Discoid Lupus Erythematosus - IsI

30
BAB I PENDAHULUAN Kulit merupakan bagian tubuh yang penting. Lapisan dari kulit terdiri dari 3 bagian, yaitu lapisan epidermis (kutikel), dermis (kortum, kutis vera, true skin), dan subkutis (hypodermis). Lapisan epidermis kulit terdiri dari 5 lapisan, yang dimulai dari lapisan paling atas yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu, pars papilae yang dekat dengan epidermis dan pars retikulae. Lapisan subkutis adalah kelanjutan dari dermis yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdapat sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak atau panikulus adiposa ini berfungsi sebagai cadangan makan. Pada lapisan subkutis, terdapat ujung- ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Banyak fungsi dari kulit, yaitu fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengatur suhu tubuh, pembentukan pigmen, keratinisasi, dan pembentukan vitamin D. Walaupun sebagai fungsi proteksi, kulit juga rentan untuk terkena penyakit. Penyakit kulit merupakan salah satu penyakit yang banyak terdapat di masyarakat, baik itu karena infeksi, alergi, dan autoimun. Salah satu contoh penyakit kulit karena autoimun adalah 1

description

medical

Transcript of Discoid Lupus Erythematosus - IsI

Page 1: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

BAB I

PENDAHULUAN

Kulit merupakan bagian tubuh yang penting. Lapisan dari kulit terdiri dari 3

bagian, yaitu lapisan epidermis (kutikel), dermis (kortum, kutis vera, true skin),

dan subkutis (hypodermis). Lapisan epidermis kulit terdiri dari 5 lapisan, yang

dimulai dari lapisan paling atas yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum

granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Lapisan dermis adalah lapisan

di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini dibagi

menjadi 2 bagian yaitu, pars papilae yang dekat dengan epidermis dan pars

retikulae. Lapisan subkutis adalah kelanjutan dari dermis yang terdiri dari jaringan

ikat longgar yang terdapat sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak atau panikulus

adiposa ini berfungsi sebagai cadangan makan. Pada lapisan subkutis, terdapat

ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening.

Banyak fungsi dari kulit, yaitu fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi,

pengatur suhu tubuh, pembentukan pigmen, keratinisasi, dan pembentukan

vitamin D. Walaupun sebagai fungsi proteksi, kulit juga rentan untuk terkena

penyakit. Penyakit kulit merupakan salah satu penyakit yang banyak terdapat di

masyarakat, baik itu karena infeksi, alergi, dan autoimun. Salah satu contoh

penyakit kulit karena autoimun adalah Cutaneous Lupus Erythematosus atau CLE.

CLE dibagi menjadi 3 tipe yaitu Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus

(CCLE), Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), dan Acute

Cutaneous Lupus Erythematosus (ACLE).

CCLE terbagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan skema klasifikasi

yang dikembangkan oleh Gilliam dan Sontheimer, yaitu Classic Discoid Lupus

Erythematosus (DLE), Hypertrophic Lupus Erythematosus, Lupus Erythematosus

Panniculitis/Profundus, Mucosal Lupus Erythematosus, Lupus Erythematosus

Tumidus, dan Chilblain Lupus Erythematosus. Salah satu subtipe yang akan

dibahas adalah DLE, karena merupakan varian yang paling sering ditemui

kasusnya.

Discoid Lupus Erythematosus (DLE) merupakan penyakit autoimun yang

menyerang kulit, dengan ciri khas erythema, atropik plaque pada bagian sentral

1

Page 2: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

dengan hipopigmentasi, dan bagian tepi yang mengalami hiperpigmentasi.

Penyakit ini merupakan varian yang paling sering ditemukan dari penyakit

Cutaneous Lupus Erythematosus, yaitu sekitar 50% sampai dengan 80%. Pasien

DLE sangat jarang mengalami perkembangan penyakit dari lokal menjadi

sistemik. Hanya sekitar 5% dari pasien DLE yang mengalami perkembangan

penyakit menjadi Systemic Lupus Erythematosus atau SLE.

Karena DLE merupakan jenis dari CLE yang paling banyak ditemukan,

akan dibahas lebih lanjut mengenai etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,

metode diagnosis, dan manajemen untuk DLE.

2

Page 3: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

BAB II

ISI

2.1 Etiologi

Discoid Lupus Erythematosus (DLE) merupakan suatu penyakit autoimun

yang menyerang kulit, dengan ciri khas erythema, atropik plaque pada

bagian sentral dengan hipopigmentasi, dan bagian tepi yang mengalami

hiperpigmentasi.1,2,3 Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia, tetapi insiden

yang paling sering adalah pada usia 20 sampai dengan 40 tahun. Wanita

memiliki risiko untuk terkena DLE dua kali lebih besar dibandingkan laki-

laki.1,3

Sampai saat ini, belum dapat ditentukan penyebab pasti dari DLE.

