BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN -...

16
33 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Kategori Polisi yang Ideal Dalam menganalisis film ENIGMA ini, peneliti membuat kategorisasi tentang bagaimana citra polisi bisa menjadi positif di mata masyarakat. Peneliti membuat empat kategorisasi berdasarkan apa yang dijelaskan Farouk Muhammad dalam buku Bekerja Sebagai Polisi (Yulihastin, 2009 : 118) tentang bagaimana sosok polisi yang ideal. Farouk Muhammad pernah menjabat sebagai Kapolda NTB (2001) dan Kapolda Maluku (2001-2002). Beliau dilantik menjadi Inspektur Jenderal Polisi pada tahun 2002. Saat ini, beliau menjabat sebagai wakil ketua DPD-RI periode 2014 2019. Berikut penjelasan Farouk Muhammad tentang sosok polisi yang ideal : 1.Polisi itu harus berpendekatan kemanusiaan Karena dia berhadapan dengan perilaku manusia. Dia adalah figur yang dibebani kewajiban untuk memperbaiki perilaku yang tidak baik, yang salah, atau tidak sesuai dengan norma. Dia harus menghargai dulu orang yang ia mau ubah perilakunya. Dia harus menghadapinya secara manusiawi. Polisi harus bisa menunjukkan empatinya. 2.Polisi harus santun menghadapi warga, menghargai hak-hak asasi manusia Harus dijauhi sikap yang arogan, menunjukkan kekuasaannya bahwa seolah- olah dia seorang figur penguasa. Hal-hal seperti itu harus disingkirkan dari sikap seorang polisi. 3.Polisi juga harus fair Dia harus memperlakukan semua orang dengan sama.

Transcript of BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN -...

33

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Kategori Polisi yang Ideal

Dalam menganalisis film ENIGMA ini, peneliti membuat kategorisasi

tentang bagaimana citra polisi bisa menjadi positif di mata masyarakat. Peneliti

membuat empat kategorisasi berdasarkan apa yang dijelaskan Farouk Muhammad

dalam buku Bekerja Sebagai Polisi (Yulihastin, 2009 : 118) tentang bagaimana

sosok polisi yang ideal. Farouk Muhammad pernah menjabat sebagai Kapolda

NTB (2001) dan Kapolda Maluku (2001-2002). Beliau dilantik menjadi Inspektur

Jenderal Polisi pada tahun 2002. Saat ini, beliau menjabat sebagai wakil ketua

DPD-RI periode 2014 – 2019. Berikut penjelasan Farouk Muhammad tentang

sosok polisi yang ideal :

1.Polisi itu harus berpendekatan kemanusiaan

Karena dia berhadapan dengan perilaku manusia. Dia adalah figur yang

dibebani kewajiban untuk memperbaiki perilaku yang tidak baik, yang salah,

atau tidak sesuai dengan norma. Dia harus menghargai dulu orang yang ia mau

ubah perilakunya. Dia harus menghadapinya secara manusiawi. Polisi harus bisa

menunjukkan empatinya.

2.Polisi harus santun menghadapi warga, menghargai hak-hak asasi manusia

Harus dijauhi sikap yang arogan, menunjukkan kekuasaannya bahwa seolah-

olah dia seorang figur penguasa. Hal-hal seperti itu harus disingkirkan dari

sikap seorang polisi.

3.Polisi juga harus fair

Dia harus memperlakukan semua orang dengan sama.

34

4.Polisi juga harus jujur dan amanah.

Apapun yang dimiliki polisi, entah itu kekuasaan atau senjata, adalah amanah

yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.

5.2 Analisis Semiotik Roland Barthes Pada Film “ENIGMA” Serial

“Kematian Alana”

Korpus 1

Kategori 1 (Polisi itu harus berpendekatan kemanusiaan). Terdapat tiga adegan

yang sesuai dengan kategori pertama, diantaranya terdapat pada scene 4, scene 7,

dan scene 25 (Episode 1).

Gambar 3 Gambar 4

(Scene 4, Episode 1) (Scene 7, Episode 1)

Gambar 5

(Scene 25, Episode 1)

35

1.Makna Denotatif

Secara denotatif, gambar 3 menampilkan adegan AKP Nina yang memakai

baju hitam sedang merangkul Ibu Soffie yang baru saja diberi kabar bahwa Alana,

anaknya telah tewas. Ibu Soffie menyandarkan kepalanya di dada AKP Nina

dengan raut wajah menangis. Pada bagian kiri bawah, terlihat jelas tangan kanan

AKP Nina merangkul erat Ibu Soffie.

