Bab III Case Bronkiolitis

download Bab III Case Bronkiolitis

of 41

description

bronkiolitis

Transcript of Bab III Case Bronkiolitis

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA3.1 DefenisiBronkiolitis adalah penyakit saluran pernafasan bagian bawah dengan karakteristik klinis berupa batuk, takipnea, wheezing, dan / atau rhonki. Bronkiolitis adalah sebuah kelainan saluran penafasan bagian bawah yang biasanya menyerang anak-anak kecil dan disebabkan oleh infeksi virus-virus musiman seperti RSV. Walaupun kata bronkiolitis berarti inflamasi bronkioles, hal ini jarang ditemukan secara langsung, tapi diduga pada anak kecil dengan distres pernafasan yang memiliki tanda-tanda infeksi virus.4Di United Kingdom, kata ini digunakan secara lebih spesifik. Penulis penelitian dari Universitas Nottingham mengambil definisi konsensus dari penyakit virus musiman dengan karakteristik demam, nasal discharge, dan batuk kering dan berbunyi menciut. Pada pemeriksaan ada crackles inspirasi halus dan / atau wheezing ekspirasi nyaring.

Di Amerika Utara, bronkiolitis biasanya digunakan secara lebih luas, tapi berhubungan dengan penemuan spesifik berupa wheezing.4Pedoman APP (American Academy of Pediatrics) mendefinisikan bronkiolitis sebagai sebuah kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda klinis termasuk prodromal virus pernafasan atas, diikuti peningkatan wheezing dan usaha bernafas dari anak-anak kurang dari 2 tahun. Perbedaan ini penting, karena wheezing berulang pada anak-anak yang lebih besar sering dicetuskan oleh virus-virus yang khas untuk saluran pernafasan bagian atas, seperti rhinovirus.53.2 EtiologiBronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 6090% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma.1RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350 nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein ) yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari.1Sejumlah virus dikenal sebagai penyebab bronkiolitis telah secara nyata diperluas dengan keberadaan tes diagnosis yang sensitif dengan menggunakan teknik molekular tambahan.

RSV tetap menjadi penyebab 50 % 80 % kasus. Penyebab lain termasuk virus parainfluenza, terutama parainfluenza tipe 3, influenza, dan human metapneumovirus (HMPV). HMPV ditaksir menyebabkan 3 % 19 % kasus bronkiolitis. Kebanyakan anak-anak terinfeksi selama epidemik luas musim dingin tahunan.5Teknik diagnosis molekular juga telah mengungkapkan bahwa anak-anak kecil dengan bronkiolitis dan penyakit-penyakit respirasi akut lainnya sering diinfeksi oleh lebih dari satu virus. Jumlah coinfeksi ini sekitar 10 % 30 % pada sampel anak-anak yang dirawat di rumah sakit, kebanyakan oleh RSV dan salah satu dari HMPV atau rhinovirus.53.3 EpidemiologiRSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.5Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan.1,3 Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki.53.4 PatogenesisVirus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus .2

Gambar 1. Respon inflamasi selular pada infeksi virus saluran nafas 2(Sumber : The Internet Journal of Pediatricsnand Neonatology 2)Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napasAdapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.5Karena tahanan/resistensi terhadap aliran udara di dalam saluran besarnya berbanding terbalik dengan radius/jari-jari pangkat empat, maka penebalan yang sedikit sekalipun pada dinding bronkhiolus bayi dapat sangat mempengaruhi aliran udara. Tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan fase ekspirasi, namun karena selama ekspirasi radius jalan nafas menjadi lebih kecil, maka hasilnya adalah obstruksi pernafasan katup bola yang menimbulkan perangkap udara awal dan overinflasi. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi menjadi total dan udara yang terperangkap di absorbsi.1Proses patologis mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi ventilasi yang tidak sepadan menimbulkan hipoksemia, yang terjadi pada awal perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) biasanya tidak terjadi kecuali pada penderita yang terkena berat. Makin tinggi frekuensi pernafasan makin rendah tekanan oksigen arteri. Hiperkapnea biasanya tidak terjadi sampai pernafasan melebihi 60 kali/menit; selanjutnya proporsi hiperkapnea ini bertambah menjadi takipnea.1

