BUKU PANDUAN Panduan Skills Lab... · Dokter Indonesia, tahun 2006 antara ... Nyeri kepala karena...
-
Upload
truongthien -
Category
Documents
-
view
227 -
download
0
Transcript of BUKU PANDUAN Panduan Skills Lab... · Dokter Indonesia, tahun 2006 antara ... Nyeri kepala karena...
KETERAMPILAN KLINIK Modul
Kedokteran Kehakiman
Hati &Saluran Empedu
Perilaku & Jiwa
BUKU PANDUAN
Tim Penyusun Modul LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
KETERAMPILAN KLINIK
SEMESTER VII
ANAMNESIS PENYAKIT GANGGUAN NEUROLOGI PEMERIKSAAN FISIK SISTEM MOTORIK
PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
TANDA NYERI RADIKULAR, DAN PERANGSANGAN MENINGEAL PEMERIKSAAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR, KESADARAN,
DAN FUNGSI KOORDINASI PEMERIKSAAN KESADARAN DAN FUNGSI KOORDINASI ANAMNESIS KELAINAN SISTEM MUSKULOSKELETAL
PEMERIKSAAN FISIK TULANG BELAKANG PEMERIKSAAN FISIK EKSTREMITAS ATAS & BAWAH
PEMERIKSAAN FISIK SENDI PENATALAKSANAAN FRAKTUR DAN CEDERA OTOT / LIGAMEN
PEMBACAAN FOTO RONTGEN TULANG TENGKORAK, EKSTREMITAS, DAN TULANG BELAKANG
ANAMNESIS GANGGUAN PSIKIATRI
BUKU PANDUAN LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2017 Keterampilan Klinik SEMESTER VII
1
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Penyusun :
SKILL LABS FK UISU
PAKAR BAGIAN TERKAIT
Editor :
MEU FK UISU
Keterampilan Klinik SEMESTER VII
2
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pemberitahuan : Buku Panduan Skills Lab Semester VII saat
ini masih mengacu kepada buku panduan skills lab yang selama
ini ada. Kami mengharapkan kritik dan saran dari para Expert
dan Instruktur untuk perbaikan buku panduan skills lab tersebut.
Terima Kasih.
Skills Lab Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik SEMESTER VII
3
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat, bimbingan, petunjuk-Nya atas selesainya Rancangan Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester VII Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara yang merupakan karya dan kerja keras Tim Skills Lab FK UISU dan para pakar serta kontributor ilmu yang terlibat, walau masih jauh dari sempurna. Sesuai dengan SK-Mendiknas No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Pendidikan Tinggi yang berbasis Kompetensi, Standar Kompetensi Dokter sesungguhya merupakan bagian dari Standar Pendidikan Profesi Dokter.
Konsil Kedokteran Indonesia melalui keputusan No. 21A/KKI/KEP/IX/2006, telah mensahkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia sesuai dengan amanah Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Modul Keterampilan Klinik ini dibuat mengacu pada perkembangan terkini dari paradigma pendidikan dokter serta mempertimbangkan Misi dan Visi Universitas Islam Sumatera Utara, dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di tanah air kita.
Akhir kata, kami berharap Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester VII, ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan semoga segala usaha yang telah dilakukan, dapat berhasil guna dalam rangka mencapai tujuan, Misi, dan Visi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Medan, September 2017 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara,
dr. Abd Harris Pane, Sp. OG
Keterampilan Klinik SEMESTER VII
4
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman Muka ...................................................................................................... i
Kata Pengantar ..................................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................................................ iv
Tata Tertib Instruktur ......................................................................................... v
Deskripsi Kegiatan / Tugas Instruktur ............................................................... vi
Rujukan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII
5
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
TATA TERTIB INSTRUKTUR
Tata tertib yang harus diketahui Instruktur untuk kelancaran acara pelatihan ini
adalah :
1. Instruktur / pelatih diharapkan hadir 15 menit sebelum acara pelatihan dimulai
2. Jika instruktur tidak dapat hadir sesuai dengan jadwal yang ditentukan,
instruktur harus melapor ke Pengelola Keterampilan Klinik Semester I yang
berkoordinasi dengan unit Laboratorium Keterampilan Klinik (Skills Lab) FK
UISU, paling lambat 1 hari sebelumnya, yaitu kepada :
dr. Sinta Veronica, M.Kes (082368371983) dr. Rahmadani Sitepu, M.Kes (081260334569)
dr. Nanda Novziransyah, M.Kes (081396105437) dr. Mayasari Rahmadhani, M.Kes (081360500048)
3. Instruktur harus berada di ruangan keterampilan klinik selama proses pelatihan
berlangsung, yaitu selama 2 x 50 menit (± 100 menit) / pertemuan latihan.
4. Setiap instruktur wajib mengisi dan mengembalikannya kepada Pengelola
Keterampilan Klinik Semester 1 setelah pelatihan selesai, yaitu:
Lembaran berita acara pelatihan.
Lembaran daftar absensi (kehadiran) mahasiswa acara pelatihan.
Lembaran evaluasi/hasil pengamatan instruktur terhadap keterampilan
mahasiswa (bila ada).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII
6
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
DESKRIPSI KEGIATAN / TUGAS INSTRUKTUR SELAMA ACARA PELATIHAN
Sesi Pembukaan (20 menit) 1. Pada acara pelatihan pertama di saat sesi pembukaan, instruktur
memperkenalkan diri, dan mahasiswa juga saling memperkenalkan diri. Instruktur berusaha mengingat nama masing-masing mahasiswa.
2. Membagikan absensi mahasiswa, dan segera mengambilnya begitu selesai ditandatangani oleh mahasiswa.
3. Mahasiswa dapat dibagi dalam beberapa kelompok kecil, yang masing-masing kelompok terdiri dari 2 mahasiswa (berpasangan) / kelompok.
4. Bila diperlukan instruktur dapat mengadakan responsi pada mahasiswa yang akan mengikuti pelatihan, bila instruktur menganggap mahasiswa tidak menguasai materi yang berkaitan dengan pelatihan, maka instruktur berhak membatalkan pelatihan bagi mahasiswa yang bersangkutan pada hari tersebut.
5. Instruktur kemudian memberi gambaran sekilas tentang maksud, tujuan, dan metode latihan (cara) yang akan dilaksanakan selama acara pelatihan ini.
Sesi Latihan (60 menit) 1. Instruktur melakukan demonstrasi cara melakukan prosedur yang akan dilatih
mahasiswa. 2. Instruktur membimbing mahasiswa satu per satu secara bergantian pada saat
melakukan latihan, seperti yang telah diperagakan instruktur pada langkah (1) di atas, dengan menggunakan pasien simulasi, atau manekin pada setiap pertemuan (coaching).
3. Instruktur mengawasi kegiatan mahasiswa saat melakukan latihan mandiri. Sesi Penutup (20 menit)
Sebelum menutup acara pelatihan ini, instruktur : 1. Memberikan feed-back (masukan) pada mahasiswa setelah melakukan latihan
peran (role play). 2. Mengisi lembar berita acara, dan menandatangani lembar daftar absensi
mahasiswa. 3. Memasukkan seluruh berkas ke dalam map yang tersedia. 4. Mengingatkan mahasiswa untuk membuat laporan hasil kegiatan pada lembar
laporan hasil latihan, dan menyerahkannya pada instruktur pada pertemuan berikutnya untuk dikoreksi, dan ditandatangani / diparaf.
5. Bila perlu, memberikan tugas mandiri berupa materi yang harus dipahami mahasiswa berkaitan dengan latihan keterampilan pada pertemuan ini, dan untuk pertemuan selanjunya. Mahasiswa menyelesaikannya dalam bentuk tulisan ilmiah beserta kepustakaannya, yang dikumpulkan pada pertemuan berikutnya.
6. Mengingatkan mahasiswa untuk mempersiapkan diri dengan baik pada pertemuan (acara pelatihan) berikutnya.
7. Mengucapkan kata penutup, misalnya Alhamdulillah, atau kata – kata lainnya yang memberikan motivasi kepada mahasiswa
Keterampilan Klinik SEMESTER VII
7
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Pertama
ANAMNESIS PENYAKIT GANGGUAN NEUROLOGI
I.PENDAHULUAN
Penyakit gangguan neurologi merupakan salah satu penyakit penyebab kesakitan dan kematian baik di Indonesia, maupun di seluruh dunia. Tingginya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit gangguan neurologi di Indonesia terutama disebabkan oleh kesadaran tentang pola hidup yang sehat masyarakat yang masih rendah, serta keterlambatan dalam penegakkan diagnosis, dan pemberian pengobatan yang tepat.
Kurangnya pengetahuan klinis dan keterampilan dokter khususnya dalam melakukan anamnesis, menyebabkan kesalahan diagnosis, sehingga seringkali pasien baru mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat di saat penyakitnya sudah memburuk sehingga angka harapan hidup pasien menjadi mengecil, atau kualitas hidup pasien setelah pulih menjadi yang kurang baik. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan tentang bagaimana cara berkomunikasi yang baik dalam menggali informasi-informasi yang didapatkan dalam anamnesis, sehingga akan memudahkan dokter dalam penegakkan diagnosis dan pemberian pengobatan yang tepat.
Anamnesis yang baik, memiliki kerangka yang terdiri dari beberapa komponen yaitu anamnesis pribadi, anamnesis keluhan utama, anamnesis riwayat penyakit sekarang, anamnesis riwayat penyakit terdahulu, anamnesis organ, anamnesis riwayat pribadi, anamnesis riwayat penyakit keluarga, anamnesis sosial ekonomi, dan anamnesis gizi.
Informasi yang terdapat pada komponen-komponen ini haruslah digali dengan seksama dan saling dihubungkan satu sama lain, dengan tetap mengacu pada pengetahuan klinis yang dimiliki. Berikut ini akan diuraikan komponen-komponen anamnesis penyakit gangguan neurologi beserta cara-cara menggali informasi yang terkandung di dalamnya.
1.1 Anamnesis Pribadi
Anamnesis pribadi pada penyakit gangguan neurologi memiliki komponen yang sama dengan anamnesis penyakit lainnya. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis pribadi antara lain: Nama Umur Kelamin Alamat Agama Bangsa / Suku Status Perkawinan Pekerjaan
Data-data tersebut merupakan identitas pasien dan penting untuk diketahui karena
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 1
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara pada penyakit gangguan neurologi terkadang terdapat hubungan antara data identitas dengan epidemiologi, atau insidensi (angka kejadian) penyakit.
Misalnya mengenai umur, penyakit gangguan peredaran darah otak (GPDO), angka kejadiannya cenderung meningkat pada usia sekitar 50 tahun. Angka kejadian juga berbeda-beda menurut jenis dari GPDO. GPDO karena perdarahan (stroke hemoragik, yang terbagi atas perdarahan intraserebral, dan perdarahan subarakhnoid) umumnya terjadi pada rentang usia 40 tahun, hingga usia 75 tahun. Sedangkan GPDO bukan karena perdarahan (stroke iskemik), insidensinya meningkat pada rentang usia di atas 50 tahun.
Contoh lainnya adalah nyeri kepala tipe tegang, atau tension headache, yang pada umumnya ditemukan pada pasien berjenis kelamin wanita, dengan rentang usia antara 20-40 tahun, atau pada kasus nyeri punggung karena hernia nukleus pulposus yang lebih sering ditemukan pada pasien pria, dengan angka kejadian tertinggi antara usia 40-50 tahun. 1.2 Anamnesis Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien sehingga dirinya datang berobat. Pengertian ini haruslah dicermati dengan baik, karena seringkali keluhan utama tidak dapat ditentukan dengan baik karena kesalahan sewaktu menanyakannya pada pasien.
Untuk menentukan keluhan utama, dokter harus menanyakan apa keluhan yang dirasakan paling mengganggu saat ini, yang menyebabkan pasien datang berobat. Keluhan utama tidak boleh diabaikan, walaupun seandainya setelah dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut, ternyata ditemukan penyakit lain yang lebih serius.
Beberapa keluhan utama yang sering utarakan pasien pada penyakit gangguan neurologi, yang terangkum pada daftar masalah pasien pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia, tahun 2006 antara lain adalah :
Sakit kepala. Sakit punggung. Kejang seluruh tubuh. Hilang kesadaran. Kelumpuhan, atau kelemahan pada anggota gerak tubuh.
Demam disertai dengan kejang. Dalam penulisan keluhan utama juga harus ditanyakan sudah berapa lama pasien
mengalami keluhan tersebut. Misalnya sakit kepala sejak setahun yang lalu, atau kelemahan pada lengan dan tungkai sejak 2 jam yang lalu. Selain menanyakan keluhan utama, tanyakan juga apakah ada keluhan lain yang dirasakan pasien yang merupakan keluhan tambahan, seperti sakit kepala, muntah, dan lain sebagainya.
Sebagaimana telah dijelaskan pada anamnesis sistem organ pada blok-blok sebelumnya, setelah menentukan keluhan utama, langkah selanjutnya yang dilakukan dokter adalah memikirkan diagnosis banding, dimana dokter harus memikirkan segala kemungkinan penyakit yang mungkin, berdasarkan keluhan utama pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 2
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Sebagai contoh adalah keluhan utama sakit kepala. Dokter harus memikirkan segala macam kemungkinan penyakit yang menimbulkan keluhan ini. Sakit kepala dapat ditemukan pada kasus-kasus sebagai berikut : Migren. Nyeri kepala klaster, dan nyeri kepala tegang otot (tension headache). Nyeri kepala pasca trauma, atau karena paparan bahan toksik (keracunan). Nyeri kepala karena adanya lesi desak ruang (misalnya hematoma intraserebral,
abses otak, atau tumor otak). Nyeri kepala karena penyakit sistemik misalnya hipertensi, hipotensi, atau
anemia. Nyeri kepala karena infeksi intrakranial (meningitis, atau ensefalitis). Nyeri kepala karena penyakit hidung, dan sinus paranasalis. Nyeri kepala karena penyakit mata, misalnya pada kasus glaukoma akut.
Alur Berfikir Penegakkan Diagnosis Pasti Penyakit Gangguan Neurologi
Gambar 1. Alur Pola Berfikir Penegakkan Diagnosis Pasti Penyakit Gangguan Neurologi
Alur pola berfikir di atas penting untuk diketahui, agar anamnesis dapat dilakukan dengan terstruktur. Sebagai contoh lainnya adalah keluhan hilangnya, atau penurunan kesadaran. Kemungkinan diagnosis-diagnosis banding yang dapat dipikirkan dokter, misalnya : Trauma kepala sedang dan berat. Gangguan peredaran darah otak, terutama stroke hemoragik. Infeksi intrakranial, misalnya meningitis, atau ensefalitis. Epilepsi. Gangguan sistemik, misalnya pada kasus-kasus syok, keracunan, dan lain-lain. Serangan jantung (cardiac arrest). Gangguan psikologis, misalnya keadaan emosi yang memuncak, atau histeria.
Diagnosis Sementara Penyakit Gangguan Ne urologi
Memikirkan Diagnosis - Diagnosis Banding yang mungkin
Anamnesis + Keluhan Tambahan
Diagnosis Pasti Penyakit Gangguan Neurologi
Pemeriksaan Fisik + Pemeriksaan Penunjang
Keluhan Utama
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 3
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Untuk membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis banding, dan menegakkan diagnosis pasti, informasi-informasi yang terkandung di dalam keluhan utama, haruslah digali sedalam mungkin dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di dalam komponen-komponen anamnesis lainnya. 1.3 Anamnesis Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan penyakit merupakan uraian rinci mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama, sampai saat pasien datang berobat. Sebagaimana anamnesis pada sistem organ lainnya, untuk menggali informasi lebih dalam terutama yang berkaitan dengan keluhan utama, dapat digunakan komponen-komponen pertanyaan yang berpedoman kepada Macleod’s Clinical Examination (metode OLDCART dan OPQRST).
Pemilihan dan penggunaan kedua metode ini, disesuaikan dengan keluhan utama yang diutarakan pasien, dan tidak bersifat mengikat. Artinya kita boleh memasukkan komponen pertanyaan metode lain selain metode yang kita pilih, untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin. Adakalanya tidak semua komponen-komponen pertanyaan pada metode OLDCART, atau OPQRST, terdapat dalam suatu kasus penyakit, sehingga tidak perlu ditanyakan saat menggali informasi.
Contoh penggunaan metode OLDCART untuk menggali informasi. 1) Dapat ditanyakan bagaimana mula terjadinya keluhan atau gejala klinis (onset). 2) Lokasi dimana pasien merasakan keluhan (location). 3) Sudah berapa lama keluhan dirasakan oleh pasien (duration). 4) Bagaimana sifat keluhan yang dirasakan pasien (character). 5) Adakah faktor-faktor yang dapat memperberat atau meringankan keluhan (alleviating atau aggravating factor). 6) Apakah keluhan hanya terbatas pada organ tubuh tertentu, atau menyebar ke bagian-bagian tubuh lainnya (radiation). 7) Apakah keluhan timbul pada waktu-waktu tertentu, atau terjadi setiap saat, atau tidak menentu (time).
Selain metode OLDCART, dapat digunakan metode OPQRST untuk menggali informasi pada keluhan utama. Contoh penggunaan metode OPQRST, 1) Keluhan atau gejala klinis terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan (onset). 2) Adakah pencetus yang menimbulkan keluhan (palliating/provoking factor). 3) Sifat dan beratnya serangan atau gejala klinis yang terjadi, apakah terjadi secara terus menerus atau hilang timbul, apakah gejala klinis yang timbul cenderung bertambah berat atau berkurang (quality). 4) Penyebaran dari keluhan (radiation). 5) Apakah keluhan timbul saat pasien berada pada tempat tertentu (site). 6) Kapan keluhan timbul, apakah keluhan paling dirasakan pada waktu tertentu, misalnya pada pagi, atau malam, setiap saat, atau tidak menentu (time). 1.4 Anamnesis Riwayat Penyakit Terdahulu
Pada bagian ini ditanyakan kepada pasien tentang penyakit yang telah pernah dideritanya sejak masih kanak-kanak sampai dewasa (saat sebelum menderita penyakit sekarang ini) yang mungkin mempunyai hubungan dengan penyakit yang dialami pasien saat ini.
Misalnya kepada pasien atau keluarga pasien penyakit gangguan peredaran darah
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 4
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara otak dapat ditanyakan ada tidaknya riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit jantung terutama penyakit jantung koroner, yang merupakan faktor predisposisi penyakit ini. Pada kasus GPDO, tanyakan juga apakah sebelumnya pasien pernah mengalami penyakit yang sama (riwayat TIA, dan stroke) sebelumnya.
Contoh lain pada kasus infeksi intrakranial, misalnya ensefalitis, atau meningitis, dapat ditanyakan ada tidaknya penyakit-penyakit yang menjadi faktor predispoisi, seperti otitis media, mastoiditis, sinusitis, tuberkulosis paru, sifilis, dan lain-lain. 1.5 Anamnesis Organ/Sistem Pada anamnesis organ atau sistem dapat dilihat adakah hubungan antara keluhan atau gejala klinis dengan organ tubuh tertentu yang belum didapat pada anamnesis keluhan utama, penyakit sekarang ataupun anamnesis penyakit terdahulu. Lembar anamnesis biasanya telah mencantumkan keluhan atau gejala klinis yang mungkin ditemukan pada organ-organ tubuh secara sistematis dari kepala hingga ekstremitas. Jika terdapat keluhan atau kelainan pada organ atau sistem tersebut, dituliskan tanda positif, dan bila tidak ada, dituliskan tanda negatif pada lembar anamnesis. Anamnesis sistem organ dilakukan secara sistematis, dengan menanyakan keluhan yang mungkin ditemukan pada organ atau bagian tubuh, dimulai dari kepala hingga ekstremitas bawah. 1.6 Anamnesis Riwayat Pribadi
Pada anamnesis riwayat pribadi pasien, dokter menggali informasi-informasi mengenai kebiasaan hidup pasien yang mungkin memiliki hubungan dengan penyakit gangguan neurologi yang dideritanya.
Sebagai contoh adalah kebiasaan merokok yang merupakan salah satu penyebab utama penyakit GPDO. Bila ditemukan adanya riwayat merokok, diperlukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang kebiasaan merokok tersebut, seperti sudah berapa lama merokok, berapa batang atau bungkus rokok yang dihabiskan setiap harinya, atau apakah pasien masih merokok, atau sudah berhenti. Contoh lain, pada kasus epilepsi, dapat ditanyakan ada tidaknya riwayat sulit tidur di malam hari, riwayat sering mengalami stres, atau riwayat minum alkohol, dan riwayat penggunaan obat tidur, yang bila dihentikan secara mendadak dapat mencetuskan terjadinya kejang. 1.7 Anamnesis Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam anamnesis riwayat penyakit keluarga, dokter menanyakan ada tidaknya anggota keluarga dekat pasien (sedarah) secara garis keturunan vertikal, seperti ayah kandung, ibu kandung, kakek, nenek, paman, dan bibi, yang menderita penyakit yang sama dengan penyakit yang diderita pasien. Hal ini ditanyakan pada kasus penyakit yang dapat diturunkan secara genetik. Pada anamnesis ini, dapat juga ditanyakan kepada pasien adakah anggota keluarganya yang menderita penyakit yang penularannya melalui kontak langsung, misalnya pada kasus infeksi intrakranial.
Penyakit GPDO, terutama stroke hemoragik, dan nyeri kepala tipe tegang, merupakan contoh penyakit gangguan neurologi yang memiliki kecenderungan untuk
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 5
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara diturunkan secara genetik. Pada penyakit infeksi intrakranial, khususnya pada meningitis tuberkulosis, yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun, dapat ditemukan adanya riwayat paparan dengan anggota keluarga dekat, atau tetangga yang menderita tuberkulosis paru. Pada anamnesis ditanyakan juga adakah anggota keluarga yang mengalami sakit yang sama dengan pasien. Bila ada yang telah meninggal dunia, tanyakanlah sebab kematiannya. 1.8 Anamnesis Sosial Ekonomi
Pada anamnesis sosial ekonomi, dokter menanyakan keadaaan keluarga pasien terutama mengenai perumahan, dan lingkungan sekitar tempat tinggal pasien. Masih rendahnya kesadaran tentang pola hidup yang sehat, merupakan salah satu faktor penyebab utama penyakit gangguan peredaran darah otak. Penyakit infeksi intrakranial memiliki angka kejadian yang lebih tinggi pada pasien yang bertempat tinggal di daerah yang kumuh, dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. 1.9 Anamnesis Gizi
Pada anamnesis gizi dokter menanyakan pada pasien tentang makanan yang dikonsumsi setiap hari, seberapa banyak porsinya serta frekuensi makan. Dapat ditanyakan juga, apakah pasien merasa berat badannya berkurang, bertambah, atau tetap dan dicari apakah ada hubungannya dengan penyakit yang diderita oleh pasien.
Sebagai contoh, pada pasien GPDO (stroke) dapat ditemukan riwayat sering mengkonsumsi makanan berlemak dengan porsi dan frekuensi makan yang banyak. Sebaliknya pada penyakit infeksi intrakranial, umumnya didapatkan riwayat status gizi yang buruk, yang dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Simulasi Kasus Anamnesis Penyakit Gangguan Neurologi 1. Gangguan Peredaran Darah Otak (stroke iskemik/stroke non hemoragik) Anamnesis Pribadi : Pria : Wanita 1:1, Usia di atas 50 tahun. Keluhan Utama : Kelemahan pada lengan dan tungkai kiri. Keluhan Tambahan : Lengan dan tungkai kiri mati dirasakan ”mati rasa”. Diagnosis Banding : Stroke iskemik (infark otak, transient ischemic attack),
stroke hemoragik (perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid), tumor otak, neuropati, sklerosis multipel, Sindroma Guillain Barre (SGB), kelemahan atau kelumpuhan anggota gerak karena trauma kepala dan leher.
Onset. Kelemahan pada lengan dan tungkai terjadi secara tiba-tiba pada saat pasien sedang beristirahat, dan pasien tetap sadar. Bila penyebabnya stroke hemoragik, pada umumnya pasien akan mengalami kehilangan kesadaran. Onset yang cepat, menandakan kemungkinan kasus disebabkan oleh gangguan vaskular, yaitu infark, atau perdarahan. Pada kasus tumor otak, sklerosis multipel, neuropati, dan Sindroma Guillain Barre, kelemahan pada lengan dan tungkai terjadi secara bertahap (onset lambat).
Location. Kelemahan anggota gerak dapat terjadi pada sisi tubuh sebelah kiri,
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 6
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
atau kanan, tergantung dari letak lesinya. Kelumpuhan terjadi pada sisi tubuh yang kontralateral terhadap lesi pada upper motor neuron (UMN). Artinya jika sisi sebelah kiri tubuh mengalami kelemahan, atau kelumpuhan, maka lesi berada pada sisi sebelah kanan, demikian juga sebaliknya.
Duration. Lama keluhan terjadi dapat juga ditanyakan untuk menentukan jenis dari stroke iskemik. Bila gejala neurologik hilang dalam waktu kurang 24 jam (kebanyakan 10-20 menit), kemungkinan besar diagnosis adalah TIA. Bila gejala neurologik tidak hilang dalam jangka waktu 24 jam, diagnosis yang dapat difikirkan adalah reversible ischemic neurologi deficit (gejala neurologik terjadi lebih dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu), stroke progresif, dan stroke komplet (komponen pertanyaan ini ditanyakan pada pasien yang telah dirawat beberapa hari).
Character. Kelemahan pada lengan dan tungkai terjadi secara serentak. Pada sklerosis multipel, neuropati, dan Sindrom Guillain Barre, kelumpuhan anggota gerak terjadi tidak serentak (kelemahan terjadi pada lengan terlebih dahulu, baru kemudian tungkai, atau sebaliknya). Kelemahan pada lengan dan tungkai kiri, tidak disertai dengan nyeri kepala yang hebat, dan tidak disertai muntah yang dapat bersifat proyektil. Nyeri kepala hebat dan muntah, dapat ditemukan pada kasus stroke hemoragik, atau tumor otak, dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Quality. Kelemahan pada lengan dan tungkai dirasakan menetap, dan tidak dirasakan semakin memberat, atau hilang timbul. Pada stroke progresif, gejala neurologik dapat dirasakan semakin memberat dalam beberapa menit, jam, atau hari. Pada neuropati, dan Sindrom Guillain Barre, kelemahan pada otot dapat memberat, namun dalam jangka waktu yang lama (beberapa minggu, atau beberapa bulan). Pada sklerosis multipel, keluhan dapat membaik, bahkan hilang dalam beberapa hari, atau minggu, kemudian kambuh lagi dengan keluhan dan gejala klinik serupa.
Anamnesis Riwayat Penyakit Terdahulu. Berisi pertanyaan tentang ada tidaknya riwayat hipertensi (darah tinggi), atau adanya riwayat sering mengalami sakit kepala bagian belakang yang merupakan gejala klinis yang menandakan adanya penyakit hipertensi. Hipertensi menyebabkan merupakan salah satu faktor predisposisi utama terjadinya infark otak, atau infak miokardium. Tanyakan juga ada tidaknya riwayat trauma pada kepala dan leher, untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Anamnesis Riwayat Pribadi. Berisi pertanyaan mengenai kebiasaan hidup pasien yang mungkin memiliki hubungan dengan penyakit stroke iskemik yang dideritanya. Misalnya kebiasaan makan makanan berlemak tinggi dan berkadar garam tinggi, jarang berolah raga, atau kebiasaan merokok. Ketiga kebiasaan ini dapat menyebabkan timbulnya aterosklerosis pembuluh darah, yang bila terjadi pada pembuluh darah otak, dapat menyebabkan terjadinya iskemia atau infark pada daerah otak yang suplai darahnya terganggu.Bila ditemukan adanya riwayat merokok, diperlukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang kebiasaan merokok tersebut, seperti sudah berapa lama merokok,
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 7
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
berapa batang atau bungkus rokok yang dihabiskan setiap harinya, atau apakah pasien masih merokok, atau sudah berhenti.
Anamnesis Riwayat Penyakit Keluarga. Pada anamnesis riwayat penyakit keluarga, dokter menanyakan apakah ada keluarga dekat pasien (sedarah) secara garis keturunan vertikal (ayah, ibu, kakek, nenek, paman, atau bibi kandung) pasien yang juga menderita penyakit keluhan yang sama dengan pasien (stroke), menderita hipertensi, atau penyakit jantung koroner. Bila ada yang anggota kelurga yang telah meninggal dunia, tanyakanlah sebab kematiannya.
Anamnesis Riwayat Sosial Ekonomi.Berisi penggalian informasi tentang keadaaan keluarga pasien, terutama mengenai perumahan, penghasilan, dan lingkungan, atau daerah sekitar tempat tinggal pasien.
Anamnesis Gizi.Pada anamnesis gizi dokter menanyakan pada pasien tentang makanan yang dikonsumsi setiap hari, seberapa banyak porsinya, serta frekuensi makan. Dapat ditanyakan juga, apakah pasien merasa berat badannya berkurang, bertambah, atau tetap, dan dicari apakah ada hubungannya dengan penyakit yang diderita oleh pasien.
Gambar 2. Berbagai Tipe Kelumpuhan, (a) Hemiparesis (b) Paraparesis (c) Tetraparesis
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 8
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
II. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN
Waktu Aktivitas Keterangan
15 menit
Tiap kelompok kecil didampingi oleh seorang instruktur
Instruktur Introduksi dan Penyampaian Pengantar (overview) rancangan kegiatan pelatihan
45 menit
Demonstrasi oleh Instruktur, Instruktur memperlihatkan kepada mahasiswa cara melakukan anamnesis penyakit pada sistem respirasi dan cara menggali informasi yang didapatkan dari anamnesis secara deskriptif dan kronologis Mahasiswa melakukan latihan role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur (coaching)
Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Mahasiswa melakukan latihan mandiri diawasi oleh instruktur. Mahasiswa
10 menit Instruktur memberikan masukan-masukan (feedback) kepada mahasiswa. Instruktur
III. PEDOMAN INSTRUKTUR 3.1TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mahasiswa : 1. Memahami kerangka anamnesis penyakit gangguan neurologi, mampu
menggali informasi yang didapatkan dari anamnesis secara deskriptif dan kronologis, serta mampu melakukan anamnesis penyakit gangguan neurologi yang terdiri dari anamnesis pribadi, anamnesis keluhan utama, anamnesis penyakit sekarang, anamnesis penyakit terdahulu, anamnesis organ, anamnesis riwayat pribadi, anamnesis riwayat penyakit keluarga, anamnesis sosial ekonomi dan anamnesis gizi.
2. Mampu melakukan anamnesis penyakit gangguan neurologi yang sering dijumpai dengan contoh kasus:
Gangguan Peredaran Darah Otak (stroke iskemik/stroke non hemoragik) (3B).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 9
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
3.2PELAKSANAAN
1. Latihan dan diskusi tiap kelompok dipimpin oleh seorang instruktur yang
telah ditetapkan oleh bagian SDM MEU FK UISU 2. Cara dan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan :
Waktu Aktivitas Keterangan
15 menit Pembukaan Perkenalan
Instruktur Pengantar (overview) 15 menit
Latihan
Demonstrasi Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Coaching 30 menit Latihan Mandiri
10 menit Penutupan Feed Back
Instruktur Penutup
3. Waktu pelaksanaan :
Setiap kegiatan latihan dilaksanakan selama 2 x 50 menit (100 menit). 4.Tempat pelaksanaan kegiatan : Di ruangan Skills Lab (lantai 3) 5.Alat dan Bahan yang diperlukan :
Meja Kursi 8 Pasien Simulasi (instruktur)
6.Materi Kegiatan / Latihan : Memahami kerangka anamnesis penyakit gangguan neurologi, mampu
menggali informasi yang didapatkan dari anamnesis secara deskriptif dan kronologis, serta mampu melakukan anamnesis penyakit gangguan neurologi dengan baik dan benar, yang terdiri dari : Anamnesis Pribadi Anamnesis Keluhan Utama Anamnesis Penyakit Sekarang Anamnesis Penyakit Terdahulu Anamnesis Organ/Sistem (sekilas) Anamnesis Riwayat Pribadi Anamnesis Riwayat Penyakit Keluarga Anamnesis Sosial/Ekonomi Anamnesis Gizi
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 10
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
RUJUKAN
1. Ailah A, Limoa A, Wuysang G. Infark Otak : Gangguan Peredaran Darah Otak. In : Harsono, ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. 2nd edition. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press ; 1999. p. 71-9.
2. Patofisiologi Susunan Neuromuskular. In : Mardjono M, Sidharta P, eds. Neurologi Klinis Dasar. 8th edition. Jakarta : PT Dian Rakyat ; 2000. p.20-37.
3. Ailah A, Limoa A, Wuysang G. Kuswara F.F Gangguan Peredaran Darah Otak (Stroke). In : Harsono, ed. Kapita Selekta Neurologi. 2nd edition. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press ; 1996. p. 25-43.
4. Stroke. In : Ginsberg L, ed. Lecture Notes Neurologi. 8th edition. Jakarta : Penerbit Erlangga ; 2008. p. 41-50.
5. Dacre J, Kopelman P. Sistem Saraf. In : Listiawaty, ed. Alih Bahasa : Pendit B.U. Buku Saku Keterampilan Klinis. 1st edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005. p.178-84.
6. Duus P. Kerusakan Jaras Piramidalis Dan Ekstrapiramidalis. In : Suwono W.J, ed. Diagnosis Topik Neurologi. 2nd edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1996. p. 38-41.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 11
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR (1) : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan ANAMNESIS PENYAKIT GANGGUAN NEUROLOGI Ya Tidak
1. Gangguan Peredaran Darah Otak (stroke iskemik)
Dokter mengucapkan salam dan mempersilahkan pasien masuk. Dokter mempersilahkan pasien duduk. Dokter memperkenalkan dirinya kepada pasien dan keluarganya. Dokter menanyakan nama, usia, agama, status pernikahan, suku bangsa, alamat dan pekerjaan pasien. (pasien berusia 60 tahun, jenis kelamin pria) Anamnesis Pribadi
Dokter menanyakan keluhan pasien yang membuat dirinya datang berobat, dan sudah berapa lama keluhan dirasakan. (kelemahan pada lengan dan tungkai kiri, keluhan dirasakan pasien sejak 4 jam yang lalu) Keluhan Utama
Dokter meminta pasien menceritakan bagaimana mula terjadinya keluhan yang dirasakan pasien. (kelemahan pada lengan dan tungkai kiri dirasakan pertama kali pada saat pasien sedang bersantai di kursi goyangnya. Pasien tidak mampu bangkit dari kursi goyang, karena lengan dan tungkai kirinya tidak dapat diangkat) Onset
Dokter menanyakan apakah kelemahan pada lengan dan tungkai kiri pasien terjadi secara mendadak, atau sebelumnya kelemahan pada lengan dan tungkai telah dirasakan, namun tidak seberat sekarang. (keluhan dirasakan timbul secara mendadak. Sebelumnya, pasien tidak pernah mengalami kelemahan pada lengan dan tungkai kirinya). Onset
Dokter menanyakan apakah pasien sempat mengalami pingsan saat kelemahan lengan dan tungkai kirinya terjadi. (pasien tetap sadar pada saat keluhan terjadi, dan merasa kaget saat lengan dan tungkai kirinya mengalami kelemahan). Onset
Dokter menanyakan apakah sesaat sebelum pasien bersantai dan keluhan terjadi, pasien melakukan aktifitas fisik yang cukup berat. (pasien tidak melakukan aktifitas fisik yang berat sesaat sebelum keluhan terjadi). Onset, Provoking Factor
Dokter menanyakan apakah kelemahan pada lengan dan tungkai kiri didahului dan disertai oleh sakit kepala hebat, dan muntah yang timbul secara tiba-tiba, tanpa didahului mual. (keluhan tidak didahului dan disertai oleh sakit kepala dan muntah). Onset, Character
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 12
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Dokter menanyakan bagaimana sifat dari keluhan yang dirasakan pasien, apakah kelemahan terjadi secara serentak pada lengan dan tungkai kiri, atau tidak serentak, misalnya lengan dahulu, kemudian tungkai, atau sebaliknya. (Kelemahan pada lengan dan tungkai kiri dirasakan timbul secara serentak). Character
Dokter menanyakan apakah kelemahan pada lengan dan tungkai kiri saat ini dirasakan sama seperti pada saat pertama kali kelemahan terjadi, bertambah baik, atau bertambah buruk, misalnya pada awalnya lengan dan tungkai kiri tidak dapat diangkat, saat ini lengan dan tungkai tersebut tidak dapat digerakkan sama sekali. (Kelemahan pada lengan dan tungkai kiri dirasakan sama seperti saat kelemahan terjadi).Quality
Dokter menanyakan ada tidaknya keluhan lain yang dirasakan pasien. (Lengan dan tungkai kiri juga dirasakan ”mati rasa”)
Keluhan Tambahan Dokter menanyakan apakah ”mati rasa” pada lengan dan tungkai kiri, terjadi bersamaan dengan kelemahan pada lengan dan tungkai pasien pada sisi yang sama. (keluhan ”mati rasa” terjadi bersamaan dengan terjadinya kelemahan pada lengan dan tungkai kiri pasien). Onset, Keluhan Tambahan
Dokter meminta pasien menjelaskan keluhan ”mati rasa” yang dialami pasien. (pasien tidak dapat merasakan sakit, dan suhu pada lengan dan tungkai kirinya). Onset, Keluhan Tambahan
Dokter menanyakan ada tidaknya riwayat penyakit hipertensi atau ”darah tinggi” yang lama, dan apakah pasien sering mengalami sakit kepala belakang yang timbul di pagi hari dan mereda di sore hari (pasien memiliki riwayat penyakit darah tinggi sejak 20 tahun yang lalu, dan sering mengalami sakit kepala belakang yang timbul di pagi hari dan mereda di sore hari) Anamnesis Riwayat Penyakit Terdahulu
Dokter menanyakan apakah pasien selalu mengukur tekanan darahnya secara teratur (pasien jarang mengukur tekanan darahnya, dan tidak tahu berapa nilai tekanan darahnya yang terakhir) Anamnesis Riwayat Penyakit Terdahulu
Dokter menanyakan ada tidaknya riwayat terbentur, atau terjatuh, yang menyebabkan cedera pada kepala dan leher, sebelum timbulnya kelemahan pada lengan dan tungkai kiri. (tidak ada riwayat cedera pada kepala dan leher sebelum keluhan terjadi). Anamnesis Riwayat Penyakit Terdahulu
Dokter menanyakan ada tidaknya riwayat merokok pada pasien, sudah berapa lama merokok, berapa batang atau bungkus rokok yang dihabiskan setiap hari serta apakah pasien masih merokok atau sudah berhenti merokok saat ini (pasien memiliki riwayat merokok sejak 20 tahun yang lalu, setiap hari pasien menghabiskan tiga bungkus rokok, pasien masih merokok sampai sekarang karena mulutnya terasa ”asam” bila tidak merokok sehari saja) Anamnesis Riwayat Pribadi
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 13
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Dokter menanyakan apakah pasien teratur berolah raga setiap hari (pasien jarang berolah raga karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya) Anamnesis Riwayat Pribadi
Dokter menanyakan apakah ada keluarga dekat pasien (sedarah) secara garis keturunan vertikal (ayah, ibu, kakek, nenek, paman, atau bibi kandung) pasien yang juga menderita penyakit keluhan yang sama dengan pasien (stroke), menderita hipertensi, atau penyakit jantung koroner. (paman dan bibi kandung pasien juga menderita stroke, dan penyakit ”darah tinggi”). Anamnesis Riwayat Penyakit Keluarga
Dokter menanyakan apakah ada anggota keluarga dekat pasien yang telah meninggal dunia. Bila ada tanyakan sebab kematiannya. (paman pasien telah meninggal karena stroke 5 tahun yang lalu. Bibi pasien juga telah meninggal karena serangan jantung 2 tahun yang lalu). Anamnesis Riwayat Penyakit Keluarga
Dokter menayakan mengenai kebiasaan makan pasien sehari-hari (makan nasi 3 kali sehari dengan lauk pauknya) Anamnesis Gizi
Dokter menanyakan apakah pasien sering mengkonsumsi makanan yang berlemak tinggi seperti gulai, kari dan lain sebagainya (pasien sering mengkonsumsi dan sangat menyukai makanan yang berlemak) Anamnesis Pribadi, Anamnesis Gizi
Dokter menayakan apakah pasien merasa berat badannya mengalami penurunan, peningkatan, atau tetap seperti biasa (pasien merasa berat badannya mengalami peningkatan karena dirinya semakin jarang berolah raga) Anamnesis Gizi
Keterangan : Tulisan yang dicetak tebal adalah jawaban yang diharapkan dari pasien. Mahasiswa berperan sebagai dokter dan instruktur sebagai pasien. Tanda Tangan Instruktur, ( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 14
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN
ANAMNESIS PENYAKIT GANGGUAN NEUROLOGI (Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa)
Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur
:
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Umur : Jenis Kelamin : Alamat : Agama : Bangsa / Suku : Status Perkawinan : Pekerjaan :
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama :
Keluhan Tambahan :
Telaah : (Riwayat Penyakit Sekarang)
Riwayat Penyakit Dahulu :
Anamnesis Organ & Sistem :
Anamnesis Riwayat Pribadi :
Anamnesis Riwayat Keluarga :
Anamnesis Sosial Ekonomi :
Anamnesis Gizi :
Tanda Tangan
Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 15
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Kedua
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM MOTORIK
I. PENDAHULUAN
Sistem motorik neurologi atau sistem neuromuskular voluntar, adalah sistem yang berperan terhadap fungsi kerja otot-otot skeletal, dalam melakukan gerakan yang dikendalikan oleh kemauan (volunter). Pengaturan sistem neuromuskular voluntar terdapat pada korteks motorik, yang terletak pada bagian korteks otak sebelah depan, yang dinamakan gyrus precentralis.
Sebagian besar manifestasi obyektif kelainan saraf, dapat bermanifestasi dalam gangguan gerakan otot, yang merupakan pertanda klinis adanya suatu kelainan, atau penyakit. Oleh karena itu keterampilan dalam melakukan pemeriksaan fisik sistem motorik neurologi merupakan salah satu keterampilan yang penting untuk dikuasai.
Pemeriksaan fisik sistem motorik neurologi yang akan dibahas, dan dipelajari dalam modul keterampilan klinik ini meliputi, pemeriksaan inspeksi, pemeriksaan palpasi, dan pemeriksaan gerakan, yang terdiri pemeriksaan gerakan pasif, dan aktif.
Persiapan Pemeriksaan & Pasien
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik sistem motorik neurologi, pastikanlah
keadaan ruangan pemeriksaan tertutup, sehingga dapat menjamin kerahasiaan
pasien, serta memiliki penerangan yang baik. Dokter hendaknya selalu didampingi
seorang perawat, yang dapat bertindak sebagai saksi untuk menghindari perlakuan
yang tidak benar, ditinjau dari pihak pemeriksa, maupun pasien.
Sebagaimana halnya pemeriksaan fisik pada sistem organ lainnya, jelaskanlah
Gambar 1. Representasi Otot Lurik Pada Korteks Motorik (gyrus pracentralis)
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 16
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara terlebih dahulu prosedur pemeriksaan fisik yang akan dilakukan secara lisan,
dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, atau keluarganya, kemudian mintalah
persetujuan pasien, atau keluarganya. Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien
sesuai pemeriksaan yang akan dilakukan (berdiri, duduk, atau berbaring).
Inspeksi Pemeriksaan inspeksi pada sistem motorik neurologi meliputi pengamatan
terhadap sikap badan, bentuk dan ukuran otot, dan ada tidaknya gerakan abnormal
yang tidak terkendali.
Sikap Badan Perhatikan sikap badan pasien dengan seksama secara keseluruhan, dan sikap
setiap anggota tubuh. Sikap pasien yang diamati antara lain bagaimana sikap pasien
sewaktu berdiri, duduk, berbaring, bergerak, dan saat berjalan, karena dapat
menunjukkan adanya penyakit tertentu. Sebagai contoh adalah penderita penyakit
Parkinson, yang pada saat berdiri, kepala dan lehernya akan dibungkukkan ke arah
depan, sementara lengan dan tungkainya berada dalam keadaan fleksi. Pada saat
penderita Parkinson berjalan, seolah-olah penderita seperti akan jatuh ke depan,
dengan langkah yang pendek, lengan kurang dilenggangkan, dan terlihat adanya
tremor kasar terutama pada kedua tangannya (propulsive gait).
Pada penderita kelumpuhan separuh badan (hemiparesis) karena stroke, lengan
yang lumpuh terlihat berada dalam posisi fleksi, sedangkan tungkai yang lumpuh
Gambar 2. Sikap & Cara Berjalan Penderita Parkinson (propulsive gait)
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 17
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara terlihat ekstensi. Saat berjalan, penderita hemiparesis akan menyeret bagian
badannya yang lumpuh (spastic gait).
Penderita paraparesis tipe sentral, cara berjalannya yang seperti gunting, dimana
tungkai penderita seolah-olah menyilang (scissors gait).
Penderita polineuritis, dan paraparesis tipe perifer, akan berjalan seperti ayam,
yaitu tungkai difleksikan setinggi-tingginya pada persendian lutut, supaya dapat
mengangkat kakinya yang kurang mampu melakukan dorsofleksi (steppage gait).
Penderita tabes dorsalis tampak berjalan dengan kaki mengangkang, dan selalu
memperhatikan langkahnya agar dirinya tidak jatuh.
Penderita gangguan serebellum akan berdiri dengan kepala membelok ke arah
berlawanan terhadap sisi yang sakit (letak lesi), bahu pada sisi yang sakit agak lebih
rendah, dan badan penderita miring ke sisi yang sakit.
Pada anak dengan distrofia muskulorum progresiva, sikap tubuh tampak
lordosis. Bila berjalan, penderita tampak memutar panggulnya, agar berat badannya
berpindah ke tungkai yang sedang bertumpu (waddling gait).
Perhatikanlah juga gerakan anggota tubuh dan bandingkanlah dengan yang sehat.
Bentuk & Ukuran Otot Perhatikan bentuk otot, dan bandingkanlah dengan sisi yang sehat, baik dalam
keadaan otot beristirahat, maupun saat otot dalam keadaan berkontraksi. Pada otot
yang mengalami atrofi, otot akan tampak lebih kecil bila dibandingkan dengan otot
yang sehat. Pengamatan dilakukan secara sistematis dimulai dari daerah kepala dan
Pada penderita paresis, anggota tubuh yang sakit tampak kurang digerakkan.
Gambar 3. Sikap Badan & Cara Berjalan Beberapa Penyakit Neurologi
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 18
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara wajah, hingga ekstremitas bawah.
Perhatikan ukuran otot dengan membandingkan ukuran anggota gerak atas dan
bawah, baik sisi sebelah kanan maupun sebelah kiri, yang pada keadaan normal
sama panjang. Pada kasus kelumpuhan sejak masa kanak-kanak, ukuran anggota
gerak atas atau bawah penderita yang mengalami kelumpuhan, akan terlihat lebih
pendek, bila dibandingkan dengan anggota gerak yang sehat.
Beberapa gerakan abnormal yang tidak terkendali yang dapat diamati antara lain
adalah, tremor, khorea, atetosis, balismus, tik, dan spasme.