Gambar 4 menampilkan adegan Ibu Soffie yang melihat jasad anaknya di

ruang autopsi. Di dalam ruangan terdapat dua petugas rumah sakit mengenakan

baju putih dan ada AKP Nina juga Iptu Ardi di samping ibu Soffie mengenakan

baju hitam. Terdapat dua lampu berwarna orange tepat diatas jasad Alana. Jasad

Alana dibaringkan di sebuah meja besi dengan ditutup kain putih polos diseluruh

badan kecuali telapak kaki dan bahu sampai ujung rambut yang masih terlihat. Ibu

Soffie membungkukkan badan, memegang kepala Alana sambil menangis. Disaat

bersamaan, Iptu Ardi mengusap punggung ibu Soffie dan AKP Nina memegang

lengan kanan ibu Soffie dengan tangan kanannya dan mengusap punggung ibu

Soffie dengan tangan kirinya.

Gambar 5 menampilkan adegan Iptu Bimo mengelus bahu Bapak Arman,

Ayah dari Alana Jasmine di pintu masuk ruang autopsi. Iptu Bimo mengenakan

jaket hitam, sedangkan Bapak Arman yang berkacamata mengenakan kemeja

lengan panjang berwarna ungu dengan dasi berwarna merah maroon. Keduanya

sedang berdiri di pintu masuk ruang autopsi. Bapak Arman terlihat setengah

menundukkan kepala dengan raut wajah ingin menangis. Tepat di depan Bapak

Arman, Iptu Bimo mengusap bahu Bapak Arman dengan tangan kirinya.

Dari ketiga gambar, dibagian kiri atas terdapat tulisan ENIGMA.

Sedangkan bagian kanan atas terdapat tulisan NET. dan sebelah kanannya ada

tulisan HD. Tulisan “ENIGMA” dibagian kiri atas gambar, menunjukkan judul

program yang sedang tayang di televisi tersebut. Sedangkan tulisan “NET.”

dibagian kanan atas gambar menunjukkan program “ENIGMA” ditayangkan di

televisi NET. Disamping kanan tulisan “NET.” terdapat tulisan HD yang artinya

36

kualitas gambar tayangan tersebut memiliki resolusi HD. HD merupakan

singkatan High Definition yang mempunyai arti resolusi tinggi. Standar HD yang

diakui internasional memiliki kriteria dimana resolusinya adalah 1280 x 720 dan

1920 x 1080 pixels. Berdasarkan deskripsi yang nampak visual pada ketiga

gambar tersebut, secara denotatif maka makna yang diperoleh adalah polisi yang

digambarkan bisa menunjukkan empatinya terhadap masyarakat.

2. Makna Konotatif

Berdasarkan pemaknaan tahap denotatif di atas, diperoleh makna konotatif

dari ketiga gambar di atas bahwa polisi memiliki empati dan menghadapi

masyarakat secara manusiawi agar polisi memiliki citra positif di masyarakat. Hal

ini ditunjukkan dengan adegan polisi yang memeluk serta merangkul

masyarakatnya yang sedang ditimpa kesedihan. Merangkul ataupun memeluk

merupakan salah satu dari bahasa tubuh yang selalu digunakan orang pada

umumnya. David Cohen dalam buku Body Language (2009) mengatakan bahwa

merangkul adalah upaya untuk menghibur. Seseorang yang dirangkul akan merasa

dirinya lebih baik daripada sebelumnya. Pada gambar 4 dan 5 menunjukkan

bahwa polisi sedang mengusap dan mengelus orang tua korban pembunuhan.

Elusan di sini memiliki makna mengharapkan seseorang dalam keadaan baik atau

mengharapkan mereka dapat melalui hari dengan baik (Gordon 2006:172). Secara

konotasi, dapat dimaknai bahwa polisi memiliki hubungan yang dekat dengan

masyarakatnya. Elusan dan usapan lembut adalah perilaku-perilaku sentuhan yang

hanya bisa dilakukan pada orang yang memiliki hubungan dekat (Gordon

2006:172). Dari ketiga gambar pada korpus 1, polisi digambarkan menghibur

masyarakat yang sedang mengalami kesedihan. Melalui adegan tersebut jelas

membuat citra polisi menjadi positif di pandangan masyarakat. Hal ini senada

dengan pendapat Gordon (2006:167) bahwa kontak badan seperti merangkul dan

memeluk merupakan orang yang cenderung memiliki sikap yang lebih positif.

Maka dengan begitu masyarakatpun akan memandang polisi sebagai orang yang

bersikap positif.

