Bab 2. Tinjauan Pustaka

26
3 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Stroke kriptogenik adalah stroke iskemik yang tidak jelas penyebabnya. Dengan pemeriksaan diagnosis lengkappun tidak menjamin akan ditemukan penyebabnya. Dari seluruh penderita stroke, didapatkan kurang lebih 40% stroke kriptogenik. Dengan adanya beberapa teknologi baru, penyebab stroke kriptogenik dapat dijelaskan. Penyebab stroke kriptogenik ini, antara lain karena gangguan pada protein C, protein S bebas, antikoagulan lupus, atau antiphopholipid antibody syndrome (APS). Penyebab lainnya dari stroke kriptogenik ini didapatkan dari hasil penelitian klinik yang ditujukan pada kelainan- kelainan aterosklerosis aorta dan paradoksal emboli melalui PFO (Patent Foramen Ovale). Kelainan tersebut dapat diperiksa dengan echocardiography dan transcranial doppler. 2.2 EPIDEMIOLOGI

description

stroke kriptogenik tinjauan pustaka bab 2

Transcript of Bab 2. Tinjauan Pustaka

Page 1: Bab 2. Tinjauan Pustaka

3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Stroke kriptogenik adalah stroke iskemik yang tidak jelas penyebabnya.

Dengan pemeriksaan diagnosis lengkappun tidak menjamin akan ditemukan

penyebabnya. Dari seluruh penderita stroke, didapatkan kurang lebih 40% stroke

kriptogenik.

Dengan adanya beberapa teknologi baru, penyebab stroke kriptogenik

dapat dijelaskan. Penyebab stroke kriptogenik ini, antara lain karena gangguan

pada protein C, protein S bebas, antikoagulan lupus, atau antiphopholipid

antibody syndrome (APS). Penyebab lainnya dari stroke kriptogenik ini

didapatkan dari hasil penelitian klinik yang ditujukan pada kelainan-kelainan

aterosklerosis aorta dan paradoksal emboli melalui PFO (Patent Foramen Ovale).

Kelainan tersebut dapat diperiksa dengan echocardiography dan transcranial

doppler.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Data mengenai insiden dan prevalensi subtipe stroke bervariasi

berdasarkan demografi dari populasi penelitian, definisi diagnostik, tingkat

evaluasi diagnostik, dan metodologi. Studi epidemiologi yang besar telah secara

konsisten melaporkan bahwa jumlah Stroke kriptogenik adalah sekitar 30 sampai

40 persen dari stroke iskemik.

2.3 FAKTOR RISIKO

Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya stroke subtipe

kriptogenik adalah sebagai berikut:

Page 2: Bab 2. Tinjauan Pustaka

4

2.3.1 Usia

Semua subtipe stroke jarang terjadi pada kaum muda dan tingkat insiden

meningkat secara dramatis dengan bertambahnya usia. Hal ini berbeda dengan

yang terjadi pada CS seperti yang dilaporkan oleh beberapa studi. Di Northern

Manhattan Stroke Study (NOMASS, 1993-1996), 55 persen dari stroke pada

kaum muda (usia <45) adalah subtipe kriptogenik.

2.3.2 Kelainan septum atrium

Atrial septal abnormalities, termasuk Patent Foramen Ovale (PFO), atrial

septal aneurysm, dan atrial septal defect (ASD) telah dikaitkan dengan stroke

kriptogenik, meskipun kekuatan hubungan ini tidak pasti.

2.3.3 Cardiac Disease

Prevalensi penyakit jantung di antara pasien dengan CS bervariasi dari 10

sampai 30 persen. Berdasarkan hasil penelitian di Rochester ditemukan bahwa

pasien CS dengan riwayat penyakit arteri koroner lebih jarang ditemukan

dibandingkan dengan pasien CS dengan riwayat kombinasi penyakit arteri

koroner dan penyakit yang menyerang aterosklerosis arteri besar.

2.3.4 Diabetes

Di Oxford, dari empat studi yang berbasis populasi, didapatkan bahwa

kemungkinan diabetes yang terjadi pada pasien CS tidak berbeda dengan yang

terjadi pada stroke subtipe yang lain.

2.3.5 Hipertensi

Proporsi pasien CS dengan hipertensi berkisar antara 55 sampai 75 persen.