Tremor
Tremor adalah gerakan otot yang tidak terkendali, dimana anggota tubuh
penderita tampak bergetar. Gerakan ini disebabkan oleh berkontraksinya otot-otot
tubuh yang bersifat berlawanan (antagonis) secara bergantian. Tremor dapat
dibedakan atas tremor fisiologis (normal), tremor halus, dan tremor kasar.
Contoh tremor fisiologis adalah bergetarnya anggota badan pada saat
melakukan gerakan tubuh dengan sangat lambat. Tremor halus (tremor toksik)
dapat diamati pada jari-jari tangan penderita kasus hipertiroid. Sifatnya sangat
halus dan sukar dilihat. Tremor kasar dapat ditemukan pada penderita Parkinson.
Tremor ini gerakannya lambat, terlihat jelas, dan berulang-ulang. Contoh tremor
kasar adalah gerakan pada jari-jari tangan, seperti melinting pil (pil rolling tremor),
atau menghitung uang.
Gambar 4 . Atropi Otot Ekstremitas Atas Kanan Gambar 5. Atropi Otot Ekstremitas Bawah Kiri Gerakan Abnormal Tidak Terkendali
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 19
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Khorea Khorea merupakan gerakan otot yang cepat, tidak terkendali, dan tidak
beraturan. Gerakan ini dapat melibatkan satu ekstremitas saja, separuh badan, atau
bahkan seluruh badan penderita. Khorea biasanya dicetuskan oleh adanya aktifitas,
atau ketegangan jiwa yang lebih berat dari biasanya, dan hilang bila penderita
beristirahat.
Khorea dapat diamati dengan jelas pada lengan dan tangan penderita terutama
pada otot-otot bagian distal. Bila penderita diminta untuk meluruskan lengan dan
tangannya, akan terlihat hiperektensi dari falang proksimal dan terminal, sementara
pergelangan tangan dalam terlihat dalam keadaan fleksi dan sedikit dipronasikan.
Khorea dapat distimulasi dengan cara meminta pasien untuk melakukan dua
gerakan sekaligus, yang pada umumnya adalah gerakan mengangkat lengannya ke
atas, sambil menjulurkan lidahnya. Pada pengamatan akan terlihat jari-jari tangan
tampak diregangkan, ibu jari diabduksi dan terarah ke bawah. Penderita akan
mengeluarkan lidahnya secara mendadak, kemudian ditariknya kembali.
Atetosis
Atetosis merupakan gerakan otot yang tidak terkendali seperti khorea, namun
gerakannya lambat, dan melibatkan otot-otot sebelah distal, terutama pada
ekstremitas atas. Atetosis dapat diamati pada penyakit-penyakit yang melibatkan
ganglia basalis.
Balismus
Balismus adalah gerakan otot yang tidak terkendali, cepat, tidak beraturan, dan
dapat diamati pada otot-otot tubuh bagian proksimal. Gerakan ini dapat dibedakan
dengan khorea, yang terutama melibatkan otot-otot tubuh bagian distal.
Spasme
Spasme adalah gerakan otot yang tidak terkendali, yang disebabkan kontraksi
otot-otot yang dipersarafi oleh satu saraf. Spasme dapat dibedakan menjadi spasme
klonik, dan spasme tonik. Spasme klonik muncul tiba-tiba, durasinya pendek,
namun dapat berulang. Spasme tonik yang berlangsung lama dan terus menerus.
Tik (tic)
Tik merupakan gerakan otot involunter, yang berulang-ulang, dan melibatkan
sekelompok otot yang berhubungan secara sinergis. Contoh tik yang paling sering
ditemukan adalah tik fasialis, yang terlihat seperti kedutan-kedutan otot pada wajah
yang terjadi berulang-ulang.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 20
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Palpasi
Pemeriksaan palpasi bertujuan untuk menilai konsistensi otot, tonus otot, dan
ada tidaknya nyeri tekan. Sebelum melakukan pemeriksaan ini, mintalah pasien
untuk tenang, dan mengistirahatkan otot-ototnya, agar tidak terjadi kesalahan
penilaian sewaktu pemeriksaan dilakukan, dan mintalah pasien memberitahukan
pemeriksa, bila otot terasa nyeri saat palpasi dilakukan. Palpasi dapat dilakukan
pada otot-otot pada anggota gerak tubuh bagian atas, bagian bawah, dan bagian
tubuh.
Palpasi Otot Ekstremitas Atas
Palpasi pada otot-otot ekstremitas atas, misalnya dapat dilakukan pada otot
triseps, biseps, dan otot-otot lengan bawah, dengan cara melakukan pemijatan pada
otot-otot lengan yang sama pada sisi kanan dan kiri. Lakukanlah palpasi pada otot
sisi yang sehat terlebih dahulu.
Kemudian dilakukan penilaian dengan cara membandingkan otot lengan yang
sama pada sisi yang sakit dengan sisi yang sehat, apakah otot lengan pada sisi yang
sakit terasa sama kenyal, lebih lembek pada tonus otot yang menurun pada lesi
pada lower motor neuron, atau terasa lebih kenyal (hipertoni) pada lesi upper motor
neuron.
Lakukan juga penilaian mengenai ada tidaknya nyeri tekan pada otot-otot
lengan saat dipalpasi, kemudian bandingkanlah dengan otot-otot lengan yang sama
pada sisi tubuh yang berlainan.
Gambar 6. Pemeriksaan Palpasi Otot Triseps Gambar 7. Pemeriksaan Palpasi Otot Lengan B awah
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 21
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Palpasi Otot Ekstremitas Bawah
Palpasi pada otot-otot ekstremitas bawah, dapat dilakukan pada otot-otot paha, dan
otot-otot betis, dengan cara melakukan pemijatan pada otot-otot tubuh yang sama pada
sisi kanan dan kiri. Lakukanlah palpasi pada otot sisi yang sehat terlebih dahulu.
Kemudian dilakukan penilaian dengan cara membandingkan otot tungkai yang
sama pada sisi yang sakit dengan sisi yang sehat, apakah otot tungkai pada sisi yang
sakit terasa sama kenyal, lebih lembek pada tonus otot yang menurun (hipotoni), atau
terasa lebih kenyal (hipertoni).
Lakukan juga penilaian mengenai ada tidaknya nyeri tekan pada otot-otot tungkai
saat dipalpasi, kemudian bandingkanlah dengan otot-otot tungkai yang sama pada sisi
tubuh yang berlainan.
Pemeriksaan Gerakan
Pemeriksaan gerakan dapat dibedakan menjadi pemeriksaan gerakan pasif dan
aktif, dan bertujuan untuk memeriksa ada tidaknya gangguan pergerakan akibat
adanya lesi pada traktus piramidalis, maupun traktus ekstrapiramidalis. Gangguan
pergerakan dapat dibedakan menjadi menjadi tiga macam yaitu, kelumpuhan,
kekakuan, dan gerakan abnormal.
Kelumpuhan
Kelumpuhan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu paresis, dan
plegia. Paresis adalah kelumpuhan otot yang ringan dimana anggota tubuh
lumpuh, namun masih ada sedikit otot yang berkontraksi, tetapi tidak penuh.
Sebaliknya plegia adalah, kelumpuhan otot yang berat, anggota tubuh tidak
Gambar 8. Pemeriksaan Palpasi Otot Paha Kanan Gambar 9. Pemeriksaan Palpasi Otot Betis Kanan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 22
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
dapat digerakkan karena tidak ada otot yang berkontraksi. Beberapa istilah
kelumpuhan yang perlu diketahui adalah :
Monoparese atau monoplegia
Monoparese atau monoplegia adalah kelumpuhan yang terjadi hanya pada
salah satu dari keempat ekstremitas. Contoh dari monoparesis atau monoplegia
pada ekstremitas atas adalah monoplegia brachialis sinistra, atau pada
ekstremitas bawah misalnya, monoparesis cruralis dekstra.
Paraparese atau paraplegia
Paraparesis atau paraplegia adalah kelumpuhan yang terjadi pada kedua
lengan, atau kedua tungkai. Contohnya adalah paraparesis superior (lengan),
atau paraplegia inferior (tungkai).
Hemiparesis atau hemiplegia
Hemiparesis atau hemiplegia adalah kelumpuhan ekstremitas superior dan
inferior pada sisi yang sama. Contohnya hemiplegia dekstra pada kelumpuhan
lengan dan tungkai kanan, atau hemiparesis sinistra pada kelumpuhan lengan
dan tungkai kiri.
Tetraparesis atau tetraplegia
Tetraparesis atau tetraplegia adalah kelumpuhan yang terjadi pada keempat
ekstremitas (kuadraplegia). Penyebab dari kelumpuhan jenis ini adalah adanya
lesi pada medula spinalis di atas tingkat konus.
Hemiparesis atau hemiplegia cruciata (crossed hemiplegia)
Hemiparesis atau hemiplegia cruciata adalah kelumpuhan ekstremitas
superior dan inferior pada sisi yang berlawanan (kontralateral). Misalnya
kelumpuhan lengan kanan dengan tungkai kiri, atau kelumpuhan lengan kiri
dengan tungkai kanan
Ciri Kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN)Hilangnya tonus otot.
Hilangnya refleks fisiologis (arefleksia).
Atrofi otot cepat terjadi.
Tidak adanya refleks patologis.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 23
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Ciri Kelumpuhan Upper Motor Neuron
(UMN)Tonus otot meninggi (hipertonus).
Hiperefleksia.
Timbulnya refleks patologis.
Atrofi otot tidak terjadi, bila terjadi atrofi otot bukan disebabkan oleh lesi, tetapi
karena otot tersebut lama tidak dipergunakan (disuse atrofi).
Kekakuan
Kekakuan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu spastisitas (rigiditas
elastis), dan rigiditas (rigiditas plastis). Spastisitas disebabkan oleh adanya lesi
pada traktus piramidalis, sedangkan rigiditas disebabkan oleh adanya lesi pada
traktus ekstrapiramidalis.
Ada tidaknya kekakuan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan gerakan
pasif, dan diamati ada tidaknya ciri-cirinya, apakah normal, spastisitas, atau rigiditas.
Pemeriksaan Gerakan Pasif
Pemeriksaan ini dilakukan pada ekstremitas tubuh, baik ekstremitas atas, dan
bawah, dan bertujuan untuk menilai ada tidaknya kekakuan sewaktu ekstremitas
digerakkan pada persendiannya, yang berupa spastisitas, maupun rigiditas.
Untuk melakukan pemeriksaan gerakan pasif, terlebih dahulu pemeriksa
meminta pasien untuk tenang dan mengistirahatkan ekstremitas yang akan
diperiksa. Pemeriksa kemudian menggerakkan ekstremitas pasien (tungkai atau
lengan) pada persendian hingga ekstremitas dalam keadaan fleksi kemudian
Gambar 10. Berbagai Tipe Kelumpuhan (paresis atau plegia)
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 24
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara diekstensikan kembali, dengan gerakan yang dibuat bervariasi, yaitu pada awalnya
cepat, kemudian lambat, cepat kembali, lebih lambat, kemudian seterusnya
bergantian dan berulang-ulang.
Pemeriksaan dilakukan pada ekstremitas yang sehat terlebih dahulu, dan
kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan pada ekstremitas pada sisi yang sakit.
Sambil menggerakkan ekstremitas lakukanlah penilaian untuk menilai ada
tidaknya tahanan (kekakuan), baik berupa spastisitas, ataupun rigiditas. Dalam
keadaan normal, jika pasien betul-betul mengistirahatkan persendiannya, tidak
akan ditemukan adanya tahanan.
Ciri Spastisitas
Bila dilakukan gerakan pasif, tahanan didapatkan pada satu jurusan saja,
misalnya tungkai sulit difleksikan namun mudah diekstensikan.
Bila gerakan pasif dihentikan, posisi ekstremitas kembali seperti semula
(fenomena pisau lipat, atau clasp knife phenomena).
Kekakuan tidak dipengaruhi oleh istirahat, atau emosi.
Ciri Rigiditas
Bila dilakukan gerakan pasif, tahanan akan didapatkan baik sewaktu ekstremitas
difleksikan, maupun pada saat diekstensikan.
Bila gerakan pasif dihentikan, posisi ekstremitas tidak kembali seperti semula.
Kekakuan dapat dipengaruhi oleh istirahat, atau emosi.
Pada pemeriksaan gerakan pasif lengan kasus Parkinson, dapat ditemukan
tahanan yang terasa terputus-putus (fenomena coghwell).
Contoh spastisitas dapat ditemukan pada kasus hemiplegia, atau hemiparesis. Gambar 11. Pemeriksaan Gerakan Pasif Lengan Gambar 12. Pemeriksaan Gerakan Pasif Le ngan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 25
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Contoh rigiditas dapat ditemukan pada kasus Parkinson, tumor yang menekan
batang otak, kontusio cerebri berat, dan encephalitis.
Pemeriksaan Gerakan Aktif Pemeriksaan gerakan aktif bertujuan untuk menilai luasnya bidang gerak (range
of motion), dan kekuatan otot pada ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah, untuk
menilai ada tidaknya kelumpuhan (paresis, atau plegia) pada otot-otot tersebut.
Pemeriksaan Luas Bidang Gerak Ekstremitas Atas Pemeriksaan ini dapat dilakukan dalam posisi pasien duduk, atau berbaring bagi
pasien yang tidak mampu untuk duduk. Pemeriksaan dilakukan pada lengan yang
sehat terlebih dahulu, kemudian dibandingkan dengan lengan pada sisi yang sakit
untuk melakukan penilaian.
Untuk mengukur range of motion, mintalah pasien menggerakkan lengannya
pada persendiaan bahu setinggi mungkin ke arah belakang, samping kanan, dan
kiri. Selain itu mintalah pasien untuk melakukan gerakan rotasi lengan pada
persendian bahu, dan mintalah pasien untuk menggerakkan bahunya ke atas,
bawah, depan, dan belakang. Bila pasien tidak dapat mengangkat lengannya,
mintalah pasien untuk menggerakkan sendi-sendi kecil pada jari tangan, atau
menggeser lengannya.
Bandingkanlah gerakan lengan yang sakit dengan yang sehat, dan lakukan
penilaian apakah gerakan lengan yang sakit sama luas, atau kurang, bila
dibandingkan dengan lengan yang sehat.
Pemeriksaan Luas Bidang Gerak Ekstremitas Bawah
Seperti halnya pada ekstremitas atas, pemeriksaan range of motion (ROM)
ekstremitas bawah dapat dilakukan dalam posisi pasien duduk, atau berbaring bagi
pasien yang tidak mampu untuk duduk. Pemeriksaan dilakukan pada tungkai yang
Gambar 13. Pemeriksan Gerakan Pasif Tungkai Gambar 14. Pemeriksaan Gerakan Pasif Tungkai
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 26
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara sehat terlebih dahulu, kemudian dibandingkan dengan tungkai pada sisi yang sakit
untuk melakukan penilaian.
Untuk mengukur range of motion, mintalah pasien menggerakkan tungkainya
pada persendian paha setinggi mungkin ke arah belakang, samping kanan, dan kiri.
Bila pasien tidak dapat mengangkat tungkainya, mintalah pasien untuk
menggerakkan sendi-sendi kecil pada jari-jari kaki, atau menggeser tungkainya.
Bandingkanlah gerakan tungkai yang sakit dengan yang sehat, dan lakukan
penilaian apakah gerakan tungkai yang sakit sama luas, atau kurang bila
dibandingkan dengan tungkai yang sehat.
Pemeriksaan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas atas dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu pemeriksa menggerakkan ekstremitas atas, dan pasien diminta menahannya,
atau dengan cara meminta pasien untuk menggerakkan ekstremitas atas, kemudian
pemeriksa menahannya.
Derajat kekuatan otot dinyatakan dalam skala pengukuran dengan
menggunakan angka, dimulai dari angka nol hingga lima. Semakin kecil angkanya
semakin lemah kekuatan otot, sebaliknya semakin besar angkanya semakin besar
kekuatan otot.
Derajat Nol. Tidak terdapat kontraksi otot sama sekali, atau lumpuh total.
Derajat Satu. Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak dapat menggerakan
persendian.
Derajat Dua. Pasien mampu menggerakkan ekstremitas, namun gerakan ini
tidak mampu melawan gaya berat. Misalnya pasien mampu menggeser lengannya,
Gambar 15. Pemeriksaan ROM Pada Lengan Gambar 16. Pemeriksaan ROM Pada Tungkai
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 27
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara tetapi tidak mampu mengangkatnya.
Derajat Tiga. Kekuatan otot sangat lemah, akan tetapi anggota tubuh dapat
digerakkan melawan gaya gravitasi.
Derajat Empat. Kekuatan otot lemah, tetapi anggota tubuh dapat digerakkan
melawan gaya gravitasi, dan dapat pula menahan sedikit tahanan yang diberikan.
Derajat Lima. Tidak terdapat kelumpuhan, atau normal.
Pemeriksaan kekuatan anggota gerak atas meliputi, pemeriksaan kekuatan fleksi
otot, ekstensi otot, abduksi otot, dan adduksi otot, pada otot-otot lengan,
pergelangan tangan, sendi metakarpal, jari-jari tangan, serta kekuatan
menggenggam pada tangan. Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dalam
berbagai posisi pemeriksaan, antara lain duduk, berdiri, atau berbaring bagi pasien
yang tidak mampu duduk.
Pemeriksaan dilakukan pada lengan, atau tangan yang sehat terlebih dahulu,
kemudian dibandingkan kekuatannnya dengan lengan, atau tangan pada sisi yang
sakit, untuk melakukan penilaian.
Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Otot Lengan Bawah
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk memfleksikan
lengan bawahnya pada persendian siku, kemudian pemeriksa menahannya.
Bandingkan dengan kekuatan otot lengan bawah pada sisi yang sehat, dan lakukan
penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Otot Lengan Bawah
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk mengektensikan
lengan bawah yang tadi difleksikan pada persendian siku, kemudian pemeriksa
menahannya. Bandingkan dengan kekuatan otot lengan bawah pada sisi yang sehat,
dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot. Gambar 17. Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Lengan Gambar 18. Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Lengan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 28
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Pemeriksaan Kekuatan Abduksi Lengan Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk mengabduksikan
lengannya, kemudian pemeriksa menahannya. Bandingkan dengan kekuatan otot
lengan pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk
pada derajat kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Adduksi Lengan Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk mengadduksikan
lengannya, kemudian pemeriksa menahannya. Bandingkan dengan kekuatan otot
lengan pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk
pada derajat kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Pergelangan Tangan Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk menekuk
pergelangan tangannya, kemudian pemeriksa menahannya. Bandingkan dengan
kekuatan otot pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan
merujuk pada derajat kekuatan otot.
Gambar 19. Pemeriksaa n Kekuatan Abduksi Lengan Gambar 20. Pemeriksaan Kekuatan Adduksi Lengan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 29
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Pergelangan Tangan Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk meluruskan
pergelangan tangan yang mulanya ditekuk, kemudian pemeriksa menahannya.
Bandingkan dengan kekuatan otot pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian
Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Sendi Metakarpal
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk menekuk sendi
metakarpalnya, kemudian pemeriksa menahannya. Bandingkan dengan kekuatan
otot pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada
derajat kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Sendi Metakarpal Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk meluruskan sendi
metakarpal yang mulanya ditekuk, kemudian pemeriksa menahannya. Bandingkan
dengan kekuatan otot lengan bawah pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian
kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Abduksi Jari Tangan Terlebih dahulu letakkanlah telapak tangan pasien di atas meja dalam posisi
pronasi. Kemudian mintalah pasien untuk meregangkan jari-jari tangannya ke arah
luar, kemudian pemeriksa menahannya satu per satu. Bandingkanlah dengan
kekuatan otot jari-jari pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot
jari-jari satu per satu, dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot. Gambar 21. Pemeriksan Kekuatan Fleksi Perg elangan Tangan Gambar 22. Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Pergelangan Tangan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 30
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Pemeriksaan Kekuatan Adduksi Jari Tangan Terlebih dahulu letakkanlah telapak tangan pasien di atas meja dalam posisi
pronasi. Kemudian mintalah pasien untuk merapatkan jari-jari tangannya yang pada
mulanya diregangkan, kemudian pemeriksa menahannya satu per satu. Bandingkan
dengan kekuatan otot jari-jari pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan
otot jari-jari satu per satu dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Menggenggam Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk bersalaman
dengan tangan kanan dan kiri pemeriksa, dengan tangan pada sisi yang sehat,
maupun yang sakit. Kemudian pemeriksa meminta pasien untuk menggenggam
dengan kuat tangan pemeriksa. Bandingkanlah dengan kekuatan genggaman pada
sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat
kekuatan otot.
Pemeriksaan ini dapat juga dilakukan dengan meminta pasien menggenggam
jari telunjuk dan jari tengah kanan lalu kiri pemeriksa, lalu pemeriksa meminta
pasien menggenggam jari tersebut sekuat mungkin. Selanjutnya pemeriksa menarik
lepas jari tersebut. Pada keadaan normal pemeriksa akan kesulitan menarik jarinya.
Bandingkanlah dengan kekuatan genggaman pada sisi yang sehat, dan lakukan
penilaian kekuatan otot, dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Otot Ekstremitas Bawah Sebagaimana pemeriksaan kekuatan otot pada ekstremitas atas, pemeriksaan
otot ekstremitas bawah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemeriksa
Gambar 23. Pemeriksaan Kekuatan Abduksi Jari Gambar 24. Pemeriksaan Kekuatan Genggaman Tangan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 31
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara menggerakkan ekstremitas bawah pasien, dan pasien diminta menahannya, atau
dengan cara meminta pasien menggerakkan ekstremitas bawahnya, kemudian
pemeriksa menahannya.
Pemeriksaan kekuatan anggota gerak bawah meliputi, pemeriksaan kekuatan
fleksi otot, ekstensi otot, abduksi otot, dan adduksi otot, pada otot-otot paha, sendi
lutut, dan otot-otot kaki (pasien diminta untuk melakukan dorsofleksi, dan plantar
fleksi kaki).
Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dalam berbagai posisi pemeriksaan,
antara lain duduk, berdiri, atau berbaring bagi pasien yang tidak mampu duduk.
Pemeriksaan dilakukan pada tungkai, persendian, atau kaki yang sehat terlebih
dahulu, kemudian dibandingkan kekuatannnya dengan tungkai, atau kaki pada sisi
yang sakit, untuk melakukan penilaian.
Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Otot Paha Pemeriksa meletakkan telapak tangannya dalam posisi pronasi pada paha
bagian anterior. Kemudian mintalah pasien untuk mengangkat pahanya, sementara
pemeriksa menahannya. Bandingkan dengan kekuatan otot paha pada sisi yang
sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan
otot.
Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Otot Paha
Pemeriksa meletakkan telapak tangannya dalam posisi supinasi pada paha
bagian posterior. Fleksikan paha, dengan cara mengangkat paha sedikit. Kemudian
mintalah pasien untuk mengekstensikan paha dengan cara menurunkan pahanya,
sementara pemeriksa menahannya. Bandingkan dengan kekuatan otot paha pada
sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat
kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Persendian Lutut
Pemeriksa meletakkan telapak tangan kanan atau kirinya dalam posisi pronasi
pada permukaan posterior persendian lutut pasien, sementara tangan pemeriksa
lainnya memegang permukaan posterior tungkai bawah pasien. Kemudian mintalah
pasien untuk menekuk lututnya, sementara pemeriksa menahannya. Bandingkan
dengan kekuatan pada sisi yang sehat, kemudian lakukan penilaian kekuatan otot,
dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 32
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Persendian Lutut
Pemeriksa meletakkan telapak tangan kanan atau kirinya dalam posisi pronasi
pada permukaan anterior persendian lutut pasien, sementara tangan pemeriksa
lainnya memegang permukaan anterior tungkai bawah pasien, sambil menekuk
tungkai pasien pada persendian lutut. Mintalah pasien untuk meluruskan lututnya
sementara pemeriksa menahannya. Bandingkan dengan kekuatan otot pada sisi
yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat
kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Abduksi Otot Tungkai Pemeriksa meletakkan kedua tangannya pada sisi lateral kanan dan kiri lutut
pasien. Kemudian mintalah pasien untuk meregangkan kedua tungkainya ke arah
luar, sementara pemeriksa menahannya. Bandingkan kekuatan otot tungkai kanan
dan kiri, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat
kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Adduksi Otot Tungkai Pemeriksa meletakkan kedua tangannya pada sisi medial kanan dan kiri lutut
pasien. Kemudian mintalah pasien untuk merapatkan kedua tungkainya ke dalam,
sementara pemeriksa menahannya. Bandingkan kekuatan otot tungkai kanan dan
kiri, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan
otot.
Pemeriksaan Kekuatan Otot-Otot Kaki (dorso fleksi ) Pemeriksa meletakkan telapak tangan kanannya dalam posisi pronasi pada
punggung kaki pasien, sementara telapak tangan kiri pemeriksa memegang
Gambar 25. Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Lutut Gambar 26. Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Lutut
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 33
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara pergelangan kaki pasien. Kemudian mintalah pasien untuk menekuk kakinya ke
arah punggung kakinya pada persendian pergelangan kaki (dorso fleksi), sementara
pemeriksa menahannya (lihat gambar 22). Bandingkan dengan kekuatan pada sisi
yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat
kekuatan otot.
Pemeriksaan Kekuatan Otot-Otot Kaki (plantar fleksi) Pemeriksa meletakkan telapak tangan kanannya dalam posisi supinasi pada
bagian telapak kaki pasien, sementara telapak tangan kiri pemeriksa memegang
pergelangan kaki pasien. Kemudian mintalah pasien untuk meluruskan kaki ke arah
telapak kakinya pada persendian pergelangan kaki (plantar fleksi), sementara
pemeriksa menahannya (lihat gambar 21). Bandingkan dengan kekuatan pada sisi
yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat
kekuatan otot.
Gambar 27. Pemeriksaan Kekuatan Dorso Fleksi Kaki Gambar 28. Pemeriksaan Kekuatan Plantar Fleksi Kaki
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 34
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
II. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN
Waktu Aktivitas Keterangan
10 menit
Tiap kelompok kecil didampingi oleh seorang instruktur.
Instruktur Introduksi dan penyampaian pengantar (overview) rancangan kegiatan pelatihan. Pemutaran video singkat pemeriksaan motorik neurologi.
55 menit
Demonstrasi oleh instruktur, instruktur memperlihatkan cara-cara melakukan pemeriksaan fisik sistem motorik, dan cara-cara melakukan pemeriksaan fisik sistem motorik. Mahasiswa melakukan latihan cara melakukan pemeriksaan fisik sistem motorik. Mahasiswa melakukan latihan role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur (coaching).
Instruktur dan Mahasiswa
20 menit Mahasiswa melakukan latihan mandiri diawasi oleh instruktur. Mahasiswa
15 menit
Instruktur memberikan masukan (feedback) kepada mahasiswa.
Instruktur Instruktur dapat memberikan tugas mandiri, bila perlu, atau menutup acara pelatihan.
III. PEDOMAN INSTRUKTUR
3.1. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mahasiswa : 1. Dapat mengetahui cara melakukan pemeriksaan fisik sistem motorik
(C1). 2. Mengetahui dan mampu melakukan pemeriksaan fisik sistem motorik,
dengan cara inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerakan pasif, dan pemeriksaan gerakanaktif (4).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 35
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
3.2. PELAKSANAAN 1. Latihan dan diskusi tiap kelompok dipimpin oleh seorang instruktur yang
telah ditetapkan oleh Bagian SDM MEU FK-UISU 2. Cara dan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan :
Waktu Aktivitas Keterangan
10 menit Pembukaan
Perkenalan
Instruktur Pengantar Pelatihan
Pemutaran Video
15 menit
Latihan
Demonstrasi
Instruktur dan Mahasiswa
40 menit Coaching
20 menit Latihan Mandiri
15 menit Penutupan
Feed Back
Instruktur Tugas Mandiri
Penutup
3. Waktu pelaksanaan :
Setiap kegiatan latihan dilaksanakan selama 2 x 50 menit (100 menit). 4. Tempat pelaksanaan kegiatan : Di ruangan Skills Lab. (Lantai 3) Alat dan
Bahan yang diperlukan : Meja dan kursi minimal 1 set Kursi ( 8 buah ). Pasien simulasi. Laptop. Palu refleks.
5.Materi Kegiatan / Latihan : Pemeriksaan inspeksi sistem motorik neurologi (4). Pemeriksaan palpasi sistem motorik neurologi (4). Pemeriksaan gerakan pasif (4). Pemeriksaan gerakan aktif (4).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 36
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
RUJUKAN 1. Susunan Neuromuskular. In : Mardjono M, Sidharta P, eds. Neurologi
Klinis Dasar. 8th edition. Jakarta : PT Dian Rakyat ; 2000. p.1-12. 2. Sistem Motorik. In : Lumbantobing S.M, ed. Neurologi Klinik :
Pemeriksaan Fisik Dan Mental. 8th edition. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2006. p. 87-106.
3. Fungsi Motorik. In : Ginsberg L, ed. Lecture Notes Neurologi 8th edition. Jakarta : Penerbit Erlangga ; 2008. p. 41-50.
4. Dacre J, Kopelman P. Sistem Saraf. In : Listiawaty, ed. Alih Bahasa : Pendit B.U. Buku Saku Keterampilan Klinis. 1st edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005. p.178-84.
5. Gunawan B.I. Pemeriksaan Motorik. In : Utama H.W, ed. Pemeriksaan Klinis Neurologi. 1st edition. Palembang : Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang ; 2006.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 37
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR ( Untuk Latihan )
No. Langkah / Tugas Pengamatan
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM MOTORIK NEUROLOGI Ya Tidak 1. Persiapan Pemeriksaan & Persiapan Pasien a. Persiapan Pemeriksaan
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik sistem motorik neurologi, pastikanlah keadaan ruangan pemeriksaan tertutup, sehingga dapat menjamin kerahasiaan pasien, serta memiliki penerangan yang baik.
Dokter hendaknya selalu didampingi seorang perawat, yang dapat bertindak sebagai saksi untuk menghindari perlakuan yang tidak benar, ditinjau dari pihak pemeriksa, maupun pasien.
b. Persiapan Pasien
Dokter menyapa dan memberi salam kepada pasien. Dokter mempersilahkan pasien duduk. Dokter terlebih dahulu memberitahukan pada pasien, prosedur, maksud dan tujuan pemeriksaan, secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien.
Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien sesuai pemeriksaan yang akan dilakukan (berdiri, duduk, atau berbaring).
2. Inspeksi a. Sikap Badan
Perhatikan sikap badan pasien dengan seksama secara keseluruhan, dan sikap setiap anggota tubuh pasien.
Perhatikan bagaimana sikap pasien sewaktu berdiri, duduk, berbaring, bergerak, dan saat berjalan, karena dapat menunjukkan adanya penyakit tertentu.
b. Bentuk & Ukuran Otot
Perhatikan bentuk otot, dan bandingkanlah dengan sisi yang sehat, baik dalam keadaan otot beristirahat, maupun saat otot dalam keadaan berkontraksi. Pada otot yang mengalami atrofi, otot akan tampak lebih kecil bila dibandingkan dengan otot yang sehat.
Lakukan pengamatan secara sistematis dimulai dari daerah kepala dan wajah, hingga ekstremitas bawah.
Perhatikan ukuran otot dengan membandingkan ukuran anggota gerak atas dan bawah, pada sisi sebelah kanan maupun sebelah kiri, yang pada keadaan normal sama panjang.
c. Gerakan Abnormal Tidak Terkendali
Perhatikan ada tidaknya gerakan abnormal yang tidak terkendali, misalnya, tremor (fisiologis, halus, kasar), khorea, atetosis, balismus, tik, dan spasme.
3. Palpasi a. Teknik Pemeriksaan Palpasi
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 38
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Sebelum melakukan pemeriksaan ini, mintalah pasien untuk tenang, dan mengistirahatkan otot-ototnya, agar tidak terjadi kesalahan penilaian sewaktu pemeriksaan dilakukan.
Mintalah pasien memberitahukan pemeriksa, bila otot terasa nyeri saat palpasi dilakukan.
Lakukanlah pemeriksaan palpasi pada otot-otot pada anggota gerak tubuh bagian atas, bagian bawah, dan bagian tubuh.
b. Palpasi Otot-Otot Ekstremitas Atas
Palpasilah pada otot-otot ekstremitas atas, yaitu pada otot triseps, biseps, dan otot-otot lengan bawah, dengan cara melakukan pemijatan pada otot-otot lengan yang sama pada sisi kanan dan kiri.
Lakukanlah palpasi pada otot sisi yang sehat terlebih dahulu. Lakukan penilaian dengan cara membandingkan otot lengan yang sama pada sisi yang sakit dengan sisi yang sehat, apakah otot lengan pada sisi yang sakit terasa sama kenyal, lebih lembek pada tonus otot yang menurun, atau terasa lebih kenyal (hipertoni).
Lakukan juga penilaian mengenai ada tidaknya nyeri tekan pada otot-otot lengan saat dipalpasi, kemudian bandingkanlah dengan otot-otot lengan yang sama pada sisi tubuh yang berlainan.
c. Palpasi Otot-Otot Ekstremitas Bawah
Palpasi pada otot-otot ekstremitas bawah, yaitu pada otot-otot paha, dan otot-otot betis, dengan cara melakukan pemijatan pada otot-otot tubuh yang sama pada sisi kanan dan kiri.
Lakukanlah palpasi pada otot sisi yang sehat terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan mempalpasi otot sisi yang sakit.
Lakukan penilaian dengan cara membandingkan otot tungkai yang sama pada sisi yang sakit dengan sisi yang sehat, apakah otot tungkai pada sisi yang sakit terasa sama kenyal, lebih lembek pada tonus otot yang menurun, atau terasa lebih kenyal (hipertoni) .
Lakukan juga penilaian mengenai ada tidaknya nyeri tekan pada otot-otot tungkai saat dipalpasi, kemudian bandingkanlah dengan otot-otot tungkai yang sama pada sisi tubuh yang berlainan.
4. Pemeriksaan Gerakan Pasif
Pemeriksa meminta pasien untuk tenang dan mengistirahatkan ekstremitas yang akan diperiksa.
Pemeriksa kemudian menggerakkan ekstremitas pasien (tungkai atau lengan) pada persendian hingga ekstremitas dalam keadaan fleksi kemudian diekstensikan kembali, dengan gerakan yang dibuat bervariasi, yaitu pada awalnya cepat, kemudian lambat, cepat kembali, lebih lambat, seterusnya bergantian dan berulang-ulang.
Pemeriksaan dilakukan pada ekstremitas yang sehat terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan pada ekstremitas pada sisi yang sakit.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 39
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Sambil menggerakkan ekstremitas lakukanlah penilaian untuk menilai ada tidaknya tahanan (kekakuan), baik berupa spastisitas, ataupun rigiditas. Pada keadaan normal, jika pasien betul-betul mengistirahatkan persendiannya, tidak ditemukan adanya tahanan.
5. Pemeriksaan Gerakan Aktif a. Pemeriksaan Luas Bidang Gerak Ekstremitas Atas (ROM)
Aturlah posisi pasien apakah duduk, atau berbaring bagi pasien yang tidak mampu untuk duduk.
Lakukan pada pemeriksaan pada lengan yang sehat terlebih dahulu, kemudian dibandingkan dengan lengan pada sisi yang sakit untuk melakukan penilaian.
Mintalah pasien menggerakkan lengannya pada persendiaan bahu setinggi mungkin ke arah belakang, kemudian ke arah samping kanan, dan kiri.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan rotasi lengan pada persendian bahu, dan mintalah pasien untuk menggerakkan bahunya ke atas, bawah, depan, dan belakang.
Bila pasien tidak dapat mengangkat lengannya, mintalah pasien untuk menggerakkan sendi-sendi kecil pada jari tangan, atau
menggeser lengannya.
Bandingkanlah gerakan lengan yang sakit dengan yang sehat, dan lakukan penilaian apakah gerakan lengan yang sakit sama luas, atau kurang, bila dibandingkan dengan lengan yang sehat.
b. Pemeriksaan Luas Bidang Gerak Ekstremitas Bawah (ROM)
Aturlah posisi pasien apakah duduk, atau berbaring bagi pasien yang tidak mampu untuk duduk.
Lakukan pada pemeriksaan pada tungkai yang sehat terlebih dahulu, kemudian dibandingkan dengan tungkai pada sisi yang sakit untuk melakukan penilaian.
Mintalah pasien menggerakkan tungkainya pada persendiaan paha setinggi mungkin ke arah belakang, samping kanan, dan kiri.
Bila pasien tidak dapat mengangkat tungkainya, mintalah pasien untuk menggerakkan sendi-sendi kecil pada jari kaki, atau menggeser tungkainya.
Bandingkanlah gerakan lengan yang sakit dengan yang sehat, dan lakukan penilaian apakah gerakan lengan yang sakit sama luas, atau kurang, bila dibandingkan dengan lengan yang sehat.
c. Pemeriksaan Kekuatan Otot-Otot Ekstremitas Atas I Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Otot Lengan Bawah
Mintalah pasien untuk memfleksikan lengan bawahnya pada persendian siku, kemudian pemeriksa menahannya dengan cara menggenggam lengan bawah pasien.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan otot lengan bawah pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 40
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
II Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Otot Lengan Bawah
Mintalah pasien untuk mengektensikan lengan bawah yang tadi difleksikan pada persendian siku, kemudian pemeriksa menahannya dengan cara mengenggam lengan bawah pasien.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan otot lengan bawah pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot.
III Pemeriksaan Kekuatan Abduksi Otot Lengan
Mintalah pasien untuk mengabduksikan lengannya, kemudian pemeriksa menahan lengan pasien pada sisi lateralnya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan otot lengan pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
IV Pemeriksaan Kekuatan Adduksi Otot Lengan
Mintalah pasien untuk mengadduksikan lengannya, kemudian pemeriksa menahan lengan pasien pada sisi medialnya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu.
Bandingkan dengan kekuatan otot lengan pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
V Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Pergelangan Tangan
Mintalah pasien untuk menekuk pergelangan tangannya, kemudian pemeriksa menahannya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan otot pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
VI Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Pergelangan Tangan
Mintalah pasien untuk meluruskan pergelangan tangan yang mulanya ditekuk, kemudian pemeriksa menahannya. Bandingkan dengan kekuatan otot pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan otot pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
VII Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Sendi Metakarpal
Mintalah pasien untuk menekuk sendi metakarpalnya, kemudian pemeriksa menahannya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan otot pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
VIII Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Sendi Metakarpal
Mintalah pasien untuk meluruskan sendi metakarpal yang mulanya ditekuk, kemudian pemeriksa menahannya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 41
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Bandingkan dengan kekuatan otot pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
IX Pemeriksaan Kekuatan Abduksi Jari Tangan
Letakkanlah telapak tangan pasien pada meja dalam posisi pronasi. Mintalah pasien untuk meregangkan jari-jari tangannya ke arah luar, kemudian pemeriksa menahannya satu per satu.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkanlah dengan kekuatan otot jari-jari pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot jari-jari satu per satu, dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
X Pemeriksaan Kekuatan Adduksi Jari Tangan
Letakkanlah telapak tangan pasien pada meja dalam posisi pronasi. Mintalah pasien untuk merapatkan jari tangannya yang mulanya diregangkan, kemudian pemeriksa menahannya satu per satu.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan otot jari-jari pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot jari-jari satu per satu dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
XI Pemeriksaan Kekuatan Menggenggam
Mintalah pasien menggenggam jari telunjuk dan jari tengah kanan lalu kiri pemeriksa, lalu pemeriksa meminta pasien menggenggam jari tersebut sekuat mungkin.
Selanjutnya pemeriksa berusaha menarik lepas jarinya dari genggaman pasien.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Pada keadaan normal, pemeriksa akan kesulitan melepaskan jarinya. Bandingkanlah dengan kekuatan genggaman pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
d. Pemeriksaan Kekuatan Otot-Otot Ekstremitas Bawah I Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Otot Paha Pemeriksa meletakkan telapak tangan kanannya dalam posisi
pronasi pada paha bagian anterior. Kemudian mintalah pasien untuk mengangkat pahanya, sementara pemeriksa menahannya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan otot paha pada sisi yang sehat, kemudian lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
II Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Otot Paha
Pemeriksa meletakkan telapak tangan kanannya dalam posisi supinasi pada paha bagian posterior.
Fleksikan paha, dengan cara mengangkat paha sedikit. Kemudian mintalah pasien untuk mengekstensikan paha dengan cara menurunkan pahanya, sementara pemeriksa menahannya.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 42
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan otot paha pada sisi yang sehat, kemudian lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
III Pemeriksaan Kekuatan Abduksi Otot Tungkai
Pemeriksa meletakkan kedua tangannya pada sisi lateral kanan dan kiri lutut pasien.
Kemudian mintalah pasien untuk meregangkan kedua tungkainya ke arah luar, sementara pemeriksa menahannya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan kekuatan otot tungkai kanan dan kiri, kemudian lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
IV Pemeriksaan Kekuatan Adduksi Otot Tungkai
Pemeriksa meletakkan kedua tangannya pada sisi medial kanan dan kiri lutut pasien.
Kemudian mintalah pasien untuk merapatkan kedua tungkainya ke dalam, sementara pemeriksa menahannya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan kekuatan otot tungkai kanan dan kiri, kemudian lakukan penilaian kekuatan otot, dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
V Pemeriksaan Kekuatan Fleksi Persendian Lutut
Pemeriksa meletakkan telapak tangan kanan, atau kirinya dalam posisi pronasi pada permukaan posterior persendian lutut pasien, sementara tangan pemeriksa lainnya memegang permukaan posterior tungkai bawah pasien.
Kemudian mintalah pasien untuk menekuk lututnya, sementara pemeriksa menahannya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
VI Pemeriksaan Kekuatan Ekstensi Persendian Lutut
Pemeriksa meletakkan telapak tangan kanan, atau kirinya dalam posisi pronasi pada permukaan anterior persendian lutut pasien, sementara tangan pemeriksa lainnya memegang permukaan anterior tungkai bawah pasien, sambil menekuk tungkai pasien pada persendian lutut.
Mintalah pasien untuk meluruskan lututnya sementara pemeriksa menahannya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan otot pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
VII Pemeriksaan Kekuatan Otot-Otot Kaki (dorso fleksi )
Pemeriksa meletakkan telapak tangan kanannya dalam posisi pronasi pada punggung kaki pasien, sementara telapak tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 43
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Kemudian mintalah pasien untuk menekuk kakinya ke arah punggung kakinya pada persendian pergelangan kaki (dorso fleksi), sementara pemeriksa menahannya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
VIII Pemeriksaan Kekuatan Otot-Otot Kaki (plantar fleksi)
Pemeriksa meletakkan telapak tangan kanannya dalam posisi supinasi pada bagian telapak kaki pasien, sementara telapak tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien.
Kemudian mintalah pasien untuk meluruskan kaki ke arah telapak kakinya pada persendian pergelangan kaki (plantar fleksi), sementara pemeriksa menahannya.
Lakukan pemeriksaan pada sisi yang sehat terlebih dahulu. Bandingkan dengan kekuatan pada sisi yang sehat, dan lakukan penilaian kekuatan otot dengan merujuk pada derajat kekuatan otot.
Tanda Tangan
Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 44
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN PEMERIKSAAN FISIK SISTEM MOTORIK NEUROLOGI
(Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa)
Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN Pemeriksaan Inspeksi :
Pemeriksaan Palpasi :
Pemeriksaan Gerakan Pasif :
Pemeriksaan Gerakan Aktif :
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 45
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM SENSORIK
I. PENDAHULUAN
Sistem sensorik merupakan sistem yang berperan dalam proses penginderaan, atau ”merasakan”, manusia terhadap lingkungan sekitarnya. Proses penginderaan, atau sensibilitas, dilakukan dengan cara melihat, mendengar, mencium, merasakan rasa nyeri, rasa raba, rasa panas, rasa dingin, dan sebagainya. Sensabilitas secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu, sensasi superfisial, sensasi dalam, sensasi viseral, dan sensasi khusus.
Sensasi Superfisial, atau perasaan eksteroseptif (protopatik), adalah perasaan yang berasal dari alat perasa pada kulit dan mukosa, yang bereaksi terhadap rangsangan dari luar, atau perubahan-perubahan lingkungan di sekitarnya. Perasaan eksteroseptik berperan dalam merasakan nyeri, merasakan suhu, merasakan raba.
Sensasi Dalam,disebut juga dengan perasaan (sensasi) proprioseptif, meliputi rasa gerak atau kinetik, rasa sikap atau statognesia dari otot dan persendian, rasa getar atau pallesthesia, rasa tekan dalam, dan rasa nyeri dalam otot.
Sensasi Viseral atau interoseptif, merupakan perasaan (sensasi) yang dihantarkan melalui serabut otonom aferen. Sensasi viseral mencakup rasa lapar, rasa enek, dan rasa nyeri pada organ dalam.
Sensasi Khusus, meliputi perasaan yang berperan dalam proses menghidu, melihat, mendengar, mengecap, dan keseimbangan tubuh. Sensasi viseral diatur oleh saraf-saraf otak tertentu (nervus kranialis).
Pada modul keterampilan klinik ini, akan dibahas, dan dilatihkan mengenai pemeriksaan sensasi superfisial (eksteroseptik), dan sensasi dalam (proprioseptif) saja.
Pemeriksaan sensasi viseral sukar untuk dievaluasi dan dilakukan, karena lokasinya yang difus, dan letaknya pada organ dalam sehingga sukar diperiksa, sedangkan pemeriksaan sensasi khusus akan dibahas lebih lanjut pada pemeriksaan fisik pada blok-blok sistem organ lainnya. 1.1Persiapan Pemeriksaan & Pasien
Pemeriksaan sensabilitas bergantung kepada perasaan pasien, sehingga dapat dikatakan bersifat bersifat subjektif. Selain itu perbedaan reaksi seseorang terhadap rangsangan dapat berbeda beda. Bahkan pada satu orang pun reaksi tersebut dapat berbeda, tergantung pada keadaannya.
Misalnya pikiran pasien yang tidak fokus dan terpusat pada hal lain sewaktu pemeriksaan dilakukan. Adanya faktor sugesti dari dokter juga dapat mempengaruhi reaksi terhadap rangsangan, dan dapat mengaburkan interpretasi pemeriksaan. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sugesti (mendikte) pasien harus dihindarkan. Biarkanlah pasien bebas untuk mengutarakan apa yang dirasakannya saat
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 46
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara pemeriksaan sensibilitas dilakukan. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik perlu diperhatikan hal berikut: Selama pemeriksaan dilakukan, upayakan agar pasien berada dalam keadaan
tenang dan kooperatif. Untuk itu, jelaskanlah terlebih dahulu prosedur pemeriksaan fisik yang akan dilakukan secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, atau keluarganya, kemudian mintalah persetujuan pasien, atau keluarganya. Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien sesuai pemeriksaan yang akan dilakukan (berdiri, duduk, atau berbaring). Pasien juga diberitahu cara memberikan respon, terhadap pemeriksaan sensorik yang akan dilakukan.
Perhatian pasien harus dipusatkan pada pemeriksaan yang dilakukan. Agar perhatian pasien tidak terpecah oleh kejadian-kejadian di sekitarnya, mintalah pasien untuk memejamkan mata, atau tutuplah mata pasien. Bila pasien merasa lelah, tundalah pemeriksaan sampai pasien merasa kondisi tubuhnya baik.
