blok 12

30
Tetanus yang disebabkan Infeksi Sekunder pada Ekstremitas Inferior Bagian Dektra Melisa 102012226 Falkutas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no 6 Jakarta Barat 11510 [email protected] Pendahululuan Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukan diri dengan neuromuskuler akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani. Hippocrates (dokter dari Yunani) sudah menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia. Tahun Penderita biasanya mengejang dengan rahang tertutup rapat (disebut lockjaw), punggung melengkung dan sulit bernafas. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun kecil, luka nyata maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka-luka seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat. Dan pada akhirnya pada tahun 1925, Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif.

description

12

Transcript of blok 12

Page 1: blok 12

Tetanus yang disebabkan Infeksi Sekunder pada Ekstremitas Inferior Bagian Dektra

Melisa102012226

Falkutas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara no 6 Jakarta Barat 11510

[email protected]

PendahululuanTetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukan diri dengan

neuromuskuler akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin

spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani. Hippocrates (dokter dari Yunani) sudah

menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia. Tahun Penderita biasanya mengejang

dengan rahang tertutup rapat (disebut lockjaw), punggung melengkung dan sulit bernafas.

Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun kecil, luka

nyata maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka-luka

seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka

bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat.

Dan pada akhirnya pada tahun 1925, Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk

imunisasi aktif.

Page 2: blok 12

Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh dokter apabila

berhadapan dengan pasien. Anamnesis bertujuan untuk mengambil data berkenaan dengan

pasien melalui wawancara bersama pasien maupun keluarga pasien. Anamnesis perlu

dilakukan dengan cara-cara khas yang berkaitan dengan penyakit yang bermula dari

permaasalahan pasien.anamnesis yang baik akan membantu dokter memperoleh maklumat

seperti berikut :

Penyakit atau kondisi yang mungkin menjadi punca keluhan pasien

(kemungkinan diagnosis)

Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab

munculnya keluhan pasien (diagnosis banding)

Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut

(faktor predisposisi dan faktor risiko)

Kemungkinan penyebab penyakit (etiologi)

Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien

(faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan)

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk

menentukan diagnosisnya.1

Bagi pasien yang pertama kali datang ke dokter, pertanyaan yang perlu diajukan adalah

data pribadi pasien seperti:

1. Nama lengkap pasien

2. Jenis kelamin

3. Umur pasien

4. Tempat dan tarikh lahir pasien

5. Status perkahwinan

6. Agama

Page 3: blok 12

7. Suku bangsa

8. Alamat

9. Pendidikan

10. Pekerjaan

11. Riwayat keluarga yang meliputi kakek dan nenek sebelah ayah, kakek dan nenek

sebelah ibu, ayah, ibu, saudara kandung dan anak-anak

Keluhan utama

Anamnesis keluhan utama merupakan bagian paling penting dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Anamnesis ini biasanya memberikan informasi terpenting untuk mencapai

diagnosis banding, dan wawancara vital mengenai gambaran keluhan yang menurut pasien

paling penting. Anamnesis ini sebaiknya mencakup sebagian besar waktu konsultasi.

Anamnesis yang didapat harus dicatat dan disajikan dengan kata-kata pasien sendiri, dan

tidak boleh disamarkan dengan istilah medis yang bisa menguburkan sifat asli keluhan dan

nuansa yang penting.1

Jika tidak bisa didapat anamnesis yang jelas dari pasien, maka anamnesis harus

ditanyakan pada kerabat, teman, atau saksi lain. Pencarian bukti yang memperkuat hal-hal

tertentu dari anamnesis, seperti konsumsi alkohol atau rincian saat pasien kolaps, mungkin

tepat untuk dilakukan.1

Keluhan utama didapat dengan membiarkan pasien berbicara tanpa dipotong. Ini bisa

dimulai dengan menanyakan pertanyaan terbuka seperti : ”Apa yang membuat Anda datang

menemui saya hari ini?”,”Apa masalah Anda?”, ”Ceritakan apa kesulitan Anda”. Pasien

harus selalu dibiarkan berbicara selama selama mungkin tanpa dipotong. Kata sambung

pendek seperti ”Teruskan”, ”Ceritakan lebih lanjut”, bisa membantu mendapatkan lebih

banyak informasi dari pasien yang pendiam.

