Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

36
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau system dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibody dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. 1 Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetic dan factor lingkungan. Factor genetic diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadic tanpa identifikasi factor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab. 1 Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban antigenic, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan

description

makalah SLE patogenesis, fisiologi, gejala klinis Ramos - fk usu

Transcript of Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

11

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangLupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau system dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibody dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.1Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetic dan factor lingkungan. Factor genetic diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadic tanpa identifikasi factor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab.1Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban antigenic, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibody patogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternal/ lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi system imun. 1Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE, selama 5 tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat, antara tahun 1988-1990 insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. 1

1.2. Tujuan MakalahAdapun makalah ini dibuat untuk mendalami dan mendalami tentang penyakit Sistemik Lupus Eritematosus dan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik bagian departemen ilmu penyakit dalam di RSU Pirngadi Medan.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DefenisiLupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. 22.2. EtiologiSampai saat ini penyebab LES belum diketahui, diduga fakto genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamansi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan.22.3. PatogenesisKelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi diri. Akibatnya, terdapat autoantibody dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi Antinuklear (ANA) diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori: 1. Antibodi terhadap DNA2. Antibodi terhadap Histon3. Antibodi terhadap protein non histon yang terikat pada RNA4. Antibodi terhadap antigen nukleolus.

Faktor GenetikBukti yang mendukung kecenderungan genetic terjadinya LES mempunyai beberapa bentuk. 1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik versus kembar dizigotik (1% hingga 3%).2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita LES, dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi.3. Pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara terdapat hubungan positif antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ.4. Beberapa pasien lupus (sekitar 6%) mengalami defisiensi komponen komplemen yang diturunkan. Kekurangan komplemen mungkin akan mengganggu pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan. Faktor NongenetikContoh yang paling jelas dari faktor nongenetik (misalnya, lingkungan) dalam memulai terjadinya LES adalah adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yng meminum obat tertentu seperti prokainamid dan hidralazin. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati dengan prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA, disertai gambaran LES yang muncul pada 15% hingga 20% pasien tersebut. Hormon seks sepertinya juga menunjukkan pengaruh yang penting pada kejadian LES. Lihatlah kecenderungan terjadinya penyakit yang lebih besar pada perempuan. Hal ini disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi. Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lainyang memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sinar ultraviolet dapat merusak DNA dan meningkatkan jejas jaringan yang akan melepaskan kandungan sel dan meningkatkan pembentukan kompleks imun DNA/anti-DNA; kemungkinan lain, faktor ini dapat mengatur respons imun local dengan meningkatkan produksi keratinosit IL-1.

2.4. Manifestasi KlinisPenyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan istilah lupus, memiliki manifestasi klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan (2,5,9) yaitu sekitar 80% melibatkan persendian, kulit, dan darah; sekitar 30-50% melibatkan ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis arteri dan vena. 2.4.1 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Kulit Manifestasi pada kulit dapat berupa lesi ruam diskoid dan ruam malar. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Pada kepala dapat menyebabkan alopecia yang permanen. Ruam malar adalah ruam yang menyerupai kupu-kupu pada wajah. Ruam-ruam tersebut dipicu oleh paparan cahaya matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dapat ditemukan pula berupa lesi kronis malignan, meskipun jarang, tetapi mengarah pada kanker kulit nonmelanoma. Lesi mirip lichen planus (LP) juga dapat ditemukan dan seringkali tumpang tindih antara LE dengan LP atau lesi dapat timbul juga karena penggunaan terapi dengan antimalaria. Penyembuhan dari lesi diskoid akan meninggalkan jaringan yang atropi dan jaringan parut.

