Lapkas HD Revisi Fix

56
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak- tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus. ¹ Pasien dengan penyakit Hirschprung ini pertama kali di laporkan pada tahun 1691 oleh Frederick Ruysch, tetapi Harald Hirschsprung baru mempublikasikan penyakit ini pada tahun 1886 dengan deskripsi megakolon kongenital. Awalnya, patofisiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian usus akibat defisiensi ganglion. 2 Pada tahun 1888, Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan perut yang kembung akibat kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses. Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. 3

description

jdkhoaeieo

Transcript of Lapkas HD Revisi Fix

Page 1: Lapkas HD Revisi Fix

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik

usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang

bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum

dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus. ¹

Pasien dengan penyakit Hirschprung ini pertama kali di laporkan pada tahun

1691 oleh Frederick Ruysch, tetapi Harald Hirschsprung baru mempublikasikan

penyakit ini pada tahun 1886 dengan deskripsi megakolon kongenital. Awalnya,

patofisiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938,

dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai

pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian usus akibat

defisiensi ganglion.2

Pada tahun 1888, Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan

perut yang kembung akibat kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses.

Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang

tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus.3

Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi

penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1

diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan

tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi

dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit

Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo

Jakarta.³

Kelainan pada penyakit ini biasanya ditemukan mulai dari bagian distal kolon

yaitu di peralihan antara usus dengan anus. Panjang dari bagian segmen yang

tidak mempunyai sel ganglion (aganglionik) itu biasanya berbeda-beda ; 75%

Page 2: Lapkas HD Revisi Fix

2

pasien terbatas pada bagian rektum dan sigmoid, 8% pasien mengalami segmen

aganglionik pada seluruh bagian kolon, dan jarang melibatkan usus kecil.²

Setelah muncul penemuan kelainan histologik pada penyakit ini, barulah

ditemukan teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini.³

Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan

peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan

dan diagnosis dan penatalaksanaan dengan enterokolitis.³

1.2. Rumusan Masalah

Laporan kasus ini membahas definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan,

dan komplikasi dari penyakit Hirschsprung.

1.3. Tujuan Penulisan

a. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi, patofisiologi,

manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan, dan

komplikasi penyakit Hirschsprung.

b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

c. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi

Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

Page 3: Lapkas HD Revisi Fix

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Anatomi dan Histologi Usus Besar

Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Kolon terdiri atas

tiga bagian yaitu, pars ascendens, pars transversus, dan pars descendens. Bagian

akhir dari kolon pars descendens adalah sigmoid yang membentuk huruf “S”,

kemudian lanjut menjadi bagian yang lurus yaitu rektum. 4

Gambar 2.1. Anatomi usus besar

Usus memiliki empat lapisan yaitu tunica mucosa, tunica submukoca, tunica

muscularis,dan tunica serosa. Lapisan mukosa dilapisi oleh lamina propria dari

jaringan ikat longgar yang kaya akan pembuluh darah, pembuluh limfe, dan otot

polos. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat padat, pembuluh darah, dan

pembuluh limf. Lapisan ini juga terdiri atas pleksus Meissner. Lapisan muskularis

terdiri atas dua sub lapisan mengikuti arah sel otot. Lapisan internal yang dekat

dengan lumen mengikuti pola sirkuler, dan bagian eksternal mengikuti arah

Page 4: Lapkas HD Revisi Fix

4

longitudinal. Lapisan muskular juga terdiri dari pleksus Auerbach yang berada

diantara dua lapisan sirkular dan longitudinal. Sementara lapisan serosa terdiri

dari jaringan ikat longgar, pembuluh darah, pembuluh limfe, juga lapisan

squamous cell.5

Gambar 2.2. Lapisan Otot

Rektum memiliki 3 buah valvula yaitu valvula superior kiri, medial kanan dan

inferior kiri. 1/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvis dan tefiksasi,

sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak di rongga abdomen dan relatif mobile.

Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior

lebih panjang dibanding posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir

dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal.

Saluran anal dikelilingi oleh sfingter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot

yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar . Sfingter ani eksterna terdiri dari

3 sling : atas, medial dan depan..6

Persarafan motorik sfingter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis ( N.

Hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf simpatis

(N.Splancnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini

Page 5: Lapkas HD Revisi Fix

5

membentuk pleksus rektalis, sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N

sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sfingter ani eksterna dan

m.puborektalis. Saraf simpatis tidak memengaruhi otot rektum. Defekasi

sepenuhnya dikontrol oleh N. Splanknikus ( parasimpatis). Akibatnya kontinensia

sepenuhnya dipengaruhi oleh N. Pudendalis dan N.Splanknikus Pelvis

(parasimpatis).7

Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus:

a. Pleksus Auerbach: terletak dilapisan otot sirkuler dan longitudinal

b. Pleksus Henle : terletak di sepanjang batas dalam otot sirkuler

c. Pleksus Meissner: terletak di submukosa

1.2. Fisiologi Refleks Defekasi

Ketika makanan memasuki lambung, pergerakan massa yang dipicu di kolon

disebut sebagai refleks gastrokolik yang diperantarai oleh gastrin dan persarafan

autonomik. 1 Refleks gastroenterik dan refleks gastroileal akan mentransfer

material dari sekum ketika makan. Pergerakan dari sekum ke kolon transversus

sangat lambat, sehingga material yang terdiri dari banyak cairan akan diubah

menjadi lebih padat karena absorpsi air. Gelombang peristaltik di usus akan

memindahkan isi di sepanjang usus. 8

Kontraksi peristalsis yang cukup kuat akan muncul beberapa kali sehari.

