bahan INFERTILITAS beserta penatalaksanaan nya

22
PENDAHULUAN Infertilitas merupakan suatu permasalahan yang cukup lama dalam dunia kedokteran. Namun sampai sdaat ini ilmu kedokteran baru berhasil menolong ± 50% pasangan infertil untuk memperoleh anak. Perkembangan ilmu infertilitas lebih lambat dibanding cabang ilmu kedokteran lainnya, kemungkinan disebabkan masih langkanya dokter yang berminat pada ilmu ini. 1 Sesuai dengan definisi fertilitas yaitu kemampuan seorang isteri untuk menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilinya,maka pasangan infertil haruslah dilihat sebagai satu kesatuan. Penyebab infertilitaspun harus dilihat pada kedua belah pihak yaitu isteri dan suami. Salah satu bukti bahwa pasangan infertil harus dilihat sebagai satu kesatuan adalah aadanya faktor imunologi yang memegang peranan dalam fertilitas suatu pasangan. Faktor imunologi ini erat kaitannya dengan faktor semen/sperma, cairan/lendir serviks dan reaksi imunologi isteri terhadap semen/sperma suami. Termasuk juga sebagai faktor imunologi adanya autoantibodi. 1,2 Lebih kurang seperlima pasangan usia subur di Amerika Serikat adalah pasangan infertil. Limabelas persen diantaranya tergolong infertil yang tidak jelas penyebabnya (unexplained infertility). Banyak bukti yang menjelaskan bahwa ada peranan faktor imunomodulasi pada pasangan ini. Aspek penting dari imunomodulasi ini adalah adanya antibodi anti sperma (ASA). 3. Beberapa penelitian telah dilakukan terutama dinegara maju untuk mengetahui hubungan faktor imunologi ini dengan fungsi reproduksi suatu pasangan. Diantara penelitian ini yaitu menemukan antigen pada sperma, cara-cara identifikasi antigen/antibodi dalam tubuh, dan penatalaksanaan apa yang memungkinkan diberikan pada pasangan infertil dengan faktor imunologi ini. Terjadinya infertilitas pada suatu pasangan yang mempunyai antibodi antisperma secara teoritis dikarenakan tingginya kadar antibodi antisperma pada cairan vagina,serviks, uterus atau tuba. Walaupun antibodi antisperma terdapat dalam serum seseorang, belum tentu orang tersebut mempunyai antibodi antisperma yang tinggi kadarnya dalam cairan genitalianya. 4 . Penemuan antibodi antisperma juga memberiakan suatu ide bagi beberapa ilmuwan untuk mengembangkan suatu vaksin kontrasepsi berdasarkan antigen sperma. 5,6

description

penatalaksanaan pada pasien infertilitas

Transcript of bahan INFERTILITAS beserta penatalaksanaan nya

PENDAHULUAN

Infertilitas merupakan suatu permasalahan yang cukup lama dalam dunia kedokteran.

Namun sampai sdaat ini ilmu kedokteran baru berhasil menolong ± 50% pasangan infertil

untuk memperoleh anak. Perkembangan ilmu infertilitas lebih lambat dibanding cabang

ilmu kedokteran lainnya, kemungkinan disebabkan masih langkanya dokter yang

berminat pada ilmu ini. 1

Sesuai dengan definisi fertilitas yaitu kemampuan seorang isteri untuk menjadi hamil

dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghamilinya,maka pasangan

infertil haruslah dilihat sebagai satu kesatuan. Penyebab infertilitaspun harus dilihat pada

kedua belah pihak yaitu isteri dan suami. Salah satu bukti bahwa pasangan infertil harus

dilihat sebagai satu kesatuan adalah aadanya faktor imunologi yang memegang peranan

dalam fertilitas suatu pasangan. Faktor imunologi ini erat kaitannya dengan faktor

semen/sperma, cairan/lendir serviks dan reaksi imunologi isteri terhadap semen/sperma

suami. Termasuk juga sebagai faktor imunologi adanya autoantibodi.1,2

Lebih kurang seperlima pasangan usia subur di Amerika Serikat adalah pasangan

infertil. Limabelas persen diantaranya tergolong infertil yang tidak jelas penyebabnya

(unexplained infertility). Banyak bukti yang menjelaskan bahwa ada peranan faktor

imunomodulasi pada pasangan ini. Aspek penting dari imunomodulasi ini adalah adanya

antibodi anti sperma (ASA).3.

Beberapa penelitian telah dilakukan terutama dinegara maju untuk mengetahui

hubungan faktor imunologi ini dengan fungsi reproduksi suatu pasangan. Diantara

penelitian ini yaitu menemukan antigen pada sperma, cara-cara identifikasi

antigen/antibodi dalam tubuh, dan penatalaksanaan apa yang memungkinkan diberikan

pada pasangan infertil dengan faktor imunologi ini. Terjadinya infertilitas pada suatu

pasangan yang mempunyai antibodi antisperma secara teoritis dikarenakan tingginya

kadar antibodi antisperma pada cairan vagina,serviks, uterus atau tuba. Walaupun

antibodi antisperma terdapat dalam serum seseorang, belum tentu orang tersebut

mempunyai antibodi antisperma yang tinggi kadarnya dalam cairan genitalianya.4.

Penemuan antibodi antisperma juga memberiakan suatu ide bagi beberapa ilmuwan

untuk mengembangkan suatu vaksin kontrasepsi berdasarkan antigen sperma.5,6

BEBERAPA PENYEBAB INFERTILITAS

Banyak faktor yang menyebabkan mengapa seorang wanita tidak bisa atau sukar menjadi

hamil setelah kehidupan seksual normal yang cukup lama. Diantara faktor-faktor tersebut

yaitu faktor organik/fisiologik, faktor ketidakseimbangan jiwa dan kecemasan berlebihan.

Dimic dkk di Yugoslavia mendapatkan 554 kasus (81,6%) dari 678 kasus pasangan

infertil disebabkan oleh kelainan organik, dan 124 kasus (18,4%) disebabkan oleh faktor

psikologik. Ingerslev dalam penelitiannya mengelompokkan penyebab infertilitas

menjadi 5 kelompok yaitu faktor anatomi, endokrin, suami, kombinasi, dan tidak

diketahui (unexplained infertility)7,8

Sumapraja membagi masalah infertilitas dalam beberapa kelompok yaitu air mani,

masalah vagina, masalah serviks, masalah uterus, masalah tuba, masalah ovarium, dan

masalah peritoneum. Masalah air mani meliputi karakteristiknya yang terdiri dari

koagulasinya dan likuefasi, viskositas, rupa dan bau, volume, pH dan adanya fruktosa

dalam air mani. Pemeriksaan mikroskopis spermatozoa dan uji ketidakcocokan imunologi

dimasukkan juga kedalam masalah air mani.1

Masalah vagina kemungkinan adanya sumbatan atau peradangan yang mengirangi

kemampuan menyampaikan air mani kedalam vagina sekitar serviks.

