Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan

download Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan

of 38

description

MTTP

Transcript of Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan

33

MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM PENDIDIKAN

Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti, S.Pd.I., M.A.A. Pendahuluan

Permasalahan utama pendidikan Indonesia dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang, jenis, dan satuan pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Ibrahim menyatakan bahwa pada era reformasi pendidikan Islam menghadapi dua masalah, yaitu: 1) tuntutan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap kualitas pendidikan Islam, dan 2) tidak relevannya pendidikan Islam dengan tuntutan kebutuhan pembangunan masyarakat.

Berbagai data menunjukkan bahwa pendidikan pada beberapa tahun terakhir masih belum menunjukkan perubahan yang menggembirakan meskipun tidak dapat dipungkiri terdapat beberapa sekolah/madrasah menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan. Beberapa siswa dari kota-kota besar di Indonesia berhasil meraih medali Olimpiade Sains Internasional. Salah satu catatan untuk lembaga pendidikan Islam menunjukkan bahwa Sekolah Islam Terpadu Darul Mursyid Padang Sidimpuan berhasil menjadi juara II dalam Olimpiade Sains tingkat Provinsi pada bulan Desember 2013. Prestasi ini mengungguli sekolah-sekolah umum.

Lahmuddin Lubis mengklasifikasikan penyebab utama rendahnya mutu pendidikan di Indonesia ke dalam tiga bentuk. Pertama, pendekatan yang digunakan lebih terfokus kepada input-output dan sangat kurang perhatian pada proses. Kedua, pendidikan dilakukan secara birokratik sentralistik; dalam hal tertentu sentralistik masih perlu tetapi pada era otonomi daerah, pendekatan desentralistik lebih dominan. Ketiga, peran warga sekolah, khususnya guru, masyarakat dan orangtua siswa/mahasiswa sangat kurang.

Mutu menjadi hal yang sangat penting dalam pendidikan. Kita semua mengakui, saat ini memang ada masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan sekolah menengah atau perguruan tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Masalah ini berakibat bagi masyarakat. Para peserta didik yang tidak siap jadi warga negara yang bertanggung jawab dan produktif itu, akhirnya hanya jadi beban masyarakat. Para peserta didik yang seperti itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu. Rozikun dan Namaduddin menyatakan bahwa dalam konteks sistem pendidikan nasional, madrasah menjadi sorotan terkait dengan buruknya mutu pendidikan nasional.

Lahmuddin Lubis menjelaskan bahwa pendidikan merupakan industri jasa (pelayanan) yang memiliki pelanggan. Pelanggan pendidikan memiliki kebutuhan dan harapan. Oleh karena itu, peranan pendidikan direncanakan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggannya.

Permasalahan mutu pendidikan tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan suatu sistem yang saling berpengaruh. Mutu keluaran dipengaruhi oleh mutu masukan dan mutu proses. Mutu masukan pendidikan dapat dilihat dari kesiapan murid dalam mendapatkan kesempatan pendidikan. Kenyataannya, masih banyak murid yang tidak siap karena sebagian menderita kekurangan gizi, kecacingan, ataupun kondisi kesehatan dan kebugaran jasmani yang tidak mendukung. Keadaan ini terkait dengan kesiapan input pendidikan. Arcaro menyatakan bahwa mutu pendidikan akan meningkat bila administrator, guru, staf, dan anggota dewan sekolah mengembangkan sikap baru yang terfokus pada kepemimpinan, kerja tim, kooperasi, akuntabilitas, dan pengakuan. Terkait dengan uraian di atas, perlu diberikan batasan definisi terhadap pendidikan. Pendidikan sendiri dapat dilihat sebagai suatu proses dan sebagai suatu lembaga yang menawarkan program pembelajaran. Sebagai suatu proses, pendidikan merupakan usaha memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap potensi setiap individu anak yang sedang mengalami perkembangan untuk mencapai kedewasaan yang optimal. Dalam konteks ini pendidikan dapat berlangsung seumur hidup dalam berbagai situasi, baik dengan keteladanan, pembiasaan, bimbingan, pengarahan, pembelajaran, pelatihan, hukuman, pujian, dan lain-lain. Sedangkan sebagai lembaga, pendidikan dapat berlangsung di rumah tangga dan lembaga masyarakat (pendidikan luar sekolah) dan pendidikan yang berlangsung di sekolah sebagai organisasi pendidikan formal.

Salah satu lembaga pendidikan yang telah menerapkan sistem manajemen terbuka dan memanfaatkan lingkungannya menghadapi tuntutan zaman yang kompleks adalah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Medan. Dalam hal ini dibuktikan dengan prestasi MAN 1 Medan meraih Certificate of Registration ISO 9001-2008. Untuk perkembangan terkini, MAN 1 Medan merupakan satu-satunya madrasah di Sumatera Utara yang mendapat standar manajemen pendidikan yang diakui organisasi internasional tentang mutu. Untuk kajian selanjutnya, hemat penulis keberadaan MAN 1 Medan menjadi hal yang menarik untuk diteliti secara lebih mendalam.Makalah ini membahas tentang manajemen mutu terpadu dalam pendidikan. Adapun sub-sub bahasan dalam makalah ini, yaitu: konsep mutu, pelanggan dan standar mutu, manajemen mutu terpadu dalam pendidikan (total quality management [TQM]), prinsip dan komponen manajemen mutu terpadu pendidikan, langkah-langkah manajemen mutu terpadu pendidikan, dan hambatan penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan. Konteks lembaga pendidikan yang terkait dalam bahasan makalah ini adalah lembaga pendidikan Islam, meliputi madrasah, sekolah Islam terpadu, dan perguruan tinggi Islam.B. PembahasanManajemen pendidikan memiliki keterkaitan dengan perubahan budaya organisasi. Mutu organisasi dapat dicapai, disempurnakan, dan dikembangkan dengan implementasi sistem manajemen. Bidang pendidikan berkaitan dengan kurikulum, kompetensi guru, penataan fasilitas dan sarana pembelajaran, sehingga sistem manajemen berfokus pada aspek-aspek tersebut. Perubahan signifikan akan terjadi jika disertai dengan perbaikan pola dan kultur manajemen yang mendukung perubahan-perubahan tersebut.

Sidi mengidentifikasi beberapa masalah terkait dengan peningkatan mutu pendidikan. Menurut Sidi, ada empat faktor yang terkait dengan peningkatan mutu pendidikan. Pertama, salah satu indikator mutu pendidikan yaitu Nilai Ebtanas Murni/Nilai Ujian Nasional masih jauh di bawah standar yang diinginkan. Kedua, dilihat dari aspek non-akademik, banyak kritik terhadap masalah kedisiplinan, moral dan etika, kreativitas, kemandirian, dan sikap demokratis yang tidak mencerminkan tingkat kualitas yang diharapkan oleh masyarakat luas. Ketiga, kemampuan guru sangat bervariasi. Dan keempat, kondisi lingkungan sekolah untuk menerapkan pendidikan yang bersifat non-akademik (kreativitas, kemandirian, dan demokrasi) juga relatif rendah.

1. Konsep Mutu, Pelanggan, dan Standar Mutua) Konsep MutuMutu sistem pendidikan suatu negara merupakan penentu utama bagi mutu tenaga kerja. Semakin tinggi mutu tenaga kerja (labor pool), semakin tinggi pula mutu penerimaan tenaga kerja (entry-level employees). Semakin tinggi mutu penerimaan tenaga kerja, semakin cepat mereka menjadi tenaga kerja yang produktif dan berkontribusi terhadap persaingan dalam pekerjaan. Sebagai konsekuensinya, sistem pendidikan yang bermutu tinggi merupakan komponen penting bagi kompetisi yang seimbang (competitiveness equation). Dengan demikian, indikator majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh sumberdaya manusia negeri tersebut. Hal di atas mengimplikasikan bahwa salah satu kriteria lulusan lembaga pendidikan yang bermutu adalah cepat terserapnya mereka di lapangan kerja dan diterimanya mereka di lembaga pendidikan lanjutan.Mutu terletak pada penilaian orang yang mengamatinya (beholder). Dalam pendekatan mutu terpadu (total quality) pelanggan (customer) adalah penentu mutlak mutu. Sebagai ilustrasi misalnya, pelanggan menilai mutu sebuah restoran dari aspek pelayanan, penyajian makanan, suasana lingkungan, harga, menu pilihan, dan cepat dalam penyajian.

Meskipun tidak ada definisi mutu yang umum yang bisa diterima semua pihak, setidaknya di dalam mutu terdapat komponen umum yaitu: 1) terpenuhinya harapan pelanggan; 2) berfokus pada produk, layanan, orang, proses, dan lingkungan, dan 3) terjadinya perubahan keadaan (ever-changing state). Dari ketiga komponen ini Goetsch dan Davis mendefinisikan mutu sebagai suatu kondisi dinamis yang melibatkan produk, layanan, orang, proses, dan lingkungan dalam rangka pemenuhan harapan.

Secara absolut mutu dimaknai sebagai sesuatu yang tidak bisa lagi ditawar atau bersifat mutlak. Absolut dalam konteks mutu juga dapat dikatakan sebagai suatu kondisi yang ditentukan secara sepihak, yakni oleh produsen. Dalam pandangan absolut, mutu diartikan sebagai ukuran yang terbaik menurut pertimbangan produsen dalam memproduksi suatu barang maupun jasa. Mutu dapat juga digunakan sebagai suatu konsep yang relatif. Pengertian ini digunakan dalam TQM. Definisi relatif tersebut memandang mutu bukan sebagai suatu atribut produk atau layanan, tetapi sesuatu yang dianggap berasal dari produk atau layanan tersebut. Mutu dapat dikatakan ada apabila sebuah layanan memenuhi spesifikasi yang ada. Mutu merupakan sebuah cara yang menentukan apakah produk terakhir sesuai dengan standar atau belum.

