PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

47
Systemic Lupus Erytematosus Lydia Margaretha 10-2010-136 Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat. Email: [email protected] Pendahuluan Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multi sistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut. Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah. 1

Transcript of PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Page 1: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Systemic Lupus Erytematosus

Lydia Margaretha

10-2010-136

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat. Email: [email protected]

Pendahuluan

Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah

penyakit radang atau inflamasi multi sistem yang penyebabnya diduga karena adanya

perubahan sistem imun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok

penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang

mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.

Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun

terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut.

Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan

peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk

melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu

sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ

tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang

tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan

perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah.

Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh

manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian

terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi

oleh penderita SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat

tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosial

yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya.

Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih spesifik mengenai hal-hal yang berhubungan

dengan skenario Systemic Lupus Erytematosus. Hal-hal tersebut seperti, anamnesis,

epidemiologi, etiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, patofisiologi, diagnosis,

serta penatalaksanaan.

1

Page 2: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

ANAMNESIS

Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian

pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari

anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.

Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan

pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien

yuang profesional dan optimal.1

Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:

1. Identitas pasien

2. Riwayat penyakit sekarang

3. Riwayat penyakit dahulu

4. Riwayat kesehatan keluarga

5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya

Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agama, status perkawinan,

pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan

dengan masalah klinik maupun gangguang sistem organ tertentu.

Keluhan utama pasien datang ialah pasien mengatakan merasa lemah sejak 3 bulan

yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang pasien ialah pasien mengatakan sejak 2 bulan lalu sering

mengalami nyeri pada jari-jari kedua tangan serta kaku pagi hari. Rambut pasien juga terasa

banyak rontok sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan wajahnya seringkali

memerah bila sebentar saja terpapar sinar matahari padahal sudah memakai paying saat

aktivitas di luar ruangan. Berat badan tidak menurun dan badan terasa hangat hilang timbul.

Pemeriksaan Fisik

Status :

Keadaan umum : tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda vital :

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Denyut nadi : 82x/menit

Frekuensi nafas : 18x/menit

Suhu : 37⁰C

2

Page 3: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Kepala dan leher :

Mata : konjungtiva anemis (-)

Sklera : ikterik (-)

Kel. Getah Bening : tidak tampak membesar

Organ lain :

Cor : dalam batas normal

Pulmo : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Status lokasi :

Manus dextra : phalanx proksimal digiti II-IV; nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),

oedem (-), kalor (-)

Manus sinistra : phalanx proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),

oedem (-), kalor (-)

Pemeriksaan Laboratorium2

Pemeriksaan hematologi

Pemeriksaan darah yang dilakukan ialah pemeriksaan kadar hemoglobin, penetapan

nilai hematokrit, pemeriksaan laju endap darah, dan menghitung jumlah masing-masing sel

darah (leukosit, eritrosit,trombosit). Laju endap darah pada SLE biasanya meningkat. Ini

adalah uji non spesifik untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat

keparahan penyakit. Pemeriksaan urin juga dilakukan untuk mengetahui adanya protein,

leukosit, maupun eritrosit dalam urin penderita. Uji ini dapat membantu dalam menentukan

adanya komplikasi ginjal dan memantau perkembangan penyakit ini.

Pemeriksaan kimia darah

Pemeriksaan kimia darah yang dilakukan ialah seperti pemeriksaan SGOT, SPGT,

kolesterol, kreatinin, asam urat, dan ureum.

Anti ds-DNA

Batas normal : 70 – 200 IU/mL

Negatif          : < 70 IU/mL

Positif            :  > 200 IU/mL

3

Page 4: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada

penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan

kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang

lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat

turun dengan pengobatan yang tepat  dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit

terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang

tenang (dorman).

Uji faktor LE

Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan yang terkadang masih dipakai

sampai sekarang adalah uji faktor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit

pasien sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan

IgG, dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. Sel LE mudah

dikenali, sel LE merupakan suatu neutrofil yang mengandung materi homogen, yaitu badan

LE. Inti sel ini terdorong ke salah satu sisi dan menipis. Sel LE dapat juga ditemukan pada

gangguan sistemik lainnya dari penyakit reumatik yang juga diperantarai oleh imunitas.

Antinuclear antibodies (ANA)

Normal: nol

ANA digunakan untuk mendiagnosis SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA

adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup

sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE.

Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit

reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan

keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga

jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif

terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain,

tetapi jika hasil  tes  positif  maka  sebaiknya  dilakukan  tes serologi yang lain untuk

menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith

(anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La).

4

Page 5: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Frekuensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pada SLE:

Anemia 60%

Leukopenia 45%

Trombocytopenia 30%

False test for syphilis 25%

Lupus anticoagulant 7%

Anti-cardiolipin antibody 25%

Direct coomb test positive 30%

Proteinuria 30%

Hematuria 30%

Hypocomplementemia 60%

ANA 95-100%

Anti-native DNA 50%

Anti-Sm 20%

Pemeriksaan Radiologi2

Foto Toraks

Menilai kualitas foto :

Kekuatan penyinaran : Periksa apakah ada foto dewasa korpus vertebra torakal I-IV tampak

jelas, sedangkan korpus vertebra torakal V ke bawah tidak tampak jelas. Pada foto anak-anak

seluruh korpus vertebra pada daerah dada tampak jelas.