Gambar 2. Pembengkakan bronkioli pada bronkiolitis 6

Anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.5 Penurunan ventilasi dari bagian paru-paru menyebabkan ventilasi / perfusi mismatching, mengakibatkan hipoksia. Selama fase ekspirasi respirasi, dinamis lebih lanjut penyempitan saluran udara menghasilkan penurunan aliran udara yang tidak proporsional dan menyaring udara yang dihasilkan. Kerja pernapasan meningkat karena volume paru-paru meningkat akhir-ekspirasi dan penurunan kepatuhan paru-paru. Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung setelah 2 minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.7Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk. 1Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV .5

3.5 Manifestasi klinis

Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. 1,3,6 Terjadi distress nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat.

Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).

Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles.

Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi.

Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen 20 x/menit

d. PaCO2 < 32 mmHg

e. Peningkatan jumlah lekosit > 12.000 mm3 atau penurunan jumlah leukosit < 4000 sel/mm3

f. Hitung jumlah leukosit normal, dengan > 10% bentuk sel imatur.

Gejala sepsis meliputi penurunan respon mental, bingung, tremor, menggil, demam, mual, muntah, dan diare dengan adanya infeksi. Fokus infeksi tersering yang dapat menyebabkan sepsis adalah paru-paru, traktus urinarius, traktus gastrointestinal, dan pelvis. Namun, hampir 30% dari pasien tidak dapat ditentukan focus infeksinya. Perjalanan penyakit dari sindrom sepsis tidak dapat diprediksi, beberapa pasien dapat langsung mengalami syok sepsis, sementara pasien lainnya mengalami disfungsi organ dalam berbagai tingkatan atau mengalami proses penyembuhan.

Pada neonatus tanda primer yang didapatkan adalah distress respirasi, apneu, distensi abdomen, muntah dan diare, jaundice, hilangnya tonus otot, penurunan aktivitas spontan, kurangnya respon menyedot letargi, kejang dan suhu tubuh yang abnormal (dapat hipertermi atau hipotermi). Pada kulit bayi sering didapatkan mottling, sebagai akibat dari penurunan perfusi, perubahan curah jantung, dan resistensi vaskuler. Kadang-kadang dapat juga ditemukan lesi kulit spesifik, seperti ptekie atau pustule, terutama yang disebabkan oleh kuman meningococcus dan Pseudomonas aeuruginosa.

Manifestasi sekunder merupakan kelanjutan dari proses perjalan penyakit yang mengarah pada syok septic. Pada fase ini ditandai dengan hipotensi, sianosis, gangrene, oliguria, anuria, jaundice dan tanda gagal jantung. Hipotensi merupakan penyebab gagal jantung akut, gangrene perifer dan asidosis laktat. Pada fase ini rentan untuk terjadinya acute respiratory distress syndrome atau ARDS, gagal ginjal akut, gagal hati akut, disfungsi saraf pusat, disseminated intravascular coagulation/DIC dan disfungsi organ multiple.

Disfungsi organ pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat langsung, atau jarena hipoksia atau hipoperfusi, atau karena komplikasi dari terapi terhadap penyakit yang mendasari. Disfungsi organ bukan saja berperan sebagai petanda sepsis melainkan juga sebagai kontributor terhadap kematian pada pasien sepsis.

