BAB 2 - Tinjauan Pustaka

36
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberculosis Paru 2.1.1. Definisi Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (TBC). Meskipun dapat menyerang hampir semua organ tubuh, namun bakteri TBC lebih sering menyerang organ paru (80-85%) (Depkes, 2008). Tubekulosis yang menyerang paru disebut tuberculosis paru dan yang menyerang selain paru disebut tuberculosis ekstra paru. Tuberculosis paru dengan pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (Basil Tahan Asam) positif, dikategorikan sebagai tuberculosis paru menular (Depkes, 2005). Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup. Setelah seseorang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, hampir 90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif dan 10% akan sakit. Penderita yang sakit bila tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan 25% menjadi kronik dan infeksius (Jusuf, 2010). Namun ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dengan TB paru aktif yang tidak diobati lebih mungkin meninggal dalam waktu yang lebih singkat (Green, 2006). 2.1.2. Bakteri Tuberculosis Paru (TB Paru)

description

BAB 2 - Tinjauan Pustaka

Transcript of BAB 2 - Tinjauan Pustaka

Page 1: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberculosis Paru

2.1.1. Definisi

Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis (TBC). Meskipun dapat menyerang hampir semua

organ tubuh, namun bakteri TBC lebih sering menyerang organ paru (80-85%)

(Depkes, 2008). Tubekulosis yang menyerang paru disebut tuberculosis paru dan

yang menyerang selain paru disebut tuberculosis ekstra paru. Tuberculosis paru

dengan pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (Basil Tahan Asam) positif,

dikategorikan sebagai tuberculosis paru menular (Depkes, 2005).

Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur

hidup. Setelah seseorang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, hampir 90%

penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif dan 10%

akan sakit. Penderita yang sakit bila tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50%

penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan

25% menjadi kronik dan infeksius (Jusuf, 2010). Namun ODHA (orang dengan

HIV/AIDS) dengan TB paru aktif yang tidak diobati lebih mungkin meninggal dalam

waktu yang lebih singkat (Green, 2006).

2.1.2. Bakteri Tuberculosis Paru (TB Paru)

Bakteri TB paru yang disebut Micobacterium tuberculosis dapat dikenali

karena berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron,

tahan terhadap pewarnaan yang asam, sehingga dikenal sebagai bakteri tahan

asam (BTA). Sebagian besar bakteri terdiri dari asam lemak dan lipid, yang

membuat lebih tahan asam. Bisa bertahan hidup bertahun-tahun. Sifat lain adalah

bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen (Achmadi, 2008). Bila dijumpai

BTA atau Mycobacterium tuberculosis dalam dahak orang yang sering batuk-batuk,

maka orang tersebut di diagnosis sebagai penderita TB paru aktif dan memiliki

potensi yang sangat berbahaya (Achmadi, 2011).

Page 2: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

6

Secara khas bakteri berbentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau

kerusakan jaringan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan

sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap

dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama

bertahuntahun (Achmadi, 2008).

2.1.3. Sumber dan Cara Penularan Penyakit TB Paru

Sumber penularan penyakit TB paru adalah penderita yang pemeriksaan

dahaknya di bawah mikroskop ditemukan adanya bakteri Mycobacterium

tuberculosis, yang di sebut dengan BTA (basil tahan asam). Makin tinggi derajat

hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan

dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Namun tidak

semua penderita TB paru akan ditemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada

pemeriksaan, tergantung dari jumlah bakteri yang ada (Aditama, 2006).

Penderita dapat menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan

dahak, yang dalam istilah kedokteran disebut droplet nuclei. Sekali batuk dapat

menghasilkan 3000 percikan dahak. Melalui udara yang tercemar oleh

Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan/ dikeluarkan oleh penderita TB paru

saat batuk. Bakteri akan masuk ke dalam paru-paru dan berkumpul hingga

berkembang menjadi banyak terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh

rendah. Sementara, bagi yang mempunyai daya tahan tubuh baik, maka penyakit TB

paru tidak akan terjadi. Tetapi bakteri akan tetap ada di dalam paru dalam keadaan

”tidur”, namun jika setelah bertahun-tahun daya tahan tubuh menurun maka bakteri

yang ”tidur” akan ”bangun” dan menimbulkan penyakit. Salah satu contoh ekstrim

keadaan ini adalah infeksi HIV yang akan menurunkan daya tahan tubuh secara

drastis sehingga TB paru muncul. Seseorang dengan HIV positif 30 kali lebih mudah

menderita TB paru dibandingkan orang normal (Aditama, 2006).

Pada umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana droplet (percikan

dahak) ada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah droplet,

sementara cahaya dan sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri. Droplet

dapat bertahan beberapa jam dalam kondisi gelap dan lembab. Orang dapat

terinfeksi jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Jadi penularan

Page 3: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

7

TB paru tidak terjadi melalui perlengkapan makan, baju, dan perlengkapan tidur

(Depkes, 2005). Daya penularan dari seseorang penderita TB paru ditentukan oleh

banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Faktor yang memungkinkan

seseorang terpapar bakteri TB paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara

dan lama menghirup udara tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat terpapar

dengan droplet dan kerentanan terhadap penularan (Depkes, 2008).

