BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

31
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Secara umum prokrastinasi bukanlah sebuah hal yang “monolithic” dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena yang memiliki banyak sisi yang dinamis dan tergantung dari tugas yang dihadapi, situasi dan kerakteristik individu dari pelaku prokrastinasi. Ada aspek-aspek serta faktor-faktor yang memengaruhi prokrastinasi yang dialami seseorang, khususnya di kalangan mahasiswa. Bab ini akan memberikan penjelasan mengenai prokrastinasi skripsi dan teori-teori yang mendasari prokrastinasi skripsi itu sendiri, serta bagaimana hubungan prokrastinasi skripsi dengan faktor orientasi pada kesempurnaan (perfectionism) dan efikasi diri. A. Prokrastinasi Skripsi 1. Pengertian prokrastinasi skripsi Prokrastinasi berasal dari bahasa latin procrastinare. Ini merupakan gabungan dari dua kata yaitu pro dan crastinus, yang berarti menunda sampai besok (Ferrari, Johnson, & McCown, 1995). Prokrastinasi merupakan kecenderungan untuk menunda sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan (Ferrari, Johnson, & McCown; Lay, dalam Ozer, & Ferrari, 2011). Menurut Erde (dalam Thakkar, 2009) definisi dari prokrastinasi adalah penundaan tugas yang sudah terencana walau pada dasarnya individu tersebut mengerti risikonya. Prokrastinasi adalah jenis dari anti motivasi (anti-motivation) yang berhubungan dengan rendahnya regulasi diri (self- regulasi), efikasi diri, dan self-esteem dan berasosiasi dengan tingginya kecemasan serta stres (Howell, Wtson, Powel & Buro; Sirois; Tice & Baumeister, dalam Klassen, Chong, Krawchuk, Huan, Wong, & Yeo, 2009). Menurut Wolters (dalam Iskender, 2011) prokrastinasi merupakan

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum prokrastinasi bukanlah sebuah hal yang “monolithic”

dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena yang

memiliki banyak sisi yang dinamis dan tergantung dari tugas yang dihadapi,

situasi dan kerakteristik individu dari pelaku prokrastinasi. Ada aspek-aspek

serta faktor-faktor yang memengaruhi prokrastinasi yang dialami seseorang,

khususnya di kalangan mahasiswa. Bab ini akan memberikan penjelasan

mengenai prokrastinasi skripsi dan teori-teori yang mendasari prokrastinasi

skripsi itu sendiri, serta bagaimana hubungan prokrastinasi skripsi dengan

faktor orientasi pada kesempurnaan (perfectionism) dan efikasi diri.

A. Prokrastinasi Skripsi

1. Pengertian prokrastinasi skripsi

Prokrastinasi berasal dari bahasa latin procrastinare. Ini merupakan

gabungan dari dua kata yaitu pro dan crastinus, yang berarti menunda

sampai besok (Ferrari, Johnson, & McCown, 1995). Prokrastinasi merupakan

kecenderungan untuk menunda sesuatu yang diperlukan untuk mencapai

tujuan (Ferrari, Johnson, & McCown; Lay, dalam Ozer, & Ferrari, 2011).

Menurut Erde (dalam Thakkar, 2009) definisi dari prokrastinasi adalah

penundaan tugas yang sudah terencana walau pada dasarnya individu

tersebut mengerti risikonya. Prokrastinasi adalah jenis dari anti motivasi

(anti-motivation) yang berhubungan dengan rendahnya regulasi diri (self-

regulasi), efikasi diri, dan self-esteem dan berasosiasi dengan tingginya

kecemasan serta stres (Howell, Wtson, Powel & Buro; Sirois; Tice &

Baumeister, dalam Klassen, Chong, Krawchuk, Huan, Wong, & Yeo, 2009).

Menurut Wolters (dalam Iskender, 2011) prokrastinasi merupakan

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

11

penundaan sampai menit terakhir suatu tugas harus diselasaikan, yang pada

akhirnya individu yang melakukan penundaan ini memiliki niat untuk

menyelesaikannya. Prokrastinasi didefinisikan Rothblum, Solomon, dan

Murakami (dalam Onwuegbuzie, 2004) sebagai penundaan yang disengaja

dalam memulai atau menyelesaikan tugas-tugas dan sebenarnya hal itu tidak

perlu.

Prokrastinasi merupakan perilaku yang umum terjadi di masyarakat

di era ini (Ferrari, Johnson & McCown; Ferrari, O’Callaghan & Newbegin,

dalam Rosario, 2009). Sebagi contoh, hampir 20% orang dewasa mengakui

bahwa mereka melakukan penundaan dalam tugas rutin mereka, seperti

membayar rekening dan membayar pajak; bagi 25% dari populasi orang

dewasa bukan pelajar, prokrastinasi merupakan masalah besar

(Schouwenburg; McCown & Johnson, dalam Rosario, 2009).

Prokrastinasi memegang banyak konsekuensi negatif, seperti waktu

yang terbuang sia-sia, peningkatan stres, prestasi rendah, kesehatan rendah,

dan rendahnya self-esteem (Hoover, dalam Thakkar 2009). Beberapa

penelitian mengungkap bahwa prokrastinasi terkait dengan performa

akademis yang buruk ( Balkis & Deru, 2009; Beck Koons & Milgrim, 2000;

Ozer, Demir & Ferrari, 2009), dan rendahnya usaha dalam mengerjakan

tugas ( Saddler & Buley, 1999, dalam Balkis, 2011). Menurut Ferrari (dalam

Atiningsih, 2008) prokrastinasi banyak berakibat negatif, dengan melakukan

penundaan, banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia dan tugas-tugas

menjadi terbengkalai.

Salah satu kewajiban seorang mahasiswa adalah menulis skripsi.

Penulisan skripsi merupakan syarat seorang mahasiswa untuk mendapatkan

gelar kesarjanaan khususnya untuk gelar S-1. Skripsi merupakan laporan

riset atau sering disebut sebagai laporan penelitian. (Derry & Jubilee, 2006).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

12

Menurut Sarjan (2009), skripsi merupakan karya tulis ilmiah laporan hasil

perancangan atau penelitian mandiri untuk memenuhi sebagian persyaratan

memperoleh derajat kesarjanaan S-1 pada Perguruan Tinggi. Karya ilmiah

ini ditulis sebagai hasil kegiatan akademik berupa penelitian ilmiah yang

dapat berbentuk penelitian experimental, teoritis, analisis komputasi,

penelitian pustaka dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan sebagai latihan bagi

para mahasiswa untuk menuangkan hasil kegiatan penelitian dalam suatu

karya tulis secara sistematis dan metodologis. (Prayoto, 1991)

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

prokrastinasi skripsi adalah penundaan yang disengaja di dalam

menyelesaikan skripsi, yang pada dasarnya pelaku prokrastinasi mengerti

konsekuensi negatifnya, akan tetapi pada akhirnya individu tersebut

memiliki niat untuk menyelesaikanya.

2. Teori prokrastinasi

a. Teori prokrastinasi menurut Sokolowska

Menurut Sokolowska (2009), secara umum prokrastinasi bukanlah

sebuah hal yang “monolithic” dan tersusun secara homogen, namun

merupakan sebuah fenomena yang memiliki banyak sisi yang dinamis dan

tergantung dari tugas yang dihadapi, situasi dan kerakteristik individu dari

pelaku prokrastinasi. Jika prokrastinasi didefinisikan sebagai rendahnya

keterlibatan perilaku dalam tugas akademik, hampir semua mahasiswa dapat

dinyatakan sebagai prokrastinator, bahkan mereka yang mengaku sebagai

bukan pelaku prokrastinasi.

