CEPHALGIA

93
MAKALAH DISKUSI TOPIK CEPHALGIA Disusun oleh: Bening Putri Ramadhani Usman 1110103000084 Pembimbing : dr. Ika Yulieta, Sp.S KEPANITERAAN KLINIK SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

description

Diskusi Topik Cephalgia

Transcript of CEPHALGIA

MAKALAH DISKUSI TOPIKCEPHALGIA

Disusun oleh:Bening Putri Ramadhani Usman1110103000084

Pembimbing :dr. Ika Yulieta, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIKSMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATIPROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUIN SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA2014KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan makalah diskusi topik ini yang berjudul Cephalgia. Makalah presentasi kasus langsung ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan danpenyelesaian makalah ini, terutama kepada :1. Dr. Ika Yulieta, Sp.S selaku pembimbing diskusi topik ini.2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.Kami menyadari dalam pembuatan makalah diskusi topik ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan makalah diskusi topik ini sangat kami harapkan.Demikian, semoga makalahpresentasikasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan kita,terutama dalam bidang neurologi.

Jakarta, 15 Agustus 2014

Penyusun

BAB ISTATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIENNama: Ny.SNJenisKelamin: PerempuanUsia: 40 tahun Agama: IslamAlamat: Kp.Bojong Koneng RT 002/RW 003, Cikarang Barat, BekasiSuku: SundaPekerjaan : Ibu Rumah TanggaPendidikan terakhir: SLTAStatus Pernikahan: Sudah menikahNo. RM: 01313313Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati pada tanggal 7 Agustus 2014.

II. ANAMNESISAnamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 12 Agustus 2014.a. Keluhan UtamaNyeri kepala sejak 6 bulan SMRS yang memberat sejak 1 bulan SMRS.

b. Riwayat Penyakit SekarangPasien datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 6 bulan SMRS yang memberat sejak 1 bulan SMRS. Nyeri kepala semakin lama semakin memberat. Nyeri dirasakan seperti dicengkram dan terkadang seperti ditusuk-tusuk, berlokasi di kepala bagian kanan hingga pertengahan belakang. Durasi nyeri kepala mulai 5 menit hingga satu jam. VAS = 6. Nyeri kepala memberat bila pasien dalam keadaan berbaring. Pada awalnya, nyeri kepala berkurang bila pasien minum obat panadol. Namun, lama-kelamaan obat sudah tidak dapat mengurangi nyeri. Nyeri kepala dapat muncul pada pagi, siang, sore, maupun malam hari. Pasien tidak merasa nyeri kepala bertambah saat melihat cahaya terang atau ketika mendengar suara tertentu. Pasien tidak melihat adanya kilatan atau bintik-bintik cahaya sebelum dan saat nyeri kepala. Nyeri pada sekitar mata, mata berair, mata merah, hidung tersumbat, hidung berair, dan berkeringat saat nyeri kepala muncul disangkal. Nyeri atau kaku pada tengkuk hingga pundak disangkal. Pasien sering merasa mual, dan terkadang muntah sebanyak 5 hingga 6 kali sehari, berisi makanan. Pasien tidak mengalami demam, kejang, maupun pingsan. Penciuman, penglihatan, dan pendengaran normal. Keluhan lain seperti sesak napas, pandangan dobel, gangguan menelan, tersedak, suara serak atau sengau, mulut mencong, baal, kesemutan, pusing berputar, kelemahan, gangguan berjalan, kesulitan menggenggam, gangguan keseimbangan, dan sering lupa disangkal. Buang air besar, buang air kecil, dan keringat normal.

c. Riwayat Penyakit DahuluPasien belum pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Kepala pasien pernah terbentur dinding sekitar 4 bulan SMRS, setelah itu pasien tetap sadar penuh dan tidak ada keluhan. Riwayat darah tinggi, kencing manis, kolesterol, asam urat, stroke, penyakit jantung, gangguan hati, penyakit paru, tumor, dan riwayat operasi sebelumnya disangkal.

d. Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada anggota keluarga yang sering mengalami nyeri kepala. Riwayat darah tinggi, kencing manis, kolesterol, asam urat, stroke, penyakit jantung, gangguan hati, dan penyakit paru pada keluarga disangkal. Tidak ada anggota keluarga yang pernah didiagnosis tumor atau kanker.

e. Riwayat Sosial dan KebiasaanPasien makan 3 kali sehari, dengan kebiasaan makan makanan berlemak, gorengan, makanan asin, dan bersantan. Pasien menyukai minuman manis. Pasien menggunakan KB suntik setiap tiga bulan sejak 20 tahun yang lalu hingga saat ini. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, namun suami pasien merokok sejak SMA. Pasien tidak mengkonsumsi alkohol, menggunakan obat-obatan terlarang, atau seks bebas. Pasien jarang berolahraga. Pasien tidak rutin mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Pasien tidur 6-8 jam setiap hari. Tidak ada beban pikiran apapun yang sedang mengganggu pasien. Pasien tidak pernah merasa kelelahan berlebihan. Pasien merupakan ibu rumah tangga, tinggal di perumahan padat, tidak ada pabrik industri atau pertambangan di sekitar lingkungan rumah.

III. PEMERIKSAAN FISIKPemeriksaan fisik di bangsal Teratai tanggal 12 Agustus 2014.

I. Pemeriksaan Fisik Status GeneralisKeadaan Umum: Tampak sakit sedangKesadaran: Compos mentis Tanda VitalTekanan darah: 120/80 mmHg / 120/80 mmHgNadi: 96x/menit, regular, kuat angkat, isi cukupNapas: 18x/menit, regular, kedalaman cukupSuhu: 37oCBerat badan: 56 kgTinggi badan: 158 cmBMI: 22,4 kg/m2

Mata Inspeksi : alis mata cukup, enoftalmus (-)/(-), eksoftalmus (-)/(-), nistagmus (-)/(-), ptosis (-)/(-), lagoftalmus (-)/(-), edema palpebra (-)/(-),konjungtiva anemis(-)/(-), sklera ikterik (-)/(-), sekret (-)/(-), tampak berair, pterigium (-)/(-), ulkus kornea (-)/(-), kekeruhan lensa (-) Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal

Telinga,Hidung,TenggorokanHidung : - Inspeksi : Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-)/(-), deviasi septum (-)/(-), konka nasal hiperemis (-)/(-), edema (-)/(-), NCH (-)/(-)- Palpasi : Nyeri tekan sinus (-), krepitasi (-)Telinga : Inspeksi : Preaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-), skar (-)/(-), Aurikuler : normotia, hiperemis (-)/(-), cauli flower (-)/(-), pseudokista (-)/(-), Postaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-), skar (-)/(-), Liang telinga : lapang, serumen (-)/(-), Ottorhea (-)/(-), membran timpani intak

Tenggorokan dan Rongga mulut : Inspeksi : Bucal : warna normal, ulkus (-) Lidah : massa (-), ulkus (-), plak (-) Palatum : penonjolan (-) Tonsil : tidak valid dinilai Pursed lips breathing(-), karies gigi (+), kandidisasis oral (+)

Leher Inspeksi : bentuk simetris, warna normal, penonjolan vena jugularis (-), tumor (-), retraksi suprasternal (-), tidak tampak perbesaran KGB Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran thyroid (-), posisi trakea ditengah, KGB tidak teraba membesar Auskultasi : bruit (-), Tekanan vena jugularis tidak meningkat, 5+2

Thoraks Depan Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), retraksi sela iga (-/-), bentuk dada normal, barrel chest (-), pectus carinatum (-)/(-), pectus ekskavatum (-)/(-), pelebaran sela iga (-)/(-), tumor (-)/(-), skar (-), emfisema subkutis (-)/(-), spider naevi (-)/(-), pergerakan kedua paru simetris statis dan dinamis, pola pernapasan normal Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi dada simetris, vocal fremitus sama di kedua lapang paru, pelebaran sela iga (-)/(-) Perkusi : Sonor di kedua lapang paru Batas paru hati : pada garis midklavikula kanan sela iga 6, peranjakan hati sebesar 2 jari Batas paru lambung : pada garis aksilaris anterior kiri sela iga 8 Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)

Thoraks Belakang Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), Retraksi sela iga (-/-), pelebaran sela iga (-)/(-), tumor (-)/(-), emfisema subkutis (-)/(-), Pergerakan kedua paru simetris statis dan dinamis, pola pernapasan normal, scar (-), luka operasi (-), massa (-), gibus (-), kelainan tulang belakang (-) Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi dada simetris,vocal fremitus sama di kedua lapang paru Perkusi : Sonor dikedua lapang paru Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)