Definisi relatif tentang mutu tersebut memiliki dua aspek. Pertama, adalah menyesuaikan diri dengan spesifikasi. Kedua, adalah memenuhi kebutuhan pelanggan. Cara pertama, penyesuaian diri terhadap spesifikasi, sering disimpulkan sebagai sesuai dengan tujuan dan manfaat. Kadangkala definisi ini sering disebut definisi produsen tentang mutu. Selama sebuah produk sesuai dengan spesifikasi dan standar pabriknya, maka produk tersebut adalah produk yang memiliki mutu. Pendapat tentang mutu yang sedemikian seringkali disebut dengan istilah mutu sesungguhnya (quality in fact). Mutu sesungguhnya merupakan dasar sistem jaminan mutu yang dianggap sesuai dengan British Standard Institution dalam standar BS 5750 atau standar internasional identik dengan ISO 9000.

Selanjutnya, konsep mutu yang relatif dimaknai sebagai mutu sesuai persepsi (quality in perception). Sesuatu disebut bermutu apabila memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Mutu ini bisa disebut sebagai mutu yang hanya ada di mata orang yang melihatnya. Ini merupakan definisi yang sangat penting. Sebab, ada satu resiko yang seringkali diabaikan dari definisi ini, yaitu kenyataan bahwa para pelanggan adalah pihak yang membuat keputusan terhadap mutu. Pelanggan melakukan penilaian tersebut dengan merujuk pada produk terbaik yang bisa bertahan dalam persaingan.

Mutu tidak bisa diimplementasikan dalam setiap proses kerja. Kerja dapat dibagi ke dalam empat kuadran: 1) harus dilakukan, 2) prioritas, 3) sebaiknya dan penting dilakukan, 4) sebaiknya dilakukan dan tidak penting. Sistem ini menempatkan kerja dalam empat kuadran dan menetapkan jumlah sumberdaya yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap tugas. Mutu hanya akan bekerja dalam kuadran prioritas. Mutu tidak dapat digunakan di kuadran yang lain. Setiap usaha untuk menempatkan prinsip-prinsip mutu ke dalam tugas dalam kuadran di luar kuadran prioritas akan gagal. Mutu tidak akan berjalan dalam kuadran harus dilakukan karena tidak tersedia waktu untuk perencanaan atau implementasi mutu. Dengan demikian mutu tidak dapat dihasilkan dari tindakan yang dilakukan secara sporadis.

Pemaknaan mutu dalam konteks pendidikan yang dimaknai sebagai suatu sistem (input, proses, dan output) ditampilkan korelasinya melalui tabel berikut.

NoKeadaan inputKeadaan prosesKeadaan output

1.Baik BaikPasti baik

2.BaikSedangMenurun menjadi agak baik

3.BaikJelekSedang

4.SedangBaikMeningkat

5.SedangSedangTetap

6.SedangJelekSemakin jelek

7.RendahBaikSedang

8.RendahSedangCenderung sedikit meningkat

9.RendahJelekPasti rendah

Tabel. 1

Korelasi antara input, proses, dan output dalam pendidikan

Selanjutnya, terkait dengan usaha memproses peserta didik menjadi lebih baik ditampilkan pada tabel di bawah ini.

NoKeadaan inputKeadaan prosesKeadaan output

1.BaikSangat baikUnggul/istimewa

2.SedangIstimewaBaik sekali

3.RendahSangat istimewaBaik

Tabel 2.

Usaha Memproses Peserta Didik Menjadi Lebih Baik

Dari tabel 2 dipahami bahwa bila input lembaga pendidikan keadaannya baik dan diproses dengan sangat baik, output yang dihasilkan memiliki kualitas unggul atau istimewa. Bila input pendidikan keadaannya sedang dan selanjutnya diproses secara istimewa akan menghasilkan output baik sekali. Selanjutnya, bila input yang diterima lembaga pendidikan kualitasnya rendah yang selanjutnya diproses secara sangat istimewa, output yang dihasilkan berkualitas baik.

b) Konsep Pelanggan

Secara alamiah proses hidup atau matinya suatu organisasi atau lembaga pendidikan selalu tergantung kepada kemampuan organisasi atau lembaga memenuhi harapan dan kebutuhan pelanggannya (stakeholder). Sebelum sekolah/madrasah mengidentifikasi harapan dan kebutuhan pelanggan, sekolah/madrasah harus mampu menentukan terlebih dahulu siapa-siapa yang menjadi stakeholder-nya. Bahkan lebih jauh dari itu, sekolah/madrasah harus mampu mengidentifikasi siapa yang menjadi stakeholder potensialnya. Kondisi ini diperlukan karena tidak setiap organisasi memiliki produk/layanan yang dapat atau cocok diperuntukkan bagi semua orang.

Stakeholder potensial dapat dilihat dari status ekonomi, kondisi demografi penduduk suatu wilayah, jenis aliran yang dianut oleh masyarakat Islam, dan lain-lain. Setelah ditemukan dan ditetapkannya stakeholder potensial oleh sekolah atau madrasah, langkah selanjutnya adalah menganalisis harapan dan kebutuhan stakeholder. Hasil analisis inilah yang kemudian dijadikan titik tolak dalam proses inventarisasi dan penataan harapan dan kebutuhan stakeholder. Masing-masing harapan dari kelompok stakeholder dimungkinkan memiliki perbedaan yang kontras antara satu kelompok stakeholder dengan kelompok stakeholder yang lain. Oleh karenanya tidak mungkin semua harapan dan kebutuhan kelompok stakeholder tersebut dipenuhi oleh lembaga pendidikan. Itulah sebabnya lembaga pendidikan harus memilih kelompok stakeholder yang akan dipenuhi harapan dan kebutuhannya.

Pelanggan pendidikan (stakeholder) antara lain meliputi pihak-pihak internal dan pihak-pihak eskternal. Pihak internal terdiri atas orangtua siswa, siswa, guru, pegawai sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah, kepala sekolah/madrasah, kepala desa/kelurahan, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan unsur masyarakat berdasarkan profesi. Pihak eksternal meliputi pemerintah, dunia usaha, dunia industri, standar akreditasi BAN S/M, standar kriteria sekolah/madrasah mandiri/standar internasional, standar kriteria sekolah/madrasah nasional, standar kriteria sekolah/madrasah dan perguruan tinggi pada tingkat lanjutannya.

Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang mungkin saja dapat beralih ke produk lain dengan mutu dan harga yang sama. Tetapi pelanggan yang loyal adalah pelanggan yang tetap memilih satu produk tertentu dan bahkan menganjurkan kawan-kawannya tetap memilih suatu produk tertentu untuk mempergunakan produk tersebut karena mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pelanggan. Dalam konteks pendidikan didapati juga para pemakai jasa pendidikan yang merasa puas dan ada juga yang loyal terhadap lembaga pendidikan tersebut. Kepuasan dan loyalitas ini tentu didasarkan atas mutu yang ditampilkan lembaga pendidikan.

c) Konsep Standar Mutu

Konsep mutu memerlukan standar sebagai ukuran pasti yang akan dicapai dalam proses kegiatan manajemen. Sebagian pendapat mengatakan bahwa standar mutu ditentukan oleh pihak eksternal. Pendapat lain mengatakan bahwa standar mutu ditentukan oleh pihak internal. Dari keragaman teori tersebut melahirkan banyak standar mutu yang ditawarkan, misalnya Total Quality Management (TQM), Balanced Scorecard, Malcolm Baldridge Award, ISO 9000 series dan sebagainya. Khusus di Indonesia, untuk satuan pendidikan tingkat dasar dan menengah menggunakan standar Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah. Untuk perguruan tinggi menggunakan standar BAN-PT selain standar internasional yang disebutkan tersebut.

Salah satu standar internasional mutu adalah sistem ISO yang dikembangkan pertama kali pada tahun 1987. Ada beberapa produk ISO yang dikeluarkan dan masing-masing memiliki spesifikasi terhadap mutu yang dinilai. Misalnya, sistem ISO 9001:2000 yang menitikberatkan pada proses manajemen, keterlibatan anggota organisasi, dan efektivitas perbaikan organisasi. Ada pula sistem ISO 9001:2008 yang merupakan pengembangan dari sistem ISO 9001:2000. Sistem ISO 9001:2008 lebih memfokuskan pada kualitas kebijakan yang terencana dari berbagai level manajemen, kualitas kebijakan yang dilaksanakan di setiap level manajemen, tujuan kerja personel yang dapat diukur, adanya sistem komunikasi yang dimiliki organisasi dengan pelanggan, dan kinerja organisasi yang secara teratur direview.

Konsep mutu dalam bidang pendidikan berbeda dengan industri. Perbedaannya terletak pada unsur manusiawi yang diproses sebagai hasil. Oleh karena itu, akhir penilaian mutu yaitu pada mutu lulusan. Mutu lulusan sangat beragam dan kompleks antara satu dengan lainnya dalam kelompok lulusan yang sama. Penilaian sederhana yaitu jika lulusan dapat diterima bekerja sesuai bidang keilmuannya dan/atau diterima di perguruan tinggi terkemuka bagi yang melanjutkan studi, maka lembaga pendidikan tersebut dinilai bermutu.