Pastikanlah keadaan ruangan pemeriksaan tertutup, sehingga dapat menjamin kerahasiaan pasien, serta memiliki penerangan yang baik. Ruangan yang tertutup juga berperan dalam menjaga perhatian pasien tetap fokus pada saat pemeriksaan.
Dokter hendaknya selalu didampingi seorang perawat, yang dapat bertindak sebagai saksi untuk menghindari perlakuan yang tidak benar, ditinjau dari pihak pemeriksa, maupun pasien. Kehadiran perawat terutama pada pasien wanita, juga dapat membantu pasien merasa nyaman dan tenang, sehingga perhatiannya dapat difokuskan pada pemeriksaan yang dilakukan.
1.2Teknik Pemeriksaan Sensibilitas Sebelum melakukan pemeriksaan, tanyakanlah terlebih dulu apakah pasien
memiliki keluhan mengenai sensibilitas. Bila ada keluhan mengenai sensibilitas, mintalah pasien untuk menunjukkan lokasinya (tempatnya). Dari bentuk daerah yang terganggu dapat diduga apakah ada gangguan bersifat sentral,perifer, atau berbentuk dermatom. Daerah kulit yang dipersarafi oleh akar posterior dan ganglionnya disebut dermatom.
Selanjutnya tanyakanlah kualitas keluhan (misalnya sangat nyeri, kurang merasa nyeri, atau tidak terasa nyeri), intensitas (seberapa sering keluhan timbul), kapan timbulnya keluhan, misalnya apakah keluhan timbul pada waktu-waktu tertentu saja (nyeri kalau dingin), dan tanyakan juga ada tidaknya faktor-faktor yang dapat mencetuskan kelainan ini.
Sewaktu melakukan pemeriksaan perhatikan daerah daerah kulit yang kurang merasa, sama sekali tidak merasa, atau daerah yang bertambah perasaaannya. Beberapa terminologi yang perlu diketahui pada pemeriksaan sensibilitas antara lain adalah : Hiperestesia. Merupakan kata yang dipakai untuk menyatakan adanya peningkatan
sensitivitas terhadap stimulus yang diberikan. Hipestesia. Merupakan kata yang dipakai untuk menyatakan penurunan sensitivitas
terhadap stimulus yang diberikan. Anastesia. Menyatakan hilangnya sensitivitas terhadap stimulus yang diberikan.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 47
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Disestesia. Menyatakan adanya perasaan yang berlainan dari rangsang yang
diberikan, misalnya bila pasien diraba, dia merasa seolah-olah ditusuk-tusuk dengan jarum.
Parestesia. Menyatakan perasaan abnormal yang timbul spontan, biasanya ini berbentuk rasa dingin, panas, semutan, ditusuk-tusuk, rasa berat, rasa ditekan, atau rasa gatal.
Hiperalgesia. Menyatakan adanya respon yang berlebihan, terhadap stimulus yang secara normal menimbulkan nyeri.
Hipoalgesia. Menyatakan berkurangnya rasa nyeri terhadap stimulus, yang secara normal menimbulkan nyeri.
Analgesia. Menyatakan berkurangnya nyeri terhadap stimulus, yang secara normal menimbulkan nyeri.
Anastesia Dolorosa. Menyatakan adanya rasa nyeri pada daerah tubuh, yang seharusnya bersifat anastetik. Misalnya pasien merasa nyeri bila rambutnya disentuh.
Alodinia. Menyatakan adanya respon yang berlebihan, terhadap stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri. Misalnya apabila lengan pasien diraba dengan pulpen, pasien akan mengeluh sakit sekali.
Pemeriksaan Sensibilitas Eksteroseptif Pemeriksaan sensibilitas eksteroseptik (protopatik), meliputi pemeriksaan terhadap
sensasi yang diterima oleh reseptor, dan dihantarkan oleh jaras eksteroseptik, yaitu rasa raba, rasa nyeri, dan rasa suhu.
Pemeriksaan Rasa Raba
Pemeriksaan rasa raba ditujukan untuk mengetahui ada tidaknya thigmestesia, yangberarti rasa raba halus. Kehilangan rasa raba ini disebut thigmanesthesia.
Alat yang digunakan pada pemeriksaan ini antara lain kapas, kertas, atau kain, yang pada bagian ujungnya dibuat sekecil mungkin. Cara melakukan pemeriksaan rasa raba adalah sebagai berikut : Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Goreskanlah kapas yang telah dipilin ujungnya pada bagian-bagian tubuh pasien.
Tanyakanlah kepada pasien, apa yang dirasakannya saat kapas digoreskan pada tubuhnya.
Periksa seluruh tubuh dari pasien, dan bandingkanlah bagian-bagian tubuh yang simetris.
Pemeriksaan Rasa Nyeri
Rasa nyeri dapat dibedakan menjadi rasa nyeri tusuk dan rasa nyeri tumpul, atau rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lamban. Bila kulit ditusuk dengan jarum maka kita rasakan nyeri yang bersifat tajam, cepat timbul dan cepat hilang. Nyeri ini dinamakan rasa nyeri tusuk. Rasa nyeri lamban misalnya adalah rasa nyeri yang timbul bila testis ditekan, timbulnya tidak segera dan lenyapnya lama setelah ditekan.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 48
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat yang memiliki permukaan tajam, yang dalam keadaan normal dapat membangkitkan rasa nyeri, misalnya jarum atau peniti. Cara melakukan pemeriksaan rasa nyeri adalah sebagai berikut : Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Tusukkanlah jarum pada bagian-bagian tubuh pasien. Tusukan hendaknya cukup keras untuk membangkitkan nyeri (namun jangan
sampai melukai pasien), sehingga betul-betul dirasakan rasa nyeri, bukan rasa sentuh, atau rasa raba. Tusukan harus dilakukan sama kuat.
Periksalah seluruh tubuh, dan bandingkanlah bagian-bagian tubuh yang simetris. Pemeriksaan Rasa Suhu
Ada dua jenis rasa suhu, yaitu rasa panas dan rasa dingin. Rangsangan rasa suhu yang berlebihan akan mengakibatkan rasa nyeri. Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin dan untuk rasa panas dengan menggunakan air panas. Untuk memeriksa rasa dingin, gunakanlah air yang bersuhu 10-200 Celcius. Sedangkan untuk memeriksa rasa panas, gunakanlah air yang bersuhu 40-500 Celcius. Suhu air dalam tabung reaksi tidak boleh terlalu panas, atau terlalu dingin karena dapat menimbulkan rasa nyeri, yang dapat mengganggu interpretasi pemeriksaaan.
Perubahan rasa suhu dinyatakan dengan kata term-anesthesiayang berarti tidak merasakan, term-hypesthesiaberarti kurang merasa, atau term-hyperthesia berarti lebih merasa. Cara melakukan pemeriksaan rasa suhu antara lain adalah : Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Sentuhkanlah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin tadi secara
bergantian ke pada bagian-bagian tubuh pasien. Mintalah pasien untuk mengatakan ”dingin” atau ”panas”, pada saat bagian
tubuhnya disentuh oleh tabung reaksi yang berisi air dingin, atau air panas. Pemeriksaan dilakukan pada seluruh tubuh, dan dibandingkan bagian-bagian yang
simetris.
Gambar 1. Pemeriksaan Rasa Raba Gambar 2. Pemeriksaan Rasa Nyeri
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 49
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pemeriksaan Sensibilitas Proprioseptif Pemeriksaan sensibilitas proprioseptif, meliputi pemeriksaan terhadap sensasi yang
diterima oleh reseptor, dan dihantarkan oleh jaras proprioseptif, yaitu rasa gerak dan rasa sikap, rasa getar, rasa tekan dalam, dan rasa nyeri dalam. Pemeriksaan Rasa Gerak dan Rasa Sikap/Posisi
Pada umumnya rasa gerak dan rasa posisi diperiksa secara bersamaan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menggerakkan jari-jari pasien secara pasif, dan menyelidiki apakah pasien dapat merasakan gerakan tersebut, serta mengetahui arahnya. Selain itu, juga diselidiki apakah ia tahu posisi dari jari-jarinya. Cara melakukan pemeriksaan rasa gerak dan rasa sikap : Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien mengistirahatkan, atau melemaskan badan dan ektremitasnya. Peganglah bagian lateral dari salah satu jari pasien, kemudian gerakkan jari
tetrsebut secara pasif, dan usahakan tidak menyentuh jari yang lain. Tujuan memegang sisi lateral jari adalah agar pasien tidak menggunakan rasa eksteroseptifnya untuk mengetahui arah gerakan tersebut. Jari yang diperiksa diupayakan agar tidak bersentuhan dengan jari lainnya, karena hal ini dapat dimanfaatkan pasien untuk mengetahui arah gerakan dari sentuhan, apabila rasa geraknya terganggu. Pasien juga dilarang menggerakkan jarinya secara aktif, sebab hal ini dapat menolong si pasien mengetahui posisi jarinya.
Apabila si pasien merasakan suatu gerakan instruksikan si pasien untuk mengatakan ”ya”, kemudian mintalah pasien mengatakan ke arah mana gerakan tersebut misalnya ke ”atas”, atau ke ”bawah”.
Pemeriksaan Rasa Getar Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan garpu tala dengan frekuensi
128Hz. Pada keadaan normal akan terasa rasa getar saat garputala diletakkan pada tubuh atau anggota gerak pasien. Hilangnya rasa getar dapat dinamakan pallanesthesia. Cara melakukan pemeriksaan rasa getar : Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Getarkanlah garpu tala. Letakkanlah garpu tala tersebut pada ibu jari kaki, atau tulang maleolus pasien. Tanyakanlah kepada pasien apakah ia merasakan getaran garpu tala. Mintalah pasien memberitahukan, apabila ia mulai tidak merasakan getaran garpu
tala lagi. Bila getaran sudah mulai tidak dirasakan pasien, pindahkanlah garpu tala ke
pergelangan tangan, dapat juga ke sternum, ke klavikula, atau dibandingkan dengan jari-jari kaki pemeriksa. Dengan demikian, kita dapat memeriksa adanya rasa getar, dan sampai berapa lemah masih dapat dirasakan, dengan cara
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 50
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pemeriksaan Rasa Tekan Dalam
Rasa tekan dalam diperiksa dengan cara menekan kulit dengan jari atau dengan benda tumpul. Penekanan tidak boleh terlalu kuat karena dapat menimbulkan nyeri. Pada keadaan normal akan terasa adanya rasa tekan yang dinamakan piesthesia. Kata baresthesia digunakan untuk menyatakan rasa tekan, atau rasa berat. Cara melakukan pemeriksaan rasa tekan dalam : Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Tekanlah kulit pasien dengan jari, atau benda tumpul. Mintalah pasien memberitahukan apakah dia merasakan tekanan tersebut, dan
mintalah pasien untuk menentukan lokasinya. Pemeriksaan Rasa Nyeri Dalam
Rasa nyeri dalam, diperiksa dengan jalan menekan otot atau tendon, atau menekan serbut saraf yang terletak dekat dengan permukaan, dan bisa juga dengan menekan testis, atau bola mata. Mintalah pasien memberitahukan, apakah ia merasakan tekanan yang dilakukan.
Pemeriksaan Sensibilitas Interoseptif
Rasa interoseptif ialah perasaan dari visera (organ dalam tubuh), yaitu rasa yang timbul dari organ-organ internal.Seseorang pasien mungkin mengatakan gangguan perasaan berupa rasa nyeri, mules atau kembung. Misalnya, usus mules, peut kembung, kandung kencing serasa penuh. Nyeri viseral ini biasanya difus, tidak tegas lokasinya. Pada pemeriksaan neurologis rasa interoseptif ini sukar dievaluasi dan sukar diperiksa. Selain lokalisasinya yang difus, kita tidak dapat melakukan tes pada organ yang letaknya didalam tubuh.
membandingkan dengan bagian lain dari tubuh, atau dengan rasa getar pemeriksa. Gambar 3. Pemer iksaan Rasa Suhu Gambar 4. Pemeriksaan Rasa Getar
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 51
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Pemeriksaan Sensibilitas Diskriminasi
Pada pemeriksaan rasa diskriminasi ini di tes kemampuan untuk mengetahui apakah kita ditusuk dengan dua jarum atau satu jarum pada waktu bersamaan. Untuk maksud ini dapat digunakan jangka webber atau dua buah jarum, jarum peniti. Bagian-bagian dari badan kita tusuk pada waktu bersamaan dengan dua jarum. Pasien harus mampu mengetahui apakah dia ditusuk dengan satu atau dua jarum.
Pada pemeriksaan ini bandingkan bagian badan yang simetris. Bila seorang pasien terganggu rasa diskriminasinya, sedangkan rasa rabanya baik, hal ini menunjukkan adanya lesi di lobus parietalis.
Gambar 5. Pemeriksaan Rasa Tekan Dalam Gambar 6. Pemeriksaan Rasa Nyeri D alam
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 52
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara IV. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN
Waktu Aktivitas Keterangan
10 menit
Setiap kelompok kecil didampingi oleh seorang instruktur.
Instruktur Introduksi dan penyampaian pengantar (overview) rancangan kegiatan pelatihan. Pemutaran video singkat pemeriksaan sensorik neurologi.
55 menit
Demonstrasi oleh instruktur, instruktur memperlihatkan cara-cara melakukan pemeriksaan fisik sistem sensorik, dan cara-cara melakukan pemeriksaan fisik sistem sensorik. Mahasiswa melakukan latihan cara melakukan pemeriksaan fisik sistem sensorik. Mahasiswa melakukan latihan role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur (coaching).
Instruktur dan Mahasiswa
20 menit Mahasiswa melakukan latihan mandiri diawasi oleh instruktur. Mahasiswa
15 menit
Instruktur memberikan masukan (feedback) kepada mahasiswa.
Instruktur Instruktur dapat memberikan tugas mandiri, bila perlu, atau menutup acara pelatihan.
V. PEDOMAN INSTRUKTUR
3.1. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mahasiswa : 1. Dapat mengetahui cara melakukan pemeriksaan fisik sistem sensorik (C1). 2. Mahasiswa mengetahui dan mampu melakukan pemeriksaan fisik sistem
sensorik yang meliputi pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif, dan sensibilitas proprioseptif.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 53
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara 3.2 PELAKSANAAN
1. Latihan dan diskusi tiap kelompok dipimpin oleh seorang instruktur yang telah ditetapkan oleh Bagian SDM MEU FK-UISU
2. Cara dan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan : Waktu Aktivitas Keterangan
10 menit Pembukaan
Perkenalan
Instruktur Pengantar Pelatihan
Pemutaran Video
15 menit
Latihan
Demonstrasi
Instruktur dan Mahasiswa
40 menit Coaching
20 menit Latihan Mandiri
15 menit Penutupan
Feed Back
Instruktur Tugas Mandiri
Penutup
3. Waktu pelaksanaan :
Setiap kegiatan latihan dilaksanakan selama 2 x 50 menit (100 menit).
4. Tempat pelaksanaan kegiatan : Di ruangan Skills Lab. (Lantai 3) Alat dan
Bahan yang diperlukan : Meja dan kursi minimal 1 set Kursi ( 8 buah ).
Pasien simulasi.
Laptop.
Palu refleks.
5. Materi Kegiatan / Latihan :
Pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif (4).
Pemeriksaan sensibilitas proprioseptif (4).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 54
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara RUJUKAN
1. Susunan Somestesia. In : Mardjono M, Sidharta P, eds. Neurologi Klinis Dasar.
8th edition. Jakarta : PT Dian Rakyat ; 2000. p.70-6.
2. Sistem Sensorik. In : Lumbantobing S.M, ed. Neurologi Klinik : Pemeriksaan
Fisik Dan Mental. 8th edition. Jakarta : Balai Penerbit FK UI ; 2006. p. 115-8.
3. Sensasi. In : Ginsberg L, ed. Lecture Notes Neurologi. 8th edition. Jakarta :
Penerbit Erlangga ; 2008. p. 51-4.
4. Dacre J, Kopelman P. Sistem Saraf. In : Listiawaty, ed. Alih Bahasa : Pendit B.U.
Buku Saku Keterampilan Klinis. 1st edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2005. p.178-84.
5. Duus P. Sistem Sensorik. In : Suwono W.J, ed. Diagnosis Topik Neurologi. 2nd
edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1996. p. 1-8.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 55
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR ( Untuk Latihan )
No. Langkah / Tugas Pengamatan
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM SENSORIK NEUROLOGI Ya Tidak 1. Persiapan Pemeriksaan & Persiapan Pasien a. Persiapan Pemeriksaan
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik sistem sensorik neurologi, pastikanlah keadaan ruangan pemeriksaan tertutup, sehingga dapat menjamin kerahasiaan pasien, serta memiliki penerangan yang baik.
Dokter hendaknya selalu didampingi seorang perawat, yang dapat bertindak sebagai saksi untuk menghindari perlakuan yang tidak benar, ditinjau dari pihak pemeriksa, maupun pasien.
b. Persiapan Pasien
Dokter terlebih dahulu memberitahukan pada pasien, prosedur, maksud dan tujuan pemeriksaan, secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien.
Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien sesuai pemeriksaan yang akan dilakukan (berdiri, duduk, atau berbaring).
Dokter mempersiapkan alat dan bahan pemeriksaan. Dokter menanyakan pada pasien apakah pasien mengalami gangguan sensibilitas, misalnya kesemutan, dan lain-lain.
Mintalah pasien untuk memejamkan matanya, dan mintalah pasien untuk tenang dan bersikap kooperatif selama pemeriksaan dilakukan
Beritahukan pasien cara memberikan respon, terhadap pemeriksaan sensorik yang akan dilakukan.
2. Pemeriksaan Sensibilitas Eksteroseptif a. Pemeriksaan Rasa Raba
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Goreskanlah kapas yang telah dipilin ujungnya, pada bagian-bagian tubuh pasien.
Tanyakanlah kepada pasien, apa yang dirasakannya, pada saat kapas digoreskan pada tubuhnya.
Periksa seluruh tubuh dari pasien, dan bandingkanlah bagian-bagian tubuh yang simetris.
b. Pemeriksaan Rasa Nyeri
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tusukkanlah jarum pada bagian-bagian tubuh pasien. Tusukan hendaknya cukup keras untuk membangkitkan nyeri (namun jangan sampai melukai pasien), sehingga betul-betul dirasakan rasa nyeri, bukan rasa sentuh, atau rasa raba.
Tusukan harus sama kuat. Periksalah seluruh tubuh, dan bandingkanlah bagian-bagian tubuh yang simetris.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 56
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara c. Pemeriksaan Rasa Suhu
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Persiapkanlah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin. Sentuhkanlah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin tadi secara bergantian.
Mintalah pasien untuk mengatakan ”dingin” atau ”panas”, pada saat bagian tubuhnya disentuh oleh tabung reaksi yang berisi air dingin,
atau air panas.
Pemeriksaan dilakukan pada seluruh tubuh, dan dibandingkan bagian-bagian yang simetris.
3. Pemeriksaan Sensibilitas Proprioseptif a. Pemeriksaan Rasa Gerak dan Rasa Sikap
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien mengistirahatkan, atau melemaskan badan dan ektremitasnya.
Peganglah bagian lateral dari salah satu jari pasien, kemudian gerakkan jari tetrsebut secara pasif, dan usahakan tidak menyentuh jari yang lain.
Tanyakan kepada pasien apakah pasien dapat merasakan gerakan tersebut, serta mengetahui arahnya.
b. Pemeriksaan Rasa Getar
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Persiapkan garpu tala 128 Hz, kemudian ketuk hingga garpu tala bergetar, dan berdenging.
Letakkanlah garpu tala tersebut pada ibu jari kaki, atau tulang maleolus pasien.
Tanyakanlah kepada pasien, apakah pasien merasakan getaran garpu tala.
Mintalah pasien untuk memberitahukan kepada pemeriksa, bila getaran mulai tidak dirasakan.
Bila getaran sudah mulai tidak dirasakan pasien, pindahkanlah garpu tala ke pergelangan tangan, dapat juga ke sternum, ke klavikula, atau dibandingkan dengan jari-jari kaki pemeriksa.
c. Pemeriksaan Rasa Tekan Dalam
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tekanlah kulit pasien dengan jari, atau dengan benda tumpul. Mintalah pasien memberitahukan apakah dia merasakan tekanan tersebut, dan mintalah pasien untuk menentukan lokasinya.
d. Pemeriksaan Rasa Nyeri Dalam
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tekanlah otot, tendon, atau bola mata pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 57
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tanyakanlah kepada pasien apakah pasien dapat merasakan tekanan pada tendon, otot, atau bola matanya.
Lakukan penilaian dengan melakukan penekanan otot, tendon, atau bola mata pada sisi tubuh yang lain (simetris).
Tanda Tangan
Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 58
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN PEMERIKSAAN FISIK SISTEM SENSORIK NEUROLOGI
(Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa)
Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN
Pemeriksaan Rasa Raba :
Pemeriksaan Rasa Nyeri :
Pemeriksaan Rasa Suhu :
Pemeriksaan Rasa Gerak :
Pemeriksaan Rasa Getar :
Pemeriksaan Rasa Tekan Dalam :
Pemeriksaan Rasa Nyeri Dalam :
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 59
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR : Untuk Latihan
No Aspek yang Dinilai Nilai
0 1 2
A Memberi penjelasan dan informasi kepada pasien
1 Mempersiapkan perasaaan pasien untuk menghindari rasa takut
dan stress sebelum melakukan pemeriksaan tanda vital.
2 Memberikan penjelasan dengan benar dan jelas tentang tujuan dan manfaat sebelum pemeriksaan tanda vital..
3 Memberi tahu adanya rasa tidak nyaman yang mungkin timbul
selama pemeriksaan tanda vital .
B Pengukuran tekanan darah
1. Menempatkan pasien dalam keadaan duduk / berbaring dengan lengan rileks, sedikit menekuk pada siku dan bebas dari tekanan oleh pakaian
2. Menempatkan tensimeter dan membuka aliran raksa, mengecek saluran pipa, dan meletakkan manometer vertikal ( pada sphygmomanometer merkuri ).
3 Menggunakan stetoskop dengan corong bel terbuka
4 Memasang manset sedemikian rupa sehingga melingkari lengan atas secara rapi dan tidak terlalu ketat (2,5 cm di atas siku) dan sejajar jantung diperiksa dari pakaian
5 Dapat meraba pulsasi arteri brakialis di fossa cubiti sebelah medial.
6 Dengan satu jari meraba pulsasi A.brakialis dan memompa sphygmomanometer dengan cepat sampai 30mmHg di atas hilangnya pulsasi / melaporkan hasilnya
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 60
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara 7 Menurunkan tekanan manset perlahan-lahan sampai pulsasi arteri
teraba kembali / melaporkan hasilnya sebagai tekanan sistolik palpitoir.
8 Mengambil stetoskop dan memasang corong bel pada tempat perabaan pulsasi
9 Memompa kembali manset sampai 30mmHg di atas tekanan
sistolik palpitoir
10 Mendengarkan melalui stetoskop, sambul menurunkan perlahanlahan / 3mmHg/detik dan melaporkan saat mendengar bising
pertama/ sebagai tekanan sistolik
11 Melanjutkan penurunan tekanan manset sampai suara bising yang terakhir sehingga setelah itu tidak terdengar lagi bising / sebagai tekanan diastolic
12 Melaporkan hasil pemeriksaan tekanan darah dalam mmHg
C Pemeriksaan Nadi
1 Meletakkan lengan yang akan diperiksa dalam keadaan rileks
2 Menggunakan jari telunjuk dan jari tengah untuk meraba arteriradialis.
3 Menghitung frekuensi denyut nadi minimal 15 detik
4 Melaporkan hasil frekuensi dan vitalnya / menit
D Pemeriksaan suhu Badan
1 Kibaskan termometer sampai permukaan air raksa menunjuk di
bawah 35,5˚C
2 Tempatkan ujung termometer yang berisi air raksa pada apex
fossa axillaris kiri dengan sendi bahu adduksi maksimal
3 Tunggu sampai 3-5 menit, kemudian dilakukan pembacaan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 61
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
E Pemeriksaan Frekuensi Napas
1 Meminta pasien melepas baju ( duduk atau berbaring)
2 Melakukan inspeksi atau palpasi dengan kedua tangan pada punggung / dada untuk menghitung gerakan pernapasan selama minimal 15 detik
3 Melaporkan hasil frekuensi nafas per menit
4 Menerangkan kesimpulan hasil pemeriksaan kepada pasien
5 Memberitahukan tindak lanjut kepada pasien
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 62
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
KETERAMPILAN KLINIK KETIGA
PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL
Pemeriksaan saraf kranialis untuk menilai adanya parese dan paralisis inti dan jaras saraf kranialis I-XII. Penilaian ini penting dilakukan untuk menilai letak lesi pada tingkat susunan saraf pusat seperti pada kasus trauma kapitis, stroke, Bell’s Palsy, dan gangguan neurologis lainnya. Prosedur Pemeriksaan Saraf Kranialis
1. Nervus Olfactorius (N. I) Fungsi Pembauan Pastikan pasien tidak sedang mengalami rhinitis, edema konka, epistaksis,
atropi konka (ozaena), dan gangguan pengaliran udara karena dapat menurunkan kualitas penciuman. Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di
hadapan pasien.
Meminta pasien menutup kedua matanya dan fokus terhadap indera penciumannya.
Mendekatkan bahan-bahan dengan bau yang khas aromatik dan sudah dikenal pasien dikenal (kopi, teh, tembakau, parfum, vanilli) ke lubang hidung pasien dan mintalah untuk menghirupnya. Tidak boleh menggunakan bahan yang dapat merangsang mukosa hidung
(alkohol, amoniak, bensin) karen dapat merangsang Nervus Trigeminus (N. V) Mintalah pasien untuk mengidentifikasi bahan tersebut serta bandingkan
kualitas penciuman antara hidung bagian kanan dan kiri. Pada orang tua fungsi pembauan dapat menurun (hiposmia).
Gambar 1. Pemeriksaan Fungsi Pembauan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 63
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
2. Nervus Opticus (N. II) Pemeriksaan ini meliputi ketajaman visual, uji lapangan pandang, dan
refleks cahaya akan dibahas pada Modul penglihatan. Nervus Occulomotorius (N. III), Nervus Trochlearis (N. IV), dan Nervus
3. Abducens (N. VI)
Pemeriksaan ini meliputi gerakan bola mata akan dibahas pada Modul penglihatan
4. Nervus Trigeminus (N. V) a. Fungsi Sensibilitas Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di
hadapan pasien. Meminta pasien menutup kedua matanya dan fokus terhadap sentuhan kulit
pada bagian wajah.
Usaplah dengan pilinan kapas pada kelopak mata kanan atas dan bawah (serabut aferen N. V1 Dekstra cabang keluar dari foramen supraorbitalis dekstra), regio maksila kanan (serabut aferen N. V2 Dekstra cabang keluar dari foramen infraorbitalis dekstra), dan regio mandibula kanan (serabut aferen N. V3 Dekstra cabang keluar dari foramen mentale dekstra) serta tanyakan sentuhan yang dirasakan.
Lakukan hal yang sama pada kelopak mata kiri atas dan bawah, regio maksila kiri, dan regio mandibula kiri, lalu tanyakan perbendaan intensitas sentuhan yang dirasakan antara sisi kanan dan kiri.
b. Fungsi Motorik
Mintalah pasien untuk mengunyah atau menggigit spatula kayu, sementara itu pemeriksa mempalpasi otot temporalis dan masseter.
Catat apakah terdapat parese atau kelemahan kontraksi otot temporalis dan masseter.
Gambar 2. Pemeriksaan Sensibilitas N. V3
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 64
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
c. Pemeriksaan refleks kornea akan dibahas pada Modul penglihatan.
5. Nervus Facialis (N. VII) a. Fungsi Sensasi Rasa Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di hadapan
pasien. Meminta pasien menutup kedua matanya dan fokus terhadap indera perasa (lidah). Dengan menggunakan cotton bud yang dibasahi cairan dengan rasa manis (larutan
gula), pahit (larutan kinine atau kopi), asin (larutan garam), asam (larutan cuka) usapkan pada 2/3 bagian anterior lidah secara bergantian sisi kiri dan kanan, dimulai dari sisi normal.
Mintalah pasien untuk mengidentifikasi rasa dari cotton bud yang diusapkan pada lidah.
Mintalah pasien berkumur setiap kali hendak menguji dengan rasa yang berbeda.
b. Fungsi Otonom Apakah produksi air mata (lakrimasi) berkurang (dry eyes) Apakah produksi saliva berkurang
c. Fungsi Motorik Dalam posisi diam, observasi terlebih dahulu wajah, apakah muka (sulkus nasolabialis) asimetris dan gerakan kontraksi abnormal seperti tic facialis,
rhesus sardonicus, tremor, dan grimacing). Mintalah pasien untuk mengangkat alis (apakah ada kesulitan mengangkat alis). Mintalah pasien untuk menutup mata sementara pemeriksa berusaha membukanya
(apakah kemampuan menutup mata berkurang atu hilang). Mintalah pasien untuk tersenyum, bersiul, mencucu, dan memperlihatkan gigi
(apakah terlihat deviasi sudut mulut). Mintalah pasien untuk mengerutkan dahi (apakah kerutan dahi tidak terlihat). Mintalah pasien untuk meniup dengan menggembungkan pipi (apakah terdapat
kebocoran udara yang ditiupkan pada salah satu sisi dan bandingkan kekuatan udara dari masing-masing pipi).
Gambar 3. Pemeriksaan Motorik N. V, Pemeriksa Mempalpasi Otot Masseter
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 65
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 4. Pemeriksaan N. VII, Observasi Otot-Otot Wajah
Gambar 5. Pemeriksaan Fungsi Motorik N. VII, Pasien Memperlihatkan Gigi, Mengangkat Alis, dan Mengerutkan Dahi.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 66
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 6. Pemeriksaan Fungsi Motorik N. VII, Pasien Diminta Meniup Pipi
6. Nervus Acusticus/Vestibulocochlearis (N. VIII) a. Fungsi Pendengaran (Cochlear)
Pasien dalam posisi duduk di atas sebelah kanan pasien. kursi periksa dan pemeriksa berada di
Mintalah pasien menutup telinga kiri dengan tangan kiri pasien, dekatkan arloji jam tangan atau suara gesekan jari pemeriksa pada telinga kanan pasien, kemudian dijauhkan sedikit demi sedikit sampai pasien tidak mendengar sumber suara tersebut..
Lakukan hal yang sama pada telinga kiri pasien, bandingkan dan catat tingkat kualitas pendengaran pasien.
Gambar 7. Pemeriksaan N. VIII, Pasien Mendengarkan Suara Gesekan Jari
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 67
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
b. Fungsi Keseimbangan (Vestibulator) Pasien dalam posisi berdiri tegak dan pemeriksa berada di depan pasien. Mintalah pasien untuk menutup mata dan berjalan lurus ke depan. Perhatikan apakah pasien tidak dapat berjalan lurus atau kehilangan
keseimbangan.
7. Nervus Glossopharhygeus (N. IX) dan Nervus Vagus (N. X) a. Uji Gerakan Palatum Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada dihadapan
pasien. Mintalah pasien membuka mulut dan mengucapkan huruf ’a’ panjang. Pemeriksa memperhatikan apakah terdapat deviasi uvula dan arcus pharyngeus
serta kegagalan mengangkat uvula.
Gambar 8. Pemeriksaan N. IX-X, Melihat Deviasi Uvula dan Arcus Pharyngeus
b. Refleks Muntah dan Uji Sensorik Mintalah pasien membuka mulutnya, dengan menggunakan spatula sentuhlah
dinding faring sisi kanan dan kiri. Perhatikan gerakan memuntah pada sentuhan dinding paring sisi kanan dan kiri. Tanyakan apakah terdapat rasa baal pada faring yang disentuh.
c. Kecepatan Menelan dan Batuk Mintalah pasien untuk membuat gerakan menelan dan tanyakan apakah ada
kesulitan untuk melakukan gerakan tersebut.
Mintalah perhatikan kekuatan batuk pasien.pasien utntuk melakukan gerakan batuk sekuat-kuatnya dan
8. Nervus Accessorius (N. XI) a. Uji Otot Sternocleidomastoideus
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Mintalah pasien untuk menoleh ke kanan (fleksi lateral dekstra kepala dan leher) sambil melawan tahanan yang diberikan pemeriksa (menahan pipi sisi lateral kanan wajah pasien).
Perhatikan kontraksi otot sternokleidomastoideus, lakukan palpasi, apakah ada atropi dan lakukan hal yang sama pada sisi kiri.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 68
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
b. Uji Otot Trapezius Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berdiri di belakang
pasien atau berhadapan dengan pasien. Mintalah pasien untuk mengangkat kedua
bahu dan pemeriksa memberi tahanan (mendorong kedua bahu ke bawah).
Catat apakah terdapat penurunan kekuatan otot.
Gambar 11. Pemeriksaan N. XI, Uji Motorik Otot Trapezius
Gambar 10. Pemeriksaan N. XI, Uji Motorik Otot Stern okleidomastoideus
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 69
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
9. Nervus Hypoglosus (N. XII) Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada
dihadapan pasien. Mintalah pasien untuk membuka mulut dan perhatikan apakah posisi lidah
simetris atau asimetris (deviasi). Mintalah pasien untuk mengeluarkan lidah dan memasukkannya kembali
dengan cepat, perhatikan kembali apakah posisi lidah simetris atau asimetris (deviasi).
Mintalah pasien untuk menjulurkan lidahnya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri apakah dapat menggerakkan lidah ke samping kanan dan kiri.
Mintalah pasien untuk menjulurkan lidahnya kembali dan perhatikan adanya tremor dan atropi papil lidah.
Mintalah pasien untuk berbicara, pemeriksa memperhatikan gerakan lidah apakah terjadi kesulitan artikulasi dan dengarkan apakah terdapat suara pelo atau dysarthria.
Gambar 12. Pemeriksaan N. XII, Pasien Diminta menjulurkan Lidah
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 70
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS Ya Tidak
A. Persiapan
Mempersilahkan pasien masuk dan mengucapkan salam, sambil mengobservasi sikap, cara berjalan, mimik, serta penampilan umum pasien.
Memanggil atau menyapa pasien, dengan panggilan yang sopan, dan bila nama pasien telah diketahui, sapalah pasien dengan namanya.
Mempersilahkan pasien untuk duduk, menciptakan suasana nyaman, dan menghindari suasana seperti sedang introgasi.
Memperkenalkan diri, dan menjelaskan tugas, atau perannya dengan tutur bahasa yang baik dan sopan serta tampak empati.
Menanyakan identitas pribadi pasien dengan bahasa (Indonesia) yang benar, dan sopan, yang terdiri dari: nama, umur, alamat, suku, agama, status perkawinan, dan pekerjaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, terlebih dahulu melakukan penggalian anamnesis secara sistematik dan terarah, serta menuliskannya ke dalam status pasien
Menjelaskan maksud dan tujuan dilakukannya pemeriksaan saraf kranialis serta meminta persetujuan pasien (informed consent), apabila pasien setuju mintalah pasien menuju ruang periksa.
Mintalah perawat untuk membantu dokter selama pemeriksaan berlangsung guna menghindari perlakuan yang tidak diinginkan.
Pemeriksa mencuci tangan dengan teknik simple hands washing (menurut WHO) di bawah air mengalir dan mengeringkannya dengan handuk kering.
B. Prosedur Pemeriksaan Saraf Kranialis 1. Nervus Olfactorius (N. I)
Fungsi Pembauan Pastikan pasien tidak sedang mengalami rhinitis, edema konka, epistaksis, atropi konka (ozaena), dan gangguan pengaliran udara karena dapat menurunkan kualitas penciuman.
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Meminta pasien menutup kedua matanya dan fokus terhadap indera penciumannya.
Mendekatkan bahan-bahan dengan bau yang khas aromatik dan sudah dikenal pasien dikenal (kopi, teh, tembakau, parfum, vanilli) ke lubang hidung pasien dan mintalah untuk menghirupnya.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 71
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tidak boleh menggunakan bahan yang dapat merangsang mukosa hidung (alkohol, amoniak, bensin) karen dapat merangsang Nervus Trigeminus (N. V)
Mintalah pasien untuk mengidentifikasi bahan tersebut serta bandingkan kualitas penciuman antara hidung bagian kanan dan kiri. Pada orang tua fungsi pembauan dapat menurun (hiposmia).
2. Nervus Opticus (N. II)
Pemeriksaan ini meliputi ketajaman visual, uji lapangan pandang, dan refleks cahaya akan dibahas pada Blok Special Sense I.
3. Nervus Occulomotorius (N. III), Nervus Trochlearis (N. IV), dan Nervus Abducens (N. VI)
Pemeriksaan ini meliputi gerakan bola mata akan dibahas pada Blok Special Sense I.
4. Nervus Trigeminus (N. V) a. Fungsi Sensibilitas
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Meminta pasien menutup kedua matanya dan fokus terhadap sentuhan kulit pada bagian wajah.
Usaplah dengan pilinan kapas pada kelopak mata kanan atas dan bawah (serabut aferen N. V1 Dekstra cabang keluar dari foramen supraorbitalis dekstra), regio maksila kanan (serabut aferen N. V2 Dekstra cabang keluar dari foramen infraorbitalis dekstra), dan regio mandibula kanan (serabut aferen N. V3 Dekstra cabang keluar dari foramen mentale dekstra) serta tanyakan sentuhan yang dirasakan.
Lakukan hal yang sama pada kelopak mata kiri atas dan bawah, regio maksila kiri, dan regio mandibula kiri, lalu tanyakan perbendaan intensitas sentuhan yang dirasakan antara sisi kanan dan kiri.
b. Fungsi Motorik
Mintalah pasien untuk mengunyah atau menggigit spatula kayu, sementara itu pemeriksa mempalpasi otot temporalis dan masseter.
Catat apakah terdapat parese atau kelemahan kontraksi otot temporalis dan masseter.
c. Pemeriksaan refleks kornea akan dibahas pada Blok Special Sense I.
5. Nervus Facialis (N. VII) a. Fungsi Sensasi Rasa
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Dalam posisi diam, observasi terlebih dahulu wajah, apakah muka (sulkus nasolabialis) asimetris dan gerakan kontraksi abnormal seperti tic facialis, rhesus sardonicus, tremor, dan grimacing)
Meminta pasien menutup kedua matanya dan fokus terhadap indera perasa (lidah).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 72
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Dengan menggunakan cotton bud yang dibasahi cairan dengan rasa manis (larutan gula), pahit (larutan kinine atau kopi), asin (larutan garam), asam (larutan cuka) usapkan pada 2/3 bagian anterior lidah secara bergantian sisi kiri dan kanan, dimulai dari sisi normal.
Mintalah pasien untuk mengidentifikasi rasa dari cotton bud yang diusapkan pada lidah.
Mintalah pasien berkumur setiap kali hendak menguji dengan rasa yang berbeda.
b. Fungsi Otonom
Apakah produksi air mata (lakrimasi) berkurang (dry eyes). Apakah produksi saliva berkurang.
c. Fungsi Motorik
Mintalah pasien untuk mengangkat alis (apakah ada kesulitan mengangkat alis).
Mintalah pasien untuk menutup mata sementara pemeriksa berusaha membukanya (apakah kemampuan menutup mata berkurang atu
hilang).
Mintalah pasien untuk tersenyum, bersiul, mencucu, dan memperlihatkan gigi (apakah terlihat deviasi sudut mulut).
Mintalah pasien untuk mengerutkan dahi (apakah kerutan dahi tidak terlihat).
Mintalah pasien untuk meniup dengan menggembungkan pipi (apakah terdapat kebocoran udara yang ditiupkan pada salah satu sisi dan bandingkan kekuatan udara dari masing-masing pipi).
6. Nervus Acusticus/Vestibulocochlearis (N. VIII) a. Fungsi Pendengaran (Cochlear)
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di sebelah kanan pasien.
Mintalah pasien menutup telinga kiri dengan tangan kiri pasien, dekatkan arloji jam tangan atau suara gesekan jari pemeriksa pada telinga kanan pasien, kemudian dijauhkan sedikit demi sedikit sampai pasien tidak mendengar sumber suara tersebut..
Lakukan hal yang sama pada telinga kiri pasien, bandingkan dan catat tingkat kualitas pendengaran pasien.
b. Fungsi Keseimbangan (Vestibulator)
Pasien dalam posisi berdiri tegak dan pemeriksa berada di depan pasien.
Mintalah pasien untuk menutup mata dan berjalan lurus ke depan. Perhatikan apakah pasien tidak dapat berjalan lurus atau kehilangan keseimbangan.
7. Nervus Glossopharhygeus (N. IX) dan Nervus Vagus (N. X) a. Uji Gerakan Palatum
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada dihadapan pasien.
Mintalah pasien membuka mulut dan mengucapkan huruf ’a’ panjang.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 73
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pemeriksa memperhatikan apakah terdapat deviasi uvula dan arcus pharyngeus serta kegagalan mengangkat uvula.
b. Refleks Muntah dan Uji Sensorik
Mintalah pasien membuka mulutnya, dengan menggunakan spatula sentuhlah dinding faring sisi kanan dan kiri.
Perhatikan gerakan memuntah pada sentuhan dinding paring sisi kanan dan kiri.
Tanyakan apakah terdapat rasa baal pada faring yang disentuh. c. Kecepatan Menelan dan Batuk
Mintalah pasien untuk membuat gerakan menelan dan tanyakan apakah ada kesulitan untuk melakukan gerakan tersebut.
Mintalah pasien utntuk melakukan gerakan batuk sekuat-kuatnya dan perhatikan kekuatan batuk pasien.
8. Nervus Accessorius (N. XI) a. Uji Otot Sternocleidomastoideus
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Mintalah pasien untuk menoleh ke kanan (fleksi lateral dekstra kepala dan leher) sambil melawan tahanan yang diberikan pemeriksa (menahan pipi sisi lateral kanan wajah pasien).
Perhatikan kontraksi otot sternokleidomastoideus, lakukan palpasi, apakah ada atropi dan lakukan hal yang sama pada sisi kiri.
b. Uji Otot Trapezius
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berdiri di belakang pasien atau berhadapan dengan pasien.
Mintalah pasien untuk mengangkat kedua bahu dan pemeriksa memberi tahanan (mendorong kedua bahu ke bawah).
Catat apakah terdapat penurunan kekuatan otot. 9. Nervus Hypoglosus (N. XII)
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada dihadapan pasien.
Mintalah pasien untuk membuka mulut dan perhatikan apakah posisi lidah simetris atau asimetris (deviasi).
Mintalah pasien untuk mengeluarkan lidah dan memasukkannya kembali dengan cepat, perhatikan kembali apakah posisi lidah simetris atau asimetris (deviasi).
Mintalah pasien untuk menjulurkan lidahnya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri apakah dapat menggerakkan lidah ke samping kanan dan kiri.
Mintalah pasien untuk menjulurkan lidahnya kembali dan perhatikan adanya tremor dan atropi papil lidah.
Mintalah pasien untuk berbicara, pemeriksa memperhatikan gerakan lidah apakah terjadi kesulitan artikulasi dan dengarkan apakah terdapat suara pelo atau dysarthria.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 74
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, pemeriksa kembali mencuci tangan dengan teknik simple hands washing dan mengeringkannya dengan handuk kering.
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 75
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS (Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa)
Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN
1. Nervus Olfactorius (N. I) : 2. Nervus Opticus (N. II)
: tidak dilakukan pemeriksaan
3. Nervus Occulomotorius (N. III)
: tidak dilakukan pemeriksaan
4. Nervus Trochlearis (N. IV)
: tidak dilakukan pemeriksaan
5. Nervus Trigeminus (N. V)
:
6. Nervus Abducens (N. VI)
: tidak dilakukan pemeriksaan
7. Nervus Facialis (N. VII)
:
8. Nervus Acusticus (N. VIII)
:
9. Nervus Glossopharyngeus (N. IX)
:
10. Nervus Vagus (N. X)
:
11. Nervus Accessorius (N. XI)
:
12. Nervus Hypoglossus (N. XII) :
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 76
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik keempat
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS I.1 PENDAHULUAN Kata refleks secara sederhana berarti jawaban atas rangsangan. Istilah reflex pertama sekali diungkapkan oleh Rene Descarte pada tahun 1662. Beliau menerangkan refleks memejamkan mata (refleks ancam) akibat respon terhadap sesuatu gerakan yang mengacam ke mata. Jalur saraf yang dapat menimbulkan refleks ini disebut lengkung refleks (reflex arc). Lengkung refleks ini terdiri dari reseptor (panca indera), serat saraf aferen, interneuron, serat saraf eferen, dan efektor (organ). Interneuron ini berupa susunan saraf pusat terutama pada system piramidalis. Apabila lengkung refleks rusak
3
1 1. Reseptor 2. Saraf Aferen 3. Ganglion Spinal 4. interneuron 5. Saraf Eferen 6. Efektor 4 2 Refleks terdiri dari dua jenis yaitu: refleks superfisial dan refleks dalam. Refleks
superfisial timbul akibat stimulus pada mukosa atau kulit yang mengakibatkan
kontraksi otot yang ada dibawahnya atau disekitarnya. Contoh refleks superfisial ini
ialah refleks kornea, refleks dinding perut superfisial, refleks kremaster, 5 6 refleks anus superfisial, refleks plantar, dan refleks gluteal. Sedangkan refleks dalam timbul akibat teregangnya otot oleh stimulus yang diberikan yang mengakibatkan kontraksi otot yang ada dibawahnya atau sekitarnya. Regangan ini diterima oleh reseptor propioseptik. Banyak istilah lain dari refleks dalam, antara lain: refleks regang otot, refleks tendon, refleks periostal, dan refleks miotatik. Contoh refleks ini ialah refleks kuadrisep femoralis, glabela, rahang bawah, biseps brachii, triseps brachii, brachioradialis, ulna, otot dinding perut, fleksor jari-jari, dan tendon archilles (triseps sure). Sebenarnya banyak refleks dalam yang dapat dibangkitkan. Setiap otot yang
maka refleks tidak akan terjadi atau refleks meninggi.
Gambar 1. Lengkung Refleks Sederhana
1
2
3
4
5
6
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 77
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara diketuk pada insersionya akan berkontaksi menimbulkan refleks. Pemeriksaan refleks ini sangat penting untuk menilai adanya lesi pada traktus piramidalis. Penilaian refleks ini sangatlah objektif karena tidak membutuhkan kooperatif dari pasien. Sehingga pemeriksaan refleks ini dapat dilakukan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, bayi, anak, intelegensia rendah, dan gangguan cemas. I.2 CARA MEMBANGKITKAN REFLEKS FISIOLOGIS I.2.1 Refleks Superfisial I.2.1.1 Refleks Kornea
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien melirik ke arah berlawanan dengan arah datangnya stimulus. Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujungnya dipilin hingga
runcing. Interpretasi: Refleks Kornea dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan menutup
mata dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut. Refleks kornea menghilang atau berkurang menandakan gangguan nervus
Trigeminus sensorik cabang optalmik (nervus kranialis V1) ataupun gangguan nervus Fasialis (nervus kranialis VII).
I.2.1.2 Refleks Dinding Perut Superfisial Posisikan pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan pemeriksa berada di sisi
kanan pasien. Gores dinding perut dengan ujung gagang reflex hammer (benda yang agak
runcing) pada region epigastrium, supraumbilikal, umbilical, dan intraumbilikal dari lateral ke medial.
