Case Bedah Saraf

37
1 UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA FAKULTAS KEDOKTERAN KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RS. PUSAT ANGKATAN UDARA Dr. ESNAWAN ANTARIKSA ----------------------------------------------------------------- -------------------------------------------- STATUS I. Identitas pasien a. Nama : An. Arsa b. Umur : 7 bulan c. Alamat : Jl. Raya Ceger RT 004 RW 05, Jakarta d. Status : - e. Pekerjaan : - f. Jenis kelamin : laki-laki g. Agama : Islam h. Dirawat : 4 November 2012 Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 27 October 2012 pada pukul 15.00 II. Keluhan utama Pasien mengalami kejang dan demam III. Riwayat penyakit sekarang

description

case saraf

Transcript of Case Bedah Saraf

Page 1: Case Bedah Saraf

1

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

FAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RS. PUSAT ANGKATAN UDARA Dr. ESNAWAN ANTARIKSA

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

STATUS

I. Identitas pasien

a. Nama : An. Arsa

b. Umur : 7 bulan

c. Alamat : Jl. Raya Ceger RT 004 RW 05, Jakarta

d. Status : -

e. Pekerjaan : -

f. Jenis kelamin : laki-laki

g. Agama : Islam

h. Dirawat : 4 November 2012

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 27 October 2012 pada pukul

15.00

II. Keluhan utama

Pasien mengalami kejang dan demam

III. Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengalami kejang dan demam akibat pernah mengalami kecelakaan lalu

lintas 2 bulan SMRS dan kepala pasien mengalami benturan. Pasien langsung

dirujuk ke RSCM dan akhirnya disarankan untuk konsultasi dengan dokter bedah

saraf RSAU.

Page 2: Case Bedah Saraf

2

IV. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat trauma kepala (+), riwayat alergi obat (-), alergi makanan (-), riwayat

asma(-), riwayat keracunan (-), penyakit jantung bawaan(-), keganasan (-).

V. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat keganasan dalam keluarga disangkal, penyakit menular disangkal,

riwayat DM (-), HT (-).

VI. Riwayat kebiasaan

-

VII. Anamnesis Tinjauan menurut Sistem

a. Umum : Pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis

b. Kulit : Tidak ada perubahan warna kulit

c. Kepala : Normocephali, distribusi rambut merata, tidak mudah rontok

d. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, reflex pupil (+)

e. Leher : KBG dan tiroid TTM

f. Thorax :

i. Paru : suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

ii. Jantung: S1 – S2 normal, regular, murmur (-), Gallop (-)

g. GI Tract : Mual (-), muntah (-)

h. Abdomen : Supel, datar, BU (+) N, NT (-)

i. Sal. Kemih : Tidak ada gangguan berkemih

j. Extremitas : Akral hangat, oedem (-)

Page 3: Case Bedah Saraf

3

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 136/100 mmHg

Nadi : 104x/menit, regular, equal, cukup

Suhu : 36 o C

Pernapasan : 24x/menit, regular, teratur

Berat badan : 8 kg

STATUS GENERALIS

1. Kepala : Normocephali, deformitas (-)

a. Rambut : Distribusi rambut merata, tidak mudah rontok

b. Mata : CA -/-, SI -/-, pupil anisokor 5mm/2mm

c. Hidung : simetris, sekret (-), deviasi septum (-)

d. Telinga : simetris, tidak ada kelainan bentuk, serumen (-)

e. Mulut : simetris, sianosis (-), tidak kering, lidah tidak kotor, tonsil T1/T1

tenang

2. Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar, kaku kuduk (-)

3. Thorax

a. Paru : suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

b. Jantung : S1 – S2 normal, regular, murmur (-), Gallop (-)