Riwayat penyakit sekarang

Setelah ini, harus dilanjutkan pertanyaan terbuka yang mengungkap rincian lebih

lanjut mengenai aspek tertentu dari anamnesis. Menanyakan karakter keluhan utama,

”Batuknya berdahak atau batuk kering?” jika berdahak, ”Apa warna dahaknya?”, Ada

Page 4: blok 12

darahnya?”Misalnya: ”Katakan lebih jelas mengenai rasa nyeri itu”, ”Katakan pada saya

lebih terperinci mengenai sesak nafas yang Anda rasakan”, atau”Anda mengatakan Anda

panas dan nyeri saat menelan?”. Selanjutnya pertanyaan yang lebih terarah bisa diajukan

untuk mendapatkan informasi mengenai kronologi dan rincian lain ari keluhan; misalnya,

“Kapan tepatnya pertama kali Anda merasakan sesak ?”, “ mana yang lebih dulu, batuk atau

rasa sesak?”.1

Pertanyaan yang terarah bisa diajukan untuk menetapkan gambaran dari keluhan yang

penting secara diagnostik: misalnya, “Batuk seperti apa yang ada rasakan?”,”Batuk kering

atau batuk berdahak?”,”Seberapa sering Anda batuk dalam sehari?”,”Apakah batuknya selalu

diikuti sesak nafas?”. Jika suatu gejala atau keluhan baru muncul saat wawancara, gejala atau

keluhan tersebut harus pula dianalisis secara terperinci.1

Dalam beberapa keadaan, seperti saat resusitasi pada pasien yang sakit berat,

pertanyaan yang sangat terfokus atau singkat lebih tepat. Ingat bahwa masalah pasien yang

sedang dicoba pahami dan catat untuk menegakan diagnosis. Jangan memaksa atau

menginterprtasikan sendiri apa yang pasien katakan agar sesuai dengan suatu diagnosis atau

gejala tertentu.1

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit dahulu (RPD) adalah bagian penting dari anamnesis. Penting untuk

mencatat secara rinci semua masalah medis yang pernah timbul sebelumnya dan teapi yang

pernah diberikan. Mencatat informasi ini secara kronologis juga bisa bermanfaat.”Penyakit

apa yang pernah Anda alami?”,”Pernakah Anda dirawat dirumah sakit?”,”Operasi apa yang

pernah Anda alami?”,”Kapan terakhir kali Anda merasa sehat sepenuhnya?”. Tanyakan

adakah masalah dengan operasi atau anastesi, dan jika ada, apa masalah. Mungkin

menemukan adanya kecendrungan pendarahan atau toleransi terhadap obat anastesi tertentu.1

Riwayat pribadi

Page 5: blok 12

Pasien ditanyakan kebiasaan makanan, “Apakah Anda sering makan diluar atau

makan dirumah?”. Kebiasaan merokok, “ Apakah Anda pernah atau masih merokok?”. Jika

iya, rokok jenis apa, berapa banyak, dan selama berapa lama? Apakah rokok tembakau, pipa,

atau cerutu?. Alkohol, “Apakah Anda mengkonsumsi alkohol?”. Jika iya, jenis apa? Berapa

banyak dan sering? Apakah/pernahkan ada masalah ketergantungan alkohol?. Pengguna

narkoba, jenis obat terlarang apa yang pernah atau sedang dikonsumsi?. Jangan lupa tanyakan

obat suntikan apa yg pernah digunakan. Riwayat vaksin pada pasien.1

Riwayat sosial

Penting untuk memahami latar belakang pasien, pengaruh penyakit yang mereka

derita terhadap hidup dan keluarga mereka. Pekerjaan tertentu berisiko menimbulkan

penyakit tertentu jadi penting untuk mendapatkan riwayat pekerjaan yang lengkap.1

Bagian anamnesis ini dirancang untuk menemukan gejala yang belum diungkapkan

oleh pasien dalam anamnesis keluhan utama. Tentu saja ada banyak sekali pertanyaan yang

bisa diajukan. Dalam suatu situasi klinis tertentu, pertanyaan ini harus difokuskan tergantung

dari sifat keluhan utama. Ditemukannya kelainan pada pemeriksaan fisik atau setelah

pemeriksaan penunjang bisa menimbulkan pertannyaan yang lebih terarah.1

Riwayat Keluarga

Penting untuk mencari penyakit yang pernah diderita oleh kerabat pasien karena

terdapat konstribusi genetik yang kuat pada berbagai penyakit.”Berapa banyak kerabat yang

Anda miliki?”,”Apakah orang tua Anda masih hidup? Jika tidak, pada usia berapakah mereka

meninggal dunia? Apa sebab kematiannya? Apakah mereka mengalami suatu penyakit yang

berat?”,”Apakah anda memiliki saudara kandung, anak, cucu?” dan sebagainya.1

Pemeriksaan

Untuk memperkuat diagnosis tentang suatu penyakit kita harus melakukan

pemeriksaan kepada pasien. Pemeriksaan paling utama yang harus dilakukan adalah

pemeriksaan fisik dan apabila ingin memperkuat diagnosis tersebut dapat dilakukan

pemeriksaan penunjang, misalnya pemeriksaan lab.1

Page 6: blok 12

a. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik merupakan suatu keterampilan pemeriksaan dasar yang harus

dimiliki oleh seorang dokter dalam mendukung diagnosanya terhadap suatu penyakit.