Masalah serviks meliputi keadaan anatomi serviks, bentuk kanalis servikalis sendiri

dan keadaan lendir serviks. Uji pascasenggama merupakan test yang erat berhubungan

dengan faktor serviks dan imunologi.1

Masalah uterus meliputi kontraksi uterus, adanya distorsi kavum uteri karena

sinekia,mioma atau polip, peradangan endometrium. Masalah uterus ini menggangu

dalam hal implantasi, pertumbuhan intra uterin, dan nutrisi serta oksigenasi janin.

Pemeriksaan untuk masalah uterus ini meliputi biopsi endometrium,histerosalpingografi

dan histeroskopi.9

Masalah tuba merupakan yang paling sering ditemukan (25-50%). Penilaian patensi

tuba merupakan salah satu pemeriksaan terpenting dalam pengelolhan infertilitas.1

Masalah ovarium meliputi ada tidaknya ovulasi, dan fungsi korpus luteum. Fungsi

hormonal berhubungan dengan masalah ovarium, ini yang dapat dinilai beberapa

pemeriksaan antara lain perubahan lendir serviks, suhu basal badan, pemeriksaan

hormonal dan biopsi endometrium.1

Masalah imunologi biasanya dibahas bersama-sama masalah lainnya yaitu masalah

serviks dan masalah air mani karena memang kedua faktor ini erat hubungannya dengan

mekanisme imunologi.1,7

FAKTOR IMUNOLOGI SEBAGAI PENYEBAB INFERTILITAS

Dulu orang masih bertanya-tanya apakah faktor imunologi besar peranannya dalam

infertilitas. Para iluwan masih meragukan, bingung dan timbul berbagai pendapat yang

saling kontradiksi. Jones pada penelitian nya mengajukan teori bahwa faktor imunologi

berpengaruh pada beberapa tahap dalm proses reproduksi manusia, mulai dari masa

gamet dan telur yang dibuahi. Sebagaimana hormon, jaroingan dan cairan sekresi yang

berhubungan dengan traktus genitalia potensial bersipat antigenik dan mampu

menimbulkan suatu respon imun.2,10,11

Suatu antigen akan mengalami beberapa proses dalam tubuh kita akibat sistem

imunitas tubuh. Antigen tersebut akan difagositosis sebagai respon imun nonspesifik dari

tubuh. Dapat juga terjadi penghancuran sel (sitolisis) melalui peranan sel T-sitotoksis.

Mekanisme lain yaitu dengan membentuk antibodi dengan bantuan makrofag, sel T

helper dan selT supresor. Se-sel ini memberikan sinyal-sinyal kepada limfosit B sehingga

berdifensiasi menjadi sel plasma dan membentuk antibodi spesifik. Antibodi ini melalui

beberapa jalan menyebabkan penghancuran antigen antara lain membentuk komplek

antibodi komplemen menyebabkan lisis, antibody dependent cell mediated cytotoxicity

(ADCC) menimbulkan sitolisis, atau fagositosis spesifik. Untuk jelasnya dpat dilihat paa

gambar 1. 12

Pada beberapa wanita antigen sperma menyebabkan timbulnya antibodi terhadap

antigen spesifik atau permukaan pada sperma dan menyebabkan infertilitas. Menurut

Burnett, antigen jaringan yang telah ada dalam tubuh sebelum sistem imunologik

berfungsi dikenal sebagai self antigen, sedangkan antigen jaringan yang timbul setelah

sistem imunologik berfungsi sebagai non self antigen. Spermatozoa dapat digolongkan

self antigen karena diproduksi jauh setelah sistem imunologik berfungsi, sehingga ia

dianggap sebagai antigen asing. Antigen tersebut dapat berasal dari spermatozoa sendiri,

atau dari plasma semen.2,10,11

Selain itu dapat juga terjadi keadaan autoimun terhadap semen dan komponen sperma

yang biasanya terjadi pada suami yang pernah mengalami proses pada genitalianya

termasuk vasektomi dan infeksi (mumps). Beberapa penyakit autoimun dapat

menyebabkan suatu keadaan infertilitas. Geva dalam tulisannya tentang autoimunitas dan

reproduksi mendapatkan bahwa banyaknya autoantibodi dalam serum berhubungan

dengan kegagalan kehamilan yang berulang, endometriosis, kegagalan ovarium prematur

(prematur ovarian failure/POF), infertilitas yang tak jelas penyebabnya(unexplained

infertility), dan kegagalan fertilisasi invitro (IVF). Beberapa jenis antibodi yang dapat

dideteksi antara lain antibodi antifosfolipid (APA), antibodi antikardiolipin dan

antikoagulan lupus, antibodi antinuklear (ANA), Antibodi anti-DNA, faktor rhematoid,

antibodi antitiroid, autoantibodi anti oavarium, dan antibodi otot polos (smooth muscle

antibodies). Dalam tulisannya Geva berkesimpulan bahwa abnormalitas autoimun

mungkin menyebabkan kegagalan reproduksi (infertilitas) dan sebaliknya kegagalan

reproduksi dapat merupakan manifestasi awal dari penyakit autoimun yang belum

terdiagnosis. 2,5,13

BEBERAPA ANTIGEN DAN ANTIBODI PADA PASANGAN INFERTIL

Sperma dan plasma/cairan semen

Banyak molekul yang dibentuk pada saat terjadi miosis dalam testis. Autoantigen spesifik

testis pada saat terjadinya spermiogenesis. Antigen lain muncul pada membran plasma

setelah stadium midspermatid proses spermatogenesis dan pada permukaan sperma pada

masa perjalanan sperma diepididimis. Sifat antigenik dari sperma dan cairan sperma

inilah yang menyebabkan terbentuknya antibodi antisperma.5

Pada keadaan normal reaksi imun ini dihalangi oleh salah satu fungsi sel Sertoli pada

testis yaitu mempertahankan lingkungan intralumen bebas dari komponen serum. Sel

sertoli juga membentuk barier imunologik yang secara aktif memfagositosis dan

menghancurkan sisa-sisa produk hasil spermatogenesis tadi yang bila dibiarkan lolos dari

tubulus seminiferus akan menyebabkan reaksi imunologik. Hanya ± 1/5 dari sisa-sisa

tersebut yang lolos dari tubulus dn sisa ini diresorbsi oleh epitel germinativum. Beberapa