Kontraksi ini akan memindahkan material dari kolon transversus ke bagian usus

besar selanjutnya. Stimulus berasal dari lambung dan usus, yang akan di

hantarkan ke pleksus saraf. Kontraksi tersebut akan memaksa feses untuk masuk

ke rektum dan menghasilkan keinginan untuk defekasi.8

Rektum biasanya dalam keadaan kosong, kecuali adanya kontraksi peristalsis

yang cukup kuat untuk memindahkan feses dari kolon sigmoid ke rektum.

Peregangan dinding rektum akan menghasilkan refleks defekasi. Refleks ini akan

menghasilkan dua umpan balik positif. Reseptor peregangan rektum akan memicu

kontrol defekasi yang dapat disadari. Refleks pertama dimediasi oleh inervasi

Page 6: Lapkas HD Revisi Fix

6

parasimpatis di pelvis. Refleks ini akan menyebabkan relaksasi sfingter anal

internal. Otot polos sfingter akan mengontrol pergerakan feses ke kanal anal.

Refleks kedua adalah refleks somatis yang memicu kontraksi segera dari sfingter

anal eksterna. N. Pudenda akan membawa perintah motorik.8

Kedua sfingter anal interna dan eksterna harus berelaksasi agar feses dapat

dikeluarkan. Tetapi, kedua refleks membuka sfingter internal namun menutup

sfingter eksternal. Pengeluaran feses harus dalam keadaan yang disadari untuk

membuka sfingter eksternal. Aktivitas lainnya yang dapat membantu pengeluaran

feses melalui peningkatan tekanan intraabdomen, seperti mengedan. Keinginan

untuk mengeluarkan feses muncul ketika tekanan di rektum mencapai 15 mmHg.

Jika tekanan ini melebihi 55 mmHg, sfingter anal eksternal akan relakasi secara

tidak sadar sehingga terjadi defekasi. Mekanisme ini muncul pada bayi dan pada

pasien dengan kerusakan medulla spinalis. 8

Gambar 2.3. Refleks Defekasi

Page 7: Lapkas HD Revisi Fix

7

1.3. Definisi Penyakit Hirschsprungs

Penyakit Hirschsprungs adalah suatu penyakit kongenital yang disebabkan

oleh malformasi dari sistem parasimpatis pelvik yang mengakibatkan ketiadaan

sel-sel ganglion pada pleksus auerbach dan miessner pada bagian kolon distal.9

1.4. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyakit hirschprung berkaitan erat dengan genetik. Tidak adanya ganglion

dapat disebabkan oleh mutasi gen yang menyebabkan kegagalan pada migrasi,

diferensiasi atau kehidupan pada sel tersebut. Reseptor Tyrosine Kinase Gene

(RET) merupakan gen yang biasanya mengalami mutasi. Secara signifikan mutasi

gen RET juga ditemukan pada sindrom neoplasma endokrin multipel tipe IIA dan

IIB dan karsinoma tiroid medullar familiar. Penyakit Hirschprungs juga sering di

temukan pada anak dengan trisomi 21 ( Sindrom Down). Gen yang telah

bermutasi tersebut bisa mengakibatkan defek saat embriogenesis. Sebuah studi

yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kolon yang normal memiliki banyak

NCAM (Neural Cell Adhesion Molecules), akan tetapi NCAM tidak ditemukan

pada bagian yang aganglionik pada penyakit Hirschprungs. NCAM ini

diperkirakan berperan penting dalam pembentukan sel ganglion pada saat

embriogensis. 10

Adapun faktor risiko penyakit Hirschsprung adalah sebagai berikut:

a. riwayat keluarga menderita penyakit Hirschsprung,

b. menderita Sindom Down,dan

c. laki-laki.22

1.5. Epidemiologi

Penyakit Hirschsprungs dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi

terjadinya penyakit Hirschsprungs biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat

keluarga dengan Hirschsprungs dan pasien yang menderita Sindrom Down.

