BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan...
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Systemic Lupus Erythematosus
2.1.1 Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun bersifat
sistemik yang terkait dengan adanya autoantibodi terhadap komponen inti sel
(Buyon, 2008). Manifestasi SLE dapat beragam melibatkan berbagai organ dan
sistem. Manifestasi organ yang beragam dapat terjadi secara simultan maupun
tidak. Gejalanya yang tidak khas seringkali membuat diagnosis SLE seringkali
terlewatkan dari perhatian klinisi.
2.1.2 Epidemiologi
Hingga saat ini, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.
SLE sebagian besar menyerang wanita dengan insiden puncak pada usia produktif
antara 15 sampai 40 tahun dengan rerata usia 34,3 tahun (Urowitz dkk., 2010).
Dalam proporsi yang lebih kecil SLE dapat pula menyerang usia dibawah 15
tahun maupun diatas 40 tahun. Rasio pria dan wanita adalah 1 : 6 - 10. Pada
distribusi usia pediatrik atau geriatrik rasio pria dan wanita adalah 1: 2. Secara
umum kejadian SLE sebesar 2 per 2000 pasien rawat jalan walaupun prevalensi
ini bervariasi berdasarkan ras dan etnis.
2.1.3 Patogenesis
Etiopatogenesis SLE hingga saat ini belum jelas. Berbagai studi
menunjukkan etiopatogenesis SLE bersifat multifaktorial melibatkan faktor
2
genetik, endokrin dan neuroendokrin, respon imun dan lingkungan. Salah satu
karakteristik SLE adalah terbentuknya autoantibodi yang menargetkan antigen
yang terutama terletak pada inti sel. Antigen sasaran ini dapat berupa molekul
deoxyribonucleic acid (DNA), protein histon maupun nonhiston. Karakteristik
autoantigen ini adalah sifatnya yang tidak tissue-specific dan adalah komponen
integral dari semua jenis sel. Autoantibodi ini secara kolektif disebut sebagai anti
nuclear antibody (ANA). Selain terbentuknya autoantigen dan autoantibodi yang
nantinya akan membentuk kompleks; pada SLE juga terjadi gangguan pada sistem
retikulo endotelial yang bertugas mengeliminasi kompleks antigen-antibodi ini.
Kompleks antigen antibodi dalam sirkulasi kemudian dapat terdeposisi di
berbagai organ dan menginisiasi rangkaian proses inflamasi serta menimbulkan
manifestasi klinis yang organ specific. Saat ini telah dapat dipetakan beberapa
autoantibodi yang terkait dengan manifestasi klinis tertentu pada SLE (Isbagio
dkk., 2008). Beberapa autoantibodi ini dimuat pada Tabel 2.1 di bawah.
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis SLE dibangun berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Hal yang harus diperhatikan klinisi adalah bahwa onset gejala klinis
SLE tidak selalu terjadi secara simultan, sehingga eksplorasi anamnestik terhadap
riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat
penting. Begitu pula perhatian akan gejala dan tanda lain yang mungkin terjadi di
masa datang yang dapat menjadi petunjuk penting penegakan diagnosis SLE.
Kriteria diagnostik SLE berkembang dimulai sejak Kriteria Dubois, kemudian
kriteria pendahuluan dari American Rheumatology Association (ARA) hingga
3
kriteria ARA yg telah direvisi terakhir tahun 1997. Berdasarkan kriteria ARA
tahun 1997, SLE ditegakan bila terdapat paling sedikit 4 kriteria dari 11 kriteria
dalam daftar Tabel 2.2 di bawah. Berdasarkan manifestasi klinis pada tiap organ
kemudian dikembangkan berbagai kriteria diagnostik yang bersifat organ specific.
Tabel 2.1
Jenis autoantibodi pada SLE dan makna klinisnya (Buyon, 2008) Antibodi Frekuensi Makna klinis
Anti Nuclear Antibody 90% Tidak spesifik untuk manifestasi klinis tertentu;
hanya digunakan untuk tujuan diagnosis
Anti-dsDNA 40-60% Terkait manifestasi klinis nefritis; dapat
memprediksi flare atau peningkatan aktivitas
penyakit.
Anti-RNP 30%-40% Terkait manifestasi klinis Raynaud’s,
musculoskeletal; tidak dapat menilai aktivitas
penyakit.