Jantung Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari medial dari linea midklavikulasinistra ICS V, thrill (-), heaving (-), lifting (-), tapping (-) Perkusi : Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra, batas jantung kiri ICS V 1 jari medial linea midklavikula sinistra, Pinggang jantung ICS II linea parasternalis sinistra Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur (-), gallop(-)

Abdomen Inspeksi : simetris, datar, striae (-), skar (-), penonjolan (-), bekas operasi (-), kaput medusa (-) Auskultasi : BU (+) normal, metalic sound (-), borborigmi (-), bruit (-) Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-), massa (-) Hepar dan lien tidak teraba Ginjal : Ballotemen (-)/(-), Perkusi : timpani, shifting dullnes (-), undulasi (-), fenomena papan catur (-), nyeri ketok CVA (-)/(-),

EkstremitasAkral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 3 detik, edema (-)/(-), jari tabuh (-), koilonikia (-), hiperemis (-), deformitas (-)

Status neurologisGCS: E4M6V5Tanda Rangsang Meningeal Kaku kuduk: - Lasegue: >700 />700 Kernig : >1350 />1350 Brudzinski I: - / - Brudzinski II: - / -

Saraf-saraf Kranialis:N.I (olfaktorius): normosmia / normosmiaN.II (optikus) Acies visus: normal Visus campus : normal Lihat warna : normal Funduskopi : tidak dilakukan

N.III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen) Kedudukan bola mata: ortoposisi + / + Pergerakan bola mata : baik ke segala arah Exopthalmus : - / - Nystagmus : - / - Palpebra: ptosis (-/-) Pupil: Bentuk: bulat, isokor, 3mm/3mm Refleks cahaya langsung: +/+ Refleks cahaya tidak langsung: +/+

N.V (Trigeminus) Cabang Motorik: normal Cabang sensorik : Ophtalmikus: normal Maksilaris : normal Mandibularis : normal Jaw reflex: (+) Refleks kornea: (+)

N.VII (Fasialis) Motorik orbitofrontalis: gerakan alis dan kerutan dahi simetris ka=ki Motorik orbikularis orbita: lagoftalmus (-/-) Motorik orbikulari oris: plica nasolabialis simetris ka=ki Pengecapan lidah: normal

N.VIII (Vestibulocochlearis) Vestibular : Vertigo: - Nistagmus : - / - Koklearis : normal Tes Rhinne: (+/+) Tes Weber: tidak adala lateralisasi Tes Schwabach : sama dengan pemeriksa

N.IX, X (Glossopharyngeus, Vagus) Arcus faring: simetris ka=ki Uvula: simetris ka=ki Refleks muntah: (+)

N.XI (Accesorius) Mengangkat bahu : normal/normal Menoleh : normal/normal

N.XII (Hypoglossus) Posisi lidah: di tengah Pergerakkan lidah: pergerakan simetris ka=ki Atrofi : - Fasikulasi : - Tremor : -

Sistem Motorik Ekstremitas atas: 5555/5555 Ekstremitas bawah: 5555/5555Gerakkan Involunter Tremor: - / - Chorea : - / - Miokloni : -/ - Tonus : baik

Sistem Sensorik Propioseptif : normal Eksteroseptif: normal

Fungsi Serebelar Ataxia: normal Tes Romberg: normal Jari-jari: normal Jari-hidung: normal Tumit-lutut: normal Rebound phenomenon: (-/-) Hipotoni : (-/-)

Fungsi Luhur Astereognosia: (-) Apraxia : (-) Afasia : (-)

Fungsi Otonom Miksi: baik Defekasi : baik Sekresi keringat: baik Refleks Fisiologis Biceps : +2/+2 Triceps: +2/+2 Radius : +2/+2 Lutut : +2/+2 Tumit : +2/+2

Refleks Patologis Hoffman Tromer: - / - Babinsky : - / - Chaddock : - / - Oppenheim: - / - Gordon : - / - Gonda: - / - Schaefer : - / - Klonus lutut : - / - Klonus tumit : - / -

Keadaan Psikis Intelegensia: normal Tanda regresi : normal Demensia : (-)

II. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Laboratorium (8 Agustus 2014)Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi

Hemoglobin 12.8 g/dl 11,7 15,5 g/dl

Hematokrit 37% 33 45 %

Lekosit 5.500/ul 5.000 10.000

Trombosit 254.000/ul 150 440 ribu/ul

Hemostasis

APTT28,2 detik27.4 39.3 detik

Kontrol APTT 31.5 detik

PT 13.9 detik11.3 14.7 detik

Kontrol PT 13.5 detik

INR 1.04

Fungsi Hati

SGOT 18 U/l 0 34 U/l

SGPT 34 U/l 0 40 U/l

Fungsi Ginjal

Ureum 24 mg/dl 20 40 mg/dl

Kreatinin 0,5 mg/dl 0,6 1,5 mg/dl

Diabetes

GDS108 mg/dL70-140 mg/dL

GDP85 mg/dl 80 100 mg/dl

GD2PP115 mg/dL80-140 mg/dL

Lemak

Kolesterol Tot185 mg/dL 5 menit dan < 60 menit.4) Nyeri kepala memenuhi kriteria 2-4 5) Tidak berkaitan dengan kelainan lain.Tatalaksanaa) Medikamentosai. Terapi Abortif Sumatriptan Indikasi: serangan migren akut dengan atau tanpa aura Dosis & Cara Pemberian: dapat diberikan secara subkutan dengan dosis 4-6 mg. Dapat diulang sekali setelah 2 jam kemudian jika dibutuhkan. Dosis maksimum 12 mg per 24 jam. Zolmitriptan Indikasi: Untuk mengatasi serangan migraine akut dengan atau tanpa aura pada dewasa. Tidak ditujukan untuk terapi profilaksis migren atau untuk tatalaksana migren hemiplegi atau basilar. Dosis & Cara Pemberian : Pada uji klinis, dosis tunggal 1; 2,5 dan 5 mg efektif mengatasi serangan akut. Pada perbandingan dosis 2,5 dan 5 mg, hanya terjadi sedikit penambahan manfaat dari dosis lebih besar, namun efek samping meningkat. Oleh karena itu, pasien sebaiknya mulai dengan doss 2,5 atau lebih rendah. Jika sakit terasa lagi, dosis bisa diulang setelah 2 jam, dan tidak lebih dari 10 mg dalam periode 24 jam. Eletriptan Indikasi: Penanganan migraine akut dengan atau tanpa aura. Dosis & Cara Pemberian: 2040 mg po saat onset berlangsung, dapat diulang 2 jam kemudian sebanyak 1 kali. Dosis maksimum tidak melebihi 80 mg/24 jam.ii. Terapi ProfilaktifTujuan dari terapi profilaktif adalah untuk mengurangi frekuensi berat dan lamanya serangan, meningkatkan respon pasien terhadap pengobatan, serta pengurangan disabilitas. Obat-obatan yang sering diberikan : Beta-blocker: Propanolol yang dimulai dengan dosis 10-20 mg 2-3x1 dan dapat ditingkatkan secara gradual menjadi 240 mg/hari. Atenolol 40-160 mg/hari Timolol 20-40 mg/hari Metoprolol 100-200 mg/hari Calcium Channel Blocker: Verapamil 320-480 mg/hari Nifedipin 90-360 mg/hari Antidepresan, misalnya amitriptilin 25-125 mg, antidepresan trisiklik, yang terbukti efektif untuk mencegah timbulnya migraine. Antikonvulsan: Asam valproat 250 mg 3-4x1 Topiramat Methysergid, derivatif ergot 2-6 mg/hari untuk beberapa minggu sampai bulan efektif untuk mencegah serangan migraine.b) Non Medikamentosai. Terapi abortifPara penderita migraine pada umumnya mencari tempat yang tenang dan gelap pada saat serangan migraine terjadi karena fotofobia dan fonofobia yang dialaminya. Serangan juga akan sangat berkurang jika pada saat serangan penderita istirahat atau tidur.ii. Terapi profilaktifPasien harus memperhatikan pencetus dari serangan migraine yang dialami. Pasien diharapkan dapat menghindari faktor-faktor pencetus timbulnya serangan migraine. Disamping itu, pasien dianjurkan untuk berolahraga secara teratur untuk memperlancar aliran darah.

