BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan...

20
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus 2.1.1 Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun bersifat sistemik yang terkait dengan adanya autoantibodi terhadap komponen inti sel (Buyon, 2008). Manifestasi SLE dapat beragam melibatkan berbagai organ dan sistem. Manifestasi organ yang beragam dapat terjadi secara simultan maupun tidak. Gejalanya yang tidak khas seringkali membuat diagnosis SLE seringkali terlewatkan dari perhatian klinisi. 2.1.2 Epidemiologi Hingga saat ini, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. SLE sebagian besar menyerang wanita dengan insiden puncak pada usia produktif antara 15 sampai 40 tahun dengan rerata usia 34,3 tahun (Urowitz dkk., 2010). Dalam proporsi yang lebih kecil SLE dapat pula menyerang usia dibawah 15 tahun maupun diatas 40 tahun. Rasio pria dan wanita adalah 1 : 6 - 10. Pada distribusi usia pediatrik atau geriatrik rasio pria dan wanita adalah 1: 2. Secara umum kejadian SLE sebesar 2 per 2000 pasien rawat jalan walaupun prevalensi ini bervariasi berdasarkan ras dan etnis. 2.1.3 Patogenesis Etiopatogenesis SLE hingga saat ini belum jelas. Berbagai studi menunjukkan etiopatogenesis SLE bersifat multifaktorial melibatkan faktor

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Systemic Lupus Erythematosus

2.1.1 Definisi

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun bersifat

sistemik yang terkait dengan adanya autoantibodi terhadap komponen inti sel

(Buyon, 2008). Manifestasi SLE dapat beragam melibatkan berbagai organ dan

sistem. Manifestasi organ yang beragam dapat terjadi secara simultan maupun

tidak. Gejalanya yang tidak khas seringkali membuat diagnosis SLE seringkali

terlewatkan dari perhatian klinisi.

2.1.2 Epidemiologi

Hingga saat ini, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.

SLE sebagian besar menyerang wanita dengan insiden puncak pada usia produktif

antara 15 sampai 40 tahun dengan rerata usia 34,3 tahun (Urowitz dkk., 2010).

Dalam proporsi yang lebih kecil SLE dapat pula menyerang usia dibawah 15

tahun maupun diatas 40 tahun. Rasio pria dan wanita adalah 1 : 6 - 10. Pada

distribusi usia pediatrik atau geriatrik rasio pria dan wanita adalah 1: 2. Secara

umum kejadian SLE sebesar 2 per 2000 pasien rawat jalan walaupun prevalensi

ini bervariasi berdasarkan ras dan etnis.

2.1.3 Patogenesis

Etiopatogenesis SLE hingga saat ini belum jelas. Berbagai studi

menunjukkan etiopatogenesis SLE bersifat multifaktorial melibatkan faktor

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

2

genetik, endokrin dan neuroendokrin, respon imun dan lingkungan. Salah satu

karakteristik SLE adalah terbentuknya autoantibodi yang menargetkan antigen

yang terutama terletak pada inti sel. Antigen sasaran ini dapat berupa molekul

deoxyribonucleic acid (DNA), protein histon maupun nonhiston. Karakteristik

autoantigen ini adalah sifatnya yang tidak tissue-specific dan adalah komponen

integral dari semua jenis sel. Autoantibodi ini secara kolektif disebut sebagai anti

nuclear antibody (ANA). Selain terbentuknya autoantigen dan autoantibodi yang

nantinya akan membentuk kompleks; pada SLE juga terjadi gangguan pada sistem

retikulo endotelial yang bertugas mengeliminasi kompleks antigen-antibodi ini.

Kompleks antigen antibodi dalam sirkulasi kemudian dapat terdeposisi di

berbagai organ dan menginisiasi rangkaian proses inflamasi serta menimbulkan

manifestasi klinis yang organ specific. Saat ini telah dapat dipetakan beberapa

autoantibodi yang terkait dengan manifestasi klinis tertentu pada SLE (Isbagio

dkk., 2008). Beberapa autoantibodi ini dimuat pada Tabel 2.1 di bawah.

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis SLE dibangun berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

penunjang. Hal yang harus diperhatikan klinisi adalah bahwa onset gejala klinis

SLE tidak selalu terjadi secara simultan, sehingga eksplorasi anamnestik terhadap

riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat

penting. Begitu pula perhatian akan gejala dan tanda lain yang mungkin terjadi di

masa datang yang dapat menjadi petunjuk penting penegakan diagnosis SLE.

