BAB I.doc
Click here to load reader
-
Upload
yun-robby-zakri -
Category
Documents
-
view
7 -
download
3
Transcript of BAB I.doc
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada
abad 21 membawa manusia dalam era persaingan global yang semakin ketat
(Mappalotteng 2011). Tuntutan global yang semakin maju dan kompleks
memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu manusia yang
sadar sains (scientific literacy), memiliki kemampuan mengidentifikasi isu-isu
sains yang melandasi pengambilan keputusan dan menunjukkan posisi sains dan
teknologi yang diterimanya (Liliasari 2011). Individu yang memiliki literasi sains
akan mampu mengarungi kehidupan yang penuh tantangan dan persaingan,
sehingga perlu dilakukan pengembangan dan peningkatan kualitas SDM di segala
bidang kehidupan, terutama pendidikan (Amri et al.2013).
Pendidikan merupakan salah satu upaya yang efektif untuk menyiapkan
SDM berkualitas (Aryanta 2012). Pendidikan diharapkan memberi bekal peserta
didik untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari
(Millah et al. 2013). Salah satu komponen terpenting dari sistem pendidikan
adalah Kurikulum. Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan potensi,
perkembangan, kebutuhan, kepentingan, dan lingkungan peserta didik
(Akuntoto 2012). Berdasarkan Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh diyakini merupakan hal
yang penting dan mutlak dimiliki peserta didik untuk menghadapi tantangan hidup
masa depan.
Sains sebagai bagian dari pendidikan memiliki peranan penting dalam
menyiapkan peserta didik memasuki kehidupannya. Mudzakir (cit Marta 2013)
mengungkapkan bahwa sains memiliki potensi yang besar dan peranan strategis
dalam menyiapkan SDM yang berkualitas, memiliki kemampuan literasi sains
1
2
untuk menghadapi tantangan era industrialisasi dan globalisasi. Sains berkaitan
dengan cara mencari tahu alam secara sistematis, penguasaan kumpulan
pengetahuan berupa fakta, konsep-konsep atau prinsip serta merupakan suatu
proses penemuan (Pusat Kurikulum 2003).
Aspek pendidikan yang koheren dengan perkembangan zaman adalah
pendidikan sains. Rutherford & Ahlgren (1990) mengemukakan bahwa
pendidikan sains dapat menolong peserta didik untuk mengembangkan
pemahaman dan kebiasaan berpikir yang diperlukan sebagai manusia yang
memiliki tenggang rasa yang dapat berpikir untuk dirinya sendiri dan bangsanya.
Pendidikan sains juga harus mempersejatai peserta didik ketika berpartisipasi
menyumbangkan pikiran dengan sesama warga Negara untuk melindungi
masyarakat secara terbuka dalam keadaan bahaya. Proses pendidikan sains
diharapkan mampu membentuk manusia yang melek sains (literasi sains) dan
teknologi seutuhnya (Suhendra 2012).
Pembelajaran sains idealnya berorientasi pada hakekat sains yang
mengandung tiga hal, yaitu: produk, proses, dan sikap melalui keterampilan
proses (Rustaman et al. 2005). Sains sebagai produk berarti bahwa dalam sains
terdapat fakta-fakta, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang sudah diterima
kebenarannya. Sains sebagai proses berarti bahwa sains merupakan suatu proses
untuk mendapatkan suatu pengetahuan. Sains sebagai sikap berarti bahwa dalam
sains terkandung sikap tekun, terbuka, jujur, dan objektif. Peraturan Pemerintah
No. 32 Tahun 2013 dinyatakan bahwa bahan kajian sains meliputi: fisika, kimia,
dan biologi.
Biologi merupakan salah satu bagian dari sains idealnya mengacu pada
hakekat sains yang meliputi: produk, proses, dan sikap melalui keterampilan
proses. Pembelajaran biologi merupakan wahana untuk meningkatkan ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan sikap ilmiah serta bertanggungjawab terhadap
lingkungan (Sipahutar 2011). Biologi juga memiliki potensi besar untuk dijadikan
wahana guna meningkatkan kualitas pembelajaran dan literasi sains dan teknologi
(Citrawathi et al. 2003). Pembelajaran biologi yang ideal seharusnya guru
mengupayakan agar peserta didik mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuannya
3
sehingga biologi bukan sekedar hanya sebagai penguasaan konsep tetapi tetapi
suatu penemuan (Ratna 2012). Relevan dengan Peraturan Pemerintah No. 65
Tahun 2013 tentang Standar Proses dinyatakan bahwa tuntutan Kurikulum 2013
mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah (scientific approach) sebagai titian
pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik dalam
pembelajaran sains. Pendekatan ilmiah (scientific) perlu diperkuat dengan
pembelajaran berbasis inkuiri, sehingga dapat membantu peserta didik untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Pendekatan
ini menekankan pada cara peserta didik menemukan konsep dengan
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga dapat melatihkan kemampuan
peserta didik untuk memberikan prediksi dari permasalahan yang diberikan guru.
