Systemic Lupus Erythematosus

27
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Definisi Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul

description

sle

Transcript of Systemic Lupus Erythematosus

Page 1: Systemic Lupus Erythematosus

Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Definisi

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,

sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan.

Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk

menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan

oleh gigitan anjing hutan.

Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus

(SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang

hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang

juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.

Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun

sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,

pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi

kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat

eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan

akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat

bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan

kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ

yang terlibat.

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa

faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.

Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui

faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini

beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

Page 2: Systemic Lupus Erythematosus

1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga

timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk

menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.

Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada

kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE

pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih

tinggi dibandingkan pada populasi umum.

2. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun,

yaitu : a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting

Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,

beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada

struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat

dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T

akan salah mengenali perintah dari sel T.

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B

akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor

untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan

sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan

autoantibodi menjadi tidak normal.

c. Kelainan antibodi

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti

substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan

memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi

terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah

mengendap di jaringan.

Page 3: Systemic Lupus Erythematosus

3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.

Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat

estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen

yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

4. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang

bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan

tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam

timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV),

bakteri

Streptococcus dan Clebsiella.

b. Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga

terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah

berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan

prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik

melalui peredaran pembuluh darah.

c. Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah

memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun

tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak

akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada

gangguan sejak awal.

d. Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat

Page 4: Systemic Lupus Erythematosus

menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang

dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,

prokainamid, dan isoniazid.

Page 5: Systemic Lupus Erythematosus

Gambaran Klinis

SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf, kardiovaskular, serta rongga mulut.

Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada ginjalnya.

Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan

mortalitas pada populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal

dari proteinuria asimtomatik yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi

glomerulonefritis progresif disertai dengan gagal ginjal.

Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada muskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan nekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada pasien SLE.Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus dermatitis

dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan subacute

cutaneous lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran klinis SLE pada

kulit berupa lesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit

meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut

buterfly rash karena membentuk seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga,

dagu, daerah leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak

5% individu dengan DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE,

sebanyak 20% memiliki DLE.

Gambar 1 . Butterfly rash

Page 6: Systemic Lupus Erythematosus

Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan

penyakit sistemik. SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip

dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi

ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A).

Manifestasi SLE pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa urtikaria rekuren,

dermatitis lichen planus-like, bulla, dan panikulitis.

Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada

sekitar 20% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau

kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang,

myelitis dan dapat memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.

SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis.

Selain itu, kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya

juga terjadi. Selama kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan

meningkat dengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner, dan hal ini telah

menjadi masalah klinis yang penting. Berdasarkan sebuah studi, dinyatakan

bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan stroke adalah 8,5, 13,2 dan 10,1

kali lebih sering terjadi pada perempuan dengan SLE dibandingkan dengan

populasi umum. Kecenderungan peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi

oleh adanya kelainan pada fibrinolisis, protein antikoagulan (protein S), dan

adanya antibodi antifosfolipid. SSP dan trombosis vena dengan emboli paru

adalah penyebab utama morbiditas pada pasien SLE. Sebagai pencegahan

pasien SLE membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.

Diagnosa

Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat

menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga

terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang

dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat

badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap

beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan

gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis,

anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan

Page 7: Systemic Lupus Erythematosus

deteksi dini penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala

penyakit ini sama dengan penyakit lain.

Page 8: Systemic Lupus Erythematosus

Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu

kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan

98% dan pada tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE

yang telah direvisi.

Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997.

Kriteria Definisi

1. Butterfly Rash Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderungtidak mengenai lipatan nasolabial.

2. Discoid Rash Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dansumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang

sudah lama timbul.

3. FotosensitivitasRuam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet A dan B

4. Ulser MulutUlserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya tidak

nyeri jika sudah kronis.

5. Arthtritis Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih

persendian perifer dengan rasa sakit disertai pembengkakan

6. Serositis Radang pada garis paru-paru, disebut juga pleura atau padajantung disebut juga pericardium

7. Kelainan Ginjal Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan tidaknormal dalam urin terlihat dengan bantuan mikroskop

8. Kelainan Saraf Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan

metabolik yang diketahui.

9. Kelainan Darah Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - <4,0 x

10 pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua atau

lebih pemeriksaan.

