Penanganan Infertilitas Primer

37
PENANGANAN INFERTILITAS PRIMER A. PENDAHULUAN Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi, tetapi belum memperoleh kehamilan. Pada prinsipnya masalah yang terkait dengan infertilitas ini dapat dibagi berdasarkan masalah yang sering dijumpai pada perempuan dan masalah yang sering dijumpai pada lelaki. Mengingat faktor usia meruapakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, maka bagi perempuan berusia 35 tahun atau lebih tentu tidak perlu harus menunggu selama 1 tahun. Minimal enam bulan sudah cukup bagi pasien dengan masalah infertilitas untuk dating ke dokter untuk melakukan pemeriksaan dasar. 1 Infertilitas dikatakan sebagai infertilitas primer jika sebelumnya pasangan suami istri belum pernah mengalami kehamilan. Sementara itu, dikatakan sebagai infertilitas sekunder jika pasangan suami istri gagal untuk memperolah kehamilan setelah satu tahun pasca persalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apapun. 1 B. EPIDEMIOLOGI Prevalensi wanita yang didiagnosis dengan infertilitas, kira-kira 13%, dengan jangkauan 7-28%, tergantung pada usia 1

Transcript of Penanganan Infertilitas Primer

PENANGANAN INFERTILITAS PRIMER

A. PENDAHULUAN

Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri yang telah

menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur, tanpa

menggunakan kontrasepsi, tetapi belum memperoleh kehamilan. Pada prinsipnya masalah

yang terkait dengan infertilitas ini dapat dibagi berdasarkan masalah yang sering dijumpai

pada perempuan dan masalah yang sering dijumpai pada lelaki. Mengingat faktor usia

meruapakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, maka bagi

perempuan berusia 35 tahun atau lebih tentu tidak perlu harus menunggu selama 1 tahun.

Minimal enam bulan sudah cukup bagi pasien dengan masalah infertilitas untuk dating ke

dokter untuk melakukan pemeriksaan dasar.1

Infertilitas dikatakan sebagai infertilitas primer jika sebelumnya pasangan suami

istri belum pernah mengalami kehamilan. Sementara itu, dikatakan sebagai infertilitas

sekunder jika pasangan suami istri gagal untuk memperolah kehamilan setelah satu tahun

pasca persalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apapun.1

B. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi wanita yang didiagnosis dengan infertilitas, kira-kira 13%, dengan

jangkauan 7-28%, tergantung pada usia seorang wanita. Dan prevalensi ini cenderung

stabil selama 40 tahun terakhir; etnis atau ras memiliki pengaruh yang kecil pada

prevalensi. Namun, insidensi dari infertilitas primer telah meningkat, bersamaan dengan

penurunan insidensi infertilitas sekunder, yang kemungkinan besar akibat perubahan sosial

seperti penundaan kehamilan.2

Data yang berasal dari National Survey of Family Growth tahun 1995

mengungkapkan bahwa 7% dari pasangan yang sudah menikah, di mana pasangan wanita

adalah usia reproduksi, tidak mendapatkan kehamilan setelah 12 bulan melakukan

hubungan seksual tanpa kontrasepsi. Selain itu, 15% dari wanita usia reproduksi dilaporkan

telah menerima pelayanan infertilitas dalam hidup mereka. Dalam beberapa tahun terakhir,

permintaan pelayanan infertilitas telah meningkat, terutama di negara-negara Barat. Alasan

utama hal ini adalah kecenderungan wanita untuk kehadiran seorang anak karena karir

1

pekerjaan. Faktor-faktor lainnya, antara lain adanya peningkatan dan efektivitas berbagai

metode assisted reproductive technology (ART), kesadaran masyarakat yang semakin

tinggi berkaitan dengan penanganan infertilitas, peningkatan jumlah infertilitas akibat

faktor tuba sebagai konsekuensi dari penyakit menular seksual, dan tersedianya alat

kontrasepsi yang efektif, dan peningkatan ketersediaan pelayanan aborsi.3

C. ETIOLOGI

1. Faktor Pria

Penyebab infertilitas pada pria dapat dibagi menjadi 3 kategori utama, yaitu:4

a. Gangguan produksi sperma, misalnya akibat kegagalan testis primer

(hipergonadotropik hipogonadisme) yang disebabkan oleh faktor genetik

(Sindroma Klinefelter, mikrodelesi kromosom Y) atau kerusakan langsung lainnya

terkait anatomi (cryptorchidism, varikokel), infeksi (mumps orchitis), atau

gonadotoksin. Stimulasi gonadotropin yang tidak adekuat yang disebabkan karena

faktor genetik (isolated gonadotropin deficiency), efek langsung maupun tidak

langsung dari tumor hipotalamus atau pituitari, atau penggunaan androgen

eksogen, misalnya Danazol, Metiltestosteron (penekanan pada sekresi

gonadotropin) merupakan penyebab lain dari produksi sperma yang buruk.4

b. Gangguan fungsi sperma, misalnya akibat antibodi antisperma, radang saluran

genital (prostatitis), varikokel, kegagalan reaksi akrosom, ketidaknormalan

biokimia, atau gangguan dengan perlengketan sperma (ke zona pelusida) atau

penetrasi.4

c. Sumbatan pada duktus, misalnya akibat vasektomi, tidak adanya vas deferens

bilateral, atau sumbatan kongenital atau yang didapat (acquired) pada epididimis

atau duktus ejakulatorius.4

2. Faktor Wanita

Penyebab infertilitas pada wanita dapat dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain:

serviks dan uterus, ovarium, tuba, dan lainnya.5

a. Faktor infertilitas yang berasal dari serviks

Faktor infertilitas yang berasal dari serviks dapat disebabkan oleh stenosis atau

abnormalitas dari interaksi mukus dan sperma. Serviks uteri memiliki peran yang

sangat penting dari segi kemampuan transportasi sperma setelah berhubungan

2

seksual. Kira-kira 5-10% faktor yang berasal dari serviks uteri dapat menyebabkan

infertilitas. Sekresi mukus dapat mengalami perubahan karena adanya perubahan

hormon dan pengaruh obat-obatan, yang dapat menurunkan produksi mukus.

Hipoestrogenisme dapat menyebabkan penebalan mukus serviks, yang dapat

menghalangi perjalanan dari sperma. Stenosis servikal dapat menyebabkan

infertilitas dengan menghalangi perjalanan sperma dari serviks ke cavum

intrauterine. Stenosis servikal dapat berupa kongenital atau didapat, seperti akibat

prosedur pembedahan, infeksi, hipoestrogenisme, dan terapi radiasi.5,6

b. Faktor infertilitas yang berasal dari uterus

Uterus merupakan tujuan akhir dari embrio dan merupakan tempat

berkembangnya fetus sampai dilahirkan. Oleh karena itu, uterus dapat

diasosiasikan dengan infertilitas primer atau keguguran dan persalinan premature.

