Bab IV Rev Perub
-
Upload
erdiyansyahrifwan -
Category
Documents
-
view
874 -
download
0
Transcript of Bab IV Rev Perub
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Setting Penelitian
4.1.1. Sejarah Terbentuknya Kota Palu
Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Dr. Kruyt
menguraikan bahwa Palu sebenarnya tempat baru dihuni orang (De Aste Toradja’s
van Midden Celebes). Awal mula pembentukan kota Palu berasal dari penduduk
Desa Bontolevo di Pegunungan Ulayo. Setelah pergeseran penduduk ke dataran
rendah, akhirnya mereka sampai di Boya Pogego sekrang ini.
Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu:
Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia
sekarang
Bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru.
Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu
tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya
dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu
kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda
mengadakan pendekatan terhadap Kerajaan Palu.
Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa kepemimpinan Raja
Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1868.
Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama dengan bala tentara
dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu, mereka pun menyerang Kayumalue.
Setelah peristiwa perang Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh pihak Belanda dan
jenazahnya dibawa ke Palu.
102
103
Setelah itu ia digantikan oleh Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888
Raja Jodjokodi menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia
Belanda.
Berikut daftar susunan raja-raja Palu :
1. Pue Nggari (Siralangi) 1796 - 18052. I Dato Labungulili 1805 - 18153. Malasigi Bulupalo 1815 - 18264. Daelangi 1826 - 18355. Yololembah 1835 - 18506. Lamakaraka 1850 - 18687. Maili (Mangge Risa) 1868 - 18888. Jodjokodi 1888 - 19069. Parampasi 1906 - 192110. Djanggola 1921 - 194911. Tjatjo Idjazah 1949 - 1960 (Tjatjo Idjazah adalah Raja terakhir)
Setelah Tjatjo Idjazah, tidak ada lagi pemerintahan raja-raja di wilayah
Palu. Setelah masa kerajaan telah ditaklukan oleh pemerintah Belanda, dibuatlah
satu bentuk perjanjian “Lange Kontruct” (perjanjian panjang) yang akhirnya
dirubah menjadi “Karte Vorklaring” (perjanjian pendek). Hingga akhirnya
Gubernur Indonesia menetapkan daerah administratif berdasarkan Nomor 21
Tanggal 25 Februari 1940.
Kota Palu termasuk dalam Afdeling Donggala yang kemudian dibagi lagi
lebih kecil menjadi Arder Afdeling, antara lain Order Palu dengan ibu kotanya
Palu, meliputi tiga wilayah pemerintahan Swapraja, yaitu :
1. Swapraja Palu
2. Swapraja Dolo
3. Swapraja Kulawi
Pada saat Perang Dunia II sekitar tahun 1942 Kota Donggala sebagai
ibukota Afdeling Donggala dihancurkan baik oleh pasukan Sekutu maupun Jepang
104
sehingga pusat pemerintahan dialihkan ke Palu sekitar tahun 1950, yang
berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950 menjadi wilayah daerah
Sulawesi Tengah dan berkedudukan di Poso, sedangkan Kota Palu hanya
merupakan tempat kedudukan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat
Wedana. Lebih jauh Kota Palu berkembang setelah dibentuknya Residen
Koordinator Sulawesi Tengah Tahun 1957 membuat status Kota Palu menjadi
Ibukota Karesidenan.
Dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari hasrat keinginan
rakyat di daerah ini dalam pencetusan pembentukan Pemerintahan wilayah kota
untuk Kota Palu dimulai sejak adanya Keputusan DPRD Tingkat I Sulteng di Poso
Tahun 1964. Atas dasar keputusan tersebut maka diambil langkah-langkah positif
oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Pemerintah Dati II
Donggala guna mempersiapkan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan
kemungkinan Kota Palu sebagai Kota Administratif. Usaha ini diperkuat dengan
SK Gubernur KDH Tingkat I Sulteng Nomor 225/Ditpem/1974 dengan membentuk
Panitia Peneliti kemungkinan Kota Palu dijadikan Kota Administratif, maka
pemerintah pusat telah berkenan menyetujui Kota Palu dijadikan Kota
Administratif dengan dua kecamatan yaitu Palu Barat dan Palu Timur.
Berdasarkan landasan hukum tersebut maka pemerintah Kotif Palu memulai
kegiatan menyelenggarakan pemerintahan di wilayah berdasarkan fungsi sebagai
berikut :
a.Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintah dengan
perkembangan kehidupan politik dan budaya perkotaan.
b.Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan sosial
ekonomi dan fisik perkotaan.
105
c.Mendukung dan merangsang secara timbal balik pembangunan wilayah
Propinsi
Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah pada umumnya dan Kabupaten Dati II
Donggala.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tanggal 12 Oktober 1994, Mendagri
Yogi S. Memet meresmikannya Kotamadya Palu dan melantik Rully Lamadjido,
SH sebagai walikotanya.
4.1.2. Luas Wilayah dan Letak Geografis
Kota Palu terletak memanjang dari timur ke barat disebelah utara garis
katulistiwa dalam koordinat 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Luas wilayahnya
395,06 km2 dan terletak di Teluk Palu dengan dikelilingi pegnungan. Kota Palu
terletak pada ketinggian 0 – 2500 m dari permukaan laut dengan keadaan
topografis datar hingga pegunungan. Sedangkan dataran rendah umumnya tersebut
disekitar pantai.
Berikut batas-batas wilayah Kota palu adalah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kecamatan Banawa
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marawola dan Kabupaten Sigi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Banawa dan Kecamatan
Morowali
- Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli dan Kabupaten Parimo
Dengan pembagian wilayah menjadi empat, yaitu :
1. Kecamatan Palu Barat mencakup 15 Kelurahan
• Duyu
• Ujuna
106
• Nunu
• Boyaoge
• Balaroa
• Donggala Kodi
• Kamonji
• Baru
• Lere
• Kabonena
• Tipo
• Buluri
• Silae
• Watusampu
• Siranindi
2. Kecamatan Palu Selatan mencakup 12 Kelurahan
• Tatura
• Birobuli
• Petobo
• Kawatuna
• Tanamodindi
• Lolu Utara
• Tawanjuka
• Palupi
• Pengawu
• Lolu Selatan
107
• Sambale Juraga
• Tamalanja
3. Kecamatan Palu Timur mencakup 8 Kelurahan
• Lasoani
• Poboya
• Talise
• Besusu Barat
• Tondo
• Besusu Tengah
• Besusu Timur
• Layana Indah
4. Kecamatan Palu Utara mencakup 8 Kelurahan
• Mamboro
• Taipa
• Kayumalue Ngapa
• Kayumalue Pajeko
• Panau
• Lambara
• Baiya
• Pantoloan
108
Tabel 4.1: Luas Kota Palu menurut Kecamatan
No Kecamatan Luas (Km²) Persentase
1 Palu Barat 57,47 14,55
2 Palu Selatan 61,35 15,53
3 Palu Timur 186,55 47,22
4 Palu Utara 89,69 22,70
5 Kota Palu 395,06 100,00
Kota Palu Dalam Angka 2009
4.1.3. Penduduk 1
a. Jumlah Penduduk
Hasil Proyeksi SUPAS tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Kota Palu mencapai 309.032 jiwa. Dari jumlah tersebut terdapat 6 jiwa penduduk
warga negara asing (WNA).
Tabel 4.2. : Pertumbuhan Penduduk Tahun 2008
Kecamatan Jumlah Penduduk PertumbuhanPenduduk %
SP 1990 SP 2000 ProyeksiSUPAS
SP 2000 - ProyeksiSUPAS
Palu Barat 64. 901 82.010 92.644 1,54
Palu Selatan 62.232 93.081 110.218 2,13
Palu Timur 48.310 62.863 69.651 1,29
Palu Utara 24.002 31.129 36.519 2,02
Kota Palu 199.445 269.083 309.032 1,75
Diolah berdasarkan hasil SUPAS 2005, dan Registrasi 2008
b. Kepadatan Penduduk
1 Kota Palu Dalam Angka 2009/ Palu City in Figures, 2009 38
109
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka tingkat kepadatan
penduduk juga mengalami peningkatan. Kepadatan penduduk Kota Palu keadaan
akhir tahun 2008 tercatat 782 jiwa/km², dengan luas wilayah Kota Palu 395,06 km².
Bila dilihat penyebaran penduduk pada tingkat kecamatan, ternyata
Kecamatan Palu Selatan merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi
yaitu 1.797 jiwa/km², sedangkan Kecamatan Palu Timur merupakan wilayah yang
terjarang penduduknya yaitu sebanyak 373 jiwa/km².
Tabel 4.3.: Jumlah Penduduk Per Kecamatan di Kota Palu Tahun 2008
Kecamatan Penduduk Luas(KM2)
KepadatanLaki-laki Perempuan Jiwa %
Palu Barat 45099 44620 89719 29,0 57,47 1.561Palu Selatan 56059 56810 112869 36,5 61,35 1.840Palu Timur 34320 34953 69273 22,4 186,55 371Palu Utara 18729 18774 37503 12,1 89,69 418Jumlah 154207 155157 309.364 100,0 395,06 783Sumber: Registrasi Penduduk Kota Palu, 2008
c. Rasio Jenis Kelamin
Rasio jenis kelamin di Kota Palu pada tahun 2008 adalah sebesar 98 yang
berarti setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98 penduduk laki-laki atau jumlah
penduduk perempuan relatif lebih besar daripada penduduk laki-laki. Pada tingkat
kecamatan, Palu Barat mempunyai rasio jenis kelamin tertinggi, yaitu 9 persen,
Palu Selatan 98 persen, Palu Utara 97 persen, dan terendah Palu Timur sebesar 96
persen.
d. Komposisi Umur Penduduk
110
Komposisi atau struktur umur penduduk Kota Palu selama tahun 2008
hampir 70,00 persen berada pada kelompok umur 0-34 tahun, hal ini menunjukkan
bahwa penduduk Kota Palu berada pada kelompok penduduk usia muda.
Dengan melihat perbandingan jumlah penduduk yang berusia non produktif
dengan penduduk usia produktif dapat diketahui besarnya angka ketergantungan
pada tahun 2008 yaitu sebesar 0,40 artinya bahwa setiap 100 orang penduduk usia
produktif (15-64 tahun) menanggung sebanyak kurang lebih 40 orang penduduk
usia tidak produktif (0-14) tahun dan 65 tahun ke atas.
Tabel 4.4:Penduduk menurut Kelompok Umur 2008
Kecamatan Kelompok Umur0 - 4 5 - 9 10-14 15-19 20-24
Palu Barat 8.383 7.006 8.433 10.704 11.339
Palu Selatan 9.973 8.335 10.032 12.736 13.491
Palu Timur 6.299 5.271 6.337 8.055 8.526
Palu Utara 3.304 2.762 3.323 4.222 4.469
Kota Palu 27.959 23.374 28.125 35.717 37.825
Sumber: Kota Palu Dalam Angka 2009
4.1.4.Pemerintahan: Program dan Kepegawaian Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil
4.1.4.1. Program Kerja
Secara administratif Kota Palu pada tahun 2008 terdiri dari 4 (empat)
kecamatan dan 43 kelurahan, seluruhnya telah berstatus definitif dan masuk dalam
klasifikasi desa swasembada. Keempat kecamatan yang dimaksud adalah
kecamatan Palu Barat, ibukotanya Lere dengan 15 kelurahan. Kecamatan Palu
Selatan, ibukotanya Birobuli Utara dengan 12 kelurahan. Kecamatan Palu Timur
ibukotanya Besusu Barat dengan 8 kelurahan. Kecamatan Palu Utara ibukotanya
111
Lambara dengan 8 kelurahan. Secara rinci pembagian daerah administratif,
banyaknya kelurahan menurut klasifikasinya disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4.8.: Jumlah Kecamatan dan Kelurahan
No Kecamatan Ibu Kota Banyaknya KelurahanPalu Barat Lere 15Palu Selatan Birobuli Utara 12Palu Timur Besusu Barat 8Palu Utara Lambara 8
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Palu bergerak dalam
program dan kegiatan yang mencakup semua kecamatan dan kelurahan. Program
dan kegiatan yang ada merupakan penjabaran dari kebijakan sistem administrasi
kependudukan dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Palu. Adapun
program dan kegiatan lokalitas kewenangan Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Palu adalah:
1.Program Lokalitas Kewenangan:
a. Pengelolaan administrasi dan perencanaan
b. Penyelenggaraan administrasi kependudukan
2. Kegiatan Lokalitas Kewenangan:
a.Pengelolaan, perencanaan dan bina program
b.Pengelolaan administrasi umum, kepegawaian dan keuangan
c.Penerbitan administrasi kependudukan KK, KTP dan pelayanan formulir
biodata penduduk
d.Pelayanan data base kependudukan
e.Pengelolaan administrasi pencatatan kelahiran, kematian dan mutasi penduduk
f. Pengelolaan administrasi pencatatan perkawinan, perceraian, pengesahan dan
pengangkatan anak.
112
3. Program dan Kegiatan Kewilayahan:
Program dan kegiatan kewilayahan ini merupakan bentuk kerja sama
dengan pemerintah daerah lainnya yang disesuaikan dengan tugas pokok dan
fungsi dinas kependudukan dan pencatatan sipil kota Palu. Bentuk kerja sama
program dan kegiatan kewilayahan dapat dilaksanakan berupa, kerja sama dalam
bidang kependudukan dengan sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK)
dan program pembangunan data base kependudukan.
4.1.4.2. Kepegawaian
Dalam melaksanakan tugas pelayanan di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Palu, aparat yang bertugas dalam pelayanan
administrasi kependudukan sebanyak 72 orang dengan uraian sebagai berikut:
1. Menurut jabatan struktural:
- Eselon II B : 1 orang
- Eselon III A : 1 orang
- Eselon III B : 3 orang
- Eselon IV A : 9 orang
Jumlah : 14 orang
2. Menurut golongan:
- Golongan IV b : 1 orang
- Golongan IV a : 3 orang
- Golongan III d : 6 orang
- Golongan III c : 2 orang
- Golongan III b : 2 orang
- Golongan III a : 6 orang
113
- Golongan II d : 2 orang
- Golongan II c : 3 orang
- Golongan II a : 18 orang
- Golongan I d : 1 orang
Jumlah : 44 orang
3. Tenaga honorer/PHL : 28 orang
4. Menurut pendidikan
- Sarjana (S1) : 13 orang
- Sarjana Muda : 5 orang
- SLTA : 55 orang
- SLTP : 1 orang
Jumlah : 74 orang
114
Berikut ini adalah bagan struktur Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Palu
Gambar: 10 bagan struktur Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Palu.
Kepala Dinas
Sekretariat
Sub BagianKeuangan dan Aset
Sub BagianKepegawaian & Umum
Sub BagianPerencanaan Program
KelompokJabatan
Fungsional
Bidang Pelayanan
Pendaftaranpenduduk
Bidang Pelayanan Pencatatan sipil
Bidang Pengelolaan Data dan Dokumentasi Kependudukan
Seksi Identitas
Penduduk
Seksi Pindah datang & Penduduk
Rentan
Seksi Sistem dan Teknologi Informasi
Seksi Pencatatan Perkawinan, Perceraian
dan Perubahan Kewarganegaraan
Seksi Pencatatan Kelahiran, Kematian,
Pengangkatan Pengakuan dan
Pengesahan Anak
Seksi Pengelolaan Data dan Dokumen Kependudukan
UPTD
115
4.2. Pembahasan
4.2.1. Faktor yang Menyebabkan Belum mencapai tujuan Implementasi
Kebijakan Sistem Administrasi Kependudukan dalam Penerbitan
Kartu Keluarga.
4.2.1.1. Faktor Komunikasi
Faktor komunikasi menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan
satu program organisasi, termasuk implementasi program pemerintahan. Dalam
komunikasi pemerintahan yang menjadi komunikator adalah aparat pemerintahan
sebagai implementor kebijakan. Yang menjadi komunikan adalah penerima atau
tujuan dari kebijakan program pemerintah, dalam hal ini adalah masyarakat. Yang
dikomunikasikan adalah isi dari program kerja pemerintahan bagi masyarakat,
khususnya menyangkut kebijakan administrasi kependudukan. Tujuan dari
komunikasi kebijakan administrasi kependudukan adalah untuk penertiban sistem
administrasi kependudukan.
Salah satu persyaratan dalam keberhasilan implementasi kebijakan
adalah mengetahui isi kebijakan apa yang akan dilakukan oleh pihak yang
bertanggung jawab dalam hal ini implementor. Isi kebijakan harus ditransfer
kepada person yang tepat, kebijakan harus jelas, konsisten dan akurat sebelum
dilaksanakan. Untuk itu, keputusan kebijakan dan peraturan implementasi perlu
ditransmisikan dari pembuat kebijakan kepada personalia yang tepat sebelum
dilaksanakan. Karena itu perlu suatu komunikasi. Komunikasi membutuhkan
keakuratan, dan komunikasi secara akurat pula diterima oleh para implementor.
Banyak rintangan dalam menjalankan sebuah program atau kebijakan terletak pada
jalur transmisi komunikasi pada proses implementasi kebijakan.
116
Suatu kebijakan akan diimplelemtasikan secara tepat, apabila ukuran
implememtasi juga tidak hanya bisa diterima, tetapi juga harus jelas. Jika tidak, tiak
para implementor akan mendapat kendala dalam proses implementasi kebijakan.
Dalam Implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan, komunikasi
dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai implementor kepada masyarakat.
Faktor komunikasi menjadi salah satu kendala dalam implementasi
kebijakan sistem administrasi kependudukan dalam penerbitan kartu keluarga di
Kota Palu. Isi kebijakan mengenai sistem administrasi kependudukan belum
ditransfer kepada person baik aparat pelayan penerbitan kartu keluarga maupun
terutama kepada masyarakat penerima layanan secara tepat. Kebijakan administrasi
kependudukan kurang dipahami oleh aparat, sehingga pelaksanaannya tidak
konsisten dan kurang akurat dalam mengimplementasikannya. Hal in terjadi karena
keputusan kebijakan dan peraturan implementasi sistem administrasi
kependudukan belum ditransmisikan secara tepat dan jelas dari pembuat kebijakan
kepada personalia yang tepat sebelum dilaksanakan.
Komunikasi belum berjalan efektif tidak hanya antara pembuat kebijakan
sistem administrasi kependudukan dengan aparat pelaksana disebabkan karena
sistem penyampaian yang sifatnya atasan dan bawahan, tetapi terlebih antara aparat
pemberi pelayanan administrasi kependudukan dengan masyarakat sebagai
penerima pelayanan. Dalam pelaksanaannya, terjadi ketidakjelasan makna akan isi
dari kebijakan tersebut sehingga terjadi miskomunikasi dari aparat pemberi
pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan data lapangan faktor penghambat
terjadi karena pelayanan terlalu berbelit-belit, adanya alur birokrasi, sistem
pelimpahan kewenangan sehingga pelaksanan sistem administrasi kependudukan
belum optimal.
117
Pada prinsipnya, tujuan dari komunikasi mengenai kebijakan sistem
administrasi penduduk kepada masyarakat adalah untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat bahwa pendaftaran penduduk merupakan proses registrasi
penduduk yang meliputi pendataan dan pencatatan atau pelaporan peristiwa
kependudukan dalam rangka penerbitan dokumen identitas penduduk atau surat
keterangan kependudukan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Pendaftaran
penduduk merupakan kegiatan yang ditujukan untuk menghimpun data penduduk
dan perubahannya akibat peristiwa kependudukan serta penerbitan identitas
penduduk yang secara sah dan benar.
Efektifitas komunikasi dilakukan dalam upaya memberikan informasi
bahwa sistem administrasi kependudukan penting bagi masyarakat dalam rangka
penertiban administrasi kependudukan seperti KK, KTP. Pentingnya sistem
admistrasi kependudukan sebagai bentuk komunikasi, dijalankan aparat pemerintah
melalui bentuk sosialisasi kepada masyarakat. Pentingnya sosialisasi sistem
administrsi kependudukan disampaikan juga oleh aparat pemerintahan2 bahwa:
aparat pemerintah telah melakukan sosialisasi khususnya randu casnaker atau yang
biasa disebut kependudukan dan pencatatan sipil kepada masyarakat. Dalam
sosialisasi tersebut disampaikan bagaimana prosedur untuk penerbitan Kartu
Keluarga. Jadi apalagi sekarang sudah berubah, yang mengurus langsung pihak
kependudukan dan pencatatan sipil pemerintah kota Palu. Jadi kecamatan hanya
memaraf formulir pendaftaran, dan formulir permohonan penerbitan kartu keluarga
dan dokumen kependudukan tersebut. Masyarakat harus memenuhi persyaratan-
persyaratan yang ada misalnya seperti harus ada Buku nikah, anta kelahiran dan
22 Wawancara dengan Kabid. Pelayanan dafduk , tanggal 9 september 2009
118
pengantar dari RT, RW, kelurahan dan melengkapi formulir kependudukan sesuai
dengan domisili dan data-data yang benar dan akurat.
Proses sosialisasi yang dijalankan aparat dilakukan secara tertulis tidak
secara lisan. Sosialisasi secara lisan dilaksanakan oleh pemerintah kota khususnya
randu casnaker atau yang biasa disebut Dinas kependudukan dan pencatatan sipil
kota palu kepada aparat tingkat kecamatan dan kelurahan. Sosialisasi dimaksudkan
untuk memberi pemahaman kepada masyarakat bagaimana proses dan prosedurnya
untuk memudahkan proses pelayanan baik dari pihak aparat maupun terutama
untuk masyarakat.
Dari hasil observasi, proses sosialisasi memang sudah dilakukan aparat
pemerintah tetapi bukan kepada masyarakat. Sosialisasi itu hanya dilakukan kepada
aparat di kecamatan dan kelurahan. Sosialisasi kepada aparat pun hanya dilakukan
sekali saja. Kalau yang disosialisasikan itu hanya kepada aparat pelaksana atau
pemberi pelayanan di kelurahan, itu pun tidak intensif, dan aparat itu sendiri tidak
memahami isi kebijakan sistem administrasi kependudukan, maka komunikasi
kepada masyarakat mengenai kebijakan adminitrasi kependudukan tidak akan
berjalan. Sosialisasi mengenai pentingnya kebijakan administrasi kependudukan
mengalami miskomunikasi. Selama ini, pelaksanaan sosialisasi dilakukan secara
tertulis berupa surat edaran, maka proses komunikasi penyampaian UU NO 23
tahun2006 tentang Administrasi kependudukan tidak berjalan baik karena tidak ada
komunikasi antara aparat pemerintah sebagai komunikator dan masyarakat sebagai
komunikan. Tidak mengherankan masyarakat selalu dibingungkan ketika mengurus
Kartu Keluarga, karena persyaratan selalu tidak diurus secara tuntas.
Berdasarkan data dari informan dan hasil observasi, jelas terlihat bahwa
komunikasi kebijakan administrasi kependudukan mengalami hambatan. Hambatan
119
terjadi dalam sistem birokratisasi pemerintahan itu sendiri. Komunikasi dari
pembuat kebijakan mengenai administrasi kependudukan belum disosialisasikan
secara optimal kepada aparat pemerintah sebagai pemberi pelayanan di tingkat
kecamatan dan kelurahan. Sehingga aparat pemberi pelayanan itu sendiri tidak
mengetahui isi kebijakan tersebut yang akan dikomunikasikan kepada masyarakat
penerima pelayanan. Dengan kata lain, komunikasi kebijakan administrasi
kependudukan bidang kartu keluarga terjadi searah.
Dengan demikian, dalam proses sosialisasi sistem administrasi
kependudukan khususnya dalam penerbitan Kartu Keluarga, belum dijalankan atau
belum terjadi komunikasi yang baik antara aparat pemerintah dengan masyarakat.
Hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang dikatakan Edwards III bahwa lancar atau
tidaknya komunikasi bertumpu pada kemampuan orang dalam organisasi untuk: 1)
menerima, memproses dan menghasilkan bahan-bahan yang perlu
dikomunikasikan kepada orang lain. 2) mengkomunikasikan informasi yang ada
pada seseorang dengan orang lain atau kelompok lain dimana yang bersangkutan
menjadi anggota. 3) memanfaatkan jalur komunikasi yang terdapat dalam
organisasi seefektif mungkin. 4) dan mengembangkan sistem penanganan
informasi dalam organisasi baik secara manual maupun dengan menggunakan
peralatan yang modern.
Dalam implementasi kebijakan sistem administrsi kependudukan
komunikasi memegang peran penting dalam upaya mensosialisasikan kebijakan
pemerintah di bidang sistem administrasi kependudukan serta memberikan
pengertian kepada masyarakat akan manfaat dan pentingnya program tersebut.
Komunikasi adalah proses menyampaian informasi, gagasan, keahlian, dan emosi
melalui simbol-simbol seperti kata-kata, gambar-gambar dan angka-angka. Hal
120
tersebut harus dijalankan aparat pemerintah guna mencapai efektifitas dari
kebijakan sistem administrasi kependudukan kepada masyarakat. Sejalan dengan
itu, Harold Kontz (1988: 18) memberikan pengertian komunikasi sebagai
penyampaian informasi dari pengirim kepada penerima dan informasi itu
dimengerti oleh yang memerima. Komunikasi adalah pertukaran informasi, ide,
sikap, pikiran, dan pendapat.
Dengan demikian, implementasi kebijakan yang disampaikan melalui
komunikasi pemerintahan selalu berkaitan dengan proses penyampaian pesan
(berita) mengacu pada bagaimana suatu proses komunikasi menyampaikan pesan
yang berkaitan dengan isi kebijakan yang harus dipahami oleh implementor
kebijakan sebelum ditransmisikan kepada sebagai subkjek dari kebijakan dituju.
Dengan demikian, tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai secara efektif.
Sedangkan aspek proses pertukaran pikiran atau nilai berkaitan dengan makna-
makna pesan simbolik yang melekat pada sesuatu nilai budaya masyarakat dan
sebagainya. Antara proses penyampaian pesan atau informasi dan proses
pertukaran pikiran atau nilai dimaksud untuk mencari atau menemukan makna
yang sesungguhnya. Proses penyampaian pesan kebijakan kepada masyarakat,
hendaknya disesuaikan dengan situasi, kondisi, latar belakang budaya dan social
dari masyarakat bersangkutan. Kebijakan yang mengabaikan nilai, kultur, kondisi
dan latar belakang masyarakat sering menjadi hambatan dalam mencapai tujuan
dari kebijakan tersebut. Walaupun, secara konsptual isi dari formulasi kebijakan
tersebut bagus belum tentu dapat diterapkan secara tepat dan cocok dengan
penerimaan masyarakat.
Dalam proses implementasi kebijakan suatu program yang menyangkut
pelayanan publik sosialisasi sebagai bagian dari komunikasi sangat penting.
121
Sosialisasi memudahkan satu program kerja diketahui, dipahami dan dijalankan.
Sosialisasi akan berhasil dan mencapai tujuan apabila memenuhi unsur-unsur
komunikasi. Unsur komunikasi yang harus diperhatikan dalam mensosialisasikan
satu program atau kebijakan sangat erat kaitannya dengan unsur komunikator,
komunikan dan pesan. Komunikator adalah pihak aparat pemerintah sebagai
implementor yang memberikan menyampaikan isi kebijakan. Komunikan adalah
masyarakat penerima pesan atau isi dari kebijakan. Pesan adalah isi dari kebijakan
yang ditransmisikan dari pembuat kebijakan kepada masyarakat. Pesan yang
dikomunikasikan oleh aparat pemerintah sebagai komunikator kepada masyarakat
sebagai komunikan perlu mendapat umpan balik guna mengetahui efetif dan tepat
sasar dari isi pesan yang telah dikomunikasikan kepada masyarakat. Untuk lebih
memahami prinsip dasar dari proses komunikasi, dapat dilukiskan gambar proses
komunikasi berikut:
Siapa.......... mengatakan apa......... bagaimana caranya ...... kepada siapa
....apa akibatnya
Gambar 11: Proses KomunikasiSumber: Gibson, et al, 1994
Komunikator, adalah seseorang yang memiliki gagasan, maksud, informasi
dan tujuan berkomunikasi. Penyediaan berfungsi menerjemahkan gagasan
komunikator menjadi serangkaian tanda yang sistematis menjadi bahasa yang
mengungkapkan tujuan komunikator. Bentuk utama dari penyediaan adalah bahasa.
Pesan merupakan hasil proses pembuatan berita.
komunikator pesan perantara penerima
balikan
122
Dalam konteks implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan
khususnya dalam penerbitan kartu keluarga komunikasi menjadi salah satu sarana
yang tepat dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat sebagai komunikan.
Tujuan komunikator dalam implementasi kebijakan sistem administrasi
kependudukan yakni pihak pemerintah mengungkapkan dalam bentuk pesan –
baik secara lisan atau tulisan mengenai bentuk, jenis dan tujuan kegiatan serta
syarat-syaratnya bagi masyarakat dalam proses penerbitan kartu keluarga.