Sentrasi foto : Periksa apakah prosesus spinosus korpus vertebra terletak di tengah.

Jarak antara ujung medial kedua klavikula dengan prosus spinosus harus sama.

Proyeksi dan posisi : Bagian objek yang lebih dekat dengan kaset film tampak lebih jelas

daripada gambaran tulang iga posterior, demikian pula sebaliknya. Foto proyeksi AP

biasanya dilakukan pada pasien dalam posisi berbaring.

Derajat inspirasi : Pada inspirasi yang cukup, hemidiafragma setinggi iga anterior

keenam/tujuh atau tulang iga posterior kesembilan.

5

Page 6: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Tabel 1. Diagnosis yang mungkin berdasarkan gambaran radiologis foto toraks

No. Gambaran RadiologisKemungkinan

Diagnosis

1

Gambaran bercak-bercak atau linier yang radiolusen. Gambaran khas mungkin terlihat Gambaran udara (lusen) berbentuk kipas, meluas sepanjang serat m. pektoralis di apeks paru.

Emfisema Subkutis

2

Garis pleura akan bergeser menjauhi dinding dada, berupa garis halus radioopak paralel dengan dinding toraks. Pada bagian lateral dari garis ini tampak gambaran vaskular paru menghilang.

Pneumotoraks

3Parenkim paru kolaps (radioopak homogen), diafragma datar atau inverted, sela iga melebar, dan struktur mediastinum bergeser ke kontralateral.

Tension Pneumotoraks

4Pada posisi tegak tampak garis mendatar karena adanya udara di atas cairan (air fluid level). Hidropneumotoraks

5Posisi tegak tampak sinus kostofrenikus tumpul. Posisi supine tampak gambaran ground glass di bagian dorsal paru.

Hematotoraks

6Bercak-bercak non segmental radioopak pada lokasi trauma dengan opasitas muncul dalam 6 jam pasca trauma dan berangsur menghilang setelah 2-10 hari.

Kontusio Paru

7

Radiolusen linier dan vertikal di mediastinum posterior, pada mediastinum terdapat garis radiolusen paralel di antara mediastinum dengan kontur jantung, dan dapat disertai dengan emfisema subkutis di dalam servikal.

Pneumomediastinum

8

Posisi tegak: sinus kostofrenikus tumpul. Posisi supine: kontur diafragma kabur, sinus kostofrenikus lateral tumpul dan hemitoraks paru-paru lebih opak dibanding paru-paru yang normal, dan gambaran air bronchogram hilang. Lateral dekubitus: dilakukan bila ada keraguan dan akan terlihat adanya cairan yang terkumpul di sepanjang dinding lateral dada.

Efusi Pleura

9

Pada fase dini tampak kranialisasi, perihiler kabur, peribronchial cuffing, dan kesuraman pada basal paru. Pada fase lanjut tampak garis Kerley A dan B, bat wing dan infiltrat alveolar.

Edema Paru

EPIDEMIOLOGI3

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di

dunia. Prevalensi SLE di berbagai Negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai

populasi yang berbeda-beda bervarias antara 2.9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering

6

Page 7: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat

juga tendensi familial. Factor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit.

Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun

(masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1.

Pada lupus erimatosus yang disebabkan oleh obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah,

yaitu 3:2.

Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar

1 kasus per 10.000 populasi pada tahun 2006. Prevalensi penderita SLE di Cina adalah

1 :1000 pada tahun 1998. Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai

prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada

orang kulit hitam  yang hidup di Afrika.  Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus 

per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia

sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan

jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia).

Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya

selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat

setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang,

penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang

meninggal dunia.

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah

sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan penelitian pada periode

yang berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus

SLE, selama periode 5 tahun (1972-1976) ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang

dirawat (insiden sebesar 15 per 10.000 perawatan), antara tahun 1988-1990 (3 tahun) insiden

rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang

berbeda-beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA, dan kriteria

ARA yang telah diperbaiki.

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di

Medan antara tahun 1984-1986 didapatkan insiden sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.

7

Page 8: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

ETIOLOGI3

Faktor genetik

Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigot (25%) dibandingkan dengan

kembar dizigot (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan

dengan control sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu,

menguatkan dugaan bahwa faktor genetic berperan dalam patogenesis SLE.

Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan penyakit. Pada sebagian kecil

pasien (< 5%), hanya gen tunggal yang bertanggung jawab. Sebagai contoh, pasien dengan

defisiensi homozigot dari komponen awal komplemen mempunyai resiko terkena SLE atau

penyakit yang menyerupai lupus (lupus-like disease). Tetapi, pada sebagian besar pasien

memerlukan keterlibatan banyak gen. diperkiran paling sedikit ada empat susceptibility genes

yang terlibat perkembangan penyakit.

Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE pada manusia

ialah gen dari kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi

menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human

leucocyte antigen) kelas II. Hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan SLE umumnya ditemukan

pada etnik yang berbeda, dengan resiko relative terjadinya penyakit berkisar 2 sampai 5. Gen

HLA kelas II juga berhubungan dengan adanya antibody tertentu, seperti anti-Sm (small

nuclear ribonuclearm protein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear protein), dan

anti-DNA. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen C2 dan C4,

memberikan risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan homozygous C4A

null alleles tanpa memandang latar belakang etnik, mempunyai resiko tinggi berkembang

menjadi SLE. Selain itu, SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi C1q, C1r/s, dan C2.

Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap penyakit oleh karena

berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik terhadap antigen diri sendiri

(self antigen) maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan diri

system imun, maka autoimunitas mungkin terjadi.

Selain itu, banyak gen MHC polimorfik yang dilaporkan berhubungan dengan SLE,

termasuk gen yang mengkode mannose binding protein (MBP), TNFα, reseptor sel T,

interleukin 6 (IL-6), CR1, immunoglobulin Gm dan Km allotypes, FcãRIIIA, dan heat shock

8

Page 9: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

protein 70 (HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang multiple sebagai resiko

berkembangnya SLE, mendukung pendapat bahwa SLE merupakan penyakit poligenik.

Faktor hormonal

SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan pertama

kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause.

Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin,

dimana peningkatan hidroksilasi 16ã lebih kuat dari estrone mengakibatkan peningkatan yang

bermakna konsentrasi 16ã hidroksiestrone. Metabolit 16ã lebih kuat dan merupakan

feminizing estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma

yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dedihdroepiandosteron (DHEA), dan

dehidroepiandostestorteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh

peningkatan oksidasi testosterone pada C 17 atau peningkatan aktivitas aromatase jaringan.

Konsentrasi androgen berkorelasi negative dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron

plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi luteinizing hormone (LH) ditemukan pada

beberapa penderita SLE laki-laki. Jadi, estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormone

androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggung jawab

terhadap perubahan respon imun. Konsentrasi progesterone didapatkan lebih rendah pada

penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.

Prolaktin (PRL) adalah hormone yang terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior

diketahui menstimulasi respon imun humoral dan seluler, yang diduga berperan dalam

pathogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise, sel-sel system imun juga mampu mensisntesis

PRL. Fungsi PRL menyerupai sitokin yang mempunyai aktivitas endokrin, parakrin, dan

autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer (NK), makrofag, neutrofil, sel

hemopoietik CD 34+, dan sel dendritik presentasi antigen.

Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam pathogenesis SLE adalah leptin.

Penelitian konsentrasi leptin serum pada penderita SLE perempuan yang dilakukan oleh

Garcia-Gonzale dkk mendapatkan kadar leptin pada penderita SLE lebih tinggi dibandingkan

dengan control sehat.

9

Page 10: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Faktor lingkungan

Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisiuntuk SLE,

tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa factor eksogen dan

lingkungan. Agen infeksi, seperti virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi virus

dalam kemiripan molecular (molecular mimicry) dan gangguan terhadap regulasi imun;

toksin atau obat-obatan memodifikasi respon seluler dan imunogenisitas dari self antigen dan

agen fisik atau kimia, seperti sinar UV dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel

dan menyebabkan kerusakan jaringan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap predisposisi

individual sangat bervariasi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas dan adanya

periode bergantian antara remisi dan kekambuhan dari penyakit ini.

Radiasi UV dapat mencetuskan dan mengekserbasi ruang fotosensitifitas pada SLE.

Juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan

terbentuknya autoantibody. Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosis manusia

yang menghasilkan bleps nuclear dan auto antigen sitoplasmik pada permukaan sel.

Penggunaan estrogen meningkat pada perempuan post menopause dan untuk

kepentingan kontrasepsi. Paparan estrogen secara kronik pada timus pre pubertas non imun

mempengaruhi perkembangan timus dan toleransi imun. Paparan senyawa estrogenic selama

kehidupan fetus dapat menimbulkan resiko immunologic yang potensial. Paparan dietil

besterol pre natal berhubungan dengan gangguan autoimun, meskipun masih memerlukan

investigasi lebih lanjut. HRT dan penggunaan pil kontrasepsi oral juga berhubungan dengan

sedikit peningkatan resiko berkembangnya SLE. Estrogen lingkungan dan gangguan endokrin

mungkin merupakan pencetus yang penting untuk autoimunitas pada individu yang peka.

SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang

mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak

terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein

tubuh.  Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk

kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Makanan

seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi

respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE. Selain itu infeksi virus

dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme

menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit

nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE.

10

Page 11: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

PATOFISIOLOGI3,4

Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,

peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi

autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena

adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA

bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA

dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan

antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan

dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan

mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang

patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin,

molekul CD 40, CTLA-4.