37

Empati tentu dibutuhkan polisi agar menjadi sosok polisi yang ideal bagi

masyarakat. Sayangnya, belum semua polisi yang memiliki sifat empati tersebut.

Khususnya di Indonesia, peneliti melihat bahwa terdapat polisi yang masih kurang

empati berdasarkan berita yang peneliti baca di web CNN Indonesia dengan judul

“Cerita Empati Polisi dan Gas Air Mata” (01/07/2016). Pada intinya berita

tersebut mengisahkan Megiza, seorang karib yang kena penipuan belanja online

hendak melapor ke kantor Polsek Duren Sawit, Jakarta Timur (26/6). Sesampai di

Polsek, Megiza bergegas menuju ruang Sentra Pelayanan Masyarakat (SPK).

Kemudian seorang polisi berpangkat Aiptu menerima laporan Megiza dengan

santai (sesantai orang yang tidak menghadapi masalah), bahkan juga ada petugas

polisi yang menanggapi acuh tak acuh. Kemudian saat Megiza mau numpang

print barang bukti ke ruang Subnit III Reserse Kriminal, terdapat tiga penyidik di

ruang tersebut sedang duduk menatap layar ponsel masing-masing dan para

penyidik tersebut tampak tak berminat membantu. Kesimpulan dari penulis berita

tersebut, ada yang salah dengan empati para petugas polisi ini. Berhati-hati dan

memupuk rasa empati, perlu menjadi perhatian penting Korps Bhayangkara1 .

Kasus tersebut merupakan salah satu kasus dari sebagian banyak kasus yang

mencerminkan mitos yang ada di Indonesia. Mitos yang menyatakan bahwa polisi

sejak dahulu kurang berempati dengan masyarakatnya. Kasus tersebut juga tidak

mencerminkan ideologi Pancasila yang dianut oleh masyarakat Indonesia yakni

kemanusiaan yang adil dan beradab.

1 Kandi, Rosmiyati D. 15 Juli 2016. Diakses dari

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160701125459-12-142384/cerita-empati-polisi-dan-gas-

air-mata/

38

Korpus 2

Kategori 2 (Polisi harus santun menghadapi warga, menghargai hak-hak asasi

manusia). Terdapat dua adegan yang sesuai dengan kategori ke-dua, diantaranya

terdapat pada scene 8 (Episode 1) dan scene 2 (Episode 3).

Gambar 6 Gambar 7

(Scene 8, Episode 1) (Scene 2, Episode 3)

1.Makna Denotatif

Secara denotatif, gambar 6 menampilkan adegan Iptu Ardi yang sedang

memberikan minum kepada ibu Soffie. Terlihat ibu Soffie yang mengenakan kaos

berwarna hitam sedang mengepalkan tangan kanannya dan tangan kirinya

menggenggam tangan kanannya. Dibagian kanan gambar, Iptu Ardi yang

mengenakan baju hitam dengan memakai kalung tanda pengenal kepolisian

sedang membungkukkan badannya sambil menyodorkan satu gelas air putih

kepada ibu Soffie dengan tangan kanannya. Gambar 7 menampilkan adegan Iptu

Ardi sedang meminta Citta untuk ikut penyidikan ke kantor polisi. Pada adegan

ini, Citta telah menolak terlebih dahulu ajakan Iptu Ardi. Setelah itu terlihat Iptu

Ardi memakai jaket hitam dengan sedikit membungkukkan badan dan dengan

mempertautkan kedua telapak tangannya semacam jari-jarinya membentuk

menara, berbicara lembut kepada Citta agar Citta mau ikut ke kantor polisi. Tepat

di depan Iptu Ardi, ada Citta yang sedang berdiri mengenakan jaket berwarna

coklat sambil melihat gerakan isyarat tangan Iptu Ardi. Berdasarkan ciri – ciri

yang nampak pada gambar 6 dan gambar 7, peneliti menemukan dua aspek,

diantaranya adalah budaya dan bahasa tubuh. Model berpakaian merupakan salah

39

satu dari unsur-unsur yang bisa menunjukkan identitas budaya rakyat. (Schreiter,

2006 : 89)

2. Makna Konotatif

Secara konotatif, gambar 6 dilihat dari aspek budayanya, peneliti condong

melihat dari model berpakaian. Ibu Soffie dan Iptu Ardi berpakaian dengan warna

hitam. Hal tersebut menunjukkan bahwa suasana hati Ibu Soffie masih dalam

kedukaan mendalam atas kematian Alana. Baju Hitam yang dipakai Iptu Ardi

menunjukkan bahwa dirinya juga turut merasakan duka yang mendalam atas

kematian Alana. Warna hitam melambangkan kematian atau kesedihan.2 Gambar

6 memiliki makna bahwa polisi santun menghadapi warganya. Seperti yang

dijelaskan oleh Farouk Muhammad, kata santun disini dapat diartikan seorang

polisi yang mempunyai sikap tidak menunjukkan kekuasaannya seolah dia figur

penguasa. Hal itu dapat dibuktikan dari bahasa tubuh Iptu Ardi. Dengan badan

yang membungkuk, Iptu Ardi memberikan segelas air putih kepada Ibu Soffie.