Page 9: Systemic Lupus Erythematosus

10. Kelainan Imunitas Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titerabnormal ; atau antibody antifosfolipid positif berdasarkan

pada kadar antibodi antikardiolipin IgG atau IgM serum

yang abnormal dan uji positif antikoagulan lupus

menggunakan uji standar.

11. Tes ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanyaobat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang diinduksi

obat.

Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis

SLE mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan

salah satunya ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat

ditegakkan dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes

ANA, jika hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE, namun jika

hanya tes ANA positif dan tidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga

SLE, sehingga hal ini memerlukan observasi jangka panjang.

Terapi

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE :a. Edukasi dan Konseling

Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan

oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa

hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan

dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan

seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung,

memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak

kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.

Page 10: Systemic Lupus Erythematosus

b. Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.

c. Terapi Medikasi

Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)

NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada

tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot,

sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac.

Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran

pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.

2. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam

pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai

tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan

kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena.

Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian

dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.

Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari

meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko

infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi

dan moon face.

3. Antimalaria

Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari

hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering

digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih

rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan

sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh

Page 11: Systemic Lupus Erythematosus

darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif,

sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien

dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk

identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.

4. Immunosupresan

Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan

sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa

dikonsumsi pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil

(MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.

Manifestasi SLE pada Rongga MulutSekitar 20-45% pasien SLE dilaporkan memiliki lesi oral. Beberapa

manifestasi oral yang timbul pada pasien SLE, antara lain :

a. Xerostomia

Xerostomia merupakan salah satu manifestasi SLE pada rongga mulut.

Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa

kering terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Adanya infiltrasi

limfosit pada kelenjar saliva mayor telah ditemukan pada 50-75% pasien SLE,

baik pada pasien yang mengeluhkan adanya rasa kering di mulut ataupun tidak.

Laju aliran saliva yang tidak distimulasi terlihat menurun pada beberapa

penderita SLE. Hal ini dapat dikaitkan pada penyakit autoimun lain yaitu

Sjogren’s Syndrome yang menyerang kelenjar saliva mayor. SLE juga menjadi

komponen diagnosis dari Sjogren’s Syndrom.

Kelainan pada kuantitas saliva pasien SLE dapat ditemukan pada saat

pemeriksaan kadar imunoglobulin (Ig) dalam saliva. Pada pasien SLE dapat

terlihat adanya peningkatan konsentrasi Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi

Ig G biasanya dalam batas normal. Hal ini dapat terjadi karena Ig A dan Ig M

disintetis secara lokal dan disekresikan ke dalam saliva, sedangkan Ig G

diinfiltrasi oleh plasma. Kejadian ini ditemukan pada 30% pasien lupus.

Peningkatan Ig A dan Ig M pada saliva dapat disebabkan oleh penurunan

kuantitas saliva.

Page 12: Systemic Lupus Erythematosus

b. Lesi Ulserasi

Berdasarkan kriteria ACR 1997, ulser rongga mulut merupakan salah

satu kriteria untuk penegakan diagnosis SLE.29 Dalam suatu studi, prevalensi

ulserasi orofaringeal berjumlah 15% pada pasien lupus. Lesi ulser pada SLE

berukuran lebih dari 1 cm, dengan tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi

dengan eritema halo. Ulser ini dapat timbul sebelum, saat ataupun setelah lesi

kulit timbul. Ulser pada pasien lupus sering ditemukan pada mukosa bukal,

gingiva, palatum, serta meluas ke daerah faring. Lesi juga dapat tidak spesifik,

asimtomatik, dan bila semakin parah akan menimbulkan rasa sakit dan tidak

nyaman, namun pada pasien lupus, ulser biasanya timbul pada saat lupus

teraktifasi (flare up) (Gambar 2). Biasanya, ulser pada pasien lupus lebih lama

mengalami masa penyembuhan. Penyembuhan lesi ini cenderung membentuk

jaringan parut dan fibrosis.

Gambar 2. Ulser oral pada pasien SLE

Selain ulser, juga sering terlihat lesi berwarna merah dan putih,

berbentuk garis-garis yang sejajar dan multipel pada beberapa permukaan

mukosa. Lesi ini dapat dikatakan mirip dengan lichen planus (Gambar 3). Hal

ini disebabkan karena keduanya merupakan kelainan inflamasi mukokutaneus

imunologik kronik yang memiliki gambaran keratotik, berwarna kemerahan,

dan disertai ulser. Pada pemeriksaan histopatologi, juga terlihat kesamaan antara

SLE dan lichen planus, yaitu terdapat kerusakan pada sel basal, sel limfosit,

Page 13: Systemic Lupus Erythematosus

perivaskular, hiperkeratotis, dan atrofi perifer. Pada dasarnya, butterfly rash

yang terdapat di pipi dan hidung dapat membantu dalam menyingkirkan

diagnosa lichen planus. Selain itu, pada pemeriksaan histopatologi juga dapat

terlihat perbedaan antara SLE dan lichen planus, yaitu pada SLE terlihat edema

submukosa dan vasodilatasi pembuluh darah, sementara pada lichen planus,

sama sekali tidak terlihat hal tersebut.