Beberapa studi telah mendokumentasikan bahwa hipertensi kurang umum di CS

dibandingkan dengan subtipe stroke yang lain. Observasi ini juga didukung oleh

Oxford meta-analisis, yang menemukan bahwa kemungkinan hipertensi pada

pasien yang memiliki CS mengalami penurunan dibandingkan dengan pasien

yang memiliki stroke dengan subtipe yang lain.

Page 3: Bab 2. Tinjauan Pustaka

5

2.3.6 Inflammatory and Infectious Causes

Studi prospektif telah mendukung peran potensial untuk peradangan dan

infeksi pada stroke, dan ada kemungkinan bahwa proses peradangan dan infeksi

dapat menjelaskan faktor-faktor risiko pada stroke yang tidak jelas penyebabnya.

Kadar C-reactive protein (CRP) dapat dijadikan indikator diagnosis awal pada

stroke iskemik. Studi di Framingham yang dilakukan selama kurang lebih 10

tahun menyebutkan bahwa laki-laki dengan kadar CRP yang tinggi memiliki

resiko dua kali lipat untuk terkena stroke dibandingkan laki-laki dengan titer CRP

yang rendah, sedangkan pada wanita faktor resiko meningkat tiga kali lipat.

2.3.7 Lipid

Prevalensi hiperlipidemia pada pasien CS berkisar 11-33 persen, dan

prevalensi ini tidak jauh berbeda dengan stroke subtipe yang lain. Dalam dua studi

berbasis rumah sakit, didapatkan bahwa pasien CS dengan hiperkolesterolemia

lebih banyak daripada pasien CES (Cardio Embolik Stroke) dengan riwayat

hiperkolesterolemia.

2.3.8 Riwayat TIA

Proporsi pasien CS dengan kejadian TIA sebelumnya adalah 10 sampai 20 persen.

2.4 PATOFISIOLOGI

Dengan adanya beberapa teknologi terbaru, penyebab stroke kriptogenik

dapat dijelaskan. Penyebab stroke kriptogenik ini antara lain disebabkan oleh

Patent Foramen Ovale (PFO), Systemic Lupus Eritematous (SLE), Cerebral

Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and

Leukoencephalopathy (CADASIL), Miopathy Mitochondria, Encephalopathy,

Lactic Acidosis, and Stroke-like Episodes (MELAS), dan Atrial Fibrilation (AF).

2.4.1 Patent Foramen Ovale (PFO)

Meningkatnya pengetahuan teknik imajing di bidang kardiologi sehingga

diketahui peran PFO sebagai sumber emboli paru. PFO dan hiperkoagulasi yang

Page 4: Bab 2. Tinjauan Pustaka

6

disebabkan oleh Antifosfolipid Sindrom saat ini diketahui sebagai salah satu

penyebab Stroke Kriptogenik yang terbanyak. Penemuan tentang peran PFO ini

dapat memperkirakan kemungkinan seseorang dapat menderita stroke, walaupun

tidak semua PFO secara langsung akan menyebabkan stroke.

PFO adalah adanya saluran (hubungan) antara atrium kanan dan kiri, yang

secara normal tertutup secara lahir. Kurang lebih 30% populasi PFO menetap

selama hidup. Stroke kriptogenik dengan PFO sering ditemukan pada usia muda,

dan bila terdapat faktor resiko stroke tradisional, misalnya usia, hipertensi,

diabetes, hiperkolesterolemia, dan merokok disertai PFO, maka resiko kejadian

stroke pada pasien tersebut akan meningkat. Perbedaan faktor resiko

menunjukkan perbedaan mekanisme terjadinya stroke terhadap pasien dengan

atau tanpa PFO.

Mekanisme terjadinya stroke pada PFO cukup jelas. Adanya hubungan

antara atrium kanan dan atrium kiri karena PFO menyebabkan thrombus yang

berasal dari sirkulasi vena bisa masuk ke sirkulasi atrial yang disebut dengan

paradoxical embolism. Mekanisme ini telah diketahui baik secara otopsi maupun

dengan pemeriksaan echocardiography. Kriteria paradoxical embolism meliputi:

a. emboli atrial dengan tidak ada bukti sumber emboli pada sirkulasi atrium kiri

b. kecenderungan right to left shunting

c. didapatkan thrombus vena/emboli pulmonal.

