Bab 4 Pembahasan
Click here to load reader
-
Upload
yudha-absouluet-javanes -
Category
Documents
-
view
3 -
download
1
description
Transcript of Bab 4 Pembahasan
48
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas tentang “Asuhan Keperawatan
pada Tn. J dengan Post Op ORIF Fraktur Humerus ”. Dalam hal ini penulis
menemukan empat diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. J yang akan
dibahas satu persatu.
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan diskontinuitas jaringan.
Menurut Carpenito (2001), Gangguan rasa nyaman nyeri
merupakan keadaan dimana individu mengalami sensasi yang tidak
menyenangkan dalam merespon suatu rangsangan berbahaya.
Nyeri akut merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami
sensasi atau melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi
yang tidak menyenangkan selama 6 bulan atau kurang (Carpenito, 2001).
Diskontinuitas jaringan merupakan terputusnya kontinuitas
jaringan yang ada pada tulang akibat dari cedera (Smeltzer & Bare,
2002:2357).
Pada pasien ini mengalami masalah gangguan rasa nyaman nyeri
yang disebabkan oleh terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
merangsang nosiseptor pada ujung syaraf untuk melepaskan mediator kimia
yang terdiri dari sejumlah substansi yang mempengaruhi sensitivitas ujung-
ujung syaraf atau reseptor nyeri yang dilepaskan ke jaringan extraseluler
sebagai akibat dari kerusakan jaringan. Zat-zat kimia yang meningkatkan
transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin, dan
49
substansi prostaglandin adalah zat-zat kimia yang diduga dapat meningkatkan
sensitivitas reseptor nyeri dengan meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri
dari bradikinin (Smeltzer, 2002:215).
Diagnosa gangguan rasa nyaman nyeri dapat ditegakkan apabila
terdapat batasan karakteristik yaitu batasan karakteristik mayor (80 % - 100
%) adalah pengungkapan tentang deskripsi nyeri. Karakteristik minor (60% -
79%) antara lain mengatupkan rahang atau pergelangan tangan, perubahan
kemampuan untuk melanjutkan aktifitas selanjutnya, agitasi, ansietas, peka
rangsangan, menggosok bagian yang nyeri, ketidakaktifan fisik atau
immobilisasi, masalah dengan konsentrasi, perubahan pola tidur, rasa takut
mengalami rasa cedera ulang, menarik bila disentuh ( Carpenito, 2001:45).
Pada Tn. J masalah ini muncul karena didapatkan data subjektif,
pasien mengatakan nyeri pada luka post operasi, nyeri muncul pada humerus,
nyeri seperti disayat-sayat, nyeri pada humerus dextra, skala nyeri 5, waktunya
terus-menerus. Data objektif yang muncul yaitu pasien tampak meringis
kesakitan, ekspresi wajah tegang. Dengan demikian data tersebut menunjang
untuk pengangkatan diagnosa gangguan rasa nyaman nyeri karena terdapat
kriteria antara hasil pengkajian dengan batasan karakteristik.
Gangguan rasa nyaman nyeri dijadikan sebagai prioritas diagnosa
pertama karena masalah tersebut sangat membuat pasien merasakan
ketidaknyamanan bila masalah tersebut tidak diatasi segera maka dapat
menyebabkan penderitaan dan menggangu psikologi individu (Potter,
2005:1521).
50
Dimana dalam kebutuhan dasar manusia menurut Maslow dalam
Potter & Perry (2005:616), nyeri merupakan kebutuhan urutan kedua yaitu
pada keselamatan dan keamanan dimana mempertahankan keselamatan fisik
melibatkan keadaan mengurangi atau mengeluarkan ancaman pada tubuh atau
kehidupan seperti nyeri, infeksi, dan jatuh dari tempat tidur karena
bagaimanapun orang yang sakit akan terancam kesejahteraan fisik dan
emosinya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, implementasi yang dilakukan
adalah :
a. Memberikan posisi nyaman menurut pasien, rasionalnya
perubahan posisi dapat meningkatkan sikulasi umum, dan menurunkan resiko
kelemahan otot (Doenges, 2000: 765).
