BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Mutu Terpadu ... - …
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Mutu Terpadu ... - …
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Mutu Terpadu
2.1.1. Mutu Pendidikan
Kualitas secara umum didefinisikan sebagai ukuran
umum relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri
atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian, dimana
kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk dan
kualitas kesesuaian menurut Tjiptono (1996; 2001:2) adalah
suatu ukuran seberapa jauh suatu produk mampu
memenuhi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang telah
ditetapkan. Menurut ISO 9000 kualitas adalah perbedaan
anatara karakteristik dan ciri-ciri (features) yang ditentukan
pada tingkat yang dapat memuaskan kebutuhan konsumen.
Quality and effectiveness are concerned with harnessing and developing the inbuilt potentials and qualities people in an institution prossess. Change, development, and effectiveness come from within rather than from without, leading to and building on the empowerment of all participants in an institution. Quality assurance is concerned with people and individual needs
(Pineda APM,2013).
Meskipun tidak ada definisi mengenai kualitas yang
diterima secara universal dari definisi-definisi yang ada
terdapat beberapa kesamaan, yaitu dalam elemen-elemen
sebagai berikut:
a. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi
harapan pelanggan.
b. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungan.
c. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah
(misalnya apa yang dianggap merupakan kualitas
saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas
pada masa mendatang).
Kualitas merupakan hal yang penting pada setiap
subjek dan objek dalam memberikan kepuasan terhadap
setiap menggunakan.Kualitas memiliki dua kemungkinan
yang mengikat yakni baik dan buruk, sehingga ada sebuah
penilaian dimana kualitas baik dan kualitas buruk.Secara
pengertian telah banyak makna dan definisi-definisi
mengenai kualitas. Diantaranya menurut (Goesth dan Davis
yang dikutip Tjiptono,2004:51) mengemukakan bahwa
kualitas diartikan “sebagai suatu kondisi dinamis dimana
yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses
dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Kualitas pendidikan dapat ditingkatkan melalui beberapa
cara, seperti 1) meningkatkan ukuran prestasi akademik
melalui ujian nasional atau ujian daerah yang menyangkut
kompetensi dan pengetahuan, memperbaiki tes bakat
(Scholastic AptitudeTest), sertifikasi kompetensi dan profil
portofolio (portofolio profile), 2) membentuk kelompok sebaya
untuk meningkatkan gairah pembelajaran melalui belajar
secara kooperatif (cooperative learning), 3) menciptakan
kesempatan belajar baru di sekolah dengan mengubah jam
sekolah menjadi pusat belajar sepanjang hari dan tetap
membuka sekolah pada jam-jam libur, 4) meningkatkan
pemahaman dan penghargaan belajar melalui penguasaan
materi (mastery learning) dan penghargaan atas pencapaian
prestasi akademik, 5) membantu peserta didik memperoleh
pekerjaan dengan menawarkan kursus-kursus yang
berkaitan dengan keterampilan memperoleh pekerjaan,
bertindak sebagai sumber kontak informal tenaga kerja,
membimbing peserta didik menilai pekerjaan-pekerjaan,
membimbing peserta didik membuat daftar riwayat
hidupnya dan mengembangkan portofolio pencarian
pekerjaan ( Bishop, dlm Nurkolis, 2003: 78-79).
Kualitas pendidikan dapat ditempuh dengan menerapkan
Total Quality Management (TQM).TQM pertama kali
dikemukakan dan dikembangkan oleh Deming, Paine, dkk
tahun 1982 (Kambey, 2004:34-45; Suryosubroto,
2004:198).TQM dalam pendidikan adalah filosofi perbaikan
terus-menerus di mana lembagapendidikan menyediakan
seperangkat sarana atau alat untuk memenuhi bahkan
melampaui kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan
saat ini dan di masa mendatang. TQM Merupakan suatu
pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba
untukmemaksimumkan daya saing organisasi melalui
perbaikan terus-menerus atas produk,jasa, manusia, proses
dan lingkungan. Namun pendekatan TQM hanya dapat
dicapaidengan memperhatikan karakteristiknya, yaitu : 1)
fokus pada pelanggan baik internal maupun eksternal, 2)
memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas, 3)
menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah, 4) memiliki komitmen
jangka panjang, 5) membutuhkan kerja-sama tim (team
work), 6) memperbaiki proses secara berkesinambungan, 7)
menyelenggarakan pendidikan dan latihan, 8) memberikan
kebebasan yang terkendali, 9) memiliki kesatuan tujuan,
dan 10) adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.
Strategi untuk meningkatkan mutu dengan
menggunakan TQM pada mutu peserta didik merupakan
sebuah rangkaian sistem.Sistem perbaikan membutuhkan
sebuah evaluasi. Menurut Tyler (1950) yang dikutip oleh
Suharsini Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009:
5), evaluasi program adalah proses untuk mengetahui
apakah tujuan pendidikan telah terealisasikan. Selanjutnya
menurut Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971) yang
dikutip oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul
Jabar (2009:5), evaluasi program adalah upaya
menyediakan informasi untuk disampaikan kepada
pengambil keputusan. Evaluasi program merupakan proses
pengumpulan data atau informasi yang ilmiah dan dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan.
Secara terminologi Kualitas adalah sebuah kata yang
bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus
dikerjakan dengan baik.Aplikasi kualitas sebagai sifat dari
penampilan produk atau kinerja merupakan bagian utama
dari strategi perusahaan dalam rangka meraih keunggulan
yang berkesinambungan, baik sebagai pemimpin pasar
ataupun sebagai strategi untuk terus tumbuh (Heizer,
2010:159). Selain itu kualitas adalah kecocokan untuk
pemakaian berorientasi pada pelanggan terkait kepuasan
dan harapan pelanggan (M Lai-Kow Chan, Ming-Lu
Wu,2002:463-497). Kualitas adalah tingkatan dimana suatu
produk atau jasa dapat memenuhi harapan pelanggan yang
menggunakannya (Montgomery, 2005:266).
Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan sebuah
kelanjutan dalam perjalanan konsep manajemen untuk
memperbaiki kualitas produk dan memberi kepuasan pada
pelanggan melalui quality control, quality assurance. Dalam
konteks pendidikan quality control mendeteksi terjadinya
penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai standar,
standar kualitas sebagai tolak ukur dalam mengetahui
kondisi sekolah. Sedangkan quality assurance merupakan
pekerjaan yang harus segera dilanjutkan dengan demikian
diharapkan proses dapat menghasilkan output yang
memenuhi standar. Dengan demikian dibutuhkan
mekanisme kontrol (checking) agar semua kegiatan yang
dilakukan sekolah terkondisi dengan baik sesuai standar
proses yang ideal. Quality assurance dapat menyakinkan
masyarakat bahwa sekolah senantiasa dan
selalumemberikan pelayanan maksimal kepada seluruh
peserta didik untuk mendapatkan hasil terbaik.
TQM major constant imperative is a concern for standard achievment. TQM is identified as one of the best means in effectively achieving educational goals and objectives. Even those schools that adopted the TQM practices are still faces with challenges such as absence of guiding TQM framework, inadequate human resource and resources, lack of leadership, perception of TQM as a program instead of a culture of continous improvement (Sallis at Suleiman Aden Jamaa;2010:25).
Menurut Saleh (2004:60) menambahkan benchmaking
dalam implementasi TQM merupakan kegiatan untuk
menetapkan standar, baik proses maupun hasil yang akan
dicapai pada periode-periode tertentu. Hal ini sebagai
praktis standar yang direfleksikan dari realitas pada
perilaku mengajar guru, standar yang ditetapkan dengan
merefleksikan seorang yang dikenal baik dalam mengajar
(internal benchmaking) dan refleksi dengan sekolah
menengah yang baik (ekternal benchmaking).
2.2.2 Manajemen Mutu Pendidikan
Prosedur MMT berdasarkan pemaparan Sallis
(1993:48-49) langkah-langkah penting dalam implementasi
MMT di sekolah yakni sebagai berikut:
1. Rumuskan tujuan yang konstan untuk perbaikan
dalam produk, layanan dengan tujuan agar menjadi
kompetitif.
2. Gunakan filosofi baru. Sekolah tidak akan mampu
berkompetisi jika terus menerima dan memaafkan
keterlambatan, kesalahan atau melahirkan hasil
yang tidak tepat.
3. Berhenti menggunakan pengawasan publik dalam
mencapai kualitas karena pengawasan publik
dilakukan oleh unit inspeksi tidak menjamin
kualitas.
4. Tingkatkan terus kualitas pelayanan dan produk
layanan
5. Lakukan on the job training
6. Tugas manajemen adalah memimpin bukan
mengawasi, pemimpin mendorong kemajuan dalam
proses pelaksanaan pekerjaan agar menghasilkan
layanan dan produk terbaik.
7. Hindari rasa takut bahwa produktivitas pegawai
dipengaruhi oleh perasaan aman ditempat kerja.
8. Atasi kendala antara unit atas departemen
9. Posisikan setiap orang dalam institusi bekerja dan
melaksanakan transformasi.
Menurut Deming (1998) dalam Bonsting (2002:15)
teori scientific management merupakan pekerjaan yang
dimulai dengan plan, do, check atau study , action (PDCA).
Gambar 2.1 Siklus PDCA
Sistem manajemen dimulai dengan suatu
perencanaan (plan) yang ditetapkan masing-masing bagian
yang memuat program yang akan dilaksanakan.
Pelaksanaan program mengacu pada perencanaan yang
telah dibuat. Agar semua program dapat berjalan dengan
baik dan hasilnya sesuai yang sudah ditargetkan maka pada
pelaksanaan program dilakukan chek (kontrol). Kontrol
dilakukan pada saat pelaksanaan program sehingga apabila
terjadi penyimpangan akan segera diketahui untuk
kemudian dilakukan tindakan selanjutnya (action).
Penerapan hasil dari kontrol (pengawasan) sangat perlu
dilakukan dalam sistem manajemen supaya program yang
telah disusun dapat tercapai hasilnya.
Konsep MMT sebagai konsep sistem manajemen yang
terintegrasi sebagai sebuah fungsi tujuan dalam sebuah
organisasi dengan mensinergikan secara heuristik dan
holistik meliputi perpaduan konsep kualitas, team work,
produktivitas dan kepuasan pelanggan. Orientasi MMT
adalah customer needs dan kepuasan kebutuhan pasar.
Dalam mencapai kepuasan dibutuhkan sebuah strategi
perbaikan terus-menerus (continous improvement) atas jasa
yang telah diberikan kepada pengguna (customer). MMT
membutuhkan komitmen total dari seluruh stakeholder
dalam sebuah organisasi sehingga sangat dipengaruhi oleh
kualitas sumber daya manusia. Dalam penerapan MMT
membutuhkan beberapa pedoman penduku yang dapat
diterapkan dalam sebuah satu kesatuan sistem MMT dalam
sebuah intitusi pendidikan.MMT sebagai langkah untuk
menilai kondisi sekolah dan sejauh mana program
dijalankan dan apakah tujuan yang hendak dicapai.
Dalam sistem pendidikan nasional menggunakan
klasifikasi hasil belajar dari Bloom (Sudjana, 2006:24) yang
secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yaitu
ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual
yang terdiri dari enam aspek yakni pengetahuan,
pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ranah
afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek,
yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian,
organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotorik berkenaan
dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan
bertindak yakni gerakan reflex, keterampilan gerakan dasar,
kemampuan perceptual, keharmonisan atau ketepatan,
gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif
dan interpretatif. Kualitas dalam sistem pendidikan pada
lingkup sekolah merupakan terserapnya pembelajaran
terhadap peserta didik didik dengan menghasilkan potensi
peserta didik didik yang memiliki kualitas sesuai dengan
harapan dan tujuan pendidikan nasional.
Kualitas pembelajaran menurut Danim (2008:53)
menyatakan bahwa kualitas proses pembelajaran
mengandung makna bahwa kemampuan sumber daya
sekolah mentransformasikan multi jenis masukan dan
situasi untuk mencapai derajat nilai tambah tertentu dari
peserta didik. Mutu pendidikan dipandang berkualitas jika
mampu melahirkan keunggulan akademis dan
ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus
untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program
pembelajaran tertentu.