Page 8: Lapkas HD Revisi Fix

8

Daerah Rektosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, fleksura lienalis

atau transversum pada 17 kasus.9

Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya

Penyakit Hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1,5-17%

dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki-laki dan 360 kali lebih tingi pada anak

perempuan. Penyakit Hirschsprungs lebih sering diturunkan oleh ibu yang

aganglionosis dibanding ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami

aganglionosis total pada kolon ( sindrom Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan

menyebutkan 4 keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena, kebanyakan

mengalami aganglionosis segmen panjang. 9,11

1.6. Klasifikasi

Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang

terkena. Adapun klasifikasi dari Hirschsprung’s Disease adalah sebagai berikut. 23

1. Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil

dari rectum.

2. Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari

colon.

3. Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.

4. Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum

dan kadang sebagian usus ke

Page 9: Lapkas HD Revisi Fix

9

Gambar. Tipe Hirschsprung’s Disease23

1.7. Patogenesis

Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan

spfingter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Sehingga pada bagian abnormal

akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal, sedangkan bagian yang

normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya.6 Dasar patofisologi

penyakit Hirschcprungs adalah tidak adanya gelombang propulsif dan

abnormalitas atau hilangnya relakasasi dari sfingter anus internus yang

disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis, atau disganglionosis pada usus yang

terkena.12,13

Tidak terdapatnya ganglion pada kolon menyebabkan peristaltik usus

menghilang sehingga feses dalam lumen kolon terhambat yang menimbulkan

terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah

Page 10: Lapkas HD Revisi Fix

10

aganglionik sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi di bawahnya.

Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut atau kronis yang

tergantung panjang usus yang mengalami aganglionik. Obstruksi kronis

menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang

disertai iritasi feses dan menyebabkan invasi bakteri. Pada tahap selanjutnya

terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon.

Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan

terjadi sepsis, dan kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.12,13,14

1.8. Gejala Klinis

Pada bayi yang baru lahir biasanya terjadi keterlambatan pengeluaran

mekonium pertama, diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah berwarna hijau.

Pada bayi normal, mekonium akan keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada

penyakit Hirschcprungs, mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normalnya

berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. Diare

dapat menunjukkan adanya suatu enterokolitis.17,13

Pada anak yang lebih besar, dapat mengalami kesulitan makan, distensi

abdomen kronis, dan adanya riwayat konstipasi. Gejala penyerta lain seperti

impaksi feses, demam, dan diare menunjukkan terjadinya tanda-tanda

enterokolitis, malnutrisi, dan gagal tumbuh.15,14

Pada pemeriksaan colok dubur, sfingter ani teraba hipertonus dan rektum

biasanya kosong. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan disekitar

umbilikus, punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terjadi

komplikasi peritonitis.15,12,14

1.9. Pemeriksaan Penunjang

1.9.1. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos abdomen (BNO)

Page 11: Lapkas HD Revisi Fix

11

Sulit untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada usus

kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. Oleh karena itu, harus dilakukan

pemeriksaan radiologi lanjutan untuk mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan

dengan barium enema adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi

yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung ini. 19

b. Pemeriksaan Barium Enema

Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa

Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :

1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

panjangnya bervariasi;

2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah

daerah dilatasi;

3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit

Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto

setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya

adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon.

Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan

obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daereah rectum dan

sigmoid.16

Page 12: Lapkas HD Revisi Fix

12

Gambar 2.4. Pemeriksaan barium enema menunjukkan zona transisi. Zona ini

merupakan transisi dari dilatasi usus yang biasanya diinervasi normal. 18

Gambar 2.5. Pemeriksaan barium enema pada penderita dengan penyakit

Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid

serta pelebaran di bagian atas dari zona transisi. 16

Page 13: Lapkas HD Revisi Fix

13

Gambar 2.6. Zona transisi yang khas, tampak dilatasi di antara kolon yang terisi

massa feses dibagian atas dan rektum yang relatif menyempit di bagian bawah. 20

Gambar 2.7. Rektum pada bayi baru lahir ini kelihatan lebih kecil dari sigmoid

dan kolon descendens, tetapi tidak terdapat zona transisi yang jelas. 20

Page 14: Lapkas HD Revisi Fix

14

Gambar 2.8. Pemeriksaan dengan kontras (barium enema) pada bayi lainnya

menunjukkan segmen aganglionik yang ireguler dan mengalami spasme. 20

Gambar 2.9. Tampak penyempitan dibagian rektum dan sigmoid pada foto barium

enema sisi lateral20

Semakin lanjut usia pasien saat terdeteksi penyakit ini, maka semakin jelas

perbedaan yang tampak antara usus yang normal dan abnormal19

Page 15: Lapkas HD Revisi Fix

15

Gambar 2.10.. Pemeriksaan barium enema pada bayi baru lahir dengan penyakit

Hirschsprung. Biasanya perubahan klasik dari penyakit ini tidak begitu jelas pada