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab DLE adalah radiasi

ultraviolet (UVR), hormon estrogen, dan hubungan dengan Human

Leucocyte Antigen (HLA-A1, HLA-B7, HLA-B8, HLA-DR2, dan HLA-

DR3).2,3,4,5,6,7,8

2.2 Patofisiologi

DLE merupakan penyakit autoimun yang sampai saat ini belum diketahui

secara pasti patofisiologinya. Radiasi ultraviolet (UVR), hormon ed\strogen,

dan hubungan dengan HLA (HLA-A1, -B7, -B8, -DR2, dan -DR3) diduga

memiliki hubungan dengan timbulnya DLE. Faktor yang diduga paling

mungkin sebagai penyebab DLE saat ini adalah radiasi UV.2,3,4,5,6,7,8

Fotosensitifitas merupakan ciri yang paling sering pada DLE, yang

dilaporkan terjadi pada 69%-90% pasien. Lesi kulit spesifik sering timbul

pada bagian kulit yang terpapar oleh sinar matahari. Hal ini menyebabkan

radiasi UV merupakan penyebab yang paling mungkin dari DLE.3 Sinar

ultraviolet atau UV (200-400 nm) diklasifikasi menjadi 3 berdasarkan

panjang gelombangnya, yaitu ultraviolet A (UVA) dengan panjang

gelombang 320-400 nm, ultraviolet B (UVB) dengan panjang gelombang

290-320 nm, dan ultraviolet C dengan panjang gelombang 200-290 nm.

3

Page 4: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

Gambar 1. Panjang Gelombang Sinar Ultraviolet (Sumber :

http://www.watertreatmentguide.com/ultraviolet_systems.html)

