BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Manajemen Peningkatan Mutu ......Manajemen Berbabsis Sekolah (MBS)...

61
15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Sesuatu akan dikatakan bermutu jika sesuatu tersebut dapat sesuai dengan standard atau melebihi standard. Mutu berkaitan dengan pemenuhan harapan atau tujuan.Dalam usaha memenuhi standard mutu hendaknya makna mutu yang sesungguhnya perlu dipahami secara komprehensif. Menurut Tjiptono dan Diana (2009) sesuatu dikatakan berkualitas/ bermutu jika sesuatu yang dikatakan bermutu tersebut dapat memenuhi atau melebihi harapan pelanggan, mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan serta merupakan kondisi yang selalu berubah dan dinamis (apa yang dianggap bermutu saat ini mungkin dianggap kurang bermutu pada saat yang lain). Dalam dunia pendidikan, sekolah-sekolah terus bersaing dalam meningkatkan mutu sekolahnya. Secara yuridis formal, dalam pasal 51, ayat (1), UU No 20 tahun 2003 yang berkaitan dengan Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa standar pelayanan minimal (SPM) yang menganut prinsip MBS harus dilaksanakan oleh pengelolaan satuan

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Manajemen Peningkatan Mutu ......Manajemen Berbabsis Sekolah (MBS)...

15

BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah

Sesuatu akan dikatakan bermutu jika sesuatu

tersebut dapat sesuai dengan standard atau melebihi

standard. Mutu berkaitan dengan pemenuhan harapan

atau tujuan.Dalam usaha memenuhi standard mutu

hendaknya makna mutu yang sesungguhnya perlu

dipahami secara komprehensif. Menurut Tjiptono dan

Diana (2009) sesuatu dikatakan berkualitas/ bermutu

jika sesuatu yang dikatakan bermutu tersebut dapat

memenuhi atau melebihi harapan pelanggan,

mencakup produk, jasa, manusia, proses dan

lingkungan serta merupakan kondisi yang selalu

berubah dan dinamis (apa yang dianggap bermutu saat

ini mungkin dianggap kurang bermutu pada saat yang

lain).

Dalam dunia pendidikan, sekolah-sekolah terus

bersaing dalam meningkatkan mutu sekolahnya.

Secara yuridis formal, dalam pasal 51, ayat (1), UU No

20 tahun 2003 yang berkaitan dengan Sistem

Pendidikan Nasional menyatakan bahwa standar

pelayanan minimal (SPM) yang menganut prinsip MBS

harus dilaksanakan oleh pengelolaan satuan

16

pendidikan baik dari usia dini hingga pendidikan dasar

dan menengah. Menurut Umiarso dan Gojali (2010)

Manajemen Berbabsis Sekolah (MBS) memiliki arti

bahwa sekolah diberi kewenangan untuk mengelola dan

memperbaiki kualitas diri secara terus-menerus.

Sedangkan Direktorat TK dan SD (2005) menyatakan

bahwa MBS pada dasarnya adalah pengelolaan sumber

daya secara mandiri oleh sekolah untuk meningkatkan

mutu sekolah dan mencapai tujuan pendidikan

nasional yang dilakukan secara langsung dengan

melibatkan stakeholder terkait dalam proses

pengambilan keputusan. MBS pada MPMBS pada

intinya merupakan model manajemen peningkatan

mutu sekolah tanpa melupakan unsur kebijakan

pendidikan nasional yang memberi kesempatan lebih

besar pada sekolah untuk melibatkan langsung semua

warga sekolah dalam pengambilan keputusan secara

partisipatif (Depdiknas, 2002).

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah

atau yang biasa disebut MPMBS dapat disimpulkan

sebagai sistem pengelolaan persekolahan yang mengacu

pada manajemen sumber daya secara mandiri untuk

meningkatkan mutu sekolah dengan memberikan

kewenangan dan kekuasaan kepada sekolah yang

melibatkan partisipasi masyarakat, warga sekolah dan

orang tua secara langsung pada proses pengambilan

keputusan. Pengelolaan sekolah juga hendaknya

17

disesuaikan dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan

sekolah yang bersangkutan dan ditetapkan oleh

masing-masing sekolah sesuai dengan tujuan dan

strateginya, sehingga dapat mengarahkan organisasi

sekolah kedepan (Slameto, 2015: 13; Daryanto, 2013:

176; Mulyasa, 2012: 177).

Menurut Syaifudin, M. dkk (2006) terdapat

beberapa prinsip MBS diantaranya yaitu otonomi

sekolah, fleksibilitas, partisipasi untuk mencapai

sasaran mutu pendidikan. Sedangkan Nurkolis (2003)

menyatakan terdapat empat prinsip pengelolaaan

sekolah dengan menggunakan MBS yaitu prinsip

equifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip pengelolaan

mandiri dan prinsip insiatif manusia.Prinsip-prinsip

tersebut mengacu pada manajemen pengelolaan

pendidikan yang lebih terbuka dan menekankan pada

pengoptimalan sumber daya manusia dalam usaha-

usaha kreatif dan inovatifnya demi peningkatan

layanan dan mutu pendidikan. Hal tersebut tentunya

disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan serta

kondisi lingkungan sekolah.

MPMBS ini bertujuan memandirikan dan

memberdayakan sekolah melalui pemberian kewe-

nangan (otonomi) terhadap sekolah dalam mengelola

sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien,

serta mendorong sekolah untuk melakukan

pengambilan keputusan yang tepat secara partisipatif,

18

transparan, dan akuntabel dalam mencapai tujuan

yang telah ditetapkan (Syaifudin, 2013; Mulyasa,

2012:179).Dalam pelaksanaan MBS Slameto (2015)

juga mengingatkan bahwa tujuan utama penerapan

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah mening-

katkan mutu pendidikan melalui peningkatan prestasi

belajar siswa di sekolah. Hal ini berarti usaha

penerapan MBS harus bermuara pada peningkatan

prestasi peserta didik.

Secara khusus Mulyasa (2012:179) menetapkan

tujuan penerapan MPMBS adalah untuk: (1)

Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian

dan insiatif sekolah dalam mengelola dan member-

dayakan sumber daya yang tersedia; (2) Meningkatkan

kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam

penyelenggaraan pendididkan melalui pengambilan

keputusan bersama; (3) Meningkatkan tanggung jawab

sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah

tentang mutu sekolahnya; (4) Meningkatkan kompetisi

yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan

yang akan dicapai.

Berdasarkan paparan diatas, jelas dinyatakan

bahwa pelibatan partisipasi orang tua dan masyarakat

sangat penting bagi peningkatan mutu sekolah.

Pelibatan orang tua dan masyarakat dalam program

sekolah bertujuan antara lain untuk (1) memajukan

kualitas pembelajaran dan petumbuhan peserta didik;

19

(2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas

hidup dan penghidupan masyarakat; dan (3)

menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan

dengan sekolah. (Mulyasa, 2012: 75). Hubungan

sekolah dengan orang tua dan masyarakat yang baik

akan menimbulkan rasa tanggung jawab dan

partisipasi tinggi oleh masyarakat dan orang orang tua

dalam berkerjasama memajukan sekolah menjadi lebih

baik dan bermutu. Terlebih lagi partisispasi orang tua

dalam pendidikan dapat menjadi pintu bagi mereka

untuk memberikan gagasan, kritis membangun,

dukungan dan pelaksanakan pendidikan yang lebih

baik.

Dapat disimpulkan dari pernyataan Slameto

(2015) dan Mulyasa (2012) bahwa penerapan MPMBS

khususnya dalam meningkatkan partisipasi orang tua

dan masyarakat, maka sekolah dapat melakukan hal-

hal yang berkaitan sebagai berikut: (1) Penggunaan

sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif

bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat dengan

mengembangkan norma kebersamaan dan kerjasama

dengan kegiatan belajar dan perencanaan bersama; (2)

Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat

dalam pengelolan sekolah khusunya pengambilan

keputusan sekolah menciptakan transparansi dan

demokrasi yang sehat, salah caranya dengan

memberikan kepada “dewan sekolah” sebagai badan

20

pembuat keputusan bukan sekedar penasehat; (3)

Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu

pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang

tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya,

sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin

untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu

pendidikan yang telah direncanakan, hal ini berarti

tidak hanya melaksanakan MBS dengan meng-

implikasikan peningkatan peluang wakil orang tua

murid dan masyarakat untuk memberikan masukan

dalam pegambilan keputusan disekolah, melainkan

juga meyediakan pelatihan untuk menolong mereka

agar lebih mampu menjadi partisipan dalam upaya

perencanaan maupun pengambilan keputusan; (4)

Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi

masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan

cepat.

Terdapat dua jenis kegiatan hubungan sekolah

dengan masyarakat menurut Daryanto, dkk (2013:

148). Keterlibatan orang tua dalam kegiatan sekolah

merupakan jenis kegiatan eksternal.Kegiatan Eksternal

ini berhubungan atau ditujukan kepada instansi

atasan dan masyarakat diluar sekolah.Orang tua dalam

hal ini merupakan perwakilan masyarakat diluar

sekolah. Dalam jenis kegiatan ekstenal ini, ada dua

kemungkinan yang bisa dilakukan yaitu: (1) Indirect Act

adalah kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat

21

melalui perantara media tertentu seperti: Informasi

lewat televsisi, radio, media cetak, pameran sekolah

dan berusaha independen dalam penerbitan majalah

atau buletin sekolah. Dalam era digital ini media sosial

juga dapat menjadi alat komunikasi yang efektif dan

efisien dalam penyebaran informasi pada pemangku

kepentingan; (2) Direct Act adalah kegiatan hubungan

sekolah dengan masyarakat melalui tatap muka, misal:

rapat bersama dengan komite sekolah, konsultasi

dengan tokoh masyarakat, melayani kunjungan tamu

dan sebagainya.

Selain itu menurut Daryanto (2013: 144) terdapat

sarana-sarana yang diperlukan dalam pelaksanan

hubungan sekolah dengan masyarakat adalah sebagai

beikut: (1) Sistem visual yaitu sistem komunikasi

dengan mempergunakan alat-alat yang dapat dilihat

dengan pancaindra seperti: majalah, surat kabar,

poster, gambar, dan lain sebagainya; (2) Sistem audio

yaitu dengan menggunakan alat-alat yang

berhubungan dengan indra pendengaran seperti: rapat-

rapat, kontak dengan telepon, telegram dan lain

sebagainya; (3) Sistem audio visual yaitu sistem

komunikasi dengan mempergunakan alat-alat indra

penglihatan dan pendengaran seperti televisi, film dan

lain sebagainya.