Kriteria diagnostik SLE berkembang dimulai sejak Kriteria Dubois, kemudian

kriteria pendahuluan dari American Rheumatology Association (ARA) hingga

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

3

kriteria ARA yg telah direvisi terakhir tahun 1997. Berdasarkan kriteria ARA

tahun 1997, SLE ditegakan bila terdapat paling sedikit 4 kriteria dari 11 kriteria

dalam daftar Tabel 2.2 di bawah. Berdasarkan manifestasi klinis pada tiap organ

kemudian dikembangkan berbagai kriteria diagnostik yang bersifat organ specific.

Tabel 2.1

Jenis autoantibodi pada SLE dan makna klinisnya (Buyon, 2008) Antibodi Frekuensi Makna klinis

Anti Nuclear Antibody 90% Tidak spesifik untuk manifestasi klinis tertentu;

hanya digunakan untuk tujuan diagnosis

Anti-dsDNA 40-60% Terkait manifestasi klinis nefritis; dapat

memprediksi flare atau peningkatan aktivitas

penyakit.

Anti-RNP 30%-40% Terkait manifestasi klinis Raynaud’s,

musculoskeletal; tidak dapat menilai aktivitas

penyakit.

Anti Ribosomal-P 10%-20% Terkait manifestasi klinis gangguan SSP difus,

psikosis, depresi mayor; tidak dapat menilai

aktivitas penyakit.

Anti-SSA/ Ro 30%–45% Terkait manifestasi klinis kekeringan konjungtiva

dan mukosa mulut, SCLE, lupus neonatal,

fotosensitivitas; tidak dapat menilai aktivitas

penyakit.

Anti-SSB/ La 10%-15% Terkait manifestasi klinis kekeringan konjungtiva

dan mukosa mulut, SCLE, lupus neonatal,

fotosensitivitas; tidak dapat menilai aktivitas

penyakit.

Antiphospholipid 30% Terkait manifestasi klinis gangguan pembekuan

darah; tidak dapat menilai aktivitas penyakit.

Perjalanan klinis SLE secara garis besar dibagi dalam dua fase yaitu fase

remisi dan fase reaktivasi atau flare. Selama pasien mendapat pengobatan maka

dokter wajib menilai perkembangan aktivitas penyakit dari waktu ke waktu.

Untuk memudahkan dokter dalam menilai aktivitas penyakit maka para ahli

membuat sistem skoring. Sistem skoring akan sangat membantu klinisi dalam

mengkuantifikasi aktivitas penyakit pasien. Sistem skoring ini dapat pula

digunakan untuk menilai apakah pasien yang dalam pengobatan masuk dalam

fase flare atau tidak. Penentuan fase ini sangat penting untuk menentukan jenis

serta dosis obat yang digunakan.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

4

Tabel 2.2

Kriteria Diagnostik SLE (ARA tahun 1997) No Kriteria Definisi

1 Ruam Malar Eritema menetap, datar atau meninggi pada area malar,

cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial.

2 Ruam diskoid Eritema meninggi dengan penebalan keratotik dan follicular

plugging, parut atropik dapat terjadi pada lesi yang lama.

3 Fotosensitivitas Ruam kulit sebagai reaksi yang tidak biasa, dinilai berdasarkan

anamnesis atau observasi dokter.

4 Ulkus mulut Ulkus mukosa oral atau nasofaringeal, biasanya tidak nyeri,

berdasarkan observasi dokter.

5 Artritis Artritis non erosif melibatkan dua atau lebih sendi perifer,

ditandai dengan nyeri, bengkak atau efusi sendi.

6 Serositis a. Pleuritis : riwayat yang jelas tentang adanya nyeri

pleuritik atau adanya pleural friction rub berdasarkan

pemeriksaan dokter atau bukti lain adanya efusi pleura,

atau

b. Perikarditis : terdokumentasi oleh elektrokardiogram, atau

adanya friction rub atau bukti lain adanya efusi

pericardium.

7 Kelainan ginjal a. Proteinuria persisten > 500 mg/ hari atau > 3+ pada

pemeriksaan kualitatif, atau

b. Cellular casts : dapat berupa sel darah merah,

hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

8 Kelainan neurologis a. Kejang : setelah disingkirkan kemungkinan adanya

pengaruh obat obatan atau gangguan metabolik lain

seperti uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan

elektrolit, atau

b. Psikosis : setelah disingkirkan kemungkinan adanya

pengaruh obat obatan atau gangguan metabolik lain

seperti uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan

elektrolit.