periode neonatal.20

Gambar 2.11. Pemeriksaan barium enema yang dilakukan selanjutnya

memperlihatkan gambaran megakolon yang tipikal, zona transisi serta bagian

aganglionik yang tidak melebar.20

Page 16: Lapkas HD Revisi Fix

16

Gambar 2.12. Pemeriksaan barium enema pada seorang pria muda dengan

penyakit Hirschsprung tipe segmen pendek. Pria ini mengalami konstipasi kronis

yang berlangsung sepanjang hidupnya. Perhatikan adanya dilatasi usus besar dan

residu feses. 20

Page 17: Lapkas HD Revisi Fix

17

Gambar 2.13. Penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan barium enema tampak

pengurangan kaliber rektum dan dilatasi loop usus besar dengan permukaan

mukosa yang ireguler (diskinesia).20

Gambar 2.14. Penyakit Hirschsprung pada bayi yang berusia 6 bulan

dengan riwayat konstipasi kronis. Foto barium enema sisi lateral ini menunjukkan

dilatasi pada sigmoid kolon proksimal dan kolon asendens 17

Pada orang dewasa yang menderita penyakit ini, biasanya lesi hanya

terbatas pada bagian sigmoid kolon atau rektum. Pemeriksaan yang dilakukan

pada penderita dewasa itu hampir sama seperti dengan pemeriksaan yang

dilakukan ke atas bayi, iaitu dengan pemeriksaan barium enema. Dalam suatu

studi, didapatkan pemeriksaan dengan CT scan juga bermanfaat untuk

menentukan letak zona transisi dari penyakit ini. Hasil gambaran CT scan yang

didapatkan juga sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada biopsi

rektum. 17

Page 18: Lapkas HD Revisi Fix

18

Gambar 2.15. Gambaran penyakit Hirschsprung dengan segmen aganglionik di

bagian atas rektum pada seorang pria muda berusia 19 tahun. AC = ascending

colon, DC = descending colon. Segmen kolon yang lain dalam batas normal.17

Page 19: Lapkas HD Revisi Fix

19

Gambar 2.16. Pemeriksaan double kontras barium enema tampak dilatasi bagian

atas dari rektum dan rectosigmoid junction yang terisi massa feses (pada anak

panah).17

Gambar 2.17. Foto CT scan dengan kontras potongan transversal tampak dilatasi

bagian proksimal rektum serta bagian rektosigmoid yang terisi massa feses. 17

Page 20: Lapkas HD Revisi Fix

20

Gambar 2.18. Foto CT scan kontras potongan transversal. Tampak zona transisi

dan penyempitan di bagian distal rektum.18

c. Pemeriksaan lainnya

Laboratorium Studi

CBC count: Tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya komplikasi

seperti enterokolitis yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung. Peningkatan

WBC count atau bandemia harus dicurigai terjadinya enterokolitis.18

Anorektal manometri

Gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sfingter ani interna

ketika ekttum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah bisa segera

dilakukan dan pasien dapat cepat pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.

Metode ini lebih serig dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada

neonatus. Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan

riwayat atipikal baik untuk penyakit Hirschsprung atau konstipasi fungsional,

manometri anorektal dapat membantu dalam membuat diagnosis. Anak-anak

Page 21: Lapkas HD Revisi Fix

21

dengan penyakit Hirschsprung gagal untuk menunjukkan reflex relaksasi pada

spinkter ani interna dalam menanggapi inflasi balon dubur. 18

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks anorektal pada pasien

yang dicurigai dengan penyakit Hischsprung. Orang yang menderita penyakit ini

biasanya akan kehilangan atau berkurang refleks anorektalnya. Penurunan refleks

anorektal yang dimaksudkan adalah kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah

dilakukan inflasi balon di bagian rektum. Bagaimanapun, terdapat banyak

perbedaan pendapat tentang penilaian pada tes diagnostik ini. 21

Biopsi rektum

Biopsi rektum merupakan tes yang paling akurat untuk mendeteksi

penyakit Hirschsprung. Biopsi rektum merupakan gold standart untuk

mendiagnosis penyakit Hirscprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat

dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus biopsi

rektum. Dokter mengambil bagian sangat kecil dari rektum untuk dilihat di bawah

mikroskop. Untuk pengambilan sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate

dan juga mengambil sampel yang normal dari yang normal ganglion hingga yang

aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena

sampel yang diambil pada mukosa rektal lebih tebal. Anak-anak dengan penyakit

Hirschsprung tidak memiliki sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada

biopsi hisap, jaringan dikeluarkan dari kolon dengan menggunakan alat

penghisap. Karena tidak melibatkan pemotongan jaringan kolon maka tidak

diperlukan anestesi.

Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit Hirschsprung tidak

terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada jaringan contoh, biopsi full-

thickness biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi penyakit Hirschsprung. Pada

biopsi full-thickness lebih banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam

dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Tidak

adanya sel-sel ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.19

1.10. Diagnosis Banding

Page 22: Lapkas HD Revisi Fix

22

Diagnosis banding dari Penyakit Hirschcprungs harus meliputi seluruh

kelainan dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:20

Obstruksi mekanik Obstruksi fungsional

Meconium ileus

- Simple

- Complicated (with

meconium cyst or

peritonitis)

Meconium plug syndrome

Neonatal small left colon

syndrome

Malarotation with volvulus

Incarcerated hernia

Jejunoileal atresia

Colonic atresia

Intestinal duplication

Intussusceptions

NEC

Sepsis

Intracranial hemorrhage

Hypothyroidism

Maternal drug ingestion or

addiction

Adrenal hemorrhage

Hypermagnesemia

Hypokalemia

1.11. Penatalaksanaan

1.11.1. Non Pembedahan

Ketika diagnosis penyakit Hirschsprung disangkakan maka pasien

ditangani sebagai pasien obstruksi. Sesegera mungkin pasien dipuasakan dan

dilakukan dekompresi dengan memasang selang NGT dan kateter urin. IV line

dipasang untuk memastikan rehidrasi yang cukup dan antibiotik empiris sistemik

diberikan.21

1.11.2. Pembedahan

Page 23: Lapkas HD Revisi Fix

23

Penyakit Hirschsprungs memerlukan tindakan pembedahan sebagai

tatalaksana definitif pada semua kasus. Pendekatan pembedahan klasik terdiri dari

prosedur yang bertingkat. Ini termasuk pembuatan kolostomi pada neonatus,

diikuti dengan pembedahan definitif setelah berat anak >10 kg. Ada tiga prosedur

pembedahan pull-through yang saat ini digunakan. Untuk masing – masing

operasi yang dilakukan, prinsip tatalaksana pada pembedahan adalah memastikan

lokasi dari usus dimana transisi antara usus berganglion dengan yang tak

berganglion terletak, reseksi segmen tak berganglion dari usus, dan melakukan

anastomosis dari usus berganglion ke anus ataupun ke selubung rektum.21

Sekarang sudah sepenuhnya diketahui bahwa operasi pull – through dapat

dilakukan secara aman, bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti

prinsip yang sama seperti pembedahan bertingkat dan menghindarkan pasien dari

pembedahan tambahan. Beberapa ahli bedah melakukan diseksi intra abdominal

menggunakan laparoskop. Pendekatan ini terutama berguna pada pembedahan

dengan pasien neonatus, karena memberikan visualisasi yang sangat baik pada

pelvis. Pada anak dengan distensi abdomen yang signifikan, dapat dilakukan

kolostomi untuk dekompresi.21

Dari ketiga prosedur operasi pull – through yang dilakukan pada penyakit

Hirschsprungs, yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini, rektum

aganglion di diseksi dari pelvis dan dikeluarkan melalui anus. Kolon berganglion

kemudian disambungkan ke anus melalui pendekatan perineal. Prosedur kedua

adalah prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi pada ruang retrorektal,

dan kolon berganglion disambungkan secara posterior tepat di atas anus. Dinding

anterior pada kolon berganglion dan dinding posterior dari rektum aganglion

disambungkan menggunakan stapler. Meskipun kedua prosedur ini terbukti sangat

efektif, prosedur ini memiliki potensi untuk terjadi kerusakan pada syaraf

parasimpatik yang berada di sekitar rektum. Untuk menghindari masalah potensial

ini. Prosedur ketiga adalah prosedur Soave yang dikerjakan dengan mendiseksi

mukosa rektum secara keseluruhan dan kolon berganglion ditarik melewati

selubung muskular ini dan disambungkan pada anus.21

Page 24: Lapkas HD Revisi Fix

24

Pada semua kasus, sangat penting untuk memastikan lokasi usus

berganglion. Kebanyakan ahli bedah percaya bahwa anastomosis harus dilakukan

sekurangnya 5 cm dari titik dimana usus berganglion ditemukan. Hal ini

mencegah dari melakukan operasi pull – through pada zona transisi, yang

berkaitan dengan tingginya insidensi dari komplikasi akibat pengosongan tidak

optimal pada segmen pull – through.21

1.12. Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi pada ketiga prosedur ini termasuk enterokolitis pos operasi,

konstipasi, dan striktur anastomosis. Seperti dijelaskan sebelumnya, hasil jangka

panjang dari ketiga prosedur sangat baik. 21

Gambar 2.19. Prosedur Duhamel

Page 25: Lapkas HD Revisi Fix

25

Gambar 2.20. Prosedur Swenson

Gambar 2.21. Prosedur Soave

Page 26: Lapkas HD Revisi Fix

26

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Alicia

Gender : Perempuan

Umur : 32 Hari

MR : 00.63.35.11

Ruangan : Perinatology (RB4A)

Tanggal masuk : 16 Februari 2015

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : SulitBuang Air Besar

Telaah :

- Hal ini dialami os sejak lahir. Os jarang BAB. Terkadang tidak ada

BAB dalam sehari. Kotoran sangat sedikit hanya berupa bercak-bercak

pada popok. Riwayat anus dicolok untuk mengeluarkan kotoran

disangkal.

- Keluhan perut membesar dijumpai. Hal ini dialami sejak osberumur 1

minggu. Perut semakin membesar dan teraba keras dalam 1 minggu

terakhir.

