Case Paraplegi
-
Upload
rastho-mahotama -
Category
Documents
-
view
241 -
download
2
Transcript of Case Paraplegi
-
7/29/2019 Case Paraplegi
1/42
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
- Nama : Tn. M
- Jenis Kelamin : Laki-laki
- Usia : 56 tahun
- Alamat : Tanjung RT 01 RW 03, kec Tanjung, Brebes
- Status Pernikahan : Menikah
- Suku : Jawa
- Pekerjaan :
- Pendidikan Terakhir : SMP
- Tanggal Masuk RS : 11 februari 2013
II. ANAMNESA
- Keluhan Utama:
Tidak bisa berbicara sejak 2 hari SMRS
- Keluhan tambahan :
Badan lemas,mual,muntah,pusing dan sulit berjalan
- Perjalanan Penyakit:
Os dibawa ke UGD RSUD Kariadi karena tidak bisa berbicara sejak dua hari SMRS . Tiga
hari SMRS, os mengaku badannya teras lemas, namun saat itu os masih bisa berbicara. Dua
hari SMRS, os mengaku saat bangun tidur badan terasa semakin lemas dan mendadak jadi
sulit untuk berbicara. Os juga mengaku kalau kaki kanannya terasa berat pada saat berjalan.
Satu hari SMRS, os mengaku tidak bisa berbicara dan kaki kanannya terasa semakin berat
serta tidak bisa digerakkan sehingga sulit untuk berjalan. Os juga mengeluh perutnya mual
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 1
-
7/29/2019 Case Paraplegi
2/42
dan muntah setiap habis makan dan minum. Os mengaku sebelumnya tidak pernah
merasakan keluhan ini. Os juga menyangkal adanya demam, sakit kepala, pingsan,riwayat
jatuh dan trauma di kepala. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
- Riwayat Penyakit Dahulu:
Os mengaku memiliki riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu. Os kemudian berobat ke
puskesmas dan diberi obat untuk darah tingginya, tetapi os jarang minum obatnya dan tidak
pernah kontrol ke dokter kembali . Os menyangkal adanya kencing manis,sakit ginjal, asma,
stroke dan penyakit jantung. Os tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun obat-obatan.
- Riwayat Penyakit Keluarga:
Os mengatakan bahwa kakak kandungnya menderita kencing manis dan ibunya juga
mempunyai riwayat darah tinggi serta stroke. Riwayat penyakit jantung, paru, ginjal maupun
alergi terhadap makanan atau obat.
Riwayat makanan dan kebiasaan
Pasien menyangkal memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol dan merokok.Pasien mengaku sering mengkonsumsi sayur, buah-buahan dan selalu menjaga kebersihan
mulutnya.
ANAMNESIS SISTEM
Sistem cerebrospinal : Demam (-)
Kejang (-)
Sakit kepala (+)
Parese (-)
Sistem kardiovaskuler : Jantung berdebar-debar (-)
Nyeri dada (-)
Hipertensi (-)
Sistem Pernafasan : Batuk (-)
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 2
-
7/29/2019 Case Paraplegi
3/42
Pilek (-)
Sesak nafas (-)
Nyeri dada (-)
Sistem gastrointestinal : Mual (-)
Muntah (-)
Diare (-)
Nyeri perut (-)
Dapat menahan BAB (+)
Kesulitan menelan (-)
Nafsu makan berkurang (+)
Sistem Urogenital : BAK terkontrol
Nyeri (-)
Panas (-)
Dapat menahan BAK (+)
Sistem integumentum : Ruam-ruam (-)
Kemerahan (-)
Gatal (-)
Sistem muskuloskeletal : Nyeri pada punggung (-)
Nyeri pinggang (+)
I. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran :
Kualitatif : Compos mentis
Kuantitatif : E4V5M6
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 3
-
7/29/2019 Case Paraplegi
4/42
Tanda vital :
Tekanan darah: mmHg
Nadi : 72 x / menit
Suhu : 36 oC
Pernafasan : 20 x / menit
Kepala
Bentuk kepala : Normochepali
Rambut : berwarna hitam
