BULETIN KAJI - lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/uploads/2017/09/PDF-Buletin-LKM-2017.pdf · Bernalar...
Transcript of BULETIN KAJI - lkmunj.orglkmunj.org/wp-content/uploads/2017/09/PDF-Buletin-LKM-2017.pdf · Bernalar...
SAPA REDAKSI
Dengan mengucapkan rasa syukur,
akhirnya Lembaga Kajian Mahasiswa
mampu menyuguhkan kembali Buletin Kaji
LKM Edisi Agustus. Merupakan buletin
pertama pada periode tahn 2017 setelah
hiatus beberapa bulan lalu.
Kali ini kami menyajikan Buletin
Kaji yang membahas pengalaman berbuku
mahasiswa. Tersaji pula liputan
berdasarkan penelitian, esai dengan tema
serupa, hingga cerpendan puisi yang
bercerita dengan nuasa yang serupa pula
dengan pengalaman berbuku. Tak lupa,
terselip liputan khusus yang menambah
keragaman suguhan pada buletin ini.
Akhir kata, selamat membaca
Buletin Kaji LKM UNJ dengan tema
Membaca Pengalaman Berbuku. Mari
tunjukkan semangat berliterasi!
Salam,
Tim Redaksi
TIM REDAKSI
Pembina
Irsyad Ridho, M.Hum
Penanggungjawab
R. Bimo Wahyu
Pemimpin Redaksi
Ajeng Damara
Redaksi
Sarah, Ana Tria, Guntur
Widhiyatmoko, Muthi, Ayenni
Afriyani, Raden Bimo, Hadistian,
Megawati Rusdiantoro, Qinthara
Dwiputri, Adiba Ciptaningrum,
Muguel Angelo, Prima Nandita,
Tommy Juliansyah, Ghifani Azhar,
Diana Dwi, Indrawana Sinaga.
Desain Sampul dan Ilustrasi
Miguel Angelo, Hadistian
Penata Letak
Qinthara Dwi
Editor
Ghifani Azhar
DAFTAR ISI
SOSOK: Rumah Berpenghuni Buku (1), LIPUTAN UTAMA: Membaca Pengalaman
Berbuku Mahasiswa (4). LIPUTAN KHUSUS: Mengenang Yang Terlupakan (8), ESAI:
Bernalar Lewat Komik (11), Mencari Arti Dari Mem baca (14), Imajinasi Di Atas Kertas
Tertulis (18), Buku Berfisik dan Digital (21), CERPEN: Seratus Rupiah (24), Hanya
Gerbang Kecil (27), Ku Kutuk Kau Jadi Sampul Plastik! (32), Dunia 2.0 (37), RESENSI:
Belenggu Manusia (42), ANTOLOGI PUISI (45)
BULETIN KAJI EDISI AGUSTUS 2017
KRITIS – AKTUAL – JUJUR - INDEPENDEN
LEMBAGA KAJIAN MAHASISWA Website : lkmunj.org
Sekretariat :Ruang 305, Gedung G, Kampus A UNJ Kontak :
Facebook : Lembaga Kajian Mahasiswa – UNJ Ghifani (085780696381)
Instagram dan Twitter : @lkmunj Tommi (085885916950)
SEGERA HADIR
Seminar Wicara Publik
Stadium Generale
LEMBAGA KAJIAN MAHASISWA 2017
Info lebih lanjut:
Sekretariat LKM UNJ Ruang 305, Lantai 3 Gedung G
Kampus A UNJ
Facebook : Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ
Twitter : @lkmunj
Instagram : @lkmunj
Website : lkmunj.org
Kontak : Tommi (085885916950)
SOSOK
Rumah Berpenghuni Buku
Mahasiswa tidak membaca buku seperti sepatu bot
Sepatu itu hanya digunakan tetapi tidak dilihat man-
faat dari sepatu tersebut
Oleh Sarah dan Ana Tria Purnama Prodi Pendidikan
Sosiologi dan Sosiologi Pembangunan
Pembaca berbangga diri jika
ruang-ruang rumahnya di-huni buku.
Buku tertata rapi saling berdempet di
lemari-lemari yang berdiri kokoh.
Ruang disediakan khusus laiknya
sebuah kamar un-tuk buku.
Dilengkapi dengan kursi untuk
kenyamanan sang pemilik
berinteraksi dengan bukunya.
Menjadikan tempat tersebut favorit
bagi pemiliknya. Tak hanya menjadi
ruang baca, ruang yang berukuran
2x2 ini sebagai tempat untuk
mengawinkan ide dan pikirannya.
Mengakrabi buku mesti
dokumentasi pribadi
sering dilakukan agar buku-bu-ku itu
tidak kesepian. Tak jarang beberapa
buku diajak menema-ni sang pemilik
bepergian. Buku dibaca saat di
perjalanan dalam mobil atau disela-
sela kesibukan bekerja. Tubuh
menampik lelah ketika menyandang
perjumpaan dengan buku.
Robertus Robet atau yang
sering disapa Pak Robet tetap
berikhtiar membaca buku meski-pun
sudah sibuk bekerja sebagai dosen di
jurusan Sosiologi Universitas Negeri
Jakarta (UNJ). Ia sudah 1
menyenangi buku sejak Sekolah
Dasar (SD), kegemaran membaca
buku sejak kecil ini menjadi ke-
biasaan hingga sekarang. Hari-hari
libur sekolah diisinya dengan
membaca buku dongeng dan novel.
Kebiasaan ini dilanjutkan-nya ketika
menginjak Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Tak hanya dongeng
dan novel ia mulai mem-baca tokoh-
tokoh pemikiran barat. Kelas diisi
oleh beberapa guru yang senang
bercerita dan berbagi pen-galaman.
Cerita-cerita dari para guru
mendorong Robertus Robet untuk
mencari tahu lebih jauh le-wat
berbagai bacaan. Buku-buku
pemikiran, jurnal, majalah, dan novel
sudah dibacanya sejak SMP. Di
Sekolah Menengah Atas (SMA),
Robertus Robet sudah berkenalan
dengan buku bacaan yang berat
seperti filsafat dan politik. “Saat masih sekolah saya
lebih sering membaca buku ketika
hari libur. Di sekolah saya, ada per-
pustakaan yang dapat dipinjam
bukunya. Menjelang liburan saya
meminjam buku banyak-banyak
untuk persiapan mengisi waktu libur
dengan membaca,” ujarnya ketika
menjelaskan waktu yang paling
sering untuk membaca. Lulusan University of Bir-
mingham ini dengan jurusan Po-
litical Thought sangat menghargai
waktu. Menurutnya waktu yang
paling baik saat membaca buku
adalah ketika waktu kosong. Tak ada
yang paling indah ketika wak-tu
kosong dipakai untuk membaca. Diri
sudah terdorong untuk membaca
semenjak kecil. Robertus Robet sejak
awal sudah mandiri untuk mencari
buku bacaannya sendiri. Hingga
sekarang pun sudah banyak buku-
buku yang ia tulis berkat modal
membacanya sejak Sekolah Dasar
(SD). Menuju Kewarganegaran
Substantif di In-donesia (2006),
Republikanisme dan Keindonesiaan
(2006), Politik Hak Asasi Manusia
dan Transisi di Indonesia (2008),
Kembalin-ya Politik (2008), Manusia
Politik: Subyek Radikal dan Politik
Em-ansipasi di Era Kapitalisme
Global Menurut Slavoj Žižek (2010)
me-rupakan karya-karya yang ia tulis
sejak menjadi mahasiswa.
Kadang bertukar buku
dengan teman atau tetangga. Se-
sekali mendatangi tempat penye-
waan buku dan pergi ke toko buku
bekas jika sedang memiliki uang.
Majalah Prisma dan buku-bu-ku
konsep sering dibelinya. Per-jalanan
ke toko buku kadang dilakukannya
sendiri atau bersama teman. Toko
buku menjadi kelas idaman bagi
pelajar-pelajar yang gurunya adalah
buku. “Dulu di Lampung ada be-
berapa toko buku bekas. Yang pasti
2
SOSOK
harganya lebih murah dan bukunya
asli jadi saya beli di sana,” pa-parnya. Keinginan memiliki buku
terkadang mengalami beberapa
kendala. Misalnya terlalu banyak
buku yang sudah diincar namun
harganya terlalu mahal. Maka, tidak
semua buku dapat dibawa pulang,
buku dipilih lagi menu-rut
pertimbangan mana yang paling
disukai. Robertus Robet juga sering
mencuri buku di toko atau
perpustakaan. Mencuri sengaja
dilakukan untuk memenuhi hasrat
memiliki buku. Mencuri buku
dipandangnya tidak berdosa se-bab
menunjukan hasrat membaca
mahasiswa telah melampaui jumlah
uang yang dimiliki. Pencuri buku
dianggap lebih bermartabat
ketimbang pencuri isi buku. “Buku bagi saya adalah
sumber imajinasi. Jika kita mem-
baca buku maka imajinasi kita akan
bertambah luas. Itu peran buku yang
paling penting. Tidak masalah buku
itu adalah prosa, fiksi ataupun konsep, buku sama-
sama membentuk imajinasi kita.
Misalnya, buku konsep yang kita
baca dapat mengajak kita ber-pikir
dan kemudian berimajinasi. Novel
mengenalkan kita pada ber-bagai tipe
manusia sehingga dari situ kita dapat
terbantu untuk berimajinasi,”
jawabnya menjelaskan
akan pentingnya buku.
Sebagai dosen, Robertus
Robet merasakan jika rendahnya
kualitas skripsi merupakan dam-pak
dari kurangnya bacaan mahasiswa.
Tanpa rela berlelah diri, mahasiswa
kini hanya membaca konsep-konsep
dari blog. Pasalnya bloger adalah
tulisan seseorang yang belum diuji
secara akademik kevalidasiannya.
Mahasiswa tidak memahami konsep
secara penuh kemudian menuliskan
konsep ter-sebut di dalam skripsinya.
Dengan memilih cara yang instan ini
me-nyebabkan skripsi menjadi tidak
bermutu, kurang gagasan dan ti-dak
memiliki konsep.
“Mahasiswa tidak mem-baca
buku seperti sepatu bot,” ujarnya
menjelaskan rendahnya gelar
mahasiswa jika tidak membaca buku. Mendengar pernyataan
Robertus Robet, mahasiswa mesti
lekas membaca buku.
3
SOSOK
RISET
Membaca Pengalaman Berbuku Mahasiswa
Oleh Guntur, Muthia, dan Sarah Prodi Manajemen, Pendidikan Luar Biasa, dan
Pendidikan Sosiologi
Mengisi kuesioner menan-
tang ingatan untuk tak segera
melupakan pengalaman berbuku.
Kuesioner juga turut menjadi pe-
negur, sudah berbukukah dirimu
selama ini? Seratus mahasiswa
Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
mengisi kuesioner untuk membagi
pengalaman membaca mereka.
Buku-buku yang sudah terbaca
menuntut untuk dipatenkan dalam
ingatan mahasiswa. Buku memang
tidak menjanjikan nilai tinggi namun
buku menyimpan martabat akan
simbol mahasiswa sebagai jabatan
intelektual. Buku-buku molek dengan
berbagai jenis membujuk mahasiswa
untuk membacanya. Buku sastra
menjadi yang paling sering singgah
di tangan mahasiswa. Sebanyak 36%
mahasiswa memilih untuk
menjadikan buku sastra sebagai
bacaan utama. Disusul dengan
mahasiswa yang memilih buku
hiburan sebanyak 21%, buku agama
sebanyak 15%, buku sejarah
sebanyak 9%, dan buku motivasi
sebanyak 7%. Si-sanya 12%
mahasiswa memilih buku jenis lain
seperti hukum, ekonomi, matematika
dan sosial.
Tere Liye patut sumringah
sebab namanya menjadi penulis yang
paling sering disebut maha-siswa.
Bukunya tak diragukan telah sering
singgah di rak buku mahasiswa.
Ketenaran Tere Liye berhasil
mengalahkan nama-nama penulis
lain yang berada di urutan setelahnya
yaitu Andrea Hirata, Raditya Dika,
Habiburrah-man El Shirazy, Pidi
Baiq, Salim A. Fillah, Felix Siauw,
Ayu Utami dan Asma Nadia. Mereka
adalah 9 penulis yang namanya
paling sering disebut oleh mahasiswa.
Penulis lain telah jarang disebut atau
bahkan hilang sama sekali dari
ingatan.
Membaca menjadi pe-ristiwa
berkejaran dengan waktu. Sudah
berapa buku yang kamu lahap habis
dalam satu tahun? Pertanyaan seakan
sinis
4
menggugat banyaknya bacaan buku
yang sudah diselesaikan. Mahasiswa
tertantang untuk jujur dan mengakui
banyaknya buku yang telah dibaca. 2%
mahasiswa menjawab menghabiskan
kurang dari satu buku dalam setahun,
39% mahasiswa menghabiskan
kurang dari lima buku, 27%
mahasiswa menghabiskan kurang
dari 10 buku, 16% mahasiswa
menghabis-kan kurang dari lima
belas buku, 6% mahasiswa
menghabiskan kurang dari dua puluh
buku, dan 10% mahasiswa
menghabiskan di atas dua puluh buku.