22

2.2. Partisipasi Orang Tua dalam Pendidikan

Partisipasi erat kaitannya dengan berbagi

tanggungjawab untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Rodliyah (2013: 31-32) partispasi dapat

diartikan sebagai keterlibatan mental dan emosi dalam

situasi kelompok sehingga dapat dimanfaatkan sebagai

motivasi dalam usaha mencapai tujuan organisasi.

Partisipasi juga dimaknai sebagai pelibatan seseorang

atau beberapa orang dalam suatu kegiatan termasuk

keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan,

pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan dan

mengevaluasi program (Dwiningrum, 2015: 50-51).

Maka dalam hal ini partisipasi masyarakat dapat

dikatakan sebagai keikutsertaan atau keterlibatan

masyarakat terhadap suatu kegiatan atau organisasi

sosial dalam merencanakan, melaksanakan,

mengendalikan dan mengevaluasi serta mampu untuk

meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan

untuk menanggapi, baik secara langsung maupun tidak

langsung sejak dari gagasan, perumusan kebijak-

sanaan hingga pelaksanaan program. Hal tersebut

dilakukan dalam rangka untuk mewujudkan keinginan

dan kepentingan bersama dalam pelaksanaan dan

pengembangan pendidikan (Slameto, 2015: 73,

Rodliyah, 2013: 33-34).

23

Partisipasi atau keterlibatan orang tua dalam

satuan pendidikan tidak hanya dibutuhkan pada

tingkat taman kanak-kanan atau sekolah dasar saja

namun di tingkat sekolah menengah pula. Dalam usia

11-17 tahun, anak-anak justru sedang berada pada

masa puberitas, transisi dan pengembangan

kemampuan berpikir abstrak. Pada usia tersebut,

anak-anak juga dianggap sebagai anak pada usia yang

tingkat kerawanannya tinggi. Mereka dapat mudah

terpengaruh dengan narkoba, tawuran, putus sekolah

dan kejahatan lain serta mengalami gangguan

psikologi. Dalam masa seperti ini dukungan dari orang

tua sangat dibutuhkan untuk menghindari hal-hal

tersebut. Kemitraan sekolah dengan orang tua pada

tingkat sekolah menengah memang memiliki perbedaan

dengan tingkat sekolah dasar. Dalam tingkat sekolah

menengah, anak lebih membutuhkan hubungan yang

mengutamakan kepedulian dan kepercayaan terhadap

anak. Para siswa sekolah menengah memerlukan

kesempatan untuk membentuk identitas diri mereka

masing-masing, mengekspresikan diri dan terlibat

dalam pengalaman yang memiliki tantangan yang dapat

mengembangkan kemapuan dan harga diri mereka.

Mereka menginginkan otonomi, kebebasan dan waktu

dengan teman sebaya namun disaat yang sama mereka

juga membutuhkan orang tua atau orang dewasa yang

24

dapat diandalkan. (Havard Family Research Project,

2007: 1).

Pemaknaan kata partisipasi dan pelibatan sering

kali dianggap sama. Namun ada beberapa ahli yang

membedakan makna kata tersebut.Salah satu ahli yang

membedakan makna tersebut adalah Davis. Menurut

Davis, (Dwiningrum 2015: 72) partisipasi dalam

indikasi parental participation adalah orang tua

berpengaruh atau berupaya mempengaruhi dalam

pengambilan keputusan pada hal-hal yang sangat

penting disekolah, seperti penentuan program sekolah,

masalah keuangan dan lain-lain. Sedangkan pelibatan

dalam indikasi parental involvement mengacu pada

keterlibatan orang tua pada semua jenis aktivitas yang

ditujukan untuk mendukung program-program

sekolah. Berdasarkan pada perbedaan makna diatas,

model kemitraan ini akan mengarah pada makna

pelibatan dalam indikasi parental involvement oleh

Davis tersebut.Khumas (2005: 77-78) berpendapat

bahwa parental involvement merupakan solusi yang

mungkin lebih tepat untuk dilakukan di sekolah-

sekolah.

Pelibatan orang tua dan masyarakat dalam

program sekolah bertujuan antara lain untuk (1)

memajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan

peserta didik; (2) memperkokoh tujuan serta

meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan

25

masyarakat; dan (3) menggairahkan masyarakat untuk

menjalin hubungan dengan sekolah (Mulyasa, 2012:

75). Harmonisnya hubungan sekolah dengan orang tua

dan masyarakat juga akan meningkatkan pula rasa

tanggung jawab dan partisipasi masyarakat untuk

memajukan pendidikan di sekolah. Dalam hal ini,

sekolah dapat melakukan hal seperti memberitahu

masyarakat mengenai program-program sekolah, baik

program yang telah dilaksanakan dan yang sedang

dilaksanakan, serta yang akan dilaksanakan sehingga

masyarakat dan orang tua mendapat gambaran yang

jelas tentang program sekolah yang bersangkutan.

Corolado Springs School District 11 (2014)

menyimpulkan dari beberapa penelitian yang secara

konsisten menemukan bahwa manfaat family-school-

community partnership diantaranya yaitu: (1)

Meningkatkan moral guru; (2) Meningkatkan

komunikasi antara orang tua, guru dan pemimpin

sekolah; (3) Meningkatkan keterlibatan orangtua dalam

mendukung proses belajar mengajar; (4) Meningkatkan

dukungan masyarakat pada sekolah; (5) Meningkatkan

keberhasilan siswa.

Schreens (Mulyasa 2012: 76) menilai bahwa

keterlibatan orang tua merupakan stimulus eksternal

yang memainkan peranan penting bagi peningkatan

kualitas pembelajaran di sekolah.Orang tua dapat

dikatakan sebagai salah satu pelanggan utama

26

pendidikan atau para pemakai jasa pendidikan yang

dapat berpengaruh strategis pada keefektifan sekolah

(Dwiningrum, 2015). Mereka merupakan partner utama

sekolah dalam membimbing belajar dan menumbuhkan

kedisiplinan kepada anak mereka.Perbedaan karakter

orang tua membuat harapannya terhadap sekolah

terutama lulusannya berbeda pula. Oleh karena itu

sekolah harus menjalin kerjasama yang baik dan

harmonis dengan orang tua peserta didik.

Keterlibatan orang tua dalam kegiatan dan

komunikasi dengan sekolah diharapkan dapat

mendukung sekolah untuk melaksanakan proses

pendidikan disekolah secara produktif, efektif dan

efisien sehingga menghasilkan lulusan sekolah yang

produktif dan berkualitas. Mulyasa (2012: 77)

menetapkan indikator keterlibatan orang tua dan

masyarakat sebagai berikut: (1) Sekolah senantiasa

menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang tua,

dan berusaha melibatkan mereka dalam pelaksanaan

program-program sekolah; (2) Prosedur-prosedur

pelibatan orang tua peserta didik dalam kegiatan

kegiatan sekolah disampaikan secara jelas dan

dilaksanakan secara konsisten; (3) Orangtua peserta

didik memiliki kesempatan untuk mengunjungi sekolah

guna mengobservasi program pendidikan dan

pembelajaran; (4) Pada pertemuan antara orang tua

dengan sekolah, tingkat kehadiran orangtua peserta

27

didik tinggi; (5) Ada kerjasama yang baik antara guru

dan orang tua peserta didik, sehubungan dengan

pemantauan pekerjaan rumah; (6) Orang tua dan

masyarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-

keputusan sekolah; (7) Para guru sering berkomunikasi

dengan orang tua peserta didik mengenai kemajuan

peserta didik dan menunjukan bidang-bidang

keunggulan dan kelemahannya; (8) Sebagian besar

orang tua pesera didik memahami dan ikut

mempromosikan program pembelajaran sekolah; (9)

Masyarakat melalui komite sekolah aktif melaksanakan

peran dan fungsi sesuai aturan.

Dalam usaha meningkatkan kemitraan dengan

orang tua, kebijaksanaan dan program yang akan

dibuat harus berfokus pada beberapa area (U.S.

Department of Education, 2013:10) yaitu: (1)

Kemampuan (capability): human capital, skill and

knowledge; (2) Hubungan (connection): important

relationship and network- social capital; (3) Kesadaran

(confidence): Individual level of self-efficacy; (4)

Kepercayaan (cognition): assumption, belief and

woldview.

Kesuksesan sekolah dalam menjalankan program

kemitraan sekolah dengan orang tua dapat dicapai jika

ada keselarasan antara pemenuhan kebutuhan

perkembangan anak remaja, cara berpikir dan sikap

orang tua, harapan dan dukungan sekolah pada

28

keterlibatan orang tua. Menurut Havard Family

Research Project (2007: 1) ada tiga hal yang perlu

dilakukan untuk memenuhi keselarasan tersebut yaitu

sebagai berikut: (1) Parenting: sikap, nilai dan cara

orang tua menghadapi anak remaja; (2) Home School

Relationships: hubungan formal dan informal orang tua

dan sekolah menengah; (3) Responsibility for Learning:

Pola pengasuhan yang menekankan pada kegiatan

dirumah dan dimasyarakat yang mendukung

pertumbuhan sosial dan akademik anak remaja.

Dalam rangka menjalin hubungan harmonis

dengan orangtua, maka menurut Mulyasa sekolah

perlu memprogramkan beberapa hal (Slameto, 2015:

78) sebagai berikut: (1) Melibatkan orang tua secara

professional dalam mengembangkan perencanaan,

pelaksanaan dan program sekolah; (2) Menjalin

komunikasi secara intensif; (3) Mengadakan pembagian

tugas dan tanggung jawab antara sekolah dengan

orangtua dalam pembinaan pribadi siswa; (4)

Melibatkan orangtua dalam berbagai program dan

kegiatan sekolah yang bersifat sosial kemasyarakatan;

(5) Melibatkan orangtua dalam mengambil berbagai

keputusan agar mereka merasa bertanggungjawab

untuk melaksanakan; (6) Mendorong guru untuk

mendayagunakan orangtua sebagai sumber belajar dan

menunjang keberhasilan belajar peserta didik.