Wajah : Simetris, pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), tidak ada nyeri
tekan sinus frontal dan maxilla
Mata : Ptosis (-), conjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/-, pupil
bulat, isokor kanan-kiri, diameter 3mm, nystagmus (-), gerak
bola mata baik
Telinga : Normotia, serumen (+/+), sekret (-)
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), septum deviasi (-),
sekret (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (-),deviasi uvula (-)
Bibir : Simetris, sianosis (-)
Leher : Kaku kuduk (-), tidak teraba pembesaran pada KGB
Thorax
Paru paru
Inspeksi : Gerak nafas simetris pada kedua hemithorax, retraksi otot
otot pernafasan (-)
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 4
-
7/29/2019 Case Paraplegi
5/42
Palpasi : Vocal fremitus simetris pada kedua hemithorax, nyeri tekan
(-)
Perkusi : Sonor pada kedua hemithorax
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada midclavicula ICS 5
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar
Auskultasi : Bising usus 3x/menit
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas
Akral hangat +/+
Akral oedem -/-
II. STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran
Kuantitatif : GCS15 (E4V5M6)
Kualitatif : Compos mentis
Orientasi : Baik
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 5
-
7/29/2019 Case Paraplegi
6/42
Kemampuan Bicara : Tidak Dapat Berbicara
Reflek fisiologis
Extremitas superior Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Ekstremitas inferior
Patella + +
Achilles + +
Refleks Patologis
Ekstremitas superior Kanan Kiri
Hoffman Tromner : - -
Ekstremitas inferior
Babinsky : - -
Chaddock : - -
Gordon : - -
Schaeffer : - -
Klonus patella : - -
Klonus achilles : - -
Tanda rangsang Meningeal
Kaku kuduk : - -
Brudzinski I : - -
Brudzinski II : - -
Kernig : - -
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 6
-
7/29/2019 Case Paraplegi
7/42
Laseque : - -
Peningkatan tekanan intrakranial :
Penurunan kesadaran : (-)
Muntah proyektil : (-)
Sakit kepala : (-)
Edema papil : tidak dilakukan pemeriksaan
Saraf Kranial
Nervus I olfaktorius : Normosmia
Nervus II Optikus Kanan Kiri
Ketajaman penglihatan : Baik Baik
Funduskopi : Tidak di lakukan
Menilai warna : Tidak di lakukan
Test konfrontasi : Tidak di lakukan
Nervus III Okulomotorius
Ptosis : - -
Gerakan mata ke media : + +
Gerakan mata ke atas : + +
Gerakan mata ke bawah : + +
Bentuk pupil : bulat,isokor bulat,isokor
Reflek cahaya langsung : + +
Reflek cahaya langsung : + +
Reflek akomodatif : + +
Strabismus divergen : - -
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 7
-
7/29/2019 Case Paraplegi
8/42
Diplopia : - -
Nervus IV Trochlearis
Gerakan mata ke lateral bawah: + +
Strabismus konvergen : - -
Diplopia : - -
Nervus V Trigeminus
Bagian motorik
Menggigit : + +
Membuka mulut : + +
Bagian sensorik
Ophtalmik : baik baik
Maxila : baik baik
Mandibulla : baik baik
Reflek kornea : baik baik
Nervus VI Abdusen
Gerakan mata ke lateral : + +
Strabismus konvergen : - -
Diplopia : - -
Nervus VII Facialis
Fungsi Motorik
Mengerutkan dahi : + +
Mengangkat alis : + +
Memejamkan mata : + +
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 8
-
7/29/2019 Case Paraplegi
9/42
Tinggi alis : simetris kanan dan kiri
Menyeringai : tidak simetris (tertarik ke kiri)
Mengembungkan pipi : tidak dapat dilakukan
Mencucukan bibir : bisa mencucukan bibir
Glabella : - -
Chovstek : - -