Buku yang berjejer di rak-
rak toko menunggu mahasiswa untuk
membelinya. Buku berlomba
mempercantik diri agar pembeli
tertarik memilih-nya di antara ribuan
buku lain. Buku kini mulai belajar
bergaya di depan kamera untuk dijual
secara online. 8% mahasiswa telah
memilih untuk mem-beli buku secara
online. Sementara
Gramedia menjadi toko buku yang
paling sering dikunjungi mahasiswa
di Jakarta sebanyak 69%. Lainnya
sebanyak 9% memilih membeli di
lapak buku pasar Senen, 1% memilih
membeli di lapak buku Blok M, dan
15% memilih membeli buku di toko
lainnya.
Di dalam toko buku, tan-gan
mahasiswa bergiat memilih buku
tanpa mengingat waktu. Nafsu
membeli dan membaca buku seakan
mengesampingkan setumpuk nafsu
untuk membeli cemilan demi bekal
nongkrong bersama teman atau
pacar. Uang disisihkan demi
memenuhi hasrat membaca buku.
Namun ibadah membeli buku
sepertinya masih jarang dilakukan
mahasiswa. 1% mahasiswa mengaku
tidak pernah membeli buku. 50%
mahasiswa membeli kurang dari
lima buku dalam satu tahun, 27%
mengaku membeli kurang dari
sepuluh buku, 8% mahasiswa
mengaku membeli kurang dari
5
RISET
lima belas buku, 10% mahasiswa
mengaku membeli kurang dari dua
puluh buku, dan 4% mahasi-swa
mengaku membeli di atas dua puluh
buku.
Meminjam buku dilako-ni
untuk memenuhi keinginan membaca
buku. Setidaknya buku telah terbaca
walaupun tak sang-gup untuk
dimiliki. Meminjam buku
menyimpan kegelisahan akan terkena
denda, hilang atau-pun rusak.
Terlepas dari resikonya, meminjam
menjadi solusi mudah untuk
memenuhi keinginan membaca yang
kelewat besar di-bandingkan besaran
jumlah uang di dompet. 36%
mahasiswa me-milih meminjam buku
di perpu-stakaan kampus, 55%
mahasiswa memilih meminjam buku
kepada teman, 1% mahasiswa
mengaku memilih meminjam buku di
perpustakaan swasta, 1% maha-siswa
tidak pernah meminjam buku, dan 7%
mahasiswa memilih meminjam buku
di tempat lain
seperti tempat penyewaan buku.
Buku-buku yang telah di-
pinjam mesti lekas dibaca untuk
segera dikembalikan. Telat men-
gembalikan buku di perpustakaan
berarti mengeluarkan uang untuk
membayar denda. Lama mengem-
balikan buku yang dipinjamkan
teman berarti harus rela menang-
gung tagihan buku untuk dikem-
balikan. Maka meminjam buku mesti
mempertimbangkan jum-lah buku
yang dipinjam dan la-manya waktu
membaca. 1% maha-siswa menjawab
tidak pernah meminjam buku, 57%
meminjam buku kurang dari lima, 25%
me-minjam buku kurang dari
sepuluh, 11% meminjam buku
kurang dari lima belas, 2%
meminjam buku kurang dari dua
puluh, dan 4% meminjam buku di
atas dua puluh.
6
RISET
Membaca tak hanya meng-
hadirkan buku dan pembaca.
Membaca sering kali mesti memiliki
syarat ruang yang tenang dan
nyaman. Membaca mencipta
keengganan akan gangguan orang
lain. Rumah dipilih 73% mahasiswa
sebagai tempat yang paling cocok
untuk membaca buku. Mahasiswa
tidak banyak berbuku di lingkungan
kampus, sebab hanya 9% mahasiswa
yang memilih menghabiskan waktu
untuk membaca buku di
perpustakaan. Selebihnya memilih
kafe sebanyak 1%, memilih bus
sebanyak 1%, memilih taman
sebanyak 6%, dan 10% memilih
membaca di tempat lainnya.
Sepasang tangan meng-
akrabi buku lewat berbagai per-
temuan. Toko buku, dosen, teman,
keluarga, dan perpustakaan mem-
pertemukan kita dengan buku le-wat
berbagai cara. Ada beda kisah dalam
setiap pertemuan dengan masing-
masing buku. Setyaningsih dalam
buku Serbu (2017) bercerita
mengenai buku Pippi Si Kaus Kaki
Panjang yang ditemuinya di toko
buku bekas Blok M. Buku penuh
coretan tidak karuan membuat
Setyaningsih menebak jika pemilik
sebelumnya berwatak anarkis dan
tidak mencintai buku dengan kasih.
Buku sudah sering bercerita
mengenai pemiliknya. Namun
sudahkan sang pemilik bercerita
mengenai semua bukunya?
Pertemuan dengan buku membuat
kesan seakan kita ber-temu dengan
teman atau kekasih setelah lama
tidak berjumpa.
dakwatuna
7
RISET
LIPUTAN KHUSUS
Mengenang yang Terlupakan
Oleh Ayenni Afriyani, Prodi Pendidikan IPS
Parade Utuy Tatang Sontani
beberapa waktu lalu telah usai, teater
ini dibawakan oleh Teater Zat yang
merupakan Komunitas Seni Bidang
Teater di Prodi Bahasa dan Sastra
Indoneisa. Teater ini dilakukan
selama dua hari dengan
menampilkan tiga teater, yaitu
Subang dan Lukisan pada tanggal 18
Mei 2017 pukul 15.30, Keluarga
Wangsa pada tanggal 18 Mei pukul
19.30, dan Sayang Ada Orang Lain
pada tanggal 19 Mei 2017 pukul
19.00. Dengan persiapan sela-ma dua
bulan. Cukup membeli tiket sseharga
Rp 10.000,00 untuk menyaksikan 3
drama.
Dokumentasi pribadi
Drama Subang dan Lukisan,
serta Keluarga Wangsa diangkat dari
karya cerpen eksil Utuy Tatang
Sontani. Sedangkan, drama Sayang
Ada Orang Lain di angkat dari
naskah dramanya. Sayang Ada
Orang Lain merupakan salah sebuah
naskah drama yang banyak
dipentaskan pada tahun 1950-an
yang diantaranya pernah
dipanggungkan sukses di Gedung
Kesenian Jakarta dengan Sutradara
Nugroho A.N dan pemain S. Effendi,
Fatimah Adi, dan Suminta. Menurut sutradara Ke-
luarga Wangsa, yaitu Ahmad Zae-
lani, Utuy Tatang Sontani sengaja
diangkat untuk tema drama kali ini
karena ada satu hal yang sangat
penting dari diri Utuy Tatang Sontani.
Di mana ia pergi ke RRC untuk
menjalani pengobatannya tetapi tidak
pernah kembali lagi ke tanah air. Dan
juga naskah-naskahnya atau buku
Utuy tidak boleh diterbitkan.
Tiga judul drama Utuy
Tatang Sontani sengaja diangkat
karena saling berhubungan satu sama
lain. Di mana Subang dan Lu-kisan
menampilkan drama yang
memerankan perekonomian kelas
atas, Keluarga Wangsa dengan
8
perekonomian tengah-tengah, dan
Sayang Ada Orang Lain dengan
peran keluarga dengan perekonomian
menengah bawah alias miskin. Jadi,
dari penuturan Ahmad Zaelani,
perekonomiannya dari kelas atas ke
kelas bawah. Teater Zat yang telah ber-diri
selama 22 tahun. Tak sembarangan
mencomot naskah-naskah tersebut
untuk dijadikan teater. Akan tetapi,
dilakukan kajian dan bedah naskah
terlebih dahulu. Mulai dari tulisan
Ajip Rosidi, tulisan dari Komunitas
Salihara, sam-pai tulisan dari buku
Utuy Tatang Sontani. Hal ini untuk
mengetahui seberapa pentingnya
naskah itu diangkat.
Belum banyak yang meng-
etahui sosok Utuy Tatang Sontani
rata-rata pada mengenal Pramoedya
Ananta Toer. Ini ka-rena sosok Utuy
yang tak pernah terdengar. Padahal
Utuy dan Pramoedya sama-sama
berasal dari pujangga angkatan 45.
In-ilah yang membuat Teater Zat
mengambil sosok Utuy.
Dalam buku Mengenang
Hidup Orang Lain (2010) oleh Ajip
Rosidi yang sempat bersi-lat
pandangan Utuy. Berdasar-kan
pengalamannya, Utuy mer-upakan
teman dekatnya dengan satu
organiasi yang sama yaitu, anggota
BPB (Beungkeutan Pan-gulik
Budaya) Kiwari. Kemudian Utuy
dikeluarkan dari BPB karena
mempunyai paham yang berlain-an
dengan Lekra yang diikuti oleh Utuy.
Pada keadaan politik yang memanas
pada sekitar 1964 Utuy memberikan
ceramah mengenai kesustraan Sunda
yang kemudian dimuat pada majalah
Jaman Baru terbitan resmi Lekra.
Dia yang seumur hidupnya tidak
suka akan te-ori dalam tulisannya itu
mencoba menerapkan tentang teori
pertentangan kelas dalam
menganalisa kesustraan Sunda, yaitu
menganggapnya terbagi menjadi
kelas atas (menak) dan kelas bawah
(rakyat).
Sebelumnya drama dari Utuy
Tatang Sontani pernah diangkat pada
tahun 2014 un-tuk teater kelas.
Namun pada
dokumentasi pribadi
9
LIPUTAN KHUSUS
kesempatan bulan Mei 2017 lalu, dengan empat tahun sebelumnya
diangkatlah oleh Teater Zat di Aula Teater Zat hanya anak JBSI. Teta-
Gedung S Universitas Negeri Jakarta. pi mulai terdengar Teater Zat ke
Untuk pemilihan tokoh pe- prodi lain karena sering tampil di
meran di dalam teater. Pria yang acara-acara kampus, seperti sem-
sedang skripsi sekaligus sutradara inar. Lama-kelamaan antusiasme
ini memilih pemain melalui proses mahasiswa mengikuti teater Zat.
pemilihan. Dimulai dari segi fisik Dari penuturan pimpinan
apakah cocok atau tidak memer- produksi yaitu, Windy Ekananda
ankan tokoh tersebut, hingga me- yang bertugas mengepalai proses
lihat proses mereka sebelumnya di produksi dan manajemen menga-
teater zat, agar tidak terjadi kesala- takan, tidak ada tantangan dalam
han dalam pemilihan peran. memimpin Parade Utuy Tatang
Akan tetapi, untuk kehadiran Sontani ini. Hanya saja memerlu-
penonton pada hari pertama yang kan proses produksi yang cepat ka-
pukul 15.30 tidak terlalu ramai dika- rena adanya keterbatasan waktu.
renakan masih terbilang sore hari. Tanggapan hadir dari pe-
Namun, pada teater yang berpentas nonton pertunjukan terakhir saat
malam hari cukup ramai. Sebelum- ditanya mengapa menyempatkan
nya pun, mereka merencanakan diri untuk menyaksikan drama
teater Parade Utuy Tatang Sontani mengenai Utuy Tatang Sontani.
untuk sehari saja pada malam hari, Menurut Mussab Askarullah Utuy
akan tetapi tidak memungkinkan. selalu mengangkat isu sosial yang
Teater Zat yang berang- coba dibenturkan dengan hal lain,
gotakan kurang lebih 30 orang ini seperti logika sosial dengan agama
tidak hanya berasal dari prodi atau maupun moral, yang memang se-
jurusan Bahasa dan sastra Indo- lalu berjalan bersamaan. Baginya
nesia (JBSI) saja, mereka terbuka Teater Zat telah mampu meng-
untuk prodi mana saja. Berbeda gambarkan hal tersebut.
10
LIPUTAN KHUSUS
Bernalar Lewat Komik
Oleh Raden Bimo Wahyu Wibowo, Prodi Pendidikan
Ekonomi
Terkadang, bacaan komik
bagi masyarakat di Indonesia bukan
merupakan bacaan yang esensial.
Komik menjadi bacaan yang
direndahkan di kalangan masyarakat.
Pandangan pun negatif tersebar dari
membaca komik. Membaca komik,
menciptakan kesan membaca yang
tidak ada gunanya. Komik dianggap
bukan bacaan yang mengasah nalar.
Ba-nyak orang tua yang menganggap
membeli komik hanya membuang
uang saja. Apalagi, komik saat ini
dijual dengan harga yang mahal.
Kesenangan anak dalam
membaca komik menjadi hambatan
prestasi belajar bagi sekolah.
Anggapan dalam pendidikan
mengharuskan kita hanya belajar
bacaan yang berisi materi pelajaran,
bukan komik yang diang-gap tidak
mengasah nalar. Komik juga menjadi
kekhawatiran orang tua karena takut
membuat anak menjadi malas belajar.