b. Mengajarkan tehnik relaksasi napas dalam dan distraksi dengan
mengajak mengobrol rasionalnya relaksasi merupakan kebebasan mental dan
fisik dari ketegangan dan stress, tehnik relaksasi nafas dalam dilakukan
dengan latihan pernafasan yang teratur, dimana perawat mengarahkan klien
untuk melokalisasi setiap daerah yang megalami ketegangan otot (Potter &
Perry, 2005: 1528).
c. menganjurkan pasien agar tetap immobilisasi pada daerah
fraktur rasionalnya mencegah kesalahan posisi tulang atau tegangan jaringan
yang cedera (Doengoes, 2000: 765).
d. berkolaborasi dalam pemberian analgetik Tramadol 500 mg,
rasionalnya menurut diberikan untuk menurunkan nyeri dan atau spasme otot
(Doenges, 2000; 766).
51
Evaluasi akhir yang dilakukan yaitu pada hari Kamis, 29 April
2010 jam 14.00 WIB dengan data subjektif, pasien mengatakan masih
mengatakan nyeri pada luka post op dengan pengkajian nyeri P ; nyeri pada
luka post op bila digerakkan Q ; nyeri masih seperti disayat-sayat, R; nyeri
timbul pada luka post op ORIF pada humerus dextra, skala nyeri 3, T ;
kadang-kadang, ekspresi wajah rilek, dan masih meringis kesakitan. Dari data
diatas analisa yang dapat disimpulkan adalah masalah pasien teratasi sebagian
hal ini dikarenakan pada kriteria hasil yang dibuat dalam tujuan dari rencana
tindakan keperawatan yaitu nyeri berkurang, skala nyeri 3, ekspresi wajah
tidak tegang dan pasien tidak meringis.
Faktor pendukung masalah ini dapat teratasi sebagian yaitu pasien
sangat kooperatif yang ditandai dengan pasien mau melakukan tehnik
manajemen nyeri, relaksasi dengan nafas dalam, distraksi dengan mengajak
mengobrol teman dan keluarganya, dan mencoba bersabar bila nyeri muncul.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan spasme otot.
Gangguan mobilitas fisik merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan fisik tetapi bukan
immobilitas (Carpenito, 2001: 243).
Spasme otot merupakan peningkatan tonus otot yang diakibatkan
oleh respon jaringan terhadap trauma (Smeltzer & Bare, 2002:2281).
Pada kasus ini terjadi gangguan mobilitas fisik, hal ini disebabkan
oleh trauma langsung yang menyebabkan terjadinya pergeseran dan regenerasi
dari fragmen tulang dan kemudian terjadi kepatahan tulang yang jika tidak
52
menimbulkan kontraksi otot sendi maka otot tidak akan menimbulkan suatu
gerakan, dimana kontraksi dari otot itu sendiri menghasilkan suatu usaha
mekanik untuk gerakan, yang akhirnya mengakibatkan disfungsi pada tulang.
Maka tanda awal yang biasanya menyertai gangguan ini yaitu pasien
mengalami kelamahan otot maupun keterbatasan gerak sehingga menurunkan
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari ( Smeltzer & Bare,
2001:2264-2273)
Diagnosa gangguan mobilitas fisik dapat ditegakkan apabila
terdapat batasan karakteristik mayor (80% - 100%), penurunan kemampuan
untuk bergerak dengan sengaja dalam lingkungan ( misal mobilitas ditempat
tidur, berpindah, keterbatasan rentang gerak). Karakteristik minor (50% -
80%), pembatasan pergerakkan yang dipaksakan, dan enggan untuk bergerak
(Carpenito, 2000: 243).
Pada Tn. J masalah ini muncul karena didapatkan data subjektif,
pasien mengatakan tidak bisa menggerakkan tangan kanan sampai telapak
tangan dan terasa kaku. Data objektif yang muncul yaitu terdapat balutan luka,
terpasang pen pada humerus. Dengan demikian data tersebut menunjang untuk
pengangkatan diagnosa gangguan mobilitas fisik karena terdapat kriteria
antara hasil pengkajian dengan batasan karakteristik mobilitas.
