Case Paraplegi

download Case Paraplegi

of 42

Transcript of Case Paraplegi

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    1/42

    STATUS PASIEN

    I. IDENTITAS

    - Nama : Tn. M

    - Jenis Kelamin : Laki-laki

    - Usia : 56 tahun

    - Alamat : Tanjung RT 01 RW 03, kec Tanjung, Brebes

    - Status Pernikahan : Menikah

    - Suku : Jawa

    - Pekerjaan :

    - Pendidikan Terakhir : SMP

    - Tanggal Masuk RS : 11 februari 2013

    II. ANAMNESA

    - Keluhan Utama:

    Tidak bisa berbicara sejak 2 hari SMRS

    - Keluhan tambahan :

    Badan lemas,mual,muntah,pusing dan sulit berjalan

    - Perjalanan Penyakit:

    Os dibawa ke UGD RSUD Kariadi karena tidak bisa berbicara sejak dua hari SMRS . Tiga

    hari SMRS, os mengaku badannya teras lemas, namun saat itu os masih bisa berbicara. Dua

    hari SMRS, os mengaku saat bangun tidur badan terasa semakin lemas dan mendadak jadi

    sulit untuk berbicara. Os juga mengaku kalau kaki kanannya terasa berat pada saat berjalan.

    Satu hari SMRS, os mengaku tidak bisa berbicara dan kaki kanannya terasa semakin berat

    serta tidak bisa digerakkan sehingga sulit untuk berjalan. Os juga mengeluh perutnya mual

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 1

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    2/42

    dan muntah setiap habis makan dan minum. Os mengaku sebelumnya tidak pernah

    merasakan keluhan ini. Os juga menyangkal adanya demam, sakit kepala, pingsan,riwayat

    jatuh dan trauma di kepala. BAK dan BAB tidak ada keluhan.

    - Riwayat Penyakit Dahulu:

    Os mengaku memiliki riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu. Os kemudian berobat ke

    puskesmas dan diberi obat untuk darah tingginya, tetapi os jarang minum obatnya dan tidak

    pernah kontrol ke dokter kembali . Os menyangkal adanya kencing manis,sakit ginjal, asma,

    stroke dan penyakit jantung. Os tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun obat-obatan.

    - Riwayat Penyakit Keluarga:

    Os mengatakan bahwa kakak kandungnya menderita kencing manis dan ibunya juga

    mempunyai riwayat darah tinggi serta stroke. Riwayat penyakit jantung, paru, ginjal maupun

    alergi terhadap makanan atau obat.

    Riwayat makanan dan kebiasaan

    Pasien menyangkal memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol dan merokok.Pasien mengaku sering mengkonsumsi sayur, buah-buahan dan selalu menjaga kebersihan

    mulutnya.

    ANAMNESIS SISTEM

    Sistem cerebrospinal : Demam (-)

    Kejang (-)

    Sakit kepala (+)

    Parese (-)

    Sistem kardiovaskuler : Jantung berdebar-debar (-)

    Nyeri dada (-)

    Hipertensi (-)

    Sistem Pernafasan : Batuk (-)

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 2

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    3/42

    Pilek (-)

    Sesak nafas (-)

    Nyeri dada (-)

    Sistem gastrointestinal : Mual (-)

    Muntah (-)

    Diare (-)

    Nyeri perut (-)

    Dapat menahan BAB (+)

    Kesulitan menelan (-)

    Nafsu makan berkurang (+)

    Sistem Urogenital : BAK terkontrol

    Nyeri (-)

    Panas (-)

    Dapat menahan BAK (+)

    Sistem integumentum : Ruam-ruam (-)

    Kemerahan (-)

    Gatal (-)

    Sistem muskuloskeletal : Nyeri pada punggung (-)

    Nyeri pinggang (+)

    I. PEMERIKSAAN FISIK

    Keadaan umum : Tampak sakit sedang

    Kesadaran :

    Kualitatif : Compos mentis

    Kuantitatif : E4V5M6

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 3

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    4/42

    Tanda vital :

    Tekanan darah: mmHg

    Nadi : 72 x / menit

    Suhu : 36 oC

    Pernafasan : 20 x / menit

    Kepala

    Bentuk kepala : Normochepali

    Rambut : berwarna hitam

    Wajah : Simetris, pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), tidak ada nyeri

    tekan sinus frontal dan maxilla

    Mata : Ptosis (-), conjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/-, pupil

    bulat, isokor kanan-kiri, diameter 3mm, nystagmus (-), gerak

    bola mata baik

    Telinga : Normotia, serumen (+/+), sekret (-)

    Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), septum deviasi (-),

    sekret (-)

    Tenggorokan : Tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (-),deviasi uvula (-)

    Bibir : Simetris, sianosis (-)

    Leher : Kaku kuduk (-), tidak teraba pembesaran pada KGB

    Thorax

    Paru paru

    Inspeksi : Gerak nafas simetris pada kedua hemithorax, retraksi otot

    otot pernafasan (-)

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 4

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    5/42

    Palpasi : Vocal fremitus simetris pada kedua hemithorax, nyeri tekan

    (-)

    Perkusi : Sonor pada kedua hemithorax

    Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-

    Jantung

    Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

    Palpasi : Ictus cordis teraba pada midclavicula ICS 5

    Perkusi : Tidak dilakukan

    Auskultasi : BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-)

    Abdomen

    Inspeksi : Perut datar

    Auskultasi : Bising usus 3x/menit

    Palpasi : Nyeri tekan (-)

    Perkusi : Timpani

    Ekstremitas

    Akral hangat +/+

    Akral oedem -/-

    II. STATUS NEUROLOGIS

    Kesadaran

    Kuantitatif : GCS15 (E4V5M6)

    Kualitatif : Compos mentis

    Orientasi : Baik

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 5

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    6/42

    Kemampuan Bicara : Tidak Dapat Berbicara

    Reflek fisiologis

    Extremitas superior Kanan Kiri

    Biceps + +

    Triceps + +

    Ekstremitas inferior

    Patella + +

    Achilles + +

    Refleks Patologis

    Ekstremitas superior Kanan Kiri

    Hoffman Tromner : - -

    Ekstremitas inferior

    Babinsky : - -

    Chaddock : - -

    Gordon : - -

    Schaeffer : - -

    Klonus patella : - -

    Klonus achilles : - -

    Tanda rangsang Meningeal

    Kaku kuduk : - -

    Brudzinski I : - -

    Brudzinski II : - -

    Kernig : - -

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 6

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    7/42

    Laseque : - -

    Peningkatan tekanan intrakranial :

    Penurunan kesadaran : (-)

    Muntah proyektil : (-)

    Sakit kepala : (-)

    Edema papil : tidak dilakukan pemeriksaan

    Saraf Kranial

    Nervus I olfaktorius : Normosmia

    Nervus II Optikus Kanan Kiri

    Ketajaman penglihatan : Baik Baik

    Funduskopi : Tidak di lakukan

    Menilai warna : Tidak di lakukan

    Test konfrontasi : Tidak di lakukan

    Nervus III Okulomotorius

    Ptosis : - -

    Gerakan mata ke media : + +

    Gerakan mata ke atas : + +

    Gerakan mata ke bawah : + +

    Bentuk pupil : bulat,isokor bulat,isokor

    Reflek cahaya langsung : + +

    Reflek cahaya langsung : + +

    Reflek akomodatif : + +

    Strabismus divergen : - -

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 7

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    8/42

    Diplopia : - -

    Nervus IV Trochlearis

    Gerakan mata ke lateral bawah: + +

    Strabismus konvergen : - -

    Diplopia : - -

    Nervus V Trigeminus

    Bagian motorik

    Menggigit : + +

    Membuka mulut : + +

    Bagian sensorik

    Ophtalmik : baik baik

    Maxila : baik baik

    Mandibulla : baik baik

    Reflek kornea : baik baik

    Nervus VI Abdusen

    Gerakan mata ke lateral : + +

    Strabismus konvergen : - -

    Diplopia : - -

    Nervus VII Facialis

    Fungsi Motorik

    Mengerutkan dahi : + +

    Mengangkat alis : + +

    Memejamkan mata : + +

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 8

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    9/42

    Tinggi alis : simetris kanan dan kiri

    Menyeringai : tidak simetris (tertarik ke kiri)

    Mengembungkan pipi : tidak dapat dilakukan

    Mencucukan bibir : bisa mencucukan bibir

    Glabella : - -

    Chovstek : - -

    Fungsi pengecapan

    2/3 depan lidah : baik

    Nervus VIII Vestibulo cochlearis

    Mendengar suara berbisik : + +

    Tes rinne : tidak dilakukan

    Tes weber : tidak dilakukan

    Test Scwabah : tidak dilakukan

    Nistagmus : - -

    Past pointing : - -

    Nervus IX,X Glosofaringeus, Vagus

    Arcus faring : simetris

    Uvula : simetris

    Reflek muntah : -

    Tersedak : -

    Disartria : -

    Suara sengau : -

    Daya kecap 1/3 lidah : tidak dilakukan

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 9

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    10/42

    Nervus XI Aksesorius

    Mengangkat bahu : + +

    Menoleh : + +

    Nervus XII Hipoglossus

    Menjulurkan lidah : baik

    Atrofi : Tidak ada

    Artikulasi : tidak baik

    Tremor : -

    Ekstremitas Superior

    Kekuatan Motorik : 5555 5555

    Kanan Kiri

    Tonus otot : normal normal

    Trofi : eutrofi eutrofi

    Gerakan : dalam batas normal dalam batas normal

    Ekstremitas Inferior

    Kekuatan Motorik :