9 Kelainan hematologis a. Anemia hemolitik : disertai dengan retikulositosis, atau

b. Lekupenia : leukosit < 4000/ mm3 total, atau

c. Limfopenia : limfosit < 1500/ mm3

pada dua atau lebih

pemeriksaan, atau

d. Trombositopenia : trombosit < 100.000/mm3

setelah

disingkirkan kemungkinan adanya pengaruh obat obatan.

10 Kelainan imunologis a. Anti-DNA : antibody terhadap native DNA dalam titer

yang abnormal, atau

b. Anti-SM : antibody terhadap antigen sel otot polos, atau

c. Temuan positif adanya antibody antifosfolipid

berdasarkan (1) kadar serum yang abnormal dari antibodi

antikardiolipin baik IgG maupun IgM, (2) temuan positif

antikoagulan Lupus berdasarkan metode pemriksaan

standar, (3) hasil false positif tes serologis sifilis selama 6

bulan dan dikonfirmasi oleh tes imobilisasi Treponema

pallidum atau tes absorbsi antibody treponema.

11 ANA Kadar ANA yang abnormal berdasarkan imunofluoresen atau

tes lain yang setara pada pemeriksaan sewaktu, setelah

menyingkirkan kemungkinan adanya pengaruh obat-obatan

yang dapat menginduksi sindrom lupus.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

5

Beberapa sistem skoring aktivitas penyakit SLE antara lain : SLEDAI,

MEX-SLEDAI, Selena SLEDAI, SLAM, BILAG score. Di antara beberapa

sistem skoring di atas, Perhimpunan Reumatologi Indonesia merekomendasikan

penggunaan MEX-SLEDAI karena lebih mudah untuk diterapkan di hampir

semua fasilitas layanan kesehatan di Indonesia. Sistem skoring MEX-SLEDAI

pada dasarnya menilai aktivitas penyakit SLE berdasarkan gejala klinis sesuai

target organ yang terlibat dan pemeriksaan penunjang sederhana seperti

pemeriksaan darah rutin dan urin rutin.

2.1.5 Tatalaksana

Tatalaksana SLE disesuaikan dengan aktivitas penyakit serta manifestasi

klinis yang muncul. Tatalaksana nonfarmakologis memegang peranan yang cukup

besar. Edukasi mengenai pola hidup sehat dan seimbang serta kepatuhan terhadap

dosis dan jenis obat menjadi sangat penting. Dukungan keluarga serta orang

terdekat juga sangat membantu keberhasilan pengobatan. Tatalaksana

farmakologis serta supportive treatment lain disesuaikan dengan manifestasi

organ yang terlibat serta tingkat keparahannya.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia pada tahun 2011 merekomendasikan

tatalaksana SLE berdasarkan derajat beratnya SLE. Berdasarkan derajat beratnya

penyakit, SLE dibagi menjadi derajat ringan, sedang dan berat. Disebut derajat

ringan bila manifestasi klinis yang terjadi hanya melibatkan organ mukokutaneus

dan sendi. Disebut derajat sedang bila melibatkan ginjal pada tingkat ringan

sampai sedang; gangguan hematologik terutama trombositopenia antara

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

6

20.000/mm3 – 50.000/mm

3; serta tanda serositis mayor. Disebut derajat berat bila

melibatkan gangguan ginjal berat, trombositopenia yang refrakter, anemia

hemolitik berat, pneumonitis hingga hemoragik pneumonitis, neuropsikiatrik

lupus serta vaskulitis arteri mesenterikum.

Gambar 2.1

Algoritme Penatalaksanaan SLE (Ntali dkk., 2009)

Algoritma ini merekomendasikan penggunaan steroid serta agen

imunosupresan sebagai modalitas dasar terapi dan disesuaikan dengan derajat

beratnya penyakit. Pada SLE derajat berat yang tidak menunjukkan respon yang

baik dengan steroid dan imunosupresan konvensional dapat ditambahkan

targetted therapy seperti rituximab (Ntali dkk., 2009).

Tatalaksana farmakologis lain ditambahkan sesuai komplikasi atau

penyakit penyerta yang ada. Pada infeksi berat traktus respiratorius atau urinarius

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

7

maka antibiotik empiris yang adekuat sangat penting. Pada lupus nefritis

digunakan agen antihipertensi dan antiproteinuria. Pada dislipidemia sekunder

digunakan agen hipolipidemik. Pada manifestasi kardiovaskuler maka

penggunaan antikoagulan jangka panjang serta statin selain terapi imunosupresan

menjadi sangat penting mencegah morbiditas dan mortalitas akibat

cardiovascular events. Pada beberapa prosedur diagnostik atau terapeutik pada

pasien SLE, risiko infeksi harus menjadi perhatian klinisi. Misalnya pada

prosedur insersi kateter urin atau ekstraksi gigi, beberapa ahli merekomendasikan

diberikannya antibiotik profilaksis.

