Cerebral Palsy
-
Upload
widuri-wulandari -
Category
Documents
-
view
58 -
download
0
description
Transcript of Cerebral Palsy
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAFFAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2015UNIVERSITAS HASANUDDIN REFERAT
CEREBRAL PALSY
Disusun Oleh:Yessi Pratiwi Okviani C11110108
Pembimbing:dr. Steven Sakasasmita
Supervisor:dr. Abdul Muis, Sp. S(K)
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2015
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Yessi Pratiwi Okviani (C11110108)
Judul Referat : Cerebral Palsy
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, 12 Mei 2015
Mengetahui,
Supervisor Pembimbing gsgnsdj
dr. Abdul Muis, Sp.S(K) dr. Steven Sakasasmita
CEREBRAL PALSY
I. PENDAHULUAN
Cerebral palsy merupakan suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang
menetap dan tidak progresif, terjadi pada usia dini sehingga mengganggu
perkembangan otak dan menunjukan kelainan posisi, tonus otot dan koordinasi
motorik, serta kelainan neurologis lainnya. Angka kejadian cerebral palsy di
berbagai negara bervariasi antara 2-2,5 per 1000 kelahiran hidup. Secara umum,
cerebral palsy dibagi atas 4 tipe yaitu spastik, atetoid, ataksia, dan campuran.
Sekitar 70%-80% kasus cerebral palsy adalah tipe spastik.1
Banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko cerebral palsy mulai dari
periode prenatal, perinatal, dan postnatal. Faktor risiko pada periode prenatal
adalah infeksi dalam kandungan, seperti infeksi toksoplasmosis, rubella,
cytomegalovirus, dan herpes (TORCH). Faktor risiko pada periode perinatal dapat
disebabkan oleh berat badan lahir rendah, kelahiran multipara, hipoksia, asfiksia,
dan kelahiran prematur. Faktor risiko pada periode pascanatal berupa benturan
fisik pada kepala, tingginya kandungan logam dalam tubuh, insiden yang
menyebabkan kondisi hipoksia-iskemia, kegagalan fungsi hati, ensefalitis, dan
meningitis. Gambaran klinis cerebral palsy tergantung pada bagian dan luasnya
jaringan otak yang mengalami kerusakan.2
Anak-anak dengan cerebral palsy menderita beberapa masalah dan
kecacatan seperti retardasi mental, epilepsi, gangguan makan, dan gangguan
penglihatan dan pendengaran. Penanganan tiap individu membutuhkan intervensi
kombinasi. Penanganan spastisitas memiliki banyak macam intervensi terapi.
Penanganannya harus berorientasi pada tujuan seperti membantu mobilitas,
mengurangi atau mencegah kontraktur, meningkatkan higiene, dan memberikan
kenyamanan. Setiap anggota dari tim multidisiplin, termasuk anak dan orang tua,
harus berpastipasi dalam evaluasi dan perencanaan terapi.3
II. DEFINISI
Cerebral palsy merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan
motorik dan postur tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak
sejak dalam kandungan atau di masa kanak-kanak. Kelainan tersebut biasanya
disertai dengan gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi, tingkah laku,
epilepsi, dan masalah muskuloskeletal. Cerebral berarti bahwa penyebab
kesulitannya berada di otak, bukan di otot. Palsy dapat berarti memiliki kesulitan
dengan pergerakan dan postur tubuh.
Gejala cerebral palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur
3 tahun, yaitu manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1
tahun dan umumnya diikuti spastisitas. Cerebral palsy merupakan penyakit yang
tidak progresif. Pengaruh gangguan otak terhadap pergerakan dan postur tidak
hilang. Namun, efeknya pada tubuh bisa menjadi lebih atau kurang jelas seiring
berjalannya waktu. Misalnya pada penderita cerebral palsy yang dapat menjadi
semakin lebih baik dalam mengelola kesulitan mereka sebagai hasil dari
intervensi terapi.2, 4
III. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000
kelahiran hidup dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur. Di negara
maju, prevalensi cerebral palsy dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000
kelahiran hidup sedangkan di negara berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus
per 1.000 kelahiran hidup.2
Beberapa instansi kesehatan di Indonesia sudah mulai bisa mendata kasus
cerebral palsy, antara lain yaitu YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat) cabang
Surakarta jumlah anak dengan kondisi cerebral palsy pada tahun 2001 berjumlah
313 anak, tahun 2002 berjumlah 242 anak, tahun 2003 berjumlah 265 anak, tahun
2004 berjumlah 239 anak, sedangkan tahun 2005 berjumlah 118 anak, tahun 2006
sampai dengan bulan Desember berjumlah 112 anak, sedangkan tahun 2007
sampai dengan bulan Desember yaitu berjumlah 198 anak. Pada klinik tumbuh
kembang Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang sepanjang tahun 2005 mencatat
kunjungan pasien anak dengan diagnosis cerebral palsy sebanyak 2,16%.
