BAB IV sip
-
Upload
laila-ciracesiliakencana -
Category
Documents
-
view
26 -
download
8
Transcript of BAB IV sip
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
a. Jenis Kelamin
Tabel 5 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di
Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012
No. Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Laki-Laki 15 30
2 Perempuan 35 70
Total 50 100
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih
banyak responden dengan jenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 35 responden (70%).
b. Umur
Tabel 6 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di
Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012
No. Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 15-44 11 22
2 45-54 16 32
3 55-64 17 34
4 ≥65 6 12
Total 50 100
47
48
Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih
banyak responden dengan umur 55-64 tahun yaitu sebanyak 17
responden (34%).
c. Pendidikan
Tabel 7 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di
Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012
No. Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 SD 27 54
2 SMP 4 8
3 SMA 14 28
4 D3 1 2
5 S1 4 8
Total 50 100
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih
banyak responden dengan pendidikan SD yaitu sebanyak 27
responden (54%).
d. Pekerjaan
Tabel 8 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di
Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012
No. Pekerjaan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 PNS 7 14
2 Swasta 11 22
3 Tani 6 12
4 IRT 26 52
Total 50 100
49
Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih
banyak responden yang memiliki pekerjaan sebagai Ibu Rumah
Tangga (IRT) yaitu sebanyak 26 responden (52%).
2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Rematik di
Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012
a. Faktor Pengetahuan
Tabel 9 : Pengetahuan penderita rematik di wilayah kerja Puskesmas
Singkawang Tengah tahun 2012
No. Pengetahuan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Baik - -
2 Cukup baik 17 34
3 Kurang baik 33 66
Total 50 100
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih
banyak responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang baik
yaitu sebanyak 33 responden (66%). Pengetahuan responden
tentang konsep dasar rematik kurang pada pengetahuan tentang
rematik disebut penyakit autoimun dengan nilai rata-rata 16,
pengetahuan tentang mikroorganisme yang dapat memicu rematik
dengan nilai rata-rata 4, pengetahuan tentang usia yang diserang
rematik dengan nilai rata-rata 32, pengetahuan tentang penyebab
jenis rematik gout dengan nilai rata-rata 24, pengetahuan tentang
tanda dan gejala rematik dengan nilai rata-rata 18, pengetahuan
tentang tindakan terhadap rematik bagi obesitas dengan nilai rata-
rata 38, pengetahuan tentang cara pengobatan radang sendi
dengan nilai rata-rata 28, pengetahuan tentang penatalaksanaan
umum untuk mengatasi rematik dengan nilai rata-rata 38, dan
50
pengetahuan tentang batasan tujuan pengobatan rematik dengan
nilai rata-rata 50.
b. Faktor Pola Makan
Tabel 10 : Pola makan penderita rematik di wilayah kerja Puskesmas
Singkawang Tengah tahun 2012
No. Pola makan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Sehat - -
2 Cukup sehat 18 36
3 Kurang sehat 32 64
Total 50 100
Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih
banyak responden dengan pola makan kurang sehat yaitu
sebanyak 32 responden (64%). Pola makan responden kurang
sehat dengan adanya kebiasaan mengkonsumsi makanan tanpa
mengatur jumlah dan jenisnya setiap hari dengan nilai rata-rata
10, kebiasaan mengkonsumsi daging dengan nilai rata-rata 16,
kebiasaan setelah mengkonsumsi daging merasa kaku pada
persendian dengan nilai rata-rata 20, kebiasaan suka makanan
yang berlemak dengan nilai rata-rata 34, kebiasaan suka
mengkonsumsi makanan berprotein hewani seperti telur dengan
nilai rata-rata 34, kebiasaan suka mengkonsumsi jeroan seperti
usus dan hati ayam dengan nilai rata-rata 36, kebiasaan suka
mengkonsumsi kacang-kacangan dengan nilai rata-rata 22,
kebiasaan suka makanan yang dimasak dengan penyedap rasa
dengan nilai rata-rata 10, dan kebiasaan tidak membatasi
mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan penyedap rasa
setelah menderita rematik dengan nilai rata-rata 40.
