BAB I PENDAHULUANjdih.sukabumikota.go.id/uploads/pdf/NASKAH_AKADEMIK_RAPERDA_KOTA...1 B AB I P...

169
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Olahraga merupakan salah satu elemen penting dalam daur hidup manusia, khususnya berperan dalam aspek biologis yaitu menjaga kondisi fisik dan organ tubuh tetap sehat dan dapat bekerja dengan baik. Selain menyangkut aspek fisik atau jasmani, olahraga juga mempengaruhi secara tidak langsung terhadap aktivitas manusia dan dapat mendukung aspek lainnya, seperti aktivitas sosial dan budaya bahkan sampai kepada nilai yang berlaku di masyarakat umum sebagai media aktualisasi pribadi maupun golongan. Lebih jauh lagi, olahraga sangat identik dengan budaya disiplin, konsistensi, kompetisi, persahabatan, kesatuan dan persatuan. Apabila olahraga dimaknai dan dihayati secara benar dan baik, maka akan membentuk karakter suatu bangsa. Pada sisi lain olahraga dapat memfasilitasi setiap individu untuk membangun dan menumbuhkan karakter positif, karena olahraga merupakan wahana pembelajaran yang efektif untuk pendidikan karakter. Dunia olahraga tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Olahraga tidak hanya sebagai kebutuhan untuk menjaga kebugaran tubuh seseorang, tetapi juga dapat menghasilkan prestasi yang akan mengangkat harkat dan martabat baik individu, kelompok, masyarakat bahkan bangsa dan negara. Berkaitan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional menegaskan bahwa olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan nasional, sehingga keberadaan dan peran olahraga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus ditempatkan pada kedudukan yang jelas dalam sistem hukum nasional. Sementara itu penyelenggaraan keolahragaan difungsikan untuk mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, sosial dan membentuk kesehatan keluarga dengan mernperhatikan atau melakukan aktivitas fisik, Iatihan fisik dan olahraga, serta membentuk watak dan kepribadian yang

Transcript of BAB I PENDAHULUANjdih.sukabumikota.go.id/uploads/pdf/NASKAH_AKADEMIK_RAPERDA_KOTA...1 B AB I P...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Olahraga merupakan salah satu elemen penting dalam daur hidup

manusia, khususnya berperan dalam aspek biologis yaitu menjaga kondisi fisik

dan organ tubuh tetap sehat dan dapat bekerja dengan baik. Selain

menyangkut aspek fisik atau jasmani, olahraga juga mempengaruhi secara

tidak langsung terhadap aktivitas manusia dan dapat mendukung aspek

lainnya, seperti aktivitas sosial dan budaya bahkan sampai kepada nilai yang

berlaku di masyarakat umum sebagai media aktualisasi pribadi maupun

golongan.

Lebih jauh lagi, olahraga sangat identik dengan budaya disiplin,

konsistensi, kompetisi, persahabatan, kesatuan dan persatuan. Apabila

olahraga dimaknai dan dihayati secara benar dan baik, maka akan membentuk

karakter suatu bangsa. Pada sisi lain olahraga dapat memfasilitasi setiap

individu untuk membangun dan menumbuhkan karakter positif, karena

olahraga merupakan wahana pembelajaran yang efektif untuk pendidikan

karakter.

Dunia olahraga tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Olahraga tidak hanya sebagai

kebutuhan untuk menjaga kebugaran tubuh seseorang, tetapi juga dapat

menghasilkan prestasi yang akan mengangkat harkat dan martabat baik

individu, kelompok, masyarakat bahkan bangsa dan negara.

Berkaitan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005

tentang Sistem Keolahragaan Nasional menegaskan bahwa olahraga

merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan nasional,

sehingga keberadaan dan peran olahraga dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara harus ditempatkan pada kedudukan yang jelas

dalam sistem hukum nasional.

Sementara itu penyelenggaraan keolahragaan difungsikan untuk

mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, sosial dan membentuk

kesehatan keluarga dengan mernperhatikan atau melakukan aktivitas fisik,

Iatihan fisik dan olahraga, serta membentuk watak dan kepribadian yang

2

bermartabat. Penyelenggaraan keolahragaan menjadi bagian strategis dalam

upaya perwujudan visi dan misi pembangunan daerah.

Artinya, pembangunan dan penyelenggaraan keolahragaan memiliki peran

yang sama pentingnya dengan pembangunan bidang lain seperti pendidikan,

kesehatan, perekonomian dan lain-lain. Oleh karena itu, penyelenggaraan

keolahragaan perlu mendapatkan perhatian khusus, baik dari Pemerintah

maupun Pemerintah Daerah.

Hal tersebut dapat dipahami, karena melalui aktivitas keolahragaan,

disamping mampu meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani yang

merupakan aspek penting dalam peningkatan kecerdasan yang menopang

keberhasilan pendidikan, keolahragaan juga menjadi pondasi bagi

pengembangan produktivitas manusia, sehingga akan meningkatkan

kemampuan ekonominya.

Pada sisi lain, pencapaian prestasi olahraga menjadi tolok ukur

kemajuan daerah, sehingga perlu berbagai upaya untuk mencapai prestasi

yang optimal. Membangun prestasi olahraga tidak semudah membuat

bangunan fisik. Sosok juara dalam bidang olahraga tidak muncul secara tiba-

tiba, melainkan harus melalui proses yang panjang, disiplin diri yang kuat,

berlatih keras serta bersinambungan sejak usia dini, di bawah binaan dan

bimbingan pelatih yang profesional. Oleh karena itu, upaya pembenahan dan

penguatan kelembagaan, pembinaan dan pelatihan sumber daya manusia,

baik atlet dan pelatih serta pembiayaan keolahragaan harus menjadi program

prioritas dalam pembangunan keolahragaan baik di pusat maupun daerah.

Berbicara masalah prestasi di bidang olahraga, banyak yang

beranggapan bahwa keberhasilan pembinaan olahraga hanya diidentikkan

dengan perolehan medali dalam suatu event. Anggapan tersebut tentu tidak

salah, tetapi tidak seluruhnya benar karena dalam setiap pertandingan

multicabang olahraga (multievent) perolehan medali memang menjadi ukuran

keberhasilan suatu daerah atau negara dalam mengembangkan prestasi

olahraganya. Akan tetapi, medali hanya salah satu aspek dan bukan segala-

galanya. Selain itu, olahraga prestasi hanyalah sebagai salah satu pilar

bangunan olahraga. Yang terpenting disini adalah filosofi dasar yang sangat

esensial dan universal dari keberhasilan pembinaan olahraga adalah

penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (celebration of humanity).

Dengan filosofi luhur semacam itu, maka upaya primitif-destruktif atas nama

medali menjadikan iklim olahraga tidak kondusif lagi. Seperti penggunaan obat

perangsang (dopping), mencapai kemenangan dengan menghalalkan segala

3

cara, atas nama gengsi usia dan identitas atlet dimanipulasi, perkelahian, dan

atas nama prestasi atlet menjadi budak ambisi.

Dewasa ini permasalahan keolahragaan semakin kompleks dan

berkaitan dengan dinamika sosial, ekonomi serta budaya masyarakat dan

tuntutan perubahan global. Untuk itu, sudah saatnya Pemerintah dan

Pemerintah Daerah memperhatikan bidang keolahragaan secara menyeluruh

dengan memperhatikan semua aspek terkait, serta adaptif terhadap

perkembangan olahraga dan masyarakat, sekaligus menyiapkan instrumen

hukum yang mampu mendukung kelembagaan, pembinaan, pengembangan,

pendanaan keolahragaan dan sebagainya baik untuk saat ini dan masa yang

akan datang.

Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, Pemerintah Kota

Sukabumi memandang perlu menyusun Rancangan Peraturan Daerah

(Raperda) Kota Sukabumi tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, yang

dalam pentahapan perancangannya dibutuhkan kajian yang mendalam dan

komprehensif dalam bentuk Naskah Akademik. Kajian akan dibagi menjadi 5

(lima) bab. Bab I akan membahas Pendahuluan, yang memuat Latar Belakang,

Identifikasi Masalah, Tujuan dan Kegunaan, serta Metode Penelitian. Bab II

akan membahas Kajian Teoritis dan Praktik Empiris, memuat materi yang

bersifat teoretik, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial,

politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Peraturan

Daerah. Bab III akan membahas evaluasi dan analisis peraturan perundang-

undangan terkait dengan substansi yang akan diatur dalam Raperda. Bab IV

akan membahas landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang menjadi dasar

pertimbangan disusunnya Raperda. Bab V akan membahas mengenai

jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan. Akhirnya, pada

Bab VI akan diuraikan kesimpulan dan saran.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang

perlu diidentifikasi adalah :

1. Apa yang menjadi pertimbangan disusunnya Raperda Kota Sukabumi

tentang Penyelenggaraan Keolahragaan?

2. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan

yuridis pembentukan Raperda Kota Sukabumi tentang Penyelenggaraan

Keolahragaan?

4

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di

atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik adalah :

1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan

keolahragaan serta cara-cara mengatasi permasalahan.

2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan

pembentukan Raperda yang menjadi dasar hukum penyelesaian atau

solusi permasalahan dalam penyelenggaraan penyelenggaraan

keolahragaan.

3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis

pembentukan Raperda.

4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,

jangkauan, dan arah pengaturan dalam Raperda.

Naskah akademik ini merupakan acuan atau referensi dalam

penyusunan dan pembahasan Raperda Kota Sukabumi tentang

Penyelenggaraan Keolahragaan, sebagai penguatan dari aspek hukum yang

kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

D. Metode

Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah diuraikan,

maka penelitian difokuskan pada pengkajian bahan-bahan hukum primer

dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pemerintahan, terutama mengenai kewenangan Pemerintah

Kota Sukabumi dalam penyelenggaraan keolahragaan.

Untuk itu, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode penelitian yuridis normatif, yaitu meneliti hukum sebagai norma positif

dengan menggunakan cara berpikir deduktif dan berdasarkan pada kebenaran

koheren dimana kebenaran dalam penelitian sudah dinyatakan kredibel tanpa

harus melalui proses pengujian atau verifikasi. Disamping itu, dilakukan pula

penelitian sosiologis dan historis agar penelitian bernilai komprehensif, karena

penelitian yang dilakukan memerlukan dukungan data, sehingga harus

dilakukan pendekatan kemasyarakatan.

Dipilihnya metode penelitian hukum normatif berdasarkan pertimbangan

bahwa tujuan penelitian adalah menggambarkan objek yang diteliti. Sebagai

pendukung, digunakan pendekatan sejarah hukum dan perbandingan hukum.

Digunakannya pendekatan ini, mengingat ketentuan mengenai

5

penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dapat dilepaskan dari latar

belakang sejarah. Disamping itu, penelitian ini tidak bisa terlepas dari sudut

pandang analisis hukum, artinya dielaborasi apa yang seharusnya diatur dalam

produk hukum daerah serta ruang lingkup kebebasan bertindak secara mandiri

oleh Pemerintah Kota Sukabumi.

Dengan dilakukannya analisis hukum, akan dapat diperoleh kepastian

terkandungnya elemen positivitas, koherensi dan keadilan dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga tetap berada dalam koridor

kewenangan Pemerintah Kota Sukabumi. Sedangkan sejarah hukum penting

dalam penelitian ini karena dalam sejarah hukum dapat diketahui

perkembangan sistem hukum sebagai keseluruhan serta perkembangan

institusi hukum dan kaidah hukum individual tertentu dalam sistem hukum,

sehingga diperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku pada

masa sekarang dan yang dibutuhkan di masa depan.

Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan, kemudian dianalisis

sehingga dapat ditemukan alasan yang rasional mengenai implikasi hukum dari

ketidakperdulian Pemerintah Kota Sukabumi dalam mengatur

penyelenggaraan keolahragaan, yang dikaitkan dengan penyelenggaraan

pemerintahan daerah Kota Sukabumi. Sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data sekunder, berupa :

1. Sumber hukum formal, yaitu : peraturan perundang-undangan, hukum tidak

tertulis, yurisprudensi dan doktrin.

2. Sumber hukum materiil, yaitu : sumber hukum historis, sumber hukum

sosiologis, dan sumber hukum filosofis.

Data yang terkumpul, selanjutnya diolah melalui tahap pemeriksaan

(editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing) dan sistematisasi

berdasarkan pokok bahasan dan subpokok bahasan yang diidentifikasi dari

rumusan masalah. Dari hasil pengolahan data tersebut, dianalisis secara

kualitatif dan kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil

pembahasan, kemudian diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap

permasalahan yang diteliti.

6

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN

PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoretis

1. Pengertian, Jenis, dan Peran Olahraga

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005

tentang Sistem Keolahragaan Nasional, disebutkan bahwa definisi olahraga

adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta

mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.

Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S

Purwadaminta, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan olahraga adalah latihan

gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan badan seperti fitness,

berenang, senam, aerobik, dan sebagainya.

Sementara itu dalam ensiklopedia Indonesia, olahraga berasal dari kata

“disportare” yang berarti bersenang-senang atau menghibur diri dimana olahraga

diartikan sebagai kegiatan yang melakukan kemampuan fisik tertentu berupa

kekuatan dan ketangkasan serta dilakukan dalam pertandingan atau perlombaan.

Perkembangan olahraga tidak terlepas dari salah satu perkembangan

peradaban manusia. Pada zaman dahulu orang purba sudah mempergunakan

kekuatan dan kepandaian yang dimiliki untuk mempertahankan kelangsungan

hidupnya. Dari setiap gerakan fisik yang mereka lakukan di dalam aktivitasnya

seperti lari dan melompat untuk mengejar dan memburu buruannya, tanpa mereka

sadari ini sudah merupakan olahraga. Mengingat sifat manusia yang ingin melebihi

sesamanya, maka secara tidak disadari terjadi persaingan ketangkasan dalam

menangkap buruannya yang mana pada akhirnya ketangkasan dan kekuatan itu

berkembang menjadi suatu perlombaan olahraga diantara mereka.

Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat tujuh fungsi kegiatan olahraga

antara lain1:

a. Pelepasan emosi, olahraga adalah salah satu cara untuk menyatakan emosi

dan mengendurkan tegangan;

1 M. Wilkerson dan Doddde. “What Sport Does for People” Journal of Physical Education, Recreation and

Dance, 1979:50-51.

7

b. Menunjukan identitas, olahraga memberikan kesempatan untuk dikenal orang

dan untuk menunjukan kualitas diri;

c. Kontrol sosial olahraga memberikan cara untuk mengontrol orang, dalam suatu

masyarakat bila ada penyimpangan berlaku;

d. Sosialisasi, olahraga dapat berperan sebagai satu cara untuk terjadi kontak

sosial sesama penggemar olahraga;

e. Agen perubahan, olahraga menghasilkan perubahan sosial, pola perilaku baru,

dan menjadi salah satu faktor pengubah sejarah;

f. Semangat kolektif, olahraga menciptakan semangat yang membuat orang

bersatu untuk mencari tujuan bersama; dan

g. Sukses, olahraga memberikan suatu perasaan berhasil, baik sebagai

pemimpin regu yang memperoleh sukses.

Dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005, diatur

bahwa Ruang lingkup olahraga meliputi kegiatan Olahraga pendidikan; Olahraga

rekreasi; dan Olahraga prestasi.

Berkenaan dengan kegiatan olahraga tersebut, Engkos Kosasih (Kosasih,

1985: 8-9) mengelompokkan kegiatan olahraga menjadi 5 jenis, yaitu:

a. Olahraga pendidikan

Tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan adalah meningkatkan

kemampuan kognitif, efektif, dan psikomotorik. Selain itu olahraga pendidikan ini

juga bertujuan membina dan meningkat kan kesegaran jasmani secara

keseluruhan (total fitness), bersifat memupuk sportifitas, dan apresiasi terhadap

olahraga sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

b. Olahraga prestasi

Kegiatan olahraga yang bertujuan pada tercapainya peningkatan prestasi

olahraga setinggi-tingginya, sesuai cabang olahraga tertentu.

c. Olahraga rekreasi

Olahraga adalah aktifitas jasmani untuk memperoleh kesegaran jasmani dan

rohani yang dilakukan pada waktu luang. Tujuan utama dari olahraga rekreasi ini

adalah untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan.

d. Olahraga massal

Bertujuan menjangkau seluruh lapisan masyarakat misalnya dengan

melakukan gerak jalan dan lain sebagainya.

8

e. Olahraga khusus

Olahraga ini mencakup jenis tertentu yaitu sesuai dengan cacat jasmani

dengan tujuan pada penguasaan dan kemahiran jenis olahraga tertentu, serta

mencakup pula kegiatan olahraga yang bertujuan penyembuhan sebagai terapi

(rehabilitasi).

Olahraga bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun tanpa

memandang dan membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, dan sebagainya.

Olahraga mempunyai peran penting dan strategis dalam pembangunan bangsa.

Sejalan dengan hal tersebut, Mutohir (2005) menyatakan bahwa hakekat olahraga

adalah sebagai refleksi kehidupan masyarakat suatu bangsa. Di dalam olahraga

tergambar aspirasi serta nilai-nilai luhur suatu masyarakat, yang terpantul lewat

hasrat mewujudkan diri melalui prestasi olahraga.

Ada pendapat bahwa kemajuan suatu bangsa salah satunya dapat

tercermin dari prestasi olahraganya. Harapannya adalah olahraga di Indonesia

dijadikan alat pendorong gerakan kemasyarakatan bagi lahirnya insan manusia

unggul, baik secara fisikal, mental, intelektual, sosialnya serta mampu membentuk

manusia seutuhnya. Pemahaman tentang konsep olahraga dipengaruhi oleh ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Namun demikian, olahraga juga memiliki keterbatasan dalam arti adanya

aturan yang harus dipatuhi, baik itu dalam olahraga yang bersifat play (bermain),

games maupun sport. Aturan dalam olahraga yang bersifat play, tidak terlalu ketat,

karena play merupakan aktivitas fisik yang bersifat sukarela dan dilakukan secara

bebas. Misalnya ketika lari di sore hari/jogging, yang diperhatikan adalah harus

menggunakan pakaian dan lari di tempat yang tidak mengganggu aktivitas orang

lain. Selanjutnya, olahraga yang bersifat games, aturannya sudah mulai ketat.

Karena dibuat oleh pemain yang akan melakukan permainan untuk ditaati

bersama. Misalnya, pada waktu ingin bermain bola voli dengan teman yang lain,

sebelum permainan dimulai, sudah ditentukan kesepakatan atas aturan yang akan

digunakan, baik itu penentuan set, skor, jumlah pemain dan lain sebagainya.

Olahraga dalam bentuk sport , aturan yang harus dipatuhi lebih kompleks lagi,

karena dibuat secara formal oleh organisasinya. Misalnya dalam permainan sepak

bola atau pun permainan lainnya. Ada paraturan/pembatasan ruang, luas, jumlah

pemain dan aturan-aturan lain yang harus dipakai sesuai dengan kesepakatan

yang telah ditentukan sebelumnya. Di dalam olahraga, aturan yang telah dibuat

bukan merupakan suatu hal yang dapat menghambat pengembangan kemampuan

dalam berekspresi atau juga bukan merupakan pengekang kebebasan, melainkan

9

suatu bentuk tindakan untuk menjadikan olahraga itu menjadi lebih baik, penuh

dengan seni dan etika.

Pada zaman modern ini manusia telah berhasil mengembangkan berbagai

macam teknologi termasuk mengembangkan beberapa teknik olahraga, namun

dengan semakin berkembangnya teknologi justru sebagian manusia menjadi

korban dari perkembangan teknologi tersebut karena dengan semakin

berkembangnya teknologi, maka akan mempermudah kinerja seseorang, dengan

kata lain teknologi akan mengurangi aktifitas fisik seseorang. Dengan

berkurangnya aktifitas fisik seseorang maka akan berpengaruh terhadap

kebugaran tubuhnya dan nantinya akan berpengeruh juga terhadap aktifitas fisik

lainnya. Oleh karena hal tersebut disarankan untuk tetap menjaga kesehatan dan

kebugaran dengan cara berolahraga secara baik dan benar.

Olahraga identik dengan gerakan yang memiliki tujuan tertentu. Dalam hal

ini, maka dalam olahraga terdapat koordinasi antara aspek-aspek kognitif,

psikomotor, dan afektif. Secara internal, gerak manusia terjadi secara terus

menerus, dan secara eksternal, gerak manusia dimodifikasikan oleh pengalaman

belajar, lingkungan yang mengitari, dan situasi yang ada. Oleh karena itu, manusia

harus disiapkan untuk memahami fisiologis, psikologis dan sosiologis agar dapat

mengenali dan secara efisien menggunakan komponen-komponen gerak secara

keseluruhan.

Dengan demikian, antara manusia dan aktivitas fisik tidak dapat dipisahkan

dari kehidupannya. Olahraga merupakan kegiatan yang terbuka bagi semua orang

sesuai dengan kemampuan, kesenangan dan kesempatan, tanpa membedakan

hak, status sosial atau derajat dimasyarakat. Dengan kata lain, olahraga dilakukan

oleh berbagai unsur lapisan masyarakat. Olahraga sebagai kegiatan fisik

mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha peningkatan derajat sehat

dan mempunyai manfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Derajat sehat yang

tinggi dicerminkan oleh kemampuan melakukan kerja fisik yang lebih berat.

Olahraga juga dapat berperan sebagai sarana untuk pertukaran budaya

dari berbagai negara, berbagi informasi dan mengembangkan pemahaman

budaya timbal balik. Ini berarti olahraga sering menjadi barang ekspor budaya dari

negara maju dan menyatu dengan hidup sehari-hari orang di negara lain.

Partisipasi even olahraga internasional sering bermakna bahwa negara lemah

harus mencari negara tangguh atau yang disebut adikuasa dalam olahraga untuk

mendapat bimbingan dan sumber daya.

10

2. Kewenangan Pemerintah Kota Sukabumi di Bidang Keolahragaan

Berkenaan dengan kewenangan Pemerintah Kota Sukabumi di bidang

keolahragaan, dalam ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun

2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, disebutkan bahwa Pemerintah

Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina,

mengembangkan, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan

di Kabupaten/Kota. Terdapat 16 (enam belas) kewenangan Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam bidang keolahragaan, yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007, yaitu:

a. penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga

prestasi;

b. pembinaan dan pengembangan olahraga;

c. pengelolaan keolahragaan;

d. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;

e. pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;

f. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga;

g. pendanaan keolahragaan;

h. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan;

i. peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan;

j. pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;

k. pembinaan dan pengembangan industri olahraga;

l. penerapan standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan;

m. pencegahan dan pengawasan terhadap doping;

n. pemberian penghargaan;

o. pelaksanaan pengawasan; dan

p. evaluasi terhadap pencapaian standar nasional keolahragaan.

Dalam melaksanakan 16 (enam belas) kewenangan tersebut, Pemerintah

Kabupaten/Kota dapat mengikutsertakan Komite Olahraga Kabupaten/Kota,

organisasi cabang olahraga tingkat Kabupaten/Kota, organisasi olahraga

fungsional tingkat Kabupaten/Kota, masyarakat, dan/atau pelaku usaha.

Namun demikian, saat ini pembagian urusan pemerintahan konkuren antara

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah. Urusan Pemerintahan Konkuren dimaksud

termasuk pula di dalamnya urusan di bidang keolahragaan yang menjadi

kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

11

Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut,

kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di bidang keolahragaan

direduksi menjadi 5 (lima) urusan, yaitu:

a. Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan pada jenjang pendidikan

yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota;

b. Penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat Daerah Kabupaten/Kota;

c. Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tingkat Daerah provinsi;

d. Pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga tingkat Daerah

Kabupaten/Kota; dan

e. Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi.

Sesuai asas hukum yang berlaku umum yakni asas lex superiori derogate

legi imperiori, maka secara hierarkhi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah lebih tinggi daripada Peraturan Pemerintah Nomor

16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, sehingga urusan yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 dikesampingkan oleh

ketentuan urusan konkuren yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014.

Namun demikian, ketentuan Pasal 408 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa: “Pada saat Undang-

Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku

sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam

Undang-Undang ini.”

Oleh karena itu, perlu pencermatan dan pengharmonisasian antara urusan

yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur

dalam Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014. Mengingat dasar pembentukan Peraturan Daerah (Perda) adalah urusan

yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, yang dalam hal ini

Pemerintah Kota Sukabumi.

Namun, hal perlu digaris bawahi terkait aspek kewenangan yang diatur

dalam Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014, yaitu bahwa penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat daerah

Kabupaten/Kota serta pembinaan dan pengembangan olahraga, masih

merupakan kewenangan daerah Kabupaten/Kota, termasuk Kota Sukabumi. Untuk

itu, penyelenggaraan kejuaraan olahraga terebut perlu diatur lebih lanjut dalam

Raperda Kota Sukabumi tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. Secara empirik,

12

sampai saat ini masih terdapat kejuaraan olahraga yang ditangani oleh Organisasi

Perangkat Daerah lain. Hal ini disebabkan oleh beragamnya nomenklatur

kelembagaan yang menangani tugas pokok dan fungsi keolahragaan di daerah

Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Selain itu, Pemerintah Kota Sukabumi dalam Raperda dapat mengatur

bidang keolahragaan yang merupakan muatan lokal (local contain), misalnya

olahraga tradisional. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 236 ayat (4) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa “selain memuat materi

muatan penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta

penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan”.

3. Aspek Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pembentukan Perda

Berkenaan dengan definisi Perda, dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 dan 8

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, disebutkan bahwa Perda Kabupaten/Kota, yaitu peraturan

perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Kedudukan Perda Kabupaten/Kota dalam hierarki (tata urutan) peraturan

perundang-undangan, berada pada urutan terbawah. Hal tersebut tercantum

dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang

mengatur mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, terdiri

atas:

a. Undang-Undang Dasar 1945;

b. Ketetapan (Tap) MPR;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Perda Provinsi; dan

g. Perda Kabupaten/Kota.

Kemudian dalam ketentuan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa :

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah

membentuk Perda.

13

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan

persetujuan bersama kepala Daerah.

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:

a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan

b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi.

(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat

memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,

diatur bahwa :

(1) Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada ketentuan

peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Pembentukan Perda mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,

pembahasan, penetapan, dan pengundangan yang berpedoman pada

ketentuan peraturan perundangundangan.

(3) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam

pembentukan Perda.

(4) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara

efektif dan efisien.

Sementara itu menurut Sjachran Basah2, mengemukakan, bahwa

memerintah negara berdasarkan sendi teritorial pada hakekatnya mengenai hak

setiap penguasa (Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah) terhadap suatu

daerah tertentu yang menyangkut kewenangan secara umum atas "regeling" dan

"bestuur". Kewenangan secara umum atas "regeling" dan "bestuur" untuk dapat

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kemudian Sjachran Basah

juga mengatakan bahwa setiap kebijakan pelayanan publik (termasuk Perda)

harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral dan secara hukum.

Pertanggungjawaban secara moral langsung kepada Tuhan YME dan

pertanggungjawaban secara hukum; batas atasnya adalah tidak boleh

bertentangan dengan konstitusi dan batas bawahnya tidak boleh nelanggar

prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pendapat ini dikenal dengan teori “Pertanggung

Jawaban Hukum Batas Atas dan Batas Bawah”.

2 Sjahran Basah, “Tiga Tulisan Tentang Hukum”, Armico, Bandung, 1986, hlm.29.

14

Berkaitan dengan Perda sebagai bagian dari peraturan perundang-

undangan sebagaimana telah dijelaskan di atas, A. Hamid S. Attamimi3

mengatakan:

“Istilah perundang-undangan (wettelijke regels) secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusi ataupun delegasi undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan, maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripadanya seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden yang berisi peraturan, keputusan menteri yang berisi peraturan, keputusan kepala lembaga pemerintah non departemen yang berisi peraturan, keputusan direktur jenderal departemen yang dibentuk dengan undang-undang yang berisi peraturan, perda tingkat I, keputusan gubernur kepala daerah yang berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan perda tingkat I, perda tingkat II, dan keputusan bupati/walikota madya kepala daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan perda tingkat II”.

Ada beberapa ukuran dasar agar peraturan perundang-undangan

dinyatakan baik. Baik disini dimaksudkan bahwa penaatan terhadap peraturan

perundang-undangan tersebut dilakukan secara spontan (sadar) bukan karena

ada paksaan. Paling tidak ada 4 (empat) dasar agar peraturan perundang-

undangan dinyatakan baik, yaitu menyangkut dasar filosofis, dasar sosiologis,

dasar yuridis, dan menyangkut teknik penyusunan peraturan perundang-

undangan. Apabila perancang peraturan perundang-undangan dalam menyusun

peraturan perundang-undangan memperhatikan dasar-dasar di atas, maka kaidah-

kaidah yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan tersebut sah secara

hukum dan berlaku secara efektif karena dapat diterima secara wajar oleh

masyarakat, dan kemungkinan dapat berlaku untuk jangka waktu yang panjang.

Dasar Filosofis terkait dengan apa yang diharapkan dari peraturan perundang-

undangan, misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan, dan

sebagainya. Dasar filosofis biasanya menyangkut masalah cita hukum

(rechtsidee), yang tumbuh dari sistem nilai dalam masyarakat mengenai baik dan

buruk, hubungan individual dan kemasyarakatan, kebendaan, kedudukan wanita,

dan sebagainya. Dasar filosofis peraturan perundang-undangan adalah Pancasila,

oleh karena itu setiap pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya

memperhatikan secara sunguh-sungguh cita hukum atau nilai yang terkandung

dalam Pancasila. Selanjutnya, dasar Sosiologis yang terkait dengan kondisi atau

kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan yang hidup dalam

masyarakat dapat berupa kebutuhan, tuntutan atau masalah yang dihadapi.

Dengan memperhatikan dasar sosiologis diharapkan peraturan perundang-

3 A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan,

Makalah pada Pidato Dies Natalis PTIK ke 46, Jakarta, 1992, hlm.3

15

undangan yang dibuat akan diterima dan ditaati oleh masyarakat secara wajar,

tanpa ada paksaan. Peraturan perundang-undangan yang diterima dan ditaati

secara wajar akan mempunyai daya laku yang lebih efektif, karena tidak

diperlukan daya paksa dan alat pemaksa. Berikutnya adalah dasar Yuridis. Ada

beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan dasar yuridis, yaitu Pertama,

keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.

Artinya, setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau

pejabat yang berwenang. Apabila suatu peraturan perundang-undangan dibuat

oleh badan atau pejabat yang tidak berwenang, maka peraturan perundang-

undangan tersebut batal demi hukum. Sebagai konsekuensi hukumnya, peraturan

perundang-undangan tersebut dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya

batal secara hukum. Kedua, keharusan adanya kesesuaian antara bentuk atau

jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur. Ketidaksesuaian

antara jenis dan materi ini dapat menjadi alasan untuk dibatalkannya peraturan

perundang-undangan tersebut. Ketiga, keharusan mengikuti tata cara atau

prosedur tertentu. Apabila tata cara atau prosedur tersebut tidak diikuti, peraturan

perundang-undangan tersebut mungkin batal demi hukum atau tidak/belum

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.4

Berkenaan dengan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik, ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

disebutkan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah

pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan

perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan”.

Pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk Perda) diawali

dengan perencanaan, yang dalam hal ini diawali dengan penyusunan naskah

akademik. Sebelum menyusun suatu naskah akademik Perda, maka sebelumnya

sangat perlu dilakukan pengkajian atau penelitian hukum guna memperoleh data

dan informasi yang komprehensif dan relevan dengan materi yang hendak diatur.

Dalam kaitan ini keberadaan Naskah Akademik memiliki nilai yang sangat penting

dan strategis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,

karena penyusunan Naskah Akademik diawali dengan riset nilai-nilai yang ada di

masyarakat, sehingga besar kemungkinan peraturan perundang-undangan yang

dibuat berdasarkan Naskah Akademik akan diterima oleh masyarakat karena

4 Kajian Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Mendukung Pembangunan Nasional,

Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Tahun 2005, hlm. 15-16.

16

peraturan yang dibuat bersifat responsif. Naskah akademik merupakan media

nyata bagi peran serta masyarakat dalam proses pembentukan atau penyusunan

peraturan perundang-undangan bahkan inisiatif penyusunan atau pembentukan

naskah akademik dapat berasal dari masyarakat. Naskah akademik akan

memaparkan alasan-alasan, fakta-fakta atau latar belakang masalah atau urusan

sehingga hal yang mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga

sangat penting dan mendesak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah aspek ideologis, politis, budaya,

sosial, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Naskah Akademik merupakan

media konkrit bagi peran serta msyarakat secara aktif dalam pembentukan Perda.

Dengan terlibatnya masyarakat secara aktif dalam proses pembentukan Perda,

maka aspirasi-aspirasi masyarakat akan lebih terakomodasi.5

Efektivitas pemberlakuan hukum (peraturan perundang-undangan) yang

dalam hal ini Perda, sangat terkait dengan dasar filosofis, sosiologis, dan dasar

yuridis sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Menurut Soerjono Soekanto, berbicara mengenai negara hukum, maka

tidak terlepas dari kaidah hukum yang terkandung didalamnya. Agar kaidah hukum

dapat berlaku secara efektif maka harus memenuhi syarat berlaku yuridis, berlaku

secara sosiologis dan berlaku secara filosofis. Apabila hanya dilihat dari salah

satu sudut saja maka akan menimbulkan masalah-masalah. Faktor-faktor yang

mempengaruhi berfungsinya kaidah hukum dalam masyarakat ada empat, yaitu

kaidah hukum (peraturan), petugas/penegak hukum, fasilitas, dan masyarakat.6

Suatu perundang-undangan (Perda) dikatakan mempunyai landasan

sosiologis, apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau

kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan (Perda)

yang dibuat di taati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka7. Oleh

karena itu, Perda yang dibuat harus sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat

atau hukum yang hidup (living law) di Jawa Barat sebagai tempat Perda

diterapkan.

Produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika

(moment opname)8. Dinamika kehidupan masyarakat terus berubah, nilai-nilai pun

terus berubah, untuk itulah kecenderungan dan harapan masyarakat harus dapat

diprediksi dan diakomodasikan dalam Perda yang berorientasi pada masa depan.

5 Hamzah Halim, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah, Kencana, Jakarta,

2009, hlm. 151 6 Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Pers, Jakarta 1982 hlm. 9. 7 Amiroeddin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Penerbit Bina

Aksara, hlm. 92, 8 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. IND-HILL.CO, Jakarta, 1992.hlm

15.

17

Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa Perda yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat dalam berbagai aspek dan landasan sosiologis, sesungguhnya

menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan

masyarakat. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa Perda yang dibentuk adalah untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat dalam berbagai aspek.

Adapun landasan yuridis adalah landasan hukum (juridische gelding) yang

menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembentukan Perda.

Selain menentukan dasar kewenangan pembentukannya, landasan hukum juga

merupakan dasar keberadaan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan.9

Sementara itu, menurut Eni Rohyani,10 kewenangan pemerintah yang

bersumber dari peraturan perundang-undangan, diperoleh melalui atribusi,

delegasi dan mandat. HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, memberikan batasan

atribusi sebagai pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat Undang-Undang

kepada organ pemerintah. Atribusi menurut Algemene Bepalingen van

Administratief Recht adalah wewenang dikemukakan bila undang-undang (dalam

arti material) menyerahkan wewenang tertentu kepada organ tertentu. Dalam

pemberian wewenang secara atribusi pertanggungjawaban mutlak berada pada

organ pemerintah penerima atribusi. Adapun mengenai delegasi, terdapat

batasan bahwa delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu

organ pemerintah kepada pemerintahan lainnya. Philipus M. Hadjon dalam Eni

Rohyani mengemukakan persyaratan pelimpahan wewenang pemerintahan

melalui delegasi, sebagai berikut:

1. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi

menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

2. Delegasi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi

hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan

perundang-undangan.

3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian

tidak diperkenakan adanya delegasi.

4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang

untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.

9 Bagir Manan, Ibid. hlm. 16-17 10 Eni Rohyani, “Implikasi Hukum dari Penyalahgunaan Wewenang oleh Pemerintah Daerah dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan,” (Desertasi) Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2009, hlm. 73.

18

5. Peraturan kebijakasanaan (beleidsregel), artinya delegans memberikan

instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Adapun mandat, HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt memberikan batasan bahwa

yang dimaksud dengan mandat yaitu ketika terjadi ketika organ pemerintahan

mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Berkaitan

dengan soal tanggungjawab, dalam mandat yang bertanggungjawab dan harus

mempertanggungjawabkan pelaksanaan mandat adalah pemberi mandat,

sedangkan penerima mandat bertanggungjawab kepada pemberi mandat.

Penyebutan istilah “keputusan yang berisi peraturan” harus dibaca sebagai

“peraturan” yang berlaku saat ini, mengingat pada saat A. Hamid S. Attamimi

menulis makalah (1992), dikenal bentuk produk hukum “keputusan yang berisi

penetapan” (beschikking) dan “keputusan yang berisi peraturan” (regeling). Oleh

karena itu, “keputusan yang berisi peraturan” tidak termasuk bagian dari

perbuatan keputusan (beschikkingdaad van de administratie), tetapi termasuk

perbuatan di bidang pembuatan peraturan (regelen daad van de administratie).

Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) Bersifat

umum dan komprehensif; (2) Bersifat universal dan dibuat untuk menghadapi

peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya; dan (3)

Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Oleh karena

itu peraturan perundang-undangan bersifat umum-abstrak, karena tidak hanya

berlaku pada waktu tertentu, tempat tertentu, orang tertentu, dan fakta hukum

tertentu.11

Sementara itu dalam negara kesejahteraan (welfare state),12 tugas

pemerintah (daerah) tidak hanya terbatas untuk melaksanakan undang-undang

yang telah dibuat oleh lembaga legislatif. Dalam perspektif welfare state,

11 Eni Rohyani, Ibid, hlm. 94 12 Darwin Ginting dalam buku “Hukum Kepemilikan Atas Tanah (Hak Menguasai Negara dalam

Sistem Hukum Pertanahan Indonesia),” Ghalia Indonesia, Bogor, 2010 hlm. 10, Konsep Negara Kesejahteraan dalam perkembangannya dibedakan antara negara kesejahteraan terdiferensiasi (differensiated welfare state) biasanya disebut sebagai negara kesejahteraan (welfare state) saja dan negara kesejahteraan yang terintegrasi (integrated welfare state) dikenal dengan negara koorporatis (coorporatist welfare state) sebagai pengembangan yang pertama. Konsep negara kesejahteraan yang terdiferensiasi didominasi oleh negara-negara yang menganut sistem ekonomi pasar bebas dan sistem politik plural. Dalam konteks ini, kelompok-kelompok kepentingan bersaing satu sama lain dalam berjuang memengaruhi keputusan politik. Usaha kesejahteraan sosial dipisahkan dari ekonomi, dan usaha kesejahteraan sosial yang dilakukan negara tersebut menjadi bidang yang otonom. Sebaliknya, konsep negara kesejahteraan yang terintegrasi, didominasi oleh negara dengan system politik dan ekonomi yang disebut koorporatisme. Dalam negara koorporasi, pemerintah bekerjasama dengan komunitas bisnis dan serikat pekerja dalam mengatur ekonomi dan mengintegrasikan kesejahteraan sosial ke dalam kebijakan ekonomi dan sosial yang menyeluruh. Idealnya, Indonesia masuk dalam kategori negara kesejahteraan yang koorporasi, karena didasarkan pada tujuan negara yang terdapat dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menekankan pada tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan rakyatnya.

19

pemerintah daerah dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan kepentingan

umum atau mengupayakan kesejahteraan rakyat, dan dalam menyelenggarakan

kewajiban itu pemerintah daerah diberi kewenangan untuk melakukan campur

tangan dalam kehidupan masyarakat, dalam batas-batas yang diperkenankan oleh

hukum. Oleh karena itu, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membuat

peraturan perundang-undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan tersebut, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu13:

1. Syarat material, meliputi :

a. Harus dibuat oleh organ atau badan/pejabat yang berwenang membuatnya

(bevoegd);

b. Tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de

wilsvorming) seperti penipuan (bedrog), paksaan (dwang), suap (omkoping)

atau kesesatan (dwaling);

c. Harus berdasarkan keadaan tertentu;

d. Isi dan tujuannya harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya

(doelmatig);

e. Harus dapat dilaksanakan dan tidak melanggar peraturan-peraturan lain.

2. Syarat formal, meliputi :

a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya

keputusan dan cara dibuatnya keputusan;

b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan;

c. Syarat-syarat, berhubung dengan pelaksanaan keputusan;

d. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-hal yang

menyebabkan dibuat dan diumumkannya keputusan.

Disamping itu terdapat asas-asas di dalam peraturan perundang-undangan,

yaitu :

1. Asas hirarki, yaitu suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi :

a. peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya

mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

derajatnya (lex superiori derogat legi inferiori).

13 Eni Rohyani, op.cit hlm. 94-95.

20

b. peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah

oleh atau dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang

lebih tinggi tingkatannya.

c. peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak

mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

d. materi muatan yang seharusnya diatur oleh peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah tingkatannya.

2. Hak menguji peraturan perundang-undangan :

a. Hak menguji secara materiil, yaitu menguji materi atau isi peraturan

perundang-undangan, apakah sesuai atau bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. (judicial review oleh

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi)

b. Hak menguji secara formal, yaitu menguji apakah semua formalitas atau

tata cara pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sudah

dipenuhi.

3. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang

bersifat umum (lex specialis derogat legi generalis).

4. Undang-undang tidak boleh berlaku surut (asas non retroaktif).

5. Undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama (lex

posteriori derogat legi priori).14

Pembentukan peraturan perundang-undangan harus merupakan

implementasi dari politik hukum dalam pembentukan sistem hukum dan

penegakannya, antara lain15: (1) Ada satu kesatuan sistem hukum nasional; (2)

Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (3) Tidak

ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa kepada warganegara tertentu

berdasarkan suku, ras atau agama; (4) Pembentukan hukum memperhatikan

kemajemukan masyarakat; (5) Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya, diakui

sebagai subsistem hukum nasional, sepanjang nyata-nyata hidup dan

dipertahankan dalam pergaulan masyarakat; (6) Pembentukan hukum

sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat; dan (7) Hukum dibentuk dan

ditegakkan demi kesejahteraan umum atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat,

14 Eni Rohyani, ibid, hlm 97. 15 Eni Rohyani, ibid, hlm 98.

21

terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri, serta

terlaksananya negara hukum yang berkonstitusi.16

Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah

sebagai sumber hukum formal adalah semua produk hukum yang mengikat

langsung seluruh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Keseluruhan aturan

hukum yang tercakup di dalam undang-undang dalam arti materil disebut

peraturan perundang-undangan atau regeling, yang tersusun dalam satu hirarki

atau tata urutan yang menunjukkan derajat atau kedudukan peraturan perundang-

undangan. Montesquieu menganggap bahwa peraturan perundang-undangan

merupakan perwujudan akal sehat manusia (’la raison humaine) dan sebagai alat

pelaksanaan nalar manusia (’als ein anordenungsfall dieser raison humain’),

karena salah satu peran penting dari peraturan perundang-undangan adalah

menciptakan kebijakan untuk membimbing perilaku masyarakat dan

penyelenggara negara agar sesuai dan sejalan dengan apa yang diharapkan.

Dengan lahirnya suatu peraturan perundang-undangan dalam tatanan kehidupan

sosial, maka peraturan perundang-undangan tersebut diasumsikan telah

mengemban fungsi ekspresif, yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai

budaya dan keadilan. Disamping itu, mengemban pula fungsi instrumental, yaitu

sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan

prediktabilitas, sarana pendidikan serta pengadaban masyarakat, dan sarana

pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengarahkan

perubahan masyarakat) 17.

Kualifikasi norma hukum menurut H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt

yaitu:

1. Umum-abstrak: peraturan umum, contohnya peraturan perundang-undangan

lalu lintas jalan 1990 (suatu Peraturan Pemerintah), peraturan bangunan;

2. Umum-konkret: keputusan tentang larangan parkir pada jalan tertentu,

pernyataan tidak dapat didiaminya suatu rumah;

3. Individual-abstrak: izin yang disertai syarat-syarat yang bersifat mengatur dan

abstrak serta berlaku secara permanen, contohnya izin berdasarkan undang-

undang pengelolaan lingkungan;

4. Individual-konkret: surat ketetapan pajak, pemberian subsidi untuk suatu

kegiatan, keputusan mengenai pelaksanaan paksaan pemerintah. 18

Penggolongan sifat norma hukum yang paling umum menurut J.J.H.

Bruggink yaitu19: (1) Perintah (gebod), yaitu kewajiban umum untuk melakukan

16 Eni Rohyani, ibid, hlm 99. 17 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 189 18 Eni Rohyani, op.cit hlm. 98.

22

sesuatu; (2) Larangan (verbod), yaitu kewajiban umum untuk tidak melakukan

sesuatu; (3) Pembebasan (vrijstelling), yaitu pembolehan khusus untuk tidak

melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan; dan (4) Izin (toestemming),

yaitu pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.

Kendatipun peraturan perundang-undangan dimaksudkan sebagai

instrumen untuk mengimplementasikan tugas dan wewenang pemerintah daerah

yang ditujukan pada pencapaian kesejahteraan rakyat, namun seringkali peraturan

perundang-undangan dijadikan sebagai alat untuk melakukan perbuatan atau

tindakan penyalahgunaan wewenang. Hal ini menjadi titik rawan dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan, disamping terjadinya

disharmonisasi, inkonsistensi dan disorientasi peraturan perundang-undangan.

Disharmonisasi biasanya terjadi antara peraturan perundang-undangan di pusat,

provinsi dan kabupaten/kota; sedangkan inkonsistensi biasanya terjadi antara

peraturan perundang-undangan dengan peraturan pelaksanaannya. Dalam

beberapa kasus, inkonsistensi bahkan terjadi antar rumusan pasal dalam satu

peraturan perundang-undangan; disorientasi biasanya berupa pembiasan dari

maksud dan tujuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

pembentukan Perda.20

Berbicara dasar filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan yang telah dikemukakan di atas, apabila dilihat dari perspektif filsafat

hukum, hal ini terkait dengan pengembanan hukum praktikal, yang diantaranya

meliputi pembentukan hukum yaitu perundang-undangan, putusan konkret

(ketetapan, vonis), dan tindakan nyata. Meuwissen21 menyatakan bahwa

pengembanan hukum praktikal atau penanganan hukum secara nyata dalam

kenyataan kehidupan mengenal 3 (tiga) bentuk, yaitu pembentukan hukum,

penemuan hukum, dan bantuan hukum. Dalam hal ini llmu Hukum Dogmatika

menunjukkan kepentingan praktikalnya secara langsung. Pembentukan hukum

adalah penciptaan hukum baru dalam arti umum. Pada umumnya hal itu berkaitan

dengan perumusan aturan-aturan umum, yang dapat berupa penambahan atau

perubahan aturan-aturan yang sudah berlaku. Di samping itu, pembentukan

hukum juga dapat ditimbulkan dari keputusan-keputusan konkret (hukum preseden

atau yurisprudensi). Juga dapat terjadi berkenaan dengan tindakan nyata, yaitu

dengan suatu tindakan "yang hanya terjadi sekali saja" (einmalig) yang dilakukan

oleh pihak yang berwenang atau organ-organ pusat berdasarkan konstitusi

(pemerintah dan parlemen), misalnya yang menimbulkan perubahan fundamental

19 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Hukum, 1996, hlm. 100. 20 Eni Rohyani, op.cit hlm. 99. 21 Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum B. Arief

Sidharta, PT Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 9-10

23

pada hukum tata negara tanpa perubahan undang-undang atau Undang-Undang

Dasar. Ini bukan hukum kebiasaan, melainkan lebih merupakan sejenis hukum

preseden yang bukan keputusan hakim (niet rechterlijkeprecedentemecius).

Namun, perundang-undangan adalah jenis pembentukan hukum yang paling dan

juga paling modern. Di dalamnya diciptakan suatu model perilaku abstrak, yang di

kemudian hari diharapkan dapat dipergunakan untuk dapat menyelesaikan

masalah-masalah kemasyarakatan konkret. Keabstrakan dari sifat umum

perundang-undangan justru akan menghilang dengan konkretisasi. Dalam

penerapan pada kejadian konkret, maka keumuman dari undang-undang

diwujudkan, dijadikan kenyataan. Masih menurut Meuwissen, pada perundangan-

undangan dapat dibedakan 2 (dua) momen sentral (unsur pokok), yaitu: Pertama

adalah momen politik-idiil. Dengan itu dimaksudkan hal menampilkan isi undang-

undang yang diinginkan (diaspirasikan). Hal ini berkaitan dengan hal

mengartikulasi atau mengolah tujuan-tujuan politik (oleh politisi, pejabat negara,

yuris, dan lain-lain), sehingga penyelesaian-penyelesaian politik tertentu menjadi

dimungkinkan. Hal menciptakan perundang-undangan adalah tindakan politik,

perundangan-undangan adalah tujuan dan hasil proses-proses politik. Tetapi

sesungguhnya perundang-undangan bukan hanya sekedar endapan dari

konstelasi politik empirikal, ia juga memiliki aspek normatif. Unsur idiil perundang-

undangan mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan apa yang menurut asas-

asas hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan. Politik dan hukum

saling berkaitan secara erat. Kedua, perundang-undangan memiliki sifat teknikal.

Perundang-undangan mengandaikan kemampuan untuk merumuskan

pemahaman-pemahaman umum ke dalam naskah-naskah normatif yang konkret.

Apa yang dinamakan teknik perundang-undangan telah menjadi suatu keahlian

tersendiri. Berdasarkan semua itu, dapat dikatakan bahwa perundang-undangan

adalah bentuk yang paling sempurna yang didalamnya tidak hanya paham-paham

politik tetapi juga filsafat hukum bagi kita menjadi langsung relevan secara

praktikal. Terutama J.J. Rousseau telah memperlihatkan bagaimana ide hukum

(cita-hukum) memperoleh bentuknya yang khas dalam perundang-undangan,

artinya kebebasan tampil dalam undang-undang yang berlaku sama bagi setiap

orang, jadi dalam suatu bentuk abstrak dan umum. Perundang-undangan

bukanlah sesuatu yanq terjadi begitu saja, melainkan, konform pandangan Barat,

suatu kategori fundamental dari pemikiran filsafat hukum. Menurut Meuwissen,

penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan hal mengkonkretisasikan

produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah proses kegiatan

pengambilan keputusan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat

hukum bagi suatu situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan,

24

pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya). Dalam arti tertentu, penemuan

hukum adalah pencerminan pembentukan hukum. Jika pada pembentukan hukum

yang terjadi adalah menetapkan hal umum yang berdasarkan pada saatnya dapat

dijabarkan hal yang khusus, maka pada penemuan hukum hal yang khususlah

yang mengemuka (dimunculkan terlebih dahulu), namun pada saat yang

bersamaan dapat dikonstatasi dampak keberlakuan secara umum. Mengenai

preseden atau pseudo perundang-undangan, berbeda halnya dengan

pembentukan hukum, karena kekhasan dari penemuan hukum telah mendapat

perhatian (pembahasan) yang luas dalam teori hukum dan filsafat hukum.22

Sementara itu Nonet dan Selznick23 (Nonet, Philippe and Selznick, Philip,

Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, memperkenalkan 3 (tiga)

tipe hukum, yang salah satunya adalah Hukum Responsif yang menurut penulis

selaras dengan hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo. Nonet

dan Selznick membedakan 3 (tiga) klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat,

yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum

sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi

integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai

respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Nonet dan

Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja

merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga

merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial

dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi

tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga

tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum

responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model

perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan

menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak

hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya

responsivitas yang lebih besar. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada

tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan

hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum

responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan

kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan

terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak

fleksibel. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan

kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. 22 Meuwissen, Ibid. hlm. 11. 23 Nonet philippe dan Philip Selznick, Law & Society in Transition: Toward Responsive Law, 1978, Alih

bahasa oleh Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif, Pilihan di masa transisi.

25

Hukum tidak hanya rules (logic and rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain.

Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum

harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial, dan ini merupakan tantangan bagi

seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi,

jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum

murni yang kaku dan analitis produk hukum yang berkarakter responsif proses

pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya

partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok

masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau

kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari

penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.24

Menurut hemat penulis, dalam konteks tersebut hukum yang responsif

adalah hukum yang mampu mengimplementasikan keinginan masyarakat atau

adaptif dengan kebutuhan masyarakat. Untuk membentuk hukum (Perda) yang

responsif, maka aparat penegak hukum dalam memahami dan menjalankan

aturan yang berlandaskan pada prinsip nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat menjadi sangat penting dan strategis. Aparat

penegak hukum jangan hanya menjadi terompet undang-undang sebagaimana

penganut paham legisme dan positivisme. Untuk itu Indonesia sebagai negara

hukum, harus menyelaraskan hukum dengan nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (grund

norm) yang didalamnya mengamokomodasikan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-

nilai keadilan (sila kedua dan kelima Pancasila).

4. Pembentukan Perda sebagai bagian dari Politik Hukum Nasional

Dalam perspektif etimologis, politik hukum merupakan terjemahan dari

istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata

rechts dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata Recht berarti hukum, kata

hukum berasal dari kata arab hukm (kata jamaknya ahkam) yang berari putusan

(judgement, verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (command),

pemerintah (governant), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentencer).25

Adapun dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Vander Tas, kata politiek

mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berati

kebijakan (policy). Dari penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum secara

singkat adalah kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam kamus Besar

Bahasa lndonesia berarti rangkaian, konsep dan asas yang menjadi garis besar

24 Nonet philippe dan Philip Selznick, Ibid. 25 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Raja Grafindo, Jakarta,

2008, hlm. 6.

26

dan dasar rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan

cara bertindak. Dengan kata lain politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas

yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksaaan suatu pekerjaan,

kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.26

Sementara itu, LJ. van Appeldoorn dalam buku Pengantar Ilmu Hukum

menyebut dengan istilah “politik perundang-undangan”.27 Pengertian yang

demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik

dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi

hanya apabila diakui oleh Undang-Undang.28

Menurut Padmo Wahjono, politik hukum adalah kebijakan penyelenggara

negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam

hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan

penegakannya.29

Namun kemudian Padmo Wahjono mengoreksi definisi politik hukum

tersebut karena dinilai terlalu abstrak, maka dalam Majalah Forum Keadilan,

Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan

penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk

maupun dari isi hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang menjadi kriteria

untuk menghukumkan sesuatu.30

Terkait dengan politik hukum sebagai implementasi dari pembentukan

substansi hukum (legal substance), seringkali peraturan perundang-undangan

(termasuk Perda) diidentikkan dengan hukum, atau orang sering mengartikan

hukum adalah peraturan perundang-undangan. Sebenarnya, peraturan

perundang-undangan hanya merupakan bagian dari hukum. karena di luar

peraturan perundang-undangan, masih banyak yang dipelajari terkait dengan

hukum. Dalam sistem hukum pun, peraturan perundang-undangan hanya

merupakan salah satu bagian dari sub sistem substansi hukum atau Iegal

substance. Sub sistem yang lain adalah legal structure, dan legal culture31.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hierarkhi peraturan perundang-

26 Ibid, hlm. 7. 27 LJ Van Appeldorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), Pranadya Paramitha, Cet. Ke-18, 1981,

hlm. 390. 28 A.S.S Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Puporis Publishers, Jakarta, 2002, hlm.9. 29 Padmowahyono, Indonesia Berdasar atas Hukum, Ghalia Indonesia Cet.II, Jakarta, 1986, hlm. 160. 30 Padmowahyono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Forum Keadilan Nomor 29 (April

1991), hlm.65. 31 Lawrence M.Friedmann menyatakan ada tiga unsur yang terkait dalam sistem hukum, yaitu struktur

hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan kultur hukum (legal culture). Lawrence M. Friedruann, The Legal System : A Sosial Science Perspektive. New lbrk; Russel Sage Foundation. 1969. hlm 16.

27

undangan terdiri dari UUD 1945, Tap MPR, Undang-Undang/Perpu, Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota.

Masih berkaitan dengan politik hukum, Mahfud MD mengatakan bahwa

hukum adalah perintah dari penguasa (law is a command of the lawgiver), dalam

arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang

kedaulatan. Sistem hukum akan selalu berkembang dan berubah sesuai dengan

kemajuan bangsa dan Negara, atau konstruksi politik Negara, sebagaimana

diuraikan bahwa salah satu unsur yang penting dari konstruksi politik yang harus

menjiwai sistem hukum adalah falsafah dasar Negara dan pandangan hidup

bangsa.32 Dalam hal ini, hukum Indonesia erat kaitannya dengan politik, yang

kemudian muncul tawar-menawar kekuatan politik di parlemen sangat kuat

dominan memberi warna hukum, khususnya hukum Tata Negara dan Hukum

Administrasi Negara. Dengan demikian sulit dihindari bahwa hukum memang

produk politik. Namun setelah menjadi hukum, maka politik harus tunduk kepada

hokum, karena Indonesia adalah Negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3)

UUD 1945 hasil Amandemen ketiga, yang berbunyi: “ Negara Indonesia adalah

Negara Hukum”.

Sementara itu Sunaryati Hartono33 mengatakan bahwa:

“Pembentukan undang-undang (Perda) yang merupakan proses legislatif mengalami kesulitan dan menghendaki cara dan proses dan cara pembentukan yangsama sekali baru, sebab sebagai akibat pembangunan yang berencana, pembentukan perundang-undangan pun memerlukan perencanaan yang matang yang berorientasi pada masa yang akan datang”.

Perencanaan dimaksud dewasa ini dikenal dengan Program Legislasi Nasional

(Daerah). Dari perspektif politik hukum, Program Legislasi Nasional (Daerah)

merupakan implementasi dari politik hukum Indonesia, khususnya dalam konteks

pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap

materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.

Program Legislasi Nasional (Daerah) secara sempit dapat diartikan

sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan atau daftar judul

Rancangan Undang-Undang (Perda) yang telah disepakati. Daftar urutan tersebut

dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau oleh Pemerintah berdasarkan urgensi

dan prioritas pembentukannya.34

32 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006. hlm. 3. 33 Sunaryati Hartono dalam buku Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumi, Bandung, 1991

hlm.23 34 Naskah Akademik Raperda tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegda, Biro Hukum dan HAM

Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat, Tahun 2010, hlm. 15.

28

Dengan demikian Program Legislasi Nasional (Daerah) merupakan

instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun

secara terencana, terpadu dan sistematis,35 yang secara operasional memuat

daftar Rancangan Undang-Undang (Perda) yang disusun berdasarkan metode

dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum

nasional.

Program Legislasi Nasional (Daerah) diperlukan untuk menata sistem

hukum secara menyeluruh dan terpadu, yang senantiasa harus didasarkan pada

cita-cita proklamasi, dijiwai oleh Pancasila sebagai sumber dari segala sumber

hukum negara dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional (hukum dasar

dalam peraturan perundang-undangan)36.

B. Praktik Empiris

1. Regulasi di Bidang Keolahragaan

Olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan

pembangunan nasional, sehingga keberadaan dan peranan olahraga sangat

strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Atas dasar

tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005

tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Ditetapkannya undang-undang tersebut

dilatarbelakangi oleh kondisi dimana bidang keolahragaan hanya diatur oleh

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, bersifat parsial atau

belum mengatur semua aspek keolahragaan nasional secara menyeluruh, dan

belum mencerminkan tatanan hukum yang tertib di bidang keolahragaan. Selain

itu, permasalahan keolahragaan nasional semakin kompleks dan berkaitan

dengan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dan bangsa serta

tuntutan perubahan global, sehingga diperlukan pengaturan bidang keolahragaan

yang menyeluruh dengan memperhatikan semua aspek terkait, adaptif terhadap

perkembangan olahraga dan masyarakat, sekaligus sebagai instrumen hukum

yang mampu mendukung pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional

pada masa kini dan masa yang akan datang.

Dalam konteks pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional, hal

yang ingin dicapai adalah terjaminnya pemerataan akses terhadap olahraga,

peningkatan kesehatan dan kebugaran, peningkatan prestasi, dan manajemen

keolahragaan yang mampu menghadapi tuntutan perubahan kehidupan nasional.

Dalam hal ini diperlukan sistem keolahragaan yang sifatnya nasional, yang

35 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. 36 Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.

29

mengakar pada nilai-nilai keolahragaan, kebudayaan nasional Indonesia, dan

tanggap terhadap untutan perkembangan olahraga. Hal ini sejalan dengan

pembangunan nasional di bidang olahraga sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional,

yang menyebutkan bahwa: “Pembangunan nasional di bidang olahraga

merupakan upaya meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia secara

jasmaniah, rohaniah, dan sosial mewujudkan masyarakat yang maju, adil,

makmur, sejahtera dan demokratis berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945.”

Sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem

Keolahragaan Nasional, telah dikeluarkan 3 (tiga) paket Peraturan Pemerintah,

yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan

Keolahragaan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang

Pekan dan Kejuaraan Olahraga, dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007

tentang Pendanaan Keolahragaan.

Pengaturan penyelenggaraan keolahragaan nasional dilatarbelakangi oleh

tuntutan perubahan global yang semakin kompleks, sehingga sudah saatnya

Pemerintah memperhatikan dan mengaturnya secara terencana, sistematik,

holistik, dan berkesinambungan dan mengelolanya secara profesional sebagai

strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional.

Penyelenggaraan keolahragaan sebagai bagian dari suatu bangunan sistem

keolahragaan nasional mencakup pembinaan dan pengembangan olahraga

pendidikan, olahraga rekreasi, olahraga prestasi, olahraga amatir, olahraga

profesional, dan olahraga bagi penyandang cacat, sarana olahraga, ilmu

pengetahuan dan teknologi keolahragaan serta standardisasi, akreditasi, dan

sertifikasi.

Dilandasi semangat otonomi daerah, Peraturan Pemerintah ini mengatur

pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang meliputi Pemerintah, Menteri

dan menteri yang terkait, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota,

gubernur dan bupati/walikota, induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi

fungsional olahraga di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, serta

masyarakat umum.

Dengan kejelasan dan ketegasan pengaturan mengenai tugas, tanggung

jawab dan wewenang, Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meningkatkan

efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan urusan pemerintahan, mutu pelayanan

publik di bidang keolahragaan, dan pembinaan dan pengembangan potensi

30

unggulan daerah melalui partisipasi aktif masyarakat. Peraturan Pemerintah ini

diarahkan untuk mencegah penyelenggaraan industri olahraga profesional

berorientasi pada bisnis semata (business-oriented) yang mengabaikan

kepentingan olahragawan, pelaku olahraga, dan masyarakat luas.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 merupakan pengaturan bagi

alih status dan perpindahan pelaku olahraga/tenaga keolahragaan baik antar

daerah maupun antarnegara, untuk selanjutnya dapat dijabarkan secara lebih

teknis dan administratif oleh para pelaksana baik ditingkat komite olahraga

nasional, induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi olahraga fungsional,

dan organisasi olahraga lainnya.

Pengaturan alih status dan perpindahan pelaku olahraga dititikberatkan

pada 3 pendekatan yaitu:

a. hak dan persyaratan mengingat proses ini berkaitan dengan hak asasi

manusia, keselamatan, kesejahteraan, serta masa depan pelaku olahraga;

b. kerangka pembinaan dan pengembangan olahragawan yang harus berjalan

secara teratur ditinjau dari organisasi maupun administrasi; dan

c. kewajiban tenaga keolahragaan asing untuk menghormati hukum Indonesia.

Untuk terlaksananya tugas pembinaan dan pengembangan serta pengawasan

dan pengendalian olahraga profesional secara efektif, fokus, intensif, dan

berkesinambungan. Peraturan Pemerintah ini memberikan dasar yuridis untuk

membentuk badan olahraga profesional di tingkat nasional yang dapat

dibentuk sampai tingkat provinsi dan menjadi dasar hukum bagi pembentukan

kelembagaan baik oleh Pemerintah/pemerintah daerah maupun masyarakat.

Kelembagaan dimaksud meliputi pembentukan dinas olahraga, lembaga

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan,

Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK), untuk

memajukan pembinaan dan pengembangan olahraga nasional.

Standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan sangat penting untuk

menciptakan iklim penyelenggaraan keolahragaan sesuai Standar Nasional

Keolahragaan sebagai acuan yang harus diperhatikan oleh seluruh komponen

dalam pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional. Dalam Peraturan

Pemerintah ini juga ditur mengenai landasan yuridis bagi Menteri untuk

menetapkan standardisasi dan akreditasi keolahragaan nasional dengan tetap

memperhatikan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Selain itu menempatkan

organisasi olahraga berbasis masyarakat sebagai organisasi yang mandiri dan

mitra strategis Pemerintah dan pemerintah daerah dalam membina dan

31

mengembangkan keolahragaan nasional. Peraturan Pemerintah ini mengakui dan

memberikan kepastian hukum bagi organisasi keolahragaan yang melakukan

pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan

olahraga prestasi, baik di pusat maupun di daerah. Peraturan Pemerintah ini

memberikan kepastian dan jaminan hukum kepada induk organisasi cabang

olahraga, pengurus cabang olahraga tingkat provinsi, pengurus cabang olahraga

tingkat kabupaten/kota, organisasi olahraga fungsional, organisasi olahraga

khusus penyandang cacat, klub/perkumpulan, sasana, sanggar, komite olahraga

nasional, komite olahraga provinsi, komite olahraga kabupaten/kota, dan Komite

Olimpiade Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan keolahragaan sesuai

tugas, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawabnya masing-masing.

Bahwa organisasi keolahragaan harus berbadan hukum tidak dimaksudkan

untuk membatasi hak konstitusional dan kemandirian masyarakat dalam

berorganisasi, akan tetapi harus dipahami sebagai strategi nasional untuk

mengembangkan organisasi keolahragaan nasional yang memiliki manajemen

pengorganisasian yang profesional, efektif, dan berdaya saing serta untuk

memudahkannya dalam membina kerjasama dan koordinasi yang efektif, baik

dengan Pemerintah dan pemerintah daerah maupun antar sesama organisasi

olahraga.

Pengaturan larangan rangkap jabatan pengurus komite olahraga nasional,

komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota dengan jabatan

struktural dan/atau jabatan publik, dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan

terjadinya konflik kepentingan di dalam kepengurusan yang berpotensi terjadinya

penyalahgunaan kewenangan, dan untuk menjaga kemandirian dan netralitas,

serta menjamin keprofesionalan dalam pengelolaan keolahragaan. Prinsip prinsip

transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan

keolahragaan diwujudkan antara lain melalui pelaksanaan pengawasan yang

melibatkan semua pihak. Pengawasan dilakukan untuk menjamin berjalannya

mekanisme kontrol, menghindari kekurangan dan penyimpangan, dan evaluasi

kinerja semua pihak yang diberikan kewenangan untuk menangani

penyelenggaraan keolahragaan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005.

Objek pengawasan dalam Peraturan Pemerintah ini tidak terbatas pada

pelaksanaan tugas, wewenang, dan tanggung jawab instansi

Pemerintah/pemerintah daerah akan tetapi mencakup semua sub sistem

penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi.

32

Hal ini dikarenakan pengawasan sebagai subsistem keolahragaan saling

terkait dengan sub sistem lainnya dalam sistem keolahragaan nasional secara

terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mendukung upaya pencapaian tujuan

keolahragaan nasional.

Efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tergantung pada

keterbukaan dan ketersediaan informasi keolahragaan yang dapat diakses

masyarakat sebagai sumber informasi bagi masyarakat untuk melakukan

penyampaian pendapat, pelaporan atau pengaduan, pengajuan usul, monitoring,

atau peninjauan atas penyelenggaraan keolahragaan. Masyarakat berhak

memperoleh informasi antara lain mengenai pengelolaan anggaran yang

bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Masyarakat juga dapat mengajukan pelaporan/pengaduan dalam hal

diketemukan penyimpangan atau kekurangan dalam penyelenggaraan

keolahragaan. Peraturan Pemerintah ini memberikan dasar yuridis kepada

Menteri, gubernur, dan bupati/walikota untuk menjatuhkan sanksi administratif

bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran/penyimpangan di wilayah yang

menjadi kewenangannya.

Selain Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Keolahragaan,

Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007

tentang Pekan dan Kejuaraan Olahraga.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem

Keolahragaan Nasional mewajibkan setiap penyelenggara kejuaraan olahraga

memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip-prinsip

penyelenggaraan olahraga. Penyelenggaraan kejuaraan olahraga merupakan

bagian yang integral dari upaya pembinaan olahraga, bahkan penyelenggaraan

kejuaraan olahraga merupakan titik kulminasi dari upaya pembinaan secara

menyeluruh, mulai dari membangkitkan minat, pemanduan bakat, seleksi dan

kompetisi, pembinaan yang berkesinambungan sampai pada pencapaian prestasi

puncak. Dalam pengukuran prestasi puncak inilah diatur tentang penyelenggaran

kejuaraan olahraga. Di dalam dinamika perkembangan olahraga sekarang dan di

masa-masa mendatang penyelenggaraaan kejuaraan olahraga akan berjalan

sedemikian jauh, sehingga penyelenggaraan olahraga akan menjadi ajang

pertarungan martabat dan kehormatan bangsa, bahkan penyelenggaraan

kejuaraan olahraga saat ini sudah merupakan persaingan bisnis dan industri

33

olahraga yang pada akhirnya menciptakan lapangan kerja dan dapat menjadi

salah satu sumberbagi devisa negara.

Intensitas kejuaraan olahraga sekarang ini cukup tinggi dan dilakukan mulai

dari tingkat internasional, tingkat nasional, sampai pada tingkat kabupaten/kota,

diselenggarakan dalam bentuk kejuaraan multi event maupun single event.

Dengan dinamika yang demikian, maka peranan penyelenggaraan kejuaraan

olahraga menjadi amat penting. Jika hal tersebut dilakukan secara berjenjang dan

berkesinambungan akan menjadi ajang seleksi dan pemberian pengalaman

bertanding bagi para olahragawan yang selanjutnya kegiatan tersebut akan

berfungsi sebagai hiburan yang mempunyai nilai komersial.

Dengan cakupan penyelenggaraan kejuaraan yang sedemikian luasnya

dan menyangkut berbagai aspek maka penyelenggaraan kejuaraan olahraga perlu

diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan agar semua aspek yang

berkaitan dan berpengaruh terhadap penyelenggaraan kejuaraan dapat

menunjang dan saling bersinergi dalam rangka keberhasilan penyelenggaraan

keolahragaan nasional untuk mencapai tujuannya. Sebagai dampak dari proses

globalisasi sekarang ini, penyelenggaraan kegiatan olahraga telah mengalami

perubahan yang sangat signifikan, antara lain terjadinya arus perpindahan dalam

hubungan dengan penggunaan pelaku olahraga asing di Indonesia, penggunaan

prasarana, sarana, dan metoda baru sehingga menimbulkan intensitas yang tinggi

terhadap keterlibatan pelaku olahraga yang pada umumnya berkaitan dengan

olahraga profesional.

Dalam hubungan dengan penyelenggaraan kejuaraan, Peraturan

Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pekan dan Kejuaraan Olahraga

mengatur secara jelas hal-hal pokok yang berkaitan dengan pekan olahraga dan

kejuaraan olahraga. Pekan olahraga secara jelas diklasifikasi dalam pekan

olahraga internasional, pekan olahraga nasional, pekan olahraga wilayah, dan

pekan olahraga daerah. Sedangkan kejuaraan olahraga dibagi menjadi kejuaraan

olahraga tingkat internasional, kejuaraan olahraga tingkat nasional, kejuaraan

olahraga tingkat wilayah, kejuaraan olahraga tingkat provinsi, dan kejuaraan

olahraga tingkat kabupaten/kota.

Pengaturan tentang pekan olahraga internasional diatur sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dalam Olympic Charter dengan memberikan peran

kepada Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sesuai dengan fungsinya. KOI

melaksanakan keikutsertaan Indonesia dalam pekan olahraga internasional

seperti Olimpiade,Asian Games, SEA Games, dan lain-lain. Fungsi ini sebelumnya

34

merupakan bagian dari fungsi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan

dipisahkan dari KONI sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005

tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 17

Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga.

Sedangkan pengaturan pekan olahraga yang dilaksanakan di dalam negeri

mulai dari pekan olahraga nasional, wilayah, daerah, penyandang cacat, serta

pelajar, mahasiswa, dan sejenisnya diatur dalam Peraturan Pemerintah ini,

termasuk hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme dan koordinasinya.

Pengaturan tentang kejuaraan olahraga diarahkan untuk mencapai tujuan

pemassalan, penjaringan bibit, memberikan pengalaman bertanding,

meningkatkan prestasi dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam setiap pertandingan baik pekan olahraga maupun kejuaraan

olahraga, doping dilarang dalam bentuk apapun sesuai dengan ketentuan anti

doping. Pengawasan doping ini dilakukan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya

diserahkan kepada lembaga anti doping nasional.

Berpijak dari latar belakang pemikiran seperti itulah, maka kehadiran

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 sangat diperlukan agar semua

kegiatan dapat diatur secara terpadu dan dapat mendukung upaya keberhasilan

sistem keolahragaan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2005.

2. Kelembagaan Olahraga

Terdapat berbagai macam nomenklatur kelembagaan keolahragaan di

Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ada yang berdiri sendiri seperti Dinas Olahraga dan

Pemuda di Provinsi Jawa Barat, tetapi ada pula yang merupakan bidang atau

bagian keolahragaan yang secara struktural berada di bawah Organisasi

Perangkat Daerah. Misalnya keolahragaan menjadi salah satu bidang dalam

Struktur Organisasi Dinas Pendidikan.

Di kota Sukabumi, nomenklatur kelembagaannya adalah Dinas Pemuda,

Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Sukabumi, yang dibentuk

berdasarkan Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 16 Tahun 2012 tentang

Organisasi Perangkat Daerah Kota Sukabumi.

35

Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata

dan Ekonomi Kreatif Kota Sukabumi adalah sebagai berikut:

1. Kepala Dinas;

2. Sekretariat, membawahkan :

b. Subbagian Umum dan Kepegawaian;

c. Subbagian Keuangan; dan

d. Subbagian Perencanaan Program.

3. Bidang Kepemudaan dan Olahraga, membawahkan :

a. Seksi Bina Organisasi Kepemudaan;

b. Seksi Bina dan Pengembangan Olahraga; dan

c. Seksi Peningkatan Sarana Prasarana Pemuda dan Olahraga.

4. Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membawahkan :

b. Seksi Promosi dan Pengembangan Pariwisata;

c. Seksi Pengembangan Ekonomi Kreatif; dan

d. Seksi Peningkatan Sarana Prasarana Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

5. UPT; dan

6. Kelompok Jabatan Fungsional.

Visi Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota

Sukabumi adalah “Terwujudnya Sumber Daya Yang Kompetitif Di Bidang Pemuda,

Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kreatif serta Berdaya Saing Tinggi.”

Adapun Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota

Sukabumi adalah :

1. Mewujudkan sumber daya manusia yang sportif, terampil, handal dan

profesional.

2. Mewujudkan terjangkau di Bidang Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif.

3. Mewujudkan Sarana dan Prasarana Berkualitas di Bidang Pemuda, Olahraga,

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

4. Mewujudkan Pelestarian dan menggali nilai-nilai seni, pariwisata, sejarah dan

tradisional.

5. Mengembangkan Sumber Daya Alam pendukung Sektor Kepariwisataan

Daerah.

6. Mewujudkan Peningkatan Kualitas Produk Unggulan daerah yang berdaya

saing tinggi.

36

Program Unggulan Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota

Sukabumi adalah sebagai berikut :

1. Program Peningkatan Upaya Penumbuhan Kewirausahaan dan Kecakapan

Hidup Pemuda;

2. Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Olahraga;

3. Program Pembinaan dan Pemasyarakatan Olahraga;

4. Program Pengembangan dan Pemasaran Pariwisata; dan

5. Program Pengembangan Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya.

Fasilitas Pelayanan Kepada Masyarakat :

1. Pembuatan Surat Rekomendasi Surat Izin Usaha Kewirausahaan;

2. Pembuatan Surat Rekomendasi Kegiatan Kepemudaan dan Olahraga; dan

3. Pembuatan Surat Izin Peminjaman Lapangan Olahraga.

Selain 2 (dua) lembaga Pemerintah dan Pemerintah Daerah tersebut,

terdapat pula kelembagaan olahraga seperti Komite Olahraga Nasional Indonesia

(KONI) Pusat, KONI Provinsi, dan KONI di Kabupaten/Kota.

KONI memiliki tugas pokok merencanakan, mengkoordinasikan dan

melaksanakan pembinaan dan peningkatan prestasi Atlet, kinerja Wasit, Pelatih

dan Manajer, guna mewujudkan prestasi keolahragaan nasional menuju prestasi

internasional, serta turut memperkokoh persatuan dan kesatuan dan ketahanan

nasional dalam rangka mengangkat harkat serta martabat Indonesia. Adapun

fungsi KONI adalah:

a. Meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam rangka memperkokoh

persatuan dan kesatuan bangsa melalui pembinaan olahraga secara nasional;

b. Memasyarakatkan Olahraga yang dibina oleh anggota KONI guna mencapai

prestasi Optimal; dan

c. Membangun dan membina persahabatan antara bangsa melalui kerjasama dan

hubungan keolahragaan, baik pada lingkup bilateral maupun multilateral dalam

konteks keanggotaan organisasi olahraga internasional.

KONI dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1967. KONI

merupakan badan mandiri dan non pemerintah, artinya kegiatan olahraga kembali

kepada masyarakat. KONI merupakan mitra pemerintah yang membantu

pembinaan olahraga nasional. KONI tidak dikendalikan kelompok kekuasaan dan

bebas dari kepentingan politik.

37

3. Pendanaan Olahraga

Permasalahan keolahragaan nasional semakin komplek dan berkaitan

dengan antara lain ekonomi dan tuntutan perubahan global, sehingga sudah

saatnya Indonesia memperhatikan semua aspek yang terkait antara lain

kemampuan anggaran untuk mendukung penyelenggaraan keolahragaan nasional

untuk mencapai prestasi yang mampu bersaing pada masa kini dan masa yang

akan datang. Atas dasar inilah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007

tentang Pendanaan Keolahragaan ditetapkan sebagai landasan yuridis bagi

pendanaan penyelenggaraan keolahragaan di Indonesia.

Di dalam Peraturan Pemerintah ini diatur prinsip-prinsip pendanaan seperti

prinsip kecukupan dan prinsip berkelanjutan sumber dan alokasi pendanaan,

lingkup kegiatan pendanaan, serta per tanggungjawaban pendanaan

penyelenggaraan keolahragaan.

Keterbatasan sumber pendanaan atau anggaran merupakan permasalahan

khusus dalam penyelenggaraan keolahragaan. Hal ini makin dirasakan dengan

perkembangan olahraga modern yang menuntut pengelolaaan, pembinaan, dan

pengembangan keolahragaan yang perlu didukung oleh anggaran yang memadai.

Untuk itu, pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban pendanaan

keolahragaan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah perlu diatur. Selain itu, sumber daya dan dana

dari masyarakat dan dunia usaha perlu dioptimalkan, antara lain melalui peran

serta masyarakat dalam pengadaan dana, pengadaan atau pemeliharaan

prasarana dan sarana, dan dalam industri olahraga. Guna mendukung pendanaan

keolahragaan, Peraturan Pemerintah ini juga mengamanatkan bahwa Pemerintah

dapat membentuk BUMN yang berkaitan dengan kegiatan keolahragaan sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keberadaan Peraturan Pemerintah ini merupakan dorongan bagi usaha

kemandirian dalam pendanaan keolahragaan sehingga dapat mengurangi beban

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah. Bahkan, penyelenggaraan keolahragaan yang dilaksanakan oleh

Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan negara atau

pendapatan asli daerah. Dengan demikian diharapkan upaya meningkatkan

prestasi olahraga dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa pada tingkat

nasional dan internasional sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan

nasional yang berkelanjutan.

38

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan

sosial.

Dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui instrument pembangunan

nasional dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya di bidang keolahragaan.

Olahraga diyakini merupakan upaya meningkatkan kualitas hidup manusia

Indonesia secara jasmaniah, rohaniah, dan sosial dalam mewujudkan masyarakat

yang maju, adil, makmur, sejahtera, dan demokratis berdasarkan Pancasila dan

UUD Tahun 1945.

Berdasarkan hal tersebut ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005,

sebagai legitimasi terhadap pembinaan dan pengembangan keolahragaan

nasional yang dapat menjamin pemerataan akses terhadap olahraga, peningkatan

kesehatan dan kebugaran, peningkatan prestasi, dan manajemen keolahragaan

yang mampu menghadapi tantangan serta tuntutan perubahan kehidupan nasional

dan global.

Dengan demikian maka, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang

Sistem Keolahragaan Nasional merupakan rujukan utama dalam perumusan

Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. Rujukan lainnya adalah

peraturan perundang-undangan lain yang mempunyai keterkaiatan erat dengan

terselenggaranya keolahragaan, antara lain Undang-Undang tentang Sistem

tentang Pendidikan Nasional, Undang-Undang tentang Kesehatan, Undang-

Undang tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Pemerintah yang

ditetapkan sebagai ketentuan pelaksana dari perundang-undangan tersebut.

A. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 dibentuk dengan kerangka

pemikiran bahwa UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Sejalan dengan ketentuan tersebut, segala aspek kehidupan dalam bidang

39

kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus

senantiasa berdasarkan atas hukum.

Olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan

pembangunan nasional sehingga keberadaan dan peranan olahraga dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus ditempatkan pada

kedudukan yang jelas dalam sistem hukum nasional.

Sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 ditetapkan, keolahragaan

hanya diatur oleh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,

bersifat parsial atau belum mengatur semua aspek keolahragaan nasional secara

menyeluruh, dan belum mencerminkan tatanan hukum yang tertib di bidang

keolahragaan.

Permasalahan keolahragaan nasional semakin kompleks dan berkaitan

dengan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dan bangsa serta

tuntutan perubahan global sehingga sudah saatnya Indonesia memiliki suatu

undang-undang yang mengatur keolahragaan secara menyeluruh dengan

memperhatikan semua aspek terkait, adaptif terhadap perkembangan olahraga

dan masyarakat, sekaligus sebagai instrumen hukum yang mampu mendukung

pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional pada masa kini dan masa

yang akan datang. Atas dasar inilah perlu dibentuk Undang-Undang tentang

Sistem Keolahragaan Nasional sebagai landasan yuridis bagi setiap kegiatan

keolahragaan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005

memperhatikan asas desentralisasi, otonomi, peran serta masyarakat,

keprofesionalan, kemitraan, transparansi, dan akuntabilitas. Sistem pengelolaan,

pembinaan, dan pengembangan keolahragaan nasional diatur dengan semangat

kebijakan otonomi daerah guna mewujudkan kemampuan daerah dan masyarakat

yang mampu secara mandiri mengembangkan kegiatan keolahragaan.

Penanganan keolahragaan tidak dapat lagi ditangani secara sekadarnya tetapi

harus ditangani secara profesional. Penggalangan sumber daya untuk pembinaan

dan pengembangan keolahragaan nasional dilakukan melalui pembentukan dan

pengembangan hubungan kerja para pihak yang terkait secara harmonis, terbuka,

timbal balik, sinergis, dan saling menguntungkan. Prinsip transparansi dan

akuntabilitas diarahkan untuk mendorong ketersediaan informasi yang dapat

diakses sehingga memberikan peluang bagi semua pihak untuk berperan serta

dalam kegiatan keolahragaan, memungkinkan semua pihak untuk melaksanakan

kewajibannya secara optimal dan kepastian untuk memperoleh haknya, serta

memungkinkan berjalannya mekanisme kontrol untuk menghindari kekurangan

40

dan penyimpangan sehingga tujuan dan sasaran keolahragaan nasional dapat

tercapai.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005, sistem keolahragaan

nasional merupakan keseluruhan subsistem keolahragaan yang saling terkait

secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mencapai tujuan

keolahragaan nasional. Subsistem yang dimaksud, antara lain, pelaku olahraga,

organisasi olahraga, dana olahraga, prasarana dan sarana olahraga, peran serta

masyarakat , dan penunjang keolahragaan termasuk ilmu pengetahuan, teknologi,

informasi, dan industri olahraga. Interaksi antarsubsistem perlu diatur guna

mencapai tujuan keolahragaan nasional yang manfaatnya dapat dirasakan oleh

semua pihak.

Seluruh subsistem keolahragaan nasional diatur dengan memperhatikan

keterkaitan dengan bidang-bidang lain serta upaya-upaya yang sistematis dan

berkelanjutan guna menghadapi tantangan subsistem, antara lain, melalui

peningkatan koordinasi antarlembaga yang menangani keolahragaan,

pemberdayaan organisasi keolahragaan, pengembangan sumber daya manusia

keolahragaan, pengembangan prasarana dan sarana, peningkatan sumber dan

pengelolaan pendanaan, serta penataan sistem pembinaan dan pengembangan

olahraga secara menyeluruh.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 mengatur secara tegas mengenai

hak dan kewajiban serta kewenangan dan tanggung jawab semua pihak

(Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat) serta koordinasi yang

sinergis secara vertikal antara pusat dan daerah dan secara horizontal antara

lembaga terkait baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah dalam

rangka pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan keolahragaan nasional.

Sebagai wujud kepedulian dalam pembinaan dan pengembangan olahraga,

masyarakat dapat berperan serta dengan membentuk induk organisasi cabang

olahraga pada tingkat pusat dan daerah. Organisasi/kelembagaan yang dibentuk

oleh masyarakat itu membutuhkan dasar hukum sehingga kedudukan dan

keberadaannya akan lebih mantap.

Keterbatasan sumber pendanaan merupakan permasalahan khusus dalam

kegiatan keolahragaan di Indonesia. Hal ini semakin terasa dengan

perkembangan olahraga modern yang menuntut pengelolaan, pembinaan dan

pengembangan keolahragaan didukung oleh anggaran yang memadai. Untuk itu,

kebijakan tentang sistem pengalokasian dana di dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam bidang

keolahragaan sesuai dengan kemampuan anggaran harus dilaksanakan agar

pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional dapat berjalan lancar.

41

Selain itu, sumber daya dari masyarakat perlu dioptimalkan, antara lain, melalui

peran serta masyarakat dalam pengadaan dana, pengadaan/pemeliharaan

prasarana dan sarana, dan dalam industri olahraga.

Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 sistem pembinaan dan

pengembangan keolahragaan nasional ditata sebagai suatu bangunan sistem

keolahragaan yang pada intinya dilakukan pembinaan dan pengembangan

olahraga yang diawali dengan tahapan pengenalan olahraga, pemantauan dan

pemanduan, serta pengembangan bakat dan peningkatan prestasi. Penahapan

tersebut diarahkan untuk pemassalan dan pembudayaan olahraga, pembibitan,

dan peningkatan prestasi olahraga pada tingkat daerah, nasional, dan

internasional. Semua penahapan tersebut melibatkan unsur keluarga,

perkumpulan, satuan pendidikan, dan organisasi olahraga yang ada dalam

masyarakat, baik pada tingkat daerah maupun pusat.

Sesuai dengan penahapan tersebut, seluruh ruang lingkup olahraga dapat

saling bersinergi sehingga membentuk bangunan sistem keolahragaan nasional

yang luwes dan menyeluruh. Sistem ini melibatkan tiga jalur, yaitu jalur keluarga,

jalur pendidikan, dan jalur masyarakat yang saling bersinergi untuk memperkukuh

bangunan sistem keolahragaan nasional.

Sistem keolahragaan nasional ditingkatkan, antara lain, melalui penetapan

standar nasional keolahragaan yang meliputi tenaga keolahragaan, isi program

penataran/pelatihan, prasarana dan sarana, penyelenggaraan keolahragaan, dan

pengelolaan organisasi keolahragaan, serta pelayanan minimal keolahragaan.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 memberikan kepastian hukum bagi

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam kegiatan keolahragaan,

dalam mewujudkan masyarakat dan bangsa yang gemar, aktif, sehat dan bugar,

serta berprestasi dalam olahraga. Dengan demikian, gerakan memasyarakatkan

olahraga dan mengolahragakan masyarakat serta upaya meningkatkan prestasi

olahraga dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa pada tingkat

internasional sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan nasional yang

berkelanjutan.

Adapun keterkaitan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2005 dengan Raperda

tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, adalah berkenaan dengan ketentuan

yang diatur dalam:

a. Pasal 11, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai hak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberikan pelayanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya kegiatan keolahragaan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

42

b. Pasal 12 ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut:

Pemerintah daerah mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan dan

mengoordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta

melaksanakan standardisasi bidang keolahragaan di daerah.

c. Pasal 13, yang berbunyi sebagai berikut:

Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina,

mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan

keolahragaan di daerah.

d. Pasal 14, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pelaksanaaan tugas penyelenggaraan keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 pada tingkat nasional dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan yang dikoordinasikan oleh Menteri.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), pemerintah daerah membentuk sebuah dinas yang menangani bidang keolahragaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

e. Pasal 15, yang berbunyi sebagai berikut:

Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mewujudkan

tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional.

f. Pasal 19 ayat (4), yang berbunyi sebagai berikut:

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban menggali,

mengembangkan, dan memajukan olahraga rekreasi.

g. Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5), yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat (4) :

Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat berkewajiban

menyelenggarakan, mengawasi, dan mengendalikan kegiatan olahraga

prestasi.

Ayat (5) :

Untuk memajukan olahraga prestasi, Pemerintah, pemerintah daerah,

dan/atau masyarakat dapat mengembangkan:

a. perkumpulan olahraga; b. pusat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

keolahragaan; c. sentra pembinaan olahraga prestasi; d. pendidikan dan pelatihan tenaga keolahragaan; e. prasarana dan sarana olahraga prestasi;

43

f. sistem pemanduan dan pengembangan bakat olahraga; g. sistem informasi keolahragaan; dan h. melakukan uji coba kemampuan prestasi olahragawan padatingkat

daerah, nasional, dan internasional sesuai dengan kebutuhan.

h. Pasal 21, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya.

(2) Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengolahraga, ketenagaan, pengorganisasian, pendanaan, metode, prasarana dan sarana, serta penghargaan keolahragaan.

(3) Pembinaan dan pengembangan keolahragaan dilaksanakan melalui tahap pengenalan olahraga, pemantauan, pemanduan, serta pengembangan bakat dan peningkatan prestasi.

(4) Pembinaan dan pengembangan keolahragaan dilaksanakan melalui jalur keluarga, jalur pendidikan, dan jalur masyarakat yang berbasis pada pengembangan olahraga untuk semua orang yang berlangsung sepanjang hayat.

i. Pasal 23 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:

Masyarakat dapat melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga

melalui berbagai kegiatan keolahragaan secara aktif, baik yang

dilaksanakan atas dorongan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah,

maupun atas kesadaran atau prakarsa sendiri.

j. Pasal 26, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi dilaksanakan dan diarahkan untuk memassalkan olahraga sebagai upaya mengembangkan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, kebugaran, kegembiraan, dan hubungan sosial.

(2) Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dengan membangun dan memanfaatkan potensi sumber daya, prasarana dan sarana olahraga rekreasi.

(3) Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi yang bersifat tradisional dilakukan dengan menggali, mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional yang ada dalam masyarakat.

(4) Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi dilaksanakan berbasis masyarakat dengan memperhatikan prinsip mudah, murah, menarik, manfaat , dan massal.

(5) Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi dilaksanakan sebagai upaya menumbuhkembangkan sanggar-sanggar dan mengaktifkan perkumpulan olahraga dalam masyarakat, serta menyelenggarakan festival olahraga rekreasi yang berjenjang dan berkelanjutan pada tingkat daerah, nasional, dan internasional.

k. Pasal 42, yang berbunyi sebagai berikut:

Setiap penyelenggaraan kejuaraan olahraga yang dilaksanakan oleh

Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat wajib

memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip

penyelenggaraan keolahragaan.

44

l. Pasal 67, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan prasarana olahraga.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan prasarana olahraga sesuai dengan standar dan kebutuhan Pemerintah dan pemerintah daerah.

m. Pasal 69, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

n. Pasal 71 ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut:

Dana keolahragaan yang dialokasikan dari Pemerintah dan pemerintah

daerah dapat diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

o. Pasal 74, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara berkelanjutan untuk memajukan keolahragaan nasional.

(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan yang bermanfaat untuk memajukan pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional.

(3) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui penelitian, pengkajian, alih teknologi, sosialisasi, pertemuan ilmiah, dan kerja sama antarlembaga penelitian, baik nasional maupun internasional yang memiliki spesialisasi ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.

(4) Hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disosialisasikan dan diterapkan untuk kemajuan olahraga.

p. Pasal 76, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat saling bekerja sama dalam bidang keolahragaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan tujuan keolahragaan nasional dan prinsip keterbukaan, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.

(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat menyelenggarakan kerja sama internasional dalam bidang keolahragaan dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

45

q. Pasal 77 ayat (1) dan ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1) :

Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan dan

penyebarluasan informasi kepada masyarakat untuk kepentingan

pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional.

Ayat (3) :

Pemerintah daerah berdasarkan kewenangan dan kemampuan yang

dimiliki dapat mengembangkan dan mengelola informasi keolahragaan

sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerah.

r. Pasal 86, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap pelaku olahraga, organisasi olahraga, lembaga pemerintah/swasta, dan perseorangan yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan olahraga diberi penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, organisasi olahraga, organisasi lain, dan/atau perseorangan.

(3) Penghargaan dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan, warga kehormatan, jaminan hari tua, kesejahteraan, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima penghargaan.

s. Pasal 87, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan atas penyelenggaraan keolahragaan.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

B. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mempunyai keterkaitan dengan

penyelenggaraan keolahragaan, mengingat Undang-Undang tersebut

mengamanatkan pemenuhan prasarana olahraga, serta mewajibkan adanya

kurikulum pendidikan jasmani dan olahraga dalam satuan pendidikan.

Pembentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dilakukan dengan

dasar pemikiran bahwa manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.

Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi

dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui

oleh masyarakat. UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga

negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan

nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam

46

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang

merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.

Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip

demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan

pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar

pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu

pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru

dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan

tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan

kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi

daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara

profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara

nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; penyusunan

standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas

secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap

satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan

manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta

penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna.

Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara

pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat,

serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.

Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi,

misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional

mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat

dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia

berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai

berikut: (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh

pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) membantu dan

memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini

sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (3)

meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk

mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (4) meningkatkan

keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat

pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai

47

berdasarkan standar nasional dan global; dan (5) memberdayakan peran serta

masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi

dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab.

Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi

pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi: (1)

pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; (2) pengembangan dan

pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; (3) proses pembelajaran yang

mendidik dan dialogis; (4) evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang

memberdayakan; (5) peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga

kependidikan; (6) penyediaan sarana belajar yang mendidik; (7) pembiayaan

pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; (8)

penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; (9) pelaksanaan wajib

belajar; (10) pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; (11) pemberdayaan

peran masyarakat; (12) pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan

(13) pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional

dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif

dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan

pelaksanaan otonomi daerah yang pada saat itu diatur dalam Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Atas dasar pemikiran tersebut, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 sebagai pembaharuan sekaligus mengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun

1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Berkaitan dengan Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan,

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengatur ketentuan mengenai olahraga

pendidikan, sebagai berikut:

48

a. Pasal 35 (1) :

Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 35 ayat (1)

diuraikan sebagai berikut:

Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

b. Pasal 37 (1) :

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:

a. pendidikan agama;

b. pendidikan kewarganegaraan;

c. bahasa;

d. matematika;

e. ilmu pengetahuan alam;

f. ilmu pengetahuan sosial;

g. seni dan budaya;

h. pendidikan jasmani dan olahraga;

i. keterampilan/kejuruan; dan

j. muatan lokal.

Pasal 37 ayat (1) dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,

diuraikan sebagai berikut:

Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta

berakhlak mulia.

Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik

menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan

bahasa asing dengan pertimbangan:

1. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional;

2. Bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik; dan

3. Bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional

yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global.

Bahan kajian matematika, antara lain, berhitung, ilmu ukur, dan aljabar

dimaksudkan untuk mengembangkan logika dan kemampuan berpikir

peserta didik.

Bahan kajian ilmu pengetahuan alam, antara lain, fisika, biologi, dan kimia

dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan

49

kemampuan analisis peserta didik terhadap lingkungan alam dan

sekitarnya.

Bahan kajian ilmu pengetahuan sosial, antara lain, ilmu bumi, sejarah,

ekonomi, kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan

pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik

terhadap kondisi sosial masyarakat.

Bahan kajian seni dan budaya dimaksudkan untuk membentuk karakter

peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman

budaya. Bahan kajian seni mencakup menulis, menggambar/melukis,

menyanyi, dan menari.

Bahan kajian pendidikan jasmani dan olah raga dimaksudkan untuk

membentuk karakter peserta didik agar sehat jasmani dan rohani, dan

menumbuhkan rasa sportivitas.

Bahan kajian keterampilan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik

menjadi manusia yang memiliki keterampilan.

Bahan kajian muatan lokal dimaksudkan untuk membentuk pemahaman

terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya.

C. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 mempunyai keterkaitan dengan

penyelenggaraan keolahragaan, mengingat Undang-Undang tersebut

mengamanatkan adanya upaya kesehatan olahraga yang ditujukan untuk

meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat oleh Pemerintah

Daerah dan masyarakat.

Pembentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dilakukan dengan

dasar pemikiran bahwa dalam pembukaan UUD 1945 tercantum jelas cita-cita

bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia.

Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.

Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya

pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian

pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya

pembangunan kesehatan.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap

kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif,

perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan

50

sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa,

serta pembangunan nasional.

Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada

mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-

angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh

masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup

upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh

terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang kedalam Sistem

Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan ke

dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1983 dan GBHN 1988 sebagai

tatanan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan.

Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan

munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang

sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan

teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum

terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992.

Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa dengan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada pengobatan

(kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah

bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan

dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan.

Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan

kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan.

Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum

menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di

dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini

masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain.

Melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga

yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa

dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang

mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan

rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan

sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang

berwawasan sakit.

Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi menuju

desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32

51

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-

Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan

sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap daerah diberi

kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan.

Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi

dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1992 perlu dilakukan penyesuaian dengan semangat otonomi

daerah.

Dengan demikian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dibentuk sebagai

kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan

sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin

kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan

yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, serta

penyesuaian terhadap penyelenggaraan otonomi daerah.

Berkaitan dengan Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan,

ketentuan mengenai upaya kesehatan olahraga dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003, adalah sebagai berikut:

a. Pasal 80:

(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat.

(2) Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga.

(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga.

b. Pasal 81:

(1) Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan promotif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.

(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

52

D. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 secara substansial tidak

mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan keolahragaan. Namun Undang-

Undang ini merupakan panduan utama dalam pembentukan semua peraturan

perundang-undangan termasuk Raperda dan Perda. Selain itu pula, Undang-

Undang ini memberikan kewenangan kepada Daerah untuk membentuk Peraturan

Daerah guna penyelenggaraan otonomi daerah, tugas pembantuan, menampung

kondisi khusus daerah.

Pembentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dilakukan dengan

dasar pemikiran bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara

hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan

kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai

dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang

berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu

dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan

yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan penyempurnaan

terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu antara lain: (a)

materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan

kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum; (b)

teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; (c) terdapat materi baru

yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan; dan (d) penguraian materi sesuai

dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.

Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang

ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu antara lain : (a)

penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu

jenis peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah UUD;

(b) perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan yang tidak

hanya untuk program legislasi nasional dan program legislasi daerah, melainkan

juga perencanaan peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan

perundang-undangan lainnya; (c) pengaturan mekanisme pembahasan rancangan

undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-

53

undang; (d) pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam

penyusunan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah provinsi

dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota; (e) pengaturan mengenai

keikutsertaan perancang peraturan perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli

dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan; (f) dan

penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik.

Secara umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat materi-

materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan

peraturan perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan

perundang-undangan; perencanaan peraturan perundang-undangan; penyusunan

peraturan perundang-undangan; teknik penyusunan peraturan perundang-

undangan; pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang;

pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah provinsi dan rancangan

peraturan daerah kabupaten/kota; pengundangan peraturan perundang-undangan;

penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai

pembentukan keputusan presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.

Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan

penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya

harus ditempuh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun,

tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta

jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tertentu yang pembentukannya

tidak diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, seperti pembahasan

rancangan peraturan pemerintah, rancangan peraturan presiden, atau

pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan lainnya sesuai di luar

undang-undang dan peraturan daerah.

Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik

penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya. Penyempurnaan

terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut

dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih

jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan peraturan

perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan di daerah.

Berkenaan dengan pembentukan Raperda Penyelenggaraan

Keolahragaan, dalam ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,

diatur bahwa :

54

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan

otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus

daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan

yang lebih tinggi.