Faktor uterus dapat berupa kongenital atau didapat. Mereka dapat merusak

endometrium atau myometrium dan bertanggung jawab pada sekitar 2-5%

infertilitas. Kelainan kongenital, dapat berupa kelainan perkembangan dari duktus

mulleri yang berperan dalam konfigurasi anatomik uterus, tuba fallopi, serviks,

dan bagian atas vagina. Kelainan perkembangan duktus mulleri bervariasi dari

tidak terdapatnya uterus dan vagina (sindrom Rokitansky-Kuster-Hauser) sampai

ke defek minor seperti uterus arkuata dan adanya septum pada vagina (transversal

dan longitudinal). Persalinan premature dapat diasosiasikan dengan inkompetensi

serviks dan uterus yang bersepta. Uterus yang bersepta juga dapat menyebabkan

masalah implantasi dan miscarriage pada trimester pertama. Sedangkan, kelainan

uterus yang didapat dapat berupa endometritis yang berhubungan dengan trauma,

dilatasi dan kuretase, alat kontrasepsi dalam rahim, atau instrumentasi lainnya

(miomektomi, histeroskopi) pada cavum endometrium yang dapat menyebabkan

adhesi dan sinekia intrauterine (sindrom Asherman), dengan obliterasi total dan

parsial pada cavum endometrium.5

c. Faktor infertilitas yang berasal dari ovarium

Disfungsi ovulasi merupakan perubahan pada frekuensi dan durasi dari siklus

menstruasi. Gagalnya ovulasi terjadi merupakan penyebab tersering dari

infertilitas. Absennya ovulasi dapat dihubungkan dengan amenore primer,

amenore sekunder, atau oligomenore.5

3

d. Usia yang meningkat

Prevalensi infertilitas meningkat secara dramatis seiring dengan meningkatnya

usai. Lebih lanjut lagi, fertilitas menurun seiring dengan lamanya durasi

pernikahan karena frekuensi berhubungan seksual yang rendah dan/atau

penggunaan kontrasepsi. Penelitian mengatakan bahwa fertilitas akan stabil

sampai usia 36 tahun, menurun perlahan sampai usia 4 tahun, dan menurun drastis

setelah usia 42 tahun.5

e. Faktor infertilitas yang berasal dari tuba

Kelainan atau kerusakan pada tuba fallopi dapat mempengaruhi fertilitas dan

bertanggung jawab pada implantasi yang abnormal (kehamilan ektopik). Obstruksi

pada distal tuba falopi menyebabkan akumulasi cairan tuba, menyebabkan distensi

pada tuba yang mengakibatkan kerusakan silia epitel (hidrosalfing).5

f. Faktor infertilitas yang berasal dari peritoneal

1) Penyakit radang panggul, berhubungan dengan infeksi gonorrhea atau

klamidia, dapat dikonfirmasi dengan kultur serviks dan antibodi serologis

untuk gonorrhea and klamidia.5,6

2) Endometriosis

Endometriosis klasik tampak sebagai pigmen hitam-kebiruan (seperti lesi

“powder-burn”) pada permukaan kandung kemih, ovarium, tuba falopi,

kantong rekto-uterina, dan usus besar. Endometriosis non klasik tampak

seperti lesi dan vesikel merah, coklat, atau putih. Endometriosis berat dengan

kerusakan tuba falopi dan ovarium menyebabkan adhesi atau munculnya

endometrioma, merupakan penyebab infertilitas. Endometriosis minimal atau

ringan menyebabkan penurunan kesuburan dengan mekanisme sebagai

berikut:5,6

- meningkatkan makrofag peritoneal yang meningkatkan fagositosis

sperma

- mengurangi perlekatan sperma ke zona pelusida

- proliferation limfosit peritoneal

- meningkatkan jumlah sitokin

- meningkatkan produksi imunoglobulin

- serum embrio toksin

4

- defek aktivitas natural killer

3. Faktor Keduanya

Infertilitas yang terjadi pada pasangan suami istri juga dapat disebabkan oleh kedua

belah pihak, seperti:5

a. Lingkungan dan pekerjaan

Radiasi yang berlebihan dapat merusak sel-sel germinal. Faktor lain seperti

pajanan panas yang berlebihan, radiasi microwave, USG, dan bahan-bahan

berbahaya lainnya dianggap kontroversi pemicu infertilitas.5

b. Toksin

Toksin seperti rokok, mariyuana, dan obat-obat lainnya: percobaan rokok terhadap

binatang percobaan membuktikan bahwa nikotin dan polisiklik hidrokarbon

aromatik menghalangi spermatogenesis dan mengecilkan ukuran testis. Pada

wanita, rokok mepengaruhi lendir serviks dan epitel silia dan transportasi gamet.

Mariyuana dan sejenisnya, delta-9-tetrahydrocannabinol, menghambat sekresi LH

dan FSH, memicu kelainan ovulasi dan disfungsi fase luteal pada wanita. Efek

mariyuana pada pria adalah mengurangi jumlah dan kualitas sperma. Heroin dan

kokain memicu efek yang sama tetapi menyebabkan terjadinya penyakit radang

panggul dan infeksi HIV. Konsumsi alkohol kronik dapat memicu disfungsi

ovulasi, yang akan berefek pada kesuburan. Konsumsi alkohol pada pria

mengganggu sistesis testosteron yang berimplikasi pada konsentrasi sperma.

Konsumsi alkohol dapat menghambat gairah seksual dan menyebabkan

impotensi.5

c. Latihan

Latihan yang dimaksudkan adalah latihan yang terlalu dipaksakan, khususnya

pada pelari jarak jauh. Jogging dapat menstimulasi sekresi endorfin, sekresi

endorfin yang berlebihan mempengaruhi produksi normal FSH dan LH, memicu

gangguan ovulasi dan fase luteal, yang menyebabkan kurangnya implantasi

embrio dan keguguran pada trimester pertama. Pada pria, latihan terkait dengan

oligospermia.5

5

d. Berat badan berlebih atau sangat kurang

Kehilangan berat badan terkait anoreksia nervosa atau bulimia memicu amenore

hipotalamus, sedangkan obesitas dapat berkaitan dengan anovulasi dan

oligomenore. Pada pria, obesitas berhubungan dengan kualitas sperma.5

D. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Anamnesis dapat berupa usia pasangan suami istri, durasi infertilitas, dan penggunaan

spermisidal saat koitus. Pada awal pertemuan, penting sekali untuk memperoleh data

apakah pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan merokok atau

minum minuman beralkohol. Perlu juga diketahui apakah pasutri atau salah satunya

menjalani terapi khusus seperti antihipertensi, kortikosteroid, dan sitostatika.1,6

