systemic lupus erythemathous

32
BAB I PENDAHULUAN Tubuh memiliki sistem imun sebagai pertahanan tubuh dalam menghadapi antigen. Namun, terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun, salah satunya adalah Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Penyakit SLE merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. 1 Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari ringan sampai menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit SLE sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Penyebab terjadinya SLE belum diketahui secara jelas. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun. Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di Negara maju maupun di Negara berkembang termasuk Indonesia. 1 Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan kerjasama multi disiplin dan dukungan dari berbagai pihak. 1

description

SLE

Transcript of systemic lupus erythemathous

Page 1: systemic lupus erythemathous

BAB I

PENDAHULUAN

Tubuh memiliki sistem imun sebagai pertahanan tubuh dalam menghadapi antigen.

Namun, terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun,

salah satunya adalah Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Penyakit SLE merupakan penyakit

sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem

saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut.1

Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada

setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit

bervariasi mulai dari ringan sampai menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis

antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit SLE sulit diduga dan sering

berakhir dengan kematian. Penyebab terjadinya SLE belum diketahui secara jelas. Berbagai

faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun.

Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di Negara maju maupun di Negara

berkembang termasuk Indonesia.1 Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan kerjasama multi

disiplin dan dukungan dari berbagai pihak.

Pencegahan dan penatalaksanaan yang baik dapat menurunkan angka kejadian morbiditas

dan mortalitas akibat SLE.

1

Page 2: systemic lupus erythemathous

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Systemic Lupus Erythematosus (SLE ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.1

SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh2 . Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Penyakit SLE terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE. Prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.10.2 Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.3

Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitif 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan SLEi subkutaneus akut 6,7%.4

Morbiditas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.4

2.3 ETIOLOGI

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

2

Page 3: systemic lupus erythemathous

1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.1

2. Faktor Imunologi

Pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita SLE, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.

c. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.1

3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko SLE dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.1

3

Page 4: systemic lupus erythemathous

4. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.

b. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.

c. Stres Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.

d. Obat-obatanObat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced SLE Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.1,2

2.4 PATOFISIOLOGI

Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon tersebut menyebabkan hiperaktif sel T dan sel B. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibodi dan pembentukan imun kompleks.5

Subset patogen autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE. Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh. Antigen tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B.

Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada reseptornya sehingga menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk peptida ini dan

4

Page 5: systemic lupus erythemathous

antibodi yang terbentuk oleh antigen external akan merusak target organ (glomerulus, sel endotel, trombosit, sistem saraf). Di sisi lain antibodi juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk imun kompleks yang merusak berbagai organ bila mengendap. Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh.

Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.

Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE serebral dan ini menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap. Kompleks imun ini menyebabkan respon inflamasi serta gangguan blood brain barrier. Kompleks ini beredar dan telah ditemukan di dalam pleksus koroid pada waktu terjadi otopsi. Vaskulitis hanya ditemukan pada sekitar 10% dari pasien dengan SLE serebral. Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun kompleks yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen, PMN dan berbagai mediator inflamasi. Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine (interferon alfa dan interleukin-6) pada penderita SLE serebral adalah ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Sitokin dapat memicu terjadinya edema, penebalan endotel, dan infiltrasi neutrofil dalam jaringan otak5,6 ,10

Gambar 1. Tahapan pembentukan kompleks imun pada SLE5

2.5 DIAGNOSIS

5

Page 6: systemic lupus erythemathous

Diagnosis SLE mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology

(ACR). Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu seperti

SLE nefritis, neuropskiatrik SLE (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.

Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah

ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya

artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya.7,8

Tabel 1.Kriteria Diagnosis SLE Eritematosus Sistemik7

Kriteria Batasan

Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar

dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial

Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan

folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik

Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar

matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh

dokter pemeriksa

Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat

oleh dokter pemeriksa

Artritis Artritis non erosive yang melibatkan dua atau lebih sendi

perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia

Serositis pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang

didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti

efusi pleura

Atau

Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial

friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium

Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ bila

tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif

Atau

6

Page 7: systemic lupus erythemathous

b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit,

hemoglobin, granular, tubular atau campuran

Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau

gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis

atau ketidakseimbangan elektrolit)

Atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau

gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis

atau ketidakseimbagna elektrolit)

Gangguan hematologi a. Anemia hemolitik dengan retikulosis

Atau

b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan

atau lebih

Atau

c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan

atau lebih

Atau

d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan

oleh obat-obatan

Gangguan imunologik a. Anti-DNA : antibodi terhadap nonve DNA dengan

titer yang abnormal

Atau

b. Anti-Sm : terdapatnya antibodi terhadap antigen

nuclear Sm

Atau

c. Temuan positif terhadap antibody antifosfolipid yang

didasarkan atas :

1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal

baik IgG atau IgM

2) Tes SLE antikoagulan positif menggunakkan

7

Page 8: systemic lupus erythemathous

metoda standard, atau

3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis

sekuran-kurangnya selama 6 bulan dan

dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema

pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibody

treponema.

Antibodi antinuklear positif

(ANA)

Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan

pemeriksaan imunofluorosensi atau pemeriksaan setingkat

pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa

keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan

sindroma SLE yang diinduksi obat

Keterangan:

Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut

yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan

spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat

mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,

maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak

ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.

Untuk SLE yang menyerang otak atau sering disebut dengan SLE serebral , diagnosisnya

masih sulit. Tidak ada standar emas tunggal diagnostik.

Beberapa penelitian merekomendasikan bahwa diagnosis harus didasarkan pada penilaian klinis

serta adanya antibodi dalam serum dan CSF. Sebuah diagnosis SLE serebral tidak dapat dibuat

dari temuan radiologis saja, karena yang benar adalah vaskulitis serebral jarang terlihat

radiologis atau bahkan pada otopsi.

Berikut gejala klinik pada SLE yang menyerang otak, seperti : kejang, psikosis,

myelopathy, atau stroke pada pasien dengan SLE. Dalam definisi yang paling luas, itu adalah

respon inflamasi dari SSP sekunder untuk SLE. Sebuah gangguan neurologis pada SLE dapat

8

Page 9: systemic lupus erythemathous

terjadi sebagai kejadian yang terisolasi atau dalam hubungannya dengan tanda-tanda sistemik

lain dari SLE atau bahkan mendahului timbulnya penyakit sistemik. klinis, autopsi, atau laporan

anekdot pasien diikuti selama periode waktu variabel.

Cerebritis SLE dapat terjadi pada orang dewasa dan anak-anak. Durasi keterlibatan SSP

mungkin bervariasi, seperti pada migren klasik atau transient ischemic attack (TIA), ataupun

demensia. Defisit neurologis yang dihasilkan mungkin bersifat sementara atau permanen,

kadang-kadang mengakibatkan kematian.8

Tanda-tanda neurologis dikategorikan menjadi fokus, spesifik, dan neuropsikiatri

1. Manifestasi Fokal

Tanda-tanda neurologis fokal termasuk stroke, transverse myelitis, palsi saraf kranial,

neuropati perifer, dan chorea, serebelum ataksia. Infark pembuluh darah besar cenderung

terjadi dalam isolasi dari peristiwa neurologis lainnya. Insiden stroke adalah 3% -20%

pada pasien dengan SLE serebral. Hal ini tertinggi dalam 5 tahun pertama penyakit ini

dan tingkat kekambuhan stroke dilaporkan dalam literature berkisar antara 13% -69%

Transvere Myelitis terjadi dari demielinasi atau vasculopathy; biasanya pada arteri kecil

yang sering terkena.

Infark sumsum tulang belakang dan hematoma subdural, mengakibatkan paraplegia,

disfungsi sfingter, dan kehilangan sensori.

Palsi saraf kranial terjadi pada 10% -15% pasien SLE serebral. Serebral laring,

kehilangan penglihatan, ptosis, dan kelemahan wajah adalah manifestasi lebih umum.