Sesuai dua fase perjalanan penyakit SLE maka tatalaksana juga dibagi

menjadi dua fase yaitu induksi remisi dan pemeliharaan. Fase induksi remisi

adalah fase pertama dan sangat penting dalam keseluruhan tatalaksana SLE.

Keberhasilan terapi fase induksi remisi akan menentukan mortalitas dan

morbiditas pasien terutama pada SLE derajat berat. Induksi remisi bertujuan untuk

mencapai remisi secepat mungkin atau paling tidak untuk mencegah mortalitas

dan squelae yang berat. Setelah terapi induksi diberikan dokter harus menilai

respon atas terapi. Terapi induksi dapat memberi respon penuh, respon sebagian

atau bahkan gagal. Setelah fase remisi tercapai maka tatalaksana masuk pada fase

pemeliharaan. Pada fase pemeliharaan dokter harus memperhatikan kepatuhan

berobat pasien serta efek samping pengobatan serta tanda dan gejala reaktivasi.

Dalam penilaian reaktivasi, hal terpenting yang harus ditentukan adalah

faktor pemicu (triggering factor) proses reaktivasi. Reaktivasi dapat terjadi secara

primer akibat peningkatan aktivitas penyakit (perburukan respon terhadap terapi)

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

8

atau secara sekunder akibat faktor luar misalnya yang paling sering infeksi dan

ketidaksinambungan pengobatan. Tatalaksana atas reaktivasi disesuaikan dengan

triggering factor yang mendasari.

2.2 Aterosklerosis

2.2.1 Definisi

Aterosklerosis adalah proses inflamasi patologis dinding arteri terutama

pada tunika intima. Proses peradangan ini adalah proses kompleks yang

melibatkan peran berbagai sel dan mediator inflamasi serta faktor jaringan pada

dinding arteri. Proses kompleks ini dimulai dari disfungsi endotel yang diikuti

invasi monosit dan limfosit T ke lapisan tunika intima, proses ini diikuti

peningkatan produksi sitokin pro inflamasi yang memobilisasi migrasi sel otot

dan menciptakan lesi yang disebut atheromata. Proses aterogenesis yang progresif

ini menyebabkan bentukan plak aterosklerotik yang mengakibatkan oklusi aliran

intravaskuler dan berujung pada iskemik organ target di distal oklusi (Hansson,

2005; Sheane dkk., 2013).

2.2.2 Patogenesis

Aterosklerosis adalah tahap akhir dari proses aterogenesis. Infark miokard,

stroke dan penyakit arteri perifer adalah konsekuensi akhir dari aterosklerosis.

Sebuah penelitian longitudinal di Framingham Amerika Serikat memberi

penjelasan sangat penting tentang faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang

disebut Framingham traditional risk factors (D’Agostino dkk., 2008).

Framingham traditional risk factors ini terdiri dari usia tua, jenis kelamin pria,

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

9

hipertensi, merokok, dislipidemia dan diabetes mellitus. Aterogenesis kini

dipahami sebagai suatu proses imunologi pada dinding arteri yang melibatkan

berbagai sel dan sitokin inflamasi. Pengertian tentang aterosklerosis sebagai

proses inflamasi adalah perubahan paradigma yang sangat penting karena dahulu

aterosklerosis disebut sebagai proses pasif kelainan dinding arteri akibat deposit

lemak. Hal ini menjelaskan tingginya kejadian aterosklerosis pada penyakit-

penyakit gangguan sistem imun yang tidak memiliki Framingham traditional risk

factors. Salah satu penyakit gangguan sistem imun adalah SLE.

Gambar 2.2

Aterogenesis (Rodrigues dkk., 2007)

Secara sederhana Aterogenesis dimulai dari disfungsi endotel. Disfungsi

endotel melibatkan ekspresi beberapa molekul adesi yang memungkinkan

perlekatan monosit pada endotel. Selanjutnya monosit akan menginfiltrasi tunika

intima dan media vaskuler. Monosit yang memfagosit oxidized LDL akan

berdiferensiasi menjadi foam cell. Proses akan dilanjutkan oleh migrasi dan

proliferasi sel otot polos membentuk plak aterosklerotik. Patogenesis ini

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

10

menjelaskan bahwa penebalan tunika intima-media dinding vaskuler adalah fase

awal aterosklerosis sebelum terbentuknya plak aterosklerotik. Penebalan tunika

intima-media ini dapat diukur dengan Doppler ultrasonografi.

