Blok 12
-
Upload
sisilia-sianturi -
Category
Documents
-
view
219 -
download
5
description
Transcript of Blok 12
Gejala Kejang dan Tetanus
Sisilia Dina Mariana
NIM : 102009147
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat
e-mail : [email protected]
Pendahuluan
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus
neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal.1
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit tetanus, mulai dari anamnesis penyakit,
pemeriksaan, diagnosis, patofisologi, penatalaksanaan, epidemiologi, hingga prognosis dari
penyakit. Tujuan pembuatan makalah adalah untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian
yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus berdasarkan skenario yang diberikan, yaitu
mengenai tetanus.
Anamnesis
a. Menanyakan identitas pasien : nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, umur,
suku agama, alamat lengkap, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan.
b. Menanyakan keluhan utama : keluhan utama pasien datang untuk berobat : demam, mulut
terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan.
c. Menanyakan riwayat penyakit sekarang : apakah panasnya naik turun atau panasnya tidak
pernah turun, sudah berapa lama demam. Apakah sebelumnya pasien pernah terluka atau
tertusuk, atau terjatuh dan ada luka ditempat yang kotor. Keluhan-keluhan penyerta : kaku pada
mulut, teraba panas dan bengkak pada daerah yang terluka dan dari sela-sela luka yang dijahit
keluar nanah. Informasi bisa didapat dari keluarga pasien.
1
d. Riwayat penyakit dahulu : apakah pernah mengalami demam sebelumnya, mengalami
kecelakaan dijalan yg kotor dan terdapat luka yang penuh dengan debu dan kotoran, riwayat
pemberian ATS (anti tetanus toxoid), apakah pernah menderita riwayat penyakit yang lain dan
pernahkah dirawat dirumah sakit. Tanyakan adakah riwayat alergi, riwayat penyakit jantung,
ginjal, hati, DM dan penyakit infeksi lain. Riwayat pemberian ulang vaksin DT (dipteri dan
tetanus) pada saat dewasa umur 19 tahun. Adakah riwayat penyakit keluarga seperti epilepsi,
jantung, ginjal, hepatitis, TBC, alergi.
e. Menanyakan riwayat sosial : lingkungan tempat tinggal contohnya tinggal dekat pembuangan
sampah atau didaerah yang tidak bersih. Hygiene contohnya pasien tidak pernah bersihkan
badannya, saat ada luka pasien tidak pernah merawatnya, apakah perawatan luka menggunakan
bahan yang kurang aseptic, sosial ekonomi : bekerja sebagai pemulung, tukang bangunan, rumah
didaerah pertenakan.
Dari anamnesis, diketahui pasien seorang laki-laki berusia 22 tahun dibawa ke UGD RS
karena demam, mulut terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan. Dari hasil
inspeksi, pasien mengalami kulit luka tampak kemerahan, teraba panas, bengkak, dan keluar
nana disela luka namun tidak diberi antibiotik. Tekanan darah 110/70 mmHg dengan denyut nadi
82x/menit.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat kita lihat dengan adanya luka dan gejala-gejala yang khas pada
penyakit. Pada kasus ini, pasien terlihat sakit sedang, mulut hanya bisa dibuka maksimal 2 jari,
serta terdapat kekakuan pada wajah (Rhisus sardonikus), leher dan anggota gerak. Perutnya juga
kaku seperti papan dan telapak kaki kanan bengkak dengan kulit tegang kemerahan. Telapak
kakinya yang tertusuk paku juga ditemukan luka tusuk yang dalam dan bernanah. Dilakukan
pemeriksaan tekanan darah, nadi, frekuensi nafas dan suhu badan, lalu didapatkan frekuensi
nafasnya lebih dari normal dan pasien demam (38,3oC).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Bakteriologik
Hanya pada sebagian kecil penderita, pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan C.
tetani bentuk berspora dari sediaan yang diambil dari luka pada pewarnaan gram atau biakan
2
anaerob. Pada pemeriksaan dan karakteristik pada kultur, Clostridium tetani merupakan batang
positif gram yang ramping, bergerak, bersifat anaerob obligat dan tidak berkapsul. Walaupun
demikian, bakteri ini dapat juga bersifat negatif gram pada biakan yang sangat muda atau sangat
tua. Bakteri ini dengan mudah membentuk spora di alam dan pada biakan, dengan menghasilkan
spora dengan terminal bulat yang khas sehingga memberi kesan seperti raket tennis (drumstick).1
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat di mana-
mana dengan habitat alamnya ditanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang
peliharaan dan manusia.1
Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak
dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak
berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan
selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat
resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini
dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan, tetapi dapat dieleminisi dengan
autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120oC selama 15 menit.
Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif terh
adap beberapa antibiotik (metronidazol, penicillin dan lainnya).1 Spora tetanus dapat bertahan
hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetative terbunuh oleh
antibiotic, panas, dan desinfektan baku. C. tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan,
malahan menyebabkan penyakit melalui pengaruh toksin tunggal, tetanospasmin yang lebih
sering disebut sebagai toksin tetanus.2
Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostridium tetani
menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam
sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai
polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk
membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya
dengan reseptorsel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan
untuk memblokade perlepasan neurotransmitter.
Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin
yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin botulinum dan toksin tetanus secara
3
parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh organisme belum jelas diketahui.
DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi,
karena tidak semua strain mempunyai plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitifitas
antimikrobial bakteri ini.1
Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu
dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia
terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang.1
Penyakit ini umumnya terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan
iklim hangat , selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada Negara-negara tanpa program
imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonates dan anak-anak.
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap
bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang
lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk didalamnya
580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara dan 152.000 di Afrika.
Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat 300
kasus pertahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris.
Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah atau selama bertani, berkebun dan
aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tapi
dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada
beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat merupakan komplikasi
penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangrene. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka
bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan, aborsi dan persalinan. Pada beberapa pasien tidak
dapat diidentifikasi adanya port d’entrée.
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas
terhadap antibody tetanus dan differi yang dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia diantara 6 tahun terlindungi
terhadap tetanus. Sedangkan pada anak 6-11 tahun sebesar 91% , persentasi ini menurun dengan
4
bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia diatas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%) yang
mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.1
Patogenesis
Tetanus dapat terjadi apabila tubuh terkena luka dan luka tersebut kemudian terkontaminasi
oleh spora dari Clostridium tetani.10 Bentuk spora dari bakteri akan berubah menjadi vegetatif
bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut (anaerobic) dan kemudian
mengeluarkan eksotoksin yang menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan
sistem limpa. Dua macam eksotoksin yang dihasilkan, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Kuman tetanusnya sendiri akan tetap tinggal di daerah luka, sehingga tidak ada penyebaran
kuman.
Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal
dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
end plate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf
tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke
SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf
tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu Gama Aminobutyric Acid (GABA) dan
glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk
kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi
kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia
timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami
kejang umum yang spontan.
Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi
namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.13
Gejala Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu). Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:10
Localized tetanus (Tetanus Lokal)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda
5
dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa
berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari
klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian
profilaksis antitoksin.
Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar
1–2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada
daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Generalized tetanus (Tctanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan
otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya
kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin)
yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding
perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran
nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan
pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun
bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak
stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan
hanya berdasarkan gejala klinis.
Klasifikasi tingkat keparahan tetanus10:
Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernapasan, tanpa
spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
Derajat II (sedang)
6
Trismus sedang, rigiditas yang Nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang,
gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.
Derajat III (berat)
Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex berkepanjangan, frekuensi
pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
Derajad (IV) sangat berat
Derajat 4 dengan gangguan otonomik berat melibatkan system kadiovaskular. Hipertensi
berat takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia,salah satunya dapat
menetap.
Tabel 1.
Keempat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips):
Tolah ukur Nilai
Masa inkubasi
Kurang 48 jam 5
2-5 hari 4
6-10 hari 3
11-14 hari 2
lebih 14 hari 1
Lokasi infeksi
Internal/umbilikal 5
Leher, kepala, dinding tubuh 4
Ekstremitas proksimal 3
Ekstremitas distal 2
Tidak diketahui 1
Imunisasi
Tidak ada 10
Mingkin ada/ibu mendapat 8
Lebih dari 10 tahun yang lalu 4
Kurang dari 10 tahun 2
Proteksi lengkap 0
Faktor yang
memberatkan
Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa 10
Keadaan yang tidak langsung membahayakan
jiwa
8
7
Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
A.S.A.** derajat 1
** Sistim penilaian untuk menentukan risiko penyulit
Manifestasi Klinis
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari
dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama)
bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat
keparahan penyakit yang lebih berat.1
Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan
ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu.
Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lama. Pemulihan terjadi
karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa
memerlukan waktu sampai 4 minggu.1
Sumber lain menyebutkan, dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk
melalui luka, racun C. tetani akan merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejala serta
tanda-tanda tetanus, misalnya kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan
tidak dapat ditekuk karena kekakuan otot leher dan punggung (opistotonus), dinding perut
mengeras seperti papan, gangguan menelan, dan muka seperti menyeringai atau tertawa (risus
sardonicus).3
Pasien tetanus mudah sekali mengalami kejang, terutama apabila mendapatkan rangsangan
seperti suara berisik, terkejut, sinar, dan sebagainya, sehingga ia perlu diisolasi dalam ruang
tersendiri.3
Bila paralisis meluas ke otot-otot perut, punggung, pinggang dan paha, penderita dapat
berpostur melengkung, opistotonus, dimana hanya punggung, kepala, dan tumit yang menyentuh
dasar (tanah). Opistotonus adalah posisi seimbang yang adalah akibat dari kontraksi yang tidak
henti-hentinya semua otot yang berlawanan, semuanya menampakkan kekakuan tetanus khas
‘seperti papan’.2
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah, kotoran
binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai
8
komplikasi dari luka bakar, ulkus gangrene, luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi
telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular dan pembedahan. Trauma yang
menyebabkan tetanus dapat hanyalah tetanus ringan dan sampai 50% kasus trauma terjadi di
dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari petolongan medis. Pada 15-25%
pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru.1
Tetanus Generalisata. Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari
tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada Tetanus berat, median onset
setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14
hari.1
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku
kuduk, nyeri tenggorokan dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal
tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau ‘rahang terkunci’. Spasme secara
progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, ‘risus
sardonicus’ dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan disfagia. Spasme ini
dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan
dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala.1
Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya
kelenturan dinding dada. Reflks tendon dapat meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak
yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh.
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodic. Konstraksi
tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok otot agonis dan antagonis secara
bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,
stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan
keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau
ruptur tendon.
Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga
menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi berulang ulang dan dipicu oleh
stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laryngeal dan berkaitan
dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa.
9
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot diseluruh
tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan
penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial diagnosisnya
mencakup infeksi orofaringeal, reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin dan
hysteria. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai.
Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang.
Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus local yang berasal dari luka di
kepala mempengaruhi saraf cranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya dari pada
spasme. Tetapi progesi ke tetanus generalisata umum terjadi dan moralitasnya tinggi.1
Tetanus neonatorum menyebabkan lebih dari 50% kematian akibat tetanus di seluruh dunia,
tetapi sangat jarang terjadi di Negara-negara maju. Neonatus, usia dibawah 1 mingu dengan
riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan tidak dapat menerima minuman. Kejang,
meningitis dan sepsis merupakan diagnosis diferensialnya. Spasme bersifat generalisata dan
mortalitasnya tinggi.1
Hygiene umbilical yang buruk merupakan penyebabnya, namun kesemuanya dapat dicegah
dengan vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan. Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak
pasien dengan tetanus berat yang meninggal akibat gagal nafas akut. Dengan perkembangan
perawatan intensif , menjadi jelas bahwa tetanus yang berat berkaitan dengan
instabilitasotonomik yang nyata. System saraf simpatetiklah yang paling jelas dipengaruhi.
Secara klinis, peningkatan tonus simpatik menyebabkan takikardia persisten dan hipertensi.
Dijumpai vasokonstriksi yang tampak jelas, hiperpireksia, keringat berlebihan.
Badai autonomik terjadi dengan adanya innstabilitas kardiovaskuler yang tampak nyata.
Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat, bradikardia dan
henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan resistensi vascular
sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung. Selama ‘badai’ ini, kadar
katekolamin plasma menignkat sampai 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip dengan yang
dijumpai pada feokromositoma.
