Bab 2.Tinjauan Pustaka

37
Draft Laporan Akhir | BAB II - 1 Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014 2.1. Konsep Dasar Data Base Konsep dasar database adalah kumpulan dari catatan, atau potongan dari pengetahuan. Sebuah database memiliki penjelasan terstruktur dari jenis fakta yang tersimpan di dalamnya: penjelasan ini disebut skema. Ada banyak cara untuk mengorganisasi skema, atau memodelkan struktur database: ini dikenal sebagai database model atau model data. Model yang umum digunakan sekarang adalah model relasional, yang menurut istilah yaitu mewakili semua informasi dalam bentuk tabel yang saling berhubungan dimana setiap tabel terdiri dari baris dan kolom (definisi yang sebenarnya menggunakan terminologi matematika). Dalam model ini, hubungan antar tabel diwakili dengan menggunakan nilai yang sama antar tabel. Secara umum Pengertian database adalah : 1) Database adalah representasi kumpulan fakta yang saling berhubungan disimpan secara bersama, untuk memenuhi berbagai kebutuhan. 2) Database merupakan sekumpulan informasi yang saling berkaitan pada suatu subjek tertentu untuk tujuan tertentu pula. 3) Database adalah susunan record data operasional lengkap dari suatu organisasi atau perusahaan, yang diorganisir dan disimpan secara terintegrasi dengan menggunakan metode tertentu sehingga mampu memenuhi informasi yang optimal yang dibutuhkan olehpara pengguna. 4) Database adalah kumpulan informasi yang disusun berdasarkan cara tertentu dan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan sistem tersebut data yang terhimpun dalam suatu database dapat menghasilkan informasi yang berguna. Sedangkan manfaat dari penyusunan database adalah : 1) Sebagai komponen utama atau penting dalam sistem informasi, karena merupakan dasar dalam menyediakan informasi. 2) Menentukan kualitas informasi yaitu cepat, akurat, dan relevan, sehingga infromasi yang disajikan tidak basi. Informasi dapat dikatakan bernilai bila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya mendapatkanya. 3) Mengatasi kerangkapan data (redundancy data).

description

Dok. Konkep

Transcript of Bab 2.Tinjauan Pustaka

Page 1: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 1Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

2.1. Konsep Dasar Data Base

Konsep dasar database adalah kumpulan dari catatan, atau potongan

dari pengetahuan. Sebuah database memiliki penjelasan terstruktur dari

jenis fakta yang tersimpan di dalamnya: penjelasan ini disebut skema. Ada

banyak cara untuk mengorganisasi skema, atau memodelkan struktur

database: ini dikenal sebagai database model atau model data. Model yang

umum digunakan sekarang adalah model relasional, yang menurut istilah

yaitu mewakili semua informasi dalam bentuk tabel yang saling

berhubungan dimana setiap tabel terdiri dari baris dan kolom (definisi yang

sebenarnya menggunakan terminologi matematika). Dalam model ini,

hubungan antar tabel diwakili dengan menggunakan nilai yang sama antar

tabel. Secara umum Pengertian database adalah :

1) Database adalah representasi kumpulan fakta yang saling berhubungan

disimpan secara bersama, untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

2) Database merupakan sekumpulan informasi yang saling berkaitan pada

suatu subjek tertentu untuk tujuan tertentu pula.

3) Database adalah susunan record data operasional lengkap dari suatu

organisasi atau perusahaan, yang diorganisir dan disimpan secara

terintegrasi dengan menggunakan metode tertentu sehingga mampu

memenuhi informasi yang optimal yang dibutuhkan olehpara pengguna.

4) Database adalah kumpulan informasi yang disusun berdasarkan cara

tertentu dan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan sistem

tersebut data yang terhimpun dalam suatu database dapat

menghasilkan informasi yang berguna.

Sedangkan manfaat dari penyusunan database adalah :

1) Sebagai komponen utama atau penting dalam sistem informasi, karena

merupakan dasar dalam menyediakan informasi.

2) Menentukan kualitas informasi yaitu cepat, akurat, dan relevan,

sehingga infromasi yang disajikan tidak basi. Informasi dapat dikatakan

bernilai bila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya

mendapatkanya.

3) Mengatasi kerangkapan data (redundancy data).

Page 2: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 2Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

4) Menghindari terjadinya inkonsistensi data.

5) Mengatasi kesulitan dalam mengakses data.

6) Menyusun format yang standar dari sebuah data.

7) Penggunaan oleh banyak pemakai (multiple user). Sebuah database bisa

dimanfaatkan sekaligus secara bersama oleh banyak pengguna

(multiuser).

8) Melakukan perlindungan dan pengamanan data. Setiap data hanya bisa

diakses atau dimanipulasi oleh pihak yang diberi otoritas dengan

memberikan login dan password terhadap masing-masing data.

9) Agar pemakai mampu menyusun suatu pandangan (view) abstraksi dari

data. Hal ini bertujuan menyederhanakan interaksi antara pengguna

dengan sistemnya dan database dapat mempresentasikan pandangan

yang berbeda kepada para pengguna, programmer dan

administratornya.

2.2. Konsep Perumahan

Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun

2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu

satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum,

serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau

kawasan perdesaan. Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah

terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang.

Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat

tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri

kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasaan

lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan.

Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat

bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan

suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada

penghuninya. Permukiman (Settlement) merupakan suatu proses

seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah (Van der Zee 1986).

Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan

Page 3: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 3Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan

fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.

2.3. Bentuk-Bentuk Permukiman

Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar

yaitu: (1) rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah

dan ruang tanah beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan

rumah (Gambar 2.1). Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah

biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi

bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih

kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek. Bentuk dari

permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan

tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-

komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.

Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun

dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi,

ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok

dapat membentuk sebuah komplek (Gambar 2.2). Bentuk dari permukiman

dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan tanah.

Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-

komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.

Page 4: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 4Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

2.4. Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman

Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di

wilayah desa kota menurut Koestoer (1995), pembentukannya berakar dari

pola campuran antara ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan

mendasar pola pembangunan permukiman di perkotaan dan perdesaan.

Wilayah permukiman di perkotaan sering disebut sebagai daerah

perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian

besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada

dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok

dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya pun ditata

secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan

lingkungan atau lokal.

Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai

terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya

cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak

jauh dari sumber air, misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih

sangat tradisional banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai

disamping sebagai sumber kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai

jalur transportasi antar wilayah. Perumahan di tepi kota (desa dekat

dengan kota) membentuk pola yang spesifik di wilayah desa kota. Pada

Page 5: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 5Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

saat pengaruh perumahan kota menjangkau wilayah ini, pola permukiman

cenderung lebih teratur dari pola sebelumnya.

Selanjutnya pembangunan jalan di wilayah perbatasan kota banyak

mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya

permukiman perdesaan berubah menjadi pola campuran. Ada bagian

kelompok perumahan yang tertata baik menurut kerangka jalan baru yang

terbentuk, tetapi dibagian lain masih ada pula yang tetap berpola seperti

sediakala yang tidak teratur dengan bangunan semi permanen.

2.5. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Permukiman

Perumahan dan Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar

manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Permasalahan yang dihadapi sesungguhnya tidak terlepas dari aspek yang

berkembang dalam dinamika kehidupan masyarakat maupun kebijakan

pemerintah dalam mengelola persoalan yang ada. Dalam mengatasi

permasalahan perumahan dan permukiman, setiap prosesnya dilaksanakan

secara bertahap yakni melalui tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan,

pengelolaan, pemeliharaan, dan pengembangan. Pembangunan

perumahan dan permukiman merupakan kegiatan yang bersifat multi

sektor, Hasilnya langsung menyentuh salah satu kebutuhan dasar

masyarakat , juga pendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sejak

awal, pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia telah

diselenggarakan berdasarkan prinsip:

a. Pemenuhan kebutuhan akan rumah layak merupakan tugas dan

tanggung jawab masyarakat sendiri.

b. Pemerintah mendukung melalui penciptaan iklim yang memungkinkan

masyarakat mandiri dalam mencukupi kebutuhannya akan rumah layak.