Sinar matahari yang sampai ke bumi hanya mengandung UVA dan

UVB saja, karena UVC telah diserap oleh lapisan stratosfer pada atmosfer.5

UVA dapat masuk melalui lapisan epidermis dan dermis kulit dan sedikit

diserap oleh bio-molekul. Sebaliknya, UVB hanya menembus sampai

lapisan epidermis dan diserap banyak oleh DNA dan protein. UVB memiliki

efek fotobiologikal yang signifikan, termasuk menginduksi apoptosis

(sunburn) pada sel di kulit.5,6,7 Efek dari UVB terhadap laju apoptosis,

derajat translokasi autoantigen pada permukaan sel, dan jumlah sitokin

inflamasi yang diproduksi tergantung dari jumlah paparan UVB. UVB

dalam jumlah yang rendah akan memicu apoptosis non inflamasi, sementara

itu pada jumlah yang sedang akan memicu apoptosis proinflamasi dengan

produksi IL-1α, dan pada jumlah yang tinggi akan menghasilkan nekrosis

proinflamasi, dengan karakteristik peningkatan yang dramatis pada produksi

IL-1α.5

Apoptosis atau kematian sel yang terprogram, memiliki karakteristik

hilangnya asimetris dari membran sel, kondensasi nukleus, kontraksi dari

sitoplasma, dan terbungkusnya komponen selular ke dalam membran

sebelum mengalami proses budding dari sel apoptotik menjadi badan

apoptotik. Beberapa hal yang dapat menginduksi apoptosis pada sel adalah

adanya kerusakan langsung pada DNA (diduga merupakan mekanisme yang

paling penting), apoptosis yang dimediasi oleh kematian reseptor, dan

apoptosis via pembentukan reactive oxygen species. Banyak antigen yang

4

Page 5: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

ditranslokasi dan dipresentasikan pada membran paling luar sel selama

proses apoptosis. Antigen ini kemudian akan dipresentasikan pada sistem

imunitas.3,5 Karena apoptosis diperlukan untuk menjaga homeostasis dari

jaringan, sistem imunitas memiliki mekanisme pembersihan untuk

menanggulangi debris dari prosses apoptosis. Pada kondisi non inflamasi,

sel dendritik dan makrofag lokal akan melakukan fagositosis pada sel yang

mengalami apoptosis dan mencegah perkembangan dari autoantibodi dalam

sebuah proses toleransi. Jika keseimbangan tersebut diubah akibat

peningkatan jumlah sel yang mengalami apoptosis, jumlah sitokin inflamasi

yang berlebih, atau defisiensi protein yang diperlukan untuk proses

pembersihan, debris apoptosis bisa saja diproses oleh antigen-presenting

cells (APCs). Debris yang diproses oleh APC akan dipresentasikan oleh

major histocompatibility complex (MHC) I dan II dan kemudian akan

menstimulasi sel limfosit CD4+ dan CD8+. Hal ini akan memicu

perkembangan dari autoantibodi dan mungkin saja dapat berkembang ke

arah perkembangan dari autoimunitas.3

5

Page 6: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

Gambar 2. Model untuk Patogenesis CLE. (Kuhn A, Lehmann P, Ruzicka

T. Cutaneous Lupus Erythematosus Springer-Verlag Berlin)

UVB menginduksi produksi beberapa sitokin yang memiliki fungsi

beraneka ragam. Sitokin tersebut dapat berfungsi menginduksi inflamasi

yang dapat menyebabkan apoptosis dari keratinosit, imunosupresi, toleransi,

dan mengumpulkan sel dendritik, limfosit, dan makrofag yang diperlukan

untuk membersihkan sel-sel yang telah mengalami apoptosis. Beberapa

sitokin yang diduga memiliki peranan penting dalam DLE adalah IL-1α, IL-

10, TNF-α, dan IFN-γ.

Radiasi UVB menyebabkan peningkatan produksi dari IL-10. IL-10

yang diproduksi oleh sel keratinosit yang terkena radiasi UVB akan memicu

imunosupresi sistemik dan toleransi dengan meningkatkan respon Th-2.3

Interferon α (IFN-α) diduga memiliki peranan yang penting pada

patogenesis dari DLE, karena pada lesi kulit ditemukan adanya peningkatan

produksi IFN-α oleh sel dendritik plasmasitoid. IFN-α berfungis untuk

memicu diferensiasi monosit menjadi sel dendritik. Diferensiasi dari sel

dendritik memerlukan signaling dari Tumor Necrosis Factor Receptor 1

(TNFR1). TNFR1 memiliki peranan yang penting bagi TNF-α untuk

menstimulasi apoptosis dari keratinosit, inflamasi pada kulit, dan dalam

menstimulasi sel T. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa signaling

dari TNF-α/TNFR1 memiliki peran yang penting dalam menginduksi proses

inflamasi. 5,7,8

Aktivasi dari sel limfosit T pada kulit juga diduga memiliki

hubungan dalam patogenesis DLE.9 Melalui proses immunophenotyping

pada komponen selular dari infiltrat dermis ditemukan adanya predominan

limfosit CD4+ dan CD8+ dan rasio CD4/CD8 yang tinggi pada pasien DLE.

Pada pertemuan antara epidermis dan dermis (dermoepidermal

junction) pada lesi kulit pasien DLE banyak ditemukan CXCR3-activating

chemokines (CXCL9, CXCL10, and CXCL11) dan adhesion molecules

(ICAM-1 dan LFA-1).3,9 CD4+ dan CD8+ terdapat pada lokasi yang sama

dengan lokasi yang mengekspresikan reseptor CXCR3, dapat diduga bahwa

kemokin tersebut dapat memberikan efek pada proses pengumpulan limfosit

6

Page 7: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

T. Sementara itu, intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) berfungsi

untuk memulai interaksi antara keratinosit dan sel langerhans dengan

leukosit untuk memediasi adesi antigen-independet atau antigen-dependent.

Pada keadaan normal ICAM-1 tidak terdapat atau sedikit terdapat pada

keratinosit, berbeda dengan pasien DLE yang dimana terdapat banyak

ICAM-1 pada keratinosit basal epidermis. Penyebab dari tingginya jumlah

chemokines dan ICAM-1 pada DLE disebabkan karena tingginya jumlah

Interferon (IFN)-γ. IFN-γ diketahui dapat meningkatkan produksi dari

chemokines (CXCL9, CXCL10, and CXCL11) dan ICAM-1. Oleh karena

itu, dapat dihubungkan bahwa IFN-γ memiliki peran yang penting dalam

imunomodulator pada DLE. Rendahnya level IFN-γ dihubungkan dengan

menurunnya respon autoantibodi pada murine lupus models (Pollard 2002).3

Menurut sebuah penelitian oleh Meier et al (1998), wanita yang

menggunakan terapi pengganti estrogen post-menopausal untuk 2 tahun atau

lebih, akan mengalami peningkatan risiko yang signifikan terhadap DLE.

