidak dapat dilakukan oleh siapapun didalam

perusahaan. Termasuk memiliki posisi unik dalam perusahaan untuk memerintahkan

perhatian setiap orang serta komitmen mereka untuk mengubah budaya. CEO juga

dapat mengatur agenda dan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan dengan

proses. Mereka juga dapat membantu menciptakan koalisi, menghilangkan hambatan,

dan, yang paling penting, menginspirasi orang.

Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena dialah yang harus

mensosialisasikan nilai-nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda

karena didasari oleh kepentingan yang berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang

13

Page 14: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

dihayati bersama. Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas

pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain.

Bagian terpenting dari tugas seorang pemimpin adalah bertanggung jawab dalam

pembentukan dan pengembangan budaya perusahaan, yang dilakukan dengan jalan:

mengidentifikasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai dan prinsip dasar yang

memandu jalannya perusahaan dan pembentukan keputusan organisasi, menetapkan

perilaku yang menjadi contoh dari nilai-nilai dan prinsip organisasi dengan memberi

teladan, serta menguasai budaya perusahaan secara keseluruhan, mengenal dengan

baik segi positif dan negatifnya dan memperkuat nilai-nilai pada hal-hal yang

diharapkan oleh organisasi. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya memiliki

visi yang jelas, wawasan yang luas, pandangan yang jernih terhadap situasi yang

dihadapi, dengan demikian ia dapat membuat suatu keputusan yang didasari oleh

keinginan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dengan visi yang jelas, ia dapat

mempengaruhi orang lain agar dapat memaksimalkan pengembangan pribadi dan

organisasi. Kesemua ini tidak terlepas dari personal mastering yang dimiliki oleh

seorang pemimpin yang akan tercantum dengan jelas dalam agenda pribadinya.

Pemimpin yang dapat menjadi pemimpin adalah seseorang yang memiliki personal

philosophy yang teguh. Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh situasi yang ada di

sekitarnya. Meskipun lingkungannya berubah demikian cepat, namun ia tetap punya

komitmen dan konsisten tanpa kehilangan arah yang hendak dituju. Personal

philisophy ini tidak begitu saja dimiliki oleh seorang pemimpin, namun tumbuh

melalui proses belajar, memiliki kemauan melakukan inovasi, dan paling akhir adalah

keberanian untuk mengambil keputusan yang didasari oleh kedua hal di atas. Hal-hal

di atas hanya dapat dilaksanakan jika ia memiliki kesabaran, konsisten terhadap

prinsip-prinsip yang dimiliki, serta memiliki motivasi intrinsik. Dengan falsafah

hidup inilah, maka anggota-anggota akan dapat menilai kekuatan karakter yang

dimiliki pemimpinnya sehingga mereka tidak akan segan-segan mengikuti

pemimpinnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat

vital antara budaya dan kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin justru akan

dilihat dalampengaruh mereka secara langsung terhadap budaya organisasi. Pada

dasarnya pemimpin berperan dalam pembentukan budaya, budaya membantu

membentuk anggota-anggotanya.

14

Page 15: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

Selain itu ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemimpin dalam

mengubah budaya:

1. Menjadi murid dari budaya itu sendiri

Budaya perusahaan tidak dimiliki oleh setiap orang dan tentunya juga tidak

dimiliki oleh CEO. Budaya tersebut merupakan produk dari begitu banyak kontribusi

selama bertahun-tahun, terutama melalui perilaku, komitmen, dan nilai-nilai

masyarakat; praktek bisnis perusahaan, kebijakan, misi, dan sejarah; dan kondisi

lingkungan industri. Jika budaya perusahaan tidak dibentuk dan dikembangkan pada

saat perusahaan itu berdiri, budaya tersebut akan lebih sulit untuk diubah. Setiap

orang didalam budaya perlu menjadi murid dari budaya itu sebelum mencoba untuk

mengubahnya dan orang itu termasuk CEO.