Gambar 3. Lesi ulserasi mirip lichen planus pada pasien SLE.

Lesi ulserasi lainnya juga sering dijumpai di daerah vermilion bibir,

seperti lesi ulser yang biasanya disebabkan oleh virus herpes. Lesi awal terlihat

berupa vesikel berukuran kecil dan berkelompok, kemudian dalam hitungan jam

vesikel akan pecah dan menjadi ulserasi yang pada permukaannya terlihat

lapisan berwarna kekuningan (Gambar 4).

Page 14: Systemic Lupus Erythematosus

Gambar 4. Lesi Herpes Simplek

Page 15: Systemic Lupus Erythematosus

c. Lesi Diskoid

Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah bagian

tepi vermillion yang sering terpajan dengan sinar matahari (Gambar 5),

sementara itu bibir bagian atas juga dapat terkena akibat perluasan langsung dari

lesi diskoid yang terdapat pada kulit. Lesi biasanya diawali dengan lesi

kemerahan, namun lama-kelamaan berubah menjadi lesi keratotik dan bersisik

(Gambar 6). Bila sisik diangkat, maka bibir akan perih dan menimbulkan

perdarahan

Gambar 5. Lesi diskoid pada bibir pasien SLE.

Gambar 6. Lesi bibir bersisik dan merah pada

pasien SLE.

Page 16: Systemic Lupus Erythematosus

d. Lesi mirip Lichen Planus

Pada pasien SLE dapat terlihat beberapa lesi mirip lichen planus, namun

tidak disertai ulserasi. Lesi terlihat berupa garis-garis atau papula-papula putih

halus berkilauan yang tersusun dalam satu jaringan mirip jala dan pada umumnya

tidak sakit. Lesi biasanya dapat terlihat di pipi, lidah, bibir, gusi, dan palatum

(Gambar 7). Lesi lain yang juga dapat terlihat pada pasien SLE merupakan lesi

bercak-bercak pada mukosa yang berwarna merah, tanpa disertai ulserasi. Striae

sering terlihat di tepi lesi. Dapat terlihat di pipi, lidah, gusi, dan palatum.

e. Kandidiasis Oral

Kandidiasis pseudomembran akut (trush) merupakan suatu infeksi oportunistik

yang disebabkan oleh jamur candida albicans superfisial dan menjadi komplikasi

paling sering akibat penggunaan obat imunosupresif seperti kortikosteroid

sistemik yang paling sering digunakan oleh pasien SLE. Secara klinis, trush

terlihat sebagai plak-plak putih, berkelompok, mempunyai tepi eritematosus, dan

jika dikerok akan meninggalkan permukaan yang merah, kasar, atau berdarah.

Gambar 7. Trush

Kandidiasis hiperplastik kronis disebabkan oleh jamur candida sp. Yang

masuk melalui permukaan mukosa dan menstimulasi respon hiperplastik. Lesi

paling sering timbul di daerah dorsum lidah, palatum, dan sudut bibir. Lesi

tersebut mempunyai tepi menimbul yang tegas, dan permukaan putih berbintil-

bintil dengan beberapa daerah merah dan tidak dapat dikerok.

Page 17: Systemic Lupus Erythematosus

Gambar 8. Kandidiasis hiperplastik kronis

Penggunaan antibiotik spektrum luas terutama tetrasiklin dapat

mengakibatkan kondisi mulut yang disebut kandidiasis atrofik akut. Infeksi ini

membuat daerah mukosa permukaan mengelupas dan tampak seperti bercak-

bercak merah difus. Sakit seperti terbakar adalah keluhan utama.

Gambar 9. Kandidiasis hipertrofi

Page 18: Systemic Lupus Erythematosus
Page 19: Systemic Lupus Erythematosus
Page 20: Systemic Lupus Erythematosus
Page 21: Systemic Lupus Erythematosus