jenis antigen sperma manusia dapat dilihat pada tabel 1.5

Antigen fertilisasi-1 (FA-1) merupakan antigen yang terdapat pada sel-sel germinal

laki-laki dan bereaksi kuat dengan semen dari laki-laki dan perempuan infertil dan

bereaksi lemah dengan semen dari orang –orang normal. Sperma dilapisi oleh membran

plasma yang mengandung antigen spesifik yang fungsinya sebagai pengenal zona

pellusida telur dan berfungsi dalam proses kapasitas dan reaksi akrosom. FA-1 adalah

glikoprotein spesifik-sperma yang didapatkan dari membran plasma sel germinal

manusia. Naz dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa hal ini terjadi karena antibodi

terhadap FA-1 tidak mengaglutinasi atau menyebabkan immobilisasi sel sperma, antibodi

ini menghambat fertilisasi dengan cara mempengaruhi interaksi antara sperma & zona

pellucida, sedangkan Kaplan dalam penelitiannya mendapatkan kesimpulan bahwa FA-1

tidak mempunyai efek proteolitik atau aktivitas akrosin. FA-1 menghambat penetrasi

sperma ke ovum melalui pengaruhnya terhadap kapasitasi dan reaksi akrosom sel sperma.

Dari datanya juga Kaplan mengganggap bahwa FA-1 dapat digunakan dalam diagnosis

dan pengobatan dalam imunoinfertiliti dan memungkinkan pengembangan vaksin

kontrasepsi pada manusia.14,15

Antibodi antisperma

Ada banyak bukti bahwa saluran reproduksi manusia khususnya pada wanita mampu

menimbulkan respons imun lokal terhadap antigen asing, termasuk antigen sperma.

Rumke dan Hellinger (1959) adalah orang pertama yang membuktikan adanya antibodi

antisperma atau autoantibodi terhadap sperma manusia. Respon imun saluran reproduksi

wanita terhadap antigen sperma dapat melalui 2 jalur yaitu jalur aferen dan jalur eferen.

Saluran reproduksi wanita dibantu oleh sel-sel yang kompeten untuk menimbulkan

respon imun. Sel-sel ini memfagositosis spermatozoa dan memproses antigennya

sehingga menimbulkan pertahanan imun seseorang, Mekanisme ini dibantu oleh beberapa

faktor yaitu :

1. Jumlah sperma yang sangat banyak/berlebihan

2. Sperma juga difagositosis oleh sel-sel somatik sebagaimana makrofag, dan semen

secara kemotatik mempengaruhi makrofag dan netropil

3. Antigen asing lain mempunyai efek ajuvans terhadap saluran reproduksi,

misalnya adanya infeksi vagina

4. Limfosit dalam semen berperanan menyebabkan sterilitas bagi wanita melalui

mekanisme histokompatibilitas

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon imun lainnya misalnya prostaglandin E

yang bersipat imunosupresif. Respon ini terhadap sperma pada wanita dapat

melalui pembentukan antibodi atau melalui sel-sel, yang masing –masing lebih

dominan bersipat lokal dibanding sistemik.2

Imunisasi lokal (intravaginal) dengan berbagai antigen menghasilkan antibodi

spesifik pada mukosa serviks. Biasanya stimulus antigen terhadap memnbran mukosa

membentuk antibodi lokal maupun sistemik, tapi karena antigen tidak mencapai

sirkulasi respon sistemik jarang terjadi. Ada juga bukti klinik yang menunjukkan

bahwa antigen yang terpapar akibat hubungan seksual dapat menimbulkan reaksi

hipersensitif akut lokal maupun sistemik, walaupun sangat jarang.2

Penelitian teakhir terhadap antibodi antisperma pada wanita dan hubungannya

dengan infertilitas mulai diarahkan keanalisis cairan saluran reproduksi. Penelitian

terhadap antibodi antisperma penting dilakukan karena berhubungan erat dengan

transport sperma, daya tahan sperma, fertilisasi oosit yang abnormal, perkembangan

embrio yang abnormal, abortus spontan, dan antibodi anti-DNA. Apakah antibodi

antisperma adalah penyebab dari kelainan-kelainan tersebut ataukah semata-mata

antibodi antisperma itu sebagai tanda adanya penyakit yang masih dicari. Moghisssi

dalam penelitiannya menadpatkan insidens adanya antibodi antisperma pada

pasangan infertil berupa sperm-aglutination antibodi (SAA) yang mempunyai

kegiatan mengaglutinasikan sperma (aglutinasi kepala-kepala, ekor-ekor, dan kepala

ekor), dan sperm-immobilizing antibody (SIA) yang menyebabkan spermatozoa motil

menjadi berhenti, tidak mobil.6,10,11,16

Dalam penelitiannya Moghissi berkesimpulan bahwa diantara wanita infertil,

insidens SAA dan SIA lebih tinggi dalam cairan serviks dibandingkan dalam serum,

bahkan walaupun dalam serum tidak ditemukan antibodi antisperma. Juga didapatkan

bahwa kandungan antibodi antisperma ini lebih tinggi pada pasangan infertil yang

tidak jelas sebabnya dibandingkan kandungan pada pasangan infertil yang diketahui

penyebabnya (explained infertility).10

Haas dkk, mengevaluasi semen 614 orang laki-laki & wanita dengan explained

infertility. Ia mendapatkan 7% laki-laki dan 13% wanita antibodi antisperma (+). Nip

dkk, menggunakan cara ELISA melaporkan bahwa antibodi antisperma terdapat pada

serum 77% wanita dengan explained infertility, 75% wanita dengan endometriosis

dan 60% wanita dengan infertilitas karena faktor tuba. Pada penelitian ini hanya

didapatkan 5% antibodi antiperma (+) pada kontrol. 3,10

Imunoglobulin adalah antibodi yang diproduksi sebagai respons terhadap antigen

spesifik. Imunoglobulin yang dibentuk oleh sel limfosit B merupakan molekul

glikoprotein yang terdiri dari komponen polipeptida sebanyak 82-96% dan selebihnya

karbohidrat. Pada elektroforesis molekul bermigrasi sebagai gammaglobulin. Fungsi

polipeptida ini adalah mengikat dan menghancurkan antigen dengan bantuan fungsi

efektor sekunder yaitu memacu aktivitas komplemen.12

Ada 5 isotip imunoglobulin yang dikenal IgA, IgG, IgM, IgE, dan IgD. Masing-

masing mengandung 2 rantai berat spesifik dan 2 rantai ringan (α atau λ). Ig dibagi

dalam 2 region, Fab (amino-terminal) porsion to antibodi dan Fc (carboxy-terminal)

portion bind to other imunosupresor.3,11,12

IgG merupakan 75% imunoglobulin total dan dijumpai dalam bentuk monomer.