Interpretasi: Refleks Dinding Perut Superfisial dikatakan positif (+) jika tampak umbilicus bergerak ke arah otot yang berkontraksi (muskulus rektus abdominis dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
I.2.1.3 Refleks Kremaster
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan paha sedikit abduksi, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Permukaan medial paha digores dengan ujung gagang reflex hammer (benda yang agak runcing) dari proksimal ke distal.
Interpretasi: Refleks Kremaster dikatakan positif (+) jika tampak elevasi testis ipsilateral akibat kontraksi muskulus kremaster dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
I.2.1.4 Refleks Gluteal
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring pronasi (telungkup) dan paha sedikit abduksi, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan ujung gagang reflex hammer (benda yang agak runcing) pada regio gluteal.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 78
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Interpretasi: Refleks Gluteal dikatakan positif (+) jika tampak gerakan kontraksi muskulus glutealis ipsilateral dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan.
I.2.1.5 Refleks Anus Superfisial Pasien dalam posisi litotomi, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan ujung gagang reflex hammer
(benda yang agak runcing) pada region perianal (sekitar anus). Interpretasi: Refleks Anus Superfisial dikatakan positif (+) jika tampak gerakan
kontraksi muskulus spincter ani eksternus dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
I.2.1.6 Refleks Plantar (Telapak Kaki) Posisikan pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan
merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Pada pada telapak kaki yang akan diperiksa, lakukan goresan secara perlahan dengan menggunakan gagang runcing reflex hammer mulai dari daerah tumit menuju ke bagian pangkal jari tengah kaki.
Goresan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Interpretasi: Refleks Plantar dikatakan (+) jika terjadi gerakan plantarfleksi jari-jari kaki ipsilatera dan dikatakan (-) jika terjadi gerakan tersebut.
I.2.2 Refleks Dalam I.2.2.1 Refleks Glabella
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di hadapan pasien. Mintalah pasien melirik ke arah depan. Ketuk dengan menggunakan jari tengah kanan pemeriksa pada regio glabella atau
sekitar regio antara kedua supraorbitalis. Interpretasi: Refleks Glabella dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan kontraksi
singkat kedua muskulus orbikularis okuli dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Refleks glabella menghilang atau berkurang menandakan gangguan nervus fasialis dan meningkat pada sindroma parkinson.
Pusat refleks ini terletak di pons.
I.2.2.2 Refleks Rahang Bawah (Jaw Reflex) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di hadapan pasien. Mintalah pasien sedikit membuka mulut dan jari telunjuk kiri pemeriksa
melintang di dagu. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada jari telunjuk kiri pemeriksa. Interpretasi: Refleks Rahang Bawah dikatakan positif (+) jika tampak mulut
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 79
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
merapat akibat kontraksi muskulus maseter dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Pusat refleks ini terletak di pons. I.2.2.3 Refleks Biseps
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan pronasi rileks di atas paha, kemudian ibu jari kiri pemeriksa menekan tendon biseps di fossa cubitti.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada ibu jari kiri pemeriksa. Interpretasi: Refleks Biseps dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi
lengan bawah dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut. Pusat refleks ini terletak di C5-C6.
I.2.2.4 Refleks Triseps
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan pronasi rileks di atas paha. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada tendon triseps dari belakang
sekitar 5 cm diatas siku. Interpretasi: Refleks Triseps dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan ekstensi
lengan bawah dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut. Lengkung refleks ini melalui nervus radialis dan berpusat di C6-C8.
I.2.2.5 Refleks Brakhioradialis (Refleks Radialis)
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah lengan bawah pasien semifleksi pada posisi diantara pronasi dan supinasi rileks di atas paha.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada prosesus stiloideus ossis radius. Interpretasi: Refleks Brakhioradialis dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan
fleksi dan supinasi lengan bawah dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lengkung refleks ini melalui nervus radialis dan berpusat di C5-C6. I.2.2.6 Refleks Ulna
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan semipronasi rileks di atas paha. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada prosesus stiloideus ossis ulnae. Interpretasi: Refleks Ulna dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan pronasi
lengan bawah, kadang juga gerakan adduksi pada pergelangan tangan dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 80
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Lengkung refleks ini melalui nervus medianus dan berpusat di C5-T1. I.2.2.7 Refleks Fleksor Jari-Jari Tangan
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah tangan pasien diletakkan pada dasar yang agak keras pada posisi supinasi dan jari-jari tangan sedikit difleksikan, kemudian jari telunjuk kiri pemeriksa diletakkan menyilang pada permukaan volar jari-jari.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada jari telunjuk kiri pemeriksa. Interpretasi: Refleks Fleksor Jari-Jari Tangan dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan fleksi ringan jari-jari tangan dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Pada lesi piramidalis, refleks ini (+) meningkat dan asimetris antara jari-jari tangan kanan dan kiri.
Lengkung refleks ini melalui nervus medianus dan nervus ulnaris dan berpusat di C6-T6.
I.2.2.8 Refleks Triseps Sure (Archilles Pees Reflex/APR) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dimana tungkai sedikit difleksikan pada
sendi panggul dan sendi lutut, serta tungkai bawah tergantung dengan rileks, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pegang ujung kaki pasien dengan menggunakan tangan kiri pemeriksa untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki.
Alihkan perhatian pasien dengan menyuruh menarik pada kedua tangannya yang tercekam bersilangan.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada tendon archilles. Interpretasi: Refleks Triseps Sure dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan
plantarfleksi pada kaki akibat kontraksi muskulus Triseps Sure dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut. Lengkung refleks ini melalui S1-S2.
I.2.2.9 Refleks Patella (Knee Pees Reflex/KPR) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dimana tungkai sedikit difleksikan
pada sendi panggul dan sendi lutut, serta tungkai bawah tergantung dengan rileks, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Jika pasien tidak dapat duduk dapat dilakukan dalam keadaan berbaring supinasi dengan tungkai bawah semifleksi dan lengan bawah kiri pemeriksa menyilang dibawah sendi lutut pasien agar tungkai rileks.
Alihkan perhatian pasien dengan menyuruh menarik pada kedua tangannya yang tercekam bersilangan.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada tendon patella. Interpretasi: Refleks Patella dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan ekstensi
tungkai bawah akibat kontraksi muskulus kuadriseps femoris dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 81
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Lengkung refleks ini melalui L2-L4.
I.2.2.10 Refleks Dinding Perut Dalam Posisikan pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan pemeriksa berada di
sisi kanan pasien. Tempatkan jari telunjuk kiri pemeriksa sedikit menekan dinding perut. Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada jari telunjuk kiri pemeriksa
dan lakukan pada regio yang berbeda (epigastrium, supraumbilikal, umbilical, dan intraumbilikal).
Interpretasi: Refleks Dinding Perut Dalam dikatakan positif (+) jika tampak umbilikus bergerak ke arah otot yang berkontraksi (muskulus rektus abdominis) dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut. Pada orang penggeli refleks ini bisa meningkat. Namun, bila disertai disertai refleks dinding perut superfisial bernilai (-) akan menandakan adanya lesi piramidalis pada tempat yang lebih atas C6.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 82
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Lampiran Gambar Pemeriksaan Refleks Fisiologis Gambar 2. Berbagai Jenis Palu Refleks Gambar 3. Pemeriksaan Refleks Otot Biseps Gambar 4. Pemeriksaan Re fleks Otot Triseps Gambar 5. Pemeriksaan Refleks Brakhioradialis Gambar 6. Pemeriksaan Refleks Patella (KPR) Gambar 7. Pemeriksaan Refleks Triseps Sure
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 83
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara II. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN
Waktu Aktivitas Keterangan
15 menit
Tiap kelompok kecil didampingi oleh seorang instruktur
Instruktur Introduksi dan penyampaian pengantar (overview) rancangan kegiatan pelatihan
45 menit
Demonstrasi oleh Instruktur, Instruktur menjelaskan alat-alat yang dipergunakan, interpretasi, serta mendemonstrasikan cara memeriksa refleks fisiologis kepada mahasiswa. Mahasiswa melakukan latihan role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur (coaching)
Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Mahasiswa melakukan latihan mandiri diawasi oleh instruktur. Mahasiswa
10 menit Instruktur memberikan masukan-masukan (feedback) kepada mahasiswa. Instruktur
III. PEDOMAN INSTRUKTUR 3.2.TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mahasiswa :
1. Memahami pentingnya melakukan pemeriksaan refleks fisiologi
2. Terampil melakukan teknik pemeriksaan refleks fisiologis.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 84
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara 3.3. PELAKSANAAN
1. Latihan dan diskusi tiap kelompok dipimpin oleh seorang instruktur yang telah ditetapkan bagian SDM MEU FK UISU. 2. Cara dan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan :
Waktu Aktivitas Keterangan
15 menit Pembukaan Perkenalan
Instruktur Pengantar (overview)
15 menit
Latihan
Demonstrasi
Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Coaching
30 menit Latihan Mandiri
10 menit Penutupan
Feed Back Instruktur Penutup
3. Waktu pelaksanaan :
Setiap kegiatan latihan dilaksanakan selama 2 x 50 menit (100 menit).
4. Tempat pelaksanaan kegiatan : Di ruangan Skills Lab. (Lantai 3)
5. Alat dan Bahan yang diperlukan :
Meja.
Kursi 8 buah.
Kursi pemeriksaan.
Tempat tidur pemeriksaan.
Refleks Hammer.
6. Materi Kegiatan / Latihan :
Pengenalan alat untuk pemeriksaan refleks fisiologis.
Menjelaskan pentingnya pemeriksaan refleks fisiologis
Melakukan teknik pemeriksaan refleks fisiologis.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 85
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara RUJUKAN
1. Ganong WF. Refleks. Dalam: Widjajahkusumah MD, editor bahasa Indonesia. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Edisi ke20, Jakarta; 2001. Hlm. 122-30.
2. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik--Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit FK UI, Jakarta; 2006. Hlm.146-51.
3. Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan Fisis Umum. Dalam: Setiyohadi B, Sudoyo AW, Alwi I, et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Edisi IV, Jilid I, Jakarta; 2006. Hlm. 36.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 86
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR (1) : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS Ya Tidak
a. Persiapan Pemeriksaan
Pastikan pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang tertutup sehingga dapat menjamin kerahasiaan pasien.
Mintalah seorang perawat untuk mendampingi pemeriksa selama pemeriksaan berlangsung, yang dapat bertindak sebagai saksi untuk menghindari perlakuan yang tidak benar ditinjau dari pihak pemeriksa maupun pasien.
b. Persiapan Pasien
Pemeriksa menyapa dan memberi salam kepada pasien. Pemeriksa mempersilahkan pasien duduk. Pemeriksa terlebih dahulu memberitahukan pada pasien, prosedur, maksud dan tujuan pemeriksaan refleks fisiologis secara lisan dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent).
Pemeriksa mempersiapkan alat dan bahan, berupa kursi pemeriksaan, tempat tidur pemeriksaan, dan reflex hammer.
Mintalah perawat untuk mengatur pakaian pasien, sehingga seluruh bagian tubuh yang akan diperiksa dapat dilihat dan bagian tubuh yang tidak diperiksa harus ditutup dengan kain (doek) bersih.
A REFLEKS SUPERFISIAL 1. Refleks Kornea
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien melirik ke arah berlawanan dengan arah datangnya stimulus.
Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujungnya dipilin hingga runcing.
Interpretasi: Refleks Kornea dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan menutup mata dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Refleks kornea menghilang atau berkurang menandakan gangguan nervus Trigeminus sensorik cabang optalmik (nervus kranialis V1) ataupun gangguan Nervus Fasialis (nervus kranialis VII).
2. Refleks Dinding Perut Superfisial
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Gores dinding perut dengan ujung gagang reflex hammer (benda yang agak runcing) pada regio epigastrium, supraumbilikal, umbilical, dan intraumbilikal dari lateral ke medial.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 87
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Interpretasi: Refleks Dinding Perut Superfisial dikatakan positif (+) jika tampak umbilikus bergerak ke arah otot yang berkontraksi (muskulus rektus abdominis) dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
3. Refleks Kremaster
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan paha sedikit abduksi, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Permukaan medial paha digores dengan ujung gagang reflex hammer (benda yang agak runcing) dari proksimal ke distal.
Interpretasi: Refleks Kremaster dikatakan positif (+) jika tampak elevasi testis ipsilateral akibat kontraksi muskulus kremaster dan
dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
4. Refleks Gluteal
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring pronasi (telungkup) dan paha sedikit abduksi, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan ujung gagang reflex hammer (benda yang agak runcing) pada regio gluteal.
Interpretasi: Refleks Gluteal dikatakan positif (+) jika tampak gerakan kontraksi muskulus glutealis ipsilateral dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
5. Refleks Anus Superfisial
Pasien dalam posisi litotomi, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Lakukan goresan atau tusukan ringan dengan ujung gagang reflex hammer (benda yang agak runcing) pada region perianal (daerah sekitar anus).
Interpretasi: Refleks Anus Superfisial dikatakan positif (+) jika tampak gerakan kontraksi muskulus spincter ani eksternus dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
6. Refleks Plantar
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Pada pada telapak kaki yang akan diperiksa, lakukan goresan secara perlahan dengan menggunakan gagang runcing reflex hammer mulai dari daerah tumit menuju ke bagian pangkal jari tengah kaki.
Goresan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Interpretasi: Refleks Plantar dikatakan (+) jika terjadi gerakan plantarfleksi jari-jari kaki ipsilatera dan dikatakan (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 88
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara B REFLEKS DALAM 1. Refleks Glabella
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Mintalah pasien melirik ke arah depan. Ketuk dengan menggunakan jari tengah kanan pemeriksa pada regio glabella atau sekitar regio antara kedua supraorbitalis.
Interpretasi: Refleks Glabella dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan kontraksi singkat kedua muskulus orbikularis okuli dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Refleks glabella menghilang atau berkurang menandakan gangguan nervus fasialis dan meningkat pada sindroma parkinson.
2. Refleks Rahang Bawah (Jaw Reflex)
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Mintalah pasien sedikit membuka mulut dan jari telunjuk kiri pemeriksa melintang di dagu.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada jari telunjuk kiri pemeriksa.
Interpretasi: Refleks Rahang Bawah dikatakan positif (+) jika tampak mulut merapat akibat kontraksi muskulus maseter dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
3. Refleks Biseps
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan pronasi rileks di atas paha, kemudian ibu jari kiri pemeriksa menekan tendon biseps di fossa cubitti.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada ibu jari kiri pemeriksa.
Interpretasi: Refleks Biseps dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi lengan bawah dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut. Pusat refleks ini terletak di C5-C6.
4. Refleks Triseps
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan pronasi rileks di atas paha.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada tendon triseps dari belakang sekitar 5 cm diatas siku.
Interpretasi: Refleks Triseps dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan ekstensi lengan bawah dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lengkung refleks ini melalui nervus radialis dan berpusat di C6-C8.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 89
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara 5. Refleks Brakhioradialis (Refleks Radialis)
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah lengan bawah pasien semifleksi pada posisi diantara pronasi dan supinasi rileks di atas paha.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada prosesus stiloideus ossis radius.
Interpretasi: Refleks Brakhioradialis dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi dan supinasi lengan bawah dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lengkung refleks ini melalui nervus radialis dan berpusat di C5-C6.
6. Refleks Ulna
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah lengan bawah pasien semifleksi dan semipronasi rileks di atas paha.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada prosesus stiloideus ossis ulnae.
Interpretasi: Refleks Ulna dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan pronasi lengan bawah, kadang juga gerakan adduksi pada pergelangan tangan dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lengkung refleks ini melalui nervus medianus, berpusat di C5-T1. 7. Refleks Fleksor Jari-Jari Tangan
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah tangan pasien diletakkan pada dasar yang agak kers pada posisi upinasi dan jari-jari tangan sedikit difleksikan, kemudian jari telunjuk kiri pemeriksa diletakkan menyilang pada permukaan volar jari-jari.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada jari telunjuk kiri pemeriksa.
Interpretasi: Refleks Fleksor Jari-Jari Tangan dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi ringan jari-jari tangan dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Pada lesi piramidalis, refleks ini (+) meningkat dan asimetris antara jari-jari tangan kanan dan kiri.
Lengkung refleks ini melalui nervus medianus dan nervus ulnaris dan berpusat di C6-T6.
8. Refleks Triseps Sure (Archilles Pees Reflex/APR)
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dimana tungkai sedikit difleksikan pada sendi panggul dan sendi lutut, serta tungkai bawah tergantung dengan rileks, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pegang ujung kaki pasien dengan menggunakan tangan kiri pemeriksa untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 90
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Alihkan perhatian pasien dengan menyuruh menarik pada kedua tangannya yang tercekam bersilangan.
Ketuklah dengan menggunakan reflex hammer pada tendon archilles.
Interpretasi: Refleks Triseps Sure dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan plantarfleksi pada kaki akibat kontraksi muskulus Triseps Sure, dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lengkung refleks ini melalui S1-S2. 9. Refleks Patella (Knee Pees Reflex/KPR)
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dimana tungkai sedikit difleksikan pada sendi panggul dan sendi lutut, serta tungkai bawah tergantung dengan rileks, kemudian pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Jika pasien tidak dapat duduk dapat dilakukan dalam keadaan berbaring supinasi dengan tungkai bawah semifleksi dan lengan bawah kiri pemeriksa menyilang dibawah sendi lutut pasien agar tungkai rileks.
Alihkan perhatian pasien dengan menyuruh menarik pada kedua tangannya yang tercekam bersilangan.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada tendon patella. Interpretasi: Refleks Patella dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan ekstensi tungkai bawah akibat kontraksi muskulus kuadriseps femoris dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lengkung refleks ini melalui L2-L4. 10. Refleks Dinding Perut Dalam
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tempatkan jari telunjuk kiri pemeriksa sedikit menekan dinding perut.
Ketuk dengan menggunakan reflex hammer pada jari telunjuk kiri pemeriksa dan lakukan pada regio yang berbeda (epigastrium, supraumbilikal, umbilical, dan intraumbilikal).
Interpretasi : Refleks Dinding Perut Dalam dikatakan positif (+) jika tampak umbilikus bergerak ke arah otot yang berkontraksi
(muskulus rektus abdominis) dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Pada orang penggeli refleks ini bisa meningkat. Namun, bila disertai disertai refleks dinding perut superfisial bernilai negatif (-) akan menandakan adanya lesi piramidalis pada tempat yang lebih atas C6.
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 91
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
(Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa) Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 92
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS,
I.1 PENDAHULUAN
Pemeriksaan refleks patologis sangat penting untuk menilai adanya lesi pada susunan saraf pusat. Hal ini pernah dikemukakan oleh babinski di depan Sociate de Biologie, Paris, pada tahun 1896. Babinski menjelaskan pada pemeriksaan refleks superfisial terjadi perubahan respons gerakan dorsofleksi pada ibu jari kaki disertai mekarnya jari-jari kaki lainnya setelah diberi rangsangan rangsangan goresan telapak kaki, pada orang normal respon ini berupa plantar fleksi. Refleks ini memiliki nilai klinis penting yang menunjukkan adanya lesi pada traktus piramidalis. Pengetahuan ini semakin berkembang dengan ditemukannya respon yang berbeda dengan cara yang sama seperti yang dilakukan babinski, antara lain: gerakan dorsofleksi pada pergelangan kaki, fleksi tungkai bawah, dan fleksi tungkai atas.
Ada berbagai stimulus yang dapat diberikan untuk membangkitkan refleks babinski ini, yaitu: menggoreskan telapak kaki bagian lateral, menusuk dorsum kaki, menggores dorsum kaki ke sisi lateralnnya, memberi rangsangan panas pada kaki, memberi rangsangan listrik pada kaki, mencubit tendon archiles, menekan tibia, fibula, mencubit otot betis, menggerakkan patella ke arah distal. Bahkan dalam kondisi yang lebih parah refleks ini dapat dibangkitkan dengan cara menggoyangkan kaki, menggerakkan kepala, dan menguap.
Selain itu ada berbagai cara untuk membangkitkan refleks babinski, yaitu: cara chaddock, gordon, oppenheim, gonda, schaefer, dan stransky. Semua cara ini memberikan respons yang sama dengan babinski. I.2 CARA MEMBANGKITKAN REFLEKS PATOLOGIS I.2.1 Refleks Babinski
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Pada pada telapak kaki yang akan diperiksa, lakukan goresan secara perlahan dengan menggunakan gagang runcing reflex hammer mulai dari daerah tumit menuju ke bagian lateral telapak kaki hingga ke arah medial pangkal jari kelingking menuju pangkal ibu jari.
Goresan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 93
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Interpretasi: Refleks Babinski dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan plantar fleksi.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain.
I.2.2 Refleks Chaddock
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Pada pada punggung kaki yang akan diperiksa, lakukan goresan secara perlahan dengan menggunakan gagang runcing reflex hammer mulai dari bagian maleolus lateralis menuju ke bagian lateral punggung kaki hingga ke arah medial pangkal jari kelingking menuju pangkal ibu jari.
Goresan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Chaddock dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. I.2.3 Refleks Gordon
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Cubit otot betis dengan cara ibu jari dan jari lain pemeriksa mengepit otot betis pasien
Cubitan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Gordon dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 94
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. I.2.4 Refleks Schaefer
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyentuh dasar tempat tidur.
Cubit tendon archilles dengan cara ibu jari dan jari lain pemeriksa mengepit otot betis pasien
Cubitan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Schaefer dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. I.2.5 Refleks Oppenheim
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Urut dengan kuat tibia dan muskulus tibialis anterior dari proksimal (bawah patella) menuju distal (pangkal pergelangan kaki).
Urutan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Oppenheim dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 95
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara I.2.6 Refleks Gonda
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Lakukan penekukan (plantar fleksi) maksimal jari kaki ke-4 lalu lepaskan tiba-tiba.
Lakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Gonda dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. I.2.7 Refleks Stransky
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya, tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Lakukan penekukan ke lateral maksimal jari kaki ke-5 lalu lepaskan tiba-tiba. Lakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat
menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex). Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-
jari lainnya. Interpretasi: Refleks Stransky dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan
dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. I.2.8 Refleks Rossolimo
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 96
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya, tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Ketuklah bagian pangkal jari-jari kaki. Lakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat
menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal.
Interpretasi: Refleks Rossolomo dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi jarijari kaki pada sendi interfalangeal dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. I.2.9 Refleks Mendel-Beckhterew
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Ketuklah dorsum pedis pada daerah os cuboideum. Lakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat
menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex). Amati ada tidaknya gerakan fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal. Interpretasi: Refleks Mendel-Beckhterew dikatakan positif (+) jika terjadi
gerakan fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. I.2.10 Refleks Klonus Lutut (Patella)
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Peganglah salah satu lutut pasien. Dorong secara tiba-tiba dan cepat ke arah distal (ke bawah) sambil diberikan
tahanan ringan. Amati ada tidaknya gerakan patella ke atas secara berulang-ulang akibat
kontraksi ritmik muskulus kuadrisep. Interpretasi: Refleks Klonus Lutut dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan
patella ke atas secara berulang-ulang akibat kontraksi ritmik muskulus kuadrisep dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada lutut kaki yang lain.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 97
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara I.2.11 Refleks Klonus Kaki
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Tempatkan telapak tangan pemeriksa di salah satu telapak kaki pasien. Dorong telapak kaki secara tiba-tiba dan cepat ke arah dorsofleksi sambil
diberikan tahanan ringan Amati ada tidaknya gerakan ritmik plantarfleksi dan dorsofleksi secara bergantian
akibat regangan muskulus trisep sure betis. Interpretasi: Refleks Klonus Kaki dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan ritmik
plantarfleksi dan dorsofleksi secara bergantian dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada telapak kaki yang lain. I.2.12 Refleks Hoffman
Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk atau berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot tangan, kemudian posisi pemeriksa berada di hadapan atau di sebelah kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan tangan pasien dan suruh agar jari-jarinya fleksi ringan.
Tempatkan ujung jari telunjuk tangan pemeriksa di salah satu pangkal bawah ujung jari tengah pasien, kemudian ibu jari dan jari telunjuk tangan pemeriksa mengepit jari tengah tangan pasien.
Gores kuku jari tengah tangan pasien dari pangkal ke ujung kuku dengan ujung ibu jari tangan pemeriksa.
Amati ada tidaknya gerakan fleksi jari telunjuk bersamaan dengan fleksi-adduksi ibu jari pasien, kadang-kadang disertai fleksi jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Hoffman dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi jari telunjuk bersamaan dengan fleksi-adduksi ibu jari pasien, kadang-kadang disertai fleksi jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada jari tengah tangan yang lain.
I.2.13 Refleks Tromner
Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk atau berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot tangan, kemudian posisi pemeriksa berada di hadapan atau di sebelah kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan tangan pasien dan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 98
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
suruh agar jari-jarinya fleksi ringan. Tempatkan ujung jari telunjuk tangan pemeriksa di salah satu pangkal bawah
ujung jari tengah pasien, kemudian ibu jari dan jari telunjuk tangan pemeriksa mengepit jari tengah tangan pasien.
Petiklah (colek) ujung jari tengah tangan pasien ke distal dengan ujung jari telunjuk atau jari tengah tangan pemeriksa.
Amati ada tidaknya gerakan fleksi jari telunjuk bersamaan dengan fleksi-adduksi ibu jari pasien, kadang-kadang disertai fleksi jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Tromner dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi jari telunjuk bersamaan dengan fleksi-adduksi ibu jari pasien, kadang-kadang disertai fleksi jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada jari tengah tangan yang lain. I.2.14 Refleks Leri
Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk atau berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot tangan, kemudian posisi pemeriksa berada di hadapan atau di sebelah kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu lengan bawah pasien, kemudian diluruskan dengan bagian ventral menghadap ke atas serta sedikit fleksi.
Tekuklah (fleksikan) dengan kuat jari-jari serta pergelangannya. Amati ada tidaknya gerakan fleksi pada sendi siku dan lengan atas, kadang-
kadang disertai adduksi lengan atas, keadaan ini biasa terjadi pada orang normal. Interpretasi: Refleks leri dikatakan positif (+) jika tidak terjadi gerakan fleksi
pada sendi siku dan lengan atas, kadang-kadang disertai adduksi lengan atas dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada tangan yang lain. I.2.15 Refleks Mayer
Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk atau berbaring supinasi dan istirahat
dengan merilekskan seluruh otot-otot tangan, kemudian posisi pemeriksa berada di hadapan atau di sebelah kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu lengan bawah pasien, kemudian diluruskan dengan bagian ventral menghadap ke atas serta jari-jari sedikit fleksi dan ibu jari diabduksikan.
Tekuklah (fleksikan) dengan kuat jari tengah ke arah telapak tangan pasien. Amati ada tidaknya gerakan adduksi dan oposisi ibu jari disertai fleksi pada sendi
metakarpofalangeal dan ekstensi di sendi interfalang ibu jari. Interpretasi: Refleks Mayer dikatakan positif (+) jika tidak terjadi gerakan
adduksi dan oposisi ibu jari disertai fleksi pada sendi metakarpofalangeal dan ekstensi di sendi interfalang ibu jari dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada tangan yang lain.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 99
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR (1) : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan REFLEKS PATOLOGIS Ya Tidak
I Pendahuluan dan Persiapan Pemeriksaan
Pemeriksa menyapa dan memberi salam kepada pasien Pemeriksa mempersilahkan pasien duduk Pemeriksa terlebih dahulu memberitahukan pada pasien, prosedur, maksud dan tujuan pemeriksaan refleks patologis secara lisan dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent).
Pemeriksa mempersiapkan alat dan bahan, berupa kursi pemeriksaan, tempat tidur pemeriksaan, dan reflex hammer.
1. Babinski
Pemeriksa terlebih dahulu memberitahukan pada pasien maksud, tujuan, dan prosedur pemeriksaan refleks patologis secara lisan dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent).
Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Pada pada telapak kaki yang akan diperiksa, lakukan goresan secara perlahan dengan menggunakan gagang runcing reflex hammer mulai dari daerah tumit menuju ke bagian lateral telapak kaki hingga ke arah medial pangkal jari kelingking menuju pangkal ibu jari.
Goresan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Babinski dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) apabila terjadi gerakan plantar fleksi.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain.
2. Chaddock
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 100
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyentuh dasar tempat tidur.
Pada pada punggung kaki yang akan diperiksa, lakukan goresan secara perlahan dengan menggunakan gagang runcing reflex hammer mulai dari bagian maleolus lateralis menuju ke bagian
lateral punggung kaki hingga ke arah medial pangkal jari kelingking menuju pangkal ibu jari.
Goresan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Chaddock dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. 3. Gordon
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Cubit otot betis dengan cara ibu jari dan jari lain pemeriksa mengepit otot betis pasien
Cubitan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Gordon dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. 4. Schaefer
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyentuh dasar tempat tidur.
Cubit tendon archilles dengan cara ibu jari dan jari lain pemeriksa mengepit otot betis pasien
Cubitan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 101
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Schaefer dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. 5. Oppenheim
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyentuh dasar tempat tidur.
Urut dengan kuat tibia dan muskulus tibialis anterior dari proksimal (bawah patella) menuju distal (pangkal pergelangan kaki).
Urutan dilakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Oppenheim dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. 6. Gonda
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Lakukan penekukan (plantar fleksi) maksimal jari kaki ke-4 lalu lepaskan tiba-tiba.
Lakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Gonda dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. 7. Stransky
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 102
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Lakukan penekukan ke lateral maksimal jari kaki ke-5 lalu lepaskan tiba-tiba.
Lakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Stransky dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan dorsofleksi ibu jari disertai mekarnya (fanning) jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. 8. Rossolimo
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyentuh dasar tempat tidur.
Ketuklah bagian pangkal jari-jari kaki.
Lakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal.
Interpretasi: Refleks Rossolomo dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. 9. Mendel-Beckhterew
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Ketuklah dorsum pedis pada daerah os cuboideum. Lakukan secara perlahan, jangan sampai menimbulkan rasa nyeri karena dapat menimbulkan refleks menarik kaki (flight réflex).
Amati ada tidaknya gerakan fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal.
Interpretasi: Refleks Mendel-Beckhterew dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 103
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara 10. Klonus Lutut (Patella)
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Peganglah salah satu lutut pasien. Dorong secara tiba-tiba dan cepat ke arah distal (ke bawah) sambil diberikan tahanan ringan.
Amati ada tidaknya gerakan patella ke atas secara berulang-ulang akibat kontraksi ritmik muskulus kuadrisep.
Interpretasi: Refleks Klonus Lutut dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan patella ke atas secara berulang-ulang akibat kontraksi ritmik muskulus kuadrisep dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada lutut kaki yang lain. 11. Klonus Kaki
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kaudal pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan kaki pasien dan sedikit diangkat ke atas agar kaki tetap pada tempatnya dan tidak menyetuh dasar tempat tidur.
Tempatkan telapak tangan pemeriksa di salah satu telapak kaki pasien.
Dorong telapak kaki secara tiba-tiba dan cepat ke arah dorsofleksi sambil diberikan tahanan ringan
Amati ada tidaknya gerakan ritmik plantarfleksi dan dorsofleksi secara bergantian akibat regangan muskulus trisep sure betis.
Interpretasi: Refleks Klonus Kaki dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan ritmik plantarfleksi dan dorsofleksi secara bergantian dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada telapak kaki yang lain. 12. Hoffman
Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk atau berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot tangan, kemudian posisi pemeriksa berada di hadapan atau di sebelah kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan tangan pasien dan suruh agar jari-jarinya fleksi ringan.
Tempatkan ujung jari telunjuk tangan pemeriksa di salah satu pangkal bawah ujung jari tengah pasien, kemudian ibu jari dan jari telunjuk tangan pemeriksa mengepit jari tengah tangan pasien.
Gores kuku jari tengah tangan pasien dari pangkal ke ujung kuku dengan ujung ibu jari tangan pemeriksa.
Amati ada tidaknya gerakan fleksi jari telunjuk bersamaan dengan fleksi-adduksi ibu jari pasien, kadang-kadang disertai fleksi jari-jari lainnya.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 104
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Interpretasi: Refleks Hoffman dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi jari telunjuk bersamaan dengan fleksi-adduksi ibu jari pasien, kadang-kadang disertai fleksi jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada jari tengah tangan yang lain. 13. Tromner
Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk atau berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot tangan, kemudian posisi pemeriksa berada di hadapan atau di sebelah kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu pergelangan tangan pasien dan suruh agar jari-jarinya fleksi ringan.
Tempatkan ujung jari telunjuk tangan pemeriksa di salah satu pangkal bawah ujung jari tengah pasien, kemudian ibu jari dan jari telunjuk tangan pemeriksa mengepit jari tengah tangan pasien.
Petiklah (colek) ujung jari tengah tangan pasien ke distal dengan ujung jari telunjuk atau jari tengah tangan pemeriksa.
Amati ada tidaknya gerakan fleksi jari telunjuk bersamaan dengan fleksi-adduksi ibu jari pasien, kadang-kadang disertai fleksi jari-jari lainnya.
Interpretasi: Refleks Tromner dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi jari telunjuk bersamaan dengan fleksi-adduksi ibu jari pasien, kadang-kadang disertai fleksi jari-jari lainnya dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada jari tengah tangan yang lain. 14. Leri
Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk atau berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot tangan, kemudian posisi pemeriksa berada di hadapan atau di sebelah kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu lengan bawah pasien, kemudian diluruskan dengan bagian ventral menghadap ke atas serta sedikit fleksi.
Tekuklah (fleksikan) dengan kuat jari-jari serta pergelangannya.
Amati ada tidaknya gerakan fleksi pada sendi siku dan lengan atas, kadang-kadang disertai adduksi lengan atas, keadaan ini biasa terjadi pada orang normal.
Interpretasi: Refleks leri dikatakan positif (+) jika tidak terjadi gerakan fleksi pada sendi siku dan lengan atas, kadang-kadang disertai adduksi lengan atas dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada tangan yang lain. 15. Mayer
Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk atau berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot tangan, kemudian posisi pemeriksa berada di hadapan atau di sebelah kanan pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 105
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu lengan bawah pasien, kemudian diluruskan dengan bagian ventral menghadap ke atas serta jari-jari sedikit fleksi dan ibu jari diabduksikan.
Tekuklah (fleksikan) dengan kuat jari tengah ke arah telapak tangan pasien.
Amati ada tidaknya gerakan adduksi dan oposisi ibu jari disertai fleksi pada sendi metakarpofalangeal dan ekstensi di sendi interfalang ibu jari, keadaan ini biasa terjadi pada orang normal.
Interpretasi: Refleks Mayer dikatakan positif (+) jika tidak terjadi gerakan adduksi dan oposisi ibu jari disertai fleksi pada sendi metakarpofalangeal dan ekstensi di sendi interfalang ibu jari dan dikatakan negatif (-) jika terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada tangan yang lain.
Tanda Tangan
Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 106
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Kelima TANDA NYERI RADIKULAR, DAN PERANGSANGAN MENINGEAL
Pemeriksaan Tanda Nyeri Radikular I.3.1 Nafziger
Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kanan pemeriksa menekan salah satu vena jugularis pasien. Interpretasi: Tanda Nafziger dikatakan positif (+) jika pasien merasakan nyeri
menjalar sepanjang dermatomnya dan dikatakan negatif (-) jika tidak dirasakan nyeri menjalar tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada vena jugularis yang lain. I.3.2 Lhermitte
Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk, kemudian posisi pemeriksa berada di belakang pasien.
Kedua tangan pemeriksa diletakkan di atas kepala pasien. Penderita memfleksikan leher sambil merotasikan leher ke semua arah searah
jarum jam diikuti dengan kedua tangan pemeriksa memberi tahanan ringan. Interpretasi: Tanda Lhermitte dikatakan positif (+) jika pasien merasakan nyeri
menjalar sepanjang dermatomnya dan dikatakan negatif (-) jika tidak dirasakan nyeri menjalar tersebut.
I.3.3 Laseque
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu tungkai kaki pasien pada bagian bawah sendi lutut dan tangan kanan pemeriksa memegang bagian bawah pergelangan kaki pasien.
Fleksikan tungkai tersebut pada sendi panggul dan sendi lutut tetap dalam keadaan ekstensi, serta tungkai lainnya tetap dalam keadaan ekstensi.
Fleksi sendi panggul hingga mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur dan dalam keadaan normal hal ini dapat dilakukan.
Interpretasi: Tanda Laseque dikatakan positif (+) jika pasien merasakan nyeri menjalar sepanjang dermatomnya sebelum fleksi sendi panggul mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur dan dikatakan negatif (-) jika tidak dirasakan nyeri menjalar tersebut dan dapat mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 107
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara I.3.4 Kernig
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu tungkai kaki pasien pada sendi lutut dan tangan kanan pemeriksa memegang bagian bawah tumit dan telapak kaki pasien tersebut.
Fleksikan sendi panggul sampai mencapai sudut 900 dari dasar tempat tidur disertai sendi lutut dalam keadaan fleksi maksimal serta tungkai lainnya tetap dalam keadaan ekstensi.
Ekstensikan sendi lutut sampai mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah, dan dalam keadaan normal hal ini dapat dilakukan.
Interpretasi: Tanda Kernig dikatakan positif (+) jika pasien merasakan nyeri menjalar sepanjang dermatomnya sebelum ekstensi sendi lutut mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah, dan dikatakan negatif (-) jika tidak dirasakan nyeri menjalar tersebut dan dapat mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. I.4 Pemeriksaan Tanda Perangsangan Meningeal I.4.1 Kaku Kuduk (Nuchal/Neck Rigidity)
Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot leher dan bahu, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa diletakkan pada belakang kepala pasien dan tangan kanan diletakkan diatas dada pasien.
Fleksikan kepala pasien hingga dagu mencapai bagian dada atas dan tangan kanan pemeriksa memberi tahanan ringan.
Interpretasi: Tanda kaku kuduk dikatakan positif (+) jika terdapat tahanan pada sendi leher akibat kekakuan otot-otot leher dan dikatakan negatif (-) jika tidak terdapat tahanan.
I.4.2 Brudzinski I
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot leher dan bahu, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa diletakkan pada belakang kepala pasien dan tangan kanan diletakkan diatas dada pasien.
Fleksikan kepala pasien hingga dagu mencapai bagian dada atas dan tangan kanan pemeriksa memberi tahanan ringan.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 108
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Amati ada tidaknya fleksi kedua tungkai pasien. Interpretasi: Tanda bruzinski I dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi
kedua tungkai dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut. I.4.3 Brudzinski II
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu tungkai kaki pasien pada sendi lutut dan tangan kanan pemeriksa memegang bagian bawah tumit dan telapak kaki pasien tersebut.
Fleksikan sendi panggul sampai mencapai sudut 900 dari dasar tempat tidur disertai sendi lutut dalam keadaan fleksi maksimal serta tungkai lainnya tetap dalam keadaan ekstensi.
Ekstensikan sendi lutut sampai mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah, dan dalam keadaan normal hal ini dapat dilakukan.
Amati ada tidaknya fleksi tungkai kontralateral. Interpretasi: Tanda Brudzinski II dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi
tungkai kontralateral dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut. Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain.
I.4.4 Kernig
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu tungkai kaki pasien pada sendi lutut dan tangan kanan pemeriksa memegang bagian bawah tumit dan telapak kaki pasien tersebut.
Fleksikan sendi panggul sampai mencapai sudut 900 dari dasar tempat tidur disertai sendi lutut dalam keadaan fleksi maksimal serta tungkai lainnya tetap dalam keadaan ekstensi.
Ekstensikan sendi lutut sampai mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah, dan dalam keadaan normal hal ini dapat dilakukan.
Interpretasi: Tanda Kernig dikatakan positif (+) jika timbul tahanan sebelum ekstensi sendi lutut mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah, dan dikatakan negatif (-) jika dapat mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 109
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara I.4.5 Laseque
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu tungkai kaki pasien pada bagian bawah sendi lutut dan tangan kanan pemeriksa memegang bagian bawah pergelangan kaki pasien.
Fleksikan tungkai tersebut pada sendi panggul dan sendi lutut tetap dalam keadaan ekstensi, serta tungkai lainnya tetap dalam keadaan ekstensi.
Fleksi sendi panggul hingga mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur dan dalam keadaan normal hal ini dapat dilakukan.
Interpretasi: Tanda Laseque dikatakan positif (+) jika timbul tahanan sebelum fleksi sendi panggul mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur dan dikatakan negatif (-) jika dapat mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 110
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 3. Pemeriksaan Refleks Gordon Gambar 4. Pemeriksaan Refleks Oppenheim Gambar 5. Pemeriksaan Refleks Schae ffer Gambar 6. Pemeriksaan Klonus Lutut
Lampiran Gambar Pemeriksaan Refleks Patologis Gambar 1. Pemeri ksaan Refleks Babinski Gambar 2. Pemeriksaan Refleks Chaddock
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 111
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara II. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN
Waktu Aktivitas Keterangan
15 menit
Tiap kelompok kecil didampingi oleh seorang instruktur
Instruktur Introduksi dan penyampaian pengantar (overview) rancangan kegiatan pelatihan
45 menit
Demonstrasi oleh Instruktur, Instruktur menjelaskan alat-alat yang dipergunakan, interpretasi, serta mendemonstrasikan cara memeriksa refleks patologis, tanda nyeri radikular, dan perangsangan meningeal kepada mahasiswa. Mahasiswa melakukan latihan role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur (coaching)
Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Mahasiswa melakukan latihan mandiri diawasi oleh instruktur. Mahasiswa
10 menit Instruktur memberikan masukan-masukan (feedback) kepada mahasiswa. Instruktur
IV. PEDOMAN INSTRUKTUR 3.3TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mahasiswa : 1. Memahami pentingnya melakukan pemeriksaan refleks patologis, tanda nyeri
radikular, dan perangsangan meningeal. 2. Terampil melakukan teknik pemeriksaan refleks patologis, tanda nyeri radikular,
dan perangsangan meningeal.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 112
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara 3.2PELAKSANAAN
1. Latihan dan diskusi tiap kelompok dipimpin oleh seorang instruktur yang telah
ditetapkan bagian SDM MEU FK UISU 2. Cara dan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan :
Waktu Aktivitas Keterangan
15 menit Pembukaan Perkenalan
Instruktur Pengantar (overview)
15 menit
Latihan
Demonstrasi Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Coaching
30 menit Latihan Mandiri
10 menit Penutupan Feed Back
Instruktur Penutup
3. Waktu pelaksanaan : Setiap kegiatan latihan dilaksanakan selama 2 x 50 menit (100 menit).
4.Tempat pelaksanaan kegiatan : Di ruangan Skills Lab. (Lantai 3) 5. Alat dan Bahan yang diperlukan :
Meja Kursi 8 Kursi pemeriksaan Tempat tidur pemeriksaan Refleks Hammer
6. Materi Kegiatan / Latihan : Pengenalan alat untuk pemeriksaan refleks patologis, tanda nyeri radikular, dan
perangsangan meningeal. Menjelaskan pentingnya pemeriksaan refleks patologis, tanda nyeri radikular,
dan perangsangan meningeal. Pelatihan teknik melakukan pemeriksaan refleks patologis, tanda nyeri
radikular, dan perangsangan meningeal. RUJUKAN
1. Ganong WF. Refleks. Dalam: Widjajahkusumah MD, editor bahasa Indonesia. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Edisi ke20, Jakarta; 2001. Hlm. 122-30.
2. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik--Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit FK UI, Jakarta; 2006. Hlm.146-51.
3. Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan Fisis Umum. Dalam: Setiyohadi B, Sudoyo AW, Alwi I, et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Edisi IV, Jilid I, Jakarta; 2006. Hlm. 36.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 113
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR (2) : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan TANDA NYERI RADIKULER Ya Tidak
I Pendahuluan dan Persiapan Pemeriksaan
Pemeriksa menyapa dan memberi salam kepada pasien Pemeriksa mempersilahkan pasien duduk Pemeriksa terlebih dahulu memberitahukan pada pasien, prosedur, maksud dan tujuan pemeriksaan tanda nyeri radikuler secara lisan dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent).
Pemeriksa mempersiapkan alat dan bahan, berupa kursi pemeriksaan, dan tempat tidur pemeriksaan.
1. Nafziger
Pemeriksa terlebih dahulu memberitahukan pada pasien maksud, tujuan, dan prosedur pemeriksaan tanda nyeri radikuler secara lisan dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent).
Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kanan pemeriksa menekan salah satu vena jugularis pasien. Interpretasi: Tanda Nafziger dikatakan positif (+) jika pasien merasakan nyeri menjalar sepanjang dermatomnya dan dikatakan negatif (-) jika tidak dirasakan nyeri menjalar tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada vena jugularis yang lain. 2. Lhermitte
Aturlah posisi pasien dalam keadaan duduk, kemudian posisi pemeriksa berada di belakang pasien.
Kedua tangan pemeriksa diletakkan di atas kepala pasien. Pasien memfleksikan leher sambil merotasikan leher ke semua arah searah jarum jam diikuti dengan kedua tangan pemeriksa memberi tahanan ringan.
Interpretasi: Tanda Lhermitte dikatakan positif (+) jika pasien merasakan nyeri menjalar sepanjang dermatomnya dan dikatakan negatif (-) jika tidak dirasakan nyeri menjalar tersebut.
3. Laseque
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu tungkai kaki pasien pada bagian bawah sendi lutut dan tangan kanan pemeriksa memegang bagian bawah pergelangan kaki pasien.
Fleksikan tungkai tersebut pada sendi panggul dan sendi lutut tetap dalam keadaan ekstensi, serta tungkai lainnya tetap dalam keadaan ekstensi.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 114
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Fleksi sendi panggul hingga mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur dan dalam keadaan normal hal ini dapat dilakukan.
Interpretasi: Tanda Laseque dikatakan positif (+) jika pasien merasakan nyeri menjalar sepanjang dermatomnya sebelum fleksi sendi panggul mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur dan dikatakan negatif (-) jika tidak dirasakan nyeri menjalar tersebut dan dapat mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. 4. Kernig
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu tungkai kaki pasien pada sendi lutut dan tangan kanan pemeriksa memegang bagian bawah tumit dan telapak kaki pasien tersebut.
Fleksikan sendi panggul sampai mencapai sudut 900 dari dasar tempat tidur disertai sendi lutut dalam keadaan fleksi maksimal serta tungkai lainnya tetap dalam keadaan ekstensi.
Ekstensikan sendi lutut sampai mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah, dan dalam keadaan normal hal ini dapat dilakukan.
Interpretasi: Tanda Kernig dikatakan positif (+) jika pasien merasakan nyeri menjalar sepanjang dermatomnya sebelum ekstensi sendi lutut mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah, dan dikatakan negatif (-) jika tidak dirasakan nyeri menjalar tersebut, dan dapat mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain.
Tanda Tangan
Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 115
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR (3) : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan TANDA PERANGSANGAN MENINGEAL Ya Tidak
I Pendahuluan dan Persiapan Pemeriksaan
Pemeriksa menyapa dan memberi salam kepada pasien. Pemeriksa mempersilahkan pasien duduk. Pemeriksa terlebih dahulu memberitahukan pada pasien, prosedur, maksud dan tujuan pemeriksaan tanda perangsangan meningeal secara lisan dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent).
