Batuan Beku Non Fragmental

23
BAB IV PEMBAHASAN Pada praktikum petrologi acara batuan beku non fragmental yang telah dilaksanakan pada tanggal 23 Maret 2015 dan pada tanggal 30 Maret 2015 praktikan telah melakukan pengamatan terhadap 6 batuan beku non fragmental. Pengamatan yang dilakukan secara megaskopis ini bertujuan untuk deskripsi batuan dan penamaan batuan yang berdasarkan klasifikasi Russel B. Travis, 1988. Sehingga didapatkan hasil analisis sebagai berikut 4.1 Batuan Peraga Nomor BI-09-A Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna abu-abu keputihan. Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras. Tekstur batuan ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena batuan ini terdiri dari kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah inequigranular (faneroporfiritik) karena batuan ini memiliki mineral yang memiliki ukuran yang lebih besar daripada mineral yang melingkupinya. Mineral yang memiliki ukuran lebih besar tersebut adalah fenokris dan dikelilingi oleh kristal-kristal halus 16

description

pembahasan batuan beku non fragmental

Transcript of Batuan Beku Non Fragmental

Page 1: Batuan Beku Non Fragmental

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada praktikum petrologi acara batuan beku non fragmental yang telah

dilaksanakan pada tanggal 23 Maret 2015 dan pada tanggal 30 Maret 2015 praktikan

telah melakukan pengamatan terhadap 6 batuan beku non fragmental. Pengamatan

yang dilakukan secara megaskopis ini bertujuan untuk deskripsi batuan dan

penamaan batuan yang berdasarkan klasifikasi Russel B. Travis, 1988. Sehingga

didapatkan hasil analisis sebagai berikut

4.1 Batuan Peraga Nomor BI-09-A

Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna abu-abu

keputihan. Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras.

Tekstur batuan ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena

batuan ini terdiri dari kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah

inequigranular (faneroporfiritik) karena batuan ini memiliki mineral yang

memiliki ukuran yang lebih besar daripada mineral yang melingkupinya.

Mineral yang memiliki ukuran lebih besar tersebut adalah fenokris dan

dikelilingi oleh kristal-kristal halus berupa mineral afanit. Hubungan antar

kristalnya adalah subhedral dimana bidang kristalnya sebagian dibatasi oleh

bidang kristal mineral lain dan sebagian dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri.

Dan dengan ukuran kasar >5mm (WTG, 1954).

Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna hitam,

belahan 2 arah, kekerasan 2-3 skala Mohs, cerat putih yaitu biotit dengan

kelimpahan 15%. Kemudian warna transparan, kekerasan 7, tanpa belahan,

kilap kaca, cerat colorless yaitu Kuarsa dengan kelimpahan 15%. Kenampakan

yang ketiga berwarna hitam, kekerasan 5-6 skala Mohs, transparansi transparan,

cerat hitam yaitu Hornblend dengan kelimpahan 5%. Warna putih susu,

kekerasan 6 skala Mohs, dengan transparansi opaq yaitu Plagioklas dengan

16

Page 2: Batuan Beku Non Fragmental

kelimpahan 45%. Mineral terakhir adalah dengan warna merah daging,

kekerasan 6 skala Mohs, cerat putih, kilap non logam, transparansi opaq yaitu

Orthoklas dengan kelimpahan 20%. Dari komposisi yang ada tersebut batuan ini

adalah Porfiri Granit (Russel B. Travis, 1988).

Gambar 4.1 Penamaan Peraga BI-09-A pada tabel klasifikasi

Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu

1000˚C hingga 600˚C yang membutuhkan waktu lama dan pembentukan

mineralnya secara lambat sehingga terbentuk mineral-mineral dengan ukuran

yang besar dan menjadi fenokris. Kemudian terjadi perubahan suhu dan tekanan

sehingga mineral-mineral yang lain tidak terbentuk dengan ukuran yang sama.

