Bab 2 Tinjauan Pustaka

16
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spirulina Spirulina lebih banyak digunakan sebagai bahan pangan dari pada jenis mikroalga lain karena memiliki beberapa keunggulan. Spirulina adalah salah satu mikroalga yang relatif cepat bereproduksi dan mudah dalam sistem pemanenannya. Biomassa sel Spirulina jauh lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti pada air dan buffer fosfat bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Spirulina telah teruji aman untuk dikonsumsi. Selama bertahun-tahun berbagai badan pangan internasional telah melaporkan efek toksisitas yang negatif dari produk-produk Spirulina (Angka dan Suhartono 2000). Spirulina merupakan kelompok Cyanobacteria yang secara fisiologi banyak galurnya. Spirulina telah dikoleksi dan dibiakkan melalui percobaan yang bertujuan untuk mendapatkan produksi yang intensif. Spirulina fusiformis adalah salah satu varian mikroalga Spirulina yang berasal dari Madurai, India. Secara taksonomi Spirulina diklasifikasikan (Bold dan Wyne 1978) sebagai berikut: Kingdom : Protista Filum : Cyanobacteria Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Ordo : Nostocales Famili : Oscillatoriaceae Genus : Spirulina Spesies : Spirulina sp. Spirulina fusiformis memilki tiga varian, yaitu: (1) varian tipe S memiliki ciri-ciri gulungan dengan jarak yang lebar; (2) varian tipe C memiliki ciri-ciri gulungan dengan jarak yang dekat; dan (3) varian tipe H memiliki ciri-ciri jarak gulungan yang paling dekat dan tipis (Richmond 1988). Morfologi Spirulina secara umum (Tietze 2004) disajikan pada Gambar 1.

description

Skripsi bagian tinjauan pustaka

Transcript of Bab 2 Tinjauan Pustaka

  • 2 TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Spirulina

    Spirulina lebih banyak digunakan sebagai bahan pangan dari pada jenis

    mikroalga lain karena memiliki beberapa keunggulan. Spirulina adalah salah satu

    mikroalga yang relatif cepat bereproduksi dan mudah dalam sistem

    pemanenannya. Biomassa sel Spirulina jauh lebih mudah larut dalam pelarut

    polar seperti pada air dan buffer fosfat bila dibandingkan dengan pelarut kurang

    polar. Spirulina telah teruji aman untuk dikonsumsi. Selama bertahun-tahun

    berbagai badan pangan internasional telah melaporkan efek toksisitas yang negatif

    dari produk-produk Spirulina (Angka dan Suhartono 2000).

    Spirulina merupakan kelompok Cyanobacteria yang secara fisiologi banyak

    galurnya. Spirulina telah dikoleksi dan dibiakkan melalui percobaan yang

    bertujuan untuk mendapatkan produksi yang intensif. Spirulina fusiformis adalah

    salah satu varian mikroalga Spirulina yang berasal dari Madurai, India. Secara

    taksonomi Spirulina diklasifikasikan (Bold dan Wyne 1978) sebagai berikut:

    Kingdom : Protista

    Filum : Cyanobacteria

    Divisi : Cyanophyta

    Kelas : Cyanophyceae

    Ordo : Nostocales

    Famili : Oscillatoriaceae

    Genus : Spirulina

    Spesies : Spirulina sp.

    Spirulina fusiformis memilki tiga varian, yaitu: (1) varian tipe S memiliki

    ciri-ciri gulungan dengan jarak yang lebar; (2) varian tipe C memiliki ciri-ciri

    gulungan dengan jarak yang dekat; dan (3) varian tipe H memiliki ciri-ciri jarak

    gulungan yang paling dekat dan tipis (Richmond 1988). Morfologi Spirulina

    secara umum (Tietze 2004) disajikan pada Gambar 1.

  • 5

    Gambar 1 Spirulina

    Spirulina memiliki kandungan 62% asam amino, sebagai sumber vitamin

    B-12 alami paling kaya, mengandung keseluruhan spektrum alami dari campuran

    karoten dan xantofil (Kozlenko dan Henson 2007). Awalnya, Spirulina

    merupakan bahan makanan tradisional penduduk asli Meksiko yang tinggal di

    dekat danau Texcoco dan penduduk Afrika yang bermukim di dekat danau Chad

    (Tietze 2004).

    Pemanfaatan Spirulina lebih tinggi daripada mikroalga lainnya karena

    Spirulina memiliki kualitas tinggi terutama dalam bentuk kering. Kandungan

    protein Spirulina berkisar 60-71% bk (Spolaroe et al. 2006). Komposisi kima

    Spirulina disajikan pada Tabel 1.