Pemeriksa mempersiapkan alat dan bahan, berupa tempat tidur pemeriksaan.
1. Kaku Kuduk (Nuchal/Neck Rigidity)
Pemeriksa terlebih dahulu memberitahukan pada pasien maksud, tujuan, dan prosedur pemeriksaan tanda perangsangan meningeal secara lisan dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent).
Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot leher dan bahu, kemudian posisi pemeriksa berada pada sisi sebelah kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa diletakkan pada belakang kepala pasien dan tangan kanan diletakkan diatas dada pasien.
Fleksikan kepala pasien hingga dagu mencapai bagian dada atas dan tangan kanan pemeriksa memberi tahanan ringan.
Interpretasi: Tanda kaku kuduk dikatakan positif (+) jika terdapat tahanan pada sendi leher akibat kekakuan otot-otot leher dan dikatakan negatif (-) jika tidak terdapat tahanan.
2. Brudzinski I
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot leher dan bahu, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa diletakkan pada belakang kepala pasien dan tangan kanan diletakkan diatas dada pasien.
Fleksikan kepala pasien hingga dagu mencapai bagian dada atas dan tangan kanan pemeriksa memberi tahanan ringan.
Amati ada tidaknya fleksi kedua tungkai pasien. Interpretasi: Tanda bruzinski I dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi kedua tungkai dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
3. Brudzinski II
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 116
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu tungkai kaki pasien pada sendi lutut dan tangan kanan pemeriksa memegang bagian bawah tumit dan telapak kaki pasien tersebut.
Fleksikan sendi panggul sampai mencapai sudut 900 dari dasar tempat tidur disertai sendi lutut dalam keadaan fleksi maksimal serta tungkai lainnya tetap dalam keadaan ekstensi.
Ekstensikan sendi lutut sampai mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah, dan dalam keadaan normal hal ini dapat
dilakukan. Amati ada tidaknya fleksi tungkai kontralateral. Interpretasi: Tanda Brudzinski II dikatakan positif (+) jika terjadi gerakan fleksi tungkai kontralateral dan dikatakan negatif (-) jika tidak terjadi gerakan tersebut.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. 4. Kernig
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu tungkai kaki pasien pada sendi lutut dan tangan kanan pemeriksa memegang bagian bawah tumit dan telapak kaki pasien tersebut.
Fleksikan sendi panggul sampai mencapai sudut 900 dari dasar tempat tidur disertai sendi lutut dalam keadaan fleksi maksimal serta tungkai lainnya tetap dalam keadaan ekstensi.
Ekstensikan sendi lutut sampai mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah, dan dalam keadaan normal hal ini dapat dilakukan.
Interpretasi: Tanda Kernig dikatakan positif (+) jika timbul tahanan sebelum ekstensi sendi lutut mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah, dan dikatakan negatif (-) jika dapat mencapai sudut 1350 antara tungkai atas dan tungkai bawah.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. 5. Laseque
Aturlah posisi pasien dalam keadaan berbaring supinasi dan istirahat dengan merilekskan seluruh otot-otot kaki dan kedua tungkai diluruskan, kemudian posisi pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tangan kiri pemeriksa memegang salah satu tungkai kaki pasien pada bagian bawah sendi lutut dan tangan kanan pemeriksa memegang bagian bawah pergelangan kaki pasien.
Fleksikan tungkai tersebut pada sendi panggul dan sendi lutut tetap dalam keadaan ekstensi, serta tungkai lainnya tetap dalam keadaan ekstensi.
Fleksi sendi panggul hingga mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur dan dalam keadaan normal hal ini dapat dilakukan.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 117
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Interpretasi: Tanda Laseque dikatakan positif (+) jika timbul tahanan sebelum fleksi sendi panggul mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur dan dikatakan negatif (-) jika dapat mencapai sudut 700 dari dasar tempat tidur.
Lakukan pemeriksaan yang sama pada kaki yang lain. Tanda Tangan
Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 118
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN TANDA NYERI RADIKULER & RANGSANG MENINGEAL
(Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa) Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 119
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Keenam
PEMERIKSAAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR, KESADARAN,
DAN FUNGSI KOORDINASI I. PENDAHULUAN
Fungsi luhur mencirikan manusia. Sifat-sifat kemanusiaan yang dinamakan watak atau karakter, inteligensia, personalitas, kebijakan dan sebagainya terdiri dari komponen fungsi luhur atau fungsi mental.
Pengetahuan fungsi kortikal luhur (FKL) mengaitkan prilaku (behaviour) manusia dengan susunan saraf pusat (SSP). Fungsi kortikal luhur sering disebut juga dengan psikoneurologi atau neurologi prilaku, dimana pengamatan prilaku dimulai dari yang sederhana sampai yang kompleks dilakukan secara meluas untuk mendapat gambaran atau kesimpulan tentang keadaan susunan saraf. Gangguan yang terjadi pada fungsi kortikal luhur berkaitan dengan neuro-anatomi.
Pada modul keterampilan klinik ini akan dibahas dan dilatihkan mengenai pemeriksaan fungsi kortikal luhur, penilaian penurunan kesadaran secara kuantitatif menurut skala koma Glasgow, pemeriksaan saraf kranialis, dan fungsi koordinasi.
FUNGSI KORTIKAL LUHUR Menurut Neurobehavioral Unit, Boston Veterans Administration Medical Center
and the Department of neurology, fungsi kortikal luhur secara artefisial untuk memudahkan pemahamannya terbagi dalam 5 komponen, yaitu :
a. Kemampuan berbahasa b. Daya ingatan c. Kemampuan visiospasial d. Emosi atau kepribadian e. Kemampuan kognisi
Persiapan Pemeriksaan & Pasien
Sebelum melakukan pemeriksaan fungsi luhur dan tingkat kesadaran, pastikanlah keadaan ruangan pemeriksaan tertutup, sehingga dapat menjamin kerahasiaan pasien, serta memiliki penerangan yang baik. Dokter hendaknya selalu didampingi seorang perawat, yang dapat bertindak sebagai saksi untuk menghindari perlakuan yang tidak benar, ditinjau dari pihak pemeriksa, maupun pasien.
Jelaskanlah terlebih dahulu prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, atau keluarganya, kemudian mintalah persetujuan pasien, atau keluarganya. Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien sesuai pemeriksaan yang akan dilakukan (duduk atau berbaring). I.1. Sindrom Hemisfer Kiri
A.Sindrom Afasia Jenis sindrom afasia ditentukan menurut kemampuan berbagai modalitas bahasa berikut :
1. Berbicara spontan 2. Pengertian bahasa 3. Pengulangan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 120
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
4. Penambahan kata benda 5. Mambaca 6. Menulis
A.1. Sindrom Afasia Broca.
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien saat berbicara secara
spontan apakah bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
Interpretasi : sindrom afasia broca dikatakan positif (+) jika pasien berbicara spontan yang tidak lancar, nonfluen, terbata-bata, tata bahasanya kurang sempurna, kemampuan modalitas bahasa lainnya jelek, tidak dapat mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, tidak dapat menambahkan kata benda pada perkataan, tidak dapat menulis.
Biasanya disertai hemiparesis kanan. Pada keadaan berat bisa terjadi mutisme.
A.2. Sindrom Afasia Wernicke.
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien saat berbicara secara
spontan apakah bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
Interpretasi : sindrom afasia wernicke dikatakan positif (+) jika pasien berbicara spontan lancar, fluen, namun sering kali berlebihan (logorea) dan tidak dapat dimengerti, pengertian bahasa dan kemampuan modalitas bahasa lainnya jelek, tidak dapat mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, tidak dapat menambahkan kata benda pada perkataan, tidak dapat membaca dan menulis.
Biasanya tidak disertai gejala hemiparesis, sehingga luput dari diagnosa afasia, bahkan dianggap sebagai kasus psikiatrik.
Pada keadaan berat disebut afasia jargon.
A.3. Sindrom Afasia Global. Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien saat berbicara secara
spontan apakah bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
Interpretasi : sindrom afasia global dikatakan positif (+) jika pasien berbicara spontan mutisme, modalitas bahasa lainnya buruk, bahasanya tidak dapat dimengerti, tidak dapat mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, tidak dapat menambahkan kata benda pada perkataan, tidak dapat membaca dan menulis.
Sindrom Afasia Global merupakan sindrom afasia yang paling berat. A.4. Sindrom Afasia Konduksi.
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien saat berbicara secara
spontan apakah bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
Interpretasi : sindrom afasia konduksi dikatakan positif (+) jika kemampuan mengulang kata pasien jelek namun modalitas bahasa lainnya baik.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 121
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara A.5. Sindrom Afasia Anomik.
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien saat berbicara secara
spontan apakah bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
Interpretasi : sindrom afasia anomik dikatakan positif (+) jika semua modalitas baik kecuali penamaan kata-kata benda yang jelek.
Merupakan sindrom yang relatif paling ringan.
Tabel 1. Bagan berbagai keadaan modalitas bahasa sindrom Sindrom: Bicara spontan Pengertian Pengulangan Penamaan Membaca Menulis Broca tidak lancar + - - + - Wernicke Lancar - - - - - Global tidak lancar - - - - - Konduksi Lancar + - + + + Anomik Lancar + + - + +
Keterangan : warna merah berarti tidak dapat melakukan (ada gangguan) Dengan menentukan jenis sindrom dapat ditetapkan letak lesi. Secara garis besar dibagi menjadi 4 golongan yaitu :
1. Sindrom Afasia Perisylvian. Terdiri dari sindrom afasia Broca, Wernicke dan konduksi. Letak lesi disekitar fisura sylvian dihemisfer dominan kiri, yang diperdarahi oleh arteri serebri media.
2. Sindrom Afasia Perbatasan. Terdiri dari sindrom afasia Broca, Wernicke dan konduksi. Kemampuan pengulangan yang baik. Area ini terletak pada perbatasan vaskular yang disuplai darah oleh arteri serebri media dan arteri serebri anterior atau posterior. Sindrom ini terdiri dari afasia motorik transkortikal dan afasia sensorik transkortikal.
3. Sindrom Afasia Subkortikal. Terdiri dari sindrom yang disebabkan oleh lesi yang letaknya di subkortikal (afasia talamus dan afasia striatum). Sindrom ini tidak mempunyai gejala yang nyata. Diagnosis berdasarkan CT Scan atau MRI
4. Sindrom Afasia Tak Terlokalisasikan. Mencakup sindrom afasia hlobal dan anomik. Keduanya tidak menunjukkan lokalisasi tertentu.
B. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan melakukan suatu gerakan motorik terampil, tanpa adanya gangguan motorik, sensorik dan ataksia. Lesinya terutama di lobus parietal di hemisfer dominan kiri, namun dapat juga di hemisfer kanan. B.1. Apraksia Ideomotor
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien untuk menjulurkan lidah. Interpretasi : apraksia ideomotor dikatakan positif (+) jika pasien tidak dapat
melakukan gerakan menjulurkan lidah jika diperintah akan tetapi dapat melakukan gerakan tersebut secara spontan.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 122
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara B.2. Apraksia Ideasional
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien untuk melipat sebuah surat kemudian memasukkan ke dalam
amplop dan menempel perangko di atasnya. Interpretasi : apraksia ideasional dikatakan positif (+) jika pasien tidak dapat melipat
sebuah surat kemudian memasukkan ke dalam amplop dan menempel perangko di atasnya jika diperintah akan tetapi dapat melakukan gerakan tersebut secara spontan.
I.2. Sindrom Hemisfer Kanan
A. Pengabaian (neglect) Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien untuk mengamati ruangan pemeriksaan dan mengatakan apa saja yang
diamatinya. Interpretasi : pengabaian (neglect) dikatakan positif (+) jika pasien mengabaikan
ruangan sisi kiri (hemineglect).
B.Gangguan Visuospasial Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Tanyakan kepada pasien dimana dia sekarang berada. Interpretasi : gangguan visuospasial dikatakan positif (+) jika pasien tidak mengenal
tempat disekitarnya dan gangguan pengenalan wajah.
C. Gangguan Visuomotor
C.1. Apraksia Kontruksi Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien untuk menggambar atau mencontoh membuat sebuah gambar,
menyusun bentuk-bentuk dengan batang korek api atau menyusun balok-balok atas permintaan pemeriksa.
Interpretasi : apraksia kontruksi dikatakan positif (+) jika pasien tidak mampu menggambar atau membuat copy gambar, tidak mampu menyusun bentukbentuk dengan batang korek api atau tidak mampu menyusun balok-balok atas permintaan pemeriksa.
C.2. Apraksia Berpakaian
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien untuk membuka dan mengenakan kembali pakaiannya. Interpretasi : apraksia berpakaian dikatakan positif (+) jika pasien tidak mampu
mengenakan pakaian.
D.Afek dan Prosodi Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Pemeriksa (dokter) membuat ekspresi wajah yang berbeda-beda (marah, gembira,
sedih atau terkejut) lalu mintalah pasien untuk memperhatikan dan mengatakan perubahan ekspresi wajah yang dia liat, mintalah pasien untuk menyanyikan bait lagu yang ditulis oleh pemeriksa, mintalah pasien untuk mendengarkan musik yang sedang diputar kemudian mengatakan jenis musiknya.
Interpretasi : afek dan prosodi dikatakan positif (+) jika pasien tidak mengenal perubahan wajah seseorang yang marah, gembira, sedih atau terkejut, pasien tidak dapat melagukan kalimat dan tidak mengenal ritme dan musik.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 123
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara I.3. Gangguan Memori A.1. Gangguan Memori Jangka Pendek atau Memori Baru
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang baru saja dilakukannya. Interpretasi : gangguan memori jangka pendek atau memori baru dikatakan positif
(+) jika pasien tidak ingat hal-hal yang baru saja terjadi. A.2. Gangguan Memori Jangka Panjang atau Memori Lama
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang dilakukannya dalam satu minggu
terakhir ini. Interpretasi : gangguan memori jangka panjang atau memori lama dikatakan positif
(+) jika pasien lupa akan hal-hal yang telah terjadi. B.1. Amnesia Retrogard
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang dilakukannya sebelum suatu insult atau
kejadian terjadi. Interpretasi : amnesia retrogard dikatakan positif (+) jika pasien lupa suatu periode
sebelum suatu insult atau kejadian, contohnya : pasien lupa semua hal yang pernah dialaminya sebelum trauma capitis.
B.2. Amnesia Anterogard
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang dilakukannya sesudah suatu insult atau
kejadian terjadi. Interpretasi : amnesia anterogard dikatakan positif (+) jika pasien lupa suatu periode
setelah suatu kejadian atau insult, contohnya : pasien lupa semua hal yang dialaminya sesudah trauma capitis.
I.4. Gangguan Kognisi
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Mintalah pasien untuk memahami suatu cerita, mengartikan suatu pribahasa,
mengemukakan persamaan kata, melakukan perkalian. Interpretasi : gangguan kognisi dikatakan positif (+) jika pasien mengalami gangguan
cara berfikir, tidak dapat menjabarkan peribahasa, tidak mampu mengenal persamaan, kalkulasi dan konsep.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 124
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Ketujuh PEMERIKSAAN KESADARAN DAN FUNGSI KOORDINASI
Kesadaran mempunyai arti yang luas. Secara neurologi klinis kesadaran didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls aferen dan eferen. Keseluruhan dari impuls aferen disebut imput susunan saraf pusat dan keseluruhan impuls eferen disebut output susunan saraf pusat. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai awas, waspada, dimana aksi dan reaksi terhadap apa yang diserap (dilihat, didengar, dihirup, dikecap dan lainnya) sesuai dan tepat. Keadaan dimana aksi sama sekali tidak dibalas dengan reaksi disebut koma. Apabila terjadi gangguan kesadaran secara psikiatrik disebut perubahankesadaran, dan bila terjadi gangguan kesadaran secara neurologik disebut penurunankesadaran. Penurunan kesadaran ada yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Kwalitas kesadaran secara umum terbagi 5, yaitu :
1.Compos mentis(kesadaran normal). Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan
pasien. Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa
dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan. Interpretasi : dikatakan compos mentis jika pasien menyadari seluruh asupan dari
panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan waspada dimana pasien dapat menerangkan identitas dirinya, keberadaan saat pemeriksaan dilakukan, dan waktu saat dilkukan pemeriksaan dengan baik dan benar.
2.Obtundasi (kesadaran yang tumpul). Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan
pasien. Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa
dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan. Interpretasi : dikatakan obtundasi jika pasien tidak begitu waspada, perhatian untuk
sekeliling berkurang dan cenderung mengantuk tanpa memikirkan apa-apa.
3.Binggung atau Confused. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi
kanan pasien. Pemeriksa memperkenalkan diri lalu menanyakan identitas pribadi pasien,
keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia ada disitu, menanyakan kembali siapakah pemeriksa serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
Interpretasi : dikatakan binggung atau confused jika pasien menunjukkan kebinggungan dalam waktu dan pengenalan tempat/orang (disorientasi waktu, ruang dan orang).
4.Delirium. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan
pasien. Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa
dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan. Interpretasi : dikatakan delirium jika pasien menunjukkan kekacauan secara mental
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 125
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
karena mengalami ilusi dan halusinasi, bereaksi sesuai dengan kekacauan pikirannya.
5.Apatia. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan
pasien. Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa
dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan. Interpretasi : dikatakan apatia jika pasien kurang waspada, tidak tidur atau mengantuk
namun tidak mau memperhatikan, menghiraukan dirinya dan sekelilingnya. Pasien tidak bicara dan pandangannya hampa
Penurunan kesadaran yang bersifat kualitatif, yaitu :
1.Somnole,drowsiness,clouding of consciousness, letargia atau mengantuk (derajat 1).
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Pemeriksa memberikan stimuli baik motorik maupun verbal kepada pasien. Interpretasi : dikatakan somnolen jika pasien memberikan respon terhadap stimuli
yang dilakukan oleh pemeriksa namun tampak cenderung menutup mata (terlena lagi), sedikit binggung, pasien dapat bergerak (seperti gelisah motor) tetapi juga bisa tidur tenang tanpa banyak bergerak dan tidak mendengkur atau mengeram serta orientasi terhadap sekitarnya menurun.
2.Stuporatau sopor (derajat 2). Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan rangsangan nyeri, taktil
dan visual kuat kepada pasien. Interpretasi : dikatakan stupor atau sopor jika pasien memberikan respon terhadap
stimuli yang dilakukan oleh pemeriksa namun jawaban verbal yang diberikan terbatas pada satu atau dua kata ataupun terbatas pada bahasa isyarat mengelengkan kepala menyatakan ’tidak’ dan anggukan kepala menyatakan ’iya’ dan mata pasien tertutup.
3.Semikoma atau soporokoma (derajat 3). Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan rangsangan nyeri
(menusuk anggota gerak pasien), taktil dan visual kuat kepada pasien. Interpretasi : dikatakan semikomaatau soporokoma jika pasien tidak memberikan
respon verbal terhadap stimuli yang dilakukan oleh pemeriksa tetapi reaksi terhadap perangsangan kasar (jawaban motorik: hanya berupa gerakan primitif) masih ada walaupun hanya bersifat adaptif atau menghindari rangsangan nyari.
4.Koma(derajat 4). Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien. Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan rangsangan nyeri
(menusuk anggota gerak pasien), taktil dan visual kuat kepada pasien. Interpretasi : dikatakan koma jika pasien tidak memberikan respon terhadap stimuli apa pun, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik (merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 126
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Penurunan kesadaran yang bersifat kuantitatif (diukur dengan skala koma Glasgow), yaitu :
1.Reaksi Membuka Mata (tanggapan psiko-motorik). Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi
kanan pasien. Pemeriksa memperhatikan gerakan membuka mata spontan pasien, membuka mata
saat diberikan stimuli verbal (perintah membuka mata karena dipanggil), dan membuka mata saat diberi rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak pasien). Interpretasi : Membuka mata secara spontan = 4 Membuka mata mengikuti perintah pangilan = 3 Membuka mata terhadap rangsang nyeri = 2 Tidak ada reaksi terhadap rangsangan nyeri = 1
2.Reaksi Verbal/Bicara. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi
kanan pasien. Pemeriksa melakukan komunikasi dengan pasien (mengajak pasien berbicara)
kemudian pemeriksa memperhatikan tanggapan verbal pasien apakah ucapan pasien berorientasi (pasien sadar akan diri dan sekelilingnya, mengapa ia berada di tempat itu, tahu tahun, bulan dan hari penanggalan), kacau (disorientasi), ucapan tidak senonoh (misal : mengeluarkan kata-kata kutukan, berteriak dan tidak menghiraukan jalan percakapan), dan ucapan yang tidak dapat dimengerti (hanya berupa suara mengeram dan merintih). Interpretasi : Tanggapan verbal berorientasi baik = 5 Tanggapan verbal disorientasi/binggung = 4 Tanggapan verbal tidak sesuai/satu kata saja = 3 Tanggapan verbal tidak dimengerti/suara saja = 2 Tidak ada suara sama sekali = 1
3.Reaksi Motorik. Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi
kanan pasien. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan (atas perintah) kemudian perhatikan dan
nilai apakah pasien dapat melakukan gerakan atas tersebut; pemeriksa memberikan rangsangan pada tangan pasien kemudian perhatikan dan nilai apakah tangan yang dirangsang berfleksi pada sendi pergelangan tangan; berfleksi pada sendi bahu, sendi siku, dan sendi pergelangan tangan secara serempak (tanggapan motorik fleksor); pemeriksa mengaduksikan lengan pasien sambil berotasi ke dalam pada sendi bahu yang sedang dalam keadaan lurus dan lengan bawah berpronasi secara berlebihan (tanggapan motorik ekstensor) . Interpretasi : Gerakan mengikuti perintah/bertujuan = 6 Gerakan menepis rangsang nyeri = 5 Gerakan menghindari nyeri = 4 Gerakan fleksi dekortikasi = 3 Gerakan ekstensi deserebrasi = 2 Tidak ada gerakan sama sekali = 1
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 127
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tabel 2. Skala Koma Glasgow
Pemeriksaan Respons Terhadap Stimulus Skor
Reaksi Membuka Mata
Membuka mata secara spontan 4 Membuka mata mengikuti perintah pangilan 3 Membuka mata terhadap rangsang nyeri 2 Tidak ada reaksi terhadap rangsangan nyeri 1
Reaksi Verbal/Bicara
Tanggapan verbal berorientasi baik 5 Tanggapan verbal disorientasi/binggung 4 Tanggapan verbal tidak sesuai/satu kata saja 3 Tanggapan verbal tidak dimengerti/suara saja 2 Tidak ada suara sama sekali 1
Reaksi Motorik
Gerakan mengikuti perintah/bertujuan 6 Gerakan menepis rangsang nyeri 5 Gerakan menghindari nyeri 4 Gerakan fleksi dekortikasi 3 Gerakan ekstensi deserebrasi 2 Tidak ada gerakan sama sekali 1
FUNGSI KOORDINASI Fungsi koordinasi bermanfaat untuk menilai adanya gangguan pada serebelum,
sereberal, dan sistem vestibulum sentral dan perifer. Gejala yang muncul dapat berupa ataksi. Prosedur Pemeriksaan Fungsi Koordinasi
1. Tes Romberg Mintalah pasien untuk berdiri tegak dengan kedua kakinya secara
berdampingan, dan sikap tangan berada di sisi samping tubuh, kepala dan badan tegak (biarkan pasien berdiri seperti ini dengan mata terbuka dan tertutup masing-masing selama 10-30 detik)
Beritahukan kepada pasien bahwa pemeriksa siap menangkapnya apabila pasien terjatuh terjatuh (pastikan pemeriksa siap).
Jika pasien jatuh duluan dengan mata terbuka, pemeriksa tidak dapat meneruskan tes.
Namun jika tidak, mintalah pasien untuk menutup kedua matanya. Amatilah pasien saat berdiri dengan mata terbuka dan tertutup.
Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka dan berdiri dengan mata tertutup, ini berarti Tes Romberg Negatif – normal
Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka, tetapi jatuh dengan mata tertutup, ini berarti Tes Romberg positif – kelainan sensasi posisi sendi.
Bila pasien tidak dapat berdiri dengan mata terbuka dan kedua kaki secara berdampingan, ini berarti terjadi ketidakseimbangan yang berat – umumnya disebabkan oleh: sindrom sereberal, sindrom vestibular sentral dan perifer.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 128
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka tetapi sempoyongan ke belakang dan ke depan dengan mata tertutup, ini berarti kemungkinan sindrom serebelum.
Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat berdiri sendiri dan Tes Romberg tidak dapat dikatakan memberikan nilai positif pada gangguan serebelum.
2. Tes Romberg Dipertajam Mintalah pasien untuk berdiri tegak dengan posisi tumit kaki kanan berada dan
menyentuh ujung ibu jari kaki kiri, dan sikap tangan berada di sisi samping tubuh, kepala dan badan tegak (biarkan pasien berdiri seperti ini dengan mata terbuka dan tertutup masing-masing selama 10-30 detik)
Beritahukan kepada pasien bahwa pemeriksa siap menangkapnya apabila pasien terjatuh terjatuh (pastikan pemeriksa siap).
Jika pasien jatuh duluan dengan mata terbuka, pemeriksa tidak dapat meneruskan tes.
Namun jika tidak, mintalah pasien untuk menutup kedua matanya. Amatilah pasien saat berdiri dengan mata terbuka dan tertutup.
Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka dan berdiri dengan mata tertutup, ini berarti Tes Romberg Negatif – normal
Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka, tetapi jatuh dengan mata tertutup, ini berarti Tes Romberg positif – kelainan sensasi posisi sendi.
Bila pasien tidak dapat berdiri dengan mata terbuka dan kedua kaki secara berdampingan, ini berarti terjadi ketidakseimbangan yang berat – umumnya disebabkan oleh: sindrom sereberal, sindrom vestibular sentral dan perifer.
Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka tetapi sempoyongan ke belakang dan ke depan dengan mata tertutup, ini berarti kemungkinan sindrom serebelum.
Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat berdiri sendiri dan Tes Romberg tidak dapat dikatakan memberikan nilai positif pada gangguan serebelum.
Lakukan kembali tes tersebut secara bergantian.
3. Tes Tumit Lutut Mintalah kepada pasien untuk berbaring telentang. Mintalah pasien untuk mengangkat salah satu tungkainya hingga meletakkan
tumitnya di atas lutut tungkai yang lain (sebaiknya pemeriksa harus memperagakan terlebih dahulu kepada pasien).
Mintalah agar pasien menggerakkan tumitnya ke bawah dari proksimal menuju distal di sepanjang permukaan ventral tungkai bawah yang lancip (sebaiknya pemeriksa harus memperagakan terlebih dahulu kepada pasien). Kesalahan umum: membiarkan pasien menggeserkan telapak kakinya di sepanjang tungkai bawah.
Mintalah pasien untuk mengetukkan tumit salah satu kakinya ke lutut kaki yang lain (seolah-olah sedang mendengarkan musik yang cepat).
Mintalah pasien untuk duduk dari posisi berbaring tanpa menggunakan tangannya dengan sikap tumit salah satu kaki berada di lutut kaki lainnya, serta amati apakah pasien jatuh ke satu sisi.
Jika pasien dapat melakukan semua gerakan tes tersebut dengan mata terbuka maka instruksikan untuk melakukan gerakan tersebut dengan kedua mata tertutup.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 129
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tes tumit lutut dikatakan positif – Normal apabila dapat melakukan semua gerakan tes tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif apabila tidak dapat melakukan semua gerakan tersebut.
Lakukan kembali tes tersebut secara bergantian. 4. Tes Telunjuk Hidung Mintalah pasien untuk duduk atau berbaring dan posisi tangan berada di sisi
samping tubuh. Mintalah kepada pasien untuk membuka kedua matanya kemudian menyentuh
hidungnya dengan jari telunjuk kanan dan kiri secara bergantian, cepat, dan akurat.
Jika pasien dapat melakukannya dengan mata terbuka maka instruksikan untuk melakukan gerakan tersebut dengan kedua mata tertutup.
Amati pasien selama melakukan tes tersebut. Bila pasien dapat melakukannya dikatakan positif – Normal. Akan tetapi bila pasien tidak dapat menyentuh hidung dengan jari telunjuknya secara akurat ataupun dengan gerakan sangat lambat maka dikatakan negatif.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 130
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara VI. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN
Waktu Aktivitas Keterangan
10 menit
Tiap kelompok kecil didampingi oleh seorang instruktur.
Instruktur Introduksi dan penyampaian pengantar (overview) rancangan kegiatan pelatihan. Pemutaran video pemeriksaan fungsi kortikal luhur dan kesadaran.
60 menit
Demonstrasi oleh instruktur, instruktur memperlihatkan cara-cara melakukan pemeriksaan fungsi kortikal luhur, kesadaran, saraf kranialis, dan fungsi koordinasi. Mahasiswa melakukan latihan cara melakukan pemeriksaan fungsi kortikal luhur, kesadaran, saraf kranialis, dan fungsi koordinasi. Mahasiswa melakukan latihan role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur (coaching).
Instruktur dan Mahasiswa
20 menit Mahasiswa melakukan latihan mandiri diawasi oleh instruktur. Mahasiswa
10 menit
Instruktur memberikan masukan (feedback) kepada mahasiswa.
Instruktur Instruktur dapat memberikan tugas mandiri, bila perlu, atau menutup acara pelatihan.
VII. PEDOMAN INSTRUKTUR
3.1. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mahasiswa : 1. Mengetahui cara melakukan pemeriksaan fungsi kortikal luhur, kesadaran, saraf
kranialis, dan fungsi koordinasi (4). 2. Mampu melakukan pemeriksaan fungsi kortikal luhur, kesadaran, saraf kranialis,
dan fungsi koordinasi (4).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 131
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
3.2. PELAKSANAAN 1. Latihan dan diskusi tiap kelompok dipimpin oleh seorang instruktur yang telah
ditetapkan oleh Bagian Skills Lab FK-UISU 2. Cara dan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan :
Waktu Aktivitas Keterangan
10 menit Pembukaan
Perkenalan
Instruktur Pengantar Pelatihan
Pemutaran Video
20 menit
Latihan
Demonstrasi
Instruktur dan Mahasiswa
40 menit Coaching
20 menit Latihan Mandiri
10 menit Penutupan
Feed Back
Instruktur Tugas Mandiri
Penutup
3. Waktu pelaksanaan :
Setiap kegiatan latihan dilaksanakan selama 2 x 50 menit (100 menit). 4. Tempat pelaksanaan kegiatan : Di ruangan Skills Lab. (Lantai 3) Alat dan Bahan
yang diperlukan : Meja dan kursi minimal 1 set Kursi ( 8 buah ). Tempat tidur periksa Pasien simulasi. Laptop. Tusuk gigi. Bahan dan larutan: kopi, teh, tembakau, parfum, vanilli. Spatula kayu Cotton bud Senter/lampu kepala
5.Materi Kegiatan / Latihan : Pemeriksaan fungsi kortikal luhur (4). Pemeriksaan kesadaran (4). Pemeriksaan Saraf Kranialis (4). Pemeriksaan Fungsi Koordinasi (4).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 132
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
RUJUKAN
1. Fungsi Kortikal Luhur. In : Mardjono M, Sidharta P,Harsono, ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press ; 2008. p. 3-8.
2. Koma. In : Mardjono M, Sidharta P,Harsono, ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press ; 2008. p. 35 - 48.
3. Fungsi Kortikal Luhur. In : Harsono, ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. 2nd edition. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press ; 1999. p. 3-8.
4. Koma. In : Harsono, ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. 2nd edition. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press ; 1999. p. 35-48.
5. Fungsi Luhur/Mental dan Kesadaran. In : Sidharta P, eds. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta : PT Dian Rakyat ; 2005. p.535-41.
6. Penilaian Derajat dan Kwalitas Kesadaran. In : Sidharta P, eds. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta : PT Dian Rakyat ; 2005. p.542-7.
7. Juwono T, Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek, Jakarta, EGC, 1996.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 133
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR (1) : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan
PEMERIKSAAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR DAN KESADARAAN Ya Tidak
1. Persiapan Pemeriksaan & Persiapan Pasien a. Persiapan Pemeriksaan
Sebelum melakukan pemeriksaan fungsi luhur dan tingkat kesadaran, pastikanlah keadaan ruangan pemeriksaan tertutup, sehingga dapat menjamin kerahasiaan pasien, serta memiliki penerangan yang baik.
Dokter hendaknya selalu didampingi seorang perawat, yang dapat bertindak sebagai saksi untuk menghindari perlakuan yang tidak benar, ditinjau dari pihak pemeriksa, maupun pasien.
b. Persiapan Pasien
Dokter menyapa dan memberi salam kepada pasien. Dokter mempersilahkan pasien duduk. Dokter terlebih dahulu memberitahukan pada pasien, prosedur, maksud dan tujuan pemeriksaan, secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien.
Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien sesuai pemeriksaan yang akan dilakukan (duduk atau berbaring).
2. Sindrom Hemisfer Kiri a.1. Sindrom Afasia Broca
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien saat berbicara secara spontan apakah bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
Interpretasi : sindrom afasia broca dikatakan positif (+) jika pasien berbicara spontan yang tidak lancar, nonfluen, terbata-bata, tata bahasanya kurang sempurna, kemampuan modalitas bahasa lainnya jelek, tidak dapat mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, tidak dapat menambahkan kata benda pada perkataan, tidak dapat menulis.
a.2 Sindrom Afasia Wernicke
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 134
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien saat berbicara secara spontan apakah bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang diucapkan
oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
Interpretasi : sindrom afasia wernicke dikatakan positif (+) jika pasien berbicara spontan lancar, fluen, namun sering kali berlebihan (logorea) dan tidak dapat dimengerti, pengertian bahasa dan kemampuan modalitas bahasa lainnya jelek, tidak dapat mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, tidak dapat menambahkan kata benda pada perkataan, tidak dapat membaca dan menulis.
Biasanya tidak disertai gejala hemiparesis, sehingga luput dari diagnosa afasia, bahkan dianggap sebagai kasus psikiatrik. Pada keadaan berat disebut afasia jargon.
a.3. Sindrom Afasia Global
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien saat berbicara secara spontan apakah bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
Interpretasi : sindrom afasia global dikatakan positif (+) jika pasien berbicara spontan mutisme, modalitas bahasa lainnya buruk, bahasanya tidak dapat dimengerti, tidak dapat mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, tidak dapat menambahkan kata benda pada perkataan, tidak dapat membaca dan menulis. Sindrom yang paling berat.
a.4. Sindrom Afasia Konduksi
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien saat berbicara secara spontan apakah bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
a.5. Sindrom Afasia Anomik
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 135
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Mintalah pasien berbicara secara spontan atau perhatikanlah pasien saat berbicara secara spontan apakah bahasanya dapat dimengerti atau tidak, mintalah pasien untuk mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa, menambahkan kata benda pada perkataan, membaca dan menulis.
Interpretasi : sindrom afasia anomik dikatakan positif (+) jika semua modalitas baik kecuali penamaan kata-
kata benda yang jelek. Merupakan sindrom yang relatif paling ringan.
b. Apraksia b.1. Apraksia Ideomotor
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien untuk menjulurkan lidah. Interpretasi : apraksia ideomotor dikatakan positif (+) jika
pasien tidak dapat melakukan gerakan menjulurkan lidah jika diperintah akan tetapi dapat melakukan gerakan tersebut secara spontan.
b.2. Apraksia Ideasional
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien untuk melipat sebuah surat kemudian memasukkan ke dalam amplop dan menempel perangko di atasnya.
Interpretasi : apraksia ideasional dikatakan positif (+) jika pasien tidak dapat melipat sebuah surat kemudian memasukkan ke dalam amplop dan menempel perangko di atasnya jika diperintah akan tetapi dapat melakukan gerakan tersebut secara spontan.
3. Sindrom Hemisfer Kanan a. Pengabaian (neglect)
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien untuk mengamati ruangan pemeriksaan dan mengatakan apa saja yang diamatinya.
Interpretasi : pengabaian (neglect) dikatakan positif (+) jika pasien mengabaikan ruangan sisi kiri (hemineglect).
b. Gangguan Visuospasial
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Tanyakan kepada pasien dimana dia sekarang berada.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 136
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Interpretasi : gangguan visuospasial dikatakan positif (+) jika pasien tidak mengenal tempat disekitarnya dan gangguan pengenalan wajah.
c. Gangguan Visuomotor c.1. Apraksia Kontruksi
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien untuk menggambar atau mencontoh membuat sebuah gambar, menyusun bentuk-bentuk dengan batang korek api atau menyusun balok-balok atas permintaan pemeriksa.
Interpretasi : apraksia kontruksi dikatakan positif (+) jika pasien tidak mampu menggambar atau membuat copy gambar, tidak mampu menyusun bentuk-bentuk dengan batang korek api atau tidak mampu menyusun balok-balok atas permintaan pemeriksa.
c.2. Apraksia Berpakaian
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien untuk membuka dan mengenakan kembali pakaiannya.
Interpretasi : apraksia berpakaian dikatakan positif (+) jika pasien tidak mampu mengenakan pakaian.
d. Afek dan Prosod
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pemeriksa (dokter) membuat ekspresi wajah yang berbeda-beda (marah, gembira, sedih atau terkejut) lalu mintalah pasien untuk memperhatikan dan mengatakan perubahan ekspresi wajah yang dia liat, mintalah pasien untuk menyanyikan bait lagu yang ditulis oleh pemeriksa, mintalah pasien untuk mendengarkan musik yang sedang diputar kemudian mengatakan jenis musiknya.
Interpretasi : afek dan prosodi dikatakan positif (+) jika pasien tidak mengenal perubahan wajah seseorang yang marah, gembira, sedih atau terkejut, pasien tidak dapat melagukan kalimat dan tidak mengenal ritme dan musik.
4. Gangguan Memori a.1. Gangguan Memori Jangka Pendek atau Memori Baru
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang baru saja dilakukannya.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 137
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Interpretasi : gangguan memori jangka pendek atau memori baru dikatakan positif (+) jika pasien tidak ingat hal-hal yang baru saja terjadi.
a.2. Gangguan Memori Jangka Panjang atau Memori Lama
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang dilakukannya dalam satu minggu terakhir ini.
Interpretasi : gangguan memori jangka panjang atau memori lama dikatakan positif (+) jika pasien lupa akan hal-hal yang telah terjadi.
b.1. Amnesia Retrogard
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang dilakukannya sebelum suatu insult atau kejadian terjadi.
Interpretasi : amnesia retrogard dikatakan positif (+) jika pasien lupa suatu periode sebelum suatu insult atau kejadian, contohnya : pasien lupa semua hal yang pernah dialaminya sebelum trauma capitis.
b.2. Amnesia Anterogard
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien untuk mengingat apa saja yang dilakukannya sesudah suatu insult atau kejadian terjadi.
Interpretasi : amnesia anterogard dikatakan positif (+) jika pasien lupa suatu periode setelah suatu kejadian atau insult, contohnya : pasien lupa semua hal yang dialaminya sesudah trauma capitis.
5. Gangguan Kognisi
Posisikan pasien dalam keadaan duduk dan pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Mintalah pasien untuk memahami suatu cerita, mengartikan suatu pribahasa, mengemukakan persamaan kata, melakukan perkalian.
Interpretasi : gangguan kognisi dikatakan positif (+) jika pasien mengalami gangguan cara berfikir, tidak dapat menjabarkan peribahasa, tidak mampu mengenal persamaan, kalkulasi dan konsep.
6. Kesadaran a. Kwalitas kesadaran secara umum
a.1. Compos mentis(kesadaran normal)
Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 138
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
Interpretasi : dikatakan compos mentis jika pasien menyadari seluruh asupan dari panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan waspada dimana pasien dapat menerangkan identitas dirinya, keberadaan saat pemeriksaan dilakukan, dan waktu saat dilkukan pemeriksaan dengan baik dan benar.
a.2. Obtundasi (kesadaran yang tumpul)
Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
Interpretasi : dikatakan obtundasi jika pasien tidak begitu waspada, perhatian untuk sekeliling berkurang dan
cenderung mengantuk tanpa memikirkan apa-apa.
a.3. Binggung atau Confused
Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pemeriksa memperkenalkan diri lalu menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia ada disitu, menanyakan kembali siapakah pemeriksa serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
Interpretasi : dikatakan binggung atau confused jika pasien menunjukkan kebinggungan dalam waktu dan pengenalan tempat/orang (disorientasi waktu, ruang dan orang).
a.4. Delirium
Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
Interpretasi : dikatakan delirium jika pasien menunjukkan kekacauan secara mental karena mengalami ilusi dan halusinasi, bereaksi sesuai dengan kekacauan pikirannya.
a.5. Apatis
Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 139
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Interpretasi : dikatakan apatia jika pasien kurang waspada, tidak tidur atau mengantuk namun tidak mau memperhatikan, menghiraukan dirinya dan sekelilingnya.
Pasien tidak bicara dan pandangannya hampa.
b. Penurunan kesadaran yang bersifat kualitatif
b.1. Somnole,drowsiness,clouding of consciousness, letargia atau mengantuk (derajat 1)
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pemeriksa memberikan stimuli baik motorik maupun verbal kepada pasien.
Interpretasi : dikatakan somnolen jika pasien memberikan respon terhadap stimuli yang dilakukan oleh pemeriksa namun tampak cenderung menutup mata (terlena lagi), sedikit binggung, pasien dapat bergerak (seperti gelisah motor) tetapi juga bisa tidur tenang tanpa banyak bergerak dan tidak mendengkur atau mengeram serta orientasi terhadap sekitarnya menurun.
b.2. Stuporatau sopor (derajat 2)
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan rangsangan nyeri, taktil dan visual kuat kepada pasien.
Interpretasi : dikatakan stupor atau sopor jika pasien memberikan respon terhadap stimuli yang dilakukan oleh pemeriksa namun jawaban verbal yang diberikan terbatas pada satu atau dua kata ataupun terbatas pada bahasa isyarat mengelengkan kepala menyatakan ’tidak’ dan anggukan kepala menyatakan ’iya’ dan mata pasien tertutup.
b.3. Semikoma atau soporokoma (derajat 3)
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak pasien), taktil dan visual kuat kepada pasien.
Interpretasi : dikatakan semikomaatau soporokoma jika pasien tidak memberikan respon verbal terhadap stimuli yang dilakukan oleh pemeriksa tetapi reaksi terhadap perangsangan kasar (jawaban motorik: hanya berupa gerakan primitif) masih ada walaupun hanya bersifat adaptif atau menghindari rangsangan nyari.
b.4. Koma(derajat 4)
Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 140
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ), dengan rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak pasien), taktil dan visual kuat kepada pasien.
Interpretasi : dikatakan koma jika pasien tidak memberikan respon terhadap stimuli apa pun, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik (merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah).
c. Penurunan kesadaran yang bersifat kuantitatif (skala koma Glasgow)
c.1. Reaksi Membuka Mata (tanggapan psiko-motorik)
Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pemeriksa memperhatikan gerakan membuka mata spontan pasien, membuka mata saat diberikan stimuli verbal (perintah membuka mata karena dipanggil), dan membuka mata saat diberi rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak pasien).
Interpretasi : Membuka mata secara spontan = 4 Membuka mata mengikuti perintah pangilan = 3 Membuka mata terhadap rangsang nyeri = 2 Tidak ada reaksi terhadap rangsangan nyeri = 1
c.2. Reaksi Verbal/Bicara
Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Pemeriksa melakukan komunikasi dengan pasien (mengajak pasien berbicara) kemudian pemeriksa memperhatikan tanggapan verbal pasien apakah ucapan pasien berorientasi (pasien sadar akan diri dan sekelilingnya, mengapa ia berada di tempat itu, tahu tahun, bulan dan hari penanggalan), kacau (disorientasi), ucapan tidak senonoh (misal : mengeluarkan kata-kata kutukan, berteriak dan tidak menghiraukan jalan percakapan), dan ucapan yang tidak dapat dimengerti (hanya berupa suara mengeram dan merintih).
Interpretasi : Tanggapan verbal berorientasi baik = 5 Tanggapan verbal disorientasi/binggung = 4 Tanggapan verbal tidak sesuai/satu kata saja = 3 Tanggapan verbal tidak dimengerti/suara saja = 2 Tidak ada suara sama sekali = 1
c.3. Reaksi Motorik
Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 141
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan (atas perintah) kemudian perhatikan dan nilai apakah pasien dapat melakukan gerakan atas tersebut; pemeriksa memberikan rangsangan pada tangan pasien kemudian perhatikan dan nilai apakah tangan yang dirangsang berfleksi pada sendi pergelangan tangan; berfleksi pada sendi bahu, sendi siku, dan sendi pergelangan tangan secara serempak (tanggapan motorik fleksor); pemeriksa mengaduksikan lengan pasien sambil berotasi ke dalam pada sendi bahu yang sedang dalam keadaan lurus dan lengan bawah berpronasi secara berlebihan (tanggapan motorik ekstensor) .
Interpretasi : Gerakan mengikuti perintah/bertujuan = 6 Gerakan menepis rangsang nyeri = 5 Gerakan menghindari nyeri = 4 Gerakan fleksi dekortikasi = 3 Gerakan ekstensi deserebrasi = 2 Tidak ada gerakan sama sekali = 1
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 142
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN
PEMERIKSAAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR DAN KESADARAN (Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa)
Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN
Persiapan Pemeriksaan & Persiapan Pasien :
PEMERIKSAAN FUNGSI KORTIKAL LUHUR :
Sindrom Hemisfer Kiri :
Sindrom Hemisfer Kanan:
Gangguan Memori :
Gangguan Kognisi : KESADARAN :
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 143
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR (2) : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS Ya Tidak
A. Persiapan
Mempersilahkan pasien masuk dan mengucapkan salam, sambil mengobservasi sikap, cara berjalan, mimik, serta penampilan umum pasien.
Memanggil atau menyapa pasien, dengan panggilan yang sopan, dan bila nama pasien telah diketahui, sapalah pasien dengan namanya.
Mempersilahkan pasien untuk duduk, menciptakan suasana nyaman, dan menghindari suasana seperti sedang introgasi.
Memperkenalkan diri, dan menjelaskan tugas, atau perannya dengan tutur bahasa yang baik dan sopan serta tampak empati.
Menanyakan identitas pribadi pasien dengan bahasa (Indonesia) yang benar, dan sopan, yang terdiri dari: nama, umur, alamat, suku, agama, status perkawinan, dan pekerjaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, terlebih dahulu melakukan penggalian anamnesis secara sistematik dan terarah, serta menuliskannya ke dalam status pasien
Menjelaskan maksud dan tujuan dilakukannya pemeriksaan saraf kranialis serta meminta persetujuan pasien (informed consent), apabila pasien setuju mintalah pasien menuju ruang periksa.
Mintalah perawat untuk membantu dokter selama pemeriksaan berlangsung guna menghindari perlakuan yang tidak diinginkan.
Pemeriksa mencuci tangan dengan teknik simple hands washing (menurut WHO) di bawah air mengalir dan mengeringkannya dengan handuk kering.
B. Prosedur Pemeriksaan Saraf Kranialis 1. Nervus Olfactorius (N. I)
Fungsi Pembauan Pastikan pasien tidak sedang mengalami rhinitis, edema konka, epistaksis, atropi konka (ozaena), dan gangguan pengaliran udara karena dapat menurunkan kualitas penciuman.