Pandangan mengenai mutu di atas mengimplikasikan bahwa barang atau jasa yang diproduksi harus selalu mengutamakan kesesuaian antara mutu dalam perspektif absolut dan relatif Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mutu sebagai suatu konsep memiliki kriteria, yaitu: 1) adanya kepuasan pelanggan, 2) adanya sistem, dan 3) adanya spesifikasi produk.2. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan

Manajemen mutu mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh pakar mutu. Para pakar yang berpengaruh terhadap perkembangan manajemen mutu adalah William Edwards Deming (14 Oktober 1900 20 Desember 1993), Joseph Moses Juran (24 Desember 1904 28 Februari 2008), Philip Bayard Corsby (18 Juni 1926 18 Agustus 2001), Armand Vallin Feighenbaum (lahir 6 April 1920), Kaoru Ishikawa (13 Juli 1915 16 April 1989), dan Genichi Taguchi (1 Januari 1924 2 Juni 2012).

Deming merupakan pakar kualitas yang mengajarkan kepada bangsa Jepang tentang konsep pengendalian kualitas. Di sisi lain, Juran merupakan seorang guru manajemen kualitas yang memperkenalkan konsep trilogi kualitas, yaitu: perencanaan kualitas, pengendalian kualitas, dan perbaikan atau peningkatan kualitas. Sementara itu, Crosby merupakan ahli manajemen kualitas yang memfokuskan kajiannya atas pengembangan budaya kualitas dengan bentuk pelibatan semua individu dalam melakukan proses di dalam organisasi.

Feigenbaum merupakan ahli manajemen kualitas yang memperkenalkan konsep total quality control. Sementara itu, Ishikawa merupakan ahli manajemen kualitas dari Jepang yang mengemukakan konsep tentang quality control circle, company wide quality control, dan Ishikawa cause-effect diagram. Adapun Taguchi merupakan ahli manajemen dari Jepang yang mengembangkan konsep efisiensi atau penurunan biaya produksi dengan cara meningkatkan kualitas.

Secara garis besar, perubahan pergerakan kualitas (quality movement) mengikuti empat pemahaman utama, yaitu: 1) inspection and quality control, 2) quality assurance, 3) total quality management, dan 4) global quality management. Total Quality Management (TQM) dibuat pertama sekali di Jepang yang terinspirasi oleh warga Amerika, Deming, Juran, dan Crosby. TQM dimulai dengan pendekatan statistik murni yang kemudian diperluas dan dikembangkan oleh ahli TQM dan pelaku industri di Jepang dan Amerika Serikat. Terdapat daftar terkenal berkenaan dengan langkah menuju mutu terpadu. Deming merumuskan sejumlah 14 poin, dan Juran merumuskan trilogi Juran.

Empat belas poin yang dirumuskan oleh Deming yaitu: 1) ciptakan usaha peningkatan produk dan jasa; 2) adopsi falsafah baru; 3) hindari ketergantungan pada inspeksi massa untuk mencapai mutu; 4) akhiri praktik menghargai bisnis dengan harga; 5) tingkatkan secara konstan sistem produksi dan jasa; 6) lembagakan pelatihan kerja; 7) lembagakan kepemimpinan; 8) hilangkan rasa takut; 9) uraikan kendala-kendala antar departemen; 10) hapuskan slogan, desakan, dan target, serta tingkatkan produktivitas; 11) hapuskan kuota kerja yang menggunakan kuota numerik; 12) hilangkan kendala-kendala yang merampas kebanggaan karyawan atas keahliannya, 13) lembagakan aneka program pendidikan yang meningkatkan semangat dan peningkatan kualitas kerja, dan 14) tempatkan setiap orang dalam tim kerja agar dapat melakukan transformasi.

Juran menyusun trilogi mutu yaitu: 1) perencanaan mutu (quality planning), 2) kendali mutu (quality control), dan 3) perbaikan mutu (quality improvement). Pertama, perencanaan mutu meliputi langkah-langkah yaitu: 1) menentukan siapa yang dimaksud dengan pelanggan, 2) mengidentifikasi kebutuhan pelanggan, 3) mengembangkan produk dengan tampilan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, 4) mengembangkan sistem dan proses yang memungkinkan organisasi menghasilkan tampilan-tampilan pada diktum ketiga, dan 5) menyusun rencana tingkat operasional.

Kedua, kendali mutu meliputi langkah-langkah yaitu: 1) menilai kualitas yang sesungguhnya dari produk, 2) membandingkan produk dengan tujuan, dan 3) melakukan diferensiasi antara produk dan tujuan. Ketiga, perbaikan mutu meliputi langkah-langkah, yaitu: 1) mengembangkan infrastruktur perbaikan mutu, 2) mengidentifikasi area tertentu yang membutuhkan perbaikan, 3) merancang kerja sama tim untuk perbaikan mutu, 4) memfasilitasi tim dalam perbaikan mutu.

Sejauh penelusuran penulis di beberapa sumber referensi dapat disimpulkan bahwa penggunaan nomenklatur pengendalian mutu (quality control) mulai mengemuka di Indonesia sejak awal tahun 1980. Nomenklatur tersebut masih digunakan hingga tahun 2001. Pada masa itu pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Departemen Agama mempublikasikan secara massal buku pedoman pengendalian mutu untuk dunia pendidikan; baik pengendalian mutu lembaga pendidikan maupun pengendalian mutu mata pelajaran. Selain itu, peran dan fungsi kepengawasan pendidikan semakin ditingkatkan terkait dengan penerapan kebijakan pengendalian mutu pendidikan. Lahmuddin Lubis menjelaskan bahwa secara filosofis, manajemen mutu memiliki makna filosofis sebagai berikut:

a) Setiap pekerjaan menghasilkan produk atau jasa;

b) Produk atau jasa tersebut diproduksi karena ada yang membutuhkan;

c) Orang-orang yang membutuhkan produk/jasa disebut pelanggan;

d) Produk/jasa tersebut merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh pelanggannya;

e) Produk/jasa tersebut dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan; dan

f) Produk/jasa tersebut bermutu bila dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggan.

Manajemen mutu terpadu merupakan sebuah konsep yang mengaplikasikan berbagai prinsip mutu untuk menjamin suatu produk barang/jasa memiliki spesifikasi mutu sebagaimana ditetapkan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pendekatan manajemen mutu dilakukan secara menyeluruh, yaitu mulai dari input, proses, output, dan outcome. Dilakukan secara berkelanjutan menunjukkan bahwa upaya mewujudkan mutut merupakan bagian kerja keseharian, bukan sesuatu yang bersifat temporal (sewaktu-waktu). Dalam konteks outcome dikenal dengan istilah layanan purna jual. Dalam dunia pendidikan, layanan purna jual ini terkait dengan keterlibatan alumni dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah. Semua komponen sistem organisasi diposisikan sebagai bagian untuk menjamin mutu dan disinergikan melalui kepemimpinan mutu.

Salusu mendefinisikan manajemen mutu terpadu sebagai manajemen yang menciptakan dan mengembangkan seperangkat nilai dan keyakinan yang akan membuat setiap orang mengetahui bahwa kualitas untuk konsumen adalah tuntutan yang paling utama. Kata kuncinya adalah layanan dan berorientasi mutu. Manajemen mutu terpadu bekerja berdasarkan data dan fakta. Oleh karena itu, manajemen mutu terpadu sering disebut juga manajemen berdasar fakta dan data. Manajemen mutu terpadu akan gagal apabila didasarkan pada fakta dan data yang salah. Konsep manajemen mutu terpadu semula digunakan di kalangan industry dan karena itu selalu berkaitan dengan produksi. Dalam lingkungan organisasi publik dan nonprofit, istilah produksi dapat disejajarkan dengan pelayanan (service).

Dalam konteks pendidikan, manajemen mutu terpadu memerlukan adaptasi dengan konteksnya. Hal ini berarti bahwa ada beberapa atribut dalam manajemen mutu terpadu yang harus disesuaikan dengan konteks pendidikan yang diintegrasikan masuk ke dalam tiga konsep, yaitu: 1) manajemen stratejik, 2) perencanaan stratejik, dan 3) keputusan stratejik. Dengan demikian untuk mengetahui suatu organisasi atau lembaga pendidikan yang menerapkan manajemen mutu terpadu secara efektif dapat diketahui dari tiga hal di atas.Menurut Syafaruddin, manajemen mutu terpadu memfokuskan proses atau sistem pencapaian tujuan organisasi. Dengan dimulai dari proses perbaikan mutu, manajemen mutu terpadu diharapkan dapat mengurangi peluang membuat kesalahan dalam menghasilkan produk, karena produk yang baik adalah harapan pelanggan. Jadi, rancangan produk diproses sesuai dengan prosedur dan teknik untuk mencapai harapan pelanggan. Penggunaan metode ilmiah dalam menganalisis data diperlukan sekali untuk menyelesaikan masalah dalam peningkatan mutu.

Selanjutnya, sebagai falsafah dan alat atau teknik bagi perbaikan mutu, esensi dari manajemen mutu terpadu adalah perubahan kultur. Manajemen mutu terpadu merupakan suatu teori ilmu manajemen yang mengarahkan pimpinan organisasi dan personelnya untuk melakukan program perbaikan mutu secara berkelanjutan yang terfokus pada pencapaian kepuasan para pelanggan.