- Keluhan muntah dijumpai 3 hari SMRS. Muntah berwarna kuning-

kehijauan. Muntah dialami sebanyak 2 kali, sebanyak 2 sendok makan

per kali muntah.

- BAB pertama keluar lebih dari 24 jam setelah lahir.

- Riwayat demam tidak dijumpai. Buang air kecil normal.

- Riwayat keluarga mengalami hal yang sama disangkal.

RPT : Tidak ada

RPO : Tidak jelas

Page 27: Lapkas HD Revisi Fix

27

Riwayat Kehamilan: Usia Ibu saat Hamil 40 tahun, ANC ke Bidan dan dokter

kandungan, Riwayat Hipertensi, DM dan adanya demam saat hamil (-).

Riwayat Kelahiran : BBL = 2500 gram, anak ke-4 dari 4 bersaudara, os segera

menangis saat lahir, terlillit tali pusat (+), biru (-), Mekonium baru keluar lebih

dari 24 jam setelah lahir.

III. STATUS PRESENS

Sensorium : Compos Mentis

Temperature : 36,8 oC

Nadi : 140x/i

Pernafasan : 40x/i

IV. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalisata :

Kepala

Mata : refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior

pucat (+/+), sklera ikterus (-/-)

T/H/M : DBN

Leher : Trakea medial, pembesaran KGB (-), TVJ R+2 cmH2O

Toraks

Inspeksi : simetris fusiformis, retraksi dada (-)

Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : SP: vesikuler, ST: tidak dijumpai, RR : 42 x/menit

Jantung: S1 (N), S2 (N), Murmur (-), HR: 140 x/menit

Abdomen

Inspeksi : Distensi

Palpasi : soepel

Perkusi : timpani

Auskultasi : Normoperistaltik

Page 28: Lapkas HD Revisi Fix

28

Ekstremitas

Superior : oedem (-), Tidak Ada Kelainan,

Inferior : oedem (-) , Benjolan pada paha (-)

V. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium 14 Februari 2015 di RSU Metodist

WBC 11,2 x 103/mm3

RBC 3,55 x 106/mm3

HGB 11,2 g%

HCT 33,7 %

Trombosit 375 x 103/ mm3

MCV 94,9 fL

MCH 33,5 pg

MCHC 35,5 g %

Neutrofil 64 %

Limfosit 32%

Monosit 4 %

Eosinofil 0,00 %

Basofil 0,00 %

Faal Hati

Protein total 5,21 g/dl (6,6-8,7)

Albumin 3,56 g/dl (3,5-5,3)

Globulin 1,65 g/dl (1,3-3,0)

Faal Hemostatis

PT 17,8 (normal)

APTT 35,3 (normal)

INR 1,18

Hasil Foto Barium Enema 7 Februari di RS Santa Elisabeth

Page 29: Lapkas HD Revisi Fix

29

Foto Barium Retensi

Interpretasi Foto Barium Retensi

Page 30: Lapkas HD Revisi Fix

30

Dilakukan pemeriksaan colon dengan contrast water soluble.

Ampula-recti dan recto-sigmoid tampak normal.

Colon sigmoid, decendense, transversum dan asendens tampak

panjang dan berkelok kelok, haustrae tampak normal

Caecum dan ileo-caecal baik

Tidak tampak filling defect maupun aditional defect pada sepanjang

lumen colon.

Kesimpulan : tidak tampak tanda-tanda radiologis hirschsprung’s disease

maupun kelainan lain pada colon in loop.

Hasil Foto Baby Gram 14 Februari di RSUP HAM

Interpretasi Foto Baby gram

Page 31: Lapkas HD Revisi Fix

31

Scheedel : Ekstremitas atas dan bawah dalam batas normal

Thorax : Infiltrat minimal di perihilar dan parakardial kanan

Jantung ukuran normal

Vertebra: suspek gambaran hemivertebra thoracal 6

Pedicel intact

Diskus intervertebralis baik

Abdomen : distribusi udara usus tidak sampai ke pelvic minor, tampak

dilatasi dan penebalan dinding usus, tidak tampak udara bebas di

ekstralumen

Kesimpulan : Penebalan dinding usus dd hirscprung’s disease

VI. DIAGNOSIS

Suspek Hirschprung’s Disease

VII. RENCANA TERAPI

Rawat Inkubator, target suhu 36,5-37,5 C

Inj, Ceftazidim 140 mg/8 jam / IV

Inj. Gentamycin 14 mg/24 jam/ IV

Inj. Metronidazole LD 42 ng -> MD 21 ng/12 jam

Wash-Out Pagi dan Sore

VII. RENCANA

Barium Enama dan Barium Retensi.

