Blok 12

40
Gejala Kejang dan Tetanus Sisilia Dina Mariana NIM : 102009147 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat e-mail : [email protected] Pendahuluan Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. 1 Dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit tetanus, mulai dari anamnesis penyakit, pemeriksaan, diagnosis, patofisologi, penatalaksanaan, epidemiologi, hingga prognosis dari penyakit. Tujuan pembuatan makalah adalah untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus berdasarkan skenario yang diberikan, yaitu mengenai tetanus. 1

description

12

Transcript of Blok 12

Page 1: Blok 12

Gejala Kejang dan Tetanus

Sisilia Dina Mariana

NIM : 102009147

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat

e-mail : [email protected]

Pendahuluan

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan

spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan

oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus

neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal.1

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit tetanus, mulai dari anamnesis penyakit,

pemeriksaan, diagnosis, patofisologi, penatalaksanaan, epidemiologi, hingga prognosis dari

penyakit. Tujuan pembuatan makalah adalah untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian

yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus berdasarkan skenario yang diberikan, yaitu

mengenai tetanus.

Anamnesis

a. Menanyakan identitas pasien : nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, umur,

suku agama, alamat lengkap, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan.

b. Menanyakan keluhan utama : keluhan utama pasien datang untuk berobat : demam, mulut

terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan.

c. Menanyakan riwayat penyakit sekarang : apakah panasnya naik turun atau panasnya tidak

pernah turun, sudah berapa lama demam. Apakah sebelumnya pasien pernah terluka atau

tertusuk, atau terjatuh dan ada luka ditempat yang kotor. Keluhan-keluhan penyerta : kaku pada

mulut, teraba panas dan bengkak pada daerah yang terluka dan dari sela-sela luka yang dijahit

keluar nanah. Informasi bisa didapat dari keluarga pasien.

1

Page 2: Blok 12

d. Riwayat penyakit dahulu : apakah pernah mengalami demam sebelumnya, mengalami

kecelakaan dijalan yg kotor dan terdapat luka yang penuh dengan debu dan kotoran, riwayat

pemberian ATS (anti tetanus toxoid), apakah pernah menderita riwayat penyakit yang lain dan

pernahkah dirawat dirumah sakit. Tanyakan adakah riwayat alergi, riwayat penyakit jantung,

ginjal, hati, DM dan penyakit infeksi lain. Riwayat pemberian ulang vaksin DT (dipteri dan

tetanus) pada saat dewasa umur 19 tahun. Adakah riwayat penyakit keluarga seperti epilepsi,

jantung, ginjal, hepatitis, TBC, alergi.

e. Menanyakan riwayat sosial : lingkungan tempat tinggal contohnya tinggal dekat pembuangan

sampah atau didaerah yang tidak bersih. Hygiene contohnya pasien tidak pernah bersihkan

badannya, saat ada luka pasien tidak pernah merawatnya, apakah perawatan luka menggunakan

bahan yang kurang aseptic, sosial ekonomi : bekerja sebagai pemulung, tukang bangunan, rumah

didaerah pertenakan.

Dari anamnesis, diketahui pasien seorang laki-laki berusia 22 tahun dibawa ke UGD RS

karena demam, mulut terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan. Dari hasil

inspeksi, pasien mengalami kulit luka tampak kemerahan, teraba panas, bengkak, dan keluar

nana disela luka namun tidak diberi antibiotik. Tekanan darah 110/70 mmHg dengan denyut nadi

82x/menit.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat kita lihat dengan adanya luka dan gejala-gejala yang khas pada

penyakit. Pada kasus ini, pasien terlihat sakit sedang, mulut hanya bisa dibuka maksimal 2 jari,

serta terdapat kekakuan pada wajah (Rhisus sardonikus), leher dan anggota gerak. Perutnya juga

kaku seperti papan dan telapak kaki kanan bengkak dengan kulit tegang kemerahan. Telapak

kakinya yang tertusuk paku juga ditemukan luka tusuk yang dalam dan bernanah. Dilakukan

pemeriksaan tekanan darah, nadi, frekuensi nafas dan suhu badan, lalu didapatkan frekuensi

nafasnya lebih dari normal dan pasien demam (38,3oC).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Bakteriologik

Hanya pada sebagian kecil penderita, pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan C.

tetani bentuk berspora dari sediaan yang diambil dari luka pada pewarnaan gram atau biakan