Badan yang membungkuk menunjukkan kerendahan hati (Gordon, 2006:116).

Begitupun sebaliknya, sikap tubuh yang tegak menunjukkan status yang tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa seorang polisi juga setara dengan warga ataupun

masyarakat biasa. Bisa diartikan juga bahwa polisi tidak lebih tinggi statusnya

dari pada warga biasa. Segelas air putih yang dibawa Iptu Ardi menunjukkan

kesederhanaan seorang polisi yang ingin memberi ketenangan pada warganya.

Gambar 7 secara konotatif menunjukkan bahwa polisi menghargai hak-hak

asasi manusia. Polisi tidak bersikap arogan. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan

adegan Iptu Ardi yang ditolak Citta untuk ikut ke kantor polisi. Saling menghargai

menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, terutama ketika terjadi perbedaan,

termasuk perbedaan gender. Sikap penghargaan kepada orang lain berarti tidak

memaksakan kehendak kepada orang lain (Tim Pusat Studi Pancasila UGM dan

Tim Universitas Pattimura Ambon, 2014:475). Sikap Iptu Ardi yaitu tidak

2 Nasution, Siti F . 18 Juli 2016. Diakses dari

http://www.kompasiana.com/sitifatimahnasutionikom/pakaian-hitam-saat-melayat-budaya-atau-

kebiasaan_551fa83ca33311d42bb6728d

40

memaksa, lalu mengajaknya kembali dengan memakai bahasa tubuhnya. Dengan

sedikit membungkukkan badan dan dengan mempertautkan kedua telapak

tangannya semacam jari-jarinya membentuk menara, Iptu Ardi mulai membujuk

Citta dengan kata-kata dan dibantu oleh gerakan non-verbal. Akhirnya Citta pun

menuruti permintaan Iptu Ardi. Sebuah tim peneliti menemukan bahwa ketika

orang sedang aktif, dengan berbagai gerakan non-verbal, maka mereka akan

digolongkan sebagai orang yang hangat, lebih kasual, ramah dan energik. Gerak-

gerik dan gerakan tubuh yang terbuka dapat menjadi cara yang sangat berguna

untuk bisa menciptakan komunikasi yang hangat, penuh kepercayaan dan

keramahtamahan. Khususnya ketika kita ingin memengaruhi seseorang supaya

berubah pikiran atau membuat mereka bersedia melakukan tindakan tertentu yang

sebetulnya tidak mereka inginkan. (Gordon, 2006:104)

Sikap tidak arogan perlu dijalankan oleh seorang polisi agar menjadi sosok

yang ideal bagi masyarakat. Dengan tidak menggunakan pangkat atau jabatannya

untuk menunjukkan dirinya memiliki status yang lebih tinggi, membuat sosok

polisi terlihat rendah hati dan tidak arogan di pandangan masyarakat. Bukan

seperti sikap polisi yang peneliti temui di web merdeka.com dengan judul “Polisi

pukul kepala pemotor, diprotes malah pamer pangkat” (17/02/2016). Wiwin

Susilowati, seorang ibu asal Klaten, Jawa Tengah, mengaku menjadi korban

kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Pemilik akun Facebook Sella Bunda

Rifat mengeluhkan tindakan polisi yang bernama Sriyanto. Seluruh keluh

kesahnya diunggah melalui akun Facebook miliknya. Ibu Sella menjelaskan saat

sedang mengantarkan anaknya yang bernama Rifat pergi ke sekolah, dia bertemu

razia (operasi) kendaraan bermotor. Kemudian saat melewati pembatas operasi, bu

Sella terkena pukulan Iptu Sriyanto yang mengarah ke kepala ibu Sella dan

mengenai helmnya. Secara langsung bu Sella bertanya alasan mengapa Iptu

Sriyanto memukulnya. Lalu beginilah jawaban Iptu Sriyanto: “klo gak terima

laporkan saja nama saya ini (sambil tunjukin nama) pangkat saya ini (sambil

tunjukin pangkat)”. Merasa ditantang, ibu Sella langsung melaporkan kelakuan

polisi tersebut ke Propam Polres Klaten. Laporan tersebut diberi nomor

41

SPTL/01/II/2016/Propam.3. Kasus yang terjadi di Klaten ini membuktikan bahwa

dalam realitanya masih ada polisi yang menjadikan jabatannya atau menunjukkan

kekuasaannya sebagai seorang figur penguasa.