Karakteristik materi biologi bersifat kontekstual, permasalahan atau
fenomena yang diberikan guru erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari
(Yuliawati 2013). Fenomena atau isu lingkungan sebagai sumber belajar sesuai
diaplikasikan pada materi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, misalnya
materi Sistem Pencernaan. Proses mencerna makanan merupakan salah satu ciri
makhluk hidup yang dilakukan melalui sistem pencernaan. Materi biologi
hendaknya merupakan akumulasi pengetahuan sains, penyelidikan hakekat sains,
sains sebagai sarana berpikir, dan interaksi sains, teknologi dan masyarakat
(Adisenjaja 2012). Konsep-konsep biologi erat kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari yang mengkaitkan konsep biologi dengan kehidupan sehari-hari akan
membuat pembelajaran lebih bermakna dan bukan sekedar hafalan (Ratna 2009).
Hal tersebut relevan Peraturan Pemerintah No. 81A Tahun 2013 tentang
Implementasi Kurikulum dinyatakan bahwa Kurikulum 2013 berbasis pada proses
pembelajaran mengedepankan pengalaman langsung secara ilmiah melalui proses
mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan untuk
meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik, sehingga proses pembelajaran
lebih optimal.
Proses pembelajaran akan berjalan lebih optimal jika memaksimalkan segala
bahan ajar yang mendukung peserta didik (Habibi 2014). Bahan ajar sebagai
sarana pelatihan mandiri membantu peserta didik untuk belajar mandiri di luar
4
kelas tanpa atau dengan bantuan seperlunya dari guru (Probosari 2010). Pada
Kurikulum 2013 bahan ajar yang digunakan peserta didik adalah buku peserta
didik. Buku peserta didik berbasis scientific hendaknya memberi peluang kepada
peserta didik untuk dapat mengembangkan beberapa keterampilan yaitu:
keterampilan proses, kemampuan berinkuiri, kemampuan berpikir, dan
kemampuan literasi sains (Toharudin et al. 2011).
Literasi sains penting dikuasai oleh peserta didik berkaitan dengan
bagaimana peserta didik memahami lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, dan
masalah-masalah lain yang dihadapi masyarakat modern yang sangat bergantung
pada kemajuan IPTEK (Yusuf 2003). Kemampuan literasi sains dapat
meningkatkan pemahaman IPTEK yang nantinya menguntungkan bagi
masyarakat dimana peserta didik tinggal (Laugksch 2000). Organization for
Economic Cooperation Development (OECD 2012) menyatakan pengembangan
literasi sains menyangkut tiga dimensi yaitu: dimensi konten, dimensi proses, dan
dimensi kontek. Dimensi konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci dari
sains yang diperlukan untuk memahami fenomena alam. Dimensi proses merujuk
pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau
memecahkan masalah. Dimensi konteks sains merujuk pada situasi dalam
kehidupan sehari-hari yang menjadi lahan aplikasi proses dan pemahaman konsep
sains.
Pada kenyataannya penguasaan literasi sains peserta didik Indonesia masih
jauh dari harapan. Rendahnya kemampuan literasi sains peserta didik dalam
bidang IPA terbukti dari hasil survei Programme for Internasional Students
Assesment (PISA). Hasil survei PISA Tahun 2000 menunjukkan bahwa literasi
sains peserta didik Indonesia peringkat ke-38 dari 41 negara peserta.
Tahun 2003 menunjukkan bahwa literasi sains peserta didik Indonesia peringkat
ke-38 dari 40 negara peserta (OECD 2003). Tahun 2006 peringkat ke-50 dari 57
negara peserta (OECD 2006). Tahun 2009 peringkat ke-60 dari 65 negara peserta
(OECD 2010). Tahun 2012 menduduki peringkat ke-64 dari 65 negara peserta
(OECD 2014). Hasil studi PISA menunjukkan bahwa tingkat pencapaian literasi
5
sains peserta didik Indonesia masih dalam level rendah atau lebih pada
kemampuan menghafal dalam pembelajaran sains.
Rendahnya penguasaan sains juga terjadi di tingkat sekolah, peserta didik
belum mampu menggunakan literasi sains sebagai alat untuk menguasai ilmu
pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari,sehingga peserta didik
belum dapat mengkaitkan konsep biologi untuk memecahkan masalah lingkungan
dimasyarakat berkaitan dengan pemanfaatan produk-produk teknologi.
Berdasarkan hasil tes literasi sains di SMA N 8 Surakarta menggunakan soal
literasi sains yang diadopsi dari PISA (2006) menunjukkan bahwa proses
pembelajaran biologi belum optimal dalam mengembangkan kemampuan literasi
sains. Hasil tes literasi sains diperoleh persentase terendah 5,27% pada dimensi
konten (Yanti 2014) (Lampiran 1). Rendahnya literasi sains peserta didik
disebabkan karena pembelajaran bersifat hafalan. Terbukti dalam proses
pembelajaran peserta didik merasa kesulitan dalam memecahkan permasalahan
menggunakan metode ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan untuk
menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat membantu membuat
keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam.