Mineral-mineral tersebut dinamakan massa dasar dengan kristal yang masih

dapat dilihat dengan mata telanjang. Dari penjelasan diatas, mineral ini

memiliki derajat kristalisasi holokristalin dengan granularitas inequigranular

faneroporfiritik. Pada awal pembentukan batuan, yang pertama kali terbentuk

17

Page 3: Batuan Beku Non Fragmental

adalah hornblen dan plagioklas, kemudian suhu menurun dan terbentuk biotit,

suhu akan turun lagi sehinga terbentuk orthoklas dan yang terakhir pada kisaran

suhu 600˚C adalah kuarsa. Dapat diinterpretasi bahwa mineral pada batuan

terbentuk di zona vulkanik. Dari kenampakannya terlihat banyak terbentuk

mineral orthoklas dan kuarsa sehingga diinterpretasikan bahwa batuan tersebut

mengandung kandungan silica yang lumayan tinggi. Kemudian pada mineral

kuarsa dan orthoklas terbentuk dengan ukuran yang lebih halus, sehingga

diinterpretasi bahwa pembentukan mineral tersebut berlangsung cepat.

Sehingga batuan ini terbentuk pada waktu pembentukan mineral yang sama

kecepatannya. Berdasarkan komposisi dari mineral penyusun batuannya, porfiri

granit memiliki sifat magma asam. Batuan ini biasanya terbentuk di daerah

zona subduksi yang magmanya berasimilasi dan terjadi diferensiasi magma dari

yang awalnya mempunyai sifat magma basa namun karena ketebalan lempeng

benua dan pengaruh dari sudut penunjaman lempeng samudra magma dapat

berubah menjadi asam. Magma yang memiliki sifat magma asam tersebut

membeku di bawah permukaan bumi yang kemudian terangkat ke atas

permukaan bumi karena adanya tenaga endogen yang terjadi di daerah tersebut.

Gambar 4.2 Zona Subduksi

4.2 Batuan Peraga Nomor B1-18-A

18

Page 4: Batuan Beku Non Fragmental

Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna coklat

keabuan. Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras.

Tekstur batuan ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena

batuan ini terdiri dari kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah

equigranular (fanerik) karena batuan ini memiliki ukuran mineral pembentuk

yang sama dan seragam. Hubungan antar kristalnya adalah subhedral dimana

bidang kristalnya sebagian dibatasi oleh bidang kristal mineral lain dan sebagian

dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri. Dan dengan ukuran sedang 1-5mm

(WTG, 1954).

Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna hitam,

belahan 2 arah, kekerasan 2-3 skala Mohs, cerat putih yaitu biotit dengan

kelimpahan 5%. Kemudian warna transparan, kekerasan 7, tanpa belahan, kilap

kaca, cerat colorless yaitu Kuarsa dengan kelimpahan 20%. Kenampakan yang

ketiga berwarna hitam, kekerasan 5-6 skala Mohs, transparansi transparan, cerat

hitam yaitu Hornblend dengan kelimpahan 10%. Mineral selanjutnya adalah

warna putih susu, kekerasan 6 skala Mohs, dengan transparansi opaq yaitu

Plagioklas dengan kelimpahan 30%. Mineral terakhir adalah dengan warna

merah daging, kekerasan 6 skala Mohs, cerat putih, kilap non logam,

transparansi opaq yaitu Orthoklas dengan kelimpahan 35%. Dari komposisi

yang ada tersebut batuan ini adalah Granit (Russel B. Travis, 1988).

Gambar 4.3 Penamaan Peraga BI-18-A pada tabel klasifikasi

19

Page 5: Batuan Beku Non Fragmental

Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu

1000˚C hingga 600˚C yang membutuhkan waktu lama dan pembentukan

mineralnya secara lambat karena pada suhu awal pembentukan, magma telah

memiliki cukup unsur untuk membentuk mineral dan pembentukan mineralnya

memiliki rentang waktu yang sama sehingga terbentuk mineral-mineral dengan

ukuran yang besar dan seragam. Dari penjelasan diatas, mineral ini memiliki

derajat kristalisasi holokristalin dengan granularitas equigranular (fanerik).