2.4.2 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Sistem Saraf Pusat Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan beberapa sindrom neurologik yang berbeda. Manifestasi neuropsikiatrik lupus bervariasi dari ringan (seperti sakit kepala) sampai berat (seperti stroke). Manifestasi utama dari Lupus SSP : 1. Disfungsi kognitif ( tidak dapat berpikir jernih, defisit memori) 2. Sakit kepala 3. Seizure 4. berubahnya kewaspadaan mental (stupor atau koma) 5. Meningitis aseptik 6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian bagian otak yang berbeda) 7. Periperal neuropathy ( contoh : hilang rasa,rasa geli, rasa terbakar pada tangan dan kaki) 8. Gangguan pergerakan 9. Myelitis (gangguan pada spinal cord) 10. visual alternation 11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin) Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan suatu sindrom klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan inflamasi pada pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan merupakan satu dari dua sindrom spesifik lupus SSP yang dibuat oleh American College of Rheumatology. Biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (lebih dari 80% kejadian timbul saat lima tahun pertama dari perjalanan penyakit), yang ditemukan pada 10% pasien lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam, seizures, meningitis like stiffness pada leher dan psychotic atau bizzare behaviour. MRI otak memperlihatkan daerah infark singel atau multipel. Sindrom Antiphospholipid. Siapapun yang memiliki antibodi antiphospholipid sebagai bagian dari sindrom lupus beresiko membentuk bekuan darah, yang dapat menghambat pembuluh darah yang mensuplai otak. Bekuan darah pada otak ( disebut kejadian thromboembolic) dapat terjadi tiba-tiba dan biasanya tidak sakit. Pasien dapat mengalami paralisis yang tiba-tiba atau tidak dapat bersuara. Manifestasi SSP lainnya yaitu sakit kepala yang sering terjadi pada sekitar 45- 50% pasien lupus. Sakit kepala terjadi sebagai manifestasi akut selama penyakit lupus SSP aktif yang disertai pula dengan komplikasi neurologik lainnya. Studi terdahulu menyebutkan sakit kepala migrain sering terjadi pada pasien dengan lupus SSP. Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini merupakan komplikasi yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan paralisis atau kelemahan dan bervariasi mulai dari kesulitan menggerakkan anggota badan sampai terjadinya paraplegia. Penyakit lupus juga bermanifestasi pada sistem saraf otonom (SSO), dimana SSO merupakan bagian dari sistem saraf yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak disadari, seperti pengaturan detak jantung, bernafas, berkeringat,dll. Manifestasi gangguan SSO contohnya pada terjadinya gangguan kognitif, livedo reticularis ( a mottled skin rash), rasa geli, hilang rasa pada ekstremitas. Pasien lupus yang mengalami gangguan kognitif biasanya mengeluhkan adanya rasa kebingungan, kelelahan, kesulitan menyampaikan pikiran, dan gangguan memori. Gejala gangguan kognitif adalah intermiten. Manifestasi lupus pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ otak, yaitu ketika pasien lupus mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat sembuh tetapi meninggalkan jaringan parut yang dapat menyebabkan kelainan motorik, sensorik atau mental yang permanen atau bahkan seizures. Kondisi ini menyebabkan kerusakan permanen pada SSP. 2.4.3. Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal Manifestasi klinis lupus pada ginjal (lupus nephritis) terjadi pada kira-kira 50% pasien dengan lupus. Gambaran klinis bervariasi dari kelainan yang asimtomatik sampai terjadinya hipertensi, edema, sindrom nefrotik full-blown atau gagal ginjal yang progresif. Manifestasi lupus pada ginjal jarang menjadi manifestasi awal lupus, tetapi sering ditemukan variasi derajat proteinuria, darah dalam urin dan abnormalitas sedimen urin pada penderita lupus. Pada stadium lanjut dapat menjadi komplikasi yang serius sehingga menyebabkan kematian. 