Komunikasi apapun bentuknya bagi aparat pemerintah sangat penting
sebagai salah satu saran sosialisasi kepada masyarakat, mengenai proses,
persyaratan serta pentingnya mengurus kartu keluarga. Karena, tanpa sosialisasi
kepada masyarakat akan pentingnya kartu keluarga maka program dan tujuan
implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan tidak akan efektif dan
mencapai sasaran. Oleh karena itu proses komunikasi yang kami jalankan
dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan. Dalam parakteknya, proses
komunikasi yang dijalankan tidaklah mudah. Komunikasi non verbal melalui
tulisan seringkali tidak tepat sasar, karena kebijakan dalam tulisan yang
disampaiakan kepada masyarakat kurang diserap dan dipahami. Oleh karena itu,
aparat melakukan sosialisasi sebagai bentuk komunikasi verbal kepada masyarakat
guna memperoleh pemahaman yang tepat mengenai isi kebijakan. 3
Yang masih dipertanyakan adalah apakah sudah efektifkah proses
sosialisasi yang dijalankan pihak pemerintah kepada masyarakat? Sebenarnya
bukan saja persoalan sosialisasi yang telah dilakukan, tetapi efeknya bagi
masyarakat penerima layanan. Masyarakat merasakan bahwa pelayanan Kartu
Keluarga masih sulit dan berbelit-belit. Apalagi pelayanan Kartu Keluarga masih
3 Wawancara dengan Mantan anggota DPRD, tanggal 5 September 2009
123
dipusatkan di Kota Palu. Pelayanan belum tersebar ke kecamatan-kecamatan. Fakta
ini dapat dibenarkan dari informasi yang diberikan masyarakat penerima layanan.
Proses pelayanan Kartu Keluarga masih menggunakan cara lewat. Masyarakat
masih kesulitan untuk mengurus Kartu Keluarga. Masih berbelit-belit termasuk
juga soal biaya. Kita kebanyakan mengurus di kota Palu, ke sana sudah makan
biaya. Mengapa bukan pelayanan di kecamatan-kecamatan yang lebih dekat
sebagaimana di bandung, Jakarta.4
Dari keterangan informan di atas, diketahui bahwa selain sosialisasi
kepada masyarakat tentang pentingnya administrasi kependudukan seperti kartu
keluarga demi tertibnya administarsi kependudukan, masyarakat mengeluhkan
sulitnya dan berbelit-belitnya pelayanan kartu keluarga. Itu artinya, pelayanan kartu
keluarga menjadi hal yang sulit dan mahal. Fenomena ini bertentangan dengan
prinsip pelayanan yang harus murah, lebih cepat dan mudah.
Banyak tujuan komunikator berkomunikasi. Dengan demikian, pesan
adalah hal-hal yang diharapkan komunikator untuk disampaikan kepada penerima
tertentu, dan bentuk pastinya sebagian besar bergantung pada perantara yang
dipakai untuk menyampaikan pesan tadi. Keputusan yang berkaitan dengan bentuk
dan isi pesan tidak dapat dipisahkan. Perantara adalah sarana yang digunakan untuk
menyampaikan pesan.
Sebagai suatu proses, komunikasi mempunyai unsur yang memungkinkan
berlangsungnya suatu proses komunikasi, yaitu sumber (source), pesan (message),
penerima (receiver/destination), umpan balik (feedback/respon) dan hambatan/
gangguan (noise) (Sendjaja, 2004: 111).
4 Wawancara dengan Tokoh masyarakat, tanggal 30 Agustus 2009
124
Sumber disebut juga sebagai komunikator atau sender atau pengirim, yang
merupakan pihak pertama yang memulai atau memprakarsai suatu komunikasi.
Dia dapat berupa orang perorangan atau suatu organisasi, baik pemerintah maupun
swasta. Pesan sering juga disebut sebagai content (isi) yang merupakan suatu
informasi, pengetahuan, gagasan atau maksud, keinginan, dan pikiran. Sedangkan
penerima yang disebut juga komunikan (audience/khalayak) merupakan pihak
yang dituju atau penerima informasi; dapat berupa individu maupun kelompok
atau juga masyarakat secara keseluruhan.
Dari temuan penelitian, diperoleh keterangan bahwa sarana komunikasi
seperti media cetak maupun elektronik dapat dijadikan sarana mengkomunikasikan
kebijakan pemerintah. Apabila nara sumber dari pihak pemerintah tidak dapat
bertatap muka secara langsung dengan penerima informasi karena jarak maupun
waktu atau penyebab lain, maka diperlukan unsur berikutnya yaitu saluran
(medium) atau disebut juga channel, yang dapat berupa media cetak atau media
elektronik, yang masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Media ini
sangat efektif, karena umumnya masyarakat menggunakan media ini setiap hari
seperti koran, radio. Unsur lain yang tidak kalah pentingnya dalam peristiwa
komunikasi adalah umpan balik (feed back), atau respon/tanggapan dari pihak
penerima terhadap pesan atau informasi yang diperolehnya dari sumber.
Dari umpan balik/respon/tanggapan dari masyarakat mengenai kebijakan
pemerintah dalam hal ini kebijakan yang berkaitan dengan sistem administrasi
kependudukan sebagai sumber informasi dapat mengetahui sejauh mana pesan
yang disampaikannya dapat diterima dan dimengerti atau dipahami dengan tepat
oleh masyarakat, sesuai dengan apa yang diinginkan dan bagaimana reaksi
penerima terhadap pesan yang disampaikan oleh pemerintah.
125
Para ahli komunikasi menyatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah
hasil dari pemahaman bersama antara komunikator dan komunikan atau penerima.
Komunikator berusaha menciptakan kesamaan dengan penerima. Dengan
demikian kita dapat mendefinisikan komunikasi sebagai penyampaian informasi
dan pengertian dengan menggunakan tanda-tanda yang sama. Para peneliti tersebut
menaruh perhatian pada upaya menguraikan proses umum komunikasi. Unsur
dasarnya mencakup komunikator, penyandian, perantara, penguraian sandi,
penerima, balikan dan kegaduhan.
Pendapat Liliweri tentang unsur-unsur komunikasi yang perlu
dikembangkan dengan memperhatikan syarat-syarat komunikator, pesan, media
dan komunikan dapat menjelaskan proses komunikasi implementasi kebijakan
sistem administrasi kependudukan.
Bagan atau kerangka alur berpikir dapat dibangun berikut ini:
126
KONTEKS
Memperhatikan syarat-syarat
Kredibilitas sifat bentuk tujuan komunikasi Ethos komunikasi komunikasi perubahan sikap Pathos verbal dan antar pribadi dan perilaku Logos non verbal kelompok Organisasi
Disesuaikan dengan Prinsip organisasi Faktor individu
Metode dan teknik
Informatif human relations Membujuk humas Instruktif pemaparan
Disesuaikan dengan konteks
Gambar 12: Unsur Komunikasi dalam Proses Komunikasi
Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa komunikator dalam hal ini
pemerintah jelas merupakan lembaga yang kredibel, yang dapat dipercaya oleh
masyarakat, asalkan, isi pesan komunikasi cocok dengan program, kebutuhan
masyarakat. Jika tepat sasar, maka pesan sebagai isi komunikasi adalah formulasi
kebijakan yang akan diimplementasikan bisa dijalankan dalam bentuk lisan, tulisan
atau bahkan melalui media komunikasi. Komunikan dalam hal ini masyarakat
memiliki sistem nilai yang dapat mengarahkan sikap dan perilaku. Oleh karena itu,
formulasi kebijakan sebagai pesan harus memenuhi kriteria system nilai yang
diterima masyarakat. Karena itu, dalam system komunikasi pemerintahan yang
akan dijalankan harus memenuhi metode dan teknik berkomunikasi. Dengan kata
lain, perlu pendekatan dalam menyampaikan komunikasi kepada masyarakat.
KOMUNIKATOR
PESAN MEDIA KOMUNIKAN
127
Dalam ilmu komunikasi model ini disebut sebagai paradigma the postulat
of interpersonal need atau audienced baced approach. Postulat ini sekaligus
mengalahkan model tradisional komunikasi yang lebih mementingkan komunikator
daripada komunikan.
Sebagai output dari sosialisasi melalui proses komunikasi dalam hal ini
pihak pemerintah sebagai komunikator yang memberi informasi, penjelasan
mengenai bentuk kegiatan, program serta tujuan implementasi kebijakan sistem
administrasi kependudukan, kepada masyarakat atau komunikan sebagai penerima
pesan dalam hal ini program serta bentuk kegiatan bagi pencapaian tujuan yakni
penerbitan kartu keluarga, maka terdapatlah identifkasi terhadap keadaan,
keinginan dan skala prioritas implementasi.
Selain sosialisasi penting dalam komunikasi, aspek koordinasi juga sangat
penting dalam komunikasi. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem koordinasi yang
mantap dalam orgnisasi pemerintahan itu sendiri. Koordinasi sebagai satu fungsi
manajemen mempunyai arti penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Dengan
koordinasi yang baik, sasaran dan tujuan organisasi dapat dicapai lebih efektif dan
efisien. Koordinasi merupakan suatu teknik mempersatukan sejumlah keahlian dan
perhatian (skill and interest) saling bertentangan dan memimpinnya ke arah tujuan
bersama. Selain itu koordinasi merupakan “centripetal force” atau kekuatan
memusat di dalam administrasi.
Dalam implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan, fungsi
koordinasi sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam upaya pencapaian tujuan,
yakni pencapaian sasaran dalam pelayanan kepada masyarakat di bidang
administrasi kependudukan. Antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan di
bidang administrasi akan terjalin hubungan kerja sama dalam mancapai target
128
dalam pelayanan penerbitan kartu keluarga sebagai salah satu kebijakan sistem
admistrasi kependudukan. Koordinasi akan sungguh diperlukan pemerinah dalam
mencapai produktivitas yang berhasilguna dan berdayaguna di bidang administrasi
kependudukan. Namun yang ditemukan di lapangan berbanding terbalik. Fungsi
koordinasi dalam implementasi kebijakan administrasi kependudukan tidak
berjalan baik. Top eksekutif sebagai pembuat kebijakan dan sebagai decision
mamker lebih melihat fingsinya dari aspek pimpinan. Sedangkan pelaksanaan
diserahkan sepenuhnya pada aparat pelaksana yang setiap hari berhadapan dengan
masyarakat penerima layanan. Antara atasan dan aparat pelaksana kebijakan
bekerja sesuai tugas masing-masing. Aparat pelaksana harus melaksanakan
kebijakan yang telah ditetapkan tanpa ada koordinasi antara keduanya.
Oleh karena itu, pihak pembuat kebijakan berpendapat bahwa karena
keterpaduan dan keserasian semua usaha dan kegiatan, pemikiran, dan daya guna
dari semua pemegang fungsi unit atau instansi akan merupakan suatu kekuatan
yang ampuh sehingga kelemahan-kelemahan organisasi dapat teratasi. Oleh karena
itu koordinasi sangat penting antar sektor dan antar lini. Koordinasi merupakan
unsur penting untuk meningkatkan produktivitas kinerja aparat dalam
menerjemahkan kebijakan sistem administrasi kependudukan apabila hal tersebut
dapat difungsikan secara efektif. Keefektifan koordinasi sangat ditentukan oleh
peran pimpinan dalam memadukan berbagai koordinasi yang diarahkan pada
pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.5
Koordinasi berjalan baik jika ada jembatan yang menghubungi program
kerja antara atasan sebagai pembuat dan pengambil keputusan dengan pihak aparat
pelaksana yang bertugas untuk memberikan pelayanan. Dalam konteks pelayanan
5 Wawancara dengan Wakil Walikota, tanggal 12 Oktober 2009
129
Kartu Keluarga, belum ditemukan koordinasi antar lini sebagaimana diungkapkan
pihak LSM. Dikatakan bahwa dalam menjalankan kebijakan sistem administrasi
kependudukan dalam penerbitan Kartu Keluarga dan KTP, koordinasi belum
nampak antara pihak pimpinan dan pihak aparat pemberi pelayanan. Mengingat
belum rapinya aparat pemberi pelayanan dalam menerjemahkan kebijakan sistem
administrasi kependudukan. Seperti ada kesenjangan antara pihak pimpinan
sebagai pembuat kebijakan dengan aparat pemberi layanan kepada masyarakat.6
Hasil observasi menunjukkan bahwa koordinasi belum berjalan baik antar
lini, antara pimpinan dalam dinas kependudukan dan catatan sipil dengan aparat
pemberi layanan Kartu Keluarga kepada masayrakat. Masih ada kesan berjalan
sendiri-sendri. Ditambah lagi, proses pelayanan lamban, aparat pemberi layanan
juga terbatas kemampuan dan kompetensinya. Belum lagi sistem copot, pindah
aparat yang ada. Sehingga membingunkan aparat untuk memfokuskan dirinya
dalam melayani masyarakat secara mantap.
Koordinasi merupakan suatu sinkronisasi yang teratur dari usaha-usaha
untuk menciptakan kepantasan kuantitas, waktu dan pengarahan pelaksanaan yang
menghasilkan keselarasan dan kesatuan tindakan untuk tujuan yang telah
ditetapkan. Stoner (1992 : 501) mengatakan, koordinasi adalah proses perpaduan
sasaran dan kegiatan unit-unit kerja (bagian-bagian atau bidang-bidang fungsional)
yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif.
Kaitan pendapat Stoner dengan penelitian ini dilihat dari perpaduan sarana
dan unit-unit kerja yang ada dalam konteks dan skope pemerintahan kota Palu.
Koordinisasi dalam implementasi kebijakan system administrasi kependudukan
6 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009
130
perlu dilihat dari sinergitas antara unit pemerintahan. Perlu ada kesinambungan
program kerja dan kebijakan dari pimpinan sampai pada aparat pelasana demi
tercapainya tujuan bersama, yakni keberhasilan dalam penerbitan kartu keluarga
sebagai bagian dari tertib system administrasi kependudukan.
Pentingnya koordinasi dalam menjalankan program pemerintah dalam
sistem administrasi kependudukan juga diungkapkan anggota DPRD. Suatu
organisasi yang multi fungsi dengan sifat dan jenis pekerjaan yang berbeda seperti
dalam organisasi pemerintahan, pada prinsipnya koordinasi mutlak harus
dilaksanakan. Karena dengan koordinasi yang baik maka kebijakan administrasi
kependudukan yang bertujuan untuk lengkapnya dan mudahnya sistem administrasi
kependudukan bagi masyarakat dapat dicapai lebih efektif dan efeisien. Tanpa
koordinasi para pelaku dan pelaksana kebijakan sistem administrasi kependudukan
akan kehilangan pemahaman akan perannya dalam menjalankan tugasnya di dalam
melayani masyarakat.7
Berdasarkan pengamatan di lapangan8, dapat dikatakan bahwa koordinasi
nampaknya belum terjalin secara baik antara pejabat tingkat dinas sebagai pembuat
kebijakan dengan aparat di kecamatan dan kelurahan sebagai implementor
kebijakan administasi kependudukan. Hal ini, nampak dari tidak berjalannya
sosialisasi kebijakan dari pemerintah tingkat dinas kepada aparat di kecamatan dan
kelurahan. Apalagi sosialisasi kebijakan administrasi kependudukan yang
dilakukan oleh aparat pemerintah kepada masyarakat tidak pernah dilakukan. Jadi,
sistem koordinasi antar lintas dan sektoral dalam pemerintahan itu sendiri lemah.
7 Wawancara dengan Mantan Anggota DPRD, tanggal 5 september 2009 8 fgchghfghf
131
Luasnya kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan perlunya
komunikasi dari tugas-tugas tersebut. Koordinasi yang tepat akan membawa
konsekwensi dari tugas-tugas yang dilakukan dan tingkat saling ketergantungan
berbagai unit yang menjalankan tugas-tugas tersebut. Koordinasi yang tepat akan
membawa konsekwensi yang menguntungkan terhadap pencapaian tujuan
perusahaan dalam mewujudkan pencapaian tujuan bersama, yakni kemandirian dan
keberdayaan masyarakat dalam berbagai aspek. Karena, hampir semua organisasi
memandang bahwa koordinasi merupakan unsur penting untuk menunjang
kebersamaan di dalam mencapai tujuan.
Sehubungan dengan itu, menurut Hasibuan (1990 : 85), koordinasi dapat
diartikan menggerakkan segala usaha sebanyak mungkin atau usaha mencegah
terjadinya kekacauan, percekcokan, kekembaran atau kekosongan pekerjaan.
Orang-orang dan pekerjaannya diselaraskan dan diarahkan pada pencapaian tujuan
tertentu. Oleh karena itu koordinasi mempunyai arti penting bagi tujuan organisasi.
Dalam organisasi pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dan
dalam berbagai tingkatan serta instansi, dinas terkait koordinasi penting dilakukan.
Koordinasi yang baik akan mempunyai efek adanya efisiensi terhadap organisasi
itu. Karena itu maka koordinasi adalah memberikan sumbangan (kontribusi) guna
tercapainya efisiensi terhadap usaha-usaha yang lebih khusus, sebab kegiatan
organisasi itu adalah dilakukan secara spesialisasi. Bila tidak akan terjadi
pemborosan yaitu pemborosan uang, tenaga dan alat-alat.
Salah satu aspek dari fungsi koordinasi adalah memfungsikan efek terhadap
moral dari pada organisasi itu, terutama yang berhubungan dengan peranan
kepemimpinan (leadership). Kalau kepemimpinan kurang baik, maka ia kurang
132
melakukan koordinasi yang baik. Oleh karena itu koordinasi
menentukan/mempengaruhi terhadap keberhasilan dari para kepemimpinan. Hal ini
sangat penting dalam kaitan dengan pola kepemimpinan pemerintahan daerah.
Belum efektifnya implementasi kebijakan system administrasi kependudukan,
salah satu faktornya adalah kurang baik pola manajemen kepemimpinan dalam
menerapkan kebijakan yang diputuskan untuk sungguh sesuai dengan penrapannya
di lapangan.
Dalam konteks hubungan personal, hubungan struktural antara antasan dan
bawahan belum menunjukkan fungsi koordinasi yang baik. Koordinasi mempunyai
efek terhadap perkembangan dari pada personal di dalam orgnisasi itu. Artinya
bahwa unsur pengendalian personal dalam koordinasi itu harus selalu ada. Orang
tidak selalu dibebaskan begitu saja, tetapi harus dikendalikan. Oleh karena itu
personal harus diperhatikan pekerjaannya dan akan merasa senang bila mendapat
penghargaan dari hasil kerjanya, sebab kalau terjadi kekeliruan biasanya yang
selalu disalahkan adalah bawahanya, padahal seharusnya adalah tanggungjawab
pimpinan, yang antara lain karena kurang mengadakan koordinasi.
Apabila melihat dari pentingnya koordinasi berarti tidak perlu ragu-ragu
lagi bahwa penerapan koordinasi di dalam suatu organisasi memang mutlak
dilaksanakan.
Penerapan koordinasi bagi setiap organisasi mempunyai manfaat yang
besar, apabila organisasi yang kompleks atau multi fungsi seperti halnya organisasi
(pemerintah daerah) justru koordinasi sangat diperlukan. Hal tersebut dimaksudkan
agar lembaga atau dinas daerah yang terkait dalam penyelenggaraan pemerintahan
di daerah terdapat keselarasan dan kesamaan tindakan dalam penyelenggaraan
133
tugas-tugasnya. Dengan dilaksanakan koordinasi berarti sasaran dan tujuan yang
diinginkan dapat dicapai lebih efektif dan efisien. Namun pelaksanaan koordinasi
tidak akan memberikan konstribusi bagi pencapaian tujuan apabila dalam
perumusan koordinasi tidak jelas. Untuk itu perlu adanya perumusan yang jelas
sehingga koordinasi dapat berjalan secara efektif.
Dewasa ini situasi kondisi selalu berubah-ubah, sehingga perlu diantisipasi
oleh sebuah manajemen yang profesional dan modern. Dalam menghadapi situasi
yang terus berubah, organisasi pemerintah memerlukan sasaran yang jelas dan arah
bagi para aparatnya, sehingga tujuan organisasi dapat dicapai dengan lebih efektif
dan efisien. Hal ini terkait langsung dengan praktek pemerintahan dalam
menentukan kebijakan dan melaksanakan kebijakan berkaitan dengan system
administrasi kependudukan. Hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
koordinasi adalah pada saat perumusan kebijaksanaan koordinasi harus sudah
dimulai. Perlu ditentukan secara jelas siapa atau satuan kerja mana yang secara
fungsional berwenang dan bertanggungjawab atas suatu masalah. Pejabat atau
instansi mana yang secara fungsional berwenang dan bertanggungjawab mengenai
suatu masalah berkewajiban memprakarsai dan mengkoordinasikan. Perlu
dirumuskan secara jelas wewenang, tanggungjawab dan tugas-tugas satuan kerja.
Perlu dirumuskan program kerja organissi secara jelas yang memperlihatkan
keserasian kegiatan diantara satuan-satuan kerja. Perlu ditetapkan prosedur dan tata
cara melaksanakan koordinasi. Perlu dikembangkan komunikasi timbal balik untuk
menciptakan satuan bahasan dan kerja sama.
Pemerintah sebagai pemegang kewenangan dan kekuasaan tidak
selamanya secara sepihak melakukan apa saja tanpa kerja sama dengan pihak lain
134
dalam hal ini dengan aparat sendiri sebagai implelentor kebijakan, dengan
masyarakat sebagai penentu keberhasilan berbagai kebijakan pemerintah. Oleh
karena itu, faktor komunikasi sangat penting diperhatikan dalam menentukan
kebijakan. Kebijakan itu akan berdaya guna jika dapat disosialisasikan dengan
tepat kepada implementor kebijakan untuk sampai kepada masyarakat. Oleh karena
itu fungsi koordinasi harus dijalankan secara tepat guna keberhasilan implementasi
kebijakan sebagaimana berkaitan dengan kebijakan system administrasi
kependudukan. Dengan kata lain, hubungan pemerintahan dengan masyarakat, dan
dengan pihak swasta membangun hubungan good governance.
Dari, fakta, data dan teori mengenai komunikasi dalam upaya
mensosialisasikan kebijakan sistem administrasi kependudukan dari pihak aparat
pemerintah pemberi pelayanan sebagai komunikator kepada masyarakat sebagai
komunikan mengenai pesan kebijakan sebagai isi komunikasi belum berjalan
efektif. Faktor utama adalah isi kebijakan administrasi kependudukan yang
bertujuan untuk penertiban administarsi kependudukan belum disosialisasikan
kepada aparat pemberi pelayanan kartu keluarga. Sehingga kebijakan administrasi
kependudukan tidak dapat disosialisasi kepada masyarakat. Ketika kebijakan
tersebut disosialisasikan paksa kepada masyarakat karena keterdesakan, maka akan
terjadi miskomunikasi.
Hal ini berkaitan dengan, kurang adanya koordinasi diantara dinas dengan
unit dan sub unit dalam lingkup dan jajaran dinas kependudukan dan catatan sipil.
Ada kelalaian pihak atasan dalam mentransmisikan kebijakan administrasi
kependudukan kepada aparat pemberi pelayanan. Itu berarti, manajemen sumber
daya manusianya tidak profesioanal dalam menjalankan tugas dan pelayanan.
135
4.2.2. Sumberdaya
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pengamatan peneliti, diperoleh data
lapangan bahwa dominasi atau mayoritas aparat belum didukung oleh sumber daya
yang memadai. Pegawai sangat minim, baik dari segi kualifikasi, kompetensi,
pengalaman maupun dari aspek tingkat pendidikan. Secara umum, tidak dapat
banyak diharapkan menyangkut tuntutan efektivitas kinerja aparat, bila output
pendidikan aparatnya rendah berdasarkan kualifikasi pendidikan. Hal yang lebih
memprihatinkan adalah dari jumlah pegawai yang minim baik dari aspek kualitas
maupun kuantitasnya, masih banyak pegawai ditempati oleh tenaga honorer yang
juga tidak memiliki kualifikasi dan pengalaman pelayanan kepada masyarakat di
bidang administrasi kependudukan khusunya dalam penerbitan kartu keluarga.
Tabel 4.9: Data Pegawai Dinas Kependudukan di Kota Palu
No Pegawai JumlahSarjana (S1)Sarjana MudaSLTASLTPHonorer/PHL
13 orang5 orang55 orang1 orang28 orang
Data di atas, menunjukkan bahwa penyebaran aparat dan sumberdaya manusia
aparat belum merata baik dari tingkat pendidikan maupun kemampuan dalam
berkarya menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat dan fungsi
implementasi kebijakan pemerintah di bidang system administrasi kependudukan.
Dari jumlah pegawai yang ada, didominasi oleh yang berpendidikan SLTA. Belum
lagi tenaga honorer. Nampak, bahwa persoalan kompetensi, skill dan tanggung
136
jawab aparat sebagai implementor kebijakan system administrasi kependudukan
bisa menjadi faktor penghambat keberhasilan.
Sumber daya aparat dalam organisasi pemerintahan baik menyangkut
sistem, struktur, maupun konteks pusat maupun daerah sangat ditentukan oleh
kualitas aparat yang ada. kualitas dapat ditentukan oleh pendidikan, pengalaman,
pelatihan aparat sesuai bidang tugas dan pelayanan yang akan diberikan kepada
masyarakat. Kemampuan aparat pemerintah akan menjanjikan kekuatan-kekuatan
dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah. Menurut Katz dan Rosenwiegh
(1970 : 220), kemampuan adalah “to mobilize, allocate, and combine the action
that one technically needed to achieve development objectives” (mengerahkan,
menyediakan dan menyatukan berbagai tindakan yang secara teknis dibutuhkan
guna mencapai tujan pembangunan). Sedangkan Taliziduhu (1999 : 12)
berpendapat bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi adalah:
Sumber Daya Manusia yang mampu menciptakan bukan saja nilai komparatif, tetapi juga nilai-nilai kompetitif-generatif-inovatif dengan menggunakan energi tertinggi seperti intellegence, creativity dan imagination; tidak lagi semata-mata menggunakan energi kasar seperti bahan mentah, lahan, air tenaga otot dan sebagainya).
Komunikasi sangat penting dalam proses implementasi kebijakan.
Komunikasi merupakan sarana penghubung pemerintah sebagai implementor
kepada masyarakat sebagai komunikan berbagai program kerja dan kegiatan kerja
pemerintah yang akan diimplementasikan. Namun demikian, sangatlah dibutuhkan
sumberdaya manusia yang handal dalam organisasi pemerintahan untuk melakukan
komunikasi pemerintahan. Implemtasi kebijakan akan efektif, jika didukung oleh
sumberdaya para implementornya. Jika implementornya kekurangan
sumberdayanya, implementasi akan mungkin menjadi tidak efektif. Sumberdaya
137
penting dalam mengimplementasikan kebijakan publik. Sumberdaya meliputi staf
dengan jumlah yang cukup dan dengan keterampilan yang tepat untuk menjalankan
tugasnya (Edwards III, 2003:55-56)
Kemampuan (keterampilan) pegawai pada tingkat lokal dalam memberikan
pelayanan-pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sesuai bidang tugasnya
merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan. Pada tingkatan ini terjadi
hubungan-hubungan pemerintahan dalam bentuk publik goods maupun jasa
layanan. Indikator yang menunjukkan baik tidaknya suatu produk adalah kualitas
produk itu sendiri. Kualitas produk tersebut sangatlah tergantung pada
profesionalisme atau keterampilan teknis penyedia layanan. Khususnya layanan
civil yang merupakan monopoli pemerintah, sudah tentu kualitas layanan sangat
tergantung pada aparat pemerintah yang bertugas mengelola layanan tersebut.
Pihak LSM berpendapat bahwa seseorang akan mampu melakukan suatu
tindakan apabila memang ada kekuasaan untuk mengerahkan atau menggerakkan
segala dayanya. Tentunya ini berkaitan dengan potensi yang dimiliki oleh personal
atau pribadi itu dan ini dapat dilihat dari kemampuan yang merupakan salah satu
unsur dalam kematangan berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang
diperoleh dari pendidikan, latihan dan pengalaman. Dukungan pemerintah dalam
pemberdayaan masyarakat sangat diandalkan pada kemampuan dan sumberdaya
aparatnya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kualitas sumberdaya aparat dalam
menjalankan program yang ada.9
Dalam kaitannya dengan impelentasi10 kebijakan sistem administrasi
kependudukan, dukungan sumber daya aparat belum memadai. Dalam menjalankan
9 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 200910 gfhgfhfgjgjgjf
138
tugas pelayanan di kecamatan misalnya, aparat lebih didominasi oleh tenaga-tenaga
honorer. Dengan belum meratanya sumberdaya aparat yang berkualitas dalam arti
aparat ditempatkan sesuai pendidikan dan ketrampilan maka belum bisa diharapkan
akan terjadi peningkatan kualitas pelayanan serta tercapainya kepuasan masyarakat.
Hal ini seperti diungkapkan oleh informan.
Aparat yang bekrja tidak sesuai dengan latar belakang bidang pendidikan
dan kompetensi, dan banyak yang masih honorer, aparat pemberi pelayanan belum
mampu menjalankan tugasnya. Hal ini diungkapkan seorang aparat pemberi
pelayanan. Kalau untuk sumber daya dikecamatan itu walau sudah diberikan
pembekalan dan ketrampilan, karena masih banyak yang honorer, yang
berpendidikan SLTA malah belum bisa dikatakan berhasil. Walaupun, dari pihak
masyarakat tidak ada keluhan, namun kinerja aparat belum menunjukkan hasil
yang memuaskan. Yang menjadi kendala adalah adalah seringnya lampu padam.
Kalau sumber aparat disini sudah mampu melaksanakan sendiri.11
Walaupun demikian, kualitas sumber daya aparat harus tetap diperhatikan,
kareana aparat pemerintahan merupakan organ profesional dari lembaga
pemerintahan yang bertugas menjalankan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga
pendidikan, pengetahuan, ketrampailan mutlak diperlukan oleh aparat
pemerinahan.
Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Katz dan
Rosenweigh (1970 : 222) bahwa kemampuan tergantung pada keterampilan dan
pengetahuan (alibility depends upon both skill and knowledge). Dua unsur yaitu
pengetahuan dan ketrampilan merupakan determinan dari kemampuan yang
11 Wawancara dengan Kabid dafduk, tanggal 9 September 2009
139
diperolah dari pendidikan formal, informal dan non formal yang dapat menunjang
peningkatan kecakapan. Melalui pendidikan akan membentuk dan menambah
pengetahuan seseorang untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat dan tepat.
Lebih lanjut Rosenweig (1970) berpendapat bahwa kemampuan kerja
antara lain ditentukan oleh mutu pekerjaan yang dapat digambarkan melalui tingkat
dan jenis pendidikan. Selain pendidikan, latihan juga dapat membentuk dan
meningkatkan ketrampilan kerja. Ketrampilan seorang pegawai dalam
melaksanakan tugas yang dibebankan sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan
kualitas latihan/training yang telah dialaminya. Bahwa pendidikan dan pelatihan
tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan
bekerja, dengan demikian dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Pendidikan
dan pelatihan merupakan proses pembinaan pegawai untuk menghasilkan tenaga
kerja profesional, dan pada gilirannya mampu menghasilkan output (keluaran)
yang lebih baik.
Berdasarkan pendapat di atas, jelas bahwa pendidikan dan pelatihan sangat
diperlukan dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan pegawai. Namun
perlu diketahui bahwa untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan tidaklah mudah,
disamping telah memenuhi persyaratan baik itu kepangkatan, dedikasi dan loyalitas
juga harus mengikuti seleksi. Hal ini senada dengan Thoha (1995 : 181) yang
mengatakan bahwa pendidikan dan pelatihan haruslah selektif dan bukan bersifat
massal seperti sekarang ini. Tidak setiap orang dapat mengikuti pendidikan dan
pelatihan. Selanjutnya ia mengatakan hanya pejabat yang telah terseleksi secara
berjenjang di forum pendidikan dan pelatihan dan di tempat kerja, sesuai dengan
140
perencanaan karier yang dikembangkan yang dapat mengikuti pendidikan dan
pelatihan.
Pengalaman merupakan potensi yang besar untuk melakukan pekerjaan
secara efektif, karena seseorang tidaklah cukup berlatar belakang pendidikan saja
atau ketrampilan yang dimiliki turut menentukan kemampuan dalam tugasnya.
Pengalaman merupakan kemampuan setiap orang untuk beradaptasi terhadap
perbedaan dan perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal. Menurut
Siagian (1992 : 60) yang dimaksud pengalaman merupakan keseluruhan pelajaran
yang dipetik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dilakukan dalam
perjalanan hidupnya.
Dalam implementasi kebijakan sistem administrsi kependudukan, tidak
jarang ditemukan berbagai macam hambatan dan kendala. Kendala yang biasanya
dijumpai adalah kesenjangan antara apa yang telah diprogramkan pihak pembuat
kebijakan dengan apa yang akan dijalankan di lapangan. Pengalaman kerja di
lapangan bisa menjadi salah satu problem. Walau secara kualitas, penguasaan
pengetahuan tidak diragukan, tetapi belum tentu dalam melaksanakan proram kerja
di masyarakat akan sejalan. Karena itu unsur pengalaman juga turut mendukung
kinerja aparat dalam menerjemahkan implementasi kebijakan sistem administrasi
kependudukan kepada masyarakat.
Selain tingkat pendidikan yang menjadi faktor utama dalam meningkatkan
sumber daya aparat di dalam organisasi pemerintahan, faktor kemampuan
(keterampilan) pegawai pada tingkat lokal dalam memberikan pelayanan-
pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sebagai bentuk transfer kebijakan
sistem administrasi kependudukan merupakan salah satu hal yang mutlak
141
diperlukan. Pada tingkatan ini terjadi hubungan-hubungan pemerintahan,
serta”transaksi-transaksi” pelayanan yang lebih kongkrit. Ibarat “dapur” di sinilah
produk-produk layanan diolah lalu kemudian disediakan kepada pelanggan dalam
bentuk penerbitan kartu penduduk dan kartu keluarga. Indikator yang
menunjukkan baik tidaknya suatu produk adalah kualitas produk itu sendiri.
Dalam hal ini kualitas produk tersebut sangatlah tergantung pada profesionalisme
atau keterampilan teknis penyedia layanan yang menunjukan kualitas layanan
dimaksud. Profesionalisme aparat sangat erat kaitannya dengan kualitas sumber
daya aparat yang ditentukan oleh tingkat pendidikan aparat dan skill yang
menentukan kemampuan aparat dalam menjalankan tugas. Khususnya layanan
kartu keluarga sebagai pelayanan civil yang merupakan monopoli pemerintah,
sudah tentu kualitas layanan sangat tergantung pada pegawai pemerintah yang
bertugas mengelola layanan tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, keberhasilan implementasi kebijakan sistem
administrasi kependudukan di bidang penerbitan kartu keluarga merupakan
tanggung jawab aparat pemerintah ditentukan oleh sumber daya aparat yang
didukung oleh out put pendidikan seseorang pegawai, keterampilan teknis pegawai,
serta skill individu aparat yang ditugaskan untuk itu. Konsekuensi dari hal tersebut
pada tingkat empirik adalah ketika di tingkat dinas, Seksi di kecamatan hingga
kelurahan para staf yang menjadi implementor kebijakan sistem administrasi
kependudukan stafnya tidak memiliki keterampilan khusus tentang itu, maka
peluang “human error” menjadi sangat besar dan tidak terhindari dalam
penyelesaian administrasi kependudukan khususnya kartu keluarga. Hal tersebut
disebabkan kualitas sumber daya aparat yang rata-rata berada pada golongan II dan
III. Dari jenjang pendidikan posisi aparat memiliki disiplin ilmu hanya setingkat
142
SLTA, dan diploma. Belum lagi aparat yang ada dibantu oleh tenaga tenaga
honorer yang berpendidikan SLTA pula. Dalam tahap implementasinya, akan
mengalami berbagai kesulitan dalam menyediakan layanan kartu keluarga yang
berkualitas. Kesulitan yang selalu dihadapi oleh pihak aparat antara lain adalah
dalam hal ketepatan pemberian layanan, serta kecepatan melayani pelanggan dalam
jumlah banyak.
Faktor sumber daya aparat sangat menentukan dalam mencapai efektivitas
implementasi kebijakan publik. Sumberdaya manusia aparat sangat ditentukan oleh
faktor pendidikan yang ikut mempengaruhi faktor penerimaan pegawai. Faktor
pengalaman, usia turut mempengaruhi keberhasilan rekrutmen. Akan tetapi faktor
terpenting adalah faktor pendidikan, strata dan keahlian yang menentukan
kompetensi seseorang dalam pekerjaan.
Andrew E. Sikula (1981:145) mengemukakan bahwa: Human resources of
manpower planning has been definedas the process of determining manpower
requirements and the means formeeting those requirements inorder to carry out
the integrated plans of the organization (Perencanaan sumber daya manusia atau
perencanan tenaga kerja diidentifikasikan sebagai proses menentukan kebutuhan
tenaga kerja dan berarti mempertemukan kebutuhan tersebut agar pelaksanaannya
berintegrasi dengan rencana organisasi).
Secara teoritis dapatlah diambil pendapat Mangkunegara (2000:5) yang
berpendapat bahwa komponen yang perlu diperhatikan dalam perencanaan sumber
daya manusia meliputi tujuan, perencanaan organisasi, pengauditan sumber daya
manusia, dan peramalan sumber daya manusia. Perencanaan sumber daya manusia
harus mempunyai tujuan yang berdasarkan kepentingan individu, organisasi, dan
143
kepentingan nasional. Tujuan perencanaan sumber daya manusia adalah
menghubungkan sumber daya manusia yang ada untuk kebutuhan perusahaan pada
masa datang.
Menurunnya kualitas sumber daya aparat dalam meningkatkan Kualitas
pelayanan administrasi kependudukan juga nampak dalam lemahnya organisasi
perencenaan aparat di kota palu. Lemahnya organisasi pemerintahan diungkapkan
oleh salah satu LSM. Tidak berjalannya implementasi kebijakan sistem
administrasi kependudukan secara organisisi dimulai dari kurang adanya
perencanaan perekrutan aparat, mulai dari proses kesesuaian jumlah pegawai
hingga penempatan pegawai secara benar dan efektif. Penentu kebijakan di dinas
kependudukan kurang memperhatikan masalah perencanaan sumber daya manusia
yang berkaitan dengan bagaimana mencapai tujuan dan merealisasikan
perencanaan organisasi dalam implementasi kebijakan yang dimaksud.12
Apa yang dikemukakan di atas sudah menjadi fenomena dalam
perencanaan dan penerimaan pegawai baru. Yang diperoleh dari hasil pengamatan,
ditemukan bahwa kebanyakan pegawai bekerja dan ditempatkan di kantor
pemerintahan tidak berdasarkan latar belakang pendidikan dan pengalaman.
Perencanaan pengadaan pegawai belum disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga
prinsip the right men on the right place tidak berlaku. Aparat pemberi pelayanan
kartu keluarga, banyak yang dari latar belakang ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu
hukum bahkan dari SLTA.
Dengan demikian, belum efektifnya implementasi kebijakan sistem
adminisrasi kependudukan dalam penerbitan kartu keluarga lebih banyak
12 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009
144
disebabkan oleh ketidakmampuan aparat dalam menjalankan tugas. Kenyataan ini
nampak jelas dari berbagai masalah yang diakibatkan oleh kinerja aparat
pemerintah yang tidak optimal. Tidak memadainya kualitas aparat pemerintahan,
juga diakui oleh masyarakat. Dikatakan bahwa kebanyakan yang bertugas adalah
aparat yang tidak memiliki keterampilan dan pengalaman. Para petugas di
lapangan hanya menjalankan tugas karena terdesak oleh perintah atasan, bukan
terpanggil untuk melayani masyarakat. Sehingga pelayanan yang diberikan tidak
memuaskan masyarakat. Petugas di lapangan lebih mengutamakan haknya, lebih
menuntut kewajiban yang diberikan masyarakat, sedangkan hak masyarakat tidak
mendapat perhatian yang serius.13
Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan dan hasil pengamatan
peneliti, maka dapat dirumuskan makna dan pengertian perencanaan sumber daya
manusia atau perencanaan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam implementasi
kebijakan sistem administrasi kependudukan sebagai suatu proses menentukan
kebutuhan akan tenaga kerja berdasarkan peramalan, pengembangan,
pengimplementasian, dan pengontrolan kebutuhan tersebut yang berintegrasi
dengan rencana organisasi agar tercipta jumlah pegawai, penempatan pegawai
secara tepat dan bermanfaat secara ekonomis.
Karena itu aspek pengauditan sumber daya aparat menjadi isu sentral.
Pengauditan Sumber Daya Manusia adalah suatu proses intensif, penyelidikan,
penganalisisan, dan pembandingan informasi yang ada dengan norma standar yang
berlaku. Pengauditan sumber daya manusia meliputi penelusuran secara normal
dan sistematis mengenai efektivitas program kepegawaian, program analisis
13 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009
145
jabatan, penarikan pegawai, testing, pelatihan dan pengembangan manajemen,
promosi jabatan, transfer, taksiran pegawai, hubungan kerja, pelayanan pegawai,
moral dan sikap kerja, penyuluhan pegawai, upah, administrasi upah, dan
penelitian pegawai.
Salah satu faktor yang menentukan kinerja dan gerak maju seorang aparat
pemerintahan dalam membangun pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab
terhadap tugas dan jabatannya adalah faktor rekrutmen. Kalangan LSM ,
menyatakan bahwa proses rekrutmen pegawai sangat penting. Penting untuk
melihat seberapa jauh proses rekrutmen pegawai di daerah terutama yang akan
ditempatkan pada tingkat kematan dan kelurahan, telah dilakukan dengan
mengikuti prinsip-prinsip kompetisi secara fair dan transparan. Transparan dalam
proses rekrutmen pegawai penting untuk memberikan jaminan bahwa birokrasi di
daerah telah secara konsisten menjalankan prinsip-prinsip merit system, artinya
sistem rekrutmen aparat di dalam birokrasi pemerintahan aspek kompetensi dan
keahlian dalam bidang tertentu yang dapat menjamin tujuan dari rekrutmen aparat
pemerintahan yang baru.14
Apa yang diungkapkan LSM mengenai sistem rekrutmen yang mengikuti
prinsip merit system, perlu dijelaskan dan dikonfrontasikan dengan fakta di
lapangan. Berdasarkan fakta yang diamati, ternyata perekrutan pegawai belum
menunjukkan taranparansi dan mengedepankan kompeten. Perekrutan masih
bermuatan kepentingan. Hal ini juga diungkapkan oleh tokoh masyarakat. Sitem
perekrutan pegawai belum menunjukan keterbukaan dan pemerataan. Seleksi
penerimaan pegawai masih tertutup, yang masuk belum tentu profesional, karena
14 Wawancara dengan Anggota, LSM, tanggal 7 Oktober 2009
146
sudah ada jatah karena didominasi oleh kepentingan keluarga, duit. Sehingga tidak
mengherankan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sering
mengecewakan. Harapan masyarakat, yang lolos menjadi pegawai karena cerdas,
kompeten dan profesional.15
Selain rekrutmen yang tepat sesuai kebutuhan dan tuntutan
profesionalisme, aparat yang ada perlu selalu ditingkatkan kemampuan dalam
aspek manejerial, aspek kemampuan, aspek profesionalitas dan kompetensi melalui
jenjang pendidikan lanjutan dan pelatihan. Adapun tujuan untuk mengikutsertakan
pegawai untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan (DIKLAT) diharapkan
pegawai dapat meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuannya,
sehingga tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya ataupun jabatan
yang sedang dipikulnya dapat dilaksanakan dengan baik. Pendidikan dan pelatihan
tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan
bekerja, dengan demikian dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Pendidikan
dan pelatihan merupakan proses pembinaan pegawai untuk menghasilkan tenaga
kerja profesional, dan pada gilirannya mampu menghasilkan output (keluaran)
yang lebih baik.
Pengalaman merupakan potensi yang besar untuk melakukan pekerjaan
secara efektif, karena seseorang tidaklah cukup berlatar belakang pendidikan saja
atau ketrampilan yang dimiliki turut menentukan kemampuan dalam tugasnya.
Pengalaman merupakan kemampuan setiap orang untuk beradaptasi terhadap
perbedaan dan perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal. Menurut
Siagian (1992 : 60) yang dimaksud pengalaman merupakan keseluruhan pelajaran
15 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009
147
yang dipetik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dilakukan dalam
perjalanan hidupnya.
Kemampuan seseorang, menurut Gondokusumo (1991 : 9) terdiri dari
kemampuan fisik dan mental. Yang termasuk kemampuan fisik adalah keadaan
fisik (keadaan kesehatan dan tingkat kekuatan pada umumnya) dari pegawai yang
bersangkutan serta baik buruknya fungsi biologis dari beberapa bagian tertentu.
Dalam hal kemampuan mental menurut Mahler dan Lean (dalam Gondokusumo,
1991 : 10) dapat dibedakan atas kemampuan mekanik, kemampuan sosial dan
kemampuan intelektual. Ketiganya menunjukkan suatu macam kecerdasan.
Seseorang dengan kemampuan mekanik dapat dengan mudah menggunakan dan
memperbaiki alat dan mesin. Kemampuan sosial membuat orang luwes dalam
pergaulan. Kemampuan intelektual terdiri dari beberapa kemampuan dasar yang
merupakan unsur dari tingkat kecerdasan setiap orang. Unsur-unsur tersebut ialah
ketepatan persepsi, kemampuan berhitung, kemampuan berbicara dengan lancar,
daya mengerti berbicara, daya ingat, daya menganalisa dan memecahkan persoalan.
Lebih lanjut Gondokusumo (1991 : 12), mengatakan bahwa yang termasuk
kemampuan mental mencakup bakat, keterampilan dan pengetahuan.
Kemampuan pegawai sangat dipengaruhi oleh proses rekruitmen dan
seleksi oleh pemerintah berdasarkan kriteria yang obyektif serta penempatan
pegawai pada jabatan tertentu sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki melalui
pendidikan formal ataupun pendidikan informal yang telah diikuti.
Mengenai pentingnya rekruitmen pegawai, Siagian (1992 : 71),
mengatakan:
148
Betapa pentingnya proses rekruitmen dan seleksi pegawai baru dilakukan berdasarkan kriteria yang obyektif dengan persyaratan mutu yang tinggi, karena birokrasi pemerintahan mengharuskan diisi oleh tenaga-tenaga yang bukan saja loyal kepada bangsa dan negaranya, akan tetapi juga memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tugas yang dapat dipastikan akan semakin rumit dan berat.
Untuk dapat mengetahui seberapa besar kemampuan seseorang individu
dalam kehidupan organisasi, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, mengingat
kemampuan yang ditunjukkan oleh anggota organisasi hanya sebagian daripada
potensi yang terdapat dalam dirinya.
Sebagai seorang pimpinan organisasi berkewajiban dan bertanggungjawab
untuk mengusahakan agar semua potensi yang terpendam dalam diri seseorang
pegawai/anggota organisasi dapat diangkat ke permukaan sehingga dapat
dimanfaatkan sepenuhnya dalam kehidupan organisasional. Sebelum potensi
tersebut diangkat ke permukaan, perlu terlebih dahulu untuk dilakukan suatu
analisis daripada kemampuan yang masih terpendam itu serta dikaitkan dengan
tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Identifikasi potensi tersebut diikuti dengan
pengembangan pribadi sehingga potensi itu berubah sifatnya menjadi kemampuan
nyata. Dalam menganalisa kemampuan kerja yang masih terpendam di dalam diri
para pegawai, perlu diketahui unsur-unsur pembentuk dari kemampuan tersebut,
misalnya berupa pendidikan dan pelatihan.
Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa dalam rangka meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (pegawai), diperlukan pendidikan dan pelatihan.
Dengan pendidikan dan pelatihan akan dapat menciptakan profesionalisme
dikalangan manajerial, teknikal maupun operasional di dalam lembaga organisasi
149
pemerintahan baik di tingkat pengambil dan penentu kebijakan maupun ditingkat
pelaksana kebijakan.
Selanjutnya Iglasias (1981 : 53) mengemukakan tujuh pertanyaan yang
menjawab kemampuan aparat untuk menggerakkan, mengalokasikan dan
menggunakan atau memanfaatkan sumber daya manusia dalam pelaksanaan
program pembangunan daerah beserta koordinasi dan implementasinya:
1. Hal apakah yang perlu dilakukan untuk memutuskan penerimaan, penempatan serta pemindahan pegawai/aparat sehingga dapat dikoordinasikan program dan pelaksanaannya proyek pembangunan daerah?
2. Apa tingkatan teknis dan manajerial yang diperlukan bagi aparat dalam melakukan koordinasi?
3. Apa kemampuan lain untuk menambah kecakapan melalui latihan atau melalui perubahan kebijaksanaan aturan dan ketentuan lainnya?
4. Apa kemampuan yang dimiliki yang berwawasan nasional dan internasional dari aparat yang berkualitas terutama bagi kepentingan daerah dan negaranya?
5. Bagaimana penggunaan sumber daya keuangan bagi peningkatan kemampuan aparat atau staf?
6. Kemampuan apakan yang dibutuhkan dari pengerahan masyarakat terutama yang mendukung program, dan proyek pemerintah melalui koordinasi dan pelaksanaan pembangunan?
7. Kemampuan apakah yang diperlukan untuk mengerahkan sumber daya manusia melalui badan-badan secara koordinatif misalnya tingkat komitmen, motivasi dan patisipasi?
Uraian pertanyaan di atas sangat membantu dan penting artinya untuk
mengukur kualitas dari aparat Kependudukan dan Pencatatan Sipil yaitu seberapa
erat pengaruhnya bagi eksistensi dari suatu organisasi Dinas tersebut. Sebab, proses
berpemerintah di daerah umumnya berjalan tanpa mempertimbangkan manajemen
kualitas sumber daya manusia baik dari aspek pendidikan, kompetensi, skill.
Dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa proses rekrutmen pegawai atau
aparat di daerah perlu dilandasi oleh prinsip-prinsip merit system. Rekrutmen
150
aparat pemerintahan yang baru perlu mengindahkan transparansi dalam proses
rekrutmen pegawai, yang ditentukan atau dilandasi aspek nilai kesetaraan, keadilan,
dan keterbukaan. Proses rekrutmen pegawai harus mampu menjamin adanya
kesamaan hak dari setiap warga untuk memperoleh akses menjadi pegawai atas
dasar kesamaan, keadilan, dan kemampuan. Dengan demikian, penggunaan
kewenangan administratif dari pemerintahan dalam menyeleksi calon pegawai
harus transparan sehingga tidak menimbulkan kesan terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan atau wewenang.
Tujuan perencanaan sumber daya manusia adalah menghubungkan
sumber daya manusia yang ada untuk kebutuhan organisasi pada masa datang
termasuk pembinaan. aparat pemerintahan yang ada bekerja tanpa diarahkan pada
tujuan yang akan dicapai, hanya bekerja mengikuti irama dan ritme rutinitas, tanpa
ada konsep dan visi yang jelas. sehingga daya krativitas, inovatif dan kompetitif
berdasarkan kompetensi menjadi tidak berkembang secara otomatis.
Perencanaan Sumber Daya Manusia merupakan aktivitas yang dilakukan
organisasi pemerintahan untuk mengadakan perubahan yang positif bagi
perkembangan organisasi. Perencanaan organisasi merupakan hal yang organik,
pendekatan proses yang berorientasi pada perubahan organisasi dan efektivitas
manajemen. Pengaruh perubahan dan peningkatannya melibatkan semua angota
organisasi berdasarkan pada perencanaan dan analisis masalahnya. Jika
perencanaan organisasi menekankan pada penyesuaian dengan perkembangan
pegawai, maka hal ini menunjukkan pula pada perkembangan organisasi. Konsep
perencanaan organisasi dengan perencanaan sumber daya manusia adalah
151
berinterelasi tinggi. Hal ini karena tenaga kerja (pegawai) merupakan faktor
penting bagi perencanaan organisasi.
Faktanya, kebanyakan pegawai yang ada belum menunjukkan
profesionalitas dalam karya pelayanan di bidang pelayanan kartu keluarga. Aspek
kualitas sumber daya aparat dalam meningkatkan efektivitas implementasi
kebijakan sisem administrasi kependudukan belum memperhatikan aspek
perencanaan sumber daya aparat. Kurangnya tenaga kerja aparat yang handal,
profesional dan trampil, yang menjamin kesesuaian jumlah pegawai, penempatan
pegawai secara benar, waktu yang tepat, yang secara ekonomis lebih bermanfaat.
Kebanyakan aparat yang ditempatkan di tidak cocok dengan keahliannya. Terjadi
bias antara keahlian dan kegiatan yang dilakukan.16 Tidak mengherankan bila
aparat sebagai implementor kebijakan sistem administrasi kependudukan belum
mampu melaksanakannya secara tepat sebagaimana yang diharapkan baik oleh
pembuat kebijakan maupun masyarakat penerima pelayanan.
Keluhan masyarakat mengenai kinerja pelayanan aparat pemerintah erat
berkaitan dengan kurang siapnya aparat dalam menanggapi apa yang menjadi
tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Jadi selain, aparat pemberi pelayanan kurang
disiapkan secara profesional karena pendidikan dan pengalaman kurang memadai,
tetapi juga responsivitas aparat pemberi layanan rendah. Sehingga dari hasil
observasi ditemukan juga adanya kesenjangan antara isi kebijakan yang ditetapkan
pembuat kebijakan dengan aparat pemberi pelayanan dalam memberikan
pelayanan. Akhirnya, terjadi kinerja pelayanan yang rendah, tidak tepat sasaran.
16 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009
152
Secara teoritis dapatlah diambil pendapat Mangkunegara (2000:5) yang
mengatakan bahwa komponen yang perlu diperhatikan adalah perencanaan sumber
daya manusia. Tujuan perencanaan sumber daya manusia adalah menghubungkan
sumber daya manusia yang ada untuk kebutuhan perusahaan pada masa datang.
Perencanaan sumber daya manusia dalam hal ini sumber daya aparat merupakan
aktivitas yang dilakukan oleh instansi pemerintahan yang berada di kecamatan
untuk mengadakan perubahan yang positif bagi perkembangan organisasi.
Perencanaan organisasi merupakan hal yang organik, pendekatan proses yang
berorientasi pada perubahan organisasi dan efektivitas manajemen. Pengaruh
perubahan dan peningkatannya melibatkan semua angota organisasi berdasarkan
pada perencanaan dan analisis masalahnya. Jika perencanaan organisasi
menekankan pada penyesuaian dengan perkembangan pegawai, maka hal ini
menunjukkan pula pada perkembangan organisasi. Konsep perencanaan organisasi
dengan perencanaan sumber daya manusia adalah berinterelasi tinggi. Hal ini
penting karena tenaga kerja (pegawai) merupakan faktor penentu bagi perencanaan
organisasi.
Kalangan DPRD menilai bahwa, untuk optimalnya pengelolaan atau
peningkatan efektivitas pelayanan kartu keluarga perlu sinkronnya kebijakan yang
ada dalam hal ini kebijakan pemerintahan di bidang sistem administrasi
kependudukan dengan kemampuan aparat pemerintahan untuk menerjemahkannya
kedalam tindakan nyata dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan tanggung
jawab pemerintahan untuk sepenuhnya mengedepankan pelayanan terhadap
kepentingan rakyat. Karena tujuan kebijakan administrasi kependudukan dalam
pelayanan kartu keluarga adalah untuk melayani kepentingan rakyat. Untuk itu
153
perlu ditingkatkan kualitas sumber daya aparat melalui sistem rekrutmen yang
baik.17
Apa yang diungkapkan informan dari DPRD sangat tepat. Petugas atau
aparat pemberi pelayanan yang berkaitan langsung dengan adminisrasi
kependudukan belum memadai. Sebagus apapun isi kebijakan di bidang sistem
administasi kependudukan yang telah dihasilkan pembuat kebijakan dalam hal ini
pimpinan, namun pendukung dan pelaksanaan kebijakan tidak didukung oleh
aparat pemerintah yang handal, yang berkompeten dalam bidangnya serta aparat
yang loyal pada tugas pelayanan maka implementasi kebijakan sistem administrasi
kependudukan bidang peneribitan Kartu Keluarga tidak akan berjalan efektif.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dirumuskan makna dan
pengertian perencanaan sumber daya manusia atau perencanaan tenaga kerja yang
dibutuhkan dalam sistem administrasi kependudukan sebagai suatu proses
menentukan kebutuhan akan tenaga kerja berdasarkan peramalan, pengembangan,
pengimplementasian, dan pengontrolan kebutuhan tersebut yang berintegrasi
dengan rencana organisasi agar tercipta jumlah pegawai, penempatan pegawai
secara tepat dan bermanfaat secara ekonomis.
Mangkunegara (2000: 6) berpendapat bahwa ada dua kegiatan dalam sistem
perencanaan sumber daya manusia, yaitu penyusunan anggaran tenaga kerja
(manpower budgeting), dan penyusunan program tenaga kerja (manpower
programming. Penyusunan anggaran sumber daya manusia merupakan kegiatan
memadukan jumlah tenaga kerja yang tersedia dengan jumlah tenaga kerja yang
diperlukan. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran mengenai kebutuhan tenaga
17 Wawancara dengan Mantan Anggota DPRD, tanggal 5 september 2009
154
kerja. Berdasarkan analisis yang dibuat berkaitan dengan pengalokasian sumber
daya aparat dalam meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan sistem
administrasi kependudukan, penerbitan kartu kaeluarga, melalui beberapa
kesimpulan berikut ini:
Pertama, para penentu kebijakan dalam hal ini birokrasi pemerintahan di
daerah perlu memperhatikan masalah perencanaan sumber daya manusia yang
berkaitan dengan bagaimana mencapai tujuan, bagaimana merealisasikan
perencanaan organisasi, mengalokasikan sumber daya yang ada dalam efektivitas
implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan.
Kedua, sistem penerapan kebijakan untuk efektifnya implementasi
kebijakan sistem administrasi kependudukan secara organisisi dimulai dari
perencanaan tenaga kerja aparat, mulai dari proses peramalan, pengembangan,
pengimplementasian, dan pengontrolan yang menjamin kesesuaian jumlah
pegawai, penempatan pegawai secara benar, waktu yang tepat, yang secara
ekonomis lebih bermanfaat. Karena, kebanyakan aparat yang ditempatkan di dinas
dan lingkungan kepegawaian tidak cocok dengan keahliannya. Terjadi bias antara
keahlian dan kegiatan yang dilakukan.
Ketiga, ketepatan manajemen organisasi birokrasi pemerintahan menjadi
andalan dalam mengimplementasikan kebijakan sistem administrasi kependudukan
dalam pelayanan kartu keluarga secara efektif. Mengingat, aparat pemerintahan
yang ada kurang memiliki skill, ketrampilan dan pengetahuan yang memadai pada
bidang tugas di mana yang bersangkutan ditempatkan.