Biopsi Rektal

Follow Up Pasien

15/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (-)

O : Compos Mentis. HR: 140 x/1’, RR: 38 x/1’, Temp: 36,9 0C

Page 32: Lapkas HD Revisi Fix

32

Abdomen :

I : distensi

P : soepel

P : timpani

A : peristaltik (+)

A : Sangkaan Hirschsprung’s disease

P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C

IVFD D5% NaCl 0,225% 18 cc/jam

Pasien dipuasakan sampai BAB(+)

Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV

Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV

Popok basah segera ganti

Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x

16/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)

O : Compos Mentis. HR: 140 x/1’, RR: 49 x/1’, Temp: 36,8 0C

Abdomen :

I : distensi

P : soepel

P : timpani

A : peristaltik (+)

A : Sangkaan Hirschsprung’s disease

P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C

IVFD D5% NaCl 0,225% 17-18 cc/jam

Enteral 50 cc/KgBB/hari 137 cc/hari diet ASI/PASI 11

cc/2 jam/OGT

Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV

Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV

Popok basah segera ganti

Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x

Menunggu hasil babygram

Page 33: Lapkas HD Revisi Fix

33

Hasil Laboratorium

Bilirubin total 0,66 mg/dl

Bilirubin direk 0,31 mg/dl

KGD ad random 59,4 mg/dl

Ureum – Kreatinin : 2,50 mg/dl ; 0,23 mg/dl

Ca : 9,8 mg/dL

Na : 130 mEq/L

K : 2,7 mEq/L

Cl : 99 mEq/L

CRP kualitatif : positif

Procalcitonin : 0,32 ng/mL

Hematologi IT ratio : 0,02 (normal < 0,2)

17/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)

O : Compos Mentis. HR: 146 x/1’, RR: 48 x/1’, Temp: 36,8 0C

Abdomen :

I : distensi

P : soepel

P : timpani

A : peristaltik (+)

A : Sangkaan Hirschsprung’s disease

P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C

IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10

mEq + Ca glukonas 10 cc 274 cc/hari 11 cc/jam

Enteral 50 cc/KgBB/hari 137 cc/hari diet ASI/PASI 11

cc/2 jam/OGT

Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV

Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV

Popok basah segera ganti

Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x

Page 34: Lapkas HD Revisi Fix

34

18/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)

O : Compos Mentis. HR: 140 x/i, RR: 40 x/i, Temp: 37,1 0C

Abdomen :

I : distensi

P : soepel

P : timpani

A : peristaltik (+)

A : Sangkaan Hirschsprung’s disease

P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C

IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10

mEq + Ca glukonas 10 cc 9 cc/jam

Enteral 70 cc/KgBB/hari 195 cc/hari diet ASI/PASI 16

cc/2 jam/OGT

Inj. Ceftazidime 140 mg/ 8 jam IV

Inj. Gentamicin 14 mg/ 24 jam IV

Popok basah segera ganti

Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x

Hasil Laboratorium

Na : 135 mEq/L

K: 3,6 mEq/L

Cl : 106 mEq/L

Tiroid

T3 total : 1,34 ng/ml

T4 total : 9,96 µg/ml

TSH : 2,330 µIU/ml

19/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)

O : Compos Mentis. HR: 136 x/1’, RR: 44 x/1’, Temp: 36,9 0C

Abdomen :

I : distensi

P : soepel

Page 35: Lapkas HD Revisi Fix

35

P : timpani

A : peristaltik (+)

A : Sangkaan Hirschsprung’s disease

P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C

IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10

mEq + Ca glukonas 10 cc 9 cc/jam

Enteral 70 cc/KgBB/hari 195 cc/hari diet ASI/PASI 16

cc/2 jam/OGT

Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV

Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV

Popok basah segera ganti

Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30cc/x

Page 36: Lapkas HD Revisi Fix

36

20/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)

O: Compos Mentis. HR: 140 x/1’, RR: 42 x/1’, Temp: 37,2 0C

Abdomen :

I : distensi

P : soepel

P : timpani

A : peristaltik (+)

A: Sangkaan Hirschsprung’s disease

P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C

IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10

mEq + Ca glukonas 10 cc 7 cc/jam

Enteral 90 cc/KgBB/hari 256 cc/hari diet ASI/PASI 22

cc/2 jam/OGT

Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv

Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv

Inj Metronidazole MD 21mg/ 12 jam/iv

Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30cc/x

21/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)

O: Compos Mentis. HR: 136 x/1’, RR: 40 x/1’, Temp: 36,9 0C

Abdomen :

I : distensi

P : soepel

P : timpani

A : peristaltik (+)

A: Sangkaan Hirschsprung’s disease

P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C

IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10

mEq + Ca glukonas 10 cc 6 cc/jam

Enteral 100 cc/KgBB/hari 285 cc/hari diet ASI/PASI 24

cc/2 jam/OGT

Page 37: Lapkas HD Revisi Fix

37

Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv

Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv

Inj Metronidazole MD 21 mg/ 12 jam/iv

Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x

R/ Rencana rektum biopsi pada tanggal 23/2/2015

Konsul anestesi untuk toleransi rektum biopsy

22/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)

