Bab 2 Tinjauan Pustaka
description
Transcript of Bab 2 Tinjauan Pustaka
-
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Spirulina
Spirulina lebih banyak digunakan sebagai bahan pangan dari pada jenis
mikroalga lain karena memiliki beberapa keunggulan. Spirulina adalah salah satu
mikroalga yang relatif cepat bereproduksi dan mudah dalam sistem
pemanenannya. Biomassa sel Spirulina jauh lebih mudah larut dalam pelarut
polar seperti pada air dan buffer fosfat bila dibandingkan dengan pelarut kurang
polar. Spirulina telah teruji aman untuk dikonsumsi. Selama bertahun-tahun
berbagai badan pangan internasional telah melaporkan efek toksisitas yang negatif
dari produk-produk Spirulina (Angka dan Suhartono 2000).
Spirulina merupakan kelompok Cyanobacteria yang secara fisiologi banyak
galurnya. Spirulina telah dikoleksi dan dibiakkan melalui percobaan yang
bertujuan untuk mendapatkan produksi yang intensif. Spirulina fusiformis adalah
salah satu varian mikroalga Spirulina yang berasal dari Madurai, India. Secara
taksonomi Spirulina diklasifikasikan (Bold dan Wyne 1978) sebagai berikut:
Kingdom : Protista
Filum : Cyanobacteria
Divisi : Cyanophyta
Kelas : Cyanophyceae
Ordo : Nostocales
Famili : Oscillatoriaceae
Genus : Spirulina
Spesies : Spirulina sp.
Spirulina fusiformis memilki tiga varian, yaitu: (1) varian tipe S memiliki
ciri-ciri gulungan dengan jarak yang lebar; (2) varian tipe C memiliki ciri-ciri
gulungan dengan jarak yang dekat; dan (3) varian tipe H memiliki ciri-ciri jarak
gulungan yang paling dekat dan tipis (Richmond 1988). Morfologi Spirulina
secara umum (Tietze 2004) disajikan pada Gambar 1.
-
5
Gambar 1 Spirulina
Spirulina memiliki kandungan 62% asam amino, sebagai sumber vitamin
B-12 alami paling kaya, mengandung keseluruhan spektrum alami dari campuran
karoten dan xantofil (Kozlenko dan Henson 2007). Awalnya, Spirulina
merupakan bahan makanan tradisional penduduk asli Meksiko yang tinggal di
dekat danau Texcoco dan penduduk Afrika yang bermukim di dekat danau Chad
(Tietze 2004).
Pemanfaatan Spirulina lebih tinggi daripada mikroalga lainnya karena
Spirulina memiliki kualitas tinggi terutama dalam bentuk kering. Kandungan
protein Spirulina berkisar 60-71% bk (Spolaroe et al. 2006). Komposisi kima
Spirulina disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia Spirulina
Komponen Konsentrasi (%w/w)
Protein 60-71
Lemak 6-7
Karbohidrat 13-16 Sumber: Spolaroe et al. (2006)
Spirulina merupakan mikroalga yang tidak menghasilkan kandungan lemak
tinggi. Kandungan lemak Spirulina berkisar antara 6-7% (Spolaore et al. 2006).
Kandungan karbohidrat Spirulina diperoleh melalui pembentukan glukosa selama
proses fotosintesis memerlukan sumber karbon dan cahaya, selain sebagai larutan
penyangga, NaHCO3 yang digunakan pada kultur Spirulina merupakan sumber
karbon yang dibutuhkan untuk proses sintesis karbohidrat. Kandungan
karbohidrat yang terdapat pada alga hijau biru ini berkisar antara 15-25%
(Belay et al. 2007).
Kemampuan Spirulina untuk menurunkan kadar glukosa darah dimungkinkan
melalui beberapa mekanisme. Penelitian Layam et al. (2007) menunjukkan
-
6
kemampuan Spirulina platensis menurunkan kadar glukosa darah, kemudian
menaikkan plasma insulin, C-peptida, dan hemoglobin darah tikus dengan kondisi
diabetes. Perlakuan pemberian oral Spirulina terhadap tikus juga meningkatkan
aktivitas enzim heksokinase dan menurunkan aktivitas enzim glukosa-6-fosfat
(G6P).
