BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang...

43
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku atau etnis. Etnis itu antara lain adalah etnik Jawa, Bugis, Batak, Dayak, Arab,dan Tionghoa. 1 Orang peranakan Tionghoa Indonesia adalah orang Tionghoa peranakan yang tinggal dan hidup di wilayah Indonesia. Mereka berasal dari keturunan orang Tionghoa dari negeri Tiongkok dengan orang setempat atau lokal. Masyarakat Tionghoa di Indonesia diperkirakan sudah sejak lama tinggal di Indonesia. Hal ini terlihat dari sumber Tionghoa, misalnya Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-Pantai Samudra) (1416), Xingcha Shenglan (Catatan Umum Perjalanan di Lautan) (1436), dan Dong Xi Yang Kao (Telaah Samudra Timur dan Barat) (1618) (Groeneveldt, 2009:14, 74, 78). Etnik Tionghoa tersebut melakukan perkawinan dengan etnik setempat. Keturunan dari perkawinan tersebut sering disebut dengan peranakan Tionghoa Indonesia (selanjutnya disebut peranakan Tionghoa) (Salmon, 1981:15). Selain itu, orang Tionghoa terdiri atas golongan Tionghoa totok dan golongan peranakan Tionghoa. Golongan Tionghoa totok adalah 1 Etnis Tionghoa Indonesia sebagian besar menempati suatu wilayah dalam jumlah yang cukup banyak, seperti di daerah Singkawang. Penyebutan untuk orang Cina umumnya mengacu pada penduduk yang tinggal di negeri Tiongkok atau Repbulik Rakyat Cina. Kata “Tionghoa” berasal dari salah satu dialek (Hokkian) untuk kata zhongguo” yang berarti zhong: tengah, guo: negara. Menurut Leo Suryadinata (dalam Hermawan, 2005:65), kata “Cina” atau “Tjina” di Indonesia sudah lama dipakai. Awalnya, kata ini memiliki konotasi negatif karena dikaitkan dengan semangat nasionalisme untuk negeri Toiongkok atau RRC sehingga bukan sebagai wujud nasionalisme lokal (Gungwu, 2001:5). Menurut Suryadinata, istilah Tionghoa dan Tiongkok pernah diganti dengan Cina (lht. Lev, 2000:19). Mengenai sejarah penggunaan kata Cina, Tionghoa, dan Tiongkok dapat dilihat lebih lanjut dalam Wibowo (2000) atau Mely G Tan (1979). Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh pertama Abad XX kajian sosiologi sastra DWI SUSANTO Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang...

Page 1: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

1

BAB I

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang Penelitian

Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku atau etnis. Etnis itu antara

lain adalah etnik Jawa, Bugis, Batak, Dayak, Arab,dan Tionghoa.1 Orang

peranakan Tionghoa Indonesia adalah orang Tionghoa peranakan yang tinggal dan

hidup di wilayah Indonesia. Mereka berasal dari keturunan orang Tionghoa dari

negeri Tiongkok dengan orang setempat atau lokal. Masyarakat Tionghoa di

Indonesia diperkirakan sudah sejak lama tinggal di Indonesia. Hal ini terlihat dari

sumber Tionghoa, misalnya Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-Pantai

Samudra) (1416), Xingcha Shenglan (Catatan Umum Perjalanan di Lautan)

(1436), dan Dong Xi Yang Kao (Telaah Samudra Timur dan Barat) (1618)

(Groeneveldt, 2009:14, 74, 78). Etnik Tionghoa tersebut melakukan perkawinan

dengan etnik setempat. Keturunan dari perkawinan tersebut sering disebut dengan

peranakan Tionghoa Indonesia (selanjutnya disebut peranakan Tionghoa)

(Salmon, 1981:15). Selain itu, orang Tionghoa terdiri atas golongan Tionghoa

totok dan golongan peranakan Tionghoa. Golongan Tionghoa totok adalah

1 Etnis Tionghoa Indonesia sebagian besar menempati suatu wilayah dalam jumlah yang cukup

banyak, seperti di daerah Singkawang. Penyebutan untuk orang Cina umumnya mengacu pada

penduduk yang tinggal di negeri Tiongkok atau Repbulik Rakyat Cina. Kata “Tionghoa” berasal

dari salah satu dialek (Hokkian) untuk kata “zhongguo” yang berarti zhong: tengah, guo: negara.

Menurut Leo Suryadinata (dalam Hermawan, 2005:65), kata “Cina” atau “Tjina” di Indonesia

sudah lama dipakai. Awalnya, kata ini memiliki konotasi negatif karena dikaitkan dengan

semangat nasionalisme untuk negeri Toiongkok atau RRC sehingga bukan sebagai wujud

nasionalisme lokal (Gungwu, 2001:5). Menurut Suryadinata, istilah Tionghoa dan Tiongkok

pernah diganti dengan Cina (lht. Lev, 2000:19). Mengenai sejarah penggunaan kata Cina,

Tionghoa, dan Tiongkok dapat dilihat lebih lanjut dalam Wibowo (2000) atau Mely G Tan (1979).

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

2

golongan yang tidak melakukan perkawinan dengan etnik yang lain atau darah

Tionghoa-nya masih murni, belum tercampur dengan darah etnik yang lain.

Masyarakat peranakan Tionghoa mengembangkan tradisi dan kebudayaan

dengan mengadaptasi tradisi setempat. Interaksi etnis peranakan Tionghoa

terhadap kebudayaan setempat dapat dilihat dari berbagai bidang seperti

pertanian, teknologi makanan, obat-obatan, pakaian, dan lain-lain2 seperti yang

dibahas oleh Denys Lombard (2005:243-329), Onghokham (Riwayat Tionghoa

Peranakan di Jawa, 2009), Leo Suryadinata (Kebudayaan Minoritas Tionghoa di

Indonesia,1988), dan berbagai kajian dari pakar yang lain seperti Claudine

Salmon (1981), A. Dahana (2007), Suminto Al Qurtuby (2007), Mary F. Somers

Heidhues (1974, 2000), dan lain-lain. Pembahasan dari para pakar itu

menunjukkan adanya saling pengaruh di antara kebudayaan Tionghoa dan

kebudayaan setempat.

Sastra adalah fenomena budaya dan sosial. Hal ini sekaligus menegaskan

bahwa sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial. Sebagai satu

produk kebudayaan, sastra peranakan Tionghoa tidak bisa dilepaskan dari konteks

sosial dan budaya pemiliki atau penciptanya.

Memasuki era 1880-an, orang peranakan Tionghoa menerbitkan karya

dengan menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa. Karya kesastraan itu oleh ahli

sastra disebut “de Indo-Chineseesche literatuur” (Nio Joe Lan, 1958), “Sastra

Asimilatif” (Pramoedya Ananta Toer, 1963), “antecedents of modern Indonesian

literature” (C.W. Waston, 1971), “Chinese Malay literature” (John B. Kwee,

2 . Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari material kebudayaan, seperti pembuatan batu bata,

pembuatan aneka makanan (tahu, bakso, mie), dan lain-lain.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

3

1977), “marginal literature” (Drewes, 1977), “Peranakan Chinese Literature”

(Claudine Slamon, 1981), dan dalam bahasa Cina disebut tusheng huaren wenxue.

Sementara ahli sastra Indonesia masih jarang yang membahas atau menyebutkan

jenis sastra ini, apa lagi diakui sebagai bagian sejarah sastra Indonesia. Sejak era

Orde Baru, karya Marga T dan Mira. W [keduanya adalah keturunan peranakan

Tionghoa] disebut dengan sastra populer (Hill, 1977, Riyadi, 1985:9), yang

seringkali dinilai kurang berkualitas karena jarang sekali dibahas secara akademik

oleh ahli sastra. Fakta ini menunjukkan bahwa masih terdapat “kerancuan istilah"

dalam menyebut jenis sastra ini dalam sastra Indonesia3.

Sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa sudah ada sejak sekitar 1870-

an hingga era sekarang4 dan mengalami berbagai perkembangan seiring

perubahan sosial, politik, dan kebudayaan. Sastra ini yang ditulis oleh keturunan

Tionghoa di Indonesia pada awalnya menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa.

Sebagai etnik campuran, mereka tidak sepenuhnya mengikuti tradisi budaya

Tionghoa dan tidak seluruhnya menyerap tradisi budaya setempat. Hal ini sesuai

dengan konsep alkulturasi atau perjumpaan berbagai tradisi budaya yang

mengatakan bahwa terdapat proses perubahan di dalam kebudayaan akibat dari

3 Sejak tahun 2000 hingga 2007 telah terbit ulang kesastraan peranakan Tionghoa oleh kelompok penerbit Gramedia dengan menggunakan judul Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan

Indonesia dalam jumlah kurang lebih 10 jilid. Penggunaan istilah kesastraan Melayu Tionghoa ini

diindikasikan dari karakteristiknya yang menggunakan bahasa Melayu Tionghoa dan ditulis oleh

orang peranakan Tionghoa sedangkan Kebangsaan Indonesia dapat diinterprestasikan sebagai

wujud pengakuan terhadap kesastraan, yakni kesastraan menjadi bagian dari sastra Indonesia atau

bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Dengan demikian, ada implikasi mengenai gagasan bangsa

dan nasionalisme. 4 Penyataan ini dapat membawa dua impilkasi. Pertama, bila mengacu pada suatu genre sastra,

jenis ini masih ada karena saat ini orang peranakan Tionghoa Indonesia masih menulis karya

sastra. Kedua, bila mengacu pada pengelompokkan yang lebih besar dalam konteks kesastraan

Indonesia, sastra ini tidak ada lagi, yang ada adalah sastra Indonesia saja atau sastra Indonesia

terdiri dari berbagai ragam genre atau jenis.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

4

kontak atau pertemuan dua tradisi budaya yang berbeda (Encyclopedia Britannica,

1973:53). Identitas yang berada “di antara” ini dapat diasumsikan menjadi

kekuatan masyarakat peranakan Tionghoa. Sastra yang dihasilkan juga menjadi

representasi ketionghoaan dan pandangan dunia mereka. Sastra itu meliputi cerita

terjemahan, saduran, dan adaptasi dari berbagai sumber dan cerita yang diciptakan

sendiri. Persilangan atau pertemuan kebudayaan itu menempatkan sastra ini

dengan menunjukkan karakteristik yang tidak sama dengan sastra yang lain,

terutama sastra Indonesia seperti pada tradisi Balai Pustaka. Perkembangan tradisi

kesastraan ini memberikan informasi tentang perkembangan fenomena budaya

dan sosial masyarakat peranakan Tionghoa yang membangun identitasnya.

Sebagai satu bentuk atau jenis yang tersendiri, sastra peranakan Tionghoa

diasumsikan dapat memberikan satu persamaan5 sebab ditulis oleh kelompok

orang yang sama. Kesamaan itu dapat terlihat dari topik pembicaraan, isu yang

dibawa, dan bentuk formal yang sama. Namun, pada kenyataannya, sastra

peranakan Tionghoa tidak menunjukkan persamaan tersebut. Topik atau isu yang

beragam muncul dalam sastra peranakan Tionghoa. Selain itu, bentuk yang

berbeda-beda atau sistem jejaring penerbitan yang berbeda juga ditemukan.

