BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum prokrastinasi bukanlah sebuah hal yang “monolithic”
dan tersusun secara homogen, namun merupakan sebuah fenomena yang
memiliki banyak sisi yang dinamis dan tergantung dari tugas yang dihadapi,
situasi dan kerakteristik individu dari pelaku prokrastinasi. Ada aspek-aspek
serta faktor-faktor yang memengaruhi prokrastinasi yang dialami seseorang,
khususnya di kalangan mahasiswa. Bab ini akan memberikan penjelasan
mengenai prokrastinasi skripsi dan teori-teori yang mendasari prokrastinasi
skripsi itu sendiri, serta bagaimana hubungan prokrastinasi skripsi dengan
faktor orientasi pada kesempurnaan (perfectionism) dan efikasi diri.
A. Prokrastinasi Skripsi
1. Pengertian prokrastinasi skripsi
Prokrastinasi berasal dari bahasa latin procrastinare. Ini merupakan
gabungan dari dua kata yaitu pro dan crastinus, yang berarti menunda
sampai besok (Ferrari, Johnson, & McCown, 1995). Prokrastinasi merupakan
kecenderungan untuk menunda sesuatu yang diperlukan untuk mencapai
tujuan (Ferrari, Johnson, & McCown; Lay, dalam Ozer, & Ferrari, 2011).
Menurut Erde (dalam Thakkar, 2009) definisi dari prokrastinasi adalah
penundaan tugas yang sudah terencana walau pada dasarnya individu
tersebut mengerti risikonya. Prokrastinasi adalah jenis dari anti motivasi
(anti-motivation) yang berhubungan dengan rendahnya regulasi diri (self-
regulasi), efikasi diri, dan self-esteem dan berasosiasi dengan tingginya
kecemasan serta stres (Howell, Wtson, Powel & Buro; Sirois; Tice &
Baumeister, dalam Klassen, Chong, Krawchuk, Huan, Wong, & Yeo, 2009).
Menurut Wolters (dalam Iskender, 2011) prokrastinasi merupakan
11
penundaan sampai menit terakhir suatu tugas harus diselasaikan, yang pada
akhirnya individu yang melakukan penundaan ini memiliki niat untuk
menyelesaikannya. Prokrastinasi didefinisikan Rothblum, Solomon, dan
Murakami (dalam Onwuegbuzie, 2004) sebagai penundaan yang disengaja
dalam memulai atau menyelesaikan tugas-tugas dan sebenarnya hal itu tidak
perlu.
Prokrastinasi merupakan perilaku yang umum terjadi di masyarakat
di era ini (Ferrari, Johnson & McCown; Ferrari, O’Callaghan & Newbegin,
dalam Rosario, 2009). Sebagi contoh, hampir 20% orang dewasa mengakui
bahwa mereka melakukan penundaan dalam tugas rutin mereka, seperti
membayar rekening dan membayar pajak; bagi 25% dari populasi orang
dewasa bukan pelajar, prokrastinasi merupakan masalah besar
(Schouwenburg; McCown & Johnson, dalam Rosario, 2009).
Prokrastinasi memegang banyak konsekuensi negatif, seperti waktu
yang terbuang sia-sia, peningkatan stres, prestasi rendah, kesehatan rendah,
dan rendahnya self-esteem (Hoover, dalam Thakkar 2009). Beberapa
penelitian mengungkap bahwa prokrastinasi terkait dengan performa
akademis yang buruk ( Balkis & Deru, 2009; Beck Koons & Milgrim, 2000;
Ozer, Demir & Ferrari, 2009), dan rendahnya usaha dalam mengerjakan
tugas ( Saddler & Buley, 1999, dalam Balkis, 2011). Menurut Ferrari (dalam
Atiningsih, 2008) prokrastinasi banyak berakibat negatif, dengan melakukan
penundaan, banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia dan tugas-tugas
menjadi terbengkalai.
Salah satu kewajiban seorang mahasiswa adalah menulis skripsi.
Penulisan skripsi merupakan syarat seorang mahasiswa untuk mendapatkan
gelar kesarjanaan khususnya untuk gelar S-1. Skripsi merupakan laporan
riset atau sering disebut sebagai laporan penelitian. (Derry & Jubilee, 2006).
12
Menurut Sarjan (2009), skripsi merupakan karya tulis ilmiah laporan hasil
perancangan atau penelitian mandiri untuk memenuhi sebagian persyaratan
memperoleh derajat kesarjanaan S-1 pada Perguruan Tinggi. Karya ilmiah
ini ditulis sebagai hasil kegiatan akademik berupa penelitian ilmiah yang
dapat berbentuk penelitian experimental, teoritis, analisis komputasi,
penelitian pustaka dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan sebagai latihan bagi
para mahasiswa untuk menuangkan hasil kegiatan penelitian dalam suatu
karya tulis secara sistematis dan metodologis. (Prayoto, 1991)
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
prokrastinasi skripsi adalah penundaan yang disengaja di dalam
menyelesaikan skripsi, yang pada dasarnya pelaku prokrastinasi mengerti
konsekuensi negatifnya, akan tetapi pada akhirnya individu tersebut
memiliki niat untuk menyelesaikanya.
2. Teori prokrastinasi
a. Teori prokrastinasi menurut Sokolowska
Menurut Sokolowska (2009), secara umum prokrastinasi bukanlah
sebuah hal yang “monolithic” dan tersusun secara homogen, namun
merupakan sebuah fenomena yang memiliki banyak sisi yang dinamis dan
tergantung dari tugas yang dihadapi, situasi dan kerakteristik individu dari
pelaku prokrastinasi. Jika prokrastinasi didefinisikan sebagai rendahnya
keterlibatan perilaku dalam tugas akademik, hampir semua mahasiswa dapat
dinyatakan sebagai prokrastinator, bahkan mereka yang mengaku sebagai
bukan pelaku prokrastinasi.
Secara teori, prokrastinasi terdiri dari 4 aspek, yaitu prilaku, kognitif,
afektif dan motivasi (Sokolowska, 2009). Aspek prilaku berarti tindakan
menunda suatu tugas. Aspek kognitif fokus pada faktor irrational dan
13
illogical yang mendukung seseorang melakukan penudaan di samping
dampak negatif dari penundaan itu sendiri. Aspek afektif berhubungan
dengan mood dan emosi yang berhubungan dengan prokrastinasi. Aspek
motivasi fokus pada persepsi individu akan pentingnya tugas, manfaat, dan
ketertarikan intrinsik yang melekat dalam diri individu.
Salah satu alasan seseorang melakukan prokrastinasi adalah rasa
takut akan kegagalan. Rasa takut akan kegagalan diartikan sebagai rasa
bersalah seseorang yang meliputi perasaan seperti rasa malu dan cemas.
Dalam bidang akademik, rasa takut gagal didefinisikan sebagai rasa takut
tidak mampu menunjukkan performa yang baik sehingga tidak dapat
mencapai harapan yang diingikan individu dan orang lain. Rasa takut gagal
ini juga ditemukan memiliki hubungan dengan kecemasan terhadap kinerja,
orientasi pada kesempurnaan dan kepercayaan diri.