Secara teori, prokrastinasi terdiri dari 4 aspek, yaitu prilaku, kognitif,

afektif dan motivasi (Sokolowska, 2009). Aspek prilaku berarti tindakan

menunda suatu tugas. Aspek kognitif fokus pada faktor irrational dan

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

13

illogical yang mendukung seseorang melakukan penudaan di samping

dampak negatif dari penundaan itu sendiri. Aspek afektif berhubungan

dengan mood dan emosi yang berhubungan dengan prokrastinasi. Aspek

motivasi fokus pada persepsi individu akan pentingnya tugas, manfaat, dan

ketertarikan intrinsik yang melekat dalam diri individu.

Salah satu alasan seseorang melakukan prokrastinasi adalah rasa

takut akan kegagalan. Rasa takut akan kegagalan diartikan sebagai rasa

bersalah seseorang yang meliputi perasaan seperti rasa malu dan cemas.

Dalam bidang akademik, rasa takut gagal didefinisikan sebagai rasa takut

tidak mampu menunjukkan performa yang baik sehingga tidak dapat

mencapai harapan yang diingikan individu dan orang lain. Rasa takut gagal

ini juga ditemukan memiliki hubungan dengan kecemasan terhadap kinerja,

orientasi pada kesempurnaan dan kepercayaan diri.

Dari penelitian yang pernah dilakukan Sokolowska (2009) pada

komunitas mahasiswa, aspek kognitif dan motivasi adalah yang paling umum

dan paling sering membawa pengaruh terhadap penundaan. Seperti yang

dikatakan Tuckman (1998) bahwa ketidakmampuan mahasiswa mengatasi

penundaan mungkin berhubungan dengan masalah yang dihadapi, salah

satunya disebabkan oleh sulit untuk memotivasi diri. Alasan motivasional

yang umum untuk prokrastinasi meliputi penundaan terhadap tugas yang

tidak disukai dan tidak menarik (Sokolowska, 2009). Ketidaksukaan atas

tugas yang diberikan sebagai sebuah alasan untuk melakukan penundaan,

dapat dipicu oleh tipe kesukaan pribadi terhadap suatu tugas, akan tetapi

dapat juga dipicu oleh stimulus yang diberikan oleh lingkungan yang

mencerminkan tipe ketertarikan terhadap suatu tugas tertentu. Sisi afektif dan

kognitif memang lebih tidak umum, namun juga memberikan kontribusi

terhadap prokrastinasi. Menurut Sokolowska (2009), dua hal dari aspek

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

14

afektif yang sering menyebabkan prokrastinasi adalah emosi negatif yang

berhubungan dengan ketakutan atas kegagalan dan keadaan emosi positif

yang dihasilkan dari tekanan waktu.

Prokrastinasi dapat muncul karena tanggung jawab tambahan yang

diterima (Sokolowska, 2009). Dari hasil peneilitian yang dilakukan

Sokolowska (2009) dalam disertasinya, hal ini dapat dilihat bahwa banyak

dari mahasiswa menanggung lebih banyak tanggung jawab dari yang

seharusnya mereka tanggung, seperti pekerjaan atau tanggung jawab

terhadap keluarga. Mahasiswa menggunakan prokrastinasi sebagai salah satu

cara untuk mengatur tugas-tugas dan deadline secara lebih efisien. Sehingga

dapat dikatakan bahwa prokrastinasi menjadi sebuah pilihan yang dibuat

secara sadar untuk menghadapi kenyataan bahwa waktu yang dimiliki

terbatas.

b. Teori psikodinamika

Menurut Freud (dalam Ferrari dkk, 1995) berkaitan konsep tentang

prokrastinasi, mengatakan bahwa seseorang yang dihadapkan tugas yang

mengancam ego pada alam bawah sadar akan menimbulkan ketakutan dan

kecemasan. Perilaku penundaan atau prokrastinasi merupakan akibat dari

penghindaran tugas dan sebagai mekanisme pertahanan diri. Bahwa seseorang

secara tidak sadar melakukan penundaan, untuk menghindari penilaian yang

dirasakan akan mengancam, keberadaan ego atau harga dirinya. Akibatnya tugas

yang cenderung dihindari atau yang tidak diselesaikan adalah jenis tugas yang

mengancam ego seseorang, misalnya tugas-tugas di sekolah, seperti tercermin

dalam perilaku prokrastinasi akademik, sehingga bukan semata karena ego yang

membuat seseorang melakukan prokrastinasi.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

15

c. Teori behavioristik

Penganut psikologi behavioristik beranggapan bahwa perilaku

prokrastinasi muncul akibat proses pembelajaran. Seseorang melakukan

prokrastinasi karena dia pernah mendapatkan punishment atas perilaku

tersebut. Seorang yang pernah merasakan sukses dalam melakukan tugas

sekolah dengan melakukan penundaan, cenderung akan mengulangi lagi

perbuatannya. Sukses yang pernah dia rasakan akan dijadikan reward untuk

mengulangi perilaku yang sama dimasa yang akan datang (Bijou, dkk, dalam

Ferrari dkk, 1995).

Adanya obyek lain yang memberikan penguat lebih menyenangkan

daripada obyek yang diprokrastinasi, menurut McCown dan Johnson(dalam

Ferrari dkk, 1995) dapat memunculkan perilaku prokrastinasi akademik.

Seseorang yang memandang bermain basket lebih menyenangkan daripada

mengerjakan skripsi, mengakibatkan skripsi lebih sering diprokrastinasi

daripada bermain basket. Di samping penguat yang diperoleh, prokrastinasi

juga cenderung dilakukan pada jenis tugas yang mempunyai hukuman atau

konsekuensi dalam jangka waktu yang lebih lama daripada tugas yang tidak

ditunda oleh karena hukuman yang akan dihadapi kurang begitu kuat untuk

menghentikan perilaku prokrastinasi, misalnya ketika seseorang disuruh

memilih untuk menunda belajar ujian semester atau menunda untuk

mengerjakan pekerjaan rumah mingguan, maka kencederungan untuk

menunda belajar untuk ujian semester lebih besar daripada menunda

mengerjakan pekerjaan rumah minggguan, karena resiko nyata yang

dihadapi lebih pendek mengerjakan pekerjaan rumah daripada belajar untuk

ujian.

Perilaku prokrastinasi juga bisa muncul pada kondisi lingkungan

tertentu. Kondisi yang menimbulkan stimulus tertentu bias menjadi penguat

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

16

bagi munculnya perilaku prokrastinasi. Kondisi yang rendah dalam

pengawasan akan mendorong seseorang untuk melakukan prokrastinasi,

karena tidak adanya pengawasan akan mendorong seseorang untuk

berperilaku tidak tepat waktu (Dossett, dkk, Bijou, dkk, dalam Ferrari, dkk.,

1995).