Orang tua lebih menyukai anaknya
untuk mengikuti bimbingan belajar
agar anak itu terus-menerus belajar.
Fenomena tersebut kerap dialami
oleh masyarakat kita. Sehingga kita
yang mengalami juga
pernah merasakan jenuh akibat
belajar dari pagi hingga malam. Cara untuk merefleksi diri
kita dari kegiatan tersebut adalah
mencari hiburan, salah satu-nya
dengan komik. Media komik menjadi
media yang populer di-gunakan
untuk mengubah para-digma kaku
dan membosankan dari membaca
buku sejarah, budaya, atau pun buku
pelajaran. Komik Bersabdalah
Zarathustra karya Nietzsche
merupakan karya sastra yang
dijadikan komik dan sempat terkenal
pada saat itu. Sementara komik
Kartun Riwayat Perada-ban Modern
karya Larry Gonick membuat kita
memahami sejarah seorang tokoh
lebih mudah lewat gambar dan
dialognya yang dipadukan dengan
alur sejarah nyata. Di lain hal, komik dijadikan
aplikasi yang sangat populer. Untuk
membaca komik sekarang ini, cukup
melalui aplikasi Line Webtoon. Di
sana terdapat komik Nusantara
Droid War (NDW). Ko-mik ini
memberitahu kepada kita bahwa
Indonesia punya berba-gai macam
kisah dongeng dan legenda yang
menarik dan dipadukan dalam seni
komik modern
11
ESAI
bergenre fantasi action. Komik NDW
seolah mengingatkan ke-pada kita
bahwa Indonesia harus melestarikan
budaya ataupun ceritanya agar
generasi mendatang masih
mengetahui kisahnya. Dalam mengetahui posisi
komik, kita dapat melirik tulisan
Darminto M. Sudarmo yang berjudul
Posisi Kartun Kontemprer (Kompas,
Sabtu, 22 Juli 2017) menyatakan
bahwa para seniman mengeksplorasi
ikonografi komik dan kartun untuk
menunjukan identitas, agenda politik,
sosial, ras, dan budaya mereka
sendiri. Laiknya komik di negara
Jepang yang sudah menjadi suatu
produk yang di banggakan oleh
masyarakatnya. Bahkan, perubahan
budaya Jepang dipengaruhi oleh
komik. Salah satu komik yang
mengu-bah budaya Jepang yaitu
Captain Tsubatsa. Komik bergenre
olah raga ini mengubah budaya
Jepang yang tadinya tidak mengenal
sepak bola menjadi menyukai sepak
bola. Jepang, memang sudah
identik dengan komik. Sebut saja
Doraemon, One piece, Na-ruto,
Detective Conan, dan Fairy Tail
menjadi bacaan orang dari
seluruh dunia. Bahkan, komik dan
animasi Doraemon men-jadi
kebanggaan orang Jepang. Ini
ditandai dengan dibuatnya museum
Doraemon, yang barangkali menjadi
ikon dari dunia animasi dan komik di
Jepang. Warga Jepang, seolah
mempunyai kebanggaan tersendiri
dengan dibuatnya museum
Doraemon untuk di pamerkan kepada
dunia. Seno Gumira Ajidarma
dalam buku Panji Tengkorak
menyatakan bahwa membaca komik
berarti membaca perjuangan ideologi
dalam pergulatan antarwacana (hlm.
7). Dalam komik One Piece pada
kisah negeri Alabasta, Luffy sebagai
tokoh utama sebagai bajak laut
bertarung melawan Crocodile.
Crocodile adalah seorang
Shichibukai yang notabanenya
adalah bawahan pemerintah dunia.
Crocodile bermaksud jahat
menghancurkan sebuah negeri
padang pasir, Alabasta. Angkatan
laut tidak bisa menghalangi
Crocodile meskipun tahu bahwa dia
bermaksud jahat, tetapi angkatan laut
tidak punya bukti apapun. Alhasil,
angkatan laut hanya berharap kepada
12
ESAI
kelompok bajak laut Topi Jerami
untuk menundukan Crocodile.
Dalam komik itu terjadi
pergulatan antarwacana yang di-
maksud Seno Gumira. Pemerintah
yang kita kenal berkarakter baik
dan bajak laut yang berkarakter
jahat malah menjadi sebaliknya di
komik tersebut. Dibuktikan bahwa
pemerintah tidak berkutik mel-
awan kejahatan dan malah ber-
gantung kepada bajak laut yang
selama ini kita anggap sebagai to-
koh penjahat. Dari komik, kita bisa
belajar arti hidup yang tidak se-
lalu lurus. Membaca komik sama
saja seperti kita membaca buku
pada umumnya. Komik mem-
buat kita memahami arti hidup
seperti orang lain dengan segala google.com
konflik yang dialaminya dan men-
jadi pembelajaran bagi kehidupan
kita. Tidak jauh berbeda seper-
ti kita membaca buku biografi.
13
ESAI
Mencari Arti Dari Membaca
Oleh Hadistian, Prodi Pendidikan Geografi
Bukan dengan kekerasan
apalagi menggunakan tipu muslihat
untuk melawan ketidakadilan. Begitu
juga memakai pena untuk membuat
kata pembangkit semangat. Bahkan
menggunakan ucapan kata yang
menggetarkan dalam menaikkan
hasrat untuk melawan.
Berperang, menulis dan
berorasi memang dikatakan
merupakan cara untuk melawan.
Tetapi, tidak akan ada keberhasilan
yang diraih tanpa membaca. Tanpa
membaca tidak akan keindahan, seni
ataupun cara untuk melawan. Melalui
membaca kita akan mengetahui itu
semua. Sebagai contoh cara dalam
melawan tersebut ialah saat terjadi
perang Vietnam,
freepik.com
beberapa pimpinan gerilyawan
Vietcong membaca buku karangan
A.H Nastion. Cara bergerilya dalam
buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya
ini mampu mengalahkan tentara
Amerika Serikat sebagai lawannya.
Kegiatan membaca juga
merupakan sumber dari kita untuk
melawan penindasan, kebodohan,
ketertinggalan, ketidaktahuan bahkan
keterpurukan suatu bangsa. Dengan
membaca, kita juga dapat melawan
segala bentuk penindasan. Terutama
penindasan terhadap sesama manusia.
Melalui membaca kita juga dapat
mencengkeram cakrawala dunia yang
begitu luas. Sebagaimana adagium
“Membaca adalah
14
ESAI
jendela dunia” yang diartikan bahwa
melalui membaca kita da-pat melihat
dunia yang begitu luasnya. Sehingga,
menjadikan membaca buku
merupakan hal penting saat ini.
Buku-buku yang telah ditulis
alangkah baiknya kita baca. Bukan
dijadikan penghias dinding dengan
disusun seindah mungkin. Apalagi
hanya dijadikan penghias di kedai-
kedai kopi modern. Tetapi, saat ini
bagi sebagian orang menganggap
urusan membaca kurang penting
dibandingkan urusan perut. Orang-
orang lebih menyenangkan membuat
perut semakin di depan dibandingkan
mengisi otak dengan ilmu melalui
membaca. Mereka memajukan perut
layaknya jargon dari perusahaan
sepeda motor Jepang. Dibandingkan
menyemai bibit ilmu di otak melalui
membaca buku.
Kita dapat mencontoh
Muhammad Hatta yang merupakan
seorang proklamator bangsa kita.
Dirinya pertama kali mengoleksi
buku pada tahun 1919. Hingga akhir
hayatnya, ia selalu bergelut dengan
buku. Tentu, bukan hanya membaca
kisah cinta-cintaan, tetapi juga bahan
bacaan yang dapat menjadikan nalar
logika kita terasah.
Bahkan jauh sebelum itu,
anjuran membaca ada dalam
sabda Tuhan. Khususnya di agama
islam, terdapat sebuah wahyu yang
pertama kali diperintahkan. Wahyu
tersebut ialah iqra atau bacalah.
Bukan tulislah atau orasilah. Dalam
wahyu tersebut mengajarkan kita
harus dapat membaca. Sehingga,
sudah jelas bahwa membaca
merupakan peran penting dalam
kehidupan. Kegiatan ini yang harus
dilakukan dalam menemukan suatu
kebenaran yang dijadikan dasar
dalam melawan.
Tetapi, dalam kenyataannya
kita seolah enggan untuk melawan
hal ini. Dapat dilihat dari hal kecil.
Kita seringkali menceklis persyaratan
pelayanan tanpa membacanya secara
keseluruhan. Terutama yang
berkaitan dengan layanan di media
sosial. Persyaratan telah dibeberkan
sejelas mungkin dan kita hanya mele-
watkannya secapat mungkin. Ba-
rangkali kita hanya bisa pasrah, bila
dalam persyaratan tersebut disisipkan
sesuatu yang merugikan kita.
Membaca juga merupakan
suatu yang penting dalam kehidupan
bernegara kita. Hal ini dikarenakan
negara kita merupakan sebuah negara
demokrasi. Sehingga diperlukan
suara dari pemikiran masyarakat
yang penuh dengan nalar yang
diperoleh dari
15
ESAI
membaca. Bukan seperti tong kosong
nyaring bunyinya. Sebagaimana yang dituliskan
Daoed Joesoef dalam tulisannya
yang berjudul Budaya Baca
menjelaskan. “Sebuah demokrasi
hanya akan berkembang, apalagi
survive, di suatu masyarakat yang
para warganya adalah pembaca,
adalah individu-individu yang
merasa perlu membaca, bukan
sekadar pendengar dan gemar
berbicara.” Sehingga kita perlu
membudayakan membaca sedini
mungkin. Melalui budaya membaca
setiap kata yang keluar bukan
sekedar omong kosong. Tanpa
memiliki bibit, bobot dan bebet.
Tetapi, kata yang terucap memiliki
arti sesuai dengan ilmu yang telah
didapatkan melalui membaca.
Bahkan, dengan membaca seseorang
tidak akan menjadi anak bebek.
Mengikuti ke berbagai arah induk
pergi. Kita akan menggunakan nalar
dan terus mengkaji dengan sumber
rujukan buku yang telah di baca
untuk mendapatkan kebenaran.
Terdapat sebuah tulisan
bertajuk “Bukuku, Surgaku” karya
Franz Magnis-Suseno dan dimuat
dalam buku berjudul Bukuku Kakiku.
Dalam tulisannya ini ia
mengkisahkan pengalamannya serta
memaknai kegiatan membaca.
Dari ia pertama kali membaca hingga
ia kecanduan dalam mem-baca.
Dia mengisahkan dirinya
yang terlahir dari seorang ibu dengan
kegiatan gemar membaca. Begitu
pun juga ayahnya. Menjadikan
dirinya dan beberapa saudara
kandung yang ia miliki turut
memiliki kegemaran dalam membaca.
Bahkan Frans Magnis-Suseno
memulai membaca dengan begitu
rakusnya saat berumur sepuluh tahun. Kegemaran membacanya
menjadi ia diperingatkan untuk
mempersiapkan sakramen kris-ma
(upacara religius yang penting dalam
umat katalik). Ia menyadari bahwa
membaca betul-betul surga baginya.
Melalui membaca tidak hanya
memperluas cakrawala, melainkan
juga merupakan pelepasan emosional
dan membantu mengatasi kesulitan.
Baginya membaca memiliki makna
seperti diri yang ditarik keluar dari
penjara perhatian berlebihan pada
diri sendiri, melihat dunia, manusia,
mengalami tantangan, terangsang
dalam fantasi, bersemangat untuk
melakukan sesuatu.
Melalui kisah singkat
tersebut kita dapat melihat membaca
baginya bagaikan ada di surga.
Dirinya memaknakan membaca
bukan hanya memperluas cakrawala
16
ESAI
saja tetapi lebih dari itu. Tetapi
dapat dijadikan suatu pelepasan
emosional dan membantu menga-
tasi kesulitan. Sehingga, dengan
sedikit kisah tersebut kita seha-
rusnya sudah mulai bergerak un-
tuk membaca. Meskipun dimulai
dari buku yang berhalaman tipis.
Dikarenakan hal penting yang ha-
rus dilihat ialah cara kita berpro-
ses dalam membaca dan mencari
makna dari kegiatan tersebut.
Sebagai penutup mari ber-
sama kita simpulkan membaca
bukanlah hanya kegiatan mengisi
waktu luang. Tidak juga sekedar
menambah cakrawala ilmu tetapi
lebih jauh dari itu. Dikarenakan
membaca dapat melawan berba-
gai kebodohan, ketidaktahuan dan
berbagainya. Dengan membaca freepik.com
kita dapat mengatasi kesulitan se-
bagaimana makna membaca yang
dimiliki Franz Magnis-Suseno.
Begitu juga dengan dikatakan oleh
Daoed Joesoef sebagai penjaga ke-
berlangsungan demokrasi dalam
kehidupan bernegara kita.