Korpus 3

Kategori 3 (Polisi juga harus fair). Terdapat empat adegan yang sesuai dengan

kategori ke-tiga, diantaranya terdapat pada scene 18, scene 19, scene 22, dan

scene 34 (Episode 3).

Gambar 8 Gambar 9

(Scene 18, Episode 3) (Scene 19, Episode 3)

Gambar 10 Gambar 11

(Scene 22, Episode 3) (Scene 34, Episode 3)

1.Makna Denotatif

Secara denotatif, gambar 8 menampilkan adegan Iptu Bimo berada di

ruangan kerja nya sedang menginterogasi William. Dimeja kerja Iptu Bimo

3 Pratomo, Yulistyo . 18 Juli 2016. Diakses dari http://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-pukul-

kepala-pemotor-diprotes-malah-pamer-pangkat.html

42

terdapat beberapa map yang berisi dokumen penting, secangkir kopi, laptop

berwarna abu-abu, telepon dan segelas air putih dengan tutup berwarna hijau

untuk William. Tepat di depan Iptu Bimo, William yang mengenakan kemeja

hijau kebiru-biruan sedang duduk bersandar dengan tangan yang dilipat dan di

sandarkan di atas tepat ditengah antara kedua paha nya. Gambar 9 menampilkan

adegan Iptu Ardi berada di ruangan kerjanya sedang menginterogasi Citta. Iptu

Ardi yang memakai jaket hitam serta mengenakan kalung tanda pengenal polisi

sedang duduk mengetik dengan mesin ketik dimeja kerja nya. Selain mesin ketik,

di meja kerjanya terdapat juga beberapa map yang berisi dokumen penting,

secangkir kopi, lampu meja, telepon, dan segelas air putih dengan tutup berwarna

hijau untuk Citta. Tepat di depan Iptu Ardi, Citta yang mengenakan jaket coklat

sedang duduk bersandar dengan menggenggam handphone ditangannya. Gambar

10 menampilkan adegan Iptu Ardi berada di ruangan kerjanya sedang

menginterogasi Lala. Iptu Ardi yang memakai jaket hitam serta mengenakan

kalung tanda pengenal polisi sedang duduk mengetik dengan mesin ketik dimeja

kerjanya. Selain mesin ketik, di meja kerjanya terdapat juga beberapa map yang

berisi dokumen penting, secangkir kopi, lampu meja, telepon, dan segelas air

putih dengan tutup berwarna hijau untuk Lala. Tepat di depan Iptu Ardi, Lala

yang mengenakan kaos dengan motif bergaris hijau putih sedang duduk dengan

badan tegap dan sedikit condong ke depan dengan m enyandarkan tangannya di

meja. Gambar 11 menampilkan adegan AKP Nina berada di ruangan kerjanya

sedang menginterogasi Tezar. AKP Nina yang memakai jaket hitam sedang

melipat tangannya dan disenderkan di meja. Di meja kerjanya terdapat beberapa

map dan dokumen penting, sebuah laptop, satu layar LCD komputer lengkap

dengan keyboard nya, tempat pena berwarna hitam, secangkir kopi, dan segelas

air putih dengan tutup berwarna hijau untuk Tezar. Tepat di depan AKP Nina,

Tezar yang mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak hitam putih sedang duduk

bersandar dengan kepala yang sedikit menunduk dengan tangan kiri yang

terangkat ke wajahnya.

43

2. Makna Konotatif

Berdasarkan pemaknaan tahap denotatif di atas, diperoleh makna konotatif

dari ke-empat gambar pada Korpus 3 bahwa polisi fair terhadap masyarakatnya.

