BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang...
1
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Penelitian
Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku atau etnis. Etnis itu antara
lain adalah etnik Jawa, Bugis, Batak, Dayak, Arab,dan Tionghoa.1 Orang
peranakan Tionghoa Indonesia adalah orang Tionghoa peranakan yang tinggal dan
hidup di wilayah Indonesia. Mereka berasal dari keturunan orang Tionghoa dari
negeri Tiongkok dengan orang setempat atau lokal. Masyarakat Tionghoa di
Indonesia diperkirakan sudah sejak lama tinggal di Indonesia. Hal ini terlihat dari
sumber Tionghoa, misalnya Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-Pantai
Samudra) (1416), Xingcha Shenglan (Catatan Umum Perjalanan di Lautan)
(1436), dan Dong Xi Yang Kao (Telaah Samudra Timur dan Barat) (1618)
(Groeneveldt, 2009:14, 74, 78). Etnik Tionghoa tersebut melakukan perkawinan
dengan etnik setempat. Keturunan dari perkawinan tersebut sering disebut dengan
peranakan Tionghoa Indonesia (selanjutnya disebut peranakan Tionghoa)
(Salmon, 1981:15). Selain itu, orang Tionghoa terdiri atas golongan Tionghoa
totok dan golongan peranakan Tionghoa. Golongan Tionghoa totok adalah
1 Etnis Tionghoa Indonesia sebagian besar menempati suatu wilayah dalam jumlah yang cukup
banyak, seperti di daerah Singkawang. Penyebutan untuk orang Cina umumnya mengacu pada
penduduk yang tinggal di negeri Tiongkok atau Repbulik Rakyat Cina. Kata “Tionghoa” berasal
dari salah satu dialek (Hokkian) untuk kata “zhongguo” yang berarti zhong: tengah, guo: negara.
Menurut Leo Suryadinata (dalam Hermawan, 2005:65), kata “Cina” atau “Tjina” di Indonesia
sudah lama dipakai. Awalnya, kata ini memiliki konotasi negatif karena dikaitkan dengan
semangat nasionalisme untuk negeri Toiongkok atau RRC sehingga bukan sebagai wujud
nasionalisme lokal (Gungwu, 2001:5). Menurut Suryadinata, istilah Tionghoa dan Tiongkok
pernah diganti dengan Cina (lht. Lev, 2000:19). Mengenai sejarah penggunaan kata Cina,
Tionghoa, dan Tiongkok dapat dilihat lebih lanjut dalam Wibowo (2000) atau Mely G Tan (1979).
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
golongan yang tidak melakukan perkawinan dengan etnik yang lain atau darah
Tionghoa-nya masih murni, belum tercampur dengan darah etnik yang lain.
Masyarakat peranakan Tionghoa mengembangkan tradisi dan kebudayaan
dengan mengadaptasi tradisi setempat. Interaksi etnis peranakan Tionghoa
terhadap kebudayaan setempat dapat dilihat dari berbagai bidang seperti
pertanian, teknologi makanan, obat-obatan, pakaian, dan lain-lain2 seperti yang
dibahas oleh Denys Lombard (2005:243-329), Onghokham (Riwayat Tionghoa
Peranakan di Jawa, 2009), Leo Suryadinata (Kebudayaan Minoritas Tionghoa di
Indonesia,1988), dan berbagai kajian dari pakar yang lain seperti Claudine
Salmon (1981), A. Dahana (2007), Suminto Al Qurtuby (2007), Mary F. Somers
Heidhues (1974, 2000), dan lain-lain. Pembahasan dari para pakar itu
menunjukkan adanya saling pengaruh di antara kebudayaan Tionghoa dan
kebudayaan setempat.
Sastra adalah fenomena budaya dan sosial. Hal ini sekaligus menegaskan
bahwa sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial. Sebagai satu
produk kebudayaan, sastra peranakan Tionghoa tidak bisa dilepaskan dari konteks
sosial dan budaya pemiliki atau penciptanya.
Memasuki era 1880-an, orang peranakan Tionghoa menerbitkan karya
dengan menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa. Karya kesastraan itu oleh ahli
sastra disebut “de Indo-Chineseesche literatuur” (Nio Joe Lan, 1958), “Sastra
Asimilatif” (Pramoedya Ananta Toer, 1963), “antecedents of modern Indonesian
literature” (C.W. Waston, 1971), “Chinese Malay literature” (John B. Kwee,
2 . Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari material kebudayaan, seperti pembuatan batu bata,
pembuatan aneka makanan (tahu, bakso, mie), dan lain-lain.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
1977), “marginal literature” (Drewes, 1977), “Peranakan Chinese Literature”
(Claudine Slamon, 1981), dan dalam bahasa Cina disebut tusheng huaren wenxue.
Sementara ahli sastra Indonesia masih jarang yang membahas atau menyebutkan
jenis sastra ini, apa lagi diakui sebagai bagian sejarah sastra Indonesia. Sejak era
Orde Baru, karya Marga T dan Mira. W [keduanya adalah keturunan peranakan
Tionghoa] disebut dengan sastra populer (Hill, 1977, Riyadi, 1985:9), yang
seringkali dinilai kurang berkualitas karena jarang sekali dibahas secara akademik
oleh ahli sastra. Fakta ini menunjukkan bahwa masih terdapat “kerancuan istilah"
dalam menyebut jenis sastra ini dalam sastra Indonesia3.
Sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa sudah ada sejak sekitar 1870-
an hingga era sekarang4 dan mengalami berbagai perkembangan seiring
perubahan sosial, politik, dan kebudayaan. Sastra ini yang ditulis oleh keturunan
Tionghoa di Indonesia pada awalnya menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa.
Sebagai etnik campuran, mereka tidak sepenuhnya mengikuti tradisi budaya
Tionghoa dan tidak seluruhnya menyerap tradisi budaya setempat. Hal ini sesuai
dengan konsep alkulturasi atau perjumpaan berbagai tradisi budaya yang
mengatakan bahwa terdapat proses perubahan di dalam kebudayaan akibat dari
3 Sejak tahun 2000 hingga 2007 telah terbit ulang kesastraan peranakan Tionghoa oleh kelompok penerbit Gramedia dengan menggunakan judul Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Indonesia dalam jumlah kurang lebih 10 jilid. Penggunaan istilah kesastraan Melayu Tionghoa ini
diindikasikan dari karakteristiknya yang menggunakan bahasa Melayu Tionghoa dan ditulis oleh
orang peranakan Tionghoa sedangkan Kebangsaan Indonesia dapat diinterprestasikan sebagai
wujud pengakuan terhadap kesastraan, yakni kesastraan menjadi bagian dari sastra Indonesia atau
bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Dengan demikian, ada implikasi mengenai gagasan bangsa
dan nasionalisme. 4 Penyataan ini dapat membawa dua impilkasi. Pertama, bila mengacu pada suatu genre sastra,
jenis ini masih ada karena saat ini orang peranakan Tionghoa Indonesia masih menulis karya
sastra. Kedua, bila mengacu pada pengelompokkan yang lebih besar dalam konteks kesastraan
Indonesia, sastra ini tidak ada lagi, yang ada adalah sastra Indonesia saja atau sastra Indonesia
terdiri dari berbagai ragam genre atau jenis.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
kontak atau pertemuan dua tradisi budaya yang berbeda (Encyclopedia Britannica,
1973:53). Identitas yang berada “di antara” ini dapat diasumsikan menjadi
kekuatan masyarakat peranakan Tionghoa. Sastra yang dihasilkan juga menjadi
representasi ketionghoaan dan pandangan dunia mereka. Sastra itu meliputi cerita
terjemahan, saduran, dan adaptasi dari berbagai sumber dan cerita yang diciptakan
sendiri. Persilangan atau pertemuan kebudayaan itu menempatkan sastra ini
dengan menunjukkan karakteristik yang tidak sama dengan sastra yang lain,
terutama sastra Indonesia seperti pada tradisi Balai Pustaka. Perkembangan tradisi
kesastraan ini memberikan informasi tentang perkembangan fenomena budaya
dan sosial masyarakat peranakan Tionghoa yang membangun identitasnya.
Sebagai satu bentuk atau jenis yang tersendiri, sastra peranakan Tionghoa
diasumsikan dapat memberikan satu persamaan5 sebab ditulis oleh kelompok
orang yang sama. Kesamaan itu dapat terlihat dari topik pembicaraan, isu yang
dibawa, dan bentuk formal yang sama. Namun, pada kenyataannya, sastra
peranakan Tionghoa tidak menunjukkan persamaan tersebut. Topik atau isu yang
beragam muncul dalam sastra peranakan Tionghoa. Selain itu, bentuk yang
berbeda-beda atau sistem jejaring penerbitan yang berbeda juga ditemukan.
Perbedaan yang sering ditemukan adalah perbedaan isu, topik, jumlah pengarang,
dan materi cerita yang mengindikasikan munculnya satu persoalan mengenai cara
bertahan dan respon terhadap situasi sosial yang beragam di “tanah asing6”. Hal
5 Seharusnya memiliki karakteristik yang serupa atau sama, seperti topik dan masalah yang ditulis
dan gaya penyajian, seperti struktur ceritanya. 6 Gagasan mengenai “di tanah asing” ini diperoleh dari masyarakat peranakan Tionghoa sendiri di
era kolonial ketika itu. Hal ini dapat dibuktikan dari kelompok politik atau sosial yang
menganggap tanah air mereka sebagai “tanah asing” dan dioposisikan dengan “tanah leluhur”,
misal kelompok Sin Po. Dalam teks sastra, sering klai ditemukan konsep yang demikian, misal
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
ini merupakan representasi dari ekspresi sosial masyarakat peranakan Tionghoa di
Indonesia dalam memberikan respon terhadap situasi sosial.
Sastra merupakan fenomena budaya yang terikat oleh lingkungan sosial
atau situasi sosial sehingga sastra peranakan Tionghoa diartikan sebagai wujud
eskpresi sosial masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Barnett, 1970:621-632).
Namun, karya sastra sebagai wakil masyarakat dalam menghidupkan satu tradisi
kesastraan perlu dilihat bukan hanya pada persoalan pengaruh situasi zaman,
melainkan karya sastra dapat memberikan respons terhadap “kegelisahan sosial”.