Seorang dokter yang baik, dapat mendiagnosis secara tepat hanya dengan melakukan

pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan lab, khususnya untuk penyakit-penyakit yang memang

tidak membutuhkan pemeriksaan lab. Pastikan pasien merasa nyaman, ada privasi, dan

memahami apa yang akan Anda lakukan. Mundur Dan Lihat pasien.1

Pada pasien yang diduga tetanus, biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh 38-40C.

Keadaan ini diakibatkan oleh proses inflamasi dan toksin dari bakteri exotoxin clostridium

tetani yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh (hipotalamus anterior). Penurunan

denyut nadi berhubungan dengan penurunan fungsi jaringan otak tersebut. Namun apabila

disertai dengan peningkatan frekuensi pernapasan, sering berhubungan dengan peningkatan

laju metabolisme umum, pada keadaan ini tekanan darahnya normal.2

Pada pemeriksaan fisik, terdapat beberapa teknik untuk membantu menegakkan

diagnose tetanus pada pasien, diantaranya breathing, blood, brain, bladder, bowel, dan bone.

Breathing

Melakukan inspeksi, apakah pasien batuk, terdapat sputum, sesak napas, pengggunaan

otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapat pada pasien

tetanus yang disertai dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas. Kemudian melakukan

palpasi toraks, maka didapatkan taktil premitus yang seimbang kanan dan kiri. Langkah

terakhir pada breathing yaitu melakukan auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada

klien dengan peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun.2

Blood

Mengkaji pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipovelemik yang sering tejadi

pada pasien tetanus. Tekanan darah pada pasien tetanus biasanya normal, peningkatan

denyut jantung , adanya anemis karena kehancuran eritrosit.2

Brain

Terbagi atas beberapa tahapan, yaitu pengkajian tingkat kesadaran pasien,

pengkajian fungsi serebral, pengkajian saraf cranial, pengkajian sistem motorik, pengkajian

reflex, pengkajian sistem sensorik.2

Pengkajian tingkat kesadaran pada pasien tetanus biasanya adalah compos mentis.

Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran pasien tetanus akan mengalami penurunan pada

Page 7: blok 12

tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika pasien sudah mengalami koma, maka

penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadraan pasien dan elevasi untuk

pemantauan pemberian penanganan.2

Pengkajian fungsi serebral, dilakukan telaah sistem mental meliputi observasi

penampilan, tingkah laku, nilai gyaa bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pasien.

Pada pasien tetanus tahap lanjut, biasanya status mental pasien mengalami perubahan.

Pengkajian saraf cranial, meliputi pemeriksaan saraf cranial I-XII. Saraf I, biasanya

pada pasien tetanus tidak ada kelainan pada fungsi penciuman. Saraf II, tes ketajaman

penglihatan pada kondisi normal. Saraf III;IV;VI, dengan alasan yang tidak diketahui, pasien

tetanus biasanya mengeluhkan mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap

cahaya. Respon kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu diperhatikan perawat

guna memberikam intervensi untuk menurunkan stimulasi cahaya tersebut. Saraf V, biasanya

pada pasien tetanus reflex meseter meningkat, mulut condong ke depan seperti mulut ikan(ini

adalah gejala khas pada tetanus). Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, dan

wajah simetris. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. Saraf IX

dan X, kemampuan menelan kurang baik, dan mengalami kesulitan membuka mulut(trismus).

Saraf XI, didapatkan kaku duduk, ketegangan otot rahang dan leher(biasanya mendadak).

Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, serta indra

pengecap normal.2

Pengkajian sistem motorik, dilihat pada pasien tetanus mengalami penurunan

kekuatan otot, control keseimbangan yang menurun, dan koordinasi pada tetanus tahap lanjut

mengalami perubahan.