Oleh karena itu hormon estrogen dinilai memiliki hubungan dengan DLE,

walaupun hal ini belum dapat dipastikan.3

Dalam hubungannya dengan genetika, terdapat beberapa penelitian

tentang hubungan Human Leucocyte Antigen (HLA) dengan DLE. Pada

penelitian yang dilakukan pada pasien DLE kaukasian, ditemukan bahwa

HLA-A1, HLA-B7, HLA-B8, HLA-DR2, dan HLA-DR3 memiliki

hubungan dengan DLE. Walaupun demikian, sampai saat ini hal tersebut

belum dapat dipastikan karena masih sedikitnya penelitian tentang asosiasi

HLA terhadap DLE.2,3,5

2.3 Manifestasi Klinis

Discoid Lupus Erythematosus (DLE) merupakan pernyakit bentuk cutaneous

dari lupus erythematosus, tanpa adanya manifestasi sistemik.10 Sebanyak

25% pasien DLE berkembang menjadi Systemic Lupus Erythematosus

(SLE) dengan resiko 5–10%.11 Akan tetapi SLE ini menunjukan lesi yang

secara klinis maupun histologis tidak dapat dibedakan dengan DLE. Oleh

7

Page 8: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

karena itu sulit untuk membedakan antara SLE dengan DLE berdasarkan

gambaran klinis dan gambaran histopatologis dari lesi kulit.10

Lupus diskoid terjadi pada segala usia, di antara semua ras, dan lebih

sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. DLE dapat

terjadi pada setiap permukaan tubuh, baik lokal maupun keseluruhan, dan

paling sering melibatkan kulit kepala, wajah dan telinga. DLE dimulai

dengan ditandai adanya papula eritematosa atau plak, biasanya di kepala

atau leher. Lesi cenderung menyebar dan dapat terjadi penyumbatan

folikular dan adanya perubahan pigmen, umumnya hiperpigmentasi pada

pinggiran, hipopigmentasi dengan atrofi, jaringan parut, dan telengiectasia di

tengah lesi.1

Pada permukaan epidermal lesi, terlihat terang atau bersisik, adanya

kerutan akibat penekanan dari samping, yang merupakan tanda dari atrofi

epidermal. Dari epidermis yang menipis ini, dapat terlihat liku-liku

pembuluh darah yang melebar (telangiectasia) dan bagian-bagian kecil dari

hipopigmentasi dan hiperpigmentasi.10

8

Page 9: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

Gambar 3. Gambaran Lesi pada Pasien DLE dengan Perubahan

Pigmen pada Kulit. (Panjwani S. Early Diagnosis and Treatment of

Discoid Lupus Erythematosus.)

Pada lesi kulit biasanya terdapat papul-papul berwarna merah terang

yang berkembang menjadi plaque atau plak yang memiliki batas.12 Plak

muncul pada bagian kulit yang terkena sinar matahari. Walau demikian,

pada 50% pasien DLE, plak juga dapat muncul pada bagian kulit yang

terhalang dari sinar matahari seperti kulit kepala yang berambut.2

Plak berbentuk bulat atau oval, dan dengan batas tidak teratur. Sering

kali plak ini memperluas diri pada bagian pinggirnya, terjadi penurunan atau

kemunduran pada bagian tengah, yang mengakibatkan depresi pada lesi,

atrofi dan akhirnya terjadi jaringan parut.12

Gambaran klinis yang sering di jumpai pada pasien DLE yaitu malar

rash, dan photosensitivity. Malar rash pada DLE merupakan Chronic

rashes.

Tabel 1. Tanda dan Gejala dari Pasien DLE

Sumber : Insawang M, Kulthanan K, Chularojanamontri L, et al. Discoid

lupus erythematosus: Description of 130 cases and review of their natural

history and clinical course.

9

Page 10: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

DLE paling sering muncul dikarenakan paparan sinar matahari atau

fotosensitifitas. fotosensitifitas berarti berkembangnya rash akibat radiasi

ultraviolet (UV) B yang berasal dari sinar matahari.6

Keterlibatan membran mukus terjadi kurang dari 5% pasien DLE. Ini

terjadi secara asimptomatik dan bertahan selama berbulan-bulan atau

bertahun-tahun. Lesi sesekali mundur, tetapi biasanya berkembang dengan

atrofi dan jaringan parut, yang menghancurkan folikel rambut sehingga

menyebabkan alopecia. Lesi dapat diperburuk oleh trauma dan cahaya

ultraviolet B.12

Gambar 4. Alopecia pada Pasien DLE. (Sumber : Panjwani S. Early

Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus Erythematosus.)