Berdasarkan hasil observasi di SMA N 8 Surakarta melalui analisis
pemetaan 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) Tahun 2014 menunjukkan bahwa
terdapat gap pada standar 2 yaitu standar proses sebesar 2,78%. Rendahnya
standar proses menunjukkan bahwa guru mengedepankan aspek produk
dibandingkan proses (Yanti 2014) (Lampiran 2). Berdasarkan hasil pemetaan
materi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Tahun 2012/2013 khususnya
materi Sistem Organ menunjukkan bahwa persentase nilai peserta didik masih di
bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) tingkat sekolah sebesar 45,87; tingkat
kota/kab sebesar 58,98; pada tingkat provinsi 61,04; dan pada tingkat nasional
60,70. Hal tersebut senada hasil Ujian Nasional Tahun 2012/2013 khususnya
materi Sistem Pencernaan masih di bawah KKM yakni sebesar 62,03; pada tingkat
kota/kabupaten 60,44; pada tingkat provinsi 57,43; dan pada tingkat nasional
60,56 (Lampiran 3). Rendahnya hasil Ujian Nasional pada materi Sistem
Pencernaan didukung Zuriyani (2012) yang mengungkapkan bahwa konsep
6
Sistem Pencernaan yang harus diserap peserta didik terlalu banyak dalam waktu
yang relatif terbatas menyebabkan ketidaktuntasan peserta didik.
Berdasarkan hasil observasi proses belajar mengajar (PBM) yang dilakukan
guru di kelas menunjukkan bahwa metode pembelajaran yang biasanya digunakan
guru masih bersifat konvensional, pembelajaran biologi masih didominasi oleh
metode ceramah, diskusi, dan praktikum. Guru jarang menggunakan media dalam
menyampaikan materi pembelajaran, cara penyampaian materi ke peserta didik
masih bersifat teacher center learning, evaluasi yang dilakukan guru hanya
sekedar mengukur aspek pengetahuan kognitif, dan alokasi waktu yang digunakan
guru sesuai dengan silabus dan kalender akademik (Yanti 2014) (Lampiran 4).
Berdasarkan hasil observasi tersebut guru menjelaskan biologi hanya sebatas
produk dan sedikit proses. Salah satu penyebab yang menjadi alasannya adalah
padatnya materi yang harus dibahas dan diselesaikan sesuai tuntutan Kurikulum.
Peserta didik beranggapan biologi hanya berisikan konsep-konsep yang dihafal
untuk mengerjakan soal yang berdampak pada rendahnya hasil belajar biologi
serta tidak terlatihnya kemampuan literasi sains peserta didik.
Berdasarkan observasi peserta didik di kelas ketika PBM menunjukkan
bahwa proses pembelajaran kurang memberdayakan peserta didik sehingga
pembelajaran bersifat transfer of knowledge. Hal tersebut terlihat ketika proses
pembelajaran peserta didik cenderung aktif dalam kegiatan berkelompok dan
praktikum, jumlah peserta didik yang aktif sebesar 68% dan pasif sebesar 32%.
Peserta didik kurang optimal dalam mengembangkan kemampuan berpikir tingkat
tinggi, terbukti ketika peserta didik dihadapkan pada suatu permasalahan, peserta
didik kesulitan dalam menyelesaikannya. Persentase peserta didik yang memiliki
kemampuan berpikir tinggi sebesar 28%, sedangkan peserta didik dengan
kemampuan berpikir rendah sebesar 72%. Peserta didik juga masih kesulitan
menjawab pertanyaan dari guru tentang konsep materi yang dipelajari dengan
benar. Persentase peserta didik yang menjawab pertanyaan dengan benar 44%,
sedangkan dengan jawaban yang salah sebesar 56%. Selain itu, kerjasama dalam
kegiatan kelompok masih kurang hal ini terbukti ketika proses pembelajaran
peserta didik yang berinteraksi antar kelompok sebesar 24%; berinteraksi dengan
7
semua anggota kelompok sebesar 32%; berinteraksi dengan beberapa anggota
kelompok 28%; dan berinteraksi dengan satu teman sebesar 16% (Yanti 2014)
(Lampiran 5). Hal tersebut mengakibatkan peserta didik kurang berkembang
secara mandiri melalui penemuan dalam proses berpikirnya maupun dalam
memecahkan masalah, sehingga peserta didik kurang mengembangkan
kemampuan literasi sains.