Perbedaan yang sering ditemukan adalah perbedaan isu, topik, jumlah pengarang,

dan materi cerita yang mengindikasikan munculnya satu persoalan mengenai cara

bertahan dan respon terhadap situasi sosial yang beragam di “tanah asing6”. Hal

5 Seharusnya memiliki karakteristik yang serupa atau sama, seperti topik dan masalah yang ditulis

dan gaya penyajian, seperti struktur ceritanya. 6 Gagasan mengenai “di tanah asing” ini diperoleh dari masyarakat peranakan Tionghoa sendiri di

era kolonial ketika itu. Hal ini dapat dibuktikan dari kelompok politik atau sosial yang

menganggap tanah air mereka sebagai “tanah asing” dan dioposisikan dengan “tanah leluhur”,

misal kelompok Sin Po. Dalam teks sastra, sering klai ditemukan konsep yang demikian, misal

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

5

ini merupakan representasi dari ekspresi sosial masyarakat peranakan Tionghoa di

Indonesia dalam memberikan respon terhadap situasi sosial.

Sastra merupakan fenomena budaya yang terikat oleh lingkungan sosial

atau situasi sosial sehingga sastra peranakan Tionghoa diartikan sebagai wujud

eskpresi sosial masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Barnett, 1970:621-632).

Namun, karya sastra sebagai wakil masyarakat dalam menghidupkan satu tradisi

kesastraan perlu dilihat bukan hanya pada persoalan pengaruh situasi zaman,

melainkan karya sastra dapat memberikan respons terhadap “kegelisahan sosial”.

Karya sastra dapat dipandang sebagai respon atas situasi sosial sehingga mereka

melakukan semacam akomodasi dan asimilasi7 terhadap lingkungan sekitarnya

(Faruk, 1999:14). Hal ini dibuktikan melalui topik atau tema dan bentuk

kesastraan yang dihasilkan sebagai bagian dari ekspresi sosial. Karya sastra yang

dihasilkan merupakan wujud dari pandangan kelompok terhadap situasi sosial

(bdk. Escarprit, 2005:10). Melalui laporan penelitian Claudine Salmon (1981) dan

membandingkan karya-karya yang ada, selama periode 1900-1942 atau paruh

pertama abad ke XX, sastra peranakan Tionghoa Indonesia telah mengalami

perubahan topik atau tema dan karakteristik yang lain seiring dengan

perkembangan situasi sosial, politik, dan budaya, baik di Indonesia, Tiongkok,

dan kawasan Nanyang8. Perubahan topik dan karakteristik yang lain tersebut tentu

teks Berdjoeang. Meskipun demikian, ada kelompok yang lain yang menganggap tempat

kelahiran dan tempat hidupnya sehingga ruang tersebut tidak dianggap sebagai “tanah asing”,

misal kelompok PTI. 7 Akomodasi memiliki pengertian bahwa masyarakat peranakan Tionghoa tidak menolak tradisi

setempat dan tidak menyatukan dalam kehidupannya secara total, tetapi menjembataninya agar

antara yang lokal dan tradisi Tionghoa dapat berjalan seimbang. 8 Nanyang, nan berarti selatan, yang berarti laut. Secara umum istilah ini berarti Laut Selatan. Kata

Laut Selatan merujuk negara-negara di wilayah laut selatan. Istilah ini merujuk pada wilayah Asia

Tenggara (Dahana, 2007:27).

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

6

saja ada sebab dan akibatnya. Mengetahui sebab dan akibat dari perubahan itu,

proses dari perkembangan tradisi kesastraan dalam rentang waktu antara tahun

1900-1942 dapat ditelusuri dan dijelaskan sebagai bagian dari perkembangan

ekspresi sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa. Ekspresi sosial itu dapat

dilihat dalam suatu waktu. Perubahan itu diindikasi sebagai bentuk perbedaan

ekspresi sosial yang dilatarbelakangi oleh pandangan kelompok sosial terhadap

situasi sosial

Dari tahun 1880-an hingga 1900-an, sastra peranakan Tionghoa

memunculkan bentuk sastra terjemahan atau adaptasi dari negeri Tiongkok atau

Barat. Dominasi topiknya adalah ajaran agama, pendidikan Tionghoa, ajaran

Kong Hucu, dan sejarah Tionghoa dengan gaya prosa seperti cerita hikayat di

dunia Melayu. Meskipun demikian, kuantitas karya-karya tersebut tidak banyak.

Sementara itu, dari tahun 1900-1910-an, karya sastra peranakan Tionghoa

memunculkan perubahan tema atau topik. Topik pendidikan, ajaran agama, dan

sejarah Tionghoa masih ditemukan, tetapi topik keunggulan dan sifat atau

karakter orang Tionghoa yang kuat, gigih, pekerja yang tangguh, dan

menggunakan tradisi dan adat Tionghoa menjadi bahasan utama dengan

membandingkan karakter atau tradisi orang setempat dan Barat yang masih jauh

dari “luhur dan baiknya” budaya Tionghoa. “Buruknya” tradisi yang bukan

Tionghoa itu diwujudkan melalui budaya pernyaian, kriminalitas, pelacuran, dan

kemiskinan etnik yang lain, misalnya pribumi dan Indo-Eropa atau Eropa. Karya

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

7

sastra itu merepresentasikan gerakan recinanisasi9 melalui gaya penulisan yang

didasarkan pada berita di surat kabar.

Memasuki tahun 1911 hingga 1920-an, karya sastra peranakan Tionghoa

mulai menunjukkan pergeseran topik dan juga gaya penulisan. Meskipun topik

ajaran agama, sejarah Tionghoa, dan pendidikan Kong Hucu masih ditemukan,

topik kriminalitas, kekacauan masyarakat, dan pengaruh pendidikan Barat mulai

dipersoalkan. Barat dituduh sebagai agen yang berbahaya selain juga memberikan

tanggapan terhadap politik pemerintah Hindia Belanda atas status peranakan

Tionghoa10

.

Dari tahun 1920 hingga 1942, berbagai topik muncul dalam karya sastra

sebagai respon dari situasi politik dan ekonomi. Perbedaan topik atau tema itu

menunjukkan usaha saling bertentangan satu dengan yang lain11

. Hal ini

memberikan gambaran bahwa dalam kesastraan ini terjadi perdebatan dalam

menentukan arah perjalanan atau identitas yang direpresentasikan melalui

perbedaan dalam menanggapi situasi sosial (bdk. Bromley, 2000:3-4). Persoalan

identitas menjadi semakin “menguat” tidak hanya pada sumber Tionghoa saja

seperti pada tahun 1900 hingga 1920-an. Topik atau permasalahan yang dibawa

antara lain adalah kembali pada ajaran Tionghoa dan menolak pembaratan atau

9 Istilah recinanisasi digunakan dengan mengacu pada pendapat Leo Suryadinata (1984), yang

berarti kembali pada ajaran atau adat leluhur, terutama Kong Hucu dan juga berarti sebagai

gerakan nasionalisme budaya Tionghoa. 10 Hal ini dapat dicontohkan melalui pendirian sekolah Tionghoa agar masyarakat peranakan

Tionghoa tidak berpaling pada tradisi kebudayaan dan nasionalisme pada Tionghoa. 11 Topik yang sering dijumpai adalah gagasan mengenai usaha menentang atau membuat tandingan

tentang konsep manusia modern atau gagasan yang dianggap dari Barat (liberalisme dan

komunisme). Pertentangan itu terletak pada cara membentuk manusia Tionghoa atau Timur,

misalnya ada yang menyetujui pendidikan Barat, ada yang anti pada pendidikan Barat, ada yang

mendukung pergerakan perempuan atau liberalisme perempuan, ada yang tidak setuju dengan hal

itu, ataupun ada yang mengabungkan antara pendidikan Barat dan model pendidikan Timur.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

8

budaya Barat, menerima Barat dan lokalitas, mengabungkan lokalitas dan

Tionghoa, dan lain-lain (bdk. Suryadinata, 1988:39-41). Topik itu terwujud dalam

masalah pendidikan, misal pertentangan antara pendidikan model Tionghoa dan

Barat atau model pendidikan ciptaan dari masyarakat Tionghoa perantauan

sendiri. Selain itu, pembicaraan mengenai gerakan perempuan, organisasi sosial,

ideologi, politik, sumber identitas lokal, perang Cina-Jepang, dan lain-lain juga

diperdebatkan. Topik itu tidak memberikan suara yang monologik, tetapi dialogis,

yakni suara yang beraneka ragam mengenai berbagai persoalan yang ada. Topik-

topik itu dapat dilihat sebagai wujud ekspresi yang dilandasi oleh pandangan

dunia dalam masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Goldmann, 1977:18).

Sementara di tahun 1920-1942, jumlah karya sastra peranakan Tionghoa

mengalami peningkatan. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa sastra ini

mempunyai jumlah pembaca yang banyak untuk kalangan dewasa atau pemuda

yang cukup matang dalam menentukan perjalanan hidup karena isi cerita

mengkisahkan kehidupan remaja hingga menjelang usia dewasa atau

menceritakan kesuksesan hidup berumah tangga12

. Selain itu, perbedaannya tidak

hanya pada jumlah saja, tetapi komunitas sastra yang beragam mulai hadir dalam

kesastraan peranakan Tionghoa. Komunitas itu tergabung dalam jejaring majalah

kesastraan13

. Selain itu, wujud fisik dari karya sastra yang digunakan juga cukup

khas14

, yakni novel dengan jumlah halaman dan ukuran buku saku/kecil atau

12 Contoh teks itu diantaranya adalah Koerang Dapet Pendidikan (1929) karya Louw Seng

Hoejin, Dr. Lie (1932) karya Maddona, Magdalena Chen (1933) karya Oey Kiem Soey, Swaote

Kwadjiban (1930) karya Ong Pik Lok, Oeler Jang Tjantik (1929) karya Soe Lie Piet, dan lain-lain. 13 Contohnya adalah Penghidoepan, Tjertita Roman, Moestika Roman, dan lain-lain. 14 Ciri fisik tersebut adalah bahwa teks sastra peranakan Tionghoa memiliki bentuk ukuran buku

yang relatif kecil, halaman yang terbatas, iklan dan gambar-gambar tertentu (ratu kecantikan