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1

berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan

membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10

yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga

mengganggu    cell-mediated immunity. Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa

berkurangnya  produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2

yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T.

Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan

fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan

limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi

menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-

antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun.

Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90  (HSP90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan

HSP 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya

respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+

(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan 

subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya  supresi  dengan

menyediakan signal bagi CD8+. Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan

berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan

11

Page 12: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua

subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan

sekresi autoantibody. Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu

jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga

menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama

kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan

mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi

tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan,

komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah

autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan

dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan

menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap

kerusakan jaringan.

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,

gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun

pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga

fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena  lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA

dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2,

C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem

imun dan terjadinya deposisi kompleks imun  pada berbagai macam organ sehingga terjadi

fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang

menghasilkan  mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang

inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang

bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya .

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi

apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat  (seperti klorpromazin yang menginduksi

apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh

makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta

kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran

sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan

CRP, TSP, SAP, dan  komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit

melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),

12

Page 13: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin 

antiinflamasi.  Sedangkan  pada  SLE  yang  terjadi  adalah ikatan dengan autoantibodi  yang

kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin

proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE

juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2.

GAMBARAN KLINIS3,4

Gejala konstitusional

Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita SLE dan

biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai

karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan, seperti adanya anemia,

meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednisone.

Apabila kelelahan disebabkan karena penyakit SLE, maka diperlukan pemeriksaan penunjag

lainnya, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Adapula keluhan penurunan berat badan pada

sebagian penderita dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

Penurunan berat badan ini terjadi akibat menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejal

gastrointestinal. Selain itu, demam sebagai salah satu gejala konstitusonal sulit dibedakan

dari sebab lain, seperti infeksi, karena suhu tubuh lebih dari 40⁰C tanpa adanya bukti infeksi

lain seperti leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil.

Manifestasi musculoskeletal

Keluhan musculoskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai

pada penderita SLE, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi

(artalgia), atau merupakan suatu arthritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan

ini seringkali dianggap sebagai manifestasi arthritis rheumatoid karena keterlibatan sendi

yang banyak dan simetris. Untuk itu perlu dibedakan dengan arthritis rheumatoid dimana

pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung

beberapa menit dan sebagainya. Satu hal yang perlu diperhatikan ialah kemungkinan adanya

koinsidensi penyakit autoimun kain seperti arthritis rheumatoid, polymyositis, scleroderma,

atau manifestasi klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian gejala klinis SLE.

13

Page 14: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Manifestasi kulit

Lesi muco-cutaneus yang tampak sebagai bagian dari SLE dapat berupa reaksi

fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cutaneus lupus eritematosus (SCLE), lupus

profundus/paniculitis, lesi vascular berupa eritemaperiunual, livedo reticularis, fenomena

raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula

berupa bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau

depigmentasi bibir. Manifestasi pada kulit yang berupa ruam eritematosa dapat timbul pada

wajah, leher, ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari SLE memiliki ruam khas

berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul

alopesia (rambut rontok), yang kadang-kadang dapat menjadi berat. Rambut biasanya dapat

tumbuh kembali tanpa masalah. Juga terdapat ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring.

Fenomena raynaud’s timbul pada sekitar 40% pasien SLE. Beberapa kasus sangat berat

sehingga dapat terjadi gangrene pada jari. Vaskulitis dapat menyerang semua ukuran arteria

dan vena.

Manifestasi paru

Berbagai manifestasi klinis paru-paru dapat terjadi, baik berupa radang interstitial

parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau

shrinking lung syndrome.

Pneumonitis dapat terjadi secara akut maupun kronik. Pada keadaan akut perlu

dibedakan dengan pneumonia bacterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan invasive

atau bilas bhronkoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan

dijumpai ronkhi basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada

alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini

memberikan respon yang baik dengan pemberian steroid. Hemoptisis merupakan keadaan

yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE ini dan memerlukan

penanganan yang teapat, dimana tidak hanya penggunaan steroid, namun dengan tindakan

pengobatan lain, seperti lasmaferesis atau pemberian sitostatika.

14

Page 15: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Manifestasi kardiologis

Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri subternal, friction

rub, gambaran siluete sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG. Apabila adanya

aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali, bahkan takikardi yang tidak jelas

penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut.

Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE dan bermanifestasi

sebagai angina pectoris, infark miokard, atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin

banyak dijumpai pada penderita SLE usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta

penggunaan steroid jangka panjang.

Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang juga

sering dijumpai pada SLE. Vegetasi pada katub jantung merupakan akumulasi dari komponen

imun, sel mononuclear, jaringan nekrosis, jaringan parut, hematoxylin bodies, fibrin dan

thrombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai adalah bising jantung sistolik dan

diastolik.

Manifestasi renal

Keterlibatan ginjal terjadi pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah

5 tahun menderita SLE. Rasio wanita:pria dengan kelainan ini ialah 10:1 dengan puncak

insidensi antara usia 20-30 tahun.