Proses pembelajaran biologi tidak terlepas dari sarana dan prasarana yang
mendukung PBM. Salah satu sarana dan prasarana pendukung PBM adalah bahan
ajar. Berdasarkan hasil analisis dan hasil wawancara dengan guru mengenai bahan
ajar yang digunakan di sekolah menunjukkan bahwa bahan ajar masih bersifat
tekstual, hanya berupa kumpulan-kumpulan materi tentang konsep-konsep yang
dipelajari. Materi yang disajikan belum lengkap dan kurang mendukung peserta
didik untuk menemukan konsep melalui penemuan. Aspek keterbacaan dan
bahasa yang digunakan sulit dipahami. Terdapat banyak istilah asing yang belum
disertai penjelasannya. Bahasa yang digunakan bermakna ambigu sehingga
menimbulkan penafsiran ganda bagi pembacanya. Penyajian gambar belum
berwarna dan tata letak gambar belum sesuai dengan penempatannya. Soal-soal
yang terdapat dalam bahan ajar kurang memberdayakan kemampuan berpikir
tingkat tinggi (C4-C6) dan kurang mendorong peserta didik untuk berpikir ilmiah.
(Yanti 2014) (Lampiran 6 dan Lampiran 7).
Hal tersebut didukung hasil angket peserta didik yang menunjukkan bahwa:
1) 80% peserta didik menyatakan bahan ajar bersifat tekstual; 2) 71% peserta
didik menyatakan bahan ajar belum mendorong peserta didik menemukan konsep
melalui penemuan; 3) 58% peserta didik menyatakan materi yang disajikan pada
bahan ajar belum lengkap; 4) 57% peserta didik menyatakan aspek keterbacaan
sulit dipahami; 5) 62% peserta didik menyatakan bahasa kurang komunikatif
sehingga sulit dipahami; 6) 64% peserta didik menyatakan penggunaan bahasa
berbelit-belit, sehingga harus dibaca berulang-ulang agar dapat memahaminya;
7) 66% peserta didik menyatakan bahasa yang terdapat pada bahan ajar ambigu
sehingga menimbulkan penafsiran ganda; 8) 63% peserta didik menyatakan
8
gambar belum berwarna; dan 9) 54% peserta didik menyatakan tata letak gambar
belum sesuai penempatannya (Yanti 2014) (Lampiran 8).
Berdasarkan hasil analisis bahan ajar cetak menggunakan indikator literasi
sains dimensi konten di SMA N 8 Surakarta pada materi sistem pencernaan
menunjukkan nilai rata-rata aspek: 1) 2,44% untuk tujuan dan materi
pembelajaran; 2) 0% untuk aktivitas; dan 3) 3,66% untuk soal evaluasi
(Yanti 2014) (Lampiran 12). Hasil analisis bahan ajar cetak menggunakan
indikator literasi sains dimensi konten menunjukkan bahwa bahan ajar kurang
mendorong peserta didik belajar mandiri dalam menemukan konsep melalui
penyelidikan. Hal tersebut mengakibatkan peserta didik kurang mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi dan keterampilan proses melalui kegiatan
penyelidikan sehingga kegiatan belajar kurang bermakna sehingga literasi sains
dimensi konten belum optimal. Relevan pendapat Millah et.al (2012)
mengemukakan bahwa berdasarkan hasil pengamatan, bahan ajar yang beredar di
pasaran masih terdapat kekurangan, karena bahan ajar tersebut belum merancang
peserta didik untuk berpikir tingkat tinggi dalam memecahkan permasalahan
autentik dalam kehidupan sehari-hari serta mengaitkannya dengan masyarakat dan
lingkungan.
Adanya kesenjangan antara kondisi ideal dan kenyataan maka diperlukan
perbaikan kualitas bahan ajar bersifat mandiri yang mendorong peserta didik
menemukan konsep-konsep materi melalui penemuan/penyelidikan yang dapat
meningkatkan literasi sains. Guru sains dituntut harus memiliki kompetensi
mengembangkan bahan ajar yang bersifat mandiri yang mendorong peserta didik
menemukan konsep melalui penemuan. Sesuai dengan Undang Undang No. 14
Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 1 Ayat 10 yang dikemukakan bahwa
kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
harus dimiliki dihayati dan dikuasai oleh guru dan dosen dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan.
Model inkuiri merupakan model pembelajaran yang mendorong peserta
didik menemukan konsep melalui penyelidikan dengan menggunakan berbagai
sumber informasi dan ide untuk menambah pemahaman tentang suatu
9
permasalahan (Kuhlthau et al. 2010). Model inkuiri menekankan proses pada
pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sitematis. Pengetahuan
bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, tetapi hasil dari proses menemukan
sendiri. Informasi tidak hanya diberikan oleh guru, tetapi peserta didik mencari
dan menemukan sendiri suatu informasi dan berusaha untuk memecahkan
permasalahan yang ada (Saud 2008). Wenning (2005) membagi inkuiri menjadi
delapan tingkatan. Penetapan tingkatan tersebut berdasarkan pada sejauh mana
fokus kontrol antara peserta didik dan kompleksitas pengalaman intelektual yang
diperolehnya selama proses pembelajaran. Tingkatan tersebut meliputi: discovery
learning, interactive demonstration, inquiry lesson, guided inquiry laboratory,
bounded inquiry laboratory, free inquiry laboratory, pure hypothetical inquiry,
dan applied hypothetical inquiry.