Sumber emboli masih tetap tidak terdeteksi karena lokasi atau ukuran

thrombus. Thrombus yang kecil ukuran 1 atau 2 mm tidak dapat dideteksi dengan

teknik imejing, tapi thrombus ini cukup menyebabkan stroke dan rata-rata ukuran

PFO mudah dilalui thrombus ke sirkulasi atrial.

2.4.2 Systemic Lupus Eritematous (SLE)

Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun

yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Penyebab utama

terjadinya SLE adalah karena produksi antibodi dan pembentukan kompleks imun

yang abnormal sehingga dapat terbentuk antibody terhadap multiple nuklear,

sitoplasmik, dan komponen permukaan sel dari berbagai tipe sel di berbagai

Page 5: Bab 2. Tinjauan Pustaka

7

sistem organ, dengan bantuan suatu penanda IgG dan faktor koagulan. Hal inilah

yang dapat menjelaskan mengapa SLE dapat menyerang berbagai sistem organ.

Pembentukan Antibody yang berlebihan dapat dihasilkan oleh sel Limfosit

B yang hiperaktif. Hal-hal yang dapat menyebabkan hiperaktifnya sel Limfosit B

diantaranya adalah hilangnya toleransi sel imun terhadap tubuh, bahan atau

cemaran dari lingkungan yang bersifat antigenik, adanya antigen terhadap sel B

dari sel B lainnya atau dari antigen pesaing sel (APCs), perubahan sel Th1

menjadi Th2 yang kemudian memicu produksi antibodi sel B, dan supresi Sel B

yang tidak sempurna.

Auto antibodi yang terbentuk umumnya menyerang bagian-bagian

penyusun nukleus dalam sel yang sering disebut Antinuklear Antibodi (ANA).

Pada pasien SLE dapat ditemukan lebih dari satu macam ANA, yang dapat

menyerang berbagai sistem organ. Antibodi yang terbentuk juga dapat menyerang

bagian Fosfolipid dari aktivator kompleks protombin (Antikoagulan Lupus) dan

Kardiolipin (Antikardiolipin). Antikoagulan Lupus dan Antikardiolipin

merupakan dua antibodi yang termasuk golongan antibodi antifosfolipid.

Beberapa antibodi tersebut dapat muncul bertahun-betahun sebelum diagnosis

dapat ditegakkan, namun ada juga beberapa antibodi yang muncul dalam hitungan

bulan sebelumnya.

Serangkaian reaksi akibat keruskan regulasi sistem imun yang kemudian

memacu Sel B untuk memproduksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun

yang diikuti oleh aktivasi komplemen, akan menyebabkan inflamasi dan

kerusakan pada berbagai jaringan serta organ.

Patogenis dari SLE terhadap CVD dibagi menjadi dua yaitu primer dan

sekunder. Penyebab Primer antara lain adalah vaskulitis, spesifik antineuronal

antibodi, dan Lupus Antikoagulan. Sedangkan sebagai penyebab sekunder

diantaranya renal disorder, hipertensi, dan penggunaan steroid.

Anti phospolipid antibodi seperti Antikoagulan Lupus dan Antikardiolipin

antibodi memegang peranan penting dalam terjadinya CVD pada pasien SLE. Di

dalam penelitian, Antikoagulan lupus terdeteksi di 38% dari pasien SLE dengan

Page 6: Bab 2. Tinjauan Pustaka

8

stroke infark. Hal ini menjelaskan bahwa 5-10% dari pasien SLE dengan

antikoagulan lupus berkembang menjadi CVD.

Anti phospolipid antibodi adalah antibodi yang didapat secara langsung

terhadap phospolipid atau protein kompleks pospolipid dan dihubungkan dengan

meningkatnya resiko trombhus vena dan arteri. Anti phospolipid Antibodi ini

kemungkinan melakukan reaksi silang dengan fosfolipid di endotelial sel

membran dan mencegah pengeluaran dari asam arachidonat sehingga menurunkan

produksi prostasiklin dan menyebabkan terjadinya aggregasi platelet.