O: Compos Mentis. HR: 144 x/1’, RR: 46 x/1’, Temp: 36,8 0C

Abdomen :

I : distensi

P : soepel

P : timpani

A : peristaltik (+)

A: Sangkaan Hirschsprung’s disease

P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C

IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10

mEq + Ca glukonas 10 cc 6 cc/jam

Enteral 100 cc/KgBB/hari 285 cc/hari diet ASI/PASI 24

cc/2 jam/OGT

Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv

Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv

Inj Metronidazole MD 21 mg/ 12 jam/iv

Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x

Diet ASI/PASI 16 cc/ 2 jam /OGT

23/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)

O: Compos Mentis. HR: 128 x/1’, RR: 50 x/1’, Temp: 37,1 0C

Abdomen :

I : distensi

P : soepel

P : timpani

A : peristaltik (+)

Page 38: Lapkas HD Revisi Fix

38

A: Sangkaan Hirschsprung’s disease

P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C

IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10

mEq + Ca glukonas 10 cc 6 cc/jam

Enteral 100 cc/KgBB/hari 285 cc/hari diet ASI/PASI 24

cc/2 jam/OGT

Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv

Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv

Inj Metronidazole MD 21 mg/ 12 jam/iv

Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x

BAB IV

KESIMPULAN

Page 39: Lapkas HD Revisi Fix

39

Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan karena tidak adanya

persarafan di daerah usus besar berupa pleksus Meissner dan Auerbach. Pada

pasien ini diduga mengalami penyakit Hirschsprung karena dari anamnesis

hingga pemeriksaan fisik dijumpai perut membesar, muntah kehijauan, dan

pengeluaran mekonium yang terlambat ( >24 jam ).

DAFTAR PUSTAKA

Page 40: Lapkas HD Revisi Fix

40

1. Azila Aidawati Bt Hazwan, Radus Pakadang, Amir, BAB 1 dalam:

Hirschsprung’s Disease. Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin.

2. Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility

Society (AMS) and the International Foundation For Functional

Gastrointestinal Disorders (IFFGD)

3. Nur Rahmat Wibowo, Hermanto, BAB 1 dalam: Hirschsprung’s Disease.

Bagian SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Tanjung Pura.

4. Sherwood., Lauralee., 2010. Fundamentals of Human Physiology 4th

edition. Brooks-Cole:USA.

5. Junquiera, Luiz Carlos., & Jose, Carneiro. Basic Histology Text and Atlas

11th Edition. Mc Graw Hill : Philadelphia.

6. Martini, Frederic H., Judi, Nath., & Edwin, Bartholomew. Martini :

Fundamentals of Anatomy & Physiology 9th Edition.

7. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pedriatric Surgery in Towsend Sabiston

Textbook Of Surgery. 17th ed. Elveiser-Saunders. Philadelphia. Page 2113-

2114

8. University of Michigan Pedriatric Surgery. Hirschprung’s disease.

[Online].2005.[Cited: 23 February 2015]. Available from URL:

http://surgery.med.umich.edu/pedriatric/clinical/physician _content/

9. Netter F interactive atlas of clinical anatomy. Icon learning System All

Right reserved;2003.

10. Sherwood L. Usus besar. Dalam: FIsiologi Manusia daro sel ke SIstem.

Edisi 2. Jakarta: EGC; 2000. Hal. 582

11. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:

Aschaft Pediatric Surgery 3rd ed W.B Saunders Company. Philadelphia.

page 453-468

12. Kartono D. Penyakit Hirschsprung: Perbandingan Prosedur Swenson dan

Duhamel Modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.

Page 41: Lapkas HD Revisi Fix

41

13. Pasumarthy L, Srour JW. Hisrschprung’s Disease: A Case to Remember.

Practical Gastroenterology. 2008: 42-45.

14. Nurko SMD. Hirschsprung’s Disease. Center for Motility and Functional

Gastrointestinal Disorder.2007.

15. Irawan, B., Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit

Hirschprung pasca operasi pull- through. Bagian Ilmu Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003:1-15.

16. Abbas, K., and Mitchell, F., Developmental Anomalies. In Robin

Pathologic Basis of Disease 8th Edition. 2005:601.

17. Neville, H.L., Penyakit Hirschprung. Pediatric, updated on July 13,

2010. Assess in www.emedicine.com.

18. Corman, L., Lippincott Williams and Wilkins. Ed. 5. 2005: 559-560.

19. William, E., Brant, E., Helms, C.A., Pediatric Abdomen and Pelvis

Fundamentals of Diagnostic. Pediatric Radiology. Ed.3.

20. Kessman JMD. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management.

American Family Physician. 2006;74:1319-1322.

21. Brunicardi, F. Charles et al., 2014. Schwartz’s Principles of Surgery 10th

Edition. Mc Graw Hill : Philadelphia.

22. Badash, M., Hirschsprung’s Disease. EBSCO Publishing. 2011 : 1- 4.

23. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:

Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company.

Philadelphia. page 453-468.