Dari penelitian yang pernah dilakukan Sokolowska (2009) pada
komunitas mahasiswa, aspek kognitif dan motivasi adalah yang paling umum
dan paling sering membawa pengaruh terhadap penundaan. Seperti yang
dikatakan Tuckman (1998) bahwa ketidakmampuan mahasiswa mengatasi
penundaan mungkin berhubungan dengan masalah yang dihadapi, salah
satunya disebabkan oleh sulit untuk memotivasi diri. Alasan motivasional
yang umum untuk prokrastinasi meliputi penundaan terhadap tugas yang
tidak disukai dan tidak menarik (Sokolowska, 2009). Ketidaksukaan atas
tugas yang diberikan sebagai sebuah alasan untuk melakukan penundaan,
dapat dipicu oleh tipe kesukaan pribadi terhadap suatu tugas, akan tetapi
dapat juga dipicu oleh stimulus yang diberikan oleh lingkungan yang
mencerminkan tipe ketertarikan terhadap suatu tugas tertentu. Sisi afektif dan
kognitif memang lebih tidak umum, namun juga memberikan kontribusi
terhadap prokrastinasi. Menurut Sokolowska (2009), dua hal dari aspek
14
afektif yang sering menyebabkan prokrastinasi adalah emosi negatif yang
berhubungan dengan ketakutan atas kegagalan dan keadaan emosi positif
yang dihasilkan dari tekanan waktu.
Prokrastinasi dapat muncul karena tanggung jawab tambahan yang
diterima (Sokolowska, 2009). Dari hasil peneilitian yang dilakukan
Sokolowska (2009) dalam disertasinya, hal ini dapat dilihat bahwa banyak
dari mahasiswa menanggung lebih banyak tanggung jawab dari yang
seharusnya mereka tanggung, seperti pekerjaan atau tanggung jawab
terhadap keluarga. Mahasiswa menggunakan prokrastinasi sebagai salah satu
cara untuk mengatur tugas-tugas dan deadline secara lebih efisien. Sehingga
dapat dikatakan bahwa prokrastinasi menjadi sebuah pilihan yang dibuat
secara sadar untuk menghadapi kenyataan bahwa waktu yang dimiliki
terbatas.
b. Teori psikodinamika
Menurut Freud (dalam Ferrari dkk, 1995) berkaitan konsep tentang
prokrastinasi, mengatakan bahwa seseorang yang dihadapkan tugas yang
mengancam ego pada alam bawah sadar akan menimbulkan ketakutan dan
kecemasan. Perilaku penundaan atau prokrastinasi merupakan akibat dari
penghindaran tugas dan sebagai mekanisme pertahanan diri. Bahwa seseorang
secara tidak sadar melakukan penundaan, untuk menghindari penilaian yang
dirasakan akan mengancam, keberadaan ego atau harga dirinya. Akibatnya tugas
yang cenderung dihindari atau yang tidak diselesaikan adalah jenis tugas yang
mengancam ego seseorang, misalnya tugas-tugas di sekolah, seperti tercermin
dalam perilaku prokrastinasi akademik, sehingga bukan semata karena ego yang
membuat seseorang melakukan prokrastinasi.
15
c. Teori behavioristik
Penganut psikologi behavioristik beranggapan bahwa perilaku
prokrastinasi muncul akibat proses pembelajaran. Seseorang melakukan
prokrastinasi karena dia pernah mendapatkan punishment atas perilaku
tersebut. Seorang yang pernah merasakan sukses dalam melakukan tugas
sekolah dengan melakukan penundaan, cenderung akan mengulangi lagi
perbuatannya. Sukses yang pernah dia rasakan akan dijadikan reward untuk
mengulangi perilaku yang sama dimasa yang akan datang (Bijou, dkk, dalam
Ferrari dkk, 1995).
Adanya obyek lain yang memberikan penguat lebih menyenangkan
daripada obyek yang diprokrastinasi, menurut McCown dan Johnson(dalam
Ferrari dkk, 1995) dapat memunculkan perilaku prokrastinasi akademik.
Seseorang yang memandang bermain basket lebih menyenangkan daripada
mengerjakan skripsi, mengakibatkan skripsi lebih sering diprokrastinasi
daripada bermain basket. Di samping penguat yang diperoleh, prokrastinasi
juga cenderung dilakukan pada jenis tugas yang mempunyai hukuman atau
konsekuensi dalam jangka waktu yang lebih lama daripada tugas yang tidak
ditunda oleh karena hukuman yang akan dihadapi kurang begitu kuat untuk
menghentikan perilaku prokrastinasi, misalnya ketika seseorang disuruh
memilih untuk menunda belajar ujian semester atau menunda untuk
mengerjakan pekerjaan rumah mingguan, maka kencederungan untuk
menunda belajar untuk ujian semester lebih besar daripada menunda
mengerjakan pekerjaan rumah minggguan, karena resiko nyata yang
dihadapi lebih pendek mengerjakan pekerjaan rumah daripada belajar untuk
ujian.
Perilaku prokrastinasi juga bisa muncul pada kondisi lingkungan
tertentu. Kondisi yang menimbulkan stimulus tertentu bias menjadi penguat
16
bagi munculnya perilaku prokrastinasi. Kondisi yang rendah dalam
pengawasan akan mendorong seseorang untuk melakukan prokrastinasi,
karena tidak adanya pengawasan akan mendorong seseorang untuk
berperilaku tidak tepat waktu (Dossett, dkk, Bijou, dkk, dalam Ferrari, dkk.,
1995).
Berdasarkan teori yang telah di uraikan di atas, maka teori
prokrastinasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teori
prokrastinasi berdasarkan konsep Sokolwska (2009). Penggunaan
prokrastinasi tersebut disesuaikan dengan tujuan penelitian ini yakni untuk
menjelaskan prokrastinasi skripsi mahasiswa fakultas psikologi UKSW,
Salatiga. Pada prinsipnya teori ini menjelaskan bahwa prokrastinasi bukanlah
sebuah hal yang “monolithic” dan tersusun secara homogen, namun
merupakan sebuah fenomena yang memiliki banyak sisi yang dinamis dan
tergantung dari tugas yang dihadapi, situasi dan kerakteristik individu dari
pelaku prokrastinasi.
3. Aspek prokrastinasi
Menurut Sokolowska (2009), prokrastinasi memiliki 4 aspek, yaitu:
a) Prilaku
Dimensi prilaku menekankan pada penundaan mengerjakan tugas
dengan cara menghindar dan memperlambat penyelesaian tugas.