    Tabel 1 Komposisi kimia Spirulina

    Komponen Konsentrasi (%w/w)

    Protein 60-71

    Lemak 6-7

    Karbohidrat 13-16 Sumber: Spolaroe et al. (2006)

    Spirulina merupakan mikroalga yang tidak menghasilkan kandungan lemak

    tinggi. Kandungan lemak Spirulina berkisar antara 6-7% (Spolaore et al. 2006).

    Kandungan karbohidrat Spirulina diperoleh melalui pembentukan glukosa selama

    proses fotosintesis memerlukan sumber karbon dan cahaya, selain sebagai larutan

    penyangga, NaHCO3 yang digunakan pada kultur Spirulina merupakan sumber

    karbon yang dibutuhkan untuk proses sintesis karbohidrat. Kandungan

    karbohidrat yang terdapat pada alga hijau biru ini berkisar antara 15-25%

    (Belay et al. 2007).

    Kemampuan Spirulina untuk menurunkan kadar glukosa darah dimungkinkan

    melalui beberapa mekanisme. Penelitian Layam et al. (2007) menunjukkan

  • 6

    kemampuan Spirulina platensis menurunkan kadar glukosa darah, kemudian

    menaikkan plasma insulin, C-peptida, dan hemoglobin darah tikus dengan kondisi

    diabetes. Perlakuan pemberian oral Spirulina terhadap tikus juga meningkatkan

    aktivitas enzim heksokinase dan menurunkan aktivitas enzim glukosa-6-fosfat

    (G6P).

    Hasil penelitian dari Layam et al. (2007) dengan perlakuan pemberian oral

    Spirulina platensis 15 mg/kg BB mampu menurunkan kadar glukosa darah dari

    tikus yang diinduksi streptozotocin yaitu, dari 232,33 mg/dl menjadi 114,00 mg/dl

    serta mampu mengontrol kestabilan bobot badan selama percobaan, yaitu berkisar

    antara 202,67 g 213,50 g. Hasil penelitian Mridha et al. (2010) juga

    menunjukkan bahwa mikroalga Spirulina platensis dengan dosis 150 mg/kg BB

    mampu menurunkan kadar glukosa darah hingga 33% dari kondisi kontrol, yaitu

    dari 166,944,95 mg/dl menjadi 111,8115,46 mg/dl.

    2.1.1 Kultivasi Spirulina

    Kondisi optimum kultivasi umumnya dicapai ketika berada pada fase

    pertumbuhan (logaritmik) dan berada dalam tingkat pertumbuhan yang maksimal

    (Pamungkas 2005). Faktor lingkungan sangat penting untuk diperhatikan karena

    dapat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan perkembangbiakan

    Spirulina (Richmond 1988).

    Kultivasi atau produksi Spirulina pada dasarnya meliputi penumbuhan

    ganggang (kultur), pemanenan, pencucian, pengeringan dan penyimpanan produk

    (Angka dan Suhartono 2000). Faktor lingkungan yang berpengaruh utama pada

    kultivasi Spirulina adalah nutrien, suhu, dan cahaya. Pertumbuhan sel akan

    ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau kultur pada media dan

    bertambah tingginya nilai absorbansi pada 480 nm (Richmond 1988).

    Nutrien dalam media tumbuh sangat berpengaruh dalam kultivasi

    Spirulina fusiformis. Bila keberadaanya tidak merata maka pertumbuhan kultur

    akan terganggu. Faktor utama dalam media tersebut sangat tergantung dari hara

    nitrogen dan fosfat serta faktor eksternal pertumbuhan seperti cahaya dan suhu.

    Penyebaran ketiga faktor harus merata sehingga diperlukan pengadukan. Alkali

    tinggi merupakan hal penting dalam pertumbuhan Spirulina yang dapat diwakili

  • 7

    oleh pH optimum pertumbuhan 8,3-11,0. Larutan penyangga yang baik pada

    media tumbuh adalah 0,2 M NaHCO3 (Richmond 1988).

    Suhu optimum untuk kultur Spirulina pada laboratorium berkisar antara

    35-37C (Richmond 1988). Suhu minimumnya berkisar antara 18-20C

    (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Pada daerah beriklim tropis, Spirulina dapat

    tumbuh optimum pada kisaran suhu 25-35C (Kuniastuty dan Isnansetyo 1995).

    Ukuran Spirulina cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari medium

    melalui filtrasi. Di negara berkembang seperti Chad Afrika, pemisahan Spiruina

    cukup dilakukan dengan kain penyaring (Angka dan Suhartono 2000). Spirulina

    segar difiltrasi dengan filter berukuran 20 m (Desmorieux dan Decaen 2006).

    Proses pengeringan pada produksi Spirulina komersial merupakan pertimbangan

    ekonomi yang sangat penting dan dapat mencapai 30% dari biaya produksi.

    Pemanenan dengan filtrasi dapat mempertahankan kandungan fikosianin lebih

    tinggi pada Spirulina (Mohammad 2007).