a. Sistem Respirasi

Disfungsi organ oaru sering terjadi pada pasien sepsis atau SIRS. 50% terjadi Acute Respiratory Distress Syndrom dan meningkat menjadi 60% bila disertai syok. 85% membutuhkan ventilator mekanis. Disfungsi paru diawali dengan adanya radikal oksigen yang dihasilkan oleh netrofil teraktifasi yang menyebabkan kerusakan pada endotel kapiler paru. Disfungsi endotel kapiler paru inilah yang mneyebabkan terjadinya edem alveolar dan interstisial yang berisi cairan protein dan eksudat yang kaya akan sel imun fagosit. Permeabilitas endotel meningkat karena bereaksi terhadap sitokin proinflamasi. Hal ini menyebabkan penghancuran membrane dasar.

b. Sistem Kardiovaskuler

Jantung maupun pemduluh darah sensitive terhadap pengaruh sitokin proinflamasi. Nitrogen oksida adalah mediator vasoaktif yang dianggap menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik yang menjadi latar belakang timbulnya syok pada sepsis. Terjadi vasodilatasi dan kebocoran kapiler yang mneyebabkan penurunan volume preload dan curah jnatung. Baroreseptor memberikan rangsangan terjadinya takikardi. Namun demikian endotoksin dan sitokin proinflamasi telah terbukti menyebabkan depresi miokard. Sehingga, gambaran hemodinamik yang terjadi adalah vasodilatasi, volume intravaskuler tidak adekuat, dan penekanan fungsi miokard.

c. Sistem Urinarius

Disfungsi renal terjadi disebabkan oleh adanya hipovolemia dan vasodilatasi oleh sitokin yang mneyebabkan hipoperfusi renal. Kerusakan renal disebabkan oleh karena akut tubular nekrosis, uropati obstruktif, nefritis interstisial rabdomiolisis dan glomerulonefritis.

d. Sistem Traktus Gastrointestinal

Traktus gastrointestinal adalah salah satu organ yang penting seringkali dikorbankan dalam keadaan syok atau hipoperfusi untuk lebih memenuhi kebutuhan oksigenasi organ vital seperti : otak, jantung, paru. Manifesatsi klinis dari hipoksia pada organ pencernaan antara lain adalah hilangnya integritas mukosa yang menyebbakan nekrosis hemoragik atau perdarahan saluran cerna. Pada penderita-penderita yang dirawat lama, penghentian diet enteral dapat mneyebabkan terjadinya atrofi dari vili-vili usus. Adanya kerusakan barier mukosa menyebabkan translokasi bakteri dari usus ke sirkulasi sistemik. Akibat lain dari sepsis adalah terjadinya gangguan fungsi enzim dan system filtrasi imunologis dan mekanis dari hati. Peningkatan serum SGOT dan SGPT, bilirubin, dan alkali fosfatase menandakan adanya kerusakan organ lain.

e. Sistem Hematologi

Ditandai adanya anemia, leukopenia dan trombositopenia. DIC menyebabkan terjadinya konsumsi yang berlebihan terhadap trombosit. Akibat adanya pembentukan formasi thrombus mikrovaskuler dan inhibisi dari fibrinolisis menyebabkan semakin banyaknya pelepasan sitokin, molekul-molekul adhesi dari sel proinflamasi dan promosi dari kaskade sepsis. Petanda yang dijumpai adalah kenaikan Protrombin Time, Partial Tromboplastin Time, D-Dimer dan produk-produk pemecahan fibrinogen. Pada penderita dengan ventilator mekanik yang relative statis berisiko mengalami thrombosis vena dalam dan emboli pulmonal.15,18,13 3.15 Diagnosis

Salah satu cara pendekatan diagnosis adalah menggunakan pendekatan pendekatan PIRO (Presdisposition, Infection, Response, Organ Dysfunction). Predisposisi pada anak misalnya penurunan imunitas tubuh, penggunaan alat-alat invasif atau prosedur medik yang lama (seperti kateter intravena, kateter urin, pembedahan, perwatan intensif, dan lain-lain). Sulit untuk membuktikan sepsis hanya berdasar kultur darah semata, karena pasien biasanya sudah mendapatkan antibiotik sebelumnya. Bila kultur darah postif, diagnosis menjadi lebih mudah. Ditemukan disfungsi organ akan menguatkan diagnosis sepsis berarti sepsis telah lanjut (severe sepsis).141. Respon sistem inflamasi sistemik