IgG ini paling mudah berdifusi kedalam jaringan ekstravaskuler dan melakukan

aktivitas antibodi dijaringan. Aktivitas lain yaitu melapisi mikroorganisme sehingga

lebih mudah difagositosis, dan juga menetralisir toksin serta virus. 12

IgA merupakan immunoglobulin terbanyak kedua dalam serum dan merupakan

imunoglobulin terbanyak dalam cairan sekresi termasuk cairan vagina/serviks. IgA

dapat mengikat vaksin atau bakteri sehingga mencegah mikroorganisme tersebut

melekat pada permukaan mukosa.12

IgM dijumpai dalam bentuk pentamer sehingga merupakan imunoglobulin

terbesar. Karena itu IgM terdapat hanya dalam intravaskuler dan merupakan 10% dari

imunoglobuin dalam serum. Makromolekul ini dapat menyebabkan aglutinasi

berbagai partikel and fiksasi komplemen dengan efisiensi yang sangat tinggi, yaitu 20

kali lipat lebih efektif dalam aglutinasi and 1000 kali lebih efektif dalam aktivitas

penghancuran bakteri dibanding IgG. Antibodi IgM cenderung menunjukkan afinitas

rendah terhadap antigen dengan determinan tunggal (hapten) tetapi karena molekul

IgM multivalen, molekul IgM dapat menunjukkan aviditas yang tinggi terhadap

antigen yang mempunyai banyak epitop (bagian antigen yang bereaksi dengan

antibodi).12

IgD merupakan monomer dan konsentrasinya dalam serum hanya sedikit. Peran

biologiknya sebagai antibodi humoral belum jelas. IgD dapat dijumpai pada

permukaan sel B, terutama sel B neonatus dalam jumlah jauh lebih banyak dibanding

konsentrasi dalam serum. IgD diduga merupakan reseptor antigen pertama pada

permukaan sel B, dan bahwa IgD berperan dalam mengawali respon imun.12

Ig E dijumpai dalam serum dengan kadar yang sangat rendah, hanya 0,004% dari

imunoglobulin total. Selain itu IgE dapat dijumpai dalam cairan sekresi. Salah satu

sifat penting dari IgE adalah kemampuan melekat secara erat pada permukaan

mastosit atau basofil melalui reseptor Fc. Peran IgE secara pasti belum diketahui.12

Ada beberapa hipotesis pembentukan antibodi antisperma pada laki-laki. Secara

teoritis, barier darah-testis dapat ditembus oleh beberapa mekanisme yang

menyebabkan terpaparnya sirkulasi oleh antigen sperma sehingga menyebabkan

respons imun yang menimbulkan reaksi radang dan pembentukan antibodi

antisperma. Obstruksi mekanis traktus genitalia dapat terjadi akibat kelainan

kongenital, vasektomi, atau trauma. Ekstravasasi sperma dapat dijumpai pada pria

setelah dilakukan vasektomi. Beberapa penelitian mendapatkan 50%-70% laki-laki

tersebut mempunyai antibodi antisperma serum (+). Sebagian besar laki-laki yang

mengalami vasovasostomi dan sebagian kecil laki-laki infertil mempunyai antibodi

antisperma dalam plasma semennya. Antibodi ini biasanya terdiri dari subklas IgG

atau IgA yang aka melekat pada sperma dan mempengaruhi fertilitas.3,5,17

Organisme penyebab penyakit yang ditularkan secara seksual merupakan initiator

pembentukan antibodi antisperma melalui mekanisme proses radang dan autoimun.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa beberapa bakteri, virus dan jamur dapat

mencapai membran luar sperma yang berfungsi sebagai antigen atau hapten yang

menimbulkan respons imun. Pembentukan antibodi antisperma juga terjadi sebagai

akibat adanya radang lokal setelah infeksi genital pada seorang wanita.3

Pembentukan antibodi antisperma pada wanita dapat terjadi pada traktus genitalia

wanita yang terpapar antigen sperma. Seorang wanita yang aktif secara seksual akan

terpapar triliunan speermatozoa selama hidupnya. Fertilitas akan baik bila wanita

tersebut memberikan reaksi imun yang kompromistik. Proses imunisasi yang (akibat

hubungan seksual) pada wanita terhadap sperma dapat menurunkan fertilitas

berdasarkan kemungkinan kombinasi efek antibodi antisperma seperti aglutinasi

sperma, menurunnya motilitas, gagalnya penetrasi lendir serviks, fusi sperma telur

yang tidak efisien, fagositosis sperma, dan gagalnya kehamilan sebelum atau sesudah

implantasi. Antibodi terhadap intrinsik sperma yang dihasilkan saat maturasi dalam

testis dan antigen kapsul sperma yang muncul selama dalam epididimis dan saat

bercampur dengan plasma semen berhubungan dengan infertilitas yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya (unexplained infertility).3,5

Sperma yang mencapai cavum peritonium juga dapat menginduksi pembentukan

antibodi antisperma serum melalui fagositosis makrofag dan presentasi sel T untuk

menimbulkan respon imun. Pembentukan antibodi antisperma juga dapat terjadi

akibat radang lokal pada genitalia wanita. Cunningham dkk, mencari prevalensi

antibodi antisperma pada wanita nulligravid usia reproduksi dengan berbagai proses

infeksi ginekologis. 46 % wanita didiagnosis dengan penyakit radang pelvis (PID)

(n=81) mempunyai antibodi antisperma (+) pada serum dan cairan serviks

dibandingkan prevalensi antibodi antisperma (+) 20% pada wanita dengan infeksi

genital bagian bawah ( jamur,klamidia, bakteri, n=86). Antibodi antisperma juga

ditemukan pada 69% wanita yang dilaparoskopi pada wanita dengan perlengketan

dipelvis atau hidrosalping tanpa riwayat PID.3

DETEKSI ANTIBODI PADA PASANGAN INFERTIL

Deteksi antibodi antisperma dapat dilakukan secara langsung terhadap antibodi yang

terikat pada sperma atau tidak langsung mengukur antibodi dalam cairan (serum,

semen, sekret vagina atau serviks atau cairan lain ). Diantara metode lain uji Kibrick,

uji Isojima, uji Kremer & Jager, imunobead assays (IBD), mixid antiglobulin reaction

(MAR) test, ELISA, tray agglutination test (TAT), Sperm immobilization assay test,

flow cytometry, dan radiolabeled agglutinin assays.3,11

Uji Kibrick ( sperm aglutination test)