17
ESAI
Imajinasi di atas Kertas Bertulis
Oleh Megawati Rusdianto, Prodi Sosiologi Pembangunan
Membaca, seringkali kata ini
dijumpai dan didengar atau bahkan
ditanamkan dari sejak kecil. Makna
membaca rupanya memberikan
banyak ambiguitas terhadap setiap
orang. Rupanya membaca bukan
hanya sekedar membaca tulisan-
tulisan di atas kertas. Toh, sekarang
zaman ini sudah maju, membaca pun
juga mengalami perkembangan, yang
saat ini membaca bukan hanya
terletak pada tulisan-tulisan di atas
kertas bukan? Pada generasi Z atau
zaman milenium ini perkembangan
teknologi semakin canggih, adanya
gawai pintar yang menjadi kebutuhan
atau bahkan gawai menjadi
kebutuhan primer kita saat ini
dibandingkan buku.
Dulu, gawai hanya bisa
untuk menelpon dan mengirim pesan
dari jarak jauh namun kini gawai
semakin canggih. Telepon genggam
tak sekedar kita gunakan untuk
melepon atau mengirim-kan pesan
saja. Kita dengan mu-dah dapat
mengakses segala hal dengan internet.
Di zaman mile-nium ini, rasanya tak
canggih bila kita tidak menggunakan
internet. Kita dapat mengakses segala
hal yang ingin kita tahu.
Tinggal ketik apa yang ingin dicari
lalu klik enter dan semua infor-masi
akan keluar melalui si “Mbah
Google.” Namun, kita menjadi lupa
bahwa tulisan-tulisan di atas kertas
yang dicetak itu, yang biasa kita
sebut buku, menjadi jauh dikalangan
generasi Z ini. Kita mulai menyukai
hal-hal yang instan dengan adanya si
“Mbah Google.” Walau tak dapat
kita pungkiri juga, bahwa buku
mengalami perkembangan dalam
bentuknya, buku tak lagi bisa kita
pegang tapi kita dapat membacanya,
ebook sebutannya.
Padahal, jika kita tahu buku
tak hanya sekedar memberikan
informasi yang kita butuhkan atau
mungkin hanya sekedar memberikan
pelengkap sebagai tugas kuliah yang
akhirnya buku itu akan ditaruh dan
menjadi usang. Banyak buku-buku
yang kita temui dengan beragam
ilmu di dalamnya serta beragam pe-
mikiran-pemikiran yang dapat kita
kaji seperti buku filsafat, buku
pengetahuan atau buku sa-stra. Buku
juga membebaskan kita dari segala
ketidaktahun.
Sebenarnya dengan mela-lui
buku juga membuat akal pikiran
berimajinasi sendiri, dengan buku
18
ESAI
sastra, novel misalnya, dengan
membaca buku, novel cerita fiksi
ataupun nonfiksi membuat kita
tersungkur oleh imajinasi alam
pikiran kita, bagaimana setiap
ceritanya membuat kita memba-
yangkan bagaimana hal itu bisa
terjadi, misalnya dalam novel Per-
empuan Jogja (2001), yang meceri-
takan bagaimana perempuan Jogja
berbeda dengan perempuan lainn-ya,
bahwa perempuan jogja mem-punyai
pikiran untuk memberontak, tapi
tidak sampai hati untuk
mengungkapkan. Rumanti yang
dimadu oleh sang suami namun
ikhlas dan tegar. Perempuan yang
menjaga martabatnya sebagai iste-ri
meskipun sang suami lupa diri.
Dialah perempuan yang memahami
hak-haknya, perkasa dan tidak
cengeng, Rumanti seorang perem-
puan yang memiliki definisi ter-
sendiri mengenai gender dan fe-
minisme. Dialah perempuan Jogja. Novel ini memberikan
makna tersendiri tentang per-empuan
Jogja, dengan membaca kita dapat
tahu tentang perem-puan jogya dan
dengan membaca akal pikiran akan
dimainkan bagaimana teater dalam
pikiran kita tersendiri yang bermain
tentang cerita novel tersebut.
Membaca buku juga men-
dobrak pengetahuan kita yang selama
ini salah dan memberikan
perlawanan terhadap ketidak-sadaran
kita selama ini misalnya, dalam buku
Rosmarie Tong, Feminist Thought
(1998), Tong mengkaji pemikiran
feminis dan ia mengatakan bahwa
pemikiran feminis merupakan
pemikiran yang dihargai karena
pemikiran feminis mempunyai awal,
tetapi pemikiran feminis tidak
mempunyai akhir. Dan karena
pemikiran itu tidak memiliki akhir
yang su-dah ditentukan sebelumnya,
pe-mikiran feminis memungkinkan
setiap perempuan untuk berpikir
dengan sendiri. Bukan hanya ke-
benaran semata tetapi sebuah
kebenaran yang dapat membebaskan
perempuan itu sendiri.
Dalam buku ini, kita dapat
memainkan imajinasi pikiran tentang
pemikiran feminis bagai-mana
pemikiran feminis ini da-pat kita
tentukan sendiri agar kita bebas dari
budaya patriarki itu. Membaca buku
ini telah mendob-rak pengetahuan
kita yang selama ini tak sadar bahwa
perempuan dibawah kungkungan
laki-laki, selama ini, perempuan
kurang memahami dirinya sendiri,
me-mahami hak-haknya, memaha-mi
seksualitasnya dirinya sendiri.
Dengan membaca buku-buku
pemikiran feminis bukankah juga
mampu mengubah kita untuk keluar
dari terbelenggunya
19
ESAI
perempuan dari sejak dahulu.
Bahwa perempuan, selalu di posisi
subordinat. Mungkin Kartini, tidak
akan mampu membebaskan keter-
belenggunya perempuan dari ko-
lonialisme jika Kartini tidak mem-
baca tentang hal-hal perempuan.
Melalui membaca kita
akan terbawa oleh buku, tidak
sekedar membaca tetapi kita da-
pat membuka imajinasi pikiran
kita. Biarlah imajinasi itu ber-
main kedalam pikiran. Membaca,
sah-sah saja ketika kita sekarang
mungkin lebih tertarik membaca
melalui gawai pintar yang mudah
dibawa. Tak apa jika gawai dijadi-
kan hal yang positif dengan mem-
baca melalui ebook atau mencari
informasi yang melalui “Mbah
Google” tetapi boleh jadi seka- ayobelajar.com
li-kali kita membaca buku cetak.
Karena dengan buku, banyak yang
dapat kita temui seperti, melatih
kesabaran untuk menghabiskan
satu buku sampai tuntas, melatih
akal pikiran, menemukan jalan
pikiran sang penulis dan yang
pastinya buku lebih ramah dengan
penglihatanmu. Dengan buku kita
menjadi bebas seperti yang dika-
takan Mohammad Hatta “Aku rela
dipenjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas”.
20
ESAI
ESAI
Buku Berfisik dan Digital Oleh Qinthara Dwiputri K, Prodi Manajemen
Membaca merupakan sa-lah
satu kegiatan yang dapat kita lakukan
di antara kesibukan seha-ri hari.
Melalui pengetahuan yang kita
dapatkan lewat membaca,
menjadikan kita lebih matang dan
lebih memahami persoalan di ke-
hidupan kita. Menyadari hal tersebut,
sudah sepatutnya kita mem-biasakan
diri untuk membaca. Seringkali ketika kita
dihadapkan pada kata “membaca”,
yang terlintas pertama kali di pikiran
kita adalah buku atau pun media
cetak lainnya seperti koran. Padahal
membaca tidak hanya bersumber dari
media cetak saja. Terlebih lagi di zaman
modern sekarang ini, bebera-pa
orang lebih memilih untuk membaca
melalui buku digital daripada media
cetak. Semua be-rita dan bacaan
ringan dapat kita nikmati pada
genggaman tangan. Perdebatan antara peng-
gemar kedua media tersebut pun
muncul seiring dengan berkem-
bangnya teknologi. Hal ini, cukup
disayangkan mengingat mak-na
“membaca” sendiri, bukanlah
kegiatan yang selalu dikaitkan
dengan buku. Kebanyakan peng-
gemar buku merasa bahwa ada
kenikmatan tersendiri ketika
membaca dan memegang fisik
buku yang dibaca. Begitu pula
dengan penggemar buku digital,
mereka merasa lebih nyaman saat
membaca di gawai dari pada
membawa buku yang memakan
tempat. Perbedaan antara kedua
pendapat ini pun kian memanas
seiring dengan banyaknya ungkapan
keberpihakan terhadap salah satu
pandangan. Dalam menang-gapi
masalah ini, ada baiknya kita tidak
terpancing pada salah satu pihak.
Sebagai manusia modern, kita perlu
menerima kemajuan teknologi
dengan baik tetapi tetap membatasi
diri agar terhindar dari segala
keburukan. Terdapat kenikmatan
tersendiri ketika kita membaca buku
berfisik. Seperti saat kita
memegang sampul buku yang
judulnya telah di-emboss. Selain itu,
terkadang ada beberapa peng-gemar
buku yang menyukai aro-ma buku,
baik yang baru dibeli at-apun yang
sudah tersimpan lama di rak buku.
Meskipun begitu, beberapa
orang tidak terlalu senang mem-beli
dan membaca buku berfisik.
21
Barangkali pengalaman Edo, se-
orang mahasiswa UNJ yang ingin
membeli buku namun tak ter-
sampaikan karena tingginya har-ga
sebuah buku, pernah dirasakan oleh
kita. Adapula beberapa orang yang
lebih memilih membaca cerita dari
sebuah aplikasi cerita yang berisi
karya seseorang yang belum menjadi
penulis ternama. Seperti yang dilansir oleh
Republika.com, menurut Wakil
Ketua Bidang Humas, Riset, dan
Informasi Ikatan Penerbit Indo-nesia
(IKAPI) Pusat, Indra Laksana,
menyatakan terdapat penurunan
tingkat penjualan buku berfisik
walaupun minat baca di Indone-sia
meningkat. Hal ini, disebabkan
karena kemudahan yang didapat-kan
ketika mencari suatu hal lewat mesin
pencari di gawai. Kita tidak perlu
lagi mencari dan membaca buku
yang ada di perpustakaan. Untungnya, penerbit masih
terbantu oleh pembelanjaan
pemerintah yang mengalokasikan
dana untuk anggaran pendidikan.
Sebagian anggaran pendidikan
digunakan untuk membeli buku
pelajaran, buku pendamping, dan
buku untuk koleksi perpustakaan. Membaca dari buku digital
juga tak kalah menar-iknya dengan
membaca buku cetak. Kelebihan
yang pasti didapatkan ialah kita tidak
perlu
mengeluarkan uang yang ban-yak
untuk membeli buku di toko buku.
Selain itu, dengan mem-baca buku
digital kita tidak per-lu khawatir soal
beban yang harus dipikul saat
bepergian. Karena dapat menyimpan
ban-yak buku digital di dalam gawai.
Ada berbagai macam situs
yang membagikan buku digital
secara gratis. Meskipun kebanya-kan
buku populer cukup mahal dijual
melalui aplikasi, tetapi tidak menutup
kemungkinan juga ter-dapat oknum
yang membagikan buku-buku
tersebut secara illegal. Seperti,
membagikan buku digital secara
gratis oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab. Sehingga para
penulis tidak mendapatkan royalti
dari penjualan buku digital. Beberapa orang tidak merasa
nyaman saat membaca buku digital
karena mata akan menjadi lebih lelah
ketika melihat layar monitor dalam
jangka waktu yang cukup lama.
Selain itu, ada juga yang merasa
bahwa mereka lebih sulit memahami
isi bacaan dari buku digital
ketimbang buku berfisik.
Dilansir dari okezone.com,
Kepala Bidang Pengembangan Buku
Digital, Hary Candra, tingkat
penjualan buku digital di Indo-nesia
hanya 2 persen. Persentase tersebut
masih sangat sedikit
22
ESAI
dibandingkan dengan Singapura dan
Amerika Serikat. Di Singapura,
tingkat presentase penjualan buku
digital mencapai 17 persen,
sedangkan di Amerika mencapai 30
persen. Hary mengungkapkan, mi-
nimnya tingkat penjualan buku di-
gital di Indonesia disebabkan oleh
dua hal. Pertama, para penerbit masih
mengkhawatirkan keam-anan ketika
menerbitkan buku dalam bentuk
digital. Padahal su-dah ada teknologi
untuk menjaga keamanan buku
digital yang diper-dagangkan. Salah
satu contohnya adalah Digital Right
Management (DRM). Kedua, masih
minim-nya permintaan buku digital.
Terlepas dari segala kele-
bihan dan kekurangan dari kedua
macam buku tersebut, kita tidak
boleh menghilangkan makna dari
kata “membaca” itu sendiri. Ada
baiknya kita tidak membatasi diri
dalam memilih bacaan. Walaupun
kita perlu menyaring informa-si yang
didapat lewat membaca. Tidak semua
buku digital selalu dari sumber yang
kurang akurat dan tidak semua
buku berfisik bersumber dari data-
data akurat.