Karya sastra dapat dipandang sebagai respon atas situasi sosial sehingga mereka
melakukan semacam akomodasi dan asimilasi7 terhadap lingkungan sekitarnya
(Faruk, 1999:14). Hal ini dibuktikan melalui topik atau tema dan bentuk
kesastraan yang dihasilkan sebagai bagian dari ekspresi sosial. Karya sastra yang
dihasilkan merupakan wujud dari pandangan kelompok terhadap situasi sosial
(bdk. Escarprit, 2005:10). Melalui laporan penelitian Claudine Salmon (1981) dan
membandingkan karya-karya yang ada, selama periode 1900-1942 atau paruh
pertama abad ke XX, sastra peranakan Tionghoa Indonesia telah mengalami
perubahan topik atau tema dan karakteristik yang lain seiring dengan
perkembangan situasi sosial, politik, dan budaya, baik di Indonesia, Tiongkok,
dan kawasan Nanyang8. Perubahan topik dan karakteristik yang lain tersebut tentu
teks Berdjoeang. Meskipun demikian, ada kelompok yang lain yang menganggap tempat
kelahiran dan tempat hidupnya sehingga ruang tersebut tidak dianggap sebagai “tanah asing”,
misal kelompok PTI. 7 Akomodasi memiliki pengertian bahwa masyarakat peranakan Tionghoa tidak menolak tradisi
setempat dan tidak menyatukan dalam kehidupannya secara total, tetapi menjembataninya agar
antara yang lokal dan tradisi Tionghoa dapat berjalan seimbang. 8 Nanyang, nan berarti selatan, yang berarti laut. Secara umum istilah ini berarti Laut Selatan. Kata
Laut Selatan merujuk negara-negara di wilayah laut selatan. Istilah ini merujuk pada wilayah Asia
Tenggara (Dahana, 2007:27).
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
saja ada sebab dan akibatnya. Mengetahui sebab dan akibat dari perubahan itu,
proses dari perkembangan tradisi kesastraan dalam rentang waktu antara tahun
1900-1942 dapat ditelusuri dan dijelaskan sebagai bagian dari perkembangan
ekspresi sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa. Ekspresi sosial itu dapat
dilihat dalam suatu waktu. Perubahan itu diindikasi sebagai bentuk perbedaan
ekspresi sosial yang dilatarbelakangi oleh pandangan kelompok sosial terhadap
situasi sosial
Dari tahun 1880-an hingga 1900-an, sastra peranakan Tionghoa
memunculkan bentuk sastra terjemahan atau adaptasi dari negeri Tiongkok atau
Barat. Dominasi topiknya adalah ajaran agama, pendidikan Tionghoa, ajaran
Kong Hucu, dan sejarah Tionghoa dengan gaya prosa seperti cerita hikayat di
dunia Melayu. Meskipun demikian, kuantitas karya-karya tersebut tidak banyak.
Sementara itu, dari tahun 1900-1910-an, karya sastra peranakan Tionghoa
memunculkan perubahan tema atau topik. Topik pendidikan, ajaran agama, dan
sejarah Tionghoa masih ditemukan, tetapi topik keunggulan dan sifat atau
karakter orang Tionghoa yang kuat, gigih, pekerja yang tangguh, dan
menggunakan tradisi dan adat Tionghoa menjadi bahasan utama dengan
membandingkan karakter atau tradisi orang setempat dan Barat yang masih jauh
dari “luhur dan baiknya” budaya Tionghoa. “Buruknya” tradisi yang bukan
Tionghoa itu diwujudkan melalui budaya pernyaian, kriminalitas, pelacuran, dan
kemiskinan etnik yang lain, misalnya pribumi dan Indo-Eropa atau Eropa. Karya
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
sastra itu merepresentasikan gerakan recinanisasi9 melalui gaya penulisan yang
didasarkan pada berita di surat kabar.
Memasuki tahun 1911 hingga 1920-an, karya sastra peranakan Tionghoa
mulai menunjukkan pergeseran topik dan juga gaya penulisan. Meskipun topik
ajaran agama, sejarah Tionghoa, dan pendidikan Kong Hucu masih ditemukan,
topik kriminalitas, kekacauan masyarakat, dan pengaruh pendidikan Barat mulai
dipersoalkan. Barat dituduh sebagai agen yang berbahaya selain juga memberikan
tanggapan terhadap politik pemerintah Hindia Belanda atas status peranakan
Tionghoa10
.
Dari tahun 1920 hingga 1942, berbagai topik muncul dalam karya sastra
sebagai respon dari situasi politik dan ekonomi. Perbedaan topik atau tema itu
menunjukkan usaha saling bertentangan satu dengan yang lain11
. Hal ini
memberikan gambaran bahwa dalam kesastraan ini terjadi perdebatan dalam
menentukan arah perjalanan atau identitas yang direpresentasikan melalui
perbedaan dalam menanggapi situasi sosial (bdk. Bromley, 2000:3-4). Persoalan
identitas menjadi semakin “menguat” tidak hanya pada sumber Tionghoa saja
seperti pada tahun 1900 hingga 1920-an. Topik atau permasalahan yang dibawa
antara lain adalah kembali pada ajaran Tionghoa dan menolak pembaratan atau
9 Istilah recinanisasi digunakan dengan mengacu pada pendapat Leo Suryadinata (1984), yang
berarti kembali pada ajaran atau adat leluhur, terutama Kong Hucu dan juga berarti sebagai
gerakan nasionalisme budaya Tionghoa. 10 Hal ini dapat dicontohkan melalui pendirian sekolah Tionghoa agar masyarakat peranakan
Tionghoa tidak berpaling pada tradisi kebudayaan dan nasionalisme pada Tionghoa. 11 Topik yang sering dijumpai adalah gagasan mengenai usaha menentang atau membuat tandingan
tentang konsep manusia modern atau gagasan yang dianggap dari Barat (liberalisme dan
komunisme). Pertentangan itu terletak pada cara membentuk manusia Tionghoa atau Timur,
misalnya ada yang menyetujui pendidikan Barat, ada yang anti pada pendidikan Barat, ada yang
mendukung pergerakan perempuan atau liberalisme perempuan, ada yang tidak setuju dengan hal
itu, ataupun ada yang mengabungkan antara pendidikan Barat dan model pendidikan Timur.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
budaya Barat, menerima Barat dan lokalitas, mengabungkan lokalitas dan
Tionghoa, dan lain-lain (bdk. Suryadinata, 1988:39-41). Topik itu terwujud dalam
masalah pendidikan, misal pertentangan antara pendidikan model Tionghoa dan
Barat atau model pendidikan ciptaan dari masyarakat Tionghoa perantauan
sendiri. Selain itu, pembicaraan mengenai gerakan perempuan, organisasi sosial,
ideologi, politik, sumber identitas lokal, perang Cina-Jepang, dan lain-lain juga
diperdebatkan. Topik itu tidak memberikan suara yang monologik, tetapi dialogis,
yakni suara yang beraneka ragam mengenai berbagai persoalan yang ada. Topik-
topik itu dapat dilihat sebagai wujud ekspresi yang dilandasi oleh pandangan
dunia dalam masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Goldmann, 1977:18).
Sementara di tahun 1920-1942, jumlah karya sastra peranakan Tionghoa
mengalami peningkatan. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa sastra ini
mempunyai jumlah pembaca yang banyak untuk kalangan dewasa atau pemuda
yang cukup matang dalam menentukan perjalanan hidup karena isi cerita
mengkisahkan kehidupan remaja hingga menjelang usia dewasa atau
menceritakan kesuksesan hidup berumah tangga12
. Selain itu, perbedaannya tidak
hanya pada jumlah saja, tetapi komunitas sastra yang beragam mulai hadir dalam
kesastraan peranakan Tionghoa. Komunitas itu tergabung dalam jejaring majalah
kesastraan13
. Selain itu, wujud fisik dari karya sastra yang digunakan juga cukup
khas14
, yakni novel dengan jumlah halaman dan ukuran buku saku/kecil atau
12 Contoh teks itu diantaranya adalah Koerang Dapet Pendidikan (1929) karya Louw Seng
Hoejin, Dr. Lie (1932) karya Maddona, Magdalena Chen (1933) karya Oey Kiem Soey, Swaote
Kwadjiban (1930) karya Ong Pik Lok, Oeler Jang Tjantik (1929) karya Soe Lie Piet, dan lain-lain. 13 Contohnya adalah Penghidoepan, Tjertita Roman, Moestika Roman, dan lain-lain. 14 Ciri fisik tersebut adalah bahwa teks sastra peranakan Tionghoa memiliki bentuk ukuran buku
yang relatif kecil, halaman yang terbatas, iklan dan gambar-gambar tertentu (ratu kecantikan
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
novel yang dijadikan cerita bersambung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa
sehari-hari pada masa itu di kalangan peranakan Tionghoa. Bahasa itu memiliki
kata-kata atau frase khusus yang menjadi penanda tertentu, seperti “kesopanan
Tionghoa” dan “adat Tionghoa” yang beroposisi dengan frase “ultra Barat”,
“kebaratan-baratan”, “tidak tahu adat”, “kemajuan”, “zaman modern”, dan lain-
lain.15
Sementara itu, pilihan kata dan struktur kalimat tidak menunjukkan
perubahan, seperti tetap munculnya kata asing (bahasa Cina, bahasa Belanda, dan
bahasa Inggris)16
Kondisi tersebut berbeda dengan waktu sebelumnya, terutama tahun 1900-
1920-an. Jumlah karya tidak begitu banyak dan bentuknya bermacam-macam,
bisa syair atau novel yang panjang serta tidak memiliki jejaring komunitas sastra,
tetapi jejaring penerbitan yang independen atau tidak terikat pada ideologi
tertentu, tetapi komersial. Bahasa yang digunakan merujuk pada tanda-tanda yang
khusus, yakni frase atau kata tertentu, seperti “leluhur”, “ajaran Kong Hucu”,
“bangsa Tionghoa”, “kembali ke negeri leluhur”, “hormat pada leluhur”, dan lain-
lain yang dioposisikan dengan “lain bangsa” dan “bangsa Islam”. Masyarakat
pembaca era ini adalah golongan tua yang terpelajar sebab isi karya didominasi
cara mendidik anak agar kembali pada ajaran leluhur, orang tua yang dituntut
untuk mengajari anak agama Tionghoa (ajaran Kong Hucu) dan gerakan anti
Eropa, olah raga ekstrim, teknologi pesawat terbang, dan lain-lain) di dalam teks sastra, semacam
kata pengantar dari redaksi, halaman humor, dan lain-lain. 15 “Pada waktoe pertama kali saja poenja masa kasi taoe, jang saja soedah dilamar oleh satoe
pemoedah hartawan jang bernama Tjoa Siang Liem; saja laloe bilang padamama bahoea saja tisa
bisa ambil poetoesan moefaket atawa tida, sabelobn saja kenal pada itoe pemoedah, tapi saja
poenja permintaan ini jang saderhana soedah sianggep gelo dan ,,gila Barat” (Ong Khing Han,
1929, Perkawinan Tionghoa, hlm. 4). 16 ,,God, zeg.salah mengerti... (Pouw Kioe An, 1937, Oh Prempoean, hlm. 65), “,,Omm...owee
djadi tida bisa bergaoel lagi sama Clara, ...(Pouw Kioe An, 1937, hlm. 39)
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
budaya Barat dengan menumbuhkan keunggulan budaya Tionghoa. Perubahan
penanda kebahasaan dan jumlah terutama persebaran dapat dipandang sebagai
wujud cara berekspresi terhadap nilai-nilai dan situasi sosial yang melingkupinya
(bdk. Albrecht, dkk., 1970:29-33). Hal ini sesuai dengan dengan asumsi bahwa
sastra adalah produk sosial dan memiliki potensi untuk menghadirkan ekspresi
sosial.