Berdasarkan hasil pemetaan level inkuiri melalui angket menunjukkan
peserta didik berada pada level inquiry lesson dengan persentase sebesar 76%
(Yanti 2014) (Lampiran 11). Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan
inkuiri peserta didik belum mencapai level inkuiri ke tahap berikutnya sesuai
hierarki level inkuiri Wenning. Kemampuan inkuiri peserta didik perlu
ditingkatkan ke level satu tahap lebih tinggi yaitu guided inquiry laboratory
(GIL). Karakteristik GIL berorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari guru
untuk mengarahkan peserta didik pada pelaksanaan desain percobaan melalui
kegiatan pre lab dan multiple leading questioning (Wenning 2005b). Kegiatan
prelab dimaksudkan untuk mengaktifkan pengetahuan awal peserta didik dan
membantu peserta didik untuk memahami konsep dan tujuan pembelajaran serta
proses ilmiah untuk melakukan investigasi. Leading questioning pada
pembelajaran GIL adalah pertanyaan yang menuntun peserta didik dalam
menyusun langkah percobaan yang akan dilakukan (Intel Teach Program 2007).
Adapun sintaks GIL yaitu: 1) observasi; 2) manipulasi; 3) generalisasi; 4)
verifikasi; dan 5) aplikasi (Wenning 2011). Melalui sintaks tersebut diharapkan
peserta didik dapat menemukan konsep-konsep melalui penemuan/penyelidikan,
bukan sekedar hafalan sehingga dapat meningkatkan literasi sains dimensi konten.
Roestiyah (2008) mengemukakan GIL memiliki kelebihan yaitu dapat mendorong
10
peserta didik membentuk dan mengembangkan self concept pada diri peserta
didik, sehingga peserta didik dapat memperkuat pemahaman konsep dan ide-ide
yang baik, serta meningkatkan kemampuan mengaplikasikan pengetahuan dalam
situasi nyata .
Alasan lain pemilihan GIL sesuai dengan karakteristik pembelajaran di kelas
dan karakteristik peserta didik di SMA N 8 Surakarta. Berdasarkan hasil
wawancara dengan guru menunjukkan bahwa pembelajaran di kelas didominasi
ceramah dan praktikum. Kegiatan praktikum di sekolah berupa praktikum diskusi.
Praktikum diskusi yang dilakukan peserta didik sepenuhnya dengan bimbingan
guru. Guru berperan aktif dan peserta didik pasif dalam kegiatan praktikum.
Kondisi tersebut mengakibatkan kegiatan praktikum kurang optimal, peserta didik
menerima konsep dari guru (teacher center learning), sehingga kemampuan
berpikir tingkat tinggi peserta didik tidak terlatihkan (Yanti 2014) (Lampiran 9).
Hasil wawancara dengan peserta didik menunjukkan bahwa 64% peserta didik
mengharapkan kegiatan praktikum yang lebih menantang; 72% peserta didik
merasa bosan karena praktikum dilakukan sesuai dengan petunjuk praktikum yang
diberikan guru (Yanti 2014) (Lampiran 10). Didukung hasil observasi yang
menunjukkan bahwa 68% peserta didik memiliki kepercayaan diri tinggi dalam
diskusi kelompok dan praktikum terlihat ketika guru menyampaikan pertanyaan,
peserta didik merasa yakin mampu menjawab pertanyaan tentang konsep materi
yang dipelajari dengan tepat. Kepercayaan diri yang dimiliki peserta didik sesuai
dengan karakteristik GIL pada kegiatan pre lab. Relevan pernyataan Sanjaya
(cit. Tanti 2013) bahwa kegiatan diskusi membutuhkan sikap percaya diri yang
tinggi untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang
dipertanyakan, sehingga sikap percaya diri (self belief) diharapkan mampu
mengembangkan kemampuan bernalarnya dan dapat merencanakan serta
melakukan penyelidikan ilmiah. Adanya rasa ingin tahu yang tinggi, terbukti 72%
peserta didik aktif bertanya kepada guru dalam kegiatan praktikum dan diskusi
kelompok. Rasa ingin tahu yang tinggi sesuai dengan karakteristik GIL pada
kegiatan multiple leading questioning yakni pertanyaan yang menuntun dari guru.
Sesuai pernyataan Garton (2005) bahwa pembelajaran yang dimulai dengan
11
pertanyaan menuntun dari guru akan memancing rasa ingin tahu peserta didik
untuk menemukan jawabannya melalui perencanaan dan pelaksanaan
penyelidikan. Karakteristik PBM dan karakteristik peserta didik sesuai penelitian
Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) (2007) menyatakan GIL
sesuai dengan kegiatan yang dilakukan di laboratorium. Tujuan GIL memberikan
pengalaman terstruktur peserta didik dengan penyelidikan. Fokus kegiatan
labolatorium bergeser dari mengkonfirmasikan konsep untuk mengumpulkan data
dan mengembangkan konsep yang diinginkan. Hal tersebut membuat kegiatan
praktikum lebih bermakna bagi peserta didik dan meningkatkan retensi informasi
(Domin 1999).