Tentu, dengan membaca
buku berfisik lebih banyak infor-
masi yang kita dapatkan daripada
membaca buku digital. Memiliki
buku digital pun lebih memung-
kinkan kita untuk membaca ber-
bagai macam sumber atau bidang
ilmu tanpa repot membawa bebe-
rapa atau banyak buku yang harus
dibawa. Bagaimanapun juga, jika kita
bertemu dengan seseorang yang
bersikukuh terhadap pan-dangan
yang berbeda dengan kita, sebaiknya
kita tidak perlu mem-perdebatkan
dan seolah memaksa mereka agar
mereka sepemikiran dengan kita.
Akan terasa lebih da-mai rasanya jika
kita lebih meng-hargai perbedaan
pandangan soal kenyamanan
membaca.
freepik.com
23
ESAI
Seratus Rupiah
Oleh Adiba Ciptaningrum, Prodi Sosiologi Pembangunan
Perempuan itu mengetuk pintu rumahku berkali-kali. Ka-dang
terdengar seperti ingin mendobraknya. Suara ketukan itu merangkak masuk
sampai ke celah pintu kamarku, padahal aku sedang mengamatinya dari balik
tirai jendela depan. Aku hanya menung-gu, seperti biasa. Setelah dia lelah
mengetuk dan memanggil, aku ke-luar dari balik jendela dan memanggilnya
dengan suara berbisik.
“Aminah!” dia menoleh
kepadaku dengan wajah sumrin-gah.
Seperti tidak membiarkan dia
berbicara, kusodorkan lang-sung
kunci untuk membuka pintu gudang
penyimpanan tebu, di mana letak
sepeda lamaku berada. Minah
bermaksud untuk memin-jamnya,
hampir setiap pagi. Kadang aku
bertanya-tanya, ba-gaimana bisa
perempuan sekurus itu mampu
mengayuh sepeda sampai tiga
kilometer jauhnya. “Aku pinjam ke Curah Lele
sampai siang ya? Kamu kan tahu
bagaimana emakku, uang untuk
membeli sepeda selalu habis di-
mintanya,” ujarnya sambil men-coba
mengayuh sepedaku dengan satu
kaki, setelah berhasil berjalan,
google.com
dia menyeimbangkan diri dan mulai
menempatkan kakinya yang lain ke
atas pedal. “Sabar ya! Pasti akan kute-
pati janjiku!” serunya sambil me-
noleh ke arahku, aku hanya mem-
balas dengan senyuman. Minah baru
saja menginjak umur lima belas
tahun, tapi tubuhnya tetap saja terlalu
pendek untuk sepe-daku.
Aku berjalan ke pekarangan
belakang, menengok indahnya sawah
meski masih sedikit berkabut. Dua
burung sawah hinggap di kayu
pembatas lahan, mungkin sedang
menyusun rencana untuk
mengagalkan panen padi kali ini,
bersaing dengan tikus-tikus pengerat.
Sering terbayang jika dua
24
CERPEN
koloni itu bersekongkol, menyerang
barisan padi yang sudah merunduk
dari atas dan bawah. Pasti akan
menimbulkan keka-cauan pikiran
juragan sawah beri-kut buruh taninya. Belum selesai aku terkikik,
suara langkah yang terseok men-
gundangku untuk menoleh. Ah,
nenek lagi-lagi meninggalkan
tongkatnya, kadang suara ber-
jalannya itu membuatku mer-inding.
Dia selalu memeriksa gu-dang tebu
meskipun belum ada simpanan tebu
yang mengisinya, mungkin hanya
memeriksa sepedaku yang hilang
dibawa Minah. Saat tatapannya
menyapu sekitar, aku segera
memalingkan wajahku, pura-pura
tidak tahu apa-apa sampai suara
langkah yang terseok itu kembali ke
rumah. Yes, aku tidak dimarahinya.
*** “Nyai, lihat Aminah tidak?”
tanya seorang perempuan seten-gah
baya kepada Nenekku. Tubuh-nya
kurus sekali, seperti tidak per-nah
diisi oleh makanan berlemak. Mata
cembungnya terlihat seper-ti ingin
keluar karena pipi yang teramat
kempot, namun rambut panjang yang
tergerai itu mam-pu menawan hati,
tebal, hitam dan terawat. Persis
seperti Minah. “Mungkin ke Curah Lele,
sepertinya dia memakai sepeda
Hindun lagi.” ujar nenekku sambil
terus menyapu halaman. “Uh, anak gila!” gerutu ibu
Minah. Bola mata Nenekku seke-tika
mengarah sampai ke sudut mata,
tangan keriputnya meremas
kumpulan lidi dengan keras sep-erti
hendak melemparkannya ke arah Ibu
Minah kuat-kuat. Tidak heran, Minah
menggunakan se-peda itu untuk
bekerja sebagai pengrajin wellit,
dengan upah seratus rupiah per-
wellitnya. Set-idaknya, dalam satu
hari Minah mampu membuat tujuh
sampai sepuluh wellit. Karena tidak
ber-pendidikan, hanya keterampilan
menganyam daun tebu kering itu saja
yang mempu dijualnya.
“Setidaknya kamu bisa makan
bakso kesukaanmu itu dengan uang
yang dihasilkan Aminah!” ucap
Nenek menahan diri. Masih sambil
menggerutu, ibu Minah pergi ke
rumahnya yang berada di seberang
rumahku. ***
Aku melihat Minah dari
balik jendela, bulir keringatnya
terlihat jelas di bawah terik ma-tahari.
Sebelum memasuki peka-rangan
depan rumahku, dia ham-pir
menyerempet anak tetangga. Inginku
tertawa melihat wajah paniknya,
namun seorang lelaki bertubuh kuli
mendekat sambil menghardik Minah.
“Gila!” aku
25
CERPEN
tidak dapat mendengar suaranya,
namun gerak mulutnya sangat jelas
terbaca. Hatiku terluka, hampir
semua orang sering menyebut-nya
gila akhir-akhir ini. Aku pun kadang
menganggapnya gila, gila akan janji.
Selama tiga belas tahun kehidupanku,
dia lah orang yang mampu menepati
segala janjinya. Ketika dulu aku
menangis karena bonekaku jatuh ke
sumur sawah, dia berjanji akan
mengam-bilkannya untukku. Aku pikir itu hanya salah satu
upaya agar tangisku
mereda. Namun tidak lama
setelah itu, dia berdiri di
depan ru-
mahku dengan boneka google.com di genggamannya. Entah apa yang telah dia lakukan, namun
dilihat dari pakaiannya yang penuh
dengan tanah dan lumpur, dia terlihat
seperti orang gila hanya untuk
menepati janjinya. Menjadi pengrajin wel-lit
pun adalah salah satu cara untuk
memenuhi janjinya padaku, yakni
membeli sepeda agar kami bisa
bermain
bersama dengan sepeda ma-sing-
masing. Minah pun senang
melaporkan uang yang dia dapat
kepadaku, untuk menambah se-
mangat katanya. Namun, karena
perilaku ibunya, dia hanya dapat
menyisakan seratus rupiah untuk
ditabung. Setelah menyimpan sepedaku di
gudang tebu, dia menge-tuk pintu
rumahku dan memanggil namaku.
Sebelum aku berusaha untuk keluar
dari jendela kamarku. Nenek telah
mem-buka pintu untuknya. “Hindun,
Nek?”
tanyanya kepada Nenekku
sambil menggenggam uang logam seratus rupiah. “Minah,
sudah lah,” pinta nenekku dengan mata yang
sendu, menatap Minah deng-an
penuh rasa iba. “Hindun sudah tidak
ada, ambillah sepeda itu.” tambahnya
lagi sambil memeluk gadis tak
berayah itu. Minah hanya
menggenggam koin seratus rupiah
miliknya dengan sangat erat.
Memang, janji lah yang membuat
anak itu gila.
26
CERPEN
Hanya Gerbang Kecil Oleh Miguel Angelo Jonathan, Prodi Pendidikan Bahasa
Mandarin
Sudah hampir sebulan aku
tidak bisa tidur nyenyak. Bagaima-na
bisa tidur nyenyak? Kalau tem-bok
dan gerbang kotamu sudah dikepung
oleh musuh, yang su-dah siap
memancung kepalamu begitu mereka
berhasil masuk ke dalam kota.
Untung saja kota ini, Konstantinopel,
sudah dirancang sedemikian rupa
untuk menahan kepungan musuh,
berapa banyak pun jumlah mereka.
Pasukan Ottoman sudah
mengepung Konstantinopel selama
sebulan lebih. Mereka dipimpin oleh
Mehmed si Penakluk. Sultan yang
masih sangat muda itu memimpin
200.000 lebih pasukan elit Ottoman
den-gan meriam-meriam mereka
google.com
yang sangat canggih. Tak ada lagi
prajurit yang tersisa di depan ger-
bang. Semuanya dibantai dengan
cepat dan sisanya masuk ke dalam
kota untuk bertahan. Kekaisaran Bizantium su-
dah tak punya siapa-siapa lagi yang
bisa datang membantu. Para tentara
salib sudah ditarik mun-dur, kembali
ke barat semenjak kekalahan mereka
di Varna. Sialan. Mereka yang
bertarung dengan salib besar di baju
zirah mere-ka ternyata tidak sehebat
yang kukira. Kini kami hanya sendiri
melawan musuh yang jumlahnya
jauh lebih banyak dari kami.
Kaisar Konstantinus seka-
rang terlihat sangat depresi. Setiap
menginspeksi prajurit wajahnya
tampak murung sekali. Siapa juga
yang tak akan depresi, kalau sudah
tahu pasti, kini hanya tinggal
menunggu ajal saja. Aku sendiri tidak akan ter-
ima kalau harus mati sekarang.
Banyak hal yang belum sempat
kulakukan. Aku masih bujang, tak
punya istri. Aku prajurit biasa, tak
punya pangkat. Tak akan ada yang
mengingatku kalau aku mati se-
karang. Tidak akan ada yang men-
gatakan, “Hei lihat, itu Raynor si
27
CERPEN
Perkasa! Dia ksatria yang sangat
hebat!” Sial! Kenapa juga dulu aku
mau jadi tentara? Dulu kupikir jadi
tentara itu akan membuatmu terlihat
gagah, akan jadi termasyhur nantinya.
Aku lupa kalau yang jadi jendral
hebat dan terkenal itu se-dikit
jumlahnya. Kemungkinan selamat
dari perang cuma sedikit. Kini semua
hal itu hanya bisa ku-sesali.
Malam telah tiba. Teta-pi
kesunyian tidak menemani malam
seperti dulu kala. Bunyi meriam-
meriam yang ditemba-kan kini selalu
menemani malam kami. Belum lagi
teriakan-teriakan pasukan Ottoman
yang sema-kin menjatuhkan
semangat kami. Tak ada lagi yang
namanya keten-angan.
Hari ini aku yang bertugas
mengunci gerbang-gerbang kota.
Setiap malam seluruh gerbang itu
harus dikunci. Siang harinya ger-
bang-gerbang dibuka untuk men-
girimkan makanan kepada prajurit
terdepan yang menjaga tembok kota.
Ini pekerjaan mudah yang aku suka.
Tak perlu berada di bagian terdepan
tembok kota, di mana tanpa kau tahu
tiba-tiba sebatang anak panah bisa
meluncur tepat ke kepalamu.
Setelah selesai mengunci
gerbang-gerbang itu, aku langsung
merebahkan badan di tumpukan
jerami, bersama dengan prajurit-
parjurit tanpa harapan lainnya. Baru
saja aku ingin memejamkan mata,
tiba-tiba Jendral Loukas berteriak
kepada kami semua. “Hei monyet-monyet ke-
parat!” Teriaknya lalu melanjut-kan,
“Siapa yang menyuruh kalian tidur-
tiduran?” Kami semua bangun ter-
gesa-gesa. Memang tidak ada yang
menyuruh kami tidur. Tapi kan kami
sedang tidak ada tugas jaga. Jendral
babi. Pikirku sewot. “Dan kau, Raynor!” Bentak
dia sambil menunjukkan jari te-
lunjuknya padaku, “Kau kan yang
bertugas mengunci gerbang! Sudah
kau kunci semua gerbang?” “Sudah Pak!” “Hmmph!” Gerutu jend-ral
itu, “Baiklah! Awas saja kalau
sampai besok kulihat ada gerbang
yang tidak terkunci!” Kata Jendral
Loukas seraya pergi dari hadapan
kami semua. Prajurit-prajurit yang tadi
tidur kini berdiri lagi sambil me-
megang tombak dan pedang mereka.