Berdasarkan perbedaan cara merespon situasi sosial, fakta tersebut
memunculkan satu diskusi khusus seperti persoalan perbedaan topik dalam karya
sastra peranakan Tionghoa. Di samping itu, ada penanda kebahasaan yang
berbeda pada tiap zaman yang diasumsikan mewakili situasi dan ekspresi dalam
konteks sosial ketika itu. Atau, cara berekspresi yang berbeda tersebut merupakan
wujud dari cara mengungkapkan gagasan atau pandangan dunia yang sama dari
suatu kelompok sosial (bdk. Goldmann, 1977:98-99). Keadaan tersebut
memunculkan satu dugaan bahwa ada faktor yang menentukan cara berekspresi
dalam karya sastra, seperti situasi sosial tertentu, pilihan topik atau masalah dalam
karya sastra, dan usaha merespon struktur sosial dengan cara yang berbeda
sehingga menyebabkan perbedaan pemilihan motif atau topik pada karya sastra.
Selain persoalan tersebut, gejala yang muncul dalam sastra peranakan
Tionghoa adalah gejala membangun identitas orang peranakan Tionghoa (bdk.
Bromley, 2000:3-4). Pergulatan identitas itu diasumsikan terdapat dalam
keragaman topik atau masalah dalam karya sastra. Perbedaan motif atau persoalan
dalam karya sastra itu diasumsikan menunjukkan perbedaan dalam cara
mengeskpresikan pemikiran dan gagasan dalam mengasimilasi atau
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
mengakomodasi situasi sosial yang ada. Semua itu terwujud melalui tanggapan
sosial. Mengetahui sebab atau alasan dari muncul perbedaan pemilihan topik dan
cara mengeskpresikannya, disertasi ini mempersoalkan cara orang peranakan
Tionghoa dalam menanggapi situasi sosial dan menempatkan dirinya yang
direpresentasikan melalui karya-karyanya.
Indikasi terhadap topik yang berbeda itu diasumsikan terdapat landasan
ideologis, agama, dan politis. Namun, di satu sisi, peran dari kelompok sosial
dalam memberikan topik atau pemilihan persoalan terhadap tradisi kesastraan
dapat diasumsikan sebagai kekuatan dari kelompok sosial dalam memperjuangkan
pemikiran, padangan dunia, dan landasan ideologi akibat situasi sosial yang tidak
memenuhi keinginan dan cita-citanya. Pemikiran dan pandangan itu yang ikut
memberi “warna” dan mengerakkan bentuk-bentuk kesastraan (misalnya, topik,
motif, atau permasalahan dalam karya sastra) (Hauser, 1982:94-97). Mengetahui
alasan-alasan terjadinya pemilihan topik dan motif yang beragam dari anggota
kelompok sosial pengarang, hal itu akan mempermudah mengetahui wujud
tanggapan dan struktur sosial yang memungkinkan atas lahirnya karya sastra
tersebut sejak sekitar 1900-1942 sebagai representasi dari respon atas dunia sosial
dari masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Albrecht, dkk. 1970:615-620)
Wujud tanggapan atas dunia sosial yang terwakili dalam karya sastra
tersebut tidak dapat dipisahkan dari pandangan dunia17
kelompok sosial yang
termanifestasi dari tindakan dan pemikiran dari pengarang sebagai wakil
kolektifnya (Goldmann, 1977:17). Karya sastra dipengaruhi oleh situasi sosial
17 Suatu cara pandang terhadap realitas yang menyeluruh dari berbagai gagasan, aspirasi, dan
perasaan yang dimiliki oleh suatu kelompok yang dapat membedakannya dengan kelompok yang
lain.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
sehingga terhadirkan dalam bentuk perbedaan topik-topik kesastraan. Namun,
karya sastra sebagai representasi subjek kolektif bukan benda yang pasif, dia
memiliki kemampuan untuk menyuarakan dan mengasimilasi atau
mengakomodasi situasi sosial yang melingkupinya. Dua hal ini akhirnya
menunjukkan adanya interaksi antara karya dan situasi sosial sehingga wujud dari
interaksi itu adalah perkembangan tradisi kesastraan sebagai wujud ekspresi
sosial, yakni kemampuan atau implikasi subjek kolektif yang diwakili karya sastra
dalam menyiasati situasi sosial (bdk. Goldmann, 1977:98-99).
Berdasarkan beberapa keterangan tersebut, sastra yang ditulis oleh
peranakan Tionghoa dalam periode 1900-1942 tidak bisa dilepaskan dari situasi
sosial dan pandangan kelompok sosial tertentu. Ada dua pandangan yakni situasi
sosial yang melingkupi karya sastra diakomodasi oleh subjek kolektif dan situasi
sosial itu diasimilasikan oleh subjek kolektif. Kedua faktor itu mempengaruhi dan
mengerakkan tradisi kesastraan peranakan Tionghoa. Wujud tanggapan atas dunia
sosial itu merupakan satu bentuk cara masyarakat peranakan Tionghoa dalam
menempatkan diri dalam situasi dan era kolonial ketika itu di Indonesia (bdk.
Albercht, et.al. 1970:615-620).
Berdasarkan uraian tersebut, landasan dalam penelitian ini adalah bahwa
karya sastra merupakan hasil reaksi atas situasi sosial. Karya sastra dianggap
sebagai fakta sosial yang mewakili kelompok sosial tertentu yang terwujud dalam
bentuk struktur mental (Goldmann, 1970:584). Sementara itu, karya sastra
tersebut dapat diasumsikan mempengaruhi atau memiliki kesamaan dalam tradisi
sastra sezaman sebagai bentuk ekspresi sosialnya. Karya sastra yang memiliki
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
ideologi yang sama akan memunculkan ekspresi yang sama. Karya sastra sebagai
representasi kelompok sosial juga diasumsikan diterima, dibaca, dan direspon
oleh karya yang lain sehingga terjadi dialog melalui karya yang lain dalam
merespons situasi sosial yang ada. Namun, pandangan tersebut juga bisa berlainan
seperti teks-teks dari karya pengarang yang seideologi dan sezaman atau dalam
kelompok sosial yang sama dapat memunculkan perbedaan eskpresi sosial dalam
menghadapi situasi sosial, terutama persoalan tertentu. Melalui pandangan dunia
dari kelompok sosial tertentu diharapkan tereksplorasi perkembangan ekspresi
sosial dari tahun 1900-1942 dalam karya-karya yang ada. Dengan demikian,
karya sastra merupakan produk tindakan sosial yang mampu berkompromi
terhadap situasi sosial yang ada.
Jadi, masalah dalam penelitian ini adalah bahwa sastra peranakan Tionghoa
sebagai produk sastra Indonesia. Dengan demikian, isi karya sastra itu adalah
tanggapan atas dunia sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa Indonesia
yang terepresentasikan dalam karya sastra. Karya sastra yang dimaksudkan
meliputi rentang waktu antara 1900-an hingga 1942-an atau paruh pertama abad
ke XX. Karya sastra peranakan Tionghoa dari tahun 1900-an hingga 1942
diasumsikan mewakili tanggapan atas dunia sosial masyarakat peranakan
Tionghoa dalam merespon situasi sosial pada zamannya.
1.2 Masalah
Sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Sastra ini
merupakan wujud dari tanggapan terhadap dunia sosial atau struktur sosial
masyarakat peranakan Tionghoa. Atas dasar itu, karya sastra peranakan Tionghoa
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
merupakan karya yang bukan individual atau dia adalah wakil dari suatu
kelompok tertentu. Karya sastra ini dianggap sebagai usaha untuk mencari
harmonisasi atau keseimbangan terhadap dunia sosial ketika itu.
1.3 Rumusan Masalah
Sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Karya sastra
menunjukkan sebuah gagasan yang terdapat dalam struktur teksnya. Sebagai
produk sastra Indonesia, karya sastra adalah produk sosial sehingga dia
merupakan wujud tanggapan atas dunia sosial masyarakat peranakan Tionghoa.
Wujud tanggapan itu dapat dilihat dari cara para pengarang sebagai wakil
kelompoknya dalam menanggapi dunia sosial yang ada dan perbedaan topik atau
persoalan yang dibahas dalam karya sastranya.
1.4 Permasalahan
1. Dari sisi kesastraannya, karya sastra ini mengemukan sebuah gagasan yang
terlihat dalam struktur teks sastra peranakan Tionghoa Indonesia dan
homologinya dengan dunia sosial pada paruh pertama abad XX.
2. Dari sisi sosial, relasi struktur sosial dan subjek kolektif dalam sastra peranakan
peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh pertama abad XX merupakan wujud
dari dunia sosial.
3. Dari sisi etnik peranakan Tionghoa, pandangan dunia kelompok sosial
peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh pertama abad XX merupakan
manifestasi dari gagasan hidup dan cara menjalani hidup masyarakat pemilik
karya sastranya.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
1.5 Objek Penelitian
1.5.1 Objek Formal
Objek formal dalam penelitian ini adalah tanggapan atas dunia sosial dalam
masyarakat peranakan Tionghoa yang merupakan ekspresi sosial dalam
kesastraan. Tanggapan tersebut merupakan wujud dari kelompok sosial dalam
mencapai keharmonisan atau keseimbangan dengan dunia sosial atau struktur
sosial yang ada.
1.5.2 Objek Material
1.5.2.1 Populasi
Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni sumber primer
dan sekunder (Azwar, 2009:91). Sumber primer dalam penelitian ini terdiri atas
karya-karya sastra peranakan Tionghoa antara 1900-1942. Sumber sekunder
adalah semua pustaka yang mendukung dan memiliki relevansi dengan tema
penelitian, misal penelitian sebelumnya, dan artikel ilmiah.
Data dan objek kajian material yang diambil dari karya sastra memiliki
populasi atau jumlah yang banyak. Berdasarkan catatan sementara dari Claudine
Salmon (1981) jumlah karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia dari tahun
1880-an hingga 1960-an berjumlah 3005 yang terdiri dari 2757 karya yang
memiliki identitas pengarang dan 248 karya anonim. Dari 3005 karya itu, karya
sastra itu terdiri dari 73 drama, 183 syair, 233 terjemahan karya Barat, 759
terjemahan karya sastra Tionghoa, dan 1398 karya novel dan cerita pendek.