Kata Fair berasal dari bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia adalah kata Adil. Menurut pendapat Frans Magnis Suseno, pengertian

keadilan yakni keadaan dimana seseorang diperlakukan dengan sama sesuai

dengan hak serta kewajibannya masing-masing. Sedangkan keadilan menurut

W.J.S Poerwadarminto yakni tak berat sebelah, sepatutnya tak sewenang-

wenang.4

Kesan pertama ketika kita melihat ke-empat gambar di atas secara

keseluruhan adalah polisi itu fair. Hal tersebut dapat di tunjukkan lewat mereka

berempat (William, Citta, Lala, dan Tezar) yang di perlakukan dengan sama oleh

polisi yaitu diberi tempat duduk, segelas air putih dan tak ada kontak fisik atau

kekerasan diantara mereka. Segelas air putih dengan tutup hijau di meja kerja

masing-masing seorang polisi. Saat diinterogasi, urut sesuai nomor gambar, mulai

dari William, Citta, Lala, dan Tezar, mereka semua mendapatkan segelas air putih

yang sama. Selain dari segelas air putih, perlakuan polisi terhadap William, Citta,

Lala dan Tezar menunjukkan bahwa polisi itu fair. Polisi digambarkan tidak

sewenang-wenang melakukan kontak fisik seperti tindakan kekerasan terhadap

orang yang diinterogasi. Seperti yang dimaksud oleh Farouk Muhammad dalam

Bekerja Sebagai Polisi (Yulihastin, 2009 : 118), fair artinya polisi harus

memperlakukan semua orang dengan sama. Pada adegan dalam ke-empat gambar

tersebut (gambar 8, 9, 10, dan 11), polisi memperlakukan semua orang dengan

sama.

Tetapi pada realitas yang ada, polisi di Indonesia sepertinya masih sulit

untuk memperlakukan semua orang dengan sama. Satu minggu sebelum film

“Enigma” perdana tayang, terdapat sebuah acara talkshow “Kick Andy” di Metro

TV yang mengundang korban salah tangkap di Indonesia. Di antaranya ada dua

4 Khasanah, Uswatun . 18 Juli 2016. Diakses dari

http://www.mediapusat.com/2015/05/pengertian-keadilan-menurut-ahli-serta.html

44

korban, yang pertama adalah Dedi bin Mugeni (34), seorang tukang ojek yang

dituduh membunuh supir angkot pada 18 September 2014. Dedi mengalami

kekerasan fisik yang dilakukan polisi. Ia kerap ditonjok dan ditendang oleh

penyidik Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur. Ia ditangkap, dianiaya hingga

dipenjara tanpa bukti.5 Kedua adalah Syamsul Arifin (27), pemuda warga

Rungkut Mejoyo, Surabaya, Jawa Timur. Syamsul ditangkap pada 8 Februari

2011 oleh aparat Polda Jawa Timur. Syamsul dituduh mencuri televisi 21 inchi

milik tetangganya. Sejumlah bogem mentah dan tendangan dari oknum polisi pun

melayang ke tubuhnya. Bahkan, sebuah balok kayu dipukulkan ke kaki kanannya,

sehingga membuatnya harus merasakan penderitaan yang berkepanjangan.

“Akibat dipukul kayu, kaki saya bila kedinginan merasa sakit. Bila sudah

bergerak, kaki ini terasa sakit bila mau diluruskan,” ucapnya. Syamsul juga

sempat mengalami kepalanya ditutup kantong kresek hingga sulit bernapas. 6 Hal

tersebut bias dengan perlakuan polisi terhadap Jessica Kumala Wongso, tersangka

kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Mirna tewas seketika setelah minum

kopi yang bercampur sianida. Kasus pembunuhan ini terjadi di Kafe Olivier,

Grand Indonesia, Jakarta pada 6 Januari 2016. Jessica diduga menaruh sianida

dalam es kopi Vietnam yang diminum Mirna. Pada 19 Januari 2016, Pemyidik

memanggil Jessica untuk diperiksa. Setelah pemeriksaan selesai, Jessica keluar

dengan tersenyum dan enggan berbicara saat dihampiri wartawan.7 Menurut

Kompolnas Edy Hasibuan, Jessica tampak santai dan tidak terlihat raut wajah

tertekan atau stres karena pemeriksaan yang dilakukan penyidik kepolisian.8

Tidak hanya dari pihak kepolisian yang mengatakan bahwa Jessica diperiksa

5 Ansyari, Syahrul. 17 November 2015. Diakses dari

http://metro.news.viva.co.id/news/read/655611-derita-dedi--korban-salah-tangkap-polisi#

6 Suhendi, Adi. 23 Juni 2016. Diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2012/12/13/ini-

pengakuan-korban-salah-tangkap-polisi?page=2

7 Pratama, Akhdi Martin. 25 Juli 2016. Diakses dari

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/27/06412451/perjalanan.kasus.yang.menjerat.jessica

.kumala.wongso.

