Presyus Edit Sip

download Presyus Edit Sip

of 35

Transcript of Presyus Edit Sip

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS General Anestesi pada G5P1A3, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 mg, dengan Kehamilan Ektopik Terganggu

Disusun oleh : Dermawan Soleh Monika Yoke Lusiani Rizki Hapsari Nugraha GIA209155 G1A209156 G1A209160

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat mengikuti ujian kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesi Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Desember 2011 Pembimbing:

dr. Dudik Haryadi, Sp.An

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan presentasi kasus yang berjudul General Anestesi pada G5P1A3, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 mg, dengan Kehamilan Ektopik Terganggu. Penulisan tugas ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian Program Pendidikan Profesi di bagian Anestesi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis berharap presentasi kasus ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidikan, penelitian dan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. dr. Dudik Haryadi, Sp.An selaku dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan presentasi kasus ini. 2. Rekan-rekan profesi serta pihak yang telah membantu dalam penyusunan presentasi kasus ini. Penulis sadar bahwa presentasi kasus ini tentunya masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun dari para penelaah sangat diharapkan demi proses penyempurnaan.

Purwokerto, Desember 2011

Penulis

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN . KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB III KASUS BAB III PEMBAHASAN BAB IV KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA . . . . .. .. .. ii iii iv 4 6 18 27 32 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik (KE) didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. Karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri kehamilan (Cunningham et al, 2005). Angka kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 - 12,9 %. Insiden ini mewakili satu kecenderungan peningkatan dalam beberapa dekade ini. Diantara faktorfaktor yang terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi superovulasi. Pada tahun 1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi yang serius dari kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di Amerika Serikat (Cunningham et al, 2005). Insiden dan 1987, rate dari Kehamilan 4,5/1000 ektopik di Amerika Serikat mengalami peningkatan lebih dari 3 kali lipat selama tahun 1970 kehamilan menjadi 16,8/1000 kehamilan. Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention, insiden rate kehamilan ektopik di Amerika Serikat pada tahun 1990-1992 19,7/1000 kehamilan. Dan pada tahun 1997-2000 mengalami peningkatan lagi menjadi 20,7/1000 kehamilan. Di Logos, Nigeria, 8,6% kematian ibu disebabkan oleh kehamilan ektopik dengan Case Fatality Rate (CFR) 3,7 %. Di Norwegia, insiden rate kehamilan ektopik meningkat dari 4,3/10.000 kehamilan menjadi 16/10.000 kehamilan selama periode 1970-1974 sampai 1990-1994, dan menurun menjadi 8,4/10.000 kehamilan (Damario et al, 2007).

Di Indonesia frekuensi kehamilan ektopik bervariasi antara 1 dalam 28 persalinan sampai 1 dalam 329 persalinan. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta selama periode tahun 1971-1975 terdapat 1 kehamilan ektopik diantara 24 persalinan, pada tahun 1987 terdapat 153 kasus diantara 4007 persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Lebih dari 60% kehamilan ektopik terjadi pada wanita 20-30 tahun dengan sosio-ekonomi rendah dan tinggal didaerah dengan prevalensi gonore dan prevalensi tuberkulosa yang tinggi (Cunningham et al, 2005). Sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan, kehamilan ektopik menuntut para ahli kebidanan untuk mengetahui metoda-metoda pengobatan yang mutakhir. Meskipun penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik adalah dengan pembedahan, tetapi saat ini mulai dikembangkan penatalaksanaan dengan obat-obatan yaitu dengan methotrexate. Metoda ini tampaknya efektif dan cukup aman sehingga dapat menjadi metoda alternatif pada pengobatan kehamilan ektopik. Tetapi tidak semua pasien yang didiagnosis dengan KE harus mendapat terapi medisinalis dan terapi ini tidak 100% efektif. Para dokter harus memperhatikan dengan hati-hati indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari terapi medisinalis (Cunningham et al, 2005 ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. KEHAMILAN EKTOPIK A. Definisi Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/ melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim. Sedangkan yang disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba (Speroff et al, 2009). Pembagian menurut lokasi : a. Kehamilan ektopik tuba : pars interstisialis, isthmus, ampulla, infundibulum, fimbria. b. Kehamilan ektopik uterus: kanalis servikalis, divertikulum, kornu, tanduk rudimenter. c. Kehamilan ektopik ovarium. d. Kehamilan ektopik intraligamenter. e. Kehamilan ektopik abdominal.f. Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus (Speroff et al, 2009).