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Meminta pasien menutup kedua matanya dan fokus terhadap indera penciumannya.
Mendekatkan bahan-bahan dengan bau yang khas aromatik dan sudah dikenal pasien dikenal (kopi, teh, tembakau, parfum, vanilli) ke lubang hidung pasien dan mintalah untuk menghirupnya.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 144
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tidak boleh menggunakan bahan yang dapat merangsang mukosa hidung (alkohol, amoniak, bensin) karen dapat merangsang Nervus Trigeminus (N. V)
Mintalah pasien untuk mengidentifikasi bahan tersebut serta bandingkan kualitas penciuman antara hidung bagian kanan dan kiri. Pada orang tua fungsi pembauan dapat menurun (hiposmia).
2. Nervus Opticus (N. II)
Pemeriksaan ini meliputi ketajaman visual, uji lapangan pandang, dan refleks cahaya akan dibahas pada Blok Special Sense I.
3. Nervus Occulomotorius (N. III), Nervus Trochlearis (N. IV), dan Nervus Abducens (N. VI)
Pemeriksaan ini meliputi gerakan bola mata akan dibahas pada Blok Special Sense I.
4. Nervus Trigeminus (N. V) a. Fungsi Sensibilitas
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Meminta pasien menutup kedua matanya dan fokus terhadap sentuhan kulit pada bagian wajah.
Usaplah dengan pilinan kapas pada kelopak mata kanan atas dan bawah (serabut aferen N. V1 Dekstra cabang keluar dari foramen supraorbitalis dekstra), regio maksila kanan (serabut aferen N. V2 Dekstra cabang keluar dari foramen infraorbitalis dekstra), dan regio mandibula kanan (serabut aferen N. V3 Dekstra cabang keluar dari foramen mentale dekstra) serta tanyakan sentuhan yang dirasakan.
Lakukan hal yang sama pada kelopak mata kiri atas dan bawah, regio maksila kiri, dan regio mandibula kiri, lalu tanyakan perbendaan intensitas sentuhan yang dirasakan antara sisi kanan dan kiri.
b. Fungsi Motorik
Mintalah pasien untuk mengunyah atau menggigit spatula kayu, sementara itu pemeriksa mempalpasi otot temporalis dan masseter.
Catat apakah terdapat parese atau kelemahan kontraksi otot temporalis dan masseter.
c. Pemeriksaan refleks kornea akan dibahas pada Blok Special Sense I.
5. Nervus Facialis (N. VII) a. Fungsi Sensasi Rasa
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Dalam posisi diam, observasi terlebih dahulu wajah, apakah muka (sulkus nasolabialis) asimetris dan gerakan kontraksi abnormal seperti tic facialis, rhesus sardonicus, tremor, dan grimacing)
Meminta pasien menutup kedua matanya dan fokus terhadap indera perasa (lidah).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 145
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Dengan menggunakan cotton bud yang dibasahi cairan dengan rasa manis (larutan gula), pahit (larutan kinine atau kopi), asin (larutan garam), asam (larutan cuka) usapkan pada 2/3 bagian anterior lidah secara bergantian sisi kiri dan kanan, dimulai dari sisi normal.
Mintalah pasien untuk mengidentifikasi rasa dari cotton bud yang diusapkan pada lidah.
Mintalah pasien berkumur setiap kali hendak menguji dengan rasa yang berbeda.
b. Fungsi Otonom
Apakah produksi air mata (lakrimasi) berkurang (dry eyes). Apakah produksi saliva berkurang.
c. Fungsi Motorik
Mintalah pasien untuk mengangkat alis (apakah ada kesulitan mengangkat alis).
Mintalah pasien untuk menutup mata sementara pemeriksa berusaha membukanya (apakah kemampuan menutup mata berkurang atu
hilang).
Mintalah pasien untuk tersenyum, bersiul, mencucu, dan memperlihatkan gigi (apakah terlihat deviasi sudut mulut).
Mintalah pasien untuk mengerutkan dahi (apakah kerutan dahi tidak terlihat).
Mintalah pasien untuk meniup dengan menggembungkan pipi (apakah terdapat kebocoran udara yang ditiupkan pada salah satu sisi dan bandingkan kekuatan udara dari masing-masing pipi).
6. Nervus Acusticus/Vestibulocochlearis (N. VIII) a. Fungsi Pendengaran (Cochlear)
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di sebelah kanan pasien.
Mintalah pasien menutup telinga kiri dengan tangan kiri pasien, dekatkan arloji jam tangan atau suara gesekan jari pemeriksa pada telinga kanan pasien, kemudian dijauhkan sedikit demi sedikit sampai pasien tidak mendengar sumber suara tersebut..
Lakukan hal yang sama pada telinga kiri pasien, bandingkan dan catat tingkat kualitas pendengaran pasien.
b. Fungsi Keseimbangan (Vestibulator)
Pasien dalam posisi berdiri tegak dan pemeriksa berada di depan pasien.
Mintalah pasien untuk menutup mata dan berjalan lurus ke depan. Perhatikan apakah pasien tidak dapat berjalan lurus atau kehilangan keseimbangan.
7. Nervus Glossopharhygeus (N. IX) dan Nervus Vagus (N. X) a. Uji Gerakan Palatum
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada dihadapan pasien.
Mintalah pasien membuka mulut dan mengucapkan huruf ’a’ panjang.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 146
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pemeriksa memperhatikan apakah terdapat deviasi uvula dan arcus pharyngeus serta kegagalan mengangkat uvula.
b. Refleks Muntah dan Uji Sensorik
Mintalah pasien membuka mulutnya, dengan menggunakan spatula sentuhlah dinding faring sisi kanan dan kiri.
Perhatikan gerakan memuntah pada sentuhan dinding paring sisi kanan dan kiri.
Tanyakan apakah terdapat rasa baal pada faring yang disentuh. c. Kecepatan Menelan dan Batuk
Mintalah pasien untuk membuat gerakan menelan dan tanyakan apakah ada kesulitan untuk melakukan gerakan tersebut.
Mintalah pasien utntuk melakukan gerakan batuk sekuat-kuatnya dan perhatikan kekuatan batuk pasien.
8. Nervus Accessorius (N. XI) a. Uji Otot Sternocleidomastoideus
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada di hadapan pasien.
Mintalah pasien untuk menoleh ke kanan (fleksi lateral dekstra kepala dan leher) sambil melawan tahanan yang diberikan pemeriksa (menahan pipi sisi lateral kanan wajah pasien).
Perhatikan kontraksi otot sternokleidomastoideus, lakukan palpasi, apakah ada atropi dan lakukan hal yang sama pada sisi kiri.
b. Uji Otot Trapezius
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berdiri di belakang pasien atau berhadapan dengan pasien.
Mintalah pasien untuk mengangkat kedua bahu dan pemeriksa memberi tahanan (mendorong kedua bahu ke bawah).
Catat apakah terdapat penurunan kekuatan otot. 9. Nervus Hypoglosus (N. XII)
Pasien dalam posisi duduk di atas kursi periksa dan pemeriksa berada dihadapan pasien.
Mintalah pasien untuk membuka mulut dan perhatikan apakah posisi lidah simetris atau asimetris (deviasi).
Mintalah pasien untuk mengeluarkan lidah dan memasukkannya kembali dengan cepat, perhatikan kembali apakah posisi lidah simetris atau asimetris (deviasi).
Mintalah pasien untuk menjulurkan lidahnya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri apakah dapat menggerakkan lidah ke samping kanan dan kiri.
Mintalah pasien untuk menjulurkan lidahnya kembali dan perhatikan adanya tremor dan atropi papil lidah.
Mintalah pasien untuk berbicara, pemeriksa memperhatikan gerakan lidah apakah terjadi kesulitan artikulasi dan dengarkan apakah terdapat suara pelo atau dysarthria.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 147
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, pemeriksa kembali mencuci tangan dengan teknik simple hands washing dan mengeringkannya dengan handuk kering.
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 148
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS (Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa)
Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN
1. Nervus Olfactorius (N. I) : 2. Nervus Opticus (N. II)
: tidak dilakukan pemeriksaan
3. Nervus Occulomotorius (N. III)
: tidak dilakukan pemeriksaan
4. Nervus Trochlearis (N. IV)
: tidak dilakukan pemeriksaan
5. Nervus Trigeminus (N. V)
:
6. Nervus Abducens (N. VI)
: tidak dilakukan pemeriksaan
7. Nervus Facialis (N. VII)
:
8. Nervus Acusticus (N. VIII)
:
9. Nervus Glossopharyngeus (N. IX)
:
10. Nervus Vagus (N. X)
:
11. Nervus Accessorius (N. XI)
:
12. Nervus Hypoglossus (N. XII) :
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 149
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR (3) : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan
PROSEDUR PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR Ya Tidak
a. Persiapan pemeriksa
Pastikan pemeriksaan diruang tertutup sehingga dapat menjamin kerahasiaan pasien.
Mintalah seorang perawat untuk mendampingi pemeriksa selama pemeriksaan berlangsung, yang dapat bertindak sebagai saksi untuk menghindari perlakuan yang tidak benar ditinjau dari pihak pemeriksa maupun pasien.
b. Persiapan pasien
Pemeriksa menyapa dan memberi salam kepada pasien
Pemeriksa mempersilahkan pasien duduk Pemeriksa terlebih dahulu memberitahukan pada pasien, prosedur, maksud dan tujuan pemeriksaan fungsi koordinasi secara lisan dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent)
Pemeriksa mempersiapkan tempat yang sedemikan rupa dalam melaksanakan tes tersebut. (berupa ruangan yang lapang dan luas).
Mintalah perawat untuk mengatur pakaian pasien, sehingga seluruh bagian tubuh yang akan diperiksa dapat dilihat dan bagian tubuh yang tidak diperiksa harus ditutupin sekaligus mengatur posisi pasien.
1. Tes Romberg
Mintalah pasien untuk berdiri tegak dengan kedua kakinya secara berdampingan, dan sikap tangan berada di sisi samping tubuh, kepala dan badan tegak (biarkan pasien berdiri seperti ini dengan mata terbuka dan tertutup masing-masing selama 10-30 detik)
Beritahukan kepada pasien bahwa pemeriksa siap menangkapnya apabila pasien terjatuh terjatuh (pastikan pemeriksa siap).
Jika pasien jatuh duluan dengan mata terbuka, pemeriksa tidak dapat meneruskan tes. Namun jika tidak, mintalah pasien untuk menutup kedua matanya.
Amatilah pasien saat berdiri dengan mata terbuka dan tertutup. Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka dan berdiri dengan mata tertutup, ini berarti Tes Romberg Negatif – normal
Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka, tetapi jatuh dengan mata tertutup, ini berarti Tes Romberg positif – kelainan sensasi posisi sendi.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 150
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Bila pasien tidak dapat berdiri dengan mata terbuka dan kedua
kaki secara berdampingan, ini berarti terjadi ketidakseimbangan yang berat – umumnya disebabkan oleh: sindrom sereberal, sindrom vestibular sentral dan perifer.
Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka tetapi sempoyongan ke belakang dan ke depan dengan mata tertutup, ini berarti kemungkinan sindrom serebelum.
Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat berdiri sendiri dan Tes Romberg tidak dapat dikatakan memberikan nilai positif pada gangguan serebelum.
2. Tes Romberg Dipertajam Mintalah pasien untuk berdiri tegak dengan posisi tumit kaki
kanan berada dan menyentuh ujung ibu jari kaki kiri, dan sikap tangan berada di sisi samping tubuh, kepala dan badan tegak (biarkan pasien berdiri seperti ini dengan mata terbuka dan tertutup masing-masing selama 10-30 detik)
Beritahukan kepada pasien bahwa pemeriksa siap menangkapnya apabila pasien terjatuh terjatuh (pastikan pemeriksa siap).
Jika pasien jatuh duluan dengan mata terbuka, pemeriksa tidak dapat meneruskan tes. Namun jika tidak, mintalah pasien untuk menutup kedua matanya.
Amatilah pasien saat berdiri dengan mata terbuka dan tertutup. Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka dan berdiri dengan mata tertutup, ini berarti Tes Romberg Negatif – normal
Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka, tetapi jatuh dengan mata tertutup, ini berarti Tes Romberg positif – kelainan sensasi posisi sendi.
Bila pasien tidak dapat berdiri dengan mata terbuka dan kedua kaki secara berdampingan, ini berarti terjadi ketidakseimbangan yang berat – umumnya disebabkan oleh: sindrom sereberal, sindrom vestibular sentral dan perifer.
Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka tetapi sempoyongan ke belakang dan ke depan dengan mata tertutup, ini berarti kemungkinan sindrom serebelum.
Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat berdiri sendiri dan Tes Romberg tidak dapat dikatakan memberikan nilai positif pada gangguan serebelum.
Lakukan kembali tes tersebut secara bergantian. 3. Tes Tumit Lutut Mintalah kepada pasien untuk berbaring telentang.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 151
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Mintalah pasien untuk mengangkat salah satu tungkainya hingga meletakkan tumitnya di atas lutut tungkai yang lain (sebaiknya pemeriksa harus memperagakan terlebih dahulu kepada pasien).
Mintalah agar pasien menggerakkan tumitnya ke bawah dari proksimal menuju distal di sepanjang permukaan ventral tungkai
bawah yang lancip (sebaiknya pemeriksa harus memperagakan terlebih dahulu kepada pasien). Kesalahan umum: membiarkan pasien menggeserkan telapak kakinya di sepanjang tungkai bawah.
Mintalah pasien untuk mengetukkan tumit salah satu kakinya ke lutut kaki yang lain (seolah-olah sedang mendengarkan musik yang cepat).
Mintalah pasien untuk duduk dari posisi berbaring tanpa menggunakan tangannya dengan sikap tumit salah satu kaki berada di lutut kaki lainnya, serta amati apakah pasien jatuh ke satu sisi.
Jika pasien dapat melakukan semua gerakan tes tersebut dengan mata terbuka maka instruksikan untuk melakukan gerakan tersebut dengan kedua mata tertutup.
Tes tumit lutut dikatakan positif – Normal apabila dapat melakukan semua gerakan tes tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif apabila tidak dapat melakukan semua gerakan tersebut.
Lakukan kembali tes tersebut secara bergantian. 4. Tes Telunjuk Hidung Mintalah pasien untuk duduk atau berbaring dan posisi tangan
berada di sisi samping tubuh.
Mintalah kepada pasien untuk membuka kedua matanya kemudian menyentuh hidungnya dengan jari telunjuk kanan dan kiri secara bergantian, cepat, dan akurat.
Jika pasien dapat melakukannya dengan mata terbuka maka instruksikan untuk melakukan gerakan tersebut dengan kedua mata tertutup.
Amati pasien selama melakukan tes tersebut. Bila pasien dapat melakukannya dikatakan positif – Normal. Akan tetapi bila pasien tidak dapat menyentuh hidung dengan jari telunjuknya secara akurat ataupun dengan gerakan sangat lambat maka dikatakan negatif.
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 152
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN PROSEDUR PEMERIKSAAN FUNGSI KOORDINASI
(Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa)
Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 153
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Kedelapan ANAMNESIS KELAINAN SISTEM MUSKULOSKELETAL
Pemeriksaan fisik pada kelainan system musculoskeletal meliputi look (melihat) ,
feel ( meraba ) dan move ( menggerakan ) sesuai dengan pemeriksaan fisik cara Apley. Pemeriksaan dimulai dengan anamnesis penyakit musculoskeletal meliputi 5 W + 1 H ( where, when,why,who, what + how ) Pada anamnesis pertama perlu ditanyakan pertama kali identitas pasien ( who ) , apakah pasien tersebut berusia muda atau lanjut usia .
Pada pasien – pasien berusia muda , dibagi atas 2 golongan yakni usia anak – anak dan usia diatas 21 tahun namun dibawah 40 tahun. Pada golongan usia anak – anak dibagi atas 3 golongan yakni usia dibawah 5 tahun ( balita ) , usia antara 5 tahun hingga 12 tahun dan usia diatas 12 tahun namun dibawah 21 tahun 1. Usia dibawah 5 tahun ( balita )
Usia dibawah tahun dilakukan pemeriksaan bayi atau yang dikenal dengan orthopaedic check list. Pada pemeriksaan ini perlu dideskripsikan kelainan – kelainan congenital dan kondisi – kondisi yang merupakan variasi normal kelainan pada anak – anak. Kelainan yang umum bersifat congenital meliputi :
- Congenital talipes equino varus ( ctev ) atau yang lazim disebut kaki gada ( club foot )
- Kelainan kehilangan salah satu anggota gerak ( congenital amputation of tibia atau femoral )
- Kelainan yang berhubungan dengan kelainan congenital dibidang keilmuan lain seperti atresia ani yang diikuti dengan clubfoot
- Kelainan neurogenik yang berhubungan dengan system musculoskeletal - Kelainan cognitive yang berhubungan dengan system musculoskeletal
seperti Cerebral Palsy
Selain itu juga terdapat kelainan – kelainan musculoskeletal yang dianggap masih berhubungan dengan kelainan pada balita namun bila usia pasien masih dibawah 5 tahun masih dianggap sebagai variasi normal yakni
- Tibia vara - Blount disease - Osgood Schlater disease
Keseleruhan kelainan tersebut dicatatkan hingga maksimal usia 5 tahun dan dimasukkan dalam formulir yang sering dikenal dengan orthopaedic check list 2. Usia diatas 5 tahun namun dibawah 12 tahun
Pada usia ini banyak dijumpai penyakit yang berhubungan dengan usia pertumbuhan dan awal dari puber pada anak – anak.
Penyakit yang sering terjadi adalah kelainan – kelainan sistemik seperti leukemia yang berhubungan dengan kondisi musculoskeletal atau kelainan – kelainan neurogenik yang berhubungan dengan kekuatan otot .
3. Usia diatas 12 tahun namun dibawah 21 tahun
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 154
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pada usia ini penyakit banyak berhubungan dengan kondisi – kondisi yang berpengaruh pada akhir pertumbuhan ( awal – akhir pertumbuhan ) seperti congenital adolescent idiopathic scoliosis ( skoliosis pada remaja ).
Dimana perkembangan penyakit ini erat berhubungan dengan awal maturitas dan akhir dari penutupan lempeng pertumbuhan ( Risser ‘s sign )
Pada usia diatas 21 tahun namun dibawah 40 tahun atau yang lazim dikenal
dengan dewasa umumnya penyakit – penyakit musculoskeletal dibagi atas penyakit trauma atau non trauma dan berhubungan dengan system anggota gerak yang terlibat seperti
- Daerah persendian - Daerah tulang panjang - Daerah tulang belakang - Daerah tangan
Terapi pada penyakit – penyakit tersebut meliputi system yang terlibat seperti trauma pada tangan yang melibatkan anamnesis spesifik mengenai fungsi tangan beserta tendon dan saraf pendukungnya . Pada pasien diatas 40 tahun pada umumnya kelainan – kelainan yang dijumpai pada bidang musculoskeletal meliputi kelainan degenerative seperti osteoporosis dan osteoarthritis Osteoporosis dibagi atas 2 jenis yakni
- Osteoporosis primer yakni osteoporosis yang disebabkan oleh factor usia - Osteoporosis sekunder yakni osteoporisi yang disebabkan oleh factor –
factor non usia seperti trauma lama, kelainan congenital dan beberapa penyakit sistemik.
Osteoarthritis atau yang dikenal dengan radang sendi adalah jenis pengkeroposan tulang dilevel tulang rawan ( chondrosit ) dimana dibagi atas 3 tahap menurut Kelgreen Lawrence yakni 1. Osteoarthritis grade I : yakni sudah terdapat pertumbuhan tulang muda ( osteofit )
namun tidak dijumpai penyempitan celah sendi 2. Osteoartritis grade II : yakni sudah ada penyempitan celah sendi namun belum
hilangnya jarak antara tulang tibia dan femur ( kissing bone ) 3. Osteoarhtritis grade III : yakni sudah dijumpai penempelan tulang femur dan tibia (
kissing bone )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 155
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Kesembilan
PEMERIKSAAN FISIK TULANG BELAKANG I.PENDAHULUAN
Pemeriksaan fisik tulang belakang merupakan pemeriksaan yang rutin dilaukan untuk evaluasi sistem muskuloskeletal pada pasien. Pemeriksaan tulang belakang meliputi inspeksi tulang belakang saat istirahat dan bergerak, palpasi tulang belakang dan palpasi sakrum serta penilaian fleksi lumbal.
Pada modul keterampilan klinik ini akan dilatih bagaimana melakukan pemeriksaan fisik tulang belakang. Agar dapat melakukan pemeriksaan fisik dengan baik, terlebih dahulu diperlukan pengetahuan mengenai topografi organ tubuh yang akan diperiksa, dan tentunya latihan yang berulang, dengan atau tanpa menggunakan alat bantu pemeriksaan fisik. 1.1 Topografi Tulang Belakang
Tulang belakang atau columna vertebra merupakan struktur pusat yang menopang mulai dari leher ke bokong. Lekukan berbentuk konkaf dibentuk oleh vertebra cervicalis dan vertebra torakalis, sedangkan lekukan berbentuk konveks dibentuk oleh vertebra lumbalis dan sacrococcygeal. Lekukan-lekukan tersebut berkontribusi dalam mendistribusikan total berat badan ke pelvis dan ekstremitas bawah, hal inilah yang dapat menyebabkan kita dapat berjalan atau berlari. Tulang-tulang
Columna vertebra terdiri dari 24 vertebra yang berakhir pada sakrum dan coccyx. Vertebra bagian anterior merupakan bertumpunya berat badan. Vertebra bagian posterior melindungi corda spinalis. Adapun bagian dari setiap columna vertebra adalah sebagai berikut: • Processus spinosus terdapat pada bagian midline posterior dan dua processus tranversum
antara pedicle dan lamina. Terdapat otot-otot yang melekat pada processus-processus ini. • Processus articularis terdapat dua buah pada masing-masing sisi dari vertebra, satu buah
menghadap ke atas dan satu buah menghadap ke bawah, diantara pedicle dan lamina, disebut juga dengan articular facets.
• Foramen vertebra, yang terdapat dekat dengan corda spinalis, foramen intravertebral, dibentuk oleh bagian inferior dan superior dari processus articularis, membentuk saluran untuk lewatnya syaraf-syaraf spinalis; dan pada vertebra cervicalis, foramen transversum untuk arteri vertebral.
Sendi-sendi Tulang belakang mempunyai sendi-sendi tulang rawan yang mampu bergerak antara
badan vertebra dan articular facets. Antara badan-badan vertebra terdapat discus intervertebralis, masing-masing memiliki inti sentral yang bersifat lembut dan mucoid, nucleus pulposus, yang terdiri dari jaringan fibrous yang kuat dari annulus fibrosis. Discus intravertebra adalah bantalan tulang rawan yang berfungsi sebagai penahan goncangan ini terdapat di antara vertebra, sehingga memungkinkan sendisendi untuk bergerak secara halus. Tiap discus memiliki bagian tengah seperti bunga karang (berongga kecil-kecil) dan bagian luar yang keras dan mengandung serat saraf untuk rasa nyeri. Juga terdapat cairan yang mengalir kedalam dan keluar discus. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas sehingga memungkinkan punggung bergerak bebas. Discus intravertebral memungkinkan pergerakan antara vertebra dan columna vertebra untuk berlekuk, dan bergerak fleksi.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 156
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 1. Anatomi tulang dan sendi pada columna vertebra
Kelompok Otot Musculus trapezius dan musculus latissimus dorsi merupakan otot-otot besar yang
menutupi setiap sisi dari tulang belakang. Otot-otot tersebut menutupi dua lapisansatu lapisan menutupi dari kepala, leher dan pocessus spinosus (splenius capitis, splenius cervicis dan sacrospinalis) dan satu lapisan menutupi otot-otot intrinsik yang lebih kecil antara vertebra. Otot menutupi permukaan anterior dari vertebra, termasuk musculus psoas dan otot-otot pada dinding abdomen, membantu untuk dapat dilakukannya fleksi.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 157
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 2. Otot-otot pada daerah columna vertebra
1.2 Teknik Pemeriksaan Fisik Tulang Belakang Sebagaimana halnya pemeriksaan fisik pada sistem organ lainnya, jelaskanlah terlebih dahulu prosedur pemeriksaan fisik tulang belakang yang akan dilakukan secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien. Bila pasien setuju, aturlah posisi apsien sesuai dengan pemeriksaan yang akan dilakukan. Mintalah pasien mengganti pakaiannya dengan pakaian pemeriksaan bagi pasien perempuan dan membuka pakaian atas bagi laki-laki, agar memudahkan pemeriksa untuk memeriksa tulang belakang pasien. Sementara itu pemeriksa melakukan simple hand washing menurut WHO.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 158
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Inspeksi Inspeksi Tulang Belakang Saat Istirahat Mintalah pasien untuk berdiri tegak, sementara pemeriksa berdiri di belakang pasien.
Setelah selesai melihat dari belakang pasien, pemeriksa berdiri di samping pasien untuk melihat adanya abnormalitas.
Inspeksi dimulai dengan mengamati postur dari pasien termasuk posisi dari leher dan batang tubuh. Amatilah adanya scoliosis, kifosis atau lordosis pada pasien. Amatilah adanya jaringan parut, pigmentasi, kelainan
Amatilah kekuatan dari tulang belakang, otot-otot dan kesimetrisan pada anggota gerak dan batang tubuh. Lihatlah adanya ketidak-simetrisan pada level iliac crests (untuk mencari adanya pemendekan kaki secara unilateral), dan pembengkakan atau adanya abnormalitas lainnya.
Gambar 4 . Level iliac crest
pertumbuhan rambut dan kelainan kulit.
Gambar 3 – Kelainan postur tubuh akibat gangguan tulang belakang
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 159
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Apabila ada kekakuan leher, maka dapat dicurigai adanya arthritis, ketegangan otot
leher atau kemungkinan lainnya. Apabila leher pasien deviasi ke lateral, maka dapat dicurigai adanya tortocollis, dikarenakan kontraksi pada musculus sternocleidomastoideus.
Gambar 5. Inspeksi tulang belakang
Inspeksi Tulang Belakang Saat Bergerak Pemeriksa berdiri berhadapan dengan pasien, mintalah pasien untuk melihat ke atas
(atap) dan kemudian melihat ke bawah (lantai). Tes ini untuk menilai fleksi dan ekstensi cervical.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 160
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Pemeriksa berdiri berhadapan dengan pasien, mintalah pasien
untuk mendekatkan telinga pasien pada bahu. Tes ini untuk menilai fleksi lateral dari cervical.
Pemeriksa berdiri berhadapan dengan pasien, mintalah pasien untuk merotasikan lehernya sehingga dapat melihat ke sekelilignya. Tes ini untuk menilai rotasi dari cervical.
Pemeriksa berhadapan dengan pasien, mintalah pasien untuk membuka mulutnya dan menggerakkan rahangnya. Tes ini untuk menilai fungsi dari sendi temporomandibula.
Pemeriksa berdiri di sebelah pasien dan mintalah pasien untuk membungkuk sambil mencoba menyentuh ujung kaki pasien. Amatilah adanya abnormalitas pada lengkungan tulang belakang atau keterbatasan ekstensi pada panggul pasien. Tes ini untuk menilai fleksi dari lumbal.
Pemeriksa berada di belakang pasien, peganglah bagian pelvis pasien dan minta
pasien untuk memlengkungkan badannya ke belakang. Tes ini untuk menilai ekstensi dari lumbal.
Mintalah pasien untuk membungkuk dengan meletakkan tangannya pada lutut. Tes ini untuk menilai fleksi lateral dari lumbal.
Pemeriksa berada di belakang pasien, peganglah bagian pelvis pasien dan minta
pasien untuk bergerak ke kiri dan kanan tanpa menggerakkan kakinya. Tes ini untuk menilai rotasi thoraco-lumbar pasien.
Palpasi Palpasi Tulang Belakang Dari posisi duduk atau berdiri, palpasi prosesus spinosus dari setiap vertebra dengan
ibu jari mulai dari C1-L5. Pada umumnya kekakuan menandakan adanya fraktur atau dislokasi apabila didahului dengan mekanisme trauma, atau adanya infeksi atau arthritis.
Pada leher, palpasi juga sendi facet yang berada antara vertebra cervical kira-kira 1 inci sebelah lateral ke prosesus spinosus dari C2-C7. Sendi ini berada di sebelah dalam dari musculus trapezius dan tidak dapat dipalpasi kecuali otot-otot leher dalam keadaan istirahat. Kekakuan apda arthritis, terutama akan ditemukan pada sendi facet antara C5 dan C6.
Pada bawah area lumbal, palpasi secara seksama adanya “step-offs” (penurunan) pada salah satu processus spinosus untuk identifikasi adanya penonjolan. Identifikasi adanya kekakuan. “Step-offs” (penurunan) pada spondylolisthesis, atau perlicinan kedepan dari salah satu vertebra, dapat menekan corda spinalis.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 161
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Palpasi daerah atas sendi sacroiliac, identifikasi lekukan kulit pada daerah di atas
spina iliaca posterior superior. Kekauan di atas sendi sacroiliac menandakan adanya sacroiliitis atau ankylosing spondylitis.
Inspeksi dan palpasi musculus paravertebral untuk mencari ada tidaknya kekakuan atau spasme. Otot yang spasme akan terasa kenyal dan penonjolan akan terlihat. Spasme biasanya muncul pada proses degeneratif dan inflamasi pada otot. Pemanjangan kontraksi otot dapat muncul pada postur yang abnormal dan ansietas.
Palpasi Sakrum dan Penilaian Flexi Lumbal Mintalah pasien untuk memfleksikan pinggulnya dan membelakangi pemeriksa.
Palpasi nervus sciatic, syaraf terbesar pada seluruh tubuh yang merupakan kumpulan dari L4, L5, S1, S2 dan S3. Syaraf tersebut berada pada bagian tengah antara trochanter mayor femur dan tuberositas ischial. Apabila ada nyeri pada nervus sciatic maka dapat dicurigai adanya herniasi discus atau adanya massa yang menimpa perjalanan syaraf tersebut.
Gambar 6. Anatomi nervus sciatic
Palpasi adanya kekakuan pada area lainnya sekitar sakrum yang sesuai dengan gejala
pasien. Ingat kembali adanya low back pain untuk mencari adanya kompresi, karena hal itu dapat menyebabkan nyeri yang serius, dan dapat beresiko untuk terjadinya paralisis. Herniasi pada discus intervertebral paling sering terjadi pada L5-S1 atau L4-L5, yang dapat memicu adanya kekakuan pada daerah processus spinosis, sendi intervertebral, musculus paravertebral dan nervus sciatic. Rhematoid arthritis juga dapat menyebabkan kekakuan pada sendi intervertebral. Kekakuan padasudut costovertebral dapat menandakan infeksi dari ginjal dibandingkan dengan masalah muskuloskeletal.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 162
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 7. Daerah-daerah terjadinya kekauan pada sakrum
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 163
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
IV. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN
Waktu Aktivitas Keterangan
15 menit
Tiap kelompok kecil didampingi oleh seorang instruktur
Instruktur Introduksi dan Penyampaian Pengantar (overview) rancangan kegiatan pelatihan
45 menit
Demonstrasi oleh Instruktur, Instruktur menjelaskan topografi tulang belakang yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan pemeriksaan fisik tulang belakang. Langkah selanjutnya, instruktur (tutor) mendemonstrasikan cara-cara melakukan pemeriksaan fisik tulang belakang. Mahasiswa melakukan latihan role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur (coaching)
Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Mahasiswa melakukan latihan mandiri diawasi oleh instruktur. Mahasiswa
10 menit Instruktur memberikan masukan-masukan (feedback) kepada mahasiswa. Instruktur
V. PEDOMAN INSTRUKTUR 3.4TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mahasiswa : 1. Memahami dan mengenal topografi tulang belakang (C.1)
2. Mengetahui dan mampu melakukan pemeriksaan fisik tulang belakang (4A)
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 164
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
3.2PELAKSANAAN
1. Latihan dan diskusi tiap kelompok dipimpin oleh seorang instruktur yang telah
ditetapkan oleh bagian SDM MEU FK UISU 2. Cara dan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan :
Waktu Aktivitas Keterangan
15 menit Pembukaan
Perkenalan
Instruktur Responsi Pengantar (overview)
15 menit
Latihan
Demonstrasi Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Coaching 30 menit Latihan Mandiri
10 menit Penutupan Feed Back
Instruktur Penutup
3. Waktu pelaksanaan :
Setiap kegiatan latihan dilaksanakan selama 2 x 50 menit (100 menit). 4.Tempat pelaksanaan kegiatan : Di ruangan Skills Lab (lantai 3) 5.Alat dan Bahan yang diperlukan :
Meja Kursi 6-8 buah Pasien simulasi Wastafel Sabun Handuk kering Alkohol gliserin spray
6.Materi Kegiatan / Latihan : Pengenalan topografi tulang belakang (C.1) Inspeksi tulang belakang saat istirahat (4A) Inspeksi tulang belakang saat bergerak (4A) Palpasi tulang belakang (4A) Palpasi sakrum dan penilaian flexi lumbal (4A).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 165
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
RUJUKAN 1. Bickley L S, Szilagyi P G. Examination of Specific Joints: Anatomy and
Physiology and Techniques of Examination. In: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking 10th Edition. Philadelphia, Baltimore, New York, London, Buenos Aires, Hongkong, Sydney, Tokyo: Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins. 2009 : 609-14
2. Huntley Jim S, Gibson Jane, Hamish A, Simpson R W. The Musculoskeletal System. In: Douglas Grahan, Nicol Fiona, Robertson Colin. Macleod's Clinical Examination, 12th Edition. New York: Churchill Livingstone | Elsevier. 2009
3. Burns Elizabeth A, Korn Kenneth, Whyte James. Oxford American Handbook of Clinical Examination and Practical Skills. New York: Oxford University Press, Inc. 2011 : 354-5
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 166
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan PEMERIKSAAN FISIK TULANG BELAKANG Ya Tidak
1. Persiapan Pasien
Jelaskanlah terlebih dahulu prosedur pemeriksaan fisik tulang belakang yang akan dilakukan secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent)
Mintalah pasien mengganti pakaiannya dengan pakaian pemeriksaan bagi pasien perempuan dan membuka pakaian atas bagi laki-laki, agar memudahkan pemeriksa untuk memeriksa tulang belakang pasien
Dokter melakukan simple hand washing menurut WHO 2. Inspeksi a. Inspeksi Tulang Belakang Saat Istirahat
Mintalah pasien untuk berdiri tegak, sementara pemeriksa berdiri di belakang pasien. Setelah selesai melihat dari belakang pasien, pemeriksa berdiri di samping pasien untuk melihat adanya abnormalitas.
Amatilah postur dari pasien termasuk posisi dari leher dan batang tubuh. Amati apakah ada terdapat scoliosis, kifosis atau lordosis pada pasien.
Amatilah adanya jaringan parut, pigmentasi, kelainan pertumbuhan rambut dan kelainan kulit.
Amatilah kekuatan dari tulang belakang, otot-otot dan kesimetrisan pada anggota gerak dan batang tubuh. Lihatlah adanya ketidak-simetrisan pada level iliac crests (untuk mencari adanya pemendekan kaki secara unilateral), dan pembengkakan atau adanya abnormalitas lainnya.
Apabila ada kekakuan leher, maka dapat dicurigai adanya arthritis, ketegangan otot leher atau kemungkinan lainnya. Apabila leher pasien deviasi ke lateral, maka dapat dicurigai adanya tortocollis, dikarenakan kontraksi pada musculus sternocleidomastoideus.
b. Inspeksi Tulang Belakang Saat Bergerak
Pemeriksa berdiri berhadapan dengan pasien, mintalah pasien untuk melihat ke atas (atap) dan kemudian melihat ke bawah (lantai). Tes ini untuk menilai fleksi dan ekstensi cervical.
Pemeriksa berdiri berhadapan dengan pasien, mintalah pasien untuk mendekatkan telinga pasien pada bahu. Tes ini untuk menilai fleksi lateral dari cervical.
Pemeriksa berdiri berhadapan dengan pasien, mintalah pasien untuk merotasikan lehernya sehingga dapat melihat ke sekelilignya. Tes ini untuk menilai rotasi dari cervical.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 167
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pemeriksa berhadapan dengan pasien, mintalah pasien untuk membuka mulutnya dan menggerakkan rahangnya. Tes ini untuk menilai fungsi dari sendi temporomandibula.
Pemeriksa berdiri di sebelah pasien dan mintalah pasien untuk membungkuk sambil mencoba menyentuh ujung kaki pasien.
Amatilah adanya abnormalitas pada lengkungan tulang belakang atau keterbatasan ekstensi pada panggul pasien. Tes ini untuk menilai fleksi dari lumbal.
Pemeriksa berada di belakang pasien, peganglah bagian pelvis pasien dan minta pasien untuk memlengkungkan badannya ke belakang. Tes ini untuk menilai ekstensi dari lumbal.
Mintalah pasien untuk membungkuk dengan meletakkan tangannya pada lutut. Tes ini untuk menilai fleksi lateral dari lumbal.
Pemeriksa berada di belakang pasien, peganglah bagian pelvis pasien dan minta pasien untuk bergerak ke kiri dan kanan tanpa menggerakkan kakinya. Tes ini untuk menilai rotasi thoraco-lumbar pasien.
3. Palpasi a. Palpasi Tulang Belakang
Dari posisi duduk atau berdiri, palpasi prosesus spinosus dari setiap vertebra dengan ibu jari dimulai dari C1. Pada umumnya kekakuan menandakan adanya fraktur atau dislokasi apabila didahului dengan mekanisme trauma, atau adanya infeksi atau arthritis.
Pada leher, palpasi juga sendi facet yang berada antara vertebra cervical kira-kira 1 inci sebelah lateral ke prosesus spinosus dari C2-C7. Kekakuan pada arthritis, terutama akan ditemukan pada sendi facet antara C5 dan C6.
Pada bawah area lumbal, palpasi secara seksama adanya “stepoffs” (penurunan) pada salah satu processus spinosus untuk identifikasi adanya penonjolan. Identifikasi adanya kekakuan.
Palpasi daerah atas sendi sacroiliac, identifikasi lekukan kulit pada daerah di atas spina iliaca posterior superior. Kekakuan di atas sendi sacroiliac menandakan adanya sacroiliitis atau ankylosing spondylitis.
Inspeksi dan palpasi musculus paravertebral untuk mencari ada tidaknya kekakuan atau spasme. Otot yang spasme akan terasa kenyal dan penonjolan akan terlihat. Spasme biasanya muncul pada proses degeneratif dan inflamasi pada otot. Pemanjangan kontraksi otot dapat muncul pada postur yang abnormal dan ansietas.
b. Palpasi Sakrum dan Penilaian Flexi Lumbal
Mintalah pasien untuk memfleksikan pinggulnya dan membelakangi pemeriksa.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 168
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Palpasi nervus sciatic, syaraf terbesar pada seluruh tubuh yang merupakan kumpulan dari L4, L5, S1, S2 dan S3. Syaraf tersebut berada pada bagian tengah antara trochanter mayor femur dan tuberositas ischial. Apabila ada nyeri pada nervus sciatic maka dapat dicurigai adanya herniasi discus atau adanya massa yang menimpa perjalanan syaraf tersebut.
Palpasi adanya kekakuan pada area lainnya sekitar sakrum yang sesuai dengan gejala pasien. Ingat kembali adanya low back pain untuk mencari adanya kompresi, karena hal itu dapat menyebabkan nyeri yang serius, dan dapat beresiko
untuk terjadinya paralisis. Herniasi pada discus intervertebral paling sering terjadi pada L5-S1 atau L4-L5, yang dapat memicu adanya kekakuan pada daerah processus spinosis, sendi intervertebral, musculus paravertebral dan nervus sciatic.
Rhematoid arthritis juga dapat menyebabkan kekakuan pada sendi intervertebral. Kekakuan pada sudut costovertebral dapat menandakan infeksi dari ginjal dibandingkan dengan masalah muskuloskeletal.
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 169
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN PEMERIKSAAN FISIK TULANG BELAKANG
(Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa) Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN
Tanda tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 170
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Kesepuluh
PEMERIKSAAN FISIK EKSTREMITAS ATAS & BAWAH
I.PEMERIKSAAN SENDI BAHU (SHOULDER JOINT)
1.1 Pendahuuan Pemeriksaan fisik Sendi bahu merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk
evaluasi sistem muskuloskeletal pada pasien. Pemeriksaan sendi bahu meliputi inspeksi, palpasi dan pergerakan sendi (Range of Movement).
Pada modul keterampilan klinik ini akan dilatih bagaimana melakukan pemeriksaan fisik sendi bahu agar dapat melakukan pemeriksaan fisik dengan baik, terlebih dahulu diperlukan pengetahuan mengenai topografi organ tubuh yang akan diperiksa, dan tentunya latihan yang berulang, dengan atau tanpa menggunakan alat bantu pemeriksaan fisik. 1.2 Topografi sendi bahu atau shoulder joint Sendi bahu merupakan suatu sendi yang secara mekanik sangat kompleks dan terdiri atas tiga komponen persendian yaitu sendi glenohumeral, sendi akromioklavikular , sendi sternoklavikular. Sendi glenohumeral memungkinkan untuk gerakan abduks, fleksi dan rotasi dibawah kontrol otot skapulohumeral. Kedua sendi lainnya bersamasama memberikan pergerakan 90o berupa rotasi skapula terhadap thoraks dan sedikit perputaran anteroposterior skapula. Nyeri pada bahu dan lengan harus dibedakan dengan seksama apakah kelainan ini berasal dari bahu sendiri atau nyeriyang berasal dari vertebra servikalis atau toraks.
Gambar 1. Sendi Bahu
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 171
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Sendi-sendi Ada tiga sendi yang berbeda yang bekerja pada bahu :
• Sendi glenohumeral, pada sendi ini caput humerus berartikulasi dengan fossa glenoid yang dangkal dari scapula. Sendi ini letaknya dalam dan biasanya tidak teraba. Sendi ini berbentuk bola dan soketnya yang dapat menggerakkan lengan kesegala arah baik flexi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi dan sirkumduksi
• Sendi sternoclavicular , menghubungkan daerah clavicula bagian media yang berbentuk cembung dengan cekungan sternum atas.
• Sendi Acromioclavicular, menghubungkan ujung clavicula bagian lateral dengan procesus acromion dari scapula.
1.3 Teknik Pemeriksaan Fisik Sendi Bahu Sebagaimana halnya pemeriksaan fisik pada sistem organ lainnya, jelaskanlah terlebih dahulu prosedur pemeriksaan fisik tulang belakang yang akan dilakukan secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien. Bila pasien setuju, aturlah posisi pasien sesuai dengan pemeriksaan yang akan dilakukan. Mintalah pasien mengganti pakaiannya dengan pakaian pemeriksaan bagi pasien perempuan dan membuka pakaian atas bagi laki-laki, agar memudahkan pemeriksa untuk memeriksa tulang belakang pasien. Sementara itu pemeriksa melakukan simple hand washing menurut WHO.
Inspeksi Amati bahu dan daerah pengikat bahu bagian anterior, scapula dan otot yang
berhubungan dibagian posterior. Catat apakah ada pembengkakan , deformitas, atrophi otot, fasikulasi (tremor halus dari otot) atau posisi yang abnormal. Lihat apakah ada pembengkakan di kapsul sendi anterior atau tonjolan di sub acromion dibawah otot deltoid. Lihat secara keseluruhan bagian ektremitas atas apakah ada perubahan warna, perubahan kontur kulit dan kontur tulang yang tidak biasa.
Palpasi Mulailah palpasi daerah tulang bahu kemudian palpasi setiap daerah yang nyeri. Dimulai dari medial pada sendi sternoclavicular terus sampai ke lateral clavicula
dengan jari. Kemudian dari belakang ikuti mulai tulang scapula lateral, keatas sampai ke
acromion (A) atau puncak dari bahu yang akan teraba kasar dan sedikit cembung bila diraba. Tandai puncak anterior dari acromion.
Jari telunjuk diatas acromion tekan ke medial dengan ibu jari sampai teraba penonjolan tulang itulah bagian distal dari clavicula pada sendi acromioclavicular. Pindahkan ibu jarimu kemedial dengan turun sedikit sampai teraba tonjolan yang disebut processus coracoid dari scapula (B).
Lalu dengan ibu jari diatas processus coracoid, turun ibu jari kearah lateral dari humerus untuk mempalpasi tuberkel yang besar dimana otot SITS berinsersi.
Selanjutnya untuk mempalpasi tendon bisep dalam intertuberkular
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 172
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 2. A. Imaginer Acromialis, B. Proc. Coracoideus, C. Supraglenoidalis
Pergerakan sendi bahu Ada enam pergerakanpada sendi bahu, yaitu flexi, ekstensi, abduksi, Adduksi, internal dan eksternal rotasi.
1. Flexi Instruksi pasien : Angkat lengan atas kearah depan sampai melewati kepala, normal apabila lengan pasien bisa sejajar kepala atau membentuk sudut 180o terhadap batang tubuh.
2. Ekstensi Instruksi pasien : ayunkan lengan kearah belakang, normal apabila mampu mencapai sudut 80o terhadap batang tubuh.
3. Abduksi Instruksi pasien : Angkat lengan kearah luar menjauhi tubuh, normal apabila bisa mencapai sudut 180o terhadap batang tubuh.
4. Adduksi Instruksi pasien : Silangkan lengan kearah depan tubuh sejajar dengan dada, normal apabila pasien mampu mencapai sudut 90o terhadap batang tubuh.
5. Internal rotasi Instruksi pasien : Tempatkan salah satu telapak tangan ke punggung sampai menyentuh tulang scapula yang berlawanan, normal apabila pasien mampu menyentuh scapula yang berlawanan.
6. Exsternal rotasi Instruksi pasien : Angkat lengan setinggi bahu kemudian gerakkan sendi siku kearah depan dan putar sendi bahu kearah dalam dan luar, normal apabila gerakan sendi bahu mampu membentuk sudut 90o antara gerakan kedalam dan keluar.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 173
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 4. Ekstensi dan Abduksi Sendi Bahu
Gambar 3. Fleksi Sendi Bahu
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 174
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 5. Adduksi Sendi Bahu
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 175
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 6. Rotasi Internal dan Eksternal Sendi Bahu
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 176
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
II. PEMERIKSAAN SENDI SIKU ( ELBOW JOINT )
II.I Pendahuluan Sendi siku merupakan sendi pembantu dan penahan tangan dan sebagai tumpuan
pengangkat lengan bawah. Sendi siku terbentuk dari hubungan tulang humerus dan dua tulang pada lengan bawah yaitu radius dan ulna. Tulang tulang ini membentuk tiga artikulasi yaitu humeroulnar joint, radiohumeral joint, radioulnar joint .ketiga articulasi terbentuk dalam satu cavum
II.2 Teknik pemeriksaan sendi siku
Inspeksi Atur posisi lengan bawah pasien agar fleksi 70o, kemudian identifikasi medial dan lateral dari epicondylus dan processus olecranon dari ulna. Inspeksilah permukaan dari elbow yang terdiri dari permukaan ekstensor dan procesus olecranon dari ulna. Catat apakah terdapat nodul atau pembengkakan.