Oleh karena itu, karakteristik perilaku prokrastinasi berkaitan
dengan aksi penundaan atau penghindaran. Seorang
prokrastinator cenderung mengalami kesulitan untuk melakukan
hal-hal yang tidak disenangi dan ketika mungkin untuk
melakukan, akan menghidarinya. Ia lebih cenderung untuk
melakukan hal-hal yang disenangi
17
b) Afektif
Dimensi afektif menekankan pada ketidaknyamanan yang
dirasakan individu. Secara khusus, dimensi ini berhubungan
dengan kecemasan dan kekhawatiran. Beberapa peneliti
menginvestigasi penundaan sebagai mekanisme jalan keluar dari
tekanan emosional yang diasosiasikan dengan tugas. Orang yang
melakukan penundaan juga rentan menderita kekhawatiran dan
frustrasi, khususnya sebelum atau sesudah batas waktu yang
ditentukan. Selain itu, cenderung bosan, suka mencari sensasi,
dan aksi pemberontakan.
c) Kognitif
Dimensi kognitif menekankan kepada mengapa individu tetap
membuat keputusan untuk menunda meskipun mengetahui
konsekuensi negatifnya. Pendekatan secara kognitif membahas
kesengajaan untuk menunda di awal atau menyelesaikan suatu
tugas. Dimensi kognitif dari prokrastinasi melibatkan
pertentangan antara niat untuk menyelesaikan tugas. Dimensi
kognitif juga melibatkan kesulitan memprioritaskan suatu tugas,
dan manajemen waktu yang buruk.
d) Motivasi
Prokrastinasi juga bisa dilihat sebagai motivasi untuk tidak
menyelesaikan tugas. Termasuk di dalamnya persepsi individu
akan pentingnya tugas, manfaat, dan ketertarikan intrinsik yang
melekat dalam diri individu. Beberapa penelitian secara umum
menunjukkan bahwa siswa yang melihat tugas sebagai hal yang
tidak penting, tidak relevan dengan tujuan utamanya, dan tidak
tertarik terhadap tugas tersebut, menunjukan level prokrastinasi
18
yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menilai tugas
sebagai sesuatu yang penting.
Scouwenburg (dalam Ferrari, dkk., 1995) menyatakan aspek-aspek
prokrastinasi sebagai berikut:
a) Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada
tugas yang dihadapi.
Seseorang yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang
dihadapinya harus segera diselesaikan dan berguna bagi dirinya,
akan tetapi dia menunda-nunda untuk mulai mengerjakannya atau
menunda-nunda untuk menyelesaikan sampai tuntas jika dia
sudah mulai mengerjakan sebelumnya.
b) Keterlambatan dalam mengerjakan tugas.
Orang yang melakukan prokrastinasi memerlukan waktu yang
lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan pada umumnya
dalam mengerjakan suatu tugas. Seorang prokratinator
menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk mempersiapkan diri
secara berlebihan, maupun melakukan hal-hal yang tidak
dibutuhkan dalam penyelesaian suatu tugas, tanpa
memperhitungkan keterbatasan waktu yang dimilikinya. Kadang-
kadang tindakan tersebut mengakibatkan seseorang tidak berhasil
menyelesaikan tugasnya secara memadai. Kelambanan, dalam arti
lambannya kerja seseorang dalam melakukan suatu tugas dapat
menjadi ciri yang utama dalam prokrastinasi akademik.
c) Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual.
Seorang prokrastinator mempunyai kesulitan untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan
sebelumnya. Seorang prokrastinator sering mengalami
19
keterlambatan dalam memenuhi deadline yang telah ditentukan,
baik oleh orang lain maupun rencana-rencana yang telah dia
tentukan sendiri. Seseorang mungkin telah merencanakan untuk
mulai mengerjakan tugas pada waktu yang telah ia tentukan
sendiri. Seseorang mungkin telah merencanakan untuk mulai
mengerjakan tugas pada waktu yang telah ia tentukan sendiri,
akan tetapi ketika saatnya tiba dia tidak juga melakukannya
sesuai dengan apa yang telah direncanakan, sehingga
menyebabkan keterlambatan maupun kegagalan untuk
menyelesaikan tugas secara memadai.
d) Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada
melakukan tugas yang harus dikerjakan.
Seorang prokrastinator dengan sengaja tidak segera melakukan
tugasnya, akan tetapi menggunakan waktu yang dia miliki untuk
melakukan aktivitas lain yang dipandang lebih menyenangkan
dan mendatangkan hiburan, seperti membaca (koran, majalah,
atau buku cerita lainnya), nonton, ngobrol, jalan, mendengarkan
musik, dan sebagainya, sehingga menyita waktu yang dia miliki
untuk mengerjakan tugas yang harus diselesaikannya.
Berdasarkan aspek-aspek yang telah dikemukakan di atas maka
dalam penelitian ini, penulis menggunakan empat aspek prokrastinasi
menurut Sokolowska (2009). Alasan dipilihnya aspek prokrastinasi tersebut
adalah karena aspek-aspek tersebut sangat relevan dengan kondisi yang
dialami mahasiswa fakultas psikologi UKSW, Salatiga.
20
4. Faktor – faktor yang memengaruhi prokrastinasi
Burka dan Yuen; Gordon; Shindler dan Weinstein; Piyor (dalam
Gunawinata, dkk., 2008), menyatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi munculnya prilaku prokrastinasi akademik adalah orientasi
pada kesempurnaan. Sifat yang ditemukan memiliki hubungan dengan
prokrastinasi adalah orientasi pada kesempurnaan (perfectionism), dan ini
dianggap sebagai motif utama untuk menunda (Ferrari, dkk., 1995; Flett,
Hewitt & Martin, 1995; Onwuegbuzie, 2000, dalam Chabaud, dkk., 2010).
Reasinger dan Brownlow (dalam Al-Attiyah, 2010) menemukan bahwa
kurangnya motivasi ekstinsik, orientasi pada kesempurnaan dan gaya atribusi
eksternal merupakan prediktor seseorang melakukan penundaan. Szalavits
(dalam Hampton, 2005) mengidentifikasi variabel lain yang dapat
menambah seseorang menunda, adalah: perasaan takut gagal, orientasi pada
kesempurnaan, kontrol diri (self-control), pola asuh dan tugas yang
berhubungan dengan kecemasan.
Thakkar (2009) menyatakan rendahnya efikasi diri memiliki
hubungan dengan prokrastinasi. Ferrary dkk (dalam Haycock, dkk., 2001)
menemukan korelasi negatif antara keyakinan efikasi dan prokrastinasi
akademik. Dalam beberapa studi sebelumnya yang dilakukan ( Ferrari,
Parker & Ware; Lay; Martin, dkk., dalam Haycock, dkk., 2001) telah
menemukan bahwa siswa yang menampilkan tingkat yang lebih tinggi
efikasi diri untuk tugas-tugas sosial, atau hari-hari (namun tidak ada efikasi
untuk tugas-tugas akademik) prokrastinasi lebih sering daripada siswa lain.
Tuckman juga menemukan hubungan terbalik yang signifikan antara
keyakinan efikasi dan penundaan. (dalam Haycock, dkk., 2001).