SIRS (Systemik Infalammatory Response Syndrome) yaitu respons sistemik terhadap berbagai kelainan klinik berat (misalnya infeksi, trauma dan luka bakar) yang ditandai dengan 2 dari 4 kriteria sebagai berikut :

a. Hipertermi (> 38,5C) atau hipotermi (< 36C)

b. Takikardi yaitu peningkatan heart rate > 2 SD di atas normal sesuai umur dalam keadaan tidak terdapat stimulasi eksternal, pemakaian obat-obat jangka panjang atau rangsang nyeri, atau bradikardia: HR < 10 persentil sesuai umur tanpa stimulus vagal eksternal, pemakaian beta blocker atau penyakit jantung bawaan.

c. Takipneu dengan RR > 2 SD di atas normal sesuai umur atau ventilator mekanik yang akut yang tidak berhubungan dengan penyakit neuromuskuler atau penggunaan anestesi umum.

d. Jumlah leukosit yang meningkat atau menurun (yang bukan akibat dari kemoterapi) sesuai umur atau netrofil imatur > 10%.

2. Infeksi

Infeksi yaitu suatu kecurigaan atau bukti (dengan kultur positif, pengecatan jaringan, atau uji PCR) infeksi disebabkan kuman pathogen atau sindrom klinis yang berhubungan dengan kemungkinan besar infeksi. Bukti infeksi meliputi penemuan positif pada pemeriksaan klinis, pencitraan atau test laboratorium (misalnya sel darah putih pada cairan tubuh yang normal steril, perforasi usus, foto rongen dada yang menunjukkan adanya pneumonia, ruam ptekiae atau purpura atau purpura fulminan).16Dibawah ini merupakan tabel tanda vital khusus sesuai umur dan variable laboratorium :Tabel 2.2 Tanda vital dan variable laboratorium (batas bawah untuk HR, jumlah leukosit, dan tekanan darah sistolik untuk persentil 5 dan bata atas untuk frekuensi jantung,laju nafas atau hitung leukosit untuk persentil 95)Kelompok usia Heart rate

Takikardi BradikardiLaju nafas

(x/menit)leukosit

(x103/mm3)tekanan sitolik

(mmHg)

0 hari-1 minggu> 180 < 100> 50 > 34 < 65

1 minggu 1bulan> 180 < 100 > 40 > 19,5 atau < 5 < 75

1 bulan 1 tahun> 180 < 90> 34 > 17,5 atau < 5 < 100

2-5 tahun> 140 not applicable> 22> 15,5 ataun < 6 < 94

6- 12 tahun> 130 not applicable> 18> 13,5 atau < 4,5 < 105

13- < 18 tahun>110 not applicable> 14> 11 atau < 4,5 < 117

Sumber : Kumpulan Prosedur Tetap PICU/UGD/HND-NICU, RS.Kariadi, Semarang. 2004Pemeriksaan Penunjang

a. Darah rutin : Hb, Ht, Lekosit, Trombosit

b. GDS

c. CRP

d. Faktor koagulasi

e. Kultur darah berseri

f. Apusan darah tepi : lekopenia/lekositosis, granula toksik, shift to the left

g. Urinalisis

h. Foto thoraks

i. Asam laktat, BGA, LFT, elektrolit dan EKG

3.16 Tata LaksanaPenatalaksanaan sepsis berat dan syok septik adalah sebagai berikut

1. Early Goal Directed Therapy

EGDT meliputi resusitasi cairan agresif dengan koloid dan atau kritaloid, pemberian obat-obatan inotropik, dan atau vasopresor dalam waktu 6 jam sesuadh diagnosis ditegakkan di UGD sebelum masuk PICU. Resusitasi awal 20 ml/kgBB 5-10 menit, dan dapat diulang beberapa kali sampai lebih dari 60 ml/kgBB dalam waktu 6 jam. Pada syok septik dengan tekanan nadi sangat sempit, koloid lebih efektif daripada kristaloid.