29

Slameto (2015: 78) menambahkan untuk men-

dorong partisipasi orangtua, kepala sekolah perlu

melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi

kebutuhan sekolah dan partisipasi orangtua dalam

program dan kegiatan sekolah. Upayakan untuk

melibatkan guru, tenaga kependidikan dan wakil dewan

pendidikan serta komite sekolah dalam identifikasi

tersebut; (2) Menyusun tugas-tugas yang dapat

dilakukan bersama dengan orangtua secara fleksibel;

(3) Membantu guru mengembangkan program pelibatan

orangtua dalam berbagai aktivitas sekolah dan

pembelajaran; (4) Menginformasikan secara luas

program sekolah dan membuka peluang bagi orangtua

untuk mlibatkan diri dalam program tersebut; (5)

Mengundang orangtua untuk menjadi relawan dalam

berbagai aktivitas sekolah; (6) Memberi penghargaan

secara proporsional dan profesional terhadap

keterlibatan orangtua dalam berbagai program dan

kegiatan sekolah.

Slameto (2015: 85) juga berpendapat bahwa

dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat,

maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1)

Melakukan persuasi kepada masyarakat, bahwa

dengan keikutsertaan masyarakat dalam kebijakan

yang dilaksanakan, justru akan menguntungkan

masyarakat sendiri; (2) Menghimbau masyarakat untuk

turut berpartisipasi melalui serangkaian kegiatan; (3)

30

Menggunakan tokoh-tokoh masyarakat yang mem-

punyai khalayak banyak untuk ikut serta dalam

kebiaksanaan agar masyarakat kebanyakan yang

menjadi pengikutnya juga sekaligus ikut serta dalam

kebijakan yang diimplementasikan; (4) Mengaitkan

keikutsertaan masyarakat dalam implementasi

kebijaksanaan dengan kepentingan mereka,

masyarakat memang perlu diyakinkan, bahwa ada

banyak kepentingan mereka yang terlayani dengan

baik, jika mereka berpartisipasi dalam kebijaksanaan;

(5) Menyadarkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi

terhadap kebijaksanaan yang telah ditetapkan secara

sah, dan kebijaksanaan yang sah tersebut adalah satu

dari wujud pelaksanaan dan perwujudan aspirasi

masyarakat.

Menurut Dwiningrum (2005), proses keterlibatan

orang tua disekolah disusun secara hirarkis dengan

level spectator, support, engagement dan decision

making. Dalam penelitian ini keterlibatan orang tua

akan berfokus pada hirarki engagement yaitu

hubungan orangtua dan sekolah yang saling

menghormati dalam suasana yang saling mendukung.

Pada hirarki ini pihak sekolah mengharapkan orangtua

dapat mengembangkan dan mendistribusikan sumber

informasi untuk sekolah dan masyarakat dan bekerja

sebagai ‘volunteer’ dan atau sebagai narasumber untuk

membagi pengetahuan, ketrampilan, dan bakat khusus

31

kepada para siswa. Keterlibatan orangtua sejalan

dengan harapan untuk mengetahui pengalaman anak-

anak lain, serta orangtua menyadari bahwa fungsi

sekolah tidak hanya menyediakan ketrampilan sebagai

bekal kerja tetapi sekolah juga berfungsi memberi bekal

agar memiliki ketrampilan hidup yang berkualitas.

Tingkatan partisipasi masyarakat menurut

Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan

Sekolah Dasar meliputi: (1) Peran serta dengan

menggunakan jasa yang tersedia. Jenis peran peran

serta masyarakat ini merupkan jenis paling umum.

Masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah dengan

memasukan anak ke sekolah; (2) Peran serta dengan

memberikan konstribusi dana, bahan, dan tenaga.

Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan

pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan

dana, barang dan atau tenaga; (3) Peran serta secara

pasif. Artinya menyetujui dan menerima apa yang

diputuskan oleh komite sekolah, misalnya komite

sekolah memutuskan agar orangtua membayar iuran

bagian anaknya yang bersekolah dan orangtua

menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya;

(4) Peran serta melalui adanya konsultasi. Orangtua

datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang

masalah pemebelajaran yang dialami anaknya; (5)

Peran serta dalam pelayanan. Orangtua/ masyarakat

terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua ikut

32

membantu sekolah ketika ada studi banding, kegiatan

pramuka, kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya; (6)

Peran serta sebagai pelaksana kegiatan yang

didelegasikan/ dilimpahkan. Misalnya, sekolah me-

minta orangtua/ masyarakat untuk memberikan

penyuluhan tentang pentingnya pendidikan, masalah

gender, gizi dan sebagainya; (7) Partisipasi dalam

pengambilan keputusan.

Menurut Slamet (Rodliyah, 2013: 56-58) faktor-

faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat

adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat

pendapatan dan mata pencaharian. Sedangkan

menurut Slameto (2015: 85) terdapat tiga hal yang

mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam

pendidikan. Pertama, kesadaran masyarakat, kedua,

responsibility sekolah, dan yang ketiga adalah regulasi.

Contoh partisipasi masyarakat dalam pendidikan

menurut Rodliyah (2013: 36) ialah:

1) Mengawasi perkembangan pribadi dan proses

putra-putrinya dirumah dan bila perlu memberi

laporan dan berkonsultasi dengan pihak

sekolah;

2) Menyediakan fasilitas belajar dirumah dan

membimbing putra putri nya agar belajar dengan motivasi dan perhatian;

3) Menyediakan perlengkapan belajar yang

dibutuhkan untuk belajar di lembaga pendidikan

sekolah;

4) Berusaha melunasi SPP dan bantuan pendidikan lainnya;

5) Memberikan umpan balik kepada sekolah

tentang pendidikan, terutama yang menyangkut

keadaan putra putrinya;

33

6) Bersedia datang ke sekolah bila diundang atau

diperlukan oleh sekolah;

7) Ikut berdiskusi memecahkan masalah-masalah pendidikan seperi sarana, pra sarana, kegiatan,

keuangan, program kerja dan sebagianya;

8) Membantu fasilitas-fasilitas belajar yang

dibutuhkan sekolah dalam memajukan proses

pembelajaran;

9) Meminjamkan alat,alat yang dibutuhkan sekolah untuk berpraktek, apabila sekolah memerlukan;

10) Bersedia menjadi tenaga pelatih/ narasumber

bila diperlukan oleh sekolah;

11) Mengajukan usul-usul untuk perbaikan

pendidikan; 12) Ikut mengontrol jalannya pendidikan (control

sosial).

Berdasarkan Slameto (2015: 81) yang didukung

oleh Dwiningrum (2015: 58-59), bentuk-bentuk

partisipasi masyarakat secara umum dapat berupa

yaitu: (1) Partisipasi fisik adalah partisipasi masyarakat

(orang tua) dalam bentuk menyelenggarakan usaha-

usaha pendidikan, seperti mendirikan dan

menyelenggarakan usaha sekolah, menyelenggarakan

usaha-usaha beasiswa, membantu pemerintah

membangun gedung-gedung dan perlengkapannya

untuk masyarakat berupa tempat dan perlengkapan

belajar di kelas, alat-alat pengajaran, buku-buku

pelajaran, perlengkapan berbagai praktikan dan

ketrampilan lainnya, menyelenggarakan usaha-usaha

perpustakaan berupa buku atau bentuk bantuan

lainnya. Sedangkan (2) Partisipasi non fisik adalah

partisipasi keikutsertaan masyarakat dalam menen-

tukan arah dan pendidikan nasional dan meratanya

animo masyarakat untuk menuntut ilmu pengetahuan

34

melalui pendidikan, sehingga pemerintah tidak ada

kesulitan mengarahkan rakyat untuk bersekolah.

Partisipasi non fisik dapat berupa waktu, kesempatan,

biaya dan berbagai aturan serta kebijaksanaan

pimpinan sekolah.

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mening-

katkan partisipasi orang tua dan masyarakat menurut

Rodliyah (2013: 52) antara lain:

Tabel 2.1 Tangga Partisipasi

KLASIFIKASI URAIAN TINGKATAN

I. Citizen Power Pada tahap ini sudah terjadi pembagian hak,

tanggung jawab, dan

wewenang antara

masyarakat dengan

pemerintah dalam pengambilan keputusan.

Kontrol masyarakat (citizen control)

Pelimpahan

kekuasaan (delegated control)

Kemitraan (partnership)

II. Tokenism Hanya sekadar

formalitas yang

memungkinkan

masyarakat mendengar

dan memiliki hak untuk

memberikan suara, tetapi pendapat mereka

belum menjadi bahan

dalam pengambilan

keputusan.

Penetraman (placation)

Konsultasi (consultation)

Informasi (information)

III. Non

Participation

Mayarakat hanya

dijadikan objek.

Terapi (therapy)

Manipulation (manipulation)

Tabel 2.2 Tingkatan Partisipasi

Tingkatan Deskripsi

Manipulation Tingkat paling rendah mendekati situasi tidak

ada partisipasi, cenderung berbentuk

indoktrinasi.

Consultation Stakeholder mempunyai peluang untuk

memeberikan saran akan digunakan seperti

yang mereka harapan.

35

Consensus-building

Pada tingkat ini stakeholder berinteraksi

untuk saling memahami dan dalam posisi

saling bernegoisasi, toleransi dengan seluruh

anggota kelompok. Kelemahan yang sering

terjadi adalah individu-individu dan kelompok masih cenderung diam atau setuju bersifat

pasif.

Decision-making Konsensus terjadi didasarkan pada

keputusan kolektif dan bersumber pada rasa

tanggung jawab untuk menghasilkan sesuatu.

Negosiasi pada tahap ini mencerminkan derajat perbedaan yang terjadi dalam individu

maupun kelompok.

Risk-taking Proses yang berlangsung dan berkembang

tidak hanya sekedar menghasilkan

keputusan, tetapi memikirkan akibat dari

hasil yang memyangkut keuntungan,

hambaan, dan implikasi. Pada tahap ini semua orang memikirkan risiko yang

diharapkan dari hasil keputusan. Karenanya,

akuntabilitas merupakan basis penting.