Neuropati perifer terjadi di lebih dari 20% dari populasi pasien SLE serebral. Hal ini

dapat terjadi sebagai carpal tunnel syndrome, mati rasa / kesemutan, nyeri wajah, dan

telinga berdenging. Gangguan gerak, seperti ataksia cerebellar dan chorea, terlihat dalam

waktu kurang dari 5% pasien SLE serebral.8

2. Manifestasi spesifik

Tanda-tanda neurologis spesifik terjadi pada sekitar 40% -70% pasien SLE serebral

seperti sakit kepala, kejang, dan sindrom otak organik. istilah "SLE headache" adalah

manifestasi yang paling sering terjadi. Jika sakit kepala berlanjut, trombosis vena serebral

harus dipertimbangkan. Meskipun 40% -70% dari pasien SLE mengeluh sakit kepala,

9

Page 10: systemic lupus erythemathous

hubungan langsung dengan SLE dan keparahan penyakit ini tidak selalu jelas. Kejang

terjadi pada 20% pasien. Berbagai jenis dilaporkan; tonik-klonik yang paling umum.

Kejang ini disebabkan oleh infark mikro atau subarachnoid hemorrhage.

3. Manifestasi neuropsikiatri

Gejala sisa neuropsikiatri terlihat pada pasien SLE serebral berkisar dari gangguan

afektif terhadap perilaku dan kognitif. Sekitar 20% dari semua pasien SLE awalnya

terdapat gangguan neuropsikiatri. Pasien yang terdiagnosis SLE cerebritis banyak

muncul di klinik psikiatri atau neurologi. Gejala Afektif termasuk gangguan

kepribadian, mudah tersinggung, marah, kecemasan, depresi, kesedihan, dan perasaan

putus asa.

Perilaku pada pasien SLE serebral memiliki episode kewajiban emosional seperti

menangis dan apatis, kontak mata yang buruk, dan kurangnya inisiatif. Defisit kognitif

terlihat pada 20% -40% pasien SLE. Gejala termasuk kesulitan dalam berpikir,

berkonsentrasi, dan berbicara, dengan tingkat fluktuasi kesadaran.

Psikosis dapat terjadi pada SLE serebral. Namun, penyebab psikosis adalah

controversial seperti keterlibatan SSP baik dari pengobatan dan steroid dapat terjadi.

Karena steroid adalah pengobatan andalan untuk SLE, mungkin sulit untuk

membedakan antara psikosis steroid atau aktual keterlibatan SSP. Cara terbaik untuk

membedakan antara keduanya adalah untuk mengurangi dosis steroid untuk

menentukan apakah tanda-tanda dan gejala berkurang. Jika gejala psikotik penurunan,

keracunan steroid harus dipertimbangkan .

Karena tidak ada satu laboratorium tes khusus untuk mendiagnosa SLE serebral, hal ini

menjadi sebuah tantangan. Cerebrospinal Fluid (CSF) dapat digunakan, karena hal ini

menunjukkan tingkat protein yang tinggi pada 40% -80% dari pasien dengan manifestasi serebral

dari SLE. CSF juga dapat diuji untuk menemukan interleukin-6 dan interferon alfa (sitokin),

karena ditemukan secara signifikan lebih tinggi pada pasien SLE dengan gejala neurologis.

10

Page 11: systemic lupus erythemathous

Dalam sebuah studi, tampak di CSF pasien SLE serebral, peningkatan kadar oksida nitrat.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya nitrat / nitrit dalam CSF dapat digunakan untuk

memantau aktivitas atau perkembangan SLE tersebut.

Sepuluh dari 19 antigen nuklir yang berbeda khusus untuk SLE. Terdapat antibodi

antinuclear (ANA) dalam serum yang digunakan dalam diagnosis dari SLE serebral. Anti DNA

adalah tes yang paling spesifik dalam 40% -60% pasien SLE. Antibodi spesifik yang

menargetkan bagian dari neuron dan mengkonfirmasiketerlibatan SSP adalah antibodi yang

ditargetkan intracytoplasmic.