Pengkajian reflex, yakni pemeriksaan reflek profunda dengan melakukan pengetukan

pada tendon, ligamentum atau periosteumderajat reflex pada sistem normal. Pada gerakan

involunter, tidak ditemukan adanya tremor, tetapi pada keadaan tertentu, pasien biasanya

mengalami kejang umu, terutama pada anak dengan tetanus disertai peningkatan suhu tubuh

yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortika yang peka.

Pengkajian sistem sensorik, biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri

normal , perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh, perasaan

propiosefsi normal, dan perasaan diskriminatif normal.2

Bladder

Penurunan volume urin output berhubungan dengan penurunan perfusi umum dan

penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urin kejang umum. Pada pasien yang

sering kejang, sebaiknya urin dikeluarkan dengan menggunakan kateter.2

Page 8: blok 12

Bowel

Mual hingga muntah disebabkan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan

nutrisi pada klien tetanus menurun karena kelainan anoreksia, dan adanya kejang, kaku

dinding perut, merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spsme otot juga menyebabkan

kesulitan BAB.2

Bone

Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan

aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila pasien mengalami patah tulang terbuka yang

memungkinkan port de entrée kuman clostridium tetani, sehingga memerlukan perawatan

luka yang lebih optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada fraktur vertebra apabila

terjadi pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.2

b. Pemeriksaan Penunjang

Untuk mendukung diagnosis klinis pada pasien tetanus, dapat dilakukan beberapa

pemeriksaan laboratorium yang dapat menegakkan diagnosis penyakit, meliputi :

Hitung darah lengkap

Nilai hitung darah lengkap dengan diferensial dan hitung trombosit (orang dewasa)

Hitung sel darah merah : 4,0-5,5 juta/ml darah

Hitung sel darah putih : 5000-10.000/ml darah

Hitung trombosit: 14,0-17,5 gram/100 ml untuk pria; 12,0-16,0

gram/100ml untuk wanita

Hitung hemoglobin: 14,0-17,5 gram/100ml untuk pria; 12,0-16,0 gram

/100 ml untuk wanita

Neutrofil: 50%-62%

Eosinofil: 0%-3%

Basofil: 0%-1%

Limfosit: 25%-40%

Monosit: 3%-7%.3

Hasil pemeriksaan lab tetanus:

1. Ditemukannya leukositosis ringan pada tes darah pasien.

2. Terdapat peningkatan TIK.

3. Pada pemeriksaan bakteriologis didaerah yang terdapat luka, ditemukan adanya

bakteri Clostridium tetani.2

Page 9: blok 12

Diagnosis

Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium,

didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Pasien berusia 22 tahun dengan keluah utama demam, mulut terasa kaku, dan

nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan.

2. Pasien 2 minggu yang lalu mengalami kecelakaan lalu lintas, dan mengalami luka

robek pada tungkai bawah kanan dan mendapat 27 jahitan oleh seorang petugas

kesehatan didesanya.

Dari data diatas, kita dapat membagi diagnosis yang telah ada menjadi dua, yaitu

working diagnosis dan differential diagnosis.

Working diagnosis

Working diagnosis merupakan diagnosis utama tentang penyakit yang diderita pasien

setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan terhadap pasein. Berdasarkan pngertian

tersebut didapatkan working diagnosis untuk kasus ini yaitu TETANUS.

Mengapa Tetanus diambil sebagai diagnosis utama ? Pertanyaan tersebut dapat

dijawab dengan melihat gejala-gejala klinis dari Tetanus.

Diagnosis tetanus mutlak didasarkan gejala klinis karena pemeriksaan kuman

Cl.tetani belum tentu berhasil. Anamenisis tentang adanya kelainan yang dapat menjadi

tempat masuknya kuman tetanus, adanya trismus, risus sardonikus (berkeringat), kaku kuduk,

perut keras seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran, cukup menegagkan

diagnosis tetanus karena gejala klinis tetanus sangatlah spesifik.4

Differntial diagnosis

Differential diagnosis merupakan suatu diagnosis pembanding dengan gejala yang

serupa terhadap penyakit utama, yang didapatkan ketika melakukan anamnesis. Oleh karena

itu perlu adanya pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk menegakkan diagnosis utama.1

Etiologi

Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Clostridium tetani bakteri berspora

bersifat anaerob murni, berbentuk batang panjang tipis (2-5 µm x 3-8 µm), gram positif

(ungu). 5Dalam bentuk spora, kuman ini tersebar luas di tanah, debu jalanan, kotoran hewan

(kuda, ayam, babi, anjing) juga tinja manusia, tahan terhadap antiseptik, pemanasan 100ºC,