8 Rimadi, Lukman. 25 Juli 2016. Diakses dari http://news.liputan6.com/read/2424813/kompolnas-

datangi-polda-metro-pastikan-jessica-diperlakukan-baik

45

dalam keadaan baik, dari pihak Jessica juga mengatakan hal serupa. Kuasa hukum

Jessica menyebut bahwa polisi memperlakukan kliennya dengan baik.9 Perlakuan

yang dialami oleh Dedi dan Syamsul tentu bias dengan yang dialami Jessica.

Perlakuan polisi terhadap mereka tidaklah sama. Berdasarkan kasus tersebut,

menunjukkan pada kenyataannya polisi masih sulit bekerja dengan fair.

Korpus 4

Kategori 4 (Polisi juga harus jujur dan amanah). Terdapat satu adegan yang sesuai

dengan kategori ke-empat, yaitu terdapat pada scene 29 (Episode 3).

Gambar 12

(Scene 29, Episode 3)

1.Makna Denotatif

Secara denotatif, gambar 12 menampilkan adegan AKP Nina yang sedang

berbicara dengan Iptu Bimo. Terlihat ketiganya sedang berdiri di area kantor

polisi setelah memberikan laporan kepada Kompol Surya. Di gambar bagian kiri,

terlihat Iptu Ardi sedikit menundukan kepalanya dengan mulut yang terbuka. Di

bagian kanan gambar, terlihat Iptu Bimo sedang menghadap depan tanpa

memalingkan tatapannya pada AKP Nina yang hendak berbicara. Di bagian

tengah gambar, terlihat AKP Nina sedang berdiri agak di belakang Iptu Bimo.

AKP Nina sedang berbicara dengan menurunkan alis mata dan tatapan mata yang

tajam kepada Iptu Bimo. Dalam adegan ini, AKP Nina berdialog kepada Iptu

Bimo demikian: “Kita di sini sedang menangani kasus kejahatan. Kita kerja

9 Fiardini, Regina. 25 Juli 2016. Diakses dari

http://news.okezone.com/read/2016/01/27/337/1298847/polisi-bantah-lakukan-pelanggaran-ham-

kepada-jessica

46

mengabdi kepada negara. Bekerja sebaik mungkin untuk setiap kasus yang masuk.

Di sini ga ada kompetisi, Bim. Ga ada siapa yang lebih cepet, siapa yang lebih

jago, siapa lebih pinter, siapa lebih cepet menangkap pelakunya. Semuanya bukan

soal itu. Satu lagi aku bilang sama kamu ya Bim, ini soal dedikasi. Kamu ga bisa

kerja sendirian. Inget bim, kerjasama.”

2. Makna Konotatif

Berdasarkan pemaknaan tahapan denotatif di atas, maka diperoleh makna

konotatif yang dilihat dari bahasa tubuh serta dialog adegan tersebut. Iptu Ardi

yang sedang menunduk kemudian menguap menunjukkan bahwa dirinya bosan di

dalam situasi tersebut (Cohen, 2009:119). Di samping kanan Iptu Ardi, berdiri

AKP Nina dengan tatapan tajam kepada Iptu Bimo dengan menurunkan alis

matanya. Dengan menurunkan alis mata menunjukkan AKP Nina sedang marah

dan bersemangat dalam berbicara kepada Iptu Bimo (Cohen, 2009:142). Dan di

bagian kanan gambar, terlihat Iptu Bimo yang tidak memalingkan hadapannya

saat diajak berbicara oleh AKP Nina. Dari sikap hadapan Iptu Bimo,

menunjukkan bahwa Iptu Bimo sedang cemas ataupun tidak suka dengan AKP

Nina. (Cohen, 2009:102). Selain dari bahasa tubuh, terdapat dialog yang

menunjukkan bahwa seorang polisi memiliki amanah. Dilihat dari dialog yang di

ucapkan AKP Nina kepada Iptu Bimo, terdapat kata dedikasi. Dedikasi adalah

cara diri mengabdi dan memberikan seluruh perhatian pada amanah yang telah dia

terima. Mereka yang memiliki dedikasi akan tampak dari sikapnya yang

bersungguh-sungguh, fokus, dan penuh dengan motivasi kerja keras. Mereka

pantang menyerah dan melihat segala sesuatu sebagai sarana untuk memberikan

pelayanan yang terbaik (service exellent) agar amanah yang diberikan kepadanya

dapat dilaksanakan melebihi harapan dari si pemberi amanah. (Tasmara, 2006:86).