Berdasarkan teori yang telah di uraikan di atas, maka teori

prokrastinasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teori

prokrastinasi berdasarkan konsep Sokolwska (2009). Penggunaan

prokrastinasi tersebut disesuaikan dengan tujuan penelitian ini yakni untuk

menjelaskan prokrastinasi skripsi mahasiswa fakultas psikologi UKSW,

Salatiga. Pada prinsipnya teori ini menjelaskan bahwa prokrastinasi bukanlah

sebuah hal yang “monolithic” dan tersusun secara homogen, namun

merupakan sebuah fenomena yang memiliki banyak sisi yang dinamis dan

tergantung dari tugas yang dihadapi, situasi dan kerakteristik individu dari

pelaku prokrastinasi.

3. Aspek prokrastinasi

Menurut Sokolowska (2009), prokrastinasi memiliki 4 aspek, yaitu:

a) Prilaku

Dimensi prilaku menekankan pada penundaan mengerjakan tugas

dengan cara menghindar dan memperlambat penyelesaian tugas.

Oleh karena itu, karakteristik perilaku prokrastinasi berkaitan

dengan aksi penundaan atau penghindaran. Seorang

prokrastinator cenderung mengalami kesulitan untuk melakukan

hal-hal yang tidak disenangi dan ketika mungkin untuk

melakukan, akan menghidarinya. Ia lebih cenderung untuk

melakukan hal-hal yang disenangi

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

17

b) Afektif

Dimensi afektif menekankan pada ketidaknyamanan yang

dirasakan individu. Secara khusus, dimensi ini berhubungan

dengan kecemasan dan kekhawatiran. Beberapa peneliti

menginvestigasi penundaan sebagai mekanisme jalan keluar dari

tekanan emosional yang diasosiasikan dengan tugas. Orang yang

melakukan penundaan juga rentan menderita kekhawatiran dan

frustrasi, khususnya sebelum atau sesudah batas waktu yang

ditentukan. Selain itu, cenderung bosan, suka mencari sensasi,

dan aksi pemberontakan.

c) Kognitif

Dimensi kognitif menekankan kepada mengapa individu tetap

membuat keputusan untuk menunda meskipun mengetahui

konsekuensi negatifnya. Pendekatan secara kognitif membahas

kesengajaan untuk menunda di awal atau menyelesaikan suatu

tugas. Dimensi kognitif dari prokrastinasi melibatkan

pertentangan antara niat untuk menyelesaikan tugas. Dimensi

kognitif juga melibatkan kesulitan memprioritaskan suatu tugas,

dan manajemen waktu yang buruk.

d) Motivasi

Prokrastinasi juga bisa dilihat sebagai motivasi untuk tidak

menyelesaikan tugas. Termasuk di dalamnya persepsi individu

akan pentingnya tugas, manfaat, dan ketertarikan intrinsik yang

melekat dalam diri individu. Beberapa penelitian secara umum

menunjukkan bahwa siswa yang melihat tugas sebagai hal yang

tidak penting, tidak relevan dengan tujuan utamanya, dan tidak

tertarik terhadap tugas tersebut, menunjukan level prokrastinasi

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

18

yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menilai tugas

sebagai sesuatu yang penting.

Scouwenburg (dalam Ferrari, dkk., 1995) menyatakan aspek-aspek

prokrastinasi sebagai berikut:

a) Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada

tugas yang dihadapi.

Seseorang yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang

dihadapinya harus segera diselesaikan dan berguna bagi dirinya,

akan tetapi dia menunda-nunda untuk mulai mengerjakannya atau

menunda-nunda untuk menyelesaikan sampai tuntas jika dia

sudah mulai mengerjakan sebelumnya.

b) Keterlambatan dalam mengerjakan tugas.

Orang yang melakukan prokrastinasi memerlukan waktu yang

lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan pada umumnya

dalam mengerjakan suatu tugas. Seorang prokratinator

menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk mempersiapkan diri

secara berlebihan, maupun melakukan hal-hal yang tidak

dibutuhkan dalam penyelesaian suatu tugas, tanpa

memperhitungkan keterbatasan waktu yang dimilikinya. Kadang-

kadang tindakan tersebut mengakibatkan seseorang tidak berhasil

menyelesaikan tugasnya secara memadai. Kelambanan, dalam arti

lambannya kerja seseorang dalam melakukan suatu tugas dapat

menjadi ciri yang utama dalam prokrastinasi akademik.

c) Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual.

Seorang prokrastinator mempunyai kesulitan untuk melakukan

sesuatu sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan

sebelumnya. Seorang prokrastinator sering mengalami

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

19

keterlambatan dalam memenuhi deadline yang telah ditentukan,

baik oleh orang lain maupun rencana-rencana yang telah dia

tentukan sendiri. Seseorang mungkin telah merencanakan untuk

mulai mengerjakan tugas pada waktu yang telah ia tentukan

sendiri. Seseorang mungkin telah merencanakan untuk mulai

mengerjakan tugas pada waktu yang telah ia tentukan sendiri,

akan tetapi ketika saatnya tiba dia tidak juga melakukannya

sesuai dengan apa yang telah direncanakan, sehingga

menyebabkan keterlambatan maupun kegagalan untuk

menyelesaikan tugas secara memadai.

d) Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada

melakukan tugas yang harus dikerjakan.

Seorang prokrastinator dengan sengaja tidak segera melakukan

tugasnya, akan tetapi menggunakan waktu yang dia miliki untuk

melakukan aktivitas lain yang dipandang lebih menyenangkan

dan mendatangkan hiburan, seperti membaca (koran, majalah,

atau buku cerita lainnya), nonton, ngobrol, jalan, mendengarkan

musik, dan sebagainya, sehingga menyita waktu yang dia miliki

untuk mengerjakan tugas yang harus diselesaikannya.

Berdasarkan aspek-aspek yang telah dikemukakan di atas maka

dalam penelitian ini, penulis menggunakan empat aspek prokrastinasi

menurut Sokolowska (2009). Alasan dipilihnya aspek prokrastinasi tersebut

adalah karena aspek-aspek tersebut sangat relevan dengan kondisi yang

dialami mahasiswa fakultas psikologi UKSW, Salatiga.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

20

4. Faktor – faktor yang memengaruhi prokrastinasi

Burka dan Yuen; Gordon; Shindler dan Weinstein; Piyor (dalam

Gunawinata, dkk., 2008), menyatakan bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi munculnya prilaku prokrastinasi akademik adalah orientasi

pada kesempurnaan. Sifat yang ditemukan memiliki hubungan dengan

prokrastinasi adalah orientasi pada kesempurnaan (perfectionism), dan ini

dianggap sebagai motif utama untuk menunda (Ferrari, dkk., 1995; Flett,

Hewitt & Martin, 1995; Onwuegbuzie, 2000, dalam Chabaud, dkk., 2010).

Reasinger dan Brownlow (dalam Al-Attiyah, 2010) menemukan bahwa

kurangnya motivasi ekstinsik, orientasi pada kesempurnaan dan gaya atribusi

eksternal merupakan prediktor seseorang melakukan penundaan. Szalavits

(dalam Hampton, 2005) mengidentifikasi variabel lain yang dapat

menambah seseorang menunda, adalah: perasaan takut gagal, orientasi pada

kesempurnaan, kontrol diri (self-control), pola asuh dan tugas yang

berhubungan dengan kecemasan.