2. Pembaharuan

CEO secara unik memposisikan dirinya untuk menciptakan budaya sebagai

suatu proses pembaharuan. Dengan memperbaharui budaya perusahaan, komitmen

dan bakat seseorang telah membangkitkan kembali kekuatan perusahaan. Tidak ada

downsizing, perbaikan operasi, perekayasaan ulang bisnis, atau restrukturisasi yang

memiliki efek memperbaharui di dalam suatu perusahaan.

3. Komunikasi

Para CEO harus memastikan adanya komunikasi terbuka di seluruh bagian

organisasi. Komunikasi terbuka juga akan memberikan ruang bagi para karyawan

untuk dapat bertukar ide-ide dan sumber daya. CEO juga harus menguasai

komunikasi yang efektif terhadap para karyawannya. Mempelajari bagaimana

menjadi pendengar yang aktif juga merupakan sasaran khusus yang penting bagi para

pemimpin yang ingin melakukan perubahan budaya. Komunikasi yang dilakukan

CEO juga dapat digunakan untuk membangkitkan organisasi yang lebih besar.

Adanya komunikasi yang efektif berarti bahwa antar individu yang ada dalam

organisasi memiliki keterbukaan, empati, dukungan, sikap positif, serta kesetaraan

yang pada akhirnya juga mendukung kinerja. Menurut definisinya komunikasi adalah

proses pemindahan suatu informasi, ide, pengertian dari seseorang kepada orang lain

dengan harapan orang lain tersebut dapat menginterprestasikannya sesuai dengan

tujuan yang dimaksud. Maka keterbukaan komunikasi dapat disimpulkan sebagai

keterbukaan dalam hubungan kerja antara atasan dan bawahan, bawahan dengan

15

Page 16: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

rekan sekerjanya. Keterbukaan dalam komunikasi dapat juga didefiniskan sebagai

suatu proses penyampaian pesan secara terbuka dalam hubungan kerja sehingga

terjadi saling pengertian, penghayatan mengenai kebijakan yang diambil, sehingga

akan tercipta kesadaran dan kesediaan melebur keinginan individu demi terpadunya

kepentingan bersama dengan tujuan menghasilkan integrasi yang cukup kokoh,

mendorong kerjasama yang produktif dan kreatif untuk mencapai sasaran atau tujuan

bersama Keterbukaan komunikasi dalam suatu organisasi merupakan hal yang tidak

dapat dielakkan. Melalui keterbukaan komunikasi individu dapat mentransfer pikiran

atau informasi yang ia miliki ke individu lain.

4. Inclusiveness

CEO harus menjelaskan pada organisasi bahwa membangun budaya

merupakan proses yang inklusif dan seharusnya tidak ditetapkan untuk tidak

melibatkan orang-orang (kecuali mereka yang memperlihatkan ketidakinginan untuk

mendukung proses tersebut) tetapi harus menjangkau seluruh tenaga kerja

berdasarkan ide-ide dan komitmen. Manfaat utama adalah hal tersebut berkembang

seiring waktu untuk merangkul orang-orang. Pemimpin baru harus menerima proses

tersebut untuk mengungkapkan ide-ide baru dan rekomendasi, dan juga ide-ide yang

berbeda.

5. Kepercayaan

CEO harus menanamkan rasa percaya di antara para peserta dalam proses

pembangunan budaya. Orang-orang itu harus merasa aman untuk menyuarakan

pendapat dan perbedaan mereka tentang budaya baru dan cara mengelola proses itu.

Ketika timbul masalah kepercayaan, maka CEO, bukan seorang konsultan, yang akan

menjadi orang yang terbaik untuk mengatasi masalah itu.

6. Akuntabilitas

Tidak ada satu orangpun yang memiliki posisi yang lebih baik untuk

menampung orang-orang yang bertanggung jawab selain CEO. Hanya CEO

(bertindak atas nama dewan) yang dapat menentukan apakah proses perubahan

budaya berjalan pada arah yang tepat dan mencapai tujuannya yang sebenarnya.