2.4 Diagnosis

Diagnosis DLE tergantung pada gejala klinik dan sifat erosi yang

ditemukan. Penampakan histopatologi secara kualitatif sama pada setiap

bentuk dari penyakit, dan berguna dalam diagnosis LE tapi tidak dalam

menentukan subtipe klinis. Pemeriksaan autoantibody berguna untuk

menentukan adanya SLE namun memiliki peran yang lebih terbatas dalam

diagnosis DLE. Karena kebanyakan kasus SLE didahului dengan temuan

DLE, semua pasien dengan tanda-tanda DLE harus dievaluasi dengan

komprehensif, pemeriksaan fisik lengkap pada kulit dan gejala-gejala diluar

keluhan kulit juga diperlukan. Hitung darah lengkap, pemeriksaan hati,

10

Page 11: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

khususnya, fungsi ginjal, dan pemeriksaan autoantibodi sangat

direkomendasikan untuk dilakukan. Komunikasi dengan pasien sangatlah

penting untuk dilakukan agar semua proses yang dilakukan dapat berjalan

dengan lancer. Rujukan dengan dokter spesialis yang ahli dalam bidang

reumatologi, nefrologi, dan neurologi, mungkin diperlukan jika

kekhawatiran untuk penyakit sistemik telah dicurigai.13

2.4.1 Dermatopatologi

Temuan histologi pada Lupus eritematosus berupa dermatitis dengan

infiltrat sel-sel mononuklear pada dermal-epidermal junction,

degenerasi lapisan basal, peradangan perivaskular dan periadnexal,

deposisi mucin dan hiperkeratosis. Pada DLE dapat jelas

menunjukkan peradangan yang luas dan dalam pada dermis.13

2.4.2 Imunopatologi

Dalam kasus DLE, pemeriksaan immunopathologi pada lesi kulit

melalui imunofluoresensi langsung sering menunjukkan deposisi

imunoglobulin terutama IgG dan sering dilengkapi oleh komplemen

khususnya C3. Namun, temuan ini mungkin ada pada penyakit

jaringan ikat lainnya. Komponen imunitas ini juga ditemukan di

dermal-epidermal junction kulit yang tidak mengalami lesi pada

pasien SLE. Spesifisitas diagnostik temuan ini ( uji Band lupus

nonlesi) tinggi ketika tiga atau lebih imunoreaktan yang ditemukan,

dan ketika spesimen diperoleh dari kulit yang terlindungi dari paparan

sinar matahari dalam sebuah penelitian.13

2.5 Manajemen

Beberapa golongan obat diduga dapat menginduksi terjadinya DLE, maka

harus dilakukan pertimbangan untuk menghentikan penggunaan obat yang

dicurigai tersebut. Edukasi pasien untuk berhenti merokok juga sebaiknya

dilakukan sebagai bukti bahwa merokok secara langsung dapat

11

Page 12: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

memperburuk penyakit DLE dan mengganggu efektivitas terapi dengan

agen antimalaria.13

2.5.1 Fotoproteksi

Pasien DLE dan SLE sangat fotosensitif karena keadaan penyakit akan

diperparah oleh paparan sinar UV. Konseling dengan pasien mengenai

perlindungan terhadap paparan sinar matahari harus dilakukan. Pasien

harus disarankan untuk menghindari paparan langsung berkepanjangan

dari sinar matahari, terutama selama tengah hari dan di saat musim

panas. Penggunaan pakaian pelindung, termasuk pakaian anyaman

rapat dan topi bertepi lebar, dan penggunaan tabir surya dan komponen

kimia pelindung terhadap UVA dan UVB sangat penting disarankan.

Paparan sinar matahari saat mengoperasikan kendaraan dapat

signifikan bagi pasien DLE, sehingga strategi perlindungan dari

paparan langsung harus diperhatikan saat mengemudi.13

2.5.2 Kortikosteroid

Kortikosteroid topikal dapat membantu dalam pengobatan DLE, tetapi

biasanya tidak memadai sebagai monoterapi. Potensi sedang (misalnya

triamcinolone acetonide 0,1%) ke potensi tinggi (misalnya clobetasol

propionat 0,05% dan betametason dipropionat 0,05%) dapat digunakan

dua kali sehari. Sediaan termasuk salep, krim, busa, lotion, dan gel.