Bakteri Mycobacterium tuberculosis sangat sensitif terhadap cahaya

matahari. Cahaya matahari berperan besar dalam membunuh bakteri di lingkungan,

dan kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil karena bahaya

penularan terbesar terdapat pada perumahan-perumahan yang padat penghuni

dengan ventilasi yang kurang baik serta cahaya matahari tidak dapat masuk

kedalam rumah (Achmadi, 2008).

2.1.4. Penularan Penyakit TB Paru di Dunia

Pada tahun 1993, Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health

Organization) menyatakan TB paru sebagai kegawatdaruratan global (Global Health

Emergency) dengan perkiraan sepertiga penduduk dunia terinfeksi oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2010). WHO memperkirakan bahwa pada

tahun 2006 terdapat 9,24 juta penderita TB paru diseluruh dunia, pada tahun 2007

jumlah penderita naik menjadi 9,27 juta jiwa. Dan hingga tahun 2009 angka

penderita TB paru menjadi 9,4 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 1,8 juta jiwa meninggal

(600.000 diantaranya adalah perempuan) naik dari angka kematian pada tahun 2007

yang berjumlah 1,77 jiwa. Setiap harinya terdapat 4.930 orang meninggal disebakan

oleh TB paru (Depkes, 2010).

2.1.5. Penularan Penyakit TB Paru di Indonesia

Laporan TB paru dunia oleh WHO tahun 2006, pernah menempatkan

Indonesia sebagai penyumbang terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina

dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 jiwa dan jumlah kematian sekitar 101.000

jiwa per tahun. Di Indonesia jumlah kematian akibat penyakit tuberculosis terutama

TB paru hingga tahun 2008 menurun hingga 88.113 jiwa dari jumlah kasus

penularan TB paru yang berjumlah 534.439 jiwa. Sedangkan pada tahun 2009 kasus

Page 4: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

8

penularan TB paru menurun mencapai jumlah 528.063 jiwa dan 236.029 untuk

kasus TB paru BTA positif, akan tetapi angka kematian naik menjadi 91.368 jiwa.

Sepertiga dari jumlah tersebut terdapat di sekitar Puskesmas, di pelayanan

rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta, praktik swasta dan sisanya belum

terjangkau unit pelayanan kesehatan. Sedangkan prevalensi untuk semua kasus

TBC diperkirakan sebanyak 565.614 atau 244/100.000 penduduk. Angka kematian

karena TB paru diperkirakan 91.368 per tahun atau setiap hari ada 250 orang

meninggal (Depkes, 2010).

Akan tetapi usaha pemerintah dalam memberantas TBC di Indonesia harus terus

berjalan. Saat ini pemerintah telah mencanangkan program pemeriksaan dan

pengobatan TBC gratis bagi masyarakat kurang mampu di setiap Puskesmas di

Indonesia. Akan tetapi sosialisasi yang dilakukan pemerintah dirasakan kurang

efektif. Hal tersebut menyebabkan banyak masyarakat penderita TBC tidak

mengetahui program tersebut.

2.1.6. Penularan Penyakit TB Paru di Malang

Kabupaten malang melakukan berbagai upaya pengendalian TBC namun

belum terlaksana sepenuhnya. Terutama terdapat kendala pada penemuan

penderita. Angka penemuan penderita TBC paru dengan BTA positif di Kabupaten

Malang mengalami peningkatan dari 36,42% pada tahun 2010 menjadi 44,4% pada

tahun 2011 (Depkes, 2012)

2.1.7 Gejala Penyakit TB Paru

Page 5: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

9

Menurut Crofton (2002), gejala yang dirasakan oleh penderita TB paru dapat

digambarkan sebagai berikut:

1. Permulaan Sakit

Pertumbuhan TB paru sangat menahun sifatnya, tidak berangsur-angsur

memburuk secara teratur,tetapi terjadi secara ”melompat-lompat”. Serangan

pertama menyerupai ”influenzae” akan segera mereda dan keadaan akan pulih

kembali. Berbulan-bulan kemudian akan timbul kembali serangan ”influenzae”.

Tergantung dari daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil, serangan kedua bisa

terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan seterusnya. Dikatakan sebagai

multiplikasi 3 bulan. Serangan kedua akan bertahan lebih lama dari yang pertama

sebelum orang sakit ”sembuh” kembali. Pada serangan ketiga serangan sakit akan

lebih lama dibandingkan serangan kedua. Sebaliknya masa ”tidak sakit” menjadi

lebih pendek dari masa antara serangan pertama dan kedua. Seterusnya masa aktif

”influenzae” makin lama makin panjang, sedangkan masa ”bebas influenzae” makin

pendek. Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah sering mendapatkan

serangan ”influenzae”. Setiap kali mendapat serangan dengan suhubisa mencapai

40ºC-41ºC.

2. Malaise

Peradangan ini bersifat sangat kronik akan di ikuti tanda-tanda malaise:

anoreksia, badan makin kurus, sakit kepala, badan terasa pegal-pegal, demam

subfebril yang diikuti oleh berkeringat malam dan sebagainya.

3. Batuk

Mycobacterium tuberculosis mulai berkembang biak dalam jaringan paru.

Selama bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, orang sakit tidak akan batuk.