2

Page 3: Blok 12

anaerob. Pada pemeriksaan dan karakteristik pada kultur, Clostridium tetani merupakan batang

positif gram yang ramping, bergerak, bersifat anaerob obligat dan tidak berkapsul. Walaupun

demikian, bakteri ini dapat juga bersifat negatif gram pada biakan yang sangat muda atau sangat

tua. Bakteri ini dengan mudah membentuk spora di alam dan pada biakan, dengan menghasilkan

spora dengan terminal bulat yang khas sehingga memberi kesan seperti raket tennis (drumstick).1

Etiologi

Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat di mana-

mana dengan habitat alamnya ditanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang

peliharaan dan manusia.1

Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif  berbentuk batang yang selalu bergerak

dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak

berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan

selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat

resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini

dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan, tetapi dapat dieleminisi dengan

autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120oC selama 15 menit.

Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif terh

adap beberapa antibiotik (metronidazol, penicillin dan lainnya).1 Spora tetanus dapat bertahan

hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetative terbunuh oleh

antibiotic, panas, dan desinfektan baku. C. tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan,

malahan menyebabkan penyakit melalui pengaruh toksin tunggal, tetanospasmin yang lebih

sering disebut sebagai toksin tetanus.2

Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostridium tetani

menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam

sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai

polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk

membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya

dengan reseptorsel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan

untuk memblokade perlepasan neurotransmitter.

Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin

yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin botulinum dan toksin tetanus secara

3

Page 4: Blok 12

parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh organisme belum jelas diketahui.

DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi,

karena tidak semua strain mempunyai plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitifitas

antimikrobial bakteri ini.1

Epidemiologi

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu

dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal

mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. walaupun tetanus dapat

dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia

terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang.1

Penyakit ini umumnya terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan

iklim hangat , selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada Negara-negara tanpa program

imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonates dan anak-anak.

Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap

bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang

lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk didalamnya

580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara dan 152.000 di Afrika.

Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat 300

kasus pertahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris.

Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah atau selama bertani, berkebun dan

aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tapi

dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada

beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat merupakan komplikasi

penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangrene. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka

bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan, aborsi dan persalinan. Pada beberapa pasien tidak

dapat diidentifikasi adanya port d’entrée.

Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas

terhadap antibody tetanus dan differi yang dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan

bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia diantara 6 tahun terlindungi

terhadap tetanus. Sedangkan pada anak 6-11 tahun sebesar 91% , persentasi ini menurun dengan

4

Page 5: Blok 12

bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia diatas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%) yang

mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.1

Patogenesis

Tetanus dapat terjadi apabila tubuh terkena luka dan luka tersebut kemudian terkontaminasi

oleh spora dari Clostridium tetani.10 Bentuk spora dari bakteri akan berubah menjadi vegetatif

bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut (anaerobic) dan kemudian

mengeluarkan eksotoksin yang menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan

sistem limpa. Dua macam eksotoksin yang dihasilkan, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.

Kuman tetanusnya sendiri akan tetap tinggal di daerah luka, sehingga tidak ada penyebaran

kuman.

Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal

dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor

end plate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf

tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke

SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf

tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga

mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu Gama Aminobutyric Acid (GABA) dan

glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk

kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi

kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia

timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami

kejang umum yang spontan.

Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi

namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.13

Gejala Klinis

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa

minggu). Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:10

Localized tetanus (Tetanus Lokal)

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah

tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda

5

Page 6: Blok 12

dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa

bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa

berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang

menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari

klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian

profilaksis antitoksin.

Cephalic Tetanus

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar

1–2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada

daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.

Generalized tetanus (Tctanus umum)

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang

tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus

merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan

otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya

kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin)

yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding

perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran

nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan

pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun

bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak

stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan

hanya berdasarkan gejala klinis.

Klasifikasi tingkat keparahan tetanus10:

Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernapasan, tanpa

spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

Derajat II (sedang)

6

Page 7: Blok 12

Trismus sedang, rigiditas yang Nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang,

gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.

Derajat III (berat)

Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex berkepanjangan, frekuensi

pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.

Derajad (IV) sangat berat

Derajat 4 dengan gangguan otonomik berat melibatkan system kadiovaskular. Hipertensi

berat takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia,salah satunya dapat

menetap.

Tabel 1.