Seorang polisi yang ideal seharusnya menjaga amanahnya. Tetapi tidak semua

oknum polisi bisa menjaga amanahnya. Seperti oknum polisi yang berinisial AH

yang bertugas di Polres Waykanan Lampung. AH yang berpangkat Brigadir ini

ditangkap petugas atas kepemilikan dan penjualan senjata api. AH ditangkap pada

47

15 Februari 2016 sekitar pukul 19.00 oleh Unit I Subdit III Jatanras Ditreskrimum

Polda Sumsel.10

5.3 Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia pada Film

“ENIGMA” Serial “Kematian Alana”

Representasi dari film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” telah

menempatkan polisi (penanda) sebagai objek bagi pemirsa. Adegan-adegan polisi

menjadi suatu daya tarik bagi pemirsa. Adegan-adegan polisi (petanda) yang

melibatkan bahasa tubuh serta dialog ini dibuat sedemikian rupa. Bahasa tubuh

yang ditampilkan yakni seperti merangkul, mengusap bahu, memeluk,

membungkukkan badan serta perlakuan yang baik kepada masyarakatnya.

Terdapat juga dialog polisi yang menunjukkan bahwa polisi memiliki dedikasi

serta menjaga amanahnya. Representasi yang dibentuk pada film “ENIGMA”

serial “Kematian Alana” ini telah membentuk citra Institusi Kepolisian Republik

Indonesia menjadi Institusi Kepolisian yang berperilaku kemanusiaan yakni

memiliki rasa empati kepada masyarakatnya seperti mengusap bahu serta

merangkul masyarakat yang sedang sedih. Santun menghadapi warga seperti

memberi minuman kepada masyarakat yang sedang berada dikantor polisi.

Menghargai hak-hak asasi manusia dengan bersikap tidak arogan terhadap

masyarakatnya. Tidak menggunakan pangkat atau jabatannya sebagai seorang

figur penguasa. Fair terhadap semua orang seperti adegan film yang terdapat pada

korpus 3, masyarakatnya mendapat perlakuan yang sama dari masing-masing

polisi. Polisi juga menjaga amanahnya seperti dialog yang terdapat pada adegan

film di korpus 4. Dialog tersebut menggambarkan polisi yang memiliki dedikasi

yang tinggi serta mengutamakan kerjasama antar polisi untuk memberikan

pelayanan terbaik bagi negara.

10

Hadinata, Welly. 25 Juli 2016. Diakses dari

http://www.tribunnews.com/regional/2016/02/17/oknum-anggota-polisi-waykanan-tertangkap-

saat-jual-senjata-api-polisi

48

Representasi citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia yang terbentuk

pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana” tidaklah sesuai dengan realitas

sosial yang terjadi. Adegan film tersebut cenderung seperti ingin menutupi mitos

yang tertanam sejak lama di Indonesia. Ada gaya yang seolah melebih-lebihkan

polisi dalam beradegan dalam scene tertentu. Dari sinilah istilah hiperealitas

tercipta, seperti yang diungkapkan Umberto Eco, yang memperkenalkan teori

Hiperealitas. Bagi Eco, hiperealitas adalah segala sesuatu yang merupakan

replikasi, salinan, atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu, yang dihadirkan di

dalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. Akan tetapi, ketika masa lalu

tersebut dihadirkan didalam konteks waktu masa kini, maka ia kehilangan kontak

dengan realitas, dengan pengertian ia bisa tampak seakan-akan lebih dari

kenyataan yang disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya, sehingga

menciptakan sebuah kondisi meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original).

(Piliang, 2004 : 59). Pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana”, polisi

dikonstruksi memiliki rasa empati, santun menghadapi warga, fair terhadap semua

orang, serta menjaga amanahnya sebagai seorang polisi. Gaya melebihkan sesuatu

atau mengkonstruksi sesuatu seperti ini, dalam posmodernisme dikenal dengan

istilah hiperealitas. (Audifax, 2006 : 19). Dengan dikonstruksi seperti itu, polisi

akan menjadi sosok polisi yang ideal d an berkesan positif bagi masyarakat.

Dari seluruh penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

representasi citra yang terbentuk pada Institusi Kepolisian Republik Indonesia

adalah citra keinginan. Dalam tulisan Malvi, citra keinginan menurut Frank

Jefkins adalah seperti apa yang diingin dan dicapai oleh pihak manajemen

terhadap lembaga yang ditampilkan tersebut lebih dikenal, menyenangkan dan

diterima dengan kesan yang positif.11

Tentu kesan positif dari masyarakat saat ini

sangat dibutuhkan oleh Institusi Kepolisian Republik Indonesia, dimana saat ini

citra polisi sedang menurun dan dipandang negatif oleh masyarakat.

11

Malvi, Alvina. 25 Juli 2016. Diakses dari

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26272/1/ALVINA%20MALVI-FDK.pdf