Dari beberapa pendapat dan hasil penelitian sebelumnya,
prokrastinasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: orientasi pada
21
kesempurnaan (perfectionism), efikasi diri, kontrol diri, pola asuh, motivasi
ekstinsik, dan gaya atribusi eksternal
B. Orientasi Pada Kesempurnaan (Perfectionism)
1. Pengertian orientasi pada kesempurnaan
Menurut Hamachek (dalam Yao, 2009) orientasi pada kesempurnaan
dapat dianggap sebagai sifat positif yang terkait dengan standar pribadi yang
tinggi dan prestasi tinggi. Orientasi pada kesempurnaan adalah sifat
kepribadian yang ditandai dengan upaya untuk mencapai kesempurnaan dan
menetapkan standar kinerja yang terlalu tinggi, disertai dengan
kecenderungan ke arah evaluasi terlalu kritis terhadap perilaku seseorang
(Flett & Hewitt, dalam Besharat, 2011). Orientasi pada kesempurnaan
diartikan sebagai ambisi seseorang untuk dapat dan harus mencapai suatu
target yang tinggi, dan sesuatu yang kurang dari sempurna dianggap sebagai
kegagalan total (Kaur & Kaur, 2011).
Menurut Horrney (dalam Alwilsol, 2004) orientasi pada
kesempurnaan merupakan salah satu aktualisasi diri ideal yang memiliki 3
aspek, yaitu pencarian keagungan yang neurotik, penuntut yang neurotik, dan
kebanggaan neurotik. Untuk mengaktualisasikan diri idealnya, seseorang
mengembangkan kebutuhan untuk sempurna (need for perfection), yaitu
dorongan untuk menggabungkan keseluruhan kepribadian ke dalam diri ideal
secara neurotik, sehinga menjadi tidak puas dengan sedikit perubahan, tidak
menerima sesuatu yang belum sempurna.
Seorang yang perfeksionis menciptakan pikiran yang tidak realistis
dan tekanan yang sebenarnya mebuatnya menderita. Menurut Romas dan
Sarma (dalam Gunawinata, dkk., 2008) pikiran tersebut adalah: (a) saya
harus sempurna untuk setiap apa yang saya kerjakan, (b) saya seharusnya
22
tidak membuat kesalahan, demikian pula orang lain, (c) saya berusaha keras
untuk melakukan yang benar, saya pantas terhindar dari frustasi dan
kesuliatan hidup, (d) selalu ada cara yang benar untuk menyelesaikan
sesuatu, (e) jika saya melakukan kesalahan maka hancurlah segalanya, (f)
bilamana seseorang tidak melakukan sebagaimana seharusnya mereka
lakukan, mereka adalah manusia yang buruk, (g) jika saya tidak melakukan
dengan sempurna, saya pantas meghukum diri saya, (h) jika saat ini saya
tidak melakukan dengan sempurna, maka saya harus bisa sempurna di lain
waktu, (i) saya harus sempurna atau saya orang yang gagal.
Jadi, dapat disimpulkan bawa orientasi pada kesempurnaan adalah
sifat kepribadian yang ditandai dengan upaya untuk mencapai kesempurnaan
dan menetapkan standar kinerja yang terlalu tinggi, dan hal ini merupakam
aktualisasi diri yang ideal dengan ambisi dan tujuan yang terlalu tinggi,
tuntutan kesempurnaan yang berlebihan, serta tidak dapat menerima sesuatu
yang tidak sempurna.
2. Teori orientasi pada kesempurnaan
Di awal tahun 1990-an, konsep tentang orientasi pada kesempurnaan
masih dianggap satu satu dimensi, yaitu difocuskan pada self-directed
cognition (Pingree, dalam Gunawinata, dkk., 2008). Ferrari, dkk., (1995)
mengatakan dimensi tersebut hanya keyakinan akan tingginya standar
personal. Orientasi pada kesempurnaan dipandang sebagai standar
performansi yang tidak realistik dan usaha untuk merealisasikan usaha
tersebut, lalu gagal, kemudian mengevaluasi diri dan cenderung melihat hasil
akhir dengan standar yang kaku. Akan tetapi, kini para peneliti mulai
menyadari bahwa orientasi pada kesempurnaan adalah konstruk
multidimensional yang di dalamnya terdapat komponen personal dan sosial.
23
Salah satunya adalah Hewitt dan Flett (dalam Yao, 2009) yang
memikirkan mengenai multidimensi orientasi pada kesempurnaan, dengan
memfokuskan pada aspek interpersonal. Mereka mendeskripsikan 3 dimensi
dari orientasi pada kesempurnaan. Pertama, dimensi self-oriented
perfectionism. Dimensi ini melibatkan standar tinggi yang ada di dalam diri
seseorang dan tegas terhadap dirinya sendiri mengenai standarnya tersebut.
Individu yang perfeksionis termotivasi untuk mencapai standar
sempurnannya dan berusaha untuk menghindari kegagalan. Kedua, dimensi
other-oriented perfectionism. Dimensi ini melibatkan harapan dari seorang
perfeksionis untuk menuntut orang lain memenuhi standar tinggi yang ia
tetapkan. Perilaku sempurna harus dimunculkan oleh orang lain, organisasi
dan masyarakat di sekitar individu yang perfeksionis ini. individu yang
memiliki tingkatan yang kuat pada dimensi ini akan memunculkan perasaan
dan pemikiran dalam dirinya yang berkaitan dengan permusuhan dengan
orang lain, autoritarianisme dan perilaku doninan. Ketiga, dimensi socially
prescribed perfectionism. Seorang yang perfeksionis merupakan hasil
bentukan dari lingkungan sosialnya karena mereka yakin orang lain memiliki
standar yang tidak realistis dan motif perfeksionistim terhadap perilakunya.
Seorang perfeksionis beranggapan orang lain akan puas ketika standar
tersebut tercapai dan menerima orang lain mengontrol dirinya. Oran lain
yang dimaksud disini adalan significant other, termasuk orang tua, sekolah
atau masyarakat.
24
3. Dimensi orientasi pada kesempurnaan
Menurut Hewitt dan Flett ( dalam Antony & Swinson, 2009) orientasi
pada kesempurnaan (perfectionism) terbagi menjadi 3 aspek, yaitu:
1) Self-oriented perfectionism
Merupakan kecenderungan memiliki standar untuk diri yang
sangat tidak realistis dan tidak mungkin untuk.
2) Other-oriented perfectionism
Merupakan kecenderungan dari seorang perfeksionis untuk
menuntut orang lain memenuhi standar tinggi yang ia tetapkan.
3) Socially prescribe perfectionism
Merupakan kecenderungan menganggap orang lain (Orang tua,
guru, teman ) memiliki ekspektasi bahwa tidak mungkin untuk
mencapai standar tinggi yang ditetapkan.
Menurut Hill, dkk., (2004) orientasi pada kesempurnaan memiliki 2
dimensi, yaitu:
a) Ketelitian akan kesempurnaan
Ini merupakan dimensi adaptif atau dimensi positif dari orientasi
pada kesempurnaan. Adapun indikator dari dimensi ini adalah
kecenderungan untuk meminta pihak lain memiliki standar yang
sama, kecenderungan untuk rapi dan teratur, kecenderungan
untuk merencanakan di awal atau membicarakan keputusan
sebelum diambil, kecenderungan untuk mengejar hasil yang
sempurna atau berstandar tinggi.
b) Evaluasi diri pada kesempurnaan
Ini merupakan dimensi maladaptif atau dimensi negatif dari
orientasi pada kesempurnaan. Adapun indikator dari dimensi ini
adalah kecederungan mengalami stress atau kecemasan akibat
25
kesalahan yang dibuat, kecenderungan untuk mendapatkan
validasi dari orang lain atau sensitif terhadap kritik,
kecenderungan merasa perlu tampil sempurna untuk mendapat
penerimaan dari orang tua, kecenderungan untuk khawatir
mengenai kesalahan yang dibuat di masa lalu atau kesalahan di
masa depan.