2.4.4 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata Manifestasi lupus pada mata dibagi berdasarkan dua aspek, yaitu aspek eksternal, contohnya pada gejala kekeringan mata yang menimbulkan ketidaknyamanan, rasa gatal, rasa seperti berpasir/ gritty, dan refleks berair/ watering yang timbul bila melibatkan kelenjar lakrimal seperti pada Sjogrens sindrome atau sindrom sicca, yaitu bila terjadi kerusakan pada kelenjar saliva. Selain itu kelainan dapat ditemukan pada kulit disekeliling mata/ kelopak mata seiring perubahan jaringan kulit pada penderita lupus. Kelainan eksternal lainnya yaitu mata merah yang melibatkan konjungtiva dan episklera, meskipun tanpa disertai rasa sakit. Selain itu dapat dijumpai jaringan parut yang dapat membahayakan kornea. Aspek lainnya yaitu aspek internal seperti pada vaskulitis retina dan inflamasi pembuluh darah yang mengalami kerusakan (microangiopathy), sehingga retina dapat kehilangan daya lihat. Pada pemeriksaan terlihat pembuluh retina yang menyempit berwarna putih dan adanya cotton wool spots (potongan kecil berwarna putih pada retina) yang timbul karena pembengkakan lokalisata yang sementara. Perubahan ini dapat ditemukan walau disertai gejala lain. Manifestasi lupus pada mata dapat pula dipengaruhi oleh kelainan pada organ lain akibat lupus, misalnya manifestasi lupus pada ginjal dapat menyebabkan retensi cairan dan menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata. Keadaan bengkak pada kelopak mata dapat menjadi tanda awal kekambuhan. Renal hipertension, dapat menyebabkan retinopati hipertensi, yang bermanifestasi seperti microangiopathy. Manifestasi lupus pada sistem saraf dapat berpengaruh pada peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang kemudian dapat menjadi pseudo tumor/ tumor intrakranial, dan menyebabkan pembengkakan pada saraf optik (pseudopapilledema). Perubahan ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bila tidak terdeteksi dan tidak diobati dapat menyebabkan kebutaan. Manifestasi lupus pada sistem gastrointestinal juga dapat berpengaruh pada mata. Pankreatitis akut dapat menyebabkan Purtschers retinopathy, adanya cotton wool spots. Penglihatan terpengaruh tetapi dapat sembuh kembali. 2.4.5 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Gastrointestinal Manifestasi lupus pada saluran pencernaan merupakan hal yang paling mengganggu dan dapat melemahkan pasien. Secara umum, perkiraan persentase keterlibatan saluran gastrointestinal pada penderita lupus adalah vomiting 5-10%, sakit abdomen 40-60%, dysphagia 5-10%, ascites 5-19%, jaundice 3-10%. Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, tapi dapat pula menyebabkan beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu seperti hemoragi, perforasi, ulserasi. Bila terdapat keterlibatan hepar, dapat ditemukan hepatomegali dan penderita mengeluhkan rasa penuh pada daerah hepar, tetapi kondisi ini tidak mengarah pada hepatitis atau cirrhosis. 2.5. DiagnosaKriteria diagnosis yang iguakan aalah ari American College of Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut LES jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.NoKriteriaBatasan

1.Rash MalarEritema datar atau timbul i atas eminensa malar dan bisa meluas ke lipatan nasolabial

2. Discou RashBercak kemerahan engan keratosis bersisik an sumbatan folikel. Pada LES lanjut ditemukan parut atrofi.

3.FotosensitivityRuam kulit akibat reaksi abnormal terhaap sinar matahari

4.Arteritis NonerosifMelibatkan 3 atau lebih sendi perifer dengan karakteristik efusi, nyeri dan bengkak.

5.Pleuritis atau Perikarditisa. Pleuritis nyeri pleuritik diemukannya pleuritik rub atau efusi pleurab. Perikarditis EKG dan Pericarial friction rub

6.Gangguang Renala. Proteinuria persisten >0,5 gr per hari atau kualifikasi +++b. Sedimen eritrosit, granular, tubular atau campurn.

7.Ulkus OralUlserasi oral atau nasofarig yang tidak nyeri

8.Gangguan Neurologisa. Kejang tidak disebabkan oleh gangguan metabolik maupun obat-obatan seperti uremia, ketoasidosis, ketidakseimbangan elektrolit.

9.Ganggun Hematologa. Anemia hemolitik dengan retikulositb. Leukopenia