Beberapa komponen dalam membentuk sistem
pendidikan yakni sebagai berikut: Danim (2008:53)
1. Raw input (peserta didik) yakni peserta didik yang
meliputi intelek, fisik-kesehatan, sosial efektif dan
peer group.
2. Instrumental input meliputi kebijakan pendidikan,
program pendidikan (kurikulum), personal (kepala
sekolah, guru, TU) sarana dan prasana fasilitas,
media dan biaya.
3. Environmental input meliputi lingkungan sekolah,
lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga sosial,
unit kerja.
4. Komponen proses meliputi pengajaran, pelatihan,
pembimbingan, evaluasi, ekstrakurikuler dan
pengelolaan.
5. Output meliputi pengetahuan, kepribadian,
performansi.
Sistem pendidikan terbentuk dari adanya raw
input (peserta didik) yang mempunyai kemampuan
intelektualitas, fisik, kesehatan dan kehidupan
sosial, yang oleh lembaga pendidikan terdiri dari
penyelenggara pendidikan meliputi Kepala Sekolah,
Tata Usaha dan sarpras yang selanjutnya sebagai
instrumental input, didukung dengan adanya
environmental input yaitu lingkungan sekolah,
lingkungan masyarakat, lingkungan sosial,
kemudian diberikan pengajaran, pembimbingan,
kegiatan ekstrakurikuler untuk menghasilkan out
put atau lulusan yang mempunyai pengetahuan,
kepribadian yang sesuai diharapkan.
Instrumental Input:
Kebijakan pendidikan
Program pendidikan (kurikulum)
Personil (kepala sekolah, guru, TU, orang tua, pemerintah)
Sarana fasilitas
Biaya
Proses pendidikan
Pengajaran
Pembimbingan
Evaluasi
Ekstrakurikuler
Pengelolaan
Environmental Input:
Lingkungan sekolah
Lingkungan keluarga
Masyarakat
Lembaga kerja
Raw input:
Intelek
Fisik
Sosial
Peer group
Output (lulusan):
Pengetahuan
Kepribadian
Performansi
Gambar 2.2
Komponen sistem pendidikan
Perbaikan kualitas yang dilakukan oleh sebuah
organisasi pendidikan adalah meningkatkan daya saing
peserta didik pada kebutuhan dan persaingan
global.Peran perbaikan kualitas diharapkan mampu
meningkatkan hasil belajar peserta didik dan
kompetensinya. Perbaikan kualitas merupakan kunci
utama dalam memberikan parameter pokok pada proses
dan output dari sebuah kinerja. Perbaikan kualitas
dengan MMT merupakan cara untuk memberikan nilai
tambah pada sebuah hasil melalui proses kegiatan KBM.
Sistem manajemen kualitas (Quality Management
System) merupakan sekumpulan prosedur
terdokumentasi dan praktek praktek standar untuk
manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian
dari suatu proses dan produk (barang dan atau jasa)
terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu.
Sedangkan Manajemen strategis (Strategic Management)
adalah sekumpulan keputusan manajemen serta
tindakan untuk mencapai prestasi jangka panjang dari
suatu instansi perusahaan.Setiap keputusan yang
diambil dapat dikatakan sebagai Keputusan Strategis
suatu perusahaan (Strategic Decisson) (Nih Luh ITS
;2001:1-10)
Mutu menjadi parameter pengendali akan sebuah
sistem yang dijalankan. Dalam meningkatkan mutu yang
baik terdapat empat usaha yang sangat mendasar dan
harus dilakukan dalam sebuah lembaga pendidikan
(Menurut Slamet, 1999 dalam Rajagukguk, 2009 :25)
adalah :
1. Menciptakan situasi win solution dan bukan
situasi kalah menang diantara pihak yang
berkepentingan dalam lembaga pendidikan
(stakeholder).
2. Motivasi intrinsik pada setiap stakeholder yang
terlibat dalam proses mencapai mutu yang
meningkat terus-menerus sesuai kebutuhan dan
harapan pelanggan.
3. Pemimpin berorientasi pada proses dan hasil
jangka panjang serta konsisten terus-menerus
dijalankan.
4. Kerjasama antar unsur pelaku proses
menghasilkan mutu yang saling berorganismik
dan tersistem.
Manajemen pengembangan mutu terpadu dalam
usaha pendidikan merupakan usaha memberikan pelayanan
kepada pelanggan utama yakni peserta didik dalam lembaga
pendidikan tersebut.pelanggan atau pengguna jasa
pendidikan diantaranya sebagai berikut (Karsidi2000 : 25)
a. Peserta didik sebagai klien primer penerima jasa
pendidikan.
b. Orang tua peserta didik sebagai klien sekunder
yang telah mengirimkan anaknya untuk
mengikuti kegiatan proses belajar mengajar.
c. Lapangan kerja sebagai penerima output dari
peserta didik didik untuk bekerja.
d. Hubungan kelembagaan
Beberapa teknik dalam menyusun program
peningkatan mutu sekolah adalah sebagai berikut( menurut
Sallis;2008:115):
a. School Review meliputi proses evaluasi dan menilai
efektifitas sekolah dan mutu sekolah yang dilakukan
oleh seluruh stakeholder lembaga pendidikan untuk
menghasilkan rumusan kelebihan, kelemahan,
informasi, prestasi sekolah dan rekomendasi jangka
menengah.
b. BenchmakingKegiatan menetapkan standar dan
target yang akan dicapai dalam suatu periode
tertentu. Dapat diaplikasikan untuk individu,
kelompokatau lembaga.
c. Quality Assurance :teknik untuk menentukan bahwa
proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana
mestinya. Deteksi penyimpangan yang terjadi pada
proses. Menekankan pada teknik monitoring yang
berkesinambungan, melembaga, dan menjadi sub
sistem sekolah dalam menghasilkan umpan
balikdanJaminan pelayanan terbaik pada
stakeholder.
d. Quality Control yakni sistem yang mendeteksi
penyimpangan kualitas output dari standar.