Beberapa mekanisme potensial lain yang dapat menyebabkan aktivasi

platelet diantaranya prekallikrein inhibition, alteration of anti Trombin III,

decrease fibrinolisis, decrease release of Plasminogen activator, dan inhibition of

Protein C dan S activation.

Gambar 1. Mekanisme trombosis

Page 7: Bab 2. Tinjauan Pustaka

9

Studi terbaru menyebutkan bahwasanya antikardiolipin antibodi juga

memiliki mekanisme yang dapat menyebabkan kerusakan sel endotelial. Antibodi

ini berhubungan dengan masalah trombotik sistemik termasuk didalamnya adalah

oklusi arteri besar, trombosis vena dalam, dan hipertensi pulmonal. Kerusakan

endotel yang terjadi mengakibatkan penuruan PGI2 sehingga menyebabkan

vasospasme, hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis. Lupus

antikoagulan dan antikardiolipin antibodi dapat menyebabkan mekanisme yang

sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

2.4.3 Cerebral Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and

Leukoencephalopathy (CADASIL)

Cerebral Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and

Leukoencephalopathy adalah merupakan bentuk turunan dari penyakit

serebrovaskular yang terjadi ketika penebalan dinding pembuluh darah

menghambat aliran darah ke otak. Penyakit ini terutama mempengaruhi pembuluh

darah kecil di substansia alba otak. Sebuah mutasi pada gen Notch3 mengubah

dinding otot dalam arteri kecil. Mutasi. Gen Notch3 memberikan instruksi untuk

memproduksi protein reseptor Notch3, yang penting untuk fungsi normal dan

kelangsungan hidup sel otot polos pembuluh darah. Ketika molekul tertentu

terikat pada reseptor Notch3, reseptor mengirimkan sinyal ke inti sel. Sinyal-

sinyal ini kemudian mengaktifkan gen tertentu dalam sel otot polos pembuluh

darah sehingga merusak fungsi dan kelangsungan hidup sel otot polos pembuluh

darah. Gangguan fungsi Notch3 ini dapat menyebabkan penghancuran diri

(apoptosis) sel-sel. Di otak, hilangnya sel-sel otot polos pembuluh darah

mengakibatkan kerusakan pembuluh darah yang dapat menyebabkan

berkurangnya aliran darah ke otak. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya stroke

infark pada CADASIL.

CADASIL ditandai dengan sakit kepala (migrain) dan stroke yang

berlanjut menjadi demensia. Gejala lain termasuk penurunan kognitif, kejang,

masalah penglihatan, dan masalah kejiwaan seperti depresi berat dan perubahan

perilaku dan kepribadian. Individu juga mungkin berada pada risiko tinggi

Page 8: Bab 2. Tinjauan Pustaka

10

serangan jantung. Gejala dan onset penyakit bervariasi, dengan tanda-tanda

biasanya muncul di pertengahan umur 30-an. Beberapa orang mungkin tidak

menunjukkan tanda-tanda penyakit sampai di kemudian hari. CADASIL -

sebelumnya dikenal dengan beberapa nama, termasuk turunan demensia multi-

infark - merupakan salah satu penyebab kerusakan kognitif vaskular (demensia

yang disebabkan oleh kekurangan darah ke beberapa daerah otak). Ini adalah

gangguan autosomal dominan, yang berarti bahwa satu orangtua membawa dan

meneruskan gen yang rusak. Kebanyakan individu dengan CADASIL memiliki

sejarah keluarga dari kekacauan. Namun, karena tes genetik untuk CADASIL

tidak tersedia sebelum tahun 2000, banyak kasus yang didiagnosis sebagai

multiple sclerosis, penyakit Alzheimer, atau penyakit neurodegenerative lain.

2.4.4 Miopathy Mitochondria, Encephalopathy, Lactic Acidosis, and Stroke-like

Episodes (MELAS)

Miopati mitokondria, ensefalopati, asidosis laktat, dan episode stroke-like

adalah gangguan progresif yang disebabkan oleh disfungsi mitokondria. Hampir

80% pasien dengan Melas memiliki DNA mitokondria (mtDNA) A-to-G transisi

pada nukleotida 3243 dari transfer RNA leusin. Miopati mitokondria,

ensefalopati, asidosis laktat, dan episode strokelike tidak memiliki predileksi etnis

dan merupakan salah satu gangguan yang paling umum diwariskan dari

mitokondria ibu.