Thakkar (2009) menyatakan rendahnya efikasi diri memiliki

hubungan dengan prokrastinasi. Ferrary dkk (dalam Haycock, dkk., 2001)

menemukan korelasi negatif antara keyakinan efikasi dan prokrastinasi

akademik. Dalam beberapa studi sebelumnya yang dilakukan ( Ferrari,

Parker & Ware; Lay; Martin, dkk., dalam Haycock, dkk., 2001) telah

menemukan bahwa siswa yang menampilkan tingkat yang lebih tinggi

efikasi diri untuk tugas-tugas sosial, atau hari-hari (namun tidak ada efikasi

untuk tugas-tugas akademik) prokrastinasi lebih sering daripada siswa lain.

Tuckman juga menemukan hubungan terbalik yang signifikan antara

keyakinan efikasi dan penundaan. (dalam Haycock, dkk., 2001).

Dari beberapa pendapat dan hasil penelitian sebelumnya,

prokrastinasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: orientasi pada

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

21

kesempurnaan (perfectionism), efikasi diri, kontrol diri, pola asuh, motivasi

ekstinsik, dan gaya atribusi eksternal

B. Orientasi Pada Kesempurnaan (Perfectionism)

1. Pengertian orientasi pada kesempurnaan

Menurut Hamachek (dalam Yao, 2009) orientasi pada kesempurnaan

dapat dianggap sebagai sifat positif yang terkait dengan standar pribadi yang

tinggi dan prestasi tinggi. Orientasi pada kesempurnaan adalah sifat

kepribadian yang ditandai dengan upaya untuk mencapai kesempurnaan dan

menetapkan standar kinerja yang terlalu tinggi, disertai dengan

kecenderungan ke arah evaluasi terlalu kritis terhadap perilaku seseorang

(Flett & Hewitt, dalam Besharat, 2011). Orientasi pada kesempurnaan

diartikan sebagai ambisi seseorang untuk dapat dan harus mencapai suatu

target yang tinggi, dan sesuatu yang kurang dari sempurna dianggap sebagai

kegagalan total (Kaur & Kaur, 2011).

Menurut Horrney (dalam Alwilsol, 2004) orientasi pada

kesempurnaan merupakan salah satu aktualisasi diri ideal yang memiliki 3

aspek, yaitu pencarian keagungan yang neurotik, penuntut yang neurotik, dan

kebanggaan neurotik. Untuk mengaktualisasikan diri idealnya, seseorang

mengembangkan kebutuhan untuk sempurna (need for perfection), yaitu

dorongan untuk menggabungkan keseluruhan kepribadian ke dalam diri ideal

secara neurotik, sehinga menjadi tidak puas dengan sedikit perubahan, tidak

menerima sesuatu yang belum sempurna.

Seorang yang perfeksionis menciptakan pikiran yang tidak realistis

dan tekanan yang sebenarnya mebuatnya menderita. Menurut Romas dan

Sarma (dalam Gunawinata, dkk., 2008) pikiran tersebut adalah: (a) saya

harus sempurna untuk setiap apa yang saya kerjakan, (b) saya seharusnya

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

22

tidak membuat kesalahan, demikian pula orang lain, (c) saya berusaha keras

untuk melakukan yang benar, saya pantas terhindar dari frustasi dan

kesuliatan hidup, (d) selalu ada cara yang benar untuk menyelesaikan

sesuatu, (e) jika saya melakukan kesalahan maka hancurlah segalanya, (f)

bilamana seseorang tidak melakukan sebagaimana seharusnya mereka

lakukan, mereka adalah manusia yang buruk, (g) jika saya tidak melakukan

dengan sempurna, saya pantas meghukum diri saya, (h) jika saat ini saya

tidak melakukan dengan sempurna, maka saya harus bisa sempurna di lain

waktu, (i) saya harus sempurna atau saya orang yang gagal.

Jadi, dapat disimpulkan bawa orientasi pada kesempurnaan adalah

sifat kepribadian yang ditandai dengan upaya untuk mencapai kesempurnaan

dan menetapkan standar kinerja yang terlalu tinggi, dan hal ini merupakam

aktualisasi diri yang ideal dengan ambisi dan tujuan yang terlalu tinggi,

tuntutan kesempurnaan yang berlebihan, serta tidak dapat menerima sesuatu

yang tidak sempurna.

2. Teori orientasi pada kesempurnaan

Di awal tahun 1990-an, konsep tentang orientasi pada kesempurnaan

masih dianggap satu satu dimensi, yaitu difocuskan pada self-directed

cognition (Pingree, dalam Gunawinata, dkk., 2008). Ferrari, dkk., (1995)

mengatakan dimensi tersebut hanya keyakinan akan tingginya standar

personal. Orientasi pada kesempurnaan dipandang sebagai standar

performansi yang tidak realistik dan usaha untuk merealisasikan usaha

tersebut, lalu gagal, kemudian mengevaluasi diri dan cenderung melihat hasil

akhir dengan standar yang kaku. Akan tetapi, kini para peneliti mulai

menyadari bahwa orientasi pada kesempurnaan adalah konstruk

multidimensional yang di dalamnya terdapat komponen personal dan sosial.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

23

Salah satunya adalah Hewitt dan Flett (dalam Yao, 2009) yang

memikirkan mengenai multidimensi orientasi pada kesempurnaan, dengan

memfokuskan pada aspek interpersonal. Mereka mendeskripsikan 3 dimensi

dari orientasi pada kesempurnaan. Pertama, dimensi self-oriented

perfectionism. Dimensi ini melibatkan standar tinggi yang ada di dalam diri

seseorang dan tegas terhadap dirinya sendiri mengenai standarnya tersebut.

Individu yang perfeksionis termotivasi untuk mencapai standar

sempurnannya dan berusaha untuk menghindari kegagalan. Kedua, dimensi

other-oriented perfectionism. Dimensi ini melibatkan harapan dari seorang

perfeksionis untuk menuntut orang lain memenuhi standar tinggi yang ia

tetapkan. Perilaku sempurna harus dimunculkan oleh orang lain, organisasi

dan masyarakat di sekitar individu yang perfeksionis ini. individu yang

memiliki tingkatan yang kuat pada dimensi ini akan memunculkan perasaan

dan pemikiran dalam dirinya yang berkaitan dengan permusuhan dengan

orang lain, autoritarianisme dan perilaku doninan. Ketiga, dimensi socially

prescribed perfectionism. Seorang yang perfeksionis merupakan hasil

bentukan dari lingkungan sosialnya karena mereka yakin orang lain memiliki

standar yang tidak realistis dan motif perfeksionistim terhadap perilakunya.

Seorang perfeksionis beranggapan orang lain akan puas ketika standar

tersebut tercapai dan menerima orang lain mengontrol dirinya. Oran lain

yang dimaksud disini adalan significant other, termasuk orang tua, sekolah

atau masyarakat.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

24

3. Dimensi orientasi pada kesempurnaan

Menurut Hewitt dan Flett ( dalam Antony & Swinson, 2009) orientasi

pada kesempurnaan (perfectionism) terbagi menjadi 3 aspek, yaitu:

1) Self-oriented perfectionism

Merupakan kecenderungan memiliki standar untuk diri yang

sangat tidak realistis dan tidak mungkin untuk.

2) Other-oriented perfectionism

Merupakan kecenderungan dari seorang perfeksionis untuk

menuntut orang lain memenuhi standar tinggi yang ia tetapkan.

3) Socially prescribe perfectionism

Merupakan kecenderungan menganggap orang lain (Orang tua,

guru, teman ) memiliki ekspektasi bahwa tidak mungkin untuk

mencapai standar tinggi yang ditetapkan.