Keempat, Pemerintah daerah perlu memperhitungkan kepentingan
organisasi. Perencanaan sumber daya manusia belum diarahkan untuk kepentingan
organisasi (instansi pemerintahan) dalam mencapai tujuan sebagaimana termaktub
155
dalam kebijakan sistem administrasi kependudukan. Dengan adanya perencanaan
sumber daya manusia, diharapkan dapat dipersiapkan aparat yang berpotensi untuk
memudahkan proses manajemen instansi pemerintahan secara tepat dan efektif.
4.2.3. Disposisi
Peran pemerintah daerah sangat kuat dalam menentukan kebijakan
pembangunan di daerah, termasuk menentukan arah dan kebijakan system
administrasi kependudukan. Namun demikian, dengan kewenangan yang besar
yang diberikan kepada pemrintah daerah melalui kebijakan desentralisasi, justru
menjauhkan control pusat terhadap daerah dalam memfunsikan peran dan tanggung
jawab pemerintahan local untuk mengelola dan mengatur urusan daerah secara baik
dan benar.
Idealnya, bahwa dengan diberikannya kewenangan kepada daerah atau
desentralisasi kewenangan kepada daerah untuk mengurus persoalan dan kebutuhan
masyarakat akan semakin efektif. Dari observasi yang dilakukan, diperoleh
gambaran bahwa sistem administrasi kependudukan belum diimplementasikan
secara tepat, cepat, mudah dan murah dalam melayani masyarakat dibidang
pelayanan Kartu keluarga. Pelayanan bidang Kartu Keluarga masih menjadi
persoalan, dimana implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan
justru belum mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan belum baik
dan terarah. Hal ini terjadi karena adanya gap antara formulasi isi kebijakan dengan
isi kebijakan yang akan diimplementasikan. Terjadi kesenjangan antara pihak yang
merumuskan kebijakan di satu pihak, yang kurang menyentuh relaitas masyarakat
156
serta persoalannya dengan pihak aparat pelaksana kebijakan. Isi kebijakan yang
diformulasikan sering bertentangan dengan persoalan yang dihadapi aparat pemberi
pelayanan. Sehingga, sering dijumpai ketidakcocokan soal pelayanan. Demi
kebijakan, aparat pelaksana berdalih kepada masyarakat, ini sudah menjadi aturan
dan keputusan atasan.
Pemerintah daerah menyadari bahwa mereka adalah bagian dari organ
pemerintah pusat yang berinteraksi langsung dengan masyarakat. Pemerintah
daerah mempunyai organ sampai tingkat kesatuan masyarakat terkecil sehingga
dalam kebijakan pemerintahan khususnya kebijakan sistem administrasi
kependudukan perannya cukup besar. Dengan keterlibatan pemerintah daerah,
implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan dapat lebih dijalankan
secara terorganisir dan tepat sasaran. Di samping itu, program-program yang
berkaitan dengan sistem administasi kependudukan dapat secara langsung
bersinggungan dengan program pembangunan daerah sehingga upaya peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan secara baik dan terarah.
Kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa keterlibatan pemerintah daerah
dalam program pembangunan khususnya implementasi kebijakan sistem
admnistrasi kependudukan dapat menyebabkan program ini menjadi birokratis dan
disalahgunakan oleh aparat, apalagi bila tidak diatasi dengan aturan yang jelas
mengenai berapa alokasi dana, pihak mana yang mendapatkan, dan bagaimana
dengan pengawasannya. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam mendukung
kebijakan sistem administrasi kependudukan dengan ikut mengawasi kebijakan
pemerintah agar tidak menjadikan program tersebut menjadi government centre,
atau program yang sifatnya birokratis.
157
Justru kekawatiran masyarakat akan kebijakan sistem administrasi
kependudukan kembali pada sistem terpusatkan atau government centre. Keluhan
tersebut dilontarkan masyarakat. Masyarakat mengharapkan dengan adanya
kebijakan otonomi daerah, semua sistem pelayanan seperti pelayanan Kartu
Keluarga tidak lagi dipersulit atau harus terpusat pada satu tempat, sehingga
masyarakat harus susah payah mencari tempat, antri belum lagi pelayanannya
berbelit-belit. Itu yang dialami masyarakat. Diharapkan sistem pelayanan
memudahkan masyarakat, rentang kendali harus memperpendek jarak waktu dan
tempat pelayanan.18
Oleh karena itu, sikap atau disposisi aparat pemerintah sebagai
implementor untuk implementasi kebijakan program sistem administrasi
kependudukan dalam menerbitkan kartu keluarga harus dilakukan secara tepat dan
efektif sesuai kapasitas yang dituntut. Para implementor harus bisa melakukan
seleksi yang layak apa saja persyaratan, ketentuan, pentahapan dalam sistem
administrasi kependudukan bagi masyarakat, khsusunya proses penerbitan kartu
keluarga. Oleh karena itu, faktor penting yang dibutuhkan adalah independensi
aparat pelaksana atau implementor dalam implementasi kebijakan sistem
administrasi kependudukan dari pengaruh atasan yang merumuskan kebijakan.
Disposisi/kecenderungan sikap dan perilaku aparat dikaitkan dengan
kurangnya dukungan aparat yang menjadi implementor dalam mendukung
implementasi kebijakan program sistem administrasi kependudukan. Hal ini
berkaitan dengan rendahnya komitmen aparar dalam menjalankan tugasnya. Aparat
merasa bahwa tugas yang dijalankannya terbatas pada rutinitas, tetapi tidak
18 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009
158
terpanggil untuk menjalankan tugasnya sebagai satu panggilan. Idealnya, aparat
pemerintah dipanggil untuk menjalankan tugasnya demi keberhasilan program
kerja bagi kepentingan masyarakat.
Hal tersebut dikatakan informan dari LSM berpendapat bahwa kehadiran
pemerintah hendaknya menjadi pendukung utama keberhasilan program
masyarakat melalui kebijakan yang diputuskan pemerintah sebagai policy maker.
Pemerintah menjadi pihak penentu kebijakan program pemberdayaan masyarakat
yang bertujuan agar masyarakat pada akhirnya menjadi mandiri melalui program
tersebut. Oleh karena itu, program pemerintah dalam implementasi kebijakan
sistem administrasi kependudukan bukan menjadi program pemerintah yang
birokratis sifatnya dan menyulitkan masyarakat dalam mengurus administrasi
kependudukan. Pemerintah justru harus menjadi fasilitator program ini demi
keberhasilan program pemerintah di bidang administrasi kependudukan bagi
masyarakat.19
Konkritnya, sistem administrasi kependudukan dalam menerbitkan Kartu
Keluarga diurus secara cepat dan tepat. Aparat pemberi pelayanan Kartu Keluarga
siap memberikan pelayanan prima. Bahkan aparat pemerinah yang menjemput
masyarakat tetapi bukan mempersulit. Dari observasi yang dilakukan peneliti,
masyarakat banyak tidak puas dengan kinerja pelayanan bidang administrasi
kependudukan khusunya dalam penerbitan Kartu Keluarga yang dilakukan aparat.
Karena aparat pemberi pelayanan lamban, kurang tanggap, persyaratan yang
mudah malah menjadi berbelit-belit. Aparat pemberi pelayanan perlu disadarkan
19 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009
159
untuk komitmen terhadap panggilan tugas, yakni untuk melayani masyarakat
dengan penuh tanggung jawab.
Persoalan komitmen aparat sebagai disposisi dalam menjawab kebutuhan
masyarakat menjadi kendala tersendiri dalam usaha untuk implementasi kebijakan
sistem administrasi kependudukan. Sikap tersebut terjadi karna para implementor
kebjakan di bidang sistem administrasi kependudukan menentang kebijakan baru
yang berupaya untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dalam hal
penerbitan kartu keluarga dengan menggunakan prinsip pelayanan yang cepat,
murah dan efektif. Para implementor masih terpaku pada pola dan pendekatan
lama. Pelayanan dibiarkan berbelit-belit dan dipersulit, untuk menimbulkan kesan
bahwa pelayanan administrasi kependudukan sulit dan tidak mudah.
Kendala lain dalam soal disposisi, lebih dikarenakan komitmen aparat
sebagai implementor pelaksana kebijakan sistem administrasi kependudukan
menerapkan sifat ganda dalam menyikapi kebijakan yang ada. Kadang para
impelementor secara selektif menerima berbagai perintah dari atasan untuk
menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan, namun terkadang para implementor
mengabaikan perintah yang tidak sejalan dengan kebijakan. Sehingga terjadilah
gap of implemantasion.
Selain komitmen aparat pemerintah dalam menjalankan kebijakan di
bidang sistem administrasi kependudukan, hal yang perlu diperhatikan adalah
partisipasi masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah di bidang
administrasi kependudukan. Karena, masyarakat identik dengan objek dari
kebijakan pemerintah. Masyarakat cenderung menerima saja kebijakan yang
ditetapkan pemerintah. Sikap masyarakat yang menerima dan pemerintah yang
memaksakan kebijakan sistem admnistrasi kependudukan telah membentuk
160
partisipasi pasif dari masyarakat dalam mendukung program pemerintah dalam
membangun sistem administrasi kependudukan.
Selain masalah komitmen aparat birokrasi pemerintahan, masalah
kapabilitas aparat birokrasi pemerintahan menjadi masalah tersendiri. Kapabilitas
administrasi pemerintahan berkaitan dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang
baik. Tata pemerintahan yang baik sangat bergantung pada kemampuan birokrasi
pemerintahan dalam menyelenggarakan pemerintahan yang dipahami sebagai
sebuah proses, mekanisme, jaringan hubungan kelembagaan, hubungan
ketatalaksanaan, pendelegasian wewenang, nilai-nilai dan kinerja lembaga
pemerintahan. Konsep penyelenggaraan pemerintahan yang mengedepankan
profesionalisme dan mengandalkan kapabilitas administratif belum menjadi
program strategi pembangunan pemerintahan, karena sistem pemerintahan masih
menerapkan monopoli penyelenggaraan pemerintahan di tingkat atas dalam hal
pengambilan keputusan. Kegiatan pemerintahan dan pembangunan pemerintahan
yang profesional dan capable belum diagendakan dalam pembangunan birokrasi
pemerintahan dari aspek pemberdayaan administratif birokrasi pemerintahan. Oleh
karena itu, kegiatan pemerintahan dan pembangunan serta pemberdayaan birokrasi
pemerintahan perlu melibatkan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya pada level
bawah dalam urusan pelakanaan dan pelayanan program administrasi
kependudukan, bukan hanya dalam pelaksanaan, tetapi juga dalam proses
pengambilan kebijakan. Karena, keterlibatan pelaku dan pemangku kepentingan
dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pemerintahan menjadi suatu
keniscayaan bagi keberhasilan dan kelangsungan pelayanan program kebijakan
administrasi kependudukan melalui pemerintahan yang profesional melalui
keberadaan dan pelayanan birokrasi pemerintahan di segala lini. Dengan kata lain
161
birokrasi pemerintahan perlu diberdayakan dalam pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintahan mulai dari tingkat lurah, kecamatan, dan kota
hingga tingkat propinsi.
Sebagai interpretasi dari adanya disposisi dalam praktek berpemerintahan
di tingkat lokal sebagai konsekwensi dari otonomi daerah telah terjadi iefisiensi
dan kurang efektifnya impelementasi kebijakan administrasi kependudukan.
Otonomi daerah telah menjadikan pemerintah lokal bertindak dan menentukan
kebijakan yang kurang populer. Kebijakan yang dibuat di bidang administrasi
kependudukan, hanyalah kebijakan yang sulit diimplementasikan karena kebijakan
tersebut di buat oleh top eksekutif, tanpa mendasari persoalan, kebutuhan, dan
tutuntan masyarakat lokal dan kesulitan yang dihadapi aparat pelaksana dalam
memberikan pelayanan bidang kartu keluarga. Sehingga kebijakan tersebut sering
terperosok dalam unsuccesful implementation. Pihak pembuat kebijakan dengan
kewenangannnya menjadikan segala keputusan dan kebijakan menjadi sentralis.
Dengan kewenangan yang sentralistik, atas dapat membuat kebijakan sesuai
keinginannya bukan berdasarkan fakta dan kebutuhan di lapangan. Sehingga
pelayanan kartu keluarga menjadi persoalan bagi masyarakat penerima layanan.
Hal ini terjadi karena adanya gap antara formulasi isi kebijakan bidang
administarsi kependudukan dengan dengan isi kebijakan yang akan
diimplementasikan kepada masyarakat seperti pelayanan kartu keluarga. Sehingga,
sering dijumpai ketidakcocokan soal pelayanan. Demi kebijakan, aparat pelaksana
berdalih kepada masayrakat, ini sudah menjadi aturan dan keputusan atasan.
Secara konseptual, masalah ini terjadi karena tidak ada komunikasi yang
tepat antara atasan dan bawahan. Konsekwensi logisnya, dalam proses sosialisasi
kebijakan kepada masyarakat terjadi miskomunikasi antara aparat pemberi
162
pelayanan dengan masyarakat penerima layanan. Semua ini erat kaitannya dengan
persoalah strukturisasi dalam birokrasi pemerintahan, yang menempatkan status
pejabat sebagai penentu kebijakan dan aparat pelaksana atau pemberi layanan
sebagai subordinasi.
4.2.4. Struktur Birokrasi
Disposisi atau komitmen aparat sebagai implementor kebijakan program
pemerintahan belum cukup apabila aparat pemerintah tidak berada dalam satu
sistem dan mekanisme struktur organisasi pemerintahan. Struktur itu penting untuk
membedakan mana yang menjadi atasan dan mana yang menjadi bawahan atau
aparat umumnya. Oleh karena itu, disposisi atau komitmen aparat mengandalkan
keteraturan hubungan kerja dalam struktur organisasi pemerintahan.
Dari fakta dan data lapangan, menunjukkan bahwa struktur birokrasi
pemerintahan justru menjadi penghambat aliran program pemerintahan yang harus
diimplementasikan. Kepala dinas sebagai top eksekutif yang sulit dijangkau, karena
sifat dan ciri birokratis. Ciri tersebut diperparah dengan rentang kendali yang jauh
antara atasan dengan aparat sebagai implementor kebijakan. Dalam kaitannya
dengan implementasi kebijakan system administrasi kependudukan di kota Palu,
ciri hirarkis dalam organisasi pemerintahan begitu kental. Atasan sebagai top
eksekutif berfungsi sebagai komando untuk memberikan instruksi kepada aparat
sebagai pelaksana dari isi kebijakan ang telah ditetapkan di tingkat pusat. Bawahan
yang menjalankan instruksi atasan hanya menjalankan perintah. Tanpa ada
163
komunikasi, apalagi membuka saluran informasi dari aparat dengan pimpinan.
Yang menjadi akibatnya adalah adanya miskomunikasi antara atasan dengan
bawahan dalam menghadapi persoalan lapangan.
Para implementor kebijakan mungkin tahu apa yang harus dikerjakan, para
implementor juga memiliki keinginan serta didukung sumber daya yang cukup
untuk melakukan program kebijakan yang telah ditetapkan, namun pada
kenyataannya sering para implementor mendapat kendala dalam implementasi oleh
struktur organisasi di tempat mereka melayani. Struktur organisasi yang dimaksud
adalah sistem atasan dan bawahan. Bawahan dalam hal ini aparat kebanyakan tidak
akan menjalankan kebijakan yang ada jika kebijakan tersebut tidak diinstruksikan
atau dititipkan dari atas, dalam hal ini para pembuat dan penentu kebijakan.
Oleh karena itu, agar implementasi kebijakan dapat berjalan efektif, yang
perlu diperhatikan adalah prosedur pengoperasian standar sebagaimana dianjurkan
oleh Edwards. Menurut Edwards (2003), prosedur pengoperasian standar (Standard
Operating Procedure / SOP) kegiatan para pejabat publik yang sifatnya rutin dalam
membuat kebijakan publik yang sesuai dengan kebutuhan, persoalan terkini yang
sedang hangat diisukan publik dan tepat sasaran sehingga dapat dijalankan oleh
aparat secara efektif dan efisien.
Pada tataran empirik, sebagaimana ditemukan di lingkup pemerintahan
diderah, khususnya lingkup dinas Kependudukan dan catatan sipil, aparat yang
bekerja sangat tergantung pada struktur dan sistem yang ada. Struktur birokratisasi
sangat kuat pengaruhnya dalam menerapkan tugas dan peran aparat. Aparat
umumnya tidak bisa berperan banyak dalam menjalankan fungsi dan tugasnya
secara bebas dan bertanggung jawab. Putusan atasan, kebijakan yang telah
164
diputuskan menjadi pedoman umum yang harus dijalankan semua aparat pelaksana
dalam satuan tugas.
Struktur itu pada prinsipnya penting. Penyusunan struktur organisasi
dimaksudkan untuk mengatur prosedur formal bagaimana sebuah organisasi harus
dikelola. Sebuah organisasi dapat membentangkan struktur formalnya dalam
sebuah bagan organisasi, pembagian kerjanya, manajer dan para bawahannya, jenis
pekerjaannya dan tingkat-tingkat (jenjang) manajemen.
Struktur organisasi birokrasi pemerintahan harus menunjukkan bentuk,
program kerja serta tujuan dari kebijakan yang akan dicapai. Menurut Gomes
(1995 : 25) bahwa unsur-unsur yang dijadikan pedoman untuk membedakan suatu
organisasi dengan yang lain adalah (1) Goals (tujuan-tujuan); (2) Technology
(teknologi); (3) Structure (struktur).
Menurut tujuannya, organisasi apapun dapat dibedakan atas organisasi yang
mencari keuntungan (profit organization) atau tidak mencari keuntungan (unprofit
organization); pembedaan organisasi berdasarkan teknologi, yaitu bagaimana suatu
organisasi mengerjakan dan mencapai hasil-hasil yang dikehendaki dalam hal ini
apakah organisasi mengerjakan dan mencapai hasil-hasil yang dikehendaki dalam
hal ini apakah organisasi bekerja atas sistem mekanik, komputerisasi atau
robotisasi. Sedangkan berdasarkan struktur, organisasi dapat dibedakan atas
organisasi besar dengan struktur sangat gemuk, kaku, rasional dan sentralistik.
Pengertian struktur organisasi adalah banyak, namun diantara para ahli
belum mempunyai kesepakatan tentang pengertian struktur organisasi yang lebih
sempurna. Hal ini disebabkan bahwa konsep struktur organisasi disatu sisi adalah
abstrak, disisi lain adalah riil dan dapat mempengaruhi setiap orang dalam
165
organisasi. Kast dan Rosenzweig (terjemahan Hasymi Ali, 1991 : 325)
mengemukakan bahwa :
Struktur dapat dianggap sebagai pola yang sudah ada mengenai hubungan-hubungan antara berbagai komponen dan bagian dari organisasi. Akan tetapi struktur suatu sistem sosial itu tidak tampak seperti biologis atau mekanis. Ia tidak dapat dilihat, tetapi dapat disimpulkan dari operasi-operasi aktual dan perilaku organisasi.
Struktur suatu organisasi memberikan gambaran mengenai keseluruhan
kegiatan serta proses yang terjadi pada suatu organisasi. Struktur organisasi dalam
konteks pemerintahan pada prinsipnya berfungsi memberikan gambaran mengenai
pembagian tugas-tugas serta tanggungjawab kepada individu maupun bagian-
bagian pada suatu organisasi. Struktur organisasi juga memberikan gambaran
mengenai hubungan pelaporan yang ditetapkan secara resmi dalam organisasi.
Tercakup dalam hubungan pelaporan yang resmi ini banyaknya tingkatan hirarki
serta besarnya rentang kendali dari semua pimpinan di seluruh tingkatan dalam
organisasi. Selain itu struktur organisasi menetapkan pengelompokan individu
menjadi bagian dari organisasi, dan pengelompokan bagian tersebut menjadi
bagian suatu organisasi yang utuh. Struktur organisasi juga menetapkan sistem
hubungan dalam organisasi, yang memungkinkan tercapainya komunikasi,
koordinasi, dan pengintegrasian segenap kegiatan suatu organisasi, baik kearah
vertikal maupun horisontal.
Seharusnya dalam organisasi pemerintahan di tingkat daerah, pimpinan
hendaknya memperhatikan pola hubungan formal dan tugas-tugas, peta organisasi
plus uraian pekerjaan atau pedoman kedudukan. Hal ini penting, agar aparat dapat
mengetahui secara tepat apa yang menjadi tugas dan wewenangnya dalam
menerjemahkan dan menrapkannya kepada masyarakat. Cara penugasan berbagai
166
kegiatan atau tugas itu kepada berbagai bagian dan atau orang dalam organisasi
siafatnya diferensiasi, artinaya, cara koordinasi berbagai kegiatan atau tugas yang
terpisah ini (integrasi). Oleh kaena itu kekuasaan, status dan hubungan hierarki
dalam organisasi (sistem wewenang) perlu memperhatikan rencana dan formalisasi
kebijaksanaan, prosedur dan kontrol yang menuntun berbagai kegiatan itu dan
hubungan antara berbagai orang dalam organisasi (sistem administrasif).
Chandler (dalam Stoner 1989 : 296) menyatakan bahwa struktur mengikuti
strategi, artinya misi dan tujuan menyeluruh suatu organisasi akan membantu
penyusunan rancangannya. Strategi akan menentukan bagaimana jalur wewenang
dan saluran komunikasi diatur diantara para manajer dan sub unit atau bagian.
Disamping itu, strategi akan mempengaruhi yang mengalir di sepanjang jalur
tersebut, serta mekanisme perencanaan dan pengambilan keputusan.
Struktur organisasi birokrasi sangat besar dan berbelit-belit. Jarak rentang
antara pusat birokrasi pemerintahan sangat jauh. Terhadap kekakuan, jauh dan
berbelit-belit birokrasi pemerintahan dengan strukturnya yang berlapis-lapis akan
sangat menyulitkan pengenalan persoalan dan kebutuhan masyarakat secara nyata.
Hal tersebut dibenarkan masyarakat yang menyatakan bahwa srtukur birokrasi
sering kali menyulitkan kemudahan dalam memproses berbagai sistem kebijakan
yang langsung mengena pada persoalan masyarakat. Kebijakan pemerintah sering
hanya merupakan keputusan yang diambil oleh struktur birokrasi pemerintahan
pada top eksekutif. Sehingga sering apa yang dibutuhkan dan apa yang menjadi
persoalan masyarakat sulit diatasi.20
20 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009
167
Dalam proses pengurusan kartu keluarga. Tidak jarang masyarakat
mengeluhkan kinerja pelayanan yang lama, persyaratan yang berbelit-belit serta
bertele-tele. Sehingga menimbulkan kesan sulit. Dikatakan masyarakat penerima
layanan bahwa memang sulit untuk menguruskartu keluarga, KTP dan akte
kelahiran. Kami harus menyelesaikan persyaratan yang membingungkan, karena di
RT lain, ke kelurahan atau ke desa dituntut persyaratan lain, karena dinilai belum
lengkap. Belum lagi urusan ke tingkat kota. Makan waktu, biaya. Jadi, terlalu
bertele-tele dan birokratisasi yang berlapis-lapis.21
Dari hasil observasi juga menujukkan fenomena yang sama, bahwa
birokratisasi pelayanan kartu keluarga, masih menjadi faktor penghambat kualitas
pelayanan. Persyaratan terlalu banyak. Masyarakat kelihatan keberatan. Belum lagi
ada pungutan-pungutan yang tidak seragam. Jadi kebijakan sistem administrasi
kependudukan mulai dari tingkat dinas sampai kepada pelaksana di tingkat
kecamatan dan kelurahan belum sinkron kebijakan baik dari aspek
implementasinya, rentang kendali yang jauh antara masyarakat dengan pusat
pelayanan dan ketidaksiapan aparatnya.
Komponen atau unsur lingkungan organisasi, seperti kebutuhan masyarakat,
sumberdaya yang tersedia, pengetahuan, nilai-nilai sosial dan politik yang ada akan
berpengaruh terhadap ketiga unsur yang terdapat dalam organisasi.
Ketiga unsur organisasi ini akan mempengaruhi perilaku sistem pelayanan
administrasi kepedudukan Sistem pengelolaan tesebut akan mempengaruhi tujuan,
teknologi dan struktur organisasi. Karena, struktur dapat dianggap sebagai pola
yang sudah ada mengenai hubungan-hubungan antara berbagai komponen dan
21 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009
168
bagian dari satu sistem dalam organisasi pemerintahan. Akan tetapi struktur suatu
sistem sosial itu tidak tampak seperti biologis atau mekanis. Ia tidak dapat dilihat,
tetapi dapat disimpulkan dari operasi-operasi aktual dan perilaku organisasi.
Struktur suatu organisasi memberikan gambaran mengenai keseluruhan kegiatan
serta proses yang terjadi pada suatu organisasi.
Oleh karena itu sangat penting struktur keorganisasian memudahkan
tercapainya tujuan keorganisasian. Karena struktur organisasi merupakan kerangka
dasar menyeluruh yang mempersatukan fungsi-fungsi sesuatu organisasi dan
menetapkan pola-pola hubungan, peran dan aturan interaksi yang relatif tetap
diantara personil yang terlibat dalam suatu organisasi untuk pencapaian tujuan
organisasi. Asumsi ini tidak lepas dari keterlibatan manajer, dan dalam hal ini para
manajer mengetahui bagaimana cara mencocokkan struktur keorganisasian dan
tujuan.
Dengan demikian, struktur organisasi perlu memiliki prosedur
pengoperasian standar (Standard Operating Procedure / SOP) untuk mengatur tata
aliran pekerjaan dan pelaksanaan program. Hal ini penting, sebagaimana
diungkapkan pihak pengambil kebijakan bahwa tata aliran pekerjaan penting dalam
organisasi pemerinah. Jika tidak maka akan sulit mencapai hasil yang memuaskan
serta upaya memecahkan berbagai persoalan. Struktur yang tepat memberikan
dukungan yang kuat terhadap keberhasilan implementasi kebijakan sistem
administrasi kependudukan. Maka, kebijakan sistem administrasi kependudukan
menuai hasil yang memuasksn dan ditanggap baik oleh berbagai kalangan
masyarakat.22
22 Wawancara dengan Wakil walikota, tanggal 12 Oktober 2009.
169
Prosedur pengoperasional standar merupakan panduan bagi para pejabat
publik dalam hal ini birokrat sebagai pengambil dan pembuat kebijakan untuk
menentukan putusan kebijakan secara tepat sesuai dengan situasi, kondisi dan
persoalan yang dihadai masyarakat.
Namun dalam kenyataannya, birokrat belum mampu secara tepat membuat
kebijakan berdasarkan kebutuhan dan keputusan tersebut dapat menjawab atau
memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat. Contoh, kebijakan sistem
admnistrasi kependudukan bidang pelayanan kartu keluarga hanya mengikuti
undang-undang nasional dan dipaksakan untuk diterapkan dalam masyarakat. Jadi,
Prosedur pengoperasional standar belum berjalan efektif oleh aparat birokrasi
dalam membuat keputusan yang tepat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat di bidang pelayanan kartu keluarga. Faktor penyebabnya adalah bahwa
aparat hanya mengikuti tata aturan yang sudah berlaku. Aparat kurang respons dan
kurang inovatif dalam menciptakan produk kebijakan yang cocok dan tepat sesuai
situasi, kondisi dan tuntutan masyarakat di bidang pelayanan kartu keluarga.
Hal senada juga diungkapkan oleh LSM, bahwa belum bisa diharapkan
aparat birokrasi pemerintah yang mampu menerjemahkan secara tepat peraturan
perundangan yang mampu mengkonversi segala persoalan dan kebutuhan
masyarakat dalam pelayanan kartu keluarga. Persoalannya adalah bahwa aparat
pemerintah kurang profesional dan kurang mampu menjawab persoalan
masyarakat. Aparat yang ada selalu puas dengan apa yang ada.23
Struktur birokrasi pemerintahan merupakan prosedur pengoperasian standar
yang menata hubungan kerja anggota organisasi dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sesuai dengan rencana sebelumnya. Pembagian kerja termasuk di
dalamnya kejelasan kewenangan. Dukungan birokrasi pemerintahan yang telah
23 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009
170
ditata secara baik akan mampu meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan
publik.
Desain atas struktur sebuah organisasi harus mencerminkan lingkungan
pekerjaan dan unsur-unsur di dalam setiap organisasi, ini akan membedakan
dengan organisasi-organisasi lain, yang terlihat dari bentuk organisasi maupun
tujuannya, teknologi dan struktur agar membedakan suatu organisasi dengan yang
lain.
Menurut tujuannya, organisasi dapat dibedakan atas organisasi yang
mencari keuntungan (profit organization) atau tidak mencari keuntungan (unprofit
organization); pembedaan organisasi berdasarkan teknologi, yaitu bagaimana suatu
organisasi mengerjakan dan mencapai hasil-hasil yang dikehendaki dalam hal ini
apakah organisasi mengerjakan dan mencapai hasil-hasil yang dikehendaki dalam
hal ini apakah organisasi bekerja atas sistem mekanik, komputerisasi atau
robotisasi. Sedangkan berdasarkan struktur, oganisasi dapat dibedakan atas
organisasi besar dengan struktur sangat gemuk, kaku, rasional dan sentralistik.
Komponen atau unsur lingkungan organisasi, seperti kebutuhan
masyarakat, sumberdaya yang tersedia, pengetahuan, nilai-nilai sosial dan politik
yang ada akan berpengaruh terhadap ketiga unsur yang terdapat dalam organisasi.