    2.1.2 Pertumbuhan Spirulina

    Pertumbuhan sel ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau kultur

    pada media dan bertambah tingginya nilai absorban. Cahaya merupakan faktor

    pembatas yang lebih dominan pada pertumbuhan Spirulina diikuti oleh nutrien

    dan temperatur. Ketersediaan cahaya untuk setiap sel pada kultur fotoautotropik

    merupakan fungsi dari intensitas serta lama pencahayaan dengan konsentrasi sel

    atau kepadatan populasi (Richmond 1988). Kultivasi Spirulina dengan intensitas

    cahaya 5400 lux dengan bantuan lampu TL (tube lamp) dapat menghasilkan

    pertumbuhan yang maksimal setelah beberapa hari periode waktu kultur

    (Vonshak 1985).

    Kultivasi mikroalga pada media yang terbatas terdiri dari beberapa fase

    pertumbuhan. Fase pertumbuhan tersebut meliputi fase lag, fase eksponensial,

    fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian (Fogg 1975).

    Fase pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

  • 8

    Gambar 2 Fase pertumbuhan sel alga (Fogg 1975) (1: fase lag; 2: fase eksponensial; 3: fase deklinasi; 4: fase stasioner; dan :5 fase kematian)

    Fase lag ditandai dengan peningkatan populasi yang tidak terlalu nyata. Fase

    ini juga disebut dengan fase adaptasi karena sel mikroalga sedang beradaptasi

    terhadap media pertumbuhannnya. Fase selanjutnya adalah fase eksponensial

    yang ditandai dengan tingginya laju pertumbuhan. Hal ini terjadi karena

    mikroalga sedang aktif berkembangbiak (Fogg 1975).

    Setelah pertumbuhan yang begitu cepat, kandungan nutrisi mulai berkurang

    sehingga mulai mengalami penurunan laju pertumbuhan yang disebut sebagai fase

    deklinasi. Menurut Diharmi (2001), berkurangnya nitrogen dan fosfat,

    menurunnya konsentrasi CO2 dan O2, serta kenaikan pH medium menjadi faktor

    dalam penurunan laju pertumbuhan pada fase ini.

    Dua tahap selanjutnya dalam fase pertumbuhan mikroalga adalah fase

    stasioner dan kematian. Fase stasioner, pada fase ini pertambahan jumlah populasi

    seimbang dengan laju kematian sehingga seperti tidak ada penambahan populasi.

    Pertumbuhan sel yang baru juga dihambat dengan keberadaan sel yang telah mati

    dan faktor pembatas lainnya (Fogg 1975). Fase kematian ditandai dengan

    penurunan produksi biomasa karena kematian dan sel lisis (Vonshak 1985).

    2.2 Fikosianin

    Fikosianin merupakan senyawa protein yang termasuk ke dalam kelompok

    fikobiliprotein seperti fikosianin dan fikoeritrin. Seluruh kelompok

    fikobiliprotein bersifat larut air dan membentuk struktur senyawa fikobilosom

    yang melekat pada membran tilakoid. Struktur dari fikosianin bilin kromofor dan

    bilirubin disajikan pada Gambar 3 (Chopra dan Bishnoi 2007).

  • 9

    Gambar 3 Struktur kimia fikosianin bilin kromofor (a) dan bilirubin (b).

    Fikosianin menyerap warna jingga, merah terang, dan memancarkan warna

    biru terang. Fikosianin umumya terdapat dalam divisi Rhodophyta (alga merah),

    Cyanophyta (alga biru-hijau) dan Cryptophyta (alga kriptomonad). Pigmen biru

    fikosianin memiliki absorbsi maksimum pada panjang gelombang 620 nm

    (Richmond 1988). Fikosianin juga dapat dikatakan sebagai senyawa penyimpan

    nitrogen dengan diketahuinya bahwa konsentrasi fikosianin tertinggi diperoleh

    ketika Spirulina platensis dikultivasi pada konsentrasi nitrogen yang tinggi

    (Boussiba dan Richmond 1979).

    Fikosianin dari Spirulina, dapat menghambat radikal hidroksil

    (IC50= 0,91 mg/ml) dan alkoksil (IC50 = 0,76g/ml ), menghambat peroksidasi

    lemak pada mikrosomal hati dengan IC50 = 12 mg/ml (Romay et al. 1998); ekstrak

    metanol fikosianin mampu menghambat lebih dari 95% proksidasi otak tikus

    dengan IC50 = 180 mcg (Miranda et al. 1998); mempunyai aktifitas antioksidan

    lebih besar dari -tokoferol, zeaxanthin, dan asam kafeiat pada basis molar

    (Hirata et al. 2000). Aktivitas antioksidannya juga dibandingkan dengan ekstrak

    mikroalga lainnya yaitu, ekstrak Chlorella, percobaan dengan metode DPPH

    menunjukkan EC50 19,39 0,65 mol asam askorbat/g ekstrak Spirulina lebih

    besar dibandingkan EC50 14,04 1,06 mol asam askorbat/g ekstrak Chlorella

    (Wu et al. 2005).