Secara umum, cerebral palsy dibagi atas 4 tipe yaitu spastik, atetoid,
ataksia, dan campuran. Sekitar 70%-80% kasus cerebral palsy adalah tipe
spastik.1, 5, 6
IV. ETIOLOGI
Penyebabnya dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu prenatal, perinatal, dan
pascanatal.
1. Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan menyebabkan kelainan pada janin,
misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubella, dan penyakit inklusi
sitomegalik. Kelainan yang mencolok biasanya gangguan pergerakan dan
retardasi mental. Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar x, dan
intoksikasi kehamilan dapat menimbulkan cerebral palsy.
2. Perinatal
a. Anoksia/hipoksia
Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah trauma
kepala. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini
terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvik,
partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan
instrumen tertentu, dan lahir dengan seksio kaesar.
b. Perdarahan otak
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak,
mengganggu pusat pernapasan, dan peredaran darah sehingga terjadi
anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subarakhnoid akan
menyebabkan penyumbatan cairan serebrospinal sehingga mengakibatkan
hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri
sehingga timbul kelumpuhan spatis.
c. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak
lebih banyak dibandingkan bayi cukup bulan karena pembuluh darah,
enzim, faktor pembekuan darah, dan lain-lain masih belum sempurna.
d. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak
yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada
kelainan inkompatibilitas golongan darah.
e. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat
pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa cerebral palsy.
3. Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan
dapat menyebabkan cerebral palsy. Misalnya pada trauma kapitis,
meningitis, ensefalitis, dan luka parut pada otak pasca-operasi.7
V. KLASIFIKASI
a. Berdasarkan keterlibatan alat gerak atau ekstremitas, yaitu:
1. Monoplegia, hanya satu anggota tubuh yang terserang (jarang terjadi).
2. Hemiplegia, yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu
sisi.
3. Triplegia, menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki.
4. Diplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih berat
pada bagian di bawah pinggang.
5. Quadriplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang semuanya.
b. Berdasarkan karakteristik disfungsi neurologis, yaitu
1. Spastik
Spastik merupakan bentuk terbanyak (70-80%). Otot mengalami
kekakuan dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika tungkai
mengalami spastisitas, maka pada saat berjalan akan akan tampak
bergerak kaku dan lurus.
2. Atetosis
Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang
ditampakkan adalah gerakan-gerakan yang involunteer dengan ayunan
yang melebar. Atetosis dibagi menjadi:
a. Distonik, umumnya menyerang kaki dan lengan bagian proksimal.
Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang-ulang.
b. Diskinetik, didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan-
gerakan involunteer, tidak terkontrol, berulang-ulang, dan biasanya
melakukan gerakan stereotype.
3. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebellum dan yang berhuungan dengannya.
Cerebral palsy tipe ini mengalami abnormalitas bentuk postur tubuh
dan/atau disertai dengan abnormalitas gerakan.
4. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan
atetosis.8
c. Gross Motor Function Classification System (GMFCS)
GMFCS terdiri dari 5 level yang menggambarkan gerak motorik kasar
pada anak-anak dengan cerebral palsy.
Level 1: mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta menaiki tangga
tanpa hambatan. Anak-anak juga bisa berlari dan melompat namun
kecepatan, keseimbangan, dan koordinasinya terganggu.
Level 2: anak-anak mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta
menaiki tangga dengan berpegangan pada alat bantu tetapi memiliki
keterbatasan berjalan di permukaan yang tidak rata maupun pada
tempat yang ramai atau sempit. Anak-anak tersebut memiliki
kemampuan yang minimum untuk berlari dan melompat.