Anti Ribosomal-P 10%-20% Terkait manifestasi klinis gangguan SSP difus,
psikosis, depresi mayor; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti-SSA/ Ro 30%–45% Terkait manifestasi klinis kekeringan konjungtiva
dan mukosa mulut, SCLE, lupus neonatal,
fotosensitivitas; tidak dapat menilai aktivitas
penyakit.
Anti-SSB/ La 10%-15% Terkait manifestasi klinis kekeringan konjungtiva
dan mukosa mulut, SCLE, lupus neonatal,
fotosensitivitas; tidak dapat menilai aktivitas
penyakit.
Antiphospholipid 30% Terkait manifestasi klinis gangguan pembekuan
darah; tidak dapat menilai aktivitas penyakit.
Perjalanan klinis SLE secara garis besar dibagi dalam dua fase yaitu fase
remisi dan fase reaktivasi atau flare. Selama pasien mendapat pengobatan maka
dokter wajib menilai perkembangan aktivitas penyakit dari waktu ke waktu.
Untuk memudahkan dokter dalam menilai aktivitas penyakit maka para ahli
membuat sistem skoring. Sistem skoring akan sangat membantu klinisi dalam
mengkuantifikasi aktivitas penyakit pasien. Sistem skoring ini dapat pula
digunakan untuk menilai apakah pasien yang dalam pengobatan masuk dalam
fase flare atau tidak. Penentuan fase ini sangat penting untuk menentukan jenis
serta dosis obat yang digunakan.
4
Tabel 2.2
Kriteria Diagnostik SLE (ARA tahun 1997) No Kriteria Definisi
1 Ruam Malar Eritema menetap, datar atau meninggi pada area malar,
cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial.
2 Ruam diskoid Eritema meninggi dengan penebalan keratotik dan follicular
plugging, parut atropik dapat terjadi pada lesi yang lama.
3 Fotosensitivitas Ruam kulit sebagai reaksi yang tidak biasa, dinilai berdasarkan
anamnesis atau observasi dokter.
4 Ulkus mulut Ulkus mukosa oral atau nasofaringeal, biasanya tidak nyeri,
berdasarkan observasi dokter.
5 Artritis Artritis non erosif melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai dengan nyeri, bengkak atau efusi sendi.
6 Serositis a. Pleuritis : riwayat yang jelas tentang adanya nyeri
pleuritik atau adanya pleural friction rub berdasarkan
pemeriksaan dokter atau bukti lain adanya efusi pleura,
atau
b. Perikarditis : terdokumentasi oleh elektrokardiogram, atau
adanya friction rub atau bukti lain adanya efusi
pericardium.
7 Kelainan ginjal a. Proteinuria persisten > 500 mg/ hari atau > 3+ pada
pemeriksaan kualitatif, atau
b. Cellular casts : dapat berupa sel darah merah,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8 Kelainan neurologis a. Kejang : setelah disingkirkan kemungkinan adanya
pengaruh obat obatan atau gangguan metabolik lain
seperti uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit, atau
b. Psikosis : setelah disingkirkan kemungkinan adanya
pengaruh obat obatan atau gangguan metabolik lain
seperti uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit.
9 Kelainan hematologis a. Anemia hemolitik : disertai dengan retikulositosis, atau
b. Lekupenia : leukosit < 4000/ mm3 total, atau
c. Limfopenia : limfosit < 1500/ mm3
pada dua atau lebih
pemeriksaan, atau
d. Trombositopenia : trombosit < 100.000/mm3
setelah
disingkirkan kemungkinan adanya pengaruh obat obatan.
10 Kelainan imunologis a. Anti-DNA : antibody terhadap native DNA dalam titer
yang abnormal, atau
b. Anti-SM : antibody terhadap antigen sel otot polos, atau
c. Temuan positif adanya antibody antifosfolipid
berdasarkan (1) kadar serum yang abnormal dari antibodi
antikardiolipin baik IgG maupun IgM, (2) temuan positif
antikoagulan Lupus berdasarkan metode pemriksaan
standar, (3) hasil false positif tes serologis sifilis selama 6
bulan dan dikonfirmasi oleh tes imobilisasi Treponema
pallidum atau tes absorbsi antibody treponema.