Hasil penelitian dari Layam et al. (2007) dengan perlakuan pemberian oral
Spirulina platensis 15 mg/kg BB mampu menurunkan kadar glukosa darah dari
tikus yang diinduksi streptozotocin yaitu, dari 232,33 mg/dl menjadi 114,00 mg/dl
serta mampu mengontrol kestabilan bobot badan selama percobaan, yaitu berkisar
antara 202,67 g 213,50 g. Hasil penelitian Mridha et al. (2010) juga
menunjukkan bahwa mikroalga Spirulina platensis dengan dosis 150 mg/kg BB
mampu menurunkan kadar glukosa darah hingga 33% dari kondisi kontrol, yaitu
dari 166,944,95 mg/dl menjadi 111,8115,46 mg/dl.
2.1.1 Kultivasi Spirulina
Kondisi optimum kultivasi umumnya dicapai ketika berada pada fase
pertumbuhan (logaritmik) dan berada dalam tingkat pertumbuhan yang maksimal
(Pamungkas 2005). Faktor lingkungan sangat penting untuk diperhatikan karena
dapat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan perkembangbiakan
Spirulina (Richmond 1988).
Kultivasi atau produksi Spirulina pada dasarnya meliputi penumbuhan
ganggang (kultur), pemanenan, pencucian, pengeringan dan penyimpanan produk
(Angka dan Suhartono 2000). Faktor lingkungan yang berpengaruh utama pada
kultivasi Spirulina adalah nutrien, suhu, dan cahaya. Pertumbuhan sel akan
ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau kultur pada media dan
bertambah tingginya nilai absorbansi pada 480 nm (Richmond 1988).
Nutrien dalam media tumbuh sangat berpengaruh dalam kultivasi
Spirulina fusiformis. Bila keberadaanya tidak merata maka pertumbuhan kultur
akan terganggu. Faktor utama dalam media tersebut sangat tergantung dari hara
nitrogen dan fosfat serta faktor eksternal pertumbuhan seperti cahaya dan suhu.
Penyebaran ketiga faktor harus merata sehingga diperlukan pengadukan. Alkali
tinggi merupakan hal penting dalam pertumbuhan Spirulina yang dapat diwakili
-
7
oleh pH optimum pertumbuhan 8,3-11,0. Larutan penyangga yang baik pada
media tumbuh adalah 0,2 M NaHCO3 (Richmond 1988).
Suhu optimum untuk kultur Spirulina pada laboratorium berkisar antara
35-37C (Richmond 1988). Suhu minimumnya berkisar antara 18-20C
(Borowitzka dan Borowitzka 1988). Pada daerah beriklim tropis, Spirulina dapat
tumbuh optimum pada kisaran suhu 25-35C (Kuniastuty dan Isnansetyo 1995).
Ukuran Spirulina cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari medium
melalui filtrasi. Di negara berkembang seperti Chad Afrika, pemisahan Spiruina
cukup dilakukan dengan kain penyaring (Angka dan Suhartono 2000). Spirulina
segar difiltrasi dengan filter berukuran 20 m (Desmorieux dan Decaen 2006).
Proses pengeringan pada produksi Spirulina komersial merupakan pertimbangan
ekonomi yang sangat penting dan dapat mencapai 30% dari biaya produksi.
Pemanenan dengan filtrasi dapat mempertahankan kandungan fikosianin lebih
tinggi pada Spirulina (Mohammad 2007).
2.1.2 Pertumbuhan Spirulina
Pertumbuhan sel ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau kultur
pada media dan bertambah tingginya nilai absorban. Cahaya merupakan faktor
pembatas yang lebih dominan pada pertumbuhan Spirulina diikuti oleh nutrien
dan temperatur. Ketersediaan cahaya untuk setiap sel pada kultur fotoautotropik
merupakan fungsi dari intensitas serta lama pencahayaan dengan konsentrasi sel
atau kepadatan populasi (Richmond 1988). Kultivasi Spirulina dengan intensitas
cahaya 5400 lux dengan bantuan lampu TL (tube lamp) dapat menghasilkan
pertumbuhan yang maksimal setelah beberapa hari periode waktu kultur
(Vonshak 1985).
Kultivasi mikroalga pada media yang terbatas terdiri dari beberapa fase
pertumbuhan. Fase pertumbuhan tersebut meliputi fase lag, fase eksponensial,
fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian (Fogg 1975).