E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 secara substansial mempunyai

keterkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap Raperda penyelenggaraan

keolahragaan. Substansi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 yang berkaitan

langsung terhadap Raperda adalah bahwa Undang-Undang tersebut merupakan

dasar utama penyelenggaraan otonomi daerah yang dirinci ke dalam urusan

konkuren, termasuk di dalamnnya adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak

berkaitan dengan Pelayanan Dasar yaitu kepemudaan dan olahraga. Namun

demikian, Undang-Undang ini tidak merinci secara detail Urusan Pemerintahan

Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar di bidang olahraga. Dengan

demikian maka, rincian urusan tersebut merujuk kepada peraturan perundang-

undangan di bidang keolahragaan, dengan ketentuan sepanjang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang 23 Tahun 2014. Substansi lainnya yang

berkaitan langsung dengan Raperda adalah ketentuan mengenai pemberian hibah

Adapun substansi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang tidak

berhubungan langsung dengan materi Raperda adalah mengenai pembentukan

Perda, sekaligus mempertegas kembali alasan pembentukan Perda sebagaimana

telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dilakukan dengan

dasar pemikiran bahwa hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut

dari Alinea Ketiga dan Keempat Pembukaan UUD Tahun 1945. Alinea Ketiga

memuat pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan Alinea Keempat

memuat pernyataan bahwa setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali

dibentuk adalah Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang

bertanggungjawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut

dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh

bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selanjutnya Pasal 1 UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia

adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Konsekuensi logis sebagai

Negara kesatuan adalah dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagai

55

Pemerintah Nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional

tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD Tahun 1945

menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan

mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas

Pembantuan. Pemberian otonomi kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi,

dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan

dayasaing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam

sistem NKRI.

Pemberian otonomi kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara

kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan

negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh

karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab

akhir penyelenggaraan pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah

Pusat. Untuk itu pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu

kesatuan dengan pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat

dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.

Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi,

inovasi, dayasaing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut

di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional

secara keseluruhan.

Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi

berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan

masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan

kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada

Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah

Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan

sebaliknya, Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda

maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional.

Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang

sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam

penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.

Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan

masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri

Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan

56

dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Daerah dan DPRD dengan dibantu

oleh Perangkat Daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal

dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan Presiden. Konsekuensi dari

negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada di tangan

Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah

berjalan sesuai dengan kebijakan nasional, maka Presiden berkewajiban untuk

melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah.

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh Menteri

Negara dan setiap Menteri bertanggungjawab atas Urusan Pemerintahan tertentu

dalam pemerintahan. Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung

jawab Menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.

Konsekuensi Menteri sebagai Pembantu Presiden adalah kewajiban Menteri atas

nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat

dan Daerah, Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian berkewajiban

membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman

bagi Daerah dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke

Daerah dan menjadi pedoman bagi Kementerian/Lembaga Pemerintah

Nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Presiden

melimpahkan kewenangan kepada Menteri sebagai koordinator pembinaan dan

pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah

Nonkementerian terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian melakukan pembinaan dan

pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian melaksanakan

pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan

mampu menciptakan harmonisasi antar Kementerian/Lembaga Pemerintah

Nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.

Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di Pusat yang terdiri atas

lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan pemerintahan Daerah

dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala Daerah

berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang diberi

mandat rakyat untuk melaksanakan

Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka

DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai

fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran

57

dan pengawasan, sedangkan Kepala Daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan

atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan Kepala

Daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.

Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

Daerah, maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan

fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun cukup diatur

dalam undang-undang ini secara keseluruhan guna memudahkan pengaturannya

secara terintegrasi.

Sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang

sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah

urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren. Urusan

pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan

Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, dan

Daerah Kabupaten/Kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan

Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan

Wajib yang tidak terkait pelayanan dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang

terkait pelayanan dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk

menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.

Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Daerah Provinsi dengan

Daerah Kabupaten/Kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya

akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut.

Walaupun Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai Urusan

Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan

terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah

Kabupaten/Kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat

oleh Pemerintah Pusat.

Di samping urusan pemerintahan absolut dan Urusan Pemerintahan Konkuren,

dalam Undang-Undang ini dikenal adanya Urusan Pemerintahan Umum. Urusan

Pemerintahan Umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala

pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka

Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan

antar golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, serta

memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan Urusan

Pemerintahan Umum di Daerah melimpahkan kepada Gubernur sebagai Kepala

Pemerintahan Provinsi dan kepada Bupati/Wali Kota sebagai Kepala

Pemerintahan Kabupaten/Kota.

58

Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah,

Kepala Daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan Daerah membuat

Perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan Otonomi

Daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari

Daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-batas

yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian Perda yang ditetapkan

oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki

peraturan perundang-undangan. Disamping itu Perda sebagai bagian dari sistem

peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda.

Daerah melaksanakan Otonomi Daerah yang berasal dari kewenangan Presiden

yang memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat tanggung jawab akhir

penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka konsekuensi

logisnya kewenangan untuk membatalkan Perda ada di tangan Presiden. Presiden

melimpahkan kewenangan pembatalan Perda Kabupaten/Kota kepada Gubernur

selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Untuk menghindari terjadinya

kesewenang-wenangan dalam pembatalan Perda, maka Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dapat mengajukan keberatan pembatalan Perda Kabupaten/Kota

yang dilakukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat kepada Menteri. Dari

sisi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, keputusan yang diambil oleh Menteri

bersifat final.

Dalam rangka menciptakan tertib administrasi pelaporan Perda, setiap Perda yang

akan diundangkan harus mendapatkan nomor register terlebih dahulu. Perda

Kabupaten/Kota mendapatkan nomor register dari Gubernur sebagai Wakil

Pemerintah Pusat. Dengan adanya pemberian nomor register tersebut akan

terhimpun informasi mengenai keseluruhan Perda yang dibentuk oleh Daerah dan

sekaligus juga informasi Perda secara nasional.

Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa

tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan terhadap kegiatan yang

bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di Daerah dalam

memajukan daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreativitas Daerah untuk

meningkatkan dayasaing Daerah. Untuk itu perlu adanya kriteria yang obyektif yang

dapat dijadikan pegangan bagi Pejabat Daerah untuk melakukan kegiatan yang

bersifat inovatif. Dengan cara tersebut inovasi akan terpacu dan berkembang tanpa

ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum.

Pada dasarnya perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditujukan untuk

mendorong lebih terciptanya dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan

59

pemerintahan Daerah dalam menyejahterakan masyarakat, baik melalui peningkatan

pelayanan publik maupun melalui peningkatan dayasaing Daerah. Perubahan ini

bertujuan untuk memacu sinergi dalam berbagai aspek dalam penyelenggaraan

pemerintahan Daerah dengan Pemerintah Pusat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 melakukan pengaturan yang bersifat afirmatif

yang dimulai dari pemetaan Urusan Pemerintahan yang akan menjadi prioritas

Daerah dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya. Melalui pemetaan tersebut

akan tercipta sinergi Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang

Urusan Pemerintahannya didesentralisasikan ke Daerah. Sinergi Urusan

Pemerintahan akan melahirkan sinergi kelembagaan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah karena setiap Kementerian/Lembaga Pemerintah nonkementerian akan tahu

siapa pemangku kepentingan (stakeholder) dari Kementerian/Lembaga Pemerintah

Nonkementerian tersebut di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota secara nasional.

Sinergi Urusan Pemerintahan dan kelembagaan tersebut akan menciptakan sinergi

dalam perencanaan pembangunan antara Kementerian/Lembaga Pemerintah

Nonkementerian dengan Daerah untuk mencapai target Nasional. Manfaat

lanjutannya adalah akan tercipta penyaluran bantuan yang terarah dari

Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian terhadap Daerah-Daerah yang

menjadi stakeholder utamanya untuk akselerasi realisasi target Nasional tersebut.

Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya dukungan

personel yang memadai, baik dalam jumlah maupun standar kompetensi yang

diperlukan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Daerah. Dengan cara tersebut, Pemerintah Daerah akan mempunyai birokrasi karir

yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.

Langkah berikutnya adalah adanya jaminan pelayanan publik yang disediakan

Pemerintah Daerah kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah Daerah wajib

membuat “Maklumat Pelayanan Publik”, sehingga masyarakat di Daerah tersebut

tahu jenis pelayanan publik yang disediakan, bagaimana mendapatkan aksesnya,

serta kejelasan dalam prosedur dan biaya untuk memperoleh pelayanan publik

tersebut serta adanya saluran keluhan manakala pelayanan publik yang didapat tidak

sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

Langkah akhir untuk memperkuat Otonomi Daerah adalah adanya mekanisme

pembinaan, pengawasan, pemberdayaan, serta sanksi yang jelas dan tegas.

Adanya pembinaan dan pengawasan serta sanksi yang tegas dan jelas tersebut

memerlukan adanya kejelasan tugas pembinaan, dan pengawasan dari

Kementerian yang melakukan pembinaan dan pengawasan umum serta

Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang melaksanakan

pembinaan teknis. Sinergi antara pembinaan dan pengawasan umum dengan

60

pembinaan dan pengawasan teknis, akan memberdayakan Daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan Daerah.

Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota, diperlukan

peran dan kewenangan yang jelas dan tegas dari Gubernur sebagai Wakil

Pemerintah Pusat untuk melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan

pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota.

Berkenaan dengan pembentukan Raperda tentang Penyelenggaraan

Keolahragaan, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, diatur hal-hal

terkait sebagai berikut:

a. Pasal 12 ayat (2):

Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. tenaga kerja;

b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;

c. pangan;

d. pertanahan;

e. lingkungan hidup;

f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;

g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;

h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;

i. perhubungan;

j. komunikasi dan informatika;

k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;

l. penanaman modal;

m. kepemudaan dan olahraga;

n. statistik;

o. persandian;

p. kebudayaan;

q. perpustakaan; dan

r. kearsipan.

b. Pasal 236 ayat (1) dan ayat (3):

Ayat (1) :

Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,

Daerah membentuk Perda.

61

Ayat (3) :

Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:

a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi.

Selanjutnya dalam Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren

Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota yang

merupakan Lampiran dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Pembagian

Urusan Pemerintahan Bidang Kepemudaan dan Olahraga bagi Daerah

Kabupaten/Kota, meliputi:

a. Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan pada jenjang pendidikan

yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota;

b. Penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat Daerah Kabupaten/Kota;

c. Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tingkat Daerah Provinsi;

d. Pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga tingkat Daerah

Kabupaten/Kota; dan

e. Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi.

Selain itu, berkenaan dengan pemberian hibah Pemerintah Daerah kepada

organisasi olahraga, maka pelaksanaannya harus mengacu pada ketentuan Pasal

298 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang

selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

(4) Belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai

dengan kemampuan keuangan Daerah setelah memprioritaskan

pemenuhan belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan

Pemerintahan Pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(5) Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan

kepada:

a. Pemerintah Pusat;

b. Pemerintah Daerah lain;

c. badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau

d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan

hukum Indonesia.

62

F. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 merupakan peraturan

pelaksanaan dari ketentuan Pasal 16, Pasal 31, Pasal 41, Pasal 66, Pasal 68 ayat

(6), Pasal 74 ayat (5), Pasal 84, dan Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Kerangka pemikiran dan kerangka umum Peraturan Pemerintah Nomor 16

Tahun 2007 adalah bahwa penyelenggaraan keolahragaan nasional semakin

kompleks dan berkaitan dengan berbagai aspek dan tuntutan perubahan global,

sehingga sudah saatnya Pemerintah memperhatikan dan mengaturnya secara

terencana, sistematik, holistik, dan berkesinambungan dan mengelolanya secara`

profesional sebagai strategi nasional untuk mencapai tujuan dan sasaran

pembangunan nasional. Penyelenggaraan keolahragaan sebagai bagian dari

suatu bangunan sistem keolahragaan nasional mencakup pembinaan dan

pengembangan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, olahraga prestasi,

olahraga amatir, olahraga profesional, dan olahraga bagi penyandang cacat,

sarana olahraga, ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan serta

standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi.

Dilandasi semangat otonomi daerah Peraturan Pemerintah Nomor 16

Tahun 2007 mengatur pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang meliputi

Pemerintah, Menteri dan menteri yang terkait, pemerintah provinsi, pemerintah

kabupaten/kota, gubernur dan bupati/walikota, induk organisasi cabang olahraga,

induk organisasi fungsional olahraga di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota,

serta masyarakat umum. Dengan kejelasan dan ketegasan pengaturan mengenai

tugas, tanggung jawab dan wewenang, Pemerintah dan pemerintah daerah dapat

meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan urusan pemerintahan,

mutu pelayanan publik di bidang keolahragaan, dan pembinaan dan

pengembangan potensi unggulan daerah melalui partisipasi aktif masyarakat.

Peraturan Pemerintah ini diarahkan untuk mencegah penyelenggaraan industri

olahraga profesional berorientasi pada bisnis semata (business-oriented) yang

mengabaikan kepentingan olahragawan, pelaku olahraga, dan masyarakat luas.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 meletakkan landasan

pengaturan bagi alih status dan perpindahan pelaku olahraga/tenaga

keolahragaan baik antar daerah maupun antar negara, untuk selanjutnya dapat

dijabarkan secara lebih teknis dan administratif oleh para pelaksana baik ditingkat

komite olahraga nasional, induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi

olahraga fungsional, dan organisasi olahraga lainnya. Pengaturan alih status dan

63

perpindahan pelaku olahraga dititikberatkan pada 3 (tiga) pendekatan yaitu (1) hak

dan persyaratan mengingat proses ini berkaitan dengan hak asasi manusia,

keselamatan, kesejahteraan, serta masa depan pelaku olahraga; (2) kerangka

pembinaan dan pengembangan olahragawan yang harus berjalan secara teratur

ditinjau dari organisasi maupun administrasi; dan (3) kewajiban tenaga

keolahragaan asing untuk menghormati hukum Indonesia. Untuk terlaksananya

tugas pembinaan dan pengembangan serta pengawasan dan pengendalian

olahraga profesional secara efektif, fokus, intensif, dan berkesinambungan,

Peraturan Pemerintah ini memberikan dasar yuridis untuk membentuk badan

olahraga profesional di tingkat nasional yang dapat dibentuk sampai tingkat

provinsi

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 menjadi dasar hukum bagi

pembentukan kelembagaan baik oleh Pemerintah/pemerintah daerah maupun

masyarakat. Kelembagaan dimaksud meliputi pembentukan dinas olahraga,

lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

keolahragaan, Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan

(BSANK), untuk memajukan pembinaan dan pengembangan olahraga nasional.

Standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan sangat penting untuk

menciptakan iklim penyelenggaraan keolahragaan sesuai Standar Nasional

Keolahragaan sebagai acuan yang harus diperhatikan oleh seluruh komponen

dalam pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional. Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 memberikan landasan yuridis bagi Menteri

untuk menetapkan standardisasi dan akreditasi keolahragaan nasional dengan

tetap memperhatikan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 menempatkan organisasi

olahraga berbasis masyarakat sebagai organisasi yang mandiri dan mitra strategis

Pemerintah dan pemerintah daerah dalam membina dan mengembangkan

keolahragaan nasional. Untuk itu, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007

mengakui dan memberikan kepastian hukum bagi organisasi keolahragaan yang

melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, olahraga

rekreasi, dan olahraga prestasi, baik di pusat maupun di daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 memberikan kepastian dan

jaminan hukum kepada induk organisasi cabang olahraga, pengurus cabang

olahraga tingkat provinsi, pengurus cabang olahraga tingkat kabupaten/kota,

organisasi olahraga fungsional, organisasi olahraga khusus penyandang cacat,

klub/perkumpulan, sasana, sanggar, komite olahraga nasional, komite olahraga

provinsi, komite olahraga kabupaten/kota, dan Komite Olimpiade Indonesia untuk

64

menyelenggarakan kegiatan keolahragaan sesuai tugas, kewajiban, wewenang,

dan tanggung jawabnya masing-masing

Bahwa organisasi keolahragaan harus berbadan hukum tidak dimaksudkan

untuk membatasi hak konstitusional dan kemandirian masyarakat dalam

berorganisasi, akan tetapi harus dipahami sebagai strategi nasional untuk

mengembangkan organisasi keolahragaan nasional yang memiliki manajemen

pengorganisasian yang profesional, efektif, dan berdaya saing serta untuk

memudahkannya dalam membina kerjasama dan koordinasi yang efektif, baik

dengan Pemerintah dan pemerintah daerah maupun antar sesama organisasi

olahraga.

Seluruh organisasi olahraga yang telah memenuhi persyaratan standar

organisasi olahraga harus sudah menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 2007. Ketentuan ini dibuat dalam rangka memelihara

kesinambungan dan mencegah timbulnya lingkungan yang menghambat proses

pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi.

Pengaturan larangan rangkap jabatan pengurus komite olahraga nasional,

komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota dengan jabatan

struktural dan/atau jabatan publik, dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan

terjadinya konflik kepentingan di dalam kepengurusan yang berpotensi terjadinya

penyalahgunaan kewenangan, dan untuk menjaga kemandirian dan netralitas,

serta menjamin keprofesionalan dalam pengelolaan keolahragaan.

Prinsip prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam

penyelenggaraan keolahragaan diwujudkan antara lain melalui pelaksanaan

pengawasan yang melibatkan semua pihak. Pengawasan dilakukan untuk

menjamin berjalannya mekanisme kontrol, menghindari kekurangan dan

penyimpangan, dan evaluasi kinerja semua pihak yang diberikan kewenangan

untuk menangani penyelenggaraan keolahragaan oleh Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2005. Obyek pengawasan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun

2007 tidak terbatas pada pelaksanaan tugas, wewenang, dan tanggung jawab

instansi Pemerintah/pemerintah daerah akan tetapi mencakup semua sub sistem

penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi.

Hal ini dikarenakan pengawasan sebagai subsistem keolahragaan saling terkait

dengan sub sistem lainnya dalam sistem keolahragaan nasional secara terencana,

terpadu, dan berkelanjutan untuk mendukung upaya pencapaian tujuan

keolahragaan nasional.

Efektifitas pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tergantung pada

keterbukaan dan ketersediaan informasi keolahragaan yang dapat diakses

65

masyarakat sebagai sumber informasi bagi masyarakat untuk melakukan

penyampaian pendapat, pelaporan atau pengaduan, pengajuan usul, monitoring,

atau peninjauan atas penyelenggaraan keolahragaan. Masyarakat berhak

memperoleh informasi antara lain mengenai pengelolaan anggaran yang

bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Masyarakat juga dapat mengajukan

pelaporan/pengaduan dalam hal diketemukan penyimpangan atau kekurangan

dalam penyelenggaraan keolahragaan. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun

2007 memberikan dasar yuridis kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota

untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi siapa saja yang melakukan

pelanggaran/penyimpangan di wilayah yang menjadi kewenangannya. Akan tetapi

perlu dipastikan bahwa pengenaan sanksi adminstratif tidak ditujukan sebagai

penghukuman melainkan sebagai proses pendidikan dan pembinaan.

Keterkaitan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 dengan Raperda

tentang Penyelenggaraan Keolahragaan adalah berkenaan dengan ketentuan

Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut, sebagai berikut:

a. Pasal 3:

Kebijakan nasional keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

meliputi:

a. penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga

prestasi;

b. pembinaan dan pengembangan olahraga;

c. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;

d. pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;

e. pembinaan, pengembangan, dan pengawasan olahraga profesional;

f. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga;

g. pendanaan keolahragaan;

h. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan;

i. peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan;

j. pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;

k. pembinaan dan pengembangan industri olahraga;

l. penyelenggaraan akreditasi dan sertifikasi;

m. pencegahan dan pengawasan terhadap doping;

n. pemberian penghargaan;

66

o. pelaksanaan pengawasan; dan

p. evaluasi nasional terhadap pencapaian standar nasional keolahragaan.

b. Pasal 6:

(1) Pemerintah daerah mempunyai tugas melaksanakan:

a. kebijakan nasional keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 di daerah;

b. standardisasi keolahragaan nasional di daerah.

(2) Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan keolahragaan sesuai

dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

c. Pasal 12:

(1) Pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewenangan untuk mengatur,

membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi

penyelenggaraan keolahragaan di kabupaten/kota.

(2) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi:

a. penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan

olahraga prestasi;

b. pembinaan dan pengembangan olahraga;

c. pengelolaan keolahragaan;

d. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;

e. pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;

f. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga;

g. pendanaan keolahragaan;

h. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan;

i. peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan;

j. pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;

k. pembinaan dan pengembangan industri olahraga;

l. penerapan standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan;

m. pencegahan dan pengawasan terhadap doping;

n. pemberian penghargaan; o. pelaksanaan pengawasan; dan

p. evaluasi terhadap pencapaian standar nasional keolahragaan.

67

(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat mengikutsertakan

komite olahraga kabupaten/kota, organisasi cabang olahraga tingkat

kabupaten/kota, organisasi olahraga fungsional tingkat kabupaten/kota,

masyarakat, dan/atau pelaku usaha.

d. Pasal 14:

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab untuk

mewujudkan tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional.

(2) Tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), antara lain meliputi:

a. pemerataan pembinaan dan pengembangan kegiatan keolahragaan;

b. peningkatan mutu pelayanan minimal keolahragaan;

c. peningkatan efektifitas dan efisiensi manajemen keolahragaan; dan

d. peningkatan kesehatan, kebugaran, dan prestasi olahraga.

e. Pasal 16:

Tanggung jawab Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal

14 ayat (1) meliputi:

a. penetapan dan pelaksanaan kebijakan nasional keolahragaan;

b. penetapan dan pelaksanaan standardisasi keolahragaan nasional;

c. koordinasi penyelenggaraan keolahragaan nasional;

d. penggunaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan ketentuan

Peraturan Perundang-undangan;

e. penyediaan pelayanan kegiatan keolahragaan sesuai dengan standar

pelayanan minimum;

f. pemberian kemudahan untuk terselenggaranya setiap kegiatan

keolahragaan; dan

g. penjaminan mutu untuk terselenggaranya kegiatan keolahragaan di

daerah.

f. Pasal 17:

Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pemerintah dan

pemerintah daerah dalam melaksanakan tanggungjawabnya bekerjasama

secara terpadu dan berkesinambungan.

68

g. Pasal 19:

(1) Pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab atas penyelenggaraan

keolahragaan nasional di kabupaten/kota.

(2) Tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan oleh bupati/walikota.

(3) Dalam melaksanakan tanggungjawab penyelenggaraan keolahragaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/walikota mempunyai

tugas:

a. melaksanakan kebijakan nasional keolahragaan;

b. menyusun dan melaksanakan rencana dan program pembinaan dan

pengembangan keolahragaan sebagai bagian integral dari rencana

dan program pembangunan kabupaten/kota;

c. mengembangkan dan memantapkan sistem koordinasi dan

pengawasan pengelolaan keolahragaan;

d. membina dan mengembangkan industri olahraga;

e. menerapkan standardisasi keolahragaan;

f. menggalang sumber daya untuk memajukan keolahragaan;

g. memfasilitasi kegiatan pembinaan dan pengembangan kualitas dan

kuantitas tenaga keolahragaan;

h. memfasilitasi kegiatan komite olahraga kabupaten/kota, organisasi

cabang olahraga tingkat kabupaten/kota, dan organisasi olahraga

fungsional tingkat kabupaten/kota;

i. mengoordinasikan kegiatan pengelolaan cabang olahraga unggulan

yang bertaraf nasional dan/atau internasional;

j. meningkatkan kualitas keolahragaan dengan mengacu kepada

standar nasional keolahragaan;

k. mengembangkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas

prasarana dan sarana olahraga;

l. menjamin akses berolahraga bagi masyarakat;

m. mencegah dan mengawasi doping dalam olahraga;

n. mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi

keolahragaan;

o. menyediakan dan mendayagunakan sistem informasi keolahragaan;

dan

p. melakukan evaluasi dan pengawasan atas penyelenggaraan

keolahragaan tingkat kabupaten/kota.

69

h. Pasal 20:

Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab melaksanakan

pembinaan dan pengembangan olahraga yang meliputi pembinaan dan

pengembangan pengolahraga, tenaga keolahragaan dan organisasi

olahraga, penyediaan dana olahraga, penyusunan metode pembinaan dan

pengembangan olahraga, penyediaan prasarana dan sarana olahraga,

serta pemberian penghargaan di bidang keolahragaan.

i. Pasal 28:

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan peran serta

masyarakat dan dunia usaha untuk membentuk dan mengembangkan

pusat pembinaan dan pelatihan olahraga serta sekolah olahraga.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pemberdayaan

perkumpulan olahraga dan penyelenggaraan kompetensi secara

berjenjang dan berkelanjutan, yang dilaksanakan oleh satuan

pendidikan.

(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat memfasilitasi

penyediaan prasarana dan sarana olahraga yang disesuaikan dengan

kebutuhan satuan pendidikan, melalui koordinasi antar instansi terkait.

j. Pasal 32:

(1) Pemerintah daerah dan masyarakat berkewajiban membangun

prasarana dan sarana olahraga rekreasi sesuai potensi sumber daya

wilayah/daerah masing-masing.

(2) Pemerintah daerah dan masyarakat memfasilitasi pembentukan sanggar

olahraga dan perkumpulan olahraga dalam masyarakat.

(3) Pemerintah daerah memfasilitasi festival dan perlombaan olahraga

rekreasi tingkat daerah yang diselenggarakan oleh masyarakat

setempat.

(4) Pemerintah daerah dapat memfasilitasi penyelenggaraan festival dan

perlombaan olahraga rekreasi nasional dan internasional.

k. Pasal 35:

Pasal 35 Pembinaan dan pengembangan olahraga amatir menjadi

tanggungjawab Pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan

induk organisasi cabang olahraga yang pelaksanaannya sesuai ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 34.

70

l. Pasal 38 ayat (3) dan ayat (5):

Ayat (3):

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi

program kegiatan penataran, pelatihan, dan penyelenggaraan kompetisi

olahraga penyandang cacat pada tingkat daerah, dan nasional.

Ayat (5):

Pemerintah daerah dan/atau organisasi olahraga penyandang cacat yang

ada dalam masyarakat dapat membentuk sentra pembinaan dan

pengembangan olahraga penyandang cacat di daerah.

m. Pasal 46:

(1) Perencanaan keolahragaan tingkat kabupaten/kota dibuat oleh

bupati/walikota.

(2) Perencanaan keolahragaan tingkat kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana strategis keolahragaan

kabupaten/kota dan rencana operasional keolahragaan kabupaten/kota.

(3) Rencana strategis keolahragaan kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) antara lain meliputi visi, misi, tujuan, sasaran,

analisis strategis, arah kebijakan, program, pola pelaksanaan, dan

koordinasi pengelolaan keolahragaan, serta penggalangan sumber daya

keolahragaan yang berbasis keunggulan lokal.

(4) Rencana operasional keolahragaan kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

n. Pasal 68 ayat (1):

Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan mengembangkan industri

sarana olahraga dalam negeri.

o. Pasal 69:

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pengadaan sarana

olahraga yang sesuai dengan ketentuan induk organisasi cabang

olahraga, federasi olahraga internasional, dan sesuai dengan ketentuan

Peraturan Perundang-undangan, untuk mendukung penyelenggaraan

keolahragaan.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pelaku usaha dalam

negeri untuk memproduksi sarana olahraga dengan standar mutu

internasional.

71

p. Pasal 72:

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggungjawab

melaksanakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

keolahragaan secara terencana dan berkelanjutan untuk memajukan

keolahragaan nasional.

q. Pasal 76

(1) Dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

keolahragaan, Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi:

a. pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia pada

lembaga penelitian dan pengkajian;

b. peningkatan prasarana dan sarana bagi penelitian atau pengkajian

keolahragaan;

c. akses terhadap informasi keolahragaan; dan

d. pemberdayaan pusat-pusat penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi keolahragaan.

(2) Fasilitasi Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat berupa bantuan dana, bantuan teknis, kemudahan,

pelayanan, dan penyediaan informasi.

r. Pasal 77

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat

membentuk lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi keolahragaan.

(2) Lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi keolahragaan yang dibentuk oleh Pemerintah atau pemerintah

daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari

lembaga pemerintahan di bawah koordinasi Menteri.

s. Pasal 78 ayat (2) dan ayat (3):

Ayat (2):

Lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

keolahragaan yang dibentuk oleh pemerintah daerah mempunyai tugas:

a. menyusun rencana strategis daerah pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi keolahragaan dengan mengacu pada

rencana strategis nasional;

b. mengkoordinasikan penyelenggaraan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi keolahragaan di daerah;

c. melaksanakan pengkajian dan penelitian bidang keolahragaan;

d. melakukan uji coba dan alih teknologi;

e. melakukan diseminasi dan sosialisasi hasil penelitian dan

pengembangan;

72

f. memanfaatkan hasil penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi keolahragaan;

g. melakukan analisis dan evaluasi program dan dampak penelitian dan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan; dan

h. menyediakan data dan informasi untuk mendukung pembuatan

kebijakan daerah di bidang keolahragaan.

Ayat (3):

Dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,

huruf d, huruf e, dan huruf f, lembaga penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi keolahragaan tersebut dapat memprioritaskan

kegiatan yang berbasis keunggulan lokal setempat.

G. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pekan dan Kejuaraan Olahraga

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 merupakan ketentuan

pelaksanaan dari Pasal 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005.

Kerangka pemikiran dan kerangka umum Peraturan Pemerintah Nomor 17

Tahun 2007 adalah bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem

Keolahragaan Nasional mewajibkan setiap penyelenggara kejuaraan olahraga

memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip-prinsip

penyelenggaraan olahraga. Penyelenggaraan kejuaraan olahraga merupakan

bagian yang integral dari upaya pembinaan olahraga, bahkan penyelenggaraan

kejuaraan olahraga merupakan titik kulminasi dari upaya pembinaan secara

menyeluruh, mulai dari membangkitkan minat, pemanduan bakat, seleksi dan

kompetisi, pembinaan yang berkesinambungan sampai pada pencapaian prestasi

puncak. Dalam pengukuran prestasi puncak inilah diatur tentang penyelenggaraan

kejuaraan olahraga

Di dalam dinamika perkembangan olahraga sekarang dan di masa-masa

mendatang penyelenggaraan kejuaraan olahraga akan berjalan sedemikian jauh

sehingga penyelenggaraan olahraga akan menjadi ajang pertarungan martabat

dan kehormatan bangsa, bahkan penyelenggaraan kejuaraan olahraga saat ini

sudah merupakan persaingan bisnis dan industri olahraga yang pada akhirnya

menciptakan lapangan kerja dan dapat menjadi salah satu sumber bagi devisa

negara.

Intensitas kejuaraan olahraga sekarang ini cukup tinggi dan dilakukan mulai

dari tingkat internasional, tingkat nasional, sampai pada tingkat kabupaten/kota,

diselenggarakan dalam bentuk kejuaraan multi event atau single event. Dengan

73

dinamika yang demikian, maka peranan penyelenggaraan kejuaraan olahraga

menjadi amat penting. Jika hal tersebut dilakukan secara berjenjang dan

berkesinambungan akan menjadi ajang seleksi dan pemberian pengalaman

bertanding bagi para olahragawan yang selanjutnya kegiatan tersebut akan

berfungsi sebagai hiburan yang mempunyai nilai komersial.

Dengan cakupan penyelenggaraan kejuaraan yang sedemikian luasnya dan

menyangkut berbagai aspek maka penyelenggaraan kejuaraan olahraga perlu

diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan agar semua aspek yang

berkaitan dan berpengaruh terhadap penyelenggaraan kejuaraan dapat

menunjang dan saling bersinergi dalam rangka keberhasilan penyelenggaraan

keolahragaan nasional untuk mencapai tujuannya. Sebagai dampak dari proses

globalisasi sekarang ini, penyelenggaraan kegiatan olahraga telah mengalami

perubahan yang sangat signifikan, antara lain terjadinya arus perpindahan dalam

hubungan dengan penggunaan pelaku olahraga asing di Indonesia, penggunaan

prasarana, sarana, dan metoda baru sehingga menimbulkan intensitas yang tinggi

terhadap keterlibatan pelaku olahraga yang pada umumnya berkaitan dengan

olahraga profesional.

Dalam hubungan dengan penyelenggaraan kejuaraan, Peraturan

Pemerintah ini mengatur secara jelas hal-hal pokok yang berkaitan dengan pekan

olahraga dan kejuaraan olahraga. Pekan olahraga secara jelas diklasifikasi dalam

pekan olahraga internasional, pekan olahraga nasional, pekan olahraga wilayah,

dan pekan olahraga daerah. Sedangkan kejuaraan olahraga dibagi menjadi

kejuaraan olahraga tingkat internasional, kejuaraan olahraga tingkat nasional,

kejuaraan olahraga tingkat wilayah, kejuaraan olahraga tingkat provinsi, dan

kejuaraan olahraga tingkat kabupaten/kota.

Pengaturan tentang pekan olahraga internasional diatur sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dalam Olympic Charter dengan memberikan peran KOI

sesuai dengan fungsinya. Sedangkan pengaturan pekan olahraga yang

dilaksanakan di dalam negeri mulai dari pekan olahraga nasional, wilayah, daerah,

penyandang cacat, serta pelajar, mahasiswa, dan sejenisnya diatur dalam

Peraturan Pemerintah ini, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme

dan koordinasinya. Pengaturan tentang kejuaraan olahraga diarahkan untuk

mencapai tujuan pemassalan, penjaringan bibit, memberikan pengalaman

bertanding, meningkatkan prestasi dan memelihara persatuan dan kesatuan

bangsa.

Dalam setiap pertandingan baik pekan olahraga maupun kejuaraan

olahraga, doping dilarang dalam bentuk apapun sesuai dengan ketentuan anti

74

doping. Pengawasan doping ini dilakukan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya

diserahkan kepada lembaga anti doping nasional.