Dukungan diberikan melalui penyediaan prasarana dan sarana,

perbaikan lingkungan permukiman, peraturan, perundangan yang

bersifat memayungi, layanan kemudahan dalam perijinan bagi kelompok

masyarakat berpenghasilan rendah dll.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, Kawasan

Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,

Page 6: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 6Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat

kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan

wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan

yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana,

menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang.

Penyelenggaraan Kawasan Permukiman dilaksanakan melalui:

1) Pengembangan pada permukiman yang telah ada;

2) Pembangunan permukiman baru; dan

3) Pembangunan kembali pada permukiman yang telah menurun

kualitasnya.

Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman

ingin menggarisbawahi bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik

perumahan dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di

dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta

utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal

ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara

pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang

terjadi dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung. Dengan

keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang

permukiman responsif yang ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya

migrasi penduduk.

Lokasi perumahan sangat dipengaruhi oleh fasilitas pelayanan kota

yang ada dengan memanfaatkan akses transportasi. Dengan demikian

bahwa tumbuhnya perumahan dan permukiman selalu memperhitungkan

jarak yakni menuju dan dari lokasi/kawasan sehingga dapat bernilai

keuntungan.

Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan

ruang terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan,

merupakan kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan

pembangunan perumahan dan permukiman harus senantiasa

Page 7: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 7Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat

pembangunan tersebut.

Adapun kebijakan pengembangan permukiman di Indonesia antara

lain :

1) Pengembangan Permukiman Baru :

Perkotaan : Kasiba & Lisiba BS dan kawasan permukiman baru lainnya

Perdesaan : KTM, Agropolitan, kawasan perbatasan

2) Peningkatan Kualitas Permukiman :

Perkotaan : peremajaan, pemugaran, pemeliharaan berkelanjutan

Perdesaan : desa tertinggal, terisolir, terpencil, dll

3) Penanggulangan Bencana Alam, Rehabiltasi dan Rekrontuksi Pasca

Bencana Alam

4) Pembangunan Rusunawa :

Pembangunan Rusunawa merupakan bagian dari penanganan kawasan

permukiman kumuh perkotaan dengan peremajaan.

Pemerintah Daerah bertanggung jawab didalam pemanfaatan,

pengelolaan dan penghunian.

5) Penyediaan Prasarana Dan Sarana Agropolitan :

Meningkatkan pembangunan infrastruktur pada kawasan agropolitan

untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis di

kawasan agropolitan dengan sekala pembangunan di 32 Propinsi.

6) Pembinaan Teknis Penataan Lingkungan Permukiman (NUSSP).

Sedangkan strategi pengembangan kawasan permukiman di

Indonesia meliputi :

1) Pengembangan dan implementasi produk pengaturan tentang

pengembangan permukiman perkotaan.

2) Pemantapan dan peningkatan pemahaman dan kemampuan aparat

pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengembangan permukiman

perkotaan (pembangunan baru dan peningkatan kualitas permukiman

kumuh).

3) Pengembangan kawasan permukiman perkotaan (permukiman baru

dan esksiting) yang berwawasan lingkungan dan mengutamakan

Page 8: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 8Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

keberpihakan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dalam

mendapatkan pelayanan infrastruktur.

4) Pengembangan kawasan permukiman perdesaan yang dapat

meningkatkan kesejahteraan kehidupan social dan ekonomi

masyarakat perdesaan.

2.6. Pertumbuhan dan Perkembangan Perkotaan

Pertumbuhan dan perkembangan kota merupakan suatu istilah yang

saling terkait, bahkan terkadang saling menggantikan, yang pada intinya

adalah suatu proses perkembangan suatu kota. Pertumbuhan kota ( urban

growth) adalah perubahan kota secara fisik sebagai akibat perkembangan

masyarakat kota. Sedangkan perkembangan kota (urban development)

adalah perubahan dalam masyarakat kota yang meliputi perubahan sosial

politik, sosial budaya dan fisik (Hendarto, 2001).

Menurut Branch (1995), kota memiliki komponen dan unsur, mulai

dari nyata secara fisik seperti perumahan dan prasarana umum, hingga

yang secara fisik tak terlihat yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang

mengarahkan kegiatan kota. Disamping itu berbagai interaksi antar unsur

yang bermacam-macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan

unsur itu sendiri. Apabila semua unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur

tersebut dipandang secara bersamaan, kota-kota akan terlihat sebagai

organisme yang paling rumit yang merupakan hasil karya manusia.

Menurut Iwan Kustiwan dalam Tjahjati S. (1997), pertumbuhan

penduduk dan aktifitas sosial ekonomi sebagai faktor yang mempengaruhi

perkembangan kota mendorong pertumbuhan kebutuhan akan lahan. Dan

karena karakteristiknya yang tetap dan terbatas, maka perubahan tata

guna lahan menjadi suatu konsekwensi logis dalam pertumbuhan dan

perkembangan kota.

Menurut Bintarto (1977), kota merupakan suatu sistem jaringan

kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial

ekonomi yang heterogen dan corak kehidupan yang materialistik, dengan

kata lain, kota merupakan bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-

unsur alami dan non alami. Kedua unsur tersebut berupa gejala-gejala

Page 9: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 9Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

pemusatan penduduk yang cukup besar, tingkat serta pola kehidupan yang

beraneka ragam dan perilaku yang mengarah pada peningkatan

kesejahteraan perekonomian.

Menurut Jayadinata (1999), kota adalah suatu wilayah yang dicirikan

oleh adanya prasarana perkotaan seperti bangunan, rumah sakit,

pendidikan, pasar, industri dan lain sebagainya, beserta alun-alun yang

luas dan jalanan beraspal yang diisi oleh padatnya kendaraan bermotor.

Dari segi fisik, suatu kota banyak dipengaruhi oleh struktur-struktur

buatan manusia ( artificial), misalnya pola jalan, landmark, bangunan-

bangunan permanen dan monumental, utilitas, pertamanan dan traffic.

Amos Rapoport dalam Zahnd (1999) mendefinisikan kota dengan

fungsinya sebagai pusat dari berbagai aktifitas seperti administratif

pemerintahan, pusat militer, keagamaan dan pusat aktifitas intelektual

dalam satu kelembagaan, selain itu heterogenitas dan pembedaan yang

bersifat hirarkis pada masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Christaller

mengartikan kota dari sudut pandang fungsi, yaitu sebagai penyelenggara

dan penyedia jasa bagi wilayah kota itu sendiri maupun wilayah sekitarnya,

sehingga kota disebut sebagai pusat pelayanan (Daldjoeni, 1997).

Beberapa kriteria yang umum digunakan dalam menentukan sifat

kekotaan adalah penduduk dan kepadatannya, terkonsentrasinya

prasarana-sarana serta keanekaragaman aktifitas penduduknya. Makin

banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, maka makin meyakinkan bahwa

lokasi konsentrasi itu adalah sebuah kota (Tarigan, 2004).

2.7. Isu dan Permasalahan Perumahan dan Permukiman

2.7.1. Perumahan

Isu pembangunan perumahan meliputi beberapa hal sebagai

berikut:

a) Terbatasnya kemampuan penyediaan prasarana dan saranaperumahan.

Kemampuan pemerintah untuk mendukung penyediaan

prasarana dan sarana dasar perumahan masih terbatas. Faktor

ini menjadi salah satu penghambat dalam penyediaan

Page 10: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 10Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

perumahan untuk masyarakat berpendapatan rendah serta

pemicu menurunnya kualitas kawasan yang dihuni oleh

masyarakat berpendapatan rendah.

b) Meningkatnya luasan kawasan kumuh.