Menurut Hill, dkk., (2004) orientasi pada kesempurnaan memiliki 2

dimensi, yaitu:

a) Ketelitian akan kesempurnaan

Ini merupakan dimensi adaptif atau dimensi positif dari orientasi

pada kesempurnaan. Adapun indikator dari dimensi ini adalah

kecenderungan untuk meminta pihak lain memiliki standar yang

sama, kecenderungan untuk rapi dan teratur, kecenderungan

untuk merencanakan di awal atau membicarakan keputusan

sebelum diambil, kecenderungan untuk mengejar hasil yang

sempurna atau berstandar tinggi.

b) Evaluasi diri pada kesempurnaan

Ini merupakan dimensi maladaptif atau dimensi negatif dari

orientasi pada kesempurnaan. Adapun indikator dari dimensi ini

adalah kecederungan mengalami stress atau kecemasan akibat

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

25

kesalahan yang dibuat, kecenderungan untuk mendapatkan

validasi dari orang lain atau sensitif terhadap kritik,

kecenderungan merasa perlu tampil sempurna untuk mendapat

penerimaan dari orang tua, kecenderungan untuk khawatir

mengenai kesalahan yang dibuat di masa lalu atau kesalahan di

masa depan.

Berdasarkan aspek-aspek yang telah dikemukakan di atas maka

dalam penelitian ini, penulis menggunakan empat aspek orientasi pada

kesempurnaan menurut Hill (2004). Alasan dipilihnya aspek orientasi pada

kesempurnaan tersebut adalah karena aspek-aspek tersebut sangat relevan

dengan kondisi yang dialami mahasiswa fakultas psikologi UKSW, Salatiga.

4. Efek orientasi pada kesempurnaan terhadap prokrastinasi

skripsi

Orientasi pada kesempurnaan diartikan sebagai keyakinan seseorang

untuk dapat dan harus mencapai suatu target yang tinggi, dan sesuatu yang

kurang dari sempurna dianggap sebagai kegagalan total (Kaur & Kaur,

2011). Karena tututan akan kesempurnaan ini terkadang seorang mahasiswa

yang perfeksionis memiliki menuntut kesempurnaan pada setiap tugas-tugas

ataupun skripsi yang ia kerjakan. Akan tetapi, ketika ia merasa tidak mampu

memenuhi tuntutan tersebut, ia melakukan penundaaan dalam

pengerjaannya.

Mahasiswa yang berorientasi pada kesempurnaan menuntut hasil

kerjanya sempurna. Misalnya dalam mengerjakan skripsi. Karena

keinginanya untuk mendapatkan hasil yang sempurna, mahasiswa tersebut

cenderung menundan dalam memulai menulis skripsinya. Ia lebih memilih

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

26

untuk menyibukan diri mencari materi hingga dirasa materi tersebut sudah

cukup untuk kesempurnaan skripsinya.

Namun, mesekipun demikian terkadang memang orientasi pada

kesempurnaan memunculkan energi atau dorongan kepada seseorang untuk

selalu memberikan yang terbaik di dalam mencapai hal dinginkannya.

Seperti yang dikatakan Roedell (dalam Kaur & Kaur, 2011) bahwa orientasi

pada kesempurnaan juga dapat memberikan energi kepada seseorang untuk

mencapai prestasi terbaik yang diinginkannya. Energi ini mendorong

seseorang untuk tidak menunda menyelesaikan tugasnya. Sehingga, Stanley

(dalam Kaur & Kaur, 2011) berpendapat bahwa seorang yang perfeksionis

memiliki tingkatan yang rendah pada prokrastinasi.

C. Efikasi diri

1. Pengertian efikasi diri

Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang akan kemampuanya

untuk menyelesaikan tugas ( Bandura, dalam Thakkar 2009). Menurut Kahn

(2011) efikasi diri merupakan persepsi individu akan kapasitasnya dalam

menyelesaikan suatu tugas. Bonar (dalam Kahn, 2011) mendefinisikan

efikasi diri sebagai kepercayaan diri yang tinggi akan kemampuan diri untuk

menggunakan kemampuan kontrol dirinya (self-control). Cain (dalam Kahn

2011) mengartikan efikasi diri sebagai kepercayaan diri akan kemampuan

diri dalam melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk hasil yang

diinginkan.

Menurut Matlin (dalam Sulistyawati, 2010), seseorang yang memiliki

efikasi diri yang kuat, mampu mengatur kehidupan mereka untuk lebih

berhasil. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Ames (dalam Balkis,

2011) bahwa efikasi diri merupakan keyakinan dasar yang memimpin

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

27

seseorang untuk mencapai kesuksesan atau keberhasilan. Seseorang dengan

efikasi diri yang tinggi ketika awalnya tidak berhasil, mereka akan mencoba

cara yang baru, dan bekerja lebih keras. Ketika masalah timbul, seseorang

dengan efikasi diri yang kuat tetap tenang dalam menghadapi masalah dan

mencari solusi, bukan memikirkan kekurangan dari dirinya. Menurut

Bandura (dalam Seo, 2008) Biasanya, pelajar dengan tingkat lebih tinggi

efikasi diri lebih mungkin untuk terlibat dalam tugas-tugas akademik,

menggunakan strategi yang lebih baik dan mencapai nilai lebih tinggi

daripada pelajar yang kurang percaya diri akan kemampuan mereka untuk

berhasil.

Bandura ( dalam Yao, 2009 ) menjelaskan bahwa individu yang

kurang percaya diri akan kemampuanya untuk berhasil menyelesaikan suatu

tugas akan lebih mungkin untuk menghindari tugas-tugas tersebut daripada

mencoba untuk mengerjakanya. Bandura (dalam, Haycock dkk, 1998) juga

berpendapat bahwa efikasi diri yang kuat akan mendororong kepada inisiatif

dan ketekunan pada tugas yang lebih besar. Dengan demikian, individu

dengan efikasi diri yang rendah akan lebih mungkin untuk menunda

mengerjakan tugas. Begitu pula sebaliknya, individu dengan efikasi diri yang

tinggi cenderung tidak menunda mengerjakan tugas-tugasnya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri

adalah keyakinan seseorang akan kemampuan nya dalam menghadapi

masalah dan mencari solusi, dan bukan memikirkan kekurangan dari dirinya.

2. Teori efikasi diri

Efikasi diri merupakan asumsi dasar teori kognitif sosial Albert

Bandura yang menyoroti pertemuan yang kebetulan (chance encounters) dan

kejadian tak terduga (fortuitous events) dengan serius meskipun tahu bahwa

pertemuan dan peristiwa ini tidak serta merta mengubah jalan hidup

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

28

manusia. Cara manusia bereaksi terhadap pertemuan atau kejadian yang

diharapkan itulah yang biasanya lebih kuat daripada peristiwanya sendiri.

Teori kognitif sosial yang menggunakan perspektif keagenan, menjelaskan

bahwa manusia memiliki kapasitas untuk melatih pengontrolan atas alam dan

kualitas hidup mereka sendiri. Manusia adalah produsen sekaligus produk

sistem sosial. Performa manusia umumnya berkembang ketika mereka

memiliki kepercayaan diri yang tinggi, yaitu keyakinan bahwa mereka dapat

menampilkan perilaku yang akan menghasilkan perilaku yang diinginkan

dalam situasi tertentu (Bandura dalam Feist & Feist, 2008).