Siklus haid merupakan variabel yang sangat penting. Dapat dikatakan siklus haid

normal jika berada dalam kisaran antara 21-35 hari. Sebagian besar perempuan dengan

siklus haid yang normal akan menunjukkan siklus haid yang berovulasi. Untuk

mendapatkan rerata siklus haid perlu diperoleh informasi haid dalam kurun 3-4 bulan

terakhir. Perlu juga diperoleh informasi apakah terdapat keluhan nyeri haid setiap

bulannya dan perlu dikaitkan dengan adanya penurunan aktivitas fisik saat haid akibat

nyeri atau terdapat penggunaan obat penghilang nyeri saat haid terjadi.1

Perlu dilakukan anamnesis terkait dengan frekuensi senggama yang dilakukan selama

ini. Akibat sulitnya menentukan saat ovulasi secara tepat, maka dianjurkan bagi pasutri

untuk melakukan senggama secara teratur dengan frekuensi 2-3 kali per minggu.

Upaya untuk mendeteksi adanya ovulasi seperti pengukuran suhu basal badan dan

penilaian kadar luteinizing hormone (LH) di dalam urin seringkali sulit untuk

dilakukan dan sulit untuk diyakini ketepatannya, sehingga hal ini sebaiknya dihindari

saja.1 Selain itu, perlu juga ditanyakan tentang riwayat penyakit, seperti mumps

orchitis, penyakit ginjal, terapi radiasi, penyakit kronik seperti tuberculosis, stress dan

kelelahan yang berkepanjangan, atau adanya riwayat demam tinggi yang bersifat akut.6

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasutri dengan masalah infertilitas adalah

pengukuran tinggi badan, penilaian berat badan, dan pengukuran lingkar pinggang.

Penentuan indeks massa tubuh perlu dilakukan dengan menggunakan formula berat

6

badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2). Perempuan dengan indeks massa tubuh

(IMT) lebih dari 25 kg/m2 termasuk ke dalam kelompok kriteria berat badan lebih. Hal

ini memiliki kaitan erat dengan sindrom metabolik. IMT yang kurang dari 19 kg/m2

seringkali dikaitkan dengan penampilan pasien yang terlalu kurus dan perlu dipikirkan

adanya penyakit kronis seperti infeksi tuberkulosis (TB), kanker, atau masalah

kesehatan jiwa seperti anoreksia nervosa dan bulimia nervosa.1,6

Adanya pertumbuhan rambut abnormal seperti kumis, jenggot, jambang, bulu dada

yang lebat, bulu kaki yang lebat dan sebagainya (hirsutisme) atau pertumbuhan jerawat

yang banyak dan tidak normal pada perempuan, seringkali terkait dengan kondisi

hiperandrogenisme, baik klinis maupun biokimiawi.1 Pemeriksaan fisik pasangan yang

infertil disajikan dengan jelas pada tabel berikut ini:7

Tabel 1. Pemeriksaan pada Pasangan yang Infertil

Wanita Pria

Pemeriksaan

Umum

Tinggi badan, berat badan, IMT,

tekanan darah, distribusi lemak

dan rambut, jerawat dan

galaktorea

Tinggi badan, berat badan,

IMT, tekanan darah

Pemeriksaan

Status Lokalis

Pemeriksaan abdomen: ada

tidaknya skar atau massa pada

abdomen.

Pemeriksaan pelvis: pemeriksaan

genitalia eksterna dan interna

(dengan spekulum), dan peiksa

apakah terdapat infeksi atau

septum pada vagina, apakah ada

polip pada serviks. Lakukan

palpasi bimanual pada uterus,

nilai ukuran, bentuk, posisi, dan

mobilitasnya, serta ada tidaknya

massa dan nyeri pada adneksa.

Ada tidaknya hernia pada

daerah ingunalis. Selain itu,

pada genitalia, periksa apakah

terdapat testis atau tidak,

bagaimana lokasi dan

ukurannya, apakah ada

epididimitis, varikokel, atau

abnormalitas structural pada

penis, seperti: hipospadia.

7

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan penunjang pada pria

1) Analisis cairan semen

Analisis cairan semen meliputi konsentrasi sperma, motilitas, morfologi, dan

viabilitas. Berikut parameter analisa cairan semen berdasarkan World Health

Organization (WHO):5,6

- Volume : 2-5 mL

- pH level : 7.2-7.8

- Konsentrasi sperma : 20 juta atau lebih per ml

- Motilitas : > 50%

- Morfologi : sperma normal (> 40%)

- Sel darah putih : < 1 juta sel/mL

Morfologi sperma harus > 40% untuk dikatakan normal, dikatakan infertilitas

berat apabila < 4% dan menjadi indikasi assisted reproduction technology

(ART)/intracytoplasmic sperm injection.5

Aglutinasi sperma merupakan indikasi tidak langsung indikator hadirnya

antibodi anti sperma. Tes imunologis dapat dilakukan secara langsung pada

sperma atau pada sperma dan darah secara tidak langsung. Antibodi

permukaan immunoglobulin A (IgA) atau immunoglobulin G (IgG) dapat

muncul. Bisa antibodi spesifik untuk kepala atau ekor sperma. Antibodi IgA

sperma terlibat dalam interaksi sperma-sel telur dan penurunan fertilisasi,

antibodi IgG sperma menyebabkan gangguan motilitas sperma. Antibodi

sperma berkaitan dengan infeksi (contohnya orchitis), trauma testis, dan

riwayat vasektomi.5

2) Interpretasi analisis cairan semen

Spermatogenesis terjadi sekitar 72 hari. Hasil analisis cairan semen abnormal

dapat berhubungan dengan alasan yang tidak diketahui (misalnya periode

seksual abstinens yang pendek, pengumpulan yang tidak lengkap, stimulus

seksual yang jelek), sehingga penting untuk mengulangi analisa cairan semen

setidaknya sebulan sebelum diagnosis dibuat.5

8

- Azoospermia menandakan absennya sperma yang diakibatkan oleh absen

kongenital atau sumbatan bilateral dari vas deferens atau duktus

ejakulatorius, spermatogenesis arrest, Sertoli cell syndrome, atau post

vasektomi.

- Oligozoospermia menandakan konsentrasi < 20 juta sperma/mL dan

mungkin berhubungan dengan gangguan ejakulasi seperti ejakulasi

retrograde, kondisi genetik, atau gangguan hormonal.