Partnership Memerlukan kerja secara equal menuju hasil

yang mutual. Equal tidak hanya sekadar

dalam bentuk struktur dan fungsi tetapi dalam tanggung jawab.

Self-management Puncak dari partisispasi masyarakat. Stakeholder berinteraski dalam proses saling

belajar (learning process) untuk

mengoptimalkan hasil dan hal-hal yang

menjadi perhatian.

2.3. Model Partisipasi Orang Tua

Beberapa pendapat yang mengemukakan tentang

definisi model, seperti yang dikemukakan oleh

Stockburger (1998: 2) “A model is a representation

containing the essential structure of some object or event

in the real world. The representation may take two major

forms: (1) Phisical, as in a model airplane or architect’s

model of a building or (2) Symbolyc, as in a natural

language, a computer program, or a set of mathematical

36

equations”. Arti dari definisi tersebut adalah bahwa

model merupakan sebuah representasi yang

mengandung struktur pokok dari suatu obyek atau

kejadian di dunia nyata. Representasi itu dapat berupa:

(1) Fisik seperti model pesawat terbang atau bangunan

atau (2) Simbolis seperti program komputer dan

persamaan matematis. Pendapat yang hampir sama

dikemukakan oleh Law & Kelton (1991: 5) yang

memaparkan bahwa model adalah representasi suatu

sistem yang dipandang dapat mewakili sistem

sesungguhnya. Kemudian Mills (Anwar, 2003: 38)

mendefinisikan bahwa ‘Model adalah bentuk

representasi akurat sebagai proses aktual yang

memungkinkan seseorang atau kelompok orang

mencoba bertindak berdasarkan kebijakan yang

terepresentasi dari model itu’. Sedangkan Departemen

P dan K, (1984: 75) menyatakan bahwa model adalah

pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan

dibuat atau dihasilkan.

Pendapat lain tentang model adalah abstraksi

dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang lebih

sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang

bersifat menyeluruh. Dengan perkataan lain model

adalah abstraksi dari realitas dengan hanya

memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari

kehidupan secara sebenarnya (Simarmata, 1983: IX).

Setyosari (2010: 200), mengemukakan bahwa “Model

37

menyajikan sesuatu atau informasi yang kompleks atau

rumit menjadi sesuatu yang lebih sederhana”.

Selanjutnya dipaparkan ada 2 jenis model yaitu model

konseptual dan model prosedural. Model konseptual

adalah model yang bersifat analitis yang memberikan

atau menjelaskan komponen-komponen produk yang

akan dikembangkan dan keterkaitan antar kompo-

nennya. Model prosedural adalah model deskriptif yang

menggambarkan alur atau langkah-langkah prosedural

yang harus diikuti untuk menghasilkan suatu produk

tertentu.Model prosedural biasanya berupa urutan

langkah-langkah, yang diikuti secara bertahap dari

awal hingga akhir.

Menurut Marreli, dkk. (2005: 533), model yang

baik memiliki ciri: 1) simple, 2) applicable, 3) important,

4) controllable, 5) adaptable, dan 6) communicable.

Merujuk pada ciri-ciri tersebut maka dalam menyusun

model harus memenuhi kriteria: 1) mengidentifikasikan

kerangka kunci, 2) memerinci setiap bagian atau

tahapan dalam kerangka, 3) menyeleksi atau

memodifikasi bagian proses yang memerlukan per-

baikan, 4) menyusun proses dalam model, dan 5)

melakukan revisi model (Draganidis, dkk. 2006: 51).

Ada beberapa jenis model yang di ungkapkan

oleh Simarmata (1983) jenis-jenis model dapat dibagi

dalam 5 (lima) kelas yang berbeda:

1) Kelas I, pembagian menurut fungsi:

38

a. Model deskriptif: hanya menggambarkan situasi

sebuah sistem tanpa rekomendasi dan

peramalan.

Contoh: peta organisasi

b. Model prediktif: model ini menunjukkan apa yang

akan terjadi, bila sesuatu terjadi.

c. Model normatif: model yang menyediakan

jawaban terbaik terhadap satu persoalan. Model

ini memberi rekomendasi tindakan-tindakan yang

dapat diambil.

Contohnya: model budget advertensi, model

economics, model marketing.

2) Kelas II, pembagian menurut struktur.

a. Model Ikonik: adalah model yang menirukan

sistem aslinya, tetapi dalam suatu skala tertentu.

Contoh: model pesawat.

b. Model Analog: adalah suatu model yang

menirukan sistem aslinya dengan hanya

mengambil beberapa karakteristik utama dan

dapat menggambarkannya dengan benda atau

sistem lain secara analog.

Contoh: aliran lalu lintas di jalan dianalogkan

dengan aliran air dalam sistem pipa.

c. Model simbolis: adalah suatu model yang

menggambarkan sistem yang ditinjau dengan

symbol biasanya dengan simbol-simbol

matematik. Dalam hal ini sistem diwakili oleh

39

variabel-variabel dari karakteristik sistem yang

ditinjau.

3) Kelas III, pembagian menurut referensi waktu.

a. Statis: model statis tidak memasukkan factor

waktu dalam perumusannya.

b. Dinamis: mempunyai unsur waktu dalam

perumusannya.

4) Kelas IV, pembagian menurut referensi kepastian.

a. Deterministik: dalam model ini pada setiap

kumpulan nilai input, hanya ada satu output

yang unik, yang merupakan solusi dari model

dalam keadaan pasti.

b. Probabilistik: model probabilistik menyangkut

distribusi probabilistik dari input atau proses dan

menghasilkan suatu deretan harga bagi paling

tidak satu variabel output yang disertai dengan

kemungkinan-kemungkinan dari harga-harga

tersebut.

c. Game: teori permainan yang mengembangkan

solusi-solusi optimum dalam menghadapi situasi

yang tidak pasti.

5) Kelas V, pembagian menurut tingkat generalitas.

a. Umum

b. Khusus

Model yang akan disusun dalam penelitian ini

termasuk model normatif yang berusaha memberikan

rekomendasi-rekomendasi langkah-langkah serta

40

kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam

mewujudkan program kemitraan sekolah dengan orang

tua. Dengan model pengembangan program kemitraan

sekolah dengan orang tua diharapkan juga dapat

menjadi solusi pemecahan masalah terhadap masalah-

masalah yang masih dihadapi berkenaan dengan

hubungan antara beberapa orang tua dan siswa serta

meningkatkan keharmonisasian hubungan antara

sekolah dengan pelanggannya, orang tua dan para

peserta didik. Model yang akan dibuat juga dapat

dikatakan model simbolis karena model yang dibuat

berdasarkan hasil tinjauan perpaduan model yang

mengacu pada model kemitraan sekolah dengan

keluarga, masyarakat dan model home-school

partnership/ family-school partnership. Dalam hal ini

model yang akan dibuat akan mengacu pada variabel-

variabel atau karakteristik-karakteristik pokok pada

model yang ditinjau tersebut. Model kemitraan ini juga

merupakan model prosedural yang bersifat umum

karena model ini menggambarkan alur atau langkah-

langkah yang harus diikuti oleh sekolah-sekolah

menengah swasta untuk menjalankan program

kemitraan sekolah dengan orang tua melalui media

sosial.Namun tentunya dalam melaksanakan model

kemitraan ini harus disesuaikan dengan karakteristik

dan kebutuhan sekolah.

41

Model partisipasi orang tua di sekolah

merupakan konsep yang multidimensional. Bahkan

sering juga digunakan istilah-istilah lain dan tidak

seragam seperti: parent participation, parent

involvement, home-school connection, home-school

participation atau family-school relationships (Greenfield

2003: 2). Maka dalam memahami model partisipasi

orang tua di sekolah diperlukan pemahaman beberapa

model yang telah terdefinisikan.

Havard Family Research Project (2002: 1-2)

mengembangkan empat model partisipasi orang tua

seperti berikut ini.

1) Model Parenting Practice: keyakinan, sikap dan

kegiatan-kegiatan orang tua untuk mendukung

anaknya belajar baik disekolah maupun

dirumah.

2) Model School-Family Partnership: didasarkan ide

bahwa keluarga dan sekolah merupakan

lingkungan yang mempengaruhi belajar anak,

walau begitu sekolah mempunyai tanggung

jawab utama untuk menjangkau orang tua dan

masyarakat, maka perlu dikembangkan kemitraan antar pihak.

3) Model Democratic Participation: partisispiasi

orang tua dapat berarti sebagai partisipasi dalam

kelembagaan masyarakat. Orang tua dan

masyarakat adalah pihak yang memiliki

kekuatan sebagai agen pembaruan sosial dapat berperan serta secara efektif dalam reformasi

sekolah (MBS) baik secara konfrontatif maupun

kolaboratif.

4) Model School Choice: partisipasi orang tua terkait

dengan pilihan sekolah, sekolah manayang

dipilih orang tua untuk anaknya. Pemilihan sekolah dan program-programnya sesuai prinsip

42

pasar itu menentukan partisipasi orang tua

anak.

Sebagai konstruk yang multi dimensi, model

partisipasi orangtua menurut Bosse (2001) memiliki 5

(lima) perspektif:

1) Behavioral: penggunaan metode stimulant yang

merangsang ganjaran misalnya) agar orangtua

berpartisispasi dalam memanfaatkan potensi lingkungan.

2) Social marketing: penggunaan strategi

komuniaksi khususnya yang menolong dan

manjangkau orangtua.

3) Ekologis: kemitraan yang kuat antar berbagai

stakeholder.

4) Pragmatik: kemampuan organisasi me-

ngembangkan kesempatan untuk berpartisi-

pasinya orangtua seuai dengan kebutuhan

orangtua dan anak.

5) Pemberdayaan Warga Negara: peningkatan partisipasi orangtua dalam 5 (lima) area

organisasi yaitu: (a) menolong identifikasi

kebuthan (b) latihan kepemimpinan (c) bantuan

keorganisasian. (d) mobilisasi berbagai seumber

dan (e) manajemen organisasi.

Dalam penelitian ini model yang akan digunakan

adalah pengembangan dari model School-Family

Partnership yang dikolaborasikan dengan Model

Partnership dan Shared Responsibilities yang

menekankan koordinasi dan kerjasama sekolah dan

keluarga untuk mengembangkan komunikasi dan

kolaborasi. Asumsinya sekolah dan keluarga lebih

efektif jika informasi, nasehat dan pengalaman di

“shared” secara berkelanjutan diantara semua warga

sekolah, keluarga dan masyarakat (Slameto, 2015: 76).