11 ANA Kadar ANA yang abnormal berdasarkan imunofluoresen atau
tes lain yang setara pada pemeriksaan sewaktu, setelah
menyingkirkan kemungkinan adanya pengaruh obat-obatan
yang dapat menginduksi sindrom lupus.
5
Beberapa sistem skoring aktivitas penyakit SLE antara lain : SLEDAI,
MEX-SLEDAI, Selena SLEDAI, SLAM, BILAG score. Di antara beberapa
sistem skoring di atas, Perhimpunan Reumatologi Indonesia merekomendasikan
penggunaan MEX-SLEDAI karena lebih mudah untuk diterapkan di hampir
semua fasilitas layanan kesehatan di Indonesia. Sistem skoring MEX-SLEDAI
pada dasarnya menilai aktivitas penyakit SLE berdasarkan gejala klinis sesuai
target organ yang terlibat dan pemeriksaan penunjang sederhana seperti
pemeriksaan darah rutin dan urin rutin.
2.1.5 Tatalaksana
Tatalaksana SLE disesuaikan dengan aktivitas penyakit serta manifestasi
klinis yang muncul. Tatalaksana nonfarmakologis memegang peranan yang cukup
besar. Edukasi mengenai pola hidup sehat dan seimbang serta kepatuhan terhadap
dosis dan jenis obat menjadi sangat penting. Dukungan keluarga serta orang
terdekat juga sangat membantu keberhasilan pengobatan. Tatalaksana
farmakologis serta supportive treatment lain disesuaikan dengan manifestasi
organ yang terlibat serta tingkat keparahannya.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia pada tahun 2011 merekomendasikan
tatalaksana SLE berdasarkan derajat beratnya SLE. Berdasarkan derajat beratnya
penyakit, SLE dibagi menjadi derajat ringan, sedang dan berat. Disebut derajat
ringan bila manifestasi klinis yang terjadi hanya melibatkan organ mukokutaneus
dan sendi. Disebut derajat sedang bila melibatkan ginjal pada tingkat ringan
sampai sedang; gangguan hematologik terutama trombositopenia antara
6
20.000/mm3 – 50.000/mm
3; serta tanda serositis mayor. Disebut derajat berat bila
melibatkan gangguan ginjal berat, trombositopenia yang refrakter, anemia
hemolitik berat, pneumonitis hingga hemoragik pneumonitis, neuropsikiatrik
lupus serta vaskulitis arteri mesenterikum.
Gambar 2.1
Algoritme Penatalaksanaan SLE (Ntali dkk., 2009)
Algoritma ini merekomendasikan penggunaan steroid serta agen
imunosupresan sebagai modalitas dasar terapi dan disesuaikan dengan derajat
beratnya penyakit. Pada SLE derajat berat yang tidak menunjukkan respon yang
baik dengan steroid dan imunosupresan konvensional dapat ditambahkan
targetted therapy seperti rituximab (Ntali dkk., 2009).
Tatalaksana farmakologis lain ditambahkan sesuai komplikasi atau
penyakit penyerta yang ada. Pada infeksi berat traktus respiratorius atau urinarius
7
maka antibiotik empiris yang adekuat sangat penting. Pada lupus nefritis
digunakan agen antihipertensi dan antiproteinuria. Pada dislipidemia sekunder
digunakan agen hipolipidemik. Pada manifestasi kardiovaskuler maka
penggunaan antikoagulan jangka panjang serta statin selain terapi imunosupresan
menjadi sangat penting mencegah morbiditas dan mortalitas akibat
cardiovascular events. Pada beberapa prosedur diagnostik atau terapeutik pada
pasien SLE, risiko infeksi harus menjadi perhatian klinisi. Misalnya pada
prosedur insersi kateter urin atau ekstraksi gigi, beberapa ahli merekomendasikan
diberikannya antibiotik profilaksis.
Sesuai dua fase perjalanan penyakit SLE maka tatalaksana juga dibagi
menjadi dua fase yaitu induksi remisi dan pemeliharaan. Fase induksi remisi
adalah fase pertama dan sangat penting dalam keseluruhan tatalaksana SLE.