Teori kognitif sosial berbicara bahwa, manusia memiliki kapasitas

untuk menjadi apa pun, dan sebagian besar kemampuan ini diperoleh dari

belajar kepada model. Jika pembelajaran manusia hanya bergantung kepada

pengalaman langsung trial and error, maka perkembangan manusia akan

berjalan lambat, membosankan, dan berbahaya. Untungnya, manusia sesudah

mengembangkan kapasitas kognitif yang tinggi untuk belajar lewat

pengamatan yang memampukan mereka membentuk dan menstruktur hidup

mereka melalui kekuatan pemodelan. Meskipun pada dasarnya berorientasi

kepada tujuan, Bandura percaya bahwa manusia memiliki intensi dan tujuan

yang lebih spesifik sifatnya daripada umum. Manusia tidak dimotivasikan

oleh tujuan penguasaan tunggal seperti memperjuangkan superioritas atau

aktualisasi diri namun oleh multiplisitas tujuan, beberapa diantaranya jauh

dan beberapa lagi dekat. Namun intensi-intensi individual ini tidak anarkis,

mereka memiliki sejumlah stabilitas dan mengeliminasi perilaku yang tidak

memenuhi standar hubungan mereka. Standar pribadi ini cenderung

memberikan perilaku manusia derajat konsistensi meskipun perilaku itu

sendiri tidak memiliki motif penguasaan sebagai penuntunnya (Bandura

dalam Feist & Feist, 2008).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

29

Bandura yakin bahwa manusia dapat melatih kontrol atas hidup

mereka. Meskipun manusia dipengaruhi oleh lingkungan ataupun

pengalaman mereka, tetapi mereka memiliki kekuatan untuk membentuk dua

kondisi eksternal ini. Untuk taraf tertentu, manusia dapat mengatur kondisi

lingkungan yang akan membentuk perilaku masa depan dan dapat memilih

untuk mengabaikan atau menindaklanjuti pengalaman sebelumnya.

Keagenan manusia menyatakan bahwa mereka yang memiliki efikasi diri

secara personal dan kolektif tinggi dan yang memanfaatkan tindak

perwakilan secara efektif memiliki sejumlah besar pengaruh bagi tindakan

mereka sendiri. Namun begitu, beberapa orang memang memiliki kebebasan

lebih besar ketimbang orang lain karena lebih terlatih mengendalikan

perilakunya (Bandura dalam Feist & Feist, 2008).

Kesimpulan teori di atas adalah, keyakinan manusia terhadap efikasi

diri mereka akan mempengaruhi arah tindakan yang akan mereka pilih untuk

diupayakan, seberapa banyak upaya yang ditanamkan pada pekerjaan,

seberapa lama akan bertahan di tengah kegagalan, dan seberapa besar

keinginan untuk bangkit dari kegagalan. Oleh karena itu, efikasi diri harus

dikombinasikan dengan lingkungan ataupun pengalaman, khususnya

ekspektansi terhadap hasil untuk dapat menghasilkan perilaku tertentu.

3. Aspek – aspek efikasi diri

Menurut Bandura (dalam Sulistyawati, 2010) terdapat tiga aspek dari

efikasi diri pada diri manusia, yaitu:

a) Tingkatan ( level )

Ada perbedaan efikasi diri yang dihayati oleh masing – masing

individu mungkin dikarenakan perbedaan tuntutan yang dihadapi.

Tututan mempresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

30

atau kesukaran untuk mencapai performansi optimal. Jika

halangan untuk mencapai tuntutan itu sedikit, maka aktifitas lebih

mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian individu akan

memiliki efikasi diri yang tinggi. Seseorang yang memiliki

efikasi diri tinggi merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan

menguasai permasalahan yang sulit, sedangkan seseorang yang

memiliki level yang rendah meyakini bahwa mereka hanya

mampu menyelesaikan tugas-tugas yang sederhana. Seseorang

dengan efikasi diri yang tinggi cenderung akan memilih

mengerjakan tugas yang sifatnya sulit.

b) Keadaan Umum (generality)

Aspek ini menjelaskan keyakinan individu untuk menyelesaikan

tugas-tugas tertentu dengan tuntas dan baik. Individu mungkin

akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam

aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu. Keadaan umum

bervariasi dalam jumlah dari dimensi yang berbeda-beda, di

antaranya tingkat kesamaan aktivitas, perasaan dimana

kemampuan ditunjukkan (tingkah laku, kognitif, afektif), dan

karakteristik individu menuju kepada siapa prilaku tersebut

ditujukan. Pengukuran berhubungan dengan daerah aktivitas dan

konteks situasi yang menampakkan pola dan tingkat generalisasi

yang paling mendasar berkisar tentang apa yang individu susun

pada kehidupan mereka. Seseorang dengan efikasi diri tinggi

merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk dapat

bertindak dalam situasi apapun, sedangkan seseorang dengan

efikasi diri rendah merasa bahwa dirinya hanya memiliki

kemampuan untuk bertindak pada situasi yang terbatas.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

31

c) Kekuatan (strength)

Pengalaman memiliki pengaruh terhadap efikasi diri yang

diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan

keyakinannya pula. Individu yang memiliki kemampuan kuat

terhadap kemampuan meraka akan teguh dalam berusaha untuk

mengesampingkan kesulitan yang mereka hadapi. Dengan kata

lain, seseorang dengan kekuatan efikasi diri yang tinggi sangat

yakin akan kemampuan dirinya, mereka akan bertahan dalam

usaha menghadapi masalah yang sulit, mampu menyelesaikan

masalah yang penuh rintangan, dan ketekunan yang besar akan

berhasil dalam melakukan tugasnya, sebaliknya, mereka yang

memiliki kekuatan efikasi diri yang rendah akan merasa bahwa

kemampuannya lemah dan akan mudah terguncang apabila

menghadapi rintangan dalam melakukan tugasnya.

Corsini (dalam Siregar, 2012) mendefinisikan aspek-aspek dari

efikasi diri yang diantaranya adalah:

a) Kognitif

Yaitu kemampuan individu untuk memikirkan cara-cara yang

digunakan, dan merancang tindakan yang akan diambil untuk

mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu fungsi berfikir

adalah untuk memprediksi kejadian sehari-hari yang akan

berakibat pada masa depan. Semakin efektif kemampuan efektif

kemampuan seseorang dalam analisis berfikir dan dalam berlatih,

maka akan mendukung seseorang bertindak dengan tepat untuk

mencapai tujuan yang diharapkan.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

32

b) Motivasi

Yaitu kemampuan individu untuk memotivasi diri melalui

pikirannya untuk melakukan tindakan dan membuat keputusan

serta mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi tumbuh dari

pemikiran yang optimis dari dalam diri individu untuk

mewujudkan tindakan yang diharapkan. Tiap-tiap individu

berusaha memotivasi dirinya dengan menetapkan keyakinan pada

tindakan yang akan dilakukan, mengantisipasi pikiran sebagai

latihan untuk mencapai tujuan dan merencanakan tindakan yang

akan dilaksanakannya. Motivasi dalan efikasi diri digunakan untuk

memprediksi kesuksesan dan kegagalan.

c) Afeksi

Yaitu kemampuan individu untuk mengatasi perasaan emosi yang

ditimbulkan dari diri sendiri untuk mencapai tujuan yang

diharapkan. Afeksi berperan pada pengaturan diri individu

terhadap pengaruh emosi. Afeksi terjadi secara alami dalam diri

individu dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman

emosional. Afeksi ditujukan dengan mengontrol kecemasan dan

perasaan depresif yang menghalangi pola pikir yang benar untuk

mencapai tujuan.

d) Seleksi

Yaitu kemampuan individu untuk melakukan pertimbangan secara

matang dalam memilih perilaku dan lingkungannya. Individu akan

menghindari aktivitas dan situasi yang diyakini melebihi

kemampuan yang mereka miliki, tetapi mereka siap melakukan

aktivitas menantang dan situasi yang mereka rasa mampu

mengendalikannya.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

33

Dalam penelitian ini aspek-aspek efikasi diri menurut Corsini (dalam

Siregar, 2012) yang akan digunakan. Hal ini dikarenakan aspek – aspek

tersebut dipengaruhi oleh motif dari individu untuk memulai suatu pekerjaan.