Berdasarkan aspek-aspek yang telah dikemukakan di atas maka
dalam penelitian ini, penulis menggunakan empat aspek orientasi pada
kesempurnaan menurut Hill (2004). Alasan dipilihnya aspek orientasi pada
kesempurnaan tersebut adalah karena aspek-aspek tersebut sangat relevan
dengan kondisi yang dialami mahasiswa fakultas psikologi UKSW, Salatiga.
4. Efek orientasi pada kesempurnaan terhadap prokrastinasi
skripsi
Orientasi pada kesempurnaan diartikan sebagai keyakinan seseorang
untuk dapat dan harus mencapai suatu target yang tinggi, dan sesuatu yang
kurang dari sempurna dianggap sebagai kegagalan total (Kaur & Kaur,
2011). Karena tututan akan kesempurnaan ini terkadang seorang mahasiswa
yang perfeksionis memiliki menuntut kesempurnaan pada setiap tugas-tugas
ataupun skripsi yang ia kerjakan. Akan tetapi, ketika ia merasa tidak mampu
memenuhi tuntutan tersebut, ia melakukan penundaaan dalam
pengerjaannya.
Mahasiswa yang berorientasi pada kesempurnaan menuntut hasil
kerjanya sempurna. Misalnya dalam mengerjakan skripsi. Karena
keinginanya untuk mendapatkan hasil yang sempurna, mahasiswa tersebut
cenderung menundan dalam memulai menulis skripsinya. Ia lebih memilih
26
untuk menyibukan diri mencari materi hingga dirasa materi tersebut sudah
cukup untuk kesempurnaan skripsinya.
Namun, mesekipun demikian terkadang memang orientasi pada
kesempurnaan memunculkan energi atau dorongan kepada seseorang untuk
selalu memberikan yang terbaik di dalam mencapai hal dinginkannya.
Seperti yang dikatakan Roedell (dalam Kaur & Kaur, 2011) bahwa orientasi
pada kesempurnaan juga dapat memberikan energi kepada seseorang untuk
mencapai prestasi terbaik yang diinginkannya. Energi ini mendorong
seseorang untuk tidak menunda menyelesaikan tugasnya. Sehingga, Stanley
(dalam Kaur & Kaur, 2011) berpendapat bahwa seorang yang perfeksionis
memiliki tingkatan yang rendah pada prokrastinasi.
C. Efikasi diri
1. Pengertian efikasi diri
Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang akan kemampuanya
untuk menyelesaikan tugas ( Bandura, dalam Thakkar 2009). Menurut Kahn
(2011) efikasi diri merupakan persepsi individu akan kapasitasnya dalam
menyelesaikan suatu tugas. Bonar (dalam Kahn, 2011) mendefinisikan
efikasi diri sebagai kepercayaan diri yang tinggi akan kemampuan diri untuk
menggunakan kemampuan kontrol dirinya (self-control). Cain (dalam Kahn
2011) mengartikan efikasi diri sebagai kepercayaan diri akan kemampuan
diri dalam melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk hasil yang
diinginkan.
Menurut Matlin (dalam Sulistyawati, 2010), seseorang yang memiliki
efikasi diri yang kuat, mampu mengatur kehidupan mereka untuk lebih
berhasil. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Ames (dalam Balkis,
2011) bahwa efikasi diri merupakan keyakinan dasar yang memimpin
27
seseorang untuk mencapai kesuksesan atau keberhasilan. Seseorang dengan
efikasi diri yang tinggi ketika awalnya tidak berhasil, mereka akan mencoba
cara yang baru, dan bekerja lebih keras. Ketika masalah timbul, seseorang
dengan efikasi diri yang kuat tetap tenang dalam menghadapi masalah dan
mencari solusi, bukan memikirkan kekurangan dari dirinya. Menurut
Bandura (dalam Seo, 2008) Biasanya, pelajar dengan tingkat lebih tinggi
efikasi diri lebih mungkin untuk terlibat dalam tugas-tugas akademik,
menggunakan strategi yang lebih baik dan mencapai nilai lebih tinggi
daripada pelajar yang kurang percaya diri akan kemampuan mereka untuk
berhasil.
Bandura ( dalam Yao, 2009 ) menjelaskan bahwa individu yang
kurang percaya diri akan kemampuanya untuk berhasil menyelesaikan suatu
tugas akan lebih mungkin untuk menghindari tugas-tugas tersebut daripada
mencoba untuk mengerjakanya. Bandura (dalam, Haycock dkk, 1998) juga
berpendapat bahwa efikasi diri yang kuat akan mendororong kepada inisiatif
dan ketekunan pada tugas yang lebih besar. Dengan demikian, individu
dengan efikasi diri yang rendah akan lebih mungkin untuk menunda
mengerjakan tugas. Begitu pula sebaliknya, individu dengan efikasi diri yang
tinggi cenderung tidak menunda mengerjakan tugas-tugasnya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri
adalah keyakinan seseorang akan kemampuan nya dalam menghadapi
masalah dan mencari solusi, dan bukan memikirkan kekurangan dari dirinya.
2. Teori efikasi diri
Efikasi diri merupakan asumsi dasar teori kognitif sosial Albert
Bandura yang menyoroti pertemuan yang kebetulan (chance encounters) dan
kejadian tak terduga (fortuitous events) dengan serius meskipun tahu bahwa
pertemuan dan peristiwa ini tidak serta merta mengubah jalan hidup
28
manusia. Cara manusia bereaksi terhadap pertemuan atau kejadian yang
diharapkan itulah yang biasanya lebih kuat daripada peristiwanya sendiri.
Teori kognitif sosial yang menggunakan perspektif keagenan, menjelaskan
bahwa manusia memiliki kapasitas untuk melatih pengontrolan atas alam dan
kualitas hidup mereka sendiri. Manusia adalah produsen sekaligus produk
sistem sosial. Performa manusia umumnya berkembang ketika mereka
memiliki kepercayaan diri yang tinggi, yaitu keyakinan bahwa mereka dapat
menampilkan perilaku yang akan menghasilkan perilaku yang diinginkan
dalam situasi tertentu (Bandura dalam Feist & Feist, 2008).