Pemeriksaan ini untuk menentukan adanya aglutinasi sperma dalam serum. Semen

normal yang segar diencerkan dengan Baker’s buffer sampai tercapai kepekatan 40

juta per mil. Suspensi sperma ini kemudian dicampur dengan 10% larutan gelatin

dalam Baker’s buffer dalam jumlah yang sama, keduanya dalam suhu 370 C. Serum

yang akan diperiksa dan serum kontrol negatif dipanaskan pada suhu 560 C selama 30

menit untuk menginaktifkan komplemen. Kemudian dibuat pengenceran serum yang

diperiksa, dimulai dengan 1:4, 1:8, 1:16, dan seterusnya. Sebanyak 0,2 ml suspensi

sperma dalam gelatin dicampur dengan 0,2 ml serum inaktif. Campuran tersebut

kemudian dipindahkan pada tabung Kibrick yang berukuran 5 x 65 mm dan

diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 2 jam. Secara mikroskopis, suatu reaksi positif

terlihat sebagai gumpalan-gumpalan putih diantara media yang bening, yang berasal

dari sperma yang teraglutinasi.11

Uji Isojima (Sperm immobilization test)

Immobilisasi sperma yang tergantung komplemen merupakan dasar dari test antibodi

sperma ini. Interaksi antara molekul antibodi dan antigen sperma mengaktifkan

sistem komplemen dan mengganggu permeabilitas dan integritas membran sel sperma

(akrosom dan bagian tengah). Pengaruh yang dapat dilihat secara mikroskopik adalah

hilangnya motilitas sperma diikuti kematian sel. Aktivitas immobilisasi sperma

terletak pada faksi IgG dan IgM dari semen yang positif yang dapt digunakan sebagai

dasar pemeriksaan aktivitas antisperma humoral. Tes immobilisasi sperma ini adalah

suatu metode pilihan untuk skrining antibodi serum wanita dan juga dapat dikerjakan

pada pemeriksaan antibodi serviks. Spermatozoa yang digunakan dalam tes

immobilisasi ini haruslah sperma yang baru diejakulasikan dengan kualitas yang baik.

Serum yang digunakan masih segar.2

Serum penderita dipanaskan pada suhu 56 0 C selama 20 menit untuk

mengaktifkan komplemen, kedalam 0,25 ml serum percobaan yang inaktif tersebut

dimasukkan 0,025 ml semen yang segar yang telah disesuaikan jumlah spermanya

sebanyak 60 juta per ml. Kedalamnya ditambahkan pula 0,05 ml serum manusia

sebagai komplemen. Campuran tersebut diinkubasi dalam penangas air pada 320 C

yang lebih sesuai dengan temperatur testis dalam skrotum. Sebagai kontrol 0,025 ml

serum manusia inaktif tanpa aktivitas imobilisasi 0,05 ml larutan komplemen dan

0,025 ml suspensi sperma dicampurkan dan diinkubasi.

Setelah 60 menit, 1 tetes dari campuran diletakkan pada gelas objek dasn motilitas

sperma dilihat dibawah mikroskop, dihitung jumlah sperma motil diantara 50

spermatozoa. Cara ini diulangi sampai 40 lapangan pandangan. Persentase sperma

motil diantara 200 spermatozoa dihitung sebagai T% dan kontrol sebagai C%. Nilai

ini imobilitas dihitung sebagai C/T. Hasil dianggap positif apabila T kurang dari ½

C.11

Uji Kremer & Jager ( Tes kontak sperma-cairan serviks)

Tes ini pertama kali dilakukan oleh Kremer dan Jager untuk melihat antibodi lokal

pada pasangan infertil. Hasil positif menunjukkan adanya antibodi antisperma baik

pada seman, cairan serviks atau keduanya. Tas ini sangat bernilai untuk mendeteksi

antibodi lokal dan juga cocok untuk uji silang. Setetes lendir istri praovulasi dengan

tanda-tanda pengaruh estrogen yang baik dan pH lebih dari 7 diletakkan pada sebuah

gelas objek disamping stetes air mani suami. Kedua tetesan itu dicampur dan diaduk

dengan sebuah gelas penutup, yang kemudian dipakai untuk menutup campuran itu.

Setetes air mani yang sama diletakkan pada gelas objek itu juga, kemudian ditutup

dengan gelas penutup. Penilaian dilakukan dengan membandingkan mobilitas

spermatozoa dari kedua sediaan itu. Sediaan itu kemudian disimpan kedalam tatakan

peetri yang lembab, pad suhu kamar selama 30 menit, untuk kemudian diamati lagi.

Menurut Kremer & Jager, pada ejakulat dengan autoimunisasi, gerakan maju

spermatozoa akan berubah menjadi terhenti atau gemetaran ditempat (shaking

movement) kalau bersinggungan dengan lendir serviks. Perangai gemetar ditempat ini

terjadi juga kalu air mani yang normal bersingggungan dengan lendir serviks wanita

yang serumnya mengandung antibodi terhadap spermatozoa.2,11

Indirect immunobead binding (IBD) test

Tes ini menggunakan butir (bead) poliakrilimida yang berikatan dengan

antiimunoglobulin spesifik butir tersebut kemudian dicampur dengan sperma segar

yang viabel dan dicuci atau tidak dicuci. Sampel semen dengan antibodi antisperma

(+) dari donor dan disiapkan dengan cara/metode renang atas untuk mendapatkan

sperma yang mengandung ± 50 x 106/ml sperma motil. Sepuluh mikroliter plasma

semen masing-masing dilarutkan dalam 40 μL phosphate buffered saline (PBS)

ditambah dengan 5% (50g/L) albumin serum sapi (BSA) dalam tabung Effendorp,

dan 50 μL suspensi sperma ditambahkan pada masing-masing tabung dan dicampur

secara hati-hati. Sampel kemudian diinkubasi pada suhu 37 0C selama 60 menit dan

kemudian disentrifus selama 5 menit pada putaran 500 putaran permenit. Supernataan

dibuang dan endapan sperma dicampur lagi dengan 500 μL PBS + 0,4% BSA dan

disentrifus selama 5 menit pada 500 ppm. Supernatan dibuang dan enadpan sperma

dilarutkan lagi dengan 50 μL PBS segar ditambah 5% BSA.16,18

Dengan 2 slide yang berbeda 5 μL suspensi sperma tadi dicampur dengan 5 μL

immunobead GAM yang mengandung campuran imunoglobulin antihuman

immunobead (IgG, IgA, dan IgM). Slide kemudian diinkubasi selama 10 menit dan

kemudian diperiksa dengan pembesaran 400 kali dengan mikroskop kontras.