    2.2.1 Ekstraksi Fikosianin

    Menurut Boussiba dan Richmond (1979), diketahui bahwa biomasa sel

    Spirulina akan jauh lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti pada air dan

    buffer bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Kandungan fikosianin

    dalam biomasa sel juga tergantung banyak sedikitnya suplai nitrogen yang

    dikonsumsi oleh Spirulina.

  • 10

    Fikosianin merupakan pigmen fotosintetik utama pada Spirulina disamping

    peranannya sebagai penyimpan cadangan nitrogen dan asam amino. Fikosianin

    merupakan protein yang bersifat larut air yang dapat dibebaskan secara sederhana

    yaitu oleh penghancuran mekanis, seperti perlakuan pembekuan kemudian

    dicairkan (freeze-thaw). Pada saat ini fikosianin dicanangkan sebagai bahan

    pewarna alami bagi pangan dan kosmetik (Angka dan Suhartono 2000).

    Fikosianin dapat diperoleh dengan mengekstrak serbuk biomasa

    Spirulina fusiformis dengan buffer fosfat pH 7 dan dibaca absorbansinya pada

    panjang gelombang 620 nm dengan buffer fosfat sebagai blanko. Kadar fikosianin

    dihitung secara kuantitatif dengan cara menghitung absorbansi yang didapat dari

    hasil ekstraksi (Lorenz 1998).

    2.3 Diabetes Mellitus dan Hiperglikemia

    Diabetes biasanya menunjukkan konsentrasi glukosa abnormal yang tinggi

    dalam darah, kondisi ini disebut hiperglikemia (Lechninger 1982). Kadar gula

    darah normal berkisar antara 60 mg/dl sampai 145 mg/dl. Tanda-tanda lain dari

    diabetes melitus meliputi poliuria (banyak kemih), polidipsia (banyak minum),

    polifagia (banyak makan), lemas, berat badan turun, dan kenaikan gula darah

    puasa 140 mg/dl (Gibney et al. 2008).

    Klasifikasi yang ada sekarang ini meliputi berbagai stadium klinis dan tipe

    etiologi penyakit diabetes melitus serta kategori hiperglikemia lainnya, antara lain

    Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, Diabetes

    gestasional, dan sindrom metabolik atau sindrom X, serta golongan resiko

    statistik, yaitu semua orang dengan toleransi glukosa normal tetapi mempunyai

    risiko yang lebih besar untuk mengidap DM (Gibney et al. 2008).

    Kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT, impaired glucose tolerant)

    merupakan tahap terjadinya gangguan pada regulasi glukosa karena keadaan ini

    dapat terlihat pada setiap kelainan hiperglikemia. Meskipun demikian, TGT

    sangat berpotensi untuk berkembang menjadi pasien DM. Kasus TGT akan

    menjadi kasus DM hingga 50% dalam waktu 2-12 tahun. Tanda-tanda TGT dapat

    dikenali dengan mudah melalui pemeriksaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral)

    dan kepada para penyandang TGT harus disarankan untuk mengambil

    langkah-langkah pencegahan (Gibney et al. 2008).

  • 11

    Gangguan toleransi glukosa pada penderita diabetes antara lain disebabkan

    menurunnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel jaringan perifer dan

    gangguan fungsi glukostatik dalam hati. Pada keadaan defisiensi insulin, jumlah

    glukosa yang masuk ke dalam otot rangka, otot jantung, otot polos, dan jaringan

    lain berkurang. Walaupun pengambilan glukosa oleh hati juga menurun, tetapi

    hal ini tidak mempunyai efek secara langsung. Absorbsi glukosa dalam usus tidak

    terpengaruh, demikian pula penyerapan kembali dari urin oleh sel-sel tubuli

    ginjal. Pengambilan glukosa oleh sel-sel otak dan darah merah juga normal

    (Pranadji et al. 1999).

    Hormon insulin dalam kondisi normal berfungsi untuk membantu sintesis

    glikogen dan menghambat output glukosa dari hati. Bila kadar gula dalam darah

    meningkat, dalam keadaan normal sekresi insulin juga meningkat dan

    glukoneogenesis akan menurun. Pada keadaan diabetes, fungsi ini tidak terdapat

    sehingga terjadi gangguan toleransi glukosa (Pranadji et al. 1999).