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

9

novel yang dijadikan cerita bersambung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa

sehari-hari pada masa itu di kalangan peranakan Tionghoa. Bahasa itu memiliki

kata-kata atau frase khusus yang menjadi penanda tertentu, seperti “kesopanan

Tionghoa” dan “adat Tionghoa” yang beroposisi dengan frase “ultra Barat”,

“kebaratan-baratan”, “tidak tahu adat”, “kemajuan”, “zaman modern”, dan lain-

lain.15

Sementara itu, pilihan kata dan struktur kalimat tidak menunjukkan

perubahan, seperti tetap munculnya kata asing (bahasa Cina, bahasa Belanda, dan

bahasa Inggris)16

Kondisi tersebut berbeda dengan waktu sebelumnya, terutama tahun 1900-

1920-an. Jumlah karya tidak begitu banyak dan bentuknya bermacam-macam,

bisa syair atau novel yang panjang serta tidak memiliki jejaring komunitas sastra,

tetapi jejaring penerbitan yang independen atau tidak terikat pada ideologi

tertentu, tetapi komersial. Bahasa yang digunakan merujuk pada tanda-tanda yang

khusus, yakni frase atau kata tertentu, seperti “leluhur”, “ajaran Kong Hucu”,

“bangsa Tionghoa”, “kembali ke negeri leluhur”, “hormat pada leluhur”, dan lain-

lain yang dioposisikan dengan “lain bangsa” dan “bangsa Islam”. Masyarakat

pembaca era ini adalah golongan tua yang terpelajar sebab isi karya didominasi

cara mendidik anak agar kembali pada ajaran leluhur, orang tua yang dituntut

untuk mengajari anak agama Tionghoa (ajaran Kong Hucu) dan gerakan anti

Eropa, olah raga ekstrim, teknologi pesawat terbang, dan lain-lain) di dalam teks sastra, semacam

kata pengantar dari redaksi, halaman humor, dan lain-lain. 15 “Pada waktoe pertama kali saja poenja masa kasi taoe, jang saja soedah dilamar oleh satoe

pemoedah hartawan jang bernama Tjoa Siang Liem; saja laloe bilang padamama bahoea saja tisa

bisa ambil poetoesan moefaket atawa tida, sabelobn saja kenal pada itoe pemoedah, tapi saja

poenja permintaan ini jang saderhana soedah sianggep gelo dan ,,gila Barat” (Ong Khing Han,

1929, Perkawinan Tionghoa, hlm. 4). 16 ,,God, zeg.salah mengerti... (Pouw Kioe An, 1937, Oh Prempoean, hlm. 65), “,,Omm...owee

djadi tida bisa bergaoel lagi sama Clara, ...(Pouw Kioe An, 1937, hlm. 39)

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

10

budaya Barat dengan menumbuhkan keunggulan budaya Tionghoa. Perubahan

penanda kebahasaan dan jumlah terutama persebaran dapat dipandang sebagai

wujud cara berekspresi terhadap nilai-nilai dan situasi sosial yang melingkupinya

(bdk. Albrecht, dkk., 1970:29-33). Hal ini sesuai dengan dengan asumsi bahwa

sastra adalah produk sosial dan memiliki potensi untuk menghadirkan ekspresi

sosial.

Berdasarkan perbedaan cara merespon situasi sosial, fakta tersebut

memunculkan satu diskusi khusus seperti persoalan perbedaan topik dalam karya

sastra peranakan Tionghoa. Di samping itu, ada penanda kebahasaan yang

berbeda pada tiap zaman yang diasumsikan mewakili situasi dan ekspresi dalam

konteks sosial ketika itu. Atau, cara berekspresi yang berbeda tersebut merupakan

wujud dari cara mengungkapkan gagasan atau pandangan dunia yang sama dari

suatu kelompok sosial (bdk. Goldmann, 1977:98-99). Keadaan tersebut

memunculkan satu dugaan bahwa ada faktor yang menentukan cara berekspresi

dalam karya sastra, seperti situasi sosial tertentu, pilihan topik atau masalah dalam

karya sastra, dan usaha merespon struktur sosial dengan cara yang berbeda

sehingga menyebabkan perbedaan pemilihan motif atau topik pada karya sastra.

Selain persoalan tersebut, gejala yang muncul dalam sastra peranakan

Tionghoa adalah gejala membangun identitas orang peranakan Tionghoa (bdk.

Bromley, 2000:3-4). Pergulatan identitas itu diasumsikan terdapat dalam

keragaman topik atau masalah dalam karya sastra. Perbedaan motif atau persoalan

dalam karya sastra itu diasumsikan menunjukkan perbedaan dalam cara

mengeskpresikan pemikiran dan gagasan dalam mengasimilasi atau

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

11

mengakomodasi situasi sosial yang ada. Semua itu terwujud melalui tanggapan

sosial. Mengetahui sebab atau alasan dari muncul perbedaan pemilihan topik dan

cara mengeskpresikannya, disertasi ini mempersoalkan cara orang peranakan

Tionghoa dalam menanggapi situasi sosial dan menempatkan dirinya yang

direpresentasikan melalui karya-karyanya.

Indikasi terhadap topik yang berbeda itu diasumsikan terdapat landasan

ideologis, agama, dan politis. Namun, di satu sisi, peran dari kelompok sosial

dalam memberikan topik atau pemilihan persoalan terhadap tradisi kesastraan

dapat diasumsikan sebagai kekuatan dari kelompok sosial dalam memperjuangkan

pemikiran, padangan dunia, dan landasan ideologi akibat situasi sosial yang tidak

memenuhi keinginan dan cita-citanya. Pemikiran dan pandangan itu yang ikut

memberi “warna” dan mengerakkan bentuk-bentuk kesastraan (misalnya, topik,

motif, atau permasalahan dalam karya sastra) (Hauser, 1982:94-97). Mengetahui

alasan-alasan terjadinya pemilihan topik dan motif yang beragam dari anggota

kelompok sosial pengarang, hal itu akan mempermudah mengetahui wujud

tanggapan dan struktur sosial yang memungkinkan atas lahirnya karya sastra

tersebut sejak sekitar 1900-1942 sebagai representasi dari respon atas dunia sosial

dari masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Albrecht, dkk. 1970:615-620)

Wujud tanggapan atas dunia sosial yang terwakili dalam karya sastra

tersebut tidak dapat dipisahkan dari pandangan dunia17

kelompok sosial yang

termanifestasi dari tindakan dan pemikiran dari pengarang sebagai wakil

kolektifnya (Goldmann, 1977:17). Karya sastra dipengaruhi oleh situasi sosial

17 Suatu cara pandang terhadap realitas yang menyeluruh dari berbagai gagasan, aspirasi, dan

perasaan yang dimiliki oleh suatu kelompok yang dapat membedakannya dengan kelompok yang

lain.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

12

sehingga terhadirkan dalam bentuk perbedaan topik-topik kesastraan. Namun,

karya sastra sebagai representasi subjek kolektif bukan benda yang pasif, dia

memiliki kemampuan untuk menyuarakan dan mengasimilasi atau

mengakomodasi situasi sosial yang melingkupinya. Dua hal ini akhirnya

menunjukkan adanya interaksi antara karya dan situasi sosial sehingga wujud dari

interaksi itu adalah perkembangan tradisi kesastraan sebagai wujud ekspresi

sosial, yakni kemampuan atau implikasi subjek kolektif yang diwakili karya sastra

dalam menyiasati situasi sosial (bdk. Goldmann, 1977:98-99).

Berdasarkan beberapa keterangan tersebut, sastra yang ditulis oleh

peranakan Tionghoa dalam periode 1900-1942 tidak bisa dilepaskan dari situasi

sosial dan pandangan kelompok sosial tertentu. Ada dua pandangan yakni situasi

sosial yang melingkupi karya sastra diakomodasi oleh subjek kolektif dan situasi

sosial itu diasimilasikan oleh subjek kolektif. Kedua faktor itu mempengaruhi dan

mengerakkan tradisi kesastraan peranakan Tionghoa. Wujud tanggapan atas dunia

sosial itu merupakan satu bentuk cara masyarakat peranakan Tionghoa dalam

menempatkan diri dalam situasi dan era kolonial ketika itu di Indonesia (bdk.

Albercht, et.al. 1970:615-620).

Berdasarkan uraian tersebut, landasan dalam penelitian ini adalah bahwa

karya sastra merupakan hasil reaksi atas situasi sosial. Karya sastra dianggap

sebagai fakta sosial yang mewakili kelompok sosial tertentu yang terwujud dalam

bentuk struktur mental (Goldmann, 1970:584). Sementara itu, karya sastra

tersebut dapat diasumsikan mempengaruhi atau memiliki kesamaan dalam tradisi

sastra sezaman sebagai bentuk ekspresi sosialnya. Karya sastra yang memiliki

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

13

ideologi yang sama akan memunculkan ekspresi yang sama. Karya sastra sebagai

representasi kelompok sosial juga diasumsikan diterima, dibaca, dan direspon

oleh karya yang lain sehingga terjadi dialog melalui karya yang lain dalam

merespons situasi sosial yang ada. Namun, pandangan tersebut juga bisa berlainan

seperti teks-teks dari karya pengarang yang seideologi dan sezaman atau dalam

kelompok sosial yang sama dapat memunculkan perbedaan eskpresi sosial dalam

menghadapi situasi sosial, terutama persoalan tertentu. Melalui pandangan dunia

dari kelompok sosial tertentu diharapkan tereksplorasi perkembangan ekspresi

sosial dari tahun 1900-1942 dalam karya-karya yang ada. Dengan demikian,

karya sastra merupakan produk tindakan sosial yang mampu berkompromi

terhadap situasi sosial yang ada.

Jadi, masalah dalam penelitian ini adalah bahwa sastra peranakan Tionghoa

sebagai produk sastra Indonesia. Dengan demikian, isi karya sastra itu adalah

tanggapan atas dunia sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa Indonesia

yang terepresentasikan dalam karya sastra. Karya sastra yang dimaksudkan

meliputi rentang waktu antara 1900-an hingga 1942-an atau paruh pertama abad

ke XX. Karya sastra peranakan Tionghoa dari tahun 1900-an hingga 1942

diasumsikan mewakili tanggapan atas dunia sosial masyarakat peranakan

Tionghoa dalam merespon situasi sosial pada zamannya.

1.2 Masalah

Sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Sastra ini

merupakan wujud dari tanggapan terhadap dunia sosial atau struktur sosial

masyarakat peranakan Tionghoa. Atas dasar itu, karya sastra peranakan Tionghoa

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

14

merupakan karya yang bukan individual atau dia adalah wakil dari suatu

kelompok tertentu. Karya sastra ini dianggap sebagai usaha untuk mencari

harmonisasi atau keseimbangan terhadap dunia sosial ketika itu.

1.3 Rumusan Masalah

Sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Karya sastra

menunjukkan sebuah gagasan yang terdapat dalam struktur teksnya. Sebagai

produk sastra Indonesia, karya sastra adalah produk sosial sehingga dia

merupakan wujud tanggapan atas dunia sosial masyarakat peranakan Tionghoa.

Wujud tanggapan itu dapat dilihat dari cara para pengarang sebagai wakil

kelompoknya dalam menanggapi dunia sosial yang ada dan perbedaan topik atau

persoalan yang dibahas dalam karya sastranya.

1.4 Permasalahan

1. Dari sisi kesastraannya, karya sastra ini mengemukan sebuah gagasan yang

terlihat dalam struktur teks sastra peranakan Tionghoa Indonesia dan

homologinya dengan dunia sosial pada paruh pertama abad XX.

2. Dari sisi sosial, relasi struktur sosial dan subjek kolektif dalam sastra peranakan

peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh pertama abad XX merupakan wujud

dari dunia sosial.