Kehamilan ektopik yang paling banyak terjadi adalah di tuba (98%), hal ini disebabkan oleh adanya hambatan perjalanan ovum yang telah dibuahi ke kavum uteri, hal ini dapat disebabkan karena : a. Adanya sikatrik pada tuba. b. Kelainan bawaan pada tuba.c. Gangguan fisiologis pada tuba karena pengaruh hormonal (Saymonds

et al, 2002).

Gambar 1 Lokasi Kehamilan Ektopik B. Etiologi Semua faktor yang menghambat migrasi embrio ke kavum uteri menyebabkan seorang ibu semakin rentan untuk menderita kehamilan ektopik, yaitu : a. Faktor dalam lumen tuba : a. Endosalpingitis menyebabkan terjadinya penyempitan lumen tuba. b. Hipoplasia uteri, dengan lumen tuba menyempit dan berkelok-kelok. c. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna (Stovall et al, 2006). b. Faktor pada dinding tuba : a. Endometriosis, sehingga memudahkan terjadinya implantasi di tuba. b. Divertikel tuba kongenital, menyebabkan retensi ovum (Speroff et al, 2009). c. Faktor di luar dinding tuba : a. Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba. b. Tumor yang menekan dinding tuba.

c. Pelvic Inflammatory Disease (PID) (Stovall et al, 2006). d. Faktor lain : a. Hamil saat berusia lebih dari 35 tahun. b. Fertilisasi in vitro. c. Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR). d. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya. e. Infertilitas. f. Mioma uteri. g. Hidrosalping (Stovall et al, 2006). C. Tanda dan Gejala Trias gejala dan tanda dari kehamilan ektopik adalah riwayat keterlambatan haid atau amenorrhea yang diikuti perdarahan abnormal (60-80%), nyeri abdominal atau pelvik (95%). Biasanya kehamilan ektopik baru dapat ditegakkan pada usia kehamilan 6 8 minggu saat timbulnya gejala tersebut di atas. Gejala lain yang muncul biasanya sama seperti gejala pada kehamilan muda, seperti mual, rasa penuh pada payudara, lemah, nyeri bahu, dan dispareunia. Selain itu pada pemeriksaan fisik didapatkan pelvic tenderness, pembesaran uterus dan massa adneksa. (Cunningham et al, 2005). D.Patofisiologi Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua, yang disebut pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan

mencapai lapisan miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas (Stovall et al, 2006). Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella (Stovall et al, 2006). .Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi, abortus ke dalam lumen tuba, dan ruptur dinding tuba. Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel retrouterina (Stovall et al, 2006). Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai kehamilan intrauterin biasa (Stovall et al, 2006).

Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena suplai darah berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan. Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen (Stovall et al, 2006) E. Diagnosis 1. Anamnesis dan gejala klinis. Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak ada perdarahan per vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum (Cunningham et al, 2005). 2. Pemeriksaan fisik : a. Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa. b. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen. c. Pemeriksaan ginekologis Pemeriksaan dalam : seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan kiri (Cunningham et al, 2005).

3. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat. b. USG : a. Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri b. Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri c. Adanya massa komplek di rongga panggul c. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada darah. d. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi. e. Ultrasonografi berguna pada 5 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus (Cunningham et al, 2005). F. Penatalaksanaan Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 2 pilihan, yaitu penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah. a. Penatalaksanaan Medis Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Tindakan konservativ medik dilakukan dengan pemberian methotrexate. Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan multipel. Dosis tunggal yang terminasi diberikan kehamilan adalah 50 tersebut. mg/m2 Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke

dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: 1) keadaan hemodinamik yang stabil dan tidak ada tanda robekan dari tuba, 2) tidak ada aktivitas jantung janin, 3) diagnosis ditegakkan tanpa memerlukan laparaskopi, 4) diameter massa ektopik < 3,5 cm, 5) kadar tertinggi -hCG < 15.000mIU/ ml, 6) harus ada informed consent dan mampu mengikuti follow up, serta 7) tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate (Damario (Cunningham et al, 2005), 2007). b. Penatalaksanaan Bedah Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin (Damario et al, 2007). G.Prognosis Umumnya penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca penyakit radang panggul) bersifat bilateral, sehingga setelah pernah mengalami kehamilan ektopik pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien akan mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi yang lain. Bila diagnosis cepat ditegakkan umumnya prognosis baik, terutama bila cukup penyediaan darah dan fasilitas operasi serta narkose (Damario et al, 2007).

II. GENERAL ANESTESI General anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Pemilihan teknik anestesi berdasarkan pada faktor-faktor seperti usia (bayi, anak, dewasa muda, geriatri), status fisik, jenis operasi, ketrampilan ahli bedah, ketrampilan ahli anestesi, dan pendidikan. Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri: 1. Hipnotik 2. Analgesia3. Relaksasi otot (Latief et al, 2002).