    5555 5555

    Kanan Kiri

    Tonus otot : normal normal

    Trofi : eutrofi eutrofi

    Gerakan : baik baik

    Gerakan involunter :

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 10

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    11/42

    Tremor : - -

    Chorea ; - -

    Ballismus : - -

    Athetose : - -

    Sistem Sensorik

    Eksteroseptif:

    - Nyeri : dalam batas normal

    - Suhu : tidak dilakukan

    Proprioseptif

    - Vibrasi : tidak dilakukan

    - Posisi : dalam batas normal

    - Tekan dalam : dalam batas normal

    Fungsi Keseimbangan dan Koordinasi

    Test Rhomberg : baik

    Disdiadokinesa : baik

    Tandem gait : baik

    Jari-jari : baik

    Jari-hidung : baik

    Tumit lutut : baik

    Rebound Phenomenon : -

    Tremor : -

    Khorea : -

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 11

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    12/42

    Fungsi Vegetatif

    Miksi : +

    Inkontinensia urine : -

    Defekasi : +

    Inkontinensia alvi : -

    Fungsi Luhur

    Astereognosia : -

    Apraksia : -

    Afasia : +

    Keadaan Psikis

    Intelegensia : baik

    Demensia : (-)

    Tanda regresi : (-)

    IV.PEMERIKSAAN LABORATORIUM

    16 Oktober 2012

    - Hemoglobin : 8,7 g/dl ( N: 12-16)

    - Eritrosit : 5,4 [10^6/uL] (N: 4,2-5,4)

    - Leukosit : 5,2 /uL[10^3/Ul] (N: 4,8-10,8)

    - Hematokrit : 27,7 % (N: 37-47)

    - Trombosit : 522 /uL [10^3/Ul] (N:150-450)

    - MCV : 51,0 fl (N: 79.00-99.00)

    - MCH : 16,0 pg (N: 27.0-31.0)

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 12

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    13/42

    - MCHC : 31,4 g/dl (N: 33.0-37.0)

    DIFFCOUNT

    - Neutrofil : 52,0 [%] (N:50-70)

    - Lymfosit : 31,9 [%] ( N:25-40)

    - Monosit : 11,7 [%] ( N:2-8 )

    - Eosinofil : 4 [%] ( N:2-4 )

    - Basofil : 0,2 [%] ( N:0-1 )

    LAJU ENDAP DARAH- LED 1 : 9 mm/jam (N: 0-15)

    - LED 2 : 16 mm/jam (N: 0-20)

    KIMIA DARAH

    - Gulokosa sewaktu : 93 mg/d (N: 70-160)

    - SGOT : 16,6 u/L (N: 0-31)

    - SGPT : 10,3 u/L (N: 0-32)

    - Ureum : 15 mg/dl (N: 10-50)

    - Kreatinin : 0,51 mg/dl (N: 0,6-1,2)

    SERO IMONOLOGI

    - HbsAg : Negatif Negatif

    19 Oktober 2012

    - Hemoglobin : 8,6 g/dl ( N: 12-16)

    - Eritrosit : 4,8 [10^6/uL] (N: 4,2-5,4)

    - Leukosit : 5,5 /uL[10^3/Ul] (N: 4,8-10,8)

    - Hematokrit : 27,4 % (N: 37-47)

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 13

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    14/42

    - Trombosit : 457 /uL [10^3/Ul] (N:150-450)

    - MCV : 57,2 fl (N: 79.00-99.00)

    - MCH : 18,0 pg (N: 27.0-31.0)

    - MCHC : 31,4 g/dl (N: 33.0-37.0)

    V.PEMERIKSAAN RADIOLOGI

    - Thorak

    III. RESUME

    Pasien wanita, usia 44 tahun, dibawa ke UGD karena tidak bisa berjalan sejak 1 minggu

    SMRS, kedua kaki tidak bisa digerakkan dan kesemutan yang makin bertambah. Tidak

    bisa BAK sejak 1 hari SMRS, BAB sulit.