Luasan kawasan kumuh cenderung terus meningkat setiap

tahunnya selaras dengan pertumbuhan penduduk dan makin

tidak terkendalinya pertumbuhan kota utama (primacy city)

yang menjadi penarik meningkatnya arus migrasi. Selain itu,

laju pertumbuhan kawasan kumuh (di pusat kota maupun di

tepi kota) juga dipicu oleh keterbatasan kemampuan dan

ketidakpedulian masyarakat untuk melakukan perbaikan rumah

(home improvement).

c) Belum mantapnya kelembagaan penyelenggaraanpembangunan perumahan dan permukiman.

Kelembagaan penyelenggara pembangunan perumahan belum

berada pada tingkat kinerja yang optimal untuk menjalankan

fungsi, baik sebagai pembangun (provider) maupun

pemberdaya (enabler).

d) Meningkatnya jumlah rumah tangga yang belum memilikirumah.

Jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah semakin

meningkat. Berdasarkan Data Statistik Perumahan dan

Permukiman tahun 2004, terdapat 19,07% rumah tangga yang

belum memiliki rumah dan meningkat menjadi 21,78% pada

tahun 2007. Apabila upaya penyediaan perumahan tidak

mampu untuk memenuhi backlog dan pertumbuhan baru

selama kurun waktu 2005 - 2009 maka diperkirakan jumlah

rumah tangga yang belum memiliki rumah akan terus

meningkat.

e) Terjadinya kesenjangan (mismatch) dalam pembiayaanperumahan

Sumber pembiayaan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) pada

umumnya berasal dari dana jangka pendek (deposito dan

Page 11: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 11Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

tabungan) sementara sifat kredit pemilikan rumah pada

umumnya mempunyai masa jatuh tempo dalam jangka

panjang. Kesenjangan tersebut dalam jangka panjang

menyebabkan pasar perumahan menjadi tidak sehat karena

ketidakstabilan dalam ketersediaan sumber pembiayaan.

f) Masih rendahnya efisiensi dalam pembangunan perumahan

Tingginya biaya administrasi perijinan yang dikeluarkan dalam

pembangunan perumahan merupakan satu persoalan yang

senantiasa dihadapi dalam pembangunan perumahan. Hal ini

akan semakin menjauhkan keterjangkauan masyarakat

terhadap harga rumah yang ditawarkan.

g) Pembiayaan perumahan yang terbatas dan pola subsidi yangmemungkinkan terjadinya salah sasaran

Berbagai bantuan program perumahan tidak sepenuhnya

terkoordinasi dan efektif. Bantuan pembangunan dan perbaikan

rumah secara swadaya dan berkelompok masih bersifat proyek

dan kurang menjangkau kelompok sasaran.

2.7.2. Air Minum dan Air Limbah

Isu terkait pembangunan air minum dan air limbah sebagai

berikut:

a) Stagnasi dalam peningkatan pelayanan air minum perpipaanselama enam tahun terakhir (2000-2006)

Secara umum, cakupan pelayanan air minum perpipaan dalam

kurun waktu 6 tahun terakhir ini tidak terlalu banyak berubah.

Pada tahun 2006, sekitar 18,4% telah mendapat layanan air

perpipaan, yang relatif tidak berbeda kondisinya dengan

cakupan layanan air perpipaan pada tahun 2000 yang sebesar

19,2%.

b) Rendahnya kualitas pengelolaan pelayanan air minum yangdilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)

Hasil audit terhadap PDAM pada Tahun 2007 dan dipublikasi

oleh BPPSPAM (Badan Pendukung Pengembangan Sistem

Page 12: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 12Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

Penyediaan Air Minum) menunjukkan hanya 25,82% dari total

PDAM dengan kriteria sehat, sementara selebihnya sebesar

37,25% dengan kriteria kurang sehat atau akan menanggung

resiko atas semua keadaan kas dan pembayaran pinjaman

untuk berkembang dalam pelayanan, serta yang lebih

memprihatinkan adalah sebesar 36,93% yang tergolong kriteria

sakit atau tidak mampu menanggung resiko kas dan pinjaman

dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

c) Stagnasi dalam penurunan tingkat kebocoran air minum

Tingkat kebocoran yang disebabkan kebocoran teknis dan non

teknis pada tahun 2007 masih dalam kategori tinggi. Hasil audit

BPPSPAM (Badan Pendukung Pengembangan Sistem

Penyediaan Air Minum) pada tahun 2007 memperlihatkan

bahwa tingkat kebocoran PDAM dalam skala nasional adalah

sebesar 33,65%.

d) Meningkatnya kecenderungan kabupaten/kota yang baruterbentuk untuk membentuk PDAM baru yang terpisah dariPDAM kabupaten/kota induk

Kecenderungan pembentukan PDAM baru dipicu dengan alasan

kebutuhan akan sumber pendapatan asli daerah

kabupaten/kota baru. Kecenderungan ini memberikan pengaruh

negatif terhadap efisiensi pelayanan air minum yang

bergantung pada skala ekonomi. Tahun 2007 terdapat

sebanyak 340 PDAM (mengalami penambahan sebesar 74

PDAM sejak Tahun 2006).

e) Permasalahan tarif yang tidak mampu mencapai kondisipemulihan biaya (full cost recovery)

Hingga saat ini tarif dasar sebagian besar PDAM masih dibawah

biaya produksi air minum, sehingga secara akuntansi sebagian

besar PDAM saat ini beroperasi dengan kondisi rugi.

f) Belum diolahnya lumpur tinja (sludge) secara baik

Tingkat pelayanan air limbah selama 10 tahun terakhir dapat

dikatakan cukup baik, yaitu tumbuh rata-rata sebesar 8,6% per

Page 13: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 13Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

tahun. Namun demikian, hasil tersebut tidak diikuti dengan

peningkatan dalam pengolahan lebih lanjut terhadap lumpur

tinja domestik dari tangki septik dan jamban. Hal ini dapat

dilihat dari rendahnya tingkat pemanfaatan Instalasi Pengolah

Air Tinja (IPLT) yang telah dibangun untuk mengolah lumpur

tinja domestik, yaitu lebih kecil dari 30%. Hal ini masih

ditambahkan dengan masih tingginya pemanfaatan sungai

sebagai tempat pembuangan lumpur tinja domestik.

g) Menurunnya proporsi masyarakat di kawasan perkotaan yangmendapatkan pelayanan sistem pembuangan air limbah(sewerage system).

Hal ini disebabkan laju pertumbuhan penduduk di kawasan

perkotaan tidak mampu diimbangi oleh laju penyediaan sarana

dan prasarana sistem pembuangan air limbah. Rendahnya laju

pembangunan sistem pembuangan air limbah bagi kota-kota

metropolitan dan besar pada umumnya disebabkan oleh

semakin mahalnya nilai konstruksi dan semakin terbatasnya

lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai jaringan pelayanan.

Selain itu kesediaan membayar masyarakat yang masih sangat

rendah juga menghambat laju pembangunan sistem

pembuangan air limbah.