Fase pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
-
8
Gambar 2 Fase pertumbuhan sel alga (Fogg 1975) (1: fase lag; 2: fase eksponensial; 3: fase deklinasi; 4: fase stasioner; dan :5 fase kematian)
Fase lag ditandai dengan peningkatan populasi yang tidak terlalu nyata. Fase
ini juga disebut dengan fase adaptasi karena sel mikroalga sedang beradaptasi
terhadap media pertumbuhannnya. Fase selanjutnya adalah fase eksponensial
yang ditandai dengan tingginya laju pertumbuhan. Hal ini terjadi karena
mikroalga sedang aktif berkembangbiak (Fogg 1975).
Setelah pertumbuhan yang begitu cepat, kandungan nutrisi mulai berkurang
sehingga mulai mengalami penurunan laju pertumbuhan yang disebut sebagai fase
deklinasi. Menurut Diharmi (2001), berkurangnya nitrogen dan fosfat,
menurunnya konsentrasi CO2 dan O2, serta kenaikan pH medium menjadi faktor
dalam penurunan laju pertumbuhan pada fase ini.
Dua tahap selanjutnya dalam fase pertumbuhan mikroalga adalah fase
stasioner dan kematian. Fase stasioner, pada fase ini pertambahan jumlah populasi
seimbang dengan laju kematian sehingga seperti tidak ada penambahan populasi.
Pertumbuhan sel yang baru juga dihambat dengan keberadaan sel yang telah mati
dan faktor pembatas lainnya (Fogg 1975). Fase kematian ditandai dengan
penurunan produksi biomasa karena kematian dan sel lisis (Vonshak 1985).
2.2 Fikosianin
Fikosianin merupakan senyawa protein yang termasuk ke dalam kelompok
fikobiliprotein seperti fikosianin dan fikoeritrin. Seluruh kelompok
fikobiliprotein bersifat larut air dan membentuk struktur senyawa fikobilosom
yang melekat pada membran tilakoid. Struktur dari fikosianin bilin kromofor dan
bilirubin disajikan pada Gambar 3 (Chopra dan Bishnoi 2007).
-
9
Gambar 3 Struktur kimia fikosianin bilin kromofor (a) dan bilirubin (b).
Fikosianin menyerap warna jingga, merah terang, dan memancarkan warna
biru terang. Fikosianin umumya terdapat dalam divisi Rhodophyta (alga merah),
Cyanophyta (alga biru-hijau) dan Cryptophyta (alga kriptomonad). Pigmen biru
fikosianin memiliki absorbsi maksimum pada panjang gelombang 620 nm
(Richmond 1988). Fikosianin juga dapat dikatakan sebagai senyawa penyimpan
nitrogen dengan diketahuinya bahwa konsentrasi fikosianin tertinggi diperoleh
ketika Spirulina platensis dikultivasi pada konsentrasi nitrogen yang tinggi
(Boussiba dan Richmond 1979).
Fikosianin dari Spirulina, dapat menghambat radikal hidroksil
(IC50= 0,91 mg/ml) dan alkoksil (IC50 = 0,76g/ml ), menghambat peroksidasi
lemak pada mikrosomal hati dengan IC50 = 12 mg/ml (Romay et al. 1998); ekstrak
metanol fikosianin mampu menghambat lebih dari 95% proksidasi otak tikus
dengan IC50 = 180 mcg (Miranda et al. 1998); mempunyai aktifitas antioksidan
lebih besar dari -tokoferol, zeaxanthin, dan asam kafeiat pada basis molar
(Hirata et al. 2000). Aktivitas antioksidannya juga dibandingkan dengan ekstrak
mikroalga lainnya yaitu, ekstrak Chlorella, percobaan dengan metode DPPH
menunjukkan EC50 19,39 0,65 mol asam askorbat/g ekstrak Spirulina lebih
besar dibandingkan EC50 14,04 1,06 mol asam askorbat/g ekstrak Chlorella
(Wu et al. 2005).
2.2.1 Ekstraksi Fikosianin
Menurut Boussiba dan Richmond (1979), diketahui bahwa biomasa sel
Spirulina akan jauh lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti pada air dan
buffer bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Kandungan fikosianin
dalam biomasa sel juga tergantung banyak sedikitnya suplai nitrogen yang
dikonsumsi oleh Spirulina.