Kepemimpinan merupakan kunci bagi penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan yang perlu dibangun dalam basis yang kuat. Dalam manajemen mutu terpadu, semua manajer organisasi harus menjadi pemimpin dan teladan dalam proses mutu. Mereka perlu mengkomunikasikan misi dan sumbernya kepada seluruh unsur SDM dalam organisasi. Untuk mewujudkan perbaikan mutu berkelanjutan, maka yang diperlukan adalah pimpinan yang tidak hanya berhasil (success) tetapi juga efektif (effective). Pimpinan yang efektif dalam organisasi pendidikan adalah mereka yang memberikan pengaruhnya dan orang lain bergerak ke arah tujuan secara sukarela dan senang tanpa merasa terpaksa. Pengaruh ini berkelanjutan untuk mewujudkan mutu pendidikan sehingga kinerja sekolah dapat dirasakan para pelanggan pendidikan dari lulusan yang bermutu. Kepemimpinan mutu merupakan kepemimpinan efektif yang berimplikasi terhadap produktivitas sekolah. Kinerja guru dan pegawai menjadi indikator dari kepemimpinan efektif tersebut.

Muhaimin memberikan tiga syarat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pendidikan. Pertama, memiliki kompetensi, sebab tanpa kompetensi tidak mungkin seorang pemimpin dapat membuat prestasi-prestasi dalam mengemban tugas yang dibebankan kepadanya. Kedua, memiliki integritas dan ketiga memiliki visi. Tanpa integritas dan visi ke depan, pemimpin akan jatuh pada pragmatisme sesaat dan menjadikan organisasi termarginalisasikan dalam persaingan.

Pemimpin pendidikan harus mampu membuat keputusan yang bermutu. Keputusan yang bermutu diraih dari keterlibatan semua pihak (keputusan partisipatori). Hal ini dikarenakan adanya sejumlah pemikiran orang yang dibawa dalam menyelesaikan masalah. Bagaimanapun, bila orang dilibatkan dalam membuat keputusan, mereka lebih suka untuk melaksanakan keputusan itu secara efektif.

Lebih lanjut Syafaruddin menegaskan bahwa manajemen mutu pendidikan merupakan aplikasi konsep manajemen mutu pendidikan dengan sifat dasar sekolah sebagai organisasi jasa kemanusiaan (pembinaan potensi pelajar) melalui pengembangan pembelajaran berkualitas, agar melahirkan lulusan yang sesuai dengan harapan orangtua, masyarakat, dan pelanggan pendidikan lainnya.

Mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Merupakan sesuatu yang mustahil, pendidikan atau sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu jika tidak melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Merupakan sesuatu yang mustahil pula, terjadi proses pendidikan yang bermutu jika tidak didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula. Proses pendidikan yang bermutu harus didukung oleh personalia, seperti administrator, guru, konselor, dan tata usaha yang bermutu dan profesional. Hal tersebut didukung pula oleh sarana prasarana pendidikan, fasilitas, media, serta sumber belajar yang memadai.

Mutu pendidikan bersifat menyeluruh, menyangkut semua komponen, pelaksana, dan kegiatan pendidikan atau disebut mutu total atau total quality. Adalah suatu hal yang tidak mungkin, hasil pendidikan yang bermutu dapat dicapai hanya dengan satu komponen atau kegiatan yang bermutu. Kegiatan pendidikan cukup kompleks, satu kegiatan, komponen, pelaku, serta waktu lainnya. Faktor-faktor yang terlibat dalam pengembangan mutu pendidikan secara sistemik dapat dilihat pada gambar berikut.

Skema 1. Peta Komponen Pendidikan Sebagai SistemDari gambar di atas diperoleh pemahaman bahwa pendidikan bermutu dapat dicapai dengan pendekatan sistem baik dalam pendidikan maupun mutu itu sendiri.

Menurut Field sebagaimana dikutip oleh Syafaruddin, ada delapan keuntungan yang dicapai dengan penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan, yaitu:

a) Memperkuat organisasi pendidikan dan memberikan peta jalan atau arah bagi perubahan;

b) Menolong pengelola untuk bekerja sebagai teman dalam kelompok kerja;

c) Penanganan program pendidikan dengan pendekatan holitstik sehingga segala unsur pendidikan mengalami perubahan cara pengaturan;

d) Meningkatkan partisipasi setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan (pelajar, fakultas, staf, alumni) dan usaha-usaha masyarakat perguruan;

e) Mengarahkan para orangtua dan pelajar untuk membuat saran-saran untuk memajukan pendidikan;

f) Mengarahkan pembuatan standar mutu pendidikan;

g) Mengembangkan sikap proaktif terhadap sesuatu yang mempengaruhi pendidikan; dan

h) Mengendalikan pengaruh segala sesuatu yang dilaksanakan dan cara mengendalikannya.

3. Prinsip dan Komponen Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan

Lahmuddin Lubis menguraikan prinsip-prinsip total quality management (TQM) sebagai berikut:

a) Mengubah pola pikir dari lembaga pendidikan sebagai industri manufaktur menjadi industri layanan (jasa) dan fokus perhatian pada pelanggan;

b) Perbaikan pada proses secara sistematik;

c) Pemikiran jangka panjang (strategic planning);

d) Mementingkan pengembangan sumber daya manusia; dan

e) Komitmen pada mutu (peningkatan mutu berkelanjutan).

Terkait dengan kendali mutu (quality control), pendidikan Agama Islam dalam suatu lembaga pendidikan diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip Total Quality Management. Secara umum, prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.

a) Fokus Kepada Peserta Didik

Dalam konteks pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan berarti bahwa kendali mutu diarahkan pada usaha perbaikan terhadap kebutuhan belajar peserta didik. Dengan kata lain fokus pada peserta didik ini penting dalam rangka memberikan pelayanan terhadap peserta didik agar mereka dapat mengikuti proses pendidikan di lembaga pendidikan dengan sebaik-baiknya.

b) Obsesi Terhadap Kualitas

Penentu akhir kualitas dari hasil pembelajaran adalah peserta didik. Dengan kualitas yang ditetapkan, proses pembelajaran harus terobsesi untuk memenuhi atau melampaui standar mutu atau kualitas yang diharapkan. Dengan demikian semua lembaga pendidikan berkompetisi untuk mencapai standar mutu yang ditetapkan tersebut.

c) Pendekatan Ilmiah

Pendekatan ilmiah diperlukan dalam penerapan kendali mutu pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan. Usaha-usaha yang harus dilakukan terutama dalam mendesain proses pembelajaran antara lain meliputi: menyusun benchmark, memantau prestasi dan melaksanakan perbaikan-perbaikan.d) Komitmen Jangka Panjang

Kendali mutu merupakan paradigma baru dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan. Oleh sebab itu dibutuhkan kultur lembaga pendidikan yang kondusif untuk merealisasikannya. Dengan demikian komitmen jangka panjang penting guna mengadakan perubahan kultur agar implementasi kendali mutu dapat berjalan dengan baik.

e) Team WorkDalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan harus didukung oleh tim yang dapat bekerjasama agar tujuan pembelajaran pendidikan agama dapat berhasil. Elemen-elemen almamater yang meliputi: kepala madrasah/sekolah, dewan guru, para peserta didik, satpam, staf administrasi (TU), dan lain-lain harus terlibat secara aktif dalam mensukseskan pembinaan pendidikan agama Islam ini. Sebab dalam tataran implementasi dan ekspresi keagamaan dibutuhkan dukungan semua pihak.

Sagala menjelaskan bahwa bekerja secara tim adalah bagian dari perubahan kultural dalam transformasi menuju kualitas total. Dengan perubahan kultural itu, manajemen mutu terpadu akan merubah fokus yang berpusat pada pemecahan persoalan menjadi fokus manajemen yang berpusat pada perbaikan proses.

f) Perbaikan Sistem Secara Berkesinambungan

Upaya untuk melakukan perbaikan harus dilakukan secara terus menerus. Dengan cara seperti ini akan diperoleh hasil yang secara bertahap akan mengalami peningkatan kualitas dan selanjutnya dievaluasi sehingga menimbulkan kualitas-kualitas baru yang lebih baik.

g) Pendidikan dan Pelatihan

Guru agama Islam sebagai aktor penting dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam harus memenuhi standar mutu sebagai guru agama Islam yang profesional. Guru agama Islam yang masih di bawah standar mutu yang sudah ditetapkan harus diberikan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) secara khusus sehingga mencapai kompetensi yang harus dimiliki.

h) Kebebasan yang Terkendali

Dalam standar mutu, peserta didik sebagai subjek pendidikan harus dilibatkan secara aktif dan diikutsertakan dalam menentukan arah pembelajaran. Dengan cara seperti ini maka peserta didik akan mempunyai rasa memiliki dan tanggung jawab yang sama untuk mencapai tujuan yang diingiinkan. Hanya saja keran kebebasan yang dibuka masih dalam bingkai kendali tenaga pendidik.

i) Kesatuan Tujuan

Agar kendali mutu dapat diterapkan dengan baik, lembaga pendidikan harus mempunyai kesatuan tujuan. Dengan demikian setiap usaha dapat diarahkan untuk mencapai tujuan yang sama. Komponen-komponen utama pendekatan untuk menerapkan mutu adalah mengembangkan sistem penilaian yang memungkinkan setiap profesional pendidikan untuk mendokumentasikan dan mengukur nilai tambah dari prakarsa mutunya. Selain itu, hal yang didasari dari mutu terpadu adalah adanya kenyataan bahwa setiap orang yang terlibat dalam proses pendidikan memiliki kemiripan keyakinan dan nilai-nilai.