2.2.2.1 Soluble LOX-1 dan Aterogenesis

Salah satu molekul adesi yang berperan penting dalam aterogenesis adalah

LOX-1. Studi bahkan menjelaskan bahwa LOX-1 berperan dalam hampir setiap

tahap aterogenesis. Gambar 2.3 di bawah menjelaskan bahwa LOX-1 berperan

pada tahap disfungsi endotel, infiltrasi monosit, fagositosis oxLDL oleh makrofag

yang kemudian menjadi foam cell, proliferasi dan migrasi sel otot polos, hingga

ruptur plak aterosklerotik. LOX-1 berperan dalam aktivasi empat komponen

penting aterogenesis yaitu sel endotel, makrofag, sel otot polos dan trombosit.

Penelitian Hofnagel dan kawan kawan tahun 2005 membuktikan peranan

LOX-1 dalam aterosgenesis. Hofnagel dkk. (2006) meneliti dampak pemberian

pravastatin terhadap ekspresi LOX-1 pada tikus coba. Tikus coba yang telah

dibuat menjadi hiperlipidemik diberi pravastatin 50 mg/kg/ hari selama 32

minggu. Pengamatan dilakukan terhadap kelompok perlakuan yang diberikan

pravastatin dan kelompok kontrol tanpa pravastatin. Pemeriksaan

imunohistokimia atas ekspresi LOX-1 pada makrofag intima dan sel otot polos

pada plak aterosklerosis. Pada regio lengkung aorta, pemberian pravastatin

menurunkan ekspresi mRNA LOX-1 sebesar 21% dan menurunkan ekpresi

protein LOX-1 sebesar 27%. Pravastatin juga menurunkan ekspresi protein LOX-

1 pada aorta torakal distal sebesar 47 %. Seiring dengan penurunan ekspresi LOX-

1 protein terjadi pula penurunan IMT pada semua regio yang diperiksa. IMT pada

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

11

lengkung aorta menurun sebesar 86% dibandingkan kontrol. IMT pada seluruh

aorta menurun sebesar 66% dibandingkan kontrol. Penelitian ini menunjukkan

penurunan LOX-1 seiring dengan perbaikan IMT.

Penelitian oleh Changping Hu dkk. (2008) mendapat hasil serupa.

Penelitian dilakukan tehadap tikus coba dengan diet tinggi cholesterol selama 18

minggu. Tikus coba dibagi menjadi dua kelompok: kelompok kasus adalah tikus

yang telah dilakukan delesi pada gen LOX-1; kelompok kontrol tanpa delesi gen

LOX-1. Pemeriksaan dilakukan terhadap beberapa komponen kolagen pada aorta.

Pada akhir perlakuan didapatkan bahwa delesi LOX-1 menurunkan deposisi

kolagen pada dinding aorta sebesar 50% dengan p < 0,01. Delesi LOX-1 juga

menurunkan eksprsesi osteopontin dan fibronectin pada dinding aorta dengan nilai

p < 0,01. Delesi LOX-1 menurunkan ekspresi dan aktivitas matrix

metalloproteinase pada dinding aorta dengan nilai p < 0,01. Ke dua studi di atas

membuktikan peran LOX-1 dalam patogenesis aterosklerosis.

Beberapa studi tentang aterosklerosis membuktikan korelasi LOX-1

dengan beberapa penyakit metabolik. Faktor faktor yang dapat menginduksi

ekspresi LOX-1 dikelompokkan dalam empat kelompok besar yaitu sitokin

proinflamasi (Mehta dkk., 2006; Xu dkk., 2012); lipoprotein, hypertension-related

stimuli, hyperglycemic stimuli, dan stimuli lain. (Pirillo dkk., 2011; Pirillo dkk.,

2012).

Lectin-like Oxidized Low Density Lipoprotein Receptor-1 adalah molekul

glikoprotein yang berperan dalam oligomerization reseptor dan sebagai komponen

ekstraseluler yang terlibat dalam ikatan ligan berbagai sel. LOX-1 terdiri dari

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

12

empat komponen atau domain yaitu cytoplasmic N-terminal domain,

transmembrane domain, extracellular neck domain, dan extracellular lectin-like

domain.