Berpijak dari latar belakang pemikiran seperti itulah maka kehadiran

Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai penyelenggaraan kejuaraan

olahraga sangat diperlukan agar semua kegiatan dapat diatur secara terpadu dan

dapat mendukung upaya keberhasilan sistem keolahragaan nasional

sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005.

Keterkaitan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 dengan Raperda

tentang Penyelenggaraan Keolahragaan adalah berkenaan dengan ketentuan

Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut, sebagai berikut:

a. Pasal 24:

(1) Pemerintah daerah bertanggungjawab atas penyelenggaraan pekan

olahraga pelajar daerah dan pekan olahraga mahasiswa daerah.

(2) Pekan olahraga daerah dan pekan olahraga mahasiswa daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:

a. pekan olahraga pelajar tingkat provinsi dan pekan olahraga pelajar

tingkat kabupaten/kota;

b. pekan olahraga mahasiswa tingkat provinsi dan pekan olahraga

mahasiswa tingkat kabupaten/kota;

c. pekan olahraga pesantren tingkat provinsi dan pekan olahraga

pelajat tingkat kabupaten/kota.

(3) Dalam rangka pelaksanaan pekan olahraga sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota

dapat membentuk panitia penyelenggara dengan melibatkan induk

organisasi olahraga fungsional pelajar dan induk organisasi olahraga

fungsional mahasiswa.

b. Pasal 25:

Pemerintah dan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota

selaku penanggungjawab penyelenggaraan pekan olahraga pelajar dan

pekan olahraga mahasiswa sesuai kewenangannya menetapkan tempat

penyelenggaraan dengan memperhatikan:

a. kemampuan dan potensi calon tempat penyelenggaraan;

b. ketersediaan prasarana dan sarana;

c. dukungan masyarakat setempat;

d. pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga calon tempat

penyelenggaraan; dan

e. usulan dari induk organisasi olahraga fungsional pelajar dan induk

organisasi fungsional mahasiswa.

75

H. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 merupakan ketentuan

pelaksanaan dari Pasal 72 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005.

Kerangka pemikiran dan kerangka umum Peraturan Pemerintah Nomor 18

Tahun 2007, yaitu bahwa olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian

tujuan pembangunan nasional sehingga keberadaan dan peranan olahraga dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus ditempatkan pada

kedudukan yang jelas dalam sistem hukum nasional berdasarkan UUD 1945.

Permasalahan keolahragaan nasional semakin komplek dan berkaitan

dengan antara lain ekonomi dan tuntutan perubahan global, sehingga sudah

saatnya Indonesia memperhatikan semua aspek yang terkait antara lain

kemampuan anggaran untuk mendukung penyelenggaraan keolahragaan nasional

untuk mencapai prestasi yang mampu bersaing pada masa kini dan masa yang

akan datang. Atas dasar inilah perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang

Pendanaan Keolahragaan sebagai landasan yuridis bagi penyelenggaraan

keolahragaan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 diatur prinsip-prinsip

pendanaan seperti prinsip kecukupan dan prinsip berkelanjutan sumber dan

alokasi pendanaan, lingkup kegiatan pendanaan, serta pertanggungjawaban

pendanaan penyelenggaraan keolahragaan.

Keterbatasan sumber pendanaan atau anggaran merupakan permasalahan

khusus dalam penyelenggaraan keolahragaan. Hal ini makin dirasakan dengan

perkembangan olahraga modern yang menuntut pengelolaan, pembinaan, dan

pengembangan keolahragaan yang perlu didukung oleh anggaran yang memadai.

Untuk itu perlu pengaturan tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban

pendanaan keolahragaan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Selain itu, sumber daya dan dana dari masyarakat dan dunia usaha perlu

dioptimalkan, antara lain melalui peran serta masyarakat dalam pengadaan dana,

pengadaan atau pemeliharaan prasarana dan sarana, dan dalam industri

olahraga.

Guna mendukung pendanaan keolahragaan, Peraturan Pemerintah Nomor

18 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa Pemerintah dapat membentuk badan

usaha milik negara yang berkaitan dengan kegiatan keolahragaan sesuai dengan

ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Kemauan politik dalam Peraturan

76

Pemerintah mengenai hal tersebut merupakan dorongan bagi usaha kemandirian

dalam pendanaan keolahragaan sehingga dapat mengurangi beban Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah. Bahkan, penyelenggaraan keolahragaan yang dilaksanakan oleh

Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan negara atau

pendapatan asli daerah.

Dengan demikian diharapkan upaya meningkatkan prestasi olahraga dapat

mengangkat harkat dan martabat bangsa pada tingkat nasional dan internasional

sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Keterkaitan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 dengan Raperda

tentang Penyelenggaraan Keolahragaan adalah berkenaan dengan ketentuan

Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut, sebagai berikut:

a. Pasal 2:

Pendanaan keolahragaan menjadi tanggungjawab bersama antara

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

b. Pasal 3:

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran

keolahragaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

c. Pasal 5 ayat (2):

Sumber pendanaan keolahragaan dari pemerintah daerah berasal dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

d. Pasal 13:

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya

melakukan pengawasan terhadap pendanaan keolahragaan.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai

dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

I. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Peraturan Pelaksanaan Pendidikan

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 merupakan ketentuan

pelaksanaan dari Pasal 12 ayat (4), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 20

ayat (4), Pasal 21 ayat (7), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (7),

Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (6), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32 ayat (3), Pasal 41

ayat (4), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (3), Pasal 50 ayat (7), Pasal 51 ayat (3),

77

Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (3), Pasal 55 ayat (5), Pasal 56 ayat (4), Pasal 62

ayat (4), Pasal 65 ayat (5), dan Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003

Kerangka pemikiran dan kerangka umum Peraturan Pemerintah Nomor 17

Tahun 2010, yaitu bahwa visi sistem pendidikan nasional sebagai pranata sosial

yang kuat dan berwibawa mengisyaratkan bahwa pengelolaan dan

penyelenggaraan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan oleh

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus berlangsung sinergis. Visi

sistem pendidikan nasional dimaksudkan untuk memberdayakan semua warga

negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga

mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dalam era globalisasi dan informasi saat ini, keterbukaan telah menjadi

karakteristik kehidupan yang demokratis, dan hal ini membawa dampak pada

cepat usangnya kebijakan maupun praksis pendidikan. Parameter kualitas

pendidikan, baik dilihat dari segi pasokan, proses, dan hasil pendidikan selalu

berubah. Tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama

Pemerintah, masyarakat dan orang tua. Oleh sebab itu, pendidikan harus secara

terus-menerus perlu ditingkatkan kualitasnya, melalui sebuah pembaruan yang

dapat dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan (stakeholders) agar

mampu mempersiapkan generasi penerus bangsa sejak dini sehingga memiliki

unggulan kompetitif dalam tatanan kehidupan nasional dan global.

Dunia pendidikan khususnya dan tantangan masa depan umumnya telah

berubah dan berkembang sedemikian cepatnya. Untuk mengantisipasi serta

merespon perubahan dan perkembangan tersebut, perlu ditetapkan peraturan

perundang-undangan tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang

responsif untuk memaksimalkan terselenggaranya sistem pendidikan nasional.

Untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang

berkaitan dengan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan ditetapkan

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 yang mencakupi:

a. pengelolaan pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah

kabupaten/kota, penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan

satuan pendidikan;

b. penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah,

pendidikan tinggi, pendidikan nonformal, pendidikan jarak jauh, pendidikan

khusus dan pendidikan layanan khusus, pendidikan bertaraf internasional dan

pendidikan berbasis keunggulan lokal, pendidikan oleh perwakilan negara

78

asing dan kerjasama lembaga pendidikan asing dengan lembaga pendidikan

Indonesia;

c. penyetaraan pendidikan informal;

d. kewajiban peserta didik;

e. pendidik dan tenaga kependidikan

f. pendirian satuan pendidikan;

g. peran serta masyarakat;

h. pengawasan; dan

i. sanksi.

Keterkaitan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 20010 terhadap

Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan adalah berkenaan dengan

ketentuan Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut, diantaranya sebagai

berikut:

a. Pasal 36:

(1) Pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan berkelanjutan

kepada peserta didik di daerahnya yang memiliki potensi kecerdasan

dan/atau bakat istimewa untuk mencapai prestasi puncak di bidang ilmu

pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga pada tingkat satuan

pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, dan

internasional.

(2) Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang kondusif bagi pencapaian

prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah

kabupaten/kota menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi secara

teratur dan berjenjang kompetisi di bidang:

a. ilmu pengetahuan;

b. teknologi;

c. seni; dan/atau

d. olahraga.

(3) Pemerintah kabupaten/kota memberikan penghargaan kepada peserta

didik yang meraih prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan berkelanjutan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penyelenggaraan dan

fasilitasi kompetisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan

Peraturan Bupati/Walikota.

79

b. Pasal 66:

(1) Program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain yang sederajat

dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki SD, MI,

atau bentuk lain yang sederajat.

(2) Program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain yang sederajat

dilaksanakan dalam konteks bermain yang dapat dikelompokan menjadi:

a. bermain dalam rangka pembelajaran agama dan akhlak mulia;

b. bermain dalam rangka pembelajaran sosial dan kepribadian;

c. bermain dalam rangka pembelajaran orientasi dan pengenalan

pengetahuan dan teknologi;

d. bermain dalam rangka pembelajaran estetika; dan

e. bermain dalam rangka pembelajaran jasmani, olahraga, dan

kesehatan.

c. Pasal 67:

(1) Pendidikan pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat berfungsi:

a. menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia,

dan kepribadian luhur;

b. menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta

tanah air;

c. memberikan dasar-dasar kemampuan intelektual dalam bentuk

kemampuan dan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung;

d. memberikan pengenalan ilmu pengetahuan dan teknologi;

e. melatih dan merangsang kepekaan dan kemampuan mengapresiasi

serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;

f. menumbuhkan minat pada olahraga, kesehatan, dan kebugaran

jasmani; dan

g. mengembangkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan

pendidikan ke SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat.

(2) Pendidikan pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat berfungsi:

a. mengembangkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai

keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur yang telah

dikenalinya;

b. mengembangkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai

kebangsaan dan cinta tanah air yang telah dikenalinya;

c. mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi;

80

d. melatih dan mengembangkan kepekaan dan kemampuan

mengapresiasi serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan

harmoni;

e. mengembangkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik

untuk kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan

f. mengembangkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan

pendidikan ke jenjang pendidikan menengah dan/atau untuk hidup

mandiri di masyarakat.

d. Pasal 107:

(1) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk

kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak

usia dini yang sejenis.

(2) Kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak

usia dini yang sejenis menyelenggarakan pendidikan dalam konteks:

a. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran agama dan ahlak

mulia;

b. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran sosial dan

kepribadian;

c. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran estetika;

d. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran jasmani,

olahraga, dan kesehatan; dan

e. bermain sambil belajar dalam rangka merangsang minat kepada ilmu

pengetahuan dan teknologi.

81

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS,

DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Landasan filosofis pada prinsipnya memuat pandangan hidup, kesadaran

dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang terdapat dalam Pancasila dan

Pembukaan UUD 1945. Peraturan Daerah harus memuat norma-norma hukum

yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur

kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Karena itu idealnya

Perda dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat

tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan

sehari-hari melalui pelaksanaan Perda dalam kenyataan. Karena itu, cita-cita

filosofis yang terkandung dalam Perda hendaklah mencerminkan cita-cita filosofis

yang dianut masyarakat Jawa Barat.

Dalam kaitannya dengan Raperda, maka landasan filosofis harus

mencerminkan :

a. pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah sebagai bagian dari sistem

pemerintahan nasional dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, yang salah

satunya melalui pembentukan suatu sistem pemerintahan yang mendukung

upaya pembangunan Daerah melalui keolahragaan sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari pembangunan sumberdaya manusia Daerah yang memiliki

kompetensi, daya saing, serta semangat dan daya juang yang tinggi.

b. Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6) dan (7) UUD 1945. Pasal 18

menyebutkan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah

Provinsi itu mempunyai pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan

Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis. Pemerintahan

Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan

yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Perda dan peraturan-peraturan lain

untuk melaksanakan Otonomi dan Tugas pembantuan.

82

B. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-

ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat, yang mendorong perlu dibuatnya

naskah akademik. Landasan sosiologis juga memuat analisis kecenderungan

sosiologis-futuristik tentang sejauhmana tingkah laku sosial itu sejalan dengan

arah dan tujuan pembangunan hukum yang ingin dicapai.

Landasan sosiologis mensyaratkan setiap norma hukum yang dituangkan

dalam peraturan daerah harus mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat

sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum

masyarakat. Karena itu, dalam konsideran, harus dirumuskan dengan baik

pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris, sehingga suatu gagasan

normatif yang dituangkan dalam peraturan daerah benar-benar didasarkan atas

kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian,

norma hukum yang tertuang dalam peraturan daerah kelak dapat dilaksanakan

dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah masyarakat hukum yang diaturnya.

Berkaitan dengan Raperda, secara sosiologis penyelenggaraan

keolahragaan diyakini merupakan upaya meningkatkan kualitas hidup manusia

Indonesia secara jasmaniah, rohaniah, dan sosial dalam mewujudkan masyarakat

yang maju, adil, makmur, sejahtera, dan demokratis berdasarkan Pancasila dan

UUD Tahun 1945. Perkembangan keolahragaan di Daerah dan nasional semakin

kompleks dan berkaitan dengan dinamika sosial, ekonomi, budaya masyarakat

dan bangsa serta tuntutan perubahan global. Oleh karena itu, sudah saatnya

Daerah memiliki suatu kebijakan dalam penyelenggaraan keolahragaan yang

mengatur keolahragaan secara menyeluruh dengan memperhatikan semua aspek

terkait, adaptif terhadap perkembangan olahraga dan masyarakat, sekaligus

mampu mendukung pembinaan dan pengembangan keolahragaan Daerah

sehingga dapat menjamin pemerataan akses terhadap olahraga, peningkatan

kesehatan dan kebugaran, peningkatan prestasi, dan manajemen keolahragaan di

Daerah dalam menghadapi tantangan serta tuntutan perubahan kehidupan

nasional dan global pada masa kini dan masa yang akan datang. Atas dasar inilah

perlu dibentuk Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan sebagai

landasan yuridis bagi setiap kegiatan keolahragaan di Kota Sukabumi.

83

C. Landasan Yuridis

Hal yang patut diperhatikan dalam perumusan suatu Raperda adalah

bahwa ketentuan atau norma-norma yang dirumuskan tidak mengandung

pertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara yuridis,

penyusunan Peraturan Daerah berlandaskan pada ketentuan Pasal 14 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa materi muatan

Peraturan Daerah berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi

daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau

penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, serta

Pasal 236 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyatakan

bahwa Perda memuat materi muatan penyelenggaraan Otonomi Daerah dan

Tugas Pembantuan, dan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Dalam hal ini, Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan merupakan

penjabaran kewenangan sabagai daerah otonom sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-

undangan di bidang keolahragaan.

84

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN

RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RAPERDA

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka jangkauan, arah

pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Raperda tentang Penyelenggaraan

Keolahragaan, meliputi :

A. Dasar Pertimbangan dan Dasar Hukum Pembentukan Raperda

Dasar pertimbangan pembentukan Raperda adalah bahwa dalam rangka

mendukung dan meningkatkan kualitas masyarakat Kota Sukabumi yang memiliki

kompetensi, daya saing, serta semangat dan daya juang yang tinggi, perlu

dilakukan upaya pembangunan di bidang keolahragaan sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari pembangunan sumberdaya manusia Kota Sukabumi. Untuk

melaksanakan pembangunan di bidang keolahragaan tersebut perlu dilakukan

pengaturan, pembinaan, pengembangan, pelaksanaan dan pengawasan, serta

harmonisasi, sinkronisasi dan koordinasi penyelenggaraan keolahragaan guna

peningkatan budaya berolahraga dan prestasi olahraga Kota Sukabumi diuntuk

tingkat provinsi dan nasional;

Untuk dasar hukum pembentukan Raperda, perlu mendasarkan diri pada

Lampiran II huruf B.4 angka 39 dan 40 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,

yang menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan

Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Pemerintah yang

memerintahkan secara langsung pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, maka dasar hukum yang menjadi acuan pembentukan Raperda

tentang Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin, adalah :

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah

Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa

Barat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun

1954 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17 Tahun 1950;

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional;

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

85

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan;

7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan

Keolahragaan Nasional;

9. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pekan dan Kejuaraan

Olahraga;

10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan

Keolahragaan;

11. Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Peraturan Pelaksanaan

Pendidikan;

12. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Penyelenggaraan Keolahragaan.

B. Ketentuan Umum

Ketentuan umum dalam Raperda meliputi pengertian, fungsi, tujuan, dan

prinsip.

1. Definisi

Dalam Raperda, perlu diuraikan mengenai definisi yang berisi

“pengertian” dan “akronim”, yang dimaksudkan untuk mencegah timbulnya

salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-

pasal dalam Peraturan Daerah. Uraian definisi tersebut disusun tidak terlalu

banyak, dan perumusannya dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Definisi yang dicantumkan dalam pasal hanya terminologi atau istilah yang

dipergunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal

berikutnya, sedangkan yang tidak berulang, dijadikan materi “penjelasan

pasal”.

b. Terminologi atau istilah yang hanya digunakan satu kali, namun terminologi

atau istilah tersebut diperlukan pengertiannya dalam suatu bab, bagian atau

paragraf tertentu, kata atau istilah itu dimasukan definisi.

c. Mengingat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih

dari satu, maka masing-masing uraiannya dalam Raperda diberi nomor urut

86

dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan

tanda baca titik.

Adapun uraian definisi dalam Raperda , sebagai berikut:

1. Daerah Provinsi adalah Daerah Provinsi Jawa Barat.

2. Pemerintah Daerah Provinsi adalah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa

Barat.

3. Daerah adalah Kota Sukabumi.

4. Pemerintah Daerah Kota adalah Pemerintah Daerah Kota Sukabumi.

5. Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara

Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan Daerah.

6. Wali Kota adalah Wali Kota Sukabumi.

7. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan

yang menjadi kewenangan Daerah

8. Penyelenggaraan Keolahragaan adalah proses sistematik yang melibatkan

berbagai aspek keolahragaan dan pemangku kepentingan secara terpadu

dan berkelanjutan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan

evaluasi dan pengawasan dalam rangka mencapai tujuan keolahragaan.

9. Keolahragaan adalah segala aspek yang berkaitan dengan olahraga yang

memerlukan pengaturan, pendidikan, pelatihan, pembinaan,

pengembangan, dan pengawasan.

10. Olahraga adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong,

membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.

11. Pelaku Olahraga adalah setiap orang dan/atau kelompok orang yang

terlibat secara langsung dalam kegiatan olahraga yang meliputi

pengolahraga, pembina olahraga, dan tenaga keolahragaan.

12. Pengolahraga adalah orang yang berolahraga dalam usaha

mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.

13. Olahragawan adalah pengolahraga yang mengikuti pelatihan secara teratur

dan kejuaraan dengan penuh dedikasi untuk mencapai prestasi.

14. Guru Olahraga adalah pengajar pada satuan pendidikan yang memiliki

pengetahuan, keahlian dan kemampuan di bidang olahraga untuk

melaksanakan proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang

dirancang guna meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan

87

keterampilan motorik, pengetahuan dan prilaku hidup sehat dan aktif, sikap

sprotif, dan kecerdasan emosi pelajar.

15. Pelatih adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk

mempersiapkan fisik dan mental olahragawan maupun kelompok

olahragawan.

16. Pembinaan dan pengembangan olahraga adalah usaha sadar yang

dilakukan secara sistematis untuk mencapai tujuan keolahragaan.

17. Tenaga Keolahragaan adalah setiap orang yang memiliki kualifikasi dan

sertifikat kompetensi dalam bidang olahraga.

18. Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah

termasuk dunia usaha dan dunia industri yang mempunyai perhatian dan

peranan dalam bidang keolahragaan.

19. Perencanaan Keolahragaan adalah rangkaian kegiatan yang sistematik,

terukur, terpadu, bertahap, berjenjang, dan berkelanjutan dalam rangka

mencapai tujuan keolahragaan.

20. Olahraga Pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang

dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan

berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian,

keterampilan,kesehatan, dan kebugaran jasmani.

21. Olahraga Prestasi adalah olahraga yang dilaksanakan untuk membina dan

mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang dan

berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan

ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.

22. Olahraga Rekreasi adalah olahraga yang dilaksanakan oleh masyarakat

berdasarkan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang

sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk

kesehatan, kebugaran, dan kegembiraan.

23. Olahraga Tradisional adalah olahraga yang merupakan warisan tradisi dan

budaya masyarakat Daerah yang bermanfaat untuk meningkatkan

kesehatan,kebugaran,dan pengembangan hubungan sosial.

24. Olahraga Aparatur Sipil Negara adalah olahraga yang diselenggarakan

untuk meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani, produktivitas kerja,

disiplin, jiwa korsa, solidaritas, dan kebersamaan Aparatur Sipil Negara di

Daerah, serta memberikan keteladanan bagi masyarakat.

25. Prestasi adalah hasil upaya maksimal yang dicapai olahragawan atau

kelompok olahragawan dalam kegiatan olahraga.

88

26. Penghargaan Olahraga adalah pengakuan atas prestasi di bidang olahraga

yang diwujudkan dalam bentuk material dan/atau nonmaterial.

27. Prasarana Olahraga adalah tempat atau ruang termasuk lingkungan yang

digunakan untuk kegiatan olahraga dan/atau penyelenggaraan

keolahragaan.

28. Sarana Olahraga adalah peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk

kegiatan olahraga.

29. Organisasi Olahraga adalah sekumpulan orang yang menjalin kerjasama

dengan membentuk organisasi untuk penyelenggaraan olahraga, sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.

30. Induk Organisasi Olahraga Daerahadalah organisasi olahraga yang

membina, mengembangkan, dan mengkoordinasikan satu cabang/jenis

olahraga atau gabungan organisasi cabang olahraga dari satu jenis

olahraga di Daerah.

31. Kejuaraan Olahraga adalah kegiatan pertandingan/perlombaan yang

memperebutkan gelar juara untuk 1 (satu) jenis cabang olahraga (single

event).

32. Pekan Olahraga adalah suatu kegiatan pertandingan/perlombaan olahraga

yang memperebutkan gelar juara untuk beberapa cabang olahraga.

33. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, kelompok masyarakat,

atau badan hukum.

34. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Keolahragaan yang

selanjutnya disebut pengembangan IPTek keolahragaan adalah

peningkatan kualitas dan kuantitas pengetahuan dan teknologi yang

bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah

terbukti kebenarannya untuk peningkatan fungsi, dan manfaat bagi kegiatan

keolahragaan.

2. Fungsi

Fungsi penyelenggaraan keolahragaan di Kota Sukabumi adalah

untuk mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, sosial, membentuk

watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat, serta menjadi bagian

strategis dalam upaya perwujudan visi dan misi pembangunan Kota

Sukabumi.

89

3. Tujuan

Tujuan penyelenggaraan keolahragaan di Kota Sukabumi adalah untuk:

a. mendukung pencapaian tujuan keolahragaan nasional dan Provinsi Jawa

Barat;

b. meningkatkan budaya berolahraga masyarakat yang tercermin dari

masyarakat yang mengetahui, memahami, mengerti, melaksanakan dan

menikmati manfaat olahraga;

c. melestarikan warisan budaya dan tradisi masyarakat di bidang olahraga;

dan

d. memantapkan daya saing Daerah dalam kompetisi olahraga lingkup

provinsi, nasional dan internasional.

4. Prinsip

Prinsip pelaksanaan penyelenggaraan keolahragaan di Kota Sukabumi

meliputi:

a. demokratis, tidak diskriminatif, dan menjunjung tinggi nilai keagamaan, nilai

budaya, dan kemajemukan masyarakat;

b. keadilan sosial dan nilai kemanusiaan yang beradab;

c. sportivitas dan menjunjung tinggi nilai etika dan estetika;

d. pembudayaan dan keterbukaan;

e. pengembangan kebiasaan hidup sehat dan aktif bagi masyarakat;

f. pemberdayaan peran serta masyarakat;

g. keselamatan dan keamanan; dan

h. keutuhan jasmani dan rohani.

5. Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah

Dalam penyelenggaraan keolahragaan, Raperda memberikan tugas kepada

Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kebijakan nasional dan Provinsi Jawa

Barat di bidang keolahragaan, serta mengkoordinasikan pembinaan dan

pengembangan keolahragaan serta melaksanakan standardisasi dan penjaminan

mutu bidang keolahragaan di Daerah, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

90

Untuk melaksanakan tugas tersebut, selanjutnya Raperda memberikan

kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan keolahragaan

meliputi pembinaan, pengembangan, pelaksanaan, dan pengawasan, yang

dilaksanakan melalui: (a) pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan

pada jenjang pendidikan dasar; (b) penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat

Daerah; (c) pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tingkat provinsi;

pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga tingkat Daerah; dan bentuk

lainnya berdasarkan kebutuhan Daerah.

Terhadap tugas dan wewenang Daerah tersebut, Raperda mengatur pula

ketentuan mengenai tanggung jawab Pemerintah Daerah untuk mewujudkan

tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional dan provinsi di Daerah. Tanggung

jawab tersebut, meliputi: (a) pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi di

bidang keolahragaan; (b) pelaksanaan standardisasi keolahragaan nasional; (c)

koordinasi pembinaan dan pengembangan keolahragaan; (d) pelaksanaan

kewenangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; (e) penyediaan

pelayanan kegiatan keolahragaan sesuai standard pelayanan minimal; (f)

pemberian kemudahan penyelenggaraan kegiatan keolahragaan; dan (g)

penjaminan mutu penyelenggaraan kegiatan keolahragaan di Daerah.

6. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penyelenggaraan keolahragaan Daerah, meliputi: (a)

perencanaan; (b) pembinaan dan pengembangan olahraga; (c) tenaga

keolahragaan; (d) pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga; (e)

penyediaan sarana dan prasarana; (f) industri olahraga; (g) penyelenggaraan

kejuaraan olahraga; (h) pengembangan IPTek keolahragaan; (i) peran masyarakat

dan dunia usaha; (j) koordinasi; (k) kerjasama; (l) sistem informasi keolahragaan;

(m) penghargaan; dan (n) pendanaan.

7. Kedudukan

Dalam Raperda diatur mengenai kedudukan Peraturan Daerah, yaitui

sebagai pedoman dalam penyelenggaraan keolahragaan oleh Pemerintah Daerah,

pemangku kepentingan terkait, dan masyarakat.

8. Perencanaan

Ketentuan ini mengatur bahwa Pemerintah Daerah menyusun rencana

keolahragaan, sesuai rencana keolahragaan nasional dan dokumen perencanaan

pembangunan Daerah, meliputi: Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan

Daerah dan rencana operasional keolahragaan.

91

Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan Daerah, paling kurang

memuat visi, misi, tujuan, sasaran, analisis strategi, arah kebijakan, program, pola

pelaksanaan, dan koordinasi pengelolaan keolahragaan.

Rencana operasional keolahragaan sebagai operasionalisasi Rencana

Induk Pembangunan Keolahragaan Daerah yang disusun sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Perangkat Daerah yang membidangi olahraga menyusun Rencana Induk

Pembangunan Keolahragaandan rencana operasional keolahragaan berkoordinasi

dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Perangkat Daerah terkait,

lembaga keolahragaan, pemangku kepentingan terkait, dan masyarakat.

Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan dan rencana operasional

keolahragaan ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.

9. Pembinaan dan Pengembangan Keolahragaan

Pembinaan dan pengembangan keolahragaan di Daerah, mencakup:

olahraga pendidikan, olahraga prestasi, olahraga rekreasi, olahraga

berkebutuhan khusus, dan olahraga Aparatur Sipil Negara

a. Olahraga Pendidikan

Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan diselenggarakan

untuk: (a) meningkatkan kualitas fisik dan psikis; (b) meningkatkan

kesehatan jasmani dan rohani; (c) membangun karakter yang sportif; (d)

keterampilan olahraga; dan (e) mengembangkan minat dan bakat

olahraga.

Terhadap penyelenggaraan olahraga pendidikan tersebut maka setiap

lembaga pendidikan wajib menyelenggarakan pembinaan dan

pengembangan olahraga pendidikan secara teratur, bertahap, dan

berkesinambungan dengan memperhatikan taraf pertumbuhan,

perkembangan, bakat, dan minat peserta didik.

Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dilaksanakan dan

diarahkan sebagai satu yang kesatuan sistematis dan

berkesinambungan dengan Sistem Pendidikan Nasional.

Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan

dapat memanfaatkan olahraga rekreasi dan olahraga tradisional sebagai

bagian dari aktifitas pembelajaran.

92

Pendanaan pembinaan dan pengembangan olahraga

pendidikanbersumber dari alokasi anggaran sektor pendidikan.

Pembinaan dan pengembanganolahraga pendidikan dilaksanakan

melalui:

a. intrakurikuler; dan

b. ekstrakurikuler.

A. Intrakurikuler

Dalam klausul ini diatur sebagai berikut:

Pemerintah Daerah menyelenggarakan pembinaan dan

pengembangan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler, meliputi:

a. pelaksanaan kurikulum pendidikan olahraga pada jenjang

pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini sesuai kurikulum

nasional;

b. penetapan kurikulum muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar

dan pendidikan anak usia dini;

c. pembinaan dan pengembangan kompetensi guru olahraga pada

satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;

d. fasilitasi penyediaan sarana pelatihan olahraga pada satuan

pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;

e. penyelenggaraan proses pembinaan dan pelatihan olahraga pada

satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;

f. pengembangan dan penerapan IPTek olahraga pendidikan; dan

g. penyelenggaraan, pelaksanaan, dan fasilitasi kejuaraan olahraga

bagi peserta didik tingkat Daerah, Povinsi, dan nasional.

Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui

intrakurikuler tersebut dilaksanakan oleh Perangkat Daerah di bidang

penyelenggaraan pendidikan dan olahraga.

Setiap satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini yang

dikelola Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat wajib

menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan olahraga

pendidikan melalui intrakurikuler, meliputi:

a. pelaksanaan kurikulum pendidikan olahraga sesuai kurikulum

nasional dan kurikulum muatan lokal;

93

b. penyediaan prasarana dan sarana; dan

c. penerapan IPTek olahraga pendidikan; dan

d. pengembangan potensi pelajar yang memiliki bakat dan/atau

prestasi di bidang olahraga.

Satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini harus

melakukan kemitraan atau kerjasama dengan masyarakat atau

badan usaha pengelola/pemilik prasarana olahragadalam hal

kewajiban penyediaan prasarana belum dapat dilaksanakan.

Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga oleh satuan

pendidikan dilakukan oleh guru olahraga yang memiliki kompetensi,

dan dapat dibantu oleh tenaga keolahragaan yang ditunjuk oleh

satuan pendidikan.

Pembinaan, pengembangan, dan pelaksanaan olahraga pendidikan

melalui intrakurikuler pada satuan pendidikan dasar dan pendidikan

anak usia dini yang menyelenggarakan pendidikan di bidang

pendidikan agama, berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.

B. Intrakurikuler

Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui

ekstrakurikuler dilaksanakan di luar kegiatan belajar mengajar

olahraga pendidikan, dan diarahkan untuk menumbuhkembangkan

prestasi olahraga pada unit pendidikan dasar.

Satuan pendidikan dasar dapat membentuk unit kegiatan olahraga,

kelas olahraga, serta unit pembinaan dan pelatihan olahraga dalam

melaksanakan ekstrakurikuler olahraga.

Penyelenggaraanolahraga pendidikan melalui ekstrakurikuler

dilaksanakan oleh guru olahraga yang memiliki kompetensi, disertai

pelatih, instruktur atau pemandu olahraga yang memiliki kompetensi

dari induk organisasi cabang olahraga terkait dan/atau rujukan

Perangkat Daerah yang membidangi olahraga.

Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui

ekstrakurikuler dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang

membidangi urusan olahraga dan urusan pendidikan.

C. Pelaksanaan Pelatihan dan Bimbingan

94

Dalam klausul ini diatur bahwa pelaksanaan pelatihan dan bimbingan

olahraga pendidikan melalui intrakurikuler dan ekstrakurikuler, harus

sesuai standar nasional dan/atau internasional dengan memperhatikan

usia dan perkembangan peserta didik.

b. Olahraga Prestasi

Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi

dilaksanakan untuk meningkatkan harkat dan martabat Daerah serta

bangsa. Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tersebut,

meliputi: (a) peningkatan kemampuan dan potensi olahragawan; (b)

pencapaian prestasi olahraga tertinggi di tingkat Provinsi dan nasional;

(c) mewujudkan olahragawan Daerah sebagai kekuatan inti

keolahragaan Provinsi dan nasional; dan (d) pembinaan dedikasi dan

loyalitas olahragawan terhadap Daerah dan Provinsi.

Induk organisasi olahraga Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan

pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi di Daerah, sesuai

kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tanggung jawab induk organisasi olahraga Daerah meliputi: (a)

pemassalan, pembibitan, pembinaan dan pengembangan prestasi

olahragawan; (b) pengkoordinasian olahraga prestasi yang dilaksanakan

oleh induk cabang olahraga Daerah; (c) pemberdayaan perkumpulan

dan klub olahraga; dan (d) penyelenggaraan kompetisi dan kejuaraan

secara berjenjang dan berkelanjutan.

Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi harus melibatkan

olahragawan muda potensial hasil pemantauan, pemanduan, dan

pengembangan bakat sebagai proses regenerasi olahragawan Daerah.

Pembinaan dan pengembangan olahragawan muda potensial

memprioritaskan olahragawan muda hasil binaan induk organisasi

cabang olahraga Daerah.