Keempat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips):

Tolah ukur Nilai

Masa inkubasi

Kurang 48 jam 5

2-5 hari 4

6-10 hari 3

11-14 hari 2

lebih 14 hari 1

Lokasi infeksi

Internal/umbilikal 5

Leher, kepala, dinding tubuh 4

Ekstremitas proksimal 3

Ekstremitas distal 2

Tidak diketahui 1

Imunisasi

Tidak ada 10

Mingkin ada/ibu mendapat 8

Lebih dari 10 tahun yang lalu 4

Kurang dari 10 tahun 2

Proteksi lengkap 0

Faktor yang

memberatkan

Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa 10

Keadaan yang tidak langsung membahayakan

jiwa

8

7

Page 8: Blok 12

Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 4

Trauma atau penyakit ringan 2

A.S.A.** derajat 1

** Sistim penilaian untuk menentukan risiko penyulit

Manifestasi Klinis

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari

dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama)

bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat

keparahan penyakit yang lebih berat.1

Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan

ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu.

Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lama. Pemulihan terjadi

karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa

memerlukan waktu sampai 4 minggu.1

Sumber lain menyebutkan, dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk

melalui luka, racun C. tetani akan merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejala serta

tanda-tanda tetanus, misalnya kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan

tidak dapat ditekuk karena kekakuan otot leher dan punggung (opistotonus), dinding perut

mengeras seperti papan, gangguan menelan, dan muka seperti menyeringai atau tertawa (risus

sardonicus).3

Pasien tetanus mudah sekali mengalami kejang, terutama apabila mendapatkan rangsangan

seperti suara berisik, terkejut, sinar, dan sebagainya, sehingga ia perlu diisolasi dalam ruang

tersendiri.3

Bila paralisis meluas ke otot-otot perut, punggung, pinggang dan paha, penderita dapat

berpostur melengkung, opistotonus, dimana hanya punggung, kepala, dan tumit yang menyentuh

dasar (tanah). Opistotonus adalah posisi seimbang yang adalah akibat dari kontraksi yang tidak

henti-hentinya semua otot yang berlawanan, semuanya menampakkan kekakuan tetanus khas

‘seperti papan’.2

Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah, kotoran

binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai

8

Page 9: Blok 12

komplikasi dari luka bakar, ulkus gangrene, luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi

telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular dan pembedahan. Trauma yang

menyebabkan tetanus dapat hanyalah tetanus ringan dan sampai 50% kasus trauma terjadi di

dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari petolongan medis. Pada 15-25%

pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru.1

Tetanus Generalisata. Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari

tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi

bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada Tetanus berat, median onset

setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14

hari.1

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku

kuduk, nyeri tenggorokan dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal

tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau ‘rahang terkunci’. Spasme secara

progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, ‘risus

sardonicus’ dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan disfagia. Spasme ini

dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan

dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala.1

Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya

kelenturan dinding dada. Reflks tendon dapat meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak

yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh.

Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodic. Konstraksi

tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok otot agonis dan antagonis secara

bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,

stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan

keparahannya dan  frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau

ruptur tendon.

Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga

menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi berulang ulang dan dipicu oleh

stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laryngeal dan berkaitan

dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa.

9

Page 10: Blok 12

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot diseluruh

tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan

penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial diagnosisnya

mencakup infeksi orofaringeal, reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin dan

hysteria. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai.

Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.

Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus local yang berasal dari luka di

kepala mempengaruhi saraf cranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya dari pada

spasme. Tetapi progesi ke tetanus generalisata umum terjadi dan moralitasnya tinggi.1

Tetanus neonatorum menyebabkan  lebih dari 50% kematian akibat tetanus di seluruh dunia,

tetapi sangat jarang terjadi di Negara-negara maju. Neonatus, usia dibawah 1 mingu dengan

riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan tidak dapat menerima minuman. Kejang,

meningitis dan sepsis merupakan diagnosis diferensialnya. Spasme bersifat generalisata dan

mortalitasnya tinggi.1

Hygiene umbilical yang buruk merupakan penyebabnya, namun kesemuanya dapat dicegah

dengan vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan. Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak

pasien dengan tetanus berat yang meninggal akibat gagal nafas akut. Dengan perkembangan

perawatan intensif , menjadi jelas bahwa tetanus yang berat berkaitan dengan

instabilitasotonomik yang nyata. System saraf simpatetiklah yang paling jelas dipengaruhi.

Secara klinis, peningkatan tonus simpatik menyebabkan takikardia persisten dan hipertensi.

Dijumpai vasokonstriksi yang tampak jelas, hiperpireksia, keringat berlebihan.

Badai autonomik terjadi dengan adanya innstabilitas kardiovaskuler yang tampak nyata.

Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat, bradikardia dan

henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan resistensi vascular

sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung. Selama ‘badai’ ini, kadar

katekolamin plasma menignkat sampai 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip dengan yang

dijumpai pada feokromositoma.

Norepinefrin lebih terpengaruh daripada epinefrin. Hiperaktivitas neuronal lebih

mendominasi daripada hiperaktivitas medulla adrenal. Henti jantung mendadak kadang-kadang

terjadi, tetapi mekanisme yang mendasarinya belumlah jelas.

10

Page 11: Blok 12

Di samping sistem kardiovaskular, efek otonomik yang lain mencakup salvasi profus dan

meningkatnya sekresi bronchial. Stasis gaster, ileus, diare dan gagal ginjal curah tinggi (high

output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik.

Telah jelas adanya keterlibatan system saraf simpatis. Peranan system saraf parasimpatis

kurang jelas. Tetanus telah dilaporkan menginduksi lesi pada nucleus vagus, di mana pada saat

yang bersamaan terpapar toksin sehingga menyebabkan aktivitas vagal yang berlebihan.

Hipotensi, bradikardia dan asistol dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan aktivitas vagal.

Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumoni aspirasi, fraktur, rupture otot,

tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan rabdomiolisis.1

Tetanus Neonatorum. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada

neonates (bayi berusia 0-1 bulan). C. tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka

potongan tali pusat, yaitu tali pusat yang dipotong menggunakan alat yang tidak steril atau

perawatan tali pusat yang tidak baik. Bila keadaan memungkinkan, misal luka tersebut menjadi

anaerob disertai jaringan nekrotis, spora berubah menjadi bentuk vegetative dan selanjutnya

berkembang biak. Kuman ini tidak invasif tetapi bila dinding sel kuman lisis, kuman ini akan

melepaskan toksinnya.4

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila

tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak

diimunisasi secara adekuat. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan

lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2

minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan

gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan

retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.1

Tetanus Lokal. Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi

klinisnya terbatas hanya pada otot-otot disekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran

toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat

bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun demikian

secara umum prognosisnya baik.1

Tetanus Sefalik. Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus local, yang

terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus

11

Page 12: Blok 12

dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke 7. Disfagia dan paralisis

otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.1

Diagnosis

Work Diagnosis ( Diagnosis Kerja)

Dari skenario kasus yang diperoleh dari anamenis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang yang dilakukan, diagnosis kerja yang diperoleh adalah tetanus dan Vulnus laceratum (

luka robek ).

Diferential Diagnosis (Diagnosis Pembanding)

Adapun beberapa penyakit yang gejala-gejalanya mirip dengan tetanus dan Vulnus laceratum

( luka robek ), seperti :

Rabies

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia

yang berakibat fatal.Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus

Lyssa-virus, family rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang

terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain ialah hydrophodia, ia rage (perancis), ia

rabbia (italia), ia rabia (spanyol), die tollwut (jerman) atau di Indonesia dikenal

sebagai penyakit anjing gila.4

Keracunan Striknin

Keracunan striknin dapat menyerupai tetanus dengan peningkatan eksibilitas neuron

akibat gangguan pada inhibisi postsinaps, pengobatan yang sedang berkembang bagi

kedua keadaan adalah serupa, dan pemeriksaan biokimia untuk striknin dapat

menegakkan diagnosis.1

Meningoencephalitis

Pada meningoencephalitis dapat ditemukan dysphagia dan kaku pada leher.9 Juga

ditemukan demam dan cairan cerebrospinal yang tidak normal, ditambah dengan tidak

adanya trismus merupakan perbedaannya dengan tetanus.10

Vulnus laceratum

12

Page 13: Blok 12

Vulnus atau luka, terutama luka robek pada kulit kaki kanan seperti yang tergambar pada

kasus diatas, dapat terkontaminasi dengan berbagai jenis kuman atau bakteri, yang sebelumnya

bersifat flora normal pada manusia. Flora normal merupakan suatu sel prokariot (bakteri) yang

berkompetisi dengan patogen pada tempat kolonisasi dan menghasilkan substansi antibiotik

(bakteriosin) yang akan menekan organisme yang berkompetisi dengannya. Flora normal

terdapat pada tempat-tempat tertentu pada tubuh manusia. Jika flora normal berpindah tempat

dari tempatnya sebelumnya, maka flora normal akan menyebabkan suatu pengaruuh yang

merugikan bagi tubuh.1

Flora normal yang berkaitan dengan luka pada kulit kaki kanan sesuai dengan kasus yang

didapat adalah flora yang terdapat pada sawar fisik tubuh yakni kulit, diantara stafilokokus,

streptokokus, corynebakteria, propionilbakteria, dan ragi. Jika flora normal ini masuk ke dalam

luka robek, terutama dibagian subkutis, maka flora normal ini kemudian akan emberikan

pengaruh yang merugikan dengan berbagai toksin ang dihasilkannya. Dalam hal ini kelompok

yang memiliki peranan yang paling kuat dalam menginfeksi luka robek pada kulit ialah

streptokokus dan stafilokokus, yang keduanya sebagian besar merupakan jenis bakteri positif

Gram.1

Penanganan luka

Dalam skenario, diketahui bahwa pasien mengalami luka robek pada tungkai bawah kanan.