3. Dari sisi etnik peranakan Tionghoa, pandangan dunia kelompok sosial

peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh pertama abad XX merupakan

manifestasi dari gagasan hidup dan cara menjalani hidup masyarakat pemilik

karya sastranya.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

15

1.5 Objek Penelitian

1.5.1 Objek Formal

Objek formal dalam penelitian ini adalah tanggapan atas dunia sosial dalam

masyarakat peranakan Tionghoa yang merupakan ekspresi sosial dalam

kesastraan. Tanggapan tersebut merupakan wujud dari kelompok sosial dalam

mencapai keharmonisan atau keseimbangan dengan dunia sosial atau struktur

sosial yang ada.

1.5.2 Objek Material

1.5.2.1 Populasi

Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni sumber primer

dan sekunder (Azwar, 2009:91). Sumber primer dalam penelitian ini terdiri atas

karya-karya sastra peranakan Tionghoa antara 1900-1942. Sumber sekunder

adalah semua pustaka yang mendukung dan memiliki relevansi dengan tema

penelitian, misal penelitian sebelumnya, dan artikel ilmiah.

Data dan objek kajian material yang diambil dari karya sastra memiliki

populasi atau jumlah yang banyak. Berdasarkan catatan sementara dari Claudine

Salmon (1981) jumlah karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia dari tahun

1880-an hingga 1960-an berjumlah 3005 yang terdiri dari 2757 karya yang

memiliki identitas pengarang dan 248 karya anonim. Dari 3005 karya itu, karya

sastra itu terdiri dari 73 drama, 183 syair, 233 terjemahan karya Barat, 759

terjemahan karya sastra Tionghoa, dan 1398 karya novel dan cerita pendek.

Setelah dilakukan pelacakan, dari 1398 karya novel dan cerita pendek tersebut,

karya-karya keagamaan, biografi, nasihat atau pendidikan, buku agama, dan

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

16

tulisan politik dimasukan dalam jenis ini. Secara tidak langsung, karya yang

berupa terjemahan, biografi, nasihat, buku pelajaran agama, buku kitab suci,

tulisan politik, dan sejenisnya tidak dimasukkan dalam data utama.

1.5.2.2 Sampel

Pemilihan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan atas

beberapa hal. Pertama, sampel dipilih dengan mempertimbangkan masalah atau

topik yang dibahas dalam penelitian. Kedua, sampel dipilih dengan

mempertimbangkan aspek pencipta yang dipandang dominan perannya dalam

dunia sastra peranakan Tionghoa pada periodenya. Hal ini bertujuan untuk

memberikan “jalan” bagi perolehan data dengan mendasarkan pada anggapan

bahwa karya sastra dipandang mewakili ekspresi zamannya.

Selanjutnya, kriteria yang penting lainnya adalah karya sastra yang dipilih

tersebut harus memiliki persyaratan yang diungkapkan oleh Lucien Goldmann

sebagai karya yang besar. Karya yang besar itu dicirikan18

oleh Goldmann

(1970:597) adalah karya yang berbicara tentang alam semesta, hukum-hukum atau

aturan-aturan dalam alam semesta tersebut, dan bebagai masalah atau persoalan

yang berkembang atau tumbuh dari keadaan tersebut. Karya yang besar juga

dihasilkan oleh subjek trans-individual, subjek yang mengalami pertentangan,

yang merupakan satu wakil dari kolektivitas. Dia mampu menghadirkan

pandangan dunia yang lengkap, menyeluruh tentang kehidupan dan

mempengaruhi umat manusia. Karya tersebut dapat berbicara mengenai persoalan

18 Realitas dalam sastra Indonesia tidak ada daftar karya besar atau agung ynag dikeluarkan oleh

suatu lembaga atau institusi tertentu. Kriteria dan lembaga yang menentukan karya besar belum

tentu dapat diterima sebab bisa bersifat politis, ekonomis, atau ideologis. Satu karya dianggap

besar bila memenuhi kreteria yang diberikan oleh Lucien Goldmann.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

17

seperti kebaikan melawan kejahatan, percintaan dan kebencian, kehidupan

manusia beserta masalahnya, dan lain-lain.

Berdasarkan kriteria tersebut, karya sastra yang dipilih sebagai sampel

untuk diteliti adalah Tjerita jang betoel soeda kedjadian di poelo Djawa daei

halnja satoe toean tana dan pachter opium di Res. Benawan, bernama Lo Fen

Koei (terpetik dari soerat kabar Bintang Betawi) (1903) karya Gouw Peng Liang

(selanjutnya disebut Lo Fen Koei), Nona Tjoe Joe Pertintaan jang membawa

tjilaka, ditoelis menoeroet tjeritanja Nona Tjoe Yoe sendiri (1922) karya Tio Ie

Soei, (selanjutnya disebut Nona Tjoe Joe), Drama di Boven Digoel (1932) karya

Kwee Tek Hoay, Berdjoeang (1934) karya Liem Khing Hoo, dan Raden Adjeng

Moerhia (1934) karya Njoo Cheong Seng. Sampel tersebut dijadikan sebagai

sumber data yang utama atau primer disamping sumber data yang lain, seperti

artikel atau tulisan, biografi pengarang, keadaan zaman dari para peneliti yang

lain, dan lain-lain.

Karya-karya tersebut dipilih karena beberapa alasan. Pertama, posisi para

pengarang yang cukup dominan dalam dunia sosial, politik, agama, dan literasi

sangat menonjol. Kedua, karya tersebut diasumsikan mengambarakan kehidupan

sosial pada zamannya. Ketiga, karya-karya tersebut menghadirkan topik yang

serupa pada zamannya, tetapi memiliki kelebihan tersendiri karena ditulis oleh

pengarang yang memiliki posisi cukup dominan dalam masanya. Hal ini

dibuktikan dengan aktivitas dan pengaruh pemikiran mereka terhadap para

pengarang yang lain. Keempat, karya tersebut memenuhi syarat seperti yang

dikemukan oleh Lucien Goldmann.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

18

1.6 Tujuan Penelitian

1.6.1 Tujuan Teoretis

1. Sastra peranakan Tionghoa jarang sekali dijadikan sebagai objek penelitian

oleh sarjana sastra Indonesia karena masih ada sebagian anggapan bahwa sastra

ini bukan bagian dari sejarah sastra Indonesia. Penelitian merupakan salah satu

upaya untuk mengakui keberadaan sastra peranakan Tionghoa sebagai bagian

dari sejarah sastra Indonesia.

2. Penelitian memunculkan gagasan baru dalam melihat masyarakat peranakan

Tionghoa dari sisi sosiologis dan historis melalui karya sastranya atau karya

sastra dapat memperlihatkan keadaan tersebut.

3. Penelitian ini berupaya untuk melihat karya sastra sebagai salah satu upaya

dalam memperlihatkan sejarah sosial suatu masyarakat.

1.6.2 Tujuan Praktis

1. Karya sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Jadi, produk

budaya masyarakat peranakan Tionghoa adalah produk masyarakat Indonesia.

2. Melalui pemahaman tentang topik atau isu dalam karya sastra peranakan

Tionghoa, masyarakat memperoleh satu pelajaran dan pemahaman budaya

peranakan Tionghoa sehingga mampu memaknai ulang hubungan etnisitas

antara etnik peranakan Tionghoa dengan etnik yang lain .

3. Melalui pemahaman terhadap dunia sosial dan budaya orang peranakan

Tionghoa, pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan kajian ini sebagai

pembanding atau data untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan

pembangunan hubungan etnik dan masalah etnisitas dalam konteks kebangsaan.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

19

1.7 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap sastra peranakan Tionghoa.

Topik pertama adalah penelitan atau tulisan yang membahas masalah ruang

lingkup sastra peranakan Tionghoa, topik atau tema karya sastra peranakan

Tionghoa. Penelitian ini dapat dilihat dari beberapa tulisan seperti Sastra-

Indonesia Tionghoa (1950) oleh Nio Joe Lan (1958), Chinese Malay Literature of

Peranakan Chinsese In Indonesia 1880-1942 (1977) oleh John B. Kwee (1977),

Literature In Malay By The Chinese of Indonesia: A Provisional Annotates

Bibliography (1981) oleh Claudine Salmon, Siti Faizah Sunoto (1994) “Seri

Roman Melayu Cina”, tulisan dari Leo Suryadinata (1993) “From Peranakan

Chinese Literature to Indonesia Literature: a Prilimary Study” yang memberikan

definisi sastra peranakan Tionghoa, perkembangannya hingga sebelum perang,

dan topik atau temanya. Tulisan dari Leo Suryadinata itu memiliki kesamaan

dengan tulisan Leo Suryadinata sendiri dalam buku Kebudayaan Minoritas

Tionghoa di Indonesia (1988), terutama bagian “Sastra Peranakan di Indonesia:

Sebuah Catatan Singkat” dan artikel yang terbit dengan judul “The Study of

Peranakan Chinese Literature: a Prilimary Survey” (1994).

Topik yang kedua adalah mengenai pemikiran dan aktivitas pengarang

dalam dunia sosialnya juga ditemukan dengan perspektif psikologis. Topik

tersebut setidak-tidaknya dapat ditemukan dalam beberapa pengarang yakni Kwee

Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, dan Khoo Ping Hoo. Yang pertama adalah Kwee

Tek Hoay yang dibahas dalam 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil

Sampai Ke Pendekar Pena (1989). Kedua adalah Khoo Ping Hoo yang termuat

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

20

dalam penelitian yang berjudul “Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo: Writer of

Cloak-and Dagger Stories in Indonesia (1926-1994)” (1993) oleh Myra Sidharta.

Ketiga adalah “Njoo Cheong Seng: A Peranakan Novelist, Playwright, Director,

Poet, Editor” oleh Myra Sidarta (1995). Ketiga judul itu memberikan uraian

biografi, aktivitas sosial, topik-topik dalam karyanya yang dihubungkan dengan

situasi sosial yang ada, dan peran mereka dalam dunia sastra atau kehidupan

sosial. Topik tersebut juga diulang lagi oleh Myra Sidharta (2004) dalam buku

Biografi Delapan Penulis Peranakan:Dari Penjaja Tekstil Sampai Superwoman

yang memuat pengarang seperti Kwee Tek Hoay (1885-1951), Njoo Cheong Seng

(1902-1962), Nio Joe Lan (1904-1972), Tan Han Boen (1905-1983), Ang Ban

Tjiong (1910-1938), Hoo Eng Djie (1906-1962), Ong Pik Hwa (1906-1972), dan

Khoo Ping Hoo (1926-1994)19

.