Page 10: blok 12

dan bahkan pada oktaf 120ºC selama 15-20 menit. Spora Cl.tetani dapat bertahan sampai

bertahun-tahun bila tidak terkena sinar matahari. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul

genderang atau raket squash.6

Epidemiologi

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,

individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal

mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapa

dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh

dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang, sering

terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara lain di benua Asia. Penyakit ini

umum terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat,

selama musim panas dan pada penduduk pria.4

Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus

tetap bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHP memperkirakan

kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992. Penyakit

ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat 300 kasus per

tahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi setiap tahun di Inggris.4

Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti

luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah atau

selama bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan

tetanus bisa berupa luka besar tetapi dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak

mencari pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus tidak dapat diidentifikasikan adanya

trauma. Tetanus dapat merupakan komplikasi penyakit kronis, seperti ulkus, abses, dan

gangren. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah,

pembedahan, aborsi dan persalinan. Pada beberapa pasien tidak dapat diidentifikasi adanya

port d’entere (pintu masuk).4

Pada akhir tahun 1940an dilaporkan 300 samapai 600 kasus pee tahun di Amerika

Serikat. Pada tahun 1947 insidensi tetanus mencapai 3,9 kasus per juta populasi, kontras

dengan angka insidensi tetanus mencapai 3,9 juta kasus per populasi, kontras dengan angka

insidensi tahunan antara tahun 1998-2000 yang dilaporkan kurang dari 100 kasus dilaporkan

tiap tahun pada saat ini antara 50-70 kasus per tahun dilaporkan di Amerika Serikat.4

Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi di usia tua. Survey serologis

skala luas antara antibodi tetanus yang difteri yang dilakukan antara tahun 1988-1994

Page 11: blok 12

menunjukkan bahwa skala keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia diatas 6

tahun sebesar 91%, presenttase ini menurun dengan bertambahnya usia, haya 30% individu

berusia di atas 70tahun yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.4

Gejala Klinis

Masa inkubasi 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk luka. Yang paling

sering terjadi adalah tetanus umum. Pada saat racun Clostridium tetani masuk luka maka akan

merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejala serta tanda-tanda tetanus, misalnya

kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan tidak dapat ditekuk

karena kekakuan otot leher dan punggung (opostotonus), dinding perut mengeras seperti

papan, gangguan menelan, dan muka seperti menyeringai atau tertawa (risus sardonicus).5

Pasien tetanus mudah sekali mengalami kejang, terutama apabila mendapatkan

rangsangan seperti suara berbisik, terkejut, sinar, dsb. Sehingga pasien perlu diisolasi dalam

ruang tersendiri.7

Namun tetanus dapat timbul sebagai 2 macam tetanus, yaitu :

1. Tetanus lokal

Terutama pada orang yang telah mendapat imunisasi. Gejalanya berupa kaku

persisten (terutama) pada kelompok otot di dekat luka yang terkontaminasi basil

tetanus.dejong Terjadi kelemahan otot akibat peran toksin pada tempat hubungan

neuromuskuler. Gejala bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan.4

2. Tetanus lokal tipe sefalik

Bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah trauma kepala atau telinga.4

Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf kepala yang

Page 12: blok 12

terkena (NIII, IV, V, VI, VII, IX, X dan XII). Penting di perhatikan bahwa adanya

kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala tetanus.6

3. Generalized tetanus (Tctanus Generalisata atau umum)

Tetanus ini merupakan bentuk yang paling umum ditandai dengan

meningkatnya tonus otot dan spasme. Masa inkubasinya bervariasi tergantung lokasi

luka dan lebih singkat pada tetanus berat. Terdapat trias klinis berupa rigiditas

(kekakuan), spasme (ketegangan) otot, dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku

kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan

gejala awal tetanus. Spasme otot maseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci.

Spasme secara progresif akan meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi

wajah yang khas “risus sardonicus” dan meluas ke otot-otot menelan yang

menyebabkan disfagia (kesulitan menelan). Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus

dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Pasien dapat

demam, walaupun banyak yang tidak. Sementara kesadaran tidak berpengaruh.