Pada hakekatnya, luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat

disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul (mekanik), perubahan suhu (termal), zat kimia

(khemis), ledakan, sengatan listrik (elektris), atau gigitan hewan (biologis). Dalam hal ini, pasien

pada skenario mengalami luka mekanik (kecelakaan).4

Proses kemudian yang terjadi dalam penangan luka akibat kecelakaan tersebut terutama pada

jaringan yang rusak ini adalah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase

inflamasi, proliferasi, dan penyudahan yang merupakan remodelling jaringan.4

Fase inflamasi

13

Page 14: Blok 12

Fase inflamasi, berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima. Pembuluh

darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha

menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang terputus

(retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh

darah saling melengket, dan bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang keluar

dari pembuluh darah. Sementara itu, terjadi reaksi inflamasi.4

Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan

permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi

setempat yang menyebabkan oedem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis reaksi radang

menjadi jelas yang berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor),

nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).4

Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh

darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik

yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian

muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini

disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya

dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.4

Fase proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses

proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir

mingggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan

mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang

akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblast, dan

kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus

yang disebut jaringan granulasi epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya

dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk

dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi kearah yang lebih rendah atau datar. Proses ini

baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan

14

Page 15: Blok 12

tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga

akan berhenti dan mulailah proses pematangan.4

Fase penyudahan

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang

belebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya peruapan kembali jaringan yang

bari terbentuk. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas, serta

mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka.4

Klasifikasi penyembuhan luka

Penyembuhan luka dibagi menjadi dua, yakni penyembuhan luka primer dan sekunder.

Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem, yang terjadi bila luka segera bertaut,

biasanya dengan bantuan jahitan. Parut yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil, sedangkan

penyembuhan sekunder atau sonatio per secundam intentionerm, penyembuhan kulit luka tanpa

pertolongan dari luar. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel.4

Berdasarkan skenario, maka penyembhan luka yang dilakukan oleh mantri tersebut termasuk

ke dalam golongan penyembhan primer atau sonatio per primam intentionem.

Gangguan penyembuhan luka

Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh sendiri (endogen) atau

oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Endogen terdiri dari koagulopati, ganggguan sistem

imun, hipoksia lokal, gizi (kelaparan), malabsorbsi (penyakit saluran cerna), gangguan

metabolisme, neuropati, infeksi jamur, keadaan umum kurangbaik; sedangkan eksogen, terdiri

dari pascaradiasi, imunosupresi (pemberian obat), infeksi (TBC), luka artifisial, jaringan mati

(nekrosis), pendarahan kurang.4

Pengobatan terhadap Vulnus laceratum

Pertama dilakukan anestesia setempat atau umum, tergantung berat dan letak luka, serta

keasaan penederita. Luka dan sekitarnya dibersihkan dengan antiseptik, kalau perlu dicuci

dengan air sebelumnya. Bahan yang dapat dipakan ialah larutan yodium povidon 1% dan larutan

klorheksidin 0,5% (larutan yodium 3% atau alkohol 70% hanya digunakan untuk membersihkan

15

Page 16: Blok 12

kulit di sekitar luka). Kemudian, daerah sekitar lapangan kerja ditutup dengan kain steril dan

secara steril dilakukan kembali pembersihan luka dari kontaminan secara mekanis. Misalnya,

pembuangan jaringan mati dengan gunting atau pisau (debridemen) dan dibersihkan dengan

bilasan cairan NaCL. Akhirnya dilakukan penjahitan dnegan rapi. Bila diperkirakan aakan

terbenuk atau dikelurakan cairan yang berlebihan, perlu dibuat penyaliran. Luka ditutup

denganbahan yang dapat mencegah lengketnya kasa (kasa dengan veselin), ditambah dengan

kasa penyerap, dan dibalu dengan pembalut elastis.4

Infeksi luka terjadi jika luka yang terkontaminasi dijahit tanpa pembilasan dan eksisi