Keberhasilan terapi fase induksi remisi akan menentukan mortalitas dan
morbiditas pasien terutama pada SLE derajat berat. Induksi remisi bertujuan untuk
mencapai remisi secepat mungkin atau paling tidak untuk mencegah mortalitas
dan squelae yang berat. Setelah terapi induksi diberikan dokter harus menilai
respon atas terapi. Terapi induksi dapat memberi respon penuh, respon sebagian
atau bahkan gagal. Setelah fase remisi tercapai maka tatalaksana masuk pada fase
pemeliharaan. Pada fase pemeliharaan dokter harus memperhatikan kepatuhan
berobat pasien serta efek samping pengobatan serta tanda dan gejala reaktivasi.
Dalam penilaian reaktivasi, hal terpenting yang harus ditentukan adalah
faktor pemicu (triggering factor) proses reaktivasi. Reaktivasi dapat terjadi secara
primer akibat peningkatan aktivitas penyakit (perburukan respon terhadap terapi)
8
atau secara sekunder akibat faktor luar misalnya yang paling sering infeksi dan
ketidaksinambungan pengobatan. Tatalaksana atas reaktivasi disesuaikan dengan
triggering factor yang mendasari.
2.2 Aterosklerosis
2.2.1 Definisi
Aterosklerosis adalah proses inflamasi patologis dinding arteri terutama
pada tunika intima. Proses peradangan ini adalah proses kompleks yang
melibatkan peran berbagai sel dan mediator inflamasi serta faktor jaringan pada
dinding arteri. Proses kompleks ini dimulai dari disfungsi endotel yang diikuti
invasi monosit dan limfosit T ke lapisan tunika intima, proses ini diikuti
peningkatan produksi sitokin pro inflamasi yang memobilisasi migrasi sel otot
dan menciptakan lesi yang disebut atheromata. Proses aterogenesis yang progresif
ini menyebabkan bentukan plak aterosklerotik yang mengakibatkan oklusi aliran
intravaskuler dan berujung pada iskemik organ target di distal oklusi (Hansson,
2005; Sheane dkk., 2013).
2.2.2 Patogenesis
Aterosklerosis adalah tahap akhir dari proses aterogenesis. Infark miokard,
stroke dan penyakit arteri perifer adalah konsekuensi akhir dari aterosklerosis.
Sebuah penelitian longitudinal di Framingham Amerika Serikat memberi
penjelasan sangat penting tentang faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang
disebut Framingham traditional risk factors (D’Agostino dkk., 2008).
Framingham traditional risk factors ini terdiri dari usia tua, jenis kelamin pria,
9
hipertensi, merokok, dislipidemia dan diabetes mellitus. Aterogenesis kini
dipahami sebagai suatu proses imunologi pada dinding arteri yang melibatkan
berbagai sel dan sitokin inflamasi. Pengertian tentang aterosklerosis sebagai
proses inflamasi adalah perubahan paradigma yang sangat penting karena dahulu
aterosklerosis disebut sebagai proses pasif kelainan dinding arteri akibat deposit
lemak. Hal ini menjelaskan tingginya kejadian aterosklerosis pada penyakit-
penyakit gangguan sistem imun yang tidak memiliki Framingham traditional risk
factors. Salah satu penyakit gangguan sistem imun adalah SLE.
Gambar 2.2
Aterogenesis (Rodrigues dkk., 2007)
Secara sederhana Aterogenesis dimulai dari disfungsi endotel. Disfungsi
endotel melibatkan ekspresi beberapa molekul adesi yang memungkinkan
perlekatan monosit pada endotel. Selanjutnya monosit akan menginfiltrasi tunika
intima dan media vaskuler. Monosit yang memfagosit oxidized LDL akan
berdiferensiasi menjadi foam cell. Proses akan dilanjutkan oleh migrasi dan
proliferasi sel otot polos membentuk plak aterosklerotik. Patogenesis ini
10
menjelaskan bahwa penebalan tunika intima-media dinding vaskuler adalah fase
awal aterosklerosis sebelum terbentuknya plak aterosklerotik. Penebalan tunika
intima-media ini dapat diukur dengan Doppler ultrasonografi.
2.2.2.1 Soluble LOX-1 dan Aterogenesis
Salah satu molekul adesi yang berperan penting dalam aterogenesis adalah
LOX-1. Studi bahkan menjelaskan bahwa LOX-1 berperan dalam hampir setiap
tahap aterogenesis. Gambar 2.3 di bawah menjelaskan bahwa LOX-1 berperan
pada tahap disfungsi endotel, infiltrasi monosit, fagositosis oxLDL oleh makrofag
yang kemudian menjadi foam cell, proliferasi dan migrasi sel otot polos, hingga
ruptur plak aterosklerotik. LOX-1 berperan dalam aktivasi empat komponen
penting aterogenesis yaitu sel endotel, makrofag, sel otot polos dan trombosit.