Kontraksi otot dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,

stimulus visual, auditori, atau emosional. Spasme faringeal sering diikuti dengan

spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan nafas

akut yang mengancam nyawa.8

Patogenesis

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka dapat

terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar, luka

gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien

tetanus, port  d’entre terdapat didaerah kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat

juga terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru

lahir Clostridium tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa

memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap

sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan

sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk

vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian

mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada

penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu

tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah

Page 13: blok 12

merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan menambah optimal

kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat

toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik

dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah

mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat

dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin,

sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap.4

Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,

Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke

dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4

penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari

pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, difteri, botulisme). Tempat masuknya

kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan

jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang

dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari

kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan

tali pusat yang tidak steril.8

Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila

dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya,

toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan

sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat

sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps

ganglion spinal dan neuromuscular junction  serta saraf autonom. Toksin dari tempat luka

menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara

intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang.

Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap

susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan

dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus

menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter.

Neuron yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter

inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan

penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada

tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum

Page 14: blok 12

tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada,

perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan

mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah

menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini

pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan

gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.9

Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi

gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih,

dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi,

hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena

penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi

dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali

dan dikelola dengan teliti.10 Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja

pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara sebagai berikut.8

·         Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan

acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

·         Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks

synaptik di spinal cord.

·         Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral

ganglioside.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS)

dengan gejala: berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung,

peninggian cathecholamine dalam urine. Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang

normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter

sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap

toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang

kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot

yang khas.9 Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin sebagai berikut.

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa ke ordo

anterior susunan syaraf pusat

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian

masuk ke dalam susunan syaraf pusat.

Page 15: blok 12

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak)

pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena

biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan

oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.9

Pencegahan

Pencegahan tetanus dilakukan melalui upaya sterilitas alat, misalnya saat pembersihan

dan perawatan luka dan segera mengobati luka infeksi. Tetapi, uapaya pencegahan yang

paling ekfektif adalah melalui imunisasi pasif dan aktif. Pada penyakit tetanus berat, resiko

terjadinya kematian sangat tinggi. Obat antibiotik dan imunisasi pasif atau anti tetanus belum

tentu memperbaiki keadaan penyakit. Cara yang paling efektif adalah mencegah sebelum

terkena tetanus melalui vaksinasi.5

Imunisasi Pasif

Imunisasi pasif diindikasikan pada seseorang yang mengalami luka kotor, diperoleh

dengan memberikan serum yang sudah mengandung antioksin heterolog (ATS) atau antioksin

homolog (imunoglobulin antitetanus).5

Imunisasi Aktif

Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikan toksoid tetanus dengan tujuan

merangsang tubuh membentuk antibodi. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak

dibuktikan.6

VaksinasiSebelumnya

Luka Bersih Luka Kotor

Toksoid ATS Toksoid ATS

Tidak ada/tidak pasti

Ya* Tidak Ya* Ya*

1x DT atau DPT Ya* Tidak Ya* Ya*

2x DT atau DPT Ya* Tidak Ya* Ya*

3x DT atau DPT Tidak+ Tidak Tidak++ Tidak

Page 16: blok 12

Tabel 1: Vaksinasi6

Vaksin tetanus tidak boleh diberika pada orang dengan riwayat reaksi alergi berat

(anafilaksis) pada pemberian sebelumnya, pada orang yang alergi terhadap komponen

vaksin.5

Efek Samping

Efek samping pemebrian vaksinasi tetanus bisasnya bersifat ringan, berupa rasa nyeri,

warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam. Penggunaan kain lembab

dingin di tempat yang sakit dapat mengurangi rasa sakit. Parasetamol dapat diberikan untuk

mengurangi rasa sakit dan demam, serta minum air yang banyak.5

Penatalaksanaan

Medika Mentosa

Terapi pendukung mungkin termasuk dukungan ventilasi dan agen farmakologis yang

mengobati kejang otot refleks, kekakuan, dan kejang berhubung dengan tetanus.

Benzodiazepines telah muncul sebagai andalan terapi simtomatik untuk tetanus. Untuk

mencegah kejang yang berlangsung lebih lama dari 5-10 detik, mengelola diazepam

intravena, biasanya 10-40 mg setiap 1-8 jam. Vecuronium (infus kontinu) atau

pankuronium (dengan injeksi intermiten) adalah alternatif yang memadai.11

Penisilin G, yang telah digunakan secara luas selama bertahun-tahun, namun bukan obat

pilihan. Metronidazol (misalnya, 0,5 q6h g) merupakan aktivitas antimikroba yang

sebanding atau lebih baik, dan penisilin merupakan antagonis GABA, seperti toksin

tetanus.11

Dokter juga menggunakan sedatif hipnotik, narkotika, obat anestetik inhalasi, agen yang

*= seri imunisasi yang harus dilengkapi

+= kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih

++= kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih

Cara pemberian melalui intramuskuler (ATS 1500 U atau

Imunoglobulin 250 U)

DT= vaksinasi difteri tetanus

DPT= vaksinasi difteri pertusis tetanus

Page 17: blok 12

memblokir neuromuskuler, dan relaksan otot (misalnya, baclofen intratekal).