Penulis memprioritaskan diagnosa ini sebagai diagnosa yang kedua
karena dalam kebutuhan dasar manusia menurut Hirarki Maslow dalam Potter
& Perry (2005:6150), gangguan mobilitas termasuk dalam kebutuhan nomer
kedua yaitu dalam keselamatan fisik. Kebutuhan aktivitas termasuk
kedalamanya dan sebagai penyokong dalam ambulasi secara dini setelah
53
operasi. Akibat bila masalah ini tidak teratasi akan terjadi gangguan
beraktivitas.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka Implementasi yang
dilakukan adalah :
a. memberikan motivasi untuk pasien dan keluarga agar pasien
makan makanan yang banyak mengandung protein, kalsium, dan mineral
seperti ikan, telur, tempe, buah buahan, susu yang banyak mengandung
kalsium rasional untuk memenuhi nutrisi pada tulang sehingga proses
penyembuhan tulang dapat terjadi dengan cepat dan tepat waktu (Doengoes,
2000: 764).
b. Melatih mobilisasi rentang gerak aktif dan kompres hangat pada
anggota gerak yang tidak sakit pada pergelangan tangan rasionalnya
meningkatkan aliran darah ke otot untuk meningkatkan tonus otot (Doengoes,
2000: 764).
c. Menganjurkan pasien untuk immobilisasi pada daerah yang
fraktur untuk mencegah kesalahan posisi tulang atau tegangan jaringan yang
cedera, dan mencegah terjadinya pergeseran antar fragment tulang (Doengoes,
2000:764).
d. Memotivasi keluarga agar mau memenuhi kebutuhan ADL
pasien selama sakit seperti sibin mengganti pakaian yang kotor rasional
membantu personal hygien pasien (Doengoes, 2000:764).
Evaluasi dilakukan pada hari Kamis, 29 April 2010 jam 14.00 WIB
yaitu diperoleh data subjektif pasien mengatakan sudah bisa menggerakkan
54
pergelangam tangannya perlahan-lahan, pergelangan tangan terasa tidak
begitu kaku, dengan data tersebut maka dapat disimpulkan masalah teratasi
sebagian karena dalam kriteria hasil yang diharapkan pergelangan tangan tidak
kaku. Dan pada pasien hanya bisa menggerakkan pergelangan tangannya dan
tidak kaku lagi. Menurut Smeltzer & Bare (2001:2369), proses penyembuhan
tulang yang terjadi pada fraktur humeri yaitu memerlukan waktu 6 sampai 10
minggu sehingga pasien harus menghindari aktivitas berlebih.
Dalam menangani masalah mobilitas fisik penulis menemukan
beberapa faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung masalah ini
yaitu pasien sangat kooperatif dalam latihan mobilitas atau rentang gerak aktif
pada pergelangan tangan dengan gerakan pleksi, ekstensi, rotasi dan oposisi.
Sedangkan faktor penghambatnya yaitu tidak dilakukanya terapi mobility oleh
keluarga secara berkelanjutan sehingga sering terjadi kekakuan lagi karena
keluarga pasien cenderung membiarkan.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka laserasi dan luka post
operasi.
Menurut Doengoes (2001:762), kerusakan integritas kulit
disebabkan oleh laserasi kulit, avulasi jaringan, perdarahan. Perubahan warna
dan pembengkakan lokal.
Menurut Potter & Perry (2005:1861), luka laserasi merupakan luka
yang biasanya terdapat pada permukan kulit dan mengalami perdarahan dan
luka akan terlihat basah. Jika luka laserasi ini mengeluarkan cairan maka
resiko tinggi terhadap infeksi dan luka akan tetep terbuka hingga terisi oleh
55
jaringan parut yang dimana jaringan parut yang luas dapat menyebabkan
kehilangan fungsi jaringan kulit yang permanen.
Diagnosa ini dapat ditegakkan apabila terdapat batasan
karakteristik mayor yaitu, gangguan jaringan epidermis dan dermis, dan
batasan karakteristik minor yaitu, pencukuran kulit, eritema, lesi (primer
maupun sekunder) pruritus (Carpenito, 2001:302).