Mereka berdiri sambil terkantuk-
kantuk dan kepala mereka bergerak
ke depan dan ke belakang. Ah peduli
amat! Aku kembali merebahkan diri
di tumpukan jerami. Melihat aku
yang tidur kembali, mereka pun
mengikuti
28
CERPEN
aku dan kembali tidur lagi. Tak perlu
banyak pikir. Mungkin saja ini hari
terakhir kami tidur. Tidak ada yang
tahu. Saat aku hampir tertidur,
teringatlah aku, kalau ada satu
gerbang yang lupa kukunci. Gerbang
Kerkoporta. Gerbang itu sangat kecil,
sehingga bahkan se-buah gerobak
jerami pun akan ke-susahan untuk
bisa melewatinya. Aku bangun
dengan gontai, bang-kit dengan
malas untuk mengunci gerbang tak
berguna itu. Baru saja aku berjalan be-
berapa langkah, aku mengurung-kan
niatku untuk mengunci ger-bang itu
dan kembali tidur di atas jerami
dingin tadi. “Keparat, tak ada gunanya
juga mengunci gerbang kecil itu.”
Kataku dalam hati. Aku pun kembali tidur. Tak
perlu terlalu memikirkan gerbang
kecil itu. Pasukan Ottoman sendiri
takkan melihat gerbang kecil yang
hampir tak bisa kau lihat jelas. Tak
mungkin pula 200 ribu tentara
Ottoman mau berdesak-desakan
masuk lewat gerbang sempit itu.
Ditambah ada prajurit yang ber-jaga
saat malam. Sudahlah, lebih baik
tidur saja. Kerkoporta han-yalah
sebuah gerbang kecil yang tak ada
artinya. Kini aku ada di alam mimpi.
Mimpiku sangat nikmat.
Tinggal di istana bagai seorang
bangsawan bersama dengan se-orang
istri cantik. Anak-anak yang tampan
dan cantik duduk di meja makan
bersama-sama dengan kami berdua.
Makanan-makan-an mewah yang
belum pernah aku makan. Senang.
Sangat me-nyenangkan. Saat sedang
makan bersama-sama, tiba-tiba
meriam menghantam meja makan
kami. Boom! Suara hantaman
meriam yang berjarak hanya 3 meter
di depanku. “Bangun tolol! Bangun! Kita
diserang!” Teriak salah se-orang
prajurit kepadaku. Aku panik, kaget, belum
sepenuhnya tersadar. Baru saja aku
berdiri, seorang prajurit Otto-man
dengan wajah penuh brewok
menerjang ke arahku sambil teri-ak-
teriak tidak karuan. Dengan ce-pat
aku mengambil pedangku, dan aku
berhasil menangkis serangan
google.com
29
CERPEN
si Turki keparat itu. Kami beradu
pedang. 2 jurus, 3 jurus, sampai yang
ke empat akhirnya berhasil
kutusukkan pedangku tepat di le-
hernya. Sialan! Kenapa musuh bisa
sampai masuk ke dalam kota? Aku
melihat sekeliling. Sudah banyak
prajurit yang tewas, dan pasukan
Ottoman semakin banyak ber-
datangan. Dari mana datangnya
mereka? Apakah ada tembok yang
berhasil dihancurkan oleh meri-am
mereka? Tidak-tidak mungkin. Tiba-tiba gerbang Kerko-
porta terlintas di kepalaku. Aku pun
melihat ke arah gerbang itu. Keparat!
Bendera Kesultanan Ottoman
berkibar di atas gerbang itu. Di atas
gerbang-gerbang lainnya pun
bendera Ottoman berki-bar dengan
gagahnya. Bagaimana mungkin! Aku
menghampiri seorang prajurit yang
terluka. “Hei keparat! Bagaimana
bisa ada bendera Ottoman berkibar di
seluruh gerbang kita!” “Hassasin! Mereka menyu-
sup dari gerbang Kerkoporta yang
tidak terkunci dan memasang ben-
dera Ottoman di seluruh gerbang
kota!” Katanya sambil menahan sakit,
“Hal itu membuat semua prajurit
panik dan mengira praju-rit Ottoman
telah memasuki kota, dan banyak
yang kabur dan membuka gerbang-
gerbang lainnya!” “Apa? Mehmed menyewa
Hassasin?” Belum sempat dia men-
jawab, puluhan tentara Ottoman
datang menghampiri kami. Aku
berlari meninggalkan prajurit itu. Tak
lama kemudian kudengar teri-
akannya, sesaat sebelum nyawan-ya
melayang. Jahanam! Brengsek! Ha-
rusnya kukunci gerbang keparat itu!
Mampus aku! Jendral Loukas pasti
akan memenggal
30
CERPEN
kepalaku! Tapi tunggu dulu, per-
setan dengannya! Kini yang har-us
kupikirkan adalah bagaimana
caranya aku bisa selamat hidup-
hidup dari sini! Aku terus berlari, mencari
jalan keluar. Tapi ternyata sia-sia
saja, kami sudah terkepung! Pra-jurit
Ottoman sudah memenuhi
Konstantinopel! Saat masih ber-lari,
kudengar teriakan seorang prajurit
dari dalam kastil. “Kaisar mati! Kaisar mati!
Kaisar sudah mati!” Gila! Sekarang sudah tidak
ada harapan! Aku yakin Jendral
Loukas pun sudah mati! Seka-rang
tinggal menunggu giliran kami pion-
pion yang tersisa un-tuk dibantai
pasukan Ottoman! Derap langkah
prajurit Ottoman yang banyak
jumlahnya itu kini semakin jelas.
Prajurit berkuda Ottoman tiba-tiba
datang meng-hampiriku. Aku
menghindari
serangan tombaknya dan memo-tong
kaki kuda yang ditungganginya.
Brukk! Suara kuda itu ter-
jatuh dan kepala tentara itu han-cur
tak karuan. Aku berlari, masih berharap
dapat selamat dari pembantaian yang
telah menanti. Ah tapi sial. Kini di
depanku sudah berdiri puluhan
prajurit Ottoman. Mereka datang
menerjang. Aku melawan
semampuku, membunuh 3 orang
penerjang pertama. Sampai akh-irnya
seorang prajurit Ottoman berhasil
menebas kepalaku. Rohku terangkat pergi dari
tubuhku yang sudah tak bernyawa itu.
Tubuhku kini tanpa kepala, dan
prajurit-prajurit brengsek yang
berada di dekatku bersorak-sorai
gembira. Aku melayang pergi,
menuju gerbang Kerkoporta.
Gerbang brengsek! Umpatku pada
gerbang kecil itu.
31
CERPEN
Kukutuk Kau Jadi Sampul Plastik!
Oleh Prima Nandita Juhara Paradise, Prodi D3 Teknik Sipil
Aku adalah sebuah buku
fiksi. Semua kalangan bisa mem-
bacaku, bahkan bisa dibilang aku
adalah buku terbaik yang siap di-
pasarkan dan disebar ke seluruh toko
buku di pusat kota, mungkin
beberapa di luar kota, yang jelas aku
populer dan aku yakin kau pun suka.
Aku benar-benar harum layaknya
buku baru lainnya, plastik bening
membalut sekujur tubuhku yang
padat. Sampulku bahkan tak lecet
sedikit pun, benar-benar mulus.
Berdebar-debar rasanya menantikan
pemilihku, membayangkan tiap saat
matanya akan menelusuri tiap
rangkai kata, memilah lembar demi
lembar atau mendengarnya berbicara
ke-ras saat mengeja isi tubuhku ini.
Hari yang kutunggu tiba,
bersama kawan-kawanku, aku kaltim.procal.co akan memulai kehidupan baru. Kami
ditata dalam sebuah rak susun di
sebuah toko buku yang lumayan
besar. Kami disusun ber-deret
berkumpul bersama dengan beberapa
buku lain yang kupikir setipe dengan
kami. Di seberang kulihat deretan
kertas berwarna-warni terpapar rapih
dalam rak panjang, “tabloid” tebakku.
Sial! Jam tangan pegawai itu
menggores
32
CERPEN
sampul plastikku, membuat lu-bang
kecil di punggungku, dan tanpa
bersalah dia meninggalkanku begitu
saja. Ah! Aku benar-benar ingin
mengutuknya menjadi sampul plastik!
Ugh. Waktu yang panjang ku
lewati tanpa seorangpun menyen-
tuhku. Mungkin karena kami ma-sih
baru muncul di pasaran, atau
posisiku? Yah, bisa dibilang aku
berada di urutan ke-dua dari de-pan
atau tiga baris dibelakang pa-ling
ujung rak. Tiba-tiba seorang lelaki
bertopi memungut buku di depanku,
Ia memperhatikan-nya lekat-lekat,
membolak-balik, dan membaca
bagian punggung kawanku. Dan
sungguh! Sesa-at kemudian AKU
MELIHATNYA MENYOBEK
SAMPUL PLASTIK! Aku bisa
melihat kesedihan ter-pancar dari
salah satu kawanku itu, sungguh
malangnya, tapi apa yang bisa
kulakukan? toh aku hanya se-buah
buku. Kemudian kulihat lelaki
bertopi tersebut mulai mem-bacanya,
membacanya dengan penuh perhatian.
Tidak! Mungkin bisa dibilang
menikmati, tak kulihat sedikit pun
matanya terlepas dari buku yang
digenggamnya. Sesekali ia
menyibaknya, membuat berbagai
macam ekspresi aneh, dia bergumam
dan berbicara sendiri? tapi aku
menyukainya, sesaat aku ingin
menjadi seperti kawanku
yang dibaca sepenuh hati. Semoga
saja pemilihku benar-benar me-
milikiku, maksudku membeli lalu
membacanya, tapi bukan di sini,
bukan sembarang menyentuh dan
membuka, rasanya aku pun ingin
dihargai, bukan dibaca gratisan
seperti itu, enak saja. Lelaki muda itu berdiri,
mengangkatku lalu dengan ser-ta-
merta menaruhku kembali, dan kini
aku berada diposisi TER-DEPAN,
APA?! Dia menukar posi-siku, lelaki
muda tersebut menye-lipkan
kawanku di posisi awalku tadi,
benar-benar trik yang licik, “kau
pikir bisa menipu? Apa kau melihat
CCTV di sana? Atau para petugas?
Kenapa kau tidak mem-belinya saja?!
Kau pikir mudah untuk laku di sini
dengan sampul plastik yang
terbuka??! Cih!” teriakku
memakinya. Oh percuma saja, dia tak
akan mendengar, ini bukan cerita
dongeng dengan buku ajaib yang siap
mengomentari apa saja, atau
mengabulkan permintaan anehmu.
Toko tampak ramai, mun-
gkin hari libur, pikirku. Aku me-lihat
pria bertopi berulangkali kembali
mungkin tiga atau empat kali,
menyelesaikan bacaannya. Kadang
beberapa pengunjung lain melakukan
hal sama, hingga kawanku tak mulus
lagi. Dasar tak bermodal! Beberapa
kawan di
33
CERPEN
sampingku satu-persatu mulai
meninggalkan rak, ada yang dipi-lih
oleh wanita muda berkalung hijau,
pria berkaos hitam dengan janggut
kuning, laki-laki gimbal dengan
permen karet di mulutnya, atau
perempuan muda dengan tindik di
hidung dan alisnya, ber-macam-
macam orang silih ber-ganti. Dan
kau tahu? aku masih di sini, ini
membuktikan menjadi terdepan tak
selamanya menjadi yang pertama,
atau mungkin ka-rena sobekan sialan
ini, orang di sini benar-benar pemilih,
berkali-kali mereka menaruh ku
kem-bali di rak. Petugas
menyebalkan itu membuat nasibku
tak membaik. Ugh! kalau saja aku
bisa meng-utuknya. Kini hanya
beberapa buku tersisa yang sama
dengan-ku karena yang lain habis
terjual, harapanku semakin besar
untuk segera meninggalkan rak ini.
Sesosok gadis berkepang
satu berada di depanku. Dia lang-
sung meraihku, hanya sekilas melihat
sampulku yang bewarna abu-abu
dengan gambar dua pe-rempuan dan
laki-laki dalam se-buh pintu tua,
cukup membuat orang-orang ingin
segera memi-nangku. Aku senang dia
memi-lihku, tanpa babibu dia
langsung MEMASUKKANKU DALAM KE-
RANJANG BELANJA! Aku meli-
hat sekelilingku, ternyata aku tak
sendiri, ada buku lain bersamaku,
buku kamus terjemahan bahasa
inggris tebal, lebih tebal dariku,
sangat tebal. Dia tersenyum sin-is,
apa yang salah? Kami berdua
berayun-ayun dalam keranjang
menuju kasir. Ini adalah momen
bahagiaku, satu persatu dari kami
dipindai menggunakan mesin harga.
Kulihat ekspresi gadis itu merengut,
dia memungutku dari meja, HEI!
ADA APA? APA YANG KAU
LAKUKAN? KENAPA KAU
KEMBALI KE BARISAN RAK?
KAU MENARUHKU KEMBALI?!