51
c. Faktor Kebiasaan Olahraga
Tabel 11 : Kebiasaan olahraga penderita rematik di wilayah kerja
Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012
No. Kebiasaan olahraga Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Sering olahraga 2 4
2 Kadang-kadang
olahraga
46 92
3 Tidak pernah olahraga 2 4
Total 50 100
Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih
banyak responden yang memiliki kebiasaan kadang-kadang
berolahraga yaitu sebanyak 46 responden (92%). Kebiasaan
responden kadang-kadang berolahraga pada kebiasaan
melakukan kegiatan olahraga dengan nilai rata-rata 63, kebiasaan
melakukan olahraga ringan seperti jalan kaki dengan nilai rata-rata
66, dan kebiasaan melakukan olahraga bersepeda dengan nilai
rata-rata 58.
B. PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
a. Jenis Kelamin
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, hasil penelitian yang
dilakukan terhadap 50 responden menunjukkan distribusi jenis
kelamin terbesar pada perempuan yaitu sebanyak 35 responden
(70%), sedangkan pada laki-laki sebanyak 15 responden (30%).
Menurut pengamatan peneliti, banyaknya jumlah perempuan
yang terkena rematik ini disebabkan oleh faktor pekerjaan di
rumah atau lingkungan pekerjaan dimana perempuan tidak dapat
52
lepas dari pekerjaan rumah serta mengurus keluarga yang
dilakukan terus-menerus sehingga dapat menurunkan sistem
pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terkena penyakit
rematik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Vemi (2009) yaitu penderita rematik lebih banyak
pada jenis kelamin perempuan yang disebabkan oleh kebanyakan
pekerjaan perempuan dilakukan di rumah setiap hari secara
berulang sehingga perempuan mudah terserang rematik.
Menurut Gede (2010), wanita lebih besar peluangnya
menderita rematik dibandingkan dengan pria, hal ini dikarenakan
wanita menjalani proses kehamilan yang secara langsung
mengalami penambahan berat badan yang merupakan salah satu
faktor resiko terjadinya rematik. Selain itu, wanita juga mengalami
menopause yang mengakibatkan pengeroposan tulang sehingga
terjadi nyeri atau rematik. Faktor-faktor tersebut dapat
menurunkan daya tahan tubuh seseorang sehingga perempuan
lebih rentan terkena rematik.
Pada sebagian besar belahan dunia, lebih banyak
perempuan daripada laki-laki yang terkena rematik. Perempuan
memiliki kecenderungan lebih besar untuk meninggal karena
penyakit ini. Penyakit rematik cenderung lebih tinggi pada jenis
kelamin perempuan dibandingkan laki-laki. Sedikitnya dalam
periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal
akibat rematik, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan
lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh rematik
dibandingkan dengan akibat penyakit yang lain. (Hiswani, 2010).
53
b. Umur
Berdasarkan karakteristik umur, hasil penelitian yang
dilakukan terhadap 50 responden menunjukkan distribusi umur
terbesar pada umur 55-64 tahun yaitu sebanyak 17 responden
(34%), dan yang terkecil pada umur ≥65 tahun yaitu sebanyak 6
responden (12%), ini menunjukan bahwa penyakit rematik banyak
terjadi pada usia lanjut.
Menurut pengamatan peneliti, hal ini disebabkan karena
semakin meningkatnya usia khususnya pada usia lanjut lebih dari
46 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat
rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit rematik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Vemi (2009) yaitu rematik lebih banyak terjadi pada
usia lanjut yang disebabkan semakin meningkatnya usia semakin
banyak hasil metabolisme purin yang tertimbun di persendian,
timbunan inilah yang menyebabkan rasa sakit di persendian.