Manajemen mutu terpadu sebagai konsep sebuah
sistem pendukung dalam sistem pendidikan maka
mampu mensinergikan komponen yang terkait
didalamnya. Dengan demikian tujuan yang hedak
dicapai dari program tersebut dapat dilaksanakan dan
dilakukan review untuk dilakukan perbaikan. Komponen
tersebut merupakan standarisasi kualitas dengan
benchmaking yang berada disekitarnya dan kebijakan
pendidikan nasional.
2.3 Evaluasi Program
Evaluasi merupakan sebuah penilaian dan
mengumpulkan informasi tentang bekerjasanya sesuatu
yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk
menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil
keputusan.Evaluasi berguna dan bermanfaat dalam
menilai keberadaan suatu program, produksi, prosedur
serta alternatif strategi yang diajukan dalam mencapai
tujuan yang sudah ditentukan. Evaluasi menjadi sebuah
proses penggambaran, pencarian, dan pemberian
informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil
keputusan dalam menentukan alternatif keputusan
(Suharsini;2009 :34)
Menurut Isaac dan Michael (1999) sebuah program
garus diakhiri dengan evaluasi. Hal ini dikarenakan kita
akan melihat apakah program tersebut berhasil
menjalankan fungsi sebagaimana yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dimana terdapat tiga tahapan evaluasi
program yaitu: (1) menyatakan pertanyaan serta
menspesifikasikan informasi yang hendak diperoleh, (2)
mencari data yang relevan dengan penelitian dan (3)
menyediakan informasi yang dibutuhkan pihak
pengambil keputusan untuk melanjutkan, memperbaiki
atau menghentikan program tersebut.
Model-model evaluasi program yang digunakan dalam
program pendidikan memiliki berbagai model dimana
penjelasannya pada sub bab berikut ini.
2.3.1 Goal Oriented Evaluation
Goal Oriented Evaluaionmenurut Jenifer
(2011:1-24) adalah merupakan model yang paling awal
muncul yang menjadi objek pengamatan pada model ini
adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh
sebelum program dimulai berkesinambungan, terus
menerus, mencek sejauh mana tujuan tersebut sudah
terlaksana di dalam proses pelaksanaan program.
Model ini diambil dari nama pengembangnya
yaitu Tyler. Tyler(1978) mengemukakan ide dan
gagasannya tentang evaluasi. Model ini dibangun atas
dua dasar pemikiran.Pertama mengenai evaluasi harus
dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum
melaksanakan kegiatan pembelajarn dan sesudah
melaksanakan kegiatan pembelajaran (hasil). Dasar
pemikiran yang kedua bahwa seorang evaluator harus
dapat menentukan perubahan tingkah apa yang terjadi
pada peserta didik mengikuti pengalaman belajar
tertentu.
Penggunaan model ini memerlukan informasi
perubahan tingkah laku pada saat sebelum dan sesudah
terjadinya pembelajaran.Model ini mensyaratkan pada
validitas informasi pada tes akhir. Untuk menjamin
validitas diperkukan adanya kontrol dengan
menggunakan desain eksperimen.Model ini disebut juga
model black box yang menekankan pada hasil yang
telah dicapai dari tes awal dan tes akhir.
Tiga langkah yang djalankan pada metode ini
adalah sebagai berikut:
a. Menentukan tujuan pembelajaran yang akan
dievalusi.
b. Menentukan situasi dimana peserta didik
memperoleh kesempatan untuk menunjukkan
tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan.
c. Menentukan alat evaluasi yang dapat
dipergunakan untuk mengukur tingkah laku
peserta didik.
2.3.2 Goal Free Evaluation Model
Model ini disebut evaluasi lepas dari tujuan
tetapi bukannya lepas sama sekali dari tujuan tetapi
hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya
mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai
program bukan secara rinci perkomponen. Mendesain
suatu program tidak terlepas dari tujuan.Dalam
pendidikan, kurikulum, pembelajaran dikenal dengan
tujuan pendidikan yaitu tujuan pendidikan nasional,
tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan
pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus.
Model evaluasi ini menggunakan tujuan sebagai kriteria
dalam menentukan keberhasilan.Model ini sangat
praktis dalam mendesain dan mengembangkan suatu
program karena dalam menentukan hasil yang
diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur.
Evaluasi ini terdapat hubungan yang logis antara
kegiatan, hasil dan prosedur pengukuran hasil.Tujuan
model ini membantu guru dalam merumuskan tujuan
yang dapat diukur, hubungan yang logis antara
kegiatan, hasil dan prosedur pengukuran hasil.
Rumusan program dapat diobservasi dan dapat diukur
maka kegiatan evaluasi akan menjadi lebih praktis dan
simpel. Hasil evaluasi akan menggambarkan rencana
pelaksanaan suatu program dengan peises pencapaian
tujuan. Instrumen yang digunakan bergantung pada
tujuan yang ingin diukur.Hasil evaluasi
menggambarkan tingkat keberhasilan tujuan program
berdasarkan pada kriteris khusus.Kelebihan model ini
terletak pada hubungan anatara tujuan dengan
kegiatan dan menekankan pada peserta didik sebagai
aspek penting dalamprogram.Kekurangannya adalah
memungkinkan terjadinya proses evaluasi melebihi
konsekuensi yang tidak diharapkan.
2.3.3 Formatif-summatif Evaluation Model
Evaluaasi formatif secara prinsip merupakan evaluasi
yang dilaksanakan ketika program masih berlangsung
atau ketika program masih dekat dengan permulaan
kegiatan. Tujuan evaluasi model ini adalah mengetahui
sejauh mana program yang dirancang dapat berlangsung
sekaligus mengidentifikasi hambatan. Evaluasi sumatif
dilakukan setelah program berakhir yang mengukur
ketercapaian program.
Model ini membandingkan performance dari berbagai
dimensi bukan terpaku pada hasil namun sejumlah
kriteria baik yang sifatnya mutlak dan relatif. Model ini
menekankan pada sistem sebagai suatu keseluruhan ini
merupakan bagian dari penggabungan beberapa model.