- Asthenozoospermia menandakan motilitas sperma < 50%. Dapat

disebabkan oleh suhu ekstrem dan analisa sperma yang terlambat.

- Teratospermia menandakan peningkatan jumlah morfologi abnormal

sperma pada kepala, leher, atau ekor.

- Hipospermia menandakan penurunan volume cairan semen < 2 mL per

ejakulasi.

- Hiperspermia menandakan peningkatan volume cairan semen > 8 mL per

ejakulasi.

3) Tes fungsi sperma

Berfungsi untuk memeriksa fekundabilitas sperma, termasuk: (1) tes reaksi

akrosom dengan fluorescent lectins atau antibodi, (2) penilaian kepala sperma

dengan komputer, (3) penilaian motilitas dengan komputer, (4) hemizona-

binding assay, (5) hamster penetration test, dan (6) human sperm-zona

penetration assay.5

4) Tes endokrin

Pada pria dengan azoospermia, kadar serum FSH dapat membantu untuk

membedakan antara penyebab obstruktif dan non-obstruktif. Kadar yang

normal merupakan indikasi untuk azoospermia obstruktif di mana

pengambilan sperma melalui tindakan pembedahan perlu dilakukan,

sementara kadar yang meningkat menandakan kecurigaan spermatogenesis

yang gagal. Pengukuran kadar testosterone dan LH juga membantu ketika

terdapat defisiensi androgen akibat kecurigaan adanya tumor testis atau

adrenal yang mensekresi steroid.5

Pemeriksaan penunjang yang lain yang dapat dilakukan pada pria, antara lain:

pemeriksaan kromosom dan genetik, pemeriksaan mikrobiologi semen,

9

pemeriksaan radiologi pada traktus genital pria, pemeriksaan fungsi sperma secara

in vitro, biopsy testikuler, dan pemeriksaan antibodi antisperma.7

b. Pemeriksaan penunjang pada wanita

Siklus menstruasi yang normal merupakan patokan yang digunakan untuk

menandai terjadinya ovulasi. Untuk mengkonfirmasi adanya ovulasi, biasanya

diperoleh dari rata-rata level serum progesterone mid-luteal yang melebihi 30

nmol/l, 7 hari sebelum onset menstruasi (siklus hari ke-21 dari 28 hari). Selain tes

ovulasi, pemeriksaan screening rubella juga dilakukan pada setiap wanita.7 Selain

itu, pemeriksaan yang lanjut dapat berupa:5

1) Serviks

Tes pasca senggama (Tes Sims-Huhner), terdiri dari pemeriksaan jumlah

spermatozoa dan motilitasnya dalam lendir serviks selama periode pre

ovulasi. Tes tersebut tidak rutin dilakukan dalam pemeriksaan infertilitas

standar karena menunjukkan keterbatasan diagnosis dan nilai prediksi yang

buruk. Stenosis serviks dapat didiagnosa dengan pemeriksaan inspekulo.

Stenosis serviks komplit dipastikan dengan kegagalan alat memasuki kavum

uterus.5

2) Uterus

a) HSG (Hysterosalpingogram)

Kelainan-kelainan seperti tidak adanya vagina dan uterus, septum vagina,

dan adanya fibroid dapat dideteksi dengan pemeriksaan panggul. Hampir

seluruh kelainan tersebut membutuhkan pemeriksaan penunjang seperti

HSG, USG ginekologi, histerosonogram, dan MRI. Prosedur operasi

seperti laparoskopi dan histeroskopi sering digunakan untuk memastikan

diagnosis akhir. Histerosalpingogram (HSG) sering digunakan untuk

memeriksa kavum endometrium dan memberikan informasi seputar: (1)

kanalis endoserviks; (2) diameter dan konfigurasi tulang dalam; (3)

kavum endometrium; (4) saluran uterus/tuba (kornu ostium); (5)

diameter, lokasi, dan arah tuba falopi; (6) status fimbria; dan (7)

tumpahan ke kavum endometrium. HSG juga memberikan informasi

tidak langsung seputar adhesi pelvis dan uterus, sel telur, atau massa

adneksa.5

10

HSG sebaiknya dilakukan selama fase awal fase folikuler. Saat itu,

endometrium tipis HSG memberikan gambaran kelainan minor yang

lebih baik. Serviks dibersihkan dengan povidone-iodine solution

(Betadine) untuk menghindari perpindahan bakteri ke kavum

endometrium selama prosedur. Spekulum lepas digunakan dan dilepaskan

sebelu injeksi medium radiopak. Tenakulum gigi satu digunakan untuk

menambahkan traksi uterus dan membenarkan posisi antrofleksi atau

retrofleksi. Kanula Jarcho-type metal atau balon kateter HSG digunakan

untuk menginjeksikan media radiokontras. Penggunaan media kontras

berbahan air lebih baik daripada media berbahan minyak untuk

menghindari risiko emboli minyak dan formasi granula.5

Gambar 1. Gambaran HSG pada tuba paten (kiri atas), polip endometrium (kanan atas),

sumbatan tuba bilateral (kiri bawah), dan uterus bikornu (kanan bawah)

(dikutip dari kepustakaan 5)

b) USG (Ultrasonography)

USG ginekologi menjadi bagian rutin pemeriksaan ginekologi karena

dapat memeriksa posisi uterus dalam pelvis dan memberikan informasi

seputar ukuran dan kelainan. Sonogram panggul juga membantu deteksi

dini fibroid uterus, polip endometrium, kista ovarium, massa adneksa,

dan endometrioma. USG dapat membantu diagnosis anovulasi, polikistik

ovarium, dan kista korpus luteum yang persisten.5

11

c) Saline infusion sonography (SIS)

SIS memberikan pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk

menilai kavum uterus dan memeriksa potensi tuba. Pemeriksaan ini tidak

menggunakan radiasi seperti pada HSG. SIS dilakukan selama hari ke-6

hingga ke-12 siklus, di mana endometrium tipis sehingga lebih mudah

mendeteksi lesi intrauterin. Spekulum lepas dipasang dan serviks

dibersihkan dengan Betadine solution. Kateter transservikal dengan balon

dipasang. Spekulum dilepas dan larutan salin diinjeksikan selama

visualisasi ultrasonografik. Tampilan longitudinal dan transversal dari

kavum dapat menilai adanya filling defects. Terakhir, sejumlah kecil busa

air diinjeksikan untuk menilai potensi tuba.5

d) MRI

MRI dilakukan apabila diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui

pemeriksaan HSG konvensional, USG, dan histeroskopi. MRI berfungsi

untuk menggambarkan massa pelvis yang kompleks dan membantu

diagnosis kondisi seperti malformasi kongenital yang terkait dengan

kriptomenore dan kabsennya serviks.5

e) Histeroskopi

Histeroskopi merupakan suatu metode visualisasi langsung kavum

endometrium. Operasi histeroskopi didesain berdasarkan prinsip

resectoscope yang memperbolehkan diagnosis sekaligus penanganan

kelainan endometrium seperti uterine sinekia, polip endometrium, mioma

submukosa, dan pengangkatan benda asing (misalnya AKDR).5

Gambar 2. Histeroskopi dari uterine sinekia (kiri) dan polip endometrium (kanan)