Menurut Notoatmodjo (2003), umur merupakan salah satu
sifat karakteristik tentang orang yang sangat utama. Umur
mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya
resiko serta sifat resistensi. Perbedaan pengalaman terhadap
masalah kesehatan/penyakit dan pengambilan keputusan
dipengaruhi oleh umur individu tersebut. Semakin dewasanya atau
tuanya umur seseorang biasanya semakin banyak pengalaman
yang dimiliki dan semakin dewasa dalam bersikap. Sehingga juga
dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku hidup sehat
dan menambah kepatuhan khususnya dalam pengobatan rematik.
Orang dewasa yang usianya lebih tua memiliki resiko terkena
rematik lebih besar karena pertambahan usia yang normal atau
penyakit yang dapat melemahkan sistem imunitas mereka.
54
c. Pendidikan
Berdasarkan karakteristik pendidikan, hasil penelitian yang
dilakukan terhadap 50 responden menunjukkan distribusi
pendidikan terbesar adalah SD yaitu sebanyak 27 responden
(54%), dan yang terkecil adalah D3 yaitu hanya 1 responden (2%).
Berdasarkan penelitian yang peneliti amati, ini menunjukkan
bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan responden yang dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang penyakit rematik
karena sedikitnya informasi yang diketahui responden tentang
rematik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Prisila Susanti (2011) yaitu lebih benyak penderita
rematik dengan pendidikan SD yang menunjukan bahwa
pendidikan para responden dalam tingkat menengah ke bawah
sehingga kemungkinan mereka sulit menganalisis dan memahami
informasi yang ada.
Menurut Notoatmodjo (2003), semakin tinggi pendidikan
maka individu tersebut cenderung untuk memahami dan semakin
patuh terhadap pengobatan. Pendidikan seseorang merupakan
salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin tinggi
pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat-tempat
pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan.
Menurut Azwar (2010), suatu faktor yang mempengaruhi
perilaku seseorang dan pendidikan dapat mendewasakan
seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan
membuat keputusan dengan lebih tepat. Slamet (2008)
menyebutkan semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan
seseorang maka semakin membutuhkan pusat-pusat pelayanan
kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya.
55
Selanjutnya, Green dalam Notoatmodjo (2003) mengatakan
salah satu faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku adalah
pendidikan. Seseorang yang mempunyai pendidikan tinggi
cenderung selalu ingin tahu tentang sesuatu, dalam hal ini tentang
penyakit rematik. Seseorang yang berpendidikan tinggi juga akan
lebih mudah memahami tentang penyakit rematik dibanding
dengan orang yang pendidikannya rendah.
d. Pekerjaan
Jika dilihat dari karakteristik pekerjaan menunjukkan bahwa
sebagian besar responden yaitu sebanyak 26 responden (52%)
memiliki latar belakang pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga
(IRT).
Berdasarkan pengamatan peneliti, pekerjaan sebagai ibu
rumah tangga merupakan salah satu pekerjaan yang beresiko
untuk terkena penyakit rematik karena banyak pekerjaan yang
dikerjakan di rumah mempunyai kecenderungan dilakukan
berulang-ulang yang dapat memicu timbulnya rematik. Di sini ibu
rumah tangga banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus
rumah tangganya dan dengan kesibukan yang dimilikinya mereka
kurang aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan upaya
pencegahan rematik ditambah kurangnya pengetahuan dan
informasi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Vemi (2009) yaitu distribusi terbesar penderita
rematik adalah pada pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT) yang
disebabkan ibu rumah tangga tidak mempunyai waktu dan banyak
kesibukan di rumah sehingga kurang untuk memikirkan tentang
56
hidup sehat dan mengabaikan hal-hal yang berhubungan dengan
pola hidup sehat.
Bagi wanita, mereka adalah ibu rumah tangga yang sulit
lepas begitu saja dari lingkungan keluarga. Wanita mempunyai
beban dan hambatan lebih berat dibandingkan rekan prianya.