Teori kognitif sosial berbicara bahwa, manusia memiliki kapasitas
untuk menjadi apa pun, dan sebagian besar kemampuan ini diperoleh dari
belajar kepada model. Jika pembelajaran manusia hanya bergantung kepada
pengalaman langsung trial and error, maka perkembangan manusia akan
berjalan lambat, membosankan, dan berbahaya. Untungnya, manusia sesudah
mengembangkan kapasitas kognitif yang tinggi untuk belajar lewat
pengamatan yang memampukan mereka membentuk dan menstruktur hidup
mereka melalui kekuatan pemodelan. Meskipun pada dasarnya berorientasi
kepada tujuan, Bandura percaya bahwa manusia memiliki intensi dan tujuan
yang lebih spesifik sifatnya daripada umum. Manusia tidak dimotivasikan
oleh tujuan penguasaan tunggal seperti memperjuangkan superioritas atau
aktualisasi diri namun oleh multiplisitas tujuan, beberapa diantaranya jauh
dan beberapa lagi dekat. Namun intensi-intensi individual ini tidak anarkis,
mereka memiliki sejumlah stabilitas dan mengeliminasi perilaku yang tidak
memenuhi standar hubungan mereka. Standar pribadi ini cenderung
memberikan perilaku manusia derajat konsistensi meskipun perilaku itu
sendiri tidak memiliki motif penguasaan sebagai penuntunnya (Bandura
dalam Feist & Feist, 2008).
29
Bandura yakin bahwa manusia dapat melatih kontrol atas hidup
mereka. Meskipun manusia dipengaruhi oleh lingkungan ataupun
pengalaman mereka, tetapi mereka memiliki kekuatan untuk membentuk dua
kondisi eksternal ini. Untuk taraf tertentu, manusia dapat mengatur kondisi
lingkungan yang akan membentuk perilaku masa depan dan dapat memilih
untuk mengabaikan atau menindaklanjuti pengalaman sebelumnya.
Keagenan manusia menyatakan bahwa mereka yang memiliki efikasi diri
secara personal dan kolektif tinggi dan yang memanfaatkan tindak
perwakilan secara efektif memiliki sejumlah besar pengaruh bagi tindakan
mereka sendiri. Namun begitu, beberapa orang memang memiliki kebebasan
lebih besar ketimbang orang lain karena lebih terlatih mengendalikan
perilakunya (Bandura dalam Feist & Feist, 2008).
Kesimpulan teori di atas adalah, keyakinan manusia terhadap efikasi
diri mereka akan mempengaruhi arah tindakan yang akan mereka pilih untuk
diupayakan, seberapa banyak upaya yang ditanamkan pada pekerjaan,
seberapa lama akan bertahan di tengah kegagalan, dan seberapa besar
keinginan untuk bangkit dari kegagalan. Oleh karena itu, efikasi diri harus
dikombinasikan dengan lingkungan ataupun pengalaman, khususnya
ekspektansi terhadap hasil untuk dapat menghasilkan perilaku tertentu.
3. Aspek – aspek efikasi diri
Menurut Bandura (dalam Sulistyawati, 2010) terdapat tiga aspek dari
efikasi diri pada diri manusia, yaitu:
a) Tingkatan ( level )
Ada perbedaan efikasi diri yang dihayati oleh masing – masing
individu mungkin dikarenakan perbedaan tuntutan yang dihadapi.
Tututan mempresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan
30
atau kesukaran untuk mencapai performansi optimal. Jika
halangan untuk mencapai tuntutan itu sedikit, maka aktifitas lebih
mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian individu akan
memiliki efikasi diri yang tinggi. Seseorang yang memiliki
efikasi diri tinggi merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan
menguasai permasalahan yang sulit, sedangkan seseorang yang
memiliki level yang rendah meyakini bahwa mereka hanya
mampu menyelesaikan tugas-tugas yang sederhana. Seseorang
dengan efikasi diri yang tinggi cenderung akan memilih
mengerjakan tugas yang sifatnya sulit.
b) Keadaan Umum (generality)
Aspek ini menjelaskan keyakinan individu untuk menyelesaikan
tugas-tugas tertentu dengan tuntas dan baik. Individu mungkin
akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam
aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu. Keadaan umum
bervariasi dalam jumlah dari dimensi yang berbeda-beda, di
antaranya tingkat kesamaan aktivitas, perasaan dimana
kemampuan ditunjukkan (tingkah laku, kognitif, afektif), dan
karakteristik individu menuju kepada siapa prilaku tersebut
ditujukan. Pengukuran berhubungan dengan daerah aktivitas dan
konteks situasi yang menampakkan pola dan tingkat generalisasi
yang paling mendasar berkisar tentang apa yang individu susun
pada kehidupan mereka. Seseorang dengan efikasi diri tinggi
merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk dapat
bertindak dalam situasi apapun, sedangkan seseorang dengan
efikasi diri rendah merasa bahwa dirinya hanya memiliki
kemampuan untuk bertindak pada situasi yang terbatas.
31
c) Kekuatan (strength)
Pengalaman memiliki pengaruh terhadap efikasi diri yang
diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan
keyakinannya pula. Individu yang memiliki kemampuan kuat
terhadap kemampuan meraka akan teguh dalam berusaha untuk
mengesampingkan kesulitan yang mereka hadapi. Dengan kata
lain, seseorang dengan kekuatan efikasi diri yang tinggi sangat
yakin akan kemampuan dirinya, mereka akan bertahan dalam
usaha menghadapi masalah yang sulit, mampu menyelesaikan
masalah yang penuh rintangan, dan ketekunan yang besar akan
berhasil dalam melakukan tugasnya, sebaliknya, mereka yang
memiliki kekuatan efikasi diri yang rendah akan merasa bahwa
kemampuannya lemah dan akan mudah terguncang apabila
menghadapi rintangan dalam melakukan tugasnya.
Corsini (dalam Siregar, 2012) mendefinisikan aspek-aspek dari
efikasi diri yang diantaranya adalah:
a) Kognitif
Yaitu kemampuan individu untuk memikirkan cara-cara yang
digunakan, dan merancang tindakan yang akan diambil untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu fungsi berfikir
adalah untuk memprediksi kejadian sehari-hari yang akan
berakibat pada masa depan. Semakin efektif kemampuan efektif
kemampuan seseorang dalam analisis berfikir dan dalam berlatih,
maka akan mendukung seseorang bertindak dengan tepat untuk
mencapai tujuan yang diharapkan.
32
b) Motivasi
Yaitu kemampuan individu untuk memotivasi diri melalui
pikirannya untuk melakukan tindakan dan membuat keputusan
serta mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi tumbuh dari
pemikiran yang optimis dari dalam diri individu untuk
mewujudkan tindakan yang diharapkan. Tiap-tiap individu
berusaha memotivasi dirinya dengan menetapkan keyakinan pada
tindakan yang akan dilakukan, mengantisipasi pikiran sebagai
latihan untuk mencapai tujuan dan merencanakan tindakan yang
akan dilaksanakannya. Motivasi dalan efikasi diri digunakan untuk
memprediksi kesuksesan dan kegagalan.
c) Afeksi
Yaitu kemampuan individu untuk mengatasi perasaan emosi yang
ditimbulkan dari diri sendiri untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Afeksi berperan pada pengaturan diri individu
terhadap pengaruh emosi. Afeksi terjadi secara alami dalam diri
individu dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman
emosional. Afeksi ditujukan dengan mengontrol kecemasan dan
perasaan depresif yang menghalangi pola pikir yang benar untuk
mencapai tujuan.
d) Seleksi
Yaitu kemampuan individu untuk melakukan pertimbangan secara
matang dalam memilih perilaku dan lingkungannya. Individu akan
menghindari aktivitas dan situasi yang diyakini melebihi
kemampuan yang mereka miliki, tetapi mereka siap melakukan
aktivitas menantang dan situasi yang mereka rasa mampu
mengendalikannya.