Setelah dilakukan pelacakan, dari 1398 karya novel dan cerita pendek tersebut,
karya-karya keagamaan, biografi, nasihat atau pendidikan, buku agama, dan
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
tulisan politik dimasukan dalam jenis ini. Secara tidak langsung, karya yang
berupa terjemahan, biografi, nasihat, buku pelajaran agama, buku kitab suci,
tulisan politik, dan sejenisnya tidak dimasukkan dalam data utama.
1.5.2.2 Sampel
Pemilihan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan atas
beberapa hal. Pertama, sampel dipilih dengan mempertimbangkan masalah atau
topik yang dibahas dalam penelitian. Kedua, sampel dipilih dengan
mempertimbangkan aspek pencipta yang dipandang dominan perannya dalam
dunia sastra peranakan Tionghoa pada periodenya. Hal ini bertujuan untuk
memberikan “jalan” bagi perolehan data dengan mendasarkan pada anggapan
bahwa karya sastra dipandang mewakili ekspresi zamannya.
Selanjutnya, kriteria yang penting lainnya adalah karya sastra yang dipilih
tersebut harus memiliki persyaratan yang diungkapkan oleh Lucien Goldmann
sebagai karya yang besar. Karya yang besar itu dicirikan18
oleh Goldmann
(1970:597) adalah karya yang berbicara tentang alam semesta, hukum-hukum atau
aturan-aturan dalam alam semesta tersebut, dan bebagai masalah atau persoalan
yang berkembang atau tumbuh dari keadaan tersebut. Karya yang besar juga
dihasilkan oleh subjek trans-individual, subjek yang mengalami pertentangan,
yang merupakan satu wakil dari kolektivitas. Dia mampu menghadirkan
pandangan dunia yang lengkap, menyeluruh tentang kehidupan dan
mempengaruhi umat manusia. Karya tersebut dapat berbicara mengenai persoalan
18 Realitas dalam sastra Indonesia tidak ada daftar karya besar atau agung ynag dikeluarkan oleh
suatu lembaga atau institusi tertentu. Kriteria dan lembaga yang menentukan karya besar belum
tentu dapat diterima sebab bisa bersifat politis, ekonomis, atau ideologis. Satu karya dianggap
besar bila memenuhi kreteria yang diberikan oleh Lucien Goldmann.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
seperti kebaikan melawan kejahatan, percintaan dan kebencian, kehidupan
manusia beserta masalahnya, dan lain-lain.
Berdasarkan kriteria tersebut, karya sastra yang dipilih sebagai sampel
untuk diteliti adalah Tjerita jang betoel soeda kedjadian di poelo Djawa daei
halnja satoe toean tana dan pachter opium di Res. Benawan, bernama Lo Fen
Koei (terpetik dari soerat kabar Bintang Betawi) (1903) karya Gouw Peng Liang
(selanjutnya disebut Lo Fen Koei), Nona Tjoe Joe Pertintaan jang membawa
tjilaka, ditoelis menoeroet tjeritanja Nona Tjoe Yoe sendiri (1922) karya Tio Ie
Soei, (selanjutnya disebut Nona Tjoe Joe), Drama di Boven Digoel (1932) karya
Kwee Tek Hoay, Berdjoeang (1934) karya Liem Khing Hoo, dan Raden Adjeng
Moerhia (1934) karya Njoo Cheong Seng. Sampel tersebut dijadikan sebagai
sumber data yang utama atau primer disamping sumber data yang lain, seperti
artikel atau tulisan, biografi pengarang, keadaan zaman dari para peneliti yang
lain, dan lain-lain.
Karya-karya tersebut dipilih karena beberapa alasan. Pertama, posisi para
pengarang yang cukup dominan dalam dunia sosial, politik, agama, dan literasi
sangat menonjol. Kedua, karya tersebut diasumsikan mengambarakan kehidupan
sosial pada zamannya. Ketiga, karya-karya tersebut menghadirkan topik yang
serupa pada zamannya, tetapi memiliki kelebihan tersendiri karena ditulis oleh
pengarang yang memiliki posisi cukup dominan dalam masanya. Hal ini
dibuktikan dengan aktivitas dan pengaruh pemikiran mereka terhadap para
pengarang yang lain. Keempat, karya tersebut memenuhi syarat seperti yang
dikemukan oleh Lucien Goldmann.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
1.6 Tujuan Penelitian
1.6.1 Tujuan Teoretis
1. Sastra peranakan Tionghoa jarang sekali dijadikan sebagai objek penelitian
oleh sarjana sastra Indonesia karena masih ada sebagian anggapan bahwa sastra
ini bukan bagian dari sejarah sastra Indonesia. Penelitian merupakan salah satu
upaya untuk mengakui keberadaan sastra peranakan Tionghoa sebagai bagian
dari sejarah sastra Indonesia.
2. Penelitian memunculkan gagasan baru dalam melihat masyarakat peranakan
Tionghoa dari sisi sosiologis dan historis melalui karya sastranya atau karya
sastra dapat memperlihatkan keadaan tersebut.
3. Penelitian ini berupaya untuk melihat karya sastra sebagai salah satu upaya
dalam memperlihatkan sejarah sosial suatu masyarakat.
1.6.2 Tujuan Praktis
1. Karya sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Jadi, produk
budaya masyarakat peranakan Tionghoa adalah produk masyarakat Indonesia.
2. Melalui pemahaman tentang topik atau isu dalam karya sastra peranakan
Tionghoa, masyarakat memperoleh satu pelajaran dan pemahaman budaya
peranakan Tionghoa sehingga mampu memaknai ulang hubungan etnisitas
antara etnik peranakan Tionghoa dengan etnik yang lain .
3. Melalui pemahaman terhadap dunia sosial dan budaya orang peranakan
Tionghoa, pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan kajian ini sebagai
pembanding atau data untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan
pembangunan hubungan etnik dan masalah etnisitas dalam konteks kebangsaan.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
1.7 Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap sastra peranakan Tionghoa.
Topik pertama adalah penelitan atau tulisan yang membahas masalah ruang
lingkup sastra peranakan Tionghoa, topik atau tema karya sastra peranakan
Tionghoa. Penelitian ini dapat dilihat dari beberapa tulisan seperti Sastra-
Indonesia Tionghoa (1950) oleh Nio Joe Lan (1958), Chinese Malay Literature of
Peranakan Chinsese In Indonesia 1880-1942 (1977) oleh John B. Kwee (1977),
Literature In Malay By The Chinese of Indonesia: A Provisional Annotates
Bibliography (1981) oleh Claudine Salmon, Siti Faizah Sunoto (1994) “Seri
Roman Melayu Cina”, tulisan dari Leo Suryadinata (1993) “From Peranakan
Chinese Literature to Indonesia Literature: a Prilimary Study” yang memberikan
definisi sastra peranakan Tionghoa, perkembangannya hingga sebelum perang,
dan topik atau temanya. Tulisan dari Leo Suryadinata itu memiliki kesamaan
dengan tulisan Leo Suryadinata sendiri dalam buku Kebudayaan Minoritas
Tionghoa di Indonesia (1988), terutama bagian “Sastra Peranakan di Indonesia:
Sebuah Catatan Singkat” dan artikel yang terbit dengan judul “The Study of
Peranakan Chinese Literature: a Prilimary Survey” (1994).
Topik yang kedua adalah mengenai pemikiran dan aktivitas pengarang
dalam dunia sosialnya juga ditemukan dengan perspektif psikologis. Topik
tersebut setidak-tidaknya dapat ditemukan dalam beberapa pengarang yakni Kwee
Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, dan Khoo Ping Hoo. Yang pertama adalah Kwee
Tek Hoay yang dibahas dalam 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil
Sampai Ke Pendekar Pena (1989). Kedua adalah Khoo Ping Hoo yang termuat
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
dalam penelitian yang berjudul “Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo: Writer of
Cloak-and Dagger Stories in Indonesia (1926-1994)” (1993) oleh Myra Sidharta.
Ketiga adalah “Njoo Cheong Seng: A Peranakan Novelist, Playwright, Director,
Poet, Editor” oleh Myra Sidarta (1995). Ketiga judul itu memberikan uraian
biografi, aktivitas sosial, topik-topik dalam karyanya yang dihubungkan dengan
situasi sosial yang ada, dan peran mereka dalam dunia sastra atau kehidupan
sosial. Topik tersebut juga diulang lagi oleh Myra Sidharta (2004) dalam buku
Biografi Delapan Penulis Peranakan:Dari Penjaja Tekstil Sampai Superwoman
yang memuat pengarang seperti Kwee Tek Hoay (1885-1951), Njoo Cheong Seng
(1902-1962), Nio Joe Lan (1904-1972), Tan Han Boen (1905-1983), Ang Ban
Tjiong (1910-1938), Hoo Eng Djie (1906-1962), Ong Pik Hwa (1906-1972), dan
Khoo Ping Hoo (1926-1994)19
.
Topik yang ketiga adalah hubungan teks karya sastra peranakan Tionghoa
dengan teks sastra Melayu melalui perspektif intertekstual. Hubungan
intertekstualitas menjadi fokus kajiannya. Hal ini dapat dilihat dari tulisan yang
berjudul “Making it New in 1884 Lie Kim Hok’s Syair Siti Akbari” (1998) oleh
Kolster. Tulisan ini menguraikan proses penciptaan Syair Siti Akbari oleh Lie
Kim Hok. Walaupun Lie Kim Hok mengadaptasi dari cerita-cerita lisan dan cerita
rakyat seperti panji, Lie Kim Hok telah mengarahkan syair ini ke arah realisme
idealis. Hal ini dibuktikan dengan struktur naratif, terutama modifikasi pada tokoh
dan alur atau pola ceritanya yang terpengaruh oleh realisme idealis dari sastra
Barat. Selain itu, penelitian yang berjudul “Aux origines du Roman Malais
19 Dua artikel dari Myra Sidharta tersebut diterbitkan ulang dalam buku tersebut dengan
pengubahan redaksi bahasa seperlunya.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
Moderne: Tjhit Liap Seng on “Les Pleides” de Lie Kim Hok (1886-1887)” oleh
Claudine Salmon (1993) juga memiliki topik yang sama dengan tulisan Koster.