16

Page 17: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam praktek sehari-hari, seseorang diartikan sama antara pemimpin dan

kepemimpinan, padahal pengertian tersebut berbeda. Pemimpin adalah orang yang

tugasnya memimpin, sedang kepemimpinan adalah bakat dan atau sifat yang harus

dimiliki seorang pemimpin. Setiap orang mempunyai pengaruh atas pihak lain,

dengan latihan dan peningkatan pengetahuan maka pengaruh tersebut akan bertambah

dan berkembang. Kepemimpinan membutuhkan penggunaan kemampuan secara aktif

untuk mempengaruhi pihak lain dan dalam mewujudkan tujuan organisasi yang telah

ditetapkan lebih dahulu. Dewasa ini kebanyakan para ahli beranggapan bahwa setiap

orang dapat mengembangkan bakat kepemimpinannya dalam tingkat tertentu.

Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam

mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu. Masalah yang selalu terdapat

dalam membahas fungsi kepemimpinan adalah hubungan yang melembaga antara

pemimpin dengan yang dipimpin menurut rules of the game yang telah disepakati

bersama. Seseorang pemimpin selalu melayani bawahannya lebih baik dari

bawahannya tersebut melayani dia. Pemimpin memadukan kebutuhan dari

bawahannya dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat secara

keseluruhannya. Dari batasan kepemimpinan sebagaimana telah disebutkan di atas

seorang dikatakan pemimpin apabila dia mempunyai pengikut atau bawahan. peran

pemimpin sangat besar karena dialah yang harus mensosialisasikan nilai-nilai yang

ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda karena didasari oleh kepentingan yang

berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama. Mampu tidaknya

seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki

serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Bagian terpenting dari tugas seorang

17

Page 18: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

pemimpin adalah bertanggung jawab dalam pembentukan dan pengembangan budaya

perusahaan, yang dilakukan dengan jalan: mengidentifikasi dan mengkomunikasikan

nilai-nilai dan prinsip dasar yang memandu jalannya perusahaan dan pembentukan

keputusan organisasi, menetapkan perilaku yang menjadi contoh dari nilai-nilai dan

prinsip organisasi dengan memberi teladan, serta menguasai budaya perusahaan

secara keseluruhan, mengenal dengan baik segi positif dan negatifnya dan

memperkuat nilai-nilai pada hal-hal yang diharapkan oleh organisasi.

3.2 Saran

Pemimpin adalah sekelompok kecil orang yang terpilih dari berjuta orang

karena potensi dan kemampuan yang mereka miliki. Tanpa dapat dipungkiri peran ini

membawa sejumlah tantangan yang harus diatasi karena di pundak mereka tujuan

kelompok diletakkan. Meskipun demikian keberhasilan dan kegagalan organisasi

tidak semata-mata tergantung pada pemimpin, dalam hal ini partisipasi dan keinginan

berkorban dari anggota memiliki andil yang tidak sedikit. Suatu organisasi hanya

akan dapat berjalan sejauh nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki sungguh-sungguh

diinternalisasi dan budaya yang menjadi pondasi bagi keberlangsungan hidup

organisasi benar-benar mempengaruhi setiap tindakan anggota. Dalam hal ini peran

pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Oleh karena itu

seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas, wawasan yang luas,

pandangan yang jernih terhadap situasi yang dihadapi, dengan demikian ia dapat

membuat suatu keputusan yang didasari oleh keinginan untuk mencapai kesejahteraan

bersama.

18

Page 19: Ch. 7 - Leaders and Corporate Culture (Paper)(2)

DAFTAR PUSTAKA

Boone, Louis E. & Kurtz, David L. 2000. Pengantar Bisnis Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Rivai, Prof. DR. Veitzhal, MBA.2004. Kiat Memimpin dalam Abad ke-21. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Want, Jerome. 2007. Corporate Culture: Illuminating The Black Hole. New York: St. Martin’s Press.

www.wikipedia.com

19