Penelitian Hofnagel dan kawan kawan tahun 2005 membuktikan peranan
LOX-1 dalam aterosgenesis. Hofnagel dkk. (2006) meneliti dampak pemberian
pravastatin terhadap ekspresi LOX-1 pada tikus coba. Tikus coba yang telah
dibuat menjadi hiperlipidemik diberi pravastatin 50 mg/kg/ hari selama 32
minggu. Pengamatan dilakukan terhadap kelompok perlakuan yang diberikan
pravastatin dan kelompok kontrol tanpa pravastatin. Pemeriksaan
imunohistokimia atas ekspresi LOX-1 pada makrofag intima dan sel otot polos
pada plak aterosklerosis. Pada regio lengkung aorta, pemberian pravastatin
menurunkan ekspresi mRNA LOX-1 sebesar 21% dan menurunkan ekpresi
protein LOX-1 sebesar 27%. Pravastatin juga menurunkan ekspresi protein LOX-
1 pada aorta torakal distal sebesar 47 %. Seiring dengan penurunan ekspresi LOX-
1 protein terjadi pula penurunan IMT pada semua regio yang diperiksa. IMT pada
11
lengkung aorta menurun sebesar 86% dibandingkan kontrol. IMT pada seluruh
aorta menurun sebesar 66% dibandingkan kontrol. Penelitian ini menunjukkan
penurunan LOX-1 seiring dengan perbaikan IMT.
Penelitian oleh Changping Hu dkk. (2008) mendapat hasil serupa.
Penelitian dilakukan tehadap tikus coba dengan diet tinggi cholesterol selama 18
minggu. Tikus coba dibagi menjadi dua kelompok: kelompok kasus adalah tikus
yang telah dilakukan delesi pada gen LOX-1; kelompok kontrol tanpa delesi gen
LOX-1. Pemeriksaan dilakukan terhadap beberapa komponen kolagen pada aorta.
Pada akhir perlakuan didapatkan bahwa delesi LOX-1 menurunkan deposisi
kolagen pada dinding aorta sebesar 50% dengan p < 0,01. Delesi LOX-1 juga
menurunkan eksprsesi osteopontin dan fibronectin pada dinding aorta dengan nilai
p < 0,01. Delesi LOX-1 menurunkan ekspresi dan aktivitas matrix
metalloproteinase pada dinding aorta dengan nilai p < 0,01. Ke dua studi di atas
membuktikan peran LOX-1 dalam patogenesis aterosklerosis.
Beberapa studi tentang aterosklerosis membuktikan korelasi LOX-1
dengan beberapa penyakit metabolik. Faktor faktor yang dapat menginduksi
ekspresi LOX-1 dikelompokkan dalam empat kelompok besar yaitu sitokin
proinflamasi (Mehta dkk., 2006; Xu dkk., 2012); lipoprotein, hypertension-related
stimuli, hyperglycemic stimuli, dan stimuli lain. (Pirillo dkk., 2011; Pirillo dkk.,
2012).
Lectin-like Oxidized Low Density Lipoprotein Receptor-1 adalah molekul
glikoprotein yang berperan dalam oligomerization reseptor dan sebagai komponen
ekstraseluler yang terlibat dalam ikatan ligan berbagai sel. LOX-1 terdiri dari
12
empat komponen atau domain yaitu cytoplasmic N-terminal domain,
transmembrane domain, extracellular neck domain, dan extracellular lectin-like
domain.
Gambar 2.3
Site of Action LOX-1 dalam Tahapan Aterosklerosis (Mehta dkk., 2006)
Gambar 2.4
Peranan LOX-1 dalam Aterosklerosis (Pirillo dkk., 2013)
13
Fragmen LOX-1 yang terlarut dalam plasma disebut sebagai soluble LOX-
1 (sLOX-1). Fragmentasi terjadi pada extracellular neck domain sehingga sLOX-
1 terdiri dari komponen extracellular neck domain dan extracellular lectin-like
domain. Fragmentasi LOX-1 dalam bentuk sLOX-1 dalam plasma terjadi oleh
beberapa sebab terutama aktivitas inflamasi yang meningkat. Tumor necrosis
factor alpha converting enzyme (TACE/ ADAM17) dan sitokin proinflamasi lain
seperti IL-8 disebut berperan dalam fragmentasi ini (Pirillo dkk., 2011; Xu dkk.,
2012; Pirillo dkk., 2013).