Norepinefrin lebih terpengaruh daripada epinefrin. Hiperaktivitas neuronal lebih
mendominasi daripada hiperaktivitas medulla adrenal. Henti jantung mendadak kadang-kadang
terjadi, tetapi mekanisme yang mendasarinya belumlah jelas.
10
Di samping sistem kardiovaskular, efek otonomik yang lain mencakup salvasi profus dan
meningkatnya sekresi bronchial. Stasis gaster, ileus, diare dan gagal ginjal curah tinggi (high
output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik.
Telah jelas adanya keterlibatan system saraf simpatis. Peranan system saraf parasimpatis
kurang jelas. Tetanus telah dilaporkan menginduksi lesi pada nucleus vagus, di mana pada saat
yang bersamaan terpapar toksin sehingga menyebabkan aktivitas vagal yang berlebihan.
Hipotensi, bradikardia dan asistol dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan aktivitas vagal.
Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumoni aspirasi, fraktur, rupture otot,
tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan rabdomiolisis.1
Tetanus Neonatorum. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonates (bayi berusia 0-1 bulan). C. tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka
potongan tali pusat, yaitu tali pusat yang dipotong menggunakan alat yang tidak steril atau
perawatan tali pusat yang tidak baik. Bila keadaan memungkinkan, misal luka tersebut menjadi
anaerob disertai jaringan nekrotis, spora berubah menjadi bentuk vegetative dan selanjutnya
berkembang biak. Kuman ini tidak invasif tetapi bila dinding sel kuman lisis, kuman ini akan
melepaskan toksinnya.4
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila
tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak
diimunisasi secara adekuat. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan
lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2
minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan
gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan
retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.1
Tetanus Lokal. Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi
klinisnya terbatas hanya pada otot-otot disekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran
toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat
bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun demikian
secara umum prognosisnya baik.1
Tetanus Sefalik. Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus local, yang
terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus
11
dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke 7. Disfagia dan paralisis
otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.1
Diagnosis
Work Diagnosis ( Diagnosis Kerja)
Dari skenario kasus yang diperoleh dari anamenis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan, diagnosis kerja yang diperoleh adalah tetanus dan Vulnus laceratum (
luka robek ).
Diferential Diagnosis (Diagnosis Pembanding)
Adapun beberapa penyakit yang gejala-gejalanya mirip dengan tetanus dan Vulnus laceratum
( luka robek ), seperti :
Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia
yang berakibat fatal.Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus
Lyssa-virus, family rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang
terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain ialah hydrophodia, ia rage (perancis), ia
rabbia (italia), ia rabia (spanyol), die tollwut (jerman) atau di Indonesia dikenal
sebagai penyakit anjing gila.4
Keracunan Striknin
Keracunan striknin dapat menyerupai tetanus dengan peningkatan eksibilitas neuron
akibat gangguan pada inhibisi postsinaps, pengobatan yang sedang berkembang bagi
kedua keadaan adalah serupa, dan pemeriksaan biokimia untuk striknin dapat
menegakkan diagnosis.1
Meningoencephalitis
Pada meningoencephalitis dapat ditemukan dysphagia dan kaku pada leher.9 Juga
ditemukan demam dan cairan cerebrospinal yang tidak normal, ditambah dengan tidak
adanya trismus merupakan perbedaannya dengan tetanus.10
Vulnus laceratum
12
Vulnus atau luka, terutama luka robek pada kulit kaki kanan seperti yang tergambar pada
kasus diatas, dapat terkontaminasi dengan berbagai jenis kuman atau bakteri, yang sebelumnya
bersifat flora normal pada manusia. Flora normal merupakan suatu sel prokariot (bakteri) yang
berkompetisi dengan patogen pada tempat kolonisasi dan menghasilkan substansi antibiotik
(bakteriosin) yang akan menekan organisme yang berkompetisi dengannya. Flora normal
terdapat pada tempat-tempat tertentu pada tubuh manusia. Jika flora normal berpindah tempat
dari tempatnya sebelumnya, maka flora normal akan menyebabkan suatu pengaruuh yang
merugikan bagi tubuh.1
Flora normal yang berkaitan dengan luka pada kulit kaki kanan sesuai dengan kasus yang
didapat adalah flora yang terdapat pada sawar fisik tubuh yakni kulit, diantara stafilokokus,
streptokokus, corynebakteria, propionilbakteria, dan ragi. Jika flora normal ini masuk ke dalam
luka robek, terutama dibagian subkutis, maka flora normal ini kemudian akan emberikan
pengaruh yang merugikan dengan berbagai toksin ang dihasilkannya. Dalam hal ini kelompok
yang memiliki peranan yang paling kuat dalam menginfeksi luka robek pada kulit ialah
streptokokus dan stafilokokus, yang keduanya sebagian besar merupakan jenis bakteri positif
Gram.1
Penanganan luka
Dalam skenario, diketahui bahwa pasien mengalami luka robek pada tungkai bawah kanan.