(dikutip dari kepustakaan 5)

12

f) Biopsi endometrium

Jones memaparkan bahwa disfungsi fase luteal dan hubungannya dengan

keguguran berulang. Disfungsi fase luteal didasari atas kurangnya

hubungan antara (1) perkembangan endometrium, didiagnosa

menggunakan biopsi endometrium premenstrual, dan (2) onset siklus

menstruasi yang sedang terjadi. Diagnosisnya berdasarkan kriteria:

terdapat perbedaan lebih dari 2 hari antara tanggal endometrium dan awal

dari periode menstruasi selanjutnya, temuan yang sama harus diulangi

dalam 2 siklus menstruasi yang berurutan.5

3) Tuba dan peritoneum

Tes yang sering digunakan untuk diagnosis untuk melihat kelainan tuba

adalah laparoskopi dan HSG. Laparoskopi tidak termasuk pemeriksaan

infertilitas rutin. Laparoskopi digunakan ketika ditemukan kelainan pada

USG, HSG, atau kecurigaan gejala. Dibutuhkan anestesi dan biaya operasi

sehingga hanya digunakan saat ada indikasi yang jelas.5

Laparoskopi kontraindikasi pada pasien dengan kemungkinan obstruksi usus

(ileus) dan distensi usus, penyakit kardiopulmoner, atau syok karena

perdarahan dalam. Karena risiko perforasi usus, uterus dan perlukaan

pembuluh pelvis, trauma kandung kemih, dibutuhkan ahli bedah yang

terampil dan berpengalaman. Kontraindikasi relatif lainnya termasuk obesitas

masif, dan massa abdomen yang besar atau kehamilan lanjut, adhesi panggul

lanjut, dan peritonitis.5

4) Ovarium

a) Ovulasi

Siklus menstruasi normal dapat menandakan terjadinya ovulasi.

Konfirmasi terjadinya ovulasi.5,6

E. PENANGANAN INFERTILITAS PRIMER

1. Penanganan infertilitas primer pada pria

Pada asthenospermia terkait dengan varikokel dilakukan pembedahan atau dengan

embolisasi varikokelektomi dari vena spermatika. Hasil awal dari prosedur ini tidak

terdeteksi sebelum 3 bulan karena spermatogenesis membutuhkan waktu 72 hari. Jika

13

tidak ada perbaikan terjadi, dilanjutkan baik baik inseminasi intrauterin atau fertilisasi

in vitro. Oligospermia adalah penyebab paling sering dari kemandulan pria.

Pengobatannya tergantung pada faktor etiologi, namun, dalam banyak kasus, penyebab

masih belum diketahui. Inseminasi intrauterin adalah pengobatan pilihan jika

didapatkan >2 juta sperma dari pencucian sperma.5

Pasien yang saluran reproduksi, FSH, LH, dan tingkat testosteron abnormal atau

mereka yang memiliki testosteron rendah dalam tidak adanya kelainan hormonal

lainnya dapat diobati secara empiris dengan siklus Klomifen sitrat/CC (25 mg per oral

selama setidaknya 6-12 bulan). Pemberian suplemen Karnitin L dan asetil antioksidan

seperti Vitamin C atau E berguna untuk meningkatkan pematangan dan fungsi sperma.

Peningkatan jumlah sperma adalah pertanda baik, dan pengobatan harus dilanjutkan.

Pemeriksaan kadar testosteron dianjurkan karena bisa terjadi efek umpan balik negatif

pada produksi sperma. Tergantung pada jumlah sperma, pasangan sebaiknya memiliki

melakukan senggama saat ovulasi atau melanjutkan dengan inseminasi intrauterine.5

Pengobatan azoospermia tergantung pada etiologinya. Pada pasien dengan

azoospermia obstruktif dan tingkat gonadotropin normal, sperma dapat diperoleh

melalui aspirasi epididimis sperma mikro atau biopsi testis. Fertilisasi oosit dilakukan

menggunakan IVF/injeksi sperma intrasitoplasmik. Pada pasien dengan azoospermia

non obstruktif, ejakulasi retrograd dapat menjadi penyebabnya. Pengobatan terdiri dari

pemulihan sperma yang dikumpulkan dari sampel urin segera setelah ejakulasi.

Alkalinisasi urin dilakukan sebelum prosedur. Malamnya, pasien harus mengambil 2

sendok makan natrium bikarbonat. Kandung kemih harus dikosongkan 1 jam sebelum

pengumpulan sperma, dan dosis ke-2 natrium bikarbonat diambil bersama dengan 16

ons cairan. Sampel urin harus dikumpulkan segera setelah ejakulasi. Spesimen urin

harus disentrifugasi segera. Sedimen ini disuspensikan dalam larutan buffer, dan

pemulihan sperma diproses menggunakan teknik pencucian sperma sebelum dapat

digunakan untuk inseminasi intrauterine.5

2. Penanganan infertilitas primer pada wanita

a. Ovarium

Induksi ovulasi merupakan pengobatan yang tepat pada pasien infertilitas yang

memiliki gangguan pada aksis hipotalamus-pituitari-ovarium. Obat-obatan

14

penginduksi ovulasi, antara lain klomifen sitrat, HMG, hCG, FSH rekombinan,

dan LH rekombinan.5,6

b. Serviks

Radang serviks kronik dapat diobati dengan antibiotik. Penanganan termudah dan

yang paling berhasil adalah inseminasi intrauterine/uterine insemination (IUI).

Inseminasi buatan dapat dilakukan dengan memasukkan sperma ke dalam serviks

(inseminasi serviks) atau di dalam kavum endometrium (IUI). Namun, inseminasi

serviks telah ditinggalkan karena tingkat keberhasilan yang rendah.5

c. Uterus

Sebelum fertilisasi in vitro tersedia, pasien dengan kelainan bawaan berupa tidak

adanya uterus dan vagina (Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome) tidak memiliki

kesempatan untuk memiliki anak biologis. Namun, saat ini kita dapat

menggunakan wanita lain untuk mendapatkan kehamilan (gestational carrier).