(pengangkatan jaringan) yang memadai. Pada keadaan demikian, luka harus dibuka kembali,

dibiarkan terbuka dan penderita diberi antibiotik sesuai dengan hasil biakan dari cairan luka atau

nanah.4

Komplikasi Vulnus

Pengobatan terhadap luka bisa saja dilakukan, tetapi komplikasi yang menyertainya harus

mendapat perhatian yang patut diwaspadai. Luka yang mendapat tindakan bedah (misal jahitan)

daapt memiliki komplikasi yang serius jika tidak ditangani dengan baik. Luka bedah pada

umunya diklasifikasikan sebagai bersih (Kelas I), bersih terkontaminasi (Kelas II),

terkontaminasi (Kelas III) atau kotor (IV).4

Luka bersih. Luka kelas I pada traktus GIT dan respiratorius yang tidak dibuka selama

perjalanan operasi. Penyebab infeksinya dapat berupa bakteri aerob endogen seperti stafilokokus

yang memasuki luka pada waktu pembedahan berlangsung.

Luka bersih terkontaminasi. Luka kelas II berhubungan dengan pembedahan terencana

traktus GIT atau respiratoriusnya telah dibuka sewaktu operasi berlangsung. Penyebab primer

infeksi adalah mikroflora endogen dari organ yang telah direseksi.4

Luka terkontaminasi. Luka kelas III mencakup luka yang ditemukan pada peradangan akut

(tanpa pembentukan pus) atau tumpahan hebat isi GIT. Infeksi terutama disebabkan oleh bakteri

endogen.4

16

Page 17: Blok 12

Luka kotor. Luka kelas IV mencakup luka yang dijumpai nanah (pus) berlebihan pada

operasi, biasanya akibat perforasi suatu organ; dan infeksi terutama disebabkan oleh mikroflora

endogen yang terlibat.4

Berdasarkan kasus yang didapat, kemungkinan yang terjadi pada pasien yang mengalami

infeksi dari kakinya yang luka tersebut adalah akibat dari luka kotor pascaoperasi yang ia alami,

sehingga memungkinkan bakteri clostridium tetani menginfeksi luka tersebut sehingga

menyebabkan komplikasi tetanus, yang bermula dari tindakan penanganan luka yang disertai

tdak diberikannya antibiotik dalam penangan selanjutnya.

Faktor-faktor non-antibiotika yang mempengaruhi komplikasi dan angka infeksi luka

(vulnus) pascabedah dapat berupa teknik cuci prabedah, kerusakan pada sarung tangan operasi,

bahan-nahan sawar dan sistem udara beraliran laminar didalam kamar bedah, peralatan bedah

yang kurang steril , dll.4

Pengobatan infeksi luka

Terapi meliputi pemberian penisilin parenteral serta debridemen segera agresif atas seluruh

jaringan yang terkena infeksi. Terapi tepat infeksi yang terletak profunda pada penderita bedah

tersering memerlukan terapi operatif dan antimikorba (antibiotik). Dalam kebanyakan infeksi

bedah, terapi antibiotika saja idak akan menyebabkan kesembuhan, sehingga harus dilakukan

intervensi bedah, yakni eksplorasi untuk menentukan luas keterlibatan infeksi. Pada waktu

eksplorasi, jaringan nekrotik yang tak mungkin hidup harus dieksisis luas. Kematian jaringan

dapat dieprkirakan bila dijumpai daerah yang berbau bususk dan gangrenosa. Jaringan sekitarnya

dapat dibuka untuk melihat ada tidaknya persediaan darah yang aktif.4

Terapi bedah bagi abses memerlukan insisi dan drainase nanah (pus) setempat. Setelah

drainase materi purulenta yang mencakup bakteri, leukosit dan debris, maka pengisian dengan

antiseptik yang berulang akan menutup lubang abses dengan jaringan normal. Bila abses terletak

profunda, maka diperlukan juga antibiotika parenteral untuk mencegah invasi bakteri dalam

jaringan sekitarnya atau dalamperedaran darah pada waktu dilakukan drainase bedah. Selama

melakukan drainase, eksplorasi manual dapat mendeteksi bidang jaringan di antara lokasi pus

yang harus diputuskan untuk memebebaskan semua infeksi lokalisata. Drainase mekanik tertutup

17

Page 18: Blok 12

diperlukan pada infeksi terletak profunda, sehingga dapat terjadi dekompresi yang tuntas untuk

membantu mencegah kekambuhan infeksi.4

Tetanus

Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang menginfeksi suatu luka yang cukup dalam,

yang berkembang baik dalam suasana kondisi anaerob. Hal ini merupakan komplikasi yang

terjadi akibat dari luka (terutama luka robek yang melintasi sawar kulit tubuh manusia) yang

tidak terawat atau ditangani dengan baik.

Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya ataupun konsekuensi dari terapinya

(terjadi perubahan fisiologi kardiovaskular, ginjal dan respirasi).7-8

Komplikasi pada jalan nafas:

Aspirasi* (Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air didalam rongga

mulut karena pasien mengalami disfagia, dan keadaan ini memungkinkan terjadinya

aspirasi serta dapat menyebabkan pneumonia aspirasi)

Laringospasme/ obstruksi* (karena efek toksin yang menggangu neuromuskular

mengakibatkan spasme otot, spasme dapat terjadi pada otot laring)

Obstruksi berkaitan dengan sedatif*

Komplikasi pada respirasi:

Apnea*

Hipoksia*

Gagal nafas tipe 1* (atelektasis, aspirasi, pneumonia)

Gagal nafas tipe 2* (spasme laringeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan)

ARDS*

Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan seprti pneumonia

Komplikasi trakeostomi seperti stenosis trakea

18

Page 19: Blok 12

Komplikasi pada kardiovaskuler:

Takikardia*, hipertensi*, iskemia*

Brakikardia*, hipotensi*

Takiartitmia*, brakiaritmia*

Asistol*

Gagal jantung*

Komplikasi pada ginjal:

Gagal ginjal curah tinggi*

Gagal ginjal oligouria*

Stasis urin dan infeksi

Komplikasi pada gastrointestinal:

Stasis gastter

Ileus

Diare

Pendarahan*

Komplikasi lainnya:

Pernurunan berat badan*

Tromboembolus*

Sepsis dengan gagal organ multipel*

Decubitus

Fraktur vertebra selama spasme )dapat terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat

pada waktu sedang kejang)

Ruptur tendon akibat spasme

19

Page 20: Blok 12

Penatalaksanaan

Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organism yang terdapat dalam tubuh

hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat

dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisir; dan efek dari toksin yang telah

terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi.7

Penatalaksanaan umum:

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,

mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.7 Dan tujuan tersebut

dapat diperinci seperti berikut:

1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:

membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang

benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan,

terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar

luka disuntik ATS.

2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut

dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita

4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.

5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.7,10

Obat-obatan : 10

Antibiotika

Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan Tetanus

pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/12 jam secafa IM

diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan

preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi

20

Page 21: Blok 12

2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena,

dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk

toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad

spektrum dapat dilakukan

Antitoksin

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-

6000 U,satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena

TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat

mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk

menggunakan Tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U,

dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc

cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah

diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan

secara IM pada daerah pada sebelah luar.

Tetanus Toksoid

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian

antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian

dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap

Tetanus selesai.

Tabel 2: PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN LUKA

RIWAYAT

IMUNISASILuka bersih, Kecil Luka Lainnya

(dosis) Tet. Toksoid

(TT)

Antitoksin Tet.Toksoid

(TT)

Antitoksin

Tidak

diketahui

ya tidak ya ya

21

Page 22: Blok 12

0 – 1 ya tidak ya ya

2 ya tidak ya tidak*

3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak

Keterangan:

* : Kecuali luka > 24 jam

** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun (8, 16)

*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun (8,16)

Antikonvulsan

Penyebab utama kematian pada Tetanus Neonatorum adalah kejang klonik yang hebat,

muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat–obatan

sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.

Tabel 3: JENIS ANTIKONVULSAN

Jenis Obat Dosis Efek Samping

Diazepam

Meprobamat

Klorpromasin

Fenobarbital

0,5 – 1,0 mg/kg

Berat badan / 4 jam (IM)

300 – 400 mg/ 4 jam (IM)

25 – 75 mg/ 4 jam (IM)

50 – 100 mg/ 4 jam (IM)

Stupor, Koma

Tidak Ada

Hipotensi

Depressi pernafasan

Pengobatan menurut Adam .R.D. (1): Pada saat onset

3000 - 6000 unit, Tetanus immune globulin satu kali saja.

1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri

tetracycline 2 gram sehari.

Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)

Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan tuk

mencegah cyanosis dan apnoe.

22

Page 23: Blok 12

Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.

Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam

sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.

Pengobatan menurut   Gilroy:

Kasus ringan : Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan

barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.