Pada Tn. J diagnosa ini muncul karena didapatkan data subjektif
pasien mengatakan perih pada daerah sekitar luka post op dan pada luka post
op dan kurang nyaman dengan balutannya. Data objektif yang muncul yaitu
tampak adanya perubahan warna kecoklatan pada daerah sekitar luka post op,
adanya pembengkakan pada dibawah siku, terdapat 13 jahitan luka post op,
dengan keadaan luka post op bersih, tapi masih basah. Dengan demikian data
tersebut menunjang untuk pengangkatan diagnosa kerusakan integritas kulit
karena terdapat kriteria antara hasil pengkajian dengan batasan karakteristik
kerusakan integritas kulit.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka implementasi yang
dilakukan adalah :
a. Melakukan ganti balutan luka pos op dengan tehnik aseptik atau
steril rasionalnya yaitu mencegah terjadinya infeksi atau kadar kontaminasi
dengan mikroorganisme (Doengoes, 2001: 771).
b. Melakukan perawatan luka rasionalnya dilakukan karena
penyembuhan luka bergantung pada keadaan luka yang bersih dan tanpa
kontaminasi sehingga proses penyembuhan luka lebih cepat (Potter & Perry,
2005: 1865).
56
c. memberikan balutan luka yang baru dengan kekencangan yang
sesuai dengan kenyamanan pasien rasionalnya bila pasien merasa nyaman
maka tercipta sugesti pada pasien bahwa luka akan segera sembuh.
d. menganjurkan balutan agar selalu dalam keadaan kering
rasionalnya supaya tidak terjadi kontaminasi mikrobakteri yang terbawa oleh
cairan yang masuk sehingga proses penyembuhan lebih cepat.
Evaluasi akhir yang dilakukan pada hari Kamis, 29 April 2010
yaitu, diperoleh data subjektif pasien mengatakan masih perih pada luka post
operasi, dan lebih nyaman setelah diganti balutannya, dengan data objektif
yaitu, masih ada perubahan warna kecoklatan pada daerah sekitar luka post
operasi, terdapat jumlah jahitan yaitu 13, keadaan luka jahitan masih basah,
luka bersih, dari data tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa masalah
teratasi sebagian karena pada kriteria hasil, oedema berkurang, luka jahitan
kering, dan luka tetap bersih. Sedangkan pada kasus ini masalah yang sudah
teratasi yaitu, luka bersih.
Dalam melakukan implementasi diatas, penulis menemukan
beberapa faktor pendukung dan penghambat pendukung yaitu pasien sangat
kooperatif saat dilakukan perawatan luka dan keinginan pasien untuk cepat
pulang sehingga mempermudah dalam proses penyembuhan luka, selain itu
pasien juga mengkonsumsi makanan dengan tinggi protein seperti telur, ikan,
dan lain-lainsehingga luka cepat kering. Protein dalam hal ini terdiri dari asam
amino esensial untuk mendukung pertumbuhan dan mempertahankan
keseimbangan nitrogen yang dimana nitrogen disimpan oleh tubuh dan
mempengaruhi kemampuan sel dan jaringan untuk melakukan regenerasi atau
57
kembali ke struktur normal melalui pertumbuhan sel juga mempengaruhi
penyembuhan luka (Potter & Perry, 2001:1423:1853).
4. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan sering timbulnya nyeri.
Gangguan pola tidur adalah keadaan ketika individu mengalami
atau berisiko mengalami suatu perubahan dalam kuantitas atau kualitas pola
istirahatnya yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gaya
hidup yang diingininya (Carpenito, 2007: 456).
Nyeri adalah pengalaman sensasi emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau
menunjukkan adanya kerusakan (Nanda, 2006: 146).
Istirahat dan tidur sering memberikan perasaan terlepas sementara
dari tekanan. Bagaimana pun, istirahat dapat juga menjadi metode yang tidak
produktif untuk menyelesaikan tekanan; klien mungkin bergantung pada tidur
sebagai cara untuk melarikan diri dari tekanan. Sering pola istirahat
mengalami perubahan karena penyakit atau rasa nyeri (Potter & Perry, 2006:
615).