Gambar 2.3

Site of Action LOX-1 dalam Tahapan Aterosklerosis (Mehta dkk., 2006)

Gambar 2.4

Peranan LOX-1 dalam Aterosklerosis (Pirillo dkk., 2013)

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

13

Fragmen LOX-1 yang terlarut dalam plasma disebut sebagai soluble LOX-

1 (sLOX-1). Fragmentasi terjadi pada extracellular neck domain sehingga sLOX-

1 terdiri dari komponen extracellular neck domain dan extracellular lectin-like

domain. Fragmentasi LOX-1 dalam bentuk sLOX-1 dalam plasma terjadi oleh

beberapa sebab terutama aktivitas inflamasi yang meningkat. Tumor necrosis

factor alpha converting enzyme (TACE/ ADAM17) dan sitokin proinflamasi lain

seperti IL-8 disebut berperan dalam fragmentasi ini (Pirillo dkk., 2011; Xu dkk.,

2012; Pirillo dkk., 2013).

Gambar 2.5

Fragmentasi LOX-1 menjadi bentuk sLOX-1 plasma (Pirillo dkk., 2013)

2.2.3 Diagnosis

American Heart Association merekomendasikan penggunaan

ultrasonografi sebagai modalitas pemeriksaan noninvasive untuk menilai dan

mengukur aterosklerosis subklinis. Pemeriksaan dimaksud adalah pengukuran

carotid intima-media thickness (CIMT) dengan menggunakan carotid Doppler

ultrasonography (Belibou, 2012). Diagnosis didasarkan pada dua parameter yaitu

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

14

ketebalan intima media dan ada tidaknya plak pada pemeriksaan ultrasonografi

Doppler B mode pada arteri karotis. Pengukuran ketebalan tunika intima dapat

dilakukan pada beberapa titik anatomis di arteri karotis. Salah satu metode yang

digunakan dalam banyak studi tentang aterosklerosis adalah pengukuran pada tiga

titik di ke dua sisi arteri karotis. Tiga titik dimaksud adalah pada arteri karotis

komunis (10 mm sebelum bulbus), bulbus (5-10 mm kranial bulbus), dan arteri

karotis interna (10 mm setelah percabangan aliran). Rerata CIMT adalah nilai

rerata CIMT dari ke enam titik yang diukur. CIMT maksimum adalah nilai

terbesar CIMT di antara ke enam titik di atas (Doria dkk., 2008). Pada

pemeriksaan lebih lanjut jumlah dan ukuran plak aterosklerosis karotis juga dapat

diukur (Belibou, 2012). CIMT adalah marker paling sensitif untuk mendiagnosis

stadium awal aterosklerosis dan berkorelasi positif dengan generalized

atherosclerosis termasuk pada arteri koroner (Ikonomidis dkk., 2008; Yassin,

2011).

2.3 Aterosklerosis pada SLE

Telah dijelaskan di atas bahwa aterosklerosis banyak dijumpai pada

populasi pasien dengan gangguan sistem imun. Pada SLE, aterosklerosis terjadi

pada onset usia yang relatif muda. Hal ini mengakibatkan angka morbiditas dan

mortalitas akibat kelainan kardiovaskular menjadi tinggi. Aterosklerosis yang

terjadi dengan onset usia yang sangat muda pada pasien SLE kemudian dikenal

sebagai accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis (Skaggs,

2012). Accelerated atherosclerosis ini rata rata terdiagnosis pada onset usia 34,3

tahun (Urowitz dkk., 2010; Sheane dkk., 2013). Berbagai penelitian kini menaruh

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

15

perhatian pada tiga hal terkait accelerated atherosclerosis pada SLE yaitu;

perbedaan biologis patogenesis penyakit kardiovaskular pada kelompok SLE dan

non SLE; identifikasi populasi at-risk sebelum terjadinya aterosklerosis; dan

pengembangan modalitas terapi baru dalam mencegah progresivitas aterosklerosis

(Doria dkk., 2008).

Accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis terjadi pada

hampir 50% pasien SLE. Studi studi terdahulu menyebutkan mortalitas akibat

infark miokard 10 kali lebih tinggi pada populasi SLE dibandingkan populasi non

SLE pada jenis kelamin dan usia yang sama. Tingginya risiko penyakit

kardiovaskuler pada SLE pertama kali dikemukakan tahun 1976. Fakta ini

kemudin menjelaskan bimodal patern of SLE mortality.