B. Tension Type Headache (TTH)Definisi Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus menerus otot- otot kepala dan tengkuk ( M.splenius kapitis, M.temporalis, M.maseter, M.sternokleidomastoid, M.trapezius, M.servikalis posterior, dan M.levator skapula).Etiologi dan Faktor ResikoEtiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress, depresi, bekerja dalam posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata, kontraksi otot yang berlebihan, berkurangnya aliran darah, dan ketidakseimbangan neurotransmitter seperti dopamin, serotonin, noerpinefrin, dan enkephalin.KlasifikasiKlasifikasi TTH adalah Tension Type Headache episodik dan dan Tension Type Headache kronik. Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak mencapai 15 hari setiap bulan. Tension Type Headache episodik (ETTH) dapat berlangsung selama 30 menit 7 hari. Tension Type Headache kronik (CTTH) apabila frekuensi serangan lebih dari 15 hari setiap bulan dan berlangsung lebih dari 6 bulan.DiagnosaTension Type Headache harus memenuhi syarat yaitu sekurang kurangnya dua dari berikut ini : (1) adanya sensasi tertekan/terjepit, (2) intensitas ringan sedang, (3) lokasi bilateral, (4) tidak diperburuk aktivitas. Selain itu, tidak dijumpai mual muntah, tidak ada salah satu dari fotofobia dan fonofobia.TerapiRelaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus dibimbing untuk mengetahui arti dari relaksasi yang mana dapat termasuk bed rest, massage, dan atau latihan biofeedback. Pengobatan farmakologi adalah simpel analgesia dan atau mucles relaxants. Ibuprofen dan naproxen sodium merupakan obat yang efektif untuk kebanyakan orang. Jika pengobatan simpel analgesia (asetaminofen, aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah butalbital dan kafein ( dalam bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang akan menambah efektifitas pengobatan.C. Cluster Headache

Gambar 2. Lokasi Nyeri pada Cluster Headache

DefinisiNyeri kepala klaster (cluster headache) merupakan nyeri kepala vaskular yang juga dikenal sebagai nyeri kepala Horton, sfenopalatina neuralgia, nyeri kepala histamine, sindrom Bing, erythrosophalgia, neuralgia migrenosa, atau migren merah (red migraine) karena pada waktu serangan akan tampak merah pada sisi wajah yang mengalami nyeri.EtiologiEtiologi cluster headache adalah sebagai berikut : Penekanan pada nervus trigeminal (nervus V) akibat dilatasi pembuluh darah sekitar. Pembengkakan dinding arteri carotis interna. Pelepasan histamin. Letupan paroxysmal parasimpatis. Abnormalitas hipotalamus. Penurunan kadar oksigen. Pengaruh genetikDiduga faktor pencetus cluster headache antara lain : Glyceryl trinitrate. Alkohol. Terpapar hidrokarbon. Panas. Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur. Stres.DiagnosisDiagnosis nyeri kepala klaster menggunakan kriteria oleh International Headache Society (IHS) adalah sebagai berikut:a. Paling sedikit 5 kali serangan dengan kriteria seperti di bawahb. Berat atau sangat berat unilateral orbital, supraorbital, dan atau nyeri temporal selama 15 180 menit bila tidak di tatalaksana.c. Sakit kepala disertai satu dari kriteria dibawah ini :1. Injeksi konjungtiva ipsilateral dan atau lakriimasi2. Kongesti nasal ipsilateral dan atau rhinorrhea3. Edema kelopak mata ipsilateral4. Berkeringat pada bagian dahi dan wajah ipsilateral 5. Miosis dan atau ptosis ipsilateral6. Kesadaran gelisah atau agitasid. Serangan mempunyai frekuensi 1 kali hingga 8 kali perharie. Tidak berhubungan dengan kelainan yang lain.PenatalaksanaanPenatalaksanaan medis terhadap cluster headache dapat dibagi ke dalam pengobatan terhadap serangan akut, dan pengobatan preventif, yang bertujuan untuk menekan serangan. Pengobatan akut dan preventif dimulai secara bersamaan saat periode awal cluster. Pilihan pengobatan pembedahan yang terbaru dan neurostimulasi telah menggantikan pendekatan pengobatan yang bersifat merugikan.a. Pengobatan Serangan Akut Oksigen: inhalasi oksigen, kadar 100% sebanyak 10-12 liter/menit selama 15 menit sangat efektif, dan merupakan pengobatan yang aman untuk cluster headache akut. Triptan: Sumatriptan 6 mg subkutan, sumatriptan 20 mg intranasal, dan zolmitriptan 5 mg intranasal efektif pada pengobatan akut cluster headache. Tiga dosis zolmitriptan dalam dua puluh empat jam bisa diterima. Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan triptan oral pada cluster headache. Dihidroergotamin 1 mg intramuskular efektif dalam menghilangkan serangan akut cluster headache. Cara intranasal terlihat kurang efektif, walaupun beberapa pasien bermanfaat menggunakan cara tersebut. Lidokain: tetes hidung topikal lidokain dapat digunakan untuk mengobati serangan akut cluster headache. Pasien tidur telentang dengan kepala dimiringkan ke belakang ke arah lantai 30 dan beralih ke sisi sakit kepala. Tetes nasal dapat digunakan dan dosisnya 1 ml lidokain 4% yang dapat diulang setekah 15 menit.b. Preventif Verapamil, dosis 80 mg tiga kali sehari, dosis harian akan ditingkatkan secara bertahap dari 80 mg setiap 10-14 hari. Dosis ditingkatkan sampai serangan cluster menghilang, efek samping atau dosis maksimum sebesar 960 mg perhari. Kortikosteroid dalam bentuk prednison 1 mg/kgbb sampai 60 mg selama empat hari yang diturunkan bertahap selama tiga minggu. Lithium karbonat, dosis lithium sebesar 600 mg sampai 900 per-hari dalam dosis terbagi. Topiramat, dosis 100-200 mg perhari. Melatonin, dosis biasa yang digunakan adalah 9 mg perhari. Obat-obat pencegahan lainnya termasuk gabapentin (sampai 3600 perhari) dan methysergide (3 sampai 12 mg perhari). Injeksi pada saraf oksipital: Injeksi metilprednisolon (80 mg) dengan lidokain ke dalam area sekitar nervus oksipital terbesar ipsilateral sampai ke lokasi serangan. Pendekatan Bedah: Pendekatan bedah modern pada cluster headache didominasi oleh stimulasi otak dalam pada area hipotalamus posterior grey matter dan stimulasi nervus oksipital.

2.2.7. Nyeri Kepala SekunderSakit kepala sekunder dapat dibagi menjadi sakit kepala yang disebabkan oleh karena trauma pada kepala dan leher, sakit kepala akibat kelainan vaskular kranial dan servikal, sakit kepala yang bukan disebabkan kelainan vaskular intrakranial, sakit kepala akibat adanya zat atau withdrawal, sakit kepala akibat infeksi, sakit kepala akibat gangguan homeostasis, sakit kepala atau nyeri pada wajah akibat kelainan kranium, leher, telinga, hidung, gigi, mulut atau struktur lain di kepala dan wajah, sakit kepala akibat kelainan psikiatri. Sakit kepala sekunder merupakan sakit kepala yang disebabkan adanya suatu penyakit tertentu (underlying disease). Pada sakit kepala kelompok ini, rasa nyeri di kepala merupakan tanda dari berbagai penyakit. Adapun penyakit yang dapat menimbulkan sakit kepala adalah :1. Infeksi sistemik seperti flu, demam dengue/demam berdarah denggue, sinusitis, radang tenggorokan dan lain-lain2. Aneurisma otak3. Tumor otak4. Keracunan karbon dioksida5. Glaukoma6. Kelainan refraksi mata (mata minus/plus)7. Cedera kepala8. Ensefalitis (radang otak)9. Meningitis (radang selaput otak)10. Perdarahan otak11. Stroke12. Efek samping obat13. Dan lain-lainSebagian besar sakit kepala bersifat ringan atau disebabkan penyakit yang ringan. Namun kita tetap harus waspada karena sakit kepala juga dapat merupakan gejala dari penyakit yang serius seperti radang otak/selaput otak, perdarahan otak, stroke, tumor otak, glaukoma, dan lain-lain. Adapun karakteristik sakit kepala yang menjadi tanda penyakit serius adalah sebagai berikut :1. Sangat sakit paling sakit ( worst headache ever) : rasa sakit yang dirasakan sangat sakit, jauh lebih sakit dibandingkan sakit kepala sebelumnya2. Sakit kepala berat yang dirasakan pertama kalinya3. Sakit kepala yang bertambah berat dalam beberapa hari atau beberapa minggu4. Ada gangguan saraf seperti kelumpuhan, kebutaan, dan lain-lain5. Sakit kepala disertai demam (yang penyebab demam tidak diketahui dengan jelas)6. Muntah yang terjadi mendahului sakit kepala7. Sakit kepala yang dicetuskan olehbending, mengangkat beban, dan batuk8. Sakit kepala timbul segera setelah bangun tidur9. Usia lebih dari 55 tahun10. Sakit kepala pada anak