Topik yang ketiga adalah hubungan teks karya sastra peranakan Tionghoa

dengan teks sastra Melayu melalui perspektif intertekstual. Hubungan

intertekstualitas menjadi fokus kajiannya. Hal ini dapat dilihat dari tulisan yang

berjudul “Making it New in 1884 Lie Kim Hok’s Syair Siti Akbari” (1998) oleh

Kolster. Tulisan ini menguraikan proses penciptaan Syair Siti Akbari oleh Lie

Kim Hok. Walaupun Lie Kim Hok mengadaptasi dari cerita-cerita lisan dan cerita

rakyat seperti panji, Lie Kim Hok telah mengarahkan syair ini ke arah realisme

idealis. Hal ini dibuktikan dengan struktur naratif, terutama modifikasi pada tokoh

dan alur atau pola ceritanya yang terpengaruh oleh realisme idealis dari sastra

Barat. Selain itu, penelitian yang berjudul “Aux origines du Roman Malais

19 Dua artikel dari Myra Sidharta tersebut diterbitkan ulang dalam buku tersebut dengan

pengubahan redaksi bahasa seperlunya.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

21

Moderne: Tjhit Liap Seng on “Les Pleides” de Lie Kim Hok (1886-1887)” oleh

Claudine Salmon (1993) juga memiliki topik yang sama dengan tulisan Koster.

Salmon (1993) menuliskan tentang pendirian percetakaan Tionghoa, riwayat

singkat dari tokoh Lie Kim Hok, dan poses kreatif dari Lie Kim Hok yang

memiliki hubungan dengan teks-teks sosial yang menjadi bahan ceritanya. Tulisan

Monique Zaini-Lajoubert dalam “Le Syair Cerita Siti Akbari de Lie Kim Hok

(1889): Un avatar du Syair Abdul Muluk (1864)” adalah contoh nyata dari

hubungan intertekstual antara Lim Kim Hok dan Siti Akbari. Menurutnya, Liem

Kim Hok mengadaptasi cerita Abdul Muluk dengan modifikasi pada struktur

cerita yang meliputi tokoh, penceritaan, dan gaya yang berbeda. Sudut pandang

tulisan Monique Zaini-Lajoubert ini memiliki kesamaan dengan penelitian Kolster

(1998).

Topik yang keempat adalah proses kreatif pengarang dalam menghasilkan

karya sastra. Topik ini muncul dalam tulisan “Au Carrfour de la litteratue et de

l’historie: “vent de folie” de Njoo Cheong Seng (1950)” oleh Denys Lombrad

(1998). Tulisan ini membahas kisah perjalanan pengarang Njoo Cheong Seng

yang menulis cerita Taufan Gila yang diterbitkan di Tjilik Romans. Tulisan ini

menyebutkan bahwa bahasa yang digunakan dalam cerita itu adalah bahasa

Makasar dan Melayu dalam bentuk puisi yang bercerita tentang Bung Daeng

seorang pahlawan yang malang. Tulisan ini memberikan informasi bahwa Taufan

Gila itu adalah cerita biografi yang terinspirasi oleh kejadian Madiun 1948, ditulis

dalam bentuk plot yang populer, bercerita tentang pembuangan tahanan ke Boven

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

22

Digoel, dan usaha mencari kebenaran dalam dunia mistis. Penulisan teks ini

dipandang sebagai bentuk proses kreativitas dari Njoo Cheong Seng.

Topik kelima adalah karya sastra sebagai cermin sosial atau refleksi atas

kenyataan mendominasi topik penelitian terhadap sastra peranakan Tionghoa.

Topik ini menggunakan sudut pandang sosiologi sastra. Hal ini setidak-tidaknya

dapat dicontohkan oleh beberapa penelitian. Pertama, “Beware and Reflect,

Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and The Emergence of Chinese-

Malay Literature in The Indies” oleh Maier (1994) adalah penelitian yang

menguraikan bahasa yang digunakan oleh orang peranakan Tionghoa dalam

menulis cerita, novel, dan lain-lain. Dengan mengambil contoh Tjerita Njai

Soemirah Jilid I dan II, Maier (1994) menyimpulkan bahwa cerita tersebut

mengingatkan para pembaca tentang kemungkinan bahwa ras dan etnisitas

didefinisikan oleh bahasa yang digunakan. Bahasa sastra dapat dipandang sebagai

cermin atau refleksi terhadap dunia sosial masyarakat peranakan Tionghoa.

“Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity: Literary Representations of

Indies Society” oleh Hellwig (2002) dipandang sebagai refleksi terhadap realitas

sosial yang menempatkan perempuan Indo Belanda dalam posisi terjajah secara

ras dan ideologi seperti dalam perbandingan antara Warm Bloed dengan Tjerita

Nona Diana. Contoh lain sastra sebagai refleksi realitas sosial dapat ditemukan

dalam penelitian seperti “Gouw Peng Liang’s Novella, Lo Fen Koei: Patron and

Women, An Account of the Peranakan Chinese Community of Java in the Late

19th Century” oleh Peter Worseley (2004), “The Han Family from the Residency

of Besuki (East Java) as Reflected in a Novella by Tjoa Boe Sing (1910)” oleh

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

23

Claudine Salmon (2004), “The Batavian Eastern Railway Co. and the Making of

a New “Daerah” as Reflected in a Commemoarative Syair Written by Tan Teng

Kie (1890)” (1987) oleh Claudine Salmon, “A Critical View of the Opium

Farmers as Reflected in a Syair by Boen sing Hoo (Semarang, 1889)” (1991) oleh

Claudine Salmon, dan “Lo Fen Koei Karya Gouw Peng Liang: Motif Kejahatan

dan Kebaikan dalam Masyarakat Tionghoa” oleh Dwi Susanto (2008) dan “Indo-

European and European Images in Peranakan Chinese Literature” oleh Dwi

Susanto (2010).

Selain topik tersebut, topik yang menggunakan sudut pandang sosiologi

sastra juga dengan itu dilakukan oleh Elizabeth Candra dalam National Fictions:

Chinese-Malay Literature and the Politics of Forgetting (2006), yang

memfokuskan pada persoalan karya sastra sebagai wujud dari praktik kebudayaan

yang bersifat politis. Chandra (2006) memfokuskan pada karya sastra peranakan

Tionghoa dari tahun 1870-1942. Karya sastra peranakan Tionghoa dipandang

sebagai wujud memori kolektif yang “dilupakan” dalam sejarah sastra Indonesia.

Keadaan itu terus berlanjut hingga Indonesia merdeka. Tulisan itu juga

mengungkapkan bahwa para pengarang menuliskan topik karya sastranya yang

berbeda atau menentang topik yang diungkapkan oleh sastra tradisi Balai Pustaka

(pemerintah kolonial) dalam proyek modernisasi. Perbedaan atau penentangan itu

merupakan satu strategi dan ideologi karya para pengarang peranakan Tionghoa.

Serupa dengan topik yang menggunakan perspektif sosiologi sastra, tulisan

dari Wuryandari (1999), “Nilai-Nilai Budaya Timur dan Barat dalam Kasopanan

Timoer dan Doerinja Pernikahan Karya Dahlia (Tan Lam Nio)” mengunakan

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

24

perspektif sosiologis dengan bantuan semiotik. Hasil yang diperoleh adalah bahwa

masyarakat peranakan Tionghoa masih berupaya mengali nilai-nilai budaya Timur

untuk kehidupan mereka. Nilai budaya Timur diwujudkan dalam sopan santun,

prinsip patrilineal, tata cara perkawinan, dan menolak persatuan perkawinan Barat

dengan Timur. Sementara itu, nilai budaya Barat diwujudkan dalam beberapa

bentuk yakni pendidikan, teknologi, rumah tinggal, dan pakaian. Menurutnya,

kedua teks ini dengan bantuan teks yang lain merefleksikan nilai budaya yang ada

dalam masyarakat peranakan pada masa abad ke-20.

Topik yang keenam adalah resepsi pembaca terhadap sastra peranakan

Tionghoa. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa artikel yang termuat di dalam

buku Literary Migrations: Tradisional Chinese Fiction In Asia 17-20th

Centuries

(1987), yakni artikel yang berjudul “Postwar Kungfu Novels in Indonesia: A

Preliminary Survey” (Leo Suryadinata) dan “Sam Pek-Eng Tay: A Chinese Loves

Story In Madurese” (Dede Oetomo). Artikel yang pertama tersebut senada dengan

tulisan dari Leo Suryadinata yang berjudul “Cerita Silat Sesudah Perang di

Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal” yang dimuat dalam buku Kebudayaan

Minoritas Tionghoa di Indonesia (1988). Tulisan dari Liang Liji (1988) yang

berjudul “Sastra peranakan Tionghoa dan kehadirannya dalam Sastra Sunda” juga

masuk kelompok ini. Liang Liji memberikan uraian mengenai pengaruh timbal

balik antara sastra Sunda dan sastra peranakan Tionghoa di dalam interaksi

kultural masyarakat Sunda. Menurutnya, struktur narasi penceritaan dan tema-

tema yang sama muncul dalam kedua jenis sastra tersebut. Selanjutnya, artikel

Leo Suryadinata (2009) yang berjudul “Kesusastraan Tionghoa dalam Terjemahan

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

25

Melayu/Indonesia, Dahulu dan Sekarang” memberikan uraian mengenai

terjemahan dan transformasi sastra klasik dan modern Tionghoa di Indonesia.

Topik serupa juga ditulis oleh Claudine Salmon (1974) “Aux origines de la

littérature sino-malaise: un sjair publicitaire de 1886”20

yang melacak gerakan

kesastraan peranakan Tionghoa masa awal melalui publikasi di tahun 1886. Selain

itu, tulisan yang lain adalah mengenai cerita klasik tentang pelayaran Zheng He di

Nusantara dan San guo zhi yanyi dalam dunia Melayu. Dua tulisan tentang hal itu

menceritakan mengenai kepopuleran cerita Zheng He dan juga sambutan terhadap

cerita Kisah Tiga Negara di kalangan kaum peranakan Tionghoa. Tulisan tersebut

adalah “Sanbao taijian en Indonésie et les traductions malaises du Xiyang ji”

(2005) dan “Les traductions du romans chinois en malais (1880-1930)21

. Kedua

artikel itu hakikatnya satu topik, yakni mengenai persebaran cerita klasik

Tionghoa dalam dunia Melayu atau Nusantara. Sebagai contohnya adalah

munculnya berbagai terjemahan atau cerita mengenai tokoh Zheng He dan

berbagai terbitan mengenai Kisah Tiga Negara.

Topik ketujuh adalah karya sastra sebagai representasi identitas juga telah

dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari tulisan “From Huaqiao to Minzu:

Constructing New Identities in Indonesia’s Peranakan Chinese Literature” oleh

Thomas Riger (1994). Penelitian ini meneliti identitas peranakan Tionghoa

dengan mengabaikan aspek pluralitas, heterogenitas, ruang, dan hibriditas

masyarakat Tionghoa Indonesia. Penelitian serupa dilakukan oleh Elizabeth

20 Artikel ini telah diterjemahkan dalam buku Claudine Salmon (2010). Sastra Indonesia Awal:

Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: Gramedia 21 Artikel ini telah diterjemahkan dalam buku Claudine Salmon (2010). Sastra Indonesia Awal:

Kontribusi Orang Tiongho. Jakarta: Gramedia

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

26

Chandra (2011) dalam “Fantasizing Chinese/Indonesian Hero: Njoo Cheong Seng

and the Gagaklodra Series” yang mengemukan mengenai peran dan konstruksi

pahlawan hibrid masyarakat peranakan Tionghoa dalam melawan kuasa penjajah.