Batasan karakteristiknya adalah terbangun dalam waktu lama,
insomnia dalam waktu lama, kerusakan pola normal karena diri sendiri, onset
menular tidur >30 menit, insomnia pagi hari, terbangun lebih awal atau
terlambat bangun, mengeluhkan untuk mulai tidur, mengeluhkan istirahat
merasa tidak puas, peningkatan proporsi tidur tahap1, jumlah tidur kurang dari
kebutuhan sesuai umur, tidur tidak puas, tiga kali atau lebih bangun di malam
hari, penurunan proporsi tidur tahap 3 dan 4 (hiporesponsif, tidur berlebih),
58
penurunan proporsi tidur REM (REM yang kembali, hiperaktif, emosi labil,
agitasi, impulsif, gambaran polisomnografi atipikal), penurunan kemampuan
fungsi (Nanda, 2006: 203).
Munculnya diagnosa tersebut didukung oleh data subyektif pasien:
pasien mengatakan sulit untuk tidur karena nyeri, data obyektif: pasien tampak
menguap, mata pasien tampak merah, pasien tampak gelisah, kelopak mata
agak berwarna hitam, pasien tidur siang 1 jam/hari dan malam hari ± 3
jam/hari.
Menurut Potter & Perry (2006: 615) setiap manusia mempunyai
kebutuhan dasar fisiologis untuk istirahat yang teratur. Jumlah kebutuhan
istirahat bervariasi, bergantung pada kualitas tidur, status kesehatan, pola
aktivitas, gaya hidup, dan umur seseorang, maka dari itu penulis
memprioritaskan masalah gangguan istirahat tidur menjadi prioritas ke empat.
Kebutuhan istirahat tidur merupakan kebutuhan fisiologis, dimana menurut
Hirarki Maslow kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling dasar.
Klien sakit kronis membutuhkan istirahat lebih banyak dibanding orang yang
sehat dengan umur yang sama.
Untuk mengatasi permasalahan di atas implementasi yang
dilakukan adalah :
a. Menganjurkan pasien sebelum tidur membaca atau mengobrol
dengan keluarga/oarang lain rasional karena dengan membaca dan mengobrol
yang lama akan mengakibatkan kelelahan (Doenges, 2000).
b. Menganjurkan untuk melakukan relaksasi sebelum tidur dengan
rasional karena kondisi rileks dapat meningkatkan kualitas tidur pasien
59
sehingga diharapkan kebutuhan dasar fisiologis dapat terpenuhi (Doenges,
2000).
c. Menciptakan suasana tidur yang nyaman dan bersih seperti
mengatur posisi semi fowler dan membersihkan tempat tidur dengan rasional
posisi yang nyaman dan tempat tidur yang bersih akan meningkatkan
keinginan untuk istirahat (Doenges, 2000).
d. Batasi jumlah pengunjung dengan rasionalisasi dalam kondisi
tenang dapat meningkatkan kualitas tidur pasien (Doenges, 2000).
Adapun evaluasi yang di dapat pada tanggal 29 April 2010 jam
14.00 WIB, data subyektif: pasien mengatakan masih susah untuk tidur, data
obyektif: pasien tampak sering menguap, mata pasien masih tampak merah.
dari data tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa masalah belum teratasi
karena pada kriteria hasil mata pasien tidak kemerahan lagi, pasien tidak
terlihat gelisah, dan pasien tidak sering menguap.
Selama pelaksanaan pada masalah gangguan istirahat tidur
ditemukan beberapa faktor yang mendukung pelaksanaan ini yaitu
kooperatifnya pasien dan bersedianya keluarga untuk memberi motivasi agar
pasien mau tidur. Sedangkan faktor yang menghambat pelaksanaan ini adalah
sering munculnya nyeri dan faktor lingkungan seperti pengunjung yang
berlebih sehingga dapat mengganggu kenyamanan istirahat pasien.