    Sejak 2 minggu yang lalu os mengeluh kaki terasa lemas dan kesemutan. Os mengaku

    sedang dalam pengobatan paru sejak 1 bulan yang lalu, os juga memiliki sakit kencing

    manis. Os menyangkal riwayat jatuh sebelumnya, nyeri pinggang yang menjalar, demam,

    dan perubahan postur tubuh.

    Pada pemeriksaan fisik ditemukan:

    Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

    Kesadaran : compos mentis

    Tanda Vital:

    Tekanan darah: 110/70 mmHg

    Nadi : 80x/menit

    Suhu : 36,70C

    Pernapasan : 20x/menit

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 14

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    15/42

    Status generalis : dalam batas normal.

    Status neurologis : GCS E4M6V5

    Tanda Rangsang Meningeal: dalam batas normal

    Saraf kranialis : dalam batas normal

    Sistem motorik : kekuatan otot pada kedua tungkai menurun 0 0 2 2 / 2 2 0 0

    Sistem sensorik : rasa nyeri negative sampai setinggi T10, rasa raba negative sampai

    setinggi L1

    Refleks fisiologis : refleks patella - / -

    Refleks patologis : babinski +/+

    Columna vertebralis: sulit dinilai

    Test provokasi: dalam batas normal

    IV. DIAGNOSIS

    Diagnosis Klinis :

    Paraplegi tipe UMN fase akut

    TB paru dupleks aktif

    DM tipe II

    Retensi urine

    Diagnosis Topis :

    1. Medulla spinalis setinggi level torako-lumbal

    Diagnosis Etiologi:

    1. Spondilitis TB

    V. PENATALAKSANAAN

    Non medikamentosa:

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 15

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    16/42

    Edukasi : mobilisasi miring kanan kiri untuk menghindari ulkus dekubitus

    Stabilisasi tulang belakang dengan menggunakan brace

    Diet biasa untuk perbaiki gizi

    Pemasangan kateter

    Melatih otot panggul agar bisa BAK normal

    Medikamentosa:

    Ceftriaksone inj 2x1 gr

    Sansulin R 3 x 10 iu

    OAT (Rifampisin, Isoniazid, pirazinamid, etambutol) minimal selama 9 bulan

    Microlax untuk mengatasi BAB yang sulit

    Operatif :

    Indikasi absolut

    Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan

    bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga

    terjadi kelemahan motorik.

    Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan

    terapi konservatif

    Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah

    diberi terapi konservatif

    Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah

    baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau

    terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.

    Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang

    besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga

    disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 16

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    17/42

    Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya

    sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari

    6 bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi

    konservatif)

    VI. PROGNOSIS

    Ad vitam : bonam

    Ad fungsionam : dubia ad bonam

    Ad sanationam : dubia ad bonam

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 17

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    18/42

    TINJAUAN PUSTAKA

    SPONDILITIS TUBERKULOSA

    I. Pendahuluan

    Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan namaPotts disease of the

    spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di

    seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit

    ini(1). Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan

    adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi haltersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch

    tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas(2,3). Di waktu yang lampau,

    spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak,

    yang terutama berusia 3 5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka

    insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering

    terkena dibandingkan anak-anak(3).

    Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan

    hasil yang baik, namun pada kasus kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan

    rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan

    operatif.

    II. Epidemiologi

    Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan

    kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara

    tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada

    negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan

    penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang

    atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun

    terakhir(2,4,5,6,7). Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami

    peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut

    infeksi HIV (Medical Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980)(2,5). Selain itu dari

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 18

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    19/42

    penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah

    kelompok beresiko besar terkena penyakit ini(8).

    Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa, dengan usia

    rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus

    terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan

    insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong(7,8,9).

    Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih

    10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai

    fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar

    (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut,

    tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang 2 (kurang lebih

    50% kasus)(Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di

    kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal

    bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat

    karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearingmencapai maksimum, lalu dikuti

    dengan area servikal dan sakral(2,3,4,9,10).

    Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang

    sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non

    traumatik(7). Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan

    anakanak.

    Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang,

    kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini(2,7).

    III. Etiologi

    Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering

    menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang

    lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum

    (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-

    tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV)(7,10). Perbedaan jenis spesies ini

    menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.

    Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile

    dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-

    Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 19

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    20/42

    dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristikMycobacterium tuberculosis

    dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain(2).

    IV.Patogenesa

    Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim

    lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat

    diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid,

    protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang

    pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang dihasilkannya juga

    dapat juga bersifat immunosupresif (Wood and Anderson 1988; Dunlop and Briles 1993)(2).

    Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan menentukan

    perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyaiprogresi yang cepat ; demam, retensi

    urine dan paralisis arefleksi dapat terjadidalam hitungan hari. Respon seluler dan kandungan protein

    dalam cairan serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi basil tuberkulosa sendiri jarang dapat

    diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan menunjukkanperjalanan penyakit

    yang lebih lambat progresifitasnya, jarang menimbulkanmeningitis serebral dan infeksinya bersifat

    terlokalisasi dan terorganisasi (Kocenand Parsons 1970)(2).

    Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa tergantung dari(10):

    1. Usia dan jenis kelamin

    Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa pubertas.

    Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah. Hingga

    usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier

    dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara hematogen.

    Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena penyakit

    tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa

    seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi. Sebelum pubertas, lesi primer di paru

    merupakan lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas seperti pada orang dewasa dapat

    juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama perempuan usia 10-14

    tahun. Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam mencegah

    penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di

    paru-paru.

    Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita

    cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 20

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    21/42

    kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara

    usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.

    2. Nutrisi

    Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan resistensi

    terhadap penyakit.

    3. Faktor toksik

    Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan tubuh.

    Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.

    4. Penyakit

    Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia meningkatkan

    resiko terkena penyakit tuberkulosa.

    5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)

    Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman yang

    padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan

    menurunkan daya tahan tubuh.

    6. Ras

    Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika asli,

    mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.

    V. Patologi

    Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran

    langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa

    yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer

    tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari system

    pulmoner dan genitourinarius(2,5,7,8,10).

    Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru

    sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).

    Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah

    ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas

    vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi columna vertebralis yang

    menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70%

    kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20%

    kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra(3,4,10). Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus

    vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis(7,9):

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 21

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    22/42

    1. Peridiskal / paradiskal

    Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum

    longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat

    menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.

    2. Sentral

    Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai

    tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih

    dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih

    hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di

    temukan di regio torakal.

    3. Anterior

    Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya.

    Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari

    sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik

    yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior

    atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.

    4. Bentuk atipikal :

    Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat

    diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan

    lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang

    (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler

    yang berada di sendi intervertebral posterior.

    Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar

    antara 2%-10%. Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area

    infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus

    vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebrae yang

    berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung

    melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan

    oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses

    paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan

    pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan

    tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih

    resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi

    paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 22

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    23/42

    vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan

    kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya

    endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.

    Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan

    hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi

    kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan

    timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat

    kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal

    tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.

    Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area lumbar

    hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat badan

    ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal,

    kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat

    badan disalurkan melalui prosesus artikular(3).

    Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk

    menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrelchest(8).

    Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan kalsifikasi

    jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga

    mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps(8).

    Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus

    vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum

    tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal

    anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang

    bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya.

    Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha

    dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum longitudinal menghambat jalannya abses,

    tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit

    dibawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur ke dalam

    mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai sarang burung.

    Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada anterior di area parasternal, memasuki area

    retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher(3).

    Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan

    spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis)

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 23

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    24/42

    atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan

    dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis).

    Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama

    Potts paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya

    penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada

    penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia

    kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin

    untuk kejadian ini.

    VI.Potts Paraplegia

    Sorrel-Dejerine mengklasifikasikanPotts paraplegia menjadi(3,7):

    1. Early onset paresis

    Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit

    2. Late onset paresis

    Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit

    Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi

    tiga tipe:

    1. Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut

    Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan dengan

    penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).

    2. Type II

    Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen bahkan

    walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.

    Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh

    karena :

    a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater

    Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses,

    material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau dislokasi

    patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat gerak

    bawah dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot

    involunter dan reflekwithdrawal.

    b. Invasi duramater oleh tuberkulosa

    Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa. Secara

    klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot involunter

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 24

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    25/42

    dan reflekwithdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya

    kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses,

    gangguan sensoris dan paraplegia.

    3. Type III / yang berjalan kronis

    Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat membaik. Bisa

    terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis meningen dan adanya

    jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik

    ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah yang

    mensuplai corda spinalis).

    Klasifikasi untuk penyebabPotts paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh

    Hodgson menjadi (11):

    I. Penyebab ekstrinsik :

    1. Pada penyakit yang aktif

    a. abses (cairan atau perkijuan)

    b. jaringan granulasi

    c. sekuester tulang dan diskus

    d. subluksasi patologis

    e. dislokasi vertebra

    2. Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan

    a. transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis

    b. fibrosis duramater

    II. Penyebab intrinsik :

    Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan meningen dan corda

    spinalis.