Sehingga obyek evaluasinya diambil dari model
countenance (Stake) yang meliputi keadaan sebelum
kegiatan berlangsung, kegiatan yang terjadi dan saling
mempengaruhi, hasuk yang diperoleh (outcome).Kedua
adalah model CIPP meliputi Context, Input, Proses,
Product.Ketiga merupakan model evaluation dan
cosequential evaluation. Keempat adalah model provus
yang meliputi design operation program, interim
products, terminal products.
2.3.4 Countenance Evaluation Model
Model ini menekankan pada pelaksanaan dua hal
pokok yaitu deskripsi dan perimbangan seta
membdedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi
program yaitu (1) antesden, (2) transaksi, (3)
keluaran.Model ini menitikberatkan pada evaluasi dua
hal pokok yakni description dan judgement.Setiap hal
memuat pada tiga dimensi yaitu antecedets (context),
proses, outcomes.Deskripsi terdiri dari dua aspek yaitu
intents (goals) dan observation (effect).Sedangkan
judgement terdiri dari standard dan judgement.Model
evaluasi ini membandingkan antara satu program
dengan program yang lainnya. Model ini memuat
beberapa hal diantara: rasional, antecedents (kondisi
sebelum kegiatan pelatihan), transaksi, output,
prosedur, tujuan yang diharapkan, observasi, standard.
2.3.5 CIPP Evaluation Model
Model ini merupakan strategi evaluasi melalui
tahapan kontek program, input, proses, product. Model
yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh
Stufflebeam yang dikenal dengan CIPP Evaluation
Model.CIPP merupakan singkatan dari Context, Input,
Process and Product. Dalam buku Riset Terapan oleh
Endang Mulyatiningsih (2011: 126), mengemukakan
bahwa evaluasi CIPP dikenal dengan nama evaluasi
formatif dengan tujuan untuk mengambil keputusan dan
perbaikan program.
Komponen evaluasi meliputi:
a. Context
Orientasi utama dari evaluasi konteks adalah
mengidentifikasilatar belakang perlunya
mengadakan perubahan atau munculnya program
dari beberapa subjek yang terlibat dalam
pengambilan keputusan atau kebijakan
(Mulyatiningsih, 2011: 127).
b. Input
Evaluasi input dilakukan untuk mengidentifikasi
dan menilai kapabilitas sumber daya bahan, alat,
manusia dan biaya, untuk melaksanakan program
yang telah dipilih (Mulyatiningsih, 2011: 129)
c. Proses
Evaluasi proses bertujuan untuk mengidentifikasi
atau memprediksi hambatan-hambatan dalam
pelaksanaan kegiatan atau implementasi program.
Evaluasi dilakukan dengan mencatat atau
mendokumentasikan setiap kejadian dalam
pelaksanaan kegiatan, memonitor kegiatan-kegiatan
yang berpotensi menghambat dan menimbulkan
kesulitan yang tidak diharapkan, menemukan
informasi khusus yang berada diluar rencana;
menilai dan menjelaskan proses secara aktual.
Selama proses evaluasi, evaluator dituntut
berinteraksi dengan staf pelaksana program secara
terus-menerus (Mulyatiningsih, 2011: 130-131)
d. Product
Tujuan evaluasi produk adalah untuk mengukur,
mengintepretasikan dan memutusakan hasil yang
telah dicapai oleh program.Apakah telah memenuhi
kebutuhan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
2.3.6 CSE-UCLA Evaluation Model
Lima tahapan dalam model ini adalah sebagai
berikut:
a. Needs Assessment b. Program Planning
c. Formative Evaluation. d.Summative Evaluatio
2.4 Manajemen Sekolah
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS
dapat diartikan sebagai model manajemen yang
memberikanotonomi lebih besar kepada sekolah,
fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorongpartisipasi
secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutusekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional serta peraturan perundang-
undanganyang berlaku (Nurkolis,2003:107, Depdiknas,
2002:3). MPMBS merupakanbagian dari manajemen
berbasis sekolah (MBS).MPMBS lebih difokuskan
padapeningkatan mutu pendidikan (Depdiknas,2002:3-4).
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah
untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga
sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
pendidikan nasional yang berlaku. Sedangkan
pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk
mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan
yang terbuka dan demokratik di mana warga sekolah
didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi
terhadap pencapaian tujuan sekolah. Sehingga
diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-
ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi, adaptif,
antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahawan
yang tinggi, bertanggung-jawab terhadap kinerja sekolah,
memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen
dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat
terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada
dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Tujuan MPMBS adalah memandirikan atau
memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan
(otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang
lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya
sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan
masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan
(Depdiknas,2002:4). Menurut Sudjana (2011:70)
menyatakan bahwa pembelajaran pada hakekatnya
adalah interaksi terhadap suatu situasi yang berada
disekitar individu.Sejalan dengan konsep tersebut
menurut Hamalik (2010:27) menyatakan bahwa belajar
merupakan modifikasi dan memperteguh kelakuan
melalui pengalaman. Sedangkan menurut Slameto
(2010:12) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu
proses usaha yang dilakukan seseorang dalam
memperoleh tingkah laku secara keseluruhan sebagai
hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan
lingkungan.
Menurut Lawler (1986;2000:32) keterlibatan tinggi
dalam manajemen di sektor swasta menyangkut empat
hal, yaitu: informasi, penghargaan, pengetahuan dan
kekuasaaan.Informasi memungkinkan para individu
berpartisipasi dan mempengaruhi pengambilan
keputusan dengan memahami lingkungan organisasi,
strategi, sistem kerja, persyaratan kerja dan tingkat
kerja.Pengetahuan dan keterampilan diperlukan untuk
meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi efektif
atas kesuksesan organisasi.Penghargaan untuk
menyatukan kepentingan pribadi karyawan dengan
keberhasilan organisasi.Secara tradisional empat hal
tersebut. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi
proses kerja, prekatek keorganisasian, kebijakan dan
strategi. Dalam MBS menggambarkan pertukaran dua
arah dalam empat hal tersebut.Alur dua arah
memberikan pengaruh yang salingnmenguntungkan
secara terus-menerus antara pemerintah daerah dengan
sekolah dan sebaliknya (Nurkolis : 2003:110).