2.3. Space Occupying Lesion (SOL)2.3.1. DefinisiSpace occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial) didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space occupying lesion intrakranial meliputi tumor, hematoma, dan abses.2.3.2. PatofisiologiRuang intra kranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Ruang intra kranial dibatasi oleh tuang-tulang kranium sehingga volume dari ruang tersebut relatif tetap. Kranium mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki tentorium yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Keseimbangan isi komponen dalam ruang intra kranial diterangkan dengn konsep Doktrin Monro-Kellie. Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma, akan menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai konsekuensi dari space occupying lesion (SOL).Dalam keadaan fisiologik, jumlah darah yang mengalir ke otak (CBF = cerebral blood flow) ialah 50-60 ml per 100 gram jaringan otak permenit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya antara 1200-1400 gram adalah 700-840 ml permenit. Dari jumlah darah itu, satu pertiganya disalurkan melalui susunan vertebrobasilar.Pembuluh serebral menyesuaikan lumennya pada ruang lingkupnya sedemikian rupa sehingga aliran darah tetap konstan, walaupun tekanan perfusi berubah-ubah. Pengaturan lumen ini dinamakan autoregulasi. Konstriksi terjadi apabila tekanan intralumen melonjak dan dilatasi jika tekanan tersebut menurun. Reaksi dinding pembuluh darah terhadap fluktuasi tekanan intalumental sangat cepat yaitu dalam beberapa detik.Setiap bagian pada ruang intrakranial menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal sebesar 50 200 mm H2O atau 4 15 mm Hg. Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie nenberikan suatu konsep pemahaman peningkatan tekanan intrakranial. Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga ruangannya meluas, dua ruangan lainnya harus mengompensasi dengan mengurangi volumenya.

Gambar 3. Hipotesis Monroe-Kellie

Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu dipertahankan konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15 mmHg. Tekanan abnormal apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas 40 mmHg dikategorikan sebagai peninggian yang parah. Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Obstruksi vena dan edema akibat kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan peningkatan volume intrakranial dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruangan subarakhnoid menimbulkan hidrosefalus.

Gambar 4. Skema Faktor Peningkatan Tekanan Intrakranial Selain itu, penyebab peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang diakibatkan trauma kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga mencapai tingkatan tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan intrakranial pasca pecah aneurisma sering kali diikuti dengan meningkatnya kadar laktat cairan serebrospinal dan hal ini mengindikasi terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor otak yang makin membesar akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah perlahan-lahan.

Gambar 5. Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan Kompresi Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.

Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal tersebut dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio. Sehingga akan menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra kranial yang cukup berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya tambahan massa, maka secara kompensasi akan menyebabkan tekanan intra kranial yang meningkat. Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi antara 24-48 jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10.Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan Perfusi Otak), sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK harus diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka dapat terjadi kematian.

Gambar 6. Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya

2.3.3. Etiologi SOL1. Tumor OtakTumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau proses desak ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam rongga tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun infratentorial. Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada prognosanya didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi klinis yang berkaitan dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat keganasan tumor otak didasari oleh hasil evaluasi morfologi makroskopis dan histologis neoplasma, dikelompokkan atas :a. Benigna (jinak)Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang jelas, tidak infiltratif dan hanya mendesak organ-organ sekitar. Selain itu, ditemukan adanya pembentukan kapsul serta tidak adanya metastasis maupun rekurensi setelah dilakukan pengangkatan total. Secara histologis, menunjukkan struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan diferensiasi struktur yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun teratur tanpa adanya formasi baru.b. Maligna (ganas)Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi destruktur tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta cenderung membentuk metastasis dan rekurensi pasca pengangkatan total.

Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya disebabkan oleh dua faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan gangguan serebrovaskular primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitar sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.Berikut ini klasifikasi tumor intracranial menurut WHO :Jenis TumorAsalStatus KeganasanPersentase Dari Semua Tumor OtakYang Sering Terkena

KordomaSel saraf dari kolumna spinalisJinak tetapi invasifDewasa

Tumor sel germSel-sel embrionikGanas atau jinak1%Anak-anak

Glioma (glioblastoma multiformis, astrositoma, oligodendtrositoma)Sel-sel penyokong otak, termasuk astrosit & oligodendrositGanas atau relatif jinak65%Anak-anak & dewasa