Ketiga unsur organisasi ini akan mempengaruhi perilaku manajer sebagai pimpinan
dari organisasi tersebut. Sebaliknya manajer juga akan mempengaruhi tujuan,
teknologi dan struktur organisasi dan selanjutnya mempengaruhi lingkungan
organisasi beserta komponen-komponennya.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana birokrasi pemerintahan di
daerah memposisikan diri sebagai provider layanan. Sebagai provider layanan,
171
aparat birokrasi pemerintah harus tahu apa yanga dibuat, harus membaca situasi,
harus peka terhadap situasi sosial, politik, harus tahu peta ekonomi masyarakat,
agar pelayanan menjadi efektif. Dari hasil survey dan observasi, disimpulkan
bahwa aparat pemerintah kurang memahami dan mengetahui situasi masyarakat
yang dihadapi. Sehingga pelayanan yang diberikan misalnya kartu keluarga dan
KTP kurang menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat. Akhirnya bukan
pemerintah yang menyesuaikan dengan situasi, kondisi dan persoalan masyarakat,
melainkan masyarakat yang harus menyesuaiakan dengan ketentuan pemerintah.
Teknologi juga dapat digunakan untuk mempengaruhi struktur organisasi.
Bentuk teknologi yang digunakan suatu organisasi untuk menghasilkan produk dan
jasa dapat mempengaruhi cara pengaturan organisasi. Teknologi produksi massal
dalam industri mobil melibatkan kadar standarisasi dan spesialisasi aktivitas kerja
yang tinggi. Standarisasi dan spesialisasi yang tinggi akan mempengaruhi rancang
bangun organisasi.
Faktor manusia juga dapat sebagai penentu struktur organisasi. Orang yang
terlibat dalam aktivitas suatu organisasi baik sebagai atasan maupun bawahan dapat
mempengaruhi struktur organisasi. Fungsi manajer mengambil keputusan yang
berhubungan dengan jalur komunikasi dan wewenang serta hubungan antara unit-
unit kerja yang berada di bawahnya. Dalam mengambil keputusan, para manajer
dipengaruhi oleh kebutuhan sendiri dan lingkungan kerjanya, seperti kemampuan
dan sikap bawahan, serta motivasi bawahan untuk bekerja. Disamping itu,
lingkungan luar organisasi juga mempengaruhi struktur organisasi. Organisasi
dalam hal ini harus menyediakan mekanisme bagi interaksi reguler dengan
masyarakat yang menggunakan jasa organisasi tersebut.
172
Menurut Stoner dan Wankel (1986 : 110 – 115), penyusunan struktur
organisasi dimaksudkan untuk mengatur prosedur formal bagaimana sebuah
organisasi harus dikelola. Sebuah organisasi dapat membentangkan struktur
formalnya dalam sebuah bagan organisasi, pembagian kerjanya, manajer dan para
bawahannya, jenis pekerjaannya dan tingkat-tingkat (jenjang) manajemen.
Organisasi yang lingkungan pekerjaannya kompleks tetapi statis, jika
dimungkinkan sebaiknya menyusun organisasi atas dasar lini produk/pasar.
Sedangkan organisasi yang lingkungannya kompleks dan dinamis, besar sekali
kebutuhan terhadap berbagai informasi yang cepat. Jika dimungkinkan, sebaiknnya
membagi kegiatannya, tetapi bisa juga memiliki kecanggihan seperti yang ada pada
bagian fungsional khusus. Bila demikian halnya, sebuah organisasi matriks sering
merupakan pilihan yang tepat.
Selanjutnya dalam menjalankan organisasi yang perlu diperhatikan adalah
memberikan atau membagi kekuasaan maupun wewenang bagi setiap individu
maupun kelompok dalam organisasi. Pemberian kekuasaan dan wewenang ini
dimaksudkan untuk memberi batas bagi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
setiap individu maupun kelompok dalam menjalankan roda organisasi. Tindakan
ini sering disebut dengan pembagian kerja.
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari penyusunan struktur organisasi.
Pembagian kerja menghendaki bahwa semua tugas-tugas yang berkenaan dengan
pencapaian tujuan organisasi harus dibagi habis dengan sub-sub organisasi yang
ada di bawahnya. Pembentukan dinas merupakan manifestasi dari pembagian tugas
ini. Karena setiap dinas pasti mempunyai beban tugas (urusan), yang perlu
diperhatikan dalam pembagian tugas adalah jangan sampai ada tugas-tugas yang
173
diberikan lebih dari satu bagian. Dalam arti setiap dinas atau sub organisasi yang
dibentuk mempunyai spesifikasi dan spesialisasi tugas yang jelas.
Sedangkan yang berkaitan dengan struktur organisasi, merupakan dasar
yang mempersatukan fungsi-fungsi dalam organisasi dan menetapkan pola
hubungan antar individu dan kelompok dalam rangka tercapainya tujuan yang
diinginkan. Struktur keorganisasian memudahkan tercapainya tujuan
keorganisasian. Karena struktur oragnisasi merupakan kerangka dasar menyeluruh
yang mempersatukan fungsi-fungsi sesuatu organisasi dan menetapkan pola-pola
hubungan, peran dan aturan interaksi yang relatif tetap diantara personil yang
terlibat dalam suatu organisasi dalam pencapaian tujuan organisasi. Asumsi ini
tidak lepas dari keterlibatan manajer, dan dalam hal ini para manajer mengetahui
bagaimana cara mencocokkan struktur keorganisasian dan tujuan. Gibson (1990 :
321-338) mengemukakan bahwa, mengkaji mengenai struktur organisasi
cakupannya meliputi : (1) Pembagian pekerjaan, (2) Desentralisasi kewenangan,
(3) Rentang kendali, (4) Formalisasi, dan (5) Departementasi.
Pendapat Gibson, sangat relevan bagi aparat pemerintah di daerah dalam
upaya meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam struktur pemerintahan yang
dinilai terlalu kaku dan berbelit-belit. Berdasarkan hasil pengamatan, yang
dibutuhkan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan dalam konteks
ini adalah pelayanan sistem administrasi kependudukan bidang kartu keluarga
merupakan hal yang penting dilakukan adalah : pembagian pekerjaan. Ini
berkenaan dengan tupoksi setiap aparat dalam melaksanakan tugas pelayanan
kepada masyarakat. Selama ini, ada banyak aparat yang tidak tahu apa yang harus
174
dilakukan dalam tugas dan pekerjaannya setiap hari. Jadi perlu perencanaan siapa
buat apa.
Dalam era otonomi daerah, pelayanan publik dan civil sudah tidak saatnya
bersifat sentralistis, dan terpusatkan pada top eksekutif. Dalam pelayanan sistem
administrasi kependudukan, yang paling penting adalah bagaimana atasan
memberikan ruang gerak kepada bawahan untuk menjalankan tugas, pelayanan
sesuai dengan prakarsa sendiri, tanpa menunggu instruksi atau pedoman dari
atasan. Rentang kendali, berkaitan dengan sistem pendekatan pelayanan. Pelayanan
kartu keluarga tidak lagi menjadi beban bagi masyarakat. Masyarakat selama ini
masih mengurus kartu keluarga jauh-jauh dari kelurahan, dari kecamatan harus ke
kota. Sistem pelayanan harus berobah yaitu mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat. Aparat pemerintah yang harus menjemput, atau adanya pelayanan
keliling. Semua ini, perlu ditegaskan dalam formalisasi kebijakan. Pemerintah lokal
harus membuat kebijakan atau merumuskan formulasi secara tepat sesuai dengan
kondisi lapangan, diukur kemampuan sumber daya aparat, sarana prasarana dan
terutama berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Pembagian pekerjaan dalam suatu organisasi memang penting, karena hal
tersebut mencerminkan adanya kebersamaan untuk memikul tanggungjawab
terhadap tugas yang diberikan. Selain itu juga untuk menghindari adanya
kesenjangan diantara para pekerja terhadap tugas dan tanggungjawab serta jenis
pekerjaan yang harus dikerjakan. Menurut Steers (1985 : 150), usaha pemberian
penjelasan kepada para personil mengenai sifat yang setepatnya dari tugas mereka,
dapat ditempuh melalui pembagian pekerjaan. Keharusan adanya pembagian
pekerjaan dalam suatu organisasi menurut Robbins (1994 : 93-94) dan Siagian
175
(1976 : 9), dikarenakan dalam organisasi terdapat adanya kempleksitas dari pada
tujuan, misi, tugas pokok dan fungsi-fungsi suatu organisasi yang memerlukan
adanya kemampuan dan pengalaman yang memadai. Padahal di pihak lain para
personil memiliki keterbatasan fisik dan pengetahuan.
Menurut Stillman (1992 : 38), pembagian pekerjaan mengandung arti
bahwa semua pekerjaan dalam suatu birokrasi (organisasi) dibagi-bagi secara
rasional kedalam unit-unit yang dapat dijalankan oleh seseorang individu atau
sekelompok individu yang mampu melaksanakan pekerjaan tersebut. Dengan
adanya pembagian pekerjaan, semua personil organisasi akan mengerti peran apa
yang harus dijalankan olehnya demi tercapainya tujuan organisasi. Selanjutnya,
Handoko (1991 : 171 – 172) mengatakan bahwa pembagian pekerjaan yang terlalu
ekstrim dalam suatu organisasi dapat menimbulkan kebosanan, keletihan,
menonton dan kehilangan motivasi.
Desentralisasi kewenangan, menurut Steers (1985 : 71), adalah batas
perluasaan berbagai jenis kekuasaan dan wewenang dari atas kebawah dalam
hirarki organisasi. Dengan demikian, pengertian desentralisasi kewenangan terkait
erat dengan konsep partisipasi dalam pengambilan keputusan maka personil
tersebut semakin turut serta dalam dan memikul tanggungjawab atas keputusan-
keputusan yang telah ditetapkan tersebut. Menurut Steers (1985 : 72) desentralisasi
kewenangan sering menghasilkan perbaikan pada beberapa segi dari efektivitas
organisasi, khususnya desentralisasi yang berhubungan dengan meningkatkannya
komunikasi dua arah yang terbuka. Dengan adanya komunikasi dua arah tersebut,
akan mendorong menghasilkan peningkatan inovasi dan kreativitas dalam
176
organisasi. Selain itu, dengan desentralisasi akan mendorong pemanfaatan yang
optimal dari seluruh jumlah personil yang ada.
Menjadi jelas bahwa untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari
pelaksnaan kegiatan organisasi yakni aparat itu sendiri, jika para bawahan diberi
kesempatan untuk berpatisipasi dalam mengambil keputusan, baik melalui
konsultasi dengan kelompok atau dengan memperbolehkan para bawahan
mengambil dan menetapkan keputusan-keputusan sendiri. Hal ini yang jarang
dilakukan dalam lembaga pemerintahan di daerah, khususnya kesempatan bagi
bawahan dalam implementasi kebijakan program dan system administrasi
kependudukan. Atasan dengan egonya merasa bawahan bukanlah partner yang
cocok dalam mendiskusikan atau menentukan kebijakan apalagi diberi kebebasan
dan tanggung jawab untuk menentukan sendiri keputusan strategis di bidang
system administrasi kependudukan.
Penggunaan aturan-aturan dalam suatu organisasi itu disebutkan sebagai
formalisasi. Begitu juga dengan Hall (dalam Steers, 1985 : 74) menyatakan, bahwa
formalisasi biasanya menunjukkan batas penentuan atau pengaturan kegiatan kerja
para personil melalui prosedur dan peraturan resmi. Semakin besar pengaruh
pengaturan, kewajiban kerja secara tertulis yang mengatur tingkah personil,
semakin besar tingkat formalisasinya. Sedangkan Wexley dan Yukl (1988 : 25)
mengatakan, formalisasi merupakan suatu cara mengatur perilaku dan membatasi
kebebasan karyawan pada jenjang-jenjang lebih bawah. Menurut Robbins (1994 –
105-107), keuntungan yang diperoleh dari formalisasi yaitu (a) adanya standarisasi
perilaku pegawai yang cenderung seragam dalam pelaksanaan tugas, (b)
mendorong terwujudnya koordinasi, dan (c) efisien. Oleh karena itu banyak
177
organisasi yang memilih untuk sedapat mungkin memformalkan pekerjaan agar
diperoleh prestasi dari pegawainya dengan biaya yang paling rendah. Pernyataan
Robbins tersebut, nampaknya terlalu menekankan pada aspek efisiensi yaitu
penghematan biaya. Oleh karena itu, perlu diperhatikan dalam mewujudkan kerja
yang efektif belum tentu efisiensi. Hal ini terutama pada jenis pekerjaan yang
dilakukan oleh organisasi yang bersifat pelayanan sosial, perlu diusahakan agar
formalisasi dalam organisasi jangan sampai mengurangi hasil kerja yang efektif.
Menjadi jelas bahwa faktor struktur birokrasi berperan penting dalam
keberhasilan implementasi kebijakan. Terdapat suatu standart operating
procedures (SOPs) yang mengatur tata aliran pekerjaan dan mencapai hasil yang
memuaskan. Karena penyelesaian masalah-masalah SPOs memerlukan penanganan
dan penyelesaian khusus dengan penggunaan pola baku. Jika hal ini tidak
dijalankan maka akan sulit sekali untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Struktur yang tepat memberikan dukungan yang kuat terhadap keberhasilan
implementasi suatu kebijakan.
Struktur birokrasi pemerintahan merupakan suatu standar operating
procedur yang menata hubungan kerja anggota organisasi dalam lembaga
pemerintahan dalam mencapai tujuan yang terkait dengan pelayanan kartu
keluarga. Dukungan birokrasi pemerintahan yang telah ditata secara baik akan
memperlancar keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan.
Pembagian tugas yang jelas memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan penentu dan pembuat kebijakan. Hal yang perlu diperhatikan
adalah pelayanan yang tidak berbelit-belit. Aparat pemberi pelayanan harus cepat,
tanggap.
178
4.3. Mekanisme implementasi kebijakan sistem Administrasi Kependudukan
dalam Penerbitan Kartu Keluarga .
Orientasi terhadap perubahan dan pembaharuan (change) merupakan salah
satu tuntutan dalam fungsi pelayanan pemerintahan dalam meningkatkan kualitas
pelayanan sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintahan. Dalam konteks sistem
administrasi kependudukan, perubahan dalam pelayanan perlu ditunjukkan melalui
keseriusan dan kesediaan aparat pemerintahan itu sendiri dalam menerima
perubahan. Menerima perubahan berarti, selalu berupaya untuk memiliki
pengetahuan, perkembangan, informasi yang terjadi dalam lingkungan organisasi
masyarakat dan di luar lingkungan pemerintah mengenai persoalan dan kebutuhan
masyarakat sendiri. Pengetahuan tersebut harus betul mengarah pada upaya
pembaruan pelayanan kepada masyarakat.
Pelayanan civil dan layanan publik merupakan tuntutan masyarakat agar
kebutuhan yang diharapkan baik secara individu maupun sebagai kolektif
terpenuhi. Karena itu dituntut dari aktor pemerintahan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan bagi masyarakat. Osborne & Plastrik, (2000:312) berpendapat bahwa
peningkatan kualitas layanan civil dan layanan publik dapat ditempuh melalui (1)
akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (2) orientasi pada
pembaharuan dan (3) pengembangan etika pelayanan.
(1) aspek akuntabilitas dapat dijadikan ukuran tingkat kualitas pelayanan
publik. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik akuntabilitas merupakan satu
ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan
pelayanan dengan ukuran nilai atau norma eksternal yang dimiliki oleh
179
stakeholders. Akuntabilitas merupakan satu kewajiban. Pemerintah berkewajiban
mempertanggungjawabkan segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan
penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang akan dilakukan maupun yang sudah
dilakukan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik diminta maupun
tidak diminta kepada seluruh masyarakat. Singkatnya, segala sesuatu yang terjadi
akibat pelaksanaan pelayanan kepada publik merupakan konsekwensi dari harapan
masyarakat akan pemenuhan janji dari birokrasi pemerintah dalam upaya
meningkatkan kualitas layanan publik dan layanan civil harus
dipertanggungjawabkan. Nilai dan norma pelayanan yang harus
dipertanggungjawabkan meliputi transparansi pelayanan, prinsip keadilan, jaminan
penegakan hukum, hak asasi manusia dan orientasi pelayanan yang dikembangkan
terhadap masyarakat pengguna jasa.
(2) cara meningkatkan kualitas pelayanan aparat birokrasi dapat dilakukan
melalui orientasi pembaharuan pelayanan. Pembaruan birokrat pemerintahan dalam
meningkatkan kualitas layanan publik merupakan pembaruan yang berkaitan
dengan restrukturisasi organisasi dan sistem pemerintah dengan mengubah tujuan,
insentif, akuntabilitas, distribusi kekuasaan dan budaya kerja. Karena dengan
adanya pembaruan organisasi pemerintahan berarti, organisasi secara terus menerus
mencari cara untuk menjadi lebih efisien, mengupayakan ukuran organisasi yang
memaksimumkan kinerja dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Itu
berarti, orientasi terhadap pembaharuan menunjuk pada sejauh mana kesediaan
aparat birokrasi menerima perubahan, tidak hanya menyangkut tuntutan
masyarakat, tetapi juga pengetahuan mengenai berbagai hal yang terjadi dalam
lingkungan di luar birokrasi. Orientasi pada perubahan yang harus dimiliki oleh
seorang aparat birokrasi berkaitan dengan luasnya wawasan dan pengetahuan yang
180
dimilikinya. Tidak hanya berkaitan dengan tugas rutin melainkan pada
kemampuannya dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan yang terjadi di
luar lingkungan dalam konteks layanan publik. Tolok ukurnya adalah pencapaian
sasaran kebijakan publik, seperti adanya peningkatan kualitas dalam pelayanan
kesehatan, kesempatan pendidikan yang merata bagi semua anak, kualitas
lingkungan yang dilihat dari kesehatan sanitasi lingkungan, penangan masalah
sampah secara efisien dan efektif, pemuasan masyarakat terhadap layanan air
bersih, listrik dan telepon.
(3) pengembangan etika pelayanan. Etika pelayanan sebagai salah satu
faktor penentu meningkatnya kualitas pelayanan publik dan layanan civil di daerah
pemekaran. Etika pelayanan dikembangkan sebagai panduan norma bagi aparat
birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat, yang
menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok dan
organisasinya. Jadi, etika pelayanan bertujuan mengarahkan aparat birokrasi untuk
mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Indikasi, bahwa birokrasi memiliki etika pelayanan publik dapat dilihat dari
sudut apakah seorang aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat merasa mempunyai komitmen untuk menghargai hak-hak konsumen
untuk mendapatkan pelayanan secara transparan, efisien, dan adanya jaminan
kepastian pelayanan.
Pembaharuan dan perubahan pelayanan dapat dilakukan oleh aparat
pemerintah dalam mencapai efektivitas setiap program kebijakan pemerintahan
melalui aspek-aspek berikut:
4.3.1. Mengubah Tujuan
181
Sebuah organisasi, diciptakan untuk mencapai tujuan atau lebih yang
ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pencapaian
tujuan merupakan kriteria yang paling digunakan untuk menentukan keefektifan.
Mengubah satu tujuan dalam organisasi ditentukan oleh pendekatan pencapaian
tujuan (goal attainment approach) yang mengatakan bahwa keefektifan suatu
organisasi harus dinilai sehubungan dengan mencapai tujuan (ends) ketimbang
caranya (means). (Perrow, 1961:854).
Dalam konteks implementasi kebijakan tujuan dicapai paling nyata melalui
management by objectives, artinya para menejemen organisasi dalam hal ini
pemerintahan dimana para pembuat kebijakan (top eksekutif) dan implementor
(aparat umumnya) melihat secara objektif program kerja yang dirancang untuk
dijalankan bersama demi mencapai tujuan nyata yang dapat dibuktikan dan yang
dapat diukur baik oleh pemerintah dan masyarakat melalui program pelayanan
kepada masyarakat baik di bidang pelayanan publik maupun pelayanan civil.
Walaupun pemerintah sebagai alat negara dalam hal ini eksekutif yang
tunduk pada kekuasaan negara, pemerintah tetap memiliki kekuatan dalam
menentukan kebijakan yang tentunya berorientasi pada perubahan dan
pembaharuan pelayanan sebagai upaya dari mengubah tujuan dalam pelayanan
kepada masyarakat. Dalam kaitan dengan itu, Budiman (1997: 92) berpendapat
bahwa:
pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik, kebijakan ini tentu saja tidak ditentukan oleh pemerintah secara mandiri, tetapi juga oleh kondisi struktural di mana pemerintah ini beroperasi. Kebijakan ini ....akan mengalami perubahan (meski mungkin bukan perubahan yang substansial) di bawah sebuah rejim yang demokrasi.
Apa yang diungkapkan Arif Budiman, tersirat makna perubahan dalam dan
oleh pemerintahan sebagai agen pembaharu. Pembaharuan diperoleh melalui hasil
182
interaksi antara kondisi struktural dan kondisi masyarakat melalui sebuah proses
kebijakan. Kebijakan yang diambil harus terarah pada pelayanan yang berbasiskan
pemenuhan akan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah dalam
mengambil kebijakan tidak boleh terpaku pada kepentingan rejim yang berkuasa.
Proses pelayanan harus mencerminkan pada penyesuaian akan kondisi konkret
masyarakat. Dengan kata lain, pembaharuan dalam proses pelayanan harus
menyentuh pada aspek kondisi geografis, situasi ekonomi, budaya dan tradisi
masyarakat bukan pengalihan kehendak dan kepentingan rejim yang sifatnya
proyek. Berkaitan dengan kondisi problematik tersebut di atas, seorang anggota
DPRD berpendapat bahwa pemerintah sudah saatnya mengadakan pelayanan yang
berbasiskan pada kepentingan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Masyarakat
membutuhkan pelayanan pemerintahan yang tepat sasaran. Pelayanan yang
mengena pada kebutuhan dan harapan masyarakat. Manajemen pelayanan yang
asal memberikan proyek kepada masyarakat perlu diseleksi sesuai kebutuhan
masyarakat. Dengan demikian, pemerintah perlu mengadakan kerja sama dengan
pemimpin lokal, dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan
kelembagaan. Sehingga pelayanan pemerintah terarah dan tepat sasaran.24
Dari statement di atas, manajemen pelayanan yang dicita-citakan
masyarakat adalah pelayanan yang berorientasi pada perubahan yang ditandai aksi
atau tindakan (aspek ortopraksis pelayanan). Orientasi perubahan tersebut harus
nyata untuk melakukan perubahan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat.
Dengan cara demikian, pelayanan pemerintahan berubah dari pelayanan yang
sifatnya sentralistik.
Dwiyanto (2002: 158) melukiskan perubahan pola pelayanan yang
24 Wawancara dengan Tokoh Masyarakat, tanggal 30 Aguatus 2009
183
mengalami pembaharuan melalui suatu sikap yang berlawanan dengan orientasi
pada kemapanan (stauts quo). Karena apabila semakin tinggi sikap terhadap
perubahan, maka semakin rendah pula orientasi terhadap stauts quo. Di sini
dibutuhkan ketetapan pendirian pemerintah bahwa dalam orientasi pembaharuan
pelayanan, pemerintah sebagai alat dan pelaksana amanat negara harus
memetahkan secara tepat fungsi dan keberadaan diri sebagai pelayan masyarakat
bukan pelayan penguasa. Pemerintah tidak harus netral dalam proses pembaharuan,
yang hanya mengikuti aturan yang sudah ada. Tetapi pemerintah harus memiliki
kekuatan dan kemandirian yang mampu mempengaruhi kebijakan pembaharuan
pelayanan.
Oleh karena itu, selain dibutuhkan ketajaman, kepekaan akan daya
membaca tanda-tanda perubahan dalam pola dan pendekatan pelayanan,
pemerintah juga diharapkan memiliki kemampauan, kapabilitas dan kapasitas
dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Dalam kaitan dengan kondisi yang diinginkan dalam proses perubahan
pelayanan, salah seorang tokoh masyarakat berpendapat bahwa aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pelayanannya selama ini belum menunjukkan kualitas
pelayanan yang prima kepada masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi
aparat yang selalu puas dengan keadaan yang ada. Aparat pemerintah kurang
terbuka akan adanya perkembangan, perubahan dan kemajuan yang dapat diperoleh
melalui pelatihan, kursus, pendidikan lanjutan. Hal tersebut dapat menggambarkan
kondisi bahwa secara kelembagaan komitmen birokrasi pemerintahan di daerah
untuk melakukan perubahan masih rendah. Untuk itu, aparat pemerintah perlu
menunujukkan komitmen untuk melakukan reformasi internal, aparat pemerintah
perlu memiliki kemauan untuk berubah dengan melihat dan membandingkan
184
berbagai kegiatan pelayanan di tingkat atau organisasi, instansi pemerintah yang
lebih tinggi dan telah berhasil merumuskan dan mengimplementasikan perubahan
paradigma pelayanan yang terlalu menekankan birokratisasi dengan model
pendekatan pelayanan yang langsung mengena pada kebutuhan nyata masyarakat.25
Pembaruan berarti penciptaan organisasi pemerintahan yang secara terus
menerus mencari cara untuk menjadi lebih efisien. Yang lebih penting di sini
adalah bahwa tujuan pembaruan pemerintahan selalu tertujuan pada efektivitas dan
finalitas pelayanan yaitu, bagaimana menyentuh dan memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat di bidang pelayanan civil dan pelayanan publik. Oleh karena
itu, kata kunci di sini adalah bagaimana pemerintah melakukan perubahan dalam
pelayanan kepada masyarakat.
Menjadi jelas bahwa perubahan dan pembaharuan pelayanan adalah
penggantian pola pelayanan pemerintahan yang birokratis menjadi sistem yang
selalu mencari inovasi yang secara kontinyu memperbaiki kualitas pelayanan, yang
selalu berkesadaran dari dalam untuk melakukan perbaikan dalam sistem
pelayanan. Sistem yang dimaksud adalah sistem pembaruan dari pemrintahan
dalam menciptakan manajemen pelayanan baru yaitu sistem pelayanan yang
langsung berhubungan dengan masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Dengan kata lain manajemen pelayanan yang baru adalah pelayanan
yang berusaha memenuhi tuntutan dan kebutuhan rakayat akan pelayanan publik
dan pelayanan civil.
4.3.2. Mengembangkan Etika Pelayanan
Pemikiran tentang etika berlangsung pada tiga fase, yakni fase filosofis,
25 Wawancara dengan Kabid Dafduk, tanggal 9 September 2009
185
fase sejarah dan fase kategorial. Pada fase filosofis etika dipelajari sebagai bagian
dari filsafat, epistemologi metafisika, estetika. Pada fase sejarah etika dipelajari
sebagai bagian dari hidup bangsa tertentu, pedoman hidup masyarakat dan suku
tertentu pada zamannya. Sedangkan fase kategorial dibahas sebagai etika profesi,
etika jabatan, etika kerja seperti etika militer, etika bisnis, termasuk etika birokrasi
pemerintahan. Etika ini dikenal juga dengan etika terapan. Kini, etika terapan
sedang berkembang dengan bagusnya karena mendapat perhatian yang cukup luas.
Etika pelayanan sebagai salah satu faktor penentu meningkatnya kualitas
pelayanan publik dan layanan civil di daerah. Menurut Dwiyanto (2002:188) etika
pelayanan dikembangkan sebagai panduan norma bagi aparat birokrasi dalam
menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat, yang menempatkan kepentingan
publik di atas kepentingan pribadi, kelompok dan organisasinya. Jadi, etika
pelayanan bertujuan mengarahkan aparat birokrasi untuk mengutamakan
kepentingan masyarakat luas.
Indikasi, bahwa birokrasi memiliki etika pelayanan publik dapat dilihat dari
sudut apakah seorang aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat merasa mempunyai komitmen untuk menghargai hak-hak konsumen
untuk mendapatkan pelayanan secara transparan, efisien, dan adanya jaminan
kepastian pelayanan. Etika mengandung unsur moral yang memiliki ciri rasional,
objektif, tanpa pamrih dan netral. Karena itu, pengembangan etika pelayanan
publik bagi para aktor birokrasi pemerintahan perlu berpatokan pada dua
pendekatan etis, yaitu pendekatan Teleologi dan Deontologi. Pendekatan teleologis
diterapkan dalam etika pelayanan publik berdasarkan pada prinsip apa yang baik
yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan pelayanan. Jadi nilai kemanfaatan
yang manjadi landasan dari etika pelayanan publik. Pendekatan ini pada akhirnya
186
bermuara pada cara mengembangkan kebaikan bagi diri pejabat publik dan nilai
guna atau mengusahakan yang terbaik bagi publik. Sedangkan pendekatan
deontologi, mendekatkan diri pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan
karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau
konsekuensi dari keputusan yang diambil.
Pendekatan ini berlandaskan nilai moral yang mengikat agar birokrasi
selalu melakukan kewajiban moral agar sebuah kebijakan menjadi karakter
masyarakat. Dengan demikian, faktor etika pelayanan juga menjadi salah satu
faktor penentu bagi tercapainya kualitas pelayanan publik dan layanan civil.
Manakala prinsip etika pelayanan publik diabaikan dalam perumusan kebijakan
pemekaran wilayah dan tujuan pemekaran tidak diarahkan untuk peningkatan
kualitas pelayanan maka keberadaan kabupaten baru hasil pemekaran sangat tidak
berarti bagi masyarakat. Kualitas pelayanan itu penting dalam upaya memuaskan
kebutuhan masyarakat.
Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah atau provider pelayanan kepada
konsumer dalam hal ini masyarakat. Konsumer pada prinsipnya adalah seluruh
warga masyarakat yang dapat berupa individu, rumah tangga, orang-orang yang
tinggal dalam wilayah geografis tertentu, atau sekelompok orang dengan karakter
khas yang umum seperti kelompok petani, pedagang, mahasiswa, anak sekolah dan
sebagainya. Karena itu provider pelayanan harus melayani masyarakat secara
menyeluruh dan perlu mempelajari cara untuk dan keterampilan untuk melayani
masyarakat. Ketrampilan melayani yang dimaksudkan adalah pemahaman dan
pengetahuan yang tepat mengenai kebutuhan masyarakat dan cara memuaskan
kebutuhan masyarakat.
187
Pelayanan merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aktor
pemerintahan sebagai abdi masyarakat untuk mensejahterakan masyarakat dari satu
negara kesejahteraan (welfare state). Menurut Rasyid (1997:116):
Pelayanan berkenaan dengan usaha pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan kondisi yang menjamin bahwa warga masyarakat dapat melaksanakan kehidupan mereka secara wajar, dan ditujukan juga untuk membangun dan memelihara keadilan dalam masyarakat.
Dengan demikian, hahekat pelayanan adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah sebagai aktor dan artis pelayanan dengan landasan faktor material
melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi
kebutuhan dan tuntutan masyarakat sesuai dengan haknya.
Pelayanan pemerintahan baik di bidang publik maupun di bidang pelayanan
civil, berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik dan berkualitas sebagai konsekwensi
dari tugas dan fungsi pelayanan yang diembannya, berdasarkan hak-hak yang
dimiliki oleh masyarakat. Dalam kehidupan pemerintahan, pelayanan publik ada
bermacam-macam jenisnya yang menjadi tanggung jawab pemerintah dalam upaya
pemenuhannya. Menurut Saefullah (1997: 7), jenis pelayan umum antara lain:
Dapat dilihat dari kebutuhan masyarakat yang meliputi kebutuhan makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Sedangkan kalau dilihata dari kegiatan pemerintahan yang harus memberikan pelayanan bisa dibedakan berdasarakan kekhusuan yanga mengakibatkan perbedaan jenis pelayanan yang diberikan.
Apapun bentuk dan pendekatan pelayanan, etiak pelayanan dalam konteks
pelayanan pemerintahan tidak bisa dilepaskan dari pelaku pelayanan. Etika
pemerintahan digambarkan sebagai satu panduan norma bagi aparat pemerintahan
dalam menjalankan tugas pelayanan. (Dwiyanto, dkk, 2002: 188). Etika pelyanan
pemerintahan harus memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan
188
pribadi, kelompok dan organisasinya. Etika pelayanan publik harus dalam proses
kebijakan dan implementasi kebijakan perlu diarahkan pada kepentingan publik,
kepentingan masyarakat.
Dalam konteks implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan,
peneliti mengamati bahwa etika pelayanan sangat penting bagi aparat pemerintah
sebagai implementor kebijakan. Karena selain etika pelayanan dapat dijadikan
panduan normatif dalam menjalankan pelayanan kepada masyarakat, etika
pelayanan dalam penyelenggaraan pelayanan berguna meningkatkan komitmen dan
konsekwen aparat pemerintah dalam memberi pelayanan sungguh menghargai hak-
hak konsumer dalam hal ini masyarakat. Masyarakat membutuhkan pelayanan yang
transparan, efektif, efisien serta yang penting adalah jaminan kepastian pelayanan,
utamanya pelayanan dalam penerbitan kartu keluarga.
Dengan demikian masyarakat akan menilai kinerja pelayanan pemerintah.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah ditentukan dalam titik ini.
Pelayanan aparat yang dilandasi oleh etika dapat tercermin melalui kedekatan
aparat dengan rakyat, pemerintah merasa senasib dan sepenanggunan dengan
masalah yang dihadapi rakyat, pemerintah dalam malayani tidak menciptakan
berbagai bentuk tidakan diskriminatif yang merugikan masyarakat. Dengan kata
lain, etika pelayanan dalam kinerja aparat sebagai implementor kebijakan sistem
administrasi kependudukan yang dijalankan melalui pelayanan kartu keluarga
diperlukan sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat pemerintah terhadap
kepentingan rakyat terutama masalah pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang
penerbitan kartu keluarga. Pemenuhan kebutuhan dan tuntutan kepentingan
masyarakat di bidang admnistrasi kependudukan harus ditempatkan sebagai
finalitas dari pelayanan pemerintah. Dengan cara demikian, etika pelayanan publik
189
dapat berjalan sesuai harapan bersama yaitu terciptanya bonum commune.
4.3.3. Insentif
Salah satu faktor yang menentukan tingkat kinerja aparat pelayanan publik
adalah penerapan sistem insentif. Sistem insentif merupakan elemen penting dalam
suatu organisasi untuk memotivasi karyawan mencapai prestasi kerja yang
diinginkan. Insentif yang diberikan kepada karyawan yang berprestasi berupa
penghargaan materi maupun nonmateri, sedangkan karyawan yang tidak
berprestasi mendapatkan disinsentif berbentuk teguran, peringatan,
penundaan/penurunan pangkat, atau pemecatan. Sasaran utama penerapan sistem
insentif adalah (Gibson. Et.al, 1996):
1. Menarik orang yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi.
2. Mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja3. Memotivasi karyawan mencapai prestasi tinggi
Pemberian insentif kepada karyawan harus dilakukan secara terbuka,
merata, dan dikaitkan dengan prestasi kerja. Cara tersebut dapat merangsang
pegawai untuk bekerja lebih keras dalam meningkatkan prestasinya. Untuk
memotivasi karyawan secara efektif, insentif hendaknya berkaitan dengan pola
perilaku tertentu, seperti prestasi yang lebih baik, diterima langsung sesudah
perilaku ditampilkan, dan menghargai karyawan untuk penampilan perilaku yang
diinginkan sehingga tetap konsisten.
Ada dua jenis insentif yaitu insentif intrinsik dan insentif ekstrinsik.
Insentif intrinsik adalah pemberian tanggung jawab dan tantangan lebih besar dari
pimpinan, sedangkan insentif ekstrinsik contohnya adalah gaji, promosi, tunjangan
atau penghargaan pribadi yang berbentuk pengakuan dari pimpinan, pujian, atau
190
pengakuan eksistensi dari lingkungan kerja.
Pemberian insentif kepada setiap pegawai dilakukan kepada pegawai yang
mempunyai prestasi dan kinerja yang baik dalam melakukan pekerjaannya.
Semakin baik prestasi seseorang berarti semakin tinggi pula insentif yang
diperolehnya.
Peningkatan prestasi kerja oleh seorang aparat birokrasi dilakukan karena
berbagai alasan, seperti untuk peningkatan penghasilan, memperoleh penghargaan
dari pimpinan, kepuasan pribadi, promosi jabatan, kewajiban terhadap tugas,
pelayanan dan pengabdian pada masyarakat.
Kinerja aparat sebagai implementor kebijakan di bidang administrasi
kependudukan akan meningkat dan berdaya guna dalam mencapai efektivitas
implementasi kebijakan publik dapat dijalankan dengan metode pusnihment and
rewardness. Seorang aparat akan menjalankan tugas dan kerjanya apabila ia
dihargai. Salah satu bentuk penghargaannya atas kinerjanya dilakukan melalui
insentif.
Namun demikian, dari hasil wawancara dan pengamatan dismpulkan bahwa
baik buruknya insentif yang aparat pemerintahan peroleh berdasarkan atas apa yang
telah dilakukan bagi instansi akan mempengaruhi kinerja mereka. Namun, yang
masih sering menjadi masalah adalah penilaian prestasi kerja karyawan/petugas ini
masih mengacu pada kepentingan lembaga/ instansi dan belum didasarkan atas
tingkat kepuasan masyarakat. Dalam hal ini, karyawan dihadapkan pada dua
pilihan yang berlawanan. Pada satu sisi, apabila petugas melayani masyarakat
berdasarkan acuan petunjukpelaksanaan/ petunjuk teknis (juklak/juknis) yang ada
telah dianggap mempunyai kinerja yang bagus, meskipun sebetulnya juklak/juknis
yang ada atau menjadi acuan pelayanan tersebut, tidak sesuai lagi dengan
191
kepentingan masyarakat. Namun sebaliknya, apabila petugas mengacu pada
kepentingan masyarakat yang kadangkala dianggap bertentangan dengan
juklak/juknis dan peraturan yang ada, mereka dianggap gagal karena telah
menyimpang dari peraturan yang ada. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada
pemberian disinsentif kepada aparat pemerintah itu.
Taliziduhu Ndraha (1999 : 136) mengatakan insentif adalah perangsang
yang bersumber dari luar diri manusia. Pada dasarnya insentif adalah perangsang,
dimana perangsang atau insentif ini dapat dipandang sebagai alat untuk memenuhi
atau memuaskan kebutuhan. Sedangkan The Liang Gie (1968 : 126) menyebutkan
bahwa Insentif atau perangsang adalah pemberian tunjangan baik berupa uang
maupun faslitas kepada seeorang dengan tujuan agar dapat melakukan tugasnya
lebih baik dan giat. Pengertian insentif ini mencakup uang dan fasilitas, yang
diberikan kepada seseorang dengan maksud agar orang yang bersangkutan lebih
bersemangat dalam melakukan tugas-tugasnya.
Karena itu, sangat penting apabila aparat pemerintah sebagai implementor
kebijakan publik dalam hal ini kebijakan sistem administrasi kependudukan di
daerah mendapatkan insentif atas prestasi kerjanya dalam melayani masyarakat di
bidang pelayanan penerbitan kartu keluarga. Insentif dalam koneks ini diartikan
sebagai perangsang yang menjadikan sebab berlangsungnya kegiatan aparat dalam
menjalankan tugas pelayanan di bidang administasi kependudukan sebagaimana
yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah, memelihara kegiatan tersebut dan
mengarah langsung pada tujuan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain,
insentif ini sebagai ganjaran prestasi kerja aparat dalam mencapai efektivitas
implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan.
192
Pemberian insentif dapat menjadi pemacu kinerja karyawan, tetapi
tampaknya belum menerapkan sistem insentif bagi karyawan yang dinilai
berprestasi. Sistem insentif yang diberikan pada aparat sebatas gaji bulanan dan
tunjangan hari raya (THR) saja. Hal ini diungkapkan aparat pemberi pelayanan
kartu keluarga dan kartu penduduk.
Di instansi kami ada insentif untuk semua pegawai, namun tidak ada
penghargaan, padahal sebenarnya hal ini penting untuk meningkatkan prestasi kerja
karyawan, artinya ada semangat untuk selalu berusaha kerja dengan baik. Di sini
rasanya antara yang kerja bagus dengan yang biasa-biasa saja adalah sama. Apalagi
ditambah dengan adanya kebijakan barn yang dirasa tidak adil yaitu berkaitan
dengan tunjangan antara pimpinan dan karyawan terlalu berbeda jauh, padahal
karyawan lebih banyak menangani masalah-masalah.26
Peran ganjaran sangat penting dalam motivasi kerja. Adapun bentuk atau
wujud dari insentif itu dapat bermacam-macam, yang pada garis besarnya dapat
dibedakan dalam bentuk insentif material atau finansial dan insentif non material
atau non finansial. Plowman (Manullang, 1964 : 189) mempunyai dua elemen
pokok yaitu :
1.Keadaan pekerjaan yang memuaskan, yang meliputi tempat kerja, jam kerja, tugas dan teman-teman kerja;
2.Sikap pemimipin terhadap kegiatan-kegiatan masing-masing pegawai seperti jaminan pekerjaan, hubungan dengan atasan.
Memang disadari bahwa suatu organisasi tidak mungkin memenuhi semua
kebutuhan pegawai sebagaimana daftar insentif yang diuraikan diatas sehingga
tentu saja pemberian insentif juga disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan
organisasi.
26 Wawancara dengan Kabid Dafduk, tanggal 9 September 2009
193
Aparat pelaksana atau sebagai implementor menyadari bahwa insentif
sangat penting dalam memotivasi tugas dan kerja. Insentif yang diberikan kepada
seseorang itu mempunyai arti sehingga mampu mendorong orang yang
bersangkutan untuk bekerja lebih giat dapat dilihat pula dari persepsi mereka
terhadap insentif yang diberikan pada waktu dan tempat tertentu. 27
Dari beberapa pendapat dan uraian tentang insentif, penulis menggunakan
indikator-indikator berikut sebagai penjabaran lebih lanjut dari sub-variabel
insentif sebagai berikut :
1. Hadiah dalam bentuk uang dan fasilitas (bonus).2. Kenaikan gaji berkala.3. Jaminan fasilitas dari kondisi kerja yang baik.4. Suasana hubungan dengan atasan dan antar teman kerja.
Pemberian insentif dalam pekerjaan kepada aparat sangat erat kaitannya
dengan peningkatan motivasi kerja dalam mencapai tujuan organisasi
pemerintahan. Motivasi merupakan semangat pendorong yang memicu kinerja
aparat dalam menjalankan tugas atau menjalankan perannya sebagai implementor
satu kebijakan yang telah ditetapkan atasan sebagai policy maker. Itulah konsep
dari motivasi kerja.
Untuk mempermudah pemahaman motivasi kerja, Ernest J. McCormick
(1985:268) mengemukakan bahwa “Work motivation is defined as conditions
which influence the arousal, direction, and maintenance of behavours relevant in
work setiings”. (Motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh
membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perlakuan yang berhubungan
dengan lingkungan kerja).
Motivasi kerja adalah suatu dorongan yang menyebabkan orang mau
bekerja keras karena ia mempunyai kebutuhan besar akan persaingan dan
27 Wawancara dengan Kabid Dafduk, tanggal 9 September 2009
194
memenuhi tantangan itu”. Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan
semangat atau dorongan kerja kuat dan lemahnya motivasi kerja seseorang tenaga
kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasinya.
Pendapat-pendapat tersebut, menunjukkan bahwa seseorang yang
melakukan aktivitas tertentu, sebenarnya digerakkan atau didorong oleh sesuatu
motif dan kepentingan yang bersumber dari adanya kebutuhan, keinginan yang
harus dipenuhi. Dalam konteks implementasi kebijakan publik, motivasi kerja perlu
diperhatikan agar tujuan yang telah digariskan dan tetapkan dalam organisasi dapat
tercapai. Walaupun formulasi kebijakan cemerlang dengan didukung landasan
teori, konsep yang akurat tetapi bila dalam implementasi, implementor yang
menjalankannya tidak memiliki motivasi kerja yang tinggi, maka efektivitas
kebijakan tersebut akan mengalami apa yang disebut not implementation and
unsuccesfull.
Dalam proses implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan,
para penentu kebijakan, perlu memperhatikan prinsip-prinsip dalam motivasi kerja
pegawai sebagai implementor kebijakan sistem administrasi kependudukan.
Terdapat beberapa perinsip dalam memotivasi kerja pegawai.
1. Prinsip Partisipasi. Dalam upaya memotivasi kerja, pegawai perlu
diberikan kesempatan ikut berpartisipasi dalam menentukan tujuan
yang akan dicapai oleh pimpinan.
2. Prinsip Komunikasi. Pimpinan mengkomunikasikan segala sesuatu
yang berhubungan dengan pencapaian tugas, dengan informasi yang
jalas, pegawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.
195
3. Prinsip mengakui andil bawahan. Pemimpin mengakui bahwa bawahan
(pegawai) mempunyai andil di dalam usaha pencapaian tujuan. Dengan
pengakuan tersebut, pegawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.
4. Prinsip pendelegasian wewenang. Pemimipn yang memberikan otoritas
atau wewenang kepada pegawai bawahan untuk sewaktu-waktu dapat
mengambil keputusan terhadap pekerjaan yang dilakukannya, akan
membuat pegawai yang bersangkutan menjadi termotivasi untuk
mencapai tujuan yang diharapkan oleh pimpinan.
5. Prinsip memberi perhatian. Pemimpin memberikan perhatian terhadap
apa yang diinginkan pegawai bawahan, akan memotivasi pegawai
bekerja apa yang diharapkan oleh pimpinan.
Bertolak dari pendapat-pendapat tersebut di atas, maka yang dimaksudkan
dengan motivasi kerja adalah fungsi dari motif, pengharapan, insetif dan nilai yang
dapat menimbulkan suatu kekuatan berupa dorongan kerja bagi seseorang sehingga
tujuan organisasi dapat tercapai secara lebih efektif.
Dari hasil observasi di lapangan, penghargaan yang diberikan kepada
pegawai lebih berdasarkan pada loyalitasnya terhadap organisasi tempatnya
bekerja, bukan atas dasar prestasi kerja seseorang, padahal menurut konsep
dasarnya, sistem insentif harus dapat memberikan manfaat secara total atau
menyeluruh kepada setiap karyawan tanpa membedakan status, pangkat, golongan,
umur, atau masa kerja guna menunjang persaingan yang kompetitif seluruh anggota
organisasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
4.3.4. Akuntabilitas Pemerintah
Perilaku aparat yang betanggung jawab, merupakan satu bentuk kesediaan
196
aparat untuk menyatakan segala tindakan aparat kepada publik secara terbuka.
Makna tanggung jawab sering diartikan dengan makna akuntabiltas. Dalam
konteks pelayanan publik, akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan
seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-
nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh para
stakeholders.
Nilai dan norma pelayanan yang berkembang dalam masyarakat tersebut di
antaranya meliputi transparansi dalam pelayanan, keadilan, kepastian, ketepatan
waktu, jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia dan orinetasi pelayanan
yang dikembangkan bagi masyarakat pengguna jasa.
Salah satu kewajiban dan tanggung jawa pemerintah dalam pemberian
pelayanan adalah upaya perwujudan dan pencapaian kualitas pelayanan publik.
Aparat pemerintah sebagai aktor pelayanan bagi masyarakat mempunyai tanggung
jawab dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pemerintah daerah mempunyai
tanggung jawab dalam upaya memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat
penerima jasa pelayanan. Pelayanan yang dijalankan tidak hanya titipan aturan
yang ada. Artinya pelayanan yang dijalankan bukan hanya aturan dan ketentuan
yang digariskan atasan. Tanggung jawab bukan dalam konteks melaporkan hasil
kerja yang telah digariskan dalam aturan kepada atasan. Yang menjadi tanggung
jawab adalah bagaimana pelayanan kepada masyarakat dijalankan sepenuhnya
demi pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Pemerintahan yang bertanggung jawab berarti adanya pola, bentuk dan
mekanisme pertanggungjawaban tertentu dari pemerintah kepada rakyat sebagai
pemilik negara, pemegang kekuasaan negara, yang terjadi dalam suatu hubungan
197
pemerintahan, hubungan antara yang diperintah dengan yang memerintah (Rosen,
1998).
Makna pertanggungjawaban yang demikian, hanyalah salah satu dimensi
dari konsep pertanggungjawaban, yakni dari dimensi accountability. Dimensi
pertanggungjawaban ini hanya menyoroti keharusan bagi aparat yang diserahi
tugas untuk melaporkan kembali apa yang telah ditugaskan sesuai dengan apa yang
tertulis. Di luar yang tertulis tidak dijadikan materi pertanggungjawabannya. Hal
itu berarti, melalui accountability, pemerintah harus mempertanggung-jawabkan
perintah dan wewenangnya kepada pemberi perintah dan sumber wewenang.
Perilaku aparat yang bertanggung jawab pada prinsipnya menjawab dua
aspek utama dari responsible government, yang lebih menunjukkan hakikat dari isi
tanggung jawab kepada masyarakat. Hakikat responsible government yang oleh
Spiro (1969: 20), sebutkan yaitu makna obligation dan makna cause. Melalui
obligation, pemerintah berkewajiban mempertanggungjawabkan segala hal yang
berhubungan dengan pelaksanaan tugasnya, baik yang akan dilakukan maupun
yang sudah dilakukan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik diminta
maupun tidak diminta kepada seluruh masyarakat.
Anggota LSM menilai, sejauh ini, model pertanggungjawaban sebagai satu
kewajiban jarang dipraktikan oleh aparat pemerintahan di semua instansi
pemerintahan. Dalam kaitan dengan pelayanan kepada masayrakat, misalnya
pelayanan kartu keluarga dan kartu penduduk, seharusnya makna tanggung jawab
sebagai kewajiban, harus lebih diperhatikan. Karena tanggung jawab yang
dilakukan bukan hanya sekedar melaporkan hasil administrasi belaka. Makna
tanggung jawab pelayanan kartu keluarga lebih mengarah pada tanggung jawab
198
pribadi atas tugas pelayanan. Oleh karena itu beban tanggung jawab lebih kepada
tanggung jawab moral. Aparat yang menjalankan tugas pelayanan tidak bisa
melaksanakan tugasnya hanya untuk menjawab tuntutan administrasi belaka
kepada atasan.28
Inti dari pemerintahan yang bertanggungjawab adalah bagaimana membuat
pemerintah tunduk kepada rakyat atau “yang diperintah”. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari suatu pemerintahan yang didasarkan atas prinsip-prinsip
demokrasi, yaitu: popular sovereingty. Hal ini berarti bahwa pertama tanggung
jawab akhir keputusan pemerintahan harus bermuara kepada kepentingan publik
(Saefullah, 2002: 8). Kedua, setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai
kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan.
Ndraha (2000c: 105) menjelaskan dasar kelahiran pemerintahan yang
bertanggung jawab sebagai berikut:
Pemenuhan janji tidak akan kunjung terjadi jika tidak ada kekuatan yang mendorong pemerintah untuk memenuhi janjinya kepada dirinya sendiri ketika ia membuat pilihan bebas: bersedia menjadi pemerintah dengan segala konsekwensinya dan untuk memenuhi janjinya kepada Allah dan manusia ketika disumpah. Kekuatan pendorong itu adalah rasa tanggung jawab (responsibility as cause). Rasa tanggung jawab ini tidak berkaitan dengan insentif baik punishment atau reward, juga tidak karena pengaruh orang lain tetapi semata-mata digerakkan oleh sistem nilai tanggung jawab yang tertanam di dalam jiwanya: janji.
Ndraha, (2000b: 105-108) selanjutnya mengelaborasi pemikiran Spiro
(1969) tentang makna pemerintahan yang bertanggung jawab dari perspektif ilmu
pemerintahan atas tiga dimensi yakni Accountability, Obligation dan Cause,
sebagai berikut:
28 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009
199
1. Accountability yang meliputi perhitungan, laporan pelaksanaan tugas yang disampaikan kepada atasan atau pemberi tugas, oleh bawahan atau yang diberi kuasa dalam batas-batas kekuasaan (tugas) yang diterimanya.
2. Obligation yaitu tanggung jawab seorang pejabat pemerintahan dihubungkan dengan kedudukannya sebagai warga negara. Dalam hubungan ini ada tiga aspek obligation yakni:a.Noblesse oblige yakni the moral obligation of the rich or highborn to
display honorable or charitable conduct. Artinya pemerintah wajib menjunjung tinggi kehormatan dan nama baik di dalam masyarakat.
b.Wajib membedakan mana jabatan dan mana pribadi dan tidak boleh mencampuradukkan keduanya. Seorang pejabat publik tidak boleh memegang jabatan privat apapun dalam masyarakat.
c.Wajib menanggung segala akibat atau resiko jabatannya sebagai pemerintah.
3. Responsibility sebagai Cause yakni faktor yang mengge-rakkan seseorang pejabat untuk bertindak atau mengambil keputusan berdasarkan kehendak bebas. Sekali seseorang menjatuhkan pilihan dan memegangnya sebagai pendirian ia wajib menanggung segala konsekwensinya.
Penjelasan tanggung jawab dalam makna accountability itu bersumber dari
perintah dan wewenang, sedangkan obligation berasal dari adanya perintah, janji
dan posisi atau kedudukan sedangkan cause didasarkan atas keputusan batin untuk
bertindak secara free choice. Secara skematis, hubungan antar jenis tanggung jawab
dan sumbernya dilukiskan Ndraha (2001: 109) sebagai berikut:
Gambar 13: Teori Tanggung Jawab
Sumber: Direduksi dari Gambar VI-2, Ndraha, 2001: 109.
Dari berbagai jenis tanggung jawab di atas, semuanya menunjukkan bahwa
pihak yang menyelenggarakan tugas dan fungsi tertentu berdasarkan sumber
kewenangan dan kekuasaan tertentu wajib mempertanggungjawabkannya kepada
200
pemilik kekuasaan atau pemberi mandat. Dengan demikian, ruang lingkup isi dan
batas pertanggungjawaban birokrasi pemerintahan baik badan eksekutif maupun
badan legislatif meliputi (Ndraha, 1997: 70):
Penggunaan wewenang yang diterima dari sumbernya, sumpah jabatan (janji kepada Allah dan manusia), janji kepada rakyat melalui pidato, program kerja, ucapan dan tindakan, komitmen pribadi atas pilihan menerima jabatan pemerintahan; tindakan atas inisiatif dan prakarsa sendiri (free will/free choice), tindakan pribadi (oknum) dan warisan pejabat pendahulunya.
Pemerintahan atas dasar ‘popular sovereignty’ mengandung makna
hubungan antara pemerintah dan yang diperintah. Pemerintah diberikan
kewenangan oleh yang diperintah untuk memerintah dan membuat keputusan atau
kebijakan yang sesuai dengan kepentingan yang diperintah. Selanjutnya, yang
diperintah (the governed) memberikan kepada pemerintah hak dan kewenangan
untuk membuat keputusan, terlibat dalam kesepakatan, dan umumnya bertindak
atas nama kepentingan rakyat sebagai pemilik negara. Dengan demikian, semua
pejabat publik mempunyai tanggung jawab moral terhadap yang diperintah.
Dengan demikian, yang dilakukan dan yang dipertanggungjawabkan
lembaga pemerintah adalah implementasi dari berbagai fungsi pelayanan publik
sesuai dengan batasan kekuasaan masing-masing. Dalam implementasi kebijakan
sistem administrasi kependudukan, pemerintah sebagai pembuat dan penentu
kebijakan, aparat sebagai implementornya juga harus mempertanggungjawabkan
kepada masyarakat akan apa keberhasilan terutama kegagalan (unsuccesfull) dari
kinerja aparat pemerintah akan menerjemahkan kebijakan sistem administrasi
kependudukan melalui pelayanan di bidang penerbitan kartu keluarga. Hal tersebut
sesuai dengan pandangan Riesellbach (dalam Napitupulu, 2004) berpendapat
201
bahwa ruang lingkup materi yang dipertanggung-jawabkan itu tidak hanya
keberhasilan, tetapi juga kegagalan. Dikemukakannya bahwa:
Pemerintah juga diberikan kewajiban untuk memberikan laporan pertanggungjawaban atau memberikan jawaban atas kegagalan atau keberhasilan dari kebijakan dan programnya. Dalam pengertian ini, tanggung jawab memerlukan kewajiban khusus (special obligations). Karena itu, tanggung jawab mengharuskan seorang pejabat publik atau lembaga politik untuk secara periodik memberikan laporan pertanggungjawaban kepada yang diperintah. Penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban tersebut dapat saja melegitimasi kedudukan seorang pejabat publik tetapi juga mengakibatkan dia kehilangan kedudukan.
Pemerintahan yang bertanggung jawab berarti adanya pola, bentuk dan
mekanisme pertanggungjawaban tertentu dari pemerintah kepada rakyat, yang
terjadi dalam suatu hubungan pemerintahan, hubungan antara yang diperintah
dengan yang memerintah Makna pertanggungjawaban yang demikian, hanyalah
salah satu dimensi dari konsep pertanggungjawaban, yakni dari dimensi
accountability. Dimensi pertanggungjawaban ini hanya menyoroti keharusan bagi
eksekutif atau pihak yang diserahi tugas untuk melaporkan kembali apa yang telah
ditugaskan sesuai dengan apa yang tertulis.
Selain makna accountability, pertanggungjawaban atau responsible
government masih lebih luas lagi yakni mencakup obligation dan makna cause
sebagaimana dikemukakan Spiro (1969:14-20). Melalui obligation, pemerintah
berkewajiban mempertanggungjawabkan segala hal yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugasnya, baik yang akan dilakukan maupun yang sudah dilakukan,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik diminta maupun tidak diminta
kepada seluruh masyarakat.
Berdasarkan pemikiran ini, bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah
terhadap output dari kebijakan yang telah dilaksanakan di bidang sistem
202
administrasi kependudukan melalui pelayanan publik / civil yakni pelayanan
penerbitan kartu keluarga dilihat dari segala sesuatu yang terjadi akibat
pelaksanaan perintah, pemenuhan janji dan peranan sesuai kedudukan dan
posisinya sebagai pengelola kekuasaan, harus dipertang-gungjawabkan.
Cause dimaknakan sebagai tanggung jawab pemerintah baik eksekutif
maupun legislatif kepada masyarakat atas segala akibat yang ditimbulkan oleh
keputusan batinnya yang bersifat free choice sehingga ia bertindak dan membawa
akibat tertentu kepada masyarakat dan lingkungannya. Jika terjadi sesuatu yang
meresahkan, mengorbankan, merugikan atau membawa kesengsaraan rakyat akibat
langsung dan tidak langsung kebijakannya yang diambil atas dasar free-choice,
maka pemerintah wajib mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Tanggung
jawab ini lebih bersifat etis-moral dari pemerintah terhadap rakyatnya.