2. Inotropik/vasopresor/vasodilator

Vasopresor diberikan appabila terjadi refrakter terhadap resusitasi volume, dan mAP kurang dari normal, diberikan vasopresor. Dopamine merupakan pilihan pertama. Apabila refrakter terhadap terhdapa pemberian dopamine, maka dapat diberikan epinefrin atau norepinefrin. Dobutamin diberikan pada keadaan curah jantung yang rendah. Vasodilator diberikan pada keadaan tahnan pembuluh darah perifer yang meningkat dengan MAP tinggi sesudah resusitasi volume dan pemberian inotropik. Nitrovasodilator (nitrogliserin atau nitropusid) diberikan apabila terjadi curah jantung rendah dan tahanan pembuluh darah sistemik meningkat disertai syok.

3. Extra corporeal membrane oxygenation (ECMO)

ECMO dilakukan pada syok septik pediatric yang refrakter terhadap terapi cairan, inotropik, vasopresor, vasodilatasi, dan terapi hormone.

4. Suplemen oksigen

Intubasi endotrakeal dini dengan atau tanpa ventilator mekanik sangat bermanfaat pada bayi dan anak dengan sepsis berat atau syok septik, karena kapasitas residual fungsional yang rendah.

5. Koreksi asidosis

Terapi bikarbonat untuk memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan akan vasopresor, tidak dianjurkan pada keadaan asidosis laktat dan pH > 7,15 dengan hipoperfusi. 6. Terapi antibiotik

Pemberian antibiotik segera satu jam sesudah diagnosis sepsis ditegakkan dan pengambilan kultur darah. Pada keadaan dimana focus infeksi tidak jelas, maka antibiotik harus diberikan pada keadaan penderita yang mengalami perburukan, status imunologik yang buruk, adanya kateter intravena berdasarkan kuman penyebabnya dan tes kepekaan. Prinsip pemulihan antibiotik tergantung dari berbagai hal antara lain dari : communityacquired disease atau pola infeksi di wilayah tersebut, pola resistensi kuman, penyakit penyerta (misal pada penderita dengan imunocompromised), pemberian infuse atau obat-obatan parenteral dalam kaitanya dengan pola kuman-kuman nosokomial, dan modifikasi regimen.

Dalam panduan internasional Surviving Sepsis Campaign 2008 direkomendasikan untuk memberikan terapi antibiotik empiris sedini mungkin, dalam waktu satu jam setelah diagnosis syok septik (1B) dan sepsis berat tanpa syok sepsis (1D). Antimikroba yang diberikan termasuk satu atau lebih obat yang aktif melawan semua kemungkinan patogen (bakteri) dan dapat berpenetrasi dalam konsentrasi yang adekuat ke organ yang dicurigai merupakan sumber infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu :

Ampisilin 200 mg/kgBB/hari intravena dalam 4 dosis, dikombinasikan dengan aminoglikosida, garamycin 5-7 mg/kgBB/hari atau amikasin 15-20 mg/kgBB/hari iv atau netilmisin 5-6 mg/kgBB/hari iv dalam 2 dosis

Kombinasi lain adalah ampisilin dengan cefotaxime 100mg/kgBB/hari intravena dalam 3 dosis. Kombinasi ini lebih disukai apabila terdapat gangguan fungsi ginjal atau tidak tersedia sarana pengukuran aminoglikosida.