KE-NAPA KAU HANYA
MEMILIH SI GENDUT ITU?! Dia lalu pergi meninggal-
kanku dengan berbagai pertanya-an,
aku benar-benar tak percaya dengan
yang kualami. Menurut-mu siapa di
dunia ini yang mau diberi harapan
palsu? Aku berani taruhan, kau pun
tidak akan sudi. Tak cukup itu, gadis
berkepang satu pemalas itu
menaruhku di sela-sela buku
ensiklopedia. Be-nar! dia menaruhku
di tempat yang tak seharusnya berada,
me-naruhku di baris paling membo-
sankan diantara dua buku besar,
tempat sekumpulan buku raksasa
bersemayam, lebih baik aku bera-da
di area favorit pemuja manga atau
berbaring di antara tumpu-kan buku
tipis bersampul unicorn tempat para
manusia kerdil
34
CERPEN
merengek, dari pada harus tersesat di
sini. Bukan apa, siapa yang akan
melihatku di sini?! Tak ada yang
menarik disini. Bahkan nenek tua
pun enggan melirik area ini. Argh!
sangat menyebalkan. Aku menghabiskan wak-tuku
cukup lama di sini, dan ane-hnya aku
tak pernah dipindah-kan, tak ada
petugas yang datang benar-benar
memeriksa area ini, aku tak mengerti,
apakah gaji me-reka tidak termasuk
menata ulang buku? Syukurlah
sampulku masih utuh, meski
beberapa debu me-nempel sedikit di
lubang sampul-ku yang terbuka, yang
jelas aku masih baru dan harum.
Kuhabiskan waktu mem-
bosankan bersama para ensik-lopedia,
seperti seorang anak se-kolah dasar
di antara sekumpulan profesor lansia,
begitulah gambaran yang kurasakan
setiap saat. Sangat membosankan.
Aku jamin kau pun tak akan tahan.
Dan aku hanya berharap seseorang
akan membuka hati untuk memung-
utku. Kebanyakan dari mereka hanya
lewat dan lewat saja, benar-benar tak
peduli dengan ke-sengsaraan yang
kualami ini. Aku bahkan tidak
melihat seorang pun berhenti di sini
seperti yang dila-kukan lelaki bertopi,
Ah! aku jadi rindu padanya,
setidaknya aku terlihat berguna,
meski aku harus
merelakan sampulku ini. Entah-lah.
Kini yang kuharap hanyalah
keajaiban. Siang hari di musim panas,
seorang lelaki muda berambut coklat
berada di dekatku, apa bo-cah ini
masih normal? Maksudku jarang
sekali anak remaja melewa-ti baris
ini. Sumpah! tak ada yang menarik
disini, kecuali diriku. Tapi aku
bersyukur, jangan-jangan inilah
keajaiban yang kutunggu itu,
mungkinkah dia malaikat? Aku
hanya berdoa dan berdoa agar dia
melihatku. Dia melewatiku, tanpa
memandangku. Apa aku ini terlihat
terlalu kecil? Apa dia tidak melihat
buku mungil yang ter-himpit para
raksasa membosan-kan ini? Apa aku
menjadi gendut sehingga sulit
dibedakan? ATAU AKU
SEKARANG SUDAH BERU-BAH
MENJADI BUKU ENSIKLOPE-
DIA? TIDAAAAAK! Lelaki muda itu berbalik, apa
dia mendengar teriakanku?? . Tidak. Tidak mungkin, mungkin dia
merasa janggal, atau karena aura
perbedaanku paling kuat di-sini, aku
menebak-nebak. Kulihat dia
mengernyitkan alisnya, EKSP-RESI
MACAM APA ITU?! Kuharap dia
tak mengejekku. Dia mele-paskanku
dari cengkraman para raksasa,
membolak-balikkanku, lalu membaca
sampul belakangku. Dan dia
tersenyum, sangat manis,
35
CERPEN
aku yakin dia tertarik. Pasti. Aku
berharap dia memilihku atau paling
tidak mengembalikanku ketempat
semula, ketempat seharusnya, meski
aku tak yakin kawan-kawanku masih
ada di sana. Ya! Dia menentengku
tanpa keranjang dan tanpa buku lain,
hanya aku sendiri. Dia berjalan
menuju kasir, dia tak peduli dengan
cacat sampulku. DIA BENAR
BENAR MEMBELIKU! Selamat
tinggal para raksasa membosan-kan.
Ha! Sudah kubilang tak ada yang
tertarik dengan ensiklopedia, dan
tentunya pemilihku bukan nenek tua.
Lelaki muda berambut coklat
itu menaruhku di tasnya yang besar,
aku terguncang berkali-kali bersama
benda-benda asing yang tidak
kuketahui, beberapa di antaranya
berbentuk datar seper-tiku, sebuah
buku? Eh, mungkin dua atau tiga.
Entahlah. Karena di sini terlalu gelap,
kamu pun bisa membayangkan
betapa gelap di dalam sini. Kuharap
nasib buruk-ku hanya sampai di toko
buku mengerikan itu, nasib baik pasti
sudah menantiku di depan. Impi-
anku sama seperti buku lainnya.
Membayangkan lelaki muda
ini membacaku setiap saat,
merawatku, bahkan membawaku ke
mana-mana dia pergi, menjadikanku
sahabatnya, menemani
waktu malamnya bersama segelas
susu hangat, atau membaca bers-ama
kawannya yang lain di sore hari di
sebuah taman. Ah senang-nya. Di
sini aku bisa melihat jalan-an melalui
lubang kecil diantara resleting, dia
tidak menutup tasnya dengan begitu
rapat. Sepertinya ia mengendarai
sepeda, aku bisa melihat toko di
mana aku berada mulai menjauh di
antara gedung-gedung tinggi di
sekitarnya, semakin jauh dan jauh
lalu tak terlihat sama sekali. Selamat
tinggal! Tempat membosankan! Aku
menantikan hari baru yang akan
kulalui nanti, hari yang akan ku-
habiskan bersama lelaki muda be-
rambut cokelat dengan senyumnya
yang manis.
freepik.com
36
CERPEN
CERPEN
DUNIA 2.0
Oleh Tommi Juliansyah Rozarius, Prodi PPKn
“Pernahkah kamu merasakan seperti berada di dunia nyata tapi jika
dicermati lebih dalam, dunia yang kamu tempati bukan dunia yang sebenarnya?
Pernahkah kamu merasakan bagaimana sesuatu yang biasa dan berhasil
dilakukan orang lain namun, menjadi gagal jika kamu yang melakukannya?
Pernahkah kamu merasakan kehilangan tali silahturahmi setelah kamu
perhatian dan peduli kepadanya?” Bayang-bayang kalimat itu melintasi pikiranku, seraya tan-ganku
sibuk menekan-nekan layar gawai. Suara ketukannya memecah keheningan
kamar indekos ini. Huruf demi huruf muncul dibalik layar, membentuk sebuah
kata, kemudian kalimat. Aku hendak mengajak seorang narasumber untuk
bertemu di sebuah kedai kopi di pusat kota Jakarta. Narasumber untuk
penelitianku demi sebuah gelar akademik, sekaligus bentuk
pertanggungjawabanku kuliah empat tahun di institusi pendidikan tertinggi.
Bunyi lonceng bergema di dalam speaker gawai ini, narasumberku baru
membalas lewat aplikasi pesan. “Oke siap. Sampai bertemu besok ya, Kak Adam”. Aduh, sudah kuberitahu beberapa kali aku tidak usah dipanggil „kak‟,
cukup Adam saja. Bukan kenapa, soalnya aku dan dia hanya beda
depokpos.com
37
setengah tahun, meskipun secara
tingkat akademis dia satu semester
lebih muda dariku. Lagipula, aku
tidak merasa begitu tua se-hingga
harus dipanggil „kak‟. Ya sudahlah,
aku tidak perlu mene-gurnya lagi
soal itu. Oh, narasum-berku itu
bernama Yona. Dia salah satu
mahasiswi di sebuah jurusan bahasa
dan antusias terhadap kar-ya sastra
klasik. Sebuah notifikasi muncul di
pojok kanan layar ga-waiku.
Notifikasi itu memberita-
hukan berita terbaru dari laman
portal berita yang aku langgan. Se-
kian banyak kepala berita dengan
tajuk-tajuk yang menghebohkan, ada
satu berita yang menarik per-
hatianku. Judulnya tidak terlalu
menghebohkan, “Ajari Kebhine-kaan
Lewat Permainan”. Namun, aku
sepertinya mengenal sosok yang
menjadi foto utama di kolom berita
itu. Terlihat ia seperti mem-
presentasikan sebuah media pem-
belajaran. Tak salah lagi, itu kawan
sekelasku Anggara. “Bagaimana bisa ia masuk
koran, sementara setiap harinya
hanya nongkrong sambil ngopi di
belakang gedung fakultas?”
gumamku. Mengejutkan memang, se-
orang guru paruh waktu yang jam
terbang mengajarnya sudah sam-pai
ke pelosok desa kalah pamong
oleh mahasiswa biasa dengan pre-
sentasi media pembelajaran saja.
Sering kulihat di media elektron-ik
maupun cetak, tokoh publik yang
berdedikasi pada pendidikan
memulai langkah beraninya pada
sebuah pengabdian. Hal itulah yang
memotivasiku untuk men-jadi
seorang pendidik. Pikiranku jadi tak
karuan. Aku merasa gagal dalam
tujuan hidupku. Bagaimana orang
lain bisa melakukannya se-mentara
aku tidak? Aku harus segera men-
jernihkan pikiranku. Aku berusa-ha
mengalihkan pertanyaan-per-tanyaan
yang berkaitan dengan berita tadi
melalui berbagai aktivitas ringan,
seperti bermain permainan video,
menonton film, dan lain sebagainya.
Setidaknya aku mulai mengabaikan
peras-aan bersalah pada diriku
sendiri. Meski terkadang bayang-
bayang kegagalan terngiang di
benakku. Kemudian, gawaiku
berdering, menandakan Yona baru
saja mengirimkan sebuah pesan.
“Kak, ada rekomendasi buku
fiksi tidak?” tanyanya.
“Hmm... kalau mau fiksi
ilmiah, aku sarankan untuk baca
buku Djokolelono. Tapi kalau mau
fiksi fantasi, kamu bisa baca The
Alchemist.” jawabku.
Kemudian percakapan kami
melalui aplikasi tersebut
38
CERPEN
melebar ke topik selain sastra. Mulai
bahas tentang hobi hingga
perkuliahannya selama ini. Sese-kali
aku sisipkan saran-saran un-tuk
menghadapi kuliahnya agar lebih
lancar. Kadang pula aku me-
nanyakan bagaimana kabarnya,
kesehatannya, dan juga perkulia-
hannya. Sejauh ini, ia baik-baik saja.
Secara keseluruhan, begini-lah
percakapan kami berdua di aplikasi
tersebut pada kesempatan tertentu.
Mulai dari diskusi santai sampai
saling menanyakan kabar. Sejujurnya, entah dari mana
datangnya, aku merasa nyaman
dengannya. Sejak perta-ma bertemu
di sebuah rumah makan cepat saji,
melihat tingkahnya yang agak kikuk
tapi lucu. Terutama soal kesamaan
hobi, sebagai sesama penggemar
sastra, tentu siapa yang tidak
menolak jika punya kekasih yang
sehobi. Aku beru-saha untuk tidak
terlalu mengambil ekspektasi
berlebih. Biasanya, semakin tinggi
bermimpi, akan semakin sakit jika
jatuh dari mimpi tersebut. Namun
yang terpenting adalah seberapa kuat
tekad kita. Esoknya, aku sampai di
tempat yang disepakati. Sepertinya
aku lebih dahulu datang, karena tak
terlihat sosok Yona di sekitar sini.
Suasana di kafe pun lumayan ramai.
Ruangan yang cukup luas dengan
sentuhan interior
minimalis dan sedikit bergaya Eropa.
Harum wangi biji kopi yang
dipanaskan tercium hing-ga depan
pintu kafe. Karena diri-ku bukan
penikmat kopi hitam, aku hanya
memesan matcha latte untukku dan
dia. Lumayan lama aku
menunggunya, hingga akhirnya
sosok wanita muda dengan rambut
sebahu dengan kulit putih khas
oriental membuka pintu kafe itu. Aku
melambaikan tangan untuk
menunjukkan posisiku. Ia kemudian
duduk di depanku. “Maaf ya, kak, datangnya
agak telat...” ujarnya. “Tak apa-apa. Lagipula tidak
terlalu lama ini. Oh ya, mau minum
dulu atau wawancara dulu?” tanyaku
sambil menyodorkan matcha latte-
nya. “Wawancara saja dulu,
kak.” “Oh, baiklah.”
freepik.com
39
CERPEN
Kemudian aku mengeluarkan secarik
kertas yang berisi perta-nyaan untuk
wawancara. Perta-nyaan demi
pertanyaan dijawab-nya dengan baik.
Sesekali aku menambahkan
pertanyaan yang sifatnya trivial
untuk melengka-pi data penelitianku.
Setelah wawancara, kami pun
bercakap-cakap ringan, bersenda
gurau, saling menanyakan kabar,
hampir mirip seperti percakapan di
aplikasi itu. Tibalah saatnya aku
menguta-rakan apa yang aku rasakan
sel-ama ini. Rasanya berat, seperti
ada yang menahan dari belakang,
tapi aku harus berterus terang soal ini.