4. Abdomen : supel, datar, NT (-), BU (+) normal, Timpani

5. Ekstremitas : Akral hangat (+) kedua lengan dan tungkai, tidak oedem

Page 4: Case Bedah Saraf

4

STATUS NEUROLOGIS

1. Kesadaran :Compos Mentis

2. GCS : E4 V5 M6

3. Pupil : Pupil anisokor 5mm/2mm

TANDA RANGSANG MENINGEAL

1. Kaku kuduk : Negatif

2. Brudzinski I : Negatif

3. Brudzinski II : Negatif

4. Laseque : > 70 º

5. Kernig : > 135 º

NERVI CRANIAL

N. I

Daya penghidu : Dapat dilakukan

N. II

Ketajaman penglihatan (hitung jari) : Baik

Pengenalan warna : Baik

Lapang pandang (konfrontasi) : Tidak dilakukan

Funduskopi : Tidak dilakukan

N. III, N. IV, N. VI

Ptosis : Negatif

Strabismus : Tidak dilakukan

Nistagmus : Tidak dilakukan

Exoptalmus : Negatif

Page 5: Case Bedah Saraf

5

Enoptalmus : Negatif

Gerakan bola mata

o Lateral : Dapat dilakukan

o Medial : Dapat dilakukan

o Atas lateral : Dapat dilakukan

o Atas medial : Dapat dilakukan

o Bawah medial : Dapat dilakukan

o Bawah lateral : Dapat dilakukan

o Atas : Dapat dilakukan

o Bawah : Dapat dilakukan

N. V

Menggigit : Dapat dilakukan

Membuka mulut : Dapat dilakukan

Sensibilitas

o Atas : Tidak dilakukan

o Tengah : Tidak dilakukan

o Bawah : Tidak dilakukan

Reflex masseter : Tidak dilakukan

N. VII

Pasif

Kerutan kulit dahi : Dapat dilakukan

Kedipan mata : Dapat dilakukan

Aktif

Mengerutkan dahi : tidak dilakukan

Mengerutkan alis : tidak dilakukan

Menutup mata dengan kuat : tidak dilakukan

Meringis : tidak dilakukan

Page 6: Case Bedah Saraf

6

Menggembungkan pipi : tidak dilakukan

Gerakan bersiul : tidak dilakukan

Daya pengecapan lidah 2/3 depan : Tidak dilakukan

N. VIII

Mendengarkan detik arloji : Tidak dilakukan

Schwabach : Tidak dilakukan

Rinne : Tidak dilakukan

Weber : Tidak dilakukan

N. IX

Arcus faring : Tidak dilakukan

Posisi uvula : Tidak dilakukan

Daya pengecapan 1/3 belakang : Tidak dilakukan

Reflex muntah : Tidak dilakukan

N. X

Arcus faring : Tidak dilakukan

Bersuara : Dapat dilakukan

Menelan : Dapat dilakukan

N. XI

Memalingkan kepala : Dapat dilakukan

Sikap bahu : Dapat dilakukan

Mengangkat bahu : Dapat dilakukan

N. XII

Menjulurkan lidah : Tidak dilakukan

Atrofi lidah artikulari : Tidak dilakukan

Tremor lidah : Tidak dilakukan

Page 7: Case Bedah Saraf

7

Fasikulasi : Tidak dilakukan

MOTORIK

Gerakan : Normal

Kekuatan otot : Normal

Tonus otot : Normal

Trofi : Eutrofi

REFLEKS FISIOLOGIS

Reflex tendon

Bisep : +/+

Trisep : +/+

Patella : +/+

Achilles : +/+

REFLEKS PATOLOGIS

Hoffman Tromner : -/-

Babinski : -/-

Chaddock : -/-

Oppenheim : -/-

Gordon : -/-

Schaefer : -/-

SENSIBILITAS

Page 8: Case Bedah Saraf

8

Eksteroseptif

o Nyeri : Tidak dilakukan

o Suhu : Tidak dilakukan

o Traktil : Tidak dilakukan

Proprioseptif

o Vibrasi : Tidak dilakukan

o Posisi : Tidak dilakukan

o Tekan dalam : Tidak dilakukan

KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN

Tes telunjuk hidung : Tidak dilakukan

Tes telunjuk telunjuk : Tidak dilakukan

Tes tumit lutut : Tidak dilakukan

Tes Romberg : Tidak dilakukan

Tes Fukuda : Tidak dilakukan

Disdiadokinesis : Tidak dilakukan

FUNGSI OTONOM

Miksi : Dapat dilakukan

Defekasi : Dapat dilakukan

FUNGSI LUHUR

Fungsi bahasa : Tidak dilakukan

Fungsi orientasi : Tidak dilakukan

Fungsi memori : Tidak dilakukan

Fungsi emosi : Tidak dilakukan

Page 9: Case Bedah Saraf

9

Fungsi kognisi : Tidak dilakukan

Pemeriksaan penunjang tanggal 20 Ocktober 2012

DIAGNOSA SEMENTARA : Subdural Haematoma kronis dan Subdural

Higroma

Page 10: Case Bedah Saraf

10

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab tanggal 4 November 2012

Hb : 11 g/dl

Leukosit : 9.900 /mm3

Trombosit : 231.000 /mm3

Hematokrit : 36%

Golongan darah : A , rh (+)

Masa perdarahan : 3’

Masa pembekuan : 6’