Adanya antibodi antifosfolipid, SLE antikoagulan dan anticardiolipin, berkorelasi dengan

perubahan dalam pasien CT / MRI. Dalam review literatur lebih dari 1.000 pasien SLE serebral,

antikoagulan SLE terlihat dalam serum 34% dari pasien dan antibody antikardiolipin (yaitu, IgG,

IgA, IGM) terlihat pada 44% -50% dari pasien.7,8

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Dengan adanya gejala di berbagai organ maka penyakit-penyakit yang harus didiagnosis

banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan SLE mempunyai gejala-

gejala yang dapat enyerupai SLE yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis,

dan purpura trombositopenik.9

a. Artritis Reumatika.

Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Pola karakteristik dari

persendian yang terkena adalah mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan,

dan kaki. Awitannya biasanya akut, bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba

hangat, bengkak,kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.

b. Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik. Skleroderma

merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuning-

kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu disekitarnya. Sklerosis

sistemik seperti scleroderma sirkumskripta tetapi secara berturut-turut mengenai alat-

alat viseral.

c. Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka (terutama pada

palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu kadang-kadang

juga livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot-otot 11

Page 12: systemic lupus erythemathous

ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang menetap

dan menyerupai SLE Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke leher, toraks,

lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul Gottron yaitu papul

keunguan di bagian dorsolateral sendi interfalangeal dan atau metakarpofalangeal.

Fase ini disertai demam intermiten, takikardi, hiperhidrosis, dan penurunan

berat badan.

d. Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom Moschowite

dengan trias :trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan susunan saraf pusat.

Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa ekimosis, ikterus, pembesaran

limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis,fenomena Raynaud, nyeri perut, dan

pembesaran hati.

2.7 PENATALAKSANAAN

Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan

atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan

dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan

penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli

reumatologi.

Pilar Pengobatan SLE12:

1. Edukasi / Konseling

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari

sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan mengenai

perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan

masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain

melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir

surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus

memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebih

berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan

12

Page 13: systemic lupus erythemathous

pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit

ataupun akibat pemakaian obat-obatan.

Beberapa edukasi yang penting adalah :

a. Penjelasan tentang apa itu SLE dan penyebabnya.

b. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.

c. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait

dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu

maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.

d. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,

mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan

keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.

e. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu

tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka

panjang contohnya obat-obatan tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya

termasuk antibiotik.

f. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok

pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan

sebagainya.

Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka

setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun

sosial. Berdasarkan data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan

fungsi kognitif sebesar 86,49%.11 Pembuktian dilakukan menggunakan alat

pemeriksaan yang lebih teliti seperti TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal

ini memperlihatkan besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada

SLE, karena secara nyata gangguan tersebut tidak melebihi 20%. Adanya stigmata

psikologik pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.

Namun adanya gangguan fisik dan kognitif pada pasien SLE dapat memberikan

dampak buruk bagi pasien didalam lingkungan sosialnya baik tempat kerja atau

rumah.

13

Page 14: systemic lupus erythemathous

Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat

adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga

yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat

dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan

kesehariannya.

2. Program Rehabilitasi

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE

tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah

pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE

dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu

penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi

imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.

Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi

rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas

lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan

manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.

Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program

rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:

a. Istirahat

b. Terapi fisik

c. Terapi dengan modalitas

d. Ortotik

e. Lain-lain.

3. Terapi Medikamentosa

Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE

a. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):

NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antipiretik dan

antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam. Aspirin

14

Page 15: systemic lupus erythemathous

adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan

indometasin cukup efektif untuk mengobati SLE dengan arthritis dan pleurisi,

dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah

efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Efek

samping lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal,

retensi cairan, meningitis aseptik.

b. Kortikosteroid

Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan dari

berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan

metilprednisolon.

Pada SLE yang ringan (kutaneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat

dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednisone 2,5 mg sampai 5

mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari

respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan

steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Pada SLE

aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:

1. Regimen I : daily oral short acting (prednison, prednisolon,

metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi,

lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan

klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini,

5-10 hari untuk manifestasi hematologis atau saraf, serositis, atau

vaskulitas; 3-10 minggu untuk glomerulonephritis.

2. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000

mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen

ini

mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat daripada terapi oral

setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat

sementara,

sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.

15

Page 16: systemic lupus erythemathous

3. Regimen III : kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik

azayhioprine atau cyclophosphamide.

Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5

mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.

c. Metotreksat

Metotreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk

penyakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating

atau azathrioprin. Metotreksat dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, efektif

sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama

pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Efek samping Mtx yang paling sering

dipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.

Untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes

fungsi ginjal dan hepar. Pada penderita dengan efek samping gastrointestinal,

pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.12

2.8 KOMPLIKASI

SLE dapat menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi. Komplikasi yang dapat timbul

adalah adanya gagal ginjal, kerusakan pada otak, dan mata. Selain itu, obat yang digunakan pada

pengobatan SLE yaitu steroid dapat menyebabkan kecedaraan organ yang dapat menimbulkan

infeksi karena terjadinya supresi sistem imun. Antara komplikasi yang dapat timbul akibat

penggunaan steroid adalah gangguan psikiatri, rentan terhadap infeksi, kelemahann tulang,

pembentukan katarak pada mata, diabetes dan memperburuk kondisi penderita yang mendertia

diabetes. Peningkatan tekanan darah, insomnia dan penipisan lapisan kulit juga merupakan

komplikasi yang dapat timbul akibat penggunaan steroid.13

Komplikasi sering terjadi pada wanita menderita SLE yang hamil terutamanya jika

adanya gangguan pada ginjal. Pada waktu pasca partus, penyakit dapat timbul kembali. Pada

wanita yang SLE sudah tidak aktif untuk 6 hingga 12 bulan, potensi untuk tidak berlakunya

kegagalan kehamilan lebih rendah. Selain itu, antibodi yang terbentuk pada ibu yang akan

16

Page 17: systemic lupus erythemathous

ditransfer ke janin dapat menyebabkan timbulnya ‘rash’, anemia, dan bradikardi akibat daripada

‘complete heart block’(neonatal SLE).

SLE dapat menyebabkan berbagai komplikasi terhadap sistem organ. Komplikasi yang

tersering adalah adanya SLE nefritis. Penderita dengan kondisi ini bisa terjadi gagal ginjal

sehingga perlu dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal. Tanpa nefritis atau nefrosis pun

seringkali ada proteinuri.

Komplikasi lainya adalah :

Thrombosis vena dalam atau emboli paru

SLE dapat juga menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium

dan pericardium; timbul perikarditis, endokarditis atau miokarditis.

Fenomena Raynaud timbul pada sekitar 40% dari pasien SLE. Beberapa kasus

dapat sangat berat sehingga terjadi gangrene pada jari.

Efusi pleura dan kerusakan jaringan paru, pleuritis. Pleuritis (nyeri dada) dapat

timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE.

Abortus spontan, anak lahir mati dan komplikasi kehamilan yang lain. Jumlah

abortus spontan dan anak lahir mati pada penderita SLE memang lebih tinggi

daripada wanita sehat, tetapi abortus terapetik tidak merupakan indikasi.

Strok

Trombositopeni

Inflamasi pembuluh darah. Vaskulitis dapat menyerang semua ukuran arteri dan

vena.

Kolitis ulserativa serta hepatosplenomegali ditemukan.

Atritis, biasanya tanpa deformitas, bersifat episodik dan migratorik dan atrofi

muskulo-skeletal dengan mialgia telah dilaporkan. Sendi-sendi yang paling sering

terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu,

lutut dan pergelangan kaki.

Limfadenitis dapat bersifat regional atau generalisata.

Neuritis perifer, ensefalitis, konvulsi, dan psikosis dapat terjadi. Perubahan-

perubahan pada system saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang

ganas dan seringkali bersifat fatal.13

17

Page 18: systemic lupus erythemathous

2.9 PENCEGAHAN

Penderita harus menghindari trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang sangat dingin

dan stress emosional. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah:

Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah

Memakai pakaian yang menutup ekstremitas

Istirahat

Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus

diobati dengan segera.

Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress

oksidatif

Perubahan gaya hidup untuk meningkatkan daya imun.

Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam

infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.

Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat,

pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.

Hindari Merokok

Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi

Hindari stres dan trauma fisik

Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia

Hindari pajanan sinar matahari

Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon

estrogen.13

2.10 PROGNOSIS

Diagnosis yang lebih awal membuat pasien mendapat perawatan lebih dini disamping

adanya kemajuan dari segi perobatan. Prognosis bervariasi tergantung kepada adanya inflamasi

organ yang serius.

Kebanyakan pasien SLE hidup tanpa masalah dan ada juga yang mengalami gangguan

organ misalnya gagal ginjal, serangan jantung dan juga strok. Derajat komplikasi yang terjadi

bergantung kepada beratnya penyakit. Bagi wanita, mereka masih bisa hamil dan melahirkan

18

Page 19: systemic lupus erythemathous

seperti wanita yang sehat. Penderita yang telah didiagnosis lebih 5 tahun menghidap SLE dengan

keadaan vaskulitis akut dan kronik mempunyai risiko mortalitas yang lebih tinggi berbanding

penderita yang didiagnosis dalam masa kurang dari 5 tahun. Berdasarkan data ‘survival rate’

selama 5 tahun adalah 93%.13

BAB III

PENUTUP

Penyakit SLE merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang

melibatkan multiorgan,seperti kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata dan rongga mulut.

Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di Negara maju maupun di Negara

berkembang termasuk Indonesia.

SLE dapat menyerang sistem saraf, dan menyebabkan lupus serebral. Penemuan gejala

klinis seperti kejang, psikosis, myelopathy dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan caian

serebrospinal dapat membantu menegakkan diagnosis SLE pada sistem saraf.

Pencegahan dan penanganan yang tepat seperti pemberian kortikosteroid maupun NSAID

dapat membantu mengurangi angka morbiditas dan mortalitas SLE terutama pada serebral.

19

Page 20: systemic lupus erythemathous

DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio H, Albar Z, Kasjimir YI, et al. SLE Eritematosus Sistemik. 2009. Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta : Interna Publishing; 2565-2579.

2. Bertoli AM, Alarcon GS. Epidemiology of systemic SLE erythematosus. In: Tsokos GC,

Gordon C, Smolen JS. A companion to rheumatology Systemic SLE erythematosus.

Philadelphia. Mosby 2007:1-18

3. Data dari poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung, 2010

4. Cervera R, Khamashta MA, Font J, Sebastiani GD, Gil A, Lavilla P, et al . Morbidity and

mortality in systemic SLE erythematosus during a 10-year period, a comparison of early

and late manifestation in a cohort of 1000 patients. Medicine 2006;82:299-308

5. (Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2005 ; hal.27-30)

6. Hochberg Mc. Updating the Ameican College of Rheumatology revised criteria for the

classification of systemic SLE erythematosus [letter]. Arthritis Rheum 2007; 40: 1725

20

Page 21: systemic lupus erythemathous

7. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Definition and clasification of systemic SLE

erythematosus In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Duboi’s SLE erythematosus. 7 th ed.

Philadelphia.Lippincott William & Wilkins; 2007:16-19

8. Lahita RG. The clinical presentation of systemic SLE erythematosus. In:Lahita RG,

Tsokos G, Buyon J, Koike T.Editors.Systemic SLE Erythematosus,5 thed.San

Diego.Elsevier;2011;525-540

9. Djuanda Suria. Penyakit Jaringan Konektif. In Djuanda A., Mochtar H., Siti Aisah. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h.264-67

10. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic SLE erythematosus. J Clin Pathol; 2007;481-

490.

11. Data dari RS Cipto Mangunkusumo 2010

12. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan

Reumatologi Indonesia;2011;12-17

13. Michael E. Makeover. Systemic SLE Erythematosus. Diunduh di

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm . Diunduh pada tahun 2015

21