    Metabolisme glukosa dapat berjalan secara normal melalui mekanisme

    timbal-balik hormon insulin-gukagon untuk menjaga kadar glukosa darah tetap

    normal. Peranan insulin adalah membantu mengubah glukosa menjadi energi

    bagi sel dengan cara mentransfer glukosa darah ke dalam sel-sel yang

    membutuhkan. Glukosa dalam darah tidak dapat digunakan sebagai energi, untuk

    itu glukosa harus ditranfer terlebih dahulu ke dalam sel melalui proses oksidasi

    dalam sel (respirasi). Kemudian, jika kondisi tubuh sedang lapar, konsentrasi

    glukosa darah menurun. Hormon glukagon, yang disekresikan oleh

    sel pankreas, glikogen hati akan dipecah menjadi glukosa dan dilepaskan

    kembali ke dalam darah untuk menjaga konsentrasi darah tetap normal

    (Wijayakusuma 2006).

    2.3.1 Efek hiperglikemia pada diabetes melitus

    Peningkatan glukosa darah pasca makan (postprandial hyperglycemia)

    merupakan awal terganggunya metabolisme yang terjadi pada DM tipe-2.

    Kondisi ini mempercepat perkembangan penyakit diabetes melitus yang

    disebabkan toksisitas glukosa dalam otot dan sel beta pankreas juga menginisiasi

    perkembangan awal komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular

    (Lee et al. 2007).

  • 12

    Hiperglikemia dapat menyebabkan gejala-gejala yang diakibatkan oleh

    hiperosmolaritas darah. Gula darah melebihi normal, sehingga gula ikut

    dikeluarkan oleh ginjal. Keadaan dengan adanya glukosa dalam urin disebut

    glukosuria. Gula yang bersifat menarik cairan ke dalam air kemih, akibatnya

    volume air kemih berlebih dan penderita menjadi sering kencing. Keadaan ini

    disebut poliuria. Kehilangan cairan yang berlebihan melalui urin menyebabkan

    terjadinya hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan timbulnya rasa haus

    sehingga penderita banyak minum atau polidipsia. Akibat adanya gangguan pada

    transportasi gula ke sel-sel jaringan, terutama sel-sel otot, sel-sel tersebut akan

    kekurangan energi. Disamping itu, adanya glukosuria berarti tubuh kehilangan

    energi secara percuma. Tubuh kehilangan 4,1 kkal untuk setiap gram glukosa.

    Penderita akan merasa lemas dan lapar, sehingga banyak makan. Hal ini disebut

    polifagia. Konsumsi karbohidrat berlebih akan menutupi kehilangan ini dengan

    mudah, tetapi sekaligus meningkatkan glukosa darah lebih lanjut dan

    meningkatkan glukosuria. Hal ini akan mengakibatkan mobilisasi protein

    endogen dan cadangan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan

    (Pranadji et al. 1999).

    Salah satu pendekatan terbaik untuk menurunkan glukosa darah pasca makan

    ialah dengan memperlambat absorpsi glukosa melalui penghambatan kerja

    penghidrolisis karbohidrat seperti -glukosidase. Usaha menjaga tingkat glukosa

    darah menjadi rendah atau normal dapat menurunkan angka penderita komplikasi

    diabetes melitus (Lee et al. 2007).

    2.3.2 Pengobatan Diabetes Melitus

    Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan,

    tetapi dapat dikontrol. Pengendalian DM dapat dilakukan dengan perencanaan

    diet, latihan jasmani, penyuluhan atau pendidikan kesehatan, serta pemberian obat

    hipoglikemik. Obat antidiabetes oral maupun suntikan, khususnya untuk diabetes

    tipe 2, karena obat diperlukan jika perencanaan diet dan olahraga jasmani tidak

    dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Obat hipoglikemik oral dibagi dalam

    5 golongan (Subroto 2009), antara lain:

  • 13

    (1) golongan sulfonilurea, obat ini bekerja dengan cara merangsang sel

    -pulau Langerhans pankreas untuk mensekresikan insulin. Contohnya

    glibenclamide dan glibonuride;

    (2) golongan biguanid, mekanisme kerja obat ini adalah mengurangi resistensi

    insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot, dan organ tubuh

    lainnya. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah metformin,

    phenformin, dan buformin.

    (3) golongan thiazolidinedion, mekanisme kerjanya sama dengan derivat

    biguanid. Contoh obat golongan ini adalah troglitazone.

    (4) golongan miglitinida, obat ini bekerja dengan cara merangsang sekresi

    insulin dari pankreas segera setelah makan. Contoh obat golongan ini adalah

    replaginida. Efek samping dari penggunaan obat ini meliputi hipoglikemia

    dan kenaikan berat badan.

    (5) golongan inhibitor -glukosidase, mekanisme kerja obat golongan ini

    adalah dengan menginhibisi secara reversibel kompetitif terhadap enzim

    hidrolase -amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus

    seperti isomaltase, sukrase, dan maltase. Enzim-enzim ini berperan pada

    hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya.

    Obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah Acarbose dan

    Miglitol.

    Acarbose (merek dagang Precose dan Glucobay) adalah inhibitor

    -glukosidase. Mekanisme kerja inhibitor -glukosidase adalah dengan

    memperlambat pemecahan disakarida, polisakarida, dan karbohidrat kompleks

    lainnya menjadi monosakarida (Sugiwati 2005).

    Pembuatan glukosa secara enzimatis dan absorpsi glukosa selanjutnya

    ditunda, dan dalam kondisi setelaah makan nilai glukosa darah yang tinggi pada

    penderita diabetes tipe II, dapat dikurangi dengan IAG. IAG tidak mencegah

    absorpsi karbohidrat dan gula kompleks, tetapi menunda absorpsinya.

    Kelemahannya adalah harus dimakan bersama makanan dan mempunyai efek

    samping pada pembentukan gas di perut, kembung, diare, dan kram usus

    (Lee et al. 2007).

  • 14

    2.3.3 Tes Toleransi Glukosa

    Diagnosis yang digunakan dalam mengidentifikasi penyakit diabetes melitus

    dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah. Standardisasi kriteria oleh

    the National Diabetes Data Group of the USA (NDDG) dan komite pakar

    organisasi kesehatan dunia (WHO) menghasilkan keseragaman hingga taraf

    tertentu bagi berbagai penelitian global terhadap kelainan metabolik tersebut.

    Kriteria diagnosis yang lebih sensitif ditunjukkan oleh uji toleransi glukosa

    (Gibney et al. 2008).

    Tes ini memerlukan puasa 12-18 jam sebelum darah diambil untuk

    pemeriksaan. Puasa adalah keadaan tanpa suplai makanan (kalori) selama

    minimum 8 jam, tetapi tetap diperbolehkan minum air putih. Jadi, bukan puasa

    makan dan minum seperti yang biasa dilakukan. Berdasarkan American Diabetes

    Association (ADA) 1998, terdapat dua tes yang dapat dijadikan sebagai dasar

    diagnosis terhadap diabetes mellitus yang didasarkan pada pemeriksaan kadar

    glukosa plasma vena, yaitu kadar glukosa darah sewaktu (tidak puasa)

    200 mg/dL; dan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL. Pada tes toleransi

    glukosa oral (TTGO), kadar glukosa darah yang diperiksa kembali setelah 2 jam

    (Wijayakusuma 2006).

    Glukosa pada penderita diabetes menumpuk di dalam darah, terutama pada

    keadaan setelah makan. Apabila pada penderita diabetes diberikan glukosa secara

    oral dengan dosis tertentu (75 g glukosa) maka gula darahnya akan meningkat

    lebih tinggi dari orang normal dan turunnya pun juga lebih lambat. Tes ini

    disebut sebagai tes toleransi glukosa oral (Pranadji et al. 1999).

    Metode TTGO merupakan kriteria diagnosis yang paling sensitif dan

    menghasilkan keseragaman hingga taraf tertentu bagi berbagai penelitian global

    terhadap kelainan metabolik tersebut. Prinsip yang digunakan dalam metode

    TTGO adalah mengukur kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa. Kadar

    glukosa darah ditingkatkan dengan pemberian sukrosa secara oral. Kurva

    Toleransi Glukosa Oral (TGO) akan meningkat tajam dan mencapai puncaknya

    dalam waktu 60 menit, setelah pemberian sukrosa. Kurva menurun perlahan dan

    mencapai kadar glukosa darah normal setelah 2-3 jam (Gibney et al. 2008).

  • 15

    2.4 Penentuan kadar glukosa darah dengan Glucose Test Strip

    Kadar glukosa darah dapat ditentukan menggunakan prinsip reaksi enzimatik

    yang terjadi pada glucose test strip. Reaksi yang terjadi adalah reaksi enzimatik

    glukosa darah dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase yang dilapis pada

    kertas strip. Pada metode ini kertas strip dilapisi dengan membran selulosa tipis

    yang permeabel hanya untuk molekul-molekul kecil seperti glukosa. Persamaan

    reaksi enzimatik dari glukosa dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase

    (Soetarno et al. 1999) dapat dituliskan sebagai berikut:

    -D-Glukosa + O2 + H2O H2O2 + asam glukonat

    H2O2 + kalium iodida iodin + H2O

    Apabila setetes darah dikenakan pada kertas strip, maka dengan adanya

    oksigen, glukosa darah dioksidasi secara enzimatik oleh glukosa oksidase

    menghasilkan hidrogen peroksida dan asam glukonat. Selanjutnya, peroksidase

    mengkatalis reaksi hidrogen peroksida dengan kromogen kalium iodida

    menghasilkan iodin yang berwarna coklat. Intensitas warna yang terbentuk

    adalah sebanding dengan jumlah glukosa dalam tetesan darah.