Saat pasien berkeinginan untuk memiliki anak, tindakan selanjutnya dilanjutkan

dengan stimulasi ovarium, aspirasi oosit, dan fertilisasi in vitro, tetapi embrio

ditransfer ke wanita lain tersebut.5

Wanita dengan uterus bikornu atau uterus bersepta yang disertai dengan

infertilitas, akan ditangani dengan tindakan pembedahan. Wanita dengan sinekia

uterus akan ditangani dengan metode histeroskopi, di mana tindakan ini

dilaksanakan pada awal fase folikuler. Begitu juga jika infertilitas disebabkan oleh

polip endometrial, maka histeroskopi dan kuretase merupakan tindakan yang

terbaik.5

d. Tuba dan peritoneum

Obstruksi tuba yang merupakan faktor infertilitas dapat dikoreksi melalui

laparotomi, laparoskopi operatif, dan histeroskopi. Lain halnya dengan

endometriosis, penanganannya dapat berupa operatif, medikamentosa (pil KB),

atau menunggu sampai kehamilan terjadi.5

3. Inseminasi intrauterine

Inseminasi intrauterine menjadi salah satu pilihan dalam penanganan infertilitas

primer. Ada beberapa indikasi pada inseminasi intrauterine dengan menggunakan

cairan semen suami ataupun pasangan (donor), yaitu:8

15

Tabel 2. Indikasi Inseminasi Intrauterine

Efektif

Subfertilitas pria

Faktor servikal

Kegagalan ejakulasi

Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan/idiopatik

Kemungkinan efektifInfertilitas imunologis

Endometriosis

Kegagalan ejakulasi adalah indikasi yang klasik, karena pria tidak dapat

mengejakulasikan sperma ke dalam vagina. Indikasi yang paling sering pada

inseminasi intrauterine adalah faktor infertilitas pria dan infertilitas yang tidak dapat

dijelaskan/idiopatik. Indikasi lainnya adalah infertilitas akibat imunologis dan

endometriosis.8

Kondisi-kondisi tertentu, seperti faktor tuba, penyakit-penyakit pelvis,

endometriosis, usia wanita yang telah lanjut, dan faktor infertilitas pria yang berat,

memiliki kesempatan yang kecil pada keberhasilan inseminasi intrauterine.9

Indikasi utama untuk inseminasi donor adalah: 8

Infertilitas berat pada pria atau subfertilitas (azoospermia atau

oligoastenoteratozoospermia yang berat), untuk pasangan yang tidak dapat atau

menolak fertilisasi in vitro dengan berbagai alasan.

Penyakit-penyakit genetik, seperti penyakit Huntington, hemofilia, dan

inkompabilitas rhesus yang berat.

Penggunaan cryopreserved semen pada program inseminasi donor telah

diaplikasikan pada berbagai negara, untuk meminimalisasi kemungkinan transmisi dari

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan infeksi lain pada resepien.8

Beberapa prosedur yang dilakukan pada inseminasi intrauterine, sebagai berikut:

Perkembangan folikuler

Selama siklus menstruasi wanita, biasanya hanya satu folikel yang matang yang

dilepaskan oleh ovarium, dan mengakibatkan suatu ovulasi dengan satu telur.

Pertumbuhan folikel dari ovarium pada awal pertengahan siklus menstruasi wanita

dipengaruhi oleh hormon. Ketika folikel matang, kelenjar hipofisis melepaskan

sejumlah besar hormon LH. Adanya “lonjakan LH” membantu tahapan akhir dari

16

maturasi sel telur dan akan mencetuskan timbulnya ovulasi pada 36-40 jam

berikutnya. Inseminasi kemudian dilakukan pada hari saat ovulasi terjadi. Proses

ini dipantau dengan menggunakan alat tes melalui darah atau urin wanita atau

dengan menggunakan ultrasonografi atau dengan menggunakan metode lainnya.

Dalam beberapa kasus, tahap ini biasanya menggunakan obat-obatan untuk

menginduksi ovulasi, bisa dengan menggunakan Clomid saja, atau dengan Clomid

dan injeksi FSH, atau hanya FSH saja.10

Persiapan sampel semen

Pada hari dilaksanakannya inseminasi, pasangan (pria) wajib menyediakan sampel

semen yang masih segar (fresh). Sampel ini kemudian dibawa ke klinik,

dikumpulkan atau mungkin sebelumnya telah dibekukan dan akan dicairkan untuk

digunakan dalam proses inseminasi. Sampel semen akan diproses di laboratorium

sebagai persiapan untuk melakukan inseminasi. Persiapan meliputi pemindahan

plasma semen (bagian yang cair pada semen) dan pengeluaran sperma yang mati

atau tidak/kurang bergerak. Sperma yang bergerak kemudian dikonsentrasikan

dalam volume yang kecil dan dimasukkan melalui kateter.10

Inseminasi intrauterine

Untuk melakukan suatu inseminasi intrauterine, sebuah spekulum dimasukkan ke

dalam vagina jadi serviks dapat terlihat. Mukus serviks dibersihkan dengan

menggunakan large Q tip dan kateter dimasukkan melalui serviks masuk ke dalam

uterus. Sperma yang telah dikonsentrasikan kemudian dimasukkan ke dalam

uterus. Setelah itu, wanita tersebut akan berbaring di meja pemeriksaan selama

lima sampai sepuluh menit sebelum meninggalkan ruangan. Setelah inseminasi

dilakukan, kegiatan yang normal kembali dapat dilakukan.10

Hasil akhir

Angka keberhasilan (lahirnya seorang bayi) dari sebuah teknik inseminasi

intrauterine tergantung dari berbagai macam faktor. Beberapa faktor tersebut,

antara lain: usia wanita tersebut, jenis obat penyubur yang digunakan (jika ada);

diagnosis, berapa banyak pengobatan yang telah dilakukan, dan kualitas dari

sampel semen.10

Banyak faktor yang dapat menyebabkan tindakan ini menjadi gagal atau tidak

berhasil. Beberapa faktor ada yang diketahui dan ada yang tidak diketahui. Beberapa

17

faktor yang diketahui dapat menjadi penyebab tidak berhasilnya tindakan inseminasi

intrauterine, antara lain:10

Tidak terjadi perkembangan folikel

Pasangan (suami) tidak dapat memproduksi sampel semen yang segar (fresh)

Pemasangan kateter ke dalam uterus atau serviks sulit atau tidak mungkin secara

teknis

Meskipun inseminasi berhasil dilakukan, kehamilan tidak terjadi

Jika kehamilan terjadi, kehamilan mungkin tidak akan berjalan dengan normal atau

akan mengalami miscarriage.