Selanjutnya, Arcaro menyatakan bahwa sekolah bermutu didasari atas keyakinan dan nilai-nilai. Arcaro menggambarkan sekolah bermutu sebagai sebuah rumah yang memiliki beberapa pilar, sebagaimana pada gambar di bawah ini.

Skema 2.

Model Sekolah Bermutu Terpadu

4. Langkah-langkah Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan

Lahmuddin Lubis menjelaskan bahwa terkait dengan usaha pembangunan dan peningkatan mutu pendidikan, terdapat empat perspektif dalam pembangunan sektor pendidikan. Pertama, perspektif pemerataan pendidikan (equality of educational opportunity). Perspektif ini muncul pada awal tahun 1960-an dengan memandang pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat; dengan catatan bahwa kesempatan pendidikan yang semakin merata merupakan faktor yang dapat mewujudkan kesejahteraan yang semakin merata pula. Kedua, perspektif pendidikan dan pencapaian kedudukan seseorang (education and status attainment). Perspektif ini mulai muncul pada akhir tahun 1960-an dan telah melakukan kajian pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan status dan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam perspektif ini adalah pendidikan dan ketenagakerjaan (manpower requirement approach) yang mengarahkan analisisnya pada keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan tenaga kerja terdidik dalam berbagai sektor ekonomi.

Ketiga, perspektif human capital. Perspektif ini lebih menekankan pada fungsi pendidikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan penguasaan keterampilan, keahlian, profesi, dan penguasaan keilmuan yang dapat menjadikan para pekerja menjadi lebih produktif. Salah satu model kajian dalam perspektif ini di antaranya adalah analisis tingkat balikan terhadap pendidikan (rate of return to education) yang mengarahkan perhatian pada produktivitas tenaga kerja serta pertumbuhan ekonomi.

Keempat, perspektif pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia (education and human resources development). Perspektif ini muncul sejak mencuatnya isu pertumbuhan ekonomi yang cepat (economic miracle) di sejumlah negara wilayah Asia Timur sebagai akibat dari tumbuhnya ekonomi industri dan profesionalisasi. Dalam kaitan ini, pemikiran mengenai kualitas sumberdaya manusia dalam kaitannya dengan produktivitas industri dalam konteks persaingan dunia telah berkembang sejak disepakatinya WTO (world trade organization) dan mencuatnya isu persaingan global dan pasar bebas baik dalam lingkup regional maupun internasional.

Perspektif ini tidak hanya memandang pendidikan berpengaruh terhadap pemerataan kesempatan belajar, status pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi, melainkan juga telah mencoba membalikkan logika. Menurut perspektif ini pendidikan berperan dalam menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang kreatif, mandiri, mampu belajar terus menerus, serta inovatif, sehingga dapat menjadi pelaku utama pembangunan serta dapat menciptakan kesempatan kerja di berbagai sektor pembangunan, dalam rangka memacu pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth).

Usaha untuk mengoptimalkan peran lembaga pendidikan dilakukan dengan reorientasi penyelenggaraan pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah/madrasah (MBS/MBM). Manajemen ini merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya sekolah/madrasah secara serasi, mandiri, dan melibatkan stakeholder yang terkait dengan sekolah/madrasah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah/madrasah atau mencapai tujuan mutu sekolah/madrasah dalam pendidikan nasional.

Dari empat perspektif di atas, pemakalah menyimpulkan bahwa filosofis dan konsep manajemen mutu terpadu (total quality management) merupakan implikasi dari perspektif pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia. Oleh karena itu, relasi mutu, pendidikan, dan pengembangan sumberdaya manusia di era saat ini menjadi suatu keniscayaan. Lebih lanjut, manajemen mutu penyelenggaraan pendidikan di sekolah menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 51 ayat (1) menyatakan pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal dengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah. Penegasan UUSPN ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 49 ayat (1) menyatakan pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.

Wujud dari amanat undang-undang dan peraturan pemerintah di atas adalah dengan ditetapkannya rencana strategis pendidikan Indonesia dengan mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN [2010-2014])) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN [2005-2025]). Dalam rentang tahun 2005-2009 dikenal nomenklatur tiga pilar pendidikan, yaitu: 1) pemertaan dan perluasan akses pendidikan, 2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan, dan 3) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan. Selanjutnya, dalam tahun 2010-2014 dikenal nomenklatur empat pilar pendidikan, yaitu: 1) ketersediaan (availability), 2) keterjangkauan (affordability), 3) kualitas pendidikan (quality), dan 4) penjaminan mutu pendidikan (assurance).

Rencana strategis Kementerian Pendidikan Nasional diatur dalam Permendiknas Nomor 2 Tahun 2010. Mengacu kapada Rencana Pembangunan Pendidikan Jangka Panjang 2005-2025, Kementerian Pendidikan Nasional membagi ke dalam empat periode Rencana Pembangunan Pendidikan Jangka Menengah. Pada tahun 2005-2009 fokus utamanya adalah peningkatan kapasitas dan modernisasi. Selanjutnya pada tahun 2010-2015 fokus utamanya adalah penguatan pelayanan. Kemudian pada tahun 2015-2020 fokus utamanya adalah penguatan daya saing regional. Pada tahun 2020-2025 fokus utamanya adalah penguatan daya saing internasional.

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) merupakan model desentralisasi dalam bidang pendidikan, khususnya untuk pendidikan dasar dan menengah yang diyakini sebagai model yang akan mempermudah pencapaian tujuan pendidikan. Dalam konteks penyelenggaraan persekolahan saat ini, konsep MPMBS dijadikan sebagai suatu kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Secara skematis MPMBS dapat digambarkan sebagai berikut.

Jika MPMBS

berhasil

Skema 3.

Skema Berpikir Kebijakan MPMBS di Indonesia

Apabila ditelusuri secara historis, MPMBS ini berasal dari pengembangan konsep sekolah efektif (effective school) yang intinya adalah melakukan perbaikan proses pendidikan. Orientasi manajemen dalam MPMBS dapat ditelusuri dari indikator: 1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, 2) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, 3) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, 4) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah untuk berprestasi, 5) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, 6) adanya pelaksanaan administrasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk perbaikan mutu, dan 7) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orangtua peserta didik/masyarakat.

Sekolah dapat menjadi efektif dan sekaligus menjadi efisien. Sekolah efektif karena pencapaian hasil yang baik, sedangkan sekolah yang efisien adalah karena penggunaan sumberdaya yang hemat. Sekolah yang unggul adalah sekolah yang efektif dan efisien dengan menjanjikan lulusan yang terbaik, keunggulannya secara kompetitif dan komparatif. Keunggulan kompetitif dimiliki oleh lulusan sejenis dalam jurusan yang sama. Sedangkan keunggulan komparatif merupakan keunggulan lulusan berbeda dari satu sekolah dengan sekolah lain.

Kerangka kerja MPMBS meliputi: 1) sumber daya, 2) pertanggungjawaban, 3) kurikulum, dan 4) personel sekolah. Pertama, terkait dengan sumber daya, sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Kedua, sekolah dituntut memiliki akuntabilitas yang baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitmen terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orangtua/masyarakat.

Selanjutnya ketiga, berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi dan proses penyampaiannya. Keempat, sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen dan pembinaan struktural staf sekolah. Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah.

Dalam konteks aplikasi manajemen peningkatan mutu pada lembaga pendidikan, ada beberapa langkah sebagai berikut. Pertama, membentuk tim pengembang institusi. Kedua, menyiapkan rencana strategis atau rencana pengembangan peningkatan mutu jangka panjang. Ketiga, melaksanakan manajemen pelatihan peningkatan mutu untuk mengubah cara pandang dan budaya mutu. Keempat, menyiapkan instrument/perangkat/teknik pencapaian mutu.

Paling tidak ada dua pendekatan tradisional terhadap jaminan mutu lembaga pendidikan, yaitu: akreditasi, dan jaminan kualitas keluaran. Akreditasi fokus terhadap input lembaga seperti prestasi peserta didik, fasilitas, dan sumberdaya fisik (seperti perpustakaan). Asumsi dasar pendekatan ini adalah jika kualitas masukan tinggi, hasil kualitas keluaran juga akan tinggi. Pendekatan ini menuntu penyediaan data terhadap sistem kelembagaan, jika sedikit maka sukar meramalkan apa yang terjadi. Ketidakpuasan atas fokus masukan mengarah kepada munculnya gerakan penilaian hasil yang menekankan pentingnya evaluasi, hasil pendidikan, seperti prestasi peserta didik, pendidikan lanjutan, dan peluang pekerjaan. Hal tersebut digambarkan dalam skema di bawah ini.

Skema 4.Peningkatan Mutu Berkelanjutan

Dalam operasionalnya, manajemen mutu terpadu melaksanakan langkah-langkah berikut.

a) Improvisasi Berkelanjutan (continuous improvement)

Improvisasi berkelanjutan mengandung arti bahwa pihak manajemen senantiasa melakukan berbagai improvisasi perbaikan dan peningkatan secara terus menerus untuk menjamin semua komponen produksi atau komponen penyelenggaraan pendidikan telah mendukung standar kualitas yang ditetapkan. Improvisasi ini juga berarti bahwa sekolah/madrasah senantiasa memperbarui proses berdasarkan perubahan kebutuhan dan tuntutan dari pelanggan atau dalam hal ini adalah pengguna lulusan sekolah/madrasah.