Salmon (1993) menuliskan tentang pendirian percetakaan Tionghoa, riwayat
singkat dari tokoh Lie Kim Hok, dan poses kreatif dari Lie Kim Hok yang
memiliki hubungan dengan teks-teks sosial yang menjadi bahan ceritanya. Tulisan
Monique Zaini-Lajoubert dalam “Le Syair Cerita Siti Akbari de Lie Kim Hok
(1889): Un avatar du Syair Abdul Muluk (1864)” adalah contoh nyata dari
hubungan intertekstual antara Lim Kim Hok dan Siti Akbari. Menurutnya, Liem
Kim Hok mengadaptasi cerita Abdul Muluk dengan modifikasi pada struktur
cerita yang meliputi tokoh, penceritaan, dan gaya yang berbeda. Sudut pandang
tulisan Monique Zaini-Lajoubert ini memiliki kesamaan dengan penelitian Kolster
(1998).
Topik yang keempat adalah proses kreatif pengarang dalam menghasilkan
karya sastra. Topik ini muncul dalam tulisan “Au Carrfour de la litteratue et de
l’historie: “vent de folie” de Njoo Cheong Seng (1950)” oleh Denys Lombrad
(1998). Tulisan ini membahas kisah perjalanan pengarang Njoo Cheong Seng
yang menulis cerita Taufan Gila yang diterbitkan di Tjilik Romans. Tulisan ini
menyebutkan bahwa bahasa yang digunakan dalam cerita itu adalah bahasa
Makasar dan Melayu dalam bentuk puisi yang bercerita tentang Bung Daeng
seorang pahlawan yang malang. Tulisan ini memberikan informasi bahwa Taufan
Gila itu adalah cerita biografi yang terinspirasi oleh kejadian Madiun 1948, ditulis
dalam bentuk plot yang populer, bercerita tentang pembuangan tahanan ke Boven
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
Digoel, dan usaha mencari kebenaran dalam dunia mistis. Penulisan teks ini
dipandang sebagai bentuk proses kreativitas dari Njoo Cheong Seng.
Topik kelima adalah karya sastra sebagai cermin sosial atau refleksi atas
kenyataan mendominasi topik penelitian terhadap sastra peranakan Tionghoa.
Topik ini menggunakan sudut pandang sosiologi sastra. Hal ini setidak-tidaknya
dapat dicontohkan oleh beberapa penelitian. Pertama, “Beware and Reflect,
Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and The Emergence of Chinese-
Malay Literature in The Indies” oleh Maier (1994) adalah penelitian yang
menguraikan bahasa yang digunakan oleh orang peranakan Tionghoa dalam
menulis cerita, novel, dan lain-lain. Dengan mengambil contoh Tjerita Njai
Soemirah Jilid I dan II, Maier (1994) menyimpulkan bahwa cerita tersebut
mengingatkan para pembaca tentang kemungkinan bahwa ras dan etnisitas
didefinisikan oleh bahasa yang digunakan. Bahasa sastra dapat dipandang sebagai
cermin atau refleksi terhadap dunia sosial masyarakat peranakan Tionghoa.
“Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity: Literary Representations of
Indies Society” oleh Hellwig (2002) dipandang sebagai refleksi terhadap realitas
sosial yang menempatkan perempuan Indo Belanda dalam posisi terjajah secara
ras dan ideologi seperti dalam perbandingan antara Warm Bloed dengan Tjerita
Nona Diana. Contoh lain sastra sebagai refleksi realitas sosial dapat ditemukan
dalam penelitian seperti “Gouw Peng Liang’s Novella, Lo Fen Koei: Patron and
Women, An Account of the Peranakan Chinese Community of Java in the Late
19th Century” oleh Peter Worseley (2004), “The Han Family from the Residency
of Besuki (East Java) as Reflected in a Novella by Tjoa Boe Sing (1910)” oleh
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
Claudine Salmon (2004), “The Batavian Eastern Railway Co. and the Making of
a New “Daerah” as Reflected in a Commemoarative Syair Written by Tan Teng
Kie (1890)” (1987) oleh Claudine Salmon, “A Critical View of the Opium
Farmers as Reflected in a Syair by Boen sing Hoo (Semarang, 1889)” (1991) oleh
Claudine Salmon, dan “Lo Fen Koei Karya Gouw Peng Liang: Motif Kejahatan
dan Kebaikan dalam Masyarakat Tionghoa” oleh Dwi Susanto (2008) dan “Indo-
European and European Images in Peranakan Chinese Literature” oleh Dwi
Susanto (2010).
Selain topik tersebut, topik yang menggunakan sudut pandang sosiologi
sastra juga dengan itu dilakukan oleh Elizabeth Candra dalam National Fictions:
Chinese-Malay Literature and the Politics of Forgetting (2006), yang
memfokuskan pada persoalan karya sastra sebagai wujud dari praktik kebudayaan
yang bersifat politis. Chandra (2006) memfokuskan pada karya sastra peranakan
Tionghoa dari tahun 1870-1942. Karya sastra peranakan Tionghoa dipandang
sebagai wujud memori kolektif yang “dilupakan” dalam sejarah sastra Indonesia.
Keadaan itu terus berlanjut hingga Indonesia merdeka. Tulisan itu juga
mengungkapkan bahwa para pengarang menuliskan topik karya sastranya yang
berbeda atau menentang topik yang diungkapkan oleh sastra tradisi Balai Pustaka
(pemerintah kolonial) dalam proyek modernisasi. Perbedaan atau penentangan itu
merupakan satu strategi dan ideologi karya para pengarang peranakan Tionghoa.
Serupa dengan topik yang menggunakan perspektif sosiologi sastra, tulisan
dari Wuryandari (1999), “Nilai-Nilai Budaya Timur dan Barat dalam Kasopanan
Timoer dan Doerinja Pernikahan Karya Dahlia (Tan Lam Nio)” mengunakan
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
perspektif sosiologis dengan bantuan semiotik. Hasil yang diperoleh adalah bahwa
masyarakat peranakan Tionghoa masih berupaya mengali nilai-nilai budaya Timur
untuk kehidupan mereka. Nilai budaya Timur diwujudkan dalam sopan santun,
prinsip patrilineal, tata cara perkawinan, dan menolak persatuan perkawinan Barat
dengan Timur. Sementara itu, nilai budaya Barat diwujudkan dalam beberapa
bentuk yakni pendidikan, teknologi, rumah tinggal, dan pakaian. Menurutnya,
kedua teks ini dengan bantuan teks yang lain merefleksikan nilai budaya yang ada
dalam masyarakat peranakan pada masa abad ke-20.
Topik yang keenam adalah resepsi pembaca terhadap sastra peranakan
Tionghoa. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa artikel yang termuat di dalam
buku Literary Migrations: Tradisional Chinese Fiction In Asia 17-20th
Centuries
(1987), yakni artikel yang berjudul “Postwar Kungfu Novels in Indonesia: A
Preliminary Survey” (Leo Suryadinata) dan “Sam Pek-Eng Tay: A Chinese Loves
Story In Madurese” (Dede Oetomo). Artikel yang pertama tersebut senada dengan
tulisan dari Leo Suryadinata yang berjudul “Cerita Silat Sesudah Perang di
Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal” yang dimuat dalam buku Kebudayaan
Minoritas Tionghoa di Indonesia (1988). Tulisan dari Liang Liji (1988) yang
berjudul “Sastra peranakan Tionghoa dan kehadirannya dalam Sastra Sunda” juga
masuk kelompok ini. Liang Liji memberikan uraian mengenai pengaruh timbal
balik antara sastra Sunda dan sastra peranakan Tionghoa di dalam interaksi
kultural masyarakat Sunda. Menurutnya, struktur narasi penceritaan dan tema-
tema yang sama muncul dalam kedua jenis sastra tersebut. Selanjutnya, artikel
Leo Suryadinata (2009) yang berjudul “Kesusastraan Tionghoa dalam Terjemahan
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
Melayu/Indonesia, Dahulu dan Sekarang” memberikan uraian mengenai
terjemahan dan transformasi sastra klasik dan modern Tionghoa di Indonesia.
Topik serupa juga ditulis oleh Claudine Salmon (1974) “Aux origines de la
littérature sino-malaise: un sjair publicitaire de 1886”20
yang melacak gerakan
kesastraan peranakan Tionghoa masa awal melalui publikasi di tahun 1886. Selain
itu, tulisan yang lain adalah mengenai cerita klasik tentang pelayaran Zheng He di
Nusantara dan San guo zhi yanyi dalam dunia Melayu. Dua tulisan tentang hal itu
menceritakan mengenai kepopuleran cerita Zheng He dan juga sambutan terhadap
cerita Kisah Tiga Negara di kalangan kaum peranakan Tionghoa. Tulisan tersebut
adalah “Sanbao taijian en Indonésie et les traductions malaises du Xiyang ji”
(2005) dan “Les traductions du romans chinois en malais (1880-1930)21
. Kedua
artikel itu hakikatnya satu topik, yakni mengenai persebaran cerita klasik
Tionghoa dalam dunia Melayu atau Nusantara. Sebagai contohnya adalah
munculnya berbagai terjemahan atau cerita mengenai tokoh Zheng He dan
berbagai terbitan mengenai Kisah Tiga Negara.
Topik ketujuh adalah karya sastra sebagai representasi identitas juga telah
dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari tulisan “From Huaqiao to Minzu:
Constructing New Identities in Indonesia’s Peranakan Chinese Literature” oleh
Thomas Riger (1994). Penelitian ini meneliti identitas peranakan Tionghoa
dengan mengabaikan aspek pluralitas, heterogenitas, ruang, dan hibriditas
masyarakat Tionghoa Indonesia. Penelitian serupa dilakukan oleh Elizabeth
20 Artikel ini telah diterjemahkan dalam buku Claudine Salmon (2010). Sastra Indonesia Awal:
Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: Gramedia 21 Artikel ini telah diterjemahkan dalam buku Claudine Salmon (2010). Sastra Indonesia Awal:
Kontribusi Orang Tiongho. Jakarta: Gramedia
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
Chandra (2011) dalam “Fantasizing Chinese/Indonesian Hero: Njoo Cheong Seng
and the Gagaklodra Series” yang mengemukan mengenai peran dan konstruksi
pahlawan hibrid masyarakat peranakan Tionghoa dalam melawan kuasa penjajah.
Topik yang lain atau topik yang kedelapan, seperti posisi perempuan dalam
konteks sosial politik dari sudut pandang feminisme juga telah diteliti oleh
beberapa ahli. Sebagai contohnya adalah tulisan yang berjudul “Nyai Dasima, a
Fictional Women” oleh Hellwig (1992) ini mendiskusikan tentang posisi
perempuan dan relasi-relasi diantara para tokoh dalam cerita Nyai Dasima yang
menampilkan sudut pandang pengarang peranakan Tionghoa yakni O.S. Tjiang
dan Lie Kim Hok. Hal serupa diungkapkan oleh tesis yang berjudul “The Nyai in
Nyai Dasima, Nyai Ratna, and Nyai Alimah: A Reflection of Indonesian
Women’s Lives As Concubines of European in Indonesian’s Colonial Period”
oleh Ibnu Wahyudi (1995) yang menguraikan genre cerita pernyaian dalam sastra
Melayu Rendah sebagai bagian dari fiksi populer, terutama oleh pengarang
peranakan Tionghoa, seperti Tio Ie Soei dengan karya Tjerita Sie Po Giok (1911)
dan Gouw Peng Liang dengan novel Lo Fen Koei. Bukti yang lain dari topik ini
dapat ditemukan dalam tulisan Maimunah dengan judul “Tema Perlawanan
Terhadap Politik Identitas dan Praktik Pernyaian Dalam Tiga Cerita Tempo
Doeloe” oleh Maimunah (2005), yang memandang bahwa teks Pieter Elberverld
(1924) dari Tio Ie Soei ini berpihak pada Belanda atau kolonialisme.