Sejauh ini, mekanisme pertanggungjawaban pemerintahan kepada rakyat
seluruhnya belum diatur dan belum dipahami secara luas dengan benar.
Pertanggungjawaban pemerintah dimaknai secara sempit yaitu
pertanggungjawaban badan eksekutif terhadap badan legislatif sedangkan
mekanisme pertanggungjawaban badan legislatif terhadap rakyat tidak ada,
demikianpun halnya dengan pertanggungjawaban badan eksekutif dan yudikatif
terhadap rakyat juga belum ada.
Pihak LSM juga menyatakan bahwa yang bertanggungjawab kepada
masyarakat itu bukan hanya badan eksekutif dan birokrasinya, tetapi juga badan
legislatif, badan yudikatif. Dengan demikian semua lembaga pemerintahan dan
masyarakatnya harus bertanggungjawab baik kepada diri sendiri, kepada pemberi
203
mandat maupun kepada alam lingkungan sekitar. Khususnya kepada masyarakat
yang manjadi korban kebijakan pemerintah.29
Apa yang harus dipertanggungjawabkan pemerintah? Selama ini berbagai
kebijakan yang dijalankan pemerintah sepertinya tidak pernah menyentuh aspek
pertanggungjawabannya. Sehingga baik, buruk, sukses, gagalnya kebijakan dan
program pemerintah lepas begitu saja dari evaluasi. Yang harus
dipertangungjawabkan pemerintah terhadap kinerja aparat sebagai implementator
dalam menjalankan kebijakan pemerintah diberbagai bidang yang berkenaan
dengan kepentingan masyarakat, meliputi: berbagai produk kebijakan legislatif dan
eksekutif yang ternyata merugikan rakyat banyak, demikianpun melalui sikap dan
perilaku, tutur kata, ucapan, pidato, janji, sumpah jabatan dan komitmen diri aparat
legislatif dan eksekutif dalam melaksanakan tugasnya harus dipertanggung-
jawabkan kepada rakyat.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah, Kumorotomom (1996:
153-155) menilai pertanggungjawaban pemerintah sebagai pertanggungjawaban
administrasi yang dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, manajemen kehendak-
kehendak lembaga melalui mekanisme pertanggungjawaban yang membutuhkan
adanya sumber kontrol otoritatif. Unsur kedua, setiap sistem pertanggungjawaban
adalah derajat kontrol atas pilihan-pilihan lembaga. Derajat kontrol yang tinggi
mencerminkan kemampuan pengawas untuk menentukan jangkauan dan
kedalaman tindakan yang dapat diambil oleh suatu lembaga negara dan
aparaturnya.
Kaitan antara pengawas dan yang diawasi juga berbeda dengan yang
terdapat dalam sistem pertanggungjawaban birokratis. Di dalam sistem birokratis,
29 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009
204
kaitan tersebut bersifat hirarkis dan tergantung pada kemampuan atasan untuk
memberi hadiah atau hukuman kepada bawahannya. Sedangkan dalam
pertanggungjawaban legal keterkaitan yang terjadi adalah antara dua pihak yang
relatif otonom dan di sini melibatkan suatu kesepakatan formal di antara lembaga
publik dan pengawasannya yang legal.
Agar pemerintah dapat bertanggungjawab dalam tugas dan pelayanannya
serta bertanggungjawab atas semua kebijakan dan program kerjanya, maka
diperlukan Pertanggungjawaban yang profesional, seiring dengan semakin banyak
dan kompleksnya persoalan-persoalan tehnis dalam pemerintahan. Para pejabat
publik harus punya landasan keterampilan tertentu, punya pegawai-pegawai yang
ahli untuk melaksanakan solusi atas setiap permasalahan yang tepat.
Pertanggungjawaban profesional dicirikan oleh penempatan kontrol atas aktivitas-
aktivitas organisasional di tangan para pejabat yang punya kepakaran atau
keterampilan khusus dalam melaksanakan berbagai kebijakan dan program kerja
yang nyata dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, kunci
dari pertanggungjawaban profesional adalah diferensiasi keahlian di dalam
lembaga tersebut.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah, Kumorotomom (1996:
153-155) menilai pertanggungjawaban pemerintah sebagai pertanggungjawaban
administrasi yang dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, manajemen kehendak-
kehendak lembaga melalui mekanisme pertanggungjawaban yang membutuhkan
adanya sumber kontrol otoritatif. Unsur kedua, setiap sistem pertanggungjawaban
adalah derajat kontrol atas pilihan-pilihan lembaga. Derajat kontrol yang tinggi
mencerminkan kemampuan pengawas untuk menentukan jangkauan dan
205
kedalaman tindakan yang dapat diambil oleh suatu lembaga negara dan
aparaturnya.
Kumorotomo (1996: 153-155): selanjutnya menjelaskan tipe sistem
pertangungjawaban yang dapat diringkas sebagai berikut:
Pertanggungjawaban birokrasi (sel 1) adalah mekanisme yang secara luas
dipakai untuk mengelola kehendak-kehendak lembaga negara.
Pertanggungjawaban ini mengarah pada fungsi sistem pertanggungjawaban
birokratis melibatkan dua komponen utama: 1) kaitan yang terorganisasi dan absah
antara seorang atasan dan bawahan di mana keharusan untuk mengikuti “perintah”
tidak dipertanyakan lagi. 2) suatu pengawasan melekat atau suatu sistem
perwakilan dalam menentukan prosedur-prosedur baku dan aturan-aturan yang
berlaku.
Pertanggungjawaban legal (sel 2) pertanggung-jawaban legal berlandaskan
pada keterkaitan antara pengawasan pihak-pihak di luar lembaga dengan anggota-
anggota organisasi. Dalam istilah pembuatan kebijakan, pihak-pihak luar itu
merupakan “pembuat undang-undang” sedangkan administrator publik berperan
sebagai “pelaksana.”
Kaitan antara pengawas dan yang diawasi juga berbeda dengan yang
terdapat dalam sistem pertanggungjawaban birokratis. Di dalam sistem birokratis,
kaitan tersebut bersifat hirarkis dan tergantung pada kemampuan atasan untuk
memberi hadiah atau hukuman kepada bawahannya. Sedangkan dalam
pertanggungjawaban legal keterkaitan yang terjadi adalah antara dua pihak yang
relatif otonom dan di sini melibatkan suatu kesepakatan formal di antara lembaga
publik dan pengawasannya yang legal.
206
Pertanggungjawaban yang profesional (sel 3) semakin diperlukan seiring
dengan semakin banyak dan kompleksnya persoalan-persoaan tehnis dalam
pemerintahan. Para pejabat publik harus punya landasan keterampilan tertentu,
punya pegawai-pegawai yang ahli untuk melaksanakan solusi atas setiap
permasalahan yang tepat. Pertanggungjawaban profesional dicirikan oleh
penempatan kontrol atas aktivitas-aktivitas organisasional di tangan para pejabat
yang punya kepakaran atau keterampilan khusus dalam melaksanakan suatu
pekerjaan. Oleh sebab itu, kunci dari pertanggungjawaban profesional adalah
diferensiasi keahlian di dalam lembaga tersebut. Konflik sering muncul dari
kenyataan bahwa meskipun otoritas senantiasa dikendalikan secara internal oleh
lembaga, pranata-pranata profesional dari luar (melalui pendidikan dan standar
profesi) mungkin secara tak langsung mempengaruhi pembuatan keputusan para
pakar dalam lembaga pemerintah tersebut.
Pertanggungjawaban politis (sel 4) merupakan sistem pertanggungjawaban
yang sangat dibutuhkan bagi para administrator di negara demokratis. Jika
pengakuan terhadap kemampuan (deference) pakar merupakan karakteristik
pertanggungjawaban profesional, maka daya tanggap (responsiveness) terhadap
kepentingan publik merupakan karakteristik sistem pertanggungjawaban politis.
Kaitan pokok dalam sistem seperti ini menggambarkan bahwa antara seorang wakil
rakyat atau administrator publik dengan warga pemilih (mereka yang merupakan
muara pertanggungjawaban). Pertanyaan utama dalam pertanggungjawaban politis
adalah untuk siapa para administrator publik bertindak? Sedangkan warga pemilih
(constituency) yang mestinya diwakili, antara lain masyarakat umum, pejabat
terpilih, kepala lembaga, pelanggan lembaga tertentu, kelompok kepentingan
khusus dan generasi yang akan datang.
207
4.3.5. Distribusi Kewenangan
Kewenangan sentralistis yang selama ini dijalankan dalam mekanisme
kepemimpinan dan menjadi tolok ukur pengambilan kebijakan strategi khususnya
dalam pelayanan kepada masayrakat, harus ditinggalkan dan beralih pada
paradigma baru pengambilan dan penentu keputusan. Isi kewenangan seharusnya
bergeser kepada apa yang disebut oleh Dwiyanto dkk, (2002: 141) dengan
kewenanan diskresi.
Mengingat kultur kewenangan yang terikat pada sentralitas selama masa
Orde baru, maka diskresi kewenangan bisa menjadi salah satu pemecahan bagi
pemberdayaan aparat tingkat bawah, walau hal itu masih merupakan satu isu
krusial. Tetapi hal itu juga dapat memberikan pelayanan publik yang efisien,
responsif, dan akuntabel kepada publik. Kebijakan ini juga untuk menghindari
birokrasi pemerintah yang menempatkan diri sebagai regulator dan supervisor
publik, ketimbang sebagai aktor yang mampu memahami aspirasi dan kebutuhan
pelayanan yang diperlukan oleh publik. (Dwiyanto dkk., 2002: 142)
Berangkat dari sudut pandang tersebut di atas, maka perlu dirumuskan isi
kebijakan dalam sistem administrasi kependudukan yang lebih memberikan
keluasan wewenang kepada tingkat aparatur pemberi pelayanan seperti kartu
keluarga, kartu penduduk dan akte kelairan agar lebih memberdayakan aparatnya
untuk aktif dan partisipasi dalam melayani publik di bidang pelayanan kartu
keluarga, kartu penduduk dan akte kelairan secara lebih bertangung jawab.
208
Seorang aktivis LSM sebagai yang merepresentasi kelompok interest group
berpendapat bahwa untuk memberdayakan aparat di tingkat bawah yang langsung
berhadapan dengan masyarakat penerima layanan kartu keluarga, kartu penduduk
dan akte kelahiran sangat penting diterapkan diskresi kebijakan. Diskresi
kewenangan dinilai baik apabila aparat pemberi pelayanan kartu keluarga, kartu
penduduk atau akte kelahiran selalu berupaya mengatasi sendiri kesulitan melalui
cara-cara yang berorientasi pada upaya pemuasan kepentingan publik tindakan-
tindakannya meliputi mendiskusikan masalah mengatasi persoalan pelayanan
dengan rekan kerja, terlibat secara bersama dalam memutuskan suatu masalah
berdasarkan visi organisasi. Aparat dalam merespons kesulitan dalam menangani
persoalan pelayanan kartu keluarga, kartu penduduk atau akte kelahiran tidak
berorientasi pada petunjuk atasan.30
Sangat tepat apabila aparat pemberi pelayanan menjalankan pelayanan
sesuai prinsip oto aktivitas. Dari wawancara, pengamatan yang dilakukan, maka
ada input yang perlu dilakukan aparat, yaitu selain aparat dapat menigkatkan
kualitas diri melalui proses edukasi, tetapi aparat perlu didukung dengan
memberikan keleluasaan kepada aparat untuk mencari dan menemukan sendiri
masalah yang sedang dihadapi publik, serta aparat sendiri berupaya mencari solusi,
mencari jalan keluar untuk mengatasi sendiri secara partisipatif-organisasional. Itu
berarti kewenangan diskresi harus menjadi salah kontribusi bagi upaya peningkatan
kualitas pelayanan di bidang kartu keluarga, kartu penduduk dan akte kelahiran.
Secara konseptual kewenangan diskresi merupakan langkah yang ditempuh
oleh administrator untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu yang belum diatur
30 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009
209
dalam suatu regulasi. Dalam konteks tersebut, diskresi dapat berarti suatu
kelonggaran pelayanan yang diberikan administrator kepada tingkat bawahan.
Petimbangannya dalam konteks pelayanan sistem administrasi kependudukan,
dengan diterapkannya kewenangan diskresi aparat pemberi pelayanan dapat
menjalankan proses perumusan suatu kebijakan yang pada prinsipnya mampu
mengatasi dan menanggulangi masalah pelayanan. Aparat dengan cara demikian
merasa dipercaya untuk menggunakan kemampuan sendiri dalam melayani publik
bidang sistem administrasi kependudukan.
Weber, (dalam Giddens, 1985: 193) mengemukakan tiga jenis tipe ideal
wewenang, pertama wewenang tradisioanl, kedua,tipe wewenang karismatik dan
ketiga, tipe wewenang legal-rasional. Yang terakhir menjadi basis kewenangan
pemerintah. Artinya semuanya berjalan secara birokrtis-strukturalis. Oleh karena
itu, birokrasi pemerintahan berjalan secara formalistic-impersonality.
Ndraha (2003: 85) mengutip Chester, bahwa ujian mutlak bagi bangunan
birokrasi adalah “whether orders are accepted by those who receive them dan tidak
pada paradigma “hierarchical”, “top to bottom model of authority,”. Jadi
prinsipnya bukan pada bawahan harus mematuhi perintah atasan, tetapi apakah
bawahan bersedia menjalankan tugas yang diperintahkan kepadanya. Kesediaan itu
dibangun antar pihak bersangkutan.
Pendelegasian wewenang menjadi salah satu masalah yang dihadapi dalam
birokrasi pemerintahan. Aparatur umumnya hanya menunggu keputusan atasan
sebagai top eksekutif. Besarnya wewenang Dinas dalam membuat kebijakan dan
memformulasikan kebijakan, menjadikan aparat umumnya hanya menjadi alat
210
pelaksana kebijakan dan keputusan atasan. Tidak mengherankan bila kebanyakan
staf hanya menunggu dan pasif. Tidak ada upaya berupa inisiatif dan kreasi yang
datang dari pihak staf. Hal ini sudah menjadi budaya kerja birokrasi pemerintahan.
Sentralisasi kebijakan dan keputusan pada Dinas merupakan salah satu faktor tidak
berdayanya aparatur pemerintah yang berada di bawah Dinas untuk menjalankan
tugasnya secara efektif dan bertanggung jawab.
Anggota dewan menilai, bahwa berbicara tentang birokrasi pemerintahan,
kewenganan sifatnya mutlak pada atasan. Pemerintah dalam struktur dan sistemnya
selalu menempatkan kewenangan atau otoritas, atas dasar legal rasional. Legal
rasional ini yang menjadi dasar keberwewenangan birokrasi pemerintah.
Kewenangan sifatnya normatif, statis dan harus dilaksanakan. Konsekwensinya
bawahan harus menjalankannya. Wewenang untuk menentukan arah dan kebijakan
dalam kaitannya dengan pelayanan pendidikan hanya berada pada level tertinggi
pemerintahan yaitu pada dinas. Sedangkan pada level yang lebih rendah sifatnya
subordinat, hanya menjalankan perintah atasan yang tidak didasarkan pada
kesepakatan bersama. 31
Kuatnya kewenangan pada tingkat atasan, menimbulkan efek samping
berupa kuatnya tingkat ketergantungan level bawah kepada atasan. Lemahnya
keberadaan struktur pemerintah pada level bawah, nampak pada loyalitas
melaksanakan kebijakan tingkat atasan, dalam hal ini melaksanakan semua
keputusan yang telah digariskan tingkat Dinas.
Aparat kelurahan berpendapat bahwa berbicara tentang pelimpahan
kewenangan berarti kepercayaan yang diberikan kepada bawahan dalam struktur
31 Wawancara dengan Anggota LSM, tanggal 7 Oktober 2009
211
pemerintahan dari institusi yang satu untuk membuat policy formulation dan policy
implementasi dalam proses peneyelesaian suatu kebijakan public. Kewenangan di
Dinas sifatnya kewenangan yang terpusatkan, kewenangan hirarkis. Kewenangan
hanya ada di Dinas, dalam arti kewenangan dalam merumuskan public policy.
Dinas mempunyai kewenangan yang besar untuk menentukan kebijakan,
menentukan keputusan dan kebijakan. Jadi tidak ada istilah transfer kebijakan
kepada bawahan untuk mengambil inisistif apalagi untuk mengambil keputusan
dalam menjalankan tugas pelayanan yang berkaitan dengan urusan administrasi
kependudukan. 32
Tidak mengherankan bila aparatur pemerintahan hanya menjadi alat
pelaksana kebijakan dan program atasan. Singkatnya mereka hanya merupakan
subordinat atasan. Kalau demikian, kapan mereka bisa diberdayakan, dalam arti
ada pelimpahan wewenang dari atasan untuk menentukan arah kebijakan dalam
penanganan masalah yang berkaitan dengan kebijakan sistem administasi
kependudukan.
Dari pandangan di atas, birokratisasi pemerintahan pada dasarnya
mempraktekan sistem kewenangan secara ketat sebagaimana dikatakan Weber
(1986: 193) dalam teorinya mengenai otoritas hukum bahwa “mereka yang tunduk
pada otoritas, menuruti atasannya sesuai satu orde, dan sang paling atas itu
mengarahkan bawahan pada orde itu dalam bentuk keputusan dan perintah”. Jenis
kewenangan ini ditandai dengan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan staf secara
teratur, dan merupakan kedinasan-kedinasan, yang jelas batasnya. Bidang-bidang
wewenang para pejabat dibatasi dengan jelas dan tingkat-tingkat otoritas
digariskan batas-batasnya dengan jelas dalam bentuk hirarki kantor.
32 Wawancara dengan Wakil Ketua DPRD, tanggal 21 Agustus 2009
212
Apa yang diungkapkan oleh pihak penentu kebijakan, menggambarkan
struktur birokrasi pemerintahan sebagai sentrum penentu dan pengambil kebijakan.
Pihak bawahan tidak berdaya dalam berpikir, atau ikut menentukan kebijakan
strategis yang bisa dijalankan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan
sistem kebijakan administrasi kependudukan.
Isi kewenangan seharusnya bergeser kepada apa yang disebut oleh
Dwiyanto dkk, (2002: 141) dengan kewenanan diskresi. Mengingat kultur
kewenangan yang terikat pada sentralitas selama masa Orde baru, maka diskresi
kewenangan bisa menjadi salah satu pemecahan bagi pemberdayaan aparat tingkat
bawah, walau hal itu masih merupakan satu isu krusial. Tetapi hal itu juga dapat
memberikan pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel kepada
publik. Kebijakan ini juga untuk menghindari birokrasi pemerintah yang
menempatkan diri sebagai regulator dan supervisor publik, ketimbang sebagai
aktor yang mampu memahami aspirasi dan kebutuhan pelayanan yang diperlukan
oleh publik. (Dwiyanto dkk., 2002: 142)
Berangkat dari sudut pandang tersebut di atas, maka perlu dirumuskan isi
kebijakan dalam jajaran dinas kependudukan dan catatan sipil yang lebih
memberikan keluasan wewenang kepada tingkat aparat yang lebih teknis untuk
aktif dan partisipasi dalam melayani publik di bidang penerbitan kartu keluarga
secara lebih bertangung jawab.
Diskresi kewenangan dinilai baik apabila aparat selalu berupaya untuk
mencari dan menemukan sendiri masalah yang sedang dihadapi publik, serta aparat
sendiri berupaya mencari solusi, mencari jalan keluar untuk mengatasi sendiri
secara partisipatif-organisasional. Itu berarti kewenangan diskresi harus menjadi
salah satu kontribusi bagi upaya efektifnya implementasi kebijakan sistem
213
admnistrasi kependudukan kepada masyarakat khususnya dalam pelayanan kartu
keluarga.
Dikatakannya bahwa secara konseptual kewenangan diskresi merupakan
langkah yang ditempuh oleh administrator untuk menyelesaikan suatu kasus
tertentu yang belum diatur dalam suatu regulasi. Dalam konteks tersebut, diskresi
dapat berarti suatu kelonggaran yang diberikan administrator kepada tingkat
bawahan.
Pentingnya transfer kewenangan dalam menentukan langkah dan arah kerja
sangat tepat bagi pemberdayaan aparat. Hal tersebut penting, mengingat aparat di
tingkat bawah dapat berdaya jika kemampuan mereka diakui dan diekspresikan
dalam pelaksanaan tugasnya.
Dari data, pengamatan, dan analisis informan dapat ditarik benang merah
sebagai kontribusi bagi penyempurnaan kewenangan dalam merivisi kebijakan
sistem administrasi kependudukan. Pertama, harus dirombak sistem kewenangan
yang sifatnya regulator, yang berorientasi pada pencapaian target organisasi, tetapi
tidak menyentuh kepentingan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang
administrasi kependudukan. Diskresi kewenangan dinilai baik apabila aparat
sebagai impelementor kebijakan sistem administrasi kependudukan selalu berupaya
mengatasi sendiri kesulitan melalui cara-cara yang berorientasi pada upaya
pemuasan kepentingan publik. Kedua, penting dikembangkannya kewenangan
diskresi dalam implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan.
Kewenangan hendaknya lebih banyak diberikan aparat pemberi pelayanan
administrasi kependudukan untuk membuat kebijakan yang medukung kinerja
aparat secara efektif, efisien dan tepat guna. Ketiga, pelaksanaan tugas pelayanan
administrasi kependudukan sebagai kebijakan oleh aparat sebagai implementor
214
kebijakan tidak bertujuan mencapai target organisasi pemerinah semata, tetapi
diupayakan agar arah dan tujuan pelayanan lebih pada pemenuhan kebutuhan
publik di bidang pelayanan administrasi kependudukan seperti pelayanan
penerbitan kartu keluarga. Keempat, memberi kepercayaan kepada aparat di
lapangan untuk menjalankan tugas pelayanannya sesuai kemampuan dan
ketekunannya, demi terciptanya kinerja pelayanan yang bertanggung jawab.
Kelima, kewenangan harus lebih besar diberikan kepada aparat pelaksana untuk
menangani masalah administrasi kependudukan bidang penerbitan kartu keluarga
secara mandiri mulai dari proses merencanakan, mengevaluasi secara organisasi
dan melibatkan semua unsur untuk terlibat menangani masalah kependudukan.
4.4.6. Budaya Kerja
Referensi teoritik tentang budaya kerja sangat membantu untuk
menganalisis kinerja aparat dalam melaksanakan tugas dan pengabdian dalam
pelayanan kepada masyarakat. Budaya kerja aparat pemerintahan sering disorot
publik karena menyangkut komitmen, kesungguhan, dan pengabdian pada tugas.
Budaya kerja aparat tercermin melalui roses formulasi kebijakan yang akan
dijalankan secara tepat dan efektif oleh aparat sebagai implementor. Kebijakan
yang dijalankan sepenuhnya berorientasi pada pemenuhan dan kebutuhan
masyarakat. Dengan kata lain, isi kebijakan erat kaitannya dengan fungsi uatma
pelayanan yakni fungsi pelayanan. Pelayanan pemerintahan dilakukan untuk
memnuhi kebutuhan masyarakat bidang pelayanan publik dan pelayanan civil.
215
Pelayanan publik dan pelayanan civil akan efektif dan mengena sasaran
apabila pelayanan tersebut berkualitas. Budaya kerja aparat pemerintahan dapat
menjawab persoalan rintangan yang menghambat peningkatan kualitas pelayanan
baik di bidang publik maupun civil. Kualitas pelayanan akan maningkat apabila
aparat pemerintah mempertahankan budaya kerja secara konsisten. Konsistensi
budaya kerja dijalankan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Budi Paramita33 “mendefinisikan Budaya Kerja sebagai “sekelompok
pikiran dasar atau program mental yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan efisiensi kerja dan kerjasama manusia yang dimiliki oleh
suatu golongan masyarakat”.
Selanjutnya, Budi Paramita, membagi budaya kerja dapat menjadi :
1. Sikap terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain seperti bersantai, atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaannya sendiri atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya.
2. Perilaku pada waktu bekerja seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya, suka membantu sesama karyawan, atau sebaliknya.
Dalam kenyataannya, aparat pemerintah di dinas kependudkan dan
pencatatan sipil belum mampu menerapkan budaya kerja secara bertanggung jawab
dalam menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan. Implementasi kebijakan
sistem administrasi kependudukan belum dijalankan secara efektif dan efisien
dalam mencapai tujuannya, yakni pelayanan yang mampu memudahkan
masyarakat dalam mengakses penerbitan kartu keluarga, akte kelahiran, kartu tanda
33 Masalah Keserasian Budaya dan Manajemen di Indonesia”, dalam Majalah Manajemen dan Usahawan Indonesia edisi November-Desember 1986
216
penduduk. Untuk itu, perlu ditanamkan nilai dan semangat budaya kerja bagi setiap
aparat dalam menjalankan tugas dalam mencapai efektivitas dan efisiensi kerja.
Sesuai dengan pengalaman dalam memberi pelayanan, aparat pemerintah
juga mengungkapkan bahwa budaya kerja masih kurang diperhatikan. Kebanyakan
aparat bekerja sesuai dengan aturan yang ada. Jadi tidak merasa ada tanggung
jawab moral sebagai satu panggilan untuk bekerja sesuai panggilan bukan karena
ada aturan atau takut pada atasan.34
Masalah budaya kerja masih merupakan hal yang perlu diperhatikan serius,
sebagaimana diungkapkan aparat pemberi pelayanan sendiri. Budaya santai budaya
enak dan tidak mau bersusah menjadi kendala bagi budaya kerja aparat. Hal ini
yang dibenerkan oleh anggota dewan. Aparat pemerintah masih bekerja karena ada
aturan bukan kerena panggilan tugas sebagai pengabdi masyarakat. Aparat
kebanyakan bekerja lebih banyak mencari santai, mental enak dan tidak ada jiwa
berkorban. Lebih banyak bekerja karena memang harus bekerja. Tidak bekerja
jangan sampai diketahui atasan dan bisa ada sangsi. Jadi budaya kerja yang
mengedepankan tanggung jawab, kesadaran dan pelayanan masih jauh dari aparat.35
Dari pengamatan di lapangan, jelas bahwa aparat pemberi pelayanan masih
banyak santai. Kurang displin waktu dalam bekerja. Pekerjaan banyak yang tdak
diselesaikan secara tuntas. Satu hal yang paling mendapat catatan adalah soal
tanggung jawab. Aparat kurang bertangung jawab pada tugas pelayanan. Sering
melemparkan kesalahan pada rekan atau malah kepada masayrakat penerima
layanan.
34 Wawancara dengan Kabid Dafduk, tanggal 9 September 200935 Wawancara dengan Mantan Anggota DPRD, tanggal 5 september 2009
217
Sikap dan perilaku kerja tersebut atau lebih luas lagi, budaya kerja,
terbentuk di dalam masyarakat umum dan atau di dalam organisasi atau
perusahaan. Sudah barang tentu watak di dalam organisasi atau perusahaan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Sudah barang tentu watak dan warna Budaya
Kerja sedikit-banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat dan budaya
organisasi yang bersangkutan.
Untuk menunjang budaya kerja maka yang perlu diperhatikan dalam
organisasi termasuk organisasi pemerintahan adalah aspek etos kerja, sikap
terhadap bekerja dan perilaku pada waktu bekerja.
Ada hubungan saling mempengaruhi antara kondisi sosial-ekonomi dengan
etos kerja suatu masyarakat. Ethos kerja sangat dibutuhakan dalam era kompetisi
global melalui pasar bebas. Untuk itu dibutuhkan disiplin dalam bekerja. Disiplin
sangat mendukung ethos kerja. Berkaitan dengan itu, Suradinata (197:128)
berpendapat bahwa disiplin kerja merupakan sikap untuk berbuat sesuatu secara
sadar, taat dan tertib sebagai hasil pengembangan dari latihan, pengendalian watak,
pikiran dan pengendalian lingkungan. Ethos kerja merupakan nilai yang harus
diaktualisasikan. Bentuk aktualisasi nilai tersebut diwujudkan dalam vehicle.
Vehicle yang dapat digunakan untuk membentuk dan mengaktualisasikan nilai
tersebut adalah, basic assumption dan basic belief tentang kerja, sikap terhadap
kerja, perilaku pada saat bekerja, cara dan alat yang digunakan untuk bekerja.
Dengan menggunakan formula budaya, maka budaya kerja (BK) dapat dirumuskan
demikian :
BK = NK X VK
BK Budaya Kerja
NK Nilai Kerja
VK Vehicle Kerja
218
Sedangkan sikap terhadap nilai kerja bisa berubah, diubah atau dibaharui.
Mengingat sikap berada di dalam ruang kognitif, maka sikap terhadap pekerjaan
dipengaruhi oleh dan karena itu dapat diubah melalui: informasi dan pengetahuan
tentang kerja, kesadaran akan kepentingan tertentu.
Faktor yang pertama biasanya berpengaruh terhadap faktor yang kedua.
Informasi dan pengetahuan tentang kerja memperbesar volume ruang kognitif
manusia, dan pada gilirannya hal ini memperluas alternatif dan kesempatan kerja.
Selanjutnya jika kepentingan berubah, sikap terhadap kerja juga berubah. Dimasa
jaya orang memilih-milih pekerjaan, tetapi di masa krisis orang melakukan apa saja
untuk bisa bertahan hidup. Sikap juga bisa berubah dari positif (menerima), ragu-
ragu sampai negatif (menolak) terhadap kerja, dan sebaliknya. Dalam hubungan
itu, sikap bisa datang dari dalam (pendirian) dan bisa oleh tekanan dari luar.