    III. Penyebab yang jarang :

    1. Trombosis corda spinalis yang infektif

    2. Spinal tumor syndrome

    VII. Penegakkan Diagnosa (1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)

    Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor(7). Biasanya

    onsetPott's diseaseberjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.

    Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga

    tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 25

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    26/42

    Anamnesa dan inspeksi :

    1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,

    demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta

    cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain

    di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada

    pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya

    berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.

    2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai

    nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus,

    tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.

    3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.

    Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan

    atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri

    yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri

    dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan

    beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi

    kaku.

    4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki

    pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

    5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,

    mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga

    oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat

    bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien

    juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses,

    maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada

    anak, akan mendorong trakhea kesternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan

    menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada

    orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi

    atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab

    kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu

    diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal

    (Lal et al. 1992).

    6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila

    berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 26

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    27/42

    mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan

    punggungnya tetap kaku (coin test) Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di

    bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan

    lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat

    menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.

    7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi

    di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam

    pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan

    dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan

    meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan

    deformitas fleksi sendi panggul.

    8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang),

    skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.

    Gambar 7.2 Tuberculosis spinal : gibbus. Tampakhump di

    tulang belakang karena kolapsnya korpus vertebra (Dari : Miller F, Horne N, Crofton

    SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.: London :

    Macmillan Education Ltd, 1999 :

    9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi

    pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di

    temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak

    spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola

    jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi

    gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 27

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    28/42

    10.Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut

    seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun

    sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

    Palpasi :

    1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit

    diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses

    piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka,

    retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung

    dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak

    ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.

    2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang

    terkena.

    Perkusi :

    1. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus

    vertebrae yang terkena, sering tampaktenderness.

    Pemeriksaan Penunjang :

    1. Laboratorium :

    1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.

    1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD)

    positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisipemaparan dahulu maupun yang baru

    terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area

    berindurasi,kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam

    setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada 20% kasus (Tandon and Pathakn

    1973; Kocen 1977) dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang

    immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai

    penyakit lain)

    1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas

    lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)

    1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.

    1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid,

    paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan

    dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.

    1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).

    Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC.

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 28

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    29/42

    Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.

    Cairan serebrospinal akan tampak:

    Xantokrom

    Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal. Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya

    bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen and Parsons 1970;

    Traub et al 1984).

    Kandungan protein meningkat.

    Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat

    mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.

    Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal akanmenunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap

    kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering

    diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini

    (Wadia 1973). Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok

    spinal dapat mencapai 1-4g/100ml.

    Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang

    absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.

    2. Radiologis :

    Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

    Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di

    paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).

    Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa

    di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.

    Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.

    Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior corpus

    vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan

    diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk

    scallopingkarena penyebaran infeksi dari area subligamentous (gb.7.3).

    Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus

    spinosus.

    Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita scoliosis

    (jarang)

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 29

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    30/42

    Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah lama

    akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra

    yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal

    dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang

    lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak

    terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum

    menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.

    Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak

    bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan

    tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau

    tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah

    penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran

    abses).

    Gambar 7.3 Tuberkulosis spinal : diagram X-ray.

    Tampak destruksi dari vertebra yang berdekatan dan penyempitan ruang diskus. (Dari :

    Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd

    ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62).

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 30

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    31/42

    3. Computed Tomography Scan (CT)

    Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat

    pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan

    CT Scan.

    4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

    Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang

    bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk :

    Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau operatif.

    Membantu menilai respon terapi. Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang

    kecil dan kalsifikasi di abses.

    5.Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin diperlukan pada

    kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan histologi yang baik (untuk

    menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50% kasus).

    6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral yang diperiksa

    secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian dapat

    diinokulasi di dalamguineapig.

    VIII. Komplikasi(4,10,6,)

    1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural

    sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis

    (contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan

    korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa

    buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada

    tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau

    karena invasi dura dan corda spinalis.

    2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.

    IX. Diagnosa Banding(6,8,10)

    1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya sklerosis

    atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik.

    Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan

    adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.

    2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan

    laboratorium.

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 31

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    32/42

    3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilic granuloma,

    aneurysma bone cyst dan Ewings sarcoma) Metastase dapat menyebabkan destruksi dan

    kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang

    diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk

    yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.