Topik kesembilan adalah pengaruh aliran estetika dalam sastra peranakan
Tionghoa menjadi topik tersendiri karena penelitian terhadap hal itu jarang
dilakukan. Satu-satunya penelitian terhadap aliran estetika itu ditemukan dalam
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
judul “Romantisme dalam Sastra Melayu-Tionghoa: Pengalamannya Satu Bunga
Anyelir” oleh Jakob Sumardjo (2005). Tulisan ini membahas mengenai mahzab
sastra romantisime dalam sastra peranakan Tionghoa. Penulis menguraikan bahwa
secara umum sastra peranakan Tionghoa menggunakan aliran realisme. Ada
beberapa karya yang beraliran romantik yang salah satunya adalah
Pengalamannya Satu Bunga Anyelir karya Kwee Tek Hoay. Tulisan itu
menguraikan aspek-aspek romantisme dari salah satu karya Kwee Tek Hoay
tersebut. Selain itu, Jakob Soemardjo juga memberikan uraian bahwa salah satu
ciri utama dari karya peranakan Tionghoa itu adalah sifat diktaktik, cenderung
realis, dan naturalis.
Topik yang kesepuluh adalah perspektif pascakolonial, yakni
mengedepankan isu terjajah versus penjajah muncul sebagai topik yang banyak
ditulis oleh para peneliti sastra ini. Topik itu antara lain adalah “Berjuang (Liem
Khing Hoo) dan Bergerak (Tan Boen Soan): Strategi Esensialisme dalam
Mempertahankan Idenitas Kulural” oleh Dwi Susanto (2007). Menurutnya, kedua
teks tersebut menghadirkan kembali peran identitas diri yang esensialis dalam
bertahan di tanah perantauan. Melalui dua motif yang berbeda, konsep-konsep
yang melampau zamannya diutarakan seperti gagasan transnasional dan
transkultural. Tulisan “Pengalaman Diaspora (Peranakan) Cina di Indonesia: Satu
Kajian Terhadap Berjuang dan Masjarakat Karya Liem Khing Hoo” oleh Dwi
Susanto (2007) juga mengungkapkan hal yang serupa, yakni pemahaman kembali
terhadap makna diaspora dan usaha yang utopis terhadap cara bertahan hidup
melalui diversifikasi budaya, identitas yang baru, dan hibrid dalam teks ini yang
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
dimanfaatkan sebagai strategi untuk menjadi huayi dan usaha kongsi
perdagangan. Contoh yang lain tentang isu identitas tersebut dieksplorasi dalam
“Representasi Pribumi dan Cina dalam Peniti Dasi Barlian Karya Tan King Tjian
oleh Dwi Susanto (2008) dan juga “Indonesia Pre-War Chinese Peranakan
Writings as Indonesian Post-colonial Literary Texts” oleh Sim Chee Cheang
(2008). Tulisan Sim Chee Cheang membicarakan persoalan mimikri dan hibrid
dalam beberapa karya peranakan Tionghoa Indonesia. Penelitian yang lain dengan
topik serupa adalah “Representasi dalam Cerita Pieter Elberverld Karya Tio Ie
Soei: Suatu Kajian Pascakolonial oleh Dwi Susanto (2008:11-23) dan “Tusheng
Huaren Wenxue sebagai Sastra Diaspora dan Cerita Silat Sebagai Obat
Kerinduan” oleh Dwi Susanto (2008:1-7).
Topik yang kesebelas adalah bentuk-bentuk kritik sastra peranakan
Tionghoa. Kritik sastra dipandang sebagai cara menilai dan menginterpretasikan
fenomena kesastraan. Topik ini diwakili oleh penelitian yang berjudul
Perlawanan Diskriminasi Rasial Etnik Cina:Konteks Sosio-Ideologis Kritik
Sastra Tionghoa Peranakan oleh Faruk, Bakdi Soemanto, dan Bambang
Purwanto (2000). Dalam buku ini, persoalan terhadap kritik sastra Tionghoa
Indonesia hanya didasarkan pada beberapa kritik sastra atau hasil penelitian, yakni
buku dari Nio Joe Lan, John B Kwee, dan Claudine Salmon. Beberapa penelitian
atau tulisan dari berbagai jurnal ilmiah tidak dibahas meskipun tulisan-tulisan itu
memiliki berbagai perspektif yang berbeda-beda.
Berdasarkan penelusuran tersebut, masalah dalam penelitian ini belum
dibahas atau diteliti. Ada beberapa penelitian yang menggunakan sudut pandang
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
sosiologis yang serupa dengan penelitian ini, tetapi berbeda persoalannya. Namun,
hadirnya penelitian-penelitian tersebut amat penting dan bermanfaat bagi
penelitian ini sebagai pembanding atau pendukung dari berbagai data yang
disajikan. Selain itu, perspektif sosiologis dari penelitian yang telah ada masih
terbatas pada sudut pandang sastra sebagai refleksi sosial tanpa melibatkan
pengarang sebagai wakil masyarakatnya. Meskipun demikian, ada beberapa
penelitian yang melihat dari sudut pandang sastra sebagai cermin situasi sosial
pada zamannya, seperti yang dilakukan oleh Claudine Salmon (1987 dan 1991).
Namun, penelitian tersebut hanya memfokuskan pada seorang pengarang tanpa
menjelaskan latar sosiologis terutama konteks struktur sosial, latar historis, dan
pengarang sebagai wakil dari kelompok sosialnya.
Perbedaan masalah dalam penelitian ini terletak dalam beberapa hal.
Pertama, penelitian ini memberikan penjelasan terhadap tanggapan sosial
masyarakat peranakan Tionghoa melalui hasil kesastraan dengan
mempertimbangkan kelompok sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Kedua,
meskipun penelitian ini adalah penelitian sosiologi sastra, penelitian dengan objek
kajian sastra peranakan Tionghoa ini mempertimbangkan aspek historis yang
terlihat dari penjelasan mengenai wujud tanggapan sosial dalam suatu waktu.
Ketiga, penelitian ini tidak hanya mempertimbangkan kelompok sosial yang
diwakili oleh subjek kolektif dalam kesastraan peranakan Tionghoa, tetapi juga
menghadirkan teks dan korpus pengarang dalam pandangan atau gagasan mereka
terhadap lingkungan atau realitas (pandangan dunia) sebagai jalan pemetaan untuk
memberikan data dan membantu penjelasan atas tanggapan sosial.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
1.8 Teori Strukturalisme Genetik
Sebagai konsekuensi dari permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya
perlu diungkapkan suatu konsep untuk menjawab persoalan itu. Konsep diartikan
sebagai kesan mental, suatu pemikiran, ide, suatu gagasan yang mempunyai
derajat abstraksi, yang digunakan dalam pemikiran abstrak (Lorens, 1996:481).
Sementara wujud kerangka konseptual itu dapat diartikan sebagai teori. Teori itu
sendiri diartikan sebagai (1) pemahaman tentang hal-hal dalam hubungannya yang
universal dan ideal antara satu sama lain, (2) prinsip abstrak atau umum di dalam
tubuh pengetahuan yang menyajikan suatu pandangan yang jelas dan sistematis
tentang beberapa materi pokok, dan (3) model atau prinsip umum, abstrak, dan
ideal yang digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala (Lorens, 1996:1097).
Strukturalisme genetik menjadi salah satu bagian dari perkembangan kritik
sastra Marxis. Pertanyaan yang mendasari dari teori strukturalisme genetik adalah
bahwa “bagaimanakah sastra itu menunjukkan perkembangan atau perubahan
kehidupan sosial dan karya sastra diasumsikan memberikan petunjuk terhadap hal
tersebut” (Forgacs, 1987:183). Melalui pengaruh dari Lukács, seorang teorikus
sosiologi Neo-Marxis, Lucien Goldmann menggunakan pendekatan biografis,
yakni menghubungkan karya sastra dengan kehidupan pengarang dan
personalitasnya, tetapi tidak berpusat pada teks, melainkan menghubungkan
struktur karya dengan struktur mental (pandangan dunia) dari kelompok sosial
pengarangnya. Menurutnya, karya sastra memunculkan kesadaran kelas dan
tingkah laku atau tindakan sosial yang dihubungkan dengan struktur sosial yang
melingkupi pengarang. Suara yang dimunculkan bukanlah suara teks, tetapi suara
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
subjek kolektif yang diwakilkan oleh pengarang. Konsep kesadaran kelas yang
terbentuk melalui struktur mentalitas kolektif ini menunjukkan bahwa pengaruh
teori struktural konflik mempengaruhi teori dari Lucien Goldmann.
Strukturalisme genetik adalah teori yang terpengaruh dan dikategorikan
sebagai mahzab Annales atau sejarah intelektual (intellectual history, histoire des
mentalités). Teori dari Lucien Goldmann ini dapat dipandang sebagai teori sejarah
ide, sejarah sosial, atau sejarah mentalitas yang menggunakan produk seni,
terutama karya sastra. Peralatan yang berupa “pandangan dunia” dari Lucien
Goldmann itu sendiri sama dengan istilah “peralatan mental” dari Febvre dan
“habitus” dari Panofsky (Chartier, 1987:27-28). Sebagai teori sosial yang
memfokuskan pada sejarah sosial, teori Lucien Goldmann ini dibangun dengan
dasar utama yakni meneliti penghadiran kembali atau pengucapan ulang antara
pikiran-pikiran dengan dunia sosial. Istilah pandangan dunia sendiri dipinjam dari
Lukács, sosiolog Neo-Marxis. Pandangan dunia merupakan satu instrumen yang
memungkinkan untuk menghubungkan antara pemikiran subjek atau pemikiran
kolektif dengan dunia sosial yang berada dalam seni atau sastra.
Teori sejarah mental atau sejarah sosial dari Lucien Goldmann dibangun
oleh seperangkat kategori yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Kategori
itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, dan pandangan dunia.