Gambar 2.5
Fragmentasi LOX-1 menjadi bentuk sLOX-1 plasma (Pirillo dkk., 2013)
2.2.3 Diagnosis
American Heart Association merekomendasikan penggunaan
ultrasonografi sebagai modalitas pemeriksaan noninvasive untuk menilai dan
mengukur aterosklerosis subklinis. Pemeriksaan dimaksud adalah pengukuran
carotid intima-media thickness (CIMT) dengan menggunakan carotid Doppler
ultrasonography (Belibou, 2012). Diagnosis didasarkan pada dua parameter yaitu
14
ketebalan intima media dan ada tidaknya plak pada pemeriksaan ultrasonografi
Doppler B mode pada arteri karotis. Pengukuran ketebalan tunika intima dapat
dilakukan pada beberapa titik anatomis di arteri karotis. Salah satu metode yang
digunakan dalam banyak studi tentang aterosklerosis adalah pengukuran pada tiga
titik di ke dua sisi arteri karotis. Tiga titik dimaksud adalah pada arteri karotis
komunis (10 mm sebelum bulbus), bulbus (5-10 mm kranial bulbus), dan arteri
karotis interna (10 mm setelah percabangan aliran). Rerata CIMT adalah nilai
rerata CIMT dari ke enam titik yang diukur. CIMT maksimum adalah nilai
terbesar CIMT di antara ke enam titik di atas (Doria dkk., 2008). Pada
pemeriksaan lebih lanjut jumlah dan ukuran plak aterosklerosis karotis juga dapat
diukur (Belibou, 2012). CIMT adalah marker paling sensitif untuk mendiagnosis
stadium awal aterosklerosis dan berkorelasi positif dengan generalized
atherosclerosis termasuk pada arteri koroner (Ikonomidis dkk., 2008; Yassin,
2011).
2.3 Aterosklerosis pada SLE
Telah dijelaskan di atas bahwa aterosklerosis banyak dijumpai pada
populasi pasien dengan gangguan sistem imun. Pada SLE, aterosklerosis terjadi
pada onset usia yang relatif muda. Hal ini mengakibatkan angka morbiditas dan
mortalitas akibat kelainan kardiovaskular menjadi tinggi. Aterosklerosis yang
terjadi dengan onset usia yang sangat muda pada pasien SLE kemudian dikenal
sebagai accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis (Skaggs,
2012). Accelerated atherosclerosis ini rata rata terdiagnosis pada onset usia 34,3
tahun (Urowitz dkk., 2010; Sheane dkk., 2013). Berbagai penelitian kini menaruh
15
perhatian pada tiga hal terkait accelerated atherosclerosis pada SLE yaitu;
perbedaan biologis patogenesis penyakit kardiovaskular pada kelompok SLE dan
non SLE; identifikasi populasi at-risk sebelum terjadinya aterosklerosis; dan
pengembangan modalitas terapi baru dalam mencegah progresivitas aterosklerosis
(Doria dkk., 2008).
Accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis terjadi pada
hampir 50% pasien SLE. Studi studi terdahulu menyebutkan mortalitas akibat
infark miokard 10 kali lebih tinggi pada populasi SLE dibandingkan populasi non
SLE pada jenis kelamin dan usia yang sama. Tingginya risiko penyakit
kardiovaskuler pada SLE pertama kali dikemukakan tahun 1976. Fakta ini
kemudin menjelaskan bimodal patern of SLE mortality.