Keadaaan anestesi biasanya disebut anestesi umum, ditandai oleh tahap tidak sadar diinduksi, yang selama itu rangsang operasi hanya menimbulkan respon reflek autonom. Jadi pasien tidak boleh memberikan gerak volunteer, tetap perubahan kecepatan pernapasan dan kardiovaskuler dapat dilihat (Latief et al, 2002). Keadaan anestesi berbeda dengan keadaan analgesia, yang didefinisikan sebagai tidak adanya nyeri. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh agen narkotika yang dapat menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali tidak sadar. Sebaliknya, barbiturate dan penenang tidak menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali tidak sadar. Banyak teori telah dikemukan, tetapi sampai sekarang belum ada keterangan yang memuaskan bagaimana kerja obat anestetika. Ditinjau dari vaskularisasi, jaringan terbagi atas: 1. Kaya pembuluh darah, contoh otak dan organ lainya, misalnya jantung, ginjal, hati. 2. Miskin pembuluh darah, contohjaringan lemak, tulang. Obat anestetika yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestetika ialah jaringan yang kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit (Latief et al, 2002).

Teknik Anestesi Umum Teknik anestesi umum di dunia kedokteran dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu : 1. Parenteral Obat anestesi masuk ke dalam darah dengan cara suntikan IV atau IM. Untuk selanjutnya dibawa darah ke otak dan menimbulkan keadaan narkose (Latief et al, 2002). Obat anestesi yang sering digunakan adalah : a. Pentothal Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis permulaan 46 mg/kg BB dan selanjutnya dapat ditambah sampai 1 gram. Penggunaan: 1. untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan inhalasi.2. operasi-operasi yang singkat seperti: curettage, reposisi, insisi

abses. (Latief et al, 2002) Cara Pemberian: Larutan 2,5% dimasukkan IV pelan-pelan 4-8 CC sampai penderita tidur, pernapasan lambat dan dalam. Apabila penderita dicubit tidak bereaksi, operasi dapat dimulai. Selanjutnya suntikan dapat ditambah secukupnya apabila perlu sampai 1 gram (Latief et al, 2002). Komplikasi: A. Lokal: Di tempat suntikan, apabila ke luar dari pembuluh darah sakit sekali merah dan bengkak. Tindakan: a. infiltrasi dengan anestesi lokal b. kompres B. Menekan pusat pernafasan: Kecepatan menyuntik harus hati-hati jangan sampai pernafasan berhenti. C. Menekan jantung: Tekanan darah turun sampai nadi tak teraba.

D. Larynx Spasme: a. Diberi O2 murni b. Jika diberi succinyl choline IV 25-50 mg untuk melemaskan spasme sambil dibuat pernafasan buatan (Latief et al, 2002). Kontra Indikasi: 1. Anak-anak di bawah 4 tahun2. Shock, anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah

3. Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran nafas 4. Penyakit jantung 5. Penyakit hati6. Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan

vena yang baik (Latief et al, 2002). b. Ketalar (Ketamine) Ketamin dapat diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50 mg/cc. Adapun dosisnya adalah IV 1-3 mg/kgBB, sedangkan IM 8-13 mg/kgBB. Operasi dimulai 1-3 menit setelah penyuntikan (Muhiman, 2006). Komplikasi: 1. menekan pusat pernafasan , tetapi lebih kurang daripada pentothal. 2. merangsang jantung: tekanan darah naik3. sekresi kelenjar ludah dan saluran pernafasan bertambah (Latief et

al, 2002). Penggunaan: 1. operasi-operasi yang singkat2. untuk indikasi penderita tekanan darah rendah (Latief et al, 2002).

Kontra Indikasi: Penyakit jantung, kelainan pembuluh darah otak dan hypertensi. Catatan Oleh karena komplikasi utama dari anestesi secara parenteral adalah menekan pusat pernafasan, maka kita harus siap dengan

peralatan dan tindakan pernafasan buatan terutama bila ada sianosis (Muhiman et al, 2000). II. Perrektal Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya sampai ke otak. (katerisasi jantung, Dipergunakan untuk tindakan diagnostic foto, pemeriksaan mata, telinga, roentgen

oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan inhalasi pada bayi dan anakanak (Latief et al, 2002). Syaratnya adalah: 1. rectum betul-betul kosong2. tak ada infeksi di dalam rectum (Latief et al, 2002).

Lama narkose 20-30 menit. Obat-obat yang digunakan: a. Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBBb. Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB (Latief et al, 2002).

c. III. Inhalasi Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paruparu, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose (Latief et al, 2002). Obat-obat yang dipakai: 1. Induksi halotan. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan (Pramono, 2008). 2. Induksi sevofluran Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan (Latief et al, 2002).

3. Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran ( foran, aeran ) atau desfiuran

jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama (Latief et al, 2002).

BAB III KASUS I. Identitas Nama Umur Jenis kelamin Pendidikan Terakhir Alamat Agama Suku Bangsa Status Pekerjaan Nama Suami Umur Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir Pekerjaan Alamat Agama Tanggal masuk RSMS Tanggal periksa No.CM II. PRIMARY SURVEY Pemeriksaan 1. Airway Clear, Mallampati 2, tidak terdapat gigi ompong dan gigi palsu. 2. Breathing Napas spontan, gerak dada simetris, RR 32x per menit, reguler, tidak terdapat retraksi, trakea terletak di median, tidak terdengar suara ronki dan suara wheezing. : Ny. F : 33 tahun : Perempuan : SD : Mantri Anom RT/RW 01/01 Bawang : Islam : Jawa : Menikah : Ibu Rumah Tangga : Tn. D : 35 tahun : Laki-Laki : SMA : Buruh : Mantri Anom RT/RW 01/01 Bawang : Islam : 14 Desember 2011 : 14 Desember 2011 : 880867

3. Circulation Kulit hangat, TD 90/45 mmHg, nadi 60x per menit, ireguler, isi dan tegangan cukup. 4. Disability Keadaan umum tampak lemah, kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6 = 15, pupil bulat, isokor, 3mm/3mm dan reflek cahaya +/+.

III.SECONDARY SURVEY (Anamnesis) A. Keluhan Utama Nyeri perut sebelah kanan bawah B. Keluhan Tambahan Mual, muntah, keputihan C. RPS Pasien baru datang ke IGD RSMS dengan surat pengantar RS Banjarnegara pada tanggal 14 Desember 2011 pukul 21.10 WIB dengan keluhan nyeri perut hebat pada daerah kanan bawah yang dirasakan sejak pukul 18.00 WIB. Pasien juga mengeluhkan mual serta muntah dan disertai bercak darah. Pasien tidak mengeluhkan keluar lendir dari jalan lahir. Pasien mengatakan bahwa sedang hamil. D. RPD1. Penyakit Jantung

: disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : diakui

2. Penyakit Paru 3. Penyakit Diabetes Melitus 4. Penyakit Ginjal5. Penyakit Hipertensi 6. Riwayat Alergi

7. Riwayat Asma E. RPK1. Penyakit Jantung

: disangkal : disangkal

2. Penyakit Paru

3. Penyakit Diabetes Melitus4. Penyakit Ginjal

: disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

5. Penyakit Hipertensi 6. Riwayat Alergi 7. Riwayat Asma F. Riwayat Menstruasi1. Menarche

: 13 tahun : 7 hari : teratur : tidak ada : normal (sehari ganti pembalut 2-3

2. Lama haid 3. Siklus haid 4. Dismenorrhoe 5. Jumlah darah haid kali) G. G5P1A3 Riwayat Obstetri

I : laki-laki/bidan/spontan/3000 gr/ 11 thn II : abortus/3 bulan III: abortus/2 bulan IV : abortus/3 bulan V : Hamil ini HPHT : 31 oktober 2011 HPL UK H. : 7 Juli 2012 : 8 minggu

Riwayat ANC Pasien kontrol kehamilan teratur ke bidan puskesmas. Pada

Trimester I pasien kontrol sebanyak satu kali per bulan, Trimester II pasien kontrol dua kali per bulan, Trimester III pasien kontrol sebanyak satu kali per minggu. I. Riwayat Ginekologi 1. Riwayat Operasi 2. Riwayat Kuret 3. Riwayat Keputihan : ada : tidak ada : tidak ada

J.

Riwayat Sosial Ekonomi Pasien merupakan ibu rumah tangga dan suaminya bekerja sebagai

buruh. Kesan sosial ekonomi keluarga adalah golongan menegah ke bawah. Pasien menggunakan Jamkesmas dalam masalah kontrol kehamilan dan persalinan. IV. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign : Lemah : GCS E4M6V5 ( Compos Mentis) : TD N S Tinggi Badan Berat Badan Status Gizi : 65 kg : cukup : 90/45 mmHg : 60 x/menit : 36,4 0C

RR : 32 x/menit : 155 cm

A. Status Generalis 1. Pemeriksaan kepala Bentuk kepala Mata : mesocephal, simetris : simetris, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+ normal, isokor, diameter 3/3 mm, edema palpebra -/Telinga Hidung Mulut Trakea Gld Tiroid : discharge -/: discharge -/-, nafas cuping hidung -/: sianosis (-), lidah kotor -/: deviasi (-) : ttb