Palpasi Palpasi processus olecranon dan sedikit lebih ditekan didaerah epicondylus untuk mengetahui ada tidaknya kekakuan. Catat apakah ada pergeseran dari olecranon. Palpasi antara epicondylus dan olecranon, catat apakah terdapat pembengkakan, penebalan atau tahanan. Lokasi ini juga merupakan lokasi terbaik untuk pemeriksaaan sinovial.
Gambar 7. Palpasi Epikondilus dan Olecranon
Pergerakan sendi siku Pergerakan sendi siku terdiri dari flexi dan ekstensi dari siku , pronasi dan supinasi dari lengan bawah. Flexi
Angkat lengan bawah kearah lengan atas, normal lengan bawah mampu membentuk sudut 150o terhadap lengan atas.
• Ekstensi Regangkan lengan bawah, normal tidak bisa membentuk suduk ( 0o)
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 177
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
• Pronasi Putar telapak tangan kearah bawah ( telungkup ), normal pasien akan mampu memnbentuk sudut 90o
• Supinasi
Putar telapak tangan ke arah atas ( terlentang ), normal pasien mampu membentuk sudut 90o
Gambar 8. Arah Fleksi Sendi Siku
Gambar 9. Arah Supinasi_Pronasi
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 178
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
III. PEMERIKSAAN PERGELANGAN TANGAN (WRIST JOINT) DANTANGAN
III.1 Pendahuluan Pergelangan tangan dan tangan adalah suatu unit yang kecil dan kompleks dengan
aktifitas sendi yang tinggi dan terus menerus sepanjang waktu selama beraktifitas yang hanya dilindungi oleh jaringan lunak yang tipis sehingga meningkatkan untuk terjadinya trauma dan gangguan fungsi
Gambar 10. Anatomi Metakarpal Manus
III.2 Teknik pemeriksaan pergelangan tangan dan tangan
Inspeksi • Perhatikan posisi tangan pada saat bergerak harus tampak halus dan alami. Pada saat
istirahat jari seharusnya tampak sedikit flexi dan hampir bersentuhan satu sama lainnya.
• Inspeksi permukaan palmar dan dorsal dari pergelangan tangan dan tangan dengan seksama untuk melihat apakah ada pembengkakan dari sendi.
• Catat apakah tampak ada deformitas dari pergelangan tangan, tangan dan tulang jari jari, selanjutnya perhatikan ada tidaknya angulasi dari tulang radius ulna.
• Amati permukaan kontur dari palmar yang disebut thenar dan hipothenar. • Catat apakah ada penebalan dari tendon flexor atau adanya kontraktur palmar pada
posisi flexi.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 179
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Palpasi • Pada pergelangan tangan, palpasi bagian distal radius dan ulna pada permukaan
medial dan lateral. Palpasi dengan menggunakan ibu jari dari bagian dorsum pergelangan tangan, catat apakah ada pembengkakan atau kekakuan.
• Palpasi radial styloid dari bagian lateral dengan menggunakan ibu jari. • Palpasi delapan tulang carpal pada bagian distal pergelangan tangan.
Telapak tangan menghadap kebawah,kemudian gerakakan kearah bawah, normal akan mampu membentuk sudut 90o terhadap lengan bawah.
• Ekstensi Telapak tangan menghadap kebawah , kemudian gerakkan kearah atas, normal mampu membentuk sudut 90o terhadap lengan bawah.
• Adduksi ( radial deviasi ) Telapak tangan menghadap kebawah, kemudian gerakkan kearah medial atau ke sisi os radius, normal mampu membentuk sudut 20o.
• Abduksi ( ulnar deviasi ) Telapak tangan menghadap kebawah, kemudian gerakkan kearah lateral atau ke
sisi os ulna, normal mampu membentuk sudut 30o.
Gambar 11. Palpasi Carpal
Pergerakan per gelangan tangan Flexi
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 180
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 12. Arah Pergerakan Pergelangan Tangan
Pergerakan jari jari
• Fleksi Tegakkan telapak tangan, kemudian ibu jari digerakkan kearah telapak tangan. • Exstensi
Tegakkan telapak tangan, kemudian ibu jari digerakkan menjauhi telapak tangan. • Adduksi
Tegakkan telapak tangan, kemudian ujung ibu jari digerakkan kearah dalam menyentuh bagian distal jari kelingking. • Abduksi
Tegakkan telapak tangan, kemudian ujung ibu jari digerakkan menjauhi bagian distal jari kelingking. • Oposisi
Tegakkan telapak tangan , kemudian ujung ibu jari digerakkan kearah dalam menyentuh bagian proximal jari kelingking.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 181
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gambar 13. Arah Pergerakan Sendi Ibu Jari
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 182
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
PEMERIKSAAN SENDI EKSTREMITAS ATAS
Keluhan Utama yang sering dikeluhkan penderita yang mengalami gangguan
muskuloskeletal yaitu :
1. Deskripsi Nyeri PQRST :
Position : dapat menentukan posisi dan lokasi nyeri
Quality adalah derajat kualitas nyeri seperti rasa menusuk, panas, dan lainlain
Radiation penjalaran nyeri
Severity tingkat beratnya nyeri (sering dihubungkan dengan gangguan
Activity Daily Living (ADL)
Timing kapan timbulnya nyeri, apakah siang, malam, waktu istirahat, dan lainlain
2. Perubahan bentuk (Deformitas)
• Bengkak biasanya karena radang, tumor, pasca trauma, dan lain-lain
• Bengkok misanya pada Varus bengkok keluar
• Valgus bengkok kedalam seperti kaki X
• Genu varum kaki seperti O
• Pendek dapat dibandingkan dengan kontralateral yang normal
3. Gangguan Fungsi (Disfungsi)
• Penurunan / hilangnya fungsi
• Afungsi ( Tak bisa digerakkan sama sekali) • Kaku (stiffnesss)
• Cacat (disability)
• Gerakan tak stabil (instability)
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 183
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
PEMERIKSAAN FISIK UMUM DAN CARA BERJALAN NORMAL
Pemeriksaan umum dan tanda-tanda vital - Keadaan umum tampak sehat, sakit, sakit
berat - Tanda – tanda vital seperti tekanan darah, frekuensi nadi, nafas, dan temperatur
Bentuk dan penampilan tubuh sewaktu datang
Bentuk tubuh – Normal – Athletic – Cebol – Bongkok – Miring
Cara penderita datang – Normal - Pincang – Digendong
Cara berjalan penderita yang normal dan kelainan cara berjalan - fase jalan normal
Meletakkan tumit : Heel strike
Fase menapak : Stance Phase
Ujung jari bertumpu : Toe Off
Mengayun langkah : Swing Phase
Kelainan Cara Berjalan
Antalgic gait (anti = against, algic = pain). = Nyeri waktu menapak sehingga langkah
memendek
Tredelenberg gait (paralise n. ischiadicus)
Stepage gait (langkah pendek-pendek) Antalgic gait Steppage gait Tredelenberg gait
Pemeriksaan tonus otot : Tonus otot diperiksa biasanya pada otot-otot ekstremitas
dimana posisi ekstremitas tersebut harus posisi relaksasi. Pemeriksaan dengan cara
perabaan dan dibandingkan dengan otot pada sisi lateral tubuh penderita, atau otot
lainnya. Dapat juga dibandingkan dengan otot pemeriksa yang tonusnya normal .
Yang paling sering adalah memeriksa tonus otot –otot femur pada lesi medula
spinalis.
Tonus otot bisa: Eutonus : tonus normal , Hipertonus : tonus meninggi,
Hipotonus : tonus melemah Pemeriksaan atrofi otot Otot atrofi atau tidak dapat dinilai dengan cara: -
Membandingkan dengan ukuran otot pada sisi lateralnya - Mengukur lingkaran
anggota yang atropi dan dibandingkan dengan anggota sebelahnya
Pemeriksaan gerakan panggul Inspeksi dan Palpasi. Pengukuran discrepancy
(kesenjangan panjang anggota gerak) Membandingkan ukuran kiri dan kanan dengan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 184
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
melihat perbedaan tonjolan atau sendi-sendi tertentu, seperti lutut kiri dengan lutut
kanan, ankle kiri dengan ankle kanan. Appereance length : perbedaan jarak ukuran
antara pusat dan maleolus kiri dan kanan. True length:
perbedaan jarak antara SIAS dan maleolus kiri dan kanan
Lembar Pengamatan Instruktur
No .
Langkah / Tugas Pengamatan
Ya Tidak
1 Menyapa pasien, memperkenalkan diri
2 Memeriksa pergerakan sendi panggul
3 Memeriksa gerakan sendi lutut
4 Memeriksa discrepency kesenjangan anggota gerak
5 Memeriksa otot paha (atrofi)
6 Memeriksa gerakan ankle dan kaki
Tanda tangan
Instruktur
(......................)
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 185
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara IV. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN
Waktu Aktivitas Keterangan
15 menit
Tiap kelompok kecil didampingi oleh seorang instruktur
Instruktur Introduksi dan Penyampaian Pengantar (overview) rancangan kegiatan pelatihan
45 menit
Demonstrasi oleh Instruktur, Instruktur menjelaskan pemeriksaan fisik sendi bahu, pemeriksaan fisik sendi siku, pemeriksaan pergelangan tangan dan tangan, langkah selanjutnya, instruktur (tutor) mendemonstrasikan cara-cara melakukan pemeriksaan fisik sendi bahu, pemeriksaan fisik sendi siku, pemeriksaan pergelangan tangan dan tangan. Mahasiswa melakukan latihan role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur (coaching)
Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Mahasiswa melakukan latihan mandiri diawasi oleh instruktur. Mahasiswa
10 menit Instruktur memberikan masukan-masukan (feedback) kepada mahasiswa. Instruktur
V. PEDOMAN INSTRUKTUR 5.1TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mahasiswa : 1. Mengetahui dan mampu melakukan pemeriksaan fisik sendi pada ektremitas atas. 2. Mampu mendeteksi kelainan pada sendi ekstremitas atas.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 186
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
5.2PELAKSANAAN 1. Latihan dan diskusi tiap kelompok dipimpin oleh seorang instruktur yang telah
ditetapkan oleh bagian SDM MEU FK UISU 2. Cara dan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan :
Waktu Aktivitas Keterangan
15 menit Pembukaan
Perkenalan
Instruktur Responsi Pengantar (overview)
15 menit
Latihan
Demonstrasi Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Coaching 30 menit Latihan Mandiri
10 menit Penutupan Feed Back
Instruktur Penutup
3. Waktu pelaksanaan :
Setiap kegiatan latihan dilaksanakan selama 2 x 50 menit (100 menit). 4.Tempat pelaksanaan kegiatan : Di ruangan Skills Lab (lantai 3) 5.Alat dan Bahan yang diperlukan :
Meja Kursi 6-8 buah Pasien simulasi Wastafel Sabun Handuk kering Alkohol gliserin spray
6.Materi Kegiatan / Latihan : Pemeriksaan fisik sendi bahu ( shoulder joint ) Pemeriksaan fisik sendi elbow Pemeriksaan fisik pergelangan tangan ( wrist joint ) Pemeriksaan fisik jari jari
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 187
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
RUJUKAN
1. Bickley L S, Szilagyi P G. Examination of Specific Joints: Anatomy and Physiology and Techniques of Examination. In: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking 10th Edition. Philadelphia, Baltimore, New York, London, Buenos Aires, Hongkong, Sydney, Tokyo: Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins. 2009 : 609-14
2. Huntley Jim S, Gibson Jane, Hamish A, Simpson R W. The Musculoskeletal System. In: Douglas Grahan, Nicol Fiona, Robertson Colin. Macleod's Clinical Examination, 12th Edition. New York: Churchill Livingstone | Elsevier. 2009
3. Burns Elizabeth A, Korn Kenneth, Whyte James. Oxford American Handbook of Clinical Examination and Practical Skills. New York: Oxford University Press, Inc. 2011 : 354-5
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 188
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan PEMERIKSAAN FISIK SENDI BAHU Ya Tidak
1. Persiapan Pasien
Jelaskanlah terlebih dahulu prosedur pemeriksaan fisik sendi bahu akan dilakukan secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent)
Mintalah pasien mengganti pakaiannya dengan pakaian pemeriksaan bagi pasien perempuan dan membuka pakaian atas bagi laki-laki, agar memudahkan pemeriksa untuk memeriksa
Dokter melakukan simple hand washing menurut WHO 2. Inspeksi
Mintalah pasien untuk duduk atau berdiri tegak, sementara pemeriksa berdiri di belakang pasien. Setelah selesai melihat dari belakang pasien, pemeriksa berdiri di samping pasien untuk melihat adanya abnormalitas.
Amati bahu dan daerah pengikat bahu bagian anterior, scapula dan otot yang berhubungan dibagian posterior. Catat apakah ada pembengkakan, deformitas, atrophi otot, fasikulasi (tremor halus dari otot) atau posisi yang abnormal.
Lihat apakah ada pembengkakan di kapsul sendi anterior atau tonjolan di sub acromion dibawah otot deltoid.
Lihat secara keseluruhan bagian ektremitas atas apakah ada perubahan warna, perubahan kontur kulit dan kontur tulang yang tidak biasa.
Lakukan pemeriksaan yang sama untuk sendi sisi lainnya. 3. Palpasi
Mintalah pasien untuk duduk, sementara pemeriksa duduk atau berdiri di samping sisi sendi yang diperiksa.
Mulailah palpasi daerah tulang bahu kemudian palpasi setiap daerah yang nyeri.
Dimulai dari medial pada sendi sternoclavicular terus sampai ke lateral clavicula dengan jari.
Kemudian dari belakang ikuti mulai tulang scapula lateral ,keatas sampai ke acromion (A) atau puncak dari bahu yang akan teraba kasar dan sedikit cembung bila diraba. Tandai puncak anterior dari acromion.
Jari telunjuk diatas acromion tekan ke medial dengan ibu jari sampai teraba penonjolan tulang itulah bagian distal dari clavicula pada sendi acromioclavicular. Pindahkan ibu jarimu kemedial dengan turun sedikit sampai teraba tonjolan yang disebut processus coracoid dari scapula (B).
4. Pergerakan Sendi bahu
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 189
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Flexi Angkat lengan atas kearah depan sampai melewati kepala, normal apabila lengan pasien bisa sejajar kepala atau membentuk sudut 180o terhadap batang tubuh.
Ekstensi Ayunkan lengan kearah belakang, normal apabila mampu mencapai sudut 80o terhadap batang tubuh.
Abduksi Angkat lengan kearah luar menjauhi tubuh, normal apabila bisa mencapai sudut 180o terhadap batang tubuh.
Adduksi Silangkan lengan kearah depan tubuh sejajar dengan dada, normal apabila pasien mampu mencapai sudut 90o terhadap batang tubuh.
Internal rotasi Tempatkan salah satu telapak tangan ke punggung sampai menyentuh tulang scapula yang berlawanan, normal apabila pasien mampu menyentuh scapula yang berlawanan.
Exsternal rotasi Angkat lengan setinggi bahu kemudian gerakkan sendi siku kearah depan dan putar sendi bahu kearah dalam dan luar, normal apabila gerakan sendi bahu mampu membentuk sudut 90o antara gerakan kedalam dan keluar.
PEMERIKSAAN FISIK SENDI SIKU (ELBOW JOINT)
1. Persiapan pasien
Jelaskanlah terlebih dahulu prosedur pemeriksaan fisik sendi siku akan dilakukan secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent)
Mintalah pasien mengganti pakaiannya dengan pakaian pemeriksaan bagi pasien perempuan dan membuka pakaian atas bagi laki-laki, agar memudahkan pemeriksa untuk memeriksa
Dokter melakukan simple hand washing menurut WHO 2. Inspeksi
Atur posisi lengan bawah pasien agar fleksi 70o. kemudian identifikasi medial dan lateral dari epicondylus dan processus olecranon dari ulna.
Inspeksilah permukaan dari elbow yang terdiri dari permukaan ekstensor dan procesus olecranon dari ulna.
Mintalah pasien untuk memfleksikan pinggulnya dan membelakangi pemeriksa.
Catat apakah terdapat nodul atau pembengkakan. Kemudian identifikasi medial dan lateral dari epicondylus dan processus olecranon dari ulna.
3. Palpasi
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 190
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Palpasi processus olecranon dan sedikit lebih ditekan didaerah epicondylus untuk mengetahui ada tidaknya kekakuan.
Catat apakah ada pergeseran dari olecranon. Palpasi antara epicondylus dan olecranon. Catat apakah terdapat pembengkakan,penebalan atau tahanan.
Lokasi ini juga merupakan lokasi terbaik untuk pemeriksaaan sinovial.
4. Pergerakan sendi siku ( Elbow joint )
Flexi Angkat lengan bawah kearah lengan atas, normal lengan bawah mampu membentuk sudut 150o terhadap lengan atas.
Ekstensi Regangkan lengan bawah, normal tidak bisa membentuk sudut ( 0o).
Pronasi Putar telapak tangan kearah bawah ( telungkup ), normal pasien akan mampu memnbentuk sudut 90o
Supinasi Putar telapak tangan ke arah atas ( terlentang ), normal pasien mampu membentuk sudut 90o
PEMERIKSAAN FISIK PERGELANGAN TANGAN DAN TANGAN
1. Persiapan pasien
Jelaskanlah terlebih dahulu prosedur pemeriksaan fisik sendi siku akan dilakukan secara lisan, dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent)
Mintalah pasien untuk menarik lengan bawah baju bila pasien memakai baju lengan panjang.
Dokter melakukan simple hand washing menurut WHO 2. Inspeksi
Perhatikan posisi tangan pada saat bergerak harus tampak halus dan alami. Pada saat istirahat jari seharusnya tampak sedikit flexi dan hampir bersentuhan satu sama lainnya.
Inspeksi permukaan palmar dan dorsal dari pergelangan tangan dan tangan dengan seksama untuk melihat apakah ada pembengkakan dari sendi.
Catat apakah tampak ada deformitas dari pergelangan tangan, tangan dan tulang jari jari, selanjutnya perhatikan ada tidaknya angulasi dari tulang radius ulna.
Amati permukaan kontur dari palmar yang disebut thenar dan hipothenar.
Catat apakah ada penebalan dari tendon flexor atau adanya kontraktur palmar pada posisi flexi.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 191
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
3. Palpasi
Pada pergelangan tangan, palpasi bagian distal radius dan ulna pada permukaan medial dan lateral. Palpasi dengan menggunakan ibu jari dari bagian dorsum pergelangan tangan, catat apakah ada pembengkakan atau kekakuan.
Palpasi radial styloid dari bagian lateral dengan menggunakan ibu jari.
Palpasi delapan tulang carpal pada bagian distal pergelangan tangan.
4. Pergerakan pergelangan tangan
Flexi Telapak tangan menghadap kebawah,kemudian gerakakan kearah bawah, normal akan mampu membentuk sudut 90o terhadap lengan bawah.
Ekstensi Telapak tangan menghadap kebawah, kemudian gerakkan kearah atas, normal mampu membentuk sudut 90o terhadap lengan bawah.
Adduksi ( radial deviasi ) Telapak tangan menghadap kebawah, kemudian gerakkan kearah medial atau ke sisi os radius, normal mampu membentuk sudut 20o.
Abduksi ( ulnar deviasi ) Telapak tangan menghadap kebawah, kemudian gerakkan kearah lateral atau ke sisi os ulna, normal mampu membentuk sudut 30o.
5. Pergerakan jari jari
Fleksi Tegakkan telapak tangan, kemudian ibu jari digerakkan kearah telapak tangan.
Exstensi Tegakkan telapak tangan, kemudian ibu jari digerakkan menjauhi telapak tangan.
Adduksi Tegakkan telapak tangan, kemudian ujung ibu jari digerakkan kearah dalam menyentuh bagian distal jari kelingking.
Abduksi Tegakkan telapak tangan, kemudian ujung ibu jari digerakkan menjauhi bagian distal jari kelingking.
Oposisi Tegakkan telapak tangan , kemudian ujung ibu jari digerakkan kearah dalam menyentuh bagian proximal jari kelingking.
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 192
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN
PEMERIKSAAN FISIK SENDI EKSTREMITAS ATAS (Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa)
Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN
Tanda tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 193
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Kesebelas PEMERIKSAAN FISIK SENDI
Sendi di tubuh kita dibagi atas sendi 1. uniPlanar 2. Biplanar 3. triplanar 4. multiplanar
Sendi uniplanar adalah sendi yang pergerakannnya mengikuti 1 arah saja seperti bantalan diskus pada tulang belakang dan fontanela pada cranium Sendi biplanar adalah sendi yang memiliki gerakan dua dimensi yakni fleksi dan ekstensi seperti sendi lutut. Sendi planar adalah sendi yang memiliki gerakah tiga dimensi yakni fleksi , ekstensi dan abduksi seperti sendi bahu Sendi multiplanar adalah sendi yang memiliki gerakan lebih dari tiga yakni fleksi ,ekstensi, abduksi dan rotational seperti sendi panggul. Pemeriksaan fisik dimulai sesuai dengan metode Apley dimana : 1. look : inspeksi / melihat apakah terdapat deformitas atau luka maupun kondisi
yang mencurigakan di daerah sendi seperti atrofi , kontraktur dan maupun kelainan neoplasma.
2. Feel : palpasi / meraba untuk mengetahui tenderness / ketegangan jaringan lunak yang terdapat pada ektremitas sendi maupun apabila terdapat kemiringan varus / valgus pada sendi.
3. Move : gerakan / mobilitas dimana diukur rasio pergerakan sendi yang dinyatakan dalam derajat ( range of motion )
Pemeriksaan sendi yang diambil sebagai contoh adalah sendi lutut Pada pemeriksaan look dapat dijumpai : - Kontur jaringan di sendi lutut - Adanya luka – luka post trauma - Bentuk lutut apakah miring ke dalam ( varus ) atau miring keluar ( valgus ) - Apakah ada perbedaan panjang kaki kiri dan kanan ( leg length discrepancy ) - Apakah terdapat massa tumor atau sebagainya
Semua pemeriksaan ini dideskripsikan dalam status dan digunakan perbandingan antara bagian sendi lutut yang sehat dan yang sakit Kemudian dilakukan pemeriksaan feel yang meliputi : - Apakah ada atrofi otot pada daerah di sekitar sendi lutut - Apakah terdapat tanda tanda inflamasi di sekitar sendi seperti rubor ,color ,
dolor dan kalor - Diukur pula ukuran massa yang terdapat disekitar sendi apabila dicurigai adanya
massa tumor
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 194
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Pada pemeriksaan move yang merupakan pengukuran gerakan ratio sendi ( range of motion ) meliputi : - Pergerakan range of motion sendi uniplanar - Pergerakan range of motion sendi biplanar - Pergerakan range of motion sendi triplanar - Pergerakan range of motion sendi multiplanar
Perlu dicatat perbandingan gerakan sendi antara kedua ekstremitas baik yang sehat maupun yang tidak untuk mengetahui perbandingan range of motion tersebut.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 195
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Keduabelas
PENATALAKSANAAN FRAKTUR DAN CEDERA OTOT / LIGAMEN
II.PENDAHULUAN
Dewasa ini, kasus fraktur (patah tulang) banyak dijumpai dalam kedaruratan bedah, baik karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, kecelakaan kerja, maupun fraktur pada lanjut usia dan osteoporosis. Kurangnya kewaspadaan dan penggunaan alat pelindung diri meningkatkan resiko tingginya angka cedera tersebut. Fraktur ini dapat terjadi kapan dan dimanapun tanpa bisa diprediksi terutama pada kasus-kasus kecelakaan. Maka dari itu, setiap orang harus dibekali pengetahuan tentang penanganan awal pada fraktur sehingga komplikasi yang terjadi akibat kurangnya penanganan yang cepat dan tepat dapat diminimalisir ataupun dihindari. Komplikasi serius yang dapat terjadi akibat fraktur seperti: fraktur yang menjepit pembuluh darah menyebabkan nekrosis jaringan, syok neurogenik, emboli jaringan fraktur dan lemak, jaringan fraktur yang merobek pembuluh darah (perdarahan), sindroma kompartemen akut, kecacatan, bahkan kematian.
Penanganan awal fraktur meliputi reposisi dan immobilisasi pada ekstremitas. Untuk melakukan reposisi dibutuhkan keterampilan khusus dengan cara menarik bagian ekstemitas dan mengulurnya dalam upaya menyatukan kembali segmen tulang yang terpisah sesuai dengan posisi anatomisnya. Selain itu kesulitan melakukan reposisi apabila fraktur disertai nyeri hebat sehingga terlebih dahulu harus diberikan analgetik dan sedativa. Setelah reposisi, selanjutnya dilakukan immobilisasi. Tujuan utama immobilisasi adalah untuk mempertahankan ekstremitas yang cedera sesuai posisi anatomisnya dan mencegah gerak yang berlebihan. Immobilisasi pada fraktur dapat dilakukan dengan pemasangan pen, gips, dan bidai. Immobilisasi yang paling mudah, sederhana, dan murah dapat dilakukan dengan pembidaian. Pembidaian biasanya dilakukan bersamaan dengan pembalutan. Pada fraktur terbuka diperlukan balut tekan steril untuk menghentikan perdarahan sebelum dilakukannya pembidaian dan selanjutnya dirujuk ke sentra trauma.
Pembidaian biasanya hanya dilakukan pada fraktur ekstemitas. Pada fraktur ekstemitas ini harus ditangani segera karena dapat menimbulkan gangguan hemodinamik yang dapat mengancam jiwa. Fraktur ekstremitas ini merupakan bagian trauma muskuloskeletal yang juga dapat menimbulkan gagal ginjal akibat lepasnya mioglobulin dari otot dan mengendap pada tubulus renalis. Pada kasus-kasus trauma multipel perlu dicurigai adanya fraktur ekstremitas yang memerlukan tindakan pembidaian. Walaupun penatalaksanaan kasus-kasus trauma harus berdasarkan urutan prioritas meliputi ABCDE, yaitu: Airway dengan proteksi vertebra servikal, Breathing, Circulation dan kontrol perdarahan eksternal, Disability atau status neurologis, dan Exposure (penilaian dari kepala hingga kaki tanpa mengenakan busana) dan Environment (kontrol temperatur), yang dalam hal ini sering luput dari perhatian ketika lamanya waktu penanganan Airway dan Breathing dimana fraktur sering disertai perdarahan dan gangguan hemodinamik yang mengancam jiwa. Maka dari itu, pemasangan bidai harus dilakukan segera mungkin bersamaan dengan dan tidak boleh mengganggu resusitasi sesuai dengan urutan prioritas penatalaksanaan trauma. III. PENGERTIAN FRAKTUR
Fraktur merupakan gangguan integritas jaringan tulang. Penatalaksanaan fraktur ekstremitas membutuhkan pembidaian. Pembidaian ialah teknik melakukan fiksasi dan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 196
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
immobilisasi pada fraktur dengan menggunakan bidai. Bidai dibuat dari bahan yang kaku atau sedikit fleksibel yang dibalut dengan bahan lembut (seperti kapas, kasa, atau gulungan katun). Bidai yang sering digunakan terbuat dari kayu bersegi panjang dan lebar disesuaikan dengan ekstremitas, ketebalan sekitar 5-15 mm yang dibungkus dengan kapas dan kasa.
IV. DIAGNOSTIK FRAKTUR 1. Anamnesis: Fraktur umumnya didahului riwayat trauma pada tulang yang
mengalami cedera, gejala yang diperoleh berupa perubahan bentuk, nyeri, pembengkakan dan gangguan fungsi.
2. Pemeriksaan Fisik:
- Inspeksi a. Asimetris jika dibandingkan dengan sisi yang normal b. Deformitas, seperti: Angulasi (membentuk sudut); Rotasi (memutar), dan
Pemendekan. c. Tanda cedera d. Pembengkakan e. Kulit berwarna kebiruan dan pucat pada fraktur yang menjepit atau merobek
arteri (perdarahan masif). f. Pada fraktur terbuka tampak jaringan tulang
- Palpasi a. Nyeri tekan pada daerah cedera (tenderness); b. Krepitasi (suara dan sensasi berkeretak) tetapi usaha untuk mendapatkan
krepitasi tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan nyeri. c. Spasme otot-otor sekitar daerah cedera. d. Pulsasi arteri lemah atau tidak teraba pada fraktur yang menjepit atau merobek
arteri (perdarahan masif). - Pergerakan
a. Gerak abnormal apabila dilakukan gerakan pada bagian yang cedera tetapi usaha untuk mendapatkan krepitasi tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan nyeri.
b. Kehilangan fungsi pada bagian yang cedera yang disebabkan oleh nyeri membatasi gerak ataupun gangguan saraf.
3. Pemeriksaan Penunjang: a. Foto Ronsen: merupakan pemeriksaan rutin setelah keadaan stabil meliputi minimal
2 sisi (anterior, lateral, atu oblik) dan 2 sendi (sendi proksimal dan distal pada ekstremitas yang cedera).
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging) untuk menilai kerusakan tulang, saraf, dan jaringan sekitarnya.
V. TUJUAN PEMBIDAIAN a) Mencegah pergerakan pada ekstremitas yang cedera. b) Mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut (pembuluh darah, saraf, dan otot). c) Mengurangi nyeri. d) Mempertahankan posisi yang nyaman. e) Mempermudah transportasi korban. f) Mengistirahatkan bagian tubuh yang cedera. g) Mempercepat penyembuhan.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 197
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
VI. TIPE BIDAI 1. Bidai Traksi (Traction Splint)
Gambar 1. Bidai Traksi dan Cara Memasangnya
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 198
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
2. Bidai Udara (Inflatable Splint)
Gambar 2. Bidai Udara dan Cara Memasangnya 3. Bidai Hampa Udara (Vacuum Splint)
Gambar 3. Bidai Hampa Udara dan Cara Memasangnya
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 199
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
4. Bidai Kayu (Board Splint)
Gambar 4. Bidai Kayu dan Cara Memasangnya 5. Bidai Aluminium (SAM Splint)
Gambar 5. Bidai Aluminium dan Cara Memasangnya
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 200
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
VII. PENATALAKSANAAN FRAKTUR EKSTREMITAS
a.Persiapan Pastikan pembidaian dilakukan pada lokasi yang aman. Usahakan mengenakan alat pelindung diri minimal sarung tangan. Persiapkan alat dan bahan berupa: Bidai kayu, Elastic Bandage atau kasa
gulung, Gunting, Selimut penutup untuk mencegah hipotermi. Jika pasien sadar beritahukan tentang prosedur, maksud dan tujuan pembidaian
secara lisan dengan bahasa yang mudah dimengerti, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent).
Usahakan pasien pada posisi baring supinasi dan atur agar mendapatkan posisi yang paling nyaman.
b.Cara Imobilisasi dan Pembidaian (Fraktur 1/3 Medial Os Tibia)
Lakukan pemeriksaan secara cepat sesuai urutan prioritas ABCDE dan tangani terlebih dahulu keadaan yang mengancam jiwa.
Tanggalkan seluruh pakaian pasien, lepaskan jam tangan, cincin, dan semua benda yang dikenakan pada ekstremitas yang cedera, lalu periksa adanya tandatanda fraktur.
Tutup bagian yang tidak mengalami fraktur dengan selimut penutup untuk menghindari hipotermi.
Periksa neurovaskular ekstremitas yang mengalami cedera berupa pemeriksaan sensorik, motorik, pulsasi arteri bagian distal cedera, dan refill capillary test.
Jika tampak deformitas, pulsasi arteri bagian distal ekstremitas yang mengalami cedera tidak teraba dan refill capillary test > 2 detik, periksa apakah adanya fraktur menjepit pembuluh darah dengan cara meluruskan ekstremitas, reposisi, dan traksi dengan hati-hati, serta pertahankan hingga bidai terpasang.
Jika tampak luka dan perdarahan maupun jaringan tulang yang terpapar, tutup dengan bantalan kasa steril kemudian dibalut dengan kasa gulung.
Pilih tipe dan ukuran bidai yang sesuai dengan ekstremitas yang panjangnya sekitar 10-15 cm melampaui persendiannya.
Pembidaian meliputi 2 sendi (sendi di atas dan sendi di bawah ekstremitas yang cedera) dan minimal 2 sisi (medial, lateral, anterior, maupun posterior).
Bidai difiksasi dengan kasa yang dijadikan pengikat minimal 3 ikatan pada bagian distal, proksimal, dan pertengahan bidai.
Simpul ikatan terletak pada permukaan bidai, pada sisi bidai yang mudah dijangkau (lateral atau anterior), dan tidak boleh tepat diatas fraktur.
Bidai dibalut dengan elastic bandage atau kasa gulung. Pembalutan dilakukan secara sirkuler bertumpang tindih dari distal ke proksimal
dan bagian ujung pembalut direkatkan dengan perekatnya Periksa kembali neurovaskular ekstremitas yang mengalami cedera tiap 15
menit. Buang bahan bekas pakai ke tempat sampah. Berikan profilaksis antimikroba dan tetanus. Rujuk ke sentra trauma dan konsulkan ke ahli orthopedi dan traumatologi.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 201
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
II. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN
Waktu Aktivitas Keterangan
(30 menit) Setiap kelompok kecil didampingi oleh seorang instruktur. Instruktur Overview rancangan kegiatan pelatihan.
45 menit
Demonstrasi oleh Instruktur, Instruktur memperlihatkan cara melakukan pembidaian. Mahasiswa melakukan latihan cara melakukan pembidaian dengan manekin atau role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur (coaching).
Instruktur dan Mahasiswa
15 menit Mahasiswa melakukan latihan mandiri diawasi oleh instruktur. Mahasiswa
(10 menit) Instruktur (tutor) memberikan masukan (feedback) kepada mahasiswa. Instruktur
III. PEDOMAN INSTRUKTUR III.1 TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mahasiswa : 1. Dapat mengetahui dan memahami tatalaksana fraktur ekstremitas dalam
keadaan darurat. 2. Terampil melakukan pembidaian pada fraktur ekstremitas.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 202
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
III.2 PELAKSANAAN 1. Latihan dan diskusi tiap kelompok dipimpin oleh seorang instruktur yang telah
ditetapkan oleh Bagian SDM MEU FK-UISU. 2. Cara dan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan :
Waktu Aktivitas Keterangan
30 menit Pembukaan Perkenalan
Instruktur Pengantar (overview) 15 menit
Latihan
Demonstrasi Instruktur dan Mahasiswa
30 menit Coaching 15 menit Latihan Mandiri
10 menit Penutupan
Feed Back
Instruktur Tugas Mandiri Penutup
3. Waktu pelaksanaan :
Setiap kegiatan latihan dilaksanakan selama 2 x 50 menit (100 menit). 4. Tempat pelaksanaan kegiatan : Di ruangan Skills Lab (Lantai 3). 5. Alat dan Bahan yang diperlukan :
Manekin Bidai Elastic Bandage Kasa Gulung Gunting Perban Kursi Tempat tidur.
6. Materi Kegiatan / Latihan : Cara melakukan pembidaian pada fraktur ekstremitas
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 203
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
RUJUKAN
1. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support—Student Course Manual. 7th ed.
2. Purwadianto A (ed), et al. Pedoman Penatalaksanaan Praktis Kegawatdaruratan Medis. Panitia Lulusan Dokter FK UI 1979, Jakarta: Cetakan I; 1979.
3. Pusponegoro AD (ed), et al. Basic Trauma and Cardiac Life Support. Diktat Ambulans 118, Jakarta: Edisi I; 2007.
Samsuhidayat W, De Jong W, eds. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: Edisi II, Cetakan I; 2005.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 204
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR : Untuk Latihan
No. Langkah / Tugas Pengamatan PENATALAKSANAAN FRAKTUR EKSTREMITAS Ya Tidak
a. Persiapan
Pastikan pembidaian dilakukan pada lokasi yang aman. Usahakan mengenakan alat pelindung diri minimal sarung tangan.
Persiapkan alat dan bahan berupa: Bidai kayu, Elastic Bandage atau kasa gulung, Gunting, Selimut penutup untuk mencegah hipotermi.
Jika pasien sadar beritahukan tentang prosedur, maksud dan tujuan pembidaian secara lisan dengan bahasa yang mudah dimengerti, kemudian mintalah persetujuan pasien (informed consent).
Usahakan pasien pada posisi baring supinasi dan atur agar mendapatkan posisi yang paling nyaman.
b. Cara Imobilisasi dan Pembidaian (Fraktur 1/3 Medial Os Tibia)
Lakukan pemeriksaan secara cepat sesuai urutan prioritas ABCDE dan tangani terlebih dahulu keadaan yang mengancam jiwa.
Tanggalkan seluruh pakaian pasien, lepaskan jam tangan, cincin, dan semua benda yang dikenakan pada ekstremitas yang cedera, lalu periksa adanya tanda-tanda fraktur.
Tutup bagian yang tidak mengalami fraktur dengan selimut penutup untuk menghindari hipotermi.
Periksa neurovaskular ekstremitas yang mengalami cedera berupa pemeriksaan sensorik, motorik, pulsasi arteri bagian distal cedera, dan refill capillary test.
Jika tampak deformitas, pulsasi arteri bagian distal ekstremitas yang mengalami cedera tidak teraba dan refill capillary test > 2 detik, periksa apakah adanya fraktur menjepit pembuluh darah dengan cara meluruskan ekstremitas, reposisi, dan traksi dengan hati-hati, serta pertahankan hingga bidai terpasang.
Jika tampak luka dan perdarahan maupun jaringan tulang yang terpapar, tutup dengan bantalan kasa steril kemudian dibalut dengan kasa gulung.
Pilih tipe dan ukuran bidai yang sesuai dengan ekstremitas yang panjangnya sekitar 10-15 cm melampaui persendiannya.
Pembidaian meliputi 2 sendi (sendi di atas dan sendi di bawah ekstremitas yang cedera) dan minimal 2 sisi (medial, lateral, anterior, maupun posterior).
Bidai difiksasi dengan kasa yang dijadikan pengikat minimal 3 ikatan pada bagian distal, proksimal, dan pertengahan bidai tetapi tidak boleh tepat diatas fraktur.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 205
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Simpul ikatan terletak pada permukaan bidai, pada sisi bidai yang mudah dijangkau (lateral atau anterior), dan tidak boleh tepat diatas fraktur.
Bidai dibalut dengan elastic bandage atau kasa gulung. Pembalutan dilakukan secara sirkuler bertumpang tindih dari distal ke proksimal dan bagian ujung pembalut direkatkan dengan perekatnya
Periksa kembali neurovaskular ekstremitas yang mengalami cedera tiap 15 menit.
Buang bahan bekas pakai ke tempat sampah. Berikan profilaksis antimikroba dan tetanus.
Rujuk ke sentra trauma dan konsulkan ke ahli orthopedi dan traumatologi.
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 206
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN PEMBIDAIAN DAN PENATALAKSANAAN FRAKTUR EKSTREMITAS
(Hasil Latihan Mandiri Mahasiswa)
Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
Cara Imobilisasi dan Pembidaian pada Fraktur Ekstremitas: Tanda Tangan Instruktur, ( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 207
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Ketigabelas PEMBACAAN FOTO RONTGEN TULANG TENGKORAK, EKSTREMITAS,
DAN TULANG BELAKANG
Peran film polos dalam penilaian trauma telah menghilang saat CT scan telah menjad: pemeriksaan penunjang awai pilihan pada kasus trauma kepala yang berat, terutama jikadisertai penurunan kesadaran atau gejala neurologis lainnya. CT akan mendeteksi fraktur dan kelainan yang mendasarinya seperti perdarahan intraserebral atau kontusio, cairan subdural dan ekstradural. Garis sutura yang normal (korona, lambdoid, dan sagital - serta tanda-tanda vaskular harus dapat diidentifikasi. Fraktur dapat terlihat sebagai:
• Linear: garis lusen yang berbatas tajam tanpa disertai tepi yang sklerotik. • Depresi: fragmen tulang terdorong ke dalam dengan lapisan dalamnya mengalami
penekanan yang lebih besar dibandingkan ketebalan kubah kranial.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 208
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Fraktur tulang wajah Lapangan pandang yang digunakan adalah oksipitomental dengan dagu diangkat. Tulang zygomatikum dapat mengalami fraktur akibat pukulan langsung pada wajah dan fraktur dapat terjadi pada beberapa dari keempat tonjolan pada tubuh berikut: arkus zigomatikus, sutura frontozigomatika, dinding depan orbita, atau dinding lateral antrum maksilaris. Batas cairan pada antrum maksilaris yang disebabkan fraktur cenderung mengindikasikan adanya darah. Fraktur mandibula Pukulan pada mandibula sering menyebabkan fraktur pada dua tempat jika mandibula dipandang sebagai cincin tulang.
Gambar 8.9 Ortopantomogram: fraktur pada mandibula (tanda panah). Tulang belakang servikal Proyeksi standar adalah AP dan lateral, namun sering dilakukan pengambilan gambar dengan sudut pandang mulut terbuka untuk melihat Cl dan C2; sudut pandang oblik kadang-kadang diperlukan untuk mengevaluasi permukaan sendi dan foramen intervertebra. Sudut pandang dengan posisi fleksi dan ekstensi harus dilakukan dengan hati-hati untuk mendiagnosis ketidakstabilan. Film polos pada tulang belakang servikal harus mampu memvisualisasi ketujuh vertebra servikal. Penting untuk memeriksa garis tulang (alignment), terutama pada garis vertebra posterior, yang terletak sedikit anterior dari medula spinalis, yang menjelaskan adanya deformitas pada penonjolan. Berbagai fraktur dan dislokasi pada tulang belakang servikal yang dapat terjadi adalah: Subluksasi atlantoaksial. rongga antara setinggi odontoid dan bagian posterior dari Cl harus tidak lebih dari 3 mm pada orang dewasa dan 5 mm pada anak-anak. Fraktur Jefferson. fraktur yang keras di lateral Cl akibat cedera kompresi pada verteks tengkorak (cedera menyelam). Fraktur peg odontoid. Fraktur Hangmam cedera hiperekstensi pada C2 yang menyebabkan fraktur pedikel. Fraktur teardrop. suatu fragmen kecil mengalami avulsi dari badan vertebra anterior bagian bawah (cedera fleksi dengan kompresi anterior). Fraktur badan vertebra: fraktur kompresi pada tubuh. Fraktur badan vertebra Kecuali terdapat proses osteoporotik, hanya cedera berat yang akan menimbulkan fraktur badan vertebra. Fraktur dapat menyebabkan fragmen tulang terpisah dari vertebra atau ngalami penekanan disertai hilangnya ketinggian pada badan vertebra, yang seringkah disertai desakan/jepitan di bagian anterior. Mungkin terdapat kehilangan kecekungan aspek posterior yang normal pada badang vertebra. Fragmen-fragmen tulang dapat bergeser ke posterior ke dalam kanalis spinalis sehingga menyebabkan gejala neurologis. CT scan atau MRI akan mendeteksi secara akurat adanya fraktur dan kelainan lainnya di dalam kanalis spinalis.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 209
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR : Untuk Latihan
No. Langkah/Tugas Pengamatan Ya Tidak
I Persiapan Pembacaan Foto Hidupkan illuminator (viewing box)
Letakkan foto rontgen pada iluminator dengan sisi kanan foto berada di sisi kiri pembaca
Pastikan posisi foto tepat atau sesuai dengan posisi anatomis
II Penilaian Kondisi Foto Identitas pasien harus tertera jelas nama, umur dan
jenis kelamin
Tanggal pembuatan foto harus dicantumkan Tanda kiri dan kanan harus dicantumkan Kekuatan sinar X (Kv, mA) perlu dicantumkan Pastikan foto fraktur memenuhi rule of two, apalagi two joints dan two views
III Pembacaan Foto Rontgen Fraktur Tulang Identifikasi tulang yang sedang diamati, termasuk
tulang apa. Misalnya tulang tibia, cranium, atau vertebra
Tentukan tulang berada di sebelah kanan atau kiri Fraktur tulang tengkorak Lihat apakah terlihat garis patahan (fracture line) Jika terlihat garis patahan (fracture line) linear atau depresi
Fraktur tulang wajah Lihat apakah terlihat garis patahan (fracture line) pada arkus zigomatikus, sutura frontozigomatika, dinding depan orbita, atau dinding lateral antrum maksilaris.
Tulang belakang servikal Perhatikan garis tulang (alignment), terutama pada garis vertebra posterior, yang terletak sedikit anterior dari medula spinalis, yang menjelaskan adanya deformitas pada penonjolan.
Fraktur badan vertebra Perhatikan fragmen tulang vertebra apakah mengalami terpisah atau mengalami penekanan disertai hilangnya ketinggian pada badan vertebra.
Perhatikan apakah terdapat kehilangan kecekungan aspek posterior yang normal pada badang vertebra.
Perhatikan fragmen-fragmen tulang apakah dapat bergeser ke posterior ke dalam kanalis spinalis.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 210
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
PEMBACAAN FOTO RONTGEN FRAKTUR EKSTREMITAS
I. PENDAHULUAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktural tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang dapat menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan lengan bawah yang menyebabkan fraktur tulang radius dan ulna atau trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada pada tangan sehingga menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah. Selain akibat rudapaksa, fraktur juga dapat disebabkan proses patologis misalnya tumor, infeksi atau osteoporosis atau juga dapat disebabkan stress, atau fatigue seperti pada atlit, penari, atau tentara
Jaringan lunak di sekitar tulang biasanya juga ikut terlibat. Perubahan jaringan lunak bervariasi mulai dari oedema lokal dan reaksi inflammasi hingga gangguan vaskular. Beberapa komplikasi fraktur dapat muncul di sendi yang terkadang pada saat trauma sendi tersebut tidak terluka (injured).Fraktur dapat dibagi atas ada tidaknya hubungan dengan dunia luar, yaitu fraktur terbuka (ada hubungan dengan dunia luar) dan fraktur tertutup (tidak ada hubungan dengan dunia luar).
Fraktur dapat bervariasi tampilannya, namun untuk kepentingan praktis, fraktur dapat dibagi atas beberapa grup. Fraktur Komplit.
Pada fraktur jenis ini, tulang secara komplit patah menjadi 2 fragmen atau lebih. Fraktur komplit dapat dibagi lagi atas fraktur transversa (patah tulang lintang), fraktur oblik (patah tulang serong), fraktur spiral, fraktur kommunitif (terdapat lebih dari 2 fragmen tulang), fraktur impaksi (fragmen tulang terikat dengan kuat/ketat sehingga garis patahan fraktur tak terlihat jelas). Fraktur Inkomplit
Pada fraktur jenis ini, tulang tak secara komplit terpisah dan kontinuitas periosteum terjaga. Pada fraktur greenstick (dahan hijau), tulang bengkok/menekuk (bent) seperti kita mematahkan dahan hijau yang biasanya terlihat pada anak.
Satu bentuk patah tulang yang khusus pada anak, adalah patah tulang yang
mengenai cakram pertumbuhan. Klasifikasi fraktur cakram epifise ini dibagi atas 5 tipe
Kem udian ada juga fraktur tipe kompresi.
Gambar 1. Beberapa Tipe Fraktur Tulang Panjang
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 211
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
menurut Salter Harris yaitu : Tipe 1 epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis, tetapi periosteumnya
masih utuh Tipe 2 periosteum robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas
sama sekali dari metafisi Tipe 3 patah tulang cakram epifisis melalui sendi Tipe 4 terdapat fragmen patahan tulang yang garis patahannya tegak lurus
cakram epifisis Tipe 5 terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan
kematian dari sebagian cakram tersebut.