Topik yang lain atau topik yang kedelapan, seperti posisi perempuan dalam

konteks sosial politik dari sudut pandang feminisme juga telah diteliti oleh

beberapa ahli. Sebagai contohnya adalah tulisan yang berjudul “Nyai Dasima, a

Fictional Women” oleh Hellwig (1992) ini mendiskusikan tentang posisi

perempuan dan relasi-relasi diantara para tokoh dalam cerita Nyai Dasima yang

menampilkan sudut pandang pengarang peranakan Tionghoa yakni O.S. Tjiang

dan Lie Kim Hok. Hal serupa diungkapkan oleh tesis yang berjudul “The Nyai in

Nyai Dasima, Nyai Ratna, and Nyai Alimah: A Reflection of Indonesian

Women’s Lives As Concubines of European in Indonesian’s Colonial Period”

oleh Ibnu Wahyudi (1995) yang menguraikan genre cerita pernyaian dalam sastra

Melayu Rendah sebagai bagian dari fiksi populer, terutama oleh pengarang

peranakan Tionghoa, seperti Tio Ie Soei dengan karya Tjerita Sie Po Giok (1911)

dan Gouw Peng Liang dengan novel Lo Fen Koei. Bukti yang lain dari topik ini

dapat ditemukan dalam tulisan Maimunah dengan judul “Tema Perlawanan

Terhadap Politik Identitas dan Praktik Pernyaian Dalam Tiga Cerita Tempo

Doeloe” oleh Maimunah (2005), yang memandang bahwa teks Pieter Elberverld

(1924) dari Tio Ie Soei ini berpihak pada Belanda atau kolonialisme.

Topik kesembilan adalah pengaruh aliran estetika dalam sastra peranakan

Tionghoa menjadi topik tersendiri karena penelitian terhadap hal itu jarang

dilakukan. Satu-satunya penelitian terhadap aliran estetika itu ditemukan dalam

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

27

judul “Romantisme dalam Sastra Melayu-Tionghoa: Pengalamannya Satu Bunga

Anyelir” oleh Jakob Sumardjo (2005). Tulisan ini membahas mengenai mahzab

sastra romantisime dalam sastra peranakan Tionghoa. Penulis menguraikan bahwa

secara umum sastra peranakan Tionghoa menggunakan aliran realisme. Ada

beberapa karya yang beraliran romantik yang salah satunya adalah

Pengalamannya Satu Bunga Anyelir karya Kwee Tek Hoay. Tulisan itu

menguraikan aspek-aspek romantisme dari salah satu karya Kwee Tek Hoay

tersebut. Selain itu, Jakob Soemardjo juga memberikan uraian bahwa salah satu

ciri utama dari karya peranakan Tionghoa itu adalah sifat diktaktik, cenderung

realis, dan naturalis.

Topik yang kesepuluh adalah perspektif pascakolonial, yakni

mengedepankan isu terjajah versus penjajah muncul sebagai topik yang banyak

ditulis oleh para peneliti sastra ini. Topik itu antara lain adalah “Berjuang (Liem

Khing Hoo) dan Bergerak (Tan Boen Soan): Strategi Esensialisme dalam

Mempertahankan Idenitas Kulural” oleh Dwi Susanto (2007). Menurutnya, kedua

teks tersebut menghadirkan kembali peran identitas diri yang esensialis dalam

bertahan di tanah perantauan. Melalui dua motif yang berbeda, konsep-konsep

yang melampau zamannya diutarakan seperti gagasan transnasional dan

transkultural. Tulisan “Pengalaman Diaspora (Peranakan) Cina di Indonesia: Satu

Kajian Terhadap Berjuang dan Masjarakat Karya Liem Khing Hoo” oleh Dwi

Susanto (2007) juga mengungkapkan hal yang serupa, yakni pemahaman kembali

terhadap makna diaspora dan usaha yang utopis terhadap cara bertahan hidup

melalui diversifikasi budaya, identitas yang baru, dan hibrid dalam teks ini yang

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

28

dimanfaatkan sebagai strategi untuk menjadi huayi dan usaha kongsi

perdagangan. Contoh yang lain tentang isu identitas tersebut dieksplorasi dalam

“Representasi Pribumi dan Cina dalam Peniti Dasi Barlian Karya Tan King Tjian

oleh Dwi Susanto (2008) dan juga “Indonesia Pre-War Chinese Peranakan

Writings as Indonesian Post-colonial Literary Texts” oleh Sim Chee Cheang

(2008). Tulisan Sim Chee Cheang membicarakan persoalan mimikri dan hibrid

dalam beberapa karya peranakan Tionghoa Indonesia. Penelitian yang lain dengan

topik serupa adalah “Representasi dalam Cerita Pieter Elberverld Karya Tio Ie

Soei: Suatu Kajian Pascakolonial oleh Dwi Susanto (2008:11-23) dan “Tusheng

Huaren Wenxue sebagai Sastra Diaspora dan Cerita Silat Sebagai Obat

Kerinduan” oleh Dwi Susanto (2008:1-7).

Topik yang kesebelas adalah bentuk-bentuk kritik sastra peranakan

Tionghoa. Kritik sastra dipandang sebagai cara menilai dan menginterpretasikan

fenomena kesastraan. Topik ini diwakili oleh penelitian yang berjudul

Perlawanan Diskriminasi Rasial Etnik Cina:Konteks Sosio-Ideologis Kritik

Sastra Tionghoa Peranakan oleh Faruk, Bakdi Soemanto, dan Bambang

Purwanto (2000). Dalam buku ini, persoalan terhadap kritik sastra Tionghoa

Indonesia hanya didasarkan pada beberapa kritik sastra atau hasil penelitian, yakni

buku dari Nio Joe Lan, John B Kwee, dan Claudine Salmon. Beberapa penelitian

atau tulisan dari berbagai jurnal ilmiah tidak dibahas meskipun tulisan-tulisan itu

memiliki berbagai perspektif yang berbeda-beda.

Berdasarkan penelusuran tersebut, masalah dalam penelitian ini belum

dibahas atau diteliti. Ada beberapa penelitian yang menggunakan sudut pandang

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

29

sosiologis yang serupa dengan penelitian ini, tetapi berbeda persoalannya. Namun,

hadirnya penelitian-penelitian tersebut amat penting dan bermanfaat bagi

penelitian ini sebagai pembanding atau pendukung dari berbagai data yang

disajikan. Selain itu, perspektif sosiologis dari penelitian yang telah ada masih

terbatas pada sudut pandang sastra sebagai refleksi sosial tanpa melibatkan

pengarang sebagai wakil masyarakatnya. Meskipun demikian, ada beberapa

penelitian yang melihat dari sudut pandang sastra sebagai cermin situasi sosial

pada zamannya, seperti yang dilakukan oleh Claudine Salmon (1987 dan 1991).

Namun, penelitian tersebut hanya memfokuskan pada seorang pengarang tanpa

menjelaskan latar sosiologis terutama konteks struktur sosial, latar historis, dan

pengarang sebagai wakil dari kelompok sosialnya.

Perbedaan masalah dalam penelitian ini terletak dalam beberapa hal.

Pertama, penelitian ini memberikan penjelasan terhadap tanggapan sosial

masyarakat peranakan Tionghoa melalui hasil kesastraan dengan

mempertimbangkan kelompok sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Kedua,

meskipun penelitian ini adalah penelitian sosiologi sastra, penelitian dengan objek

kajian sastra peranakan Tionghoa ini mempertimbangkan aspek historis yang

terlihat dari penjelasan mengenai wujud tanggapan sosial dalam suatu waktu.

Ketiga, penelitian ini tidak hanya mempertimbangkan kelompok sosial yang

diwakili oleh subjek kolektif dalam kesastraan peranakan Tionghoa, tetapi juga

menghadirkan teks dan korpus pengarang dalam pandangan atau gagasan mereka

terhadap lingkungan atau realitas (pandangan dunia) sebagai jalan pemetaan untuk

memberikan data dan membantu penjelasan atas tanggapan sosial.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

30

1.8 Teori Strukturalisme Genetik

Sebagai konsekuensi dari permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya

perlu diungkapkan suatu konsep untuk menjawab persoalan itu. Konsep diartikan

sebagai kesan mental, suatu pemikiran, ide, suatu gagasan yang mempunyai

derajat abstraksi, yang digunakan dalam pemikiran abstrak (Lorens, 1996:481).

Sementara wujud kerangka konseptual itu dapat diartikan sebagai teori. Teori itu

sendiri diartikan sebagai (1) pemahaman tentang hal-hal dalam hubungannya yang

universal dan ideal antara satu sama lain, (2) prinsip abstrak atau umum di dalam

tubuh pengetahuan yang menyajikan suatu pandangan yang jelas dan sistematis

tentang beberapa materi pokok, dan (3) model atau prinsip umum, abstrak, dan

ideal yang digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala (Lorens, 1996:1097).

Strukturalisme genetik menjadi salah satu bagian dari perkembangan kritik

sastra Marxis. Pertanyaan yang mendasari dari teori strukturalisme genetik adalah

bahwa “bagaimanakah sastra itu menunjukkan perkembangan atau perubahan

kehidupan sosial dan karya sastra diasumsikan memberikan petunjuk terhadap hal

tersebut” (Forgacs, 1987:183). Melalui pengaruh dari Lukács, seorang teorikus

sosiologi Neo-Marxis, Lucien Goldmann menggunakan pendekatan biografis,

yakni menghubungkan karya sastra dengan kehidupan pengarang dan

personalitasnya, tetapi tidak berpusat pada teks, melainkan menghubungkan

struktur karya dengan struktur mental (pandangan dunia) dari kelompok sosial

pengarangnya. Menurutnya, karya sastra memunculkan kesadaran kelas dan

tingkah laku atau tindakan sosial yang dihubungkan dengan struktur sosial yang

melingkupi pengarang. Suara yang dimunculkan bukanlah suara teks, tetapi suara

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

31

subjek kolektif yang diwakilkan oleh pengarang. Konsep kesadaran kelas yang

terbentuk melalui struktur mentalitas kolektif ini menunjukkan bahwa pengaruh

teori struktural konflik mempengaruhi teori dari Lucien Goldmann.

Strukturalisme genetik adalah teori yang terpengaruh dan dikategorikan

sebagai mahzab Annales atau sejarah intelektual (intellectual history, histoire des

mentalités). Teori dari Lucien Goldmann ini dapat dipandang sebagai teori sejarah

ide, sejarah sosial, atau sejarah mentalitas yang menggunakan produk seni,

terutama karya sastra. Peralatan yang berupa “pandangan dunia” dari Lucien

Goldmann itu sendiri sama dengan istilah “peralatan mental” dari Febvre dan

“habitus” dari Panofsky (Chartier, 1987:27-28). Sebagai teori sosial yang

memfokuskan pada sejarah sosial, teori Lucien Goldmann ini dibangun dengan

dasar utama yakni meneliti penghadiran kembali atau pengucapan ulang antara

pikiran-pikiran dengan dunia sosial. Istilah pandangan dunia sendiri dipinjam dari

Lukács, sosiolog Neo-Marxis. Pandangan dunia merupakan satu instrumen yang

memungkinkan untuk menghubungkan antara pemikiran subjek atau pemikiran

kolektif dengan dunia sosial yang berada dalam seni atau sastra.