Fungsi pengecapan
2/3 depan lidah : baik
Nervus VIII Vestibulo cochlearis
Mendengar suara berbisik : + +
Tes rinne : tidak dilakukan
Tes weber : tidak dilakukan
Test Scwabah : tidak dilakukan
Nistagmus : - -
Past pointing : - -
Nervus IX,X Glosofaringeus, Vagus
Arcus faring : simetris
Uvula : simetris
Reflek muntah : -
Tersedak : -
Disartria : -
Suara sengau : -
Daya kecap 1/3 lidah : tidak dilakukan
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 9
-
7/29/2019 Case Paraplegi
10/42
Nervus XI Aksesorius
Mengangkat bahu : + +
Menoleh : + +
Nervus XII Hipoglossus
Menjulurkan lidah : baik
Atrofi : Tidak ada
Artikulasi : tidak baik
Tremor : -
Ekstremitas Superior
Kekuatan Motorik : 5555 5555
Kanan Kiri
Tonus otot : normal normal
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : dalam batas normal dalam batas normal
Ekstremitas Inferior
Kekuatan Motorik :
5555 5555
Kanan Kiri
Tonus otot : normal normal
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : baik baik
Gerakan involunter :
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 10
-
7/29/2019 Case Paraplegi
11/42
Tremor : - -
Chorea ; - -
Ballismus : - -
Athetose : - -
Sistem Sensorik
Eksteroseptif:
- Nyeri : dalam batas normal
- Suhu : tidak dilakukan
Proprioseptif
- Vibrasi : tidak dilakukan
- Posisi : dalam batas normal
- Tekan dalam : dalam batas normal
Fungsi Keseimbangan dan Koordinasi
Test Rhomberg : baik
Disdiadokinesa : baik
Tandem gait : baik
Jari-jari : baik
Jari-hidung : baik
Tumit lutut : baik
Rebound Phenomenon : -
Tremor : -
Khorea : -
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 11
-
7/29/2019 Case Paraplegi
12/42
Fungsi Vegetatif
Miksi : +
Inkontinensia urine : -
Defekasi : +
Inkontinensia alvi : -
Fungsi Luhur
Astereognosia : -
Apraksia : -
Afasia : +
Keadaan Psikis
Intelegensia : baik
Demensia : (-)
Tanda regresi : (-)
IV.PEMERIKSAAN LABORATORIUM
16 Oktober 2012
- Hemoglobin : 8,7 g/dl ( N: 12-16)
- Eritrosit : 5,4 [10^6/uL] (N: 4,2-5,4)
- Leukosit : 5,2 /uL[10^3/Ul] (N: 4,8-10,8)
- Hematokrit : 27,7 % (N: 37-47)
- Trombosit : 522 /uL [10^3/Ul] (N:150-450)
- MCV : 51,0 fl (N: 79.00-99.00)
- MCH : 16,0 pg (N: 27.0-31.0)
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 12
-
7/29/2019 Case Paraplegi
13/42
- MCHC : 31,4 g/dl (N: 33.0-37.0)
DIFFCOUNT
- Neutrofil : 52,0 [%] (N:50-70)
- Lymfosit : 31,9 [%] ( N:25-40)
- Monosit : 11,7 [%] ( N:2-8 )
- Eosinofil : 4 [%] ( N:2-4 )
- Basofil : 0,2 [%] ( N:0-1 )
LAJU ENDAP DARAH- LED 1 : 9 mm/jam (N: 0-15)
- LED 2 : 16 mm/jam (N: 0-20)
KIMIA DARAH
- Gulokosa sewaktu : 93 mg/d (N: 70-160)
- SGOT : 16,6 u/L (N: 0-31)
- SGPT : 10,3 u/L (N: 0-32)
- Ureum : 15 mg/dl (N: 10-50)
- Kreatinin : 0,51 mg/dl (N: 0,6-1,2)
SERO IMONOLOGI
- HbsAg : Negatif Negatif
19 Oktober 2012
- Hemoglobin : 8,6 g/dl ( N: 12-16)
- Eritrosit : 4,8 [10^6/uL] (N: 4,2-5,4)
- Leukosit : 5,5 /uL[10^3/Ul] (N: 4,8-10,8)
- Hematokrit : 27,4 % (N: 37-47)
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 13
-
7/29/2019 Case Paraplegi
14/42
- Trombosit : 457 /uL [10^3/Ul] (N:150-450)
- MCV : 57,2 fl (N: 79.00-99.00)
- MCH : 18,0 pg (N: 27.0-31.0)
- MCHC : 31,4 g/dl (N: 33.0-37.0)
V.PEMERIKSAAN RADIOLOGI
- Thorak
III. RESUME
Pasien wanita, usia 44 tahun, dibawa ke UGD karena tidak bisa berjalan sejak 1 minggu
SMRS, kedua kaki tidak bisa digerakkan dan kesemutan yang makin bertambah. Tidak
bisa BAK sejak 1 hari SMRS, BAB sulit.