Pada hakekatnya, luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat
disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul (mekanik), perubahan suhu (termal), zat kimia
(khemis), ledakan, sengatan listrik (elektris), atau gigitan hewan (biologis). Dalam hal ini, pasien
pada skenario mengalami luka mekanik (kecelakaan).4
Proses kemudian yang terjadi dalam penangan luka akibat kecelakaan tersebut terutama pada
jaringan yang rusak ini adalah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase
inflamasi, proliferasi, dan penyudahan yang merupakan remodelling jaringan.4
Fase inflamasi
13
Fase inflamasi, berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima. Pembuluh
darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha
menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang terputus
(retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh
darah saling melengket, dan bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang keluar
dari pembuluh darah. Sementara itu, terjadi reaksi inflamasi.4
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi
setempat yang menyebabkan oedem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis reaksi radang
menjadi jelas yang berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor),
nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).4
Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh
darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik
yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian
muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini
disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya
dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.4
Fase proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir
mingggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang
akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblast, dan
kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus
yang disebut jaringan granulasi epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya
dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk
dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi kearah yang lebih rendah atau datar. Proses ini
baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan
14
tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga
akan berhenti dan mulailah proses pematangan.4
Fase penyudahan
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang
belebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya peruapan kembali jaringan yang
bari terbentuk. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas, serta
mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka.4
Klasifikasi penyembuhan luka
Penyembuhan luka dibagi menjadi dua, yakni penyembuhan luka primer dan sekunder.
Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem, yang terjadi bila luka segera bertaut,
biasanya dengan bantuan jahitan. Parut yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil, sedangkan
penyembuhan sekunder atau sonatio per secundam intentionerm, penyembuhan kulit luka tanpa
pertolongan dari luar. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel.4
Berdasarkan skenario, maka penyembhan luka yang dilakukan oleh mantri tersebut termasuk
ke dalam golongan penyembhan primer atau sonatio per primam intentionem.
Gangguan penyembuhan luka
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh sendiri (endogen) atau
oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Endogen terdiri dari koagulopati, ganggguan sistem
imun, hipoksia lokal, gizi (kelaparan), malabsorbsi (penyakit saluran cerna), gangguan
metabolisme, neuropati, infeksi jamur, keadaan umum kurangbaik; sedangkan eksogen, terdiri
dari pascaradiasi, imunosupresi (pemberian obat), infeksi (TBC), luka artifisial, jaringan mati
(nekrosis), pendarahan kurang.4
Pengobatan terhadap Vulnus laceratum
Pertama dilakukan anestesia setempat atau umum, tergantung berat dan letak luka, serta
keasaan penederita. Luka dan sekitarnya dibersihkan dengan antiseptik, kalau perlu dicuci
dengan air sebelumnya. Bahan yang dapat dipakan ialah larutan yodium povidon 1% dan larutan
klorheksidin 0,5% (larutan yodium 3% atau alkohol 70% hanya digunakan untuk membersihkan
15
kulit di sekitar luka). Kemudian, daerah sekitar lapangan kerja ditutup dengan kain steril dan
secara steril dilakukan kembali pembersihan luka dari kontaminan secara mekanis. Misalnya,
pembuangan jaringan mati dengan gunting atau pisau (debridemen) dan dibersihkan dengan