SGOT : 19 u/L

SGPT : 13 u/L

Ureum : 24 mg%

Kreatinin : 0.50 mg%

Gula darah sewaktu : 140 mg /dl

Lab tanggal 5 Oktober 2012

Hb : 9.5 mg/dl

Hematokrit : 29%

Leukosit : 13.000/ul

Trombosit : 252.000/ul

Analisa gas darah :

PH : 7.38

PCO2 : 29 mmHg

PO2 : 143 mmHg

HCO3-: 17 mmol/L

Total CO2 : 18 mmol/L

Saturasi O2 : 99%

BE : -6.6 mEq/L

Page 11: Case Bedah Saraf

11

Elektrolit :

Natrium : 132 mmol/L

Kalium : 3.7 mmol/L

Clorida : 107 mmol/L

Rontgen torax:

Tidak tampak proses aktif pada paru

Cor dalam batas normal

Sinus diafragma baik

Kesan: Normal chest

RESUME

Pasien anak laki-laki, 7 bulan, dengan keluhan mengalami kejang dan demam sejak

benturan dikepalanya karena terjadi kecelakaan lalu lintas 2 bulan SMRS. Mual muntah

disangkal

Hasil CT SCAN : Subdural Higroma

Follow up tanggal 6 November 2012

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

TD : 136/102 mmHg

Nadi : 101x/m, regular, equal, cukup

Suhu : 36 0 C

RR : 48x/m, regular, teratur

Page 12: Case Bedah Saraf

12

Penatalaksanaan:

Konsul dr. Yudi, Sp. BS

Instruksi:

Persiapan: Burrhole kraniektomi evakuasi hematoma dan higroma.

o Surat Ijin Operasi

o Puasa

o Thorax foto terlampir

o Hasil lab lengkap

o CT SCAN terlampir

o Konsul anestesi

o Booking ICU

o Sedia PRC 200cc

o I jam pre-OP , injeksi ceftizoxime 400 mg, skin test

o IUFD Kaen 3b saat puasa 800 cc/ 24 jam.

LAPORAN TINDAKAN BEDAH

Tindakan: Burrhole kraniektomi evakuasi hematoma dan higroma.

Penemuan dalam pembedahan:

Pasien telentang diatas meja operasi dalam narkose

A dan antisepsis daerah lapangan operasi dan sekitarnya

Insisi “ “ masing-masing di frontal kanan dan kiri lapis demi lapis, undermining flap

kulit ke kaudal, insisi periosteum,

Lalu dibuat satu burrhole masing-masing di tiap sisi.

Lalu dilakukan kraniektomi masing-masing sisi

Insisi luas duramater

Dilanjutkan evaluasi Subdural hematom dan subdural higroma

Keluarkan cairan/ lisis hematoma dan higroma hingga encer

Page 13: Case Bedah Saraf

13

Dalam SDH di belakang masing-masing dialiri NaCl hingga air berwarna encer untuk

mengatasi pembekuan darah dan menjaga agar tetap basah dan lembab.

Pasang NGT di tiap sisi sebagai drain

Dan akhirnya kulit dijahit

Operasi selesai

Instruksi post op:

Awasi keadaan umum, tanda vital (TNSP), kesadaran

Elevasi kepala 300

Infuse KAEN 3b 800 cc/24 jam

Puasa sampai bising usus (+) normal

Cek ulang lab post op : DPL, elektrolit, AGD

Balans cairan / 6 jam

Ukur produksi masing-masing kedua drain setiap pagi

Obat – obatan:

o Ceftizoxime 2 x 400mg IV

o Novalgin 2 x ½ ampul IV

o Ranitidin 2 x ½ ampul IV

o Phenitoin 3 x 20mg IV

o Ikaneuron 1 x 1 ampul (dalam infuse)

o Transamin 3 x ½ ampul IV

o Vit K 3 x ½ ampul IV

o Vit C 1 x 100mg IV

Tanggal 7 November 2012, post – op hari ke 2

KU baik, CM, afebris

Status Neurologis: tidak ada perubahan

Obat: teruskan

Tanggal 8 November 2012, post – op hari ke 3

Page 14: Case Bedah Saraf

14

KU baik, CM, afebris

TD: 137/100 mmHg

Rhinorea (-),

Obat: lanjutkan

Tanggal 9 November 2012, post – op hari ke 4

KU baik, CM,

TD: 140/90 mmHg

Rhinorea (-)

Obat: lanjutkan

Tanggal 10 November 2012, post – op hari ke 5

KU baik, CM, afebris

Pupil anisokor 5mm / 3mm

Reflex cahaya +/+

Rhinorea (-)

Ubun-ubun tidak tegang

Obat : teruskan

Tanggal 11 November 2012, post – op hari ke 6

KU baik, CM, afebris

Status neurologis tidak ada perubahan

Status lokalis rhinorea (-)

