Bab III Case HHD

28
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung. Beberapa istilah dalam gagal jantung : 1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik : Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan echocardiography. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan 17

description

HHD

Transcript of Bab III Case HHD

Page 1: Bab III Case HHD

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa

tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang

penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap

kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi

pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada

fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi

mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah

perkembangan penyakit menjadi gagal jantung.

Beberapa istilah dalam gagal jantung :

1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :

Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari

pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan

echocardiography.

Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa

sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas

fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.

Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian

ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi

ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi,

pseudo-normal, tipe restriktif.

2. Low Output dan High Output Heart Failure

Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,

kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan

resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A – V,

17

Page 2: Bab III Case HHD

beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat

dibedakan.

3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan

Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena

pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung

kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi

pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena

sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.

Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel,

maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun

tidak lagi berbeda.

4. Gagal Jantung Akut dan Kronik

Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat

endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara

tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.

Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan

multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok,

namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.

Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir selalu

disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure), karena

ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal, hal ini

menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan

tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena .

Gagal jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh

rongga jantung.

3.2 Etiologi

Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta

dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi

18

Page 3: Bab III Case HHD

stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada

infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu

perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat

berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru.

Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup

mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer.

Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang

menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal

jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan

penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien

dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid.

3.3 Patofisiologi

Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti nfark miokard, maka

kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan

timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang

menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis.

Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu

dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup

peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi

sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin

memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir

normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun,

kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat

beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin

kurang efektif.

1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :

Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah

peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas

19

Page 4: Bab III Case HHD

adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf

adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan

kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan

jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan

tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke

organ-organ yang metabolismenya rendah misal kulit dan ginjal untuk

mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi akan meningkatkan

aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan

kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan

meningkat pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin

bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan

kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan

simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja

ventrikel.

Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal

jantung.8

20

Page 5: Bab III Case HHD

2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron :

Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan

air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang mengakibatkan

aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas.

Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai

serangkaian peristiwa berikut:

- Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus

- Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus

- Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan

angiotensinI

- Konversi angotensin I menjadi angiotensin II

- Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.

- Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus. Angiotensin

II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah.

3. Hipertrofi ventrikel :

21

Page 6: Bab III Case HHD

Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah

tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan

kontraksi ventrikel.

Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;

namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan

kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan

untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan

kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir

dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat

karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen

miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih

lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan

kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan

gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini

adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.1, 4,6,7

22

Page 7: Bab III Case HHD

Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap

hemodinamik berlebih.

3.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat

latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala

hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung,

toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal

dengan aktivitas yang lebih ringan.

Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai

dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.

Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan

adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan

merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak

kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga berkurang.

Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar

membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang

paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat

kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan

aliran udara juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru

yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya

menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea

saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea

(dispnea saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari

bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan

interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular

paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh

23

Page 8: Bab III Case HHD

timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan manifestasi yang lebih

spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.

Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada

posisi berbaring.

Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas

dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru

karena pengaruh gaya gravitasi.

Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat

distensi vena.

Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena

sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher

mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara

paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat

menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama

inspirasi.

Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan

kapsula hati.

Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat

disebabkan kongesti hati dan usus.

Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema

mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada

malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi

retensi cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada

waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu

istirahat.

Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.

Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara

klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling

24

Page 9: Bab III Case HHD

dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada

gagal jantung kanan yang nyata.

Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat

mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia

ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf

simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting kematian mendadak

dalam situasi ini.

3.5 Diagnosis

Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan

penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,

EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan

biomarker.2,10

Kriteria Diagnosis : 11

Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif

Kriteria Major :

1. Paroksismal nokturnal dispnea

2. Distensi vena leher

3. Ronki paru

4. Kardiomegali

5. Edema paru akut

6. Gallop S3

7. Peninggian tekanan vena jugularis

8. Refluks hepatojugular

Kriteria Minor :

1. Edema eksremitas

2. Batuk malam hari

3. Dispnea d’effort

25

Page 10: Bab III Case HHD

4. Hepatomegali

5. Efusi pleura

6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

7. Takikardi(>120/menit)

Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria

minor.

Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan

pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan

tingkat aktivitas fisik, antara lain:

NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik

serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak

napas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.

NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.

Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang

biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan,

jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada.

NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak dalam

kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi

kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala

insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.

NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa

menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik

meskipun sangat ringan.

b. Pemeriksaan Penunjang

Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan

penunjang sebaiknya dilakukan.

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :

26

Page 11: Bab III Case HHD

Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),

kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula

darah, profil lipid.

2. Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah

untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau

riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya

menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV.

3. Radiologi :

Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan

bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi

pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi

penyebab nonkardiak pada gejala pasien. .

4. Penilaian fungsi LV :

Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan

menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/

Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan

fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup

dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan

dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada

pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai

gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai

untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting

dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis

komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam

penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV

adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah

diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini

diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan

27

Page 12: Bab III Case HHD

sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada

afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral

sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun

demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya

adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).

3.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara

non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut

maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis,

meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya

kondisi.

Terapi :

a. Non Farmakalogi :

- Anjuran umum :

Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.

Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa.

Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.

Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

- Tindakan Umum :

Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g

pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5

liter pada gagal jantung ringan.

Hentikan rokok

Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.

Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau

sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut

jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).

Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.

28

Page 13: Bab III Case HHD

b. Farmakologi

Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis Angiotensin II,

diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain,

anti-trombotik, dan anti-aritmia.

a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit

diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid.

Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik

intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,

spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien

dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal

jantung sistolik.

b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas neurohormonal, dan pada

gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai

dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.

c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian dimulai dosis

kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal

jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas

fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau

metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.

d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi terhadap

ACE ihibitor.

e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi

sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-

sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.

f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli

serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.

Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat

29

Page 14: Bab III Case HHD

emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan

aneurisma ventrikel.

g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau

aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada

aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat

digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia

atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak.

h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk

mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.

Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2 l/hari) dan

pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat

membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan

perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan

imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium,

gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.

Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu, takikardia

serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi.

Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta cardiac

output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik.

Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark

miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya

problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel

pasca infark.

Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana

memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan

hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan.

Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi

tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring

gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi

30

Page 15: Bab III Case HHD

jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan,

semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan

merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki

asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter.

Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan

venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop

diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini

dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga

harus dihindari bila memungkinkan.

Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan

gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta

menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan

pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena dan dapat

diulang sesuai kebutuhan.

Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta

tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal

jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang

lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis

pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan

arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama

pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam.

Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada

gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis

hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan

fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 μg/kg/menit.

Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide

adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.

Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat

menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin,

31

Page 16: Bab III Case HHD

aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan

pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume

karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1

menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit.

Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang

disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator

digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100 mmHg.

Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan

pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan

afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan

arteri rata - rata > 65 mmHg.

Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah

splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor

adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian

5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan

meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan

merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan

vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 –

3 μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15 μg/kg/mnt.

Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih

tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt.

Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi AMP

sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering

digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk

terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi

penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg

bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25–

0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt.

32

Page 17: Bab III Case HHD

Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang

disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok

kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan

tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa digunakan adalah

epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 –

0,5 μg/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt.

Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan

terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah

penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan

hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload.

Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena,

nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena (nicardipine).

Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat

untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner.

Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload

tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia

jantungharus diterapi.

Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta,

pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist

device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau

syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai

regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung

bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi

atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang

simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device

bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist

Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel,

indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi

terutama inotropik.

33

Page 18: Bab III Case HHD

3.7 Prognosis

Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat

berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun

bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada

pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai

dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan

kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit),

insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat.

Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa

kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark

miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah

akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami

gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi

paliatif yang sangat cermat.

34