bilasan cairan NaCL. Akhirnya dilakukan penjahitan dnegan rapi. Bila diperkirakan aakan
terbenuk atau dikelurakan cairan yang berlebihan, perlu dibuat penyaliran. Luka ditutup
denganbahan yang dapat mencegah lengketnya kasa (kasa dengan veselin), ditambah dengan
kasa penyerap, dan dibalu dengan pembalut elastis.4
Infeksi luka terjadi jika luka yang terkontaminasi dijahit tanpa pembilasan dan eksisi
(pengangkatan jaringan) yang memadai. Pada keadaan demikian, luka harus dibuka kembali,
dibiarkan terbuka dan penderita diberi antibiotik sesuai dengan hasil biakan dari cairan luka atau
nanah.4
Komplikasi Vulnus
Pengobatan terhadap luka bisa saja dilakukan, tetapi komplikasi yang menyertainya harus
mendapat perhatian yang patut diwaspadai. Luka yang mendapat tindakan bedah (misal jahitan)
daapt memiliki komplikasi yang serius jika tidak ditangani dengan baik. Luka bedah pada
umunya diklasifikasikan sebagai bersih (Kelas I), bersih terkontaminasi (Kelas II),
terkontaminasi (Kelas III) atau kotor (IV).4
Luka bersih. Luka kelas I pada traktus GIT dan respiratorius yang tidak dibuka selama
perjalanan operasi. Penyebab infeksinya dapat berupa bakteri aerob endogen seperti stafilokokus
yang memasuki luka pada waktu pembedahan berlangsung.
Luka bersih terkontaminasi. Luka kelas II berhubungan dengan pembedahan terencana
traktus GIT atau respiratoriusnya telah dibuka sewaktu operasi berlangsung. Penyebab primer
infeksi adalah mikroflora endogen dari organ yang telah direseksi.4
Luka terkontaminasi. Luka kelas III mencakup luka yang ditemukan pada peradangan akut
(tanpa pembentukan pus) atau tumpahan hebat isi GIT. Infeksi terutama disebabkan oleh bakteri
endogen.4
16
Luka kotor. Luka kelas IV mencakup luka yang dijumpai nanah (pus) berlebihan pada
operasi, biasanya akibat perforasi suatu organ; dan infeksi terutama disebabkan oleh mikroflora
endogen yang terlibat.4
Berdasarkan kasus yang didapat, kemungkinan yang terjadi pada pasien yang mengalami
infeksi dari kakinya yang luka tersebut adalah akibat dari luka kotor pascaoperasi yang ia alami,
sehingga memungkinkan bakteri clostridium tetani menginfeksi luka tersebut sehingga
menyebabkan komplikasi tetanus, yang bermula dari tindakan penanganan luka yang disertai
tdak diberikannya antibiotik dalam penangan selanjutnya.
Faktor-faktor non-antibiotika yang mempengaruhi komplikasi dan angka infeksi luka
(vulnus) pascabedah dapat berupa teknik cuci prabedah, kerusakan pada sarung tangan operasi,
bahan-nahan sawar dan sistem udara beraliran laminar didalam kamar bedah, peralatan bedah
yang kurang steril , dll.4
Pengobatan infeksi luka
Terapi meliputi pemberian penisilin parenteral serta debridemen segera agresif atas seluruh
jaringan yang terkena infeksi. Terapi tepat infeksi yang terletak profunda pada penderita bedah
tersering memerlukan terapi operatif dan antimikorba (antibiotik). Dalam kebanyakan infeksi
bedah, terapi antibiotika saja idak akan menyebabkan kesembuhan, sehingga harus dilakukan
intervensi bedah, yakni eksplorasi untuk menentukan luas keterlibatan infeksi. Pada waktu
eksplorasi, jaringan nekrotik yang tak mungkin hidup harus dieksisis luas. Kematian jaringan
dapat dieprkirakan bila dijumpai daerah yang berbau bususk dan gangrenosa. Jaringan sekitarnya
dapat dibuka untuk melihat ada tidaknya persediaan darah yang aktif.4
Terapi bedah bagi abses memerlukan insisi dan drainase nanah (pus) setempat. Setelah
drainase materi purulenta yang mencakup bakteri, leukosit dan debris, maka pengisian dengan
antiseptik yang berulang akan menutup lubang abses dengan jaringan normal. Bila abses terletak
profunda, maka diperlukan juga antibiotika parenteral untuk mencegah invasi bakteri dalam
jaringan sekitarnya atau dalamperedaran darah pada waktu dilakukan drainase bedah. Selama
melakukan drainase, eksplorasi manual dapat mendeteksi bidang jaringan di antara lokasi pus
yang harus diputuskan untuk memebebaskan semua infeksi lokalisata. Drainase mekanik tertutup
17
diperlukan pada infeksi terletak profunda, sehingga dapat terjadi dekompresi yang tuntas untuk
membantu mencegah kekambuhan infeksi.4
Tetanus
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang menginfeksi suatu luka yang cukup dalam,
yang berkembang baik dalam suasana kondisi anaerob. Hal ini merupakan komplikasi yang
terjadi akibat dari luka (terutama luka robek yang melintasi sawar kulit tubuh manusia) yang
tidak terawat atau ditangani dengan baik.
Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya ataupun konsekuensi dari terapinya
(terjadi perubahan fisiologi kardiovaskular, ginjal dan respirasi).7-8
Komplikasi pada jalan nafas:
Aspirasi* (Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air didalam rongga
mulut karena pasien mengalami disfagia, dan keadaan ini memungkinkan terjadinya
aspirasi serta dapat menyebabkan pneumonia aspirasi)
Laringospasme/ obstruksi* (karena efek toksin yang menggangu neuromuskular
mengakibatkan spasme otot, spasme dapat terjadi pada otot laring)
Obstruksi berkaitan dengan sedatif*
Komplikasi pada respirasi:
Apnea*
Hipoksia*
Gagal nafas tipe 1* (atelektasis, aspirasi, pneumonia)
Gagal nafas tipe 2* (spasme laringeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan)
ARDS*
Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan seprti pneumonia
Komplikasi trakeostomi seperti stenosis trakea
18
Komplikasi pada kardiovaskuler:
Takikardia*, hipertensi*, iskemia*
Brakikardia*, hipotensi*
Takiartitmia*, brakiaritmia*
Asistol*
Gagal jantung*
Komplikasi pada ginjal:
Gagal ginjal curah tinggi*
Gagal ginjal oligouria*
Stasis urin dan infeksi
Komplikasi pada gastrointestinal:
Stasis gastter
Ileus
Diare
Pendarahan*
Komplikasi lainnya:
Pernurunan berat badan*
Tromboembolus*
Sepsis dengan gagal organ multipel*
Decubitus
Fraktur vertebra selama spasme )dapat terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat
pada waktu sedang kejang)
Ruptur tendon akibat spasme
19
Penatalaksanaan
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organism yang terdapat dalam tubuh
hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat
dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisir; dan efek dari toksin yang telah
terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi.7
Penatalaksanaan umum:
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.7 Dan tujuan tersebut
dapat diperinci seperti berikut:
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.7,10
Obat-obatan : 10
Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan Tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/12 jam secafa IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan
preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi
20
2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena,
dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan
Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-
6000 U,satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena
TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk
menggunakan Tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U,
dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc
cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah
diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar.
Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
Tetanus selesai.
Tabel 2: PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN LUKA
RIWAYAT
IMUNISASILuka bersih, Kecil Luka Lainnya
(dosis) Tet. Toksoid
(TT)
Antitoksin Tet.Toksoid
(TT)
Antitoksin
Tidak
diketahui
ya tidak ya ya
21
0 – 1 ya tidak ya ya
2 ya tidak ya tidak*
3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak
Keterangan:
* : Kecuali luka > 24 jam
** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun (8, 16)
*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun (8,16)
Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada Tetanus Neonatorum adalah kejang klonik yang hebat,
muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat–obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.
Tabel 3: JENIS ANTIKONVULSAN
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam
Meprobamat
Klorpromasin
Fenobarbital
0,5 – 1,0 mg/kg
Berat badan / 4 jam (IM)
300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
Stupor, Koma
Tidak Ada
Hipotensi
Depressi pernafasan
Pengobatan menurut Adam .R.D. (1): Pada saat onset
3000 - 6000 unit, Tetanus immune globulin satu kali saja.
1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri
tetracycline 2 gram sehari.
Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan tuk
mencegah cyanosis dan apnoe.
22
Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.
Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam
sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.
Pengobatan menurut Gilroy:
Kasus ringan : Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan
barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
Kasus berat :
1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team ).