Modul GIL merupakan modul yang membimbing peserta didik secara
mandiri merancang dan melakukan eskperimen karena adanya kegiatan pre lab
(diskusi di awal pembelajaran) dan multiple leading questioning (pertanyaan yang
menuntun) dari guru untuk membuat prosedur. Pertanyaan guru harus didasari
kemampuan bertanya yang baik, misalnya memberikan waktu tunggu yang cukup
banyak untuk mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, merumuskan
hipotesis, eksperimen, menarik kesimpulan, dan mengaplikasikan hasil
eksperimen dengan lingkungan sekitar. Modul GIL merupakan modul yang sesuai
untuk meningkatkan literasi sains dimensi konten karena berisi serangkaian
kegiatan penyelidikan, sehingga membuat pembelajaran biologi lebih bermakna,
tidak menitikberatkan pada aspek hafalan, sehingga peserta didik tidak memahami
apa yang dipelajari, tetapi hanya sebatas mengingat dan sewaktu-waktu dapat
dengan mudah terlupakan.
Modul GIL yang dikembangkan pada tema Sistem Pencernaan diharapkan
mampu mendorong peserta didik belajar mandiri dan dapat meningkatkan literasi
sains dimensi konten. Modul GIL memberikan pengalaman belajar yang lebih
konkret dan langsung, sehingga pembelajaran biologi akan lebih bermakna karena
bukan hanya sekedar menghafal konsep. Peserta didik menemukan konsep
melalui penyelidikan ilmiah dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sintak
dalam GIL yang memuat serangkaian penyelidikan ilmiah mampu meningkatkan
literasi sains peserta didik dimensi konten.
12
Bertolak dari latar belakang tersebut, dalam rangka meningkatkan kualitas
bahan ajar sekaligus solusi terhadap permasalahan pembelajaran biologi maka
perlu dilakukan penelitian dengan judul: ”Pengembangan Modul Berbasis Guided
Inquiry Laboratory (GIL) Untuk Meningkatkan Literasi Sains Dimensi Konten
Pada Materi Sistem Pencernaan Kelas XI”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dikemukakan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur pengembangan produk modul pembelajaran biologi
berbasis GIL untuk meningkatkan literasi sains dimensi konten?
2. Bagaimanakah kelayakan modul pembelajaran biologi berbasis GIL untuk
meningkatkan literasi sains dimensi konten?
3. Bagaimanakah efektifitas modul pembelajaran biologi berbasis GIL untuk
meningkatkan literasi sains dimensi konten?
C. Tujuan Pengembangan
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan dari
penelitian:
1. Mengetahui prosedur pengembangan produk modul pembelajaran biologi
berbasis GIL untuk meningkatkan literasi sains dimensi konten.
2. Mengetahui kelayakan modul pembelajaran biologi berbasis GIL untuk
meningkatkan literasi sains dimensi konten.
3. Mengetahui efektifitas modul pembelajaran biologi berbasis GIL untuk
meningkatkan literasi sains dimensi konten.
13
D. Spesifikasi Produk
1. Bentuk Modul Sains
Modul sains yang dikembangkan dalam bentuk cetak.
2. Materi Modul Sains
Modul sains berisi materi Sistem Pencernaan untuk peserta didik
SMA/MA Kelas XI Semester 2 disertai perangkat pembelajaran yang
mengacu pada Silabus dan RPP Kurikulum 2013.
3. Struktur Modul Sains
Modul sains mengacu pada struktur modul menurut
Toharudin et al. (2011) meliputi: a) identitas modul terdapat pada bagian
muka halaman yang memuat informasi mengenai judul bahan ajar, jenjang
kelas, dan waktu pelaksanaan, tujuannnya untuk memberikan kejelasan
tentang diperuntukkan untuk siapa, pada jenjang apa, dan kapan waktu
pelaksanaan modul; b) isi modul dilengkapi dengan kompetensi, indikator
atau tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, materi pembelajaran, dan
lembar kegiatan peserta didik untuk menunjang proses pembelajaran sains.
Lembar kegiatan peserta didik mengarahkan agar peserta didik melakukan
percobaan Sistem Pencernaan yang diharapkan mampu meningkatkan literasi
sains; c) bagian akhir modul dilengkapi dengan rangkuman untuk memberi
penguatan terhadap konsep-konsep yang harus dikuasai peserta didik,
glossarium yang memperjelas istilah-istilah sains yang diperkenalkan peserta
didik, dan daftar pustaka yang digunakan untuk menyusun modul. Modul
juga dilengkapi dengan evaluasi diri, sehingga memungkinkan peserta didik
secara mandiri melakukan penilaian berdasarkan uraian materi yang telah
diberikan.
4. Basis Modul Sains
Basis modul sains menggunakan sintaks model GIL menurut
Wenning (2011) meliputi: a) observasi: guru meminta peserta didik
merancang percobaan; b) manipulasi: peserta didik untuk melakukan
percobaan; c) generalisasi: peserta didik melakukan pengamatan dan
mencatat hasilnya; d) verifikasi: peserta didik menginterpretasi data dari hasil
14
percobaan; dan e) aplikasi: peserta didik menyelesaikan soal aplikasi dari
konsep yang ditemukan.