Pilihan sediaan tertentu mungkin berhubungan dengan keadaan dan

pertimbangan dokter atau pasien. Salah satu uji coba terkontrol

menunjukkan peningkatan efektivitas potensi tinggi kortikosteroid

topikal (Fluosinonida krim 0,05%) dibandingkan dengan potensi

rendah topikal kortikosteroid (hidrokortison krim 1%). Gunakan

2 minggu dengan potensi tinggi diikuti oleh 1 - 2 minggu dengan

potensi ringan untuk mengurangi efek samping pada kulit seperti atrofi

dan telangiectasia.13

Terapi kortikosteroid Intralesi ( triamcinolone solusi 5-10 mg /

mL) dapat digunakan untuk daerah lokal dari DLE. Lesi diskoid

12

Page 13: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

hipertrofik yang terlokalisasi, atau sangat sukar diobati maupun

dengan gejala lesi bentuk lain dari LE, mungkin patut dalam

penerapan modalitas ini. Kebanyakan pasien dengan DLE dan SCLE

dengan lesi yang luas akan memiliki lesi terlalu banyak untuk

dilakukannya pendekatan ini sehingga tidak praktis. Kortikosteroid

oral (prednisone 1 mg / kg, 2-4 minggu) dapat membantu untuk

mengontrol lesi yang luas, namun tidak direkomendasikan untuk

penggunaan rutin karena efek samping kemungkinan berhubungan

dengan dosis yang merugikan termasuk osteoporosis dan supresi

adrenal.13

2.5.3 Topical Calcineurin Inhibitor

Salep topikal takrolimus dan krim pimekrolimus pada laporan kasus

dan serangkaian kasus menunjukkan keberhasilan dalam mengobati

DLE. Hasil yang kurang maksimal mungkin dijumpai pada DLE

dengan lesi kulit yang tebal akibat kurangnya penetrasi obat. Obat-

obat ini cenderung ditoleransi dengan baik dan cukup efektif. Suatu

penelitian yang dilakukan secara acak menunjukan efektivitas yang

sama antara salep takrolimus dan clobetasol untuk mengobati LE pada

wajah. Dalam penggunaannya, obat ini sangat baik untuk kulit dan

sangat berguna dalam mengobati atropi pada daerah wajah dan

kelopak mata, disaat penggunaan jangka panjang kortikosteroid topikal

harus dibatasi.13

2.5.4 Retinoid Topikal

Lesi hiperkeratosis DLE merespon baik terhadap terapi dengan

retinoid topikal. Tretinoin topikal dan tazarotene keduanya telah

dilaporkan efektif dalam terapi DLE pada laporan kasus individual.

Efek samping utama yang telah diketahui dari penggunaan obat ini

adalah iritasi pada kulit.13

2.5.5 Antimalaria

13

Page 14: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

Obat antimalaria aminoquinolone menunjukkan efikasi dan keamanan

yang baik untuk terapi DLE. Sebuah percobaan yang dilakukan secara

acak menunjukan respon yang baik di 15 dari 30 (50%) pasien yang

diobati dengan hydroxychloroquine setelah 8 minggu terapi, dan lebih

baik ditoleransi dibandingkan dengan penggunaan acitretin. Hingga

75% dari pasien menunjukkan respon terhadap terapi agen tunggal

atau kombinasi. Hydroxychloroquine sulfat merupakan agen yang

direkomendasikan karena keberhasilan dan dapat ditoleransi baik oleh

pasien. Terapi awal dengan hydroxychloroquine diberikan 6.5mg / kg

/ hari dalam dosis terbagi (biasanya 200mg dua kali sehari) secara

umum menunjukkan respon klinis dalam 2-3 bulan. Jika penggunaan

agen ini tidak begitu direspon, mepacrine (quinacrine) 100mg / hari

dapat ditambahkan). Jika respon terhadap terapi ganda tetap tidak

memadai setelah tambahan dilakukan 4-6 minggu, klorokuin 4 mg / kg

/ hari (biasanya 250mg /hari) dapat menggantikan hydroxychloroquine.

Hydroxychloroquine dan klorokuin tidak boleh digunakan bersama-

sama karena peningkatan risiko retinopati. Suatu Studi menunjukkan

remisi klinis di lima dari enam pasien SLE dengan penambahan

mepacrine pada pasien yang sebeumnya sulit disembuhkan dengan

hydroxychloroquine, prednison, azathioprine, dan metotreksat.