Hal ini tercermin dalam perilaku individu, antara lain harapan individu akan

hasil dari suatu perilaku, keyakinan bahwa individu akan berhasil dalam

bertindak sesuai dengan yang diharapkannya, dan makna atas hasil yang

telah diperoleh individu. Dan semuanya ini dipengaruhi oleh aspek kognitif,

motivasi, afeksi, dan seleksi.

4. Efek efikasi diri terhadap prokrastinasi skripsi.

Bandura ( dalam Muhid, 2006 ) menjelaskan bahwa dalam kehidupan

sehari - hari orang harus membuat keputusan untuk mencoba berbagai

tindakan dan seberapa lama menghadapi kesulitan-kesulitan. Semakin kuat

persepsi efikasi diri semakin giat dan tekun usaha-usahanya. Dengan

demikian efikasi diri menentukan pula seorang mahasiswa akan menunda

mengerjakan skripsinya atau tidak, karena ketika seseorang mahasiswa yakin

akan kemampuan di bidang akademiknya, ia tidak akan menunda

mengerjakan skripsinya. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa

seorang mahasiswa dengan efikasi diri tinggi juga dapat melakukan

prokrastinasi. Misalnya, ketika seorang mahasiswa yakin bahwa ia mampu

mengerjakan revisi dari dosen pembimbing, ia akan menunda

mengerjakanya karena ia yakin bahwa ia mampu menyelesaikan revisi

tersebut. Dan ketika sudah dekat dengan deadline revisi tersebut

dikumpulkan barulah ia mengerjakan..

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

34

D. Penelitian Terdahulu

1. Penelitian orientasi pada kesempurnaan dengan prokrastinasi.

Penelitian Gunawinata, dkk., (2008) dengan judul “Perfeksionisme,

Prokrastinasi Akademik dan Penyelesaian Skripsi Mahasiswa”, bertujuan

untuk mengungkap hubungan antara orientasi pada kesempurnaan dan

prokrastinasi akademik dalam penyelesaian skripsi mahasiswa. Hasil

penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

orientasi pada kesempurnaan dan prokrastinasi akademik ( r = 0,277, p <

0,05 ). Penelitian ini juga menunjukan bahwa hanya dua aspek dari orientasi

pada kesempurnaan yang memiliki hubungan positif dengan prokrstinasi

akademik, yaitu socially prscribed perfectionism dan other-oriented

perfectionism.

Penelitian Kaur dan Kaur (2011), dengan judul “Perfectionism and

Procrastination: Cross Cultural Perspektive”, menunjukan hasil bahwa tidak

semua aspek dari orientasi pada kesempurnaan memiliki hubungan yang

signifikan dengan prokrastinasi. Hanya tiga aspek dari perfectionism yang

memiliki hubungan signifikan dengan prokrastinasi, yaitu parental

expectation (r = -0,705, p = 0,01) parental critism (r = 0.935, p = 0,01) ,

concern over mistake (r = 0,53, p = 0,01).

2. Penelitian efikasi diri dengan prokrastinasi

Penelitian Klassen dan Kuzucu (2009) dengan judul “Academic

procrastination and motivation of adolescents in Turkey”, menunjukkna

hasil bahwa academic efikasi diri memiliki pengaruh yang kuat bagi

prokrastinasi, baik untuk perempuan maupun laki-laki ( F= 28.65, p < .001).

Hal ini dikarenakan kepercayaan diri seseoorang akan kemampuannya

merupakan faktor terpenting bagi seseorang untuk menentukan

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

35

performannya dalam suatu tugas. Keyakinan yang kuat, yang menyebabkan

seseorang terhindar dari prokrastinasi.

Penelitian Muhid, (2006) dengan judul “ Hubungan Kontrol Diri dan

Efikasi diri dengan Prokrastinasi Akademik “, memiliki tujuan untuk

mengetahui apakah ada hubungan antara kontrol diri dan efikasi diri dengan

prokrastinasi akademik. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik

Regrasi Linier Berganda (Multiple Linier Regression). Hasil dari penelitian

ini menunjukan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara efikasi

diri dengan prokrastinasi akademik ( r = - 0,633, p = 0,000)

Penelitian Sirin (2011) denngan judul “Academic procrastination

among undergraduates attending school of physical education and sports:

Role of general procrastination, academic motivation and academic efikasi

diri, menunjukan hasil bahwa tidak hubungan antara academic efikasi diri

dengan prokrastinasi skripsi, dan academic efikasi diri bukan merupakan

prediktor bagi prokrastinasi akademik (p= 0,666). Hal ini mungkin

dikarenakan para partisipan sangat percaya bahwa mereka sudah pasti akan

lulus dari departemen tersebut.

Haycock, dkk., (1998) dengan judul “procrastination in College

Student: The Role of efikasi diri and Anxiety”. Penelitian ini menemukan

hasil bahwa skor prokrastinasi memiliki hubungan terbalik dan signifikan

dengan efikasi diri (r = -40). Korelasi bivariate menunjukan bahwa efficacy-

expectations dengan prokrastinasi memiliki hubungan yang signifikan. Akan

tetapi ketika variable-variable ini dimasukan ke dalam model regresi, hanya

cumulative efficacy strength yang signifikan sebagai prediktor prokrastinasi

(p= 0,04).

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

36

3. Penelitian orientasi pada kesempurnaan (perfectionism), efikasi

diri dan prokrastinasi

Penelitian yang dilakukan Yao (2009) dengan judul “An Exploration

of Multidimensional Perfectionism, Academic Efikasi diri, Procrastination

Frequency, and Asian American Cultural Values In Asian American

University Students”. Salah satu tujuan dari peneltian ini adalah melihat

pengaruh orientasi pada kesempurnaan dan efikasi diri terhadap prokrastinasi

akademik pada 316 mahasiswa Asia atau Asia-Amerika di Midwestern

University. Hasil dari One-way analysis of variance menumukan bahwa

individu – individu yang perfeksionis memiliki perbedaan tingkatan

kepercayaan akan kemampuan diri mereka (efikasi diri) untuk

menyelesaikan suatu tugas akademik dan tingkat prokrastinasi akademik.

Seseorang yang perfeksionis memiliki tingkat prokrastinasi akademik yang

rendah, dan memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi terhadap

kemampuan yang dimiliki untuk menguasai dan menyelesaikan suatu tugas

akademik. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa ada pengaruh

orientasi pada kesempurnaan dan efikasi diri terhadap prokrastinasi

akademik.