2.7.3. Persampahan dan Drainase

Isu terkait pembangunan persampahan dan drainase sebagai

berikut:

a) Terjadinya stagnasi dalam penanganan sampah dan drainasesecara baik dan berwawasan lingkungan (environment friendly)

Stagnasi ini terjadi karena rendahnya kesadaran seluruh

pemangku kepentingan, khususnya pengambil keputusan

terhadap peranan penanganan persampahan dan drainase

untuk mendukung lingkungan hidup yang baik. Hal ini dapat

dilihat dari cakupan pelayanan drainase yang hanya meningkat

dari 18,41% pada tahun 2004 menjadi 20,63% pada tahun

Page 14: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 14Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

2007. Sedangkan luas genangan yang terjadi akibat buruknya

kondisi drainase hanya berkurang dari 17,92% pada tahun

2003 menjadi 13,55% pada tahun 2006.

b) Meningkatnya pencemaran lingkungan akibat meningkatnyajumlah sampah yang dibuang ke sungai dan/atau dibakar

Proporsi sampah yang dibuang ke sungai dan di bakar pada

tahun 2001 sebesar 51% dan meningkat menjadi 77,57% pada

tahun 2007. Kenaikan tersebut diperkirakan akan terus

berlanjut seiring dengan semakin sulitnya mendapatkan lahan

untuk dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA).

c) Menurunnya kualitas manajemen tempat pembuangan akhir(TPA)

Berubahnya sistem pengelolaan TPA yang didesain sebagai

sanitary landfill dan/atau controlled landfill menjadi open

dumping mencerminkan penurunan kinerja TPA tersebut.

Kegagalan mempertahankan manajemen TPA sesuai dengan

kriteria teknis sanitary landfill sangat signifikan. Data tahun

2007 menunjukkan bahwa proporsi TPA yang masih

menggunakan metode sanitary landfill hanya sebesar 2,8%.

d) Tidak berfungsinya saluran drainase sebagai pematus air hujan

Kelangkaan lokasi untuk pembuangan sampah menyebabkan

masyarakat membuang sampah ke saluran drainase. Data dari

Susenas tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi air di

got/selokan yang mengalir dengan lancar hanya 52,83%. Hal

ini menyebabkan terjadinya peningkatan kawasan tergenang

dan terhambatnya fungsi drainase.

2.8. Pola Ruang Kota

Berdasarkan Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang,

pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang

meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang

untuk budidaya. Pola ruang kota merupakan rencana distribusi peruntukan

ruang dalam wilayah perkotaan yang meliputi rencana peruntukan ruang

Page 15: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 15Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya. Pola ruang wilayah kabupaten

berfungsi:

1) Sebagai alokasi ruang untuk kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan

kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten;

2) Mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;

3) Sebagai dasar dalam menyusun indikasi program pembangunan; dan

4) Sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah

kabupaten.

Rencana pola ruang wilayah kabupaten dirumuskan berdasarkan:

1) Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;

2) Daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup wilayah kabupaten;

3) Kebutuhan ruang untuk pengembangan kegiatan social ekonomi dan

lingkungan;

4) Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.

Ada beberapa teori tentang pola tata ruang kota, yaitu:

2.8.1. Teori Konsentrik

Teori ini dikembangkan oleh Ernest W. Burgess (1925) yang

meneliti kota Chicago. Menurut teori ini pola penggunaan lahan di

kota mengikuti zone-zone lingkaran konsentris (melingkar). Struktur

penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 6 zone konsentrik, yaitu:

1) Zone Pusat Daerah Kegiatan (PDK)

Wilayah PDK atau Central Business District (CBD) merupakan

pusat daerah perkotaan yang ditandai dengan gedung-gedung,

pusat pertokoan, kantor pos, bank, bioskop, pasar, dsb.

2) Zone transisi (peralihan)

Wilayah ini merupakan daerah industri manufaktur, pabrik-

pabrik ringan dan tempat tinggal masyarakat terpandang.

3) Zone pemukiman masyarakat ekonomi rendah

Wilayah ini merupakan tempat tinggal kaum buruh kecil.

4) Zone pemukiman masyarakat menengah

Zone ini merupakan kawasan pemukiman masyarakat

berpenghasilan menengah seperti PNS, ABRI, pedagang, dll.

Page 16: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 16Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

5) Zone pemukiman masyarakat elite

Zone ini ditandai dengan adanya daerah elite yang dihuni oleh

orang kaya seperti kaum eksekutif, pengusaha dan pejabat.

6) Zone penglaju (suburban)

Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju)

yang siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke

rumah di pinggiran.

Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess

(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)

2.8.2. Teori Sektoral

Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)

berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung

berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada

berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang

berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk

lahan dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan

transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk

cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).

Draft Laporan Akhir | BAB II - 16Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

5) Zone pemukiman masyarakat elite

Zone ini ditandai dengan adanya daerah elite yang dihuni oleh

orang kaya seperti kaum eksekutif, pengusaha dan pejabat.

6) Zone penglaju (suburban)

Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju)

yang siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke

rumah di pinggiran.

Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess

(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)

2.8.2. Teori Sektoral

Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)

berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung

berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada

berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang

berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk

lahan dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan

transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk

cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).

Draft Laporan Akhir | BAB II - 16Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

5) Zone pemukiman masyarakat elite

Zone ini ditandai dengan adanya daerah elite yang dihuni oleh

orang kaya seperti kaum eksekutif, pengusaha dan pejabat.

6) Zone penglaju (suburban)

Zone yang ditandai dengan adanya kaum komuter (penglaju)

yang siang bekerja di kota tetapi malam harinya kembali ke

rumah di pinggiran.

Ilustrasi perkembangan wilayah perkotaan menurut Burgess

(1925) dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.3. Model Zona Konsentris (Burgess)

2.8.2. Teori Sektoral

Teori sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939)

berpendapat bahwa pola penggunaan lahan di kota cenderung

berkembang mengikuti sektor-sektor yang lebih bebas daripada

berdasarkan lingkaran konsentris. Adanya pola penggunaan yang

berbentuk sektoral yang memanjang diakibatkan adanya bentuk

lahan dan pengembangan jalan sebagai sarana rute komunikasi dan

transportasi. Hal ini disebabkan lokasi pemukiman penduduk

cenderung mengikuti jalur jalan tersebut Homer Hoyt (1939).

Page 17: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 17Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

Gambar 2.4. Teori Sektoral Hoyt

Keterangan Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt:

Zona 1: Zoona pusat wilayah kegiatan.

Zona 2: Zona dimana terdapat grossier dan manufactur.

Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah.

Zona 4: Zona permukiman kelas menengah.

Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.

2.8.3. Teori Inti Berganda

Teori ini dikemukakan oleh C.D. Harris dan E.L. Ullman. Teori

ini sebenarnya merupakan kritik terhadap teori konsentris dan teori

sektoral. Menurut teori ini perkembangan kota tidak berkembang

seperti teori konsentrik dan sektoral sebab dalam suatu kota

terdapat tempat-tempat tertentu yang berfungsi sebagai inti kota

seperti wilayah industri, pelabuhan dan jaringan jalan, kompleks

perguruan tinggi, dsb. Dalam arti bahwa pusat kegiatan bukan satu

melainkan ganda C.D. Harris dan E.L. Ullman dalam Daldjoeni

(1992).

Page 18: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 18Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

Gambar 2.5. Teori Inti Berganda Harris dan Ullman

2.9. Perubahan Guna Lahan

Pengertian konversi lahan atau perubahan guna lahan adalah alih

fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam

pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan

lain (Tjahjati, 1997). Namun sebagai terminologi dalam kajian-kajian Land

economics, pengertiannya terutama difokuskan pada proses

dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke

penggunaan non-pertanian atau perkotaan yang diiringi dengan

meningkatnya nilai lahan(Pierce dalam Iwan Kustiwan 1997).

Catanese dan Snyder (1986) mengatakan bahwa dalam perencanaan

penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh manusia, aktifitas dan lokasi,

dimana hubungan ketiganya sangat berkaitan, sehingga dapat dianggap

sebagai siklus perubahan penggunaan lahan.