Pengobatan untuk 1-2 tahun dianjurkan untuk menekan aktivitas LE

kulit. Merokok dapat mengurangi efektivitas obat antimalaria melalui

mekanisme yang tidak sepenuhnya dipahami. Karena kemungkinan

adanya efek retinopati pada penggunaan hydroxychloroquine dan

klorokuin, pemeriksaan optalmologi, termasuk pemeriksaan

funduskopi dan pengujian bidang visual, harus dilakukan dan diulang

pada interval yang rutin (tahunan untuk pasien yang berisiko dan

setiap 5 tahun untuk pasien tanpa komplikasi). Pemantauan

laboratorium rutin hematologi dan fungsi hati biasanya dilakukan.13

2.5.6 Pengobatan Konvensional

14

Page 15: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

Pilihan terapi yang dapat diberikan pada pasien DLE meliputi

methotrexate, thalidomide, azathioprine, dapson, retinoid, dan

klofazimin. Obat-obat ini sering digunakan dalam kombinasi dengan

kortikosteroid oral dan antimalaria.13

a. Metotreksat

Metotreksat adalah inhibitor dihydrofolate reductase yang

diberikan paling sering dalam sediaan oral sebagai dosis tunggal

mingguan (10-20 mg / minggu). Jika dosis tunggal tidak dapat

ditoleransi, paling sering diakibatkan karena efek samping

gastrointestinal. Methotrexate dapat juga diberikan secara

subkutan, intramuskuler, atau intravena. Dalam sebuah penelitian

retrospektif terhadap 139 pasien dengan LE kulit yang sulit

disembuhkan, 42 dari 43 (98%) pasien yang diobati dengan

metotreksat dosis rendah menunjukkan respon klinis yang positif.

Penghentian terapi yang terkait efek samping pengobatan terjadi

pada tujuh pasien (16%). Supresi sumsum tulang dan

hepatotoksisitas adalah efek samping yang paling serius.

Methotrexate juga dikaitkan dengan fibrosis paru, gangguan

gastrointestinal, gangguan kesuburan, dan teratogenisitas.13

b. Thalidomide

Thalidomide merupakan obat yang paling baik digunakan dari

serangkaian obat dengan aksi cepat untuk mengobati LE kulit.

Mengantuk dan sembelit merupakan efek samping yang umum.

Neuropati perifer terutama mempengaruhi saraf sensorik

merupakan efek samping yang paling menjadi perhatian utama.

Hal ini biasanya berupa hilangnya sensasi anggota badan bagian

bawah, dengan paresthesia yang menyakitkan pada tangan dan

kaki, dan mungkin tidak dapat disembuhkan. Selain terkenal

dengan risiko teratogenisitas, thalidomide juga dapat menyebabkan

amenorrhea sekunder dan keadaan hiperkoagulasi.13

15

Page 16: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

c. Azathioprine

Azathioprine biasanya digunakan untuk mengobati LE kulit yang

sulit disembuhkan dimana pada suatu penelitian 67% pasien

menunjukan respon klinis terhadap pengobatan dengan

menggunakan azathioprine walaupun ada diketahui efek samping

pengobatan berupa pankreatitis.13

d. Dapson

Dalam sebuah studi, 16 dari 33 (48%) pasien dengan DLE

menunjukkan respon klinis terhadap dapson, dengan setengah dari

pasien menunjukkan respon yang sangat baik. Dapson mungkin

sangat berguna dalam pengobatan bentuk-bentuk yang sangat

inflamasi dari LE, seperti bulosa SLE dan lupus profundus, dan

beberapa kasus inflamasi DLE. Gangguan hematologi, ginjal, dan

toksisitas hati mungkin terjadi, dan pemantauan laboratorium perlu

untuk dilakukan.13

e. Retinoid Oral

Retinoid oral termasuk isotretinoin dan acitretin baik diberikan

dengan dosis sekitar 0,5-1 mg / kg / hari telah menunjukkan

keberhasilan dalam mengobati LE kulit, khususnya LE

hiperkeratotik atau verrucous. Retinoid sistemik bukan merupakan

strategi terapi jangka panjang untuk mengobati LE kulit,

mengingat tingginya efek samping merugikan yang dihasilkan

seperti kekeringan mukokutan dan kekambuhan yang cepat

terhadap aktivitas LE kulit apabila pengobatan dengan agen ini

dihentikan. Keduanya baik Isotretinoin dan acitretin sangat

teratogenik.13

f. Klofazimin

16

Page 17: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

Dalam studi banding, klofazimin dikaitkan dengan peningkatan

signifikan terhadap manifestasi kulit dari SLE di 12 dari 16 (75%)