    2.5 Model Hewan Percobaan Diabetes Mellitus

    Hewan Diabetes Melitus (DM) dapat dijadikan sebagai model dari penyakit

    ini pada manusia. Pada kenyataannya tidak ada gejala diabetes melitus pada

    hewan yang tepat sama dengan tipe DM pada manusia (Soetarno et al. 1999).

    Gejala diabetes melitus yang paling umum dijumpai pada hewan adalah

    berupa obesitas, hiperinsulinemia, dan resistensi insulin. Diabetes Mellitus (DM)

    selain terjadi secara spontan juga dapat dibuat secara eksperimental dengan

    infeksi virus, atau melalui pemberian hormon dan senyawa kimia (Subroto 2009).

    Model hewan DM baik spontan dan eksperimental dapat digunakan secara

    efektif untuk mempelajari komplikasi, pengobatan, dan pencegahan DM.

    Penggunaan senyawa kimia untuk menginduksi hewan menjadi DM

    memungkinkan mempelajari secara mendalam proses-proses biokimia, hormonal,

    dan morfologi yang terjadi selama dan setelah induksi senyawa kimia tersebut

    pada hewan. Senyawa kimia yang telah dipelajari secara ekstensif mampu

    menginduksi hewan coba menjadi DM, antara lain, aloksan dan streptozotocin.

    glukosa oksidase

    peroksidase

  • 16

    Kedua senyawa ini merusak sel -pulau Langerhans pankreas, sehingga

    menyebabkan hiperglikemia permanen (Sugiwati S. 2005).

    Tikus telah banyak digunakan dalam penelitian tentang neoplasia, daya kerja

    obat, toksikologi, caries gigi, metabolisme lemak, manfaat vitamin, tingkah laku,

    alkoholisme, sirosis, arthritis, phenylketonuria, penyakit kuning, intoleransi

    fruktosa, hipertensi, diabetes, dan beberapa penyakit menular (Smith dan

    Mangkoewidjojo 1988).

    Tikus putih telah lama digunakan untuk penelitian karena hewan ini telah

    diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara dan cocok untuk

    berbagai macam penelitian. Tikus putih (Rattus novergicus) yang dapat

    digunakan untuk percobaan terdiri dari beberapa galur atau varietas yang memilki

    ciri spesifik, antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih,

    berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada kepalanya; galur Wistar yang

    dicirikan dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek; dan galur long-evans

    yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh

    bagian depan (Malole dan Pramono 1999).

    Secara garis besar, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan biofisik

    antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan. Perbedaan antara tikus dan

    manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus; tingkat

    pertumbuhan tikus yang lebih cepat dari manusia; kekurangpekaan tikus pada

    senyawa neurotoksik dan teratogen. Secara umum, karakteristik fisiologis tikus

    disebutkan dalam Tabel 2.

    Tabel 2 Nilai fisiologis tikus

    Kriteria Nilai

    Berat badan dewasa jantan 450-520 g

    Berat badan dewasa betina 250-300 g

    Berat lahir 5-6 g

    Suhu tubuh 35,9-37,5 C

    Konsumsi makanan 10 g/100 g/hari

    Konsumsi air minum 10-12 ml/100 g/hari

    Volume darah 54-70 ml/kg

    Protein serum 5,6-7,6 g/dl

    Glukosa serum 50-135 mg/dl Sumber: Malole dan Pramono (1989)

  • 17

    Beberapa karakteristik anatomis dan fisiologis tikus Sprague Dawley

    (Malole dan Pramono 1989), antara lain:

    1) Rumus gigi tikus Sprague Dawley adalah 2 (I 1/1, M 3/3) = 16. Gigi seri

    tumbuh terus menerus. Tikus akan menggigit atau menjepit dengan gigi

    serinya yang tajam jika salah penanganan.

    2) Esofagus masuk ke lambung melewati lubang yang kecil karena ada lipatan

    jaringan pada lambung. Karena struktur anatomis tersebut, tikus tidak mampu

    muntah.

    3) Seperti kuda, tikus tersebut tidak mempunyai kantung empedu.

    4) Paru-paru kiri terdiri dari satu lobus sementara paru-paru kanan terdiri atas

    empat lobus.

    5) Tikus memiliki lima pasang kelenjar susu. Distribusi jaringan mammae

    tersebar, dari garis tengah ventral melewati panggul, toraks dan bagian leher.

    6) Uretra tikus betina tidak berhubungan dengan vagina atau vulva.

    7) Kelenjar membran niktitasi (kelenjar Harderian) merupakan kelenjar lakrimal

    terpigmentasi yang teletak di belakang bola mata, melingkari saraf optik.