    4. Scheuermanns disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak

    adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian

    anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

    X. Manajemen terapi(2,7,8)

    Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :

    1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit

    2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis Untuk mencapai tujuan itu

    maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :

    A. TERAPI KONSERVATIF

    1. Pemberian nutrisi yang bergizi

    2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa(4,2,7,9)

    Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapipada seluruh kasus

    termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara

    signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan

    100 pasien di India yang menjalaniterapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang

    menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara

    yangbelum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatupilihan yang

    baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harusmenunda pemberian terapi.

    Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatupemantauan yang ketat

    selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa

    memakan waktu lama (kurang lebih6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar sehingga

    situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa

    bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat

    antituberculosa juga merupakan suatu bentuk penegakkandiagnostik(7,8).

    Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :

    o Resistensi primer

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 32

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    33/42

    Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang sebelumnya

    belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat baik itu SM

    ataupun INH. Jarang terjadi resistensi terhadap RMP atau EMB(Glassroth et al.

    1980). Regimen dengan dua obat yang biasa diberikan tidak dapat dijalankan pada

    kasus ini.

    o Resistensi sekunder

    Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang awalnya

    masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut. The Medical Research Council telah

    menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang

    berkembang adalah kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin

    selama 6 9 bulan. Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya

    dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan

    selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang.

    Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien.

    Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang

    kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan

    biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya

    relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.

    Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP),

    pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).

    Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide,

    cycloserine, kanamycin dan capreomycin. Di bawah adalah penjelasan singkat dari

    obat anti tuberkulosa yang primer:

    Isoniazid (INH)

    Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler

    Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.

    Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.

    Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.

    Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien

    berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara

    relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).

    Relatif aman untuk kehamilan

    Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari 300 mg/hari

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 33

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    34/42

    Rifampin (RMP)

    Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat

    dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.

    Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah(seperti pada nekrosis perkijuan).

    Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam

    bentuk sediaan oral dan intravena.

    Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan

    serebrospinal.

    Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus

    gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent

    peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.

    Relatif aman untuk kehamilan

    Dosisnya : 10 mg/kg/hari 600 mg/hari.

    Pyrazinamide (PZA)

    Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang

    bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam

    lesi perkijuan.

    Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.

    Efek samping :

    Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan

    dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam

    jangka pendek. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang

    tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam

    urat.

    Dosis : 15-30mg/kg/hari

    Ethambutol (EMB)

    Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler

    Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

    Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta

    warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya centralscotoma.

    Relatif aman untuk kehamilan

    Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 34

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    35/42

    Dosis : 15-25 mg/kg/hari

    Streptomycin (STM)

    Bersifat bakterisidal

    Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehinggadipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.

    Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

    Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo

    (terutama sering mengenai pasien lanjut usia)

    Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal

    Dosis : 15 mg/kg/hari 1 g/kg/hari

    Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih kontroversial. Obat ini

    membantu pasien yang terancam mengalamispinalblockdisamping mengurangi oedema jaringan

    Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis

    dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.

    3. Istirahat tirah baring (resting)(3,4,7,8,9)

    Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local restpada turning frame / plaster bed

    atau continous bed restdisertai dengan pemberian kemoterapi.Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan

    dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah

    teknik yang terlalu membahayakan.

    Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi

    ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk

    mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur

    dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda

    klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya

    spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara

    laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada

    pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.

    Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket

    Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast

    jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 35

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    36/42

    body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama

    immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita

    diperbolehkan berobat jalan. Terapi untuk Potts paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu

    immobilisasi di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah

    baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah penting.

    Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan

    regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal

    ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan

    dekompresi.

    Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus menjalani kontrol secara

    berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan,

    maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan

    kaseonekrotik dan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta

    kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.

    B. TERAPI OPERATIF

    Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami perbaikan dengan

    pemberian kemoterapi saja (Medical Research Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat

    untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya

    kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6

    minggu(2,10).

    Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan

    tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi

    spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus

    tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen

    tulang belakang yang terlibat(9).

    Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan

    bila(4,6,7) :

    1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi

    2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan

    3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase

    4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau kifosis

    berat saat ini

    5. Penyakit yang rekuren

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 36

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    37/42

    Potts paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi (Hodgson) akan

    tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi

    operasi menjadi(11) :

    A. Indikasi absolut

    1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila timbul tanda

    dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan motorik.

    2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi konservatif

    3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah diberi terapi

    konservatif

    4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring dan

    immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis

    karena tekanan pada kulit.