ACC pulang dari bedah saraf

Obat injeksi stop

Page 15: Case Bedah Saraf

15

Tinjauan Pustaka

Haematoma Subdural

Hematoma subdural/ subdural hematoma (SDH) merupakan kelainan bedah saraf umum

yang sering memerlukan intervensi bedah. SDH adalah jenis perdarahan intrakranial yang terjadi

di bawah duramater dan mungkin terkait dengan cedera otak lainnya. Pada dasarnya, masalah ini

terjadi akibat terbendungnya darah di atas permukaan otak. SDH biasanya disebabkan oleh

trauma tetapi dapat spontan atau disebabkan oleh suatu prosedur, seperti pungsi lumbal.

Antikoagulasi, misalnya heparin atau warfarin (Coumadin), mungkin menjadi faktor

penyebabnya. 1

Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun

traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak terungkap oleh

anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika terjadi pada

permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan

distribusi bridging veins. Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena,

maka darah yang terkumpul berjumlah hanya 100-200cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti

karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5 sampai 7 hari hematom mulai mengadakan

reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari. Darah yang diserap meninggalkan

jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Di situ bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan

kecil, yang menimbulkan hiperosmolaritas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang

lagi timbulnya perdarahan kecil-kecil dan pembentukan suatu kantong subdural yang penuh

dengan cairan dan sisa darah.

Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh setelah

mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan latent interval dan bisa berlangsung

berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan ada kalanya juga bisa lebih dari dua tahun. Namun

Page 16: Case Bedah Saraf

16

demikian, latent interval itu bukannya berarti bahwa si penderita sama sekali bebas dari keluhan.

Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh tentang

sakit kepala atau pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah

mengidap trauma kapitis. Tetapi apabila di samping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan

adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi

hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, organic

brain syndrome, hemiparesis ringan, hemiparestesia, ada kalanya epilepsi fokal dengan adanya

tanda-tanda papiledema.2

. Sebuah hematoma subdural sisi kiri akut (SDH). Perhatikan intensitas sinyal tinggi darah

akut dan ringan) pergeseran garis tengah (dari ventrikel).

SDH biasanya ditandai berdasarkan ukuran, lokasi, dan lama terjadinya (misalnya, apakah

terjadinya akut, subakut, atau kronis). Faktor-faktor ini, serta kondisi neurologis pasien,

menentukan pengobatan dan mungkin juga mempengaruhi hasilnya.

SDH sering diklasifikasikan berdasarkan jangka waktu yang telah berlalu dari waktu terjadinya

(jika diketahui) untuk diagnosis. Bila proses kejadian tidak diketahui, gambaran hematoma pada

CT scan atau MRI dapat membantu menentukan kapan hematoma terjadi.

Page 17: Case Bedah Saraf

17

Umumnya, SDH akut kurang dari 72 jam dan hyperdense dibandingkan dengan otak pada CT

scan.

Subakut SDH adalah 3-20 hari lamanya dan isodense atau hypodense dibandingkan dengan otak.

Kronis SDH adalah 21 hari (3 minggu) atau lebih lama dan hypodense dibandingkan dengan

otak. Namun, SDH dapat berbentuk gabungan seperti ketika perdarahan akut telah terjadi

menjadi SDH kronis.

Dalam sebuah penelitian, 82% pasien koma dengan SDH akut telah memar parenkim. Tingkat

keparahan cedera difus parenkim mempunyai korelasi kuat (korelasi inverse) dengan hasil

pasien. Dalam kenyataan ini, sebuah SDH yang tidak terkait dengan cedera otak yang mendasari

kadang-kadang disebut sebuah SDH sederhana atau murni, sedangkan istilah yang rumit telah

diterapkan untuk SDH di mana cedera yang signifikan dari otak yang mendasari juga telah

diidentifikasi.

Adanya atrofi otak atau hilangnya jaringan otak karena sebab apapun, seperti usia tua,

alkoholisme, hidrosefalus, atau stroke, dapat memberikan ruang yang meningkat antara dura dan

permukaan otak mana hygroma subdural dapat terbentuk atau traksi pada vena yang

menjembatani span kesenjangan antara permukaan kortikal dan dura atau sinus vena. Hygromas

mungkin terbentuk setelah cairan di arakhnoid memungkinkan cerebrospinal fluid (CSF) untuk

terkumpul di ruang subdural. Sebuah hygroma subdural mungkin karena itu juga terjadi setelah

trauma kepala, mereka seringkali tanpa gejala. Sebagian kecil kasus kronis SDH berasal dari

kasus SDH akut yang telah memburuk karena kurangnya perawatan.