Dalam rangka mendukung pembinaan dan pengembangan olahraga

prestasi, Pemerintah Daerah melaksanakan:

a. fasilitasi pelayanan dan kemudahan olahraga prestasi kepada induk

organisasiolahraga Daerah;

b. pendampingan kepada olahragawan dan pelatih berprestasi untuk

meningkatkan dedikasi dan loyalitas terhadap Daerah dan Provinsi;

95

c. fasilitasi peningkatan kapasitas, kapabilitas, dan profesionalisme

tenaga keolahragaan;

d. pembentukan dan pengembangan sentra pembinaan olahraga

terpadu; dan

e. fasilitasi penyelenggaraan kompetisi olahraga prestasi secara

berjenjang dan berkelanjutan.

Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga melaksanakan

pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi, sesuai kewenangan

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dukungan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi, meliputi:

(a) penyediaan prasarana dan sarana olahraga; (b) pendampingan

program; (c) bantuan pendanaan; dan/atau (c) bentuk lainnya sesuai

kebutuhan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Dukungan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi dalam

bentuk bantuan pendanaan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

tersebut adalah ketentuan perundang-undangan yang mengatur

pemberian hibah dan bantuan sosial, dimana pemberian hibah hanya

dapat dilaksanakan kepada organisasi masyarakat yang telah berbadan

hukum.

Fasilitasi penyelenggaraan kompetisi olahraga secara berjenjang dan

berkelanjutan, dilaksanakan untuk kejuaraan olahraga tingkat Daerah,

Provinsi, nasional, dan internasional berdasarkan penetapan kompetisi

olahraga prestasi dari induk cabang organisasi olahraga dan/atau induk

organisasi olahraga Daerah. Fasilitasi tersebut berbentuk: (a)

pendanaan; (b) sarana dan prasarana; dan (c) sumberdaya manusia.

Untuk fasilitasi pendanaan dalam penyelenggaraan kompetisi olahraga,

maka dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,

yaitu ketentuan perundang-undangan yang mengatur pemberian hibah

dan bantuan sosial, dimana pemberian hibah hanya dapat dilaksanakan

kepada organisasi masyarakat yang telah berbadan hukum.

Dalam rangka operasionalisasi ketentuan mengenai fasilitasi

penyelenggaraan kompetisi olahraga secara berjenjang dan

96

berkelanjutan, maka perlu diatur ketentuan lebih lanjut dengan

Peraturan Wali Kota.

c. Olahraga Rekreasi

Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasidi selenggarakan

untuk: (a) memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani; (b)

meningkatkan kesehatan, kebugaran, dan kualitas hidup masyarakat; (c)

meningkatkan kesenangan atau kegembiraan; (d) membangunan dan

meningkatkan hubungan sosial; dan/atau (e) menggali,

mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional

yang tumbuh berkembang sebagai budaya Daerah.

Perangkat Daerah yang membidangi urusan kesehatan

bertanggungjawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan

olahraga rekreasi untuk memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani,

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanggung jawab

tersebut, meliputi: (a) penyediaan sarana dan prasarana; dan (b)

kegiatan olahraga rutin.

Tanggung jawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan

olahraga rekreasi untuk memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani

berlaku mutatis mutandis untuk unit pelayanan kesehatan yang

diselenggarakan oleh masyarakat.

Pelaksaan kegiatan olahraga rutin di bawah bimbingan atau pelatihan

oleh tenaga keolahragaan berkompeten.

Induk organisasi olahraga rekreasi Daerah bertanggungjawab atas

penyelenggaraan olahraga rekreasi untuk : (a) meningkatkan kesehatan,

kebugaran, dan kualitas hidup masyarakat; (b) meningkatkan

kesenangan atau kegembiraan; (c) membangunan dan meningkatkan

hubungan sosial; dan/atau (d) menggali, mengembangkan,

melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional yang tumbuh

berkembang sebagai budaya Daerah.

Tanggung jawab induk organisasi olahraga rekreasi Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. pendataan, pembibitan, pengembangan, pemassalan, dan

pembinaan olahraga rekreasi, yang dilaksanakan terhadap semua

jenis olahraga rekreasi yang tumbuh dan berkembang di Daerah,

97

baik yang berasal dari budaya Daerah, nasional, maupun serapan

asing.

b. pengkoordinasian dan pemberdayaan olahraga rekreasi masyarakat

yang dilaksanakan oleh organisasi cabang, perkumpulan, dan klub

olahraga rekreasi;

c. penyusunan dan penetapan standard olahraga rekreasi untuk setiap

cabang olahraga rekreasi

d. penggalian, pengembangan, pelestarian, dan pemanfaatan olahraga

tradisional yang tumbuh dan berkembang sebagai budaya Daerah.

Penyelenggaraan olahraga rekreasi yang mengandung risiko terhadap

keselamatan dan kesehatan wajib memenuhi standard serta

menyediakan instruktur atau pemandu yang mempunyai pengetahuan,

keahlian,dan keterampilan sesuai jenis olahraga.

Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembinaan dan pengembangan

olahraga rekreasi, khususnya berkenaan dengan: (a) meningkatkan

kesehatan, kebugaran, dan kualitas hidup masyarakat; (b)

meningkatkan kesenangan atau kegembiraan; (c) membangunan dan

meningkatkan hubungan sosial; dan/atau (d) menggali,

mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional

yang tumbuh berkembang sebagai budaya Daerah, Pemerintah Daerah

memberikan fasilitasi kepada induk organisasi olahraga rekreasi

Daerah.

Fasilitasi kepada induk organisasi olahraga rekreasi Daerah tersebut,

yang dilaksanakan melalui: (a) penyediaan prasarana dan sarana

olahraga; (b) pendampingan program; (c) bantuan pendanaan; (d)

penyusunan standard olahraga rekreasi masyarakat yang bersifat

massal dan olahraga tradisional; dan/atau (e) penyelenggaraan festival

dan invitasi olahraga tradisional yang berjenjang dan berkelanjutan.

Khusus mengenai standardisasi olahraga rekreasi masyarakat yang

bersifat massal dan olahraga tradisional, perlu diberikan penjelasan

bahwa standardisasi olahraga rekreasi masyarakat dapat meliputi

standard sarana dan prasarana, pedoman atau tata cara aktivitas

olahraga, sistem pertandingan, pelatihan, keselamatan, dan hal lainnya

yang diperlukan. Penyusunan standar olahraga tradisional harus

memenuhi sesuai dengan nilai-nilai filosofi olahraga tradisional.

98

Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga dan urusan

kebudayaan, bersama-sama melakukan fasilitasi pembinaan dan

pengembangan olahraga rekreasi masyarakat yang bersifat masal dan

olahraga tradisional, sesuai kewenangan berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Dalam rangka optimalisasi koordinasi pembinaan dan pengembangan

olahraga rekreasi yang bersifat masal dan olahraga tradisional,

Pemerintah Daerah Kota dapat melakukan kerjasama Pemerintah

Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lain, sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kerjasama tersebut diprioritaskan untuk menggali, mengembangkan,

melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional yang tumbuh dan

berkembang sebagai budaya Daerah.

d. Olahraga Berkebutuhan Khusus

Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

Pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus

diselenggarakan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya diri, dan

prestasi.

Induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah

bertanggungjawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan

olahraga berkebutuhan khusus di Daerah.

Tanggung jawab induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus

Daerah tersebut, meliputi pembinaan, pelatihan, dan kompetisi yang

berjenjang dan berkelanjutan.

Dalam rangka pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan

khusus, Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi pembinaan dan

pengembangan olahraga berkebutuhan khusus kepada induk organisasi

olahraga berkebutuhan khusus Daerah.

Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: penyediaan

prasarana dan sarana olahraga; (b) pendampingan program; (c)

bantuan pendanaan; dan/atau (d) kompetisi olahraga berkebutuhan

khusus tingkat Daerah dan nasional.

Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan sosial,

urusan pendidikan, dan urusan kesehatan, bersama-sama

melaksanakan fasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga

99

berkebutuhan khusus, sesuai kewenangan berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Fasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan

khusus kepada induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah

dalam bentuk bantuan pendanaan dilaksanakan sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Daerah dapat membentuk sentra pembinaan olahraga

berkebutuhan khusus untuk meningkatkan kemampuan, potensi, dan

pencapaian prestasi olahraga berkebutuhan khusus tingkat Daerah,

Daerah Provinsi, dan nasional,

Sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus, dapat dibentuk untuk

satu atau beberapa cabang olahraga berkebutuhan khusus.

Pembentukan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus dapat

terpusat atau tersebar sesuai potensi olahraga dan kebutuhan olahraga

berkebutuhan khusus di Daerah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sentra pembinaan

olahraga berkebutuhan khusus ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.

Organisasi olahraga berkebutuhan khusus yang ada dalam masyarakat

dapat membentuk sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus di

Daerah.

Pembentukan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus oleh

organisasi olahraga berkebutuhan khusus yang ada dalam masyarakat

mengacu pada ketentuan pembentukan sentra pembinaan olahraga

berkebutuhan khusus oleh Pemerintah Daerah .

e. Olahraga Aparatur Sipil Negara

Dalam klausul ini diatur bahwa pembinaan dan pengembangan

olahraga Aparatur Sipil Negara diselenggarakan untuk meningkatkan

kesehatan jasmani dan rohani, produktivitas kerja, disiplin, jiwa korsa,

solidaritas, dan kebersamaan Aparatur Sipil Negara di Daerah, serta

memberikan keteladanan bagi masyarakat.

Pembinaan dan pengembangan olahraga Aparatur Sipil Negara,

dilaksanakan melalui: (a) penyediaan prasarana dan sarana; (b) kegiatan

olahraga rutin; (c) pelatihan; (d) tes kebugaran jasmani; (e) kompetisi

berjenjang dan berkelanjutan; dan (f) fasilitasi pengembangan prestasi

olahraga.

100

Penyediaan prasarana dan sarana serta kegiatan olahraga rutin

sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dilaksanakan oleh setiap

Perangkat Daerah. Pelatihan sebagaimana dimaksud huruf c dilaksanakan

oleh tenaga keolahragaan yang berkompeten. Kompetisi yang berjenjang

dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada huruf e, meliputi tingkat

Daerah dan nasional. Fasilitasi pengembangan prestasi olahraga

sebagaimana dimaksud f, dilaksanakan untuk mendorong keikutsertaan

Aparatur Sipil Negara di Daerah yang memiliki prestasi olahraga dalam

kejuaraan olahraga tingkat Daerah, Provinsi, dan nasional.

Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan

kepegawaian dan/atau organisasi Aparatur Sipil Negara di Daerah

bersama-sama melaksanakan pembinaan dan pengembangan olahraga

Aparatur Sipil Negara, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Untuk pelaksaanan ketentuan tersebut seyogianya diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Wali Kota.

f. Tenaga Keolahragaan

Dalam bagian ini diatur ketentuan mengenai pembinaan dan

pengembangan tenaga keolahragaan, serta penggunaan tenaga

keolahragaan asing,

g. Pembinaan dan Pengembangan Tenaga Keolahragaan

Dalam ketentuan ini diatur bahwa Pemerintah Daerah

menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan tenaga keolahragaan

guna pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, serta untuk

meningkatkan kemampuan, potensi, dan prestasi olahragawan Daerah.

Tenaga keolahragaan tersebut, meliputi: (a) guru olahraga; (b)

pelatih; (c) instruktur atau pemandu; (d) wasit; (e) juri; (f) manajer; (g)

promotor; (h) administrator; (i) penyuluh; (j) tenaga medis dan para medis;

(k) ahli gizi; (l) ahli biomekanika; (m) psikolog; dan (n) tenaga lain yang

terkait dengan keolahragaan.

Pembinaan dan pengembangan tenaga keolahragaan dilaksanakan

melalui: (a) fasilitasi pembinaan dan/atau pelatihan; (b) fasilitasi jaminan

keselamatan; dan (c) peningkatan karier, pelayanan kesejahteraan,

bantuan hukum, dan/atau penghargaan.

101

h. Penggunaan Tenaga Keolahragaan Asing

Dalam ketentuan ini diatur bahwa Pemerintah Daerah dapat

menggunakan tenaga keolahragaan asing guna mendukung upaya

pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, serta untuk

meningkatkan kemampuan, potensi, dan prestasi olahragawan Daerah,

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penggunaan tenaga keolahragaan asing sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), dapat dilaksanakan pada: (a) satuan pendidikan dasar; (b)

satuan pendidikan anak usia dini; (c) sentra pembinaan olahraga

berkebutuhan khusus Daerah; dan (d) tempat pelatihan tenaga

keolahragaan Daerah.

Tenaga keolahragaan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2), harus memenuhi kriteriameliputi: (a) memiliki kualifikasi dan

sertifikat kompetensi; (b) mendapat rekomendasi dari induk organisasi

cabang olahraga terkait dan/atau induk organisasi olahraga Daerah; (c)

mendapatkan izin dari Instansi terkait sesuai ketentuan perundang-

undangan; dan (d) memiliki kesanggupan untuk melakukan alih ilmu

pengetahuan dan teknologi kepada tenaga keolahragaan Daerah.

i. Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Olahraga

Dalam bagian ini diatur ketentuan mengenai Pembinaan dan

pengembangan organisasi olahraga di Daerah, yang meliputi: (a)

penyediaan prasarana dan sarana; (b) pendampingan program; dan/atau

(c) bantuan pendanaan.

Penyediaan prasarana dan sarana serta pendampingan program

dilaksanakan untuk mendukung penyelenggaraan kompetisi/turnamen,

pelatihan, pendidikan, dan penataran, yang dilaksanakan oleh organisasi

olahraga Daerah, serta untuk peningkatan mutu organisasi. Sedangkan

untuk pemberian bantuan pendanaan kepada organisasi olahraga di

Daerah ditujukan untuk: (a) penyelenggaraan kompetisi/turnamen; (b)

pelatihan, pendidikan, dan penataran; (c) penyediaan fasilitas sarana

olahraga; dan/atau (d) peningkatan mutu organisasi.

Berkenaan dengan pemberian bantuan pendanaan, maka

pelaksanaannya harus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

khususnya berkenaan dengan pemberian hibah kepada organisasi

masyarakat.

102

10. Penyediaan Prasarana dan Sarana

a. Prasarana

1) Umum

Dalam bagian ini diatur ketentuan bahwa Pemerintah Daerah dan

masyarakat menyediakan prasarana olahraga guna mendukung upaya

pembinaan dan pengembangan olahraga serta budaya olahraga, yang

dilaksanakanmelalui proses perencanaan, pengadaan, pemanfaatan,

pemeliharaan, dan pengawasan. Penyediaan prasarana olahraga

tersebut, dalam bentuk:

a. pembangunan prasarana olahraga;

b. rekayasa teknis pada prasarana infrastruktur Daerah;’dan

c. penyediaan fasilitas umum olahraga

Penyediaan prasarana olahraga mengacu pada standard dan

kebutuhan Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,

serta potensi keolahragaan Daerah.

Selanjutnya diatur pula bahwa dunia usaha yang bergerak di

bidang pembangunan perumahan dan permukiman wajib menyediakan

prasarana olahraga sebagai fasilitas umum sesuai standar kebutuhan

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Prasarana

olahraga tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai aset

atau milik Pemerintah Daerah. Terhadap penyerahan prasarana olahraga,

maka diamanatkan kepada Pemerintah Daerah melaporkan penyerahan

prasarana olahraga dari dunia usaha tersebut kepada Pemerintah Daerah

Provinsi.

Kemudian diatur pula bahwa setiap orang dan/atau Badan wajib

menjaga keberadaan dan fungsi prasarana olahraga sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pembangunan Prasarana Olahraga

Dalam ketentuan ini diatur bahwa pembangunan prasarana

olahraga, meliputi prasarana khusus olahraga skala Daerah, Kecamatan,

dan Kelurahan. Pembangunan prasarana olahraga dilaksanakan oleh

Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga serta urusan

permukiman dan perumahan.

103

Berkenaan dengan prasarana olahraga skala Daerah,

Kecamatan, dan Kelurahan, seyogianya diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Wali Kota, yang paling sedikit mengatur tentang prasarana

minimal untuk prasarana olahraga skala Daerah, Kecamatan, dan

Kelurahan.

Rekayasa Teknis Pada Prasarana Infrastruktur Daerah

Dalam ketentuan ini diatur hal-hal sebagai berikut:

Rekayasa teknis pada prasarana infrastruktur Daerah dilaksanakan

untuk memenuhi kebutuhan kegiatan olahraga masyarakat.

Infrastruktur tersebut, meliputi infrastruktur jalan dan sumber daya

air, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk digunaka,

berdasarkan ketentuan peraturan undang-undangan.

Pemenuhan kebutuhan olahraga masyakat pada infrastruktur Daerah

harus memperhatikan fungsi utama infrastruktur serta keselamatan,

keamanan, dan kenyamanan pengolahraga dan masyarakat

pengguna infrastruktur.

Perangkat Daerah yang membidangi urusan infrastruktur jalan dan

urusan sumber daya air melaksanakan rekayasa tehnis infrastruktur

untuk memenuhi kebutuhan kegiatan olahraga masyarakat.

Untuk memberikan pedoman teknis terhadap pengakomodasian

kebutuhan olahraga masyarakat pada infrastruktur Daerah, maka

perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.

b. Sarana

Dalam ketentuan ini diatur hal-hal sebagai berikut:

Pemerintah Daerah memfasilitasi pembinaan dan pengembangan

industri sarana olahraga di Daerah. Fasilitasi pembinaan dan

pengembangan industri sarana olahraga di Daerah tersebut

dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan

olahraga, urusan koperasi, urusan usaha mikro, kecil dan menengah,

serta urusan perindustrian dan perdagangan.

Untuk memperjelas ketentuan tersebut maka perlu adanya Ketentuan

lebih lanjut fasilitas pembinaan dan pengembangan industri sarana

olahraga di Daerah yang diatur dalam Peraturan Wali Kota.

104

Setiap orang atau badan usaha yang memproduksi sarana olahraga

wajib memperhatikan standar teknis sarana olahraga dari cabang

olahraga yang bersangkutan.

Setiap sarana olahraga tersebut yang diproduksi, diperjualbelikan,

dan/atau disewakan untuk masyarakat umum baik untuk pelatihan

maupun kompetisi wajib memenuhi standar kesehatan dan keselamatan

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

1) Industri Olahraga

Dalam bagian ini diatur ketentuan sebagai berikut:

Masyarakat dapat membentuk industri olahraga guna mendukung

kemajuan keolahragaan di Daerah dengan memperhatikan

kesejahteraan pelaku olahraga dan kemajuan olahraga. Pembentukan

industri olahraga tersebut wajib memperhatikan tujuan keolahragaan

nasional serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan. Adapun bentuk

industri olahraga, yang bergerak di bidang: (a) prasarana dan sarana

yang diproduksi, diperjualbelikan, dan/atau disewakan untuk

masyarakat; dan (b) jasa penjualan kegiatan cabang olahraga sebagai

produk utama yang dikemas secara profesional.

Pemerintah Daerah mendorong perkembangan industri olahraga untuk

mendukung kemajuan pembinaan dan pengembangan keolahragaan.

Dorongan Pemerintah Daerah dilaksanakan melalui pola kemitraan

dengan badan usaha industri olahraga yang dibentuk masyarakat sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pemerintah

Daerah juga diberikan wewenang untuk memberikan kemudahan

pembentukan sentra-sentra pembinaan dan pengembangan industri

olahraga, serta menfasilitasi perwujudan kemitraan pelaku industri

olahraga dengan media massa dan media lainnya.

11. Penyelenggaraan Kejuaraan Olahraga

a. Umum

Dalam ketentuan ini diatur bahwa :

Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat menyelenggarakan kejuaraan

olahraga di Daerah dalam rangka membudayakan olahraga, menjaring

bibit olahragawan potensial, meningkatkan kesehatan dan kebugaran,

meningkatkan prestasi olahraga, memelihara persatuan dan kesatuan

bangsa, serta mendukung peningkatan ketahanan nasional.

105

Penyelenggaraan kejuaraan olahraga tersebut wajib memperhatikan

tujuan keolahragaan serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan.

Penyelenggaraan kejuaraan olahraga, meliputi:

a. kejuaraan olahraga tingkat Daerah, provinsi, nasional, dan

internasional; dan

b. pekan olahraga tingkat daerah.

Penyelenggaraan kejuaraan olahraga wajib memenuhi persyaratan

teknis kecabangan, kesehatan, serta keselamatan sesuai standard dan

perizinan terkait berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Penyelenggara kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung

massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi

olahraga yang bersangkutan dan memenuhi persyarakat, sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyelenggara kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung

massa wajib memiliki penanggung jawab kegiatan.

Setiap penonton dalam kejuaraan olahraga wajib menjaga, menaati,

dan/atau mematuhi peraturan perundangan mengenai ketertiban dan

keamanan.

12. Kejuaraan Olahraga Tingkat Daerah, Provinsi, Nasional, Dan

Internasional

Ketentuan ini mengatur bahwa kejuaraan olahraga tingkat Daerah,

Provinsi, nasional, dan internasional dilaksanakan induk organisasi

olahraga, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Daerah memfasilitasi pelaksanaan kejuaraan olahraga

dalam hal kegiatan kejuaraan dilaksanakan di Daerah.

13. Pekan Olahraga Tingkat Daerah

Ketentuan ini mengatur, bahwa Pemerintah Daerah bertanggung

jawab atas pelaksanaan penyelenggaraan pekan olahraga tingkat Daerah

yang dilaksanakan seluruhnya di Daerah.

Pekan olahraga tingkat Daerah sebagaimana, berbentuk: (a) pekan

olahraga pelajar; (b)pekan olahraga pelajar berkebutuhan khusus; (c) pekan

olahraga berkebutuhan khusus; (d) pekan olahraga aparatur sipil negara

106

tingkat Daerah; (e) Pekan Olahraga Daerah; dan (e) pekan olahraga tingkat

wilayah dan Daerah lainnya sesuai kebutuhan.

Tanggung jawab Pemerintah Daerah atas penyelenggaraan pekan

olahraga Daerah dilaksanakan berdasarkan penetapan Pemerintah Pusat

atau Pemerintah Daerah Provinsi mengenai penunjukan Daerah sebagai

penyelenggara, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

14. Standardisasi, Akreditasi, Dan Sertifikasi Olahraga

Dalam ketentuan ini diatur bahwa Pemerintah Daerah menerapkan

standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan di Daerah, sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan standardisasi,

akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan seyogianya diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Wali Kota.

15. Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Keolahragaan

Dalam bagian ini diatur ketentuan bahwa pengembangan IPTek

keolahragaan dilaksanakan untuk memajukan keolahragaan Daerah secara

berkelanjutan, yang dilaksanakan melalui: (a) penelitian; (b) pengkajian; (c)

alih teknologi; (d) sosialisasi; (e) pertemuan ilmiah; dan (f) kerjasama.

Pengembangan IPTek keolahragaan Daerah tersebut dapat dilaksanakan

melalui:

a. lembaga penelitian dan pengembangan IPTek keolahragaan Daerah

yang dibentuk Pemerintah Daerah sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan; dan/atau

b. kerjasama dengan lembaga atau tenaga ahli dalam bidang ilmu

keolahragaan.

Untuk operasionalisasi ketentuan mengenai pengembangan IPTek

keolahragaan, perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.

16. Peran Masyarakat dan Dunia Usaha

a. Umum

Dalam ketentuan ini diatur bahwa masyarakat dan dunia usaha

memiliki peran dalam penyeleggaraan keolahragaan di Daerah. Peran

masyarakat dan dunia usaha meliputi hak, kewajiban, dan

tanggungjawab.

107

b. Peran Masyarakat

Hak

Setiap orang dalam penyelenggaraan keolahragaan berhak: (a)

melakukan kegiatan olahraga; (b) memperoleh pelayanan dalam

kegiatan olahraga; (c) memilih dan mengikuti jenis atau cabang

olahraga sesuai bakat dan minat; (d) memperoleh pengarahan,

dukungan, bimbingan, pembinaan dan pengembangan dalam

keolahragaan; (e) menjadi pelaku olahraga; (f) mengembangkan

industri olahraga; (g) berperan sebagai sumber, pelaksana, tenaga

sukarela, penggerak, pengguna hasil, dan/atau pelayan kegiatan

olahraga; dan (h) turut serta mendorong pembinaan dan

pengembangan keolahragaan.

Setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental

mempunyai hak untukmemperoleh pelayanan dalam kegiatan

olahraga khusus.

Setiap orang tua mempunyai hak mengarahkan, membimbing,

membantu, dan mengawasi serta memperoleh informasi tentang

perkembangan keolahragaan anaknya.

Masyarakat mempunyai hak untuk berperan dalam perencanaan,

pengembangan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan

keolahragaan.

Kewajiban

Setiap orang wajib berperan dalam kegiatan olahraga dan

memelihara prasarana dan sarana olahraga serta lingkungan.

Dalam penyelenggaraan olahraga, setiap orang tua wajib

memberikan dukungan kepada anak untuk aktif berpartisipasi dalam

olahraga serta mengawasi aktifitas olahraga anak sesuai taraf

pertumbuhan, perkembangan, bakat, dan minat anak.

Kewajiban orang tua tersebut berlaku mutatis mutandis untuk anak

yang diasuh dan/atau di bawah tanggung jawab wali anak atau

pimpinan/ketua lembaga pendidikan yang menyelenggarakan

pemondokan atau asrama terhadap peserta didik.

Dalam penyelenggaraan keolahragaan, masyarakat wajib: (a)

memberikan dukungan sumberdaya dalam penyelenggaraan

keolahragaan; (b) memperhatikan tujuan keolahragaan nasional

108

serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan; dan (c) membina dan

mengembangkan olahraga tradisional.

Tanggung Jawab

Tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan keolahragaan,

meliputi:

a. perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan

pengawasan atas prasarana olahraga; dan

b. pendanaan keolahragaan.

17. Peran Dunia Usaha

a. Hak

Badan usaha mempunyai hak untuk: (a) berperan dalam perencanaan,

pengembangan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan keolahragaan;

(b) mendirikan organisasi cabang olahraga dengan keanggotaan berasal

dari karyawan/pekerja atau masyarakat; (c) membuat program bapak

asuh bagi olahragawan dan/atau cabang olahraga Daerah yang

berprestasi; dan (d) menyelenggarakan pertandingan olahraga untuk

karyawan/pekerja atau masyarakat, sesuai syarat, prosedur, dan

standard berdasarkan peraturan perundang-undangan.

b. Kewajiban

Dalam penyelenggaraan keolahragaan, dunia usaha wajib: (a)

menyediakan prasarana dan sarana olahraga untuk karyawan atau

pekerja; (b) menyelenggarakan kegiatan olahraga secara rutin untuk

karyawan atau pekerja; (c) memberikan kesempatan kepada

masyarakat atau satuan pendidikan sekitar untuk mempergunakan

prasarana dan sarana olahraga yang berada di lingkungan badan

usaha; (d) memberikan dukungan sumberdaya dalam penyelenggaraan

keolahragaan; (e) memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta

prinsip penyelenggaraan keolahragaan; dan (f) membina dan

mengembangkan olahraga tradisional.

c. Tanggung Jawab

Tanggung jawab dunia usaha dalam penyelenggaraan keolahragaan

mencakup perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan

pengawasan atas prasarana olahraga; serta pendanaan keolahragaan.

109

18. Koordinasi

Dalam ketentuan ini diatur bahwa, Pemerintah Daerah

melaksanakan koordinasi penyelenggaraan keolahragaan dengan

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, induk organisasi

keolahragaan, dan badan usaha di Daerah. Koordinasi penyelenggaraan

keolahragaan tersebut dilaksanakan oleh Perangkat Daerah terkait, sesuai

kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

19. Kerjasama

Dalam ketentuan ini diatur bahwa, Pemerintah Daerah

mengembangkan kerjasama dalam rangka penyelenggaraan keolahragaan,

sesuai ketentuan perundang-undangan. Kerjasama tersebut, dilakukan

dengan: (a) Pemerintah Pusat; (b) Pemerintah Daerah Provinsi; (c)

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lain; (d) induk organisasi

keolahragaan; (e) lembaga pendidikan; (f) badan usaha; (g) masyarakat;

dan/atau (h) pihak luar negeri. Bentuk kerjasama berupa: (a) bantuan

pendanaan; (b) bantuan tenaga ahli; (c) bantuan prasarana dan sarana; (d)

pendidikan dan pelatihan; dan (e) kerjasama lain di bidang keolahragaan.

20. Sistem Informasi Keolahragaan

Dalam ketentuan ini diatur bahwa, Pemerintah Daerah membentuk

sistem informasi keolahragaan yang terintegrasi dengan sistem informasi

keolahragaan nasional dan Provinsi. Sistem informasi keolahragaan, paling

kurang meliputi: (a) perencanaan keolahragaan daerah; (b) potensi

olahraga daerah; (c) data olahragawan; (d) tenaga keolahragaan; dan (e)

prasarana dan sarana.

Perangkat Daerah terkait melaksanakan pembentukan sistem

informasi keolahragaan dan fasilitasi pembentukan sistem informasi

keolahragaan Kabupaten/Kota yang terintegrasi dengan sistem informasi

Daerah.

21. Penghargaan

Dalam ketentuan ini diatur bahwa, Pemerintah Daerah memberikan

penghargaan kepada organisasi olahraga, perorangan, lembaga swadaya

masyarakat, lembaga pendidikan, dan badan usaha yang berprestasi serta

memiliki kontribusi terhadap keberhasilan penyelenggaran keolahragaan.

110

Penghargaan kepada perorangan, diprioritaskan kepada: (a)

olahragawan perseorangan; (b) olahragawan yang tergabung dalam regu

atau tim; (c) pelatih; (d) official; (e) mantan olahragawan yang telah

berprestasi dan/atau memberikan kontribusi terhadap perkembangan

keolahragaan Daerah; dan (f) tokoh olahragawan.

Penghargaan olah raga diberikan dalam bentuk pemberian

kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa,

tanda kehormatan, warga kehormatan, jaminan hari tua, atau bentuk

penghargaan lain yang bermanfaat bagipenerima penghargaan, sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal pemberian penghargaan kepada olahragawan yang

tergabung dalam satu regu atau tim, maka bentuk dan/atau besaran

penghargaan mengacu pada pola pemberian penghargaan kepada

olahragawan perseorangan.

22. Pendanaan

Dalam ketentuan ini diatur hal-hal sebagai berikut:

Pemerintah Daerah wajib menyediakan pendanaan keolahragaan

berdasarkan prinsip berkecukupan dan berkelanjutan.

Sumber pendanaan keolahragaan, bersumber dari: (a) Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara; (b) Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah; (c) hasil kerjasama Pemerintah Daerah; (d) tanggung jawab

sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR); (e)

bantuan luar negeri yang tidak mengikat; dan (f) sumber lain yang sah

dan tidak mengikat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pengelolaan dana keolahragaan dilaksanakan berdasarkan prinsip

keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

23. Sanksi Administratif

Ketentuan ini mengatur penerapan sanksi administrasi kepada

Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam

Perda. Sanksi administrasi, berupa: (a) teguran lisan; (b) teguran tertulis; (c)

penghentian sementara kegiatan; (d) penghentian tetap kegiatan; (e)

pencabutan sementara izin; (f) pencabutan tetap izin; (g) denda

111

administratif; dan/atau (h) sanksi administratif lain sesuai dengan

ketentuanperaturan perundang-undangan.

Pengenaan sanksi administrasi, dilaksanakan oleh Perangkat

Daerah terkait sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun tata cara pengenaan sanksi administrasi, diatur dengan

Peraturan Wali Kota. Hal ini diperlukan mengingat penerapan sanksi

administrasi berkaitan dengan lingkup tugas masing-masing Perangkat

Daerah dan seringkali bersifat tentatif sesuai perkembangan peraturan

perundang-undangan dan peraturan Pemerintah Pusat di bidang

bersangkutan.

24. Ketentuan Pidana

Dalam ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

Dalam hal pelanggaran administratif terdapat pelanggaran pidana, maka

kepadanya dikenakan sanksi pidana di bidang lingkungan hidup,

perindustrian, perdagangan, dan/atau ketenagakerjaan, yang diatur

dalam Peraturan Daerah tersendiri.

Dalam penyelenggaraan keolahragaan, setiap orang dikenakan sanksi

pidana, apabila: (a) menyelenggarakan kejuaraan olahraga yang tidak

memenuhi kewajiban yang diatur dalam Perda; (b) apabila perbuatan

akibat tidak memenuhi kewajiban yang diatur dalam Perda menimbulkan

kerusakandan/atau gangguan keselamatan pihak lain; (c) tidak menjaga,

menaati, dan/atau mematuhi peraturan perundangan mengenai

ketertiban dan keamanan; dan (d) mengalihfungsikan atau meniadakan

prasarana olahraga yang telah ada, baik sebagian maupun seluruhnya

tanpa izin.

Pengenaan sanksi pidana penyelenggaraan keolahragaan dilaksanakan

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

25. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian

Dalam ketentuan ini diatur, bahwa Pemerintah Daerah melakukan

pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan

keolahragaan sesuai kewenangan, berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian

terhadap penyelenggaraan keolahragaan, dilaksanakan oleh Perangkat

Daerah yang membidangi olahraga.

112

Sekretaris Daerah mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan,

pengawasan, dan pengendalian terkait penyelenggaraan keolahragaan oleh

Perangkat Daerah terkait, dan induk organisasi keolahragaan di Daerah.

26. Ketentuan Penutup

Mengatur hal-hal sebagai berikut:

a. Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah harus sudah ditetapkan paling

lambat terhitung 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah diundangkan.

Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terdapat rentang waktu yang

terlalu lama antara berlakunya Peraturan Daerah dengan ditetapkannya

peraturan pelaksana Peraturan Daerah.

b. Datum berlakunya Peraturan Daerah; dan

c. Perintah untuk pengundangan Peraturan Daerah dengan

penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Sukabumi.