43

Supaya menjadi lebih efektif maka digunakan lagi satu

model partisipasi orang tua menurut Bosse (2001) yaitu

model Social marketing yaitu dengan penggunaan

strategi komuniakasi untuk menolong dan manjangkau

orangtua. Strategi komunikasi dalam hal ini yaitu

melalui media sosial.

Pada School-Family Partnership (PTA national

standard US, 2014: 1-6) memaparkan bahwa ada 6

standard dimana sekolah, orang tua dan masyarakat

dapat bekerjasama:

1) Welcoming All Families Into The School Community

2) Communicating Effectively

3) Supporting Student Success 4) Speaking Up For Every Child 5) Sharing Power

6) Collaborating With Community

2.4. Model Kemitraan Sekolah dan Orang Tua

Seperti yang sudah disampaikan diatas dalam

rangka mengatasi permasalahan semakin maraknya

aksi kekerasan dan perilaku menyimpang dalam dunia

pendidikan dikalangan pelajar, yang dapat

menghambat terbangunnya lingkungan belajar yang

kondusif bagi anak-anak, sehingga membuat

perkembangan potensi mereka tidak berkembang

secara optimal maka di buatlah program pendidikan

keluarga. Program ini sudah di sahkan oleh

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

44

(Kemendikbud) yang membentuk Direktorat Pembinaan

Pendidikan Keluarga di bawah Direktorat Jenderal

Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat

yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan. Hal tersebut juga menjadi

upaya pemerintah dalam meningkatkan kemitraan

yang lebih baik diantara keluarga, satuan pendidikan,

dan masyarakat untuk mendukung terciptanya

ekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter

dan budaya prestasi.

Tujuan umum Program kemitraan ini adalah

untuk menjalin kerjasama dan keselarasan program

pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat

dalam membangun ekosistem pendidikan yang

kondusif untuk menumbuh-kembangkan karakter dan

budaya berprestasi pada peserta didik. Sedangkan

tujuan khusunya yaitu (1) Menguatkan jalinan

kemitraan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat

dalam mendukung lingkungan belajar yang dapat

mengembangkan potensi anak secara utuh; (2)

meningkatkan keterlibatan orang tua/ wali dalam

mendukung keberhasilan pendidikan anak di rumah

dan di sekolah; dan (3) meningkatkan peran serta

masyarakat dalam mendukung program pendidikan di

sekolah dan di masyarakat.

45

Dilihat dari tujuan khusus program tersebut,

salah satunya adalah meningkatkan keterlibatan orang

tua/ wali dalam mendukung keberhasilan pendidikan

anak di rumah dan di sekolah. Keluarga dalam hal ini

orang tua/ wali adalah pendidik yang pertama dan

utama yang akan berpengaruh pada karakter anak.

Selain prestasi belajar, penumbuhan karakter juga

membutuhkan peran keluarga. Berbagai studi

menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga dalam

pendidikan dapat meningkatkan prestasi belajar anak.

Slameto (2006) menemukan bahwa partisipasi orang

tua secara positif dan signifikan berpengaruh 25,2%

terhadap prestasi belajar siswa. Pada partisipasi orang

tua aras rendah, variabel: struktur keluarga, tingkat

pendidikan ayah dan ibu, status ekonomi, pola asuh

non direktif, struktur dan lingkungan keluarga secara

bersama-sama berpengaruh 86,7% terhadap prestasi

siswa. Pada partisipasi orang tua aras tinggi, variabel

gender/ ayah dan pola asuh otoriter secara bersama-

sama berpengaruh 85,9% terhadap prestasi siswa,

bahkan menjadi maksimal pengaruhnya jika diikuti

dengan pendidikan orang tua. Maka tidak perlu

disangsikan lagi betapa pentingnya manajemen sekolah

yang memungkinkan peningkatan partisipasi orang tua

dalam rangka peningkatan mutu penddikan/ prestasi

belajar. Kerjasama dan keselarasan antara pendidikan

yang dilakukan di satuan pendidikan dan di

46

lingkungan keluarga merupakan kunci keberhasilan

pendidikan.

Kemitraan antar pelaku pendidikan yang terdiri

dari tiga unsur, yaitu keluarga, sekolah, dan

masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh komite

sekolah, dapat digambarkan apabila setiap unsur dapat

melaksanakan fungsi dan perannya secara baik.

Berikut adalah gambar model jalinan kemitraannya:

Gambar 2.1 Model Jalinan Kemitraan antara Keluarga, Sekolah

dan Masyarakat (Kemendikbud, 2015)

Model operasional kemitraan ini dikembangkan

dengan mendayagunakan semua potensi sumber daya

yang dimiliki sekolah, keluarga dan masyarakat secara

kolaboratif. Model operasional kemitraan tersebut

digambarkan oleh model berikut:

47

Gambar 2.2 Model Jalinan Kemitraan antara Keluarga, Sekolah dan Masyarakat (Kemendikbud, 2016)

Berdasarkan Kemendikbud (2016) secara opera-

sional model ini dapat dikembangkan atas dasar

pendayagunaan potensi dan sumber daya keluarga dan

masyarakat secara kolaboratif. Kemitraan dibangun di

atas dasar kebutuhan anak sehingga orang tua/ wali

dan masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi aktif

dalam kegiatan yang berkaitan dengan sekolah.Model

kemitraan melibatkan jejaring yang luas dan

melibatkan peserta didik, orang tua, guru, tenaga

kependidikan, masyarakat, kalangan pengusaha, dan

organisasi mitra di bidang pendidikan.

48

Demi mewujudkan ekosistem pendidikan yang

dapat mendorong tumbuhnya karakter dan budaya

prestasi semua warga sekolah melalui kemitraan antara

sekolah dengan keluarga dan masyarakat, maka

kemendikbud (2015) membentuk prinsip-prinsip

sebagai acuan pelaksanaan program kemitraan sebagai

berikut: (1) Kesamaan hak, kesejajaran, dan saling

menghargai; (2) Semangat gotong-royong dan

kebersamaan; (3) Saling melengkapi dan memperkuat;

(4) Saling asah, saling asih, dan saling asuh; (5) Semua

upaya ditujukan untuk kepentingan terbaik peserta

didik.

Bentuk-bentuk kemitraan sekolah, keluarga, dan

masyarakat dapat dilakukan antara lain dengan

penguatan komunikasi dua arah, pendidikan orang tua,

kegiatan sukarela, belajar dirumah dan kolaborasi

dengan masyarakat. Unsur-unsur yang memiliki peran

utama dalam program pendidikan kemitraan sekolah

dengan orang tua serta masyarakat di sekolah adalah

Kepala sekolah, wali kelas dan komite sekolah.

2.5. Media Sosial dalam Kemitraan Sekolah dengan Keluarga

Media sosial adalah saluran komunikasi online

kolektif yang didedikasikan untuk komunitas berbasis

input, interaksi, berbagi isi dan kolaborasi berbasis

masyarakat. Situs web dan aplikasi yang didedikasikan

49

untuk forum, microblogging, jaringan sosial, bookmark

sosial, kurasi sosial, dan wiki adalah salah satu jenis

media sosial (Laksono, dkk, 2014).

Menurut APJII, sebagian besar pengguna internet

di Indonesia adalah orang yang bekerja atau

wiraswasta, hal ini ditunjukan pada prosentase 55%

dari total pengguna internet. Angka terbesar kedua

diduduki oleh mahasiswa sebesar 18% sedangkan 16%

penggunanya yaitu ibu rumah tangga. Dari 252,4 juta

penduduk Indonesia, 88,1 juta diantaranya

menggunakan internet. Angka penetrasi pengguna

internet di Indonesia mencapai 34% dari total

penduduknya. Bahkan 52 juta penggunanya dari pulau

Jawa. Sebagian besar pengguna intrenet mengakses

internet menggunakan telepon seluler.Tiga alasan

utama orang Indonesia menggunakan internet yaitu

untuk mengakses sarana sosial/ komunikasi (72%),

sumber informasi harian (65%), dan mengikuti

perkembangan jaman (51%). Tiga alasan utama

mengakses internet itu dipraktikan melalui empat

kegiatan utama, yaitu menggunakan jejaring sosial

(87%), mencari informasi (69%), instant messaging

(60%) dan mencari berita terbaru (60%). Untuk sarana

pendididkan (29%) hal ini belum dimaksimalkan.

Dalam hal ini, praktik terbanyak dalam menggunakan

internet untuk menggunakan jejaring sosial diikuti

oleh, mencari info/ searching/ browsing (68,7%),

50

Instant messaging (59,9%), mencari berita (59,7%),

video streaming download atau upload (27,3%) dll.

Namun dari hasil penelitian singapura, Indonesia

mengakses internet sebgaian besar untuk mobile

messenger (22%), watching videos on mobile (22%),

playing games on mobile (19%), using mobile banking

(20%), using mobile map service (22%). Mereka juga

menemukan bahwa berdasarkan survey, pengguna

media sosial di Idonesia lebih sering menggunakan

BBM (19%), Facebook (15%), Whatsapp (14%),

Facebook messenger (13%), google (12%), line (12%),

twitter (11%), instagram (10%0, wechat (8%), pinterest

(7%) (Global Web Index, 2015).

Beberapa peneliti percaya bahwa kepala sekolah

sebagai administrator sekolah harus mencakup alat

media sosial sebagai bagian dari strategi komunikasi

mereka dengan para pemangku kepentingan. (Jones,

Torres, & Arminio, 2006). Penggunaan alat media sosial

telah memungkinkan pengawas untuk menyampaikan

pesan mereka dengan cepat dan efisien kepada para

pemangku kepentingan mereka. Pengawas melihat

bahwa penggunaan alat-alat media sosial memberikan

mereka kesempatan untuk berbagi tanggapan yang

mendalam dan informasi dengan masyarakat yang

seringkali tidak akan dicetak dalam format media

tradisional karena keterbatasan ruang. Pengawas juga

menyebutkan bahwa melalui penggunaan alat-alat

51

media sosial mereka secara transparan bisa berbagi

alasan di balik keputusan yang dibuat.