Kasus berat :

1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team ).

2.  Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap

satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.

3. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga dengan

respirator oleh tenaga yang berpengalaman.

4. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam

mencegah conjunctivitis.

5.  Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari.

6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.

7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA.

8.  Rontgen foto thorax.

9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan

pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan

beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.

Pencegahan

Imunisasi aktif

Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu,

ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi).

Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita

usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT lifelong-card).

23

Page 24: Blok 12

 Pencegahan pada luka

Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang.

Luka ringan dan bersih.

o Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin.

o Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.

Luka sedang/berat dan kotor.

o Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus immunoglobulin 250-

500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain.

o Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U,

tetanus imunoglobulin 250-500 U(3).

Prognosis

Tetanus dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari selalu merupakan tetanus berat dimana

interval antara gejala pertama dan spasme generalisata adalah 3 hari atau kurang. Angka

kematian pada kasus ini adalah 80%. Sementara tetanus dengan masa inkubasi 7-10 hari dapat

berupaa tetanus sedang yang angka kematiannya bervariasi. Tetanus dengan masa inkubasi lebih

dari 10 hari biasanya merupakan tetanus ringan, terkadang tidak terjadi spasme generalisata,

prognosisnya baik.10

Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana : 9

1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )

2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum

3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.

Prognosis tetanus neonatus jelek apabila:9-10

Umur bayi kurang dari 7 hari.

Masa inkubasi 7 hari atau kurang.

Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam.

Dijumpai kejang otot.

24

Page 25: Blok 12

Jika bayi selamat dari tetanus neonatus, terdapat resiko yang meningkat untuk kerusakan

otak permanen dengan perkembangan yang terganggu dan kesulitan gerakan motorik.9

Kesimpulan

Pemeriksaan tetanus dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

darah, dan diagnosis. Setelah melakukan pemeriksaan barulah dilakukan tindakan pengobatan

seperti pemberian globulin anti tetanus, debridemen luka, dan antitoksin tetanus. Jika pasien

telah mengalami kejang, maka pasien diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan untuk

sedasi digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau diazepam. Pada tetanus berat kadang

diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil alih pernapasan memakai

respirator.

Pencegahan dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi

aktif, penggunaan profilaksis antitoksin dan pemberian penisilin.

Masa inkubasi dan periode onset (periode awal yaitu masa dari timbulnya gejala klinis pertama

sampai timbul kejang) merupakan faktor yang menentukan prognosis. Kematian tertinggi yang

diakibatkan oleh tetanus yaitu anak-anak ( balita dan bayi) dan lansia.

Hipotesis diterima, Pasien mengalami Vulcus Laceratum yang mengakibatkan Tetanus.

25

Page 26: Blok 12

DAFTAR PUSTAKA

1. Yulianto Arie. Luka terkena benda tajam, hati-hati tetanus. Diunduh dari:

http://www.tanyadokteranda.com/artikel/2007/07/luka-terkena-benda-tajam-hati-hati-

tetanus. 15 November 2012.

2. Batticaca F.B. Bab 8: Asuhan keprawatan klien dengan tetanus. Jakarta. 2008. P126-127.

3. Brooks A.G, Buthel S.J, Morse A.S. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran

EGC; 2007.

4. Henry N, Harun A. Buku ajar blok 12 ilmu bedah. Jakarta: FK Ukrida; 2012.

5. Beverly W. Kamus ringkas kedokteran stedman untuk profesi kesehatan. Edisi 4. Jakarta:

EGC; 2005.

6. Bickley S. Lynn. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 5. Jakarta:

EGC; 2008. Hal 15.

7. Sudoyo Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti. Buku ajar

ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta: EGC; 2007. Hal 1777-1785.

8. Ismanoe G. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, Jilid III. Jakarta: Interna

Publishing; 2009: Bab 445.

9. Dire DJ. Tetanus [jurnal]: Deparment of emergency medicine. University of Texas-

Houston. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/786414-diagnosis. 1 5

November 2012.

10. Ritarwan K. Tetanus [jurnal]. Bagian Neurologi FK USU/ RSU H. Adam Malik. Diunduh

dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf. 15

November 2010 2 .

11. Adams. R.D. Tetanus: Principles of New'ology. New York: McGraw-Hill; 2007. H.1205-

1207.

12. Rahim A, Lintong M, Suharto, Jasodiwondo S. Buku Ajar Mikrobiologi kedokteran:

Batang positif gram. Edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara Publishing. Bab 19.

13. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. 2. 2004;Jakarta: EGC hlm.21-24.

26