HemangioblastomaPembuluh darahJinak1-2%Anak-anak & dewasa

MeduloblastomaSel-sel embrionikGanasAnak-anak

MeningiomaSel-sel dari selaput yg membungkus otakJinak20%Dewasa

OsteomaTulang tengkorakJinak2&Anak-anak & dewasa

OsteosarkomaTulang tengkorakGanasAnak-anak & dewasa

PinealomaSel-sel di kelenjar pinealisJinak1%Anak-anak

Adenoma hipofisaSel-sel epitel hipofisaJinak2%Anak-anak & dewasa

SchwannomaSel Schwann yg membungkus persarafanJinak3%Dewasa

Tabel 2. Klasifikasi Tumor Intrakranial (WHO)Tumor otak merupakan penyakit yang sukar terdiagnosa secara dini, karena pada awalnya menunjukkan berbagai gejala yang menyesatkan dan meragukan tapi umumnya berjalan progresif. Baik pada tumor jinak maupun ganas, gejalanya timbul jika jaringan otak mengalami kerusakan atau otak mendapat penekanan.Jika tumor otak merupakan penyebaran dari tumor lain, maka akan timbul gejala yang berhubungan dengan kanker asalnya. Misalnya batu berlendir dan berdarah terjadi pada kanker paru-paru, benjolan di payudara bisa terjadi pada kanker payudara. Gejala dari tumor otak tergantung kepada ukuran, kecepatan pertumbuhan dan lokasinya.Tumor di beberapa bagian otak bisa tumbuh sampai mencapai ukuran yang cukup besar sebelum timbulnya gejala; sedangkan pada bagian otak lainnya, tumor yang berukuran kecilpun bisa menimbulkan efek yang fatal.Manifestasi klinis tumor otak dapat berupa:1) Gejala serebral umumDapat berupa perubahan mental yang ringan (Psikomotor asthenia), yang dapat dirasakan oleh keluarga dekat penderita berupa: mudah tersinggung, emosi, labil, pelupa, perlambatan aktivitas mental dan sosial, kehilangan inisiatif dan spontanitas, mungkin diketemukan ansietas dan depresi. Gejala ini berjalan progresif dan dapat dijumpai pada 2/3 kasus.a. Nyeri KepalaDiperkirakan 1% penyebab nyeri kepala adalah tumor otak dan 30% gejala awal tumor otak adalah nyeri kepala. Sedangkan gejala lanjut diketemukan 70% kasus. Sifat nyeri kepala bervariasi dari ringan dan episodik sampai berat dan berdenyut, umumnya bertambah berat pada malam hari dan pada saat bangun tidur pagi serta pada keadaan dimana terjadi peninggian tekanan tinggi intrakranial. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur, karena selama tidur PCO2 arteri serebral meningkat, sehingga mengakibatkan peningkatan dari serebral blood flow dan dengan demikian mempertinggi lagi tekanan intrakranium. Juga lonjakan tekanan intrakranium sejenak karena batuk, bersin, coitus dan mengejan akan memperberat nyeri kepala. Nyeri kepala juga bertambah berat waktu posisi berbaring, dan berkurang bila duduk. Adanya nyeri kepala dengan psicomotor asthenia perlu dicurigai tumor otak. Nyeri kepala pada tumor otak, terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang sering pada anak-anak. Pada anak kurang dari 10-12 tahun, nyeri kepala dapat hilang sementara dan biasanya nyeri kepala terasa di daerah bifrontal serta jarang didaerah yang sesuai dengan lokasi tumor. Pada tumor di daerah fossa posterior, nyeri kepala terasa dibagian belakang dan leher.Penyebab nyeri kepala ini diduga akibat tarikan (traksi) pada pain sensitive structure seperti dura, pembuluh darah atau serabut saraf. Nyeri kepala merupakan gejala permulaan dari tumor otak yang berlokasi di daerah lobus oksipitalis.b. MuntahMuntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan biasanya disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat tumor di fossa posterior. Muntah tersebut dapat bersifat proyektil atau tidak dan sering tidak disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang untuk sementara waktu.c. KejangBangkitan kejang dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada 25% kasus, dan lebih dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan 2% penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak. Perlu dicurigai penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak bila:- Bangkitan kejang pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun- Mengalami post iktal paralisis- Mengalami status epilepsi- Resisten terhadap obat-obat epilepsi- Bangkitan disertai dengan gejala TTIK lainFrekwensi kejang akan meningkat sesuai dengan pertumbuhan tumor. Pada tumor di fossa posterior kejang hanya terlihat pada stadium yang lebih lanjut. Schmidt dan Wilder (1968) mengemukakan bahwa gejala kejang lebih sering pada tumor yang letaknya dekat korteks serebri dan jarang ditemukan bila tumor terletak dibagian yang lebih dalam dari himisfer, batang otak dan difossa posterior. Bangkitan kejang ditemukan pada 70% tumor otak di korteks, 50% pasien dengan astrositoma, 40% pada pasien meningioma, dan 25% pada glioblastoma.2) Gejala Tekanan Tinggi IntrakranialBerupa keluhan nyeri kepala di daerah frontal dan oksipital yang timbul pada pagi hari dan malam hari, muntah proyektil dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan diketemukan. Keadaan ini perlu tindakan segera karena setiap saat dapat timbul ancaman herniasi. Selain itu dapat dijumpai parese N.VI akibat teregangnya N.VI oleh TTIK. Tumor-tumor yang sering memberikan gejala TTIK anpa gejala-gejala fokal maupun lateralisasi adalah meduloblatoma, spendimoma dari ventrikel III, haemangioblastoma serebelum dan craniopharingioma.3) Gejala spesifik tumor otak yang berhubungan dengan lokasia. Lobus frontal Menimbulkan gejala perubahan kepribadian apatis dan masa bodoh euphoria, tetapi lebih sering ditemukan adalah gabungan dari kedua tipe tersebut. Bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan hemiparese kontralateral, kejang fokal Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia Bila tumor terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster- kennedy Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia motorik dan disartria.b. Lobus parietal Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsi homonymus Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada gyrus angularis menimbulkan gejala sindrom gerstmanns. Bangkitan kejang dapat umum atau fokal, hemianopsia homonim, apraksia. Bila tumor terletak pada lobus yang dominan dapat menyebabkan afasia sensorik atau afasia sensorik motorik, agrafia dan finger agnosia.c. Lobus temporal Akan menimbulkan gejala hemianopsia kontralateral, bangkitan psikomotor atau kejang yang didahului dengan aura atau halusinasi (auraolfaktorius) Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia sensorik motorik atau disfasia serta hemiparese. Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat diketemukan gejala choreoathetosis, parkinsonism.d. Lobus oksipital Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan penglihatan (aura berupa kilatan sinar yang tidak berbentuk) dimana makula masih baik. Gangguan penglihatan yang permulaan bersifat quadranopia berkembang menjadi hemianopsia, objeckagnosia.e. Tumor di ventrikel ke III Tumor biasanya bertangkai sehingga pada pergerakan kepala menimbulkan obstruksi dari cairan serebrospinal dan terjadi peninggian tekanan intrakranial mendadak, pasen tiba-tiba nyeri kepala, penglihatan kabur, dan penurunan kesadaran.f. Tumor di cerebello pontin angle Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma Dapat dibedakan dengan tumor jenis lain karena gejala awalnya berupa gangguan fungsi pendengaran Gejala lain timbul bila tumor membesar dan keluar dari daerah pontin angleg. Tumor Hipotalamus Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan perkembangan seksual pada anak-anak, amenorrhoe, dwarfism, gangguan cairan dan elektrolit, bangkitanh. Tumor di Cerebellum Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat terjadi disertai dengan papil udem Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar keleher dan spasme dari otot-otot servikal Gangguan Gerak Pada Tumor SerebelumGangguanKeterangan

Tremor intensionalTremor osilasi yang paling jelas pada akhir gerakan halus

AsinergiaKurangnya kerjasama antara otot-otot

Dekomposisi gerakanGerakan dilakukan secara terpisah-pisah bukan sebagai satu gerakan yang utuh

DismetriaKesalahan dalam mengarahkan gerakan

Deviasi dari jalur gerakanSalah tujuan gerakan

Disdiadokokinesis Tidak dapat melakukan gerkan yang bergantian

NistagmusOsilasi mata yang cepat saat memandang atau meilah suatu benda

Tabel 3. Gangguan gerak pada tumor serebelum

2. Hematom Intrakraniala. Hematom EpiduralFraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural. Desakan dari hematom akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik.

Gambar 7. Hematom EpiduralKeterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak terdorong kesisi lain

b. Hematom SubduralHematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika dibandingkan dengan hematom epidural prognosisnya lebih jelek. Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga.Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera. Hematoma sering berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki mortalitas yang tinggi. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala minor. Cidera ini seringkali berkaitan dengan cidera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.Hematom subdural akut dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang (space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau demensia.

Gambar 8. Hematom SubduralKeterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak terdorong kesisi lain

c. Higroma SubduralHigroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural. Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke ruang subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan tekanan intrakranial, sering tanpa tanda fokal.

3. Abses otakAbses otak adalah kumpulan nanah yang dikelilingi oleh kapsul fibrosa parenkim otak terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan atau melalui vaskular. Kebanyakan abses otak terjadi karena diseminasi hematogen dari peradangan yang jauh, trauma, pembedahan, ekstensi langsung dari sinusitis.

Gambar 9. Abses Otak

Goodman mengemukakan empat sindrom kumpulan gejala untuk abses otak (Satyanegara, 2010) :a. Tipe I Masa Fokal AkutPenderita kelompok ini memiliki gejala dan tanda proses desak ruang dari suatu lesi massa intrakranial yang progresif dalam beberapa hari bahkan sampai beberapa jam. Corak gejalanya sesuai dengan lokasi abses seperti abses di lobus temporal. Gejala-gejala tersebut disertai dengan demam yang tidak begitu tinggi, kesadaran berkabut, sehingga kadang defisit neurologis yang masih ringan sulit terdeteksi.b. Tipe II Hipertensi IntrakranialGejala dan tanda gangguan neurologis yang berkaitan dengan peninggian tekanan intrakranial seperti nyeri kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran, gangguan daya ingat, dan perubahan personalitas serta papiledema.c. Tipe III Destruksi DifusGejala-gejala yang mengandung komponen destruksi yang progresif seperti gangguan neurologis yang tak sesuai dengan estimasi klinis dan keadaan intrakranialnya.d. Tipe IV Defisit Neurologis FokalGejala yang berkembang sedemikian lambatnya sehingga sering kali diinterpretasi sebagai suatu neoplasma yang tumbuh lambat.

4. Kontusio serebriLesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat. Yang penting untuk terjadinya lesi kontusio adalah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak membentang batang otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blokade itu otak tidak mendapatkan input aferen dan karena itu kesadaran hilang selama blokade reversibel berlangsung. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut, autoregulasi pembuluh darah serebral terganggu, sehingga terdapat vasoparalisis. Tekanan darah menajdi rendah dan nadi menjadi lambat. Pusat vegetatif ikut terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.