Pada pembentukan batuannya, mineral yang pertama kali terbentuk adalah

mineral horblen dan plagioklas, kemudian terjadi pendinginan suhu lalu

terbentuk biotit. Pendinginan terjadi kembali dan mendinginkan magma

sehingga terbentuk orthoklas dan kuarsa dengan keterdapatan silica yang tinggi.

Dapat diinterpretasi bahwa mineral pada batuan terbentuk di zona vulkanik.

Kemudian pada mineral kuarsa dan orthoklas terbentuk dengan ukuran yang

sama dengan mineral sebelumnya, sehingga diinterpretasi bahwa pembentukan

mineral tersebut cepat dan mineral tersebut terbentuk pada kecepatan dan waktu

yang sama. Berdasarkan komposisi dari mineral penyusun batuannya, porfiri

granit memiliki sifat magma asam. Batuan ini biasanya terbentuk di daerah

zona subduksi yang magmanya berasimilasi dan terjadi diferensiasi magma dari

yang awalnya mempunyai sifat magma basa namun karena ketebalan lempeng

benua dan pengaruh dari sudut penunjaman lempeng samudra magma dapat

berubah menjadi asam. Magma yang memiliki sifat magma asam tersebut

membeku di bawah permukaan bumi yang kemudian terangkat ke atas

permukaan bumi karena adanya tenaga endogen yang terjadi di daerah tersebut.

20

Page 6: Batuan Beku Non Fragmental

Gambar 4.4 Zona Subduksi

4.3 Batuan Peraga Nomor B1-43-A

Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna hitam.

Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras. Tekstur batuan

ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena batuan ini terdiri dari

kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah equigranular fanerik

karena batuan ini memiliki ukuran mineral pembentuk yang sama dan seragam.

Hubungan antar kristalnya adalah subhedral dimana bidang kristalnya sebagian

dibatasi oleh bidang kristal mineral lain dan sebagian dibatasi oleh bidang

kristalnya sendiri. Dan dengan ukuran kasar >5mm (WTG, 1954).

Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna

transparan, kekerasan 7, tanpa belahan, kilap kaca, cerat colorless yaitu Kuarsa

dengan kelimpahan 5%. Mineral selanjutnya adalah warna putih susu,

kekerasan 6 skala Mohs, dengan transparansi opaq yaitu Plagioklas dengan

kelimpahan 60%. Lalu ada mineral dengan warna hijau, cerat putih, kilap kaca,

kekerasan 6,5-7 skala Mohs yaitu Olivin dengan kelimpahan 10%. Mineral yang

terakhir adalah dengan warna hijau kehitaman, kilap kaca, kekerasan 6 skala

Mohs, cerat putih, transparansi opaq yaitu Piroksen dengan kelimpahan 25%.

Dari komposisi yang ada tersebut batuan ini adalah Gabro (Russel B. Travis,

1988).