pasien dan sebanding dengan respon pasien yang diobati dengan

klorokuin (14 dari 17; 82%).13

2.5.7 Agen Imunomodulator Baru

Sebuah penelitian baru pada pasien DLE telah dilakukan dengan

menyuntikan efalizumab, sebuah antibodi monoklonal untuk CD11a

dalam pengobatan psoriasis secara subkutan dan menunjukkan

perbaikan klinis di 12 dari 13 pasien yang diobati. Efalizumab secara

sukarela telah ditarik dari pasar di tahun 2009 karena diketemukan tiga

kasus leukoencephalopathy multifokal progresif pada pasien yang

telah menggunakan obat ini lebih dari 3 tahun. 13

LE kulit telah dilaporkan merespon terhadap pengobatan

dengan injeksi anti-tumor nekrosis faktor (TNF), akan tetapi perlu

dicatat bahwa agen anti-TNF sering dikaitkan dengan obat pemicu LE

kulit (92 kasus). Terapi imunoglobulin intravena telah menunjukkan

respon klinis yang baik yang dibuktikan pada seri kasus 12 pasien

dengan LE kulit, remisi lengkap atau medekati lengkap terlihat pada

lima pasien (42%) dan respon parsial terlihat pada dua pasien (17%).13

17

Page 18: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

BAB III

RINGKASAN

Discoid Lupus Erythematosus (DLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang

menyerang kulit, dengan ciri khas erythema, atropik plaque pada bagian sentral

dengan hipopigmentasi, dan bagian tepi yang mengalami hiperpigmentasi.1,2,3

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab DLE adalah radiasi ultraviolet

(UVR), hormon estrogen, dan hubungan dengan Human Leucocyte Antigen

(HLA-A1, HLA-B7, HLA-B8, HLA-DR2, dan HLA-DR3). 2,3,4,5,6,7,8

DLE dapat terjadi pada setiap permukaan tubuh, baik lokal maupun

keseluruhan, dan paling sering melibatkan kulit kepala, wajah dan telinga. DLE

dimulai dengan ditandai adanya papula eritematosa atau plak, biasanya di kepala

atau leher. Lesi cenderung menyebar dan dapat terjadi penyumbatan folikular dan

adanya perubahan pigmen, umumnya hiperpigmentasi pada pinggiran,

hipopigmentasi dengan atrofi, jaringan parut, dan telengiectasia di tengah lesi.1,10,11

Diagnosis DLE tergantung pada gejala klinik dan sifat erosi yang

ditemukan. Penampakan histopatologi secara kualitatif sama pada setiap bentuk

dari penyakit, dan berguna dalam diagnosis LE tapi tidak dalam menentukan

subtipe klinis. Dapat dilakukan dermatopatologi dan imunopatologi untuk

mendiagnosis DLE.13

Pilihan terapi yang dapat diberikan pada pasien DLE meliputi

methotrexate, thalidomide, azathioprine, dapson, retinoid, dan klofazimin. Obat-

obat ini sering digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid oral dan

antimalaria.13

18

Page 19: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

DAFTAR PUSTAKA

1. Panjwani S. Early Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus Erythematosus.

JABFM. 2009 ;22:206 –213.

2. Bajaj DR, Devrajani BR, Matlani BL. Discoid Lupus Erythematosus: A Profile

Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan. 2010. Vol. 20 (6):

361-364.

3. Kuhn A, Lehmann P, Ruzicka T. Cutaneous Lupus Erythematosus Springer-

Verlag Berlin. Heidelberg. 2005.

4. Juanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. 2010.

5. Kuhn A, Bijl M. Pathogenesis of cutaneous lupus erythematosus. SAGE

Publication. Germany. 2008.

6. Insawang M, Kulthanan K, Chularojanamontri L, et al. Discoid lupus

erythematosus: Description of 130 cases and review of their natural history and

clinical course. J of Clinical Immunology and Immunopathology Research. 2010.

Vol. 2(1), pp. 1-8.

7. Menke J, Hsu MY, Byrne KT, et al. Sunlight Triggers Cutaneous Lupus through a

CSF-1-Dependent Mechanism in MRL- Fas lpr Mice. The Journal of Immunology.

2008. 181:7367-7379.

8. Deng GM, Liu L, Kyttaris CV, et al. Lupus Serum IgG Induces Skin Inflammation

through the TNFR1 Signaling Pathway Skin. The Journal of Immunology. 2010.

184, p.7154-716.

9. Parra AT,Guttierez GT,Murillo EG, et al. Pimecrolimus 1% cream for the

treatment of discoid lupus erythematosus. Oxford University Press. 2005.

10. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. The Skin in Robbins Basic Pathology 8th

Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2010. p.1258-1259.

11. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic Lupus Erythematosus:

Pathogenesis and Clinical Features in EULAR Textbook on Rheumatic Diseases.

2012. p.487-486.

12. Williams, DS. Chronic Cutaneous (Discoid) Lupus Erythematosus. J Insur Med.

2007. 37 : p.70–71.

19

Page 20: Discoid Lupus Erythematosus - IsI

13. Walling HW, Sontheimer RD. Cutaneous Lupus Erythematosus : Issues in

Diagnosis and Treatment. Am J Clin Dermatol. 2009.

20