Level 3: mampu berjalan di dalam dan luar rumah menggunakan alat
bantu, menaiki tangga dengan berpegangan, dan bisa menggunakan
kursi roda sendiri atau ditransportasikan pada jarak yang jauh dan di
luar rumah pada permukaan yang tidak rata.
Level 4: anak-anak bisa berjalan pada jarak yang dekat dengan
menggunalan walker atau dengan kursi roda di rumah, sekolah, dan
komunitas.
Level 5: memiliki pergerakan yang sangat terbatas dan kemampuan
untuk mempertahankan postur kepala dan badan terganggu. Semua
fungsi motorik terganggu. Anak-anak ini tidak bisa bergerak sendiri dan
harus ditransportasikan.9
Gambar 1. Gross Motor Function System (GMFCS) pada anak-anak usia 6-12 tahun.9
VI. PATOFISIOLOGI
Presentasi klinik yang tampak dapat disebabkan oleh abnormalitas
struktural yang mendasar pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal awal,
perinatal atau postnatal karena vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko–
risiko patofisiologi dari kelahiran prematur. Bukti–bukti yang ada menunjukkan
bahwa faktor–faktor prenatal berperan dalam 70 – 80 % kasus cerebral palsy.
Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir
sebagian besar kasus disebabkan oleh multifaktor. Selama periode prenatal,
pertumbuhan yang abnormal dapat terjadi kapan saja (dapat karena abnormalitas
yang bersifat genetik, toksik atau infeksi, atau vascular insufficiency).
Menurut Volpe, dalam perkembangan otak manusia terdapat beberapa
waktu penting, dan waktu–waktu puncak terjadinya, sebagai berikut:
1. Primary neurulation – terjadi pada 3 – 4 minggu kehamilan.
2. Prosencephalic development – terjadi pada 2 – 3 minggu kehamilan.
3. Neuronal proliferation – penambahan maksimal jumlah neuron terjadi pada
bulan ke 3 – 4 kehamilan.
4. Organization – pembentukan cabang, mengadakan sinaps, kematian sel,
eliminasi selektif, proliferasi, dan diferensiasi sel glia terjadi bulan ke 5
kehamilan sampai beberapa tahun setelah kelahiran.
5. Myelination – penyempurnaan sel–sel neuron yang terjadi sejak kelahiran
sampai beberapa tahun setelah kelahiran.
Karena kompleksitas dan kerentanan otak selama masa perkembangannya,
menyebabkan otak sebagai subjek cedera dalam beberapa waktu. Cerebral
ischemia yang terjadi sebelum minggu ke–20 kehamilan dapat menyebabkan
defisit migrasi neuronal, antara minggu ke–24 sampai ke–34 menyebabkan
periventricular leucomalacia (PVL) dan antara minggu ke–34 sampai ke–40
menyebabkan focal atau multifocal cerebral injury.
Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor
saat terjadinya cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah
ke otak dan sistem peredaran darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap
penurunan oksigenasi.
Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak.
Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik
yang menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di
daerah paraventrikular substansia alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada
substansia grisea korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau menyeluruh
tergantung tempat yang terkena.
Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran prematur
seperti imaturitas pada otak dan vaskularisasi serebral merupakan suatu bukti
yang menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan
terhadap kejadian cerebral palsy. Sebelum dilahirkan, distribusi sirkulasi darah
janin ke otak dapat menyebabkan tendensi terjadinya hipoperfusi sampai dengan
periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan haemorrhage pada
matrik germinal yang berhubungan dengan kejadian diplegia spastik.
Pada saat di mana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak
dewasa, hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari
arteri cerebral mayor), yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik
quadriplegia. Ganglia basal juga dapat terpengaruh dengan keadaan ini, yang
selanjutnya menyebabkan terjadinya ekstrapiramidal (seperti koreoatetoid atau
distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi pada saat perawatan seringkali terjadi
dalam distribusi arteri serebral bagian tengah yang menyebabkan terjadinya
fenotip spastik hemiplegia.
Tidak ada hal–hal yang mengatur di mana kerusakan vaskular akan terjadi,
dan kerusakan ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak
janin. Autoregulasi peredaran darah serebral pada neonatal sangat sensitif
terhadap asfiksia perinatal yang dapat menyebabkan vasoparalysis dan cerebral
hyperemia. Terjadinya kerusakan yang meluas diduga berhubungan dengan
vaskular regional dan faktor metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan
pembentukkan sinaps.
Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa
kehamilan, area periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles
sangat rentan terhadap cedera. Apabila area ini membawa fiber yang bertanggung
jawab terhadap kontrol motorik dan tonus otot pada kaki, cedera dapat
menyebabkan spastik diplegia (yaitu spastisitas utama dan kelemahan pada kaki,
dengan atau tanpa keterlibatan lengan dengan derajat agak ringan). Saat lesi yang
lebih besar menyebar sebelum area fiber berkurang dari korteks motorik, hal ini
dapat melibatkan centrum semiovale dan corona radiata, yang dapat
menyebabkan spastisitas pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.
Suatu pengetahuan tentang urutan fase embrionik dan perkembangan otak
janin, dapat ditentukan kapan waktu terjadinya kerusakan otak. Suatu penemuan
tentang kelainan migrasi (disordered migration), seperti lissencephaly atau
heterotopia grey matter, mengindikasikan bahwa kerusakan yang terjadi sebelum
22 minggu masa gestasi akan mengganggu migrasi neuronal normal.
Periventricular leucomalacia (PVL) menunjukkan kerusakan pada white matter.
PVL pada umumnya simetris dan diduga disebabkan oleh iskemik white matter
pada anak–anak prematur. Cedera asimetrik pada periventrikular white matter
dapat menyebabkan salah satu sisi tubuh lebih kuat daripada yang lainnya.
Keadaan ini menyebabkan gejala yang menyerupai spastik hemiplegia tetapi
karakteristiknya lebih menyerupai spastik diplegia. Matriks kapiler germinal
dalam daerah periventrikular, sebagian rentan terhadap cedera akibat hipoksik-
iskemik. Hal ini disebabkan karena lokasinya yang terletak pada zona batas
vaskular di antara zona akhir striate dan arteri thalamik.
Kerentanan otak janin terhadap PVL bervariasi tergantung pada usia
gestasi, mencapai puncak pada usia gestasi 22 minggu dengan satu langkah
penurunan pada awal kematian postnatal dan setelah PVL. PVL akan tampak
sebagai diplegia dan sekitar 70% bayi yang mengalami cerebral palsy dilahirkan
sebelum usia gestasi mencapai 32 minggu dan 30% bayi yang mengalami cerebral
palsy lahir tepat waktu (cukup bulan).
Volpe mengklasifikasikan sistem tingkatan untuk periventricular-
intraventricular hemorrhages, sebagai berikut :
a. Grade I adalah hemorrhage yang berdampak hanya perdarahan pada
subependymal (<10% dari area periventrikular terisi dengan darah).
b. Grade II adalah hemorrhage yang melibatkan 10 – 50% area periventrikular.
c. Grade III adalah hemorrhage yang melibatkan >50% area periventrikular
d. Beberapa ahli lain mengemukakan grade IV, yaitu ada tidaknya darah
parenchymal. Hal ini diduga tidak berhubungan dengan ekstensi pendarahan
ventrikular. Tetapi sebaliknya, hemorrhagic infarction dapat berhubungan
dengan periventricular-intraventricular hemorrhage.
Hiperbilirubin encephalopathy akut dapat menyebabkan bentuk cerebral
palsy diskinetik (atau ekstrapiramidal) yang dapat terjadi baik pada bayi lahir
cukup bulan yang ditandai dengan hiperbilirubinemia atau pada bayi prematur
tanpa ditandai hiperbilirubinemia. Kern ikterus mengacu pada encephalopathy
dari hiperbilirubinemia yang termasuk di dalamnya noda kelompok nuclear yang
spesifik dan nekrosis neuronal. Efek–efek ini utamanya melibatkan ganglia
basalia, sebagian globus pallidus dan subthalamic nucleus; hippocampus;
substantia nigra; beberapa nervus cranial nuclei – sebagian oculomotor,
vestibular, cochlear dan facial nerve nuclei; saraf batang otak seperti formasi
retikular pada pons; saraf olivary inferior, saraf cerebellar seperti pada dentate
dan horn cells anterior dari tulang belakang.