Batuk pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk

membuang produk-produk ekskresi dari peradangan keluar.

4. Batuk Darah (hemoptoe)

Batuk darah akan terjadi bila ada pembuluh darah yang terkena dan

kemudian pecah. Tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah maka akan

terjadi batuk darah ringan, sedang, atau berat tergantung dari berbagai faktor. Satu

hal yang harus diingat adalah tidak semua batuk darah dengan disertai gambaran

lesi di paru secara radiologis adalah TB paru. Batuk darah juga terjadi pada berbagai

Page 6: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

10

penyakit paru lain seperti penyakit yang namanya bronkiektesi, kanker paru dan lain-

lain.

5. Sakit/ Nyeri Dada

6. Keringat Malam

7. Demam

8. Sesak Nafas, dll.

Tidak semua penderita TB paru punya semua gejala diatas, kadang-kadang

hanya satu atau 2 gejala saja. Berat ringannya masing-masing gejala juga sangat

bervariasi (Aditama, 2006). Gejala-gejala tersebut diatas di jumpai pula pada

penyakit paru selain TB paru. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke Unit

Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, harus di anggap

”suspek tuberculosis” atau tersangka penderita TB paru dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Aditama, 2002).

2.1.8 Risiko Menjadi Sakit TB Paru

Risiko seseorang tertular oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis untuk

menjadi sakit TB paru di gambarkan oleh Depkes (2005), sebagai berikut:

1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TBC akan menjadi sakit TB paru. Dengan

ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi

1000terinfeksi TB paru dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit

TB paru setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah penderita TB paru BTA

positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi

penderita TB paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi

HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

2. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TBC

menjadi sakit TB paru. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem

daya tahan tubuh seluler (Cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi

oportunistik, seperti tuberculosis, maka yang bersangkutan akan menjadi

sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang

terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB paru akan meningkat,

dengan demikian penularan TB paru di masyarakat akan meningkat pula.

2.1.9 Strategi Penemuan Penderita TB Paru

Kegiatan penemuan penderita terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,

penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan penderita merupakan

Page 7: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

11

langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB paru. Penemuan dan

penyembuhan penderita TB paru menular, secara bermakna akan dapat

menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB paru, penularan TB paru di

masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB paru

yang paling efektif di masyarakat (Depkes, 2005). Menurut Depkes (2008), strategi

penemuan penderita TB paru biasanya dilakukan sebagai berikut:

1. Penemuan penderita TB paru harus dilakukan secara pasif dengan promosi

aktif. Penjaringan tersangka penderita dilakukan di unit pelayanan

kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas

kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan

tersangka penderita TB paru. Cara ini bisa di kenal dengan istilah passive

promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi

yang aktif).

2. Pemeriksaan terhadap kontak penderita TB paru, terutama mereka yang

BTA positif, yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.

3. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

2.1.10 Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Menurut Aditama (2006), pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan

diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.

Pemeriksaan dahak dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Pengumpulan Dahak

Spesimen dahak dikumpulkan atau ditampung dalam pot dahak bermulut lebar,

berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak

bocor yang telah diberi label atau nomor urut sediaan dahak. Pemeriksaan dahak

untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak

yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-

Sewaktu (SPS), yaitu sebagai berikut:

a. S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB paru datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot

dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

Page 8: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

12

c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan

dahak pagi.

2. Pemberian Nomor Identitas Sediaan

a. Kaca sediaan dipengang pada kedua sisinya untuk menghindari sidik jari

pada badan sediaan.

b. Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sesuai dengan identitas pada pot

dahak dengan menggunakan spidol permanen atau pensil kaca.

c. Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah kemungkinan

tertukarnya sediaan.

3. Pembuatan Preparat

Pilih bagian dahak yang kental, warna kuning kehijauan, ada pus,

darah atau ada perkejuan. Ambil sedikit bagian tersebut dengan

menggunakan ose yang sebelumnya dibakar dulu sampai pijar, kemudian

didinginkan. Ratakan diataskaca obyek dengan ukuran ±2-3 cm. Hapusan

sputum yang dibuat jangan terlalu tebal atau tipis. Keringkan dalam suhu

kamar. Ose sebelum dibakar dicelupkan dulu kedalam botol berisi campuran

alkohol 70% dan pasir dengan perbandingan 2 : 1 dengan tujuan untuk

melepaskan partikel yang melekat pada ose (untuk mencegah terjadinya

percikan atau aerosol pada waktu ose dibakar yang dapat menularkan

bakteri tuberculosis). Rekatkan/ fiksasi dengan cara melakukan melewatkan

preparat diatas lidah api dengan cepat sebanyak 3 kali selama 3-5 detik.

Setelah itu sediaan langsung diwarnai dengan pewarna Ziehl Neelsen.