2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap
satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.
3. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga dengan
respirator oleh tenaga yang berpengalaman.
4. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam
mencegah conjunctivitis.
5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari.
6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.
7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA.
8. Rontgen foto thorax.
9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan
pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan
beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
Pencegahan
Imunisasi aktif
Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu,
ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi).
Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita
usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT lifelong-card).
23
Pencegahan pada luka
Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang.
Luka ringan dan bersih.
o Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin.
o Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.
Luka sedang/berat dan kotor.
o Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus immunoglobulin 250-
500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain.
o Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U,
tetanus imunoglobulin 250-500 U(3).
Prognosis
Tetanus dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari selalu merupakan tetanus berat dimana
interval antara gejala pertama dan spasme generalisata adalah 3 hari atau kurang. Angka
kematian pada kasus ini adalah 80%. Sementara tetanus dengan masa inkubasi 7-10 hari dapat
berupaa tetanus sedang yang angka kematiannya bervariasi. Tetanus dengan masa inkubasi lebih
dari 10 hari biasanya merupakan tetanus ringan, terkadang tidak terjadi spasme generalisata,
prognosisnya baik.10
Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana : 9
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Prognosis tetanus neonatus jelek apabila:9-10
Umur bayi kurang dari 7 hari.
Masa inkubasi 7 hari atau kurang.
Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam.
Dijumpai kejang otot.
24
Jika bayi selamat dari tetanus neonatus, terdapat resiko yang meningkat untuk kerusakan
otak permanen dengan perkembangan yang terganggu dan kesulitan gerakan motorik.9
Kesimpulan
Pemeriksaan tetanus dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
darah, dan diagnosis. Setelah melakukan pemeriksaan barulah dilakukan tindakan pengobatan
seperti pemberian globulin anti tetanus, debridemen luka, dan antitoksin tetanus. Jika pasien
telah mengalami kejang, maka pasien diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan untuk
sedasi digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau diazepam. Pada tetanus berat kadang
diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil alih pernapasan memakai
respirator.
Pencegahan dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi
aktif, penggunaan profilaksis antitoksin dan pemberian penisilin.
Masa inkubasi dan periode onset (periode awal yaitu masa dari timbulnya gejala klinis pertama
sampai timbul kejang) merupakan faktor yang menentukan prognosis. Kematian tertinggi yang
diakibatkan oleh tetanus yaitu anak-anak ( balita dan bayi) dan lansia.
Hipotesis diterima, Pasien mengalami Vulcus Laceratum yang mengakibatkan Tetanus.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Yulianto Arie. Luka terkena benda tajam, hati-hati tetanus. Diunduh dari:
http://www.tanyadokteranda.com/artikel/2007/07/luka-terkena-benda-tajam-hati-hati-
tetanus. 15 November 2012.
2. Batticaca F.B. Bab 8: Asuhan keprawatan klien dengan tetanus. Jakarta. 2008. P126-127.
3. Brooks A.G, Buthel S.J, Morse A.S. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC; 2007.
4. Henry N, Harun A. Buku ajar blok 12 ilmu bedah. Jakarta: FK Ukrida; 2012.
5. Beverly W. Kamus ringkas kedokteran stedman untuk profesi kesehatan. Edisi 4. Jakarta:
EGC; 2005.
6. Bickley S. Lynn. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 5. Jakarta:
EGC; 2008. Hal 15.
7. Sudoyo Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta: EGC; 2007. Hal 1777-1785.
8. Ismanoe G. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing; 2009: Bab 445.
9. Dire DJ. Tetanus [jurnal]: Deparment of emergency medicine. University of Texas-
Houston. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/786414-diagnosis. 1 5
November 2012.
10. Ritarwan K. Tetanus [jurnal]. Bagian Neurologi FK USU/ RSU H. Adam Malik. Diunduh
dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf. 15
November 2010 2 .
11. Adams. R.D. Tetanus: Principles of New'ology. New York: McGraw-Hill; 2007. H.1205-
1207.
12. Rahim A, Lintong M, Suharto, Jasodiwondo S. Buku Ajar Mikrobiologi kedokteran:
Batang positif gram. Edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara Publishing. Bab 19.
13. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. 2. 2004;Jakarta: EGC hlm.21-24.
26