2.3.4. Diagnosis SOLUntuk menegakkan diagnosis pada penderita yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisik neurologik yang teliti serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita yang mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di atas. Misalnya ada tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik neurologik ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan deficit lapangan pandang. Perubahan tanda vital pada kasus space occupying lesion intrakranial, meliputi:a. Denyut NadiDenyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP, terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini dikontrol oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal yang terdapat di medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti.b. PernapasanPada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak. Pada bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial yang cepat dan dapat berkembang dengan cepat ke respiratory arrest.c. Tekanan darahTekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan tekanan intrakranial, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan meningkatnya tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai dengan perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun .d. Suhu tubuhSelama mekanisme kompensasi dari peningkatan tekanan intrakranial berlangsung, suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus atau edema pada traktus yang menghubungkannya.e. Reaksi pupilSerabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosisa. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya terhadap cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang penglihatan serta pemeriksaan gerakan bola matab. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil nervus optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil odema tahap lanjut.c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks fisiologi, reflek patologis, dan klonus.d. Pemeriksaan sensibilitas.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis SOL : Elektroensefalografi (EEG)Elektroensefalografi (EEG) adalah tehnik untuk merekan aktivitas elektrik otak melalui tengkorak utuh. Tindakan pemeriksaan ini aman dan sama sekali tidak menyakiti orang yang diperiksa. Elektroensefalografi dapat mengungkapkan tanda-tanda gangguan fungsi otak fokal atau global, seperti disfungsi otak pada penderita epilepsi, tumor serebri, infark, hemoragi, kontusia serebri, ensefalitis dan berbagai keadaan psikiatrik. Foto polos kepalaPada Anak: Sutura melebar Ukuran kepala yang membesar Craniolacunia Erosi dorsum sellae Bertambahnya convolutional marking Pada dewasa Erosi dorsum sellae Pergeseran kelenjar pineal Kalsifikasi Patologi ArteriografiArteriografi karotis dan vertebralis merupakan metode radiologik dengan jalan pembuatan foto rontgen pembuluh-pembuluh darah intrakranial setelah arteri karotis atau arteri vertebralis diisi dengan substansi radio-opak. Dengan demikian, bentuk dan perjalanan cabang-cabang arteri karotis interna atau arteri basilaris dapat divisualisasikan pada foto rontgen. Oleh karena susunan pembuluh darah yang divisualisasikan oleh arteriografi (angiogram) karotis dan vertebral, maka pemeriksaan ini dikerjakan dengan maksud untuk mendapatkan informasi yang mengungkapkan kelainan pada susunan vaskular. Kelainan tersebut dapat bersifat gangguan intraluminal (obstruksi, dilatasi patologik seperti aneurisma, malformasi vaskular atau gangguan ekstravaskular yang menggeser, menarik dan menekan suatu pembuluh darah setempat. Computerized Tomografi (CT Scan)CT Scan merupakan pemeriksaan yang aman dan tidak invasif serta mempunyai ketepatan yang tinggi. Masa tumor menyebabkan kelainan pada tulang tengkorak yang dapat berupa erosi atau hiperostosis, sedang pada parenkhim dapat merubah struktur normal ventrikel, dan juga dapat menyebabkan serebral edem yang akan terlihat berupa daerah hipodensiti. Setelah pemberian kontrast, akan terlihat kontrast enhancement dimana tumor mungkin terlihat sebagai daerah hiperdens. Magnetic Resonance Imaging (MRI)MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dimana dapat dibedakan antara tumor dan jaringan sekitarnya. MRI dapat mendeteksi kelainan jaringan sebelum terjadinya kelainan morfologi.

2.3.5. Tatalaksana SOL1) PembedahanJika hasil CT-Scan didapati adanya tumor, dapat dilakukan pembedahan. Ada pembedahan total dan parsial, hal ini tergantung jenis tumornya. Pada kasus abses seperti loculated abscess, pembesran abses walaupun sudah diberi antibiotik yang sesuai, ataupun terjadi impending herniation. Sedangkan pada subdural hematoma, operasi dekompresi harus segera dilakukan jika terdapat subdural hematoma akut dengan middle shift > 5 mm. Operasi juga direkomendasikan pada subdural hematoma akut dengan ketebalan lebih dari 1 cm.2) RadioterapiAda beberapa jenis tumor yang sensitif terhadap radioterapi, seperti low grade glioma. Selain itu radioterapi juga digunakan sebagai lanjutan terapi dari pembedahan parsial.3) KemoterapiTerapi utama jenis limpoma adalah kemoterapi. Tetapi untuk oligodendroglioma dan beberapa astrocytoma yang berat, kemoterapi hanya digunakan sebagai terapi tambahan.4) AntikolvusanMengontrol kejang merupakan bagian terapi yang penting pada pasien dengan gejala klinis kejang. Pasien SOL sering mengalami peningkatan tekanan intrakranial, yang salah satu gejala klinis yang sering terjadi adalah kejang. Phenytoin (300-400mg/kali) adalah yang paling umum digunakan. Selain itu dapat juga digunakan carbamazepine (600-1000mg/hari), phenobarbital (90-150mg/hari) dan asam valproat (750-1500mg/hari).5) AntibiotikJika dari hasil pemeriksaan diketahui adanya abses, maka antibiotik merupakan salah satu terapi yang harus diberikan. Berikan antibiotik intravena, sesuai kultur ataupun sesuai data empiris yang ada. Antibiotik diberikan 4-6 minggu atau lebih, hal ini disesuaikan dengan hasil pencitraan, apakah ukuran abses sudah berkurang atau belum. Carbapenem, fluorokuinolon, aztreonam memiliki penetrasi yang bagus ke sistem saraf pusat, tetapi harus memperhatikan dosis yang diberikan (tergantung berat badan dan fungsi ginjal) untuk mencegah toksisitas.6) KortikosteroidKortikosteroid mengurangi edema peritumoral dan mengurangu tekana intrakranial. Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone adalah kortikosteroid yang dipilh karena aktivitas mineralkortikoid yang minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari 16mg/hari, tetapi dosisnya dapat ditambahkan maupun dikurangi untuk mencapai dosis yang dibutuhkan untuk mengontrol gejala neurologik.7) Head up 30-45Berfungsi untuk mengoptimalkan venous return dari kepala, sehingga akan membantu mengurangi TIK.8) Menghindari Terjadinya HiperkapniaPaCO2 harus dipertahankan dibawah 40 mmHg, karena hiperkapnia dapat menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otak sehingga terjadi peningkatan TIK, dengan cara hiperventilasi ringan disertai dengan analisa gas darah untuk menghindari global iskemia pada otak.9) Diuretika OsmosisManitol 20% dengan dosis 0,25-1 gr/kgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit untuk membantu mengurangi peningakatan TIK dan dapat mencegah edema serebri.

2.4. Meningioma2.4.1. DefinisiMeningioma adalah tumor pada meningen yang merupakan selaput pelindung yang melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat manapun di bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi, umumnya terjadi di hemisphere otak di semua lobusnya. Kebanyakan meningioma bersifat jinak (benign). Meningioma malignant jarang terjadi.

2.4.2. EpidemiologiTumor ini mewakili 20% dari semua neoplasma intracranial dan 12 % dari semua tumor medulla spinalis. Meningioma biasanya jinak, tetapi bisa kambuh setelah diangkat. Tumor ini lebih sering ditemukan pada wanita dan biasanya muncul pada usia 40-60 tahun, tetapi tidak tertutup kemungkinan muncul pada masa kanak-kanak atau pada usia yang lebih lanjut.Paling banyak meningioma tergolong jinak(benign) dan 10 % malignant. Meningioma malignant dapat terjadi pada wanita dan laki-laki,meningioma benign lebih banyak terjadi pada wanita.

2.4.3. EtiologiHingga saat ini diyakini radioterapi merupakan factor resiko utama terjadinya meningioma. Radiasi dosis rendah seperti pada pengobatan tinea kapitis maupun dosis tinggi seperti pada penanganan tumor otak lain (misalnya meduloblastoma) meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Radioterapi dosis tinggi berhubungan dengan terjadinya meningioma dalam waktu yang relative singkat, antara 5-10 tahun. Sementara radiasi dosis rendah membutuhkan waktu beberapa decade sampai timbulnya meningioma. Tumor yang timbul akibat radiasi cenderung bersifat multiple dan secara histology ganas, serta memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk timbul kembali. Trauma kepala diduga dapat menyebabkan tumor meningens, namun sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut yang dapat membuktikan hal tersebut. Foto dental standar bukan merupakan factor resiko. Namun beberapa penelitian epidemiologi menyebutkan terjadi peningkatan insidens meningioma pada pasien dengan riwayat foto dental.Rangsangan endogen dan eksogen via hormonal memainkan peran yang cukup penting juga dalam timbulnya tumor meningens. Estrogen dan progesterone diduga merupakan salah satu penyebab timbulnya meningioma karena angka prevalensi yang lebih tinggi pada wanita. Reseptor estrogen ditemukan pada meningioma, yakni ikatan pada reseptor tipe 2 walaupun tingkat afinitasnya terhadap estrogen tidak sekuat reseptor yang ditemukan pada kanker payudara. Sebagai perbandingan, reseptor progesterone diekspresikan pada 80% wanita penderita meningioma dan 40% pada pria. Lokasi ikatan dengan progesterone lebih jarang pada meningioma yang agresif. Cara kerja reseptor-reseptor ini masih belum diketahui, namun inhibitor estrogen dan progesterone telah dicoba sebagai terapi walaupun belum ada bukti keberhasilan.Infeksi virus seperti SV-40, termasuk dalam pathogenesis meningioma, namun data yang terkumpul hingga saat ini masih belum meyakinkan. Meningioma diduga timbul melalui proses bertahap yang melibatkan aktivasi onkogen dan hilangnya gen supresor tumor. Penelitian genetic molecular telah menunjukan beberapa penyimpangan, yang paling sering adalah hilangnya 22q pada 80% penderita meningioma sporadic. Hal ini mengakibatkan hilangnya NF-2 gen supresor tumor yang berlokasi di 22q11 dan berkurangnya produk protein merlin yang bertanggung jawab terhadap interaksi sel.1 Sel yang memiliki defek pada merlin tidak dapat mengenali sel sekitarnya dan terus menerus tumbuh. Beberapa kelainan telah dideteksi pada kromosom lain, dan diduga beberapa onkogen dan gen supresor tumor terlibat dalam pembentukan meningioma.Beberapa factor pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor, PDGF, insulin-like growth factors, transforming growth factor I2 dan somatostatin diekspresikan secara berlebih dan dapat merangsang pertumbuhan meningioma. Meningioma merupakan tumor yang kaya akan pembuluh darah dan mengandung VEGF (vascular endothelial growth factor) dalam konsentrasi yang tinggi. 2.4.4. KlasifikasiMeskipun pada kebanyakan kasus bersifat jinak, meningioma secara mengejutkan memiliki karakteristik klinis yang sangat luas. Membedakannya secara histologis berhubungan erat dengan resiko kejadian berulang yang tinggi. Pada kasus yang jarang, meningioma dapat bersifat ganas.Klasifikasi dari WHO bertujuan untuk memprediksi perbedaan karakteristik klinis dari meningioma dengan grading secara histologis berdasarkan statisik korelasi klinikopatologis yang signifikan. Berdasarkan tingkat keganasannya meningioma dibagi menjadi 3, yaitu jinak (WHO grade 1), atipikal (WHO grade 2), dan anaplastik (WHO grade 3).