4. Fertilisasi in vitro

Secara harafiah, in vitro berarti di luar tubuh, dan fertilisasi berarti bertemunya

sperma dan ovum.11 Fertilisasi in vitro adalah fertilisasi yang terjadi di luar tubuh,

yakni pada lingkungan buatan. Prosedur ini telah sukses digunakan pertama kali pada

manusia yang infertil yaitu pada tahun 1977 di Bourne Hall di Cambridge, Inggris.

Kini, telah banyak bayi yang dilahirkan dengan menggunakan teknik fertilisasi in

vitro. Selama bertahun-tahun, prosedur kehamilan dengan teknik fertilisasi in vitro

telah lebih sederhana, lebih aman, dan lebih tinggi angka keberhasilannya.12

Secara normal, sel telur dan sel sperma bertemu di dalam “tubuh” seorang

wanita. Jika sel telur menempel pada dinding rahim dan terus-menerus berkembang,

seorang bayi akan lahir sekitar 9 bulan kemudian. Proses ini disebut proses yang

alamiah atau tanpa bantuan.11

Fertilisasi in vitro adalah salah satu bentuk dari assisted reproductive technology

(ART). Ini berarti sebuah teknik khusus dilakukan untuk membuat seorang wanita

menjadi hamil.11

Ada beberapa langkah dasar pada fertilisasi in vitro, antara lain:11,13

1) Down-Regulation

Fertilisasi in vitro bergantung pada sel telur yang matang yang dilepaskan oleh

ovarium. Untuk menghindari pengeluaran sel telur (ovulasi) secara prematur, obat

(Lupron) diberikan untuk mendesensitisasi kelenjar hipofisis dan menghindari

“sinyal” yang normal untuk ovulasi. Lupron diinjeksi pada permulaan siklus

fertilisasi in vitro. Dalam waktu 10-14 hari setelah injeksi Lupron, down-

regulation selesai dan tahap berikutnya dapat dimulai. Lupron kemudian

18

dilanjutkan pada tahap stimulasi ovarium. Obat-obatan lain yang dapat digunakan

pada fase down-regulation adalah Antagon® dan Cetrotide®.13

2) Stimulasi, yang juga disebut super ovulasi

Obat-obatan, yang disebut juga obat-obat “penyubur”, diberikan pada wanita

untuk menginduksi produksi sel telurnya. Secara normal, seorang wanita

memproduksi sebuah sel telur setiap bulan. Obat-obat “penyubur”, seperti injeksi

follicle stimulating hormone (FSH) atau human menopausal gonadotropins

(hMG), akan memerintahkan ovarium untuk memproduksi beberapa buah sel

telur. Hormon tersebut, antara lain Follistim®, Gonal-F®, Repronex®, Bravelle®,

atau Menopur® diberikan pada permulaan siklus menstruasi. Selama tahap ini,

wanita tersebut akan diperiksa secara rutin dengan menggunakan ultrasonografi

transvaginal untuk memeriksa ovarium dan serangkaian pemeriksaan darah untuk

mencek kadar hormon.11,13

3) “Pengeluaran” sel telur

Sebuah pembedahan minor, yang disebut juga aspirasi folikuler, dilakukan untuk

mengeluarkan sel telur dari tubuh seorang wanita. Prosedur ini dilakukan di

klinik/rumah sakit tempat dokter bertugas. Wanita tersebut akan diberikan obat-

obatan jadi dia tidak akan merasakan sakit selama prosedur berlangsung. Dengan

menggunakan ultrasonografi sebagai penuntun, dokter atau paramedis akan

memasukkan sebuah jarum yang tipis ke dalam vagina dan masuk ke dalam

ovarium dan saccus (folikel) yang mengandung sel-sel telur. Jarum tersebut

terhubung dengan sebuah alat pengisap atau suction, yang akan menarik sel telur

dan cairan keluar dari folikel pada waktu yang sama. Prosedur ini diulangi pada

ovarium yang lain. Wanita tersebut akan mengalami semacam kram setelah

operasi, tetapi hal tersebut akan menghilang dengan sendirinya dalam beberapa

hari. Pada kasus yang jarang, laparoskopi pelvis mungkin diperlukan untuk

mengeluarkan sel-sel telur. Jika wanita tersebut tidak mempunyai atau tidak dapat

memproduksi sel telur, donor sel telur dapat digunakan.11

4) Inseminasi dan fertilisasi

Sperma dari pria ditempatkan bersama-sama dengan sel telur yang memiliki

kualitas terbaik dan ditempatkan pada lingkungan atau ruangan yang dikontrol

keadaannya. Pencampuran antara sel sperma dan sel telur disebut inseminasi. Sel

19

sperma biasanya membuahi sel telur beberapa jam setelah inseminasi. Jika dokter

berpikir bahwa kesempatan untuk terjadinya fertilisasi sangatlah kecil,

dokter/petugas laboratorium dapat secara langsung menginjeksi sel sperma ke

dalam sel telur. Hal ini disebut juga intracytoplasmic sperm injection (ICSI).

Indikasi untuk melakukan ICSI, antara lain: oligoastenoteratozoospermia yang

berat, tidak terjadinya fertilisasi pada siklus fertilisasi in vitro sebelumnya, dan

akan dilakukannya pre-implantation genetic diagnosis (PGD).11

5) Kultur embrio

Ketika sel telur telah dibuahi dan membelah, sel telur yang dibuahi tersebut

kemudian berkembang menjadi embrio. Petugas laboratorium akan secara rutin

mencek embrio untuk memastikan bahwa embrio tersebut berkembang

sebagaimana mestinya. Dalam waktu 5 hari, sebuah embrio yang normal akan

memiliki beberapa sel yang secara aktif membelah.11

Pasangan suami-istri yang memiliki risiko tinggi melahirkan anak yang memiliki

kelainan genetik, dapat mempertimbangkan pre-implantation genetic diagnosis

(PGD). Prosedur ini dilakukan sekitar 3-4 hari setelah fertilisasi. Ahli genetika

akan mengeluarkan sebuah sel tunggal dari setiap embrio dan akan melihat gen

yang spesifik untuk kelainan genetik. Menurut American Society for Reproductive

Medicine, PGD dapat membantu pasangan suami-istri untuk memilih embrio

mana yang akan diimplantasi, yang kemudian akan menurunkan kemungkinan

menurunnya kelainan genetik pada anak yang akan dilahirkan. Teknik ini masih

kontroversial dan tidak terdapat di semua unit.11 PGD dindikasikan untuk pasien

yang memiliki riwayat misscarriage berulang, usia ibu sudah lanjut (≥ 38 tahun),

fertilisasi in vitro yang terus-menerus gagal, infertilitas yang tidak dapat

dijelaskan, infertilitas yang disebabkan oleh faktor pria, atau kelainan genetik

yang diturunkan, seperti: fibrosis kistik, penyakit Tay Sachs, distrofi miotonik,