Hal–hal yang memberikan distribusi kerusakan dalam kernikterus,
kehilangan pendengaran dan kelainan gerakan (terutama koreoathetosis atau
distonia) adalah ciri–ciri utama hiperbilirubin encephalopathy. Dengan perbaikan
dalam manajemen awal hiperbilirubinemia, banyak kasus cerebral palsy
diskinetik (atau ekstrapiramidal) tidak berhubungan dengan riwayat
hiperbilirubinemia tetapi sebaliknya diduga berhubungan dengan hypoxic injury
pada ganglia basal. Dalam ketidakhadiran hiperbilirubinemia, prematuritas, atau
hipoksia, kemungkinan suatu kelainan metabolik atau neurodegeneratif sebagai
dasar fenotip perlu dipertimbangkan.
Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10% dari semua bentuk
cerebral palsy, umumnya terjadi pada bayi cukup bulan. Kernikterus akibat
haemolitik pada bayi baru lahir terjadi akibat Rhesus isoimmunisation yang
menjelaskan peningkatan insiden pada dekade terakhir. Sosialisasi kebijakan
antenatal untuk memberikan antibodi anti-D pada ibu dengan Rhesus negatif
setelah kelahiran bayi dengan Rhesus positif telah menunjukkan eradikasi pada
seluruh bentuk cerebral palsy.
Status marmoratus adalah suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan
oleh neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy dan diduga lebih banyak terjadi
pada bayi cukup bulan daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus
munculnya gumpalan karena suatu abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini
merusak ganglia basal dan thalamus yang menyebabkan fenotip cerebral palsy
diskinetik.
Neuroimaging dalam penggunaan MRI, telah membantu mengklarifikasi
dugaan–dugaan tentang penyebab dan waktu terjadinya, yang mengalihkan
perdebatan dari intrapartum event (asfiksia neonatal) yang kemungkinan
sebanyak 10% kasus, menuju evaluasi faktor–faktor antenatal atau antecedents.
Anomali otak yang mendasar yang terjadi dalam cerebral palsy bersifat statis,
sedangkan akibat dari pelemahan motorik dan fungsional dapat bervariasi
berdasarkan waktu. Kasus yang disebabkan terutama oleh kelainan yang bersifat
progresif atau degeneratif alami, oleh definisi dikeluarkan saat mendiagnosa
cerebral palsy.10
VII. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinisnya tampak gangguan motorik berupa kelainan fungsi
dan lokalisasi serta kelainan bukan motorik yang menyulitkan gambaran klinis
cerebral palsy. Kelainan fungsi morik terdiri dari:
1. Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan
refleks Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan
tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini
tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sikap
yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam
adduksi, fleksi pada sendi siku, dan pergelangan tangan dalam pronasi serta
jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan.
Tungkai dalam sikap adduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam
plantar fleksi, dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan
refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di
traktus kortikospinalis. Golongan spastisitas ini meliputi ⅔ – ¾ penderita
cerebral palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung pada letak dan besarnya kerusakan,
yaitu:
Monoplegia/monoparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah
satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya.
Hemiplegia/hemiparesis : kelumpuhan lengan dan tungkai di sisi yang sama.
Diplegia/diparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi
tungkai lebih hebat daripada lengan.
Tetraplegia/tetraparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi lengan
lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan
tungkai.
2. Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama tampak flaksid dan berbaring
seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor
neuron. Menjelang usia 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari
rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak flaksid dan sikapnya
seperti kodok terlentang tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa tonus
ototnya berubah menjadi spastik. Refleks otot yang normal dan refleks
Babinski negatif tetapi yang khas ialah refleks neonatal dan tonic neck reflex
menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh
asfiksia perinatal atau ikterus. Golongan ini meliputi 10-20% dari kasus
cerebral palsy.
3. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas ialah sikap yang abnormal dengan pergerakan yang
terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama
tampak bayi flaksid tetapi sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut.
Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat
timbul juga gejala spastisitas dan ataksia. Kerusakan terletak pada ganglia
basal dan disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa
neonatus. Golongan ini meliputi 5-15% dari kasus cerebral palsy.
4. Ataksia
Ataksia ialah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid
dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Kehilangan
keseimbangan tampak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat
dan semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak di cerebellum.
Terdapat kira-kira 5% dari kasus cerebral palsy.
5. Gangguan pendengaran
Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi sehingga
sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis dan pada
5-10% anak dengan cerebral palsy.
6. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang
terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol
otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak
anak berliur.
7. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi.
Pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25% penderita
cerebral palsy menderita kelainan mata.7
VIII. DIAGNOSIS
Cerebral palsy merupakan diagnosis klinis yang dibuat berdasarkan
kewaspadaan terhadap faktor risiko, screening perkembangan regular pada bayi-
bayi yang berisiko tinggi, dan pemeriksaan neurologis. Seperti dalam semua
kondisi medis, pendekatan yang sistemastis berfokus pada riwayat maternal,
obstetrik, dan perinatal, tinjau perkembangan mental dan fisik anak
(developmental milestones), dan pemeriksaan neurologi seara menyeluruh serta
observasi anak dalam berbagai posisi seperti tengkurap, telentang, duduk, berdiri,
berjalan, dan berlari.
Tidak memungkinkan untuk mendiagnosis cerebral palsy pada bayi
berusia kurang dari 6 bulan kecuali pada kasus yang sangat parah. Pola dari
berbagai bentuk cerebral palsy muncul perlahan-lahan dengan petunjuk awal
adanya keterlambatan dalam perkembangan mental dan fisik anak dan tonus otot
yang abnormal. Pada cerebral palsy, riwayatnya tidak progresif. Milestones sekali
mendapatkan tidak ditemukan adanya regresi pada cerebral palsy. Tonus bisa
hipertonik atau hipotonia. Banyak hipotonia dini berubah menjadi spastisitas atau
distonia pada usia 2-3 tahun. Tanda-tanda awal meliputi adanya preferensi tangan
pada tahun pertama, kelainan tonus berupa spastisitas atau hipotonia dengan
berbagai distribusi, adanya refleks neonatus yang abnormal, keterlambatan dalam
refleks melindungi dan postural, dan pergerakan yang tidak simetris. Refleks
primitif seharusnya menghilang secara bertahap pada usia 6 bulan. Di antara
refleks primitif yang paling berguna secara klinis adalah Moro, Tonic
labyrinthine, dan Asymmetric Tonic Neck Reflex (ATNR). Pada banyak kasus,
diagnosis cerebral palsy tidak memungkinkan hingga usia 12 bulan. Pemeriksaan
yang berulang dan observasi secara berkala mungkin diperlukan pada kasus yang
ringan sebelum diagnosis pasti ditegakkan.
Pada pemeriksaan lebih lanjut pada anak-anak dengan cerebral palsy,
EEG dilakukan apabila terdapat riwayat epilepsi. Neuroimaging dilakukan jika
belum dilakukan pada masa nenonatus yang mendukung etiologi cerebral palsy.
MRI lebih dianjurkan disbanding CT-scan Pemeriksaan genetik dan metabolik
jika terdapat bukti kemunduran atau kompensasi metabolik, riwayat keluarga
dengan gangguan neurologis di masa kanak-kanak berhubungan dengan cerebral
palsy. Pemeriksaan untuk menentukan koagulopati pada anak-anak dengan strok
juga penting.
Evaluasi lengkap pada anak dengan cerebral palsy meliputi pemeriksaan
penglihatan, berbicara, pendengaran, sensoris, epilepsi, dan fungsi kognitif.
Evaluasi ortopedi suatu keharusan karena ketidakseimbangan otot dan spastisitas
menyebabkan subluksasi/dislokasi panggul, deformitas equina, kontraktur, dan
skoliosis.11
IX. PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi:
- Meningkatkan kualitas hidup pada anak-anak yang terkena cerebral palsy
- Memberikan fasilitas rehabilitasi dini
- Meningkatkan kapasitas fungsional anak untuk menjadi mandiri
- Menurunkan komplikasi cerebral palsy
Intervensi:
- Mengurangi spastisitas otot
- Mengontrol kejang karena kebanyakan resisten terhadap pengobatan
antiepilepsi yang konvensional
- Mencegah masalah ortopedi seperti subluksasi panggul, skoliosis, deformitas
equina, dan lain-lain.
- Meningkatkan kognitif, pembelajaran, dan memori untuk penerimaan yang
lebih baik12
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptomatik. Pada keadaan ini perlu
kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog,
psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi,
occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa, dan orang tua
penderita.
Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut
membantu program latihan di rumah untuk mencegah kontraktur perlu
diperhatikan posisi penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang
berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi ini
dilakukan sepanjang penderita hidup.
Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut.
Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan pergerakan koreo-
atetosis yang berlebihan.
Pendidikan
Penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan tingkat kecerdasannya di
sekolah luar biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak
yang normal. Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti anak yang normal,
yaitu pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-sama sehingga mereka tidak
merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi
anak secara berlebihan dan untuk ini pekerja social dapat membantu di rumah
dengan nasehat seperlunya.
Farmakoterapi
Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang
sesuai dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya.
Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat dari golongan benzodiazepine
dapat menolong, misalnya diazepam, klordiazepoksid (Librium), nitrazepam
(mogadon). Pada keadaan koreoatetosis diberikan artan. Imipramine (tofranil)
diberikan kepada penderita dengan depresi.7
X. PROGNOSIS
Di negeri yang telah maju misalnya Inggris dan Skandinavia, terdapat 20-
25% penderita cerebral palsy sebagai buruh penuh dan 30-50% tinggal di Institute
Cerebral Palsy. Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah
baik. Semakin banyak gejala penyertanya dan semakin berat gejala motoriknya
maka semakin buruk pula prognosisnya.7
XI. KESIMPULAN
Cerebral palsy merupakan gangguan motorik kronik yang berbagai upaya
gagal untuk mencegah kejadian tersebut. Pada kebanyakan kasus, penyebabnya
tidak diketahui dan prematuritas menjadi faktor risiko yang paling sering. Anak-
anak dengan cerebral palsy menderita beberapa masalah dan cacat potensial
seperti retardasi mental, epilepsi, kesulitan makan, dan gangguan penglihatan dan
pendengaran. Screening terhadap kondisi ini sebaiknya menjadi bagian dari
penilaian awal. Anak dengan cerebral palsy paling baik dirawat dengan rencana
perawatan individual yang menyediakan kombinasi intervensi. Hal ini
memerlukan penyediaan pelayanan berpusat keluarga. Penatalaksanaannya bukan
kuratif. Namun, jika disediakan secara optimal dapat meningkatkan kualitas hidup
penderita dan keluarganya. Dokter, bekerja sama dengan anak, keluarga, dan
anggota dari tim multidisiplin, dapat mengkoordinasikan sistem perawatan yang
kompleks untuk kepentingan maksimal setiap anak.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Wibowo, Alinda R., & Saputra, Deddy R., 2012. Prevalens dan Profil
Klinis pada Anak Palsi Serebral Spastik dengan Epilepsi. Sari
Pediatri.Volume 14.
2. Merlina, M., Kusnadi, Y., & Artati. 2012. Prospek Terapi Sel Punca untuk
Cerebral Palsy. Cermin Dunia Kedokteran 198. Volume 39.
3. Jan, M. M. S. 2006. Cerebral Palsy: Comprehensive Review and Update.
Ann Saudi Med. Volume 26.
4. Oxford University Student Union(OUSU). Cerebral Palsy Fact Sheet.
United Kingdom: University of Oxford.
5. Maimunah, S. 2014. Studi Eksploratif tentang Konsep Diri dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhi pada Remaja Cerebral Palsy. Pendidikan yang
Memberdayakan. Jakarta.
6. Selina, H., Priambodo, W. S., & Sakundarno, M. 2012. Gangguan Tidur
pada Anak Palsi Serebral. Medica Hospitalia.Volume 1.
7. Dahlan, A. & Aminullah, A. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Volume 11.
8. Poetry, R. V., Ramli, A. H. & Pratiwi, A. Resiliensi pada Mahasiswa Baru
Penyandang Cerebral Palsy(CP). Universitas Brawijaya. Malang.
9. Graham, H. K. 2005. Classifying Cerebral Palsy. Asia-Pacific Childhood
Disability Update.
10. Mardiani, E. 2006. Faktor-faktor Risiko Prenatal dan Perinatal Kejadian
Cerebral Palsy. Semarang: Universitas Diponegoro.
11. Sankar, C. & Mundkur, N. 2005. Cerebral Palsy−Definition,
Classification, Etiology and Early Diagnosis. Indian J. Pediatric. Volume
72.
12. Kuldeep, C. R. 2014. Recent Advances in Ayuverdic Management of
Cerebral Palsy Affected Children. Int. J. Res. Ayurveda Pharm. Volume 5.