Setidaknya 200 sperma motil dihitung, dikelompokkan menjadi 2, yang dengan

dempet imunobead (immunobead attached) dan tanpa dempet imunobead. Lokalisasi

band bead juga diperiksa (misalnya kepala, midpiece, ekor an ujung ekor).16,18

Peersentase sperma yang motil dengan GAM imunobead dihitung. Tes dikatakan

positif bila ≥ 20% sperma motil mempunyai bead attache dan secara klinik bermakna

bila ≥ 50% dilapisi bead. Keuntungan tes ini adalah bersifat semikuantitaf, mampu

mendeteksi isotif dan lokasi fisik ASA, baik dalam hal sensitivitas dan spesifisitas.

Sedangkan kerugiannya yaitu membutuhkan staf yang trampil, mahal, memerlukan

waktu yang banyak, dan sulit dalam interpretasi. Beberapa metode lain yang

dikembangkan dari metode ini yaitu modifikasi metode imunobead (modified

immunobead method), dan mixed immunobead screen.3,16,18,19

Mixed antiglobulin reaction (MAR) test

Eritrosit golongan darah O dengan Rh-positif dilapisi oleh IgG atau IgA, dicampur

dengan sperma viabel yang dicuci ataupun tidak dicuci. Antiserum yang spesifik

terhadap imunoglobulin pada eritrosit ditambahkan, dan akan terjadi aglutinasi

sperma eritrosit bila ada antibodi antisperma. Aglutinasi ini dapat dinilai secara

semikuantitatif dengan menggunakan mikroskop.3

Elisa (enzym linked immunosorbent assay)

Antibodi spesifik dapat diikat oleh suatu enzim. Komplek antibodi-enzim

imunoglobulin adpat dideteksi dengan menambahkan subsrat enzim spesifik, yang

biasanya menghasilkan perubahan warna. Keuntungan metode ini adalah spesifik dan

kuantitatif.20

Tray aglutination test (TAT)

TAT dignakan untuk mendeteksi adanya antibodi anti sperma dalam serum atau

semen pasien. Cairan yang akan diperiksa dilarutkan secara serial setelah dilakukan

pemanasan untuk menginaktivasi komplemen. Kemudian ditambahkan sperma motil

yang dicuci dari donor yang sehat kedalam contoh cairaan. Persentase aglutinasi

sperma dihitung dengan bantuan mikroskop cahaya.3

Gelatin aglutination test

Pada test ini spermatozoa motil dicampur dengan medium gelatin dan sperma atau

cairan ditambahkan kedalam campuran tersebut secara serial. Aglutinasi dapat dilihat

secara mikroskopik. Tes ini digunakan secara luas pada suami pasangan infertil,

sedangkan penggunaan paad isteri kurang memberikan hasil yang baik. Walaupun

tidak dianjurkan lagi aktivitas aglutinasi gelatin terletaak pada IgG, IgA daan IgM.

Metode ini membutuhkan kontrol dan interpretasi yang teliti.2

Teknik immunofluresens

Pemeriksaan ini terdiri dari tiga langkah dasar, Subsrat antigen disiapkan dengan cara

membuat apusan spermatozoa yang dikeringkan diudara. Sediaan kemudian ditetesi

serum yang diperiksa (atau cairan serviks atau plasma semen) dan dilakukan

pemeriksaan imunofluresens terhadap imunoglobulin. Reaksi antigen antibodi antara

semen dan cairan saluran reproduksi dan sel-sel sperma dapat dilihat dan dilokalisasi

secara makroskopik dan penampakannya berhubungan dengan anatomi spermatozoa.2

Reaksi pewarnaan yang lemah pada kasus yang meragukan seringkali didapatkan

dan hasil yang dianggap positif bila diadpatkan pada pengenceran lebih dari 1/16.

Beberapa bagian sperma seperti kutub, leher dan bagian tengah adalah tempet yang

menimbulkan warna nonspesifik. Antibodi antisperma dalam darah bereaksi pada

teknik imunofluoresens hanya terhadap antigen diakrosom dan ekor. Pewarnaan

akrosom terjadi karena adanya antibodi IgM dan IgG, dan pewarnaan pada ekor

utama hampir selalu disebabkan oleh IgG. Sedangkan pewarnaan pada ujung ekor

disebabkan oleh adanya antibodi IgM.2

Flow cytometry

Sampel plasma semen sebanyak 50 μL dicampur dengan 40 μL PBS ditambah 5%

albumin serum goat. Sepuluh mikroliter suspensi sperma yang disiapkan dengan

metode renang atas dari donor dengan antibodi anti sperma (-) mengandung ±

125.000 sperma motil ditambahkan pada tiap sampel. Kontrol menggunakan sampel

yang diketahui positif atau negatif terhadap ASA.19

Setelah inkubasi paada suhu 370 C daalam inkubator yang mengandung CO2 5%

selama 1 jam, sperma dicuci sebanyak 2 kali untuk menghilangkan antibodi yang

tidak terikat. Satu mililiter PBS ditambahkan dan campuran digoyang-goyang teratur.

Tabung kemudian disentrifus selama 5 menit pada 500 ppm dan supernatan

dipisahkan. Endapan sperma dicampur lagi dengan 1 ml PBS dan kemudian dicuci

ulang. Setelah disentrifus, endapan diencerkan lagi dengan 50 μL larutan fluoresens

isotiosianat konjugat (FITC) yang mengandung imunoglobulin IgA, IgG, IgM dan

diinkubasi selama 1 jam pada suhu 40 C dan terhindar dari sinar. Antibodi yang tidak

terikat dihilangkan dengan mencuci menggunakan PBS sebanyak 2 kali dan sperma

dianalisis dengan flow cytometry.19

Sebanyak ± 5000 sperma dianalisis dari tiap sampel menggunakan histogram.

Dihitung berapa persen sperma yang dilapisi antibodi. Bila < 20% dikatakan negatif

dan bila ≥ 20% dikatakan positif. 19

Berdasarkan hasil, metode, dan ketelitian pemeriksaan antibodi antisperma,

beberapa petunjuk untuk langkah pemeriksaan pasangan pasangan infertil dengan

kemungkinan adanya faktor imunologi telah diusulkan oleh Jones. Ia membuat suatu

pedoman meliputi :

1. Tes imobilisasi sperma cocok sebagai tes untuk skrining terhadap adanya antibodi

suami atau isteri dan juga dapat digunakan untuk pemeriksaan lendir serviks.

2. tes kontak sperma – lendir serviks untuk melihat faktor imunologis lokal. Dengan

uji silang menggunakan sperma atau lendir serviks donor dapat ditentukan apakah

aktivitas antibodi berasal dari isteri atau suami.