Gejala keterlibatan renal tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma

nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin > 500 mg/24 jam atau semi +3 semi kwantitatif,

adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit, atau gabungan serta pyuria (>5/LPB)

tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya

keterlibatan ginjal pada penderita SLE. Akan tetapi, melalui biopsi ginjal akan diperoleh data

yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini. WHO membagi klasifikasi

keterlibatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi enam klas.

Kajian yang masih kontroversil dan menarik untuk dibahas adalah kaitan gambaran

klinis, laboratorik, klasifikasi patologis. Kajian ini diperlukan sehubungan dengan

kepentingan strategi pengobatan dimana tujuan utamanya adalah mempertahankan fungsi

15

Page 16: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

ginjal. Namun demikian, adanya proteinuria, pyuria serta buruknya bersihan kreatinin dapat

diakibatkan sebab lain seperti infeksi, glomerulonefritis, efek toksik obat pada ginjal.

Manifestasi gastrointestinal

Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric vasculitis,

inflamatory bowel disease (IBS), pankreatitis, dan penyakit hati.

Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat penderita dalam

keadaan tertekan dan sifatnya episodik, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan

pada esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas. Keluhan dispepsia yang dijumpai lebih

kurang 50% penderita SLE, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai

glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan dengan pemakaian obat ini.

Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum, yang

dibuktikan dengan pemeriksaan autopsi. Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu

mendapat perhatian yang besar karena, walaupun jarang dapat mengakibatkan perforasi usus

halus atau colon yang berakibat fatal. Keluhan ditandai dengan nyeri di daerah abdominal

bawah yang hilang timbul dalam periode beberapa minggu atau bulan.

Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% penderita SLE. Keluhan ditandai adanya

nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amilase.

Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang dijumpai pada SLE, disertai dengan

peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali adan LDH. Kelainan ini berkaitan

dengan aktifitas penyakit dan penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama salisilat.

Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan apabila seorang wanita muda dengan poliartritis

dan mendapatkan salisilat dan didapatkan peningkatan serum SGOT/SGPT. Transamninase

ini akan kembalu normal apabila SLE dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan.

Manifestasi neuropsikiatrik

Pembuktian keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses

penegakkan diagnosis. Dapat dijumpai kelainan EEG namun tidak spesifik, pada cairan

serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA, atau

IgM, peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein, atau penurunan kadar glukosa.

16

Page 17: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis,

lesi syaraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis transversal. Sedangkan,

pada susunan syaraf tepi akan bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myashtenia gravis,

atau mononeuritis multipex. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat

organik maupun non organik.

Manifestasi hemik-limfatik

Limfadenopati bail menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada SLE.

Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan

karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm.

Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula adalah splenomegali yang biasanya

disertai pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan

adanya lupus antikoagulan. Anemia juga dapat dijumpai dalam suatu periode dalam

perkembangan penyakit SLE. Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses imun

dan non imun. Pada anemia yang bukan diperantarai proses imun diantaranya berupa anemia

karena penyakit kronik, defisiensi besi, sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk

anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia,

anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun, dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan

dengan proses autoimun, seperti anemia pernisiosa, acute hemophagocytic syndrome.

DIAGNOSIS KERJA4

Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.

American College of Rheumatology (ACG), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk

klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan.

Kriteria tersebut adalah :

(1)     Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.

(2)     Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat

dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.

(3)     Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari.

(4)     Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.

17

Page 18: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

(5)     Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak,

atau efusi.

(6)     Serositis

a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya

efusi pleura.

b.Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikardium

atau efusi perikardium.

(7)     Kelainan ginjal

a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+.

b.Ditemukan  eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.

(8)     Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.

(9)     Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leucopenia (kurang dari 4.000/mm3) atau

limfopenia (kurang dari 1.500/mm3), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa

ada obat penginduksi gejala tersebut.

(10)   Kelainan imunologik : sel LE, anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi

antifosfolipid atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu.

(11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi

atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi

sindroma lupus.

Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai dua atau lebih keterlibatan organ

sebagaimana tercantum di bawah ini:

1. Jenis kelamin wanita pada rentang usia reproduksi.

2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan

berat badan.

3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositosis.

18

Page 19: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLEi

membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,

vaskulitis.

5. Ginjal: hematuria, proteinuria, sindroma nefrotik.

6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen.

7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal. SLEi parenkim paru.

8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.

9. Retikuloendotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali).

10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

11. Neuropsikiatri:psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa,

neuropati kranial dan perifer.

DIAGNOSIS BANDING5,6

Tabel 2. Diagnosis banding SLE

Gejala Klinis

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Radiologi

Reumatid Artritis

Gejala konstitusional: lelah, anoreksia, demam, berat badan turun. Poliartritis simetris, kaku di pagi hari, artritis erosif, deformitas, nodul reumatoid. Gejala ekstraartikuler: nodul subkutan, vaskulitis, perikarditis, pleuritis, skleratis, neuropati perifer, anemia, osteoporosis generalisata, sindrom felty.

Faktor reumatoid positif, LED meningkat, leukosit meningkat sampai 15.000-20.000/mm3 Tes CRP positif.

Pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, erosi tulang pada tepi sendi, dan penurunan densitas sendi.

19

Page 20: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Artritis pirai (Gout)

Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus sendi MTP I, hiperurisemia, pada saat bangun pagi terasa sakit hebat dan tidak dapat berjalan. Nyeri bengkak pada sendi, terasa hangat, merah, dengan gejala demam, menggigil, dan lelah.

Terdapat kristal urat yang karakteristik dalam cairan sendi atau tophus yang terbukti mengandung kristal urat.

Pembengkakan jaringan lunak dengan klasifikasi tophus yang khas, peradangan dan efusi sendi, punch out lession pada permukaan sendi tanpa ada gambaran osteoporotik.

Osteoartritis

Nyeri sendi, hambatan gerak sendi, kaku pagi hari, deformitas, krepitasi, nyeri dan kaku tulang belakang sehingga terjadi keterbatasan gerak (ROM), Nodus Heberden, pembesaran sendi interphalanx.

LED meningkat karena sinovitis, tetapi biasanya pemeriksaan darah tepi (HB, leukosit, LED) dalam batas normal. Tes ANA, Reumatid Factor, dan komplemen dalam batas normal.

Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris, peningkatan densitas sendi (sklerosis) tulang sub kondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi, perubahan struktur anatomi sendi.

PENATALAKSANAAN3,4,7

Aspek penting dari pencegahan SLE adalah menghindari terkena sinar ultraviolet

(UV). Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dimengerti

dengan sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet secara

normal akan bersifat antigenic dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena sinar.

Pasien SLE harus dianjurkan memakai paying, topi, dan baju lengan panjang apabila ke luar

rumah. Tabir surya dengan faktor proteksi 15 harus dipakai untuk menahan sinar ultraviolet.

Sebagian besar sunscreen topical berupa krem, minyak, lotio atau gel yang mengandung

PABA dan esternya, benzofenon, salisilat, dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet

A dan B. Sunscreen ini harus segera dipakai setelah mandi atau bila berkeringat.

Glukokortikoid local, seperti krem, salep, atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis

lupus. Pemilihan preparat topical harus hati-hati karena glukokortikoid topical, terutama yang

bersifat diflorinasi dapat menyebabkan artrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan

fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaan preparat local berkekuatan rendah dan

20

Page 21: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Sedangkan, untuk kulit badan dan lengan, dapat

digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat, dan

triamsinolon asetonid. Untuk lesi-lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar

pedis, dapat digunakan, glukokortikoid berkekuatan tinggi, misalnya betametason

dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid topical berkekuatan tinggi harus dibatasi,

selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan kekuatan yang lebih rendah.

NSAID

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan  termasuk salisilat dan

NSAID yang lain. NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik. NSAID

dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.

Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam

arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk

interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan  COX-1 merupakan enzim

yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk

melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada

mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal. Efek samping

penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser,  nefrotoksik,  kulit  kemerahan, 

dan  alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas

seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun

hingga 50%.

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek

samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE

dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang

digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain

dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan

efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak

direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan

seperti kortikosteroid atau antimalaria  tergantung dari manifestasi yang muncul.

Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam,

artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis

rendah aspirin (60–80 mg sehari selama kehamilan minggu ke-13–26) yang dikombinasikan

21

Page 22: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan

sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian

aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk

mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna

sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi

metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan

dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 –

20 menit. Aspirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari

dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin.

NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat

prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di

dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi

garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi

natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat

menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia. Oleh karena itu penggunaan NSAID

sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat

merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa

prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung.  Dengan menghambat

prostaglandin, NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh

asam lambung dan menyebabkan ulserasi. Karena efek samping tersebut di atas maka

pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif.

Tabel 3. NSAID lain yang dapat dipakai untuk SLE

ObatDosis sehari (mg)

FrekuensiBio-

avilibitas (%)

Half life

hour

Ikatan Protein

(%)

Eks. renal (%)

Eks. Feses(%)

Diklofenak 100-200 BID-QID 50-60 2 > 99 65 -Etodolac 400-900 BID-QID > 80 7,3 90 60 33Fenoprofen 1200-

3200TID-QID   3 99 90 -

Flurbiproven 200-300 BID-TID   5,7 > 99 > 70 -Ibuprofen 1200-

3200TID-QID > 80 1,8-2 99 45-

79-

Indometasin 50-200 BID-QID 98 4.5 > 99 60 33

22

Page 23: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Ketoprofen 150-300 TID-QID 90 2,1 90 80 -Ketolorac 20-40 TID-QID 100 5-6 > 99 91 6Meklofenamat 200-400 QID   1,3 99 70 30Nabumeton 500-

2000BID-QID > 80 22,5 > 99 80 9

Naproxen 500-1100

BID 95 12-17 > 99 95 -

Oxaprosin 600-1800

QID 95 42-50 > 99 65 35

Piroksikam 20-100 QID   50 98,5 NS NSSulindac 200-400 BID 90 7,8 > 93 50 25Tolmetin 600-

2000QID   2-7 NS ~

100-

Celecoxib 200-400 BID-QID   11 97 27 57

Antimalaria

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia,

lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa

mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga

menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi

DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta

penurunan pelepasan IL-1, IL-6,  dan tumor necrosing factor α (TNF- α) oleh makrofag dan

IL-2 dan interferon (IFN-γ) oleh sel T. Antimalaria mempunyai efek sun blocking, anti

inflamasi, dan imunosupresan. Efek imunosupresan antimalaria berhubungan denga

ikatannya dengan membrane lisosomal sehingga mengganggu rantai a dan b HLA klas II.