Fragmen tulang pada fraktur komplit biasanya akan mengalami salah letak atau displacement. Displacement ini dapat berupa : Translation (shift)
Fragmen tulang dapat bergeser bersisian (sideways), ke belakang (backwards) atau ke depan (forwards) dalam hubungannya dengan fragmen lainnya Angulation (alignment).
Rotation (twist)
Fragmen tulang dapat berputar (rotated) terhadap fragmen lainnya Length
Fragmen tulang dapat saling menjauh dan terpisah atau dapat saling overlap yang menyebabkan pemendekan tulang.
Fragmen tulang dapat terdorong (tilt) atau terangulasi terhadap fragmen lainnya
Gambar 2. Angulasi Gambar 3. Rotasi Gambar 4. Overlapping
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 212
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
II. Pemeriksaan dan Pembacaan FotoRontgen Fraktur Tulang Pemeriksaan radiologis sangat diperlukan untuk mendiagnosis fraktur. Namun ada
aturan-aturan tertentu dalam pembuatan foto untuk mendiagnosis fraktur, yang sering disebut sebagai Rule of Two.
Rule of Two meliputi : Two views
Buatlah 2 foto dengan 2 proyeksi yang tegak lurus satu sama lain bila dicurigai fraktur atau dislokasi, kecuali pada pelvis dimana foto oblik akan sangat berguna. Bahkan kadang-kadang diperlukan lebih dari 2 proyeksi, seperti pada pergelangan
Two Joints
Pastikan bahwa pada foto terlihat sendi di atas dan di bawah bagian yang fraktur pada lengan atau kaki, kecuali bila secara klinis jelas bahwa fraktur hanya terdapat pada bagian yang distal. Tetapi dalam hal ini pun sendi yang paling dekat harus ikut terfoto.
Two Limbs Pada anak-anak, epifise immatur dapat membingungkan diagnosa fraktur, sehingga dalam hal ini perlu dibuat foto anggota gerak yang tidak sakit untuk digunakan sebagai perbandingan.
Two Injuries Terkadang kekuatan (trauma) keras dapat menyebabkan cedera lebih di satu tempat. Contohnya pada fraktur calcaneus atau femur, penting juga untuk memfoto tulang belakang dan pelvis.
Two Occasions Beberapa fraktur terkadang sulit terdiagnosa sesaat setelah trauma, sehingga diperlukan pemeriksaan radiologis berikutnya 1-2 minggu setelah cedera untuk menunjukkan lesi.
tangan.
Gambar 5 : foto fraktur spiral dan angula r femur 2 proyeksi
Gambar 5 . Fraktur Spiral & Angular Femur 2 P royeksi
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 213
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Cara Pembacaan Foto Rontgen FrakturTulang Persiapan Hidupkan illuminator (viewing box) Letakkan foto rontgen pada iluminator dengan sisi kanan foto berada di sisi kiri
pembaca Pastikan posisi foto tepat, atau sesuai dengan posisi anatomis. Penilaian Kondisi Foto Identitas pasien harus tertera jelas nama, umur dan jenis kelamin Tanggal pembuatan foto harus dicantumkan Tanda kiri dan kanan harus dicantumkan Kekuatan sinar X (Kv, mA) perlu dicantumkan Pastikan foto fraktur memenuhi rule of two Pembacaan Foto Fraktur Identifikasi tulang yang sedang diamati, misalnya tulang tibia, atau femur Tulang
berada di sebelah kanan atau kiri. Lihat apakah terlihat garis patahan (fracture line) Jika terlihat garis patahan (fracture line) tentukan pada bagian mana dari tulang
tersebut terdapat fracture line. Jika fracture line terdapat di bone shaft (batang tulang) tulang panjang biasanya
Keterangan Gambar 7 Foto sebelah atas kiri : subcapital neck fracture Foto sebelah atas tengah : transcervical neck fracture Foto sebelah atas kanan : intertrochanteric fracture Foto sebelah bawah kiri : subtrochanteric fracture Foto sebelah bawah tengah : fracture of the greatertrochanter Foto sebelah bawah kanan : fracture of the lesser trochanter Tentukan tipe fraktur. Apakah fraktur komplit atau inkomplit.. Jika fraktur
inkomplit, apakah terjadi fraktur greenstick, atau fraktur hair line. Jika fraktur komplit, perhatikan bentuk garis patah, apakah berbentuk melintang,
oblik, spiral, kompresi, atau avulsi. Lihatlah jumlah garis patah, apakah fraktur tergolong fraktur kominutif (garis patah
lebih dari satu, dan berhubungan), fraktur segmental (garis patah lebih dari satu,
dibagi atas 3 yaitu apakah terdapat di 1/3 proximal, 1/3 medial, atau 1/3 distal.
Gambar 6. Klasifikasi Fraktur Klavikula Gambar 7. Fraktur Proksimal Femur
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 214
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
dan tidak berhubungan), atau fraktur multipel (garis patah lebih dari satu,
Lihat apakah fragmen fraktur menyebabkan displacement (kedudukan fragmen
fraktur terhadap fragmen fraktur lainnya), atau tidak (undisplacement). Tentukan bagaimana tipe displacement yang terjadi. Apakah terjadi translasi, angulasi, rotasi dan pemendekan (shortening) tulang.
Tentukan, apakah fraktur tergolong fraktur terbuka, atau fraktur tertutup Perhatikan, apakah fraktur disertai komplikasi (paralisis nervus, kerusakan jaringan
lunak, atau dislokasi sendi). Jika terjadi fraktur pada cakram epifise, klasifikasikan sesuai Salter-Harris. Lihat apakah fraktur menyebabkan dislokasi, baik dislokasi sendi maupun tulang
yang berdekatan dengan tulang yang fraktur.
Gambar 10. Fraktur Komunitif Midklavikula dengan Angulasi Jaringan lunak normal akan terlihat berwarna putih suram dengan corak homogen.
Kerusakan jaringan lunak dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna, dan corak normal jaringan lunak.
Jika telah dilakukan penanganan fraktur, buatlah foto kembali dan lihat fraktur telah menyatu atau tidak. Jika telah menyatu, apakah disertai callus, atau tidak.
Fraktur yang tidak menyatu (non-union) memberi gambaran garis patahan yang tetap terlihat (padahal seharusnya menghilang). Ujung tulang yang fraktur menjadi
tetapi terdapat pada tulang yang berlainan.
Gambar 8. Fraktur 1/3 Proksimal (a), 1/3 tengah (b). 1/3 distal (c) Gambar 9. Fraktur Greenstick
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 215
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterangan Gambar Gambar 12. Fraktur 1/3 medial femur kanan pada foto AP (kiri) dan lateral (kanan)
dengan defek jaringan lunak. Gambar 13. Gambar 13 : Fraktur 1/3 medial batang humerus yang sembuh
sempurna.
lebih putih (sklerotik) dan sering terdapat tulang baru yang tebal di sekitar fraktur .
Gambar 11. Fraktur tulang radius dengan Angulasi & Dislokasi Tulang Ulna Distal
Gambar 1 2 . Fraktur Femur Gambar 13. Fraktur Humerus
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 216
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Setelah Trauma 2 Bulan Sesudah Trauma 4 Bulan Sesudah Trauma
Gambar 14. Terbentuknya Callus Pada Bulan Ke-2 dan 4 Setelah Fraktur
Gambar 15. Fraktur Tibia Non Union (14 bulan setelah trauma)
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 217
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara II. RANCANGAN ACARA PEMBELAJARAN
Waktu Aktivitas Keterangan
20 menit
Tiap kelompok kecil didampingi oleh seorang instruktur
Instruktur Introduksi dan Penyampaian Pengantar (Overview) rancangan kegiatan pelatihan
50 menit
Demonstrasi oleh Instruktur. Instruktur memperlihatkan kepada mahasiswa cara membaca foto rontgen fraktur tulang Mahasiswa melakukan latihan role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur.Mahasiswa melakukan latihan role play secara bergantian dengan dibimbing oleh instruktur (Coaching)
Instruktur dan
Mahasiswa
20 menit Mahasiswa melakukan latihan mandiri diawasi oleh instruktur. Mahasiswa
10 menit Instruktur memberikan masukanmasukan (feedback) kepada mahasiswa. Instruktur
III. PEDOMAN INSTRUKTUR 3.1TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan ini, diharapkan mahasiswa : 1. Memahami dan mengetahui bagaimana cara membaca foto rontgen fraktur
tulang 2. Terampil dalam melakukan pembacaan foto rontgen fraktur tulang serta,
dapat menginterpretasikan hasil pembacaan foto tersebut.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 218
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
3.2PELAKSANAAN 1. Latihan dan diskusi tiap kelompok dipimpin oleh seorang instruktur yang telah
ditetapkan oleh tim SDM MEU. 2. Cara dan alokasi waktu pelaksanaan kegiatan :
Waktu Aktivitas Keterangan
20 menit Pembukaan Perkenalan
Instruktur Pengantar (Overview)
15 menit
Latihan
Demonstrasi Instruktur dan Mahasiswa
35 menit Coaching
20 menit Latihan Mandiri
10 menit Penutupan Feed Back
Instruktur Penutup
3. Waktu pelaksanaan :
Setiap kegiatan latihan dilaksanakan selama 2 x 60 menit (120 menit). 4.Tempat pelaksanaan kegiatan : Di ruangan Skills Lab. (Lantai 3) 5.Alat dan Bahan yang diperlukan :
Meja Kursi Iluminator Foto Rontgen Fraktur Tulang
6.Materi Kegiatan / Latihan : Membaca Foto Rontgen Fraktur Tulang
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 219
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
RUJUKAN 1. Foto Tulang. In : Palmer P.E.S, Cockshoot W.P, Hegedus V, Samuel E, eds.
Petunjuk Membaca Foto Rontgen Untuk Dokter Umum. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1995. p. 86-115
2. Fractures and Joint Injuries. In : Solomon L, Warwick D.J, Nagayam S, eds.Apley’s Concise System of Orthopaedics and Fractures. 3rd edition. Hodder Arnold ; 2005. p. 255-65
3. Sistem Muskuloskletal. In : Syamsuhidajat R, Jong W.D, eds. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2004. p. 840-74
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 220
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR : Untuk Latihan
No. Langkah/Tugas Pengamatan Ya Tidak
I Persiapan Pembacaan Foto Hidupkan illuminator (viewing box)
Letakkan foto rontgen pada iluminator dengan sisi kanan foto berada di sisi kiri pembaca
Pastikan posisi foto tepat atau sesuai dengan posisi anatomis II Penilaian Kondisi Foto Identitas pasien harus tertera jelas nama, umur dan jenis kelamin
Tanggal pembuatan foto harus dicantumkan Tanda kiri dan kanan harus dicantumkan Kekuatan sinar X (Kv, mA) perlu dicantumkan Pastikan foto fraktur memenuhi rule of two, apalagi two joints dan two views
III Pembacaan Foto Rontgen Fraktur Tulang Identifikasi tulang yang sedang diamati, termasuk tulang apa.
Misalnya tulang tibia, atau femur
Tentukan tulang berada di sebelah kanan atau kiri Lihat apakah terlihat garis patahan (fracture line) Jika terlihat garis patahan (fracture line) tentukan pada bagian tulang dimana terdapat fracture line. Jika fracture line terdapat di bone shaft (batang tulang) tulang- tulang panjang biasanya dibagi atas 3 yaitu apakah pada 1/3 proximal, 1/3 medial atau 1/3 distal.
Tentukan tipe fraktur. Apakah fraktur komplit atau inkomplit. Jika fraktur inkomplit, apakah terjadi fraktur greenstick, atau fraktur hair line.
Jika fraktur komplit, tentukan bentuk garis patah, apakah melintang, oblik, spiral, kompresi, atau avulsi (pada fraktur patella).
Tentukan jumlah garis patah, apakah termasuk fraktur kominutif, segmental, atau fraktur multipel
Lihat apakah fragmen fraktur menyebabkan displacement (pergeseran kedudukan fragmen fraktur terhadap fragmen fraktur lainnya), atau tidak (undisplacement).
Bila terjadi displacement, tentukan bagaimana tipe displacement yang terjadi. Apakah terjadi translasi, angulasi, rotasi dan pemendekan (shortening) tulang.
Tentukan apakah fraktur tergolong fraktur terbuka, atau fraktur tertutup.
Tentukan ada tidaknya komplikasi yang menyertai fraktur, misalnya paralisis nervus, kerusakan jaringan lunak, atau dislokasi sendi.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 221
Laboratorium Ketera mpilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Jika terjadi fraktur pada cakram epifise, klasifikasikan sesuai Salter-Harris
Lihat apakah fraktur menyebabkan dislokasi sendi Jaringan lunak normal akan terlihat berwarna putih suram dengan
corak homogen. Bila terjadi kerusakan jaringan lunak, akan terjadi perubahan warna dan corak normal jaringan lunak.
Jika telah dilakukan penanganan fraktur, buatlah foto rontgen kembali, dan lihatlah apakah fraktur telah menyatu, atau tidak. Jika telah menyatu, apakah disertai callus, atau tidak.
Jika fraktur tidak menyatu (non-union), akan memberi gambaran garis patahan yang tetap terlihat (padahal seharusnya menghilang). Ujung tulang yang fraktur menjadi lebih putih (sklerotik), dan sering terdapat tulang baru yang tebal di sekitar fraktur.
Tanda Tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 222
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
FORMULIR HASIL LATIHAN PEMBACAAN FOTO RONTGEN FRAKTUR EKSTREMITAS
(Hasil Latihan Role Play - Mahasiswa) Nama Mahasiswa : Kelompok : Tanggal : Nama Instruktur :
LAPORAN HASIL LATIHAN
Tanda tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 223
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Sistem skelet Penyakit Paget Merupakan kelainan arsitektur tulang yang sering dijumpai, dengan etiologi yang tidak diketahui, frekuensinya meningkat setelah usia pertengahan. Penyakit ini pada awainya ditandai oleh resorpsi tulang diikuti dengan proses perbaikan yang meningkatkan deposisi tulang kemudian menghasilkan ekspansi tulang dan bentuk yang abnormal. Gejala Mayoritas asimtomatik dan didiagnosis dari penemuan secara kebetulan; nyeri tulang; fraktur; deformitas tulang panjang dan tengkorak. Gambaran radiologis Setiap tulang dapat terkena.
• Tengkorak. Pada awainya terlihat daerah luas yang mengalami kehilangan tulang yang berbatas jelas (osteoporosis sirkumskripta); kemudian, terjadi sklerosis umum dengan penebalan diploik yang menghasilkan penampakan khas ‘cotton woot. Mungkin terjadi peningkatan ukuran kepala.
• Tulang belakang. Paling sering melibatkan satu vertebra yang mengalami sklerosis, perubahan pola trabekular dan pembesaran badan vertebra.
• Pelvis. Sering terkena dan disertai pola trabekula yang menjadi kasar, penebalan kortikal, dan pembesaran pubis dan iskium.
• Tulang panjang. Pelebaran tulang disertai deformitas, pelengkungan tibia, dan fraktur inkomplet karena perlunakan tulang.
Komplikasi • Fraktur patologis: cenderung tajam melintang. • Pseudofraktur: fraktur inkomplet yang terdapat pada permukaan yang konveks dari
tulang yang melengkung. • Degenerasi keganasan: pada perluasan penyakit Paget terdapat peningkatan insidensi
tumor tulang yang ganas, terutama sarkoma osteogenik. • Neurologis: terjepitnya saraf pada ekspansi tulang: ketulian akibat keterlibatan N. VIII,
gangguan pada foramen keluar pada tulang belakang, da0n lain-lain. • Kardiovaskular: peningkatan pintas darah pada tulang yang terlibat dapat menyebabkan
tingginya kegagalan output, walaupun jarang.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 224
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Tumor tulang jinak Tumor tulang jinak biasanya berbatas tegas dan memiliki zona transisi antara tulang yang normal dan abnormal. Tumor ini menyebabkan tanda-tanda dan gejala perluasan dan tekanan pada struktur-struktur di dekatnya. Jika bersifat kistik, mungkin disebabkan oleh fraktur patologis. Tumor-tumor kartilago Kondroma Satu tumor kartilaginosa, merupakan tumor tulang jinak yang paling sering, dan tampak sebagai lesi litik yang berbatas jelas dengan bintik-bintik kecil kalsifikasi. Paling ranyak mengenai tangan dan kaki, di mana terlihat sebagai perluasan dan penipisan iorteks. Kondroma sering tunggal namun dapat multipel pada penyakit Ollier. Osteokondroma Kemungkinan merupakan tumor jinak yang paling sering, yang mengandung tulang dan kartilago, seringkali pada tangkai tulang dengan ujung distal bulbosa yang luas.Tumor sering ditemukan tumbuh menjauhi sendi, lokasi yang paling sering adalah aaerah metafisis pada femur bagian bawah dan fibia bagian atas. Osteokondroma multipel nerediter terjadi pada aklasia diafisis, di mana terdapat risiko transformasi keganasan menjadi kondrosarkoma. Tumor-tumor pembentuk tulang Osteoma Suatu tumor jinak yang hanya mengandung jaringan oseus padat, paling banyak ditemukan pada tengkorak dan sinus. Tumor ini bulat, berbatas tegas, dan tampak sebagai massa tulang padat yang tidak berbentuk tanpa kandungan kartilago. Osteoma multipel berkaitan dengan poliposis kolon pada sindrom Gardner. Osteoma osteoid Suatu daerah lusen sirkular yang kecil (nidus) di bawah korteks yang dikelilingi tulang reaktif yang menebal dan berkaitan dengan reaksi periosteal. Osteoma osteoid, suatu tumor yang berdiameter <1 cm, biasanya merupakan lesi pada orang dewasa muda dengan gejala nyeri lokal. Tumor ini dapat diambil di bawah pemantauan radiologis. Lesi-lesi jinak lainnya Tumor sel raksasa Suatu tumor yang jinak, dengan sekitar setengahnya ditemukan pada sekitar sendi lutut. Ini merupakan lesi litik pada regio epifisis, dengan penebalan kortikal, perluasan, dan berpotensi menjadi neoplasma ganas. Osteoblastoma; kista tulang; fibroma nonosifikasi; kista tulang aneurisma; fibroma kondromiksoid
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 225
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tumor tulang ganas Tumor tulang ganas primer jarang ditemukan. Tumor ini bersifat destruktif, sering berkaitan dengan reaksi periosteum, dan memiliki zona transisi yang luas antara tulang vang normal dan abnormal. Tumor tulang ganas paling banyak merupakan metastasis dan seringkali soliter. Gambaran radiologis Film polos dapat memperlihatkan daerah destruksi tulang. Tumor-tumor tulang ganas Osteosarkoma Merupakan tumor tulang ganas primer kedua tersering setelah mieloma multipel, gambaran klasik antara lain: • destruksi medula yang iregular; • reaksi periosteum; • destruksi kortikal; • massa jaringan lunak; • pembentukan tulang bahu. Osteosarkoma timbul antara usia 10 dan 25 tahun. Kurang lebih separuhnya tampak di sekitar sendi lutut, melibatkan metafisis femur distal dan fibia proksimal. Tumor awainya dapat bersifat litik, atau sklerotik dengan pembentukan tulang baru neoplastik, dan reaksi periosteal. Tumor ini mengikis dari tempat asalnya di medula melewati korteks, dengan menghasilkan massa jaringan lunak. Metastasis sering menyebar ke paru dan dapat membentuk tulang. Kondrosarkoma Merupakan tumor ganas yang tumbuh lambat, berasal dari sel-sel kartilago, yang dapat mengandung daerah kalsifikasi di dalam tumor. • Tipe sentral: biasanya berkembang dari tulang tubular, bersifat litik dan berada pada
regiometafisis. • Tipe periferal: mungkin berasal dari periosteum atau berkembang dari osteokondroma
jinak yang terjadi sebelumnya. Tumor Ewing
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 226
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Timbul pada usia antara 5 dan 15 tahun. Merupakan tumor yang sangat ganas yang berasal dari sumsum tulang dan berkaitan dengan reaksi periosteal berlapis (kulit bawang); penampakannya dapat menyerupai osteomielitis.
Metastasis tulang Metastasis tulang merupakan tumor tulang ganas yang paling sering. Metastasis terutama menyebar ke tulang-tulang yang mengandung sumsum, sehingga lebih sering ditemukan rada tulang-tulang aksial. Secara umum, penyebaran ke bagian distal dari lutut dan siku cbih jarang dibandingkan tulang proksimal. Setiap tumor primer dapat bermetastasis ke tulang, namun metastasis yang paling sering adalah: • Payudara: memiliki insidensi yang tinggi untuk deposit tulang, biasanya bersifat litik
namun dapat sklerotik atau campuran, merupakan penyebab deposit sklerotik yang paling sering pada wanita.
• Prostat: hampir selalu sklerotik, deposit litik jarang ditemukan; merupakan penyebab deposit sklerotik pada pria.
• Paru: deposit litik; deposit perifer di tangan dan kaki jarang, namun jika ada cenderung berasal dari karsinoma bronkus.
• Ginjal, tiroid: litik dan dapat sangat vaskular dengan terjadinya perluasan tulang. • Kelenjar adrenal: secara dominan bersifat litik.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 227
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Gejala Nyeri tulang; fraktur patologis; pembengkakan jaringan lunak; ditemukan saat staging dan pemantauan tumor primer. Gambaran radiologis Metastasis tulang dapat litik atau sklerotik. Pada film polos: • Deposit litik: gambaran utamanya berupa destruksi pada tulang dengan batas yang
tidak jelas dan dapat menyebabkan fraktur patologis. Reaksi periosteal lebih jarang jika dibandingkan dengan tumor ganas primer.
• Deposit sklerotik: terlihat sebagai peningkatan densitas yang tidak berbatas tegas dengan diikuti hilangnya arsitektur tulang. Lesi sekunder pada vertebra dapat berupa pedikel yang sklerotik. Dengan adanya lesi multipel, diagnosis metastasis hampir dapat dipastikan. Pemindaian isotop pada tulang lebih sensitif dibandingkan film polos (daerah lokal dengan ambilan yang meningkat: hot spots).
Pada kasus di mana tumor primer tidak diketahui, biopsi yang dipandu dengan pencitraan pada lesi tulang dapat menentukan lokasi karsinoma primer. Diagnosis banding • Penyakit Paget (daerah sklerotik). • Mieloma multipel (daerah litik). • Tumor ganas primer. • Infeksi atau osteomielitis.
Mieloma multipel Mieloma multipel merupakan tumor ganas primer pada sumsum tulang, di mana terjadi infiltrasi pada daerah yang memproduksi sumsum tulang pada proliferasi sel-sel plasma vang ganas. Tulang tengkorak, tulang belakang, pelvis, iga, skapula, dan tulang aksial proksimal merupakan yang terkena secara primer dan mengalami destruksi sumsum dan erosi pada trabekula tulang; tulang distal jarang terlibat. Penyakit dapat terjadi dalam bentuk diseminata, atau sebagai massa yang membesar secara lokal (plasmasitoma). Mieloma multipel merupakan tumor ganas primer pada tulang yang paling banyak dan cenderung terbatas pada sistem skeletal.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 228
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Gejala Dominan pada pria, biasanya pada kelompok usia di atas 40 tahun; penurunan berat badan; malaise; nyeri tulang; nyeri punggung; kolaps badan vertebra; fraktur patologis; proteinuria Bence-Jones. Gambaran radiologis Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan: • Osteoporosis umum dengan penonjolan pola trabekular tulang, terutama pada tulang
belakang, yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan mieloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-satunya pada mieloma multipel. Fraktur patologis sering dijumpai.
• Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan osteoporosis senilis.
• Lesi-lesi litik ‘punched oui yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.
• Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks, menghasilkan massa jaringan lunak.
Komplikasi • Fraktur patologis yang menyembuh dengan kalus yang berjumlah banyak. • Hiperkalsemia sekunder akibat destruksi tulang yang luas. • Gagal ginjal dapat disebabkan oleh kombinasi antara penumpukan amiloid,
hiperkalsemia, dan presipitasi protein abnormal tubular. • Peningkatan insidensi penyakit infeksi seperti pneumonia. • Hipeurisemia dan gout sekunder.
Osteoporosis Osteoporosis merupakan keadaan di mana terdapat penurunan massa tulang. Gejala • Asimtomatik. • Nyeri tulang. • Fraktur skeletal. • Fraktur kompresi vertebra. Pemeriksaan penunjang radiologis • Film polos. • Densitometri tulang dengan CT (QCT), atau absorpsiometri sinar-X energi ganda
(dual energy X-ray absorptiometry, DEXA).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 229
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Gambaran radiologis Deteksi osteoporosis pada fdm polos setidaknya membutuhkan penurunan massa tulang sebesar 30%. Osteoporosis menyebabkan hilangnya densitas tulang, suatu penurunan ¡umlah trabekula dan lapisan-lapisan yang kasar. Keadaan ini paling menonjol terlihat di tulang belakang. Badan vertebra tampak lusen dengan garis-garis vertikal yang tipis, sering disertai penampakan bikonkaf (vertebra ‘ikan kod’), penjepitan dan kolaps vertebra; hal ini berlanjut dengan kifosis. Fraktur pada tulang perifer, termasuk fraktur leher femoralis, sering terjadi walaupun setelah trauma minor. Penyebab osteoporosis lokal • Penggunaan yang salah pada bagian tertentu (tumor, fraktur). • Keadaan inflamasi seperti artritis reumatoid dan osteomielitis. • Atrofi Sudeck (paralisis neural atau otot). Berkembangnya rasa nyeri dan osteoporosis
sering terjadi setelah trauma ringan; keadaan ini mungkin memiliki penyebab neurovaskular.
Penyebab osteoporosis umum • Osteoporosis senilis. • Pascamenopause. • Terapi steroid. • Imobilitas (tirah baring jangka panjang). • Endokrin: penyakit Cushing, hipertiroidisme. • Mieloma multipel. • Defisiensi nutrisi: scurvy,malnutrisi, penyakit hati kronis, sindrom malabsorpsi.
Artritis reumatoid Artritis reumatoid didefinisikan sebagai poliartritis kronis akibat adanya inflamasi, kongesti, dan proliferasi sinovium, yang menyebabkan erosi tulang dengan destruksi pada kartilago. Gambaran radiologis Perubahan radiologis baru terlihat lama setelah terjadi gejala klinis. Artritis reumatoid cenderung memiliki distribusi yang simetris, paling sering mengenai tangan dan kaki. Setiap sendi sinovial dapat terlibat, tanda-tanda yang paling signifikan dan sering
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 230
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara dijumpai pada artritis reumatoid adalah penyempitan yang seragam pada ruang sendi, erosi marginal, dan osteoporosis periartikular. Gambaran berikut dapat ditemukan: • Pembengkakan sendi: akibat proliferasi membran sinovial dan efusi sendi. • Erosi: pada awainya berlokasi pada daerah periartikular di sepanjang tepi sendi, di
mana tidak terdapat lapisan pelindung. Erosi biasanya menyebar melewati permukaan artikular.
• Osteoporosis: pada awalnya berada di periartikular, namun kemudian menjadi umum akibat tidak digunakan dan menjadi hiperemia.
• Penyempitan rongga sendi: pelebaran rongga sendi pada daerah di luar penyakit, namun dapat terjadi penyempitan yang signifikan dari erosi dan deformitas kartilago. Obliterasi dan destruksi komplet pada ruang sendi sewaktu-waktu dapat menyebabkan ankilosis.
Daerah-daerah khusus yang terlibat • Tangan: sendi metakarpofalang (MCP) dan interfalang proksimal (PIP) adalah yang
paling sering terkena, sedangkan sendi interfalang distal jarang terlibat. Kelainan- kelainan yang meliputi pembengkakan jaringan lunak dan subluksasi pada sendi- sendi MCP: Deformitas ‘Boutonnière’: deformitas fleksi pada sendi interfalang proksimal dan perluasan pada sendi interfalang distal; Deformitas ‘swan necklleher angsa’: hiperekstensi pada sendi interfalang proksimal dan fleksi pada sendi interfalang distal.
• Kaki: secara umum kelainan menyerupai kelainan pada tangan. • Pergelangan tangan: erosi yang disertai penggabungan tulang karpal. • Siku: lokasi yang umum untuk nodul reumatoid jaringan lunak. • Bahu: erosi pada kaput humérus dan sendi akromioklavikula. • Lutut: penyempitan rongga sendi yang seragam disertai osteoporosis. Kista Baker
merupakan komplikasinya, dengan ruptur yang menyebabkan tanda dan gejala yang menyerupai tanda dan gejala pada trombosis vena dalam.
• Tulang belakang servikal: subluksasi, erosi, dan gabungan. Subluksasi paling sering terjadi di sendi atlantoaksial.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 231
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Gout Gout ditandai oleh meningkatnya kadar asam urat plasma dengan serangan artritis terulang. Kelainan ini disebabkan oleh kelainan metabolisme bawaan dan secara dominan menyerang pria. Gejala • Sendi yang membengkak dan nyeri, biasanya pada sendi metatarsofalang (MTP)
pertama. • Hiperurisemia asimtomatik. Gambaran radiologis Perubahan radiologis hanya terjadi setelah bertahun-tahun timbulnya gejala. Terdapat predileksi pada sendi MTP pertama, walaupun pergelangan kaki, lutut, siku, dan sendi lainnya juga dapat terlibat. Film polos dapat memperlihatkan: • Efusi dan pembengkakan sendi. • Erosi: hal ini cenderung menimbulkan penampakan ‘punched out’, yang berada
terpisah dari permukaan artikular. Densitas tulang tidak mengalami perubahan.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 232
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara • Tofi: mengandung natrium urat dan terdeposit pada tulang, jaringan lunak, dan sekitar
sendi. Kalsifikasi pada tofi juga dapat ditemukan, dan tofi intraoseus dapat membesar hingga menyebabkan destruksi sendi.
Komplikasi Batu ginjal: nonopak pada film polos; gagal ginjal.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 233
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 234
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Spondilitis ankilosa Spondilitis ankilosa, suatu penyakit inflamasi progresif, biasanya mengenai pria dewasa muda, sering disertai riwayat penyakit dalam keluarga; 95% pasien membawa antigen leukosit manusia (antigen HLA-B27). Gejala • Serangan nyeri dan kaku punggung. • Anoreksia dan penurunan berat badan. Gambaran radiologis Pada film polos gambaran berikut dapat terlihat: • Sendi sakroiliaka. Perubahan yang paling awai dimulai di sendi sakroiliaka dengan
pengaburan dan batas yang tidak tegas pada tepi sendi. Kemudian, terjadi erosi dan sklerosis tulang yang menyebabkan kecenderungan terjadinya penyatuan sendi sakroiliaka komplet. Kedua sendi biasanya terkena: adanya sakroilitis unilateral harus dicurigai sebagai infeksi bakteri, biasanya tuberkulosis. Sakroilitis biasanya terbukti pada pemindaian tulang sebelum ditemukan perubahan radiografik lainnya.
• Perubahan spinal. Seluruh tulang belakang dapat terlibat namun berbagai proses biasanya timbul pada regio lumbal dan berlanjut ke atas dan melibatkan tulang belakang torakal dan servikal. Gambaran yang paling sering terlihat adalah: squarring pada badan vertebra akibat pembentukan tulang baru pada badan vertebra anterior, dan terisinya kecekungan di bagian anterior yang normal oleh kalsifikasi ligamen longitudinal; kalsifikasi ligamen spinalis lateral dan anterior untuk menghasilkan gambaran ‘bamboo spine yang klasik.\
• Keterlibatan sendi perifer. Suatu artropati erosif dapat menyertai spondilitis ankilosa, panggul merupakan sendi yang paling sering terkena.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 235
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara Komplikasi/akibat • Fibrosis paru lobus atas. • Inkompetensi aorta: akibat aortitis aorta asenden. • Penyakit usus inflamasi: kolitis yang menyerupai penyakit Crohn atau kolitis ulseratif. • Subluksasi atlantoaksial. • Fraktur: rigiditas spinal menyebabkan meningkatnya risiko trauma. • Gagal napas: disebabkan oleh pergerakan dada yang restriktif dan ankilosis sendi
kostovertebral. • Iritis.
Rickets Defisiensi vitamin D pada anak-anak dapat menyebabkan penyakit rickets. Defisiensi dapat bersifat nutrisional, akibat malabsorpsi, penyakit ginjal kronis, atau terapi antikonvulsan jangka panjang. Gejala Gagal tumbuh; nyeri tulang; deformitas tulang. Gambaran radiologis Perubahan patologis utama adalah kurangnya kalsifikasi pada jaringan osteoid pada epifisis yang sedang berkembang. Seluruh tulang dapat terkena, terutama pada daerah vang berkembang dengan cepat: pergelangan tangan, lutut, dan humerus proksimal. Sering dijumpai fraktur green stick. Gambaran berikut dapat terlihat pada film polos. • Pelebaran lempeng pertumbuhan dan epifisis, dengan penampakan epifisis yang
lambat. • Batas metafisis yang berjumbai dan tidak jelas menyebabkan penampakan cup. • Reaksi periosteal, terutama selama tahap penyembuhan. • Tulang yang menekuk dan melengkung. • Pembesaran bulbosa pada ujung anterior iga menyebabkan ‘rickety rosary.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 236
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Osteomalasia Defisiensi vitamin D pada tulang yang matur dapat menyebabkan osteomalasia, suatu penyakit rickets pada orang dewasa. Gejala Nyeri tulang; kelemahan otot; peningkatan serum alkalin fosfatase; fraktur patologis. Gambaran radiologis • Penurunan densitas tulang secara umum. • Looser’s zone (pseudofraktur) merupakan pita translusen yang sempit, pada tepi
kortikal, dan merupakan tanda diagnostik untuk osteomalasia. Kelainan ini paling sering terlihat pada iga, skapula, ramus pubis, dan aspek medial femur proksimal.
• Vertebra bikonkaf (vertebra ‘ikan kod’). • Perlunakan tulang yang menimbulkan pelvis triradiata. Osteomielitis Osteomielitis merupakan infeksi pada tulang, dengan sebagian besar kasus disebabkan oleh Staphylococcus aureus; penyebab lainnya antara lain infeksi tuberkulosis dan Salmo-
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 237
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara nellapada penyakit sel sabit. Proses peradangan dapat bersifat akut atau kronis, yang kronis akan menyebabkan nekrosis tulang dan pembentukan pus, di mana kadang- kadang terdapat cairan yang melewati kulit untuk membentuk hubungan sinus dengan tulang. Tulang yang nekrotik dapat terpisah dengan jaringan yang masih hidup untuk membentuk sequestrum sinus. Sumber infeksi dapat berasal dari: • hematogen: biasanya pada anak; • implantasi langsung akibat trauma, misalnya fraktur atau setelah pembedahan; • perluasan dari jaringan lunak di dekatnya, misalnya ulkus kaki pada diabetes. Gejala • Nyeri. • Pireksia. Gambaran radiologis • Foto polos: dapat normal hingga 10 hari dengan tanda paling awal berupa
pembengkakan jaringan lunak. Tulang yang terinfeksi pada awainya kehilangan detailnya dan menjadi tidak berbatas jelas dengan reaksi periosteal dan bahkan destruksi tulang.
Osteomielitis kronis Organisme yang menyebabkan infeksi menetap di dalam tulang yang telah mati, dan secara periodik dapat terjadi eksaserbasi. Tulang tampak menebal dan sklerotik dengan daerah destruktif radiolusen di bagian tengah, yang seringkali disertai sinus drainase yang kronis. Dapat terbentuk abses dengan tepi sklerotik, kadang-kadang mengandung sequestrum (abses Brodie). Komplikasi • Abses jaringan lunak. • Fistula. • Penyatuan epífisis prematur. • Deformitas. • Artritis piogenik yang menyebabkan ankilosis tulang (misalnya penyatuan panggul).
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 238
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR : Untuk Latihan
No. Langkah/Tugas Pengamatan Ya Tidak
I Persiapan Pembacaan Foto Hidupkan illuminator (viewing box)
Letakkan foto rontgen pada iluminator dengan sisi kanan foto berada di sisi kiri pembaca
Pastikan posisi foto tepat atau sesuai dengan posisi anatomis
II Penilaian Kondisi Foto Identitas pasien harus tertera jelas nama, umur dan jenis
kelamin
Tanggal pembuatan foto harus dicantumkan Tanda kiri dan kanan harus dicantumkan Kekuatan sinar X (Kv, mA) perlu dicantumkan Pastikan foto fraktur memenuhi rule of two, apalagi two joints dan two views
III Pembacaan Foto Rontgen Tulang Skelet Identifikasi tulang yang sedang diamati, termasuk tulang
apa. Misalnya tulang tibia, cranium, atau vertebra
Tentukan tulang berada di sebelah kanan atau kiri Penyakit Paget Perhatikan tulang terkena • Tengkorak. Pada awainya terlihat daerah luas yang
mengalami kehilangan tulang yang berbatas jelas (osteoporosis sirkumskripta); kemudian, terjadi sklerosis umum dengan penebalan diploik yang menghasilkan penampakan khas ‘cotton woot. Mungkin terjadi peningkatan ukuran kepala.
• Tulang belakang. Paling sering melibatkan satu vertebra yang mengalami sklerosis, perubahan pola trabekular dan pembesaran badan vertebra.
• Pelvis. Sering terkena dan disertai pola trabekula yang menjadi kasar, penebalan kortikal, dan pembesaran pubis dan iskium.
• Tulang panjang. Pelebaran tulang disertai deformitas, pelengkungan tibia, dan fraktur inkomplet karena perlunakan tulang.
Tumor tulang jinak Perhatikan tulang terkena Tumor-tumor kartilago
Kondroma Perhatikan tulang, apakah tampak lesi litik yang berbatas jelas dengan bintik-bintik kecil kalsifikasi Osteokondroma Perhatikan tulang, apakah tampak lesi yamg menonjol keluar dari tulang
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 239
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Tumor-tumor pembentuk tulang Osteoma Perhatikan tulang, apakah tampak massa tumor bulat, berbatas tegas, dan tampak sebagai massa tulang padat yang tidak berbentuk tanpa kandungan kartilago. Osteoma osteoid Perhatikan tulang, apakah nampaksuatu daerah lusen sirkular yang kecil (nidus) di bawah korteks yang dikelilingi tulang reaktif yang menebal dan berkaitan dengan reaksi periosteal.
Tumor tulang ganas Perhatikan tulang terkena Osteosarkoma
• destruksi medula yang iregular; • reaksi periosteum; • destruksi kortikal; • massa jaringan lunak; • pembentukan tulang bahu. Kondrosarkoma • Tipe sentral: biasanya berkembang dari tulang
tubular, bersifat litik dan berada pada regiometafisis. • Tipe periferal: mungkin berasal dari periosteum atau
berkembang dari osteokondroma jinak yang terjadi sebelumnya.
Tumor Ewing Perhatikan apakah tampak reaksi periosteal berlapis (kulit bawang); penampakannya dapat menyerupai osteomielitis.
Metastasis tulang Perhatikan tulang yang terkena, pakah tampak;
• Deposit litik: gambaran utamanya berupa destruksi pada tulang dengan batas yang tidak.
• Deposit sklerotik: terlihat sebagai peningkatan densitas yang tidak berbatas tegas dengan diikuti hilangnya arsitektur tulang. Lesi sekunder pada vertebra dapat berupa pedikel yang sklerotik.
Mieloma multipel Perhatikan tulang yang terkena apakah tampak;
• Osteoporosis umum dengan penonjolan pola trabekular tulang, terutama pada tulang belakang, yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan mieloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-satunya pada mieloma multipel. Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan osteoporosis senilis.
• Lesi-lesi litik ‘punched out yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 240
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
• Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks, menghasilkan massa jaringan lunak.
Osteoporosis Perhatikan tulang yang terkena apakah terdapat gambaran
hilangnya densitas tulang, suatu penurunan ¡umlah trabekula dan lapisan-lapisan yang kasar.
Artritis reumatoid Perhatikan tulang yang terkena apakah tampak gambaran;
• Pembengkakan sendi: akibat proliferasi membran sinovial dan efusi sendi.
• Erosi: pada awainya berlokasi pada daerah periartikular di sepanjang tepi sendi, di mana tidak terdapat lapisan pelindung.
• Osteoporosis • Penyempitan rongga sendi: pelebaran rongga sendi
pada daerah di luar penyakit, namun dapat terjadi penyempitan yang signifikan dari erosi dan deformitas kartilago. Obliterasi dan destruksi komplet pada ruang sendi sewaktu-waktu dapat menyebabkan ankilosis.
Gout Perhatikan tulang yang terkena apakah tampak gambaran;
• Efusi dan pembengkakan sendi. • Erosi: hal ini cenderung menimbulkan penampakan
‘punched out’, yang berada terpisah dari permukaan artikular. Densitas tulang tidak mengalami perubahan.
• Tofi: mengandung natrium urat dan terdeposit pada tulang, jaringan lunak, dan sekitar sendi. Kalsifikasi pada tofi juga dapat ditemukan, dan tofi intraoseus dapat membesar hingga menyebabkan destruksi sendi.
Spondilitis ankilosa Perhatikan tulang yang terkena;
• Sendi sakroiliaka. Perubahan yang paling awal dimulai di sendi sakroiliaka dengan pengaburan dan batas yang tidak tegas pada tepi sendi. Kemudian, terjadi erosi dan sklerosis tulang yang menyebabkan kecenderungan terjadinya penyatuan sendi sakroiliaka komplet. Kedua sendi biasanya terkena: adanya sakroilitis unilateral harus dicurigai sebagai infeksi bakteri, biasanya tuberkulosis. Sakroilitis biasanya terbukti pada pemindaian tulang sebelum ditemukan perubahan radiografik lainnya.
• Perubahan spinal. Seluruh tulang belakang dapat terlibat namun berbagai proses biasanya timbul pada regio lumbal dan berlanjut ke atas dan melibatkan tulang belakang torakal dan servikal. Gambaran yang paling sering terlihat adalah: squarring pada badan
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 241
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
vertebra akibat pembentukan tulang baru pada badan vertebra anterior, dan terisinya kecekungan di bagian anterior yang normal oleh kalsifikasi ligamen longitudinal; kalsifikasi ligamen spinalis lateral dan anterior untuk menghasilkan gambaran ‘bamboo spine yang klasik.
• Keterlibatan sendi perifer. Suatu artropati erosif dapat menyertai spondilitis ankilosa, panggul merupakan sendi yang paling sering terkena.
Rickets Perhatikan tulang yang terlibat apakah tampak gambaran;
• Pelebaran lempeng pertumbuhan dan epifisis, dengan penampakan epifisis yang lambat.
• Batas metafisis yang berjumbai dan tidak jelas menyebabkan penampakan cup.
• Reaksi periosteal, terutama selama tahap penyembuhan.
• Tulang yang menekuk dan melengkung. • Pembesaran bulbosa pada ujung anterior iga
menyebabkan ‘rickety rosary.
Osteomalasia Perhatikan tulang yang terkena pakah tampak gambaran;
• Penurunan densitas tulang secara umum. • Looser’s zone (pseudofraktur) merupakan pita
translusen yang sempit, pada tepi kortikal, dan merupakan tanda diagnostik untuk osteomalasia. Kelainan ini paling sering terlihat pada iga, skapula, ramus pubis, dan aspek medial femur proksimal.
• Vertebra bikonkaf (vertebra ‘ikan kod’). • Perlunakan tulang yang menimbulkan pelvis
triradiata.
Osteomielitis • Perhatikan tulang yang terkena apakah tampak
gambaran pembengkakan jaringan lunak. • Tulang yang terinfeksi pada awalnya kehilangan
detailnya dan menjadi tidak berbatas jelas dengan reaksi periosteal dan bahkan destruksi tulang.
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 242
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
Keterampilan Klinik Keempatbelas dan Kelimabelas
ANAMNESIS GANGGUAN PSIKIATRI
I. IDENTITAS PASIEN
Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :
Suku Bangsa :
Agama :
Alamat :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Status Perkawinan :
Nomor Rekam Medik :
II. RIWAYAT PSIKIATRIK A. Keluhan Utama :
Keluhan tambahan :
B. Riwayat Gangguan Sekarang:
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya:
D. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat Prenatal dan Bayi :
2. Riwayat Masa Kanak-kanak :
3. Riwayat Masa Remaja :
4. Riwayat Pendidikan :
5. Riwayat Pekerjaan :
6. Riwayat Perkawinan :
7. Riwayat Keluarga :
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 243
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
8. Riwayat Situasi Sekarang :
9. Persepsi Pasien tentang Diri dan Lingkungannya:
III. STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan :
2. Kesadaran :
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik: 4. Pembicaraan :
5. Sikap Terhadap Pemeriksa:
B. Afek, Ekspresi Afektif, dan Empati 1. Afek :
2. Ekspresi Afektif:
3. Keserasian :
4. Empati :
C. Fungsi Intelektual 1. Taraf Pendidikan:
2. Daya konsentrasi: 3. Orientasi waktu, tempat dan orang :
4. Daya Ingat jangka panjang, jangka pendek, dan daya ingat segera: 5. Pikiran abstrak:
6. Kemampuan menolong diri sendiri:
D. Gangguan Persepsi
E. Proses Pikir 1. Arus pikir
a. Produktivitas :
b. Kontinuitas :
c. Hendaya berbahasa : 2. Isi pikir
a. Preokupasi : Keterampilan Klinik SEMESTER VII 244
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
b. Gangguan pikiran :
F. Daya Nilai
G. Pengendalian impuls
H. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya
I. Tilikan (Insight)
J. Taraf dapat dipercaya
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Internus
Keadaan Umum :
Tanda Vital :
Bentuk Badan :
Sistem Kardiovaskuler :
Sistem Respiratorik :
Sistim Muskuloskeletal :
Sistim Gastrointestinal :
Sistem Urogenital : Gangguan Khusus :
2. Status Neurologik
V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA
VI. EVALUASI MULTIAKSIAL Aksis I :
Aksis II :
Aksis III :
Aksis IV :
Aksis V :
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 245
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
VII. DAFTAR MASALAH Organobiologik :
Psikologik :
Sosial :
VIII. PROGNOSIS
Hal-hal yang menunjang ke arah baik : Hal-hal yang tidak mendukung :
IX. PENATALAKSANAAN
Psikofarmaka : Psikoterapi :
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 246
Laboratorium Keterampilan Klinik FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Islam Sumatera Utara
LEMBAR PENGAMATAN INSTRUKTUR
No Langkah/Kegiatan Pengamatan
Ya Tidak
1 Menyapa pasien dan menanyakan identitas pasien secara allo maupun autoanamnesis
2 Menanyakan riwayat psikiatrik
Keluhan Utama
Keluhan tambahan
Riwayat gangguan sekarang
Riwayat gangguan sebelumnya
Riwayat kehidupan pribadi
3 Menilai Status mental
Deskripsi Umum
Afek, Ekspresi Afektif, dan Empati
Fungsi Intelektual
Gangguan Persepsi
Proses Pikir
Daya Nilai
Pengendalian impuls
Persepsi pasien tentang diri dan kehidupannya
Tilikan (Insight)
Taraf dapat dipercaya
4 Melakukan pemeriksaan diangnostik lebih lanjut status internus dan status neurologis
5 Menilai ikhtisar penemuan bermakna
6 Melakukan evaluasi multiaksial
7 Menilai daftar masalah, prognosis dan memberi penatalaksanaan
Tanda tangan Instruktur,
( )
Keterampilan Klinik SEMESTER VII 247