2. Pemeriksaan leher

Limfonodi Colli : ttb

JVP

: 5+2 cm H2O

3. Pemeriksaan Toraks a. Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi b. Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS : ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS ictus cordis kuat angkat (-) : batas jantung Kanan atas SIC II LPSD Kiri atas SIC II LPSS Kanan bawah SIC IV LPSD Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS Auskultasi Inspkesi Auskultasi Perkusi Palpasi Hepar Lien Superior Inferior 6. Status Lokalis Abdomen : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-) : cembung, venektasi (-) : Bising usus (+) N : pekak, pekak sisi (-), pekak alih (-) : nyeri tekan (+) di suprapubic dan illiaca dextra : tidak teraba : tidak teraba : edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/: edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/4. Pemeriksaan Abdomen : dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi intercosta (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-) : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri Ketinggalan gerak (-) : sonor pada seluruh lapang paru : SD vesikuler, RBH -/-, RBK -/-, Wh -/-

5. Pemeriksaan ekstermitas

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: Cembung : Ballotement -, Nyeri tekan + : tympani : BU + N

USG : Tampak Stolsel di cavum douglas V. Diagnosis G5P1A3, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 minggu, dengan Kehamilan Ektopik Terganggu.

VI. Plan a. b. c. Pemeriksaan Darah Lengkap Pemeriksaan PT APTT Urin Lengkap

VII.Pemeriksaan Penunjang Lab 14/12/2011 Darah lengkap Hb Ht : 4,6 g/dl : 14 % (12-16 g/dl) (4800-10800/ul) ( 37-47 %) ( 4,2-5,4/ul) ( 150.000-450.000/ul) ( 79-99 fL) ( 27-37 pg) ( 33-37%) ( 11,5-14,5 %) (7,2-11,1 fL) Leukosit : 12360/ul Eritrosit : 1,5/ul Trombosit: 176.000/ul MCV MCH MCHC RDW MPV : 93,2 fL : 31,3 pg : 33,6 % : 12,1 % : 9,9 fL

Hitung jenis

Basofil Batang Segmen

: 0,1 % : 0,00 % : 81,9 %

(0-1%) (2-4%) (2-5%) (40-70%) (25-40%) (2-8%) (11,5-15,5) (30-40)

Eosinofil : 0,2 %

Limfosit : 15,0 % Monosit : 2,8% PT APTT : 15,6 : 28

Kimia Klinik SGOT SGPT : 11 : 20

Ureum darah : 13,5 Kreatinin darah : 0,69 GDS Elektrolit Natrium : 139 Kalium Klorida : 3,6 : 101 : 128

Kalsium : 7,5 Urinalisis Fisis Warna Kejernihan Bau Kimia Berat Jenis pH Leukosit 1.01 8 Negatif 1.010-1.010 4,6-7,8 Negatif Hasil Kuning muda Jernih Khas Nilai normal Kuning muda- tua Jernih Khas

Nitrit Protein Glukosa Keton Urobilinogen Bilirubin Eritrosit Sedimen Eritrosit Leukosit Silinder Hialin Silinder Lilin Granuler Halus Granuler Kasar Kristal Bakteri Trikomonas VIII. Kesimpulan

Negatif Normal Normal Negatif Normal Negatif Negatif 1-3 4-5 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif +1 Negatif

Negatif Negatif Normal Negatif Normal Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

ACC ASA III E Sedia darah 3 kolf WB Loading cairan 1000 cc RL+ HES

IX.

Laporan Operasi22.00 DI VK IGD TD 90/45 mmHg, N 60x/mnt, RR 32x/mnt,SpO2 99 Maintenance : O2, IV dual line+Loading RL 1000 cc + HES Sedia darah 3 kolf WB TD 90/55 mmHg, N 68x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99 TD 95/60 mmHg, N 68x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99 TD 104/73 mmHg, N 76/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 95 Premedikasi : Ondansentron 4 mg, Fentanyl 50 mcg Induksi : Ketamin 50 mg Relaksasi : Rocuronium 2,5 mg Intubasi ET no 7.5

22.15 22.30 22.45 Masuk OK IGD

23.15 23.30 23.45

00.00

00.15 00.25

Operasi dimulai pukul 23.00 Maintenance isoflurane TD 100/72 mmHg, N 70x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99 Transfusi darah WB (threeway) kolf pertama TD 90/60 mmHg, N 74x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99 Pasien kejang Diberi midazolam 25 mg, fentanyl 50 mcg TD 95/60 mmHg, N 70x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99 Wheezing (+) Diberi Aminophilin 1 amp drip iv, Metilprednisolon 125 mg iv pelan TD 105/73 mmHg, N 76/mnt, RR 20x/mnt,SpO2 99 Perdarahan masif (+ 1500 cc) transfusi WB kolf kedua Diberi Asam traneksamat 2 amp Carbazochrome 2 amp Vit K 2 amp Vit C 2 amp TD 100/72 mmHg, N 78x/mnt, RR 20x/mnt,SpO2 99 Operasi selesai TD 100/65 mmHg, N 78x/mnt, RR 20x/mnt,SpO2 99 Pasien dibawa ke ICU Diberi fentanyl 200 mcg dalam 50 cc NaCI syringe pump