Jika tuntutan dan kebutuhan pelangga berubah, pihak manajemen madrasah akan dengan sendirinya merubah tujuan atau standar kualitas lulusan, termasuk juga memperbarui seluruh komponen produksi atau komponen transformasi pendidikan madrasah. Di sini pihak manajemen menetapkan strategi umum dan fundamental, sementara staf dan guru diberi keleluasaan untuk merancang cara-cara mencapai standar kualitas yang telah digariskan. Pendelegasian tugas, tanggung jawab, dan wewenang oleh pimpinan puncak sangat diperlukan; demikian pula unsur trust dari pimpinan kepada bawahan akan sangat membantu.

Para manajer yang berhasil membawa organisasinya mencapai efektivitas kebanyakan telah menerapkan konsep perbaikan mutu ke dalam konsep produk dan kepuasan pelanggan, serta lebih melibatkan semua kekuatan kerja, rancangan produk terbaik, pendekatan lebih kreatif dalam memecahkan masalah organisasi. Pada banyak organisasi atau lembaga pendidikan saat ini, masalah mutu adalah puncak dari segalanya dalam pencapaian kinerja jangka pendek, menengah, dan jangka panjang karena berkenaan dengan kelangsungan hidup dan keunggulan organisasi atau lembaga pendidikan.

b) Menentukan Standar-standar Kualitas

Pihak manajemen madrasah yang menerapkan strategi pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah dan mengembangkan manajemen mutu terpadu haruslah dapat menetapkan standar-standar kualitas dari semua komponen yang bekerja dalam proses produksi atau transformasi lulusan madrasah. Standar kualitas pendidikan atau pembelajaran madrasah misalnya berupa pemilikan atau akuisisi kemampuan dasar (basic competencies) pada masing-masing bidang pembelajaran, dan sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Selain itu pihak manajemen juga harus menentukan standar kualitas materi kurikulum yang akan dijadikan sebagai alat untuk mencapai standar kemampuan dasar. Dalam konteks sekolah/madrasah, materi esensial haruslah mengandung sekurang-kurangnya tiga prinsip utama, yaitu: 1) berintikan sistem nilai Islam, 2) berbasis luas, dan 3) berbasis kompetensi dasar.

c) Perubahan Kultur

Manajemen mutu terpadu bertujuan pula membentuk kultur organisasi yang menghargai kualitas dan menjadikan kualitas sebagai orientasi semua komponen organisasional. Jika manajemen ini diterapkan di sekolah/madrasah, pihak pimpinan harus berusaha membangun kesadaran para anggota sekolah/madrasah mulai dari pimpinan sendiri, staf, guru, peserta didik, dan berbagai unsur terkait, seperti yayasan, orangtua, dan para pengguna lulusan sekolah/madrasah akan pentingnya mempertahankan dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Perubahan kultur ke arah kultur kualitas dilakukan dengan menempuh cara-cara: perumusan keyakinan bersama, intervensi nilai-nilai keagamaan, yang dilanjutkan dengan perumusan visi dan misi organisasi sekolah/madrasah.

Sebagian kepala sekolah/madrasah secara aktif menangani perubahan, sebagai inisiator dan fasilitator peningkatan mutu berkelanjutan di sekolah/madrasah mereka. Kepala sekolah/madrasah berada dalam posisi tengah antara guru dan gagasan orang-orang dari luar. Dengan demikian, peran kepala sekolah/madrasah sebagai penentu arah, agen perubahan, dan pelatih sumberdaya guru dan pegawai perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Budaya sekolah harus diubah oleh kepala sekolah/madrasah bersama dengan guru, orangtua, dan dewan sekolah. Perubahan adalah aksioma dalam kehidupan suatu organisasi. Suatu organisasi dituntut untuk mampu merespon perubahan secara kreatif dan proaktif. Dengan begitu, organisasi tersebut akan memiliki keseimbangan secara baik antara kemungkinan stabilitas dan stagnansi atau kemajuan (progress). Sikap antisipatif, kreatif, inovatif, dan proaktif perlu dimiliki oleh manajer dan personel organisasi pendidikan. Sikap itu pada hakikatnya merupakan tindakan merencanakan dan mengarahkan perubahan sesuai visi untuk masa depan yang lebih baik. d) Perubahan Organisasi

Jika visi dan misi serta tujuan organisasi sudah berubah atau mengalami perkembangan, maka sangat dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi. Perubahan organisasi ini bukan berarti perubahan wadah organisasi, melainkan sistem atau struktur organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan kerja dan kepengawasan dalam organisasi. Perubahan itu menyangkut perubahan kewenangan, tugas-tugas dan tanggung jawab.

e) Mempertahankan Hubungan dengan Pelanggan

Karena organisasi madrasah menghendaki kepuasan pelanggan, maka perlunya mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan menjadi sangat penting. Dan inilah yang dikembangkan dalam unit public relation. Berbagai informasi antara organisasi madrasah dan pelanggan harus terus menerus dipertukarkan, agar sekolah/madrasah senantiasa dapat melakukan perubahan atau improvisasi yang diperlukan, terutama berdasarkan perubahan sifat dan pola tuntutan serta kebutuhan pelanggan. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam manajemen berbasis sekolah/madrasah, guru dan staf justru dipandang sebagai pelanggan dalam (internal costumers), sedangkan peserta didik termasuk orangtua peserta didik dan masyarakat umum termasuk pelanggan eksternal. Maka, baik pelanggan internal dan pelanggan eksternal harus dapat terpuaskan melalui intervensi kreatif pimpinan sekolah/madrasah. Sedangkan kepuasan mengindikasikan dukungan, keterlibatan, partisipasi, respons, dan pelaksanaan pokok-pokok dan fungsi secara formal dan maksimal.

Karakteristik lembaga pendidikan yang memiliki kesungguhan dalam komitmen mutu dicirikan sebagai berikut. Pertama, adanya komitmen kepada kebutuhan peningkatan mutu berkelanjutan. Kedua, mengidentifikasi siapa saja yang mereka layani dan apakah potensi serta kebutuhan yang dilayani terhadap peserta didik. Ketiga, memasukkan kebutuhan pelanggan terhadap pernyataan misi universitas. Keempat, mengidentifikasi nilai fundamental yang akan mengarahkan tindakan. Kelima, mengembangkan visi berkaitan apa yang diinginkan lembaga pendidikan pada masa depan. Keenam, memiliki kepemimpinan yang kuat yang mengkomunikasikan visi, tujuan, nilai, dan misi lembaga berkelanjutan kepada manajemen lembaga pendidikan dan stakeholder.

Ketujuh, mengidentifikasi proses penting dalam bidang pengajaran, penelitian, dan pelayanan. Kedelapan, mengutamakan pelaksanaan aktivitas dengan misi dan nilai. Kesembilan, memberikan peluang pendidikan lanjutan bagi semua pegawai, baik kelompok yang mengerjakan proses harian maupun dalam pekerjaan yang berkaitan dengan keterampilan. Kesepuluh, menggunakan tim fungsional untuk meningkatkan proses dan ketergantungan atas pemeriksaan pencapaian kualitas. Kesebelas, mendorong pembuatan keputusan pada level rendah yang sesuai, menciptakan suatu sikap saling ketergantungan dan kerpercayaan keseluruhan institusi. Kedua belas, membuat keputusan atas dasar alokasi sumberdaya sesuai data. Ketiga belas, memandang masalah sebagai pembelajaran organisasi. Dan keempat belas, mengakui dan menghargai semua orang yang menekuni dan merasakan bekerja untuk meningkatkan kualitas. Keempat belas proses tersebut merupakan langkah, proses, pemikiran, dan cara menyikapi pentingnya komitmen kualitas pada setiap lembaga pendidikan.

5. Hambatan Penerapan Manajemen Mutu Terpadu PendidikanSaleh mengidentifikasi tiga faktor penyebab mutu pendidikan Indonesia tidak mengalami peningkatan mutu secara merata. Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan tidak menggunakan pendekatan education production function atau analisis input-output tidak dilaksanakan secara konsekuen. Kedua, penyelenggaran pendidikan dilaksanakan secara birokratis-sentralistik. Ketiga, peran serta masyarakat khususnya orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan lebih bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitasnya).

Tjiptono dan Diana sebagaimana dikutip oleh Usman menguraikan masalah-masalah yang menjadi hambatan penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan. Masalah-masalah tersebut yaitu: 1) usaha yang dilakukan setengah hati, 2) delegasi dan kepemimpinan yang tidak baik dari manajemen senior, 3) tim mania, 4) pendekatan yang terbatas (sempit) dan dogmatis, 5) harapan yang terlalu berlebihan (tidak realistis), dan 6) pemberdayaan karyawan yang bersifat prematur. Masalah lain yang dikemukakan adalah pihak manajemen ingin seketika sukses dengan manajemen mutu terpadu pendidikan; dan hanya dengan belajar dan berlatih singkat dianggap pasti akan berhasil menerapkan manajemen mutu terpadu pendidikan. Selain itu, adanya rasa cemas dengan ketidakpastian menerapkan sesuatu yang baru merupakan hambatan lain penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan.

Hambatan lain yang dihadapi oleh organisasi atau lembaga pendidikan dalam penerapan manajemen mutu terpadu antara lain adalah penciptaan lingkungan yang mendukung usaha perbaikan dan berorientasi pada mutu masih kurang, pemahaman terhadap rencana strategis dan dialogis masih kurang, pemberdayaan sumberdaya manusia masih kurang, komitmen dan partisipasi karyawan program pebaikan mutu masih kurang, dan sistem informasi manajemen pendukung pelaksanaan program peningkatan mutu kurang mendapat perhatian.