Penggunaan antibiotik b-laktam spektrum luas sebagai monoterapi sama efektifnya dan kurang nefrotoksik dibandingkan dengan kombinasi b- laktam dan aminoglikosida. Pemilihan antibiotik monoterapi yang digunakan, yaitu yang dapat mencakup pathogen penyebab yang dicurigai dari fokus infeksi, memiliki potensi resistensi rendah, dan profil keamanan yang baik. Namun, monoterapi tidak dapat dipilih sebagai terapi antibiotik empiris secara universal. Pemilihan antibiotik empiris bergantung pada beberapa faktor, terkait dengan latar belakang pasien (termasuk intoleransi obat-obatan), penyakit penyerta, dan pola kuman di lingkungan rumah sakit. Pilihan rejimen antibiotik inisial harus cukup luas untuk melawan semua kemungkinan patogen. Penggunaan terapi kombinasi dua antibiotik dapat memperluas spektrum anti-bakteri, memiliki efek sinergis yang meningkatkan aktivitas antibakteri, dan mengurangi resistensi bakteri atau superinfeksi.

7. Sumber infeksi

Eradikasi sumber pinfeksi sangat penting, seperti drainase abses, debridement jaringan nekrosis, alat-alat yang terinfeksi dilepas.

8. Terapi kortikosteroid

Pemberian hidrokortison 50 mg setiap 6 jam dan dikombinasi dengan fludorcortison 50 g diberikan 7 hari dapat menurunkan angka kematian absolute sebanyak 15%. Dosis kortikosteroid yang direkomendasikan untuk syok septik pediatric adalah 1-2 mg/kg berat badan sampai 50 mg/kg untuk terapi empiris syok septik diikuti dosis yang sama diberikan dalam 24 jam.

9. Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GMCSF)

Transfusi granulosit diberikan pada sepsis neonatus dengan hitung neutrofil < 1500/uL yang diberikan 1-10 ug/kgBB selama 7 hari.

10. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Mekanisme efek IVIG pada sepsis yaitu sebagai berikut :

a. Netralisasi melalui antibody dengan meningkatkan fungsi bakterisid, fagositosis, netralisasi endotoksin dan eksotoksin

b. Antagonis reseptor TNF reseptor IL-1 dan reseptor IL-6.

c. Egek sinergis dengan antibiotik laktam melalui efek antibody anti-laktamase, transport oksigen, memperbaiki fungsi granulosit dalam melakukan lisis bakteri, dan aktifitas opsonin, memperbaiki koagulopati dang gangguan elektrolit.

11. Hemofiltrasi

Transfusi tukar dapat dilakukan untuk mengeluarkan endotoksin bakteri dan mengatur mediator inflamasi, meningkatkan transport oksigen, memperbaiki fungsi granulosit dalam melakukan lisis bakteri, dan aktifitas opsonin, memperbaiki koagulopati dan gangguan elektrolit.

12. Terapi Suportif

a. Profilaksis Stress Ulcer

Diberikan inhibitor reseptor H2 yaitu ranitidine.

b. Profilaksis Trombosis Vena Dalam

Dosis rendah heparin dianjurkan, kecuali pada penderita yang mempunyai kontraindikasi nya yaitu trombositpenia berat, koagulopati berat, perdarah aktif, riwayat perdarahan intraserebral.

c. Pencegahan Hipoglikemia pada sepsis

Balita dengan sepsis mempunyai risiko untuk menderita hipoglikemia, sehingga perlu diberikan glukosa 4-6 mg.kg berat badan/menit atau gkujose 10% dalam NaCl 0, 45 dan mempertahankan gula darah dalam batas normal.

d. Penatalaksanaan Disfungsi Organ

Disfungsi paru

Volume tidal 6-8 ml/kgberat badan, permissive hiperkapnea, dam positif end expiratory pressure (PEEP) yang optimal untuk mencegah kolaps alveolus.

Disfungsi saluran cerna

Nutrisi enteral diberikan segera sesudah hemodinamik stabil dalam 1 atau 2 hari dengan tujuan mempertahankan integritas saluran cerna, mencegah atrofi mukosa saluran cerna dan jaringan limfoid saluran cerna, dan mempertahankan hormone saluran cerna.