Sampai saat ini, laporan menunjukkan bahwa lebih dari 26 orang dewasa dengan tetanus

parah telah diperlakukan dengan baclofen intratekal. Dosis perwakilan dari infus kontinu

adalah 1750 mcg per hari.11

Mengatasi kaku otot dan kejang, gangguan pernapasan, pengendalian keseimbangan

cairan dan elektrolit, serta perbaikan nutrisi adalah tindakan yang harus dilakukan. Untuk

mengatasi kaku otot diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan untuk sedasi

digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau diazepam.11

Diazepam bekerja di semua sinaps GABA tapi kerjanya dalam mengurangi spastisitas

sebagian yang dimediasi di medula spinalis. Diazepam dapat digunakan untuk melemaskan

otot yang berasal dari mana saja termasuk trauma otot lokal. Dosis diazepam dimulai dengan

4 mg/hari yang dapat ditingkatkan secara bertahap hingga maksimum 60 mg/hari. Pada

tetanus berat kadang diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil alih

pernapasan memakai respirator. Pasien dengan kaku laring biasanya memerlukan trakeostomi

untuk mengatasi gangguan pernapasan.6

Netralisasi toksin yang masih beredar dilakukan dengan memberikan serum

antitetanus (ATS) atau Imunoglobin tetanus human. ATS diberikan 20.000 IU setiap hari

selama lima hari. Pada pemberian ATS harus diingat kemungkinan timbulnya reaksi alergi.

Pemberian imunoglobulin tetanus human cukup dengan dosis tunggal 3000-6000 unit.

Pemberian tidak perlu diulang karena waktu paruh antibodi ini 31/2-41/2 minggu.

Menghilangkan kuman penyebab dapat dilakukan dengan merawat luka yang

dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka dengan larutan antiseptik, eksisi

luka, bahkan histerektomi bila uterus diperkirakan sebagai sumber kuman tetanus dan

pemakaian antimikroba. Bila tidak ditemukan sumber infeksi yang jelas, antimikroba

merupakan satu-satunya usaha untuk menghilangkan kuman penyebab. Dasar pemikirannya

ialah perkiraan bahwa kuman penyebab terus memproduksi eksotoksin yang hanya dapat

dihentikan dengan membasmi kuman tersebut. Antibiotik yang banyak dianjurkan dan efektif

untuk membunuh Clostridium tetani adalah penisilin. Dosis penisilin G adalah 100.000

U/kg/24 jam yang terbagi dan diberikan pada interval 4-6 jam selama 10-14 hari.

Metronidazol nyata lebih efektif dibandingkan dengan penisilin dalam menurunkan

morbiditas dan mortalitas karena metronidazol tidak menunjukkan aktivitas antagonis

terhadap GABA seperti yang ditunjukkan oleh penisilin. Dosis penisilin yang dianjurkan

Page 18: blok 12

adalah 3 x 1,5 juta unit/hari dan metronidazol 3 x 1 gr/hari. Pemberian eritromisisn,

tetrasiklin dan klindamisin pada usia lebih dari 9 tahun merupakan alternatif untuk penderita

alergi penisilin.6

Non Medika Mentosa

Pada perawatan harus dilakukan observasi ketat, terutama jalan napas, perubahan

posisi, dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus. Fisioterapi paru dan anggota gerak

serta perawatan mata juga merupakan bagian dari perawatan baku. Pemberian nutrisi yang

adekuat dapat dilakukan dengan nutrisi parenternal dan enternal selama keadaan usus baik,

nutrisi enternal merupakan pilihan, tetapi bila perlu dilakukan pemberian makan lewat pipa

lambung atau gastrostomi.6

Dalam merawat pasien tetanus sebaiknya diusahakan ruangan yang tenang yang

dilindungi dari rangsangan penglihatan, pendengaran, dan perabaan. Selain itu, dilakukan staf

perawatan yang berpengalaman dan mempunyai dedikasi tinggi serta bertanggung jawab.

Ruangan yang gelap tidak diperlukan karena perubahan dari gelap ke terang tiba-tiba dapat

memicu timbulnya kejang.6

Komplikasi Tetanus

Komplikasi pada penyakit tetanus berupa kejang-kejang dan paralisis tetanus. Kaku

bertahan berat member kecenderungan penderita terhadap berbagai komplikasi. Aspirasi

sekresi dan pneumonia dapat mulai sebelum pemeriksaan medic pertama diterima.