Tabel 3. Tipe meningioma berdasarkan pengelompokan WHO

Tabel 4. Kriteria grading secara histologi menurut WHO

Gambar 9. Histologi meningioma grade 1 WHO

Gambar 10. Histologi meningioma grade 2 WHO

Gambar 11. Histologi meningioma grade 3 WHO

2.4.5. Manifestasi KlinikMeningioma dapat timbul tanpa gejala apapun dan ditemukan secara tidak sengaja melalui MRI. Pertumbuhan tumor dapat sangat lambat hingga tumor dapat mencapai ukuran yang sangat besar tanpa menimbulkan gejala selain perubahan mental sebelum tiba-tiba memerlukan perhatian medis, biasanya di lokasi subfrontal. Gejala umum yang sering muncul meliputi kejang, nyeri kepala hebat, perubahan kepribadian dan gangguan ingatan, mual dan muntah, serta penglihatan kabur. Gejala lain yang muncul ditentukan oleh lokasi tumor, dan biasanya disebabkan oleh kompresi atau penekanan struktur neural penyebab.

Gambar 12. Gejala umum dari meningiomaBerikut ini tanda dan gejala meningioma berdasarkan lokasi tumor: Meningioma falx dan parasagital, sering melibatkan sinus sagitalis superior. Gejala yang timbul biasanya berupa kelemahan pada tungkai bawah. Meningioma konveksitas, terjadi pada permukaan atas otak. Gejala meliputi kejang, nyeri kepala hebat, defisit neurologis fokal, dan perubahan kepribadian serta gangguan ingatan. Defisit neurologis fokal merupakan gangguan pada fungsi saraf yang mempengaruhi lokasi tertentu, misalnya wajah sebelah kiri, tangan kiri, kaki kiri, atau area kecil lain seperti lidah. Selain itu dapat juga terjadi gangguan fungsi spesifik, misalnya gangguan berbicara, kesulitan bergerak, dan kehilangan sensasi rasa. Meningioma sphenoid, berlokasi pada daerah belakang mata dan paling sering menyerang wanita. Gejala dapat berupa kehilangan sensasi atau rasa baal pada wajah, serta gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan disini dapat berupa penyempitan lapangan pandang, penglihatan ganda, sampai kebutaan. Dapat juga terjadi kelumpuhan pada nervus III. Meningioma olfaktorius, terjadi di sepanjang nervus yang menghubungkan otak dengan hidung. Gejala dapat berupa kehilangan kemampuan menghidu dan gangguan penglihatan. Meningioma fossa posterior, berkembang di permukaan bawah bagian belakang otak terutama pada sudut serebelopontin. Merupakan tumor kedua tersering di fossa posterior setelah neuroma akustik. Gejala yang timbul meliputi nyeri hebat pada wajah, rasa baal atau kesemutan pada wajah, dan kekakuan otot-otot wajah. Selain itu dapat terjadi gangguan pendengaran, kesulitan menelan, dan kesulitan berjalan. Meningioma suprasellar, terjadi di atas sella tursica, sebuah kotak pada dasar tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitari. Gejala yang dominan berupa gangguan penglihatan akibat terjadi pembengkakan pada diskus optikus. Dapat juga terjadi anosmia, sakit kepala dan gejala hipopituari. Meningioma tentorial. Gejala yang timbul berupa sakit kepala dan tanda-tanda serebelum. Meningioma foramen magnus, seringkali menempel dengan nervus kranialis. Gejala yang timbul berupa nyeri, kesulitan berjalan, dan kelemahan otot-otot tangan. Meningioma spinal, paling sering menyerang daerah dada terhitung sekitar 25-46% dari tumor spinal primer. Gejala yang timbul merupakan akibat langsung dari penekanan terhadap medula spinalis dan korda spinalis, paling sering berupa nyeri radikular pada anggota gerak, paraparesis, perubahan refleks tendon, disfungsi sfingter, dan nyeri pada dada. Paraparesis dan paraplegia timbul pada 80% pasien, namun sekitar 67% pasien masih dapat berjalan. Meningioma intraorbital. Gejala yang dominan terutama pada mata berupa pembengkakan bola mata, dan kehilangan penglihatan. Meningioma intraventrikular, timbul dari sel araknoid pada pleksus koroidales dan terhitung sekitar 1% dari keseluruhan kasus meningioma. Gejala meliputi gangguan kepribadian dan gangguan ingatan, sakit kepala hebat, pusing seperti berputar. Selain itu dapat juga terjadi hidrosefalus komunikans sekunder akibat peningkatan protein cairan otak.

2.4.6. DiagnosisMeningioma sering baru terdeteksi setelah muncul gejala. Diagnosis dari meningioma dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis pasien dan gambaran radiologis. Meskipun demikian, diagnosis pasti serta grading dari meningioma hanya dapat dipastikan melalui biopsi dan pemeriksaan histologi.Pada CT scan, tumor terlihat isodens atau sedikit hiperdens jika dibandingkan dengan jaringan otak normal. Seringkali tumor juga memberikan gambaran berlobus dan kalsifikasi pada beberapa kasus. Edema dapat bervariasi dan dapat tidak terjadi pada 50% kasus karena pertumbuhan tumor yang lambat, tetapi dapat meluas. Edema lebih dominan terjadi di lapisan white matter dan mengakibatkan penurunan densitas. Perdarahan, cairan intratumoral, dan akumulasi cairan dapat jelas terlihat. Invasi sepanjang dura serebri sering muncul akibat provokasi dari respon osteblas yang menyebabkan hiperostosis pada 25% kasus. Gambaran CT scan paling baik untuk menunjukan kalsifikasi dari meningioma. Penelitian membuktikan bahwa 45% proses kalsifikasi adalah meningioma.

Gambar 7. Hasil CT scan meningioma parasagital13

Gambar 8. Hasil CT scan meningioma konveksitas14

Gambar 9. Hasil CT scan meningioma sphenoid15

Gambar 10. Hasil CT scan meningioma tentorial16Pada MRI, tumor terlihat isointens pada 65% kasus dan hipointens pada sisanya jika dibandingkan dengan jaringan otak normal. Kelebihan MRI adalah mampu memberikan gambaran meningioma dalam bentuk resolusi 3 dimensi, membedakan tipe jaringan ikat, kemampuan multiplanar dan rekonstruksi. MRI dapat memperlihatkan vaskularisasi tumor, pembesaran arteri, invasi sinus venosus, dan hubungan antara tumor dengan jaringan sekitarnya.Angiografi secara khusus mampu menunjukan massa hipervaskular, menilai aliran darah sinus dan vena. Angiografi dilakukan hanya jika direncakan dilakukan embolisasi preoperasi untuk mengurangi resiko perdarahan intraoperatif.Gambaran radiografi yang tidak khas seperti kista, perdarahan, dan nekrosis sentral seringkali menyerupai gambaran glioma dan muncul pada sekitar 15% kasus meningioma. Meningioma malignan sering menunjukan gambaran destruksi tulang, nekrosis, gambaran iregular, dan edema yang luas. Diagnosis banding secara radiografi meliputi metastasis dural, tumor meningeal primer lain, granuloma dan aneurisma. Metastasis seringkali dikaitkan dengan edema luas dan destruksi tulang sementara meningioma dikaitkan dengan edema sedang dan hiperostosis.