Page 18: Case Bedah Saraf

18

Atrofi dari otak, menghasilkan ruang antara permukaan otak dan tengkorak,

meningkatkan risiko hematoma subdural (SDH).

Masalah

Trauma cedera kepala terus menjadi masalah kesehatan yang signifikan di Amerika Serikat dan

di tempat lain. Subdural hematoma (SDH) adalah jenis yang paling umum dari lesi massa

intrakranial, terjadi tidak hanya pada pasien dengan cedera kepala berat, tetapi juga pada pasien

dengan cedera kepala kurang berat, terutama mereka yang sudah berusia lanjut atau yang

menerima antikoagulan. SDH dapat dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi dan tingkat

morbiditas, bahkan dengan perawatan terbaik medis dan bedah saraf.

Epidemiologi

Hematoma subdural akut (SDHs) telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera

kepala berat, tergantung pada penelitian ini. SDH kronis telah dilaporkan 1-5,3 kasus per

100.000 orang per tahun. Studi lebih terbaru menunjukkan insiden yang lebih tinggi, mungkin

karena teknik pencitraan yang lebih baik.

Etiologi

Hematoma subdural akut (SDH)

o Head trauma Trauma kepala

o Koagulopati atau antikoagulasi medis (misalnya, warfarin [Coumadin], heparin,

hemofilia, penyakit hati, trombositopenia)

o Perdarahan intrakranial non traumatic karena aneurisma serebral, kelainan

arteriovenosa, atau tumor (meningioma atau metastasis dural)

o Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)

o Hipotensi intrakranial (misalnya, setelah pungsi lumbal, lumbal CSF bocor,

tabrakan lumboperitoneal, anestesi epidural spinal 5

o Spontan atau tidak diketahui penyebabnya (jarang)

Page 19: Case Bedah Saraf

19

SDH Kronis

o Trauma kepala (mungkin relatif ringan, misalnya, pada individu-individu yang

lebih tua dengan atrofi otak)

o SDH akut, dengan atau tanpa intervensi bedah

o Spontan atau idiopatik

Faktor risiko untuk SDH kronis termasuk kronis alkoholisme , epilepsi, koagulopati, kista

arakhnoid , terapi antikoagulan (termasuk aspirin), penyakit kardiovaskuler (hipertensi,

arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes. Pada pasien yang lebih muda, alkoholisme,

trombositopenia, gangguan koagulasi, dan terapi antikoagulan oral telah ditemukan untuk

menjadi lebih lazim. Kista pada Arachnoid lebih umumnya terkait dengan pasien yang lebih

muda dari 40 tahun dengan SDH kronis. Pada pasien yang lebih tua, penyakit jantung dan

hipertensi arteri yang ditemukan lebih umum. In one study, 16% of patients with chronic SDH

were on aspirin therapy. Dalam sebuah penelitian, 16% dari pasien dengan SDH kronis pada

terapi aspirin. Dehidrasi Mayor adalah suatu kondisi yang kurang umumnya terkait dan

ditemukan bersamaan hanya 2% pasien.

Patofisiologi

Hematoma subdural akut

Mekanisme biasa yang menghasilkan hematoma subdural akut (SDH) adalah dampak

berkecepatan tinggi untuk tengkorak. Hal ini menyebabkan jaringan otak untuk mempercepat

atau melambat relatif terhadap struktur dural tetap, merobek pembuluh darah, terutama vena

bridging. Cedera kepala primer juga dapat menyebabkan hematoma otak berhubungan atau

memar, perdarahan subarachnoid, dan menyebar aksonal cedera. Cedera otak sekunder dapat

meliputi edema, infark, perdarahan sekunder, dan herniasi otak.

Sering kali, pembuluh darah robek adalah vena yang menghubungkan permukaan kortikal otak

ke sinus dural (disebut sebagai vena bridging). Atau, pembuluh darah korteks, baik arteri vena

atau kecil, dapat rusak oleh cedera langsung atau robekan. Suatu SDH akut karena arteri cortical

Page 20: Case Bedah Saraf

20

pecah dapat berhubungan dengan hanya cedera kepala ringan, mungkin tanpa memar otak yang

terkait. Dalam sebuah penelitian, arteri cortical pecah ditemukan berada sekitar fisura sylvian.

Pada orang lanjut usia, pembuluh darah bridging mungkin sudah meregang karena atrofi otak

(penyusutan yang terjadi dengan usia).