Dalam arti ini wanita harus lebih dulu mengatasi urusan keluarga,
suami, anak, dan hal-hal yang menyangkut urusan rumah
tangganya. (Anoraga, 2009).
2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Rematik di
Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012
a. Faktor Pengetahuan
Hasil penelitian menunjukkan tidak seorangpun dari
responden memiliki tingkat pengetahuan baik, sebagian kecil dari
responden yaitu 17 responden (34%) memiliki tingkat
pengetahuan cukup baik, dan sebagian besar dari responden yaitu
33 responden (66%) memiliki tingkat pengetahuan kurang baik.
Data ini dapat disimpulkan bahwa lebih banyak responden dengan
tingkat pengetahuan kurang baik dibandingkan responden dengan
tingkat pengetahuan baik dan cukup baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan kurang baiknya
tingkat pengetahuan penderita rematik tentang konsep dasar
rematik ditunjukkan dengan kurangnya pengetahuan mengapa
rematik disebut penyakit autoimun, kurangnya pengetahuan
tentang mikroorganisme yang dapat memicu rematik, kurangnya
pengetahuan tentang usia yang diserang rematik, kurangnya
pengetahuan tentang penyebab jenis rematik gout, kurangnya
pengetahuan tentang tanda dan gejala rematik, kurangnya
pengetahuan tentang tindakan terhadap rematik bagi obesitas,
57
kurangnya pengetahuan tentang cara pengobatan radang sendi,
kurangnya pengetahuan tentang penatalaksanaan umum untuk
mengatasi rematik, dan kurangnya pengetahuan tentang batasan
tujuan pengobatan rematik.
Menurut pengamatan peneliti, kurangnya semua
pengetahuan ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan
responden. Dilihat dari latar belakang pendidikan responden,
pengetahuan yang kurang tentang konsep dasar rematik
dikarenakan sebagian besar responden masih rendah tingkat
pendidikannya sehingga minimnya informasi yang diterima. Hal ini
tergambar dalam tabel 7 dimana dari 33 responden dengan tingkat
pengetahuan kurang terdapat lebih banyak responden dengan
pendidikan SD. Hal ini tentunya sedikit banyak akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan responden mengenai
masalah kesehatan khususnya tentang rematik tersebut.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Prisila Susanti (2011) yang menunjukkan tingkat
pengetahuan penderita rematik kurang baik yang disebabkan
sebagian besar dari penderita rematik berpendidikan SD sehingga
mempengaruhi tingkat pengetahuan penderita rematik.
Menurut Kuncoroningrat (2009), pendidikan mempengaruhi
proses belajar, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
semakin mudah menerima informasi sehingga banyak pula
pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan sangat erat kaitannya
dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan
pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula
pengetahuannya.
Kurangnya pengetahuan ini juga mungkin dikarenakan
kurangnya kesadaran untuk menerima informasi tentang cara
58
mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara
menghindari penyakit dan sebagainya. Dengan pengetahuan itu
akan menyebabkan seseorang berprilaku sesuai dengan yang
dimilikinya. Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal
maupun non formal dapat memberikan pengaruh sehingga
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa
yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang
inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media
massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan
kepercayaan orang. (Nazahar, 2010).