Bimodal patern ini menjelaskan bahwa morbiditas dan mortalitas terbesar
pasien SLE disebabkan oleh dua factor utama yaitu infeksi dan kelainan
kardiovaskuler. Sejak itu studi tentang accelerated atherosclerosis pada SLE
menjadi makin banyak dikerjakan. Disebutkan bahwa overall risk untuk
terjadinya infark miokard pada pasien SLE sepuluh kali lebih besar dibanding
populasi umum bahkan setelah memperhitungkan faktor risiko tradisional
Framingham. Risiko ini bahkan lebih besar lagi pada wanita kelompok umur 35
sampai 44 tahun. Framingham Offspring Study menjelaskan bahwa wanita usia 35
sampai 44 tahun yang menderita SLE memiliki risiko infark miokard sebesar 50
kali lebih besar dari populasi non SLE (Urowitz dkk., 2010).
Kesimpulan berbagai studi ini menuntun klinisi untuk dapat
mengidentifikasi secara dini kejadian aterosklerosis pada pasien SLE yaitu pada
16
tahap aterosklerosis subklinis. Diharapkan dengan deteksi dini atas kejadian
aterosklerosis subklinis, maka tatalaksana penyakit dapat dikerjakan dengan lebih
komprehensif sehingga morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskular
pada pasien SLE dapat dikurangi.
Studi studi yang meneliti aterosklerosis pada SLE menggunakan
ultrasonografi untuk menegakkan diagnosis aterosklerosis subklinis. Disebutkan
bahwa prevalen plak karotis pada pasien SLE dua kali lebih besar dari control.
Progresivitas plak disebutkan pula sangat cepat (Roman, 2007; Manzi, 2007).
Kerusakan dinding vaskuler yang sangat cepat pada pasien SLE banyak
dipengaruhi juga oleh tidak efektifnya repair mechanism (Wrigt, 2006;
Kahlenberg & Kaplan, 2011).
Pada keadaan normal tubuh manusia memiliki berbagai mekanisme
biologis untuk mencegah terjadinya aterosklerosis. High Density Lipoprotein
(HDL) berperan mencegah oksidasi LDL oleh Reactive Oxygen Species (ROS)
pada tunika intima serta mencegah terbentuknya foam cell yang adalah prekursor
terbentuknya plak aterosklerotik. Endothelial progenitor cell (EPC) dan
circulatory angiogenic cell (CAC) berperan dalam memperbaiki kerusakan pada
endotel. Pada SLE mekanisme protektif ini terganggu. HDL yang berubah
menjadi proinflammatory HDL (piHDL) justru meningkatkan pembentukan
oxidized LDL (oxLDL). Mekanisme perubahan HDL menjadi piHDL sampai saat
ini belum diketahui. oxLDL selanjutnya akan mengaktivasi endothelial cell (EC)
melepaskan sitokin proinflamasi yang menstimulasi adesi monosit pada lapisan
endotel dan bermigrasi ke tunika intima. Monosit berdiferensiasi menjadi foam
17
cell. Tingginya kadar homocystein meningkatkan terbentuknya ROS dan
meningkatkan kerusakan sel endotel. Repair mechanism atas defek endothelial
cell juga tidak terjadi akibat berkurangnya EPC dan CAC. Kerusakan endotel,
gangguan mekanisme repair dan meningkatnya foam cell akibat peningkatan
oxLDL, secara kumulatif meningkatkan progresifitas aterosklerosis pada SLE.
Studi oleh Cacciapaglia dkk. (2009) di Italia melaporkan perbedaan
bermakna IMT pasien SLE dibanding kontrol. Studi dilakukan terhadap 33
pasien SLE dan 33 kontrol yang adalah subjek sehat. Populasi kasus dan kontrol
disesuaikan berdasarkan usia dan faktor risiko tradisional. IMT diukur dengan
Colour Doppler Ultrasonografi pada arteri karotis komunis. Rerata IMT pada
kelompok kasus 0,7 ± 0,2 mm dibanding kontrol 0,5 ± 0,1 mm dengan p < 0,0001.
Studi ini juga melaporkan korelasi bermakna peningkatan IMT dengan durasi
sakit (p = 0,006, r = 0,47), SLICC ACR Damage Index (p = 0,01, r = 0,42),
European Consensus Lupus Activity Measure (ECLAM) (p = 0,0003, r = 0,59),
dan SLEDAI (p= 0,01, r= 0,43).