Gagasan lain tentang MBS yang ideal adalah
menerapkan pada keseluruhan aspek pendidikan melalui
pendekatan sistem. Konsep ini didasarkan pada
pendekatan manajemen sebagai suatu sistem (Kambey,
2003:23; Made Pidarta, 2004:23).Seperti model ideal yang
dikembangkan oleh Slamet P.H terdiri dari output, proses
daninput (Nurkolis, 2003: 111). Output sekolah diukur
dengan kinerja sekolah, yaitupencapaian atau prestasi
yang dihasilkan oleh proses sekolah. Kinerja sekolah
dapatdiukur dari efektivitas, kualitas, produktivitas,
efisiensi, inovasi, moral kerja. Prosessekolah adalah
proses pengambilan keputusan, pengelolaan
kelembagaan, pengelolaanprogram, dan belajar-mengajar.
Input sekolah antara lain visi, misi, tujuan,
sasaran,struktur organisasi, input manajemen, input
sumber daya.
2.5Stakeholder Peningkatan Mutu Peserta didik
A. Peran Dinas Pendidikan
Peran dan fungsi Departemen Pendidikan di
Indonesia di era otonomi daerah sesuai dengan PP
No.25 thn 2000 menyebutkan bahwa tugas
pemerintah pusat antara lain menetapkan standar
kompetensi peserta didik dan warga, peraturan
kurikulum nasional dan sistem penilaian hasil belajar,
penetapan pedoman pelaksanaan pendidikan,
penetapan pedoman pembiayaan pedidikan,
penetapan persyaratan, perpindahan, sertifikasi
peserta didik, warga belajar dan mahapeserta didik,
menjaga kelangsungan proses pendidikan yang
bermutu, menjaga kesetaraan mutu antara daerah
kabupaten/kota dan antra daerah provinsi agar tidak
terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga
keberlangsungan pembentukan budi pekerti,
semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui
program pendidikan. Peran pemerintah daerah
adalah menfasilitasi dan membantu staf sekolah atas
tindakannya yang akan dilakukan sekolah,
mengembangkan kinerja staf sekolah dan kinerja
peserta didik dan seleksi karyawan. Dalam kaitannya
dengan kurikulum, menspesifikasi tujuan, sasaran,
dan hasil yang diharapkan dan kemudian memberikan
kesempatan kepada sekolah menentukan metode
untuk menghasilkan mutu pembelajaran. Pemerintah
kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi : 1)
memberikan pelayanan pengelolaan atas seluruh
satuan pendidikan negeri dan swasta; 2) memberikan
pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh
aset atau sumber daya pendidikan yang meliputi
tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku
pelajaran, dana pendidikan dan sebagainya; 3)
melaksanakan pebertugas mbinaan dan pengurusan
atas tenaga pendidik yang bertugas pada satuan
pendidikan. Selain itu dinas kab/kota bertugas
sebagai evaluator dan inovator, motivator,
standarisator, dan informan, delegator dan
koordinator.
B. Peran Sekolah
Dewan sekolah (komite sekolah) memiliki peran:
menetapkan kebijakankebijakan yang lebih luas,
menyatukan dan memperjelas visi baik untuk
pemerintah daerah dan sekolah itu sendiri,
menentukan kebijakan sekolah, visi dan misi sekolah
dengan mengacu kepada ketentuan nasional dan
daerah, menganalisis kebijakan pendidikan,
melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat,
menyatukan seluruh komponen sekolah.
Pengawas sekolah berperan sebagai fasilitator
antara kebijakan pemda kepada masing-masing
sekolah antara lain menjelaskan tujuan akademik dan
anggarannya serta memberikan bantuan teknis ketika
sekolah menghadapi masalah dalam menerjemahkan
visi pemda. Mereka memberikan kesempatan untuk
mengembangkan profesionalisme staf sekolah,
melakukan eksperimen metode pengajaran, bertindak
sebagai model dalam melaksanakan MBS dengan cara
melakukannya sendiri dan menciptakan jalur
komunikasi sekolah dengan dinas.
C. Peran Kepala Sekolah
Pada tingkat sekolah, peran kepala sekolah
sangat sentral sebagai figur pengambil kebijakan dan
keputusan strategis dalam pengembangan
sekolah.Untuk itu dalam kerangka MBS integritas dan
profesionalitas kepala sekolah sangat dibutuhkan.
Untuk itu peran kepala sekolah memiliki banyak
fungsi antara lain :Pertama, sebagai evaluator
melakukan pengukuran seperti kehadiran, kerajinan
dan pribadi para guru, tenaga kependidikan,
administrasi sekolah dan peserta didik. Kedua,
sebagai manajer memahami dan mampu
mengaplikasikan fungsi-fungsi manajerial (planning,
organizing, actuating, dancontroling (lih. juga Ernie T.
Sule dan Kurniawan Saefullah, 2005:6).Ketiga, sebagai
administrator bertugas, sebagai pengendali struktur
organisasi (pelaporan dan kinerja sekolah),
melaksanakan administrasi substantif (kurikulum,
peserta didik, personalia, keuangan, sarana, humas
dan administrasi umum).Keempat, sebagai supervisor
(memberikan pembinaan atau bimbingan kepada para
guru dan tenaga kependidikan). Kelima, sebagai leader
(mampu menggerakkan orang lain agar melakukan
kewajibannya secara sadar dan sukarela). Keenam,
sebagai inovator (cermat dan cerdas melakukan
pembaharuanpembaharuan dan inovasi-inovasi
baru).Ketujuh, sebagai motivator (memberikan
semangat dan dorongan kepada para guru dan staf
untuk bergairah dalam pekerjaan).Di samping enam
fungsi di atas Wohlstetter dan Mohrman mengatakan
bahwa kepala sekolah adalah sebagai designer,
motivator, fasilitator dan liasion. Sebagai designer
membuat rencana dengan memberikan kesempatan
untuk terciptanya suasana produktif (secara
demokratis) menyangkut isu-isu dan permasalahan di
seputar sekolah dengan tim pengambil keputusan
sekolah. Sebagai fasilitator mendorong proses
pengembangan kemampuan seluruh staf dan mampu
menyediakan dan mempergunakan semua sumber
daya untuk pengembangan sekolah. Sebagai liasion
atau penghubung sekolah dengan dunia di luar
sekolah, membawa ide-ide baru, gagasan-gagasan
baru dan hasil-hasil penelitian di sekolah dan mampu
mengkomunikasikan kinerja dan hasil sekolah kepada
stakeholder di luar sekolah (Nurkolis, 2003: 119-122).