Bimodal patern ini menjelaskan bahwa morbiditas dan mortalitas terbesar

pasien SLE disebabkan oleh dua factor utama yaitu infeksi dan kelainan

kardiovaskuler. Sejak itu studi tentang accelerated atherosclerosis pada SLE

menjadi makin banyak dikerjakan. Disebutkan bahwa overall risk untuk

terjadinya infark miokard pada pasien SLE sepuluh kali lebih besar dibanding

populasi umum bahkan setelah memperhitungkan faktor risiko tradisional

Framingham. Risiko ini bahkan lebih besar lagi pada wanita kelompok umur 35

sampai 44 tahun. Framingham Offspring Study menjelaskan bahwa wanita usia 35

sampai 44 tahun yang menderita SLE memiliki risiko infark miokard sebesar 50

kali lebih besar dari populasi non SLE (Urowitz dkk., 2010).

Kesimpulan berbagai studi ini menuntun klinisi untuk dapat

mengidentifikasi secara dini kejadian aterosklerosis pada pasien SLE yaitu pada

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

16

tahap aterosklerosis subklinis. Diharapkan dengan deteksi dini atas kejadian

aterosklerosis subklinis, maka tatalaksana penyakit dapat dikerjakan dengan lebih

komprehensif sehingga morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskular

pada pasien SLE dapat dikurangi.

Studi studi yang meneliti aterosklerosis pada SLE menggunakan

ultrasonografi untuk menegakkan diagnosis aterosklerosis subklinis. Disebutkan

bahwa prevalen plak karotis pada pasien SLE dua kali lebih besar dari control.

Progresivitas plak disebutkan pula sangat cepat (Roman, 2007; Manzi, 2007).

Kerusakan dinding vaskuler yang sangat cepat pada pasien SLE banyak

dipengaruhi juga oleh tidak efektifnya repair mechanism (Wrigt, 2006;

Kahlenberg & Kaplan, 2011).

Pada keadaan normal tubuh manusia memiliki berbagai mekanisme

biologis untuk mencegah terjadinya aterosklerosis. High Density Lipoprotein

(HDL) berperan mencegah oksidasi LDL oleh Reactive Oxygen Species (ROS)

pada tunika intima serta mencegah terbentuknya foam cell yang adalah prekursor

terbentuknya plak aterosklerotik. Endothelial progenitor cell (EPC) dan

circulatory angiogenic cell (CAC) berperan dalam memperbaiki kerusakan pada

endotel. Pada SLE mekanisme protektif ini terganggu. HDL yang berubah

menjadi proinflammatory HDL (piHDL) justru meningkatkan pembentukan

oxidized LDL (oxLDL). Mekanisme perubahan HDL menjadi piHDL sampai saat

ini belum diketahui. oxLDL selanjutnya akan mengaktivasi endothelial cell (EC)

melepaskan sitokin proinflamasi yang menstimulasi adesi monosit pada lapisan

endotel dan bermigrasi ke tunika intima. Monosit berdiferensiasi menjadi foam

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

17

cell. Tingginya kadar homocystein meningkatkan terbentuknya ROS dan

meningkatkan kerusakan sel endotel. Repair mechanism atas defek endothelial

cell juga tidak terjadi akibat berkurangnya EPC dan CAC. Kerusakan endotel,

gangguan mekanisme repair dan meningkatnya foam cell akibat peningkatan

oxLDL, secara kumulatif meningkatkan progresifitas aterosklerosis pada SLE.

Studi oleh Cacciapaglia dkk. (2009) di Italia melaporkan perbedaan

bermakna IMT pasien SLE dibanding kontrol. Studi dilakukan terhadap 33

pasien SLE dan 33 kontrol yang adalah subjek sehat. Populasi kasus dan kontrol

disesuaikan berdasarkan usia dan faktor risiko tradisional. IMT diukur dengan

Colour Doppler Ultrasonografi pada arteri karotis komunis. Rerata IMT pada

kelompok kasus 0,7 ± 0,2 mm dibanding kontrol 0,5 ± 0,1 mm dengan p < 0,0001.

Studi ini juga melaporkan korelasi bermakna peningkatan IMT dengan durasi

sakit (p = 0,006, r = 0,47), SLICC ACR Damage Index (p = 0,01, r = 0,42),

European Consensus Lupus Activity Measure (ECLAM) (p = 0,0003, r = 0,59),

dan SLEDAI (p= 0,01, r= 0,43).