33
Dalam penelitian ini aspek-aspek efikasi diri menurut Corsini (dalam
Siregar, 2012) yang akan digunakan. Hal ini dikarenakan aspek – aspek
tersebut dipengaruhi oleh motif dari individu untuk memulai suatu pekerjaan.
Hal ini tercermin dalam perilaku individu, antara lain harapan individu akan
hasil dari suatu perilaku, keyakinan bahwa individu akan berhasil dalam
bertindak sesuai dengan yang diharapkannya, dan makna atas hasil yang
telah diperoleh individu. Dan semuanya ini dipengaruhi oleh aspek kognitif,
motivasi, afeksi, dan seleksi.
4. Efek efikasi diri terhadap prokrastinasi skripsi.
Bandura ( dalam Muhid, 2006 ) menjelaskan bahwa dalam kehidupan
sehari - hari orang harus membuat keputusan untuk mencoba berbagai
tindakan dan seberapa lama menghadapi kesulitan-kesulitan. Semakin kuat
persepsi efikasi diri semakin giat dan tekun usaha-usahanya. Dengan
demikian efikasi diri menentukan pula seorang mahasiswa akan menunda
mengerjakan skripsinya atau tidak, karena ketika seseorang mahasiswa yakin
akan kemampuan di bidang akademiknya, ia tidak akan menunda
mengerjakan skripsinya. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa
seorang mahasiswa dengan efikasi diri tinggi juga dapat melakukan
prokrastinasi. Misalnya, ketika seorang mahasiswa yakin bahwa ia mampu
mengerjakan revisi dari dosen pembimbing, ia akan menunda
mengerjakanya karena ia yakin bahwa ia mampu menyelesaikan revisi
tersebut. Dan ketika sudah dekat dengan deadline revisi tersebut
dikumpulkan barulah ia mengerjakan..
34
D. Penelitian Terdahulu
1. Penelitian orientasi pada kesempurnaan dengan prokrastinasi.
Penelitian Gunawinata, dkk., (2008) dengan judul “Perfeksionisme,
Prokrastinasi Akademik dan Penyelesaian Skripsi Mahasiswa”, bertujuan
untuk mengungkap hubungan antara orientasi pada kesempurnaan dan
prokrastinasi akademik dalam penyelesaian skripsi mahasiswa. Hasil
penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
orientasi pada kesempurnaan dan prokrastinasi akademik ( r = 0,277, p <
0,05 ). Penelitian ini juga menunjukan bahwa hanya dua aspek dari orientasi
pada kesempurnaan yang memiliki hubungan positif dengan prokrstinasi
akademik, yaitu socially prscribed perfectionism dan other-oriented
perfectionism.
Penelitian Kaur dan Kaur (2011), dengan judul “Perfectionism and
Procrastination: Cross Cultural Perspektive”, menunjukan hasil bahwa tidak
semua aspek dari orientasi pada kesempurnaan memiliki hubungan yang
signifikan dengan prokrastinasi. Hanya tiga aspek dari perfectionism yang
memiliki hubungan signifikan dengan prokrastinasi, yaitu parental
expectation (r = -0,705, p = 0,01) parental critism (r = 0.935, p = 0,01) ,
concern over mistake (r = 0,53, p = 0,01).
2. Penelitian efikasi diri dengan prokrastinasi
Penelitian Klassen dan Kuzucu (2009) dengan judul “Academic
procrastination and motivation of adolescents in Turkey”, menunjukkna
hasil bahwa academic efikasi diri memiliki pengaruh yang kuat bagi
prokrastinasi, baik untuk perempuan maupun laki-laki ( F= 28.65, p < .001).
Hal ini dikarenakan kepercayaan diri seseoorang akan kemampuannya
merupakan faktor terpenting bagi seseorang untuk menentukan
35
performannya dalam suatu tugas. Keyakinan yang kuat, yang menyebabkan
seseorang terhindar dari prokrastinasi.
Penelitian Muhid, (2006) dengan judul “ Hubungan Kontrol Diri dan
Efikasi diri dengan Prokrastinasi Akademik “, memiliki tujuan untuk
mengetahui apakah ada hubungan antara kontrol diri dan efikasi diri dengan
prokrastinasi akademik. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik
Regrasi Linier Berganda (Multiple Linier Regression). Hasil dari penelitian
ini menunjukan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara efikasi
diri dengan prokrastinasi akademik ( r = - 0,633, p = 0,000)
Penelitian Sirin (2011) denngan judul “Academic procrastination
among undergraduates attending school of physical education and sports:
Role of general procrastination, academic motivation and academic efikasi
diri, menunjukan hasil bahwa tidak hubungan antara academic efikasi diri
dengan prokrastinasi skripsi, dan academic efikasi diri bukan merupakan
prediktor bagi prokrastinasi akademik (p= 0,666). Hal ini mungkin
dikarenakan para partisipan sangat percaya bahwa mereka sudah pasti akan
lulus dari departemen tersebut.
Haycock, dkk., (1998) dengan judul “procrastination in College
Student: The Role of efikasi diri and Anxiety”. Penelitian ini menemukan
hasil bahwa skor prokrastinasi memiliki hubungan terbalik dan signifikan
dengan efikasi diri (r = -40). Korelasi bivariate menunjukan bahwa efficacy-
expectations dengan prokrastinasi memiliki hubungan yang signifikan. Akan
tetapi ketika variable-variable ini dimasukan ke dalam model regresi, hanya
cumulative efficacy strength yang signifikan sebagai prediktor prokrastinasi
(p= 0,04).
36
3. Penelitian orientasi pada kesempurnaan (perfectionism), efikasi
diri dan prokrastinasi
Penelitian yang dilakukan Yao (2009) dengan judul “An Exploration
of Multidimensional Perfectionism, Academic Efikasi diri, Procrastination
Frequency, and Asian American Cultural Values In Asian American
University Students”. Salah satu tujuan dari peneltian ini adalah melihat
pengaruh orientasi pada kesempurnaan dan efikasi diri terhadap prokrastinasi
akademik pada 316 mahasiswa Asia atau Asia-Amerika di Midwestern
University. Hasil dari One-way analysis of variance menumukan bahwa
individu – individu yang perfeksionis memiliki perbedaan tingkatan
kepercayaan akan kemampuan diri mereka (efikasi diri) untuk
menyelesaikan suatu tugas akademik dan tingkat prokrastinasi akademik.
Seseorang yang perfeksionis memiliki tingkat prokrastinasi akademik yang
rendah, dan memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi terhadap
kemampuan yang dimiliki untuk menguasai dan menyelesaikan suatu tugas
akademik. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa ada pengaruh
orientasi pada kesempurnaan dan efikasi diri terhadap prokrastinasi
akademik.