Makbuloh mengidentifikasi beberapa hambatan penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan. Menurut Makbuloh hambatan-hambatan yang dimaksud adalah pertama, tujuan pendidikan termasuk sesuatu yang sukar diukur tingkat ketercapaiannya pada saat siswa selesai proses belajar mengajarnya di sekolah/madrasah. Tujuan pendidikan bersifat jangka panjang yaitu menyiapkan manusia yang baik. Manusia yang baik kadangkala tidak langsung dirasakan sebagai bukti tercapainya tujuan pendidikan tersebut, melainkan setalah mengalami proses panjang dalam rentang kehidupan manusia tersebut.

Kedua, kepala sekolah/madrasah dan guru memiliki profesi yang sama yaitu latar belakang guru. Sistem koordinasi antara kepala sekolah dan guru. Sistem koordinasi antara kepala sekolah dan guru terkadang menjadi saling bergesekan tidak sebagai atasan dan bawahan sebagaimana dalam perusahaan. Ketiga, manajemen sekolah/madrasah menghadapi masalah fragmentatif, sehingga pengambilan keputusan sekolah/madrasah banyak dipengaruhi oleh faktor tuntutan dari pihak luar, seperti wali siswa, pemerintah, dan lapangan kerja. Unsur-unsur tersebut berada di luar dan sangat beragam kepentingan, tidak dalam jajaran manajemen sekolah/madrasah, sehingga tarik menarik kepentingan sukar dihindarkan.

Keempat, kepala sekolah/madrasah memiliki tugas mengajar yang sering menjadi sibuk, sehingga kurang memiliki waktu untuk melaksanakan manajemen mutu sekolah. Tugas rangkap sering kali menyebabkan tidak optimalnya tugas tersebut, karena tugas satu dengan yang lainnya tidak dapat dibatasi secara jelas. Menjadi guru harus profesional, demikian juga menjadi kepada sekolah/madrasah harus profesional. Profesional dalam dua bidang secara bersamaan sering kali menjadi kendala. Kelima, peserta didik di satu pihak sebagai pelanggan yang harus diberikan pelayanan pendidikan dan pembelajaran yang terbaik, namun di sisi lainnya sebagai manusia dapat menentukan sendiri pilihan terbaiknya. Pembentukan manusia tidak sama dengan pembentukan barang yang mudah direkayasa menjadi bentuk-bentuk baru.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam bidang pendidikan di atas menjadi fenomena yang melekat dengan lembaga pendidikan. Kesulitan mewujudkan manajemen mutu dalam lembaga pendidikan yaitu pelanggan pendidikan ikut memerankan peran penting dalam mutu belajarnya. Pelanggan pendidikan memiliki fungsi yang unik dalam menentukan mutu dari apa yang mereka terima dari dunia pendidikan.

Diperlukan strategi untuk mengatasi hambatan-hambatan penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan. Strategi-strategi yang dimaksud meliputi pendidikan dan komunikasi, partisipasi, fasilitas dan dukungan, negosiasi, manipulasi dan kooptasi, dan pemaksaan. Pelibatan anggota merupakan strategi yang selalu digunakan untuk mengatasi hambatan dalam kegiatan penjaminan mutu. Untuk mewujudkan perubahan organisasi dalam manajemen mutu terpadu pendidikan sangat tergantung pada efektivitas kepemimpinan yang berorientasi pada pencapaian mutu lulusan dan pelayanan pelanggan yang baik. Karakter kepemimpinan untuk mewujudkan mutu tersebut disebut dengan kepemimpinan efektif-partisipatif.

C. SimpulanTotal Quality Management atau Manajemen mutu terpadu merupakan sebuah model yang pragmatis yang berfokus pada layanan pelanggan. Manajemen mutu terpadu dalam pendidikan dikembangkan guna mencapai keluaran (output) bahkan outcome yang memuaskan pelanggan pendidikan. Prinsip-prinsip kunci dalam manajemen mutu terpadu pendidikan adalah kepemimpinan, metode dan perangkat ilmiah, pemecahan masalah melalui kerjasama tim, iklim organisasi, dan pendidikan serta latihan.

Pendekatan yang digunakan dalam mutu terpadu pendidikan adalah pendekatan sistem. Hal ini bermakna bahwa pada input, proses, output hingga outcome pendidikan di dalamnya terdapat sistem mutu terpadu. Secara filosofis hal ini tertuang dalam triologi Juran tentang mutu.

Sebagai sebuah model yang diadaptasi dari sistem industri, penerapan manajemen mutu terpadu memerlukan penyesuaian dengan konteks pendidikan. Penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan diwujudkan dalam manajemen strategis, perencanaan strategis, dan pengambilan keputusan strategis di suatu lembaga pendidikan.

DAFTAR BACAANArcaro, Jerome S. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Terj. Yosal Iriantara. Cet. II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Assauri, Sofjan. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi. IV. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1993Arifin, Zainal. Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam. Yogyakarta: Diva Press, 2012.Bafadhal, Ibrahim. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar: Dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.Bush, Tony dan Coleman, Marine. Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan: Panduan Lengkap Kurikulum Dunia Pendidikan Modern. terj.Fahrurrozi. Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.

Fachruddin. Manajemen Pemberdayaan Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Islam di Indonesia, dalam Mardianto (ed.), Administrasi Pendidikan: Menata Pendidikan Untuk Kependidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.

Goetsch, David L. dan Davis, Stanley B. Quality Management: Introduction to Total Quality Management for Production, Processing, and Services. New Jersey: Prentice-Hall, 2000.

Goetsch, David L. dan Davis, Stanley B. Quality Management for Organizational Excellence: Introduction to Total Quality. New Jersey: Pearson, 2013.

Hadijaya, Yusuf. Menyusun Strategi Berbuah Kinerja Pendidik Efektif. Medan: Perdana Publishing, 2013.Hady, Samsul. Manajemen Madrasah. Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2001.

Hasibuan, Malayu SP. Manajemen Sumber Daya Manusia. Cet. 7. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.Hesselbein, Frances, Goldsmith, Marshall, dan Beckhard, Richard (eds.) The Organization of The Future. terj. Achmad Kemal. Cet. 2. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2001.

Ibrahim, Sulaiman. Menata Pendidikan Islam di Indonesia: Sebuah Upaya Menuju Pendidikan yang Memberdayakan, dalam Studia Islamica, vol. VIII, 2011.Idrus, Ali. Manajemen Pendidikan Global: Visi, Aksi, dan Adaptasi. Jakarta: Gaung Persada, 2009.Ilyasin, Mukhammad dan Nurhayati, Nanik. Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012.Isjoni. Menuju Masyarakat Belajar: Pendidikan dalam Arus Perubahan. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2009.Koswara, Deni dan Cepi Triatna, Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan, dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2008.

Makbuloh, Deden. Manajemen Mutu Pendidikan Islam: Model Pengembangan Teori dan Aplikasi Sistem Penjaminan Mutu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Moh. Yamin. Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan: Panduan Lengkap Tata Kelola Kurikulum Efektif. Yogyakarta: Diva Press, 2012.Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Nasution, Muhammad Nur. Manajemen Mutu Terpadu. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.Qomar, Mujamil. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga, 2007.

Rafiah, Machfirah. Pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Kinerja Guru di MAN 1 Medan, dalam Raudhah, vol. I, 2013.

Rangkuti, Ahmad Abrar. Penerapan Manajemen Kurikulum Kelas Unggulan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Medan. Tesis: IAIN Sumatera Utara, 2012.

Rozikun, Ahmad dan Namaduddin. Strategi Perencanaan Manajemen Berbasis Madrasah (MBM) di Tingkat Menengah. cet. 2. Jakarta: Listafariska Putra, 2008.

Sagala, Syaiful. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Nimas Multima, 2006.Saleh, Abd. Rachman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta: Rajawali Press, 2004.Sallis, Edward. Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan: Peran Strategis Pendidikan di Era Globalisasi Modern. terj. Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi. Yogyakarta: IRCiSoD, 2010.

Salusu, J. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. cet. 4. Jakarta: Grasindo, 2002.Sidi, Indra Djati. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.Sukmadinata, Nana Syaodih, Ayi Novi Jamiat, dan Ahman, Pengendalian Mutu Sekolah Menengah: Konsep, Prinsip, dan Instrumen. Bandung: Refika Aditama, 2006.

Supriyanto, Achmad. Implementasi Total Quality Management dalam Sistem Manajemen Mutu Pembelajaran di Institusi Pendidikan, dalam Cakrawala Pendidikan, vol. XXX, 2011.Syafaruddin dan Anzizhan, Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta: Grasindo, 2004. Syafaruddin dan Asrul. Kepemimpinan Pendidikan Kontemporer. Bandung: Citapustaka Media, 2007.

Syafaruddin dan Nurmawati. Pengelolaan Pendidikan: Mengembangkan Keterampilan Manajemen Pendidikan Menuju Sekolah Efektif. Medan: Perdana Publishing, 2011. Syafaruddin, Kebijakan Peningkatan Mutu Sekolah, dalam Mardianto (ed.), Administrasi Pendidikan: Menata Pendidikan Untuk Kependidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.

Syafaruddin. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Strategi dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo, 2002.Tim Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Departemen Agama RI, 2001.