Antimalaria juga mengikat melanin da berperan sebagai sunscreen.

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan

kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien

memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50%  selama beberapa bulan 

sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan

tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu.

Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat.

23

Page 24: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Obat malaria yang sering digunakan adalah :

Klorokuin

Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan

pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg  (250 mg

klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati

dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya diberikan bersama dengan

makanan karena bioavailabilitasnya bagus (absorpsi meningkat). Secara luas didistribusikan

di seluruh tubuh, mengikat sel-sel yang mengandung melanin yang terdapat dalam kulit dan

mata, 50% – 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi secara lambat di ginjal dan yang

tidak terabsorpsi diekskresi dalam feses.

Hidroksiklorokuin

Dosis yang digunakan 155 – 310 mg (200 – 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek

samping yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi.

Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI).

Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon

terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi

kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami  lupus eritematosus pada kulit baik kronik

atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional.

Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim

fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk

mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan

tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan

meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat

terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan

mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag

jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon

antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α,

metaloproteinase, dan aktivator plasminogen. Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE

24

Page 25: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter

laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE

umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk

mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada

pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk

intravena  (10 – 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian 

prednison secara oral selama beberapa minggu.

Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan

yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan

penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada

4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid. Kadar    komplemen    dan   antibodi   

DNA    dalam    serum    menurun    dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti

vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan

respon dalam  5 sampai  19 hari.

Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya

lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan

terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala

yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit

2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah

asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day

dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah

ketika akan melakukan  tapering  dosis  prednison  20 mg  per hari atau kurang dan

penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi

kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).

Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam,

atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan

penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar

selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering

dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala.

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau

hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah

25

Page 26: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat

meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian

pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena

kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi

kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh

karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen

kalsium dan vitamin D.

Siklofosfamid

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang  berat dan merupakan obat sitotoksik

bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik,

diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan

kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B

dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (IgG) sehingga

mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang

meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Yang perlu diperhatikan adalah

dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh,

dan durasi remisi penyakit. Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA,

serum kreatinin dan meningkatkan  kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus

nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada

penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari

penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.

Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 ± 22% dari dosis oral. Siklofosfamid

dimetabolisme oleh hepatic microsomal mixed-function oxidase menjadi bahan yang  aktif. 

Obat   ini mempunyai ikatan  dengan  protein  plasma sebesar 13%, sedangkan metabolitnya

50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam bentuk utuh sebesar 6,5 ± 4,3% dan 60%

dalam bentuk metabolit. t1/2 7,4 ± 4 jam. Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid

adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan

dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan

kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma.

26

Page 27: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Intravena gamma globulin

Intravena gamma globulin digunakan untuk purpura trombositopenia idiopatik,

sindroma Gullain-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain.

Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi

reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik,

dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari  sel T dan sel B. Komponen-

komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4, CD8,

molekul HLA, dan sitokin. Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB. Intravena gamma globulin

mempunyai t1/2 21-29 hari. Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah,

mialgia, letih, sakit kepala, urtikaria, hipertensi, dll.

Terapi hormon

Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada

saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada

usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia.

Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan

respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan

pertumbuhan rambut. Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-

1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk

mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum

diketahui.

Tabel 4. Jenis dan dosis obat imunosupresan dan sitotoksik yang dapat dipakai SLE

Jenis obat Dosis Jenis Toksisitas Evaluasi Awal

PemantauanKlinis Laboratorium

Azatioprin

50-150 mg per hari, dosis 1-3, tergantung berat badan.

Mielosupresif, hepatotoksik, gangguan limfoproloferatif.

Darah tepi lengkap, kreatinin, AST/ALT.

Gejala mielosupresif.

Darah tepi lengkap tiap 1-2 minggu dan selanjutnya 1-3 bulan interval. AST tiap tahun dan pap smear secara teratur.

27

Page 28: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

Siklofosfamid

Per oral: 50-150 mg per hari. IV: 500 mg/M2 dalam dextrose 250 ml, infus selama 1 jam.

Mielosupresif, gangguan limfoproliferatif, keganasan imunosupresi, sistisis hemoragik, infertilitas sekunder.

Darah tepi lengkap, hitung jenis leukosit, urin lengkap.

Gejala mielosupresif, hematuria, dan infeltirlitas.