Dell (2014) memberi contoh bagaimana mereka

melengkapi bentuk komunikasi tradisional cetak

dengan penggunaan media sosial/ bentuk komunikasi

digital atau bagaimana mereka telah benar-benar

menggunakan komunikasi digital. Pengalaman mereka

pada transisi dari komunikasi satu arah ke komunikasi

dua arah telah menghasilkan tingkat yang lebih tinggi,

diantaranya yaitu koneksi kuat dengan para pemangku

kepentingan, serta meningkatkan peluang

pertumbuhan profesional dan pribadi, relatif mudah

dalam berkomunikasi dengan para pemangku

kepentingan dan hal ini menjadi alasan mengapa

kepala sekolah terus menggunakan media sosial.

Berdasarkan penelitian, Mazza (2013) dan Cox

(2012) telah menemukan bahwa media sosial telah

berpengaruh positif pada sekolah-sekolah yang telah

mengunakannya sebagai media komunikasi dengan

pemangku kepentingan. Berdasarkan penelitian mereka

media sosial yang sering digunakan sekolah sebagai

alat komunikasi untuk memperkuat kemitraan yaitu

diantaranya dengan Facebook, Twitter, Blog, Website,

Email, dan Youtube. Mazza (2013) melihat beberapa

fungsi media sosial disekolah-sekolah yang sudah

menggunakannya. Fungsi media sosial dalam

memperkuat kemitraan sekolah dengan keluarga dan

52

masyarakan serta pemangku kepentingan lainnya

diantaranya yaitu: (1) Menginformasikan orang tua

mengenai kegiatan sekolah yang up to date; (2)

Memberikan kesempatan komunitas untuk mengenal

para pendidik dan tenaga pendidik sekolah; (3)

Mendorong partisipasi global; (4) Membangun

kepercayaan; (5) Mendukung dana bagi kegiatan

sekolah; (6) Berbagi fakta mengenai pencapaian atau

prestasi siswa, pendidik atau tenaga kependidikan; (7)

Menggungah pengingat hal-hal penting seperti rapat

pertemuan atau kegiatan sekolah pada keluarga; (8)

Berbagi sumber bacaan atau artikel yang dapat

mendukung atau mendorong pedidikan dirumah; (9)

Menunjukan penghargaan kepada pemangku

kepentingan; (10) Berbagi infotmasi untuk kegiatan

atau peristiwa masa lalu, sekarang dan yang akan

datang.

Selain itu studi Cox (2012) juga telah

menemukan hasil positif dari penggunaan media sosial

di sekolah menggunakan empat tema besar.Keempat

tema besar itu meliputi interaksi, hubungan, dampak

dan harapan. Berdasarkan tema tersebut dihasilkan

bahwa pertama, alat komunikasi media sosial

memungkinkan interaksi yang lebih luas antara

adminstrasi sekolah dan para pemangku kepentingan,

kedua alat komunikasi media sosial memberikan

hubungan yang lebih kuat kepada peran pemangku

53

kepentingan lokal, memberikan jaringan rekan kerja

sesama pendidik pada dunia yang lebih luas, ketiga

penggunaan media sosial dapat memiliki dampak

signifikan dalam perkembangan keprofesionalan

administrator sekolah, dan yang terakhir penggunaan

media sosial adalah sebuah harapan yang berarti

bukan hanya sekedar sebuah pilihan. Dalam hal ini

merupakan harapan akan penguatan kemitraan yang

lebih baik.

Epstein (2010) dalam penelitianya telah terlebih

dulu memberikan contoh bagaimana media sosial

diterapkan dalam rangka peningkatan kemitraan

sekolah dengan keuarga dan masyarakat berdasarkan

beberapa bentuk kemitraan yang ada. Dalam

penelitianya Epstein mencoba merangkum apa yang dia

temukan dengan tabel dibawah ini.

54

Tabel 2.3 Enam Jenis Keterlibatan berdasarkan Epstein

melalui Sosial Media

Tidak Tipe

Keterlibatan Contoh penggunaan alat media sosial

1 Parenting Sekolah membuat sebuah artikel

menggunakan Facebook atau Twitter tentang bagaimana berkomunikasi

dengan anak-anak melalui program

sekolah.

2 Komunikasi Sekolah menfasilitasi komunikasi mingguan secara online melalui Twitter

yang disebut hashtag chat.

3 Kolaborasi

komunitas

Sekolah menfasilitasi halaman Facebook

untuk menghasilkan dana untuk

membeli laptop untuk setiap anak.

4 Sukarela Sekolah menawarkan program "Relawan

disini" pada aplikasi mobile atau

halaman Facebook untuk menawarkan

orang tua yang ingin membantu kegiatan sekolah.

5 Di rumah

belajar

Sekolah memberikan video pendek

tentang kegiatan anak didalam kelas

untuk membantu orang tua mendukung

pembelajaran siswa.

6 Pengambilan

keputusan

Sekolah memberikan laporan bulanan

berupa audio/ video bulanan mengenai

rapat atau pertemuan kegiatan

sarasehan kemitraan keluarga dan hasil

keputusan-keputusan yang dibuat berdasarkan hasil keputusan kepala

sekolah dan pemangku kepentingan.

Beberapa media sosial telah berhasil menjadi alat

untuk mendukung dan meningkatkan kemitraan

sekolah dengan keluarga. Peneliti Mazza (2013) dan Cox

(2012) menemukan beberapa sekolah puas dengan

penggunaan media sosial di sekolahnya. Hal ini tidak

terlepas dari bagaimana sekolah tersebut dapat

mengelola dengan baik alat media sosial ini dan hal ini

55

juga disesuaikan dengan kebutuhan sekolah yang

selaras dengan program dari pemerintah. Contoh

penggunaan media sosial pada program kemitraan

sekolah dan keluarga diantaranya yaitu:

1) Facebook

Facebook merupakan sebuah alat media sosial

populer. Pengguna harus mendaftar sebelum

menggunakan situs ini, setelah itu mereka dapat

membuat profil pribadi, menambahkan pengguna

lain sebagai teman, dan bertukar pesan, termasuk

pemberitahuan otomatis ketika mereka memper-

barui profil mereka. Selain itu, pengguna dapat

bergabung pada kelompok pengguna sesuai

kepentingan dan minatnya, kelompok tempat kerja,

sekolah atau perguruan tinggi, dan dapat

mengkategorikan teman-teman mereka ke dalam

daftar seperti "rekan kerja" atau "teman

dekat". Facebook juga dapat disinkronisasikan

dengan alat media sosial lain seperti Twitter,

instagram dll. Contoh penggunaan media sosial

dalam program kemitraan sekolah dan keluarga

melalui facebook yaitu dapat berbagi informasi atau

kegiatan sekolah baik yang sudah dilaksanakan

atau yang sedang dilaksanakan dan yang akan

datang. Melalui jaringan komunikasi sosial ini

sekolah dapat menginformasikan kegiatan sekolah

terkini dan dapat mendapatkan umpan balik dari

56

orang tua siswa segera. Melalui facebook sekolah

dapat menginformasikan setiap pencapaian prestasi

ssiwa, pendidik maupun tenaga kependidikan serta

dapat memperkenalkan staff sekolah. Hal ini

diterapkan agar terdapat budaya menghargai dan

menghormati disekolah dana meningkatkan

kedekatan dan saling mengenal dan lebih akrab

antar keluarga siswa dan ‘keluarga’ siswa disekolah.

Facebook juga terhubungkan dengan media sosial

lain seperti tweeter, instagram, youtube dll. Hal ini

dapat menjadi wadah yang interaktif bagi

penggunanya. Namun disisi lain Carr (2010b)

mengusulkan beberapa hal yang administrator

sekolah bisa lakukan untuk menghindari kesalahan

dalam berkomunikasi di media sosial seperti

Facebook. Terutama untuk mengelola situs resmi

sekolah sebaiknya dibuat sebagai fan page. Kepala

sekolah hendaknya mendorng administrator sekolah

untuk memantau apa yang akan diposting ke situs

untuk memastikan bahwa hal itu adalah

tepat. Seorang administrator sekolah yang tidak

memiliki waktu atau tenaga untuk mencurahkan

untuk memantau konten juga bisa memilih salah

satu dari dua pilihan. Pertama, semua komentar

harus diatur dengan pengaturan yang tepat, contoh

suatu komentar orang lain sebelum terposting maka

harus ada persetujuan dari sekolah terlebih dahulu,

57

pengaturan semacam ini harus diatur secara

otomatis pada pengaturan facebook. Kedua, bagian

komentar bisa dinonaktifkan. Namun jika pilihan

kedua diterapkan maka kelemahannya yang jelas

yaitu akan terajadi penghapusan dua arah

percakapan antara stakeholder dan administrator.

2) Twitter

Twitter merupaka sebuah alat media sosial

dan layanan microblogging yang memampukan

penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan

berbasis teks hingga 140 karakter, yang dikenal

sebagai "tweets". Dapat disinkronisasikan dengan

alat media sosial lain seperti Facebook. Contoh

penggunaan media sosial dalam program kemitraan

sekolah dan keluarga melalui twitter yaitu sekolah

dapat memberikan info terkini mengenai kegiatan

sekolah secara singkat atau posting blog baru, serta

dapat memberikan informasi potongan singkat

tentang kunjungan kelas. Melalui komunikasi dua

arah yang disediakan Twitter, hal ini juga akan

memungkinkan administrator sekolah untuk mulai

membentuk apa yang disebut "Personal Learning

Network" (PLN) yang bersifat individual. PLN

menyediakan koneksi pada para ahlu dan akan

mencatat sesuai bidangnya contoh bidang

pendidikan. Melalui Twitter, lokasi dan anggaran

bukan menjadi hambatan lagi untuk kepala sekolah

58

dan pengawas dari daerah pedesaan, pinggiran kota,

dan perkotaan memiliki akses ke para ahli

terkemuka di lapangan. Administrator tidak perlu

melakukan perjalanan ke konferensi regional atau

nasional untuk mendapatkan akses

tersebut; namun hal itu dapat langsung tersedia

bagi mereka yang sudah terkoneksi melalui

twitter. Koneksi semacam ini dapat menjadi role

model bagi para pemangku kepentingan lainnya

seperti orang tua. Mereka akan lebih mengenal para

pendidik anaknya dalam kesehariannya dan cara

pandang mereka menanggapi berbagai isu terkini.