4. Pembuatan Ziehl Neelsen

Pada dasarnya prinsip pewarnaan Mycobacterium yang dinding

selnya tahan asam karena mempunyai lapisan lemah atau lilin sehingga

sukar ditembus cat. Oleh pengaruh phenol dan pemanasan maka lapisan

lemak dapat ditembus cat basic fuchsin. Pada pengecatan Ziehl Neelsen

setelah BTA mengambil warna dari basic fuchshin kemudian dicuci dengan

air mengalir, lapisan lilin yang terbuka pada waktu dipanaskan akan merapat

kembali karena terjadi pendinginan pada waktu dicuci. Sewaktu dituang

dengan asam sulfat dan alkohol 70% atau HCI alkohol, warna merah dari

basic fuchsin pada BTA tidak akan dilepas/ luntur. Bakteri yang tidak tahan

asam akan melepaskan warna merah, sehingga menjadi pucat atau tidak

Page 9: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

13

bewarna. Akhirnya pada waktu dicat dengan Methylien Blue BTA tidak

mengambil warna biru dan tetap merah, sedangkan bakteri yang tidak tahan

asam akan mengambil warna biru dari Methylien Blue.

5. Cara Pengecatan Basil Tahan Asam

Letakkan sediaan diatas rak pewarna, kemudian tuang larutan Carbol

Fuchsin sampai menutupi seluruh sediaan. Panasi sediaan secara hati-hati

diatas api selama 3 menit sampai keluar uap, tetapi jangan sampai mendidih.

Biarkan selama 5 menit (dengan memakai pinset). Cuci dengan air mengalir,

tuang HCL alkohol 3% (alcohol asam) sampai warna merah dari fuchsin

hilang. Tunggu 2 menit. Cuci dengan air mengalir, tuangkan larutan Methylen

Blue 0,1% tunggu10-20 detik. Cuci dengan air mengalir, keringkan di rak

pengering.

6. Cara Melakukan Pemeriksaan dengan Mikroskop

Setelah preparat terwarnai dan kering, dilap bagian bawahnya dengan kertas

tissue, kemudian sediaan ditetesi minyak imersi dengan 1 tetes diatas sediaan.

Sediaan dibaca mikroskop dengan perbesaran kuat. Pemeriksaan dimulai dari ujung

kiri dan digeser ke kanan kemudian digeser kembali ke kiri (pemeriksaan

system benteng). Diperiksa 100 lapang pandang (kurang lebih 10 menit).

Pembacaan dilakukan secara sistematika, dan setiap lapang pandang dilihat, bakteri

Mycobacterium tuberculosis berwarna merah berbentuk batang lurus atau bengkok,

terpisah, berpasangan atau berkelompok dengan latar belakang biru.

7. Pelaporan Hasil

Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan

menggunakan skala International Union Against Tuberculosis (IUAT) yaitu dalam

100 lapang pandang tidak ditemukan BTA disebut negatif, namun jika ditemukan :

1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif

2. 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah bakteri yang

ditemukan

3. 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+)

4. 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+)

5. > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+)

Page 10: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

14

Penulisan gradasi hasil bacaan penting, untuk menunjuk keparahan penyakit dan

tingkat penularan penderita (Depkes, 2001 dalam Supriyadi, 2003).

2.1.11 Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa

Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum

atau dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila

sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen

yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS

diulang. Jika hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita di diagnosis

sebagai penderita TB paru BTA positif. Dan jika hasil rontgen tidak mendukung TB

paru, maka pemeriksaan dahak SPS di ulang (Depkes, 2005).

Pemeriksaan lain seperti foto toraks dan uji kepekaan dapat digunakan

sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak

dibenarkan mendiagnosis TB paru hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks. Foto

toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering

terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan

aktifitas penyakit TB paru (Chin, 2000).

2.1.12 Pengendalian, Pencegahan dan Pengobatan TB Paru

Pengendalian TB paru yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi

penularan maupun infeksi. Pencegahan TB paru pada dasarnya adalah mencegah

penularan bakteri dari penderita yang terinfeksi dan menghilangkan atau

mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan (Crofton, 2002).

Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang

utama adalah memberikan obat anti tuberculosis yang benar dan cukup, serta

dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan dilakukan

dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko yang pada dasarnya

adalah mengupayakan kesehatan lingkungan dan perilaku, antara lain dengan

pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan

anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah

sembarangan, batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik

dan seimbang. Dengan demikian salah satu upaya pencegahan adalah dengan

penyuluhan (Jusuf, 2010). Menurut Depkes (2003), selain penyuluhan, pengobatan

juga merupakan suatu hal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit TB

paru.

Page 11: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

15

Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan penderita,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan.

Salah satu komponen dalam DOTS adalah panduan pengobatan panduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung dan untuk menjamin keteraturan

pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) dan pemberian

panduan OAT didasarkan klasifikasi TBC. Menurut Hudoyo (2008), mengobati

penderita dengan TB paru cukup mudah, karena penyebab TB paru sudah jelas

yaitu, bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat di matikan dengan

kombinasi beberapa obat yang sudah jelas manfaatnya. Sesuai dengan sifat bakteri

Mycobacterium tuberculosis, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka

prinsip-prinsip yang dipakai adalah :

1. Obat harus di berikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat

(Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol) dalam

jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua bakteri

(termasuk bakteri persisten) dapat di bunuh. Hal ini untuk mencegah

timbulnya kekebalan terhadap OAT.

2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan

dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed

Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

2.2. Faktor yang Memengaruhi Kejadian Penyakit TB Paru

Menurut Achmadi (2008), banyak faktor yang dapat memengaruhi kejadian

penyakit TB paru. Pada dasarnya berbagai faktor saling berkaitan satu sama lain.