Dari hasil analisis korelasi yang dilakukan pada variabel efikasi diri
dan prokrastinasi, menunjukan hasil r = -0,26 (p < 0,01). Ini berarti ada
hubungan negatif yang signifikan antara efikasi diri dan prokrastinasi,
artinya jika semakin tinggi efikasi diri maka semakin rendah prokrastinasi.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah efikasi diri maka semakin tinggi
prokrastinasi. Sedangkan, analisis korelasi yang dilakukan untuk variabel
orientasi pada kesempurnaan dan prokrastinasi menunjukan hasil r = - 0,32
(p < 0,01). Ini berarti ada hubungan negatif yang signifikan antara orientasi
pada kesempurnaan dan prokrastinasi, artinya jika semakin tinggi orientasi
37
pada kesempurnaan maka semakin rendah prokrastinasi. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah orientasi pada kesempurnaan maka semakin
tinggi prokrastinasi.
E. Pengaruh Orientasi Pada Kesempurnaan dan Efikasi diri
Terhadap Prokrastinasi Skripsi
Perilaku prokrastinasi sebenarnya merupakan perilaku yang telah
lama ada dan dapat terjadi dalam berbagai bidang dan situasi. Ada banyak
faktor yang menyebabkan perilaku prokrastinasi, salah satunya adalah
orientasi pada kesempurnaan (perfectionism). Orientasi pada kesempurnaan
merupakan salah satu hasil dari distorsi kognitif yang menuntut adanya
kesempurnaan (Burns, dalam Gunawinata, dkk., 2008).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa kebanyakan prokrastinator
berasal dari seorang yang perfeksionis (Burke & Yuen, dalam Capan 2010).
Seorang yang perfeksionis memaksakan standar tinggi atau irrasional dalam
dirinya dan melakukan prokrastinasi karena mereka tidak yakin bahwa
mampu memenuhi standar itu sendiri (Capan, 2010). Seorang yang
perfeksionis sering kali lebih memikirkan penilaian orang lain terhadap
kinerja ataupun hasil kerja mereka. Karena hal inilah seorang yang
perfeksionis melakukan prokrastinasi. Dalam artian mereka lebih memilih
untuk memikirkan penilaian orang lain terus menerus, sehingga tugas
akhirnya tertunda pengerjaannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ferrary
(dalam Capan, 2010) , bahwa prokrastinator memiliki pandangan ke depan
mengenai bagaimana orang lain akan menilai mereka. Mereka tidak bersedia
untuk menyelesaikan tugas yang harus diselesaikanya karena terlalu sering
fokus pada standar yang mereka tetapkan sendiri dan berfikir secara
berlebihan mengenai penilaian orang lain.
38
Orientasi pada kesempurnaan dapat pula berpegaruh terhadap
prokrastinasi melalui dua cara. Yang pertama, tekanan dan tuntutan yang
tinggi menyebabkan perfeksionis cenderung berusaha menghindari tugas
tersebut. Tuckman (dalam Gunawinata, dkk., 2008) mengatakan bahwa
seorang prokrastinator adalah pencari kesenangan dan berusaha menghindar
dari hal – hal yang menekan mereka. Oleh sebab itu, seorang perfeksionis
dapat melakukan prokrastinasi dengan melakukan hal – hal yang disenangi
sebagai coping terhadap tuntutan dan tekanan yang dirasakan. Yang kedua,
seorang mahasiswa yang menuntut kesempurnaan dalam membuat skripsi,
akan cenderung mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya hingga dirasa
sudah sangat sempurna untuk karyanya. Di dalam proses mencari dan
mengumpukan materi inilah terjadi prokrastinasi. Seorang yang perfeksionis
akan menunda memulai menulis skripsinya sebelum mendapat materi yang
cukup.
Banyak peneliti mengindikasikan bahwa seorang perfeksionis dan
prokrastinator memiliki beberapa karakteristik secara umum. Kedua tipe
individu ini memiliki karakteristik yang sama. Keduanya berorientasi pada
standar yang tinggi dan ingin merealisasikannya meskipun terkadang
irrasional, serta kedua tipe individu ini takut untuk membuat kesalahan
(Burka & Yuen; Beswick; Solomon & Rothblum, dalam Capan 2010).
Namun, mesekipun demikian terkadang memang orientasi pada
kesempurnaan memunculkan energi atau dorongan kepada seseorang untuk
selalu memberikan yang terbaik di dalam mencapai hal dinginkannya.
Seperti yang dikatakan Roedell (dalam Kaur & Kaur, 2011) bahwa orientasi
pada kesempurnaan juga dapat memberikan energi kepada seseorang untuk
mencapai prestasi terbaik yang diinginkannya. Energi ini mendorong
seseorang untuk tidak menunda menyelesaikan tugasnya. Sehingga, Stanley
39
(dalam Kaur & Kaur, 2011) berpendapat bahwa seorang yang perfeksionis
memiliki tingkatan yang rendah pada prokrastinasi.
Faktor lain yang memengaruhi prokrastinasi adalah efikasi diri.
Menurut Bandura ( dalam Seo, 2008) efikasi diri merupakan keyakinan
seseorang mengenai apakah dirinya mampu untuk memenuhi suatu tugas,
aktivitas atau hal lainnya. Menurut model efikasi diri Bandura (dalam Yao,
2009), individu dengan efikasi diri tinggi lebih memilih untuk terlibat dalam
suatu tugas atau aktivitas daripada menghindarinya, pekerja keras dalam
menyelesaikan tugas tersebut dan mampu bertahan dalam kesulitan. Karena
prokrastinasi dapat diartikan sebagai tipe perilaku menghidar, maka tingkat
efikasi diri yang tinggi berhubungan dengan tingkat prokrastinasi yang
rendah. Begitu pula sebaliknya, tingkat efikasi diri yang rendah berhubungan
dengan tingkat prokrastinasi yang tinggi (Yao, 2009).
Dalam beberapa penelitian menunjukan hubungan negatif antara
efikasi diri dan prokrastinasi. Ferrary dkk (dalam Haycock, dkk., 2001)
menemukan korelasi negatif antara efikasi diri dan prokrastinasi akademik.
Tuckman juga menemukan hubungan terbalik yang signifikan antara
keyakinan efikasi dan penundaan (dalam Haycock dkk, 2001). Dalam
penelitian Solomon dan Rothblum (dalam Yao, 2009) hasil analisis melalui
Multiple linear regression dengan tipe MBTI menunjukan bahwa efikasi diri
sebagai prediktor frekuensi prokrastinasi.
F. Kerangka Konsep dan Hipotesa
Gambar di bawah ini menjelaskan tentang prediksi dalam penelitian
ini, dimana diprediksi bahwa orientasi pada kesempurnaan dan efikasi diri
secara simultan dan signifikan memiliki pengaruh terhadap prokrastinasi
40
skripsi. Hal ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian sebelumnya yang telah
dijelaskan di atas.
Berdasarkan kerangka konsep tersebut, maka hipotesis penelitian ini
adalah orientasi pada kesempurnaan (perfectionism) dan efikasi diri secara
simultan dan signifikan memiliki pengaruh terhadap prokrastinasi skripsi
mahasiswa fakultas psikologi UKSW.
Orientasi padaKesempurnaan
(X1)Prokrastinasi
Skripsi(Y)
Efikasi diri(X2)