    5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar yang tidak

    biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena trombosis

    vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa

    6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya sensibilitas

    secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi

    segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)

    B. Indikasi relatif

    1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya

    2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena kemungkinan pengaruh

    buruk dari immobilisasi

    3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau kompresi syaraf

    4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu

    C. Indikasi yang jarang

    1. Posterior spinal disease

    2. Spinal tumor syndrome

    3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal

    4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina

    Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui pendektan dari arah

    anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di anterior maka operasi dilakukan melalui

    pendekatan arah anterior dan anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi

    dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan pendekatan dari arah

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 37

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    38/42

    anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur yang dilakukan hampir di setiap pusat

    kesehatan(9,).

    Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa tetaplah penting.

    Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan. Pendapat lain

    menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara

    langsung dengan pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang mati

    dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi oleh

    autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong

    penyembuhan yang cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan

    vertebra yang terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih

    korpus vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi tulang

    terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior(3,9).

    Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan bracing

    merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang tidak mempunyai

    perlengkapan untuk operasi spinal anterior(6). Terapi operatif juga biasanya selain tetap disertai

    pemberian kemoterapi, dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya

    menggunakanspinal bracing(9).

    Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu periode tirah baring

    diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO direkomendasikan hingga fusi menjadi

    berkonsolidasi(7).

    Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu. Pada pasien dengan

    intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika ukuran lesi tidak berkurang dengan

    pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat soliter.

    Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai prosedur utama terapiPotts

    paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan elemen neural posterior akan mengangkat satu-

    satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. Laminektomi hanya

    diindikasikan pada pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar atau keterlibatan corda

    spinalis atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi anterior dan fusi, serta mielografi

    menunjukkan adanya sumbatan(8).

    XI. Pencegahan

    Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis yang

    dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas, meningkatkan

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 38

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    39/42

    daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman

    tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial.

    Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anakanaknya cukup gizi, BCG

    telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah pemberian sebelum

    timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan tipe percobaan yang sama di Amerika

    dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi

    di negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap kondisi tuberkulosa milier

    dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The JointTuberculosis Committee merekomendasikan

    vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru

    lahir pada populasi immigran di Inggris(Glassroth et al. 1980)(2,10).

    Saat ini WHO danInternational Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap menyarankan

    pemberian BCG pada semua infant sebagai suatuyang rutin pada negara-negara dengan prevalensi

    tuberkulosa tinggi (kecuali padabeberapa kasus seperti pada AIDS aktif).

    Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih

    besar dan dewasa.

    Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak

    dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai sedikit efek

    dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok

    orang dewasa maka yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan

    sputum berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular.

    Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat sehingga seluruh

    kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi. Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH

    berdosis harian 5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi

    tuberkulosa(2,10).

    XII. Prognosa(7)

    Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan

    umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan.

    Mortalitas

    Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya

    kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen

    terapi dan pengawasan ketat).

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 39

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    40/42

    Relaps

    Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat

    ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.

    Kifosis

    Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara

    signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan

    pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Rajasekaran dan Soundarapandian

    dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara sudut akhir

    deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra. Untuk memprediksikan sudut deformitas

    yang mungkin timbul peneliti menggunakan rumus :

    Y = a + bX

    dengan keterangan :

    Y = sudut akhir dari deformitas

    X = jumlah hilangnya corpus vertebrae

    a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.

    Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90% pada pasien yang

    tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka operasi sedini mungkin harus

    dipertimbangkan.

    Defisit neurologis

    Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa

    operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya

    operasi dini.

    Usia

    Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa

    Fusi

    Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen spondilitis

    tuberkulosa.

    XIII. RANGKUMAN

    Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang pada beberapa dekade

    belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan kesehatan dan perkembangan regimen

    kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara

    yang belum dan sedang berkembang dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin

    dapat tertunda.

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 40

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    41/42

    Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan tetapi morbiditas

    yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat dikurangi secara

    agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang baik antara pasien,

    keluarga dan tim kesehatan.

    Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 41

  • 7/29/2019 Case Paraplegi

    42/42

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In : Fundamentals of

    Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151

    2. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E, Eisen A.,

    editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London :

    Springer-Verlag, 1997 : 378-87.

    3. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed.

    Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1449-54

    4. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology

    and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388.

    5. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer RD.,

    editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. Louis : Mosby-Year Book,

    Inc., 1993 : 387-90.

    6. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics. 2nd ed.

    Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91

    7. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed. Rothman

    Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64

    8. Ombregt L, Bisschop P, ter Veer H.J, Van de Velde T. Non Mechanical Disorders of The

    Lumbar Spine. In : A System of Orthopaedic Medicine.Philadelphia : W.B. Saunders,

    1995 : 615-32.

    9. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In : http:/www.bonetumour

    org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedics and traumatoloty.

    10.Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical

    Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62-6