Maka dengan adanya hal tersebut administrator

sekolah yang berwenang mengelola twitter sekolah

atau kepala sekolah dan pendidik dan tenaga

pendidiknya harus memberikan contoh yang baik

dalam penggunaan media sosial.

3) Blog

Blog yaitu sebuah situs untuk berdiskusi atau

member informasi yang dipublikasikan di Internet

yang terdiri dari entri, hal ini sering disebut juga

("posting"). Posting terbaru akan muncul pertama

kali. Blog dari surat kabar, media lain, universitas,

kelompok berkepentingan dan lembaga-lembaga

sejenis berkontribusi pada blog. Blog juga dapat

digunakan sebagai kata kerja, yang berarti untuk

memelihara atau menambahkan konten/ isi ke

59

blog. Contoh blog gratis populer yang tersedia untuk

siswa,guru dan orang tua seperti Wordpress,

Blogger, Edublogs dan Kidblogs.Contoh penggunaan

media sosial dalam program kemitraan sekolah dan

keluarga melalui blog yaitu denganberbagi informasi

dengan stakeholder melalui rubrik berita atau info

terkini mingguan atau bulanan dan buletin. Isi dari

publikasi suatu media berita lain juga bisa

dibagikan melalui blog beserta dengan

tanggapannya jika dibutuhkan. Keuntungan dalam

berbagi melalui blog adalah bahwa para pemangku

kepentingan bisa dengan mudah mengaksesnya

(Weil, 2006). Isi dari rubrik berita dan buletin yang

ditulis oleh administrator sekolah mungkin

mencerminkan pandangan dan keyakinan sekolah

tentang pendidikan mereka, informasi dalam

kerjasama mengasuh anak di era ini dll. Posting blog

tidak perlu ditulis setiap hari, hal ini biasditulis

pada waktu yang ditentukan oleh administrator

sekolah dan kemudian dapat dijadwalkan secara

rutin diposting mingguan atau bulanan.

4) Video online seperti Youtube dan Podcast

Sebuah alat media sosial untuk berbagi video

dimana penggunanya dapat mengunggah, melihat

dan berbagi berbagai macam konten video yang

dihasilkan pengguna, termasuk klip video, klip TV,

dan video musik, serta konten amatir seperti video

60

blogging, video asli pendek, dan video pendidikan.

Contoh penggunaan media sosial dalam program

kemitraan sekolah dan keluarga melalui blog yaitu

dengan berbagi pesan video online untuk warga

sekolah setempat secara berkala. Dapat juga

digunakan untuk menemukan klip audio atau video

menarik yang kemudian bisa dimasukkan ke dalam

posting blog atau tweet untuk membuatnya lebih

interaktif sehingga akan ada bahan yang cukup

untuk berbagi sesuatu dengan para pemangku

kepentingan.Hal ini dapat dilakukan sebulan sekali.

Isi video dapat dengan cara membuat video sendiri

atau hanya berbagi video yang sudah ada sesuai

dengan kebutuhan dan topik. Diharapkan video

dapat berisi tentang kegiatan sekolah atau tentang

isu pendidikan yang dapat dibahas secara interaktif.

5) Instagram

Instagram merupakan salah satu alat media

sosial yang secara online yang dapat digunakan

untuk berbagi foto yang memungkinkan

penggunanya untuk mengambil gambar,

menerapkan filter digital untuk mereka, dan

memampukan mereka berbagi pada berbagai situs

media sosial lainnya termasuk Facebook atau

Twitter. Dengan berbagi gambar dan video meng-

gunakan media sosial seperti instagram, orang tua

bisa mendapatkan informasi awal mengenaiekstra

61

kurikuler anak mereka sehingga orang tua lebih

memahami anak dan dapat meningkatkan

komunikasi dengan anak saat bertemu tatap muka.

Sebuah alat media sosial yang disebut Instagram

dapat digunakan untuk menyimpan album foto yang

dijalankan sekolah sepanjang tahun sekolah.

Instagram dapat dengan mudah dihubungkan

dengan halaman Facebook sekolah untuk

kemudahan penggunaan.

2.6. Langkah-Langkah Pengembangan Model

Dalam Sugiyono (2012: 298-311) memberikan 10

langkah-langkah yang dapat digunakan dalam

mengembangkan peningkatan mutu, sebagai berikut:

Gambar 2.3 Langkah-langkah pengembangan menurut

Sugiyono (Sugiyono, 2012)

Potensi dan

Masalah

Pengumpulan Data

Desain Produk

Validasi Desain

Perbaikan Desain

Uji Coba Produk

Revisi Produk

Uji Coba Pemakai

an

Revisi Produk

Pembuatan

Produk Massal

62

Penelitian ini hanya akan sampai pada tahap

kelima berdasarkan tahapan-tahapan menurut

Sugiyono (2012: 298-311) yang adalah sebagai berikut:

1) Potensi dan Masalah.

Penelitian berasal dari adanya potensi atau

masalah.

Potensi adalah segala sesuatu yang bila

didayagunakan akan memiliki nilai tambah,

sedangkan masalah adalah penyimpangan antara

yang diharapkan dengan yang terjadi. Potensi dan

masalah yang dikemukakan dalam penelitian harus

ditunjukkan dengan data empirik. Data tentang

potensi dan masalah tidak harus dicari sendiri,

tetapi bisa berdasarkan laporan penelitian orang

lain, atau dokumentasi laporan kegiatan dari

perorangan atau instansi tertentu yang masih up to

date.

2) Pengumpulan Data.

Setelah potensi dan masalah dapat ditunjukan

secara faktual, maka selanjutnya perlu

dikumpulkan berbagai informasi dan studi literatur

yang dapat digunakan sebagai bahan untuk

perencanaan produk tertentu yang diharapkan

dapat mengatasi masalah tersebut. Disini

diperlukan metode penelitian tersendiri. Metode apa

yang akan digunakan untuk penelitian tergantung

63

permasalahan dan ketelitian tujuan yang ingin

dicapai.

3) Desain Produk.

Desain produk harus diwujudkan dalam

gambar atau bagan, sehingga dapat digunakan

sebagai pegangan untuk menilai dan membuatnya.

4) Validasi Desain.

Validasi produk dapat dilakukan dengan cara

menghadirkan beberapa pakar atau tenaga ahli yang

sudah berpengalaman untuk menilai produk baru

yang dirancang tersebut. Setiap pakar diminta

untuk menilai desain tersebut, sehingga selanjutnya

dapat diketahui kelemahan dan kekuatannya.

Validasi desain dapat dilakukan dalam forum

diskusi. Sebelum diskusi peneliti mempresentasikan

proses penelitian sampai ditemukan desain tersebut,

berikut keunggulannya.

5) Perbaikan Desain.

Setelah desain produk, divalidasi melalui

diskusi dengan pakar dan para ahli lainnya, maka

akan dapat diketahui kelemahannya. Kelemahan

tersebut selanjutnya dicoba untuk dikurangi dengan

cara memperbaiki desain. Yang bertugas

memperbaiki desain adalah peneliti yang mau

menghasilkan produk tersebut.

64

6) Uji Coba Produk.

Uji coba produk dilakukan pada kelompok

terbatas yang telah ditentukan.

7) Revisi Produk.

Revisi produk dilakukan apabila dalam

pemakaian pada skala lebih luas terdapat

kekurangan.

8) Uji Coba Pemakaian.

Uji coba pemakaian dilakukan untuk melihat

efektivitas produk jika digunakan dalam ruang

lingkup yang lebih luas lagi.

9) Revisi Produk.

Revisi produk ini dilakukan, apabila dalam

pemakaian kondisi nyata terdapat kekurangan dan

kelemahan.

10) Pembuatan Produk Massal.

Pembuatan produk masal ini dilakukan

apabila produk yang telah diujicobakan dinyatakan

efektif dan layak untuk diproduksi masal.

2.7. Kajian Penelitian Yang Relevan

Penelitian sejenis sudah pernah dilakukan

sebelumnya oleh beberapa peneliti terdahulu. Dalam

karya thesisnya yang berjudul “The Use Of Social Media

Tools By School Principals To Communicate Between

Home And School”, Mazza (2013) telah meneliti tentang

pentingnya peran teknologi khusunya media sosial

65

dalam penggunaanya oleh beberapa kepala sekolah di

Amerika dan bagaimana penggunaan media sosial

berpengaruh terhadap komunikasi antara sekolah dan

para orang tua. Penelitian ini menggunakan teknik

pengumpulan data triangulasi yang meliputi tiga bagian

yaitu menggunakan data sampel untuk memahami

manfaat dan tantangan penggunaan media sosial

untuk membangun kemitraan orang tua dan sekolah.

Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa beberapa

pihak sekolah khususnya kepala sekolah sebagai pihak

yang bertanggung jawab atas penggunaan media sosial

sekolah sudah mencoba menggunakan teknologi

khusunya media sosial sebagai alat komunikasi tidak

hanya satu arah namun dapat digunakan untuk

komunikasi dua arah dalam membangun kemitraan

orang tua dan sekolah. Namun hal ini juga sejalan

dengan media komunikasi tradisional seperti

penyebaran surat sebagai media formal untuk

menginformasikan program sekolah. Hasil diskusi

dalam penelitian ini juga dapat digunakan untuk

mengarahkan kemitraan sekolah dan orang tua melalui

media sosial seiring perkembangan penggunaan media

sosial dikalangan komunitas orang tua.Peneliti juga

menyarankan agar penelitian ini dapat mendukung

penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan

strategi pengimplementasian komunikasi kemitraan

orang tua dan sekolah penggunaan media sosial. Oleh

66

sebab itu peneliti melihat penelitian yang dilakukan

oleh Mazza sebagai bahan pertimbangan dalam menulis

thesis ini.