3. Tes aglutinasi dengan gelatin cocok digunakan untuk suami, khususnya plasma

semen, tapi memerlukan interpretasi yang teliti.

4. Antibodi lokal (SIgA) tidak dapat dideteksi pada lendir serviks dan plasma semen

dengan tes konvensional untuk antibodi antisperma serum.

5. Tes mikroaglutinasi sperma sebaiknya dihindarkan.

6. Tes menggunakan mikroskop imunofluoresens tak langsung bukan merupakan tes

rutin, tapi mungkin bermanfaat untuk menilai sifat reaksi antigen-antibodi dalam

suatu penelitian.2

PENGOBATAN

Ada tiga strategi dasar dalam penanganan pasangan infertil karena imunologi ini yaitu

1. menurunkan produksi ASA, 2. Menghilangkan antibodi antisperma yang terikat

pada sperma, dan 3. ART (Assisted reproductive technology). Ketiga sterategi ini

secara teoritis menurunkan paparan gamet oleh antibodi antisperma yang akan

meningkatkan fungsi gamet. Sedangkan Alexander mengajukan 3 pilihan terapi yaitu

1. Inseminasi dengan sperma donor, 2. Terapi imunosupresif, dan 3. Manipulasi

sperma. 3,5

Ada hubugan antara antibodi antisperma dan ART. Walaupun ART digunakan

untuk pengobatan ASA, antibodi antisperma mungkin mempunyai efek merusak

ART. Beberapa penelitian antara lain penggunaan intra uterine insemination,

intracervical insemination (ICI), in vitro fertiliztion (IVF), gamete intrafallopian tube

transfer (GIFT), subzonal sperm injection (SUZI) dan intracytoplasmic sperm

injection (ICSI).3,21

Terapi oklusi

Di sini suami menggunakan kondom selama 6-9 bulan bila isteri mempunyai bukti

faktor imunologis sebagai penyebab infertilitasnya. Ada yang menganjurkan 6-12

bulan. Tujuannya adalah untuk mengurangi titer antibodi antispermatozoa dengan

mencegah pengulangan stimulasi antigenik. Uji imunologi harus diulang setiap 3

bulan sehingga menjadi negatif atau titernya menjadi 1:4 atau kurang. Terapi ini tidak

memberikan hasil yang memuaskan pada isteri yang mempunyai antibodi antisperma

dalam serumnya. Terapi ini lebih rasional bila diberikan pada pasien dengan adanya

faktor imunologik lokal (lendir serviks). Franklin dan Dukes melaporkan bahwa

kondom efektif untuk beberapa pasien. Tetapi menurut Aiman tidak ada bukti yang

menyakinkan untuk pemakaian kondom ini. 2,3,11,22

Inseminasi intrauterin

Inseminasi intrauterin terutama diberikan bila terbukti adanya antibodi antisperma

lokal pada lendir serviks yang menyebabkan kegagalan penetrasi lendir serviks oleh

sperma. Memang indikasi inseminasi ini masih kontroversi karena beragamnya hasil

yang dilaporkan. Angka keberhasilan dengan metode ini berkisar antara 20-30%.

Francavilla dkk dalam penelitiannya tidak berhasil melakukan inseminasi intrauterin

ini dimana spermatozoa yang digunakan semuanya berikatan dengan antibodi.

Sedangkan Rojas dalam penelitiannya terhadap 41 orang yang dilakukan inseminasi

dengan menggunakan sperma yang dicuci hanya mendapatkan insidens antibodi

antisperma (+) pada 2 pasien (4,8%).3,21,24

Terapi imunosupresif/kortikosteroid

Terapi kortikosteroid dapat diharapkan menurunkan produksi ASA. Suami diberikan

20 mg prednisolon selama 10 hari pertama sesuai siklus isteri dan 5 mg/hari pada hari

ke 11-12 selama 3 siklus. Ada juga peneliti yang menggunakan metilprednisolon.3

Lahteenmaki membandingkan efektivitas pemberian prednisolon oral dengan

inseminasi intrauteri pada 46 pasangan dengan antibodi antisperma (+) pada suami.

Suami diberi prednisolon 20 mg/hari selama 10 hari ditambah 5 mg/hari pada hari ke

11-12 selama 3 siklus. Namun pada penelitian ini ia berkesimpulan bahwa inseminasi

lebih baik dibandingkan terapi steroid pada suami.3

Penelitian lain yaitu membandingkan 30 pasangan dengan antibodi antisperma

suami positif yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama diberikan steroid

oral selama 4 bulan dan dilakukan inseminasi, sedangkan kelompok kedua

diberikansteroid selama 4 bulan dan diberikan jadwal hubungan suami isteri. Steroid

yang diberikan yaitu prednisolon selama 4 bulan dan diberikan jadwal hubungan

suami isteri. Steroid yang diberikan yaitu prednisolon selama 10 hari pertama siklus

istri dan 10 mg pada hari ke11 dan 12. Didapatkan tingkat kehamilan pada kelompok

pertama sebesar 39,4 % dan kelompok kedua 4,8%. Memang disini masih belum jelas

apakah faktor steroid berperan dalam tingginya tingkat kehamilan karena masih ada

faktor lain yaitu keadaan superovulasi, bypass terhadap lendir serviks atau perbaikan

lingkungan uterus. Beberapa efek samping pemakaian imunosupresif ini antara lain

nekrosis aseptik sendi paha, kambuhnya ulkus duodenal. 3,5

Pencucian spermatozoa

Metode ini merupakan salah satu metode menghilangkan antibodi antisperma yang

terikat pada sperma. Disini sperma dari suami dicuci beberapa kali dengan buffer

fisiologik yang ditambah serum/albumin manusia 5-10%. Spermatozoa yang telah

dicuci diinseminasi kekanalis servikalis atau kavum uteri isteri. Kualitas sperma yang

baik penting sekali dalam metode ini.11

Penambahan protease IgA

Bronson menemukan bahwa porsi Fc pada antibodi antisperma imunoglobulin

bertanggung jawab dalam menghambat penetrasi sperma kedalam lendir serviks. Ia

berasumsi bahwa IgA protese yang melepaskan porsi Fc dapat meningkatkan

penetrasi lendir serviks. Lebih lanjut Kutteh dan kawan-kawan menambahkan

protease IgA pada campuran antibodi antisperma (-) dan antibodi antisperma (+) pada

lendir serviks. Pada kelompok protease terdapat penurunan 81% pengikatan sperma

oleh ASA.3

Penggunaan heparin dan aspirin

Pada keadaan infertilitas yang disebabkan adanya faktor autoimum dimana

didapatkan antibodi antifosfolipid beberapa peneliti menggunakan heparin dan aspirin