Mempertahankan terbukanya jalan napas sering mengharuskan intubasi endotrakea dan

ventilasi mekanik dengan resiko yang menyertainya, termasuk pneumothoraks dan emfisema

mediastinum. Kejang-kejang dapat menyebabkan luka robek mulut dan lidah, pada hematoma

intramuscular atau rhabdomiolisis dengan mioglobinuria dan gagal ginjal, atau pada tulang

panjang atau fraktur spinalis. Trombosis venosa, emboli pulmonal, ulserasi lambung dengan

atau tanpa pendarahan, illeus paratikus, dan ulserasi dekubiktus merupakan bahaya yang

paling rentan. Penggunaan relaksan otot terus menerus dapat mengakibatkan apnea

iatrogenic, meliputi aritmatia jantung termasuk asistol, tekanan darah yang tidak stabil, dan

pengaturan suhu yang tidak stabil. Hal tersebut menggambarkan pengaturan sistem saraf

otonom terganggu sehingga dapat diperburuk dengan komplikasinya.12

Prognosis

Page 19: blok 12

Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara nyata

memperbaiki prognosis tetanus. Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian bervariasi

secara dramatis tergantung pada fasilitas yang tersedia. Terdapat 3 macam tipe prognosis.

Prognosis ad vitam ,yakni pengaruh penyakit pada proses kehidupan, apakah cenderung dapat

kembali sehat atau menuju kematian.Prognosis ad fungsionam,yakni menunjuk pada

pengaruh penyakit terhadap fungsi organ terhadap pengaruh aktifitas penderitanya. Prognosis

ad sanationam,yakni menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh sempurna seperti

sediakala .4,12

Penyembuhan penyakit tetanus terjadi melalui regenerasi sinapsisdalam medulla

spinalis dan dengan demikian pengembalian relaksasi otot, namun karena periode aktif

tetanus tidak dipengaruhi produksi antibody penetral toksin, maka tetap diwajibkan

pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toksoid.4,12

Faktor yang mempengaruhi hasil akhir yang paling penting adalah kualitas perawatan

yang mendukung. Prognosis yang terbaik adalah dengan dihubungkan pada masa inkubasi

yang lama, tanpa demam, dan dengan penyakit yang terlokalisasi. Prognosis pendukungnya

adalah antara jejas dengan dimulainya trimus seminggu atau kurang antara trismus dengan

spasme tetanus menyeluruh. Kebanyakan kematian terjadi dalam kurun waktu seminggu

sakit, dan angka kematian menyeluruh yang dilaporkan dalam kasus tetanus menyeluruh

berkisar 5% hingga 35%, dan untuk tetanus neonatum lebih besar berkisar 10% hingga 75%

tanpa perawatan yang intensif.4,12

KesimpulanPasien dengan keluhan kekakuan pada otot wajah-leher , demam, anggota gerak, bentuk perut

seperti papan, dan ditemukan luka bernanah, serta diperkuat oleh hasil pemeriksaan

penunjang menunjukkan bahwa pasien tersebut terinfeksi bakteri Clostridium tetani.

Hipotesa diterima.

Page 20: blok 12

Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a Glance: anamnesis dan pemeriksaan. edisi bahasa indonesia, ahli

bahasa: anisa rahmalia. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2005.h.13-7.

2. Mutaqqin A. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.

Jakarta: Salemba Medika; 2009.p.119-21.

3. Cowin EJ. Buku saku patofisiologi. 3th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;

2009.

4. Ismanoe G. Tatanus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwil, Simadibrata M,

Setiati S (eds). Buku ajar penyakit dalam. jilid III. Edisi V. Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009.p.2911-13.

5. Suharjo JB, Lusi RA, Verawati. Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Jakarta:

Kanisius, 2013. p.69-72.

6. Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi III. Jakarta: EGC; 2013.p.45-50.

7. Robbins, cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. 7th ed. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2009.

8. Chairul I. Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus dalam Bidang Brdah. Bandung:

UNPAD; 2005.p.75-9.

9. Hendarwanto. Ilmu Penyakit Dalam. jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2003.p.49-

51.

10. Mardjono, Mahar. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004.p.322-3.

11. Muliawan SY. Bakteri Anaberob yang Berkaitan dengan Masalah Klinik. Jakatra:

EGC;2007.p.44-6.

12. Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak dalam edisi 15. Jakarta: EGC; 2012.p.1005-7.