Disfungsi koagulasi

Konsentrat trombosit diberikan pada perdarahan aktif yaitu pada perdarahan pasca operasi yaitu sebagai berikut :

jumlah trombosit 5.000 - 30.000/mm3 dan

jumlah trombosit < 5.000/mm3 tidak tergantung ada atau tidaknya perdarahan

jumlah tromobit > 50.000/mm3 diperlukan apabila akan dilakukan tindakan operasi.

Fresh frozen plasma diberikan apabila ada gangguan koagulasi dengan perdarahan aktif untuk mempertahankan kadar fibrinogen > 1.0 gr/L/ recombinant human APC diberikan pada sepsis berat dengan disfungsi organ multiple dengan jumlah trombosit > 30.000/mm3. Hemoglobin dipertahankan dalam batas normal sesuai umur (Hb 10g/dl atau lebih)

Disfungsi renal

Resusitasi volume yang adekuat dapat memperbaiki oliguria. Hemofiltrasi venous terbukti efektif pada syok septic meningococcuc. Pemberian dopamine dan diuretik untuk mencegah disfungsi renal belum terbukti. (FK UNDIP, 2004; Kumar 2009; Paul, 2009; Sareharto 2007)

3.17 Komplikasi

Sepsis merupakan salah satu penyebab dari systemic inflammatory respon syndrome (SIRS). Bila tidak segera dikenali dan ditangani sedini mungkin, sepsis dapat berkembang menjadi tahapan lebih berat yaitu severe sepsis (sepsis dengan disfungsi organ akut), syok sepsis (sepsis dengan hipotensi arterial refraksi), multiple organ disfunction syndrome (MODS) atau disfungsi organ multiple dan berakhir pada kematian.173.18 Prognosis

Kematian akibat sepsis tergantung dari lokasi awal infeksi, patogenisitas kuman, ada tidaknya disfungsi organ multiple dan respon imun penderita. Kematian karena sepsis utamanya disebabkan oleh syok. Angka kematian mencapai 40-60% untuk penderita dengan sepsis karena kuman enteric gram negative. Tanda-tanda prognosis buruk bila terjadi hipotensi, koma, leukopeni )< 500/ul), trombositopenia ( 150 mEq/l )

Defisit (70ml ) + rumatan ( 100ml ) + 2 hari ongoing losses : + 320 ml/kg dalam waktu 48 jam

Dehidrasi Berat

Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan anak dan menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh (somnolen-koma, pernafasan, gangguan dinamik sirkulasi) memerlukan pemberian cairan elektrolit parenteral. Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap :

1. Terapi awal.

Bertujuan untuk memperbaiki dinamik sirkulasi dan fungsi ginjal dengan cara re-ekspansi dengan cepat volume cairan ekstraseluler. Idealnya adalah bahwa seluruh cairan yang diberikan hendaknya tetap berada didalam ruang vaskuler. Untuk itu larutan elektrolit dengan kadar Na yang sama dengan darah lebih dianjurkan. Perlu penambahan glukosa dalam cairan, karena penderita yang sakit peka untuk terjadinya hipoglikemi dan penambahan basa untuk koreksi asidosis. 2. Terapi lanjutan.Segera setelah sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan berikutnya untuk mengkoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na serta mengganti kehilangan abnormal dari cairan yang sedang berjalan (ongoing losses) serta kehilangan obligatorik (kebutuhan rumatan). Walaupun pemberian K sudah dapat dimulai, namun hal ini tidak esensial, dan biasanya tidak diberikan sebelum 24 jam.

Perkecualian dalam hal ini adalah bila didapatkan hipokalemia yang berat dan nyata. Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit serum sehingga terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan kadar Na yang ada (isonatremi, hiponatremi atau hipernatremi).