Sejak 2 minggu yang lalu os mengeluh kaki terasa lemas dan kesemutan. Os mengaku
sedang dalam pengobatan paru sejak 1 bulan yang lalu, os juga memiliki sakit kencing
manis. Os menyangkal riwayat jatuh sebelumnya, nyeri pinggang yang menjalar, demam,
dan perubahan postur tubuh.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital:
Tekanan darah: 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36,70C
Pernapasan : 20x/menit
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 14
-
7/29/2019 Case Paraplegi
15/42
Status generalis : dalam batas normal.
Status neurologis : GCS E4M6V5
Tanda Rangsang Meningeal: dalam batas normal
Saraf kranialis : dalam batas normal
Sistem motorik : kekuatan otot pada kedua tungkai menurun 0 0 2 2 / 2 2 0 0
Sistem sensorik : rasa nyeri negative sampai setinggi T10, rasa raba negative sampai
setinggi L1
Refleks fisiologis : refleks patella - / -
Refleks patologis : babinski +/+
Columna vertebralis: sulit dinilai
Test provokasi: dalam batas normal
IV. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis :
Paraplegi tipe UMN fase akut
TB paru dupleks aktif
DM tipe II
Retensi urine
Diagnosis Topis :
1. Medulla spinalis setinggi level torako-lumbal
Diagnosis Etiologi:
1. Spondilitis TB
V. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa:
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 15
-
7/29/2019 Case Paraplegi
16/42
Edukasi : mobilisasi miring kanan kiri untuk menghindari ulkus dekubitus
Stabilisasi tulang belakang dengan menggunakan brace
Diet biasa untuk perbaiki gizi
Pemasangan kateter
Melatih otot panggul agar bisa BAK normal
Medikamentosa:
Ceftriaksone inj 2x1 gr
Sansulin R 3 x 10 iu
OAT (Rifampisin, Isoniazid, pirazinamid, etambutol) minimal selama 9 bulan
Microlax untuk mengatasi BAB yang sulit
Operatif :
Indikasi absolut
Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan
bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga
terjadi kelemahan motorik.
Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan
terapi konservatif
Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah
diberi terapi konservatif
Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah
baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau
terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.
Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang
besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga
disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 16
-
7/29/2019 Case Paraplegi
17/42
Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya
sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari
6 bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi
konservatif)
VI. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 17
-
7/29/2019 Case Paraplegi
18/42
TINJAUAN PUSTAKA
SPONDILITIS TUBERKULOSA
I. Pendahuluan
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan namaPotts disease of the
spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di
seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit
ini(1). Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan
adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi haltersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch
tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas(2,3). Di waktu yang lampau,
spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak,
yang terutama berusia 3 5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka
insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering
terkena dibandingkan anak-anak(3).
Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan
hasil yang baik, namun pada kasus kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan
rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan
operatif.
II. Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan
kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara
tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada
negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan
penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang
atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun
terakhir(2,4,5,6,7). Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami
peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut
infeksi HIV (Medical Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980)(2,5). Selain itu dari
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 18
-
7/29/2019 Case Paraplegi
19/42
penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah
kelompok beresiko besar terkena penyakit ini(8).
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa, dengan usia
rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus
terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan
insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong(7,8,9).
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih
10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai
fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar
(mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut,
tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang 2 (kurang lebih
50% kasus)(Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di
kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal
bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat
karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearingmencapai maksimum, lalu dikuti
dengan area servikal dan sakral(2,3,4,9,10).
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang
sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non
traumatik(7). Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan
anakanak.
Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang,
kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini(2,7).
III. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering
menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang
lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum
(penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-
tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV)(7,10). Perbedaan jenis spesies ini
menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile
dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-
Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 19
-
7/29/2019 Case Paraplegi
20/42
dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristikMycobacterium tuberculosis
dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain(2).
IV.Patogenesa
Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim
lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat
diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid,
protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang
pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang dihasilkannya juga
dapat juga bersifat immunosupresif (Wood and Anderson 1988; Dunlop and Briles 1993)(2).
Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan menentukan
perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyaiprogresi yang cepat ; demam, retensi
urine dan paralisis arefleksi dapat terjadidalam hitungan hari. Respon seluler dan kandungan protein
dalam cairan serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi basil tuberkulosa sendiri jarang dapat
diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan menunjukkanperjalanan penyakit
yang lebih lambat progresifitasnya, jarang menimbulkanmeningitis serebral dan infeksinya bersifat
terlokalisasi dan terorganisasi (Kocenand Parsons 1970)(2).
Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa tergantung dari(10):
1. Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa pubertas.
Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah. Hingga
usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier
dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara hematogen.
Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena penyakit
tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa
seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi. Sebelum pubertas, lesi primer di paru
merupakan lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas seperti pada orang dewasa dapat
juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama perempuan usia 10-14
tahun. Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam mencegah
penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di
paru-paru.
Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita
cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 20
-
7/29/2019 Case Paraplegi
21/42
kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara
usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan resistensi
terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan tubuh.
Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia meningkatkan
resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman yang
padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan
menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika asli,
mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.
V. Patologi
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran
langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa
yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer
tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari system
pulmoner dan genitourinarius(2,5,7,8,10).
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru
sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah
ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas
vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi columna vertebralis yang
menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70%
kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20%
kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra(3,4,10). Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus
vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis(7,9):
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 21
-
7/29/2019 Case Paraplegi
22/42
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum
longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat
menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai
tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih
dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih
hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di
temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya.
Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari
sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik
yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior
atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal :
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan
lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang
(tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler
yang berada di sendi intervertebral posterior.
Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar
antara 2%-10%. Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area
infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus
vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebrae yang
berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung
melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan
oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses
paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan
pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan
tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih
resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi
paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 22
-
7/29/2019 Case Paraplegi
23/42
vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan
kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya
endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan
hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi
kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan
timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat
kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal
tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.
Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area lumbar
hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat badan
ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal,
kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat
badan disalurkan melalui prosesus artikular(3).
Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk
menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrelchest(8).
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan kalsifikasi
jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga
mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps(8).
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus
vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum
tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal
anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang
bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya.
Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha
dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum longitudinal menghambat jalannya abses,
tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit
dibawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur ke dalam
mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai sarang burung.
Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada anterior di area parasternal, memasuki area
retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher(3).
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan
spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis)
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 23
-
7/29/2019 Case Paraplegi
24/42
atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan
dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis).
Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama
Potts paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya
penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada
penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia
kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin
untuk kejadian ini.
VI.Potts Paraplegia
Sorrel-Dejerine mengklasifikasikanPotts paraplegia menjadi(3,7):
1. Early onset paresis
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit
2. Late onset paresis
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit
Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi
tiga tipe:
1. Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan dengan
penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).
2. Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen bahkan
walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.
Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh
karena :
a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater
Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses,
material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau dislokasi
patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat gerak
bawah dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot
involunter dan reflekwithdrawal.
b. Invasi duramater oleh tuberkulosa
Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa. Secara
klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot involunter
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 24
-
7/29/2019 Case Paraplegi
25/42
dan reflekwithdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya
kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses,
gangguan sensoris dan paraplegia.
3. Type III / yang berjalan kronis
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat membaik. Bisa
terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis meningen dan adanya
jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik
ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah yang
mensuplai corda spinalis).