Fakta kemanusiaan diartikan sebagai segala hasil tindakan manusia yang berupa
verbal maupun yang bukan verbal. Fakta kemanusiaan ini dapat berupa tindakan
sosial, kultural, dan politik (Goldmann, 1970:584-585). Karya sastra atau seni
dengan demikian dapat dipandang sebagai satu fakta kemanusiaan. Fakta
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
kemanusiaan itu memiliki arti sebab satu tindakan dari subjek atau pengarang
dianggap sebagai tindakan untuk mengakomodasi dan mungkin mengasimilasi
struktur sosial yang dirasakan oleh subjek atau pengarang, sebagai wakil
kelompoknya. Fakta kemanusiaan yang demikian sering disebut dengan fakta
sosial yang historis. Sementara itu, tindakan pengarang atau subjek yang tidak
memiliki pengaruh terhadap situasi sosial atau tidak berimplikasi secara sosial
dianggap sebagai fakta individual. Menurut Goldmann sendiri, fakta kemanusiaan
merupakan satu struktur yang berarti bila dihubungkan dengan struktur yang lain
karena mereka memiliki maksud dan tujuan tertentu (Goldmann, 1975:159-160)
Sejarah ide atau sejarah mentalitas dari Goldmann ini juga melibatkan
psikologi. Menurutnya, manusia tidak bisa terlepas dari lingkungannya. Antara
lingkungan dan manusia melakukan strukturasi. Antara manusia dan lingkungan
memiliki semacam “dualitas struktur”. Strukturasi versi Goldmann memiliki arti
bahwa antara manusia dan lingkungannya terjadi hubungan timbal balik. Namun,
strukturasi yang terwujud tersebut adalah asimilasi dan akomodasi. Individu
sebagai subjek kolektif bisa mempengaruhi struktur sosial yang ada, tetapi
struktur sosial juga mempengaruhi individu atau menentukan tindakan individu
atau pengarang. Hal ini menunjukkan bahwa teori dari Lucien Goldmann ini
memiliki kecenderungan struktural meskipun menggunakan metode yang bersifat
dialektik. Dalam ilmu sosial, teori Goldmann ini dikategorikan sebagai pengaruh
aliran struktural konflik, terutama mengenai posisi subjek sebagai wakil kelompok
sosial yang berhubungan dengan kelompok sosial yang lain dalam struktur sosial.
Teori ini memperoleh pengaruh, terutama dari pemikiran Marxis.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
1.8.1 Struktur Teks dan Homologi
Sastra atau teks sastra merupakan karya yang bersifat imajinatif. Karya
sastra, terutama karya yang besar, oleh Goldmann dipandang sebagai produk dari
subjek kolektif. Goldmann terpengaruh oleh gagasan yang dikemukan oleh
strukturalisme dalam melihat karya sastra, terutama gagasan tentang oposisi biner.
Selain itu, gagasan yang lain terlihat dalam elemen kesatuan untuk mengemukan
struktur karya sastra. Goldmann (1970:604-605) melihat karya sastra sebagai satu
kepaduan yang mana dalam tiap unsur atau elemennya saling berkaitan. Struktur
yang dikemukan oleh Goldmann ini hakikatnya adalah struktur yang bersifat
tematik. Baginya, sebuah novel atau karya sastra merupakan cerita tentang
pencarian terhadap nilai-nilai yang benar dalam dunia yang terdegradasi. Sang
tokoh hero merupakan tokoh yang problematik. Gagasan yang demikian ini
terpegaruh oleh pengertian novel yang dikemukan oleh Lucaks.
Goldmann (1981) sendiri mengemukan hakikat karya sastra. Menurutnya,
karya sastra sendiri menghadirkan ekspresi pandangan dunia suatu kelompok
secara imajiner. Pandangan dunia tersebut diungkapkan melalui tokoh-tokoh
ciptaan pengarang, hubungan berbagai objek yang ada dalam teks, dan berbagai
objek yang ada di dalam teks. Hubungan tersebut diungkapkan secara imajiner.
Dalam melihat karya sastra, Goldmann memiliki suatu konsep mengenai struktur
karya yang bersifat tematik. Hubungan atau relasi antar tokoh ciptaan yang satu
dengan tokoh ciptaan yang lain ataupun antara tokoh dengan objek dan objek
dengan objek yang lain mampu mengeksplorasi gagasan tematik yang ada dalam
sebuah teks.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
Selanjutnya, novel dianggap sebagai sebuah genre sastra yang memiliki ciri
keterpecahaan. Keterpecahaan itu tidak bisa didamaikan antara sang tokoh dengan
dunia sekitarnya. Keterpecahan ini membuat sang tokoh pahlawan atau hero
menjadi problematik. Dengan mengikuti pandangan Lukacs, Goldmann dalam
Towards A Sociology of the Novel (1975:2) menyebutkan tiga jenis novel. Ketiga
jenis itu adalah idealisme abstrak, psikologis, dan bildungsroman. Novel
idealisme abstrak dicirikan dengan tokoh yang ingin bersatu dengan dunianya,
tetapi gagasan mengenai dunia sangat sempit dan subjektif dari sang tokoh saja,
seperti Don Quixote atau Le Rounge et La Noir. Sebaliknya, novel yang berjenis
pendidikan ini dicirikan bahwa sang tokoh tidak bisa menjangkau dan bersatu
dengan dunia yang begitu luas dan mengakibatkan sang tokoh cukup hidup
dengan dirinya dan dunianya sendiri, seperti Oblomov. Novel bildungsroman
merupakan novel yang menunjukkan keberpihakan sang tokoh hero terhadap
inferioritas, tetapi sekaligus dia ingin bersatu dengan dunia. Hal ini
mengakibatkan kegagalan hidup bagi sang tokoh hero sebab dia berada dalam dua
dunia, seperti Wilhelm Meister.
Karya sastra memang memiliki struktur yang saling berhubungan. Karya
sastra sendiri juga menjadi bagian dari struktur yang lebih besar yang berada
diluar keberadaannya. Hal ini menimbulkan suatu tuntutan mengenai hubungan
struktur karya dan struktur yang berada diluar keberadaannya. Oleh Goldmann
(1970) hal ini disebut dengan istilah penjelasan dan pemahaman yang bertujuan
untuk menunjukkan homologi antara struktur sosial dan struktur karya sastra.
Metode yang digunakan untuk menjelaskan hal tersebut adalah metode dialektika
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
(1970: 202-603). Metode ini dilakukan seperti gerak melingkar dalam bidang
hermeneutika. Metode ini bukan hanya untuk menganalisis struktur karya sastra.
tetapi lebih dari itu, metode ini juga digunakan untuk melihat karya sastra dengan
struktur yang berada diluar keberadaannya. Baginya, alat bantu dari usaha untuk
menginterpretasikan hubungan tersebut adalah pandangan dunia, terutama untuk
menentukan makna hubungan antar struktur dalam teks sastra. Homologi yang
terdapat dalam struktur karya sastra dengan struktur sosial ini tidak bersifat
langsung. Homologi ini dijembatani oleh pandangan dunia yang ada dalam suatu
masyarakat.
1.8.2 Struktur Sosial dan Subjek Kolektif
Dalam bagian “Introduction to a Structural Study of Malraurx’s Novel”,
Goldmann (1975:18, edisi bahasa Perancis tahun 1964) mengatakan bahwa
analisisnya yang pertama kali difokuskan pada signifikasi struktur teks atau
immanent in the work. Hal ini ditujukan untuk mengemukan gagasan tentang
homologi dan hubungannya dengan kehidupan intelektual, sosial, politik,
ekonomi, dan struktur yang membangunnya pada periode tersebut. Dalam analisis
tersebut, yang dimaksudkan sebagai struktur sosial yang meliputi teks adalah latar
belakang ekonomi yang menciptakan karya sastra. Subjek kolektif yang
dihadirkan adalah kelompok intelektual kiri Perancis. Kelompok ini
mengedepankan gagasan tentang universalisme gerakan komunis Internasional.
Namun, komunisme ternyata hanya ideologi suatu negara tertentu sehingga
kelompok kiri intelektual di Perancis ini menjadi kecewa pada gagasan universal
yang dianggapnya benar.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
Subjek kolektif dalam pandangan Lucien Goldmann adalah subjek dalam
fakta sosial yang historis. Subjek tersebut adalah subjek yang mewakili kelompok
atau kelas sosial sosial tertentu (1970:585). Selanjutnya, teori ini juga
mengenalkan subjek trans-individual. Subjek trans-individual adalah subjek yang
mampu menciptakan fakta historis, seperti karya sastra yang besar, revolusi sosial,
politik, dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Subjek atau
pengarang ini tersatukan sebagai satu kolektivitas sehingga dapat disamakan
artinya dengan subjek kolektif. Subjek ini dipandang mampu menciptakan dan
dihadirkan dalam karya yang besar, bukan hanya tindakan individual yang
menuruti libidonya. Karya sastra yang besar merupakan karya sastra yang
menghadirkan alam semesta dan hukum-hukumnya. Subjek trans-individual
sering dirujuk dengan kelompok sosial.
Dalam melihat hubungannya antara subjek kolektif dan latar belakang
sosial, kasus pada analisis novel Malraux mengemukan bahwa gagasan yang
dikembangkan novel atau struktur novel memiliki hubungannya dengan struktur
sosial yang berkembang. Struktur sosial yang berkembang itu adalah bahwa sejak
awal hingga pada awal abad XX, pengaruh ekonomi liberal masih cukup dominan
dan kehidupan sosial. Selain itu, dari abad XIX hingga masa awal abad XX telah
terjadi pergeseran dari sistem kapitalis liberal menuju kapitalis imperial.
Perubahan ini menyebabkan individu dan kehidupannya berubah akibat
munculnya kepentingan pribadi yang menonjol. Hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan kehidupan sosial secara keseluruhan. Struktur sosial ini terus berubah
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
dengan munculnya campur tangan negara dalam bidang ekonomi (Goldmann,
1975:122-123).
Gagasan mengenai subjek kolektif dan lingkungan sekitar atau struktur
sosial juga pernah diungkapkan melalui contoh dalam buku kajian yang berjudul
The Hidden God A Study of Tragic Vision in The Pensees of Pascal and The
Tragedies of Racine (1964, edisi pertama di Inggris, terjemahan dari bahasa
Prancis oleh Philip Thody). Goldmann menghubungkan pandangan dunia dengan
lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan intelektual yang ditempat oleh sang
subjek kolektif. Struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat Perancis ketika
itu terjadi lihat cukup menonjol pada tahun mulai tahun sekitar 1637 ketika terjadi
perkembangan monarkhi yang absolut dengan membentuk berbagai birokrasi
pendukung raja. Birokrasi itu berhubungan dengan raja secara langsung.