dan sebagainya. Kini ada sekitar 50 tipe dari mutasi gen tunggal yang dapat

didiagnosis.14

6) Transfer embrio

Embrio ditempatkan pada rahim seorang wanita 3-5 hari setelah pengeluaran sel

telur dan fertilisasi. Dokter memasukkan sebuah tabung yang kecil (kateter) yang

20

mengandung embrio masuk ke dalam vagina, kemudian melewati serviks, dan

masuk ke dalam rahim. Jika embrio melekat pada rahim (berimplantasi),

kehamilan akan terjadi.11

Lebih dari satu embrio dapat ditempatkan di dalam rahim pada waktu yang sama,

yang akan menghasilkan kehamilan gemelli, triplet, atau lebih. Embrio yang tidak

digunakan akan dibekukan dan diimplantasi atau didonasi di lain waktu.11

Fertilisasi in vitro dilakukan untuk membantu seorang wanita menjadi hamil.

Cara ini banyak digunakan untuk menangani berbagai kasus infertilitas, antara lain:11

Pada usia wanita yang sudah lanjut (advanced maternal age)

Tuba fallopi yang tertutup atau rusak, yang dapat disebabkan oleh pelvic

inflammatory disease atau pembedahan yang berhubungan dengan reproduksi

Endometriosis

Faktor infertilitas pada pria, termasuk menurunnya jumlah dan kualitas sperma

Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan

Inseminasi intrauterine yang tidak berhasil

Kerugian dari tindakan fertilisasi in vitro adalah biaya yang mahal, sekitar

$12.000-$17.000 (atau sekitar Rp 120.000.000,- - Rp 170.000.000,-). Stres dan depresi

juga menjadi masalah yang umum pada pasangan suami-istri yang berhadapan dengan

masalah infertilitas. Obat-obatan “penyubur” yang diinjeksi pada wanita tersebut juga

dapat menyebabkan ketidaknyamanan, seperti nyeri perut, perubahan mood, sakit

kepala, dan beberapa efek samping lainnya.11 Selain itu ada beberapa komplikasi,

meskipun sangat jarang, yang berhubungan dengan tindakan fertilisasi in vitro, antara

lain:

Ovarian hyperstimulation syndrome

Ini adalah komplikasi yang paling tidak diinginkan, yakni membesar dan nyeri

pada ovarium akibat stimulasi dari hMG. Gejala klinis dapat berupa nyeri perut,

bengkak, berat badan bertambah dengan cepat (biasanya 5 kg dalam 3-5 hari),

berkurangnya jumlah urin walaupun mengonsumsi cairan dalam jumlah yang

banyak, mual, muntah, dan kesulitan bernapas. Pada kasus yang ringan, dapat

ditangani dengan istirahat total, dan pada kasus yang berat, drainase cairan

dibutuhkan.11,13

Prosedur “pengeluaran” sel telur

21

Ada beberapa risiko kecil yang dapat terjadi pada tahap ini, antara lain: reaksi

pada obat-obatan anestesi, perdarahan, infeksi, dan perlukaan pada organ dalam

selama prosedur dijalankan.13

Cacat lahir

Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan risiko cacat lahir pada bayi

yang lahir dari proses fertilisasi in vitro. Sekitar 1 dari 20 individu pada populasi

umum akan mengalami cacat lahir (biasanya minor).13

Kehamilan ganda dan kehamilan ektopik

Sekitar 25% dari kehamilan yang berasal dari prosedur fertilisasi in vitro adalah

emelli. Lima sampai tujuh persen dari seluruh kehamilan dapat berupa triplet atau

lebih. kehamilan ganda dapat meningkatkan risiko persalinan prematur dan

BBLR. Kehamilan ektopik terjadi pada sekitar 5% dari kehamilan dengan

prosedur fertilisasi in vitro.13

Misscarriage

Risiko ini terjadi pada sekitar 25% dari kehamilan dengan prosedur fertilisasi in

vitro.13

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Hestiantoro A. Infertilitas. Dalam: Anwar M, Baziad A, Prabowo RP, editor. Ilmu

kandungan edisi ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011. hlm. 425-

35.

2. DeCherney A, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Infertility. In: DeCherney A, Nathan L,

Goodwin TM, Laufer N, editors. Current diagnosis and treatment obstetrics and

gynecology, tenth edition. New York: McGraw Hill; 2007.

3. Rybak EA, Wallach EE. Infertility and assisted reproductive technologies. In: Fortner KB,

Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE, editors. The john hopkins manual of gynecology and

obstetrics, 3rd edition. United States: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

4. Speroff L, Fritz MA. The male infertility evaluation. In: Speroff L, Fritz MA, editors.

Clinical gynecologic endocrinology and infertility seventh edition. United States:

Lippincott Williams & Wilkins; 2005.

5. Puscheck EE, Lucidu RS, et al. Infertility [online]. 2012 February 16th [cited 2013 May

15th]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/274143

6. Chan PD, Johnson SM. Infertility. In: Chan PD, Johnson SM, editors. Current clinical

gynecology and obstetrics. United States: Current Clinical Strategies Publishing; 2004.

7. Bhattacharya S. Infertility. In: Edmonds DK, editor. Dewhurst’s textbook of obstetrics and

gynaecology seventh edition. United Kingdom: Blackwell Publishing; 2007. p. 440-58.

8. Brinsden PR, Dickey RP. An overview of intrauterine insemination and ovulation

induction. Cambridge University Press 2010; p. 1-6.

9. Ahlering P. Why intrauterine insemination (IUI) often doesn’t work and what patients need

to know. St. Louis Women’s Journal 2009; p. 1.

10. Women’s Fertility Center. Consent for intrauterine insemination (IUI) [online]. 2010 [cited

2013 May 15th]. Available from:

http://www.womensfertilitycenter.com/Treatment_IUIconsent.pdf

11. Storck S. In vitro fertilization – all information [online]. 2010 [cited 2013 May 15th].

Available from: http://www.umm.edu/ency/article/007279all.htm

12. University of California San Francisco Medical Center. In vitro fertilization (IVF) [online].

2010 [cited 2013 May 15th]. Available from:

http://coe.ucsf.edu/ivf/in_vitro_fertilization.html

23

13. Cleland WH, Parry JP. In vitro fertilization [online]. 2010 [cited 2013 May 15th]. Available

from: http://obgyn.umc.edu/cs-ivf.html

14. University of Rochester Medical Center. In vitro fertilization (IVF) [online]. 2011 [cited

2013 May 15th]. Available from: https://www.urmc.rochester.edu/fertility-center/ivf/ivf-

step-by-step.cfm

24