Gambar 2.6. Siklus Perubahan Fungsi Lahan

Page 19: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 19Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

Perubahan yang terjadi adalah perubahan struktur penggunaan

lahan melalui proses perubahan penggunaan lahan kota, meliputi:

a. Perubahan perkembangan (development change), yaitu perubahan

yang terjadi setempat dengan tidak perlu mengadakan perpindahan,

mengingat masih adanya ruang, fasilitas dan sumber-sumber

setempat.

b. Perubahan lokasi (locational change), yaitu perubahan yang terjadi

pada suatu tempat yang mengakibatkan gejala perpindahan suatu

bentuk aktifitas atau perpindahan sejumlah penduduk ke daerah lain

karena daerah asal tidak mampu mengatasi masalah yang timbul

dengan sumber dan swadaya yang ada.

Perubahan tata laku (behavioral change), yakni perubahan tata laku

penduduk dalam usaha menyesuaikan dengan perkembangan yang

terjadi dalam hal restrukturisasi pola aktifitas.

2.10. Kawasan Kumuh

2.10.1. Pengertian Kawasan Kumuh

Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya

pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang

artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang

artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang

rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana

lingkungan. Perumahan menitik beratkan pada fisik atau benda

mati, yaitu houses dan land settlement.

Pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau

kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam

lingkungan, sehingga pemukiman menitik beratkan pada sesuatu

yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia

(human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman

merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat

hubungannya, pada hakikatnya saling melengkapi (Kurniasih,

2007).

Page 20: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 20Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

Tumbuhnya pemukiman kumuh merupakan akibat dari

urbanisasi, migrasi yang tinggi, masyarakat berbondong-bondong

datang ke kota untuk mencari nafkah. Hidup di kota sebagai

warga dengan mata pencaharian terbanyak pada sektor informal.

Pada dasarnya pertumbuhan sektor informal bersumber pada

urbanisasi penduduk dari pedesaan ke kota, atau dari kota satu

ke kota lainnya. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian di mana

mereka tinggal, sudah terbatas, bahkan kondisi desapun tidak

dapat lagi menyerap angkatan kerja yang terus bertambah,

sedangkan yang migrasi dari kota ke kota lain, kota tidak lagi

mampu menampung, karena lapangan kerja sangat terbatas.

Akibatnya dengan adanya pemanfaatan ruang yang tidak

terencana di beberapa daerah, terjadi penurunan kualitas

lingkungan bahkan kawasan pemukiman, terutama di daerah

perkotaan yang padat penghuni, berdekatan dengan kawasan

industri, kawasan bisnis, kawasan pesisir dan pantai yang dihuni

oleh keluarga para nelayan, serta di bantaran sungai, dan

bantaran rel kereta api (Marwati, 2004).

2.10.2. Pengertian Kumuh

Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang

sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup

dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh

dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan

atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum

mapan.

Gambaran seperti itu diungkapkan oleh Herbert J. Gans

dengan kalimat “Obsolescence per se is not harmful and

designation of an area as a slum for thereason alone is merely a

reflection of middle clas standards and middle alas incomes”.

Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula

ditempatkan sebagai akibat. Ditempatkan di mana pun juga, kata

Page 21: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 21Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

kumuh tetap menjurus pada sesuatu hal yang bersifat negatif.

Pemahaman kumuh dapat ditinjau dari:

a. Sebab Kumuh

Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan

hidup dilihat dari:

1) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-

unsur alam seperti air dan udara;

2) segi masyarakat/sosial, yaitu gangguan yang

ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti kepadatan lalu

lintas, sampah.

b. Akibat Kumuh

Kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala

antara lain:

1) kondisi perumahan yang buruk;

2) penduduk yang terlalu padat;

3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai,

4) tingkah laku menyimpang;

5) budaya kumuh;

6) Apatis dan terisolasi.

2.10.3. Kawasan Kumuh

Kawasan kumuh adalah kawasan di mana rumah dan

kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk.

Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai

dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan,

kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan

sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan

prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial

lainnya (Kurniasih, 2007).

Ciri-ciri pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh

Suparlan (1984) sebagai berikut:

a. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai;

Page 22: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 22Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

b. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan

ruangannya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu

atau miskin;

c. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi

dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman

kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata

ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya;

d. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti

yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan

dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:

1) Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara,

dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar;

2) Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari

sebuah Rukun Tetangga, atau sebuah Rukun Warga;

3) Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai

sebuah Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan

terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian

liar;

4) Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi

tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian

dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga

asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh

juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas

kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda

tersebut;

5) Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah

mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai

mata pencaharian tambahan di sektor informil (Kurniasih,

2007).

Menurut Sinulingga (2005) ciri kampung/pemukiman

kumuh terdiri dari:

a. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat

para ahli perkotaan (MMUDP,90) menyatakan bahwa apabila

Page 23: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 23Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka

timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang

dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis,

psikologis dan perlindungan terhadap penyakit.

b. Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda

empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah

tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah

bersinggungan satu sama lain.

c. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa

terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan

kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.

d. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada

diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran

yang dekat dengan rumah, ataupun ada juga yang

membuangnya ke sungai yang terdekat.

e. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan

air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.

f. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan

pada umumnya tidak permanen dan malahan banyak yang

darurat.

g. Kondisi a sampai f membuat kawasan ini sangat rawan

terhadap penularan penyakit.

h. Pemilikan hak atas lahan sering tidak legal, artinya status

tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik

tidak memiliki status apa-apa.

Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang

Perumahan dan Pemukiman, yang menyatakan bahwa:

“.....untuk mendukung terwujudnya lingkungan pemukiman yang

memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan

keandalan bangunan, suatu lingkungan pemukiman yang tidak

sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi, kualitas

bangunan sangat rendah, prasarana lingkungan tidak memenuhi

syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan

Page 24: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 24Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh

Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagai

lingkungan pemukiman kumuh”.

Jadi pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian atau

tempat tinggal/rumah beserta lingkungannya, yang berfungsi

sebagai rumah tinggal dan sebagai sarana pembinaan keluarga,

tetapi tidak layak huni ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk,

sarana dan prasarananya, fasilitas pendidikan, kesehatan serta

sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat.

2.10.4. Faktor-Faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman KumuhDi Pusat Kota Dan Kawasan Pesisir Pantai

Pada dasarnya suatu permukiman kumuh terdiri dari

beberapa aspek penting, yaitu tanah/lahan, rumah/perumahan,

komunitas, sarana dan prasarana dasar, yang terajut dalam

suatu sistem sosial, sistem ekonomi dan budaya baik dalam

suatu ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu sendiri atau

ekosistem kota. oleh karena itu permukiman kumuh harus

senantiasa dipandang secara utuh dan integral dalam dimensi

yang lebih luas. Beberapa dimensi permukiman kumuh yang

menjadi penyebab tumbuhnya permukiman adalah sebagai

berikut:

a. Faktor Urbanisasi Dan Migrasi Penduduk

Substansi tentang urbanisasi yaitu proses modernisasi

wilayah desa menjadi kota sebagai dampak dari tingkat

keurbanan (kekotaan) dalam suatu wilayah (region) atau negara.

Konsekuensinya adalah terjadi perpindahan penduduk (dengan

aktifitas ekonominya) secara individu atau kelompok yang

berasal dari desa menuju kota atau daerah hinterland lainnya.

Hal ini perlu dibedakan dengan pengertian tingkat pertumbuhan

kota (urban growth) yang diartikan sebagai laju (rate) kenaikan

penduduk kota, baik skala mandiri maupun kebersamaan secara

nasional.

Page 25: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 25Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

Ukuran tingkat keurbanan, biasanya dalam konteks

kependudukan yaitu dengan memproporsikan antara jumlah

penduduk perkotaan terhadap jumlah penduduk nasional. Tetapi

masalah urbanisasi tidak harus diinterpretasikan dalam konteks

kependudukan semata, kenyataannya harus mencakup dimensi

perkembangan dan kondisi sosial, ekonomi masyarakat, bahkan

lebih jauh mencakup pula aspek budaya dan politik. Pada intinya

dalam aspek kegiatan ekonomi, pengertian urbanisasi merupakan

substansi pergeseran atau transformasi perubahan corak sosio-

ekonomi masyarakat perkotaan yang berbasis industri dan jasa-

jasa (Tommy Firman, 1996).