sebagai obat yang digunakan. Sher mendapatkan tingkat kehamilan sebesar 49% pada

kelompok terapi dan hanya 16% pada kelompok non terapi. Kutteh dkk melaporkan

bahwa penggunaan heparin dasn aspirin dosis rendah lebih bik dibandingkan hanya

menggunakan aspirin saja. Ia mendapatkan angka kehamilan 44% pada kelompok

aspirin dan 80% pada kelompok aspirin ditambah heparin. Balasch dengan

menggunakan aspirin 100 mg perhari mulai 1 bulan sebelum konsepsi sampai selama

kehamilan dapat meningkatkan angka keberhasilan kehamilan dari 6,1% sampai

90,5%. Wada dkk juga berhasil meningkatkan tingkat kehamilan dengan

menggunakan aspirin 150 mg atau 300 mg dalam penelitiannya.13

RINGKASAN

Salah satu penyebab penting infertilitas adalah faktor imunologi, khususnya pada

kasus-kasus dengan infertilitas yang sebabnya tidak jelas. Reaksi imunologi pada

pasangan infertil disebabkan oleh adanya antigen pada sperma yang menyebabkan

timbulnya antibodi antisperma baik pada suami maupun pada istri. Antibodi

antisperma ini dapat menyebabkan infertilitas melalui 2 mekanisme yaitu melalui

aktivitas aglutinasi dan aktivitas imobilisasi sehingga akhirnya sperma tidak dapat

mencapai tuba untuk membuahi ovum.

Beberapa tes untuk mendeteksi adanya antibodi antisperma dalam serum atau

dalam lendir serviks yang penting adalah uji aglutinasi sperma, uji imobilisasi

sperma, uji kontak sperma-lendir serviks, dan beberapa pemeriksaan lain yang

memerlukan alat dan bahan yang lebih canggih.

Tujuan pengobatan pada kasus pasangan infertil dengan sebab faktor imunologi ini

(adanya antibodi antisperma dengan titer tinggi) adalah untuk menurunkan titer

antibodi tersebut yaitu dengan jalan metode oklusi menggunakan kondom, metode

inseminasi intrauterin, metode imunosupresi menggunakan obat kortikosteroid,

metode pencucian sperma, penambahan protease IgA, dan penggunaan heparin dan

aspirin.

RUJUKAN

1. Sumapraja S. Pemeriksaan pasangan infertil. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA.

Manual infertilitas. Jakarta : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia,

1985 : 1-44

2. Jones WR. Immunologic infertility-fact or fiction ? Fertil steril 1980 ; 33: 577- 586

3. Mazumdar S, Levine AS. Antisperm antibodies: ertiology, pathogenesis, diagnosis, and

treatment. Fertil Steril 1998; 70: 799-810

4. Stern JE, Dixon PM, Manganiello PD, Johnsen TB. Antisperm antibodies in women:

variability in antibody levels in serum, mucus, and peritoneal fluid. Fertil Steril 1992; 58:

950-958

5. Alexander NJ, Anderson DJ. Immunology of semen. Fertil Steril 1987; 47 : 192-201

6. Snow K, Ball GD. Characterization of human sperm antigens and antisperm antibodies in

infertile patients. Fertil Steril 1992; 58: 1011-1019

7. Sumapraja S. Infertilitas. Dalam : Prawiroharjo S. Ilmu kandungan. Cetakan kelima.

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prwirohardjo, 1991: 426-463

8. Ingerslev M. Clinical findings in infertile women with circulating antibodies against

spermatozoa. Fertil Steril 1980; 33: 514-520

9. Soejoenoes A. Faktor uterus. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA. Manual infertilitas.

Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1985: 95-102

10. Moghissi KS, Sacco AG, Borin K. Immunologic infertility. Am J Obstet Gynecol 1980;

136: 941-947

11. Hanafiah MJ. Faktor serviks dan imunologi. Dalam : Sumapraja S, Moeloek FA. Manual

infertilitas. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1985 : 65-94

12. Kresno SB. Imuologi : diagnosis dan prosedur laboratorium. Ed 3. Jakarta : Balai

penerbit FKUI, 1996: 3-35

13. Geva E, Amit A, Geva LL, Lessing JB. Autoimmunity and reproduction. Fertil Steril

1997; 67: 599-611

14. Kaplan P, Naz RK. The fertilization antigen-1 does not have proteolytic/acrosin activity,

but its monoclonal antibody inibits sperm capacitation and acrosome reaction. Fertil

Steril 1992; 58: 396-402

15. Shai S, Naot Y. Identification of human sperm antigens reacting with antisperm

antibodies from sera and genital trac secretions. Fertil Steril 1992; 58: 593-598

16. Evans ML, Chan PJ, Patton WC, Kirg A. A convenient mixed immunobeads screen for

antisperm antibodies during routine semen analysis. Fertil Steril 1998;70:344-349

17. Pavia CS, Stites DP. Reproductive immunology. In stites DP, Stobo JD, Fudenberg HH,

Wels JV. Basic and Clinical Immunology. 5 th edition. Singapore: Maruzen Asia, 1984:

682-692

18. Shulman S, Hu C. A study of the detection of sperm antibody in cervical mucus with a

modified immunobead method. Fertil Steril 1992; 58: 387-391

19. Nicholson SC, Robinson JN, Sargent IL, Barlow DH. Detection of sperm antibodies in

seminal plasma by flow cytometry: comparison with the indiect immunobead binding

test. Fertil Steril 1997; 68: 1114-1119

20. Shai S, Yoseph NB, Peer E, Naot Y. A reverse (antibody capture) enzyme-linked

immunosorbent assay for detection of antisperm antibodies in sera and genital tract

secretions. Fertil Steril 1990; 54: 894-901

21. Aiman J. Infertilitas. Dalam : Duenhoelter JH. Ginekologi Greenhill. Edisi 10. Jakarta :

EGC, 1989: 210-244

22. Francavilla F, Romano R, Santucci R, Marrone V, Corrao G, Failure of intrauterine

insemination in male immunological infertility in cases in which all spermatozoa are

antibody-coated. Fertil Steril 1992; 58: 587-592

23. Rojas IM, Rojas FJ, Leisure M, Stone SC, Asch RH. Intrauterine insemination with

washed human spermatozoa does not induce formation of antisperm antibodies. Ferti

Steril 1990; 53: 180-182

24. Livi C, Coccia E, Versari L, Pratesi S, Buzzoni P. Does intraperitoneal insemination in

the absence of prior sensitization carry with it a risk of subsequent immunity to sperm?

Fertil Steril 1990; 53: 137-142