5. Keterbacaan Modul Sains
Aspek keterbacaan modul sains mudah dipahami, sistematika
penulisan sesuai EYD, menggunakan bahasa Indonesia yang komunikatif,
lugas, penggunaan bahasa asing tidak menyimpang dari materi, dan tidak
menimbulkan makna ganda, sehingga mudah dipahami peserta didik.
6. Tampilan Modul Sains
Modul sains memiliki tampilan yang menarik, pemberian warna
gambar sesuai dengan materi, gambar dilengkapi keterangan yang jelas,
tampilan warna gambar sesuai dengan warna aslinya dan gambar sudah
diletakkan pada penempatan yang tepat, sehingga memudahkan peserta didik
untuk memahami konsep yang abstrak.
E. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian
Asumsi dan keterbatasan penelitian dan pengembangan modul
pembelajaran GIL sebagai berikut:
1. Asumsi Penelitian
a. Pemberdayaan literasi sains peserta didik kelas XI SMA N 8 Surakarta
pada KD Sistem Pencernaan dapat dilakukan melalui pengembangan
modul pembelajaran GIL yang dirancang sesuai dengan indikator dan
karakteristik peserta didik.
b. Modul pembelajaran GIL untuk peserta didik kelas XI SMA N 8 Surakarta
pada KD Sistem Pencernaan mampu memberdayakan kemampuan literasi
sains dimensi konten pada peserta didik.
c. Instrumen yang valid mampu mengukur data secara tepat dan benar.
2. Keterbatasan Penelitian
a. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dibatasi sejumlah 25 peserta didik kelas XI SMA N
8 Surakarta Tahun Pembelajaran 2014/2015.
15
b. Objek Penelitian
1) Materi pembelajaran yang diajarkan tentang KD 3.7 Menganalisis
hubungan antara struktur jaringan penyusun organ pada sistem
pencernaan dan mengaitkannya dengan nutrisi dan bioprosesnya
sehingga dapat menjelaskan proses pencernaan serta gangguan fungsi
yang mungkin terjadi pada sistem pencernaan manusia melalui studi
literatur, pengamatan, percobaan, dan simulasi.
2) Literasi sains terdiri dari tiga dimensi, meliputi: dimensi konten,
dimensi proses, dan dimensi konteks (PISA 2012). Literasi sains yang
diukur dalam penelitian terbatas pada dimensi konten.
3) Pengembangan modul sains berbasis GIL mengacu pada model
Research and Development (R&D) modifikasi dari Borg and Gall.
Prosedur penelitian terdiri atas 10 tahap, meliputi: a) penelitian dan
pengumpulan data; b) perencanaan: c) pengembangan draft produk;
d) uji coba lapangan awal; e) revisi produk awal (tahap I); f) uji coba
lapangan utama/terbatas; g) revisi produk tahap II; h) uji lapangan
operasional/efektifitas; i) penyempurnaan produk akhir (revisi produk
akhir); dan j) diseminasi dan implementasi. Tahap penyebaran
(disseminate) dibatasi pada sekolah-sekolah dalam lingkup Karesidenan
Surakarta karena penelitian dilakukan di SMA N 8 Surakarta. Tahap
penyebaran dilakukan tepatnya di 7 sekolah SMA N Surakarta, yaitu:
a) SMA N 1 Surakarta; b) SMA N 2 Surakarta;c) SMA N 3 Surakarta;
d) SMA N 3 Surakarta; e) SMA N 4 Surakarta; f) SMA N 5 Surakarta;
g) SMA N 6 Surakarta; h) SMA 7 Surakarta.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dan pengembangan modul pembelajaran biologi
berbasis GIL sebagai berikut:
1. Bagi Peserta Didik
16
a) Memberikan suasana belajar yang mandiri, aktif, menyenangkan, dan
variatif, sehingga menumbuhkan minat belajar peserta didik.
b) Melatihkan kemampuan literasi sains dimensi konten peserta didik.
2. Bagi Guru
a) Menciptakan pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik.
b) Meningkatkan profesionalisme guru biologi dalam menggunakan modul
pembelajaran biologi berbasis GIL.
3. Bagi Sekolah
Sebagai sumber informasi dan dasar pertimbangan upaya peningkatan
pembelajaran biologi yang berkualitas, terutama meningkatkan literasi sains
dimensi konten peserta didik.
4. Bagi Peneliti
Produk modul biologi berbasis GIL dapat menjadi acuan untuk lebih
termotivasi untuk mengembangkan produk yang lain.
5. Bagi Peneliti Lain
Produk modul biologi berbasis GIL dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut.