21

Page 7: Batuan Beku Non Fragmental

Gambar 4.5 Penamaan Peraga BI-43-A pada tabel klasifikasi

Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu

1200˚C hingga 600˚C yang memakan waktu lama dan pembentukan mineralnya

secara lambat karena pada suhu awal pembentukan, magma telah memiliki

cukup unsur untuk membentuk mineral dan pembentukan mineralnya memiliki

rentang waktu yang sama sehingga terbentuk mineral-mineral dengan ukuran

yang besar dan seragam. Dari penjelasan diatas, mineral ini memiliki derajat

kristalisasi holokristalin dengan granularitas equigranular (fanerik). Pada awal

proses pembentukan batuan, mineral yang terbentuk pertama kali adalah olivine

dan plagioklas pada suhu 1200˚C, kemudian pada saat suhu telah turun,

terbentuklah piroksen dengan suhu 1100˚C, suhu turun lagi dan terbentuk

kuarsa pada suhu 600˚C dengan sedikit kelimpahan karena silica yang

dibutuhkan untuk membentuk kuarsa telah banyak digunakan pada

pembentukan mineral yang lain. Berdasarkan komposisi dari mineral penyusun

22

Page 8: Batuan Beku Non Fragmental

batuannya, gabro memiliki sifat magma basa. Gabro merupakan batuan yang

terbentuk di zona plutonik. Batuan ini biasanya terbentuk di daerah MOR atau

Mid-Oceanir Ridge, Island Arc, Inter-Continental Rift Zone dan Back Arc

Basin. Magma yang memiliki sifat magma basa tersebut membeku di bawah

permukaan bumi yang kemudian terangkat ke atas permukaan bumi karena

adanya tenaga endogen yang terjadi di daerah tersebut.

Gambar 4.6 Continental Rift Zone

Gambar 4.7 Back Arc Basin

Gambar 4.8 Mid Oceanic Ridge

23

Page 9: Batuan Beku Non Fragmental

Gambar 4.9 Island Arc

4.4 Batuan Peraga Nomor BIP-27-B

Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna abu-abu.

Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras. Tekstur batuan

ini terdiri dari derajat kristalisasi yang hipokristalin karena batuan ini terdiri dari

kristal dan massa dasar gelasan. Granularitas pada batuan ini adalah

inequigranular (porfiroafanitik) karena karena batuan ini memiliki mineral yang

memiliki ukuran yang lebih besar daripada mineral yang melingkupinya.

Mineral yang memiliki ukuran lebih besar tersebut adalah fenokris dan

dikelilingi oleh gelasans berupa mineral afanit. Hubungan antar kristalnya

adalah euhedral dimana bidang kristalnya dibatasi bidang kristalnya sendiri.

Dan dengan ukuran halus <1mm (WTG, 1954).

Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna

transparan, kekerasan 7, tanpa belahan, kilap kaca, cerat colorless yaitu Kuarsa

dengan kelimpahan 5%. Mineral selanjutnya adalah dengan warna hitam,

belahan 2 arah, kekerasan 2-3 skala Mohs, cerat putih yaitu biotit dengan

kelimpahan 20%. Mineral yang terakhir adalah dengan warna hijau kehitaman,

kilap kaca, kekerasan 6 skala Mohs, cerat putih, transparansi opaq yaitu

Piroksen dengan kelimpahan 50%. Sisanya adalah massa dasar afanit. Dari

24

Page 10: Batuan Beku Non Fragmental

komposisi yang ada tersebut batuan ini adalah Porfiri Basalt (Russel B. Travis,

1988).

Gambar 4.10 Penamaan Peraga BIP-27-B pada tabel klasifikasi

Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu

1200˚C hingga 600˚C yang memakan waktu lama karena batuan ini memiliki

mineral yang memiliki ukuran yang lebih besar daripada mineral yang

melingkupinya. Mineral yang memiliki ukuran lebih besar tersebut adalah

fenokris dan dikelilingi oleh gelasan. Dari penjelasan diatas, mineral ini

memiliki derajat kristalisasi hipokristalin dengan granularitas inequigranular

porfiroafanitik. Proses pembentukan mineral yang pertama adalah piroksen

pada suhu 1100˚C, terbentuk secara terus menerus sehingga memiliki ukuran

yang lebih besar dari yang liannya. Suhu turun di kisaran 900˚C dan terbentuk

mineral biotit dengan waktu pembentukan yang cukup lama sehingga mampu

terbentuk dengan ukuran yang besar. Lalu terbentuk kuarsa pada suhu 600˚C.