Dari sikap terhadap pekerjaan, lahir perilaku di saat bekerja. Misalnya dari
pendirian bahwa kerja adalah ibadah, lahir sikap antusias (bersemangat) terhadap
pekerjaan. Konsep antusias datang dari bahasa Inggris enthusiastic, berakar dari
bahasa Gerika eunthousiasmos (prossession by a good) : en (di dalam) dan theos
(Tuhan), tambah ism. Orang yang bekerja antusias bekerja dengan penuh semangat.
Dari sikap bersemangat muncul perilaku seperti rajin, tidak cepat lelah, sungguh-
sungguh, tabah dan sebangsanya.
Perilaku terbentuk antara lain oleh insentif : reward atau penalty. Tetapi
bisa dan semakin mungkin terjadi, perilaku seperti “senyum” ketika bekerja tidak
bersumber dari sikap positif tetapi dari sikap negatif disertai dendam, kebencian
219
atau sarkasme. Sikap negatif atau penipuan disembunyikan di balik muka yang
terlihat senyum manis.
Ndraha (1999:87) berpendapat, sikap sulit diamati karena bentuknya
kecenderungan atau pukul rata. Perilaku dapat diamati atau diukur, karena perilaku
terlihat melalui kenampakannya, baik melalui gerak, bahasa, maupun alat, sarana
yang digunakan sebagai tujuan atau sebagai sumber daya. Kenampakan kerja dapat
dilihat dari perwujudan hasil karya yang menyata melalui benda, barang, sarana,
alat serta lingkungan kerja.
Perilaku dapat direkam atau dibentuk (dikonstruksikan). Rekaman atau
tiruan rupa disebut raga. Demikian manusia menggunakan sejumlah besar uang
untuk mendirikan monumen patung, membuat gambar dan lambang, serta
mengembangkan sistem informasi sebagai rekaman atau tiruan perilaku sejarah
manusia.
Dalam bekerja, manusia membangun lingkungan kerja yang nyaman
menggunakan alat (teknologi) agar ia bekerja efektif, efesien dan produktif.
Lingkungan kerja dalam arti fisik dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ergonomik.
Ergonomic adalah studi tentang hubungan bioteknikal antara sifat-sifat fisik
manusia dengan tuntutan fisik pekerjaan. Sasaran studi ini adalah pengurangan
ketegangan fisik dan mental guna meningkatkan produktivitas dan memperbaiki
quality of work life. Para ahli Jerman memberikan sumbangan besar dalam
mengurangi ketegangan fisik dan mental kegiatan mengangkat, membengkokkan,
dan menggapai sasaran kegiatan melalui pendekatan ergonomik dalam merekayasa
pekerjaan, merancang perlengkapan, dan memperbaiki tata cahaya.
220
Perilaku menentukan cara bagaimana seseorang menggunakan alat
kerjanya. Seorang yang berprilaku teliti dan hati-hati menggunakan alat yang tepat
dengan cara yang benar ketika bekerja. Alat yang bagus di tangan pegawai yang
sembrono, membuat alat tersebut cepat rusak. Sikap sulit diamati karena bentuknya
kecenderungan atau pukulrata. Perilaku dapat diamati atau diukur, karena perilaku
terlihat melalui kenampakan (peragaan) nya yang ajeg dan terdapat di mana-mana,
baik melalui gerak, tanda-tanda, sistem Budaya Organisasi, bahasa (bahasa isyarat,
bahasa tutur, bahasa tulis, bahasa tubuh, dan ucapan mulut), serta melalui alat,
sarana (teknologi) yang digunakan di dalam lingkungan kerja (setting) tertentu.
Perilaku dapat direkam atau bentuk bahkan direkayasa. Rekaman atau tiruan rupa
disebut raga. Demikian manusia menggunakan sejumlah besar uang untuk
mendirikan monumen, patung, gambar, diaroma, museum, serta mengembangkan
sistem informasi sebagai rekaman alat atau tiruan perilaku manusia dalam wujud
raga.
Tetapi sebagian budaya kerja berbentuk raga, walaupun mudah diamati dan
terlihat setiap saat, indah dipandang, bahkan berdiri berabad-abad lamanya, cepat
kehilangan nilainya, lebih-lebih jika tidak dirawat, jarang dikunjungi orang, atau
dianggap peninggalan penguasa yang dahulu di puja-puja disembah bagaikan
dewa, namun sekarang dicerca bagaikan tiram durjana dan zamannya zaman
durhaka. Hal ini terjadi karena ada yang tidak beres sejak dari sumbernya. Sebagai
contoh, patung Lenin. Ketidak beresan itu terjadi karena inkonsistensi antara
pendirian dengan sikap, sikap dengan perilaku, dan perilaku dengan rasa. Jadi,
budaya kerja masih merupakan masalah yang harus dihadapi aparat dalam
meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat.
221
Aparat pemerintah di dinas kependudukan dan pencatatan sipil belum
mampu menerapkan budaya kerja secara bertanggung jawab dalam menjalankan
kebijakan yang telah ditetapkan. Kinerja pelayanan belum dijalankan secara efektif
dan efisien dalam mencapai tujuannya, yakni pelayanan yang mampu memudahkan
masyarakat dalam mengakses penerbitan kartu keluarga, akte kelahiran, kartu tanda
penduduk.
Budaya kerja masih kurang diperhatikan. Kebanyakan aparat bekerja sesuai
dengan aturan yang ada. Aparat tidak memiliki tanggung jawab moral sebagai satu
panggilan untuk bekerja sesuai panggilan dan bukan karena ada aturan semata atau
faktor ketegantungan pada atasan.
Budaya santai, budaya enak dan tidak mau bersusah menjadi kendala bagi
budaya kerja aparat. Aparat pemerintah masih bekerja karena ada aturan bukan
kerena panggilan tugas sebagai pengabdi masayrakat. Aparat lebih banyak bekerja
karena memang harus bekerja. Jadi budaya kerja yang mengedepankan tanggung
jawab, kesadaran dan pelayanan masih jauh dari aparat.
4.4. Interpretasi dan Temuan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat dirumuskan
beberapa pokok temuan yang erat terkait dengan jawaban empiris terhadap
pertanyaan penelitian.
Faktor yang Menyebabkan Belum Lancarnya Implementasi Kebijakan
Sistem Administrasi Kependudukan dalam Penerbitan Kartu Keluarga adalah
faktor komunikasi, faktor sumber daya, faktor disposisi dan faktor struktur
birokrasi. Pertama, faktor komunikasi. Dalam komunikasi pemerintahan terdapat
unsur komunikator, komunikan dan sarana yang mengkomuniksikan pesan
222
pemerintahan antara pemerintah dan masyarakat. Komunikator adalah aparat
pemerintah pemberi pelayanan kartu keluarga. Komunikan adalah masyarakat
pemberi pelayanan. Komunikasi yang dimaksudkan adalah bagaimana peran
pemerintah sebagai komunikator menyampaiakan pesan, informasi yang berkaitan
dengan kebijakan pemerintah di bidang pelayanan kartu keluarga sebagai
penertiban administrasi kependudukan.
Hal ini dilakukan melalui upaya sosialisasi dan identifikasi. Namun dalam
kenyataannya implementasi kebijakan sistem administrasi kependudukan
pelayanan kartu keluarga belum mampu mencapai tujuan pelayanan yakni
memudahkan pelayanan, mempercepat proses pelayanan karena, aparat pemberi
pelayanan gagal mensosialisasikan program, kebijakan administrasi kependudukan
kepada masyarakat.
Kedua, sumber daya dimaksudkan sebagai how to mobilize, allocate, and
combine the action that one technically needed to achieve development objectives”
(mengerahkan, menyediakan dan menyatukan berbagai tindakan yang secara teknis
dibutuhkan guna mencapai tujan pembangunan). Sumber Daya apapun bentuknya
terutama sumber daya manusia diarahkan untuk menciptakan bukan saja nilai
komparatif, tetapi juga nilai-nilai kompetitif-generatif-inovatif dengan
menggunakan energi tertinggi seperti intellegence, creativity dan imagination;
tidak lagi semata-mata menggunakan energi kasar.
Hal ini juga menjadi faktor belum diimplementasikan sistem administrasi
kependudukan secara efektif. Sumber daya aparat belum memadai dalam
menerjemahkan dan mengaplikasikan isi kebijakan sistem administrasi
kependudukan. Dari penempatan staf (stafing), banyak yang tidak kompeten
dengan bidangnya. Ketermapilan manajerial dan ketrampilan khusus dalam
223
melayani masyarakat bidang kartu keluarga kurang dikuasai. Jadi, penempatan
aparat di bidang administrasi kependudukan yang menangani masalah kartu
keluarga tidak sesuai dengan kompeten dan keterampilan teknis, managerial dan
adminitrasi. Selain aparat yang kurang kompeten di bidangnya, masalah fasilitas
juga menjadi kendala dalam melayani masyarakat di bidang pelayanan kartu
keluarga. Sarana perkantoran sangat tidak memadai. Modernitas sarana perkantoran
untuk menyimpan data, file masyarakat penerima pelayanan sangat penting.
Bagaimana jika sistem komputerisasi belum setle dan berfungsi. Jadi, terjadi
persoalan antara kualitas sumber daya aparat dan penggunaan sumber daya buatan
seperti sistem komputerisasi yang menunjang keberhasilan implementasi kebijakan
sistem administrasi kependudukan.
Ketiga, faktor disposisi. Faktor ini menjadi salah satu faktor tidak
efektifnya implelemntasi kebijakan sistem administrasi kependudukan yang
menangani pelayanan kartu keluarga. Pemerintah daerah beserta organnya
memiliki kewenangan penuh dalam mengurus dan mengatur daerahnya sesuai
prinsip otonomi daerah. Otonomi daerah telah menjadikan pemerintah lokal
bertindak dan menentukan kebijakan sisuai konteks pesoalan dan penyelesaian
pesoalan berdasarkan kebutuhan dan tuntutan lokal setempat. Namun demikian,
masalah muncul ketika pemerintah lokal bertindak tanpa ada rambu-rambu ang
jelas dan pasti. Sebuah kebijakan yang dibuat, hanyalah kebijakan yang sulit
diimplementasikan karena kebijakan tersebut di buat oleh top eksekutif, tanpa
mendasari persoalan, kebutuhan, dan tutuntan masyarakat lokal dan kesulitan yang
dihadapi aparat pelaksana. Sehingga kebijakan tersebut sering terperosok dalam
unsuccesful implelemntation. Hal tersebut juga terjadi dalam konteks kebijakan
administrasi kependudukan. Pihak pembuat kebijakan dengan kewenangannnya
224
menjadikan segala keputusan dan kebijakan menjadi sentralis. Dengan kewenangan
yang sentralistik, atasa dapat membuat kebijakan sesuai keinginannya bukan
berdasarkan fakta dan kebutuhan di lapangan. Sehingga pelayanan kartu keluarga
menjadi persoalan bagi masayrakat penerima layanan.
Hal ini terjadi karena adanya gap antara formulasi isi kebijakan dengan isi
kebijakan yang akan diimpelementasikan. Terjadi kesenjangan antara pihak yang
merumuskan kebijakan di satu pihak, yang kurang menyentuh relaitas masyarakat
serta persoalannya dengan pihak aparat pelaksana kebijakan. Isi kebijakan yang
diformulasikan sering bertentangan dengan persoalan yang dihadapi aparat pemberi
pelayanan. Sehingga, sering dijumpai ketidakcocokan soal pelayanan. Demi
kebijakan, aparat pelaksana berdalih kepada masyarakat, ini sudah menjadi aturan
dan keputusan atasan.
Secara konseptual, masalah ini terjadi karena tidak ada komunikasi yang
tepat antara atasan dan bawahan. Bawahan tetap bawahan yang bertugas untuk
menjalankan kebijakan yang telah diputuskan. Konsekwensi logisnya, dalam
proses sosialisasi kebijakan kepada masyarakat terjadi miskomunikasi antara aparat
pemberi pelayanan dengan masyarakat penerima layanan. Semua ini erat kaitannya
dengan persoalan strukturisasi dalam birokrasi pemerintahan, yang menempatkan
status pejabat yang mengepalai dinas sebagai atasan dan aparat pelaksana atau
pemberi layanan sebagai subordinasi.
Keempat, Faktor struktur birokrasi. Struktur birokrasi memberikan
gambaran mengenai pembagian tugas-tugas serta tanggungjawab kepada individu
maupun bagian-bagian pada suatu organisasi. Struktur organisasi memberikan
gambaran mengenai hubungan pelaporan yang ditetapkan secara resmi dalam
organisasi. Tercakup dalam hubungan pelaporan yang resmi ini banyaknya
225
tingkatan hirarki serta besarnya rentang kendali dari semua pimpinan di seluruh
tingkatan dalam organisasi. Struktur organisasi menetapkan pengelompokan
individu menjadi bagian dari organisasi, dan pengelompokan bagian tersebut
menjadi bagian suatu organisasi yang utuh. Struktur organisasi juga menetapkan
sistem hubungan dalam organisasi, yang memungkinkan tercapainya komunikasi,
koordinasi, dan pengintegrasian segenap kegiatan suatu organisasi, baik kearah
vertikal maupun horisontal.
Hal ini juga yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan sistem
administrasi kependudukan bidang pelayanan kartu keluarga. Sturuktur birokrasi
pemerintahan yang kaku yang ketat menerapkan sistem atasan dan bawahan.
Atasan sebagai penentu segala kebijakan dan kebijakan itu final. Sementara
bawahan dalam hal ini aparat sebagai subordinat, yang menempatkan diri sebagai
pelaksana kebijakan. Aparat pelaksana orang-orang yang dianggap tidak
berkemampuan untuk mengkritisi, memberi masukan kepada atasan hal-hal penting
berkaitan dengan persoalan, kendala dan kebutuhan di lapangan berkaitan dengan
pelayanan kartu keluarga untuk proses formulasi.
Aparat pelaksana karena alasan strukturisasi menjalankan kebijakan secara
buta. Dan ini menjadi beban yang harus ditanggung aparat pemberi pelayanan.
Mereka harus berhadapan dengan persoalan dan kendala di lapangan. Akibatnya,
kebijakan yang dijalankan sering tidak efektif dan akhirnya berujung pada not
implelentation dan unsuccesful implementation.
Pelayanan kartu keluarga merupakan salah satu bentuk pelayanan yang
langsung menangani kepentingan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu
226
pelayanan kartu keluarga sifatnya karitas (carity), dengan prinsip no choice, no
price, sebagaimana prinsip pelayanan civil.
Oleh karena itu, agar penerima layanan merasa tertarik, puas dan
senang, maka pemberi pelayanan (pemerintah/birokrasi) harus
memperhatikan kualitas dari produk layanan yang diberikan, yang tetap
menempatkan prinsip putting people or customers first.
Perilaku aparat juga sangat menentukan kaulitas pelayanan kartu keluarga
kepada masyarakat. Karena aparat adalah aktor yang secara langsung berhadapan
dengan masyarakat sebagai penerima layanan. Beberapa hal yang dapat dilakukan
aparat dalam menjalankan tugas pelayanan kartu keluarga adalah:
Pertama, berkaitan dengan perilaku aparat yang bertanggung jawab. Isi
tanggung jawab aparat pemerintah dalam tugas pelayanan kepada masyarakat
penerima layanan publik umumnya, dan di dibidang pelayanan kartu keluarga
khususnya, bukan saja melaporkan hasil kerja yang sesuai dengan aturan yang ada,
atau melaporkan hasil kerja karena sesuai dengan tugas pokok, atau melaporkan
tugas karena tuntutan administrasi yang menjai penilaian atasan. Melainkan lebih
kepada makna kewajiban moral dalam melaksanakan tugas panggilan. Pelaksanaan
tugas pelayanan karena panggilan nurani, dan menjalankan tugas pelayanan sesuai
tuntutan dan tanggung jawab moral secara pribadi. Menjalankan tugas bukan
karena ada penilaian atau karena didorong oleh ketakutan atau karena ada
intervensi pihak lain. Menjalankan tugas palayanan lebih merupakan penggilan
otonom. Itulah makan dari tanggung jawab sebagai obligation dan cause.
Kedua, perilaku aparat yang responsif. Perilaku aparat yang responsivitas
adalah kemampuan birokrasi pemerintahan untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan sesuai dengan kebutuhan
227
dan aspirasi masyarakat. Itu berarti, perilaku aparat yang responsif berkaitan
dengan daya tanggap serta kepekaan aparat untuk meneganal, mamahami,
mengidentifikasi bahkan empati terhadap apa yang dirasakan, apa yang dibutuhkan
oleh masyarakat. Sehingga pelayanan pemerintahan relevan dan tepat guna dengan
pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, perilaku aparat yang komitmen dan konsekwen pada tugas
pelayanan. Salah satu bentuk komitmen dan konsisten aparat dalam pelayanan
kepada masyarakat terletak pada orientasi pada pelayanan. Orientasi pada
pelayanan menunjuk pada seberapa banyak konsentrasi dan energi aparat
pemerintahan dalam hal ini aparat yang bekrja dalam pelayanan kartu keluarga.
Segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh pelayan masyarakat
dalam lingkup pelayanan kartu keluarga sepenuhnya dicurahkan atau
dikonsentrasikan untuk melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat pengguna
pelayanan kartu keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, dapat dirumuskan beberapa pokok
pikiran sebagai temuan penelitian yang diangkat dalam penelitian ini.
Pertama, dominasi pendekatan birokrasi sebagai regulator dalam layanan
kartu keluarga daripada sebagai pelayan masyarakat merupakan salah satu faktor
penyebab belum efektifnya implementasi kebijakan sistem administrasi
kependudukan yang berakibat pada rendahnya kualitas layanan kartu keluarga.
Pelayanan birokrat hanya dilihat dari aspek normatif dan akuntabilitas, yakni yang
diberikan dinilai dari sudut pandang sesuai atau tidak dengan aturan formal yang
berlaku serta dapat atau tidak dipertanggungjawabkan kepada atasan mengenai
tugas yang dijalankan, termasuk pertanggungjawaban atas sejumlah dana yang
dimanfaatkan.
228
Faktor ini terjadi karena, birokrat lebih mengutamakan ketepatan aturan
dan bukan pada realisasi dari kepenuhan pelayanan sebagai tuntutan kebutuhan
masyarakat. Hal ini sangat dipengaruhi juga oleh mental pelayanan aparat yang
bersifat birokratis, yang menekankan prinsip loyalitas kepada atasan daripada loyal
kepada masyarakat. Jadi pemberian pelayanan kartu keluarga kepada masyarakat
sebagai penerima layanan dilihat sebagai pemenuhan ketentuan aturan. Tolok ukur
keberhasilan pelayanan, tidak ditentukan oleh faktor penilaian dan kepuasan yang
masyarakat, dan juga tidak ditentukan berdasarkan hasil atau out put layanan yang
diberikan sesuai kebutuhan masyarakat, tetapi ditentukan oleh ukuran birokrasi
pemerintahan itu sendiri. Kinerja birokrasi lebih menekankan aspek administratif
yakni sejauh mana pelayanan yang diberikan telah diberikan sesuai aturan formal
yang ada. Pemberian pelayanan yang telah menunjuk kepada aturan formal
dianggap telah memenuhi sendi-sendi pelayanan yang baik dan aparat dianggap
telah konsisten dalam menerapkan aturan hukum pelayanan.
Kedua, pengaruh faktor gap atau kesenjangan antara harapan (konsumer)
dan kenyataan akan layanan (produsen) menjadi faktor penyebab rendahnya
kualitas layanan kartu keluarga. Beberapa indikatornya adalah, (1) Konsep layanan
didesign dan dipikirkan untuk diterapkan kepada konsumer dalam hal ini
masyarakat penerima layanan oleh para aktor tanpa mengetahui apa yang
dibutuhkan atau yang diharapkan masyarakat. Akibatnya, layanan tersebut tidak
sesuai dengan harapan atau kebutuhan masyarakat. (2) pihak public servant dalam
hal ini pemberi layanan kartu keluarga tidak mengetahui dan tidak memahami apa
yang diharapkan dan dibutuhkan pihak masyarakat penerima layanan sebagai
konsumen, sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat tidak disalurkan
dalam spesifikasi layanan yang tepat. (3) adanya gap antara spesifikasi kualitas
229
layanan dan pelaksanaan spesifikasi pelayanan tersebut kepada masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh pihak pemberi layanan yang tidak siap melaksanakan spesifikasi
layanan; pihak pelayanan siap menjalankannya, tetapi tidak memiliki kemampuan
atau keahlian untuk melaksanakan spesifikasi layanan sesui pedoman yang ada; di
lain pihak petugas pemberi layanan memiliki kesiapan dan keahlian dalam
menjalankan tugas pelayanan tetapi tidak memiliki kemauan untuk menjalankan
tugas yang diberikan.
Ketiga, birokrasi pelayanan publik memiliki komitmen dan kemampuan
yang rendah untuk mengenali kebutuhan masyarakat penerima pelayanan.
Pengenalan akan kebutuhan pengguna jasa hanya dapat dilakukan apabila aparat
memiliki komitmen untuk belajar dari berbagai pengalaman pelayanan yang pernah
dialaminya, dan secara konsisten diterapkan guna perbaikan pelayanan selanjutnya.
Tidak transparannya komunikasi dari birokrasi yang menyangkut pemberian
pelayanan menyebabkan pihak masyarakat pengguna jasa selalu berada pada posisi
yang dirugikan. Tidak adanya transparansi informasi dari birokrasi tersebut
membuat masyarakaat pengguna jasa mengalami frustrasi. Komunikasi yang tidak
efektif yang selama ini masih dikembangkan oleh birokrasi menunjukkan bahwa
birokrasi belum mempunyai kesadaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat pengguna jasa.
Keempat, rendahnya tingkat responsivitas penyelengaraan pelayananan
publik mengindikasikan bahwa aparat birokrasi pelayanan masih memiliki
kekeengganan untuk menolong masyarakat pengguna jasa dengan memberikan
pelayanan yang baik. Tidak diterapkannya prinsip pelayanan tersebut bayak
disebabkan oleh belum adanya komunikasi yang interaktif antara aparat pemberi
pelayanan dengan para masyarakat sebagai penerima layanan.
230
Kualitas pelayanan publik dan layanan civil dalam penyelenggaraan
pemerintahan masih jauh dari prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik sangat
erat berkaitan dengan aspek responsivitas, efektivitas dan efisiensi pelayanan.
Faktor tersebut sangat berpengaruh pada kualitas layanan publik, karena dari sudut
pandang responsivitas, pemerintah daerah menunjukkan kinerja yang lemah dalam
mengenali kebutuhan, menyusun agenda dan prioritas, serta tidak mampu
mengembangkan program-program yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat. Sedangkan faktor efektivitas dan efisiensi dalam layanan publik
dikaitkan dengan kelemahan pemerintah daerah untuk mengelola manajemen
waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah pelayanan, karena tidak diatur
dengan jelas. Jarang sekali pemerintah kota menentukan secara jelas mengenai
lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah pelayanan. Kondisi
seperti ini sering membuat penyelenggara pelayanan publik bertindak seenaknya
ketika melayani masyarakat. Akibatnya, ketidakpastian waktu pelayanan cenderung
amat tinggi dalam hampir semua jenis pelayanan publik. Hal ini nampak dari
indikasi keluhan masyarakat terhadap pelayanan dan tindakan pemerintah yang
lamban menyerap aspirasi masyarakat dalam menanggapi rendahnya kualitas
layanan di bidang kesehatan.
Kelima, rendahnya kualitas layanan publik juga sangat berkaitan dengan
pengabaian terhadap etika pelayanan publik. Etika pelayanan publik mengharuskan
agar aktor pelayanan publik menjalankan pelayanan publik kepada masyarakat
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar moral yang berlaku. Karenanya, para aktor
pemerintahan harus menanamkan kesadaran dalam diri bahwa pelayanan kepada
publik merupakan panggilan sekaligus tuntutan moral, tuntutan etis, yang
mengarahkan perilaku pada pelayanan kepada sesama sebagai pribadi manusia
231
yang utuh karena martabatnya. Karena itu pelayanan kepada publik diklaim
pertanggungjawabannya melalui peningkatan kualitas pelayanan publik. Karena,
pada prinsipnya etika berkaitan dengan prinsip-prinsip yang mengatur perilaku
manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan dengan
Tuhan. Etika pelayanan publik berfungsi sebagai pedoman, guidelines bagi aktor
pemerintahan dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasdaan
yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah
laku manusia yang dianggap baik.
Berdasarkan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan kartu keluarga masih sangat rendah, maka perlu dicari beberapa langkah
atau upaya dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik bidang kartu
keluarga melalui berbagai kebijakan yang konkret.
Pertama, Dinas kependudukan dan catatan sipil merupakan lembaga
pemerintahan yang sifatnya profesional dalam arti lembaga yang resmi, sifatnya
permanen, dan dibiayai negara, karenanya aparatnya mutlak memilki sikill yang
berkepentingan untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat dalam hal layanan
kartu keluarga. Memiliki skill artinya kemampuan yang diperoleh dari spesialisasi
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, kehandalan dalam menggunakan teknologi
tepat guna yang diarahkan sepenuhnya untuk melayani kepentingan rakyat banyak
sebagai konsumen di bidang layanan kartu keluarga. Penguasaan ilmu dan
teknologi mutlak perlu sebagai satu syarat bagi yang menyandang civil servant.
Sebagai konsekwensinya, aparat pemerintahan harus selalu berupaya mencari
terobosan ke arah perubahan dan pembaharuan sistem pelayanan kartu keluarga.
Untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dituntut adanya keterbukaan
232
akan adanya perubahan sikap, pola perilaku, pola berpikir terhadap perkembangan
dan kemajuan dari luar.
Kedua, tidak berdayanya aparat dalam meningkatkan efektivitas
implementasi kebijakan administrasi kependudukan disebabkan sistem struktur
kekuasaan. Sentralisasi kewenangan serta pemusatan kekuasaan, otoritas dan
kebijakan di tingkat dinas, berdampak pada konflik kepentingan, baik secara
horisontal maupun secara vertikal di dinas. Yang terjadi adalah persaingan tidak
sehat bagi elit birokrasi untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar,
mendapatkan dukungan atasan dan pimpinan demi karir dan uang. Apa pun
dilakukan demi mendapatkan kepercayaan elit birokrat atas untuk menduduki
jabatan karir. Elit birokrasi pemerintahan di tingkat lokal yang seharusnya menjadi
agen perubahan bagi profesionalisme birokrasi pemerintah dan kamajuan
masyarakat, dengan sistem, strategi dan struktur kekuasaannya yang kokoh namun
tidak memiliki diskresi yang cukup untuk menjalankan fungsi pelayanan kepada
yang diperintah. Dengan demikian, terjadi missing link antara pusat kekuasaan
dengan pusat layanan yaitu masyarakat. Tidak mengherankan bila pusat pelayanan
menjadi jauh dari masyarakat. Karena, kewenangan, kelembagaan dan tatalaksana,
pangalokasian sumber daya diurus secara sentral.
Ketiga, perlu diadakan terobosan sistem dan mekanisme kerja melalui
perubahan manajemen. Manajemn top-down, atau instruksi perlu diganti dengan
sistem swakelola pada tingkat basis, dalam hal ini aparat pemberi pelayanan kartu
keluarga kepada masyarakat. Dengan kata lain, pada tahap ini dilakukan prinsip
subsidiaritas. Sistem ini memungkinkan adanya pemberdayaan pada lapis paling
bawah yaitu pada aparat yang melakukan langsung pelayanan kepada masyarakat
sesuai aturan dan standar yang berlaku.
233
Keempat, manajemen pelayanan yang berorientasi pada perubahan.
Perubahan dalam gaya kepemimpinan yang lebih berorientasi pada pelayanan
bukan pada kekuasaan. Pemimpin diharapkan memiliki kemampuan, kapabilitas,
dan kapasitas dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan yang terjadi
dalam masyarakat.
Menjadi jelas bahwa perubahan dan pembaharuan pelayanan adalah
penggantian pola pelayanan pemerintahan yang birokratis menjadi sistem yang
selalu mencari inovasi yang secara kontinyu memperbaiki kualitas pelayanan, yang
selalu berkesadaran dari dalam untuk melakukan perbaikan dalam sistem
pelayanan. Sistem yang dimaksud adalah sistem pembaruan diri pemerintahan
dalam menciptakan manajemen pelayanan baru yaitu sistem pelayanan yang
langsung berhubungan dengan masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat.
Kelima, perlu dan penting untuk melakukan hubungan kerja sama yang
dijalankan pemerintah yang dibangun atas tiga subkultur sebagai komponen utama
yaitu subkultur kekuasaan (SKK) diwakili oleh pemerintah sendiri, subkultur
ekonomi (SKE) sebagai wakil dari pihak swasta dan subkultur sosial (SSS) sebagai
representasi kekuatan pihak masyarakat (civil society). Kerja sama tersebut harus
dilandasi oleh prinsip profesionalitas, efisiensi dan efektivitas, bertanggung jawab
serta responsif terhadap berbagai kebutuhan yang ada. Singkatnya, pelaksanaan
kerja sama dalam pelayanan kartu keluarga harus menerjemahkan prinsip good
governance.