Teori sejarah mental atau sejarah sosial dari Lucien Goldmann dibangun

oleh seperangkat kategori yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Kategori

itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, dan pandangan dunia.

Fakta kemanusiaan diartikan sebagai segala hasil tindakan manusia yang berupa

verbal maupun yang bukan verbal. Fakta kemanusiaan ini dapat berupa tindakan

sosial, kultural, dan politik (Goldmann, 1970:584-585). Karya sastra atau seni

dengan demikian dapat dipandang sebagai satu fakta kemanusiaan. Fakta

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

32

kemanusiaan itu memiliki arti sebab satu tindakan dari subjek atau pengarang

dianggap sebagai tindakan untuk mengakomodasi dan mungkin mengasimilasi

struktur sosial yang dirasakan oleh subjek atau pengarang, sebagai wakil

kelompoknya. Fakta kemanusiaan yang demikian sering disebut dengan fakta

sosial yang historis. Sementara itu, tindakan pengarang atau subjek yang tidak

memiliki pengaruh terhadap situasi sosial atau tidak berimplikasi secara sosial

dianggap sebagai fakta individual. Menurut Goldmann sendiri, fakta kemanusiaan

merupakan satu struktur yang berarti bila dihubungkan dengan struktur yang lain

karena mereka memiliki maksud dan tujuan tertentu (Goldmann, 1975:159-160)

Sejarah ide atau sejarah mentalitas dari Goldmann ini juga melibatkan

psikologi. Menurutnya, manusia tidak bisa terlepas dari lingkungannya. Antara

lingkungan dan manusia melakukan strukturasi. Antara manusia dan lingkungan

memiliki semacam “dualitas struktur”. Strukturasi versi Goldmann memiliki arti

bahwa antara manusia dan lingkungannya terjadi hubungan timbal balik. Namun,

strukturasi yang terwujud tersebut adalah asimilasi dan akomodasi. Individu

sebagai subjek kolektif bisa mempengaruhi struktur sosial yang ada, tetapi

struktur sosial juga mempengaruhi individu atau menentukan tindakan individu

atau pengarang. Hal ini menunjukkan bahwa teori dari Lucien Goldmann ini

memiliki kecenderungan struktural meskipun menggunakan metode yang bersifat

dialektik. Dalam ilmu sosial, teori Goldmann ini dikategorikan sebagai pengaruh

aliran struktural konflik, terutama mengenai posisi subjek sebagai wakil kelompok

sosial yang berhubungan dengan kelompok sosial yang lain dalam struktur sosial.

Teori ini memperoleh pengaruh, terutama dari pemikiran Marxis.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

33

1.8.1 Struktur Teks dan Homologi

Sastra atau teks sastra merupakan karya yang bersifat imajinatif. Karya

sastra, terutama karya yang besar, oleh Goldmann dipandang sebagai produk dari

subjek kolektif. Goldmann terpengaruh oleh gagasan yang dikemukan oleh

strukturalisme dalam melihat karya sastra, terutama gagasan tentang oposisi biner.

Selain itu, gagasan yang lain terlihat dalam elemen kesatuan untuk mengemukan

struktur karya sastra. Goldmann (1970:604-605) melihat karya sastra sebagai satu

kepaduan yang mana dalam tiap unsur atau elemennya saling berkaitan. Struktur

yang dikemukan oleh Goldmann ini hakikatnya adalah struktur yang bersifat

tematik. Baginya, sebuah novel atau karya sastra merupakan cerita tentang

pencarian terhadap nilai-nilai yang benar dalam dunia yang terdegradasi. Sang

tokoh hero merupakan tokoh yang problematik. Gagasan yang demikian ini

terpegaruh oleh pengertian novel yang dikemukan oleh Lucaks.

Goldmann (1981) sendiri mengemukan hakikat karya sastra. Menurutnya,

karya sastra sendiri menghadirkan ekspresi pandangan dunia suatu kelompok

secara imajiner. Pandangan dunia tersebut diungkapkan melalui tokoh-tokoh

ciptaan pengarang, hubungan berbagai objek yang ada dalam teks, dan berbagai

objek yang ada di dalam teks. Hubungan tersebut diungkapkan secara imajiner.

Dalam melihat karya sastra, Goldmann memiliki suatu konsep mengenai struktur

karya yang bersifat tematik. Hubungan atau relasi antar tokoh ciptaan yang satu

dengan tokoh ciptaan yang lain ataupun antara tokoh dengan objek dan objek

dengan objek yang lain mampu mengeksplorasi gagasan tematik yang ada dalam

sebuah teks.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

34

Selanjutnya, novel dianggap sebagai sebuah genre sastra yang memiliki ciri

keterpecahaan. Keterpecahaan itu tidak bisa didamaikan antara sang tokoh dengan

dunia sekitarnya. Keterpecahan ini membuat sang tokoh pahlawan atau hero

menjadi problematik. Dengan mengikuti pandangan Lukacs, Goldmann dalam

Towards A Sociology of the Novel (1975:2) menyebutkan tiga jenis novel. Ketiga

jenis itu adalah idealisme abstrak, psikologis, dan bildungsroman. Novel

idealisme abstrak dicirikan dengan tokoh yang ingin bersatu dengan dunianya,

tetapi gagasan mengenai dunia sangat sempit dan subjektif dari sang tokoh saja,

seperti Don Quixote atau Le Rounge et La Noir. Sebaliknya, novel yang berjenis

pendidikan ini dicirikan bahwa sang tokoh tidak bisa menjangkau dan bersatu

dengan dunia yang begitu luas dan mengakibatkan sang tokoh cukup hidup

dengan dirinya dan dunianya sendiri, seperti Oblomov. Novel bildungsroman

merupakan novel yang menunjukkan keberpihakan sang tokoh hero terhadap

inferioritas, tetapi sekaligus dia ingin bersatu dengan dunia. Hal ini

mengakibatkan kegagalan hidup bagi sang tokoh hero sebab dia berada dalam dua

dunia, seperti Wilhelm Meister.

Karya sastra memang memiliki struktur yang saling berhubungan. Karya

sastra sendiri juga menjadi bagian dari struktur yang lebih besar yang berada

diluar keberadaannya. Hal ini menimbulkan suatu tuntutan mengenai hubungan

struktur karya dan struktur yang berada diluar keberadaannya. Oleh Goldmann

(1970) hal ini disebut dengan istilah penjelasan dan pemahaman yang bertujuan

untuk menunjukkan homologi antara struktur sosial dan struktur karya sastra.

Metode yang digunakan untuk menjelaskan hal tersebut adalah metode dialektika

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

35

(1970: 202-603). Metode ini dilakukan seperti gerak melingkar dalam bidang

hermeneutika. Metode ini bukan hanya untuk menganalisis struktur karya sastra.

tetapi lebih dari itu, metode ini juga digunakan untuk melihat karya sastra dengan

struktur yang berada diluar keberadaannya. Baginya, alat bantu dari usaha untuk

menginterpretasikan hubungan tersebut adalah pandangan dunia, terutama untuk

menentukan makna hubungan antar struktur dalam teks sastra. Homologi yang

terdapat dalam struktur karya sastra dengan struktur sosial ini tidak bersifat

langsung. Homologi ini dijembatani oleh pandangan dunia yang ada dalam suatu

masyarakat.

1.8.2 Struktur Sosial dan Subjek Kolektif

Dalam bagian “Introduction to a Structural Study of Malraurx’s Novel”,

Goldmann (1975:18, edisi bahasa Perancis tahun 1964) mengatakan bahwa

analisisnya yang pertama kali difokuskan pada signifikasi struktur teks atau

immanent in the work. Hal ini ditujukan untuk mengemukan gagasan tentang

homologi dan hubungannya dengan kehidupan intelektual, sosial, politik,

ekonomi, dan struktur yang membangunnya pada periode tersebut. Dalam analisis

tersebut, yang dimaksudkan sebagai struktur sosial yang meliputi teks adalah latar

belakang ekonomi yang menciptakan karya sastra. Subjek kolektif yang

dihadirkan adalah kelompok intelektual kiri Perancis. Kelompok ini

mengedepankan gagasan tentang universalisme gerakan komunis Internasional.

Namun, komunisme ternyata hanya ideologi suatu negara tertentu sehingga

kelompok kiri intelektual di Perancis ini menjadi kecewa pada gagasan universal

yang dianggapnya benar.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

36

Subjek kolektif dalam pandangan Lucien Goldmann adalah subjek dalam

fakta sosial yang historis. Subjek tersebut adalah subjek yang mewakili kelompok

atau kelas sosial sosial tertentu (1970:585). Selanjutnya, teori ini juga

mengenalkan subjek trans-individual. Subjek trans-individual adalah subjek yang

mampu menciptakan fakta historis, seperti karya sastra yang besar, revolusi sosial,

politik, dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Subjek atau

pengarang ini tersatukan sebagai satu kolektivitas sehingga dapat disamakan

artinya dengan subjek kolektif. Subjek ini dipandang mampu menciptakan dan

dihadirkan dalam karya yang besar, bukan hanya tindakan individual yang

menuruti libidonya. Karya sastra yang besar merupakan karya sastra yang

menghadirkan alam semesta dan hukum-hukumnya. Subjek trans-individual

sering dirujuk dengan kelompok sosial.

Dalam melihat hubungannya antara subjek kolektif dan latar belakang

sosial, kasus pada analisis novel Malraux mengemukan bahwa gagasan yang

dikembangkan novel atau struktur novel memiliki hubungannya dengan struktur

sosial yang berkembang. Struktur sosial yang berkembang itu adalah bahwa sejak

awal hingga pada awal abad XX, pengaruh ekonomi liberal masih cukup dominan

dan kehidupan sosial. Selain itu, dari abad XIX hingga masa awal abad XX telah

terjadi pergeseran dari sistem kapitalis liberal menuju kapitalis imperial.

Perubahan ini menyebabkan individu dan kehidupannya berubah akibat

munculnya kepentingan pribadi yang menonjol. Hal ini menyebabkan terjadinya

perubahan kehidupan sosial secara keseluruhan. Struktur sosial ini terus berubah

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

37

dengan munculnya campur tangan negara dalam bidang ekonomi (Goldmann,

1975:122-123).

Gagasan mengenai subjek kolektif dan lingkungan sekitar atau struktur

sosial juga pernah diungkapkan melalui contoh dalam buku kajian yang berjudul

The Hidden God A Study of Tragic Vision in The Pensees of Pascal and The

Tragedies of Racine (1964, edisi pertama di Inggris, terjemahan dari bahasa

Prancis oleh Philip Thody). Goldmann menghubungkan pandangan dunia dengan

lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan intelektual yang ditempat oleh sang

subjek kolektif. Struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat Perancis ketika

itu terjadi lihat cukup menonjol pada tahun mulai tahun sekitar 1637 ketika terjadi

perkembangan monarkhi yang absolut dengan membentuk berbagai birokrasi

pendukung raja. Birokrasi itu berhubungan dengan raja secara langsung.