Faktor yang berperan dalam kejadian penyakit TB paru diantaranya adalah

karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah, penghasilan keluarga dan upaya

pengendalian penyakit terhadap diri sendiri.

2.2.1. Karakteristik Individu

Beberapa karakteristik individu yang dapat menjadi faktor risiko

terhadap kejadian penyakit TB paru adalah:

1. Umur

Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Dari hasil

penelitian yang di laksanakan di New York pada panti penampungan orang-

orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB

paru aktif meningkat secara bermakna sesuai umur. Prevalensi TB paru

Page 12: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

16

tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada wanita

prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian

berkurang sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sampai

sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002).

2.2.2. Sanitasi Lingkungan Rumah

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang

mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan

sebagainya (Notoatmodjo, 2011).Lingkungan rumah adalah segala sesuatu

yang berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik

yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu

kepadatan penghuni. Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak

penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan menurunnya daya

tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga penularan

penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di antara

penghuni rumah (Notoatmodjo, 2003).

Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana

orang menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur

tersebut juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan

yang berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial

yang baik untuk keluarga dan individu, oleh karena itu lingkungan rumah

merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kesehatan penghuninya

(Notoatmodjo, 2003). Dan lingkungan rumah yang kurang baik merupakan

salah satu tempat yang baik dalam menularkan penyakit seperti penyakit TB

paru (Soemirat, 2009).

1. Kepadatan Penghuni Rumah

Cepat lambatnya penularan penyakit salah satunya ditentukan oleh faktor

kepadatan yang ditentukan oleh jumlah dan distribusi penduduk. Dalam hal

ini kepadatan hunian yang apabila tidak dapat suplai rumah sehat yang

memadai dan terjangkau, dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit

seperti penyakit TB paru (Soemirat, 2009).

Kepadatan adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah

anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan untuk kepadatan

hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang.

Page 13: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

17

Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan

dan fasilitas yang tersedia.

Untuk perumahan sederhana minimum 9 m2 per orang. Untuk kamar tidur di

perlukan minimum 3 m2 per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni ≥ 2

orang kecuali untuksuami istri dan anak di bawah 2 tahun. Jarak antara

tempat tidur satu dengan lainnya adalah 90 cm. Apabila ada anggota

keluarga yang menderita penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur dengan

anggota keluarga lainnya (Kepmenkes, 1999).

Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh

bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah

penghuninya akan menyababkan overcrowded. Hal ini tidak sehat karena di

samping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu

anggota keluarga menderita suatu penyakit infeksi terutama TB paru akan

mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, karena seorang

penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai tiga orang di dalam

rumahnya (Notoatmodjo, 2003).

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit,

semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui

udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian

dalam rumah merupakan variabel yang berperan dalam kejadian penyakit TB

paru (Supriyono, 2002).

2. Lantai Rumah

Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai

rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari kotoran dan

debu. Selain itu dapat menghindari meningkatnya kelembaban dalam ruangan.

Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya di

naikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan

yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah

seperti tegel, semen dan keramik (Suyono, 2005). Lantai rumah jenis tanah memiliki

peran terhadap proses kejadian penyakit TB paru, melalui kelembaban dalam

ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian

viabilitas bakteri Mycobacterium tuberculosis di lingkungan juga sangat

mempengaruhi (Achmadi, 2008). Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan

Page 14: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

18

tempat hidup dan perkembang biakan bakteri terutama bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai

menjadi kering sehingga menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya

(Suyono, 2005).

3. Ventilasi

Menurut Sarudji (2010), rumah harus memiliki sistem pertukaran udara yang

baik, karena penghuni memerlukan udara yang segar. Setiap ruang/ kamar

memerlukan ventilasi yang cukup untuk menjamin kesegaran dan menyehatkan

penghuninya. Ventilasi bermanfaat sebagai pergantian udara dalam rumah serta

mengurangi kelembaban. Keringat manusia juga di kenal mempengaruhi

kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan, kelembaban semakin

tinggi khususnya karena uap air baik dari pernapasan maupun keringat.

Kelembaban dalam ruangan tertutup di mana banyak terdapat manusia di dalamnya

lebih tinggi di banding di luar ruangan (Sarudji, 2010).

Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan

antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan meteran. Menurut

indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan

adalah≥10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

kesehatan adalah <10% luas lantai rumah (Kepmenkes, 1999). Menurut Sarudji

(2010), entilasi yang baik dalam suatu ruangan memerlukan persyaratan tertentu,

diantaranya yang penting adalah luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas

lantai ruangan, sedangkan luas ventilasi insidental (yang dapat dibuka dan ditutup)

minimum 5% dari luas lantai. Menurut Notoatmodjo (2003), rumah dengan luas

ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi

penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara dalam rumah

tersebut tetap segar. Fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara

ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi

aliran udara yang terus-menerus dan bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu

mengalir.