Usman, Husaini. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.Umaedi. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1: Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional, 2001.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.Instrumental input:

Kebijakan pendidikan

Program pendidikan-kurikulum

Personil: Kepsek, guru, staf, TU

Sarana, fasilitas, media, biaya

Proses pendidikan:

Pengajaran

Pelatihan

Pembimbingan

Evaluasi

Ekstrakurikuler

Pengelolaan

Output (lulusan):

Pengetahuan

Kepribadian

Performansi

Raw Input

(Peserta didik):

Intelek

Fisik-kesehatan

Sosial-afektif

Peer group

Environmental input:

Lingkungan sekolah

Lingkungan keluarga

Masyarakat

Lembaga sosial, unit kerja

Sekolah Bermutu Total

Perbaikan Berkelanjutan

Komitmen

Pengukuran

Keterlibatan Total

Fokus Pada Pelanggan

Keyakinan dan Nilai-nilai

Otonomi Pengelolaan Pendidikan

Pendidikan Berbasis Masyarakat

Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah

Peningkatan Mutu Berkelanjutan

Keluaran:

Prestasi akademik

Peserta didik

Kelulusan/kegagalan

Kinerja pegawai

Pendidikan lanjutan

Proses Transformasi:

Rancangan input

Program

Metode

Pangkalan data

Analisis umpan balik

Masukan:

Karakteristik peserta didik

Karakteristik lembaga

Sumberdaya finansial

Lembaga pendidikan

Program

Dukungan pelayanan

Sulaiman Ibrahim, Menata Pendidikan Islam di Indonesia: Sebuah Upaya Menuju Pendidikan yang Memberdayakan, dalam Studia Islamica, vol. VIII, h. 81.

Fachruddin, Manajemen Pemberdayaan Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Islam di Indonesia, dalam Mardianto (ed.), Administrasi Pendidikan: Menata Pendidikan Untuk Kependidikan Islam (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), h. 35.

Lahmuddin Lubis dalam penjelasan matakuliah Perencanaan Strategi Pendidikan, Januari 2014.

Ahmad Rozikun dan Namaduddin, Strategi Perencanaan Manajemen Berbasis Madrasah (MBM) di Tingkat Menengah, cet. 2 (Jakarta: Listafariska Putra, 2008), h. 4.

Lahmuddin Lubis dalam penjelasan matakuliah Perencanaan Strategi Pendidikan, Januari 2014.

Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, terj. Yosal Iriantara, cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 2.

Syafaruddin dan Nurmawati, Pengelolaan Pendidikan: Mengembangkan Keterampilan Manajemen Pendidikan Menuju Sekolah Efektif (Medan: Perdana Publishing, 2011), h. 68.

Lingkungan eksternal organisasi meliputi inovasi teknologi, aktivitas ekonomi, sikap sosial, kebijakan pemerintah, persatuan perdagangan, pelanggan, budaya, organisasi lain, hubungan internasional, persatuan pekerja, pesaing, iklim, pemodal, dan lain-lain. Lihat Ibid., h. 126.

ISO 9001 merupakan pengakuan yang diberikan dalam bidang standar mutu produksi dan layanan. Lihat Samsul Hady, Manajemen Madrasah (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2001), h. 14.

Machfirah Rafiah, Pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Kinerja Guru di MAN 1 Medan, dalam Raudhah, vol. I, h. 70. Lihat pula Ahmad Abrar Rangkuti, Penerapan Manajemen Kurikulum Kelas Unggulan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Medan (Tesis: IAIN Sumatera Utara, 2012), h. 40.

Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 71-72.

David L.Goetsch dan Stanley B.Davis, Quality Management: Introduction to Total Quality Management for Production, Processing, and Services (New Jersey: Prentice-Hall, 2000), Edisi III, h. 8.

Isjoni, Menuju Masyarakat Belajar: Pendidikan dalam Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 25.

Goetsch dan Davis, Quality Management, h. 49.

Ibid., h. 50.

Edward Sallis, Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan: Peran Strategis Pendidikan di Era Globalisasi Modern, terj. Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi (Yogyakarta: IRCiSoD, 2010), h. 54-55.

Ibid., h. 56.

Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, h. 191.

Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 207.

Ibid., h. 209.

Muhaimin, Sutiah, Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (Jakarta: Kencana, 2011), cet. III, h. 24 dan 143.

Ibid., h. 216.

Syaiful Sagala, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan Mutu (Jakarta: Nimas Multima, 2006), h. 36.

David L. Goetsch dan Stanley Davis, Quality Management for Organizational Excellence: Introduction to Total Quality (New Jersey: Pearson, 2013 ), Edisi VII, h. 240.

Deden Makbuloh, Manajemen Mutu Pendidikan Islam: Model Pengembangan Teori dan Aplikasi Sistem Penjaminan Mutu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 36.

Darwin dan Irsan, Penjamin Mutu Pendidikan dan Pengawasan (Medan: Unimed Press, 2012), h. 18.

Ibid., h. 19.

Tony Bush dan Marine Coleman, Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan: Panduan Lengkap Kurikulum Dunia Pendidikan Modern, terj.Fahrurrozi (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), h. 191.

David L. Goetsch dan Stanley Davis, Quality Management for Organizational Excellence: Introduction to Total Quality (New Jersey: Pearson, 2013 ), Edisi VII, h. 12.

Ibid., h. 14.

Lahmuddin Lubis dalam penjelasan matakuliah Perencanaan Strategi Pendidikan, Januari 2014.

Deni Koswara dan Cepi Triatna, Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan, dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 295

J.Salusu, Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, cet. 4 (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 456-458.

Ibid., h. 461.

Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Strategi dan Aplikasi (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 29-31.

Ibid., h. 62.

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 18.

Syafaruddin dan Anzizhan, Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 128. Lihat pula Syafaruddin dan Asrul, Kepemimpinan Pendidikan Kontemporer (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 69.

Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, h. 36-60.

Nana Syaodih Sukmadinata, Ayi Novi Jamiat, Ahman, Pengendalian Mutu Sekolah Menengah: Konsep, Prinsip, dan Instrumen (Bandung: Refika Aditama, 2006), h. 6.

Ibid., h. 7.

Syafaruddin, et.al. Pendidikan & Pemberdayaan Masyarakat (Medan: Perdana Publishing, 2012), h.40.

Lahmuddin Lubis dalam penjelasan matakuliah Perencanaan Strategi Pendidikan, Januari 2014.

Tim Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h. 4. Lihat David L.Goetsch dan Stanley B.Davis, Quality Management, h. 49-51.

Benchmark merupakan satu teknik analisis yang secara luas digunakan untuk mencari suatu proses terbaik dalam menghasilkan suatu layanan atau produk sesuai dengan harapan stakeholder dengan cara melihat produk atau layanan lain. Misalnya, sebuah sekolah/madrasah ingin meningkatkan pelaksanaan pendidikan yang ada di sekolahnya. Sekolah/madrasah tersebut kemudian mengidentifikasi sekolah/madrasah lain yang melaksanakan pendidikan yang dianggap baik. Lihat Muhaimin, Sutiah, Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan, h. 122.

Syaiful Sagala, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat, h. 36.

Tim Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, h. 5.

Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, h. 36.

Ibid.

Lahmuddin Lubis dalam penjelasan matakuliah Perencanaan Strategi Pendidikan, Januari 2014.

Ibid.

Fachruddin, Manajemen Pemberdayaan dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Islam, dalam Mardianto (ed.), Administrasi Pendidikan, h. 40.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Ridwan Idris, Pendekatan Pendidikan Berbasis Mutu, dalam Lentera Pendidikan, vol. XII, h. 107.

Umaedi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1: Konsep dan Pelaksanaan (Jakarta: Dirjen Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional, 2001), h. 11-24.

Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, h. 95.

Umaedi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, h. 24.

Goetsch dan Davis, Quality Management, h. 61.

Syafaruddin et.al, Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, h. 45.

Hady, Manajemen Madrasah, h. 15.

Syafaruddin dan Nurmawati, Pengelolaan Pendidikan, h. 47.

Hady Manajemen Madrasah, h. 16.

Ibid., h. 18.

Syafaruddin, Kebijakan Peningkatan Mutu Sekolah, dalam Mardianto (ed.), Administrasi Pendidikan, h. 154.

Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, h. 23.

Hady Manajemen Madrasah, h. 19.

Ibid., h. 20.

Syafaruddin dan Nurmawati, Pengelolaan Pendidikan, h. 48.

Syafaruddin et.al, Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, h. 50.

Pembelajaran Organisasi (learning organization) merupakan sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus untuk mentransformasikan diri. Ciri-ciri pembelajaran organisasi adalah: 1) mempunyai suasana di mana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka, 2) memperluas budaya belajar sampai pada stakeholder, 3) menjadikan strategi pengembangan sumberdaya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis, dan 4) berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus. Lihat Muhaimin, Sutiah, Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan, h. 88.

Syafaruddin et.al., Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, h. 51

Abd. Rachman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 243-244.

Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h.589.

Achmad Supriyanto, Implementasi Total Quality Management Dalam Sistem Manajemen Mutu Pembelajaran di Institusi Pendidikan dalam Cakrawala Pendidikan, vol. XXX, h.18-23.

Makbuloh, Manajemen Mutu Pendidikan Islam, h. 43.

Ibid., h. 44.

Achmad Supriyanto, Implementasi Total Quality Management Dalam Sistem Manajemen Mutu Pembelajaran di Institusi Pendidikan dalam Cakrawala Pendidikan, vol. XXX, h.18-23.

Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, h. 50.