Goldmann mengutip pendapat dari E. Maugis (Historie du Parlement de
Paris de l’avènement des rois Volois à la mort d’ Henri IV). Menurut Maugis
(dalam Goldmann,1977:108), kerajaan Perancis berkembang melalui beberapa
tahap yang cukup berpengaruh terhadap struktur atau kehidupan sosial ketika.
Masa awalnya, raja merupakan bangsawan yang memperoleh hak khusus untuk
berkuasa dan didukung oleh kelompok kelas menengah dan kota-kota. Raja dalam
hal ini tidak memiliki kekuasaan yang multak dan raja menerapkan sistem feodal.
Tahap berikutnya, raja menginginkan kekuasaan atas bangsawan-bangsawan dan
kelas menengah atas dirinya yang didukung oleh birokrasi dan sah secara hukum.
Hal ini menyebabkan kekuasaan secara absolut. Tahap berikutnya, raja
selanjutnya memerintah dengan bebas dari bangsawan dan kelas menengah
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
dengan menggunakan alat birokrasi atau grup komisaris. Tujuannya adalah
menyeimbangkan kekuasaan antar kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat
dan mengakarkan atau menguatkan kekuasaan raja dihadapan mereka.
Melalui keadaan tersebut, munculnya pandangan dunia yang dilandasi oleh
gerakan Jansenisme. Menurutnya (1977:112) merupakan aliran keagamaan di
Perancis yang muncul akibat adanya transisi dari tahap pertama menuju tahap
kedua. Hal ini dibuktikan dengan adanya perpindahan kekuasaan dari kelompok
officiers dan cours souverains menuju pada komisaris (commisaires). Bagi
Goldmann, kelahiran Jansenisme sejajar dengan proses hilangnya kekuasaan
officiers dan munculnya konflik antara raja dan parlemen. Jansenisme muncul
dari kelompok yang berbeda yakni anggota aristrokrat dan anggota kelas
menengah. Anggota kelas menengah yang terdiri dari cours souverains dan
avocats menjadi pendukung yang sebenarnya dari Jansenisme. Kelompok
artistrokat hanya sebagian saja karena rasa kecewa terhadap sentralisasi kekuasaan
raja. Hal ini menunjukkan bahwa kelas aristrokrat tidak sepenuhnya bersedia
melepaskan dunianya.
Dengan mendasarkan hubungan politis atau latar politis tersebut, Goldmann
(1977) mengemukan bahwa subjek kolektif adalah kelas sosial menengah atau
borjuis. Situasi sosial atau struktur sosial yang berada dalam kelompok sosial atau
subjek kolektif tersebut berhubungan dengan pergeseran sistem monarkhi yang
terbatas menuju monarkhi yang absolut. Latar belakang sosial atau struktur sosial
yang demikian inilah yang melingkupi subjek kolektif.
1.8.3 Pandangan Dunia
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
Subjek trans-individual atau subjek kolektif mampu menciptakan karya
kultural yang dipandang besar. Menurutnya, karya sastra dengan struktur
masyarakat memiliki kesamaan atau homologi sebab kedua-duanya merupakan
hasil dari aktivitas kolektif yang terstrukturasi. Homologi antara struktur karya
sastra dengan struktur masyarakat itu tidak bersifat langsung sebab karya sastra
adalah karya yang imajinatif dan fantastik. Homologi itu dijembatani oleh
pandangan dunia yang ada dan berkembang dalam masyarakat pemilik karya
sastra tersebut. Pandangan dunia itu dimiliki oleh kelompok sosial tertentu yang
mampu membedakan dengan kelompok sosial yang lain dalam masyarakat. Hal
tersebut seperti yang diungkapkan oleh Lucien Goldmann bahwa What I have
called a “world vision” is a convinent term for the whole complex of ideas,
aspirations and feelings which links together the members of a social group (a
group which, in most cases, assumes the existence of a social class) and which
opposes them to members of others social group (Goldmann, 1977:17)22
.
Pandangan dunia diartikan sebagai semua gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan
perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama seluruh anggota
satu kelompok sosial tertentu dan membedakannya dengan kelompok sosial yang
lain. Pandangan dunia ini terwujud dalam gaya hidup, alat, atau cara yang
mempersatukan anggota kelompok sosial dan membedakan dengan kelompok
sosial yang lain (Goldmann, 1977:17).
22 Yang disebut sebagai pandangan dunia adalah suatu kompleks yang menyeluruh dari berbagai
gagasan, aspirasi, dan perasaan yang menghubungkan satu kelompok sosial tertentu (sebuah
kelompok yang diasumsikan sebagai keberadaan kelompok sosial) dan dipertentangkan dengan
kelompok sosial yang lain.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
Pandangan dunia tersebut terbentuk melalui serangkaian proses yang
panjang. Proses itu adalah proses historis. Bagi Goldmann, pandangan dunia itu
hadir sebagai perkembangan dari situasi sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh
subjek. Mentalitas subjek menjadi kunci dalam mengetahui pandangan dunia.
Pandangan dunia lahir atas proses mentalitas yang bertahap dan dalam waktu
yang relatif lama sehingga membangun mentalitas yang baru. Hal itu salah
satunya akan terwujud dalam ekspresi sosial atau tanggapan sosial yang baru atau
berbeda dari periode yang sebelumnya.
Goldmann (1977) memberikan contoh penerapan pandangan dunia ini
dalam analisisnya terhadap karya Pascal dan Racine. Goldmann mengenalkan
pandangan dunia tragik atau tragis. Pandangan dunia ini memiliki beberapa unsur,
yakni pandangan mengenai Tuhan, pandangan mengenai lingkungan atau dunia,
dan pandangan mengenai manusia. Ketiga-tiganya merupakan bagian yang saling
berhubungan. Dalam melihat mengenai Tuhan, pandangan dunia tragik ini
mengatakan bahwa “Tuhan Bersembuyi”. Tuhan dianggap tidak hadir sebab dia
tidak memiliki peran dalam kehidupan manusia. Namun. Manusia selalu
menyadari bahawa Tuhan selalu menuntut perilaku manusia. Tuhan dalam
pandangan dunia tragik adalah Tuhan yang ada dan tidak ada. Tuhan ada dalam
tuntutan perilaku manusia, tetapi Tuhan tidak ada dalam kehidupan manusia.
Sehubungan dengan itu, pandangan dunia tragik melihat bahwa dunia
sebagai segala-galanya, tetapi juga bukan apa-apa. Tuntutan Tuhan terhadap
manusia adalah hal yang tidak mungkin bila dilihat dari sudut pandang dunia.
Bahkan, hukum yang ada didunia ini tidak ada artinya dihadapan Tuhan. Dalam
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
melihat dunia, pandangan dunia tragik ini mengatakan bahwa dunia ini memiliki
keterbatasan sehingga dunia tidak ada maknanya. Keterbatasan atas kehadiran
Tuhan dalam kehidupan ini dapat terpenuhi oleh dunianya sendiri. Sebagai
konsekuensinya, manusia yang tragik adalah manusia yang berada didunia dan
sekaligus mengingkari keadaan dunia itu.
Goldmann (1977) memberikan contoh mengenai pandangan dunia dari
subjek kolektif kelas borjuis yang diwakili oleh Racine dan Pascal. Pandangan
dunia yang digagasnya adalah pandangan dunia tragik. Pandangan dunia ini juga
berhubungan dengan munculnya Jansenisme. Pergeseran kekuasaan dari monarkhi
terbatas menuju monarkhi absolut tersebut melahirkan Jansenisme yang berakibat
pula mengemukan gagasan mengenai pandangan dunia tragik.
1.9 Metode Penelitian
1.9.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni
penelitian yang mementingkan kualitas data dan bukan jumlah data sebab
penelitian ini menemukan fenomena kesastraan yang khusus untuk mendapatkan
keunikan dari fenomena tersebut. Atas dasar itu, data dilihat dari segi pentingnya
informasi yang dibutuhkan sesuai dengan topik penelitian, bukan jumlah yang
banyak dari informasi tersebut (bdk. Moleong, 2002:4-7).
1.9.2 Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah segala informasi mengenai struktur
masyarakat peranakan Tionghoa, subjek pengarang yang meliputi biografi, dan
karya sastra yang dihasilkan oleh subjek pada zamannya, “isi” karya sastra, situasi
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
42
zaman atau semangat zaman, dan lain-lain yang berhubungan dengan topik
penelitian. Sumber data yang utama atau pertama adalah teks karya sastra
peranakan Tionghoa yang telah diplih dan sumber data yang kedua adalah semua
pustaka yang berhubungan dengan topik penelitian ini.
1.9.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai
cara. Teknik observasi dilakukan dengan cara membaca dan mencatat semua
informasi dari data yang pertama (karya sastra). Teknik penelusuran pustaka
dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca, dan mencatat informasi dari
sumber data yang kedua.
1.9.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan dengan mendasarkan pada prosedur dalam
teori atau konsep-konsep yang dimaksudkan. Teknik analisis data tersebut
dilakukan dengan pencatatan data, klasifikasi data, interaksi antar data (relasi
antara data dalam struktur karya atau data dalam sumber primer, interaksi antara
data di luar data struktur karya sastra atau dalam sumber sekunder, dan interaksi
antara keduanya atau antara data dalam sumber primer dan data dalam sumber
sekunder) (Seiddel dalam Moleong, 2007: 248). Namun, interaksi data tersebut
dilakukan melalui teknik interpretatif sebagai wujud penafsiran data (Moleong,
2007:258-259).
Pernafsiran data secara interpretatif harus melihat teori yang digunakan.
Pembacaan oposisi berlawanan dilakukan untuk menganalisis membahas karya
sastra pada tahap pertama. Tahap berikutnya adalah mengunakan pembacaan
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
43
gerakan melingkar antara karya, kelompok sosial dalam masyarakat peranakan
Tionghoa, dan struktur sosial (bdk. Ricouer dalam Kaelan, 2005:83, Iser, 1987:ix-
x). Kunci untuk menjelaskan itu adalah hubungan di antaranya. Hal ini
menegaskan bahwa sastra tidak bisa dilepaskan dalam konteks sosialnya
(Chamamah, 2003:107). Tujuan yang hendak dicapai adalah menjelaskan ekspresi
sosial dalam tradisi sastra peranakan Tionghoa yang diwakili subjek kolektifnya.
1.10 Sistematika Penyajian
Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab. Bab I berjudul Pengantar yang
berisi diantaranya berupa alasan penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian,
teori yang digunakan, dan metode untuk memecahkan masalah. Bab II berisi
tentang struktur teks dan homologi. Bab III berupa struktur sosial dan subjek
kolektif. Bab IV berupa pandangan dunia subjek kolektif, relasi antara pandangan
dunia, subjek kolektif dan struktur sosial, dan persebaran atau wujud pandangan
dunia dalam karya sastra peranakan Tionghoa. Bab V berupa kesimpulan.
Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/