Smrzova dkk. (2013) melaporkan hasil studi atrosklerosis subklinis pada
pasien SLE. Studi dilakukan terhadap 63 pasien SLE dan kontrol yang telah
disesuaikan variabel jenis kelamin dan usianya. Smrzova mendapat hasil rerata
IMT pasien SLE 0,569 ± 0,11 mm dan rerata IMT kontrol 0,495 ± 0,05 mm
dengan p ≤ 0,03. Smrzova juga melaporkan adanya korelasi positif IMT dengan
durasi sakit (p = 0,008, r = 0,329), usia (p =0,001, r = 0,666) , penggunaan
angiotensin converting enzym inhibitor (p = 0,003), filtrasi glomerulus (p = 0,009)
dan kreatinin serum (p = 0,01, r = 0,32).
18
Studi di Korea oleh Jung dkk. (2014) juga melaporkan kesimpulan yang
konsisten dengan penelitian lainnya tentang aterosklerosis dini pada SLE. Jung
melakukan studi atas 102 pasien SLE perempuan dan 52 kontrol dengan jenis
kelamin dan rerata usia yang sama. Jung mendapatkan rerata IMT pasien SLE
lebih tinggi dibanding konrol yaitu 0,41± 0,08 mm dibanding 0,32± 0,08 mm
dengan p= 0,012.
Penelitian oleh Roldan dkk. (2009) terhadap 47 pasien SLE dan 21 kontrol
mendapatkan hasil serupa. Roldan melaporkan prevalensi hasil IMT abnormal
aorta, plak aterosklerosis dan keduanya lebih tingi pada kelompok kasus sebesar
37%, 23% dan 43% dibanding kontrol 14%, 0% dan 14% dengan nilai p < 0,02.
2.3.1 Soluble LOX-1 pada SLE
Soluble LOX-1 adalah fragmen LOX-1 dalam plasma. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, LOX-1 dapat diinduksi oleh beberapa faktor yang
dikelompokkan menjadi lima kelompok besar. Lima kelompok ini adalah sitokin
proinflamasi, lipoprotein, hypertension related stimuli, hyperglycemic related
stimuli dan stimuli lain.
Berdasarkan tabel 2.3 di bawah, maka SLE akan meningkatkan ekspresi
LOX-1 setidaknya melalui dua mekanisme dasar yaitu tingginya sitokin
proinflamasi serta rangsangan lain yaitu peranan homocystein dan radikal bebas.
Aktivitas penyakit yang bervariasi juga akan memberi variasi kadar LOX-1 dan
tentunya juga sLOX-1.
19
Tabel 2.3
Faktor-faktor yang menginduksi LOX-1 (Pirillo dkk., 2013)
Sitokin pro inflamasi
Tumor necfrosis factor alpha (TNFα)
Interleukin-1 (IL-1)
Interferon gamma (IFNɣ)
C-reactive protein (CRP)
Modified lipoprotein
Ox LDL (copper-oxidized LDL)
15-lipoxygenase-modified LDL
15-lipoxygenase-modified HDL3
Glycoxidized-LDL
Lysophosphatidylcholine (LPC)
Palmitic acid
Hypertension related stimuli
Angiotensin II
Endothelin-1
Fluid shear stress
Hyperglycemic stimuli
High glucose
Advanced glycation end-products (AGEs)
Other Stimuli
Homocysteine
Free radicals
Penelitian oleh Nomata dkk. (2009) membuktikan korelasi signifikan
kadar sLOX-1 dengan beberapa mediator proinflamasi. Nomata meneliti 32 pria
dewasa yang diintervensi dengan weight reduction programme selama 12 minggu
kemudian diukur kadar sLOX-1 dan beberapa parameter profil lemak dan
inflamasi. Nomata dan kawan kawan mendapati bahwa penurunan kadar sLOX-1
serum berkorelasi dengan penurunan high-sensitivity C-reactive protein (hsCRP),
20
leptin dan tumor necrosis factor-alpha (TNFα). Kadar sLOX-1 berkorelasi
dengan hsCRP dengan r = 0,56 dan p = 0,002; berkorelasi dengan kadar leptin
dengan r = 0,47 dan p = 0,01; berkorelasi dengan TNFα dengan r = 0,32 dan p =
0,09. Nomata menyimpulkan bahwa metabolisme lemak, inflamasi dan gangguan
respon imun menginduksi peningkatan kadar sLOX-1. Penelitian Nomata ini
menyimpulkan bahwa tingginya kadar sLOX-1 pada SLE terjadi oleh mekanisme
inflamasi kronis serta peran berbagai sel dan sitokin proinflamasi.