-
10
Fikosianin merupakan pigmen fotosintetik utama pada Spirulina disamping
peranannya sebagai penyimpan cadangan nitrogen dan asam amino. Fikosianin
merupakan protein yang bersifat larut air yang dapat dibebaskan secara sederhana
yaitu oleh penghancuran mekanis, seperti perlakuan pembekuan kemudian
dicairkan (freeze-thaw). Pada saat ini fikosianin dicanangkan sebagai bahan
pewarna alami bagi pangan dan kosmetik (Angka dan Suhartono 2000).
Fikosianin dapat diperoleh dengan mengekstrak serbuk biomasa
Spirulina fusiformis dengan buffer fosfat pH 7 dan dibaca absorbansinya pada
panjang gelombang 620 nm dengan buffer fosfat sebagai blanko. Kadar fikosianin
dihitung secara kuantitatif dengan cara menghitung absorbansi yang didapat dari
hasil ekstraksi (Lorenz 1998).
2.3 Diabetes Mellitus dan Hiperglikemia
Diabetes biasanya menunjukkan konsentrasi glukosa abnormal yang tinggi
dalam darah, kondisi ini disebut hiperglikemia (Lechninger 1982). Kadar gula
darah normal berkisar antara 60 mg/dl sampai 145 mg/dl. Tanda-tanda lain dari
diabetes melitus meliputi poliuria (banyak kemih), polidipsia (banyak minum),
polifagia (banyak makan), lemas, berat badan turun, dan kenaikan gula darah
puasa 140 mg/dl (Gibney et al. 2008).
Klasifikasi yang ada sekarang ini meliputi berbagai stadium klinis dan tipe
etiologi penyakit diabetes melitus serta kategori hiperglikemia lainnya, antara lain
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, Diabetes
gestasional, dan sindrom metabolik atau sindrom X, serta golongan resiko
statistik, yaitu semua orang dengan toleransi glukosa normal tetapi mempunyai
risiko yang lebih besar untuk mengidap DM (Gibney et al. 2008).
Kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT, impaired glucose tolerant)
merupakan tahap terjadinya gangguan pada regulasi glukosa karena keadaan ini
dapat terlihat pada setiap kelainan hiperglikemia. Meskipun demikian, TGT
sangat berpotensi untuk berkembang menjadi pasien DM. Kasus TGT akan
menjadi kasus DM hingga 50% dalam waktu 2-12 tahun. Tanda-tanda TGT dapat
dikenali dengan mudah melalui pemeriksaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral)
dan kepada para penyandang TGT harus disarankan untuk mengambil
langkah-langkah pencegahan (Gibney et al. 2008).
-
11
Gangguan toleransi glukosa pada penderita diabetes antara lain disebabkan
menurunnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel jaringan perifer dan
gangguan fungsi glukostatik dalam hati. Pada keadaan defisiensi insulin, jumlah
glukosa yang masuk ke dalam otot rangka, otot jantung, otot polos, dan jaringan
lain berkurang. Walaupun pengambilan glukosa oleh hati juga menurun, tetapi
hal ini tidak mempunyai efek secara langsung. Absorbsi glukosa dalam usus tidak
terpengaruh, demikian pula penyerapan kembali dari urin oleh sel-sel tubuli
ginjal. Pengambilan glukosa oleh sel-sel otak dan darah merah juga normal
(Pranadji et al. 1999).
Hormon insulin dalam kondisi normal berfungsi untuk membantu sintesis
glikogen dan menghambat output glukosa dari hati. Bila kadar gula dalam darah
meningkat, dalam keadaan normal sekresi insulin juga meningkat dan
glukoneogenesis akan menurun. Pada keadaan diabetes, fungsi ini tidak terdapat
sehingga terjadi gangguan toleransi glukosa (Pranadji et al. 1999).
Metabolisme glukosa dapat berjalan secara normal melalui mekanisme
timbal-balik hormon insulin-gukagon untuk menjaga kadar glukosa darah tetap
normal. Peranan insulin adalah membantu mengubah glukosa menjadi energi
bagi sel dengan cara mentransfer glukosa darah ke dalam sel-sel yang
membutuhkan. Glukosa dalam darah tidak dapat digunakan sebagai energi, untuk
itu glukosa harus ditranfer terlebih dahulu ke dalam sel melalui proses oksidasi
dalam sel (respirasi). Kemudian, jika kondisi tubuh sedang lapar, konsentrasi
glukosa darah menurun. Hormon glukagon, yang disekresikan oleh
sel pankreas, glikogen hati akan dipecah menjadi glukosa dan dilepaskan
kembali ke dalam darah untuk menjaga konsentrasi darah tetap normal
(Wijayakusuma 2006).