Dari fungsi-fungsi di atas E, Mulyasa (2005:97)
menambahkan satu fungsi lagi, yakni sebagai
educator (pendidik), yakni mampu memberikan
pembinaan (mental, moral, fisik dan artistik) kepada
para guru dan staf serta para peserta didik.
D. Peran Guru
Pedagogi reflektif menunjuk tanggung-jawab
pokok pembentukan moral maupun intelektual dalam
sekolah terletak pada para guru. Karena dengan dan
melalui peran para guru hubungan personal autentik
untuk penanaman nilai-nilai bagi para peserta didik
berlangsung (Paul Suparno, dkk, 2002:61-62). Untuk
itu guru yang profesional dalam kerangka
pengembangan MBS perlu memiliki kompetensi antara
lain kompetensi kepribadian (integritas, moral, etika
dan etos kerja), kompetensi akademik (sertifikasi
kependidikan, menguasai bidang tugasnya dan belajar
belajar) dan kompetensi kinerja (terampil dalam
pengelolaan pembelajaran).Pemberdayaan dan
akuntabilitas para guru adalah syarat penting dalam
menjalankan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
Upaya profesionalisme guru yang akuntabel
dapat dilakukan sebagai berikut: (a) Pola rekruitmen
yang berstandar dan selektif, (b) Pelatihan yang
terpadu, berjenjang danberkesinambungan (long life
eduction), (c) Penyetaraan pendidikan dan
membuatstandarisasi mimimum pendidikan, (d)
Pengembangan diri dan motivasi riset, (e) Pengayaan
kreatifitas untuk menjadi guru karya (Guru yang bisa
menjadi guru).
Skill dan keahlian guru dalam sistem
pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kemampuan intelektual yang memadai
b. Kemampuan memahami visi dan misi
c. Pendidikanpendidikan Keahlian mentrasfer ilmu
pengetahuan atau metodelogi pembelajaran
d. Memahami konsep perkembangan anak/psikologi
perkembangan
e. Kemampuan mengorganisir dan problem solving
f. Kreatif dan memiliki seni dalam mendidik
E. Peran orang tua
Karakteristik yang paling menonjol dalam konsep
MBS adalah pemberdayaan partisipasi para orang tua
dan masyarakat.Peran orang tua dan masyarakat
secara kelembagaan adalah dalam dewan sekolah
atau komite sekolah.Filosofi yang menjadi landasan
bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah
dalam keluarga (orang tua) dan masyarakat adalah
pelanggan pendidikan yang perkembangannya
dipengaruhi oleh kualitas para lulusan.Sekolah
memiliki fungsi subsidier, fungsi primer pendidikan
ada pada orang tua (Piet Go, 2000: 46).Untuk itu
orang tua dan masyarakat perlu dilibatkan dalam
pengelolaan dan pengembangan sekolah.
Menurut Cheng (1989) dalam (Nurkolis, 2003:126)
ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orang
tua dan masyarakat berpartisipasi aktif dalam
pendidikan.Pertama, pendekatan school-based dengan
cara mengajak orang tua peserta didik datang ke
skolah melalui pertemuan-pertemuan, konferensi,
diskusi guru-orang tua dan mengunjungi anaknya
yang sedang belajar di sekolah. Kedua, pendekatan
home-based, yaitu orang tua membantu anaknya
belajar di rumah bersama-sama dengan guru yang
berkunjung ke rumah.
Sedangkan peran masyarakat bukan hanya
dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga dan
menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan
tertib serta menjalankan kontrol sosial dalam
pelaksanaan pendidikan di sekolah. Peran tokoh-
tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak
(menggerakkan masyarakat supaya berpartisipasi
dalam pendidikan), menjadi informan dan
penghubung (menginformasikan harapan dan
kepentingan masyarakat kepada sekolah, dan
menginformasikan sekolah kepada masyarakat),
koordinator (mengkoordinasikan kepentingan sekolah
dengan kebutuhan bisnis di lingkungan masyarakat,
misalnya praktek, magang, dsb), pengusul
(mengusulkan kepada pemerintah daerah agar ada
kebijakan, mis. pajak pendanaan).
2.6 Peserta Didik
Peserta didik istilah bagi peserta didik pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Peserta
didik adalah komponen masukan dalam sistem
pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses
pendidikan, sehingga menjadi manusia yang
berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional. Sebagai suatu komponen pendidikan,
peserta didik dapat ditinjau dari berbagai pendekatan,
antara lain: pendekatan sosial, pendekatan psikologis,
dan pendekatan edukatif/pedagogis.
Menurut Sanjaya (2008:17) dimensi proses
pembelajaran yang dapat dilihat dari aspek peserta
didik meliputi:
1. Latar belakang siswa meliputi jenis kelamin,
tempat kelahiran, tingkat sosial ekonomi keluarga,
kepribadian.
2. Sifat yang dimiliki oleh peserta terkait kemampuan
pengetahuan dan sikap. Kemampuan dan tingkat
kecerdasan setiap siswa berbeda-beda.
Peserta didik atau anak didik adalah organisme
yang unuk dapat berkembang sesuai dengan tahap
perkembangannya.