113

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mengingat permasalahan keolahragaan di Kota Sukabumi semakin

kompleks dan berkaitan dengan dinamika sosial, ekonomi serta budaya

masyarakat dan tuntutan perubahan global, mala Pemerintah Kota

Sukabumi harus segera menyusun Raperda tentang Penyelenggaraan

Keolahragaan, dengan memperhatikan berbagai aspek secara

menyeluruh, serta adaptif terhadap perkembangan olahraga dan

masyarakat. Dalam penyusunan Raperda Kota Sukabumi tentang

Penyelenggaraan Keolahragaan, hal yang harus mendapat perhatian

adalah mengenai urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota

Sukabumi, yang harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-

undangan.

2. Pertimbangan yang menjadi dasar filosofis, sosiologis dan yuridis

pembentukan Raperda Kota Sukabumi tentang Penyelenggaraan

Keolahragaan adalah dalam rangka mendukung dan meningkatkan

kualitas masyarakat yang memiliki kompetensi, daya saing, serta

semangat dan daya juang yang tinggi, perlu dilakukan upaya

pembangunan di bidang keolahragaan sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari pembangunan sumberdaya manusia Kota Sukabumi.

Selain itu, untuk melaksanakan pembangunan di bidang keolahragaan,

perlu dilakukan pengaturan, pembinaan, pengembangan, pelaksanaan dan

pengawasan, serta harmonisasi, sinkronisasi dan koordinasi

penyelenggaraan keolahragaan guna meningkatkan budaya berolahraga

dan prestasi olahraga daerah untuk tingkat provinsi, nasional dan

internasional.

B. Saran

1. Pembentukan Peraturan Daerah tidak hanya terikat pada asas legalitas,

tetapi perlu dilengkapi dengan hasil penelitian yang mendalam terhadap

subjek dan objek hukum yang hendak diatur.

2. Peraturan Daerah harus dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan, agar

dalam implementasinya tidak mengalami kendala.

114

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan

Peraturan Kebijakan, Makalah pada Pidato Dies Natalis PTIK ke 46,

Jakarta, 1992

----------------------------, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Studi Analisis mengenai Keputusan

Presiden yang Berfungsi Pengaturan, Jakarta, 1990

B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Hukum, Mandar Maju, Bandung 1996

--------------------, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,

2000

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. IND-HILL.CO,

Jakarta, 1992.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara

Indonesia, Alumni, Bandung, 1993

Darwin Ginting, Hukum Kepemilikan Atas Tanah (Hak Menguasai Negara dalam

Sistem Hukum Pertanahan Indonesia), Ghalia Indonesia, Bogor, 2010

Eni Rohyani, “Implikasi Hukum dari Penyalahgunaan Wewenang oleh Pemerintah

Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan,” (Desertasi) Program Doktor

Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2009

Hamzah Halim, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah,

Kencana, Jakarta, 2009

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Raja Grafindo,

Jakarta, 2008

J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties Grandbegrippen uit de Rechtstheori (Refleksi

tentang Hukum), terjemahan B. Arief Sidharta, 1996

LJ Van Appeldorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), Pranadya

Paramitha, Cet. Ke-18, 1981

Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES,

Jakarta, 2006

Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan

Filsafat Hukum B. Arief Sidharta, PT Refika Aditama, Bandung, 2009

115

Nonet philippe dan Philip Selznick, Law & Society in Transition: Toward

Responsive Law, 1978, Alih bahasa oleh Rafael Edy Bosco, Hukum

Responsif, Pilihan di masa transisi

Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan Keempat, Citra

Aditya Bakti, Bandung 1990

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (sebuah Sintesa Hukum Indonesia), Genta

Publishing, Yogyakarta, 2009

Syahran Basah, Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 2002.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Pers, Jakarta

1982

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumi,

Bandung, 1991

Makalah :

Kajian Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam

Mendukung Pembangunan Nasional, Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Tahun

2005.

116

LAMPIRAN

117

RANCANGAN

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

NOMOR

TENTANG

PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALI KOTA SUKABUMI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung dan meningkatkan

kualitas masyarakat yang memiliki kompetensi, daya saing,

serta semangat dan daya juang yang tinggi, perlu dilakukan

upaya pembangunan di bidang keolahragaan sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

sumberdaya manusia Kota Sukabumi;

b. bahwa untuk melaksanakan pembangunan di bidang

keolahragaan sebagaimana dimaksud pada pertimbangan

huruf a perlu dilakukan pengaturan, pembinaan,

pengembangan, pelaksanaan dan pengawasan, serta

harmonisasi, sinkronisasi dan koordinasi penyelenggaraan

keolahragaan guna peningkatan budaya berolahraga dan

prestasi olahraga Daerah untuk tingkat provinsi, nasional

dan internasional;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan

Daerah tentang Penyelenggaraan Keolahragaan;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 14 Agustus 1950) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 tentang Pengrubahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17 Tahun 1950 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (Lembaran Negara Republik

118

Indonesia Tahun 2005 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4535);

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4702);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pekan dan Kejuaraan Olahraga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4703);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4704);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Peraturan Pelaksanaan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015 );

12. Peraturan Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2015 Nomor …… Seri ….., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor ……..);

13. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Kota Sukabumi (Lembaran Daerah Kota Sukabumi Tahun 2008 Nomor 2);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SUKABUMI

dan

WALI KOTA SUKABUMI

119

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN

KEOLAHRAGAAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu

Pengertian

Pasal 1

1. Daerah Provinsi adalah Daerah Provinsi Jawa Barat.

2. Pemerintah Daerah Provinsi adalah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.

3. Daerah adalah Kota Sukabumi.

4. Pemerintah Daerah Kota adalah Pemerintah Daerah Kota Sukabumi.

5. Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

6. Wali Kota adalah Wali Kota Jawa Barat.

7. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

8. Penyelenggaraan Keolahragaan adalah proses sistematik yang melibatkan berbagai aspek keolahragaan dan pemangku kepentingan secara terpadu dan berkelanjutan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi dan pengawasan dalam rangka mencapai tujuan keolahragaan.

9. Keolahragaan adalah segala aspek yang berkaitan dengan olahraga yang memerlukan pengaturan, pendidikan, pelatihan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan.

10. Olahraga adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.

11. Pelaku Olahraga adalah setiap orang dan/atau kelompok orang yang terlibat secara langsung dalam kegiatan olahraga yang meliputi pengolahraga, pembina olahraga, dan tenaga keolahragaan.

12. Pengolahraga adalah orang yang berolahraga dalam usaha mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.

13. Olahragawan adalah pengolahraga yang mengikuti pelatihan secara teratur dan kejuaraan dengan penuh dedikasi untuk mencapai prestasi.

14. Guru Olahraga adalah pengajar pada satuan pendidikan yang memiliki pengetahuan, keahlian dan kemampuan di bidang olahraga untuk melaksanakan proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang dirancang guna

120

meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan prilaku hidup sehat dan aktif, sikap sprotif, dan kecerdasan emosi pelajar.

15. Pelatih adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk mempersiapkan fisik dan mental olahragawan maupun kelompok olahragawan.

16. Pembinaan dan pengembangan olahraga adalah usaha sadar yang dilakukan secara sistematis untuk mencapai tujuan keolahragaan.

17. Tenaga Keolahragaan adalah setiap orang yang memiliki kualifikasi dan sertifikat kompetensi dalam bidang olahraga.

18. Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah termasuk dunia usaha dan dunia industri yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang keolahragaan.

19. Perencanaan Keolahragaan adalah rangkaian kegiatan yang sistematik, terukur, terpadu, bertahap, berjenjang, dan berkelanjutan dalam rangka mencapai tujuan keolahragaan.

20. Olahraga Pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani.

21. Olahraga Prestasi adalah olahraga yang dilaksanakan untuk membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.

22. Olahraga Rekreasi adalah olahraga yang dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan, kebugaran, dan kegembiraan.

23. Olahraga Tradisional adalah olahraga yang merupakan warisan tradisi dan budaya masyarakat Daerah yang bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran, dan pengembangan hubungan sosial.

24. Olahraga Aparatur Sipil Negara adalah olahraga yang diselenggarakan untuk meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani, produktivitas kerja, disiplin, jiwa korsa, solidaritas, dan kebersamaan Aparatur Sipil Negara di Daerah, serta memberikan keteladanan bagi masyarakat.

25. Prestasi adalah hasil upaya maksimal yang dicapai olahragawan atau kelompok olahragawan dalam kegiatan olahraga.

26. Penghargaan Olahraga adalah pengakuan atas prestasi di bidang olahraga yang diwujudkan dalam bentuk material dan/atau nonmaterial.

27. Prasarana Olahraga adalah tempat atau ruang termasuk lingkungan yang digunakan untuk kegiatan olahraga dan/atau penyelenggaraan keolahragaan.

121

28. Sarana Olahraga adalah peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk kegiatan olahraga.

29. Organisasi Olahraga adalah sekumpulan orang yang menjalin kerjasama dengan membentuk organisasi untuk penyelenggaraan olahraga, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

30. Induk Organisasi Olahraga Daerah adalah organisasi olahraga yang membina, mengembangkan, dan mengkoordinasikan satu cabang/jenis olahraga atau gabungan organisasi cabang olahraga dari satu jenis olahraga di Daerah.

31. Kejuaraan Olahraga adalah kegiatan pertandingan/perlombaan yang memperebutkan gelar juara untuk 1 (satu) jenis cabang olahraga (single event).

32. Pekan Olahraga adalah suatu kegiatan pertandingan/perlombaan olahraga yang memperebutkan gelar juara untuk beberapa cabang olahraga.

33. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, kelompok masyarakat, atau badan hukum.

34. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Keolahragaan yang selanjutnya disebut pengembangan IPTek keolahragaan adalah peningkatan kualitas dan kuantitas pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk peningkatan fungsi, dan manfaat bagi kegiatan keolahragaan.

Bagian Kedua

Fungsi dan Tujuan

Paragraf 1

Fungsi

Pasal 2

Penyelenggaraan keolahragaan difungsikan untuk

mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, sosial,

membentuk watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat,

serta menjadi bagian strategis dalam upaya perwujudan visi dan

misi pembangunan Daerah.

Paragraf 2

Tujuan

Pasal 3

Tujuan penyelenggaraan keolahragaan adalah untuk:

a. mendukung pencapaian tujuan keolahragaan nasional dan Daerah Provinsi;

b. meningkatkan budaya berolahraga masyarakat yang tercermin dari masyarakat yang mengetahui, memahami, mengerti, melaksanakan dan menikmati manfaat olahraga;

c. melestarikan warisan budaya dan tradisi Daerah di bidang olahraga; dan

d. memantapkan daya saing Daerah dalam kompetisi olahraga lingkup Daerah Provinsi, nasional dan internasional.

122

Bagian Ketiga

Prinsip

Pasal 4

Penyelenggaraan keolahragaan dilaksanakan dengan prinsip:

a. demokratis, tidak diskriminatif, dan menjunjung tinggi nilai keagamaan, nilai budaya, dan kemajemukan masyarakat;

b. keadilan sosial dan nilai kemanusiaan yang beradab;

c. sportivitas dan menjunjung tinggi nilai etika dan estetika;

d. pembudayaan dan keterbukaan;

e. pengembangan kebiasaan hidup sehat dan aktif bagi masyarakat;

f. pemberdayaan peran serta masyarakat;

g. keselamatan dan keamanan; dan

h. keutuhan jasmani dan rohani.

BAB II

TUGAS, WEWENANG, DAN TANGGUNG JAWAB

PEMERINTAH DAERAH KOTA

Bagian Kesatu

Tugas

Pasal 5

Pemerintah Daerah Kota mempunyai tugas untuk

melaksanakan kebijakan nasional dan Daerah Provinsi di

bidang keolahragaan dan mengkoordinasikan pembinaan dan

pengembangan keolahragaan serta melaksanakan

standardisasi dan penjaminan mutu bidang keolahragaan di

Daerah, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Bagian Kedua

Wewenang

Pasal 6

Kewenangan Pemerintah Daerah Kota dalam penyelenggaraan

keolahragaan meliputi pembinaan, pengembangan,

pelaksanaan, dan pengawasan, yang dilaksanakan melalui:

a. pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan pada jenjang pendidikan menengah;

b. penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat Daerah;

c. pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tingkat nasional;

d. pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga tingkat Daerah; dan

e. bentuk lainnya berdasarkan kebutuhan Daerah.

123

Bagian ketiga

Tanggung Jawab

Pasal 7

(1) Pemerintah Daerah Kota bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional dan Daerah Provinsi di Daerah.

(2) Tanggung jawab Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a. pelaksanaan kebijakan nasional dan Daerah Provinsi di bidang keolahragaan;

b. pelaksanaan standardisasi keolahragaan nasional;

c. koordinasi pembinaan dan pengembangan keolahragaan;

d. pelaksanaan kewenangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. penyediaan pelayanan kegiatan keolahragaan sesuai standard pelayanan minimal;

f. pemberian kemudahan penyelenggaraan kegiatan keolahragaan; dan

g. penjaminan mutu penyelenggaraan kegiatan keolahragaan di Daerah.

BAB III

RUANG LINGKUP

Pasal 8

Ruang lingkup penyelenggaraan keolahragaan Daerah,

meliputi:

a. perencanaan;

b. pembinaan dan pengembangan olahraga;

c. tenaga keolahragaan;

d. pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga;

e. penyediaan sarana dan prasarana;

f. industri olahraga;

g. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;

h. pengembangan IPTek keolahragaan;

i. peran masyarakat dan dunia usaha;

j. koordinasi;

k. kerjasama;

l. sistem informasi keolahragaan;

m. penghargaan; dan

n. pendanaan.

BAB IV

KEDUDUKAN

Pasal 9

Peraturan Daerah ini berkedudukan sebagai pedoman dalam:

penyelenggaraan keolahragaan oleh Pemerintah Daerah Kota,

pemangku kepentingan terkait dan masyarakat

124

BAB V

PERENCANAAN

Pasal 10

(1) Pemerintah Daerah Kota menyusun rencana keolahragaan, sesuai rencana keolahragaan nasional dan dokumen perencanaan pembangunan Daerah.

(2) Perencanaan keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan Daerah; dan

b. rencana operasional keolahragaan.

(3) Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling kurang memuat visi, misi, tujuan, sasaran, analisis strategi, arah kebijakan, program, pola pelaksanaan, dan koordinasi pengelolaan keolahragaan.

(4) Rencana operasional keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan sebagai operasionalisasi Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan Daerah.

(5) Perangkat Daerah yang membidangi olahraga menyusun Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan dan rencana operasional keolahragaan berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Perangkat Daerah terkait, lembaga keolahragaan, pemangku kepentingan terkait, dan masyarakat.

(6) Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan dan rencana operasional keolahragaan ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.

BAB VI

PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KEOLAHRAGAAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 11

Pembinaan dan pengembangan keolahragaan, mencakup:

a. olahraga pendidikan;

b. olahraga prestasi;

c. olahraga rekreasi;

d. olahraga berkebutuhan khusus; dan

e. olahraga Aparatur Sipil Negara

Bagian Kedua

Olahraga Pendidikan

Paragraf 1

Umum

Pasal 12

(1) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan diselenggarakan untuk:

a. meningkatkan kualitas fisik dan psikis;

125

b. meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani;

c. membangun karakter yang sportif;

d. keterampilan olahraga; dan

e. mengembangkan minat dan bakat olahraga.

(2) Setiap lembaga pendidikan wajib menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan secara teratur, bertahap, dan berkesinambungan dengan memperhatikan taraf pertumbuhan, perkembangan, bakat, dan minat peserta didik.

(3) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dilaksanakan dan diarahkan sebagai satu yang kesatuan sistematis dan berkesinambungan dengan Sistem Pendidikan Nasional.

(4) Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dapat memanfaatkan olahraga rekreasi dan olahraga tradisional sebagai bagian dari aktifitas pembelajaran.

(5) Pendanaan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan bersumber dari alokasi anggaran sektor pendidikan.

Pasal 13

Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dilaksanakan melalui:

a. intrakurikuler; dan

b. ekstrakurikuler.

Paragraf 2

Intrakurikuler

Pasal 14

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, meliputi:

a. pelaksanaan kurikulum pendidikan olahraga pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini sesuai kurikulum nasional;

b. penetapan kurikulum muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;

c. pembinaan dan pengembangan kompetensi guru olahraga pada satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;

d. fasilitasi penyediaan sarana pelatihan olahraga pada satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;

e. penyelenggaraan proses pembinaan dan pelatihan olahraga pada pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;

126

f. pengembangan dan penerapan IPTek olahraga pendidikan; dan

g. penyelenggaraan, pelaksanaan, dan fasilitasi kejuaraan olahraga bagi peserta didik tingkat Daerah, Daerah Provinsi dan nasional.

(2) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan pendidikan.

Pasal 15

(1) Setiap satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini yang dikelola Pemerintah Daerah Kota dan/atau masyarakat wajib menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler, meliputi:

a. pelaksanaan kurikulum pendidikan olahraga sesuai kurikulum nasional dan kurikulum muatan lokal;

b. penyediaan prasarana dan sarana; dan

c. penerapan IPTek olahraga pendidikan; dan

d. pengembangan potensi pelajar yang memiliki bakat dan/atau prestasi di bidang olahraga.

(2) Satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini harus melakukan kemitraan atau kerjasama dengan masyarakat atau badan usaha pengelola/pemilik prasarana olahraga dalam hal kewajiban penyediaan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, belum dapat dilaksanakan.

(3) Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga oleh satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh guru olahraga yang memiliki kompetensi dan dapat dibantu oleh tenaga keolahragaan yang ditunjuk oleh satuan pendidikan.

Pasal 16

Pembinaan, pengembangan, dan pelaksanaan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler pada satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini yang menyelenggarakan pendidikan di bidang pendidikan agama, berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Kota.

Paragraf 2

Ekstrakurikuler

Pasal 17

(1) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, dilaksanakan di luar kegiatan belajar mengajar olahraga pendidikan, dan diarahkan untuk menumbuhkembangkan prestasi olahraga pada unit dasar.

127

(2) Satuan pendidikan dasar dapat membentuk unit kegiatan olahraga, kelas olahraga, serta unit pembinaan dan pelatihan olahraga dalam melaksanakan ekstrakurikuler olahraga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Penyelenggaraan olahraga pendidikan melalui ekstrakurikuler dilaksanakan oleh guru olahraga yang memiliki kompetensi, disertai pelatih, instruktur atau pemandu olahraga yang memiliki kompetensi dari induk organisasi cabang olahraga terkait dan/atau rujukan Perangkat Daerah yang membidangi olahraga.

(4) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui ekstrakurikuler dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga dan urusan pendidikan.

Paragraf 3

Pelaksanaan Pelatihan dan Bimbingan

Pasal 18

Pelaksanaan pelatihan dan bimbingan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler dan ekstrakurikuler, harus sesuai standar nasional dan/atau internasional dengan memperhatikan usia dan perkembangan peserta didik.

Bagian Kedua

Olahraga Prestasi

Paragraf 1

Umum

Pasal 19

(1) Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi dilaksanakan untuk meningkatkan harkat dan martabat Daerah serta bangsa.

(2) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. peningkatan kemampuan dan potensi olahragawan;

b. pencapaian prestasi olahraga tertinggi di tingkat nasional;

c. mewujudkan olahragawan Daerah sebagai kekuatan inti keolahragaan Daerah Provinsi dan nasional; dan

d. pembinaan dedikasi dan loyalitas olahragawan terhadap Daerah dan Daerah Provinsi.

Paragraf 2

Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan Olahraga

Prestasi

Pasal 20

(1) Induk organisasi olahraga Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga

128

prestasi di Daerah, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Tanggung jawab induk organisasi olahraga Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. pemassalan, pembibitan, pembinaan dan pengembangan prestasi olahragawan;

b. pengkoordinasian olahraga prestasi yang dilaksanakan oleh induk cabang olahraga Daerah;

c. pemberdayaan perkumpulan dan klub olahraga;

d. pengembangan sentra pembinaan olahraga; dan

e. penyelenggaraan kompetisi dan kejuaraan secara berjenjang dan berkelanjutan.

Pasal 21

(1) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus melibatkan olahragawan muda potensial hasil pemantauan, pemanduan, dan pengembangan bakat sebagai proses regenerasi olahragawan Daerah.

(2) Pembinaan dan pengembangan olahragawan muda potensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memprioritaskan olahragawan muda hasil binaan induk organisasi cabang olahraga Daerah.

Paragraf 3

Dukungan Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Prestasi

Pasal 22

(1) Dalam rangka mendukung pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi, Pemerintah Daerah Kota melaksanakan:

a. fasilitasi pelayanan dan kemudahan olahraga prestasi kepada induk organisasi olahraga Daerah;

b. pendampingan kepada olahragawan dan pelatih berprestasi untuk meningkatkan dedikasi dan loyalitas terhadap Daerah dan Daerah Provinsi;

c. fasilitasi peningkatan kapasitas, kapabilitas, dan profesionalisme tenaga keolahragaan;

d. pembentukan dan pengembangan sentra pembinaan olahraga terpadu; dan

e. fasilitasi penyelenggaraan kompetisi olahraga prestasi secara berjenjang dan berkelanjutan.

(2) Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga melaksanakan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

129

Pasal 23

Dukungan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, meliputi:

a. penyediaan prasarana dan sarana olahraga;

b. pendampingan program;

c. bantuan pendanaan; dan/atau

d. bentuk lainnya sesuai kebutuhan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24

Dukungan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi melalui pembentukan dan pengembangan sentra pembinaan olahraga terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d, meliputi sarana dan prasarana olahraga serta upaya pembibitan, pelatihan, pembinaan, dan pengembangan olahragawan unggulan Daerah.

Pasal 25

(1) Fasilitasi penyelenggaraan kompetisi olahraga secara berjenjang dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e, dilaksanakan untuk kejuaraan olahraga tingkat Daerah, Daerah Provinsi, nasional, dan internasional berdasarkan penetapan kompetisi olahraga prestasi dari induk cabang organisasi olahraga dan/atau induk organisasi olahraga Daerah.

(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:

a. pendanaan;

b. sarana dan prasarana; dan

c. sumberdaya manusia.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi penyelenggaraan kompetisi olahraga secara berjenjang dan berkelanjutan, diatur dengan Peraturan Wali Kota.

Bagian Ketiga

Olahraga Rekreasi

Paragraf 1

Umum

Pasal 26

Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi diselenggarakan untuk:

a. memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani;

b. meningkatkan kesehatan, kebugaran, dan kualitas hidup masyarakat;

c. meningkatkan kesenangan atau kegembiraan;

d. membangunan dan meningkatkan hubungan sosial; dan

130

e. menggali, mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional yang tumbuh berkembang sebagai budaya Daerah.

Paragraf 2

Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Rekreasi

Pasal 27

(1) Perangkat Daerah yang membidangi urusan kesehatan bertanggungjawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi untuk memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. penyediaan sarana dan prasarana; dan

b. kegiatan olahraga rutin.

(3) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) berlaku mutatis mutandis untuk unit pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat.

(4) Pelaksaan kegiatan olahraga rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, di bawah bimbingan atau pelatihan oleh tenaga keolahragaan berkompeten.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi untuk memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani, diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Pasal 28

(1) Induk organisasi olahraga rekreasi Daerah bertanggungjawab atas penyelenggaraan olahraga rekreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.

(2) Tanggung jawab induk organisasi olahraga rekreasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. pendataan, pembibitan, pengembangan, pemassalan, dan pembinaan olahraga rekreasi;

b. pengkoordinasian dan pemberdayaan olahraga rekreasi masyarakat yang dilaksanakan oleh organisasi cabang, perkumpulan, dan klub olahraga rekreasi;

c. penyusunan dan penetapan standard olahraga rekreasi; dan

d. penggalian, pengembangan, pelestarian, dan pemanfaatan olahraga tradisional yang tumbuh dan berkembang sebagai budaya Daerah.

Pasal 29

Penyelenggaraan olahraga rekreasi yang mengandung risiko terhadap keselamatan dan kesehatan wajib memenuhi standard

131

serta menyediakan instruktur atau pemandu yang mempunyai pengetahuan, keahlian, dan keterampilan sesuai jenis olahraga.

Paragraf 3

Dukungan Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Rekreasi

Pasal 30

(1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, Pemerintah Daerah Kota memberikan fasilitasi kepada induk organisasi olahraga rekreasi Daerah.

(2) Fasilitasi kepada induk organisasi olahraga rekreasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diprioritaskan untuk pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi masyarakat yang bersifat massal dan olahraga tradisional, yang dilaksanakan melalui:

a. penyediaan prasarana dan sarana olahraga;

b. pendampingan program;

c. bantuan pendanaan;

d. penyusunan standard olahraga rekreasi masyarakat yang bersifat massal dan olahraga tradisional; dan/atau

e. penyelenggaraan festival dan invitasi olahraga tradisional yang berjenjang dan berkelanjutan.

(3) Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga dan urusan kebudayaan, bersama-sama melakukan fasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi masyarakat yang bersifat masal dan olahraga tradisional, sesuai kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat

Olahraga Berkebutuhan Khusus

Paragraf 1

Umum

Pasal 31

Pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus

diselenggarakan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya

diri, dan prestasi.

Paragraf 2

Pelaksanaan dan Pembinaan Olahraga Berkebutuhan Khusus

Pasal 32

(1) Induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah bertanggungjawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus di Daerah.

132

(2) Tanggung jawab induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pembinaan, pelatihan, dan kompetisi yang berjenjang dan berkelanjutan.

Paragraf 3

Fasilitasi Pembinaan dan Pengembangan Olahraga

Berkebutuhan Khusus

Pasal 33

(1) Dalam rangka pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pemerintah Daerah Kota memberikan fasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus kepada induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah.

(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

b. penyediaan prasarana dan sarana olahraga;

c. pendampingan program;

d. bantuan pendanaan; dan/atau

e. kompetisi olahraga berkebutuhan khusus tingkat Daerah dan nasional.

(3) Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan sosial, urusan pendidikan, dan urusan kesehatan, bersama-sama melaksanakan fasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), sesuai kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4

Sentra Pembinaan Olahraga Berkebutuhan Khusus

Pasal 34

(1) Pemerintah Daerah Kota dapat membentuk sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus untuk meningkatkan kemampuan, potensi, dan pencapaian prestasi olahraga berkebutuhan khusus tingkat Daerah, Daerah Provinsi, dan nasional,

(2) Sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibentuk untuk satu atau beberapa cabang olahraga berkebutuhan khusus.

(3) Pembentukan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat terpusat atau tersebar sesuai potensi olahraga dan kebutuhan olahraga berkebutuhan khusus di Daerah.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.

133

Pasal 35

(1) Organisasi olahraga berkebutuhan khusus yang ada dalam masyarakat dapat membentuk sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus di Daerah.

(2) Pembentukan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus oleh organisasi olahraga berkebutuhan khusus yang ada dalam masyarakat mengacu pada ketentuan Pasal 34

Bagian Kelima

Olahraga Aparatur Sipil Negara

Pasal 36

(1) Pembinaan dan pengembangan olahraga Aparatur Sipil Negara diselenggarakan untuk meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani, produktivitas kerja, disiplin, jiwa korsa, solidaritas, dan kebersamaan Aparatur Sipil Negara di Daerah, serta memberikan keteladanan bagi masyarakat.

(2) Pembinaan dan pengembangan olahraga Aparatur Sipil Negara dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui:

a. penyediaan prasarana dan sarana;

b. kegiatan olahraga rutin,

c. pelatihan;

d. tes kebugaran jasmani;

e. kompetisi berjenjang dan berkelanjutan; dan

f. fasilitasi pengembangan prestasi olahraga.

(3) Penyediaan prasarana dan sarana serta kegiatan olahraga rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, dilaksanakan oleh setiap Perangkat Daerah.

(4) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan oleh tenaga keolahragaan yang berkompeten.

(5) Kompetisi yang berjenjang dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, meliputi tingkat Daerah dan nasional.

(6) Fasilitasi pengembangan prestasi olahraga sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf f, dilaksanakan untuk mendorong keikutsertaan Aparatur Sipil Negara di Daerah yang memiliki prestasi olahraga dalam kejuaraan olahraga tingkat Daerah, nasional, dan internasional.

(7) Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan kepegawaian dan/atau organisasi Aparatur Sipil Negara di Daerah bersama-sama melaksanakan pembinaan dan pengembangan olahraga Aparatur Sipil Negara, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengembangan olahraga Aparatur Sipil Negara, diatur dengan Peraturan Wali Kota.

134

BAB VII

TENAGA KEOLAHRAGAAN

Bagian Kesatu

Pembinaan dan Pengembangan

Pasal 37

(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan tenaga keolahragaan guna pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, serta untuk meningkatkan kemampuan, potensi, dan prestasi olahragawan Daerah.

(2) Tenaga keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. guru olahraga;

b. pelatih;

c. instruktur atau pemandu;

d. wasit;

e. juri;

f. manajer;

g. promotor;

h. administrator;

i. penyuluh;

j. tenaga medis dan para medis;

k. ahli gizi;

l. ahli biomekanika;

m. psikolog; dan

n. tenaga lain yang terkait dengan keolahragaan.

(3) Pembinaan dan pengembangan tenaga keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. fasilitasi pembinaan dan/atau pelatihan;

b. fasilitasi jaminan keselamatan; dan

c. peningkatan karier, pelayanan kesejahteraan, bantuan hukum, dan/atau penghargaan.

Bagian Kedua

Penggunaan Tenaga Keolahragaan Asing

Pasal 38

(1) Pemerintah Daerah Kota dapat menggunakan tenaga keolahragaan asing guna mendukung upaya pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, serta untuk meningkatkan kemampuan, potensi, dan prestasi olahragawan Daerah pada tingkat nasional dan internasional, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penggunaan tenaga keolahragaan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilaksanakan pada:

a. satuan pendidikan dasar;

135

b. satuan pendidikan anak usia dini;

c. sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus Daerah; dan

d. tempat pelatihan tenaga keolahragaan Daerah.

(3) Tenaga keolahragaan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus memenuhi kriteria meliputi:

a. memiliki kualifikasi dan sertifikat kompetensi;

b. mendapat rekomendasi dari induk organisasi cabang olahraga terkait dan/atau induk organisasi olahraga Daerah;

c. mendapatkan izin dari Instansi terkait sesuai ketentuan perundang-undangan; dan

d. memiliki kesanggupan untuk melakukan alih ilmu pengetahuan dan teknologi kepada tenaga keolahragaan Daerah.

BAB VIII

PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI

OLAHRAGA

Pasal 39

(1) Pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga di Daerah, meliputi:

a. penyediaan prasarana dan sarana;

b. pendampingan program; dan/atau

c. bantuan pendanaan.

(2) Penyediaan prasarana dan sarana serta pendampingan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan untuk mendukung penyelenggaraan kompetisi/turnamen, pelatihan, pendidikan, dan penataran, yang dilaksanakan oleh organisasi olahraga Daerah, serta untuk peningkatan mutu organisasi.

(3) Pemberian bantuan pendanaan kepada organisasi olahraga di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:

a. penyelenggaraan kompetisi/turnamen;

b. pelatihan, pendidikan, dan penataran;

c. penyediaan fasilitas sarana olahraga; dan/atau

d. peningkatan mutu organisasi.

(4) Pemberian bantuan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

136

BAB IX

PENYEDIAAN PRASARANA DAN SARANA

Bagian Kesatu

Prasarana

Paragraf 1

Umum

Pasal 40

(1) Pemerintah Daerah Kota dan masyarakat menyediakan prasarana olahraga guna mendukung upaya pembinaan dan pengembangan olahraga serta budaya olahraga, yang dilaksanakan melalui proses perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan.

(2) Penyediaan prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam bentuk:

a. pembangunan prasarana olahraga;

b. rekayasa teknis pada prasarana infrastruktur Daerah: dan

c. penyediaan fasilitas umum olahraga

(3) Penyediaan prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada standard, kebutuhan Daerah, dan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta potensi keolahragaan Daerah.

Pasal 41

(1) Dunia usaha yang bergerak di bidang pembangunan perumahan dan permukiman wajib menyediakan prasarana olahraga sebagai fasilitas umum sesuai standar kebutuhan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kota.

(3) Pemerintah Daerah Kota melaporkan penyerahan prasarana olahraga dari dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Pemerintah Daerah Provinsi.

Pasal 42

Setiap orang dan/atau Badan wajib menjaga keberadaan dan fungsi prasarana olahraga sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2

Pembangunan Prasarana Olahraga

Pasal 43

(1) Pembangunan prasarana olahraga meliputi prasarana khusus olahraga skala Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.

137

(2) Pembangunan prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga serta urusan permukiman dan perumahan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan prasarana olahraga diatur dengan Peraturan Wali Kota.

Paragraf 3

Rekayasa Teknis pada Prasarana Infrastruktur Daerah

Pasal 44

(1) Rekayasa teknis pada prasarana infrastruktur Daerah dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan olahraga masyarakat.

(2) Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi infrastruktur jalan dan sumber daya air.

(3) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) dan ayat (2) bagi infrastruktur Daerah yang dilarang dimanfaatan untuk kegiatan lain, berdasarkan ketentuan peraturan undang-undangan.

(4) Pemenuhan kebutuhan olahraga masyakat pada infrastruktur Daerah harus memperhatikan fungsi utama infrastruktur serta keselamatan, keamanan, dan kenyamanan pengolahraga dan masyarakat pengguna infrastruktur.

(5) Perangkat Daerah yang membidangi urusan infrastruktur jalan dan urusan sumber daya air melaksanakan rekayasa tehnis infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengakomodasian kebutuhan olahraga masyarakat pada infrastruktur Daerah, diatur dengan Peraturan Wali Kota.

Bagian Kedua

Sarana

Pasal 45

(1) Pemerintah Daerah Kota memfasilitasi pembinaan dan pengembangan industri sarana olahraga di Daerah.

(2) Fasilitasi pembinaan dan pengembangan industri sarana olahraga di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah, serta urusan perindustrian dan perdagangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut fasilitas pembinaan dan pengembangan industri sarana olahraga di Daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota.