b. Faktor Pola Makan
Hasil penelitian menunjukkan tidak seorangpun dari
responden memiliki pola makan sehat, sebagian kecil dari
responden yaitu 18 responden (36%) memiliki pola makan cukup
sehat, dan sebagian besar dari responden yaitu 32 responden
(64%) memiliki pola makan kurang sehat. Data ini dapat
disimpulkan bahwa lebih banyak responden dengan pola makan
kurang sehat dibandingkan responden dengan pola makan sehat
dan cukup sehat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan kurang sehatnya
pola makan penderita rematik ditunjukkan dengan adanya
kebiasaan mengkonsumsi makanan tanpa mengatur jumlah dan
jenisnya setiap hari disebabkan karena mereka tidak tahu jenis
makanan apa yang mudah memicu rematik dan mengkonsumsi
makanan selagi mereka suka tanpa membatasi, kebiasaan suka
mengkonsumsi daging karena mereka hanya menganggap daging
59
makanan yang bergizi dan penting bagi tubuh padahal jika
keseringan dikonsumsi justru dapat memicu rematik, kebiasaan
setelah mengkonsumsi daging merasa kaku pada sendi karena
mereka tidak mengatur dan membatasi jumlah daging yang
dikonsumsi, kebiasaan suka makanan yang berlemak karena
mereka mengatakan makanan yang berlemak lebih enak rasanya
sehingga selalu mengkonsumsi makanan yang berlemak
meskipun tahu makanan berlemak tidak baik untuk tubuh,
kebiasaan suka mengkonsumsi makanan berprotein hewani
seperti telur dikarenakan mereka hanya tahu bahwa telur
mengandung protein yang penting bagi tubuh tanpa tahu bahwa
banyak mengkonsumsi telur yang merupakan protein hewani
justru cepat memicu rematik, kebiasaan suka mengkonsumsi
jeroan seperti usus dan hati ayam dikarenakan mereka
mengatakan jeroan enak rasanya dan juga menganggap jeroan
baik untuk kesehatan tubuh tanpa mereka ketahui bahwa
mengkonsumsi jeroan secara berlebih dapat memicu radang dan
nyeri sendi, kebiasaan suka mengkonsumsi kacang-kacangan
karena mereka tidak tahu kacang-kacangan dapat meningkatkan
kadar asam urat yang menimbulkan jenis rematik gout (kelebihan
asam urat), kebiasaan suka makanan yang dimasak dengan
penyedap rasa, dan kebiasaan tidak membatasi mengkonsumsi
makanan yang dimasak dengan penyedap rasa setelah menderita
rematik karena menurut mereka makanan kurang enak jika tidak
diberi penyedap rasa tanpa menghiraukan efek penyedap rasa
bagi sendi.
Menurut penelitian yang peneliti amati, hal ini dikarenakan
sebagian besar responden masih belum mengerti dalam mengatur
jenis dan jumlah makanan yang dapat memicu serangan rematik.
60
Kebanyakan dari mereka senang mengkonsumsi jenis makanan
yang dapat memicu serangan rematik tanpa mengurangi atau
membatasinya, serta mereka mengutamakan jenis makanan yang
mereka sukai sekalipun mereka tahu bahwa jenis makanan
tersebut dapat memicu rematik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Benediktus (2009) yaitu sebagian besar penderita
rematik memiliki pola makan yang kurang sehat, dimana sebagian
besar dari mereka kurang cermat dalam memperhatikan dan
mengatur jenis serta jumlah makanan yang mereka konsumsi
setiap hari.
Beberapa makanan memiliki pengaruh buruk terhadap
terjadinya dan kekambuhan gangguan rematik, seperti terlalu
banyak makan daging atau jeroan dapatlah memicu serangan
rematik gout (asam urat). Memang dianjurkan pola hidup sehat
seperti mengurangi makanan berlemak tinggi dan protein hewani
bagi yang kelebihan asam urat. Disamping itu, buanglah
kebiasaan merokok dan minum alkohol. (Hembing, 2010).
c. Faktor Kebiasaan Olahraga
Hasil penelitian menunjukkan sangat sedikit dari responden
yaitu 2 responden (4%) memiliki kebiasaan sering berolahraga,
hampir seluruh responden yaitu 46 responden (92%) memiliki
kebiasaan kadang-kadang berolahraga, dan sangat sedikit dari
responden yaitu 2 responden (4%) memiliki kebiasaan tidak
pernah berolahraga. Data ini dapat disimpulkan bahwa lebih
banyak responden dengan kebiasaan kadang-kadang berolahraga
dibandingkan responden dengan kebiasaan sering berolahraga
dan tidak pernah berolahraga.