    Hasil sekresi dari kelenjar ini kaya akan lemak dan porfirin. Meskipun

    banyak spesies lain memiliki kelenjar Harderian, pada tikus kelenjar ini

    memiliki fungsi khusus. Selama masa stress dan atau sakit tertentu, air mata

    mengalir dan mewarnai wajah di sekitar mata dan hidung. Ketika air mata

    mengering, pigmen tersebut memberikan warna seperti darah kering. Pigmen

    tersebut akan berpendar saat dipaparkan pada sinar ultraviolet dan

    mengandung sedikit darah atau tidak sama sekali.

    8) Respon tikus terhadap penurunan suhu ruang/kandang berupa termogenesis

    tanpa gemetar. Sedangkan saat suhu kandang meningkat, terjadi vaskularisasi

    pada ekornya yang panjang, yang juga berperan sebagai organ

    termoregulator. Sebagian besar termogenesis tersebut terjadi pada jaringan

    lemak yang coklat, konsentrasi yang paling tinggi ditemukan pada jaringan

    subkutan di antara skapula.

    Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan putih

    (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley berumur sekitar delapan minggu.

    Tikus Sprague Dawley dipilih karena tikus ini secara garis besar mempunyai

  • 18

    banyak kemiripan dengan manusia meliputi fungsi, bentuk organ, proses

    biokimia, dan biofisik. Penggunaan tikus Sprague Dawley dalam studi kesehatan

    dan penyakit pada manusia, merupakan model yang sangat bagus untuk

    toksikologi, reproduksi, farmakologi dan tingkah laku. Esofagus pada tikus

    Sprague-Dawley masuk ke lambung melewati lubang kecil karena terdapat lipatan

    jaringan lambung sehingga tikus tidak mampu muntah. Tikus ini juga mudah

    diperoleh dan telah banyak digunakan dalam penelitian (Smith dan

    Mangkoewidjojo 1988).

    Galur Sprague Dawley yang umum digunakan untuk penelitian mempunyai

    ciri berwarna putih albino, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari

    badannya (Malole dan Pramono 1989). Tikus betina tidak digunakan karena

    terdapat siklus hormonal bulanan yang dapat memberikan pengaruh terhadap

    kadar glukosa darah yang akan diukur. Tikus dikandangkan dalam kandang

    individual yang terbuat dari plastik dengan penambahan alas berupa sekam.

    Siklus gelap dan terang terjadi secara alami. Kondisi lingkungan diupayakan

    pada suhu 222C dengan pemberian kipas angin. Hal ini sesuai dengan

    pernyataan Derelanko et al. (1994) bahwa suhu kandang yang baik untuk tikus

    berkisar antara 64,4-78,8F (18-26C).

    2.6 Flavonoid dan aktivitas antidiabetes

    Flavonoid adalah senyawaan fenol yang paling banyak ditemukan di alam

    karena sekitar 2% dari semua karbon yang disintesis tumbuhan diubah menjadi

    flavonoid. Struktur dasar dari flavonoid terdiri dari 15 atom karbon dengan

    konfigurasi C6-C3-C6 yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan dengan

    3 karbon yang dapat atau tidak membentuk cincin ketiga (Markham 1988).

    Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki gugus hidroksil yang

    tidak tersubstitusi. Sifat fisik ini menjadikannya larut dalam pelarut polar seperti

    etanol, metanol, etil asetat, atau campuran pelarut dapat digunakan untuk

    mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan.

    Berbagai penelitian menyebutkan bahwa senyawa flavonoid berperan sebagai

    antidiabetes. Senyawa golongan flavonol dan flavon, yaitu kuersetin dan krisin,

    menunjukkan sifat antidiabetes pada uji in vivo menggunakan tikus. Daya inhibisi

    kuersetin jauh lebih tinggi daripada krisin, disebabkan adanya substituen gugus

  • 19

    hidroksil pada posisi 3 (Lucacinova et al. 2008). Deqiang et al. (2003) telah

    mempelajari mengenai antidiabetes pada tanaman Opuntia dillenii. Hasil

    penelitiannya menunjukkan bahwa komponen flavonoid yang mempunyai fungsi

    sebagai antidiabetes adalah flavonol. Hal ini juga diteliti oleh Sugiwati (2005),

    yang melaporkan bahwa ekstrak air rebusan buah mahkota dewa tua memberikan

    hasil lebih baik daripada ekstrak metanol dalam pengujian secara in vivo sebagai

    antihiperglikemik dengan tes toleransi glukosa oral pada tikus putih jantan.

    Mekanisme penurunan kadar glukosa pada penelitian ini adalah melalui inhibisi

    secara reversible kompetitif terhadap enzim -glukosidase oleh ekstrak tersebut.

    Komponen aktif yang berperan di dalamnya adalah flavonoid, fenol, dan tanin.