Dari hasil analisis korelasi yang dilakukan pada variabel efikasi diri

dan prokrastinasi, menunjukan hasil r = -0,26 (p < 0,01). Ini berarti ada

hubungan negatif yang signifikan antara efikasi diri dan prokrastinasi,

artinya jika semakin tinggi efikasi diri maka semakin rendah prokrastinasi.

Begitu pula sebaliknya, semakin rendah efikasi diri maka semakin tinggi

prokrastinasi. Sedangkan, analisis korelasi yang dilakukan untuk variabel

orientasi pada kesempurnaan dan prokrastinasi menunjukan hasil r = - 0,32

(p < 0,01). Ini berarti ada hubungan negatif yang signifikan antara orientasi

pada kesempurnaan dan prokrastinasi, artinya jika semakin tinggi orientasi

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

37

pada kesempurnaan maka semakin rendah prokrastinasi. Begitu pula

sebaliknya, semakin rendah orientasi pada kesempurnaan maka semakin

tinggi prokrastinasi.

E. Pengaruh Orientasi Pada Kesempurnaan dan Efikasi diri

Terhadap Prokrastinasi Skripsi

Perilaku prokrastinasi sebenarnya merupakan perilaku yang telah

lama ada dan dapat terjadi dalam berbagai bidang dan situasi. Ada banyak

faktor yang menyebabkan perilaku prokrastinasi, salah satunya adalah

orientasi pada kesempurnaan (perfectionism). Orientasi pada kesempurnaan

merupakan salah satu hasil dari distorsi kognitif yang menuntut adanya

kesempurnaan (Burns, dalam Gunawinata, dkk., 2008).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa kebanyakan prokrastinator

berasal dari seorang yang perfeksionis (Burke & Yuen, dalam Capan 2010).

Seorang yang perfeksionis memaksakan standar tinggi atau irrasional dalam

dirinya dan melakukan prokrastinasi karena mereka tidak yakin bahwa

mampu memenuhi standar itu sendiri (Capan, 2010). Seorang yang

perfeksionis sering kali lebih memikirkan penilaian orang lain terhadap

kinerja ataupun hasil kerja mereka. Karena hal inilah seorang yang

perfeksionis melakukan prokrastinasi. Dalam artian mereka lebih memilih

untuk memikirkan penilaian orang lain terus menerus, sehingga tugas

akhirnya tertunda pengerjaannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ferrary

(dalam Capan, 2010) , bahwa prokrastinator memiliki pandangan ke depan

mengenai bagaimana orang lain akan menilai mereka. Mereka tidak bersedia

untuk menyelesaikan tugas yang harus diselesaikanya karena terlalu sering

fokus pada standar yang mereka tetapkan sendiri dan berfikir secara

berlebihan mengenai penilaian orang lain.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

38

Orientasi pada kesempurnaan dapat pula berpegaruh terhadap

prokrastinasi melalui dua cara. Yang pertama, tekanan dan tuntutan yang

tinggi menyebabkan perfeksionis cenderung berusaha menghindari tugas

tersebut. Tuckman (dalam Gunawinata, dkk., 2008) mengatakan bahwa

seorang prokrastinator adalah pencari kesenangan dan berusaha menghindar

dari hal – hal yang menekan mereka. Oleh sebab itu, seorang perfeksionis

dapat melakukan prokrastinasi dengan melakukan hal – hal yang disenangi

sebagai coping terhadap tuntutan dan tekanan yang dirasakan. Yang kedua,

seorang mahasiswa yang menuntut kesempurnaan dalam membuat skripsi,

akan cenderung mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya hingga dirasa

sudah sangat sempurna untuk karyanya. Di dalam proses mencari dan

mengumpukan materi inilah terjadi prokrastinasi. Seorang yang perfeksionis

akan menunda memulai menulis skripsinya sebelum mendapat materi yang

cukup.

Banyak peneliti mengindikasikan bahwa seorang perfeksionis dan

prokrastinator memiliki beberapa karakteristik secara umum. Kedua tipe

individu ini memiliki karakteristik yang sama. Keduanya berorientasi pada

standar yang tinggi dan ingin merealisasikannya meskipun terkadang

irrasional, serta kedua tipe individu ini takut untuk membuat kesalahan

(Burka & Yuen; Beswick; Solomon & Rothblum, dalam Capan 2010).

Namun, mesekipun demikian terkadang memang orientasi pada

kesempurnaan memunculkan energi atau dorongan kepada seseorang untuk

selalu memberikan yang terbaik di dalam mencapai hal dinginkannya.

Seperti yang dikatakan Roedell (dalam Kaur & Kaur, 2011) bahwa orientasi

pada kesempurnaan juga dapat memberikan energi kepada seseorang untuk

mencapai prestasi terbaik yang diinginkannya. Energi ini mendorong

seseorang untuk tidak menunda menyelesaikan tugasnya. Sehingga, Stanley

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

39

(dalam Kaur & Kaur, 2011) berpendapat bahwa seorang yang perfeksionis

memiliki tingkatan yang rendah pada prokrastinasi.

Faktor lain yang memengaruhi prokrastinasi adalah efikasi diri.

Menurut Bandura ( dalam Seo, 2008) efikasi diri merupakan keyakinan

seseorang mengenai apakah dirinya mampu untuk memenuhi suatu tugas,

aktivitas atau hal lainnya. Menurut model efikasi diri Bandura (dalam Yao,

2009), individu dengan efikasi diri tinggi lebih memilih untuk terlibat dalam

suatu tugas atau aktivitas daripada menghindarinya, pekerja keras dalam

menyelesaikan tugas tersebut dan mampu bertahan dalam kesulitan. Karena

prokrastinasi dapat diartikan sebagai tipe perilaku menghidar, maka tingkat

efikasi diri yang tinggi berhubungan dengan tingkat prokrastinasi yang

rendah. Begitu pula sebaliknya, tingkat efikasi diri yang rendah berhubungan

dengan tingkat prokrastinasi yang tinggi (Yao, 2009).

Dalam beberapa penelitian menunjukan hubungan negatif antara

efikasi diri dan prokrastinasi. Ferrary dkk (dalam Haycock, dkk., 2001)

menemukan korelasi negatif antara efikasi diri dan prokrastinasi akademik.

Tuckman juga menemukan hubungan terbalik yang signifikan antara

keyakinan efikasi dan penundaan (dalam Haycock dkk, 2001). Dalam

penelitian Solomon dan Rothblum (dalam Yao, 2009) hasil analisis melalui

Multiple linear regression dengan tipe MBTI menunjukan bahwa efikasi diri

sebagai prediktor frekuensi prokrastinasi.

F. Kerangka Konsep dan Hipotesa

Gambar di bawah ini menjelaskan tentang prediksi dalam penelitian

ini, dimana diprediksi bahwa orientasi pada kesempurnaan dan efikasi diri

secara simultan dan signifikan memiliki pengaruh terhadap prokrastinasi

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2904/3/T2_832010013_BAB II.pdf · dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena

40

skripsi. Hal ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian sebelumnya yang telah

dijelaskan di atas.

Berdasarkan kerangka konsep tersebut, maka hipotesis penelitian ini

adalah orientasi pada kesempurnaan (perfectionism) dan efikasi diri secara

simultan dan signifikan memiliki pengaruh terhadap prokrastinasi skripsi

mahasiswa fakultas psikologi UKSW.

Orientasi padaKesempurnaan

(X1)Prokrastinasi

Skripsi(Y)

Efikasi diri(X2)