61
Sementara berdasarkan hasil penelitian Prisila Susanti
(2011) menunjukkan lebih banyak responden yang tidak pernah
berolahraga yang disebabkan para responden tidak menyadari
manfaat olahraga bagi sendi.
Berdasarkan penelitian yang peneliti amati, kebanyakan
dari responden yang hanya kadang-kadang berolahraga
disebabkan karena keterbatasan waktu yang mereka miliki.
Kebanyakan dari mereka lebih disibukkan oleh pekerjaan
sehingga hanya sedikit waktu untuk sempat berolahraga, sehingga
mereka melupakan pentingnya olahraga untuk melatih sendi dan
otot secara sering dan rutin.
Kebiasaan penderita rematik kadang-kadang berolahraga
ditunjukkan dengan kebiasaan yang hanya kadang-kadang
melakukan kegiatan olahraga karena kesibukan dan bekerja tanpa
adanya waktu untuk sering melakukan kegiatan olahraga secara
rutin dan mereka masih belum menyadari sepenuhnya pentingnya
olahraga secara teratur bagi kesehatan terutama bagi sendi dan
otot, kebiasaan yang hanya kadang-kadang melakukan olahraga
ringan seperti jalan kaki karena mereka masih belum menganggap
penting olahraga ringan seperti jalan kaki sebagai latihan sendi
yang dapat mencegah serangan rematik jika dilakukan sering
secara teratur, dan kebiasaan yang hanya kadang-kadang
melakukan olahraga bersepeda karena kebanyakan dari penderita
rematik tidak dapat bersepeda dan walaupun pandai bersepeda
mereka lebih memilih menggunakan sepeda motor yang lebih
cepat jika berpergian tanpa mereka sadari bahwa bersepeda juga
termasuk salah satu olahraga melatih sendi.
Olahraga merupakan sebagian kegiatan dari kehidupan
manusia yang memerlukan adaptasi fisiologik. Kegiatan yang
62
bersifat fisik seperti jalan kaki, senam, berenang, dan sebagainya
yang bertujuan untuk memperkuat otot dan membangun tulang
yang kuat tanpa menganggu persendian yang sakit.
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
klasifikasi fungsional pasien dibagi menjadi 4 Kelas yaitu:
1. Kelas 1 : dapat mengerjakan segala pekerjaan tanpa
gangguan.
2. Kelas 2 : masih dapat mengerjakan aktivitas normal
meskipun ada gangguan berupa rasa nyeri, atau terbatasnya
gerakan pada satu atau beberapa sendi.
3. Kelas 3 : kemampuan terbatas untuk melakukan fungsi
pekerjaan sehari-hari.
4. Kelas 4 : tidak sanggup melaksanakan pekerjaan sehari-
hari.
Jadi, latihan olahraga sangat berbeda pada tiap fungsional.
Kebanyakan dari responden termasuk dalam klasifikasi fungsional
dalam kelas 2, masih dapat melakukan aktivitas dengan normal
meskipun ada gangguan berupa rasa nyeri atau terbatasnya
gerakan pada satu atau beberapa sendi. Namun karena banyak
kesibukan dan bekerja, kebanyakan dari responden melupakan
untuk latihan berolahraga seperti bersepeda, senam, dan jalan
kaki.
Menurut para ahli, terlalu banyak aktifitas fisik dan olahraga
baik di dalam pekerjaan sehari-hari maupun di dalam waktu
senggang dapat menimbulkan resiko osteoarthritis, terutama bagi
mereka yang melakukan kegiatan high-level impact activity, yang
menyebabkan benturan sendi berulang kali, contohnya: bela diri,
mengangkat beban berat. Sebaliknya, terlalu santai tanpa olahraga
dan kurang/tidak aktif menyebabkan otot sekitar sendi melemah
63
dan sendi berkurang fleksibilitasnya dan mempertinggi resiko
terkena rematik. (Anonim, 2008).