Rumusan beberapa faktor secara umum yang dapat

mempengaruhi terjadinya proses keurbanan, antara lain:

1. Ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi antara desa

dengan perkotaan.

2. Peluang dan kesempatan kerja yang lebih terbuka di daerah

perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan.

3. Terjadinya pola perubahan minat tentang lapangan pekerjaan

dari pertanian ke industri, utamanya bagi penduduk usia kerja

di perdesaan.

4. Lebih majunya teknologi dan infrastruktur prasarana

transportasi, sehingga memudahkan terjadinya mobilitas

penduduk baik yang permanen atau yang ulang-alik.

5. Keberadaan fasilitas perkotaan yang lebih menjanjikan,

utamanya aspek pendidikan, kesehatan, pariwisata dan aspek

sosial lainnya.

Proses urbanisasi perkotaan adalah suatu gejala umum

yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Proses

pembangunan yang berlangsung relatif pesat. Karena daya tarik

kota sangat kuat, baik yang bersifat ekonomis maupun non

ekonomis. Keadaan daerah perdesaan yang serba kekurangan

merupakan pendorong yang kuat dalam meningkatnya arus

urbanisasi ke kota-kota besar. Bagi kota yang mulai padat

Page 26: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 26Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

penduduknya, pertambahan penduduk tiap tahunnya jauh

melampaui penyediaan kesempatan kerja didalam wilayahnya

sehingga dirasakan menambah berat permasalahan kota.

Tekanan ekonomi dan kepadatan tinggal bagi kaum urban

memaksa mereka menempati daerah-daerah pinggiran (slum

area) hingga membentuk lingkungan permukiman kumuh.

Migrasi sebenarnya telah berkembang dan berbagai ahli

telah banyak membahas tentang teori migrasi tersebut dan

sekaligus melakukan penelitian tentang migrasi. Lee dalam Lisna

Yoeliani P (1966) mendekati migrasi dengan formula yang lebih

terarah. faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk

bermigrasi dapat dibedakan atas kelompok sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat asal migrant.

2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat tujuan

migran (destination).

3. Faktor-faktor penghalang atau pengganggu (intervening

factors).

4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan individu migran.

Faktor-faktor yang ada di tempat asal migran maupun di

tempat tujuan migran dapat terbentuk faktor positif maupun

faktor negatif. Faktor-faktor di tempat asal migran misalnya

dapat berbentuk faktor yang mendorong untuk keluar atau

menahan untuk tetap dan tidak berpindah. Di daerah tempat

tujuan migran fakor tersebut dapat berbentuk penarik sehingga

orang mau datang kesana atau menolak yang menyebabkan

orang tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur,

penghasilan yang rendah di daerah tempat asal migran

merupakan pendorong untuk pindah. Namun rasa kekeluargaan

yang erat, lingkungan sosial yang kompak merupakan faktor

yang menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi, kesempatan

kerja yang menarik di daerah tempat tujuan migran merupakan

faktor penarik untuk datang kesana namun ketidakpastian, resiko

yang mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan

Page 27: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 27Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

sebagainya merupakan faktor penghambat untuk pindah ke

tempat tujuan migran tersebut.

Keberadaan penduduk migran di permukiman kumuh yang

menempati lahan milik pemerintah atau milik publik, dapat

dikategorikan sebagai hunian ilegal atau lazim disebut hunian liar

(squatter). Hal ini jelas telah menimbulkan konflik antara

penghuni dengan instansi yang bertanggung jawab atas lahan

yang ditempatinya, Meskipun mereka tinggal pada permukiman

liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga

(RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati

penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan

tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga

telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

Kondisi yang demikian, jelas akan mempersulit bagi Pemkot

Kendari maupun pemilik lahan untuk membebaskan permukiman

demikian.

Penduduk pendatang yang kurang selektif, meskipun telah

memberi kontribusi negatif terhadap kondisi lingkungan kota

karena telah menciptakan permukiman kumuh dengan segala

implikasinya, namun sebenarnya mereka juga memberi

kontribusi positif bagi pembangunan Kota. Kota Kendari telah

memperoleh alokasi sumberdaya manusia dari daerah

perdesaan. Sumberdaya manusia asal perdesaan kendati

kualitasnya rendah, namun mereka telah menjadi bagian dari

ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan

jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah

tangga, terutama sangat diperlukan bagi usaha formal maupun

masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga

kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai

distributor komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman kumuh

yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat

membantu penduduk kota yang menginginkannya, misalnya

buruh pabrik atau pegawai daerah golongan rendah yang

Page 28: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 28Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan yang relatif

murah.

b. Faktor Lahan di Perkotaan

Pertumbuhan dan perkembangan kota yang sangat pesat

telah menyebabkan berbagai persoalan serius diantaranya adalah

permasalahan perumahan. Permasalahan perumahan sering

disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penyediaan unit

hunian bagi kaum mampu dan kaum tidak mampu di perkotaan.

Di samping itu sebagian kaum tidak mampu tidak menguasai

sumber daya kunci untuk menopang kehidupannya, sehingga

kaum tidak mampu ini hanya mampu tinggal di unit-unit hunian

sub standar di permukiman yang tidak layak.

Permasalahan perumahan di atas semakin memberatkan

kaum tidak mampu ketika kebijakan investasi pemanfaatan lahan

mengikuti arus mekenisme pasar tanpa mempertimbangkan

secara serius pentingnya keberadaan hunian yang layak bagi

kaum miskin diperkotaan. Investasi pemanfaatan lahan yang

salah, semata-mata berpihak pada kaum mampu pada akhirnya

mendorong lingkungan permukiman kaum tidak mampu yang

tidak layak ini terus mengalami penurunan kualitas dan rentan

masalah sosial lainnya.

c. Faktor Prasarana dan Sarana Dasar

Secara umum karakteristik permukiman kumuh diwarnai

juga oleh tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar

seperti halnya suplai air bersih, jalan, drainase, jaringan sanitasi,

listrik, sekolah, pusat pelayanan kesehatan, ruang terbuka, pasar

dan sebaginya. Bahkan hampir sebagian besar rumah tangga di

lingkungan permukiman kumuh ini mampunyai akses yang

sangat terbatas terhadap pelayanan sarana dan prasarana dasar

tersebut.

Rendahnya kemampuan pelayanan sarana dan prasarana

dasar ini pada umumnya disebabkan kemampuan pemerintah

Page 29: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 29Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

yang sangat terbatas dalam pengadaan serta pengelolaan sarana

dan prasarana lingkungan permukiman, kemampuan dan

kapasitas serta kesadaran masyarakat juga terbatas pula.

Bahkan juga disebabkan pula oleh terbatasnya peran berbagai

lembaga maupun individu atau pihak di luar pemerintah, baik

secara profesional atau sukarela dalam peningkatan

permasalahan sarana dan prasarana dasar.

d. Faktor Sosial Ekonomi

Pada umumnya sebagian besar penghuni lingkungan

permukiman kumuh mempunyai tingkat pendapatan yang rendah

karena terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang ada.

Tingkat pendapatan yang rendah ini menyebabkan tingkat daya

beli yang rendah pula atau terbatasnya kemampuan untuk

mengakses pelayanan sarana dan prasarana dasar.

Pada kenyataannya penghuni lingkungan permukiman

kumuh yang sebagian besar berpenghasilan rendah itu memiliki

potensi berupa tenaga kerja kota yang memberikan konstribusi

sangat signifikan terhadap kegiatan perekonomian suatu kota.

aktivitas ekonomi di sektor informal terbukti telah memberikan

kontribusi yang signifikan terhadap berlangsungnya kehidupan

produksi melalui sektor informal.