G. Definisi Operasional
1. Modul Sains
Modul sains merupakan bahan ajar yang dirancang untuk membantu
peserta didik belajar mandiri tanpa bantuan dari guru, secara garis besar
terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari peserta
didik dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan
Modul yang berorientasi pada sains disusun berdasarkan kriteria tertentu agar
memiliki hasil yang berkualitas. Penyusunan modul sains sebaiknya mampu
menerjemahkan hakekat sains dalam proses pembelajaran, sehingga akan
dapat menumbuhkembangkan aspek sikap dalam diri peserta didik. Modul
sains bersifat fleksibel dan tidak kaku yang disusun secara sederhana untuk
memperkaya wawasan, pengetahuan peserta didik mengenai sains, dan
sebagai pelengkap dari buku sumber atau buku teks sains yang digunakan di
17
sekolah. Modul sains harus mengacu pada aspek-aspek literasi sains, yaitu:
istilah-istilah sains, membaca bahan bacaan sains, dan mengkomunikasikan
sains secara lisan dan tertulis (Toharudin et al. 2011).
2. Modul berbasis GIL
Modul pembelajaran berbasis GIL adalah modul pembelajaran yang
berisi kegiatan belajar yang berorirentasi pada proses penyelidikan untuk
menemukan konsep yang menjadi ciri khas dari pembelajaran GIL. Modul
berbasis GIL mengarahkan dan melibatkan peserta didik untuk menemukan
konsep dengan menjawab pertanyaan melalui penyelidikan ilmiah sehingga
peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan
konsep tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan menemukan konsep.
Menurut Wenning (2011) sintak model GIL mewarnai isi modul sains,
meliputi :a) observasi: guru meminta peserta didik merancang percobaan; b)
manipulasi: peserta didik untuk melakukan percobaan; c) generalisasi: peserta
didik melakukan pengamatan dan mencatat hasilnya; d) verifikasi: peserta
didik menginterpretasi data dari hasil percobaan; dan e) aplikasi: peserta didik
menyelesaikan soal aplikasi dari konsep yang ditemukan.
3. Literasi Sains
Literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan ilmiah untuk memahami alam dan untuk berpartisipasi dalam
mengambil keputusan yang mempengaruhi itu (OECD 2006). Literasi sains
terdiri dari tiga dimensi, meliputi: dimensi konten, dimensi proses, dan
dimensi konteks. Dimensi konten merujuk pada konsep-konsep kunci dari
sains yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang
dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Dimensi proses merujuk
pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau
memecahkan masalah. Dimensi konteks sains merujuk pada situasi dalam
kehidupan sehari-hari yang menjadi lahan aplikasi proses dan pemahaman
konsep sains. Dimensi literasi sains yang diukur dalam penelitian ini adalah
dimensi konten dengan menggunakan metode tes tertulis berupa pilihan
ganda.
18
PISA tidak secara khusus membatasi indikator konten sains pada
pengetahuan Kurikulum sekolah tiap negara partisipan, konten sains juga
termasuk pengetahuan yang diperoleh melalui sumber-sumber informasi lain
yang tersedia (PISA 2012). Indikator literasi sains dimensi konten yang
dikembangkan berdasarkan Kurikulum 2013 pada Kompetensi Dasar 3.7,
meliputi: 1) menjelaskan rancangan praktikum sistem pencernaan;
2) menjelaskan kandungan zat yang terdapat pada bahan makanan;
3) menyebutkan contoh bahan makanan sebagai sumber zat-zat makanan
yang diperlukan bagi tubuh; 4) mengevaluasi hubungan zat makanan pada
bahan makanan dengan fungsi tubuh; 5) menganalisis dampak kelebihan dan
kekurangan zat makanan bagi tubuh; 6) menjelaskan zat-zat aditif pada
makanan; 7) menganalisis dampak zat aditif bagi tubuh;
8) menganalisis cara perhitungan angka metabolisme basal; 9) menganalisis
cara perhitungan total energi yang diperlukan tubuh; 10) menganalisis cara
perhitungan berat badan ideal; 11) menganalisis cara perhitungan indeks
massa tubuh; 12) menjelaskan menu makanan seimbang; 13) menyusun menu
makanan seimbang; 14) menerapkan pola menu makan seimbang;
15) menyebutkan organ-organ penyusun sistem pencernaan manusia;
16) menjelaskan struktur organ-organ penyusun sistem pencernaan manusia;
17) menjelaskan fungsi organ-organ penyusun sistem pencernaan manusia;
18) menjelaskan mekanisme proses pencernaan manusia;
19) menganalisis berbagai kelainan dan penyakit pada sistem pencernaan
manusia; 20) menjelaskan teknologi yang berkaitan dengan sistem
pencernaan manusia; 21) menyebutkan organ penyusun sistem pencernaan
ruminansia; 22) menjelaskan struktur organ-organ penyusun sistem
pencernaan ruminansia; 23) menjelaskan fungsi organ-organ penyusun sistem
pencernaan ruminasia; 24) menjelaskan mekanisme proses pencernaan
ruminansia; dan 25) membedakan organ sistem pencernaan manusia dengan
hewan ruminansia.