Menurut Notoatmodjo (2011), fungsi lainya adalah untuk menjaga agar

ruangan selalu tetap didalam kelembaban (humidity) yang optimum. Salain itu luas

ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan

terhalangnyaproses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke

Page 15: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

19

dalam rumah, akibatnya bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ada di dalam

rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernapasan. Perjalanan

bakteri Mycobacterium tuberculosis yang setelah di batukkan akan terhirup oleh

orang disekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang

baik akan menjamin pertukaran udara, sehingga konsentrasi droplet dapat dikurangi.

Konsentrasi droplet bervolume udara dan lamanya waktu menghirup udara tersebut

memungkinkan seseorang akan terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.

Selain itu pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar

oksigen, bertambahnya gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik,

dan kelembaban udara bertambah. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi

media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen

termasuk bakteri Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2002).

4. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak

terlalu banyak (Achmadi, 2008). Menurut Notoatmodjo (2003), kurangnya cahaya

yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang

nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan

berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam

rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata. Menurut

Sarudji (2010), cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni :

a. Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya matahari ini sangat penting, karena

dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil

Mycobacterium tuberculosis. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai

jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya

sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam

ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar

matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan

lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk

cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar

sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya

jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya

ilmiah juga diusahakan dengan genteng kaca.

Page 16: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

20

b. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti

lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Kualitas dari cahaya buatan

tergantung dari terangnya sumber cahaya (brighness of thesource). Rumah dengan

pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB paru.

Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk,

lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-tahun lamanya, dan mati bila

terkena sinar matahari, lisol, sabun, karbon dan kapas api, bakteri ini akan mati

dalam waktu dua jam. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko

menderita TB paru 3-7 kali di bandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar

matahari (Fatimah, 2008).

5. Kelembaban

Kelembaban udara berpengaruh terhadap konsentrasi pencemar di udara.

Kelembaban berhubungan negatif (terbalik) dengan suhu udara. Semakin tinggi

suhu udara, maka kelembaban udaranya akan semakin rendah (Suryanto 2003).

Kelembaban yang standar apabila kelembaban udaranya akan semakin rendah.

Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme terutama

Mycobacterium tuberculosis. Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi

penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh

terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan

daya tahan hidup bakteri. Kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40%-70% dan

buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70% (Sarudji, 2010).

Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang

tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga

kelembaban udaranya tinggi (Achmadi, 2008). Rumah yang tidak memiliki

kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan mambawa pengaruh bagi

penghuninya. Rumah merupakan media yang baik bagi pertumbuhan

mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme

tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Seperti yang telah diuraikan

oleh (Gould, 2003, dalam Ayunah, 2008), bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti

halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan

kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan

merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.

6. Suhu

Page 17: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

21

Salah satu faktor yang menentukan kualitas udara dalam rumah adalah

suhu. Di katakan nyaman apabila suhu udara berkisar antara 18 oC -30oC, dan

suhu tersebut di pengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara dan kelembaban

udara. Bakteri Mycobacterium tuberculosis hidup dan tumbuh baik pada kisaran

suhu 31oC -37oC. Suhu dalam rumah akan mempengaruhi kesehatan dalam rumah,

dimana suhu yang panas tentu akan berpengaruh pada aktivitas (Depkes, 1999,

dalam Ayunah, 2008).

2.2.3. Rumah Sehat dan Persyaratannya

Rumah yang sehat menurut Winslow dan APHA (American Public Health

Assosiation) harus memenuhi beberapa kriteria kesehatan antara lain memenuhi

kebutuhan physiologis, psychologis, mencegah penularan penyakit dan

mencegah terjadinya kecelakaan (Chandra, 2006). Kondisi rumah yang baik

penting untuk mewujudkan masyarakat yang sehat.

Menurut Permenkes No. 829/1999 rumah dikatakan sehat apabila memenuhi

persyaratan empat hal pokok berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang

gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.

2. Memenuhi kebutuhan psikologis seperti “privacy” yang cukup dan komunikasi

yang baik antar penghuni rumah.

3. Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi

penyediaan air bersih, pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga,

bebas dari vektor penyakit, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar

matahari yang cukup, makanan dan minuman yang terlindung dari

pencemaran serta pencahayaan dan penghawaan yang cukup.

4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang berasal

dari dalam maupun dari luar rumah.

2.3. Penghasilan Keluarga

Secara ekonomi, penyebab utama berkembangnya bakteri Mycobacterium

tuberculosis di Indonesia disebabkan karena masih rendahnya pendapatan per

kapita. Sejalan dengan kenyataan bahwa pada umumnya yang terserang penyakit

TB paru adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (Tjiptoherijanto,

2008). Menurut (WHO, 2003 dalam Suarni, 2009) juga menyebutkan 90% penderita

TB paru di dunia menyerang kelompok dengan ekonomi lemah atau miskin.

Page 18: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

22

Hubungan antara kemiskinan dengan TB paru bersifat timbal balik, TB paru

merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka mereka menderita TB

paru. Kondisi ekonomi itu sendiri mungkin tidak hanya berhubungan secara

langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi

gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan

kesehatan juga menurun.