Miopati Mitochondrial, ensefalopati, asidosis laktat, dan episode strokelike

ditandai dengan perkembangan awal yang normal diikuti oleh episode strokelike

(biasanya sebelum usia 40 tahun), mitokondria encephalomyopathy, dan asidosis

laktat. Manifestasi klinis yang sering ditemui dari Melas dirangkum dalam Tabel

berikut.

Page 9: Bab 2. Tinjauan Pustaka

11

Etiologi episode strokelike di Melas belum sepenuhnya dijelaskan. Pada

MRI biasanya ditemukan gambaran defisit neurologis berupa lesi hyperintense

kortikal multifokal laminar. Lesi ini mungkin tidak mengikuti distribusi wilayah

arteri yang memvaskularisasi, memiliki kecendrungan untuk daerah posterior

otak, dan secara progresif dapat menyebar ke area otak lainnya.

Diduga pengalihan RNA leusin mtDNA mutasi menjadi dasar terjadinya

strokelike pada Melas. Pengalihan RNA leusin mtDNA menurunkan sintesis

protein dan menyebabkan kegagalan fosforilasi oksidatif, yang pada akhirnya

menyebabkan deplesi adenosin trifosfat dan kegagalan pembentukan energi. Hal

ini akan menyebabakan terjadinya iskemia otak.

Page 10: Bab 2. Tinjauan Pustaka

12

2.4.5 Atrial Fibrilation (AF)

Atrial Fibrilation (AF) merupakan faktor risiko utama stroke. Atrial

Fibrilation membuat orang lima kali lebih besar mengalami stroke. Sekitar 15

persen dari semua orang yang memiliki stroke memiliki Atrial Fibrilation.

Atrial Fibrilation adalah simtoma ritme denyut abnormal yang terjadi

di jantung, yang ditandai dengan aktivitas atrium yang cepat dan tidak efektif

serta kontraksi ventrikular yang tidak teratur. Denyut jantung yang cepat dan tidak

teratur akan meningkatkan risiko terbentuknya trombus di dalam jantung. Hal ini

yang dapat menjadikan penyebab terjadinya Stroke pada kasus Atrial Fibrilation.

Trombus tersebut dapat lepas dan menuju otak sehingga menyebabkan terjadi

Stroke Iskemia jenis emboli.

2.5 DIAGNOSIS

Stroke Kriptogenik (CS) adalah diagnosis eksklusi berdasarkan

penyelidikan menyeluruh untuk etiologi potensial lainnya. Tes yang sering

dilakukan untuk mengevaluasi stroke iskemik antara lain:

a. Brain imaging dengan CT-Scan atau MRI, dan neurovaskular imaging dengan

Carotid Duplex dan Transkranial Doppler, Magnetic Resonance Angiography

(MRA), CT angiography, atau angiografi konvensional.

b. Evaluasi jantung dan aorta termasuk TTE dan TEE dengan kontras saline (atau

bubble) studi, elektrocardiogram, dan Holter monitoring. Transthoacic

Echocardiography (TTE) diindikasikan pada hampir semua pasien yang

menderita infark otak. Hal ini banyak tersedia dan akurat dalam menilai ruang

jantung, struktur katup, dan fungsi jantung. Meskipun tidak sensitif seperti

transoesophageal echocardiography (TEE), akan tetapi TTE dapat

mengidentifikasi sumber-sumber potensial embolisasi dalam jantung tanpa

perlu teknik khusus lain. Patologi yang dapat dengan mudah diidentifikasi

dengan menggunakan TTE termasuk trombus ventrikel kiri, miksoma atrium

kiri, dan large left sided vegetations.

c. Tes darah seperti complete blood count, elektrolit, sedimentation rate, glukosa,

hemoglobin glikosilasi, Veneral Disease Research Laboratory (VDRL) test,

Page 11: Bab 2. Tinjauan Pustaka

13

rapid plasma reagen (RPR) untuk sifilis, fasting lipid, homosistein, dan pungsi

lumbal.

2.6 PENATALAKSANAAN

Penatalaksaan stroke kriptogenik ini didasarkan atas patofisiologi penyakit

yang mendasarinya.