Perasaan yang dipendam itu tidak
enak rasanya.
“Yona... aku perlu bicara
sesuatu,” ucapku sedikit gugup. Kemudian aku utarakan
semua yang ada di hatiku, ten-tang
bagaimana aku menyukain-ya. Untuk
sesaat, keheningan pun menerpa. Ia
terdiam, memendam mulutnya ke
dalam. Kemudian ia
tersenyum kecil. “Maaf, kak. Aku belum
bisa... aku belum siap...” jawabnya. Seketika seluruh tubuhku
membatu. Terdiam. Berat rasanya
untuk tetap tersenyum. Hilang sudah
makna pengorbananku dan
perhatianku untuk bisa tetap de-kat
dengannya. Rasanya seperti
dikalahkan oleh takdir. Sedikit malu
dan kecewa. Kemudian den-gan
seluruh sisa tenagaku, aku kembali
menatapnya. Sepertinya aku harus
menerima penolakan ini.
“Oh, baiklah... tidak apa- apa...”
Kemudian kami terdiam
untuk beberapa saat. Tak tahu apa
yang harus diperbincangkan lagi.
Hingga akhirnya aku memutus-kan
untuk menyudahi pertemuan ini. Ia
pun terlihat tak keberatan dengan hal
itu. Kemudian kuantar dia ke depan
pintu kafe dan ber-pamitan. Aku pun
pulang dengan menaiki kendaraan
roda dua.
40
CERPEN
Sehari setelah pertemuan itu.
Ada yang aneh dengan media
sosialku. Aku tak bisa menemu-kan
kontak Yona. Menghubunginya pun
tidak bisa. Perasaanku mulai tidak
enak. Ada yang ganjil. Kutanyakan
kepada temanku yang mengerti
banyak tentang teknologi informasi,
dan menurutnya aku diblokir oleh
Yona. Sulit dipercaya. Kenapa di
zaman sekarang begitu mudah orang
memutuskan tali silaturahmi tanpa
alasan yang jelas. Kenapa ia bisa
memblokir seseorang yang menaruh
perha-tian dan prioritasnya untuknya?
Kenapa dunia ini mempersempit
pergerakan manusia untuk saling
mengenaldan tetap menjaga sila-
turahmi?
Kemudian aku berpikir, aku
bukan hidup di dunia yang
semestinya. Aku bukan hidup di
dunia nyata lagi. Aku hidup bersama
paradoks, sebuah kejadian yang
terjadi dikarenakan premis tertentu.
Pandangan soal dunia
nyata pun hilang, tergantikan oleh
paradoks. Aku hidup bersama
paradoks, bukan dengan dunia
nyata, dan dunia yang kutinggali
ini bukan dunia nyata, melainkan
tiruan dari dunia nyata yang
dihasilkan oleh paradoks itu.
Pernahkah kamu mera-
sakan seperti berada di dunia nyata
tapi jika dicermati lebih dalam,
dunia yang kamu tempati bukan
dunia yang sebenarnya? Pernahkah
kamu merasakan bagaimana
sesuatu yang biasa dan berhasil
dilakukan orang lain, namun
menjadi gagal jika kamu yang
melakukannya? Pernahkah kamu
merasakan kehilangan tali
silahturahmi setelah kamu per-
hatian dan peduli kepadanya? Ja-
wabannya adalah, ya.
freepik.com
41
CERPEN
RESENSI
Belenggu Manusia
oleh Ghifani Azhar, Prodi Pendidikan Ekonomi
Judul : Belenggu Penulis : Armijn Pane Penerbit : Dian Rakyat Cetakan : 2010 Cetakan ke Tebal : 150 halaman ISBN : 979-523-046-8
Setiap orang boleh jadi
memiliki pandangan akan suatu hal
yang dikonstruksi dalam pikiran atas
dasar logika dan imajinasi.
Konstruksi ini pun dipen-garuhi
dengan kondisi emosional, harapan
dan cita-cita diri, serta tekanan
lingkungan sekitar. Konstruksi
imajinasi yang dikisahkan Armijn
Pane lewat pelakon dalam novelnya.
Sukartono adalah seorang
pria tanpa celah di hadapan para
koleganya. Berprofesi sebagai dokter
bertangan dingin yang siap sedia
berkunjung ke rumah pasiennya
kapan pun. Memiliki predikat lulusan
kedokteran
terbaik dan paras yang memesona.
Menjadikan Tini besar kepala da-pat
dijadikan istri oleh Sukartono. Menjadi istri dari seorang
dokter panggilan yang diandalkan
masyarakat luas. Menjadikan hari-
hari Tini penuh terisi dengan
kegiatan menerima telpon dan
mencatat alamat pasien suamin-ya di
atas blocnote. Tak hanya itu, Tini
haruslah berprilaku santun, dan
berperangai apik di depan koleganya.
Sebab, ia patut menjaga kehormatan
suami dengan bertindak seolah-olah
ia berkecuku-pan dan bahagia dalam
menjalani hari-harinya. Di mata
khalayak luas, Tini dan Tono adalah
pasutri
42
yang berbahagia. Tak jarang pasutri
ini memamerkan keharmonisannya
dengan bermain alat musik bersama
di suatu acara pertemuan. Namun jauh di dalam ha-
tinya, Tini merindukan hari-hari
sebagai gadis bebas yang dapat ke-
luar rumah, berdansa-dansa, me-
nonton film, serta aktif menjadi
pegiat sosial. Melakukan apa yang
diinginkan dirinya. Tini mem-punyai
kecantikan yang mampu membuat iri
gadis-gadis sebayanya, dan gadis-
gadis itu bertambah dengki saat
akhirnya Tini diper-sunting oleh
Dokter Tono. Tak hanya Tini yang merin-
dukan masa lalu. Dokter Tono yang
amat mencintai pekerjaannya, ak-
hirnya jatuh cinta jua pada seorang
pasien yang ternyata seorang per-
empuan di masa lalunya, Rohayah.
Tentu hal ini tidak diketahui Tini.
Namun, sebagai seorang istri boleh
jadi ia merasakan keganjalan pada
diri suaminya. Watak Tini yang
arogan dan Tono yang mulai tak
acuh dan sudah malas mengalah pada
tiap-tiap perselisihan menimbulkan
perang dingin di-hubungan suami
istri ini. Alhasil, kehidupan rumah
tangga Tini dan Tono terasa hampa
dan sepi tan-pa adanya perbincangan
diantara keduanya. Karena masing-
masing hanya sibuk berinteraksi
dengan konstruksi imajinasi sendiri
tanpa
bertanya untuk mendapatkan
penjelasan. “Lupakanlah, matikanlah
angan-angan. Lepaskanlah be-lenggu
ini. Buat apa bergantung pada zaman
dahulu,” ujar Hartono. (halaman 115)
Tokoh yang memiliki ke-
terkaitan di masa lalu dengan Tono
dan Tini ini menjadi pemantik hasrat
untuk bebas dari belenggu. Ditambah
dengan Rohayah sebagai kehidupan
masa lalu Tono menjadikan keempat
tokoh ini mengalami pergolakan
batin untuk melalukan perubahan
melawan sesuatu yang
mengungkungnya. Untuk bertindak
melakukan per-pindahan dari sesuatu
yang telah melekat dan
membelenggunya. Pergolakan ini terdapat pada
diri setiap pelakon yang dikisahkan.
Diceritakan dengan bahasa yang
mendeskriptifkan perasaan, yang
membuat pembaca merefleksikan diri
saat
menikmati alur memikat kon-flik
dalam novel belenggu ini.
Boleh jadi konflik diri yang
tertuang adalah salah satu konflik
batin yang pernah dialami pem- baca. Karena latar konflik yang di-
pilih Armijn Pane adalah sesuatu
yang hangat dan melekat di mas-
yarakat. Sehingga saat membaca,
ceritanya terasa nyata akibat pen-
cerminan diri.
43
RESENSI
Dibumbui dengan pandan-
gan hidup dua tokoh utama perem-
puan, menjadikan novel ini bernu-
ansa sedikit feminis. Pilihan hidup
yang dipilih tokoh-tokoh dalam
novel Belenggu mengisyaratkan
bahwa angan-angan dan cita-cita
baru akan membawa kehidupan baru.
Mengangkat diri melepas-kan segala
belenggu manusia yang mengikat
semangat jiwa muda. Membaca buku Belenggu
mengaitkan ingatan pada kisah yang
dituliskan Marga T Sapta di tahun
1995. Diberi judul Sepagi Itu Kita
Berpisah, berlatar belakang romansa
dan keseharian seorang dokter. Yang
membedakan justru bagi Marga T
Sapta butuh 659 halaman untuk
menceritakan kisah sepasang dokter,
keper-cayaan, kesialan hidup,
perseling-kuhan hingga kebebasan.
Berlain dengan Armijn Pane yang
cukup dengan 150 halaman
mengisahkan kehidupan tokoh-
tokohnya.
Meski berpaut pada waktu
yang cukup lama, tema cinta dan
perselingkuhan serta kesehari-an
seorang dokter masih menjadi materi
asyik yang dijadikan lakon oleh
penulis. Belenggu yang lahir pada
tahun 1938. Disusul dengan Sepagi
itu Kita Berpisah yang sam-pai
dipasaran tahun 1995. Kedua novel
mengisyaratkan masyarakat kita yang
masih mengganderungi
kisah cinta dan perselingkuhan se-
bagai bacaan yang menghibur. Tak
jarang tema ini pun menjadi ton-
tonan cerita-cerita di layar kaca. Tak hanya itu, pemakai-an
istilah-istilah dalam lingkup
kedokteran pun menjadi ciri dari
kedua novel di atas. Terkadang kata
hadir sebagai lambang pen-getahuan
penulisnya. Pada novel Belenggu
terdapat daftar kata dan
pengertiannya. Tampaknya penu-lis
sembari mengedukasi pembaca pada
masa itu untuk memahami istilah-
istilah asing. Sebuah suguhan romantik
yang berisikan nilai-nilai kehidupan.
Dengan permainan perasan
pengarang, yang mampu meng-
gambarkan keragu-raguan, pesi-
mistis dan optimistis khas manu-sia.
Sehingga membuat pembaca merasa
ambigu dengan pangkal cara berpikir
tokoh-tokoh di dalamnya. Secara
tidak langsung kisah di dalam novel
ini memberikan kita nasihat dalam
menjalani kehidupan.
44
RESENSI
ANTOLOGI PUISI
Silap pikiran Ayenni Afriyani Dibukanya tiap lembar Membawa otak jauh ke peradaban Semua rasa-rasa telah menyentuh hati Siapa lagi kalau bukan dia Buku, benda ajaib di dunia ini Mengotori pikiran dengan aksara Sang empunya diidolakan pula Kagum dengan karyanya Aku hanya bisa tertawa Susah payah mereka membuka jendela
dunia Tapi, ujung-ujungnya jadi budak kapitalis
jua
Apa hidupmu baik-baik saja? Diana Dwi Lestari
Pulang Muthiah Kami terbiasa Terluka Kemudian membasuhnya dengan bersua
Aku terbiasa Menyelam pada tiap bait yang ia mainkan
Lalu mengarungi deretan majas yang ia cipta Kami terbiasa Memainkan sajak kami di penghujung
senja Membuat kami mengulas senyuman Hingga sulit ku lepas senyumnya Membawaku pada satu kebahagiaan Namun Kini Kami sedang tidak terbiasa Sebab Ilahi tak meridhoi Karena dia telah kembali
Setiap pagi terlihat sekumpulan orang berjalan
Sambil menundukkan kepala, menatap layar jenius Sesekali serius, sesekali tersenyum
Tidak ada tegur sapa Semuanya bergerak lurus tak berpaling
Bagai kereta yang terus maju Ku bergumam mungkin ini kala pagi Saat orang-orang baru menjalankan aktifitas Namun.... Siang pun begitu Ku berpikir mungkin ini kala siang Saat orang-orang sedang lelah-lelahnya Ternyata.... Sore pun begitu Ku menghela nafas, Sesaat ku bergumam apa hidupmu baik-baik saja? Entahlah... Mungkin saat malam tiba. Itu pun tak
pasti
Melihat Huruf Indrawana Sinaga
Hamparan tak terkira huruf Lahaplah dengan kedua mata Banyak hal belum terduga olehmu Takkan ditemui jika hanya diam Hamparan melimpah ruah Takkan berhenti kecuali alam mati Nikmati, nikmati, jangan sia-siakan Rabalah dengan penglihatan Dari situ kau belajar dunia Dari situ kau mengenal cinta Akan ada beda dengan yang diam Otaknya sempit Matanya tertutup
45
The truth may be puzzling. It may take same work to grapple with. It may be
counterintuitive. It may contradict deeply held prejudices. It may not be
consonant with what we want to be true. But our preferences do not
determine what’s true. – Carl Sagan