Masyarakat dengan tingkat penghasilan tinggi lebih mampu memanfaatkan

pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan, sedangkan seorang dengan

tingkat penghasilan lebih rendah kurang memanfaatkan palayanan kesehatan yang

ada, mungkin oleh karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau

untuk membeli yang lain. Rendahnya jumlah penghasilan keluarga juga memicu

peningkatan angka kurang gizi dikalangan masyarakat miskin yang akan berdampak

terhadap daya tahan tubuh dan dengan mudah timbulnya penyakit TB paru.

Keterbatasan biaya untuk berobat ke dokter atau ke Puskesmas, hal ini dapat

menyebabkan penyakit yang diderita bertambah parah. Masyarakat dengan

penghasilan yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan

kesehatan yang baik, sehingga penyakit TB paru menjadi ancaman bagi mereka

(Tjiptoherijanto, 2008).

Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB paru kehilangan 3 sampai 4

bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun

secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Achmadi, 2008).

2.4. Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu

terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih

dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat

(Notoatmodjo, 2011).

Sebagian besar penderita TB paru berasal dari kelompok usia produktif dengan

tingkat pendidikan relatif rendah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan,

pengetahuan tentang penyakit TB paru yang kurang, kesadaran untuk menjalani

pengobatan secara teratur dan lengkap juga relatif rendah. Pengaruh lain dari

tingkat pendidikan yang rendah tercermin dalam hal menjaga kesehatan dan

kebersihan lingkungan yaitu perilaku dalam membuang dahak dan meludah di

sembarang tempat (Suarni, 2009).

Page 19: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

23

Pendidikan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penularan penyakit

TB paru. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pegetahuan seseorang

di antaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan

tentang penyakit TB paru. Sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka

seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat

(Suarni, 2009).

2.5. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang

(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem

pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003).Menurut

Notoatmodjo (2011), ada 4 pokok unsur perilaku kesehatan yaitu:

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia

berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, mempersepsi penyakit dan

rasa sakit yang ada dalam dan luar dirinya), maupun aktif (tindakan) yang dilakukan

sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan

penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit

yaitu:

a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan

kesehatan (health promotion behaviour). Misalnya makan makanan

yang bergizi, olahraga dan sebagainya.

b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour), adalah

respon untuk melakukan pencegahan penyakit. Misalnya perilaku untuk

tidak menularkan penyakit kepada orang lain.

c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking

behaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan.

Misalnya berusaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari

pengobatan ke fasilitas-fasilitan kesehatan modern (Puskesmas,

mantri, dokter praktik dan sebagainya) maupun ke fasilitas kesehatan

tradisional.

d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health

rehabilitation behaviour), yaitu perilaku yang berhubungan dengan

usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu

penyakit.

Page 20: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

24

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, yaitu respons seseorang terhadap

sistem pelayanan kesehatan, baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun

tradisional.

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour), yaitu respons seseorang

terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health behaviour) adalah

respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.

Menurut Maulana (2009), perilaku terhadap lingkungan kesehatan juga merupakan

suatu upaya seseorang merespons lingkungan sebagai determinan agar tidak

mempengaruhi kesehatannya.

2.6. Perilaku dalam Upaya Pengendalian Penyakit TB Paru

Perilaku penderita merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan

timbulya masalah penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis. Seorang

penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang anggota keluarganya. Namun

demikian pengetahuan dan perilaku penderita dalam mencegah agar anggota

keluarga tidak tertular berpengaruh besar dalam kesembuhan dan pencegahan

penyakit TB paru (Sukana, 1999 dalam Putra, 2011).

Perilaku manusia sangat berpengaruh dalam menularkan penyakit menular

terutama perilaku yang tidak positif, sehingga lingkungan dapat berubah sedemikian

rupa menjadi tempat yang ideal sebagai tempat penularan penyakit. Perilaku

penderita TB paru BTA positif yang tidur bersama-sama dalam satu tempat

tidur/kamar dengan istri, suami anak dan anggota keluarga lainnya dapat

menularkan penyakit TB paru sebanyak 68%. Selama sakitnya penderita TB paru

dengan sputum BTA positif bisa menularkan berpuluh-puluh orang sampai beratus-

ratus orang tetapi bisa juga hanya 1-2 orang saja atau nihil. Untuk mempertahankan

keadaan seimbang atau prevalensi tetap sama. Seorang penderita TB paru dengan

BTA positif hanya perlu menulari 20 orang sehat, dan kemudian di antaranya satu

orang akan menjadi pengganti sebagai sumber penularan baru setelah lama menjadi

sembuh atau mati (Sukana, 1999 dalam Putra, 2011).

2.6.1. Perilaku Hidup Sehat

Menurut Entjang (2000), perilaku hidup sehat merupakan salah satu hal yang

sangat penting dalam pengendalian penyakit TB paru. Berikut ini ada beberapa

Page 21: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

25

upaya pengendalian diri terhadap penyakit TB paru yang berkaitan dengan perilaku

hidup sehat yaitu:

1. Memelihara kebersihan diri, rumah dan lingkungan

a. Badan : mandi minimal dua kali sehari, gosok gigi, cuci tangan dan

sebagainya.

b. Rumah dan lingkungan : di sapu, membuang sampah, membuang

kotoran dan air limbah pada tempatnya, membuka jendela pada siang

hari dan lain-lain.