Dengan demikian tingkat pendapatan penghuni lingkungan

permukiman kumuh yang rendah ini merupakan permasalahan

yang serius keberlangsungan produtivitas suatu kota.

Permasalahan sosial ekonomi merupakan salah satu pendorong

meningkatnya arus urbanisasi dari desa ke kota, dari daerah

pinggiran ke pusat kegiatan ekonomi sehingga menumbuhkan

lingkungan permukiman kumuh baru. Ketidakmampuan ekonomi

bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga menjadi faktor

penyebab munculnya permukiman kumuh di daerah perkotaan

maupun di daerah pesisir.

Page 30: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 30Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

Keterbatasan penghasilan akibat dari semakin sulintya

mencari pekerjaan didaerah perkotaan membuat masyarakat

yang berada di garis kemiskinan semakin kesulitan untuk

menyediakan perumahan yang layak huni bagi mereka sendiri.

Ketika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, Masyarakat

berusaha dengan orientasi memenuhi kebutuhan hidup. Dan,

ketika mereka berhadapan dengan keterbatasan pekerjaan

formal yang jelas strukturnya, mereka menciptakan pekerjaan-

pekerjaan informal yang memberi peluang untuk melangsungkan

kehidupan.

Tercukupinya kebutuhan hidup adalah konsep sederhana

tentang kebahagiaan yang dimiliki oleh kaum miskin. Namun,

dalam usaha mereka tersebut, mereka berhadapan dengan roda

pembangunan ciptaan penguasa yang tidak berpihak pada

mereka. Persoalan ketidak mampuan ekonomi merupakan imbas

urbanisasi, lonjakan pengangguran, serta tingginya tuntutan dan

biaya hidup yang memaksa manusia kota kreatif untuk berusaha

di bidang ekonomi.

Aktivitas-aktivitas formal tidak terbatas pada pekerjaan-

pekerjaan dipinggiran kota saja, tetapi bahkan juga meliputi

berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas-aktivitas ekonomi informal

adalah cara melakukan sesuatu yang ditandai dengan:

1. Mudah untuk dimasuki;

2. Bersandar pada sumber daya local;

3. Usaha milik sendiri;

4. Operasinya dalam skala kecil;

5. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif;

6. Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal;

7. Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat

kompetitif.

Aktivitas-aktivitas sektor informal pada umumnya

dikesampingkan, jarang didukung, bahkan seringkali diatur oleh

aturan yang ketat, dan terkadang tidak diperhatikan oleh

Page 31: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 31Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

pemerintah. Menurut Daldjoeni (1987:172), mereka yang masuk

ke dalam sektor informal adalah mereka yang harganya berada

di kelas dua, artinya bahwa mereka yang orientasi pemasarannya

untuk golongan menengah ke bawah. Untuk itu, mereka harus

lebih diformalkan, lebih dipadatmodalkan, lebih ditatabukukan,

lebih dibadanhukumkan, dan lebih dikenai pajak.

Secara implisit dalam kegiatan perdagangan, kegiatan

informal dalam bentuk pedagang kaki lima. Ditinjau dari

karakteristik kehadirannya, timbul sektor informal karena:

1. Tingkat persaingan pekerjaan yang tidak diimbangi dengan

tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai.

2. Tidak adanya hubungan kerja kontrak jangka panjang seperti

halnya yang dimiliki oleh sektor formal, sehingga

mengakibatkan mobilitas angkatan kerja dalam sektor

informal menjadi relatif lebih tinggi.

3. Meningkatnya arus urbanisasi.

Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan

rendah, untuk membangun rumah yang layak huni menambah

daftar panjang permasalahan permukiman kumuh diperkotaan

dan daerah pesisir. Jika golongan miskin dianggap tidak mampu

untuk membantu dirinya sendiri dalam membangun rumah yang

layak huni maka mereka seharunya dibantu. Dalam konteks

perumahan, kecenderungan ini berarti hanya pemerintah sajalah

yang mampu membangun perumahan yang layak huni bagi

masyarakat miskin. Menurut Turner dalam Alan gilbert dkk,

pemerintah sebaiknya membangun perumahan swadaya. Dan itu

akan terjadi manakala masyarakat miskin tersebut memahami

peranannya bahwa perumahan merupakan bagian dari hidup

mereka.

e. Faktor Sosial Budaya

Permukiman kumuh juga sering ditandai oleh tingkat

pendidikan dan keterampilan yang sangat rendah. Pada

Page 32: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 32Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

umumnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah ini

sangat erat dengan rendahnya tingkat pedapatan penduduk

sehingga mambatasi akses terhadap peningkatan kualitas

sumber daya manusia. Di samping itu struktur sosial penghuni

lingkungan permukiman sangat majemuk dengan beragam

norma-norma sosialnya masing-masing. Keragaman ini kadang-

kadang menimbulkan kesalahpahaman, saling tidak percaya

antar penghuni, yang menyebabkan rendahnya tingkat

kohesivitas komunitas. Masing-masing mengikuti struktur

hubungan antar sesama dan budaya yang beragam, yang

mempengaruhi bagaimana sebuah individu, keluarga dan

tetangga dalam berinteraksi di lingkungannya. Sehingga kadang-

kadang menyulitkan upaya membentuk suatu lembaga yang

berbasis pada komunitas atau upaya-upaya peningkatan

kesejahteraan bersama.

Konflik sosial antara warga kota dapat dilihat dari konflik

untuk mencari pekerjaan dan semakin tingginya angka kejahatan

dikota membuat kota semakin tidak aman bagi masyarakat kota.

Argumentasi disorganisasi atau nuansa di kota yang aman

hampir tidak dapat dipungkiri bahwa rasa aman hidup dikota

semakin hilang. Hal ini akibat dari perilaku yang terlepas dari

kontrol sosial terhadap nilai-nilai masyarakat. Kaum migran desa-

kota cenderung berharap mereka akan mampu memperbaiki

posisi sosial ekonomi mereka ketika melakukan migrasi kekota.

Mereka dipenuhi pikiran untuk memapankan hubungan

pekerjaan dan nilai finansial yang akan didapatkannya ketika

berada dikota. Namun perlu diketahui bahwa persaingan dikota

jauh lebih besar dibandingkan dengan di desa. (Wisadirana,

20014).

Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan/skill dan

potensi akan tersingkir dari dunia usaha yang sifatnya formal.

Akibatnya untuk mencari pekerjaan mereka menciptakan

lapangan pekerjaan sendiri dengan bergerak dalam sektor usaha

Page 33: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 33Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

informal. Kasus kejahatan yang dapat terjadi dari konflik sosial

adalah akibat semakin tingginya jurang pemisah antara kaum

kaya dan kaum miskin yang tidak mampu untuk bersaing. Maka

muncullah kejahatan sebagai jalan pintas untuk mendapatkan

keuntungan yang lebih cepat. Pencurian dan perampokkan

dipermudah lagi oleh tidak adanya sosialisasi dengan sikap acuh

tah acuh sesama masyakat yang bersifat individualistis. Dan

sesama masyarakat saling tidak kenal dan puas dengan

kehidupan subsistem. Tetapi orang-orang miskin dikota mungkin

tidak memiliki alternatif perkerjaan lain kecuali harus mencuri

dan merampok untuk mempertahankan kehidupan mereka.

Kadang ada juga yang secara terorganisir melakukan

perampokkan dan pencurian dengan modus yang berbeda-beda.

Konflik sosial lain akibat tidak adanya lapangan pekerjaan yang

dapat menampung kaum migran adalah dengan melakukan

pekerjaan sebagai pemulung atau pekerjaan lain yang dapat

mereka lakukan. (Daldjoeni: 1997).