2.7 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Gambar 2.7 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir menjelaskan bahwa kondisi SMA
Negeri 2 Salatiga saat ini menunjukkanmasih rendahnya
hasil UN dan minimnya para lulusan diterima di PTN
dan PTS Terakreditasi,karena itulah maka program MMT
harus dievaluasi agar tercapai tujuan yang sudah
direncanakan. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan
Goal Oriented (GO) yaitu suatu model evaluasi yang
berorientasi pada tujuan .Evaluasi dilakukan pada
bidang kurikulum,kesiswaan, humas, sarpras, tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan serta pembiayaan .
Model ini mempunyai beberapa tahap, meletakkan
tujuan yang akan dicapai jauh diawal program .
Rendahnya
hasil UN dan minimnya
lulusan yang diterima PTN dan PTS
Terakreditasi
Evaluasi MMT dengan
model Goal
Oriented
Kurikulum Kesiswaan Humas Sarpras Tendik Pembiayaan
Hasil
MMT (Manajemen Mutu Terpadu) adalah suatu
pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba
untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui
perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungannya. Beberapa karakteristik MMT
adalah sebagai berikut : (1) Fokus pada pelanggan, baik
pelanggan internal maupun eksternal; (2) Memiliki
obsesi yang tinggi terhadap kualitas; (3) Menggunakan
pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah; (4) Memiliki komitmen jangka
panjang; (5) Membutuhkan kerja sama tim (teamwork);
(5) Memperbaiki proses secara berkesinambungan; (6)
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan,
memberikan kebebasan yang terkendali; (7) Memiliki
kesatuan tujuan; dan (8) Adanya keterlibatan dan
pemberdayaan karyawan.
Prosedur MMT berdasarkan pemaparan Sallis
(1993:48-49) menawarkan langkah-langkah penting
dalam implementasi MMT di sekolah yakni sebagai
berikut: (1) Rumuskan tujuan yang konstan untuk
perbaikan dalam produk, layanan dengan tujuan agar
menjadi kompetitif. (2) Gunakan filosofi baru. Sekolah
tidak akan mampu berkompetisi jika terus menerima
dan memaafkan keterlambatan, kesalahan atau
melahirkan hasil yang tidak tepat. (3) Berhenti
menggunakan pengawasan publik dalam mencapai
kualita karena pengawasan publik dilakukan oleh unit
inspeksi tidak menjamin kualitas. (4) Tingkatkan terus
kualitas pelayanan dan produk layanan, (5) Lakukan on
the job training, (6) Tugas manajemen adalah memimpin
bukan mengawasi, pemimpin mendorong kemajuan
dalam proses pelaksanaan pekerjaan agar menghasilkan
layanan dan produk terbaik. (7) Hindari rasa takut. (8)
Atasi kendala antara unit atas departemen, (9) Posisikan
setiap orang dalam institusi bekerja dan melaksanakan
transformasi.
Mutu menjadi parameter pengendali akan sebuah
sistem yang dijalankan. Dalam meningkatkan mutu yang
baik terdapat empat usaha yang sangat mendasar dan
harus dilakukan dalam sebuah lembaga pendidikan
(Menurut Slamet, 1999 dalam Rajagukguk, 2009:16)
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS
dapat diartikan sebagai model manajemen yang
memberikanotonomi lebih besar kepada sekolah,
fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorongpartisipasi
secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutusekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional serta peraturan perundang-
undanganyang berlaku (Nurkolis, 2003:107, Depdiknas,
2002:3).Sekolah diberi wewenang untuk mengatur
sendiri tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan kebijakan.
2.8 Penelitian Terdahulu
Ahmad Darmadji Ketua Program Studi Pendidikan
Agama Islam FIAI UII Yogyakarta dalam Implementasi
TQM (2010) sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan
di MAN Model Yogyakarta. Hasil penelitian yang didapat
bahwa implementasi prinsip TQM di MAN Model
tercermin dari proses bertahap dan terus-menerus dalam
peningkatan mutu dengan pemenuhan harapan
pelanggan internal maupun eksternal melalui dukungan
partisipasi aktif dan dinamis dari sejumlah pihak. TQM
memberikan manfaat bagi MAN Model sebagai institusi
dalam perannya sebagai leader of change.Kebersamaan
dan kerjasama seluruh komponen MAN Model
Yogyakarta menjadi prasyarat implementasi TQM yang
efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Sejumlah hambatan yang ada dapat terpecahkan dengan
mengkomunikannya dan mempertinggi komitmen semua
komponen untuk bersama-sama menuju pada kualitas
yang diharapkan.
Kritianty dalam peningkatan mutu pendidikan
terpadu cara Deming (2012) meneliti bahwa terdapat
empat belas butir pemikiran tentang peningkatan mutu
suatu organisasi yang diusulkan. Deming diterapkan
dalam upaya peningkatan mutu manajemen pendidikan
di Indonesia. Implementasi konsep peningkatan mutu
cara deming dalam pendidikan di Indonesia adalah
sebagai berikut: Ciptakan tujuan yang mantap demi
perbaikan produk dan jasa, adopsi filosofi baru, hentikan
ketergantungan pada inspeksi masal, akhiri kebiasaan
melakukan hubungan bisnis berdasarkan biaya, perbaiki
sistem produksi dan jasa secara konstan dan terus
menerus, melembagakan metode pelatihan yang modern
di tempat kerja, lembagakan kepemimpinan.
T Sudha dalam penelitian mengenai TQM (Total
Quality Management) In Higher Education Institutions
(2013) menyatakan bahwa kualitas pada pendidikan
tinggi menjadi sebuah konsentrasi ilmu. Beberapa siswa
dan laporan dari instansi menyatakan hal yang sama dan
memberikan rekomendasi untuk perbaikan dan
peningkatan. Pendidikan tinggi merupakan sarana untuk
meningkatkan kemampuan manusia sehingga
membutuhkan manajemen kualitas. Perbaikan secara
terus menerus di semua bidang penting untuk dilakukan
guna peningkatan mutu pada pendidikan tinggi. SDM
adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan pada
perubahan ini, karena tidak mudah melakukan
perubahan hingga diperoleh hasil yang diharapkan.
Selain SDM faktor yang penting lainnya adalah
pengelolaan sarana prasarana sebagai pendukung
perubahan secara terus-menerus.