2. Makanan yang sehat

Makan makanan yang bersih, bebas dari penyakit, cukup kualitas maupun

kuantitasnya dan bagi penderita TB paru untuk tidak makan dengan mengunakan

piring atau gelas yang sama dengan keluarga yang lain.

3. Cara hidup sehat dan teratur

a. Makan, tidur, bekerja dan beristirahat secara teratur.

b. Rekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya.

c. Penderita tidak tidur satu kamar dengan keluarga lainnya terutama

anak-anak.

4. Meningkatkan daya tahan tubuh

a. Menghindari kontak dengan sumber penularan penyakit baik yang berasal

dari penderita maupun sumber-sumber yang lainnya.

b. Menghindari pergaulan yang tidak baik.

c. Membiasakan diri untuk mematuhi aturan-aturan kesehatan.

d. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan-makanan yang

bergizi dan selalu menjaga kesehatan badan supaya sistem imun senantiasa

terjaga dan kuat.

e. Tidur dan istirahat yang cukup dan menghindari melakukan hal-hal yang

dapat melemahkan sistem imunitas (sistem kekebalan tubuh).

f. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.

g. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.

Menurut Chin (2000), selain hal-hal diatas ada beberapa langkah yang bisa

dilakukan dalam pengendalian penyakit TB paru yaitu dengan cara pencegahan

penyebaran dan penularan penyakit sebagai upaya agar penderita tidak menularkan

kepada orang lain dan meningkatkan derajat kesehatan pribadi dengan cara:

Page 22: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

26

a. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu.

b. Tidak batuk di hadapan anggota keluarga atau orang lain.

c. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan.

d. Tidak meludah disembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol,

dan dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah. Meludah di tempat

yang tarkena sinar matahari merupakan hal yang dianjurkan bagi penderita

TB paru.

e. Menjemur alat tidur secara teratur pada siang hari karena bakteri

Mycobacterium tuberculosis akan mati bila terkena sinar matahari.

f. Membuka jendela pada pagi hari dan mengusahakan sinar matahari masuk

ke ruang tidur dan ruangan lainnya agar rumah mendapat udara bersih dan

cahaya matahari yang cukup sehingga bakteri Mycobacterium tuberculosis

dapat mati.

g. Minum obat secara teratur sampai selesai dan sembuh bagi penderita TB

paru.

2.7. Imunisasi BCG

Pemberian imunisasi BCG pada penderita yang memiliki anak atau bayi

merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan penularan.

Pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap

penyakit TBC dan sebagai upaya pencegahan dini (Ayunah, 2008).

2.8 Infeksi TB-HIV

2.1.8. Pengertian

Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan

HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB

merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang

tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan

besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB. Sebagian besar orang

yang terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB

karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit

tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem

imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan

mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak

terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang

Page 23: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

27

hidupnya; sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB

akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi

HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat

(Depkes,2013).

Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien

ko-infeksi TB-HIV.

Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan

ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai

di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut

terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV

sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa

bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka

perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB

tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti

bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan

kegiatan prioritas bagi pengelola program TB (Depkes,2013)..

2.8.2 Tuberkulosis pada perjalanan infeksi HIV

Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko

berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya

sistem kekebalan tubuh.

2.8.3 Konsekuensi ko-infeksi HIV dan M.tuberculosis

Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang

terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. Notifikasi TB telah

meningkat pada populasi di mana infeksi HIV dan M.tuberculosis merupakan hal

yang biasa. Seroprevalensi HIV pada TB pasien ini di atas 70% (Depkes,2013).

2.8.4 Dampak pada pengendalian TB

Prinsip pengendalian TB tetap sama meskipun terdapat banyak pasien ko-

infeksi TB-HIV. Meskipun demikian, di populasi yang banyak terdapat pasien ko-

infeksi TB-HIV maka layanan kesehatan

berjuang untuk menanggulangi meluasnya dan meningkatnya jumlah pasien TB.

Konsekuensinya sebagai berikut:

Overdiagnosis TB paru BTA negatif (karena kesulitan dalam diagnosis).

Page 24: BAB 2 - Tinjauan Pustaka

28

Underdiagnosis TB paru BTA positif (karena beban kerja petugas

laboratorium).

Pengawasan terhadap OAT tidak adekuat.

Angka kesembuhan yang rendah.

Angka kesakitan tinggi selama perawatan.

Angka kematian tinggi selama perawatan.

Angka kegagalan tinggi karena efek samping.

Tingginya angka pasien TB yang kambuh.

Meningkatnya penularan strain M.tb yang resisten obat pada pasien yang

terinfeksi HIV pada

Lingkungan yang padat seperti lapas/rutan.

2.8.5 Pola ko-infeksi TB-HIV

Ketika infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+

menurun. Sel-sel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB.

Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah

perkembangan dan penyebaran lokal kuman ini. Tuberkulosis ekstraparu dan

diseminata (meluas) menjadi lebih lazim ditemukan(Depkes,2013).

2.8.6 Dampak TB pada HIV

Pada individu yang terinfeksi HIV, terdapatnya infeksi lain termasuk TB dapat

membuat virus HIV berkembang biak dengan lebih cepat sehingga progresivitas

penyakit menjadi lebih cepat (Depkes,2013).