X.Tanggal 15-12-2011

Catatan Perkembangan Pasien ICUSubjektif - Nyeri perut - Pusing - BAB - BAK DC 1000 cc Objektif KU/kes : sedang/ composmentis TD : 160/70 mmHg N : 98 x/menit RR: 22 x/menit S : 36,8C Status Generalis: - Mata : CA -/-, SI :-/- C: dbn - P: SDV, Rbh -/-Wh -/Status Lokalis : Reg. Abdomen : Inspeksi : Datar, terdapat luka oprasi yang ditutup perban elastis, rembes Palpasi : - Supel - NT Auskultasi : - BU (+) N Reg. Genitalia : - DC (+) - PPV (-) Assesment P1A4, 32 tahun, post laparotomi explorasi H+1 e.c Kehamilan Ektopik Terganggu. Planning - IVFD RL 20 tpm - Inj Ketorolac 3x30 mg - Inj Aminopilin 1 Amp drip iv/ 8 jam - Diet lunak

BAB IV PEMBAHASAN Kasus Pasien datang dengan diagnosis G5P1A3, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 mg, dengan KET, pro laparotomy cito. Pasien usia 32 tahun datang dengan keluhan nyeri perut sejak 3 jam SMRS. Pasien juga mengeluhkan mual serta muntah dan disertai bercak darah. Pasien tidak mengeluhkan keluar lendir dari jalan lahir. Pasien mengatakan bahwa sedang hamil. Dari riwayat penyakit dahulu seperti riwayat hipertensi, DM ,alergi obat, trauma, operasi sebelumnya disangkal, sesak napas/asma diakui, riwayat penyakit jantung dan gangguan perdarahan disangkal. Pemeriksaan Dalam V/U tenang, dinding vagina licin, serviks utuh mencucu, slinger pain (+), darah (+) Diagnosis Diagnosis pre operatif : G5P1A3, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 mg, dengan KET. Status operatif : ASA III E. Status operatif ASA III E ini karena terdapat pendarahan masif dan memiliki riwayat asma yang dapat mempengaruhi sistemik. Tindakan emergency dilakukan karena mengancam nyawa pasien. Kunjungan Pre-operasi Tekanan darah pasien saat kunjungan pre operatif adalah 90/45 mmHg. Penanganan tekanan darah pada pasien ini adalah resusitasi cairan karena tekanan darah yang rendah ini disebabkan oleh shock hipovolemik. Pasien memiliki riwayat Asma, namun riwayat jantung, DM, hipertensi, alergi disangkal pasien. Pasien memiliki riwayat asma, hal yang menjadi perhatian karena dapat semakin memperberat keadaan pasien. Pada kasus ini, pasien tampak sesak dan terlihat dari respiratory rate 32 kali per menit, maka penanganan pada pasien ini sudah tepat yaitu diberikan oksigenasi untuk mencukupi kebutuhan oksigen tubuh. Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan penyakit yang dicurigai, maka dilakukan pemeriksaan darah rutin (Hb, leukosit, masa perdarahan, masa pembekuan) dan urinalisis. Pada pasien dilakukan