Masyarakat yang bermigrasi kekota juga membawa nilai-

nilai sosial yang ada dalam masyarakat desa. Sementara

masyarakat kota yang heterogen memiliki cirinya sendiri. Salah

satu ciri masyarakat kota dalam Alan Gilbert mengungkapkan

bahwa ciri masyarakat kota ditandai dengan :

1. Lebih terbuka terhadap perubahan;

2. Kota merupakan pintu gerbang ide-ide dan budaya yang

baru;

3. Masyarakat kota lebih kritis terhadap perubahan harga

barang dan lainnya;

4. Lebih rasional;

5. Faktor pendidikan dan informasi sangat dibutuhkan

f.Proses individualisme lebih mencolok dibandingkan dengan

suasana kekeluargaan;

6. Aktivitas dan jarak sosial yang lebih padat;

7. Dikelompokkan oleh kepentingan;

Page 34: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 34Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

8. Kerawanan dan berdampak pada persaingan dan agresivitas;

9. Keragaman pekerjaan baik dari sektor industri maupun

sektor jasa.

Menurut Betrand (1987) Dalam (Darsono Wisadirana ,

2005 : 23) masyarakat merupakan hasil dari suatu perubahan

budaya dan akumulasi budaya. Jadi masyarakat bukan sekedar

jumlah penduduk saja melainkan sebagai suatu sistem yang

dibentuk dari hubungan antar mereka. Sehingga menampilkan

suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-ciri tersendiri. Dimana

dari hubungan antar mereka ini terbentuk suatu kumpulan

manusuia kemudian menghasilkan suatu budaya. Jadi

masyarakat merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama

dan menghasilkan kebudayaan.

Masyarakat dan kebudayaan sebenarnya merupakan

perwujudan dari perilaku manusia. Antara masyarakat dan

kebudayaan dalam kehidupan yang nyata, keduanya tidak dapat

dipisahkan dalam kehidupan sosial bagaikan dua sisi mata uang.

Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan atau

sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai

wadah dan pendukungnya.

Kota menjadi fokus dari perubahan sosial yang

mengisinkan hadirnya kegiatan-kegiatan personal yang

menyimpang. Tingkat kejahatan, kenakalan remaja, dan kegiatan

menyimpang lainnya menjadi cukup tinggi di daerah perkotaan.

Jika sektor informal bisa menampung tenga kerja kaum marginal

maka pemerintah kota tidak perlu membatasi mereka untuk

mencari penghidupan pada sektor inforal ini. Karena pada

kenyataannya meraka tidak mampu untuk ditampung pada

sektor formal karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada

masyarakat marjinal. (Daljoeni :1997).

Daerah-daerah permukiman liar tadi merupakan penerusan

dari kehidupan perdesaan yang serba luwes. Pendudukya lebih

gigih mempertahankan tanah yang terlanjur mereka tempati

Page 35: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 35Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

sehingga sulit untuk melakukan penggusuran. Ciri-ciri sosial

ekonomi kaum penghuni gubug-gubug liar yang tergolong kaum

marjinal dan penduduk termiskin terdiri atas para urbanisan yang

paling baru datangnya. Tetapi mereka merupakan penggerak

kota karena bekerja sebagai kuli bangunan, kuli pelabuhan, dan

buruh kasar yang membuat ekonomi berjalan terus.

Oleh karena itu setiap penanganan permukiman kumuh harus

secara serius melaksanakan identifikasi asal-usul tumbuh

kembangnya lingkungan permukiman tersebut guna membantu

melakukan rekonstruksi nilai-nilai sosial budaya yang ada dan

berlaku di dalamnya, termasuk keterkaitan dengan konfigurasi

struktur sosial budaya kota.

f. Faktor Tata Ruang

Dalam konstelasi tata ruang kota, permukiman kumuh

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsfigurasi

struktur ruang kota. oleh karena itu, perencanaan tata ruang

kota perlu didasarkan pada pemahaman bahwa pengembangan

kota harus dilakukan sesuai dengan daya dukunya termasuk

daya dukung yang relatif rendah di lingkungan permukiman

kumuh.

Investasi yang salah terhadap pemanfaatan ruang kota

akan menimbulkan dampak yang merusak lingkungan serta

berpotensi mendorong tumbuhkembangnya lingkungan

permukiman kumuh atau kantong-kantong lingkungan

permukiman kumuh baru, bahkan bisa jadi akan menghapus

lingkungan permukiman lama atau kampung-kampung kota yang

mempunyai nilai warisan budaya tinggi yang kebetulan pada saat

itu lingkungan telah mengalami kemerosotan atau memburuk.

g. Faktor Aksesibilitas

Secara umum, salah satu penyebab munculnya

permukiman kumuh adalah terbatasnya akses penduduk miskin

kepada kapital komunitas (community capital). Kapital komunitas

Page 36: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 36Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

ini meliputi kapital terbangun, individu dan sosial serta

lingkungan alam. Kapital terbangun meliputi informasi, jalan,

sanitasi, drainase, jaringan listrik, ruang terbuka, perumahan,

pasar, bangunan-bangunan pelayanan publik, sekolah dan

sebagianya. Kapital individu, antara lain meliputi pendidikan,

kesehatan kemampuan dan keterampilan. Kapital sosial, antara

lain meliputi koneksitas dalam suatu komunitas-cara manusia

berinteraksi dan berhubungan dengan lainnya.

Dalam skala lebih luas, sekelompok manusia membentuk

organisasi, baik organisasi sukarela, bisnis melalui perusahaan

maupun pemerintah dan sebagainya, termasuk berbagai sistem

sosial yang ada, termasuk kebijakan pembangunan kota.

Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumber daya alam,

pelayanan ekosistem dan estetika alam. Sumber daya alam

adalah apa saja yang diambil dari alam sebagai bagian dari

bahan dasar yang dipakai untuk proses produksi. Pelayanan

ekosistem antara lain berupa kemampuan tanah untuk budidaya

tanaman yang bisa memberikan bahan makanan, bahan untuk

pakaian dan sebagainya.

h. Faktor Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam hal

pencapaian pekerjaan dan pendapatan. Meskipun begitu,

pendidikan sangat ditentukan oleh pendidikan itu sendiri dan

pekerjaan orang tua untuk mampu menyekolahkan anak mereka

pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini berarti

perbedaan latar belakang budaya dan sosial ekonomi (pendidikan

dan pekerjaan) orang tua tidak hanya berpengaruh terhadap

pendidikan anak. tetapi juga untuk pencapaian pekerjaan dan

pendapatan mereka. Sedangkan faktor lain seperti : tempat

tinggal, agama, status perkawinan dan status migrasi, serta

umur sangat kecil pengaruhnya terhadap pencapaian pekerjaan

dan pendapatan.

Page 37: Bab 2.Tinjauan Pustaka

Draft Laporan Akhir | BAB II - 37Penyusunan Data Base Perumahan Kec. Wawonii Barat Tahun 2014

Banyak kaum migran tidak bisa bekerja dengan standar-

standar yang tinggi. Sementara persaingan untuk mencari

lapangan kerja sangat tinggi dan kesemuanya dituntut dengan

tingkat propesionalisme dan tingkat pendidikan pula yang harus

dapat bersaing dengan orang lain. Dilain pihak kota-kota di

Indonesia memiliki kelebihan jumlah tenaga kerja yang belum

dapat tersalurkan baik yang memiliki pendidikan tinggi maupun

mereka yang sama sekali tidak memiliki skill dan keterampilan

yang tinggi untuk bisa bertahan pada jalur formal. Elemen lain

yang juga menentukan adalah tidak adanya lapangan kerja yang

disiapkan oleh pemerintah. Dampak dari akumulasi kejadian

tersebut memunculkan angka pengangguran yang setiap

tahunnya semakin bertambah.