Klasifikasi untuk penyebabPotts paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh
Hodgson menjadi (11):
I. Penyebab ekstrinsik :
1. Pada penyakit yang aktif
a. abses (cairan atau perkijuan)
b. jaringan granulasi
c. sekuester tulang dan diskus
d. subluksasi patologis
e. dislokasi vertebra
2. Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan
a. transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis
b. fibrosis duramater
II. Penyebab intrinsik :
Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan meningen dan corda
spinalis.
III. Penyebab yang jarang :
1. Trombosis corda spinalis yang infektif
2. Spinal tumor syndrome
VII. Penegakkan Diagnosa (1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor(7). Biasanya
onsetPott's diseaseberjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga
tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 25
-
7/29/2019 Case Paraplegi
26/42
Anamnesa dan inspeksi :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain
di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada
pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya
berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus,
tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.
Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan
atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri
yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri
dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan
beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi
kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga
oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat
bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien
juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses,
maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada
anak, akan mendorong trakhea kesternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan
menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada
orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi
atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab
kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu
diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal
(Lal et al. 1992).
6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 26
-
7/29/2019 Case Paraplegi
27/42
mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku (coin test) Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di
bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan
lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat
menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi
di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam
pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan
dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan
meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan
deformitas fleksi sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang),
skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.
Gambar 7.2 Tuberculosis spinal : gibbus. Tampakhump di
tulang belakang karena kolapsnya korpus vertebra (Dari : Miller F, Horne N, Crofton
SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.: London :
Macmillan Education Ltd, 1999 :
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi
pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di
temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak
spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola
jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi
gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 27
-
7/29/2019 Case Paraplegi
28/42
10.Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut
seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun
sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.
Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses
piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka,
retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung
dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak
ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang
terkena.
Perkusi :
1. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampaktenderness.
Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD)
positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisipemaparan dahulu maupun yang baru
terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area
berindurasi,kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam
setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada 20% kasus (Tandon and Pathakn
1973; Kocen 1977) dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang
immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai
penyakit lain)
1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas
lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)
1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.
1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid,
paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan
dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).
Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC.
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 28
-
7/29/2019 Case Paraplegi
29/42
Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.
Cairan serebrospinal akan tampak:
Xantokrom
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal. Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya
bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen and Parsons 1970;
Traub et al 1984).
Kandungan protein meningkat.
Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat
mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal akanmenunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap
kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering
diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini
(Wadia 1973). Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok
spinal dapat mencapai 1-4g/100ml.
Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang
absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.
2. Radiologis :
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di
paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa
di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.
Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior corpus
vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan
diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk
scallopingkarena penyebaran infeksi dari area subligamentous (gb.7.3).
Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus
spinosus.
Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita scoliosis
(jarang)
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 29
-
7/29/2019 Case Paraplegi
30/42
Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah lama
akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra
yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal
dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang
lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak
terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum
menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.
Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak
bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan
tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau
tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah
penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran
abses).
Gambar 7.3 Tuberkulosis spinal : diagram X-ray.
Tampak destruksi dari vertebra yang berdekatan dan penyempitan ruang diskus. (Dari :
Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd
ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62).
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 30
-
7/29/2019 Case Paraplegi
31/42
3. Computed Tomography Scan (CT)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat
pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan
CT Scan.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang
bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk :
Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau operatif.
Membantu menilai respon terapi. Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang
kecil dan kalsifikasi di abses.
5.Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin diperlukan pada
kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan histologi yang baik (untuk
menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50% kasus).
6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral yang diperiksa
secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian dapat
diinokulasi di dalamguineapig.
VIII. Komplikasi(4,10,6,)
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural
sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis
(contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan
korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa
buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada
tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau
karena invasi dura dan corda spinalis.
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.
IX. Diagnosa Banding(6,8,10)
1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya sklerosis
atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik.
Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan
adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan
laboratorium.
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 31
-
7/29/2019 Case Paraplegi
32/42
3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilic granuloma,
aneurysma bone cyst dan Ewings sarcoma) Metastase dapat menyebabkan destruksi dan
kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang
diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk
yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
4. Scheuermanns disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak
adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian
anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
X. Manajemen terapi(2,7,8)
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis Untuk mencapai tujuan itu
maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa(4,2,7,9)
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapipada seluruh kasus
termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara
signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan
100 pasien di India yang menjalaniterapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang
menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara
yangbelum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatupilihan yang
baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harusmenunda pemberian terapi.
Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatupemantauan yang ketat
selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa
memakan waktu lama (kurang lebih6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar sehingga
situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa
bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat
antituberculosa juga merupakan suatu bentuk penegakkandiagnostik(7,8).
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :
o Resistensi primer
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 32
-
7/29/2019 Case Paraplegi
33/42
Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang sebelumnya
belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat baik itu SM
ataupun INH. Jarang terjadi resistensi terhadap RMP atau EMB(Glassroth et al.
1980). Regimen dengan dua obat yang biasa diberikan tidak dapat dijalankan pada
kasus ini.
o Resistensi sekunder
Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang awalnya
masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut. The Medical Research Council telah
menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang
berkembang adalah kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin
selama 6 9 bulan. Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya
dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan
selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang.
Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien.
Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang
kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan
biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya
relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP),
pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide,
cycloserine, kanamycin dan capreomycin. Di bawah adalah penjelasan singkat dari
obat anti tuberkulosa yang primer:
Isoniazid (INH)
Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien
berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara
relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).
Relatif aman untuk kehamilan
Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari 300 mg/hari
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 33
-
7/29/2019 Case Paraplegi
34/42
Rifampin (RMP)
Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat
dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah(seperti pada nekrosis perkijuan).
Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam
bentuk sediaan oral dan intravena.
Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus
gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent
peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.
Relatif aman untuk kehamilan
Dosisnya : 10 mg/kg/hari 600 mg/hari.
Pyrazinamide (PZA)
Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang
bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam
lesi perkijuan.
Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
Efek samping :
Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan
dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam
jangka pendek. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang
tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam
urat.
Dosis : 15-30mg/kg/hari
Ethambutol (EMB)
Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta
warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya centralscotoma.
Relatif aman untuk kehamilan
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 34
-
7/29/2019 Case Paraplegi
35/42
Dosis : 15-25 mg/kg/hari
Streptomycin (STM)
Bersifat bakterisidal
Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehinggadipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo
(terutama sering mengenai pasien lanjut usia)
Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
Dosis : 15 mg/kg/hari 1 g/kg/hari
Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih kontroversial. Obat ini
membantu pasien yang terancam mengalamispinalblockdisamping mengurangi oedema jaringan
Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis
dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)(3,4,7,8,9)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local restpada turning frame / plaster bed
atau continous bed restdisertai dengan pemberian kemoterapi.Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan
dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah
teknik yang terlalu membahayakan.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi
ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk
mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur
dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda
klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya
spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara
laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada
pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket
Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast
jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 35
-
7/29/2019 Case Paraplegi
36/42
body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama
immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan. Terapi untuk Potts paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu
immobilisasi di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah
baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah penting.
Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan
regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal
ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan
dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus menjalani kontrol secara
berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan,
maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan
kaseonekrotik dan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
B. TERAPI OPERATIF
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami perbaikan dengan
pemberian kemoterapi saja (Medical Research Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat
untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya
kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu(2,10).
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan
tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi
spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus
tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen
tulang belakang yang terlibat(9).
Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan
bila(4,6,7) :
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau kifosis
berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 36
-
7/29/2019 Case Paraplegi
37/42
Potts paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi (Hodgson) akan
tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi
operasi menjadi(11) :
A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila timbul tanda
dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah diberi terapi
konservatif
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring dan
immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis
karena tekanan pada kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar yang tidak
biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena trombosis
vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya sensibilitas
secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi
segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)
B. Indikasi relatif
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena kemungkinan pengaruh
buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau kompresi syaraf
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
C. Indikasi yang jarang
1. Posterior spinal disease
2. Spinal tumor syndrome
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina
Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui pendektan dari arah
anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di anterior maka operasi dilakukan melalui
pendekatan arah anterior dan anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi
dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan pendekatan dari arah
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 37
-
7/29/2019 Case Paraplegi
38/42
anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur yang dilakukan hampir di setiap pusat
kesehatan(9,).
Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa tetaplah penting.
Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan. Pendapat lain
menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara
langsung dengan pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang mati
dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi oleh
autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong
penyembuhan yang cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan
vertebra yang terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih
korpus vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi tulang
terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior(3,9).
Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan bracing
merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang tidak mempunyai
perlengkapan untuk operasi spinal anterior(6). Terapi operatif juga biasanya selain tetap disertai
pemberian kemoterapi, dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya
menggunakanspinal bracing(9).
Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu periode tirah baring
diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO direkomendasikan hingga fusi menjadi
berkonsolidasi(7).
Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu. Pada pasien dengan
intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika ukuran lesi tidak berkurang dengan
pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat soliter.
Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai prosedur utama terapiPotts
paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan elemen neural posterior akan mengangkat satu-
satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. Laminektomi hanya
diindikasikan pada pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar atau keterlibatan corda
spinalis atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi anterior dan fusi, serta mielografi
menunjukkan adanya sumbatan(8).
XI. Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis yang
dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas, meningkatkan
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 38
-
7/29/2019 Case Paraplegi
39/42
daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman
tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial.
Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anakanaknya cukup gizi, BCG
telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah pemberian sebelum
timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan tipe percobaan yang sama di Amerika
dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi
di negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap kondisi tuberkulosa milier
dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The JointTuberculosis Committee merekomendasikan
vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru
lahir pada populasi immigran di Inggris(Glassroth et al. 1980)(2,10).
Saat ini WHO danInternational Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap menyarankan
pemberian BCG pada semua infant sebagai suatuyang rutin pada negara-negara dengan prevalensi
tuberkulosa tinggi (kecuali padabeberapa kasus seperti pada AIDS aktif).
Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih
besar dan dewasa.
Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak
dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai sedikit efek
dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok
orang dewasa maka yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan
sputum berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular.
Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat sehingga seluruh
kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi. Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH
berdosis harian 5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi
tuberkulosa(2,10).
XII. Prognosa(7)
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan
umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan.
Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya
kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen
terapi dan pengawasan ketat).
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 39
-
7/29/2019 Case Paraplegi
40/42
Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat
ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara
signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan
pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Rajasekaran dan Soundarapandian
dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara sudut akhir
deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra. Untuk memprediksikan sudut deformitas
yang mungkin timbul peneliti menggunakan rumus :
Y = a + bX
dengan keterangan :
Y = sudut akhir dari deformitas
X = jumlah hilangnya corpus vertebrae
a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.
Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90% pada pasien yang
tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka operasi sedini mungkin harus
dipertimbangkan.
Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa
operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya
operasi dini.
Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
Fusi
Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen spondilitis
tuberkulosa.
XIII. RANGKUMAN
Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang pada beberapa dekade
belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan kesehatan dan perkembangan regimen
kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara
yang belum dan sedang berkembang dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin
dapat tertunda.
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 40
-
7/29/2019 Case Paraplegi
41/42
Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan tetapi morbiditas
yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat dikurangi secara
agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang baik antara pasien,
keluarga dan tim kesehatan.
Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa 41
-
7/29/2019 Case Paraplegi
42/42
DAFTAR PUSTAKA
1. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In : Fundamentals of
Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151
2. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E, Eisen A.,
editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London :
Springer-Verlag, 1997 : 378-87.
3. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed.
Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1449-54
4. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology
and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388.
5. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer RD.,
editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. Louis : Mosby-Year Book,
Inc., 1993 : 387-90.
6. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics. 2nd ed.
Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91
7. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed. Rothman
Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64
8. Ombregt L, Bisschop P, ter Veer H.J, Van de Velde T. Non Mechanical Disorders of The
Lumbar Spine. In : A System of Orthopaedic Medicine.Philadelphia : W.B. Saunders,
1995 : 615-32.
9. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In : http:/www.bonetumour
org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedics and traumatoloty.
10.Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical
Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62-6