Penelitian relevan yang kedua adalah penelitian

dari Cox (2012) yang berjudul “School Communications

2.0: A Social Media Strategy for K-12 Principals and

Superintendents”. Penelitian Kualitatif ini hampir sama

dengan penelitian diatas. Penelitian ini merupakan

penelitian beberapa studi kasus di Amerika dan

Kanada.Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan,

menganalisa dan mentafsirkan pengalaman beberapa

kepala sekolah dan pengawas yang menggunakan

beragam alat komunikasi media sosial seperti blog,

microblog, situs jaringan sosial, podcast dan video

online untuk berkomunikasi dengan para pemangku

kepentingan sebagai suatu sistem komunikasi yang

komprehensif. Berikutnya peneliti juga meneliti

mengapa para kepala sekolah dan pengawas telah

memilih media sosial untuk berkomunikasi dengan

pemangku kepentingan lainnya.Penelitian ini dilakukan

menggunakan wawancara semi terstruktur dengan 12

kepala sekolah dan 12 pengawas di keempat wilayah

Amerika dan Kanada yang terpilih. Hasil penelitian ini

dibagi menjadi empat tema besar yaitu pertama, alat

komunikasi media sosial memungkinkan interaksi yang

lebih luas antara adminstrasi sekolah dan para

pemangku kepentingan, kedua alat komunikasi media

67

sosial memberikan hubungan yang lebih kuat kepada

para pemangku kepentingan lokal, rekan kerja sesama

pendidik dan pada dunia yang lebih luas, ketiga

penggunaan media sosial dapat memiliki dampak

signifikan dalam perkembangan keprofesionalan

administrator sekolah, dan yang terakhir penggunaan

media sosial merupakan sebuah harapan atau peluang

yang berarti bukan hanya sekedar sebuah pilihan.

Penelitian ini dapat digunakan untuk referensi

pendidikan yang lebih luas, program kepemimpinan

pendidikan dan untuk definisi media sosial yang lebih

luas. Oleh sebab itu peneliti melihat penelitian yang

dilakukan oleh Mazza sebagai bahan pertimbangan

dalam menulis thesis ini.

Penelitian relevan yang ketiga adalah penelitian

yang berjudul “Model Kolaborasi Guru, Orangtua Dan

Masyarakat Di Satuan Pendidikan Dasar (Studi

Pengembangan Di SD Negeri Inpres 1 Kabupaten Barru

Provinsi Sulawesi Selatan)” oleh Jamalludin (2015).

Penelitian ini berangkat dari isu dan permasalahan

program pendidikan untuk orangtua, dan sebagai

upaya peningkatan kualitas pendidikan serta pelibatan

orangtua secara merata, perlu pemetaan dan kajian

pengembangan program sekolah untuk orangtua

peserta didik. Berdasarkan analisis hasil identifikasi

terkait kebutuhan pengembangan model, rata-rata

responden (satuan pendidikan) sudah ada pelaksanaan

68

kegiatan kemitraan orangtua dan guru dalam berbagai

bentuk, namun dalam pelaksanaannya masih

dibutuhkan berbagai macam bentuk-bentuk kemitraan

yang dapat memperkuat hubungan orangtua, guru dan

masyarakat. Berdasarkan hasil pelaksanaan prosedur

penelitian dan pengembangan “Borg and Gall” yang

disederhanakan melalui 7 langkah pengembangan

“Model Kolaborasi Guru, Orangtua Dan Masyarakat Di

Satuan Pendidikan” melalui uji validitas oleh ahli dan

uji empirik di lapangan, didapatkan hasil bahwa model

ini dinyatakan valid untuk digunakan dan setiap

produk yang dikembangkan memiliki reliabilitas lebih

dari 75%. Kemudian setelah dilaksanakan kolaborasi di

satuan pendidikan selama 3 bulan, didapatkan data

hasil respon guru, orangtua dan masyarakat terhadap

model kolaborasi orangtua, guru dan masyarakat di

satuan pendidikan berada pada kategori positif yaitu

“baik/ setuju”.

Penelitian relevan yang keempat adalah

penelitian dari Tita Rosita yang pada tahun 2009

menulis Pengembangan Model Pola Pengasuhan

Berbasis Keluarga di Panti Asuhan Dalam

Meningkatkan Kreativitas Seni Anak. Studi Deskriptif

tentang pengasuhan di Kinderdorf SOS Desa Taruna

Lembang. Tujuan penelitian ini untuk menemukan

model konseptual pola pengasuhan keluarga yang

dapat meningkatkan kreativitas melalui seni bagi anak

69

terlantar. Pendekatan penelitian ini menggunakan

kualitatif dengan metode penelitian dan pengembangan,

dalam menarik kesimpulan penelitian ini dilakukan

SWOT analisis secara cermat dan akurat. Dilakukan

tiga tahapan terhadap konsep pengasuhan untuk

mendapatkan model pengasuhan. Tahap pertama

merupakan eksploratif dan studi kepustakaan, tahap

kedua dilakukan pengembangan model konseptual

berdasarkan temuan pada tahap pertama, dan pada

tahap ketiga pengembangan secara menyeluruh,

selanjutnya melakukan ujicoba model yang telah

diperbaiki.

Penelitian relevan yang terakhir yaitu penelitian

dari Prastawa, dkk (2010) yang berjudul

“Pengembangan Hutan Pinus Masyarakat Berbasis

Kemitraan”. Penelitian ini memang penelitian dibidang

non-akademik namun penelitian ini merupakan

penelitian pengembangan model dengan SWOT sebagai

salah satu alat bantu dan perangkat proses. Dalam

upaya untuk menyelesaikan masalah pada penelitian

ini, menggunakan pendekatan klaster industry.

Pendekatan ini menggunakan alat bantu dan perangkat

data proses, termasuk analisa internal dan eksternal

komunitas lingkungan hutan pinus, analisa SWOT,

penentuan keputusan menggunakan Analitycal Network

Process (ANP), analisa Competitiveness Diamond, dan

model formulasi strategi berdasar analisa sebelumnya

70

dan analisa pendukung. Dari beberapa perangkat

diharapkan untuk memperoleh formulasi strategi yang

tepat dan pelaksanaan pengembangan potensi hutan

pinus publik di Kabupaten Pekalongan dalam rangka

mendukung peningkatan daya saing Kabupaten

Pekalongan.

Beberapa penelitian relevan diatas memiliki

persamaan dan perbedaan serta keterkaitan dengan

penelitian ini. Penelitian Mazza (2013) dan Cox (2012)

memiliki persamaan yaitu sama-sama meneliti tentang

kemitraan sekolah dan keluarga, khususnya penelitian

Mazza (2013) dan Cox (2012) telah mendeskripsikan

kemitraan melalui media sosial. Rosita (2009) dan

Prastawa (2010) juga memiliki persamaan dalam

penelitian mereka yaitu sama-sama mengembangkan

model kemitraan dengan alat bantuan analisis SWOT.

Namun terdapat perbedaan pula diantara penelitian-

penelitian ini diantaranya penelitian Mazza (2013) dan

Cox (2012) merupakan penelitian kualitatif yang

mendeskripsikan dan menganalisis kemitraan sekolah

dan keluarga sedangkan penelitian Jamalludin (2015)

merupakan penelitian pengembangan yang

mengembangkan model kemitraan. Dalam penelitian

ini, peneliti akan melakukan penelitian tentang

kemitraan sekolah dengan keluarga melalui media

sosial seperti topik penelitian Mazza (2013), Cox (2012)

dan Jamalludin (2015) namun penelitian ini

71

diikhususkan dalam pengembangan model kemitraan

melalui media sosial yang diawali dengan evalusi

formatif untuk menganalisis kebutuhan sekolah.

Penelitian ini juga akan menggunakan analisis SWOT

seperti penelitian Rosita (2009) dan Prastawa (2010)

untuk melihat potensi kekuatan, kelemahan, hambatan

dan peluang dalam pelaksanaan program kemitraan

tersebut.

2.8. Kerangka Berpikir

Gambar 2.4 Kerangka Berpikir Penelitian

Kondisi

potensial sekolah

Pengembangan

Model

Identifikasi

Kebutuhan

Kesenjangan/

permasalahan

Kondisi

sekolah yang diharapkan

dalam

memenuhi

standar

kemitraan

Model Faktual Kemitraan Sekolah

Analisis

SWOT (IFAS,EFAS)

dan MAS

Produk

Pengembangan:

Model Kemitraan melalui Media sosial

Studi Pustaka

Pihak

Orang Tua

dan Masyarakat

Pihak Sekolah

Manajemen Peningkatan Mutu

Berbasis Sekolah (MPMBS) pada

pilar Peran serta Masyarakat

72

Penelitian ini diawali dengan evaluasi formatif

untuk mengetahui kelemahan dan hambatan selama

program dilaksanakan. Melalui evalusi formatif,

pertama peneliti melihat kondisi potensial sekolah dan

kondisi sekolah yang diharapkan dalam memenuhi

standar kemitraan pemerintah melalui wawancara.

Dalam hal ini, peneliti mencari kelemahan dan

hambatan dalam melaksanakan kemitraan sekolah

dengan orang tua. Selama pencarian informasi

tersebut, peneliti juga menambah wawasan mengenai

topik penelitian ini, serta kemudian peneliti

menganalisis kebutuhan dari pihak sekolah dan orang

tua untuk melengkapi data yang menjadi dasar dari

pengembangan suatu model kemitraan melalui

pembagian angket, wawancara dan FGD. Langkah

ketiga, pengolahan data yang dimiliki dengan dianalisis

menggunakan SWOT dan MAS sehingga dihasilkan

saran-saran perbaikan serta pengembangan model

kemitraan yang baru, dalam hal ini dikhususkan pada

penguatan kemitraan sekolah dan orang tua melalui

media sosial. Hasil pengembangan kemitraan sekolah

dengan orang tua yang baru kemudian divalidasi oleh

pakar ahli dan pakar praktisi.

73

2.9. Hipotesis Penelitian

Melalui pengembangan model kemitraan sekolah

dengan orang tua melalui media sosial ini dapat

membantu sekolah untuk meningkatkan layanan mutu

pendidikannya terkhusus pada program kemitraan

sekolah dengan orang tua di sekolah menengah swasta

melalui:

1.Penguatkan jalinan kemitraan antara sekolah,

keluarga, dan masyarakat dalam mendukung

lingkungan belajar yang dapat mengembangkan potensi

anak secara utuh;

2.Peningkatkan keterlibatan orang tua/wali dalam

mendukung keberhasilan pendidikan anak di rumah

dan di sekolah; dan

3.Peningkatkan peran serta masyarakat dalam

mendukung program pendidikan di sekolah dan di

masyarakat.

74

75