25

Page 11: Batuan Beku Non Fragmental

Kemudian terdapat perubahan suhu yang sangat cepat sehingga terdapat massa

dasar yang berupa gelasan. Dapat diinterpretasi bahwa mineral pada batuan

terbentuk di zona plutonik dilihat dari komposisi batuannya. Berdasarkan

komposisi dari mineral penyusun batuannya, porfiri basalt memiliki sifat

magma basa. Batuan ini biasanya terbentuk di daerah MOR atau Mid-Oceanic

Ridge dan Island Arc. Magma yang memiliki sifat magma basa tersebut

membeku di bawah permukaan bumi yang kemudian terangkat ke atas

permukaan bumi karena adanya tenaga endogen yang terjadi di daerah tersebut.

Gambar 4.11 Mid Oceanic Ridge

Gambar 4.12 Island Arc

4.5 Batuan Peraga Nomor B1-02-A

Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna abu-abu.

Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras. Tekstur batuan

ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena batuan terdiri dari

26

Page 12: Batuan Beku Non Fragmental

kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah inequigranular

(porfiroafanitik) karena batuan ini memiliki mineral yang memiliki ukuran yang

lebih besar daripada mineral yang melingkupinya. Mineral yang memiliki

ukuran lebih besar tersebut adalah fenokris dan dikelilingi oleh gelasan berupa

mineral afanit. Hubungan antar kristalnya adalah subhedral dimana bidang

kristalnya dibatasi bidang kristalnya sendiri dan bidang kristal mineral lainnya.

Dan dengan ukuran kasar >5mm (WTG, 1954).

Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna hitam,

belahan 2 arah, kekerasan 2-3 skala Mohs, cerat putih. Berdasarkan

kenampakan tersebut mineral ini dinamakan biotit dengan kelimpahan 5%.

Kemudian warna transparan, kekerasan 7, tanpa belahan, kilap kaca, cerat

colorless. Berdasarkan kenampakan tersebut adalah Kuarsa dengan

kelimpahan 20%. Mineral selanjutnya adalah warna putih susu, kekerasan 6

skala Mohs, dengan transparansi opaq. Berdasarkan kenampakan tersebut

maka mineral ini adalah Plagioklas dengan kelimpahan 55%. Dan yang

teakhir adalah massa dasar mineral afanit 20%. Dari komposisi yang ada

tersebut batuan ini adalah Porfiro Dasit (Russel B. Travis, 1988).

Gambar 4.13 Penamaan Peraga BI-02-A pada tabel klasifikasi

Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu

1000˚C hingga 600˚C yang memakan waktu lama dan pembentukan mineralnya

secara lambat sehingga terbentuk mineral-mineral dengan ukuran yang besar

27

Page 13: Batuan Beku Non Fragmental

dan menjadi fenokris. Pembentukan mineral yang pertama adalah biotit dan

plagioklas dengan ukuran yang lebih besar terbentuk di kisaran suhu 800˚C.

Kemudian terjadi penurunan suhu dan terbentuk kuarsa pada suhu 600˚C.

Kemudian terjadi perubahan suhu dan tekanan secara drastis sehingga mineral-

mineral yang lain tidak terbentuk dengan ukuran yang sama karena perbedaan

kecepatan pembentukan mineral. Mineral-mineral tersebut dinamakan masa

dasar dengan kristal yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Dari

penjelasan diatas, mineral ini memiliki derajat kristalisasi holokristalin dengan

granularitas inequigranular (porfiroafanitik). Dapat diinterpretasi bahwa

mineral pada batuan terbentuk di zona plutonik. Berdasarkan komposisi dari

mineral penyusun batuannya, porfiri dasit memiliki sifat magma intermediet.

Batuan ini biasanya terbentuk di daerah zona subduksi yang magmanya

berasimilasi dan terjadi diferensiasi magma dari yang awalnya mempunyai sifat

magma basa namun karena ketebalan lempeng benua dan pengaruh dari sudut

penunjaman lempeng samudra magma dapat berubah menjadi intermediet. Pada

daerah subduksi ini memang banyak terbentuk batuan yang memiliki sifat

magma intermediet. Magma yang memiliki sifat magma intermediet tersebut

membeku di bawah permukaan bumi yang kemudian terangkat ke atas

permukaan bumi karena adanya tenaga endogen yang terjadi di daerah tersebut.