Menanggulangi kausa Diare

Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotika oleh karena pada umumnya sembuh sendiri (self limiting). Antibiotika hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare misalnya kholera, shigella, karena penyebab terbesar dari diare pada anak adalah virus (Rotavirus). Kecuali pada bayi berusia di bawah 2 bulan karena potensi terjadinya sepsis oleh karena bakteri mudah mengadakan translokasi kedalam sirkulasi, atau pada anak/bayi yang menunjukkan secara klinis gejala yang berat serta berulang atau yang menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang jelas atau gejala sepsis.

Beberapa antimikroba yang sering dipakai antara lain :

Kolera : Tetrasiklin 50mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 2 hari )

Furasolidon 5mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 3 hari )

Shigella : Trimetoprim 5-10mg/kg/hari

Sulfametoksasol 25-50mg/kg/hari Dibagi 2 dosis ( 5 hari )

Asam Nalidiksat : 55mg/kg/hari dibagi 4 ( 5 hari )

Amebiasis : Metronidasol 30mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 5-10 hari)

Untuk kasus berat :

Dehidro emetin hidrokhlorida 1-1,5 mg/kg ( maks 90mg )

( im ) s/d 5 hari tergantung reaksi ( untuk semua umur )

Giardiasis : Metronidasol 15mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 5 hari )

Antisekretorik Antidiare.

Salazar-Lindo E dkk dari Department of Pediatrics, Hospital Nacional Cayetano Heredia, Lima, Peru, melaporkan bahwa pemakaian Racecadotril (acetorphan) yang merupakan enkephalinase inhibitor dengan efek anti sekretorik serta anti diare ternyata cukup efektif dan aman bila diberikan pada anak dengan diare akut oleh karena tidak mengganggu motilitas usus sehingga penderita tidak kembung. Bila diberikan bersamaan dengan cairan rehidrasi akan memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan hanya memberikan cairan rehidrasi saja. Pemberian obat loperamide sebagai antisekresiantidiare walaupun cukup efektif tetapi sering kali disertai komplikasi kembung dengan segala akibatnya.

Probiotik.

Probiotik (Lactic acid bacteria) merupakan bakteri hidup yang mempunyai efek yang menguntungkan pada host dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik di dalam lumen saluran cerna sehingga seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri probiotik melalui reseptor dalam sel epitel usus, sehingga tidak terdapat tempat lagi untuk bakteri patogen untuk melekatkan diri pada sel epitel usus sehingga kolonisasi bakteri patogen tidak terjadi. Dengan mencermati fenomena tersebut bakteri probiotik dapat dipakai sebagai cara untuk pencegahan dan pengobatan diare baik yang disebabkan oleh Rotavirus maupun mikroorganisme lain, pseudomembran colitis maupun diare yang disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika yang tidak rasional rasional (antibiotic associated diarrhea).

Mikroekologi mikrobiota yang rusak oleh karena pemakaian antibotika dapat dinormalisir kembali dengan pemberian bakteri probiotik. Mekanisme kerja bakteri probiotik dalam meregulasi kekacauan atau gangguan keseimbangan mikrobiota komensal melalui 2 model kerja rekolonisasi bakteri probiotik dan peningkatan respon imun dari sistem imun mukosa untuk menjamin terutama sistem imun humoral lokal mukosa yang adekuat yang dapat menetralisasi bakteri patogen yang berada dalam lumen usus yang fungsi ini dilakukan oleh secretory IgA (SIgA).Jejas atau infeksi

Inflamasi

Tahap 1

Kerusakan dinding pembuluh darah

Peningkatan PAI-1

Ekspresi faktor-faktor jaringan

Tahap 2

Pembentukan trombin

Aktivasi sistem koagulasi

TAFIa teraktivasi

Konsumsi cepat dari protein C

Defisiensi protein C aktif

Supresi Fibirinolisis

Koagulasi

Tahap 3

Penyumbatan mirovaskuler

Kerusakan jaringan

Disfungsi organ

Kematian

60