pemeriksaan EKG dan foto toraks. Pada pasien diperoleh Hb : 4,6 g/dl, angka leukosit 12360/uL, Limfosit 15 %, netrofil St 0,00 netrofil Sg 81,9 % PT : 15,6 APTT : 28 ureum : 13,5 , kreatinin 0,69 mg/dL GDS 128, Na 139, K 3,6 Cl 101 Ca 7,5. Gravindex tes (+). Pada pemeriksaan USG didapatkan gambaran tampak stolcel di cavum douglas. Berdasarkan perhitungan Whole Blood, maka pasien membutuhkan Whole Blood sebanyak 1500 cc sehingga disediakan Whole Blood 3 kolf. Pada pasien ini diberikan whole blood karena terjadi perdarahan akut dan masif. Saat hemodinamik pasien belum stabil yang ditandai TD 90/45 mmHg, N 60 x/mnt, RR 32 x/mnt maka dilakukan tindakan yakni pemberian O2 dan pemasangan infus dual line dimana berisi RL 1000 cc dan HES. Setelah dimonitoring hemodinamik pasien mulai stabil dimana TD 104/73 mmHg, N 76 x/mnt, RR 22 x/mnt, untuk selanjutnya pasien dibawa ke ruang OK IGD. Berdasarkan status fisik, pasien digolongkan pada ASA III E, maka jenis anestesi yang paling baik digunakan dalam operasi laparotomi ini adalah anestesi umum dengan respirasi terkendali menggunakan endotrakheal tube. Terapi Dilakukan laparotomi menggunakan general anestesi dengan respirasi terkendali menggunakan endotrakheal tube (ETT). 1. Keadaan Pre-operasi : Pasien puasa selama 4 jam sebelum operasi. Keadan umum dan vital sign pasien lemah dan presyok, gelisah. Pasien distabilisasi di VK IGD, diberikan O2 nasal 4 l/m, IVFD 2 line, Loading cairan RL 1000 cc , dilanjutkan HES (koloid). Pasien diusahakan darah 3 kolf WB. 2. Jenis Anestesi : general anestesi dengan teknik semi closed intubation, respirasi terkontrol dengan endotrakeal Tube No. 7,5. 3. Premedikasi yang diberikan : Ondansentron 4 mg, Fentanil 50 mcg diberikan secara intravena dalam waktu 5 menit sebelum induksi anestesi. 4. Induksi anestesi: Pasien diberi O2 murni selama 1 menit sebelum dilakukan intubasi. Setelah terjadi relaksasi, dilakukan pemasangan pipa endotrakeal (No. 7,5). Induksi anestesi pada pasien ini dengan menggunakan Ketamin 50 mg, relaksasi menggunakan Rocuronium 25 mg.

5. Maintenance Status anestesi dipertahankan dengan pemberian kombinasi O2 4 liter / menit, N20 3 liter / menit, dan sevoflurane 2 vol%. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan denyut nadi diukur setiap menit menggunakan SpO2. Tekanan darah setelah pasien diberikan transfusi darah WB kolf pertama (three way), sistole berkisar antara 90-100 mmHg, sedangkan tekanan darah diastole berkisar antara 60-72 mmHg, dan denyut nadi berkisar antara 70-74 kali / menit. Pasien sempat juga mengalami kejang kemudian diberi midazolam 25 dan fentanyl 50 mcg. Pasien juga sempat mengalami wheezing diberi Aminophilin 1 amp drip iv, Metilprednisolon 125 mg iv pelan. Perdarahan pasien berkisar +1500 cc kemudian di transfusi WB kolf kedua, diberi juga asam traneksamat 500 mg, carbazhocrome 2 amp, Vit K 2 ampul, Vit C 2 Ampul. 2. Keadaan post operasi Operasi selesai dalam waktu 1 jam, 1500cc. Sesaat sebelum operasi selesai, N2O dimatikan sedangkan pemberian O2 masih dipertahankan. Ekstubasi dilakukan setelah operasi selesai, sebelumnya rongga mulut dan trakea pasien dibersihkan dengan menggunakan suction untuk menghilangkan lendir yang dapat menghalangi jalan napas. 3. Ruang pemulihan (Recovery Room) Pasien dipindahkan ke ruang Intensive Care Unit untuk dilakukan observasi. Vital sign terakhir pasien saat di bawa ke ICU adalah TD 100/65 mmHg, N 78x/mnt, RR 22x/mnt,SpO2 99. Pasien diberi fentanyl 200 mcg dalam 50 cc Nacl syringe pump. Penilaian pasien ini menggunakan Skor Aldrete dan diberikan O2 2-3 liter / menit, serta diobservasi tekanan darah, denyut nadi, dan rekaman EKG pasien. Pembahasan farmakologi 1. Fentanil Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam anestesia untuk mengendalikan nyeri

saat pembedahan dan anestesi narkotik total pada pembedahan jantung (Wiria, 2005). Pada pasien ini menggunakan Fentanyl 50 mg. 2. Midazolam Midazolam merupakan agen anestesi non-volatil golongan benzodiazepin yang berfungsi sebagai hipnotik-sedatif dengan mekanisme mempotensiasi neurotransmiter GABA-ergik pada semua tingkat neuroaksis. Pada saat operasi pasien mengalami kejang sehingga diberikan Midazolam (Wiria, 2005). 3. Ketamine Ketamine merupakan rapid acting non barbiturate general anesthesia. Efek ketamine pada : a. Susunan saraf pusat Efek analgesic sangat kuat. Efek hipnotik kurang dan disertai penerimaan keadaan lingkungan yang salah (dissosiative anesthesia). Sering terjadi mimpi buruk, halusinasi, disorientasi waktu dan tempat, gaduh gelisah tak terkendali (Wiria et al, 2005). b. Kardiovaskular Tekanan darah meningkat 20-25 %, denyut jantung meningkat, cardiac output meningkat sampai 20 %. Keadaan ini akibat aktivitas simpatis meningkat dan depresi baroreceptor. Jarang terjadi aritmia (Wiria et al, 2005). c. Respirasi Despresi pernapasan ringan dan hanya sementara kecuali dosis terlalu besar., Menyebabkan bronkodilatasi dan bersifat antagonis terhadap bronkokonstriksi akibat histamine (Wiria et al, 2005). d. Cerebral Peningkatan aliran cerebral dan hanya bersifat sementara. Pada pemberian jangka lama dapat terjadi peningkatan serangan epilepsy (Wiria et al, 2005). 4. Rocuronium Rocuronium merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi mempunyai struktur benzilisoquinolin yang bverasal dari tanaman Leontice