Biasanya di daerah ini terdapat banyak aktivitas vulkanis gunung api.

Gambar 4.14 Zona Subduksi

28

Page 14: Batuan Beku Non Fragmental

4.6 Batuan Peraga Nomor RP1

Pada kenampakan megaskopisnya, batuan ini memiliki warna abu-abu.

Struktur batuan ini adalah masif karena terlihat perjal dan keras. Tekstur batuan

ini terdiri dari derajat kristalisasi yang holokristalin karena batuan ini terdiri dari

kristal seluruhnya. Granularitas pada batuan ini adalah equigranular (fanerik)

karena batuan ini memiliki mineral yang seragam ukuran satu dengan mineral

lainnya. Hubungan antar kristalnya adalah subhedral dimana bidang kristalnya

dibatasi bidang kristalnya sendiri dan bidang kristal mineral lainnya. Dan

dengan ukuran sedang 1-5mm (WTG, 1954).

Batuan ini memiliki komposisi mineral dengan ciri fisik warna hitam,

belahan 2 arah, kekerasan 2-3 skala Mohs, cerat putih yaitu biotit dengan

kelimpahan 22%. Kemudian warna transparan, kekerasan 7, tanpa belahan,

kilap kaca, cerat colorless adalah Kuarsa dengan kelimpahan 8%. Mineral

selanjutnya adalah warna putih susu, kekerasan 6 skala Mohs, dengan

transparansi opaq yaitu Plagioklas dengan kelimpahan 55%. Kenampakan yang

terakhir berwarna hitam, kekerasan 5-6 skala Mohs, transparansi transparan,

cerat hitam yaitu Hornblend dengan kelimpahan 15%. Dari komposisi yang ada

tersebut batuan ini adalah diorit (Russel B. Travis, 1988).

Gambar 4.15 Penamaan Peraga RP1 pada tabel klasifikasi

29

Page 15: Batuan Beku Non Fragmental

Batuan ini terbentuk dari proses pembekuan magma di kisaran suhu

1000˚C hingga 600˚C yang memakan waktu lama dan pembentukan mineralnya

secara lambat sehingga terbentuk mineral-mineral dengan ukuran yang besar.

Magma telah memiliki cukup unsur untuk membentuk mineral dan

pembentukan mineralnya memiliki rentang waktu yang sama sehingga

terbentuk mineral-mineral dengan ukuran yang besar dan seragam. Dari

penjelasan di atas, mineral ini memiliki derajat kristalisasi holokristalin dengan

granularitas equigranular (fanerik). Mineral yang pertama kali terbentuk adalah

mineral biotit dan plagioklas pada suhu sekitar 1000˚C. Terjadi penurunan suhu

dan terbentuk mineral hornblen pada kisaran suhu 800˚C. Lalu terjadi

pendinginan yang sangat cepat sehingga kuarsa hanya terbentuk sedikit dan

mungkin karena suplai silica yang kurang. Batuan ini terbentuk di zona

hipabisal. Berdasarkan komposisi dari mineral penyusun batuannya, diorit

memiliki sifat magma intermediet. Batuan ini biasanya terbentuk di daerah zona

subduksi yang magmanya berasimilasi dan terjadi diferensiasi magma dari yang

awalnya mempunyai sifat magma basa namun karena ketebalan lempeng benua

dan pengaruh dari sudut penunjaman lempeng samudra magma dapat berubah

menjadi intermediet. Pada daerah subduksi ini memang banyak terbentuk

batuan yang memiliki sifat magma intermediet. Magma yang memiliki sifat

magma intermediet tersebut membeku di bawah permukaan bumi yang

kemudian terangkat ke atas permukaan bumi karena adanya tenaga endogen

yang terjadi di daerah tersebut. Biasanya di daerah ini terdapat banyak aktivitas

vulkanis gunung api.

30

Page 16: Batuan Beku Non Fragmental

Gambar 4.16 Zona Subduksi

31