BAB III Analisis Kasus

download BAB III Analisis Kasus

of 3

description

analisa kasus bp

Transcript of BAB III Analisis Kasus

BAB III

BAB III

ANALISIS KASUS

Seorang penderita anak laki-laki berusia 7 tahun datang dengan keluhan utama sesak nafas. Dari anamnesis didapatkan sejak 2 hari sebelum datang ke rumah sakit, penderita mengalami batuk berdahak, pilek, dan tanpa sesak nafas. Demam tidak ada dan kejang tidak ada, BAB dan BAK biasa. Kemudian sejak 1 hari sebelum datang ke rumah sakit, penderita mengalami sesak nafas, sesak disertai dengan bunyi mengi, sesak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, dan makanan. Sesak berkurang setelah penderita berbaring dengan 2 bantal. Demam tidak ada, kejang tidak ada, batuk pilek ada, mual muntah tidak ada, BAB dan BAK biasa. Sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit, penderita bertambah sesak, sesak disertai dengan bunyi mengi, sesak tidak berkurang walaupun posisi penderita sudah setengah duduk, batuk pilek ada, dan gelisah, kemudian penderita dibawa ke Instalasi Gawat Darurat RSMH.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, nadi 120 kali/menit, pernafasan 40 kali/menit, suhu 36,8C. Pada pemeriksaan khusus didapatkan nafas cuping hidung tidak ada, pada inspeksi thorak terlihat adanya retraksi intercostal, pada perkusi didapatkan hipersonor pada kedua lapangan paru; pada auskultasi vesikuler menurun dengan ekspirasi memanjang pada kedua lapangan paru, wheezing pada akhir ekspirasi di kedua lapangan paru.

Pada anamnesis didapatkan keluhan utama sesak napas. Kelainan berupa sesak napas ini dapat ditemukan pada kelainan seperti pada jantung, hepar, ginjal, hematologi, metabolik, dan paru. Untuk itu, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cepat untuk menyingkirkan kelainan-kelainan di atas. Supaya dapat segera menyingkirkan kelainan-kelainan yang ada, tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium karena biasanya hasil laboratorium keluar dalam waktu cukup lama. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda kegagalan jantung seperti peningkatan tekanan vena jugularis, adanya ronki basah halus di basal paru, ataupun edema pada extremitas bawah. Pada pasien ini tidak didapatkan kelainan pada hepar karena tidak ditemukan tanda-tanda ascites yang dapat menyebabkan sesak napas. Kelainan ginjal disingkirkan dari tidak adanya nyeri pada pinggang, riwayat sembab pada mata, mual muntah, kencing berwarna merah dan lain-lain. Pasien ini tidak terlihat pucat ataupun lemah dan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Selain itu, tidak ditemukan adanya splenomegali, hepatomegali, jadi kelainan darah dapat disingkirkan. Penyakit metabolik terutama pada tingkat yang sudah sangat lanjut biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran dan napas cepat dan dalam sementara pada pasien ini, tanda-tanda di atas tidak ditemui. Sesak napas pada pasien ini disebabkan kelainan paru. Pasien sudah menderita sesak napas sebelumnya sejak 2 tahun yang lalu dan timbul secara episodik, 1 kali dalam sebulan dan lama serangan kurang dari 1 minggu, dan sudah biasa berobat ke dokter setiap kali timbul keluhan dan dikatakan sakit asma. Sesak napas terutama timbul bila pasien beraktivitas secara berlebihan, cuaca yang dingin, atau makan coklat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya retraksi interkostal, hipersonor di kedua lapangan paru, vesikuler menurun, dan wheezing pada akhir ekspirasi. Pada akhirnya pasien ini kami diagnosis dengan asma episodik jarang.

Pasien ini kami diagnosis banding dengan bronkiolitis akut, karena terdapat keluhan sesak napas akut yang didahului oleh batuk dan pilek, demam tidak terlalu tinggi, dan juga wheezing karena adanya obstruksi saluran napas bawah, ekspirasi memanjang dengan suara napas melemah dan retraksi dinding dada. Diagnosis banding bronkiolitis akut kemudian disingkirkan karena pasien sudah mengalami sesak napas berulang selama 2 tahun, faktor penyebabnya bukan infeksi melainkan alergen. Pasien tidak mengalami demam sebelumnya dan usianya di atas 7 tahun.

Penatalaksanaan pada pasien dilakukan sesuai dengan standar yang ada yaitu menilai derajat serangan dan didapatkan derajat serangan asma ringan. Penatalaksanaan awal dilakukan nebulisasi beta agonis. Selang 20 menit kemudian dinilai derajat serangan dan ternyata didapatkan serangan ringan. Diberikan nebulisasi lagi 1 kali dengan beta agonis dan didapatkan respon baik dengan gejala hilang (frekuensi napas kurang dari 30 kali per menit, dan wheezing hilang). Pasien dipulangkan dan dibekali obat metilprednisolon 4x6 mg, salbutamol 2x4 mg, dan ambroxol 3x15 mg. Dalam waktu 24-48 jam, penderita diminta untuk kontrol ke klinik rawat jalan.

Prognosis pada pasien ini, quo ad vitam bonam karena asma masih tergolong ringan dan juga pasien rutin berobat. Selain itu, tidak ada kelainan pada organ vital. Quo ad functionam dubia ad bonam karena fungsi paru tidak mengalami kerusakan berat disamping pasien juga mendapat pengobatan asma secara teratur dan dari literatur dikatakan bahwa 70% gejala asma pada anak menghilang saat dewasa.