Seperti massa lainnya yang memperluas di dalam tengkorak, SDHs bisa menjadi mematikan

dengan meningkatkan tekanan dalam otak, menyebabkan perubahan patologis dari jaringan otak

(herniations otak). Dua tipe umum dari herniasi otak termasuk subfalcial (cingulate gyrus)

herniasi dan transtentorial (uncal) herniasi. herniasi Subfalcial dapat menyebabkan infark otak

melalui kompresi dari arteri serebral anterior, dan herniasi transtentorial dapat menyebabkan

suatu infark melalui kompresi dari arteri serebral posterior. Transtentorial herniasi juga

berhubungan dengan tekanan pada saraf kranial ketiga, menyebabkan reaktivitas menurun dan

kemudian dilatasi pupil ipsilateral.

Dengan herniasi transtentorial progresif, tekanan pada batang otak menyebabkan migrasi ke

bawah. Air mata ini pembuluh darah penting yang memasok batang otak, mengakibatkan

perdarahan Duret dan kematian. Peningkatan tekanan intrakranial (ICP) juga dapat menurunkan

aliran banjir serebral, mungkin menyebabkan iskemia dan edema dan meningkatkan lebih lanjut

ICP, menyebabkan lingkaran setan peristiwa pathophysiologic.

Hematoma subdural kronis

Kronis SDHs mungkin mulai sebagai hygroma subdural, yang dimulai sebagai pemisahan dalam

antarmuka dura-arakhnoid, yang kemudian diisi oleh CSF. Sel berkembang biak di sekitar

perbatasan dural koleksi ini CSF untuk menghasilkan sebuah neomembrane. Pembuluh darah

yang pecah kemudian tumbuh menjadi membran. Pada pembuluh darah ini dapat terjadi

perdarahan dan menjadi sumber darah ke ruang, mengakibatkan pertumbuhan SDH kronis.

SDHs kronis juga dapat berkembang dari pencairan dari SDH akut, terutama yang relatif tanpa

gejala. Pencairan biasanya terjadi setelah 1-3 minggu, dengan hematoma hypodense muncul

pada CT scan.

Page 21: Case Bedah Saraf

21

SDHs kronis yang terbentuk dari SDHs akut mungkin memiliki membran antara dura dan

hematoma pada 1 minggu dan antara otak dan hematoma pada 3 minggu. Sebagaimana

dinyatakan di atas, pembuluh rapuh baru dapat tumbuh ke dalam membran. Jika tidak diresorpsi,

kapal dalam membran yang mengelilingi hematoma dapat perdarahan berulang kali,

memperbesar hematoma. Beberapa SDH kronis juga bisa membesar dari gradien osmotik,

menarik lebih banyak cairan ke dalam ruang subdural, atau melalui mekanisme terpisah

kalsifikasi (Atkinson, 2003).

Pada tahun 1989, Kawakami menemukan bahwa sistem koagulasi dan fibrinolisis berdua

berlebihan diaktifkan di SDH kronis. Hal ini menyebabkan pembentukan bekuan rusak dan

perdarahan berulang. Katano et al (2006) baru-baru ini melaporkan status penanda molekul lain

dalam SDHs kronis.

Subdural Higroma

Lebih dari 80% penderita cedera yang datang ke ruang emergensi selalu disertai dengan

cedera kepala. Sebagian besar cedera kepala ini disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas berupa

tabrakan sepeda motor, mobil, dan penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh

jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (ranting pohon, kayu, dan sebagainya), olahraga, korban

kekerasan (misalnya senjata api, golok, parang, batang kayu, palu, dan sebagainya) dan lain-

lain.1

Kontribusi terbanyak cedera kepala adalah kecelakaan sepeda motor dan sebagian dari

mereka tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak memadai (>85%).1

Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai bagian terluar (scalp)

sampai bagian terdalam (intrakranial) yang tiap komponen tersebut terkait erat dengan

mekanisme cedera yang terjadi. Dengan demikian cedera yang terjadi dapat berupa cedera

jaringan lunak, fraktur tulang kepala, dan cedera otak. Salah satu cedera otak yang dimaksud

adalah hematom subdural. Hematom subdural ini sering sukar dibedakan dari higroma subdural,

yang juga merupakan cedera akibat trauma kapitis.1

Page 22: Case Bedah Saraf

22

Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan likuor cerebrospinalis (LCS) oleh kapsul

dibawah duramater. Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga

LCS mengalir dan terkumpul membentuk kolam. Penatalaksanaannya yang diberikan serupa

dengan terapi pada hematom subdural kronis.

I. ANATOMI KEPALA

Pengenalan kembali anatomi tengkorak sangat berguna dalam mempelajari akibat-akibat

cedera kepala. Berikut anatomi dari kepala :2

a. Kulit Kepala :

1. skin

2. connective

3. Aponeurosis atau galea aponeurotika

4. loose areolar tissue

5. perikranium

b. Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak

dasar dibagi atas tiga fosa yaitu : fosa anterior, media dan posterior. Fosa anterior adalah

tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah

ruang bagi batang otak bawah dan serebelum.

c. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu

durameter, arakhnoid, dan piameter. Dimana ruang antara durameter dan arakhnoid

disebut ruang subdural. Ruang epidural terletak antara durameter dan tabula interna

tengkorak. Diantara selaput arakhnoid dan piameter terdapat ruang subarakhnoid.

d. Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.

e. Cairan serebrospinalis (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan 30

ml/jam.

f. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari

fosa kranii anterior dan fossa kranii media) dan infratentorial (berisi fosa kranii psterior).

Page 23: Case Bedah Saraf

23

II. DEFINISI HIGROMA SUBDURAL

Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan likuor cerebrospinalis (LCS) oleh

kapsul dibawah duramater.3,4

Sebagian literatur juga menyatakan bahwa higroma subdural adalah hematom subdural

kronis/lama yang mungkin disertai oleh penumpukan/ pengumpulan cairan LCS di dalam ruang

subdural. Kelainan ini agak jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput araknoid

yang menyebabkan cairan LCS keluar ke ruang subdural.7 Dengan demikian higroma subdural

serupa dengan hematom subdural kronik (HSD kronik) . Hematom subdural kronis ini

merupakan salah satu dari lesi fokal primer pada cedera otak yang terjadi akibat trauma kapitis.1

Lesi hematom subdural ini lebih sering terjadi dibanding hematom epidural (HED atau

EDH). Mortalitas yang disebabkannya sebanyak 60-70%. Lesi ini terjadi akibat laserasi

arteri/vena kortikal pada saat terjadi akselerasi dan deselerasi. Pada anak dan usia lanjut sering

disebabkan ‘bridging vein’ yang menghubungkan permukaan kortek dengan sinus vena.1 

Berdasarkan waktu perkembangan lesi hingga memberikan gejala klinis, hematom

subdural dibedakan menjadi:5

1. Akut

Jika gejala timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera.

2. Subakut

Jika gejala klinis timbul antara hari ke-4 dan ke-20.

3. Kronis

Jika gejala timbul setelah 3 minggu. Hematom subdural kronis sering terjadi pada usia lanjut,

dimana adanya atrofi otak menyebabkan jarak antara permukaan kortek dan sinus vena

menjauh sehingga rentan terhadap goncangan. Kadang-kadang benturan ringan pada kepala

sudah dapat menyebabkan hematom subdural kronis.

Page 24: Case Bedah Saraf

24

III. PENYEBAB

Post-trauma kecelakaan

Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga LCS mengalir

dan terkumpul membentuk kolam. Post-traumatic subdural hygroma merupakan kasus yang

umum terjadi.2,3

Post-operasi (pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista)

Higroma subdural akut dan kronik merupakan komplikasi post-operasi yang umum

terjadi dari pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista. Shu-qing et al

melaporkan suatu kasus higroma subdural setelah tindakan reseksi suatu lesi desak ruang pada

ventrikel lateral yang menyebabkan deformasi brainstem dekompresif. Ia menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan yang sangat penting antara prosedur pembedahan, pencegahan kehilangan

LCS dan fluktuasi yang cepat dalam tekanan intrakranial.4

Komplikasi atau lanjutan dari Acute subdural hematoma/hematom subdural akut

Kebanyakan subdural hygromas (SDGs) atau higroma subdural terjadi sekunder akibat

trauma. Cofiar et al melaporkan kejadian perkembangan suatu higroma subdural pada pasien

Acute subdural hematoma (ASDH) atau hematom subdural akut, yang kemudian mengalami

resolusi spontan cepat dalam waktu 9 jam akibat kontribusi terhadap pembesaran higroma

subdural. Hematom subdural akut merupakan kumpulan darah segar di bawah lapisan duramater,

yang biasanya cukup besar untuk menekan otak dan menyebabkan kematian hingga 60-80%

kasus. Resolusi spontan cepat pada kasus hematom subdural akut sangat jarang terjadi. Salah

satu mekanisme resolusi spontan yang pernah dilaporkan adalah melalui terbentuknya higroma

subdural. Resolusi hematom subdural akut dan dampaknya terhadap higroma subdural harus

dipertimbangkan selama penatalaksanaan hematom subdural akut.5

Komplikasi dari tindakan anestesi

Higroma subdural merupakan kumpulan cairan subdural berupa cairan xanthochromic

yang jernih atau disertai darah. Membedakan antara higroma subdural dan hematom sulit

dilakukan dan mungkin artifisial, sebab higroma sering mengalami progresifitas menjadi

hematom. Vandenberg et al melaporkan suatu kasus higroma subdural yang terjadi setelah

Page 25: Case Bedah Saraf

25

tindakan anestesia spinal. Subdural hematoma dan higroma subdural merupakan komplikasi

yang jarang dari anestesia spinal. Penyebab komplikasi ini yang mungkin terpikirkan adalah

kebocoran LCS melalui fistula dural yang terbentuk akibat tindakan punksi. Kebosoran ini

menyebabkan pemisahan otak bagian kaudal (caudal displacement of the brain), dengan

konsekuensi berupa peregangan dan rembesan dari vena-vena subdural intrakranial.

Berkurangnya tekanan otak akibat atrofi serebral, pengecilan otak pada alkoholik dan pintasan

ventrikuler juga merupakan faktor yang memberikan kontribusi. Namun, pada kebanyakan

kasus, mekanisme yang ada tetap belum diketahui dengan jelas. Vandenberg menggunakan MRI

dan radioisotope cisternography untuk mengelusidasi patogenesis kasus tersebut.6

IV. DIAGNOSIS

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang

Post-traumatic subdural hygroma merupakan kasus yang umum terjadi, namun

penggalian diagnosis hanya dari anamnesis atau riwayat trauma tidak bersifat definitif karena

terdapat beberapa laporan data evolusi CT Scan dan klinis.7,8 Dengan demikian, selain anamnesis

dan pemeriksaan fisik, diperlukan juga penunjang berupa radiologis diagnostik yaitu CT Scan

dan MRI.

Dalam cedera kepala, point-point yang harus digali dari anamnesis meliputi:9, 10

Periode/waktu hilangnya kesadaran

Periode amnesia post trauma

Penyebab dan kasus cedera itu sendiri

Ada tidaknya nyeri kepala dan muntah

Page 26: Case Bedah Saraf

26

Gambar. Suatu gambaran MRI yang menunjukkan higroma subdural biparietal.7

Gambaran klinis

Gambaran klinis menunjukkan tanda peningkatan tekanan intrakranial, meski sering

tanpa disertai tanda-tanda fokal. Penyembuhan cedera otak primer yang biasanya berupa memar

otak, terganggu akibat adanya higroma ini.8

Stein dalam penelitiannya menemukan berbagai gejala terkait cedera kepala sebagai

berikut:11

Page 27: Case Bedah Saraf

27

V. TERAPI

Penatalaksanaannya yang diberikan serupa dengan terapi pada hematom subdural kronis.1

Penanggulangan pada kasus hematom subdural kronis adalah trepanasi dan evakuasi hematom

atau penyaliran.1,3,8

Untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan operasi, terdapat indikasi operasi. Di sentra

Rumah Sakit Ulin, salah satu kriteria dilakukan operasi adalah pergeseran midline shift melebihi

5 mm pada gambaran CT Scan atau volume massa melebihi 20 cc.

Page 28: Case Bedah Saraf

28

DAFTAR PUSTAKA

1. A n n e g e r s J F , L a w s E R J r , K u r l a n d L T , G r a b o w J D . H e a d t r a u m a

a n d s u b s e q u e n t  brain tumors. Neurosurgery. 1979, 4: 203-206.

2. Deangelis, Lisa M. 2001. Subdural haematoma. N Engl J Med, Vol. 344, No. 2

3. Greenberg, Harry S., Chandler, William F., Sandler, Howard M. 1999. Subdural

higroma.Oxford University Press: New York 

4. H a r s o n o . 2 0 0 8 .   B u k u A j a r N e u r o l o g i K l i n i s . G a j a h M a d a

U n i v e r s i t y P r e s s ; Yogyakarta. Hal 201-2077.Japardi, Iskandar. 2002.

Gambaran CT-Scan pada Subdural haematoma. USU digital library; Sumatera

Utara

5. Japardi, Iskandar. 2002. Tekanan Tinggi Intrakranial. USU digital library;

SumateraUtara.

6. Mardjono, mahar. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat; Jakarta. Hal 390-396

7. Ngoerah, I Gst Ng Gd. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga

UniversityPress; Surabaya. Hal 332-345.

8. Sitepu, Firman, Nara, P. 1985. Komplikasi subdural higroma. Cermin Dunia

Kedokteran No. 36,1985 41

9. http://en.wikipedia.org/wiki/ subduralhaematoma diakses 17 Oktober 2012

10. http://emedicine.medscape.com/article/343207-overview#a23 diakses 19 Oktober 2012