Smrzova dkk. (2013) melaporkan hasil studi atrosklerosis subklinis pada

pasien SLE. Studi dilakukan terhadap 63 pasien SLE dan kontrol yang telah

disesuaikan variabel jenis kelamin dan usianya. Smrzova mendapat hasil rerata

IMT pasien SLE 0,569 ± 0,11 mm dan rerata IMT kontrol 0,495 ± 0,05 mm

dengan p ≤ 0,03. Smrzova juga melaporkan adanya korelasi positif IMT dengan

durasi sakit (p = 0,008, r = 0,329), usia (p =0,001, r = 0,666) , penggunaan

angiotensin converting enzym inhibitor (p = 0,003), filtrasi glomerulus (p = 0,009)

dan kreatinin serum (p = 0,01, r = 0,32).

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

18

Studi di Korea oleh Jung dkk. (2014) juga melaporkan kesimpulan yang

konsisten dengan penelitian lainnya tentang aterosklerosis dini pada SLE. Jung

melakukan studi atas 102 pasien SLE perempuan dan 52 kontrol dengan jenis

kelamin dan rerata usia yang sama. Jung mendapatkan rerata IMT pasien SLE

lebih tinggi dibanding konrol yaitu 0,41± 0,08 mm dibanding 0,32± 0,08 mm

dengan p= 0,012.

Penelitian oleh Roldan dkk. (2009) terhadap 47 pasien SLE dan 21 kontrol

mendapatkan hasil serupa. Roldan melaporkan prevalensi hasil IMT abnormal

aorta, plak aterosklerosis dan keduanya lebih tingi pada kelompok kasus sebesar

37%, 23% dan 43% dibanding kontrol 14%, 0% dan 14% dengan nilai p < 0,02.

2.3.1 Soluble LOX-1 pada SLE

Soluble LOX-1 adalah fragmen LOX-1 dalam plasma. Seperti telah

dijelaskan sebelumnya, LOX-1 dapat diinduksi oleh beberapa faktor yang

dikelompokkan menjadi lima kelompok besar. Lima kelompok ini adalah sitokin

proinflamasi, lipoprotein, hypertension related stimuli, hyperglycemic related

stimuli dan stimuli lain.

Berdasarkan tabel 2.3 di bawah, maka SLE akan meningkatkan ekspresi

LOX-1 setidaknya melalui dua mekanisme dasar yaitu tingginya sitokin

proinflamasi serta rangsangan lain yaitu peranan homocystein dan radikal bebas.

Aktivitas penyakit yang bervariasi juga akan memberi variasi kadar LOX-1 dan

tentunya juga sLOX-1.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

19

Tabel 2.3

Faktor-faktor yang menginduksi LOX-1 (Pirillo dkk., 2013)

Sitokin pro inflamasi

Tumor necfrosis factor alpha (TNFα)

Interleukin-1 (IL-1)

Interferon gamma (IFNɣ)

C-reactive protein (CRP)

Modified lipoprotein

Ox LDL (copper-oxidized LDL)

15-lipoxygenase-modified LDL

15-lipoxygenase-modified HDL3

Glycoxidized-LDL

Lysophosphatidylcholine (LPC)

Palmitic acid

Hypertension related stimuli

Angiotensin II

Endothelin-1

Fluid shear stress

Hyperglycemic stimuli

High glucose

Advanced glycation end-products (AGEs)

Other Stimuli

Homocysteine

Free radicals

Penelitian oleh Nomata dkk. (2009) membuktikan korelasi signifikan

kadar sLOX-1 dengan beberapa mediator proinflamasi. Nomata meneliti 32 pria

dewasa yang diintervensi dengan weight reduction programme selama 12 minggu

kemudian diukur kadar sLOX-1 dan beberapa parameter profil lemak dan

inflamasi. Nomata dan kawan kawan mendapati bahwa penurunan kadar sLOX-1

serum berkorelasi dengan penurunan high-sensitivity C-reactive protein (hsCRP),

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Systemic Lupus Erythematosus II.pdf · 2016-03-30 · riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat ... adalah tahap akhir

20

leptin dan tumor necrosis factor-alpha (TNFα). Kadar sLOX-1 berkorelasi

dengan hsCRP dengan r = 0,56 dan p = 0,002; berkorelasi dengan kadar leptin

dengan r = 0,47 dan p = 0,01; berkorelasi dengan TNFα dengan r = 0,32 dan p =

0,09. Nomata menyimpulkan bahwa metabolisme lemak, inflamasi dan gangguan

respon imun menginduksi peningkatan kadar sLOX-1. Penelitian Nomata ini

menyimpulkan bahwa tingginya kadar sLOX-1 pada SLE terjadi oleh mekanisme

inflamasi kronis serta peran berbagai sel dan sitokin proinflamasi.