Pasal 46

(1) Setiap orang atau badan usaha yang memproduksi sarana olahraga wajib memperhatikan standar teknis sarana olahraga dari cabang olahraga yang bersangkutan.

138

(2) Setiap sarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diproduksi, diperjualbelikan, dan/atau disewakan untuk masyarakat umum baik untuk pelatihan maupun kompetisi wajib memenuhi standar kesehatan dan keselamatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X

INDUSTRI OLAHRAGA

Pasal 47

(1) Masyarakat dapat membentuk industri olahraga guna mendukung kemajuan keolahragaan di Daerah dengan memperhatikan kesejahteraan pelaku olahraga dan kemajuan olahraga.

(2) Pembentukan industri olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan.

(3) Industri olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berbentuk:

a. prasarana dan sarana yang diproduksi, diperjualbelikan, dan/atau disewakan untuk masyarakat; dan

b. jasa penjualan kegiatan cabang olahraga sebagai produk utama yang dikemas secara profesional.

Pasal 48

(1) Pemerintah Daerah Kota mendorong perkembangan industri olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 untuk mendukung kemajuan pembinaan dan pengembangan keolahragaan

(2) Dorongan Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pola kemitraan dengan badan usaha industri olahraga yang dibentuk masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemerintah Daerah Kota memberikan kemudahan pembentukan sentra-sentra pembinaan dan pengembangan industri olahraga.

(4) Pemerintah Daerah Kota menfasilitasi perwujudan kemitraan pelaku industri olahraga dengan media massa dan media lainnya.

(5) Fasilitasi pembinaan dan pengembangan industri olahraga di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, serta urusan perindustrian dan perdagangan.

139

BAB XI

PENYELENGGARAAN KEJUARAAN OLAHRAGA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 49

(1) Pemerintah Daerah Kota dan/atau masyarakat menyelenggarakan kejuaraan olahraga di Daerah dalam rangka membudayakan olahraga, menjaring bibit olahragawan potensial, meningkatkan kesehatan dan kebugaran, meningkatkan prestasi olahraga, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mendukung peningkatan ketahanan nasional.

(2) Penyelenggaraan kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memperhatikan tujuan keolahragaan serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan.

Pasal 50

Penyelenggaraan kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, meliputi:

a. kejuaraan olahraga tingkat Daerah, Provinsi, nasional, dan internasional; dan

b. pekan olahraga daerah.

Pasal 51

(1) Penyelenggaraan kejuaraan olahraga wajib memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, serta keselamatan sesuai standard dan perizinan terkait berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyelenggara kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi olahraga yang bersangkutan dan memenuhi persyarakat, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Penyelenggara kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki penanggung jawab kegiatan.

(4) Setiap penonton dalam kejuaraan olahraga wajib menjaga, menaati, dan/atau mematuhi peraturan perundangan mengenai ketertiban dan keamanan.

Bagian Kedua

Kejuaraan Olahraga Tingkat Daerah, Provinsi

Nasional, dan Internasional

Pasal 52

(1) Kejuaraan olahraga tingkat wilayah, Daerah, regional, nasional, dan internasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a, dilaksanakan induk organisasi olahraga, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

140

(2) Pemerintah Daerah Kota memfasilitasi pelaksanaan kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal kegiatan kejuaraan dilaksanakan di Daerah.

Bagian Ketiga

Pekan Olahraga Daerah

Pasal 53

(1) Pemerintah Daerah Kota bertanggung jawab atas pelaksanaan penyelenggaraan pekan olahraga tingkat wilayah dan Daerah yang dilaksanakan seluruhnya di Daerah.

(2) Pekan olahraga Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), berbentuk:

a. pekan olahraga pelajar;

b. pekan olahraga pelajar berkebutuhan khusus;

c. pekan olahraga berkebutuhan khusus;

d. pekan olahraga aparatur sipil negara tingkat Daerah;

e. Pekan Olahraga Daerah; dan

f. pekan olahraga tingkat wilayah dan Daerah lainnya sesuai kebutuhan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pekan olahraga tingkat wilayah dan Daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota.

BAB XI

STANDARDISASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI

OLAHRAGA

Pasal 54

(1) Pemerintah Daerah Kota menerapkan standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan di Daerah, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pelaksanaan standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.

BAB XII

PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

KEOLAHRAGAAN

Pasal 55

(1) Pengembangan IPTek keolahragaan dilaksanakan untuk memajukan keolahragaan Daerah secara berkelanjutan, yang dilaksanakan melalui:

a. penelitian;

b. pengkajian;

c. alih teknologi;

141

d. sosialisasi;

e. pertemuan ilmiah; dan

f. kerjasama.

(2) Pengembangan IPTek keolahragaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui:

a. Perangkat Daerah yang membidangi urusan IPTek, lembaga penelitian, pengembangan dan penerapan IPTek yang dibentuk Pemerintah Daerah Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

b. kerjasama dengan lembaga atau tenaga ahli dalam bidang ilmu keolahragaan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan IPTek keolahragaan diatur dengan Peraturan Wali Kota.

BAB XIII

PERAN MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 56

(1) Masyarakat dan dunia usaha memiliki peran dalam penyeleggaraan keolahragaan di Daerah.

(2) Peran masyarakat dan dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. hak;

b. kewajiban; dan

c. tanggung jawab.

Bagian Kedua

Peran Masyarakat

Paragraf 1

Hak

Pasal 57

Setiap orang dalam penyelenggaraan keolahragaan berhak:

a. melakukan kegiatan olahraga;

b. memperoleh pelayanan dalam kegiatan olahraga;

c. memilih dan mengikuti jenis atau cabang olahraga sesuai bakat dan minat;

d. memperoleh pengarahan, dukungan, bimbingan, pembinaan dan pengembangan dalam keolahragaan;

e. menjadi pelaku olahraga;

f. mengembangkan industri olahraga;

g. berperan sebagai sumber, pelaksana, tenaga sukarela, penggerak, pengguna hasil, dan/atau pelayan kegiatan olahraga; dan

h. turut serta mendorong pembinaan dan pengembangan keolahragaan.

142

Pasal 58

Setiap orang tua mempunyai hak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi serta memperoleh informasi tentang perkembangan keolahragaan anaknya.

Pasal 59

Masyarakat mempunyai hak untuk berperan dalam perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan keolahragaan.

Paragraf 2

Kewajiban

Pasal 60

Setiap orang wajib berperan dalam kegiatan olahraga dan memelihara prasarana dan sarana olahraga serta lingkungan.

Pasal 61

(1) Dalam penyelenggaraan olahraga, setiap orang tua wajib memberikan dukungan kepada anak untuk aktif berpartisipasi dalam olahraga serta mengawasi aktifitas olahraga anak sesuai taraf pertumbuhan, perkembangan, bakat, dan minat anak.

(2) Kewajiban penyelenggaraan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku mutatis mutandis untuk anak yang diasuh dan/atau di bawah tanggung jawab wali anak atau pimpinan/ketua lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemondokan atau asrama terhadap peserta didik.

Pasal 62

Dalam penyelenggaraan keolahragaan, masyarakat wajib:

a. memberikan dukungan sumberdaya dalam penyelenggaraan keolahragaan; dan

b. memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan; dan

c. membina dan mengembangkan olahraga tradisional.

Paragraf 3

Tanggung Jawab

Pasal 63

Tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan keolahragaan, meliputi:

a. perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan atas prasarana olahraga; dan

b. pendanaan keolahragaan.

143

Bagian Kedua

Peran Dunia Usaha

Paragraf 1

Hak

Pasal 64

Badan usaha mempunyai hak untuk :

a. berperan dalam perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan keolahragaan;

b. mendirikan organisasi cabang olahraga dengan keanggotaan berasal dari karyawan/pekerja atau masyarakat;

c. membuat program bapak asuh bagi olahragawan dan/atau cabang olahraga Daerah yang berprestasi; dan

d. menyelenggarakan pertandingan olahraga untuk karyawan/pekerja atau masyarakat, sesuai syarat, prosedur, dan standard berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2

Kewajiban

Pasal 65

Dalam penyelenggaraan keolahragaan, dunia usaha wajib:

a. menyediakan prasarana dan sarana olahraga untuk karyawan atau pekerja;

b. menyelenggarakan kegiatan olahraga secara rutin untuk karyawan atau pekerja;

c. memberikan kesempatan kepada masyarakat atau satuan pendidikan sekitar untuk mempergunakan prasarana dan sarana olahraga yang berada di lingkungan badan usaha;

d. memberikan dukungan sumberdaya dalam penyelenggaraan keolahragaan; dan

e. memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan; dan

f. membina dan mengembangkan olahraga tradisional.

Paragraf 3

Tanggung Jawab

Pasal 66

(1) Tanggung jawab dunia usaha dalam penyelenggaraan keolahragaan meliputi perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan atas prasarana olahraga, serta pendanaan keolahragaan.

(2) Fasilitasi pembinaan dan pengembangan peran dunia usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 68 67 dan Pasal 69 68 dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan ketenagakerjaan serta urusan perindustrian dan perdagangan.

144

BAB XIV

KOORDINASI

Pasal 67

(1) Pemerintah Daerah Kota melaksanakan koordinasi penyelenggaraan keolahragaan dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, induk organisasi keolahragaan, dan badan usaha di Daerah.

(2) Koordinasi penyelenggaraan keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah terkait, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XV

KERJASAMA

Pasal 68

(1) Pemerintah Daerah Kota mengembangkan kerjasama dalam rangka penyelenggaraan keolahragaan, sesuai ketentuan perundang-undangan.

(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan:

a. Pemerintah Pusat;

b. Pemerintah Daerah Provinsi;

c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lain;

d. induk organisasi keolahragaan;

e. lembaga pendidikan;

f. badan usaha;

g. masyarakat; dan/atau

h. pihak luar negeri.

(3) Bentuk kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa:

a. bantuan pendanaan;

b. bantuan tenaga ahli;

c. bantuan prasarana dan sarana;

d. pendidikan dan pelatihan; dan

e. kerjasama lain di bidang keolahragaan.

BAB XVI

SISTEM INFORMASI KEOLAHRAGAAN

Pasal 69

(1) Pemerintah Daerah Kota membentuk sistem informasi keolahragaan yang terintegrasi dengan sistem informasi keolahragaan nasional dan Daerah Provinsi.

145

(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang meliputi:

a. perencanaan keolahragaan daerah;

b. potensi olahraga daerah;

c. data olahragawan;

d. tenaga keolahragaan; dan

e. prasarana dan sarana.

(3) Perangkat Daerah terkait melaksanakan pembentukan sistem informasi keolahragaan dan fasilitasi pembentukan sistem informasi keolahragaan Kabupaten/Kota yang terintegrasi dengan sistem informasi Daerah.

BAB XVII

PENGHARGAAN

Pasal 70

(1) Pemerintah Daerah Kota memberikan penghargaan kepada organisasi olahraga, perorangan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, dan badan usaha yang berprestasi serta memiliki kontribusi terhadap keberhasilan penyelenggaran keolahragaan.

(2) Penghargaan kepada perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diprioritaskan kepada:

a. olahragawan perseorangan;

b. olahragawan yang tergabung dalam regu atau tim;

c. pelatih;

d. official;

e. mantan olahragawan yang telah berprestasi dan/atau memberikan kontribusi terhadap perkembangan keolahragaan Daerah; dan

f. tokoh olahragawan.

(3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan dalam bentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, warga kehormatan, jaminan hari tua, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima penghargaan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam hal pemberian penghargaan kepada olahragawan yang tergabung dalam satu regu atau tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, maka bentuk dan/atau besaran penghargaan mengacu pada pola pemberian penghargaan kepada olahragawan perseorangan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian penghargaan, diatur dengan Peraturan Wali Kota.

146

BAB XVIII

PENDANAAN

Pasal 71

(1) Pemerintah Daerah Kota wajib menyediakan pendanaan keolahragaan berdasarkan prinsip berkecukupan dan berkelanjutan.

(2) Sumber pendanaan keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

c. hasil kerjasama Pemerintah Daerah Kota;

d. tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR);

e. bantuan luar negeri yang tidak mengikat; dan

f. sumber lain yang sah dan tidak mengikat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 72

Pengelolaan dana keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XIX

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 73

(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 ayat (1), Pasal 42, Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 45 ayat (1), serta Pasal 49 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenakan sanksi administrasi.

(2) Setiap satuan pendidikan menengah, pendidikan khusus, sekolah khusus olahraga, pusat pembinaan dan latihan pelajar, sentra pembinaan olahraga terpadu Daerah, dan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus Daerah, dan tempat pelatihan tenaga keolahragaan Daerah yang menggunakan tenaga keolahragaan asing tetapi tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3), dikenakan sanksi administrasi.

(3) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), berupa:

a. teguran lisan;

b. teguran tertulis;

c. penghentian sementara kegiatan;

d. penghentian tetap kegiatan;

e. pencabutan sementara izin;

147

f. pencabutan tetap izin;

g. denda administratif; dan/atau

h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.

(4) Pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Dinas dan/atau Perangkat Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Wali Kota.

BAB XX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 74

Dalam hal pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 terdapat pelanggaran pidana, maka kepadanya dikenakan sanksi pidana di bidang lingkungan hidup, perindustrian, perdagangan, dan/atau ketenagakerjaan, yang diatur dalam Peraturan Daerah tersendiri.

Pasal 75

(1) Dalam penyelenggaraan keolahragaan, setiap orang dikenakan sanksi pidana, apabila:

a. menyelenggarakan kejuaraan olahraga yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 30 ayat (1) dan ayat (2);

b. apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerusakandan/atau gangguan keselamatan pihak lain;

c. tidak menjaga, menaati, dan/atau mematuhi peraturan perundangan mengenai ketertiban dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 30 ayat (4); dan

d. mengalihfungsikan atau meniadakan prasarana olahraga yang telahada, baik sebagian maupun seluruhnya tanpa izin sebagaimana diatur dalam Pasal 37 36.

(2) Pengenaan sanksi pidana penyelenggaraan keolahragaan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XXI

PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 76

(1) Pemerintah Daerah Kota melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan keolahragaan sesuai kewenangan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

148

(2) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi olahraga.

(3) Sekretaris Daerah mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terkait penyelenggaraan keolahragaan oleh Perangkat Daerah terkait, dan induk organisasi keolahragaan di Daerah.

BAB XXII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 77

Petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak diberlakukannya Peraturan Daerah ini.

Pasal 78

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat.

Ditetapkan di Sukabumi Pada tanggal

WALIKOTA SUKABUMI,

MOHAMAD MURAZ

Diundangkan di Sukabumi Pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH KOTA SUKABUMI,

M.N. HANAFIE ZAIN

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2015 NOMOR

149

PENJELASAN

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

NOMOR

TENTANG

PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN

I. Umum

Dalam rangka mewujudkan kualitas masyarakat Kota Sukabumi yang memiliki

kompetensi, daya saing, serta semangat dan daya juang yang tinggi, perlu

dilakukan upaya pembangunan sumberdaya manusia di berbagai bidang

termasuk bidang keolahragaan.

Di dalam Peraturan Daerah ini dinyatakan bahwa Fungsi Keolahragaan Daerah

sebagai bagian strategis dalam upaya perwujudan Visi dan Misi Pembangunan

Daerah. Artinya pembangunan dan penyelenggaraan keolahragaan memiliki

peran yang sama pentingnya dengan pembangunan bidang lain seperti bidang

pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan lain-lain, sehingga

penyelenggaraannya perlu mendapatkan perhatian yang proporsional. Hal ini

dapat dipahami karena melalui aktivitas keolahragaan, disamping mampu

meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani yag merupakan aspek

penting dalam peningkatan kecerdasan yang menopang keberhasilan

pendidikan, keoahragaan juga menjadi fondasi bagi pengembangan

produktivitas manusia sehingga akan meningkatkan kemampuan ekonominya.

II. Pasal per pasal

Pasal 1 :

Istilah-istilah dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-pasal dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 2 :

Fungsi untuk mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, sosial, serta membentuk watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat merupakan fungsi Keolahragaan Nasional yang berlaku dan menjadi pedoman seluruh tingkatan pemerintahan.

Fungsi Keolahragaan Daerah sebagai bagian strategis dalam upaya perwujudan Visi dan Misi Pembangunan Daerah, sehingga penyelenggaraannya perlu mendapatkan perhatian yang proporsional.

Pasal 3 :

Huruf a :

Yang dimaksud dengan “tujuan keolahragaan nasional” yaitu untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi,

kualitas manusia, menanamkan nilai moral dan akhlak mulia,

sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan

150

kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional, serta

mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa.

Huruf b :

Yang dimaksud dengan “mengetahui” adalah mengenal kegiatan

olahraga.

Yang dimaksud dengan “memahami” adalah memahami manfaat

olahraga.

Yang dimaksud dengan “mengerti” adalah mengerti cara-cara dan

aturan dalam berolahraga.

Yang dimaksud dengan “melaksanakan” adalah melakukan kegiatan

olahraga secara rutin.

Yang dimaksud dengan “menikmati” adalah merasakan manfaat

langsung maupun tidak langsung aktifitas olahraga sehingga

olahraga menjadi kebutuhan dan gaya hidup.

Huruf c :

Cukup jelas

Huruf d :

Cukup jelas

Pasal 4 :

Prinsip penyelenggaraan keolahragaan Daerah sejalan dengan prinsip

penyelenggaraan keolahragan nasional, sebagaimana tercantum dalam

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan

Nasional.

Huruf a :

Yang dimaksud dengan “tidak diskriminatif” adalah bahwa olahraga merupakan hak setiap orang dengan tidak membedakan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, agama, suku, dan bangsa/negara.

Huruf b :

Cukup jelas

Huruf c :

Yang dimaksud dengan “etika” adalah bahwa penyelenggaraan keolahragaan mencerminkan nilai-nilai yang baik yang dijabarkan dalam aturan, ketentuan, maupun kegiatannya. Nilai-nilai yang dimaksud mencakup nilai kesopanan, budaya, akhlak mulia, dan sportivitas.

Yang dimaksud dengan “estetika” adalah bahwa penyelenggaraan keolahragaan mengandung hal-hal yang berkaitan dengan seni dan keindahan.

Huruf d :

Yang dimaksud dengan “pembudayaan” adalah proses sosial, perbuatan, dan cara memajukan olahraga sehingga menjadi kebiasaan hidup masyarakat.

Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa setiap orang bebas mendapatkan informasi dan akses keolahragaan.

Huruf e :

151

Cukup jelas

Huruf e :

Yang dimaksud dengan “pemberdayaan” adalah upaya membangkitkan masyarakat agar berkemampuan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan keolahragaan.

Huruf f :

Cukup jelas

Huruf g :

Cukup jelas

Huruf h :

Cukup jelas

Pasal 5 :

Kebijakan Nasional keolahragaan, meliputi:

a. penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi;

b. pembinaan dan pengembangan olahraga;

c. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;

d. pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;

e. pembinaan, pengembangan, dan pengawasan olahraga profesional;

f. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga;

g. pendanaan keolahragaan;

h. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan;

i. peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan;

j. pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;

k. pembinaan dan pengembangan industri olahraga;

l. penyelenggaraan akreditasi dan sertifikasi;

m. pencegahan dan pengawasan terhadap doping;

n. pemberian penghargaan;

o. pelaksanaan pengawasan; dan

p. evaluasi terhadap pencapaian standar nasional keolahragaan.

Pasal 6 :

Kewenangan Pemerintah Daerah Kota dalam penyelenggaraan

keolahragaan meliputi pembinaan, pengembangan, pelaksanaan, dan

pengawasan merupakan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005

tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Huruf a:

Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan pada jenjang

pendidikan menengah, penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat

Daerah, pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tingkat

nasional, serta pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga

tingkat Daerah, merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Kota di

bidang keolahragaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran

152

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah.

Huruf b:

Cukup jelas

Huruf c:

Cukup jelas

Huruf d:

Ketentuan mengenai “bentuk lainnya berdasarkan kebutuhan Daerah

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan” merupakan

penjabaran amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, yaitu selain memuat materi megenai

penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan serta

penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi, Peraturan Daerah juga dapat mengatur muatan

lokal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan

peraturan perundang-undangan tersebut yaitu Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan

peraturan pelaksanaanya.

Pasal 7 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Huruf a :

Cukup jelas

Huruf b :

Cukup jelas

Huruf c :

Cukup jelas

Huruf d :

Cukup jelas

Huruf e :

Yang dimaksud “standard pelayanan minimal”

adalahketentuan mengenai jenis dan mutu Pelayanan Dasar

yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak

diperoleh setiap warga negara secara minimal

Huruf f :

Cukup jelas

Huruf g :

Cukup jelas

Pasal 8 :

Cukup jelas

Pasal 9 :

153

Cukup jelas

Pasal 10 :

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Ayat (5) :

Cukup jelas

Ayat (6) :

Cukup jelas

Pasal 11 :

Ayat (1) :

Huruf a :

Cukup jelas

Huruf b :

Cukup jelas

Huruf c :

Cukup jelas

Huruf d :

Cukup jelas

Huruf e :

Istilah olahraga pendidikan sama dengan pendidikan jasmani

dan olahraga dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Keduanya dapat digunakan secara saling melengkapi untuk

kepentingan pendidikan.

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Yang dimaksud dengan sebagai “satu kesatuan yang sistemis dan

berkesinambungan dengan sistem pendidikan nasional” adalah

bahwa olahraga pendidikan sebagai subsistem keolahragaan

nasional, dalam pembinaan dan pengembangannya tidak dapat

dipisahkan dari sistem pendidikan nasional.

Ayat (4) :

Cukup jelas

154

Ayat (5) :

Yang dimaksud “alokasi anggaran sektor pendidikan” adalah alokasi

anggaran pendidikan yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah Kota untuk pendidikan anak usia dini dan

pendidikan dasar.

Pasal 12 :

Cukup jelas

Pasal 13 :

Cukup jelas

Pasal 14 :

Cukup jelas

Pasal 15 :

Satuan pendidikan menengah yang menyelenggarakan pendidikan di

bidang agama, antara lain madrasah aliyah, pendidikan seminari setingkat

pendidikan menengah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan

lainnya setingkat pendidikan menengah.

Pasal 16

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Yang dimaksud dengan “unit kegiatan olahraga” adalah perkumpulan olahraga pelajar sebagai wadah suatu berkumpulnya peserta didik yang memiliki minat dan bakat dalam olahraga tertentu guna meningkatkan prestasi olahraga.

Yang dimaksud dengan “kelas olahraga” adalah kelas khusus yang disediakan dalam satuan pendidikan untuk menampung para peserta didik yang berbakat dalam bidang olahraga tertentu.

Yang dimaksud dengan “unit pembinaan dan pelatihan” adalah suatu wadah yang khusus dirancang untuk menampung dan membina para olahragawan peserta didik yang telah diseleksi bakat dan kemampuannya dalam satuan pendidikan.

Pasal 17 :

Cukup jelas

Pasal 18 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Huruf a :

155

Cukup jelas

Huruf b :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Ayat (5) :

Yang dimaksud “alokasi anggaran sektor pendidikan” adalah alokasi

anggaran pendidikan yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota untuk pendidikan anak usia dini

dan pendidikan dasar.

Pasal 19 :

Cukup jelas

Pasal 20 :

Ayat (1) :

Yang dimaksud dengan induk organisasi olahraga Daerah adalah

Komite Olahraga Nasional Indonesia Kota Sukabumi.

Ayat (2) :

Huruf a :

Yang dimaksud dengan “pemassalan” adalah suatu upaya

untuk mengenalkan olahraga kepada masyarakat luas

sehingga masyarakat gemar melakukan kegiatan olahraga

atas kehendak sendiri.

Huruf b :

Cukup jelas

Huruf c :

Cukup jelas

Huruf d :

Cukup jelas

Huruf e :

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1) :

Yang dimaksud dengan “pemantauan, pemanduan, dan

pengembangan bakat” adalah tahap identifikasi dan seleksi

penetapan bibit olahragawan potensial yang selanjutnya dibina

secara berjenjang dan berkelanjutan sesuai dengan cabang olahraga

tertentu.

Ayat (2) :

Yang dimaksud dengan “sentra pembinaan olahraga adalah suatu

wadah yang dirancang untuk membina dan mengembangkan

olahragawan dan berpotensi sebagai olahragawan Daerah, Daerah

Provinsi, dan nasional.

156

Pasal 22

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 23 :

Cukup jelas

Pasal 24 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jela

Pasal 25 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Pasal 26 :

Olahraga rekreasi merupakan kegiatan olahraga waktu luang yang dilakukan secara sukarela oleh perseorangan, kelompok, dan/atau masyarakat seperti olahraga masyarakat, olahraga tradisional, olahraga kesehatan, dan olahraga petualangan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Pemulihan kesehatan dan kebugaran jasmani merupakan bagian integral dari kesehatan olahraga.

Pasal 27 :

Ayat (1) :

Yang dimaksud “Perangkat Daerah yang membidangi kesehatan” mencakup Dinas Kesehatan Daerah, dan Rumah Sakit Umum Daerah.

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

157

Ayat (4) :

Cukup jelas

Pasal 28 :

Ayat (1) :

Yang dimaksud dengan Induk organisasi olahraga rekreasi Daerah adalah Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Kota Sukabumi.

Ayat (2) :

Pendataan olahraga rekreasi, dilaksanakan untuk semua jenis

olahraga rekreasi yang tumbuh dan berkembang di Daerah, baik

yang berasal dari budaya Daerah, nasional, maupun serapan asing.

Pasal 29 :

Cukup jelas

Pasal 30 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Pasal 31 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 32 :

Cukup jelas

Pasal 33 :

Ayat (1) :

Yang dimaksud dengan induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah adalah National Paralympic Committee Indonesia Kota Sukabumi.

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 34 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

158

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 35 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Pasal 36 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 37 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Ayat (5) :

Cukup jelas

Ayat (6) :

Cukup jelas

Ayat (7) :

Cukup jelas

Ayat (8) :

Cukup jelas

Pasal 38 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

159

Huruf a :

Cukup jelas

Huruf b :

Cukup jelas

Huruf c :

Yang dimaksud dengan “instruktur atau pemandu” adalah

seseorang yang dapat memimpin sekelompok orang dengan

memberikan rangkaian gerak yang dapat diikuti dan dinikmati

oleh pengolahraga.

Huruf d :

Yang dimaksud dengan “wasit” adalah seseorang yang

memilii wewenang untuk mengatur jalannya suatu

pertandingan olahraga.

Huruf e :

Yang dimaksud dengan “juri” adalah orang atau beberapa

orang yang diberi wewenangan untuk menilai atau

memutuskan kalah, seri, atau menang, serta sah atau tidanya

suatu pertandingan olahraga.

Huruf f :

Yang dimaksud dengan “manajer” adalah orang yang memiliki

kewenangan untuk merencanakan, mengatur, memimpin

mengendalikan, dan mengevaluasi kegiatan olahrawan dalam

mencapai pretasi yang optimal.

Huruf g :

Yang dimaksud dengan “promotor” adalah orang yang

bertanggungjawab atas keuangan suatu pertandingan

olahraga.

Huruf h :

Yang dimaksud dengan “administrator” adalah seseorang

yang membantu suatu organisasi olahraga dalam

merencanakan atau menggelar aktivitas olahraga.

Huruf i :

Yang dimaksud dengan “penyuluh” adalah seseorang yang

bekerja untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan

pentingnya berolahraga dalam kehidupan sehari-hari.

Huruf j :

Yang dimaksud dengan “tenaga medis” adalah tenaga ahli

kedokteran yang memberikan pelayanan medis kepada

olahragawan, sesuai mutu, tata cara, dan teknik ilmu

kedokteran dan etik yang berlaku, serta dapat

dipertanggungjawabkan.

160

Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” adalah profesi

yang memberikan pelayanan medis prarumah sakit dan gawat

darurat kepada olahragawan.

Huruf k :

Yang dimaksud dengan “ahli gizi” adalah seorang profesional

medis yang mengkhususkan diri dalam dietetika kepada

olahragawan.

Dietetika studi tentang gizi dan penggunaan diet khusus.

Huruf l :

Yang dimaksud dengan “biomekanika” adalah Ilmu yang

menggunakan hukum-hukum fisika dan konsep keteknikan

untuk mempelajari gerakan yang dialami oleh beberapa

segmen tubuh dan gaya-gaya yang terjadi pada bagian tubuh

selama aktivitas normal.

Penggunaan biomekanika dalam olahraga adalah untu:

a. mengetahui konsep ilmiah dasar yang diaplikasikan dalam bentuk gerak manusia;

b. memahami suatu bentuk/model gerak dasar dalam olahraga sehingga mampu mengembangkannya dengan baik;

c. mampu memahami perkembangan gerak dasar;

d. mampu menerapkan suatu bentuk yang sesuai dengan karakteristik fisik seseorang dalam berolahraga, dengan baik dan benar.

Huruf m :

Yang dimaksud dengan “psikolog” adalah seseorang yang

berkewajiban merawat kesehatan psikologis individu atau tim

olahragawan yang ditanganinya.

Huruf n :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Pasal 39 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Pasal 40 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

161

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Pasal 41

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Pasal 42 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Pasal 43 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Yang dimaksud dengan infrastruktur jalan mencakup pula prasarana

jembatan.

Infrastruktur sumber daya air meliputi saluran pembawa air baku

dan/atau waduk/bendungan.

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Ayat (5) :

Cukup jelas

Ayat (6) :

162

Cukup jelas

Pasal 44 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Pasal 45 :

Yang dimaksud dengan meniadakan prasarana olahraga dalam ketentuan

ini adalah tindakan/perbuatan menghilangkan prasarana olahraga,

misalnya, melalui penjualan kepemilikan, penggusuran, dan/atau perbuatan

lain yang menyebabkan hilangnya prasarana olahraga.

Yang dimaksud dengan mengalihfungsikan prasarana olahraga dalam

ketentuan ini adalah beralihnya fungsi prasarana olahraga menjadi fungsi

kegiatan lain di luar olahraga.

Pasal 46 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Pasal 47 :

Ayat (1) :

Yang dimaksud dengan “standar teknis sarana olahraga” adalah

persyaratan khusus yang ditetapkan oleh induk organisasi cabang

olahraga dan/atau federasi internasional cabang olahraga

bersangkutan, antara lain, tentang ukuran, jenis, dan bentuk

peralatan.

Ayat (2) :

Yang dimaksud dengan “standar kesehatan” adalah standar minimal

tentang kesehatan yang dipersyaratkan untuk sarana olahraga.

Yang dimaksud dengan “standar keselamatan” adalah standar

minimal tentang keselamatan yang dipersyaratkan untuk sarana

olahraga.

163

Pasal 48 :

Ayat (1) :

Yang dimaksud dengan “memperhatikan kesejahteraan pelaku

olahraga” antara lain memperhatikan kewajaran pembiayaan dan

perlengkapan yang diperlukan bagi pelaku olahraga sesuai dengan

kategorinya.

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Huruf a :

Cukup jelas

Huruf b :

Jasa penjualan kegiatan olahraga sebagai produk utama yang

dikemas sesuai dengan profesional meliputi :

a. kejuaraan nasional dan internasional;

b. pekan olahraga daerah;

c. promosi, eksibisi, dan festival olahraga; atau

d. keagenan, layanan informasi, dan konsultansi keolahragaan.

e. Eksibisi adalah bentuk kegiatan olahraga yang bersifat tontonan, pameran, dan peragaan.

f. Festival adalah bentuk kegiatan olahraga yang bersifat perlombaan dan hiburan.

Pasal 49

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Pasal 50 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 51 :

Cukup jelas

164

Pasal 52 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Pasal 53 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 54 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Huruf a :

Cukup jelas

Huruf b :

Cukup jelas

Huruf c :

Cukup jelas

Huruf d :

Cukup jelas

Huruf e :

Cukup jelas

Huruf f :

Pekan olahraga tingkat wilayah dan Daerah lainnya, antara

lain pekan olahraga pondok pesantren atau pekan olahraga

pendidikan keagamaan sejenis yang diselenggarakan oleh

agama lain.

Ayat (3) :

Cukup jelas

165

Pasal 55 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Huruf a :

Cukup jelas

Huruf b :

Cukup jelas

Huruf c :

Cukup jelas

Huruf d :

Cukup jelas

Huruf e :

Cukup jelas

Huruf f :

Pekan olahraga tingkat nasional lainnya, antara lain pekan

olahraga pondok pesantren atau pekan olahraga pendidikan

keagamaan sejenis yang diselenggarakan oleh agama lain,

pekan olahraga remaja nasional, dan pekan yang bersifat

nasional lainnya

Pasal 56 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Pasal 57 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 58 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

166

Ayat (3) :

Cukup jelas

Pasal 59 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 60 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 61 :

Yang dimaksud dengan “hak mengarahkan” adalah orang tua tidak

melakukan intervensi dan mencampuri teknis kegiatan olahraga.

Pasal 62 :

Cukup jelas

Pasal 63 :

Cukup jelas

Pasal 64 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 65 :

Cukup jelas

Pasal 66 :

Cukup jelas

Pasal 67 :

Cukup jelas

167

Pasal 68 :

Cukup jelas

Pasal 69 :

Cukup jelas

Pasal 70 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 71 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 72 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Pasal 73 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

Ayat (5) :

Cukup jelas

168

Pasal 74 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 75 :

Cukup jelas

Pasal 76 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 77 :

Cukup jelas

Pasal 78 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Pasal 79 :

Ayat (1) :

Cukup jelas

Ayat (2) :

Cukup jelas

Ayat (3) :

Cukup jelas

Ayat (4) :

Cukup jelas

169

Pasal 80 :

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum, agar tidak

terdapat rentang waktu yang cukup panjang antara berlakunya Peraturan

Daerah dengan petunjuk pelaksanaannya.

Pasal 81 :

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI NOMOR