2.6.1 Patent Foramen Ovale (PFO)

Tata laksana CS dengan etiologi PFO antara lain Terapi Prevensi, Terapi

Transcateter Perkutaneus Tertutup, dan Terapi Operasi.

a. Terapi Prevensi

Strategi terapi optimal untuk prevensi pasien dengan PFO belum

ditetapkan. Terapi meliputi obat anti platelet, antikoagulan oral,

transcateter tertutup di foramen dan operasi jantung terbuka. Pada kasus

paradoxical emboli menetap yang diperlihatkan dengan echo,

embolektomi jantung dengan perbaikan kelainan intrakardiak telah

ditetapkan sebagai terapi. Terapi trombotik dan antikoagulan dengan

intravena heparin telah dilaporkan efektif pada pasien dengan paradoxical

emboli.

b. Transcateter Perkutaneus Tertutup

Beberapa penelitian melaporkan bahwa transcateter PFO tertutup adalah

aman dan efektif dengan efikasi berkisar 86% sampai 100%. Kejadian

berulang emboli perifer dilaporkan 0% sampai 3,8% pertahun. Kejadian

berulangnya ini, mungkin karena alat yang dipakai kurang tertutup

sempurna dan terbentuknya formasi thrombus. Ada 9 perbedaan

tekhnologi yang digunakan pada transcateter perkutaneus tertutup, seperti

dibawah ini:

Page 12: Bab 2. Tinjauan Pustaka

14

Nama Alat Bentuk Nama Pabrik

Rashkind PDA Umbrella Double Umbrella Bard, Billerica, MAButtoned Device Square occlude Costum Medical

Device Amarillo TXASDOS Two self opening

UmbrellaOsypka corp. Grenzach Whylen

Angels Wing Two Interconnected Squeres

Microvena Inc Vadnals, MN

Cardio Seal Non centering Double Umbrella

NMT Medical Boston, MA

Star Flex Self centering Double umbrella

NMT Medical Boston, MA

Amplatzer Self centering Double disc

AGA Medical Golden Valley, MN

Helex Nitinol wire WL GorePFO Star Two Ivalon Applied Biometrics,

inc

Krumidaf dkk melaporkan 1000 pasien yang diambil secara konsekutif

sampling dengan PFO menggunakan alat transcateter tertutup. Trombus

didiagnosis pada 14% pasien dari 20 pasien selama 4 minggu dan 6 dari 20

pasien selama 4 minggu. Kebanyakan terbentuknya thrombus terjadi pada

alat Cerdio SEAL (NMT medical, Bastom dan Mssacum setts) sebanyak

7,1%. Star Flex (NMT medical) mengalami thrombus sebanyak 5,7%,

PFO star (Applied Biometric Fac, Burniville, Minaesota) sebanyak 6,6%

dan ASDOS (Osypla, Grenzach-Whylen, Germany) sebanyak 3,6% dan

Helix thrombus (AGA Medical, Golden Valley, Minesota) tidak terjadi

thrombus.

c. Terapi Operasi PFO Tertutup

Metode operasi tertutup PFO perkutaneus masih jarang. Beberapa peneliti

melaporkan operasi tertutup PFO, 28 Pasien dilakukan TEE untuk

menentukan adanya PFO. Semua pasien mengalami operasi tertutup

thorakotomi terbuka karena gagal dengan terapi warfarin. Selama follow

up kurang lebih 14 bulan, sebnayak 14% pasien mengalami kejadian

stroke sebanyak 1 orang dan TIA (Transcient Ischemic Attack) 3 orang.

Page 13: Bab 2. Tinjauan Pustaka

15

Tidak ada pasien yang mengalami stroke ulang atau TIA pada umur

kurang dari 45 tahun.

2.6.2 Systemic Lupus Eritematous (SLE)

Anti phospolipid antibodi seperti Antikoagulan Lupus dan Antikardiolipin

antibodi memegang peranan penting dalam terjadinya CVD pada pasien SLE.

Peran antiphospolipid antibody telah dihubungkan dengan kejadian oklusi

thrombus vaskuler serebral. Peran APS sebagai prediksi kejadian iskemik

khususnya stroke iskemik telah jelas berdasarkan patofisiologi APS dalam

terjadinya thrombus terutama di serebral.

APASS Study (Antiphospolipid Antