CA Nasofaring
-
Upload
dewiratnasyeosiin -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
description
Transcript of CA Nasofaring
CA NASOFARING
A. KONSEP
1. Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor
ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001
hal 146)
Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh pada sel epitelial-
batas permukaan badan internal dan external sel di daerah nasofaring. (American Cancer Society,
2011)
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk di
jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di belakang hidung.
Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung dengan panjang 5 inchi dimulai dari
belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan makanan melawati
pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel skuamos yang melapisi
nasofaring. (National Cancer Institute, 2011).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel nasofaring.
Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok,
serta dasar tengkorak. (Munir, 2010)
2. Etiologi
a. Faktor Virus (Virus EIPSTEIN BARR)
b. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine
c. Faktor lingkungan (polusi asap kayu bakar, atau bahan karsinogenik misalnya asap rokok dll)
d. Sering kontak dengan Zat karsinogen (benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap industri,
asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
e. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
f. Radang kronis nasofaring
g. Iritasi menahun : nasofaringitis kronis disertai rangsangan oleh asap, alkohol dll.
h. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
a. Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien datang berobat
dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari rongga hidung atau
nasofaring, bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan permukaan tumor, sehingga
pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan epiktasis. Yang ringan timbul
epiktasis, yang berat dapat timbul hemoragi nasal masif.
b. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini disebabkan
tumor menyumbat lubang hidung posterior.
c. Tinitus dan pendengaran menurun : penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan di
dinding lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustaki, menyebabkan tekanan negatif di
dalam kavum timpani, hingga terjadi otitis media transudatif. Bagi pasien dengan gejala ringan,
tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan sementara. Menurunnya kemampuan
pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
d. Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal atau oksipital satu
sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf cranial atau os basis kranial, juga
mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh darah yang menyebabkan sefalgia reflektif.
e. Rudapaksa saraf cranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk ke superior, dapat
mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah alami kranial masuk ke area
petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal,
foramen ovale, dan area sinus spongiosus) membuat saraf kranial III, IV, V dan VI rudapaksa,
manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata (temasuk paralisis saraf
abduksi tersendiri), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi meningen
(sindrom fisura sfenoidal), bila terdapat juga rudapaksa saraf kranial II, disebut sindrom apeks
orbital atau petrosfenoid.
f. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe kelompok
profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup otot
sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri, maka pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian
pasien yang metastasis kelenjar limfenya perama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di
segitiga koli posterior.
g. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati. Metastasi tulang
tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Manifestasi metastasis tulang adalah
nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat, lokasi tetap dan tidak berubah-ubah dan secara bertahap
bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan
seluruh tubuh dapat membantu diagnosis. Metastasis hati, paru dapat sangat tersembunyi, kadang
ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax, pemeriksaan hati dengan
CT atau USG. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 147 -148).
4. Patofisiologi
Infeksi virus Epstein Barr dapat menginfeksi sel epitel dan berhubungan dengan transformasi
ganas yang dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai
adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini
sel yang teerinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses
poliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai pertanda dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi
permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang
kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Penyebaran ke jaringan dan
kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan. Jika terjadi Penyebarannya keatas tumor
meluas ke intracranial menjalar sepanjang fossa medialis disebut penjalaran petrosfenoid,
biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan fossa kraniimedia dan
fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N.I-N.VI) kumpulan gejala yang
terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut sindrom
petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal. Jika
penyebaran ke belakang tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia
pharyngobasilaris yaitu sepanjang fossa posterior dimana di dalamnya terdapat nervus cranial
IX-XII disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak
yaitu N.VII-N.XII
5. Pathway
Karsinoma nasofaringVirus Eistein Bar
Makanan yang diawetkan (ikan asin)
Faktor lingkungan, iritasi menahun
Sering kontak dgn karsinogen
Radang kronis nasofaring
Pertumbuhan sel abnormaPerub. Membran mukosaKonstipasi/diareKekeringan kel.
rambut
alopeniaGangguan konsep diri: HDR
Nutrisi kurang dari kebutuhan
Mual muntah
Kekeringan mukosa
Iritasi mukosa GI
Gejala hidung
Hidung tersumbat
epistaksis
pilekGejala mata
mata kabur
diplopia
Hilang
pendengaranGejala
pendengaran
Pembesaran kel. limfe
Gejala tumor lainnya
Penekanan jar. Syaraf o/ sel2 kanker
Gangguan rasa nyaman nyeri
Gejala saraf
Nyeri kepala
Susah menelan
Perubahan persepsi sensori
Post radioterapiradiasi
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Nasofaringoskopi
1) tanpa menggunakan kateter
menggunakan kaca dan lampu khusus untuk menilai nasofaring dan area yang dekat sekitarnya.
Pada pasien dewasa yang tidak sensitif, pemeriksaan ini dapat dilakukan. Tumor yang tumbuh
eksofitik dan sudah agak besar akan dapat tampak dengan mudah.
2) menggunakan kateter
menggunakan sebuah fibreoptic scope (lentur, menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke
rongga hidung atau mulut) untuk menilai secara langsung lapisan nasofaring. Dua buah kateter
dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri, setelah tampak di orofaring,
ujung katater tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan
masing-masing ujung kateter yang lainnya.
b. Biopsi nasofaring yaitu Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah
mikroskop oleh patologi untuk memastikan tanda-tanda kanker
c. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga
tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan. Memastikan luas lesi,memonitor kondisi
remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tindak lanjut
d. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B.
1) Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >= 1:80;
2) Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-Imunoglobulin) EA-IgA dan EBV-
DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.
3) Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi kontinu atau
terus meningkat.
e. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
(Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 148 - 149).
7. Penatalaksanaan
a. Radioterapi
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila
ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupa diseksi leher (benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau
timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih
dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor
transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
b. Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan
kemoradioterapi konkomitan.
c. Operasi pembedahan
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca
radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan
bersih.
B. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker
payudara
b. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
c. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan
yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
d. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan
hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
e. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
2) Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah,
epistaksis/perdarahan hidung.
3) Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak
berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
4) Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus,
distensi abdomen.
5) Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa
kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor
kulit.
6) Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
7) Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena
fibrosis jaringan akibat penyinaran
8) Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok), pemajanan
9) Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam
kulit.
10) Seksualitas
Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.
11) Interaksi sosial
Ketidakadekuatan atau kelemahan sistem pendukung
(Doenges, 2000)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
b. Gangguan sensori persepsi (pendengaran) berubungan dengan gangguan status organ sekunder
metastase tumor
c. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan
yang kurang.
d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya informasi.
e. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit, pengobatan
penyakit.
3. Rencana Keperawatan
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
Tujuan : Rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil :
Mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri
Melaporkan penghilangan nyeri maksimal/kontrol dengan pengaruh minimal
pada AKS
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Tentukan riwayat nyeri misalnya
lokasi, frekuensi, durasi
2. Berikan tindakan kenyamanan dasar
(reposisi, gosok punggung) dan
aktivitas hiburan.
3. Dorong penggunaan ketrampilan
manajemen nyeri (teknik relaksasi,
visualisasi, bimbingan imajinasi)
musik, sentuhan terapeutik.
4. Evaluasi penghilangan nyeri atau
control
Kolaborasi
1. Berikan analgesik sesuai indikasi
misalnya Morfin, metadon atau
campuran narkotik
1. Informasi memberikan data dasar untuk
mengevaluasi kebutuhan/ keefektivan
intervensi
2. Meningkatkan relaksasi dan membantu
memfokuskan kembali perhatian
3. Memungkinkan pasien untuk
berpartisipasi secara aktif dan
meningkatkan rasa control
4. Kontrol nyeri maksimum dengan
pengaruh minimum pada AKS
1. Nyeri adalah komplikasi sering dari
kanker, meskipun respon individual
berbeda. Saat perubahan penyakit atau
pengobatan terjadi, penilaian dosis dan
pemberian akan diperlukan
2. Gangguan sensori persepsi (pendengaran) berubungan dengan gangguan status
organ sekunder metastase tumor
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi.
Kriteria Hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.
Intervensi Rasional
1. Tentukan ketajaman pendengaran,
apakah satu atau dua telinga terlibat .
2. Orientasikan pasien terhadap
lingkungan.
3. Observasi tanda-tanda dan gejala
disorientasi.
1. Mengetahui perubahan dari hal-hal
yang merupakan kebiasaan pasien .
2. Lingkungan yang nyaman dapat
membantu meningkatkan proses
penyembuhan.
3. Mengetahui faktor penyebab gangguan
persepsi sensori yang lain dialami dan
dirasakan pasien.
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
Berat badan dan tinggi badan ideal.
Pasien mematuhi dietnya.
Kadar gula darah dalam batas normal.
Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Intervensi Rasional
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan
makan.
2. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet
yang telah diprogramkan.
3. Timbang berat badan setiap seminggu
sekali.
1. Untuk mengetahui tentang keadaan dan
kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat
diberikan tindakan dan pengaturan diet
yang adekuat.
2. Kepatuhan terhadap diet dapat
mencegah komplikasi terjadinya
hipoglikemia/hiperglikemia.
3. Mengetahui perkembangan berat badan
pasien (berat badan merupakan salah
4. Identifikasi perubahan pola makan.
satu indikasi untuk menentukan diet).
4. Mengetahui apakah pasien telah
melaksanakan program diet yang
ditetapkan.
4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil :
Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya
dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang
diperoleh.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan
pasien/keluarga tentang penyakit DM
dan Ca. Nasofaring
2. Kaji latar belakang pendidikan pasien.
3. Jelaskan tentang proses penyakit, diet,
perawatan dan pengobatan pada
pasien dengan bahasa dan kata-kata
yang mudah dimengerti.
4. Jelasakan prosedur yang kan
dilakukan, manfaatnya bagi pasien
dan libatkan pasien didalamnya.
5. Gambar-gambar dalam memberikan
1. Untuk mengetahui sejauh mana
pengetahuan yang diketahui
pasien/keluarga.
2. Agar perawat dapat memberikan
penjelasan dengan menggunakan kata-
kata dan kalimat yang dapat dimengerti
pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.
3. Agar informasi dapat diterima dengan
mudah dan tepat sehingga tidak
menimbulkan kesalahpahaman.
4. Agar pasien lebih kooperatif dan
cemasnya berkurang.
5. Gambar-gambar dapat membantu
penjelasan (jika ada / memungkinkan). mengingat penjelasan yang telah
diberikan.
5. Harga diri Rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit,
pengobatan penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 3×24 jam klien menerima keadaan dirinya
Kriteria Hasil :
Menjaga postur yang terbuka
Menjaga kontak mata
Komunikasi terbuka
Menghormati orang lain
Secara seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan dalam kelompok
Menerima kritik yang konstruktif
Menggambarkan keberhasilan dalam kelompok social.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami
oleh pasien.
2. Beri kesempatan pada pasien untuk
mengungkapkan rasa cemasnya.
3. Gunakan komunikasi terapeutik.
4. Beri informasi yang akurat tentang
proses penyakit dan anjurkan pasien
untuk ikut serta dalam tindakan
keperawatan.
1. Untuk menentukan tingkat kecemasan
yang dialami pasien sehingga perawat
bisa memberikan intervensi yang cepat
dan tepat.
2. Dapat meringankan beban pikiran
pasien.
3. Agar terbina rasa saling percaya antar
perawat-pasien sehingga pasien
kooperatif dalam tindakan keperawatan.
4. Informasi yang akurat tentang
penyakitnya dan keikutsertaan pasien
dalam melakukan tindakan dapat
mengurangi beban pikiran pasien.
5. Sikap positif dari timkesehatan akan
5. Berikan keyakinan pada pasien bahwa
perawat, dokter, dan tim kesehatan
lain selalu berusaha memberikan
pertolongan yang terbaik dan
seoptimal mungkin.
6. Berikan kesempatan pada keluarga
untuk mendampingi pasien secara
bergantian.
7. Ciptakan lingkungan yang tenang dan
nyaman.
membantu menurunkan kecemasan
yang dirasakan pasien.
6. Pasien akan merasa lebih tenang bila
ada anggota keluarga yang menunggu.
7. Lingkung yang tenang dan nyaman
dapat membantu mengurangi rasa
cemas