Leontopeltalum (Wiria et al, 2005). Beberapa keunggulan atracurium antara lain : a. Metabolism terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi Hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati atau ginjal b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis untuk relaksasi otot adalah 0,5-0,6 mg/KgBB/iv. Awal dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai.pada umumnya awal kerja adalah pada dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan atau dibantu antikolinesterase (Latiet et al, 2002). Pada pasien ini diberikan aminophilin karena pasien memiliki riwayat asma dan pada saat berlangsungnya operasi terjadi serangan asma. Aminophilin berperan sebagai bronkodilator yang diindikasikan untuk obstruksi saluran nafas reversible dan serangan asma. Aminophilin memiliki 2 mekanisme aksi utama di paru yaitu dengan cara relaksasi otot polos dan menekan stimulan yang terdapat pada jalan nafas (suppression of airway stimuli). Mekanisme aksi yang utama belum diketahui secara pasti. Diduga efek bronkodilasi disebabkan oleh adanya penghambatan 2 isoenzim yaitu phosphodiesterase (PDE III) dan PDE IV. Dosis pada serangan asma berat yakni 0,3 - 0,9 mg/kgBB/jam. Monitoring Post Operasi Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih dari tujuh.

Kesimpulan Berdasarkan status fisik pasien ASA III E dengan kehamilan ektopik terganggu, jenis anastesi yang paling baik digunakan dalam laparotomi adalah general anastesi. Teknik general anastesi yang dipilih adalah semi open closed, nafas kendali dengan endotracheal tube nomor 7,5. Untuk premedikasi diberikan ondansentron 4 mg, Fentanil 50 mcg dan induksi diberikan Ketamin 50 mg , relaksasi rocuroniumum 25 mg, serta pemeliharaan dengan O2 4 L/menit, N2O 3 L/menit, sevoflurane 2 % volume.

KESIMPULAN

1. Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. Karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri kehamilan. 2. Bila diagnosis cepat ditegakkan umumnya prognosis baik, terutama bila cukup penyediaan darah dan fasilitas operasi serta narkose. 3. General anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. 4. Pemilihan teknik anestesi berdasarkan pada faktor-faktor seperti usia (bayi, anak, dewasa muda, geriatri), status fisik, jenis operasi, ketrampilan ahli bedah, ketrampilan ahli anestesi, dan pendidikan. 5. Anestesi yang digunakan untuk Kehamilan Ektopik Terganggu adalah General Anestesi.

DAFTAR PUSTAKA Cunningham, F. G et al. 2005. Ectopic pregnancy. In : Williams Obstetrics. 22 st edition. New York : Mc Graw Hill Medical Publising Division. 509536. Damario M. A, Rock J. A. 2007. Ectopic pregnancy. In: Rock J. A, Thompson J. D. Te Lindes operative gynecology. 8th ed. Philadelphia: LippincotRaven, 2007: 501-527. Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. E disi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta : FKUI.Muhiman, M. 2000. Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan terapi Intensif. FK UI.

Pramono, A. 2008. Study Guide Anestesiologi dan Reanimasi. Yogyakarta : FK UMY Speroff L, Glass R. H, Kase N. G. 2009. Ectopic pregnancy: Clinical gynecologic endokrinology and infertility. 6th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1149-1167. Symonds E. M. 2002. Complication of early pregnancy : abortion, extrauterine pregnancy and hydatidiform mole. In: Essential obstetric and gynaecology. 2nd ed. Churchill Livingstone; 88-92. Stovall T. G, Mc Cord M. L. 2006. Early pregnancy loss and ectopic pregnancy. In Berek J. S, Adhasi E. Y, Hillard P. A. Novaks gynecology. 12th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 487-524. Wiria MSS, Handoko T. 2005. Hipnotik-Sedatif dan Alkohol. Dalam : Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Penerbit FKUI