2.4.7. Tatalaksana MeningiomaSetelah diagnosis meningioma dapat ditegakan, permasalahan berikutnya adalah memutuskan diperlukan tindakan pembedahan atau tidak. Beberapa meningioma sering timbul tanpa gejala, hadir tiba-tiba dengan kejang, atau melibatkan struktur tertentu sehingga reseksi hampir mustahil dilakukan. Tumor jenis ini tidak memerlukan intervensi segera dan dapat dipantau bertahun-tahun tanpa menunjukan pertumbuhan yang berarti. Jika pasien menunjukan gejala yang signifikan seperti hemiparesis, atau ada progresi yang jelas terlihat melalui pencitraan radiologi, maka diperlukan intervensi segera. Sampai saat ini, penatalaksanaan yang paling penting adalah dengan pembedahan.1) PembedahanPembedahan merupakan penatalaksanaan primer untuk meningioma. Tujuan utamanya adalah mengangkat jaringan tumor sebanyak-banyaknya tanpa kehilangan fungsi otak. Eksisi komplit dapat menyembuhkan kebanyakan meningioma. Faktor-faktor yang berperan dalam pembedahan meliputi lokasi dari tumor, defisit nervus kranialis preoperasi, vaskularitas, invasi dari sinus venosus, dan keterlibatan arteri. Reseksi sebagian dapat menjadi pilihan jika pengangkatan seluruh tumor dapat mengakibatkan kehilangan banyak fungsi otak.Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, meningioma digolongkan ke dalam 3 grup berdasarkan resiko pembedahannya. Cara penggolongannya menggunakan algoritme CLASS, yakni Comorbidity (komorbiditas), Location (lokasi), Age (umur pasien) Size (ukuran tumor), Symptoms and signs (tanda dan gejala). Grup 1 dengan skor CLASS lebih dari +1, memiliki angka keberhasilan yang tinggi, yakni pada 98,1% kasus. Grup 2 dengan skor 0 sampai -1 memiliki hasil yang buruk pada sekitar 4% kasus. Sementara grup 3 dengan skor di bawah -2 memiliki hasil paling buruk yakni 15% dari seluruh kasus.Teknik terbaru saat ini adalah dengan memanfaatkan rekonstruksi 3 dimensi dengan komputer untuk membantu ahli bedah dalam merencanakan prosedur operasi. MRI intraoperasi dapat menunjukan gambaran langsung selama pembedahan. Embolisasi preoperasi dilakukan untuk mengurangi vaskularitas tumor, memfasilitasi pengangkatan tumor, dan mengurangi resiko perdarahan. Embolisasi pada ekor dura dapat mengurangi resiko kekambuhan. Namun prosedur ini tidak banyak dilakukan mengingat tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas maupun personel yang terlatih dalam bidang ini.Tindakan pembedahan mampu menghilangkan beberapa gejala neurologis, kecuali neuropati kranial yang seringkali sulit dihilangkan. Angka morbiditas akibat pembedahan bervariasi antara 1-14%. Setelah reseksi komplit, angka kekambuhan untuk meningioma grade rendah adalah sekitar 20% dalam 5 tahun pertama dan 25% dalam 10 tahun. Jika tumor muncul kembali, harus dipertimbangkan untuk dilakukan reseksi ulang. Secara umum, angka harapan hidup 5 tahun untuk pasien berusia di bawah 65 tahun adalah sekitar 80%, dan menurun mendekati 50% untuk pasien di atas 65 tahun.2) RadioterapiIndikasi dilakukannya terapi radiasi adalah tumor residual / sisa setelah tindakan pembedahan, tumor berulang, dan riwayat atipikal atau malignan. Radioterapi digunakan sebagai terapi primer jika tumor tidak dapat dicapai melalui pembedahan atau ada kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan. Regresi total terlihat pada 95% pasien dalam 5 tahun pertama dan 92% dalam 10 dan 15 tahun setelah dilakukan radioterapi dengan atau tanpa eksisi subtotal. Angka regresi tumor untuk 10 tahun pada pasien yang dilakukan kombinasi reseksi subtotal dan radiasi adalah 82%, sementara pada pasien yang hanya dilakukan reseksi subtotal adalah 18%. Waktu kekambuhan sekitar 125 bulan pada pasien yang mendapat terapi kombinasi dan 66 bulan pada pasien yang menjalani reseksi subtotal saja. Pada tumor malignan, angka harapan hidup 5 tahun setelah pembedahan dan radiasi adalah 28%. Angka kekambuhan tumor maligna adalah 90% setelah reseksi subtotal dan 41% setelah terapi kombinasi.3) Terapi MedisInterferon saat ini sedang diteliti sebagai inhibitor angiogenesis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah yang mensuplai tumor. Interferon dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kekambuhan dan meningioma maligna. Hidroxyurea dan obat-obat kemoterapi lain diyakini dapat memulai proses kematian sel atau apoptosis pada sebagian meningioma. Namun pada uji coba klinis, obat ini dianggap gagal karena meningioma bersifat kemoresisten. Inhibitor dari receptor progesteron seperti RU-486 juga sedang dievaluasi sebagai pengobatan untuk meningioma. Namun percobaan klinik terbaru, RU-486 tidak menunjukan perbaikan apapun. Begitu juga dengan terapi antiestrogen yang tidak menunjukan perbaikan nyata ssecara klinis pada percobaan. Beberapa agen molekular seperti penghambat receptor faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth Factor Receptor / EGFR), inhibitor receptor faktor pertumbuhan derivat platelet (Platelet Derived Growth Factor Receptor / PDGFR), dan penghambat tirosin kinase masih diuji coba secara klinis. Kebanyakan uji coba ini terbuka untuk pasien dengan meningioma yang tidak dapat dioperasi atau yang mengalami kekambuhan. Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengontrol edema sekitar tumor namun tidak dapat digunakan dalam jangka panjang karena efek sampingnya yang merugikan.

DAFTAR PUSTAKA1. Arthur, H. 2012. Neurologi : Ringkasan Topik Lesi desak Ruang Intrakranial dan Neoplasma Otak.2. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010. Hal: 358-370.3. Bradley, Walter G. 2000. Neuro-Oncology in Pocket Companion to Neurology in Clinical Practice edisi 3. Butterworth. Botson.4. Brunton, LL. Goodman and Gilmans Pharmacology. Boston: McGraw-Hill. 2006.5. Current Diagnosis & Treatment in Family Medicine.6. Eccher M, Suarez JI. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics. In : Suarez JI, ed. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey : Humana Press7. Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi-8. Erlangga Medical Series. Jakarta. 74-758. Gladstein. Migraine headache-Prognosis. Diunduh dari : http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_migraines_000097_2.htm9. Goadsby, J Peter. 2009. Treatment of Cluster Headache. Headache Group. Department of Neurology University of California. San Francisco. Diunduh dari : www.AmericanHeadacheSociety.org.10. Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 11. ICSI. 2011. Health Care Guideline : Diagnosis and Treatment of Headache.12. ISH Classification ICHD II ( International Classification of Headache Disorders). Diunduh dari : http://ihs-classification.org/_downloads/mixed/ICHD-IIR1final.doc13. Iskandar, Japardi. 2002. Gambaran CT Scan Pada Tumor Otak Benigna : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1991/1/bedah-iskandar%20japardi11.pdf14. Katzung, Bertram. Basic and Clinical Pharmacology. 10th edition. Boston: McGraw Hill. 2007.15. Lumbantombing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 200416. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 jilid 2. Media Aeusclapius. Jakarta. 17. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004. hal 303-20 & 374-75.18. Misbach J. Hamid AB, Mayza A. Standar Pelayanan Medis dan Standar Prosedur Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.19. Pertemuan Nasional III Nyeri, Nyeri Kepala & Vertigo PERDOSSI, Solo, 4 - 6 Juli 200820. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006. hal : 231-236 & 485-90.21. Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Halaman 359.22. Raskin, Neil H. Headache. Harisons Internal Medicine.23. Sidharta, Priguna. Tension Headache dalam Kumpulan naskah Headache. FKUI. Jakarta.24. Syamsjuhidayat, R, dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC.64