Goldmann mengutip pendapat dari E. Maugis (Historie du Parlement de

Paris de l’avènement des rois Volois à la mort d’ Henri IV). Menurut Maugis

(dalam Goldmann,1977:108), kerajaan Perancis berkembang melalui beberapa

tahap yang cukup berpengaruh terhadap struktur atau kehidupan sosial ketika.

Masa awalnya, raja merupakan bangsawan yang memperoleh hak khusus untuk

berkuasa dan didukung oleh kelompok kelas menengah dan kota-kota. Raja dalam

hal ini tidak memiliki kekuasaan yang multak dan raja menerapkan sistem feodal.

Tahap berikutnya, raja menginginkan kekuasaan atas bangsawan-bangsawan dan

kelas menengah atas dirinya yang didukung oleh birokrasi dan sah secara hukum.

Hal ini menyebabkan kekuasaan secara absolut. Tahap berikutnya, raja

selanjutnya memerintah dengan bebas dari bangsawan dan kelas menengah

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

38

dengan menggunakan alat birokrasi atau grup komisaris. Tujuannya adalah

menyeimbangkan kekuasaan antar kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat

dan mengakarkan atau menguatkan kekuasaan raja dihadapan mereka.

Melalui keadaan tersebut, munculnya pandangan dunia yang dilandasi oleh

gerakan Jansenisme. Menurutnya (1977:112) merupakan aliran keagamaan di

Perancis yang muncul akibat adanya transisi dari tahap pertama menuju tahap

kedua. Hal ini dibuktikan dengan adanya perpindahan kekuasaan dari kelompok

officiers dan cours souverains menuju pada komisaris (commisaires). Bagi

Goldmann, kelahiran Jansenisme sejajar dengan proses hilangnya kekuasaan

officiers dan munculnya konflik antara raja dan parlemen. Jansenisme muncul

dari kelompok yang berbeda yakni anggota aristrokrat dan anggota kelas

menengah. Anggota kelas menengah yang terdiri dari cours souverains dan

avocats menjadi pendukung yang sebenarnya dari Jansenisme. Kelompok

artistrokat hanya sebagian saja karena rasa kecewa terhadap sentralisasi kekuasaan

raja. Hal ini menunjukkan bahwa kelas aristrokrat tidak sepenuhnya bersedia

melepaskan dunianya.

Dengan mendasarkan hubungan politis atau latar politis tersebut, Goldmann

(1977) mengemukan bahwa subjek kolektif adalah kelas sosial menengah atau

borjuis. Situasi sosial atau struktur sosial yang berada dalam kelompok sosial atau

subjek kolektif tersebut berhubungan dengan pergeseran sistem monarkhi yang

terbatas menuju monarkhi yang absolut. Latar belakang sosial atau struktur sosial

yang demikian inilah yang melingkupi subjek kolektif.

1.8.3 Pandangan Dunia

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

39

Subjek trans-individual atau subjek kolektif mampu menciptakan karya

kultural yang dipandang besar. Menurutnya, karya sastra dengan struktur

masyarakat memiliki kesamaan atau homologi sebab kedua-duanya merupakan

hasil dari aktivitas kolektif yang terstrukturasi. Homologi antara struktur karya

sastra dengan struktur masyarakat itu tidak bersifat langsung sebab karya sastra

adalah karya yang imajinatif dan fantastik. Homologi itu dijembatani oleh

pandangan dunia yang ada dan berkembang dalam masyarakat pemilik karya

sastra tersebut. Pandangan dunia itu dimiliki oleh kelompok sosial tertentu yang

mampu membedakan dengan kelompok sosial yang lain dalam masyarakat. Hal

tersebut seperti yang diungkapkan oleh Lucien Goldmann bahwa What I have

called a “world vision” is a convinent term for the whole complex of ideas,

aspirations and feelings which links together the members of a social group (a

group which, in most cases, assumes the existence of a social class) and which

opposes them to members of others social group (Goldmann, 1977:17)22

.

Pandangan dunia diartikan sebagai semua gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan

perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama seluruh anggota

satu kelompok sosial tertentu dan membedakannya dengan kelompok sosial yang

lain. Pandangan dunia ini terwujud dalam gaya hidup, alat, atau cara yang

mempersatukan anggota kelompok sosial dan membedakan dengan kelompok

sosial yang lain (Goldmann, 1977:17).

22 Yang disebut sebagai pandangan dunia adalah suatu kompleks yang menyeluruh dari berbagai

gagasan, aspirasi, dan perasaan yang menghubungkan satu kelompok sosial tertentu (sebuah

kelompok yang diasumsikan sebagai keberadaan kelompok sosial) dan dipertentangkan dengan

kelompok sosial yang lain.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

40

Pandangan dunia tersebut terbentuk melalui serangkaian proses yang

panjang. Proses itu adalah proses historis. Bagi Goldmann, pandangan dunia itu

hadir sebagai perkembangan dari situasi sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh

subjek. Mentalitas subjek menjadi kunci dalam mengetahui pandangan dunia.

Pandangan dunia lahir atas proses mentalitas yang bertahap dan dalam waktu

yang relatif lama sehingga membangun mentalitas yang baru. Hal itu salah

satunya akan terwujud dalam ekspresi sosial atau tanggapan sosial yang baru atau

berbeda dari periode yang sebelumnya.

Goldmann (1977) memberikan contoh penerapan pandangan dunia ini

dalam analisisnya terhadap karya Pascal dan Racine. Goldmann mengenalkan

pandangan dunia tragik atau tragis. Pandangan dunia ini memiliki beberapa unsur,

yakni pandangan mengenai Tuhan, pandangan mengenai lingkungan atau dunia,

dan pandangan mengenai manusia. Ketiga-tiganya merupakan bagian yang saling

berhubungan. Dalam melihat mengenai Tuhan, pandangan dunia tragik ini

mengatakan bahwa “Tuhan Bersembuyi”. Tuhan dianggap tidak hadir sebab dia

tidak memiliki peran dalam kehidupan manusia. Namun. Manusia selalu

menyadari bahawa Tuhan selalu menuntut perilaku manusia. Tuhan dalam

pandangan dunia tragik adalah Tuhan yang ada dan tidak ada. Tuhan ada dalam

tuntutan perilaku manusia, tetapi Tuhan tidak ada dalam kehidupan manusia.

Sehubungan dengan itu, pandangan dunia tragik melihat bahwa dunia

sebagai segala-galanya, tetapi juga bukan apa-apa. Tuntutan Tuhan terhadap

manusia adalah hal yang tidak mungkin bila dilihat dari sudut pandang dunia.

Bahkan, hukum yang ada didunia ini tidak ada artinya dihadapan Tuhan. Dalam

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

41

melihat dunia, pandangan dunia tragik ini mengatakan bahwa dunia ini memiliki

keterbatasan sehingga dunia tidak ada maknanya. Keterbatasan atas kehadiran

Tuhan dalam kehidupan ini dapat terpenuhi oleh dunianya sendiri. Sebagai

konsekuensinya, manusia yang tragik adalah manusia yang berada didunia dan

sekaligus mengingkari keadaan dunia itu.

Goldmann (1977) memberikan contoh mengenai pandangan dunia dari

subjek kolektif kelas borjuis yang diwakili oleh Racine dan Pascal. Pandangan

dunia yang digagasnya adalah pandangan dunia tragik. Pandangan dunia ini juga

berhubungan dengan munculnya Jansenisme. Pergeseran kekuasaan dari monarkhi

terbatas menuju monarkhi absolut tersebut melahirkan Jansenisme yang berakibat

pula mengemukan gagasan mengenai pandangan dunia tragik.

1.9 Metode Penelitian

1.9.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni

penelitian yang mementingkan kualitas data dan bukan jumlah data sebab

penelitian ini menemukan fenomena kesastraan yang khusus untuk mendapatkan

keunikan dari fenomena tersebut. Atas dasar itu, data dilihat dari segi pentingnya

informasi yang dibutuhkan sesuai dengan topik penelitian, bukan jumlah yang

banyak dari informasi tersebut (bdk. Moleong, 2002:4-7).

1.9.2 Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah segala informasi mengenai struktur

masyarakat peranakan Tionghoa, subjek pengarang yang meliputi biografi, dan

karya sastra yang dihasilkan oleh subjek pada zamannya, “isi” karya sastra, situasi

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 42: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

42

zaman atau semangat zaman, dan lain-lain yang berhubungan dengan topik

penelitian. Sumber data yang utama atau pertama adalah teks karya sastra

peranakan Tionghoa yang telah diplih dan sumber data yang kedua adalah semua

pustaka yang berhubungan dengan topik penelitian ini.

1.9.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai

cara. Teknik observasi dilakukan dengan cara membaca dan mencatat semua

informasi dari data yang pertama (karya sastra). Teknik penelusuran pustaka

dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca, dan mencatat informasi dari

sumber data yang kedua.

1.9.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan mendasarkan pada prosedur dalam

teori atau konsep-konsep yang dimaksudkan. Teknik analisis data tersebut

dilakukan dengan pencatatan data, klasifikasi data, interaksi antar data (relasi

antara data dalam struktur karya atau data dalam sumber primer, interaksi antara

data di luar data struktur karya sastra atau dalam sumber sekunder, dan interaksi

antara keduanya atau antara data dalam sumber primer dan data dalam sumber

sekunder) (Seiddel dalam Moleong, 2007: 248). Namun, interaksi data tersebut

dilakukan melalui teknik interpretatif sebagai wujud penafsiran data (Moleong,

2007:258-259).

Pernafsiran data secara interpretatif harus melihat teori yang digunakan.

Pembacaan oposisi berlawanan dilakukan untuk menganalisis membahas karya

sastra pada tahap pertama. Tahap berikutnya adalah mengunakan pembacaan

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 43: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88046/potongan/S3-2015-276109-introduction.pdf · Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari

43

gerakan melingkar antara karya, kelompok sosial dalam masyarakat peranakan

Tionghoa, dan struktur sosial (bdk. Ricouer dalam Kaelan, 2005:83, Iser, 1987:ix-

x). Kunci untuk menjelaskan itu adalah hubungan di antaranya. Hal ini

menegaskan bahwa sastra tidak bisa dilepaskan dalam konteks sosialnya

(Chamamah, 2003:107). Tujuan yang hendak dicapai adalah menjelaskan ekspresi

sosial dalam tradisi sastra peranakan Tionghoa yang diwakili subjek kolektifnya.

1.10 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab. Bab I berjudul Pengantar yang

berisi diantaranya berupa alasan penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian,

teori yang digunakan, dan metode untuk memecahkan masalah. Bab II berisi

tentang struktur teks dan homologi. Bab III berupa struktur sosial dan subjek

kolektif. Bab IV berupa pandangan dunia subjek kolektif, relasi antara pandangan

dunia, subjek kolektif dan struktur sosial, dan persebaran atau wujud pandangan

dunia dalam karya sastra peranakan Tionghoa. Bab V berupa kesimpulan.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia pada paruhpertamaAbad XX kajian sosiologi sastraDWI SUSANTOUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/