Darah tepi lengkap dan urin lengkap tiap bulan, sitologi urin dan pap smear tiap tahun seumur hidup.

Metotreksat

7,5-20 mg/minggu, dosis tunggal atau terbagi 3. Dapat diberikan pula melalui injeksi.

Mielosupresif, fibrosis hepatik, sirosis, infiltrat pulmonal, dan fibrosis.

Darah tepi lengkap, foto toraks, serologi hepatitis B dan C pada pasien resiko tinggi, AST, fungsi hati, kreatinin.

Gejala mielosupresif, sesak nafas, mual dan muntah, ulkus mulut.

Darah tepi lengkap, terutama hitung trombosit tiap 4-8 minggu, AST/ALT dan albumin tiap 4-8 minggu, urin lengkap dan kreatinin.

Siklosporin A

2,5-5 mg/kgBB, atau sekitar 100-400 mg per hari dalam dosis, tergantung berat badan.

Pembengkakan, nyeri gusi, peningkatan tekanan darah, peningkatan pertumbuhan rambut, gangguan fungsi ginjal, nafsu makan menurun, tremor.

Darah tepi lengkap, kreatinin, urin lengkap, LFT.

Gejala hipersensitifitas terhadap castor oil (bila obat diberikan injeksi), tekanan darah, fungsi hati dan ginjal.

Kreatinin, LFT, darah tepi lengkap.

Mofetil mikofenolat

2000 mg/hari mg dalam 2 dosis.

Mual, diare, leukopenia.

Darah tepi lengkap, feses lengkap.

Gejala gastrointestinal, seperti mual dan muntah.

Darah tepi lengkap, terutama leukosit dan hitung jenis.

PROGNOSIS4

Prognosis untuk SLE bervariasi bergantung pada keparahan gejala, organ-organ yang

terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan,

28

Page 29: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana

gejala-gejala ini dapat diatasi.

KESIMPULAN

SLE disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi kerentanan individu

melalui mekanisme yang berbeda. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain faktor genetik,

hormonal, lingkungan, ras dan induksi obat tertentu. Faktor genetik mempunyai peran yang

signifikan dalam perkembangan penyakit autoimun. Hal ini disebabkan adanya gangguan

pada haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang

berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen serta gen-gen yang mengkode reseptor

sel T, imunoglobulin, dan sitokin. Hormonal juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit

autoimun melalui hormon estrogen dengan mekanisme menekan imunitas yang diperantarai

oleh sel T  dan menyebabkan proliferasi sel B limfosit. Faktor lingkungan yang menyebabkan

timbulnnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar dan

dapat menyebabkan apoptosis dari sel keratonosit sehingga menyebabkan perubahan sistem

imun di daerah tersebut. Adanya induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang

mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak

terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein

tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks

antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Ras pada etiologi SLE

berkaitan dengan kerentanan genetik dan induksi obat.

Semua mekanisme tersebut dapat mengakibatkan abnormalitas dari sistem imun

berupa proliferasi autoimun yang menyebabkan tejadinya produksi autoantibodi. Produksi

tersebut juga dapat disebabkan karena terjadinya defek pada apoptosis sehingga tejadi

kematian sel secara besar-besaran. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan

antigen membentuk kompleks imun. Gangguan klirens kompleks imun yang dapat

disebabkan oleh defisiensi  komplemen mengakibatkan kompleks imun semakin lama berada

di dalam tubuh dan terdeposisi sehingga dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan

kerusakan jaringan. Hal ini memicu lepasnya mediator-mediator inflamasi yang dapat

menyebabkan terjadinya inflamasi yang bersifat kronik. Inflamasi inilah yang menimbulkan

penyakit SLE. Karena sistemik, maka penyakit ini mempunyai manifestasi yang sangat luas

meliputi muskuloskeletal, kulit, ginjal, saluran cerna, hati dan limpa, kelenjar getah bening,

kelenjar parotis, dll. Oleh sebab itu terapi yang diberikan juga sangat kompleks meliputi

29

Page 30: PBL Blok 14 Systemic Lupus Erytematosus

NSAID, kortikosteroid, imunosupresan, antimalaria, alternatif lain seperti antibodi

monoklonal, anti-DNA, intravena gamaglobulin, dll.

Daftar Pustaka

1. Soegondo S. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta: Pusat Penerbit

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2005.h.35-7.

2. Arif M, Suprohaita, Wahyu IW, Wiwiek S. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3.

Jilid ke-2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedoteran Universitas

Indonesia.2000.h.549-60.

3. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Edisi ke-5. Jilid ke-3. Jakarta: Interna Publishing.2009.h.2521-4, 2542-75.

4. Sylvia AP, Lorraine MW. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit.

Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2003.h.1382-404.

5. Arif M, Kuspuji T, Rakhmi S, Wahyu IW, Wiiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran.

Edisi ke-3. Jilid ke-1. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran

UI.2001.h.535-43.

6. Patrick D. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga.2006.h.80-3.

7. Sulistia GG. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.2007.h.234-45, 559.

30