2.3.1 Efek hiperglikemia pada diabetes melitus
Peningkatan glukosa darah pasca makan (postprandial hyperglycemia)
merupakan awal terganggunya metabolisme yang terjadi pada DM tipe-2.
Kondisi ini mempercepat perkembangan penyakit diabetes melitus yang
disebabkan toksisitas glukosa dalam otot dan sel beta pankreas juga menginisiasi
perkembangan awal komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular
(Lee et al. 2007).
-
12
Hiperglikemia dapat menyebabkan gejala-gejala yang diakibatkan oleh
hiperosmolaritas darah. Gula darah melebihi normal, sehingga gula ikut
dikeluarkan oleh ginjal. Keadaan dengan adanya glukosa dalam urin disebut
glukosuria. Gula yang bersifat menarik cairan ke dalam air kemih, akibatnya
volume air kemih berlebih dan penderita menjadi sering kencing. Keadaan ini
disebut poliuria. Kehilangan cairan yang berlebihan melalui urin menyebabkan
terjadinya hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan timbulnya rasa haus
sehingga penderita banyak minum atau polidipsia. Akibat adanya gangguan pada
transportasi gula ke sel-sel jaringan, terutama sel-sel otot, sel-sel tersebut akan
kekurangan energi. Disamping itu, adanya glukosuria berarti tubuh kehilangan
energi secara percuma. Tubuh kehilangan 4,1 kkal untuk setiap gram glukosa.
Penderita akan merasa lemas dan lapar, sehingga banyak makan. Hal ini disebut
polifagia. Konsumsi karbohidrat berlebih akan menutupi kehilangan ini dengan
mudah, tetapi sekaligus meningkatkan glukosa darah lebih lanjut dan
meningkatkan glukosuria. Hal ini akan mengakibatkan mobilisasi protein
endogen dan cadangan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan
(Pranadji et al. 1999).
Salah satu pendekatan terbaik untuk menurunkan glukosa darah pasca makan
ialah dengan memperlambat absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja
penghidrolisis karbohidrat seperti -glukosidase. Usaha menjaga tingkat glukosa
darah menjadi rendah atau normal dapat menurunkan angka penderita komplikasi
diabetes melitus (Lee et al. 2007).
2.3.2 Pengobatan Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
tetapi dapat dikontrol. Pengendalian DM dapat dilakukan dengan perencanaan
diet, latihan jasmani, penyuluhan atau pendidikan kesehatan, serta pemberian obat
hipoglikemik. Obat antidiabetes oral maupun suntikan, khususnya untuk diabetes
tipe 2, karena obat diperlukan jika perencanaan diet dan olahraga jasmani tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Obat hipoglikemik oral dibagi dalam
5 golongan (Subroto 2009), antara lain:
-
13
(1) golongan sulfonilurea, obat ini bekerja dengan cara merangsang sel
-pulau Langerhans pankreas untuk mensekresikan insulin. Contohnya
glibenclamide dan glibonuride;
(2) golongan biguanid, mekanisme kerja obat ini adalah mengurangi resistensi
insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot, dan organ tubuh
lainnya. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah metformin,
phenformin, dan buformin.
(3) golongan thiazolidinedion, mekanisme kerjanya sama dengan derivat
biguanid. Contoh obat golongan ini adalah troglitazone.
(4) golongan miglitinida, obat ini bekerja dengan cara merangsang sekresi
insulin dari pankreas segera setelah makan. Contoh obat golongan ini adalah
replaginida. Efek samping dari penggunaan obat ini meliputi hipoglikemia
dan kenaikan berat badan.
(5) golongan inhibitor -glukosidase, mekanisme kerja obat golongan ini
adalah dengan menginhibisi secara reversibel kompetitif terhadap enzim
hidrolase -amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus
seperti isomaltase, sukrase, dan maltase. Enzim-enzim ini berperan pada
hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya.
Obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah Acarbose dan
Miglitol.
Acarbose (merek dagang Precose dan Glucobay) adalah inhibitor
-glukosidase. Mekanisme kerja inhibitor -glukosidase adalah dengan
memperlambat pemecahan disakarida, polisakarida, dan karbohidrat kompleks
lainnya menjadi monosakarida (Sugiwati 2005).
Pembuatan glukosa secara enzimatis dan absorpsi glukosa selanjutnya
ditunda, dan dalam kondisi setelaah makan nilai glukosa darah yang tinggi pada
penderita diabetes tipe II, dapat dikurangi dengan IAG. IAG tidak mencegah
absorpsi karbohidrat dan gula kompleks, tetapi menunda absorpsinya.
Kelemahannya adalah harus dimakan bersama makanan dan mempunyai efek
samping pada pembentukan gas di perut, kembung, diare, dan kram usus
(Lee et al. 2007).
-
14
2.3.3 Tes Toleransi Glukosa
Diagnosis yang digunakan dalam mengidentifikasi penyakit diabetes melitus
dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah. Standardisasi kriteria oleh
the National Diabetes Data Group of the USA (NDDG) dan komite pakar
organisasi kesehatan dunia (WHO) menghasilkan keseragaman hingga taraf
tertentu bagi berbagai penelitian global terhadap kelainan metabolik tersebut.
Kriteria diagnosis yang lebih sensitif ditunjukkan oleh uji toleransi glukosa
(Gibney et al. 2008).
Tes ini memerlukan puasa 12-18 jam sebelum darah diambil untuk
pemeriksaan. Puasa adalah keadaan tanpa suplai makanan (kalori) selama
minimum 8 jam, tetapi tetap diperbolehkan minum air putih. Jadi, bukan puasa
makan dan minum seperti yang biasa dilakukan. Berdasarkan American Diabetes
Association (ADA) 1998, terdapat dua tes yang dapat dijadikan sebagai dasar
diagnosis terhadap diabetes mellitus yang didasarkan pada pemeriksaan kadar
glukosa plasma vena, yaitu kadar glukosa darah sewaktu (tidak puasa)
200 mg/dL; dan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL. Pada tes toleransi
glukosa oral (TTGO), kadar glukosa darah yang diperiksa kembali setelah 2 jam
(Wijayakusuma 2006).
Glukosa pada penderita diabetes menumpuk di dalam darah, terutama pada
keadaan setelah makan. Apabila pada penderita diabetes diberikan glukosa secara
oral dengan dosis tertentu (75 g glukosa) maka gula darahnya akan meningkat
lebih tinggi dari orang normal dan turunnya pun juga lebih lambat. Tes ini
disebut sebagai tes toleransi glukosa oral (Pranadji et al. 1999).
Metode TTGO merupakan kriteria diagnosis yang paling sensitif dan
menghasilkan keseragaman hingga taraf tertentu bagi berbagai penelitian global
terhadap kelainan metabolik tersebut. Prinsip yang digunakan dalam metode
TTGO adalah mengukur kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa. Kadar
glukosa darah ditingkatkan dengan pemberian sukrosa secara oral. Kurva
Toleransi Glukosa Oral (TGO) akan meningkat tajam dan mencapai puncaknya
dalam waktu 60 menit, setelah pemberian sukrosa. Kurva menurun perlahan dan
mencapai kadar glukosa darah normal setelah 2-3 jam (Gibney et al. 2008).
-
15
2.4 Penentuan kadar glukosa darah dengan Glucose Test Strip
Kadar glukosa darah dapat ditentukan menggunakan prinsip reaksi enzimatik
yang terjadi pada glucose test strip. Reaksi yang terjadi adalah reaksi enzimatik
glukosa darah dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase yang dilapis pada
kertas strip. Pada metode ini kertas strip dilapisi dengan membran selulosa tipis
yang permeabel hanya untuk molekul-molekul kecil seperti glukosa. Persamaan
reaksi enzimatik dari glukosa dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase
(Soetarno et al. 1999) dapat dituliskan sebagai berikut:
-D-Glukosa + O2 + H2O H2O2 + asam glukonat
H2O2 + kalium iodida iodin + H2O
Apabila setetes darah dikenakan pada kertas strip, maka dengan adanya
oksigen, glukosa darah dioksidasi secara enzimatik oleh glukosa oksidase
menghasilkan hidrogen peroksida dan asam glukonat. Selanjutnya, peroksidase
mengkatalis reaksi hidrogen peroksida dengan kromogen kalium iodida
menghasilkan iodin yang berwarna coklat. Intensitas warna yang terbentuk
adalah sebanding dengan jumlah glukosa dalam tetesan darah.
2.5 Model Hewan Percobaan Diabetes Mellitus
Hewan Diabetes Melitus (DM) dapat dijadikan sebagai model dari penyakit
ini pada manusia. Pada kenyataannya tidak ada gejala diabetes melitus pada
hewan yang tepat sama dengan tipe DM pada manusia (Soetarno et al. 1999).
Gejala diabetes melitus yang paling umum dijumpai pada hewan adalah
berupa obesitas, hiperinsulinemia, dan resistensi insulin. Diabetes Mellitus (DM)
selain terjadi secara spontan juga dapat dibuat secara eksperimental dengan
infeksi virus, atau melalui pemberian hormon dan senyawa kimia (Subroto 2009).
Model hewan DM baik spontan dan eksperimental dapat digunakan secara
efektif untuk mempelajari komplikasi, pengobatan, dan pencegahan DM.
Penggunaan senyawa kimia untuk menginduksi hewan menjadi DM
memungkinkan mempelajari secara mendalam proses-proses biokimia, hormonal,
dan morfologi yang terjadi selama dan setelah induksi senyawa kimia tersebut
pada hewan. Senyawa kimia yang telah dipelajari secara ekstensif mampu
menginduksi hewan coba menjadi DM, antara lain, aloksan dan streptozotocin.
glukosa oksidase
peroksidase
-
16
Kedua senyawa ini merusak sel -pulau Langerhans pankreas, sehingga
menyebabkan hiperglikemia permanen (Sugiwati S. 2005).
Tikus telah banyak digunakan dalam penelitian tentang neoplasia, daya kerja
obat, toksikologi, caries gigi, metabolisme lemak, manfaat vitamin, tingkah laku,
alkoholisme, sirosis, arthritis, phenylketonuria, penyakit kuning, intoleransi
fruktosa, hipertensi, diabetes, dan beberapa penyakit menular (Smith dan
Mangkoewidjojo 1988).
Tikus putih telah lama digunakan untuk penelitian karena hewan ini telah
diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara dan cocok untuk
berbagai macam penelitian. Tikus putih (Rattus novergicus) yang dapat
digunakan untuk percobaan terdiri dari beberapa galur atau varietas yang memilki
ciri spesifik, antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih,
berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada kepalanya; galur Wistar yang
dicirikan dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek; dan galur long-evans
yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh
bagian depan (Malole dan Pramono 1999).
Secara garis besar, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan biofisik
antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan. Perbedaan antara tikus dan
manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus; tingkat
pertumbuhan tikus yang lebih cepat dari manusia; kekurangpekaan tikus pada
senyawa neurotoksik dan teratogen. Secara umum, karakteristik fisiologis tikus
disebutkan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Nilai fisiologis tikus
Kriteria Nilai
Berat badan dewasa jantan 450-520 g
Berat badan dewasa betina 250-300 g
Berat lahir 5-6 g
Suhu tubuh 35,9-37,5 C
Konsumsi makanan 10 g/100 g/hari
Konsumsi air minum 10-12 ml/100 g/hari
Volume darah 54-70 ml/kg
Protein serum 5,6-7,6 g/dl
Glukosa serum 50-135 mg/dl Sumber: Malole dan Pramono (1989)
-
17
Beberapa karakteristik anatomis dan fisiologis tikus Sprague Dawley
(Malole dan Pramono 1989), antara lain:
1) Rumus gigi tikus Sprague Dawley adalah 2 (I 1/1, M 3/3) = 16. Gigi seri
tumbuh terus menerus. Tikus akan menggigit atau menjepit dengan gigi
serinya yang tajam jika salah penanganan.
2) Esofagus masuk ke lambung melewati lubang yang kecil karena ada lipatan
jaringan pada lambung. Karena struktur anatomis tersebut, tikus tidak mampu
muntah.
3) Seperti kuda, tikus tersebut tidak mempunyai kantung empedu.
4) Paru-paru kiri terdiri dari satu lobus sementara paru-paru kanan terdiri atas
empat lobus.
5) Tikus memiliki lima pasang kelenjar susu. Distribusi jaringan mammae
tersebar, dari garis tengah ventral melewati panggul, toraks dan bagian leher.
6) Uretra tikus betina tidak berhubungan dengan vagina atau vulva.
7) Kelenjar membran niktitasi (kelenjar Harderian) merupakan kelenjar lakrimal
terpigmentasi yang teletak di belakang bola mata, melingkari saraf optik.
Hasil sekresi dari kelenjar ini kaya akan lemak dan porfirin. Meskipun
banyak spesies lain memiliki kelenjar Harderian, pada tikus kelenjar ini
memiliki fungsi khusus. Selama masa stress dan atau sakit tertentu, air mata
mengalir dan mewarnai wajah di sekitar mata dan hidung. Ketika air mata
mengering, pigmen tersebut memberikan warna seperti darah kering. Pigmen
tersebut akan berpendar saat dipaparkan pada sinar ultraviolet dan
mengandung sedikit darah atau tidak sama sekali.
8) Respon tikus terhadap penurunan suhu ruang/kandang berupa termogenesis
tanpa gemetar. Sedangkan saat suhu kandang meningkat, terjadi vaskularisasi
pada ekornya yang panjang, yang juga berperan sebagai organ
termoregulator. Sebagian besar termogenesis tersebut terjadi pada jaringan
lemak yang coklat, konsentrasi yang paling tinggi ditemukan pada jaringan
subkutan di antara skapula.
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan putih
(Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley berumur sekitar delapan minggu.
Tikus Sprague Dawley dipilih karena tikus ini secara garis besar mempunyai
-
18
banyak kemiripan dengan manusia meliputi fungsi, bentuk organ, proses
biokimia, dan biofisik. Penggunaan tikus Sprague Dawley dalam studi kesehatan
dan penyakit pada manusia, merupakan model yang sangat bagus untuk
toksikologi, reproduksi, farmakologi dan tingkah laku. Esofagus pada tikus
Sprague-Dawley masuk ke lambung melewati lubang kecil karena terdapat lipatan
jaringan lambung sehingga tikus tidak mampu muntah. Tikus ini juga mudah
diperoleh dan telah banyak digunakan dalam penelitian (Smith dan
Mangkoewidjojo 1988).
Galur Sprague Dawley yang umum digunakan untuk penelitian mempunyai
ciri berwarna putih albino, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari
badannya (Malole dan Pramono 1989). Tikus betina tidak digunakan karena
terdapat siklus hormonal bulanan yang dapat memberikan pengaruh terhadap
kadar glukosa darah yang akan diukur. Tikus dikandangkan dalam kandang
individual yang terbuat dari plastik dengan penambahan alas berupa sekam.
Siklus gelap dan terang terjadi secara alami. Kondisi lingkungan diupayakan
pada suhu 222C dengan pemberian kipas angin. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Derelanko et al. (1994) bahwa suhu kandang yang baik untuk tikus
berkisar antara 64,4-78,8F (18-26C).
2.6 Flavonoid dan aktivitas antidiabetes
Flavonoid adalah senyawaan fenol yang paling banyak ditemukan di alam
karena sekitar 2% dari semua karbon yang disintesis tumbuhan diubah menjadi
flavonoid. Struktur dasar dari flavonoid terdiri dari 15 atom karbon dengan
konfigurasi C6-C3-C6 yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan dengan
3 karbon yang dapat atau tidak membentuk cincin ketiga (Markham 1988).
Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki gugus hidroksil yang
tidak tersubstitusi. Sifat fisik ini menjadikannya larut dalam pelarut polar seperti
etanol, metanol, etil asetat, atau campuran pelarut dapat digunakan untuk
mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan.
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa senyawa flavonoid berperan sebagai
antidiabetes. Senyawa golongan flavonol dan flavon, yaitu kuersetin dan krisin,
menunjukkan sifat antidiabetes pada uji in vivo menggunakan tikus. Daya inhibisi
kuersetin jauh lebih tinggi daripada krisin, disebabkan adanya substituen gugus
-
19
hidroksil pada posisi 3 (Lucacinova et al. 2008). Deqiang et al. (2003) telah
mempelajari mengenai antidiabetes pada tanaman Opuntia dillenii. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa komponen flavonoid yang mempunyai fungsi
sebagai antidiabetes adalah flavonol. Hal ini juga diteliti oleh Sugiwati (2005),
yang melaporkan bahwa ekstrak air rebusan buah mahkota dewa tua memberikan
hasil lebih baik daripada ekstrak metanol dalam pengujian secara in vivo sebagai
antihiperglikemik dengan tes toleransi glukosa oral pada tikus putih jantan.
Mekanisme penurunan kadar glukosa pada penelitian ini adalah melalui inhibisi
secara reversible kompetitif terhadap enzim -glukosidase oleh ekstrak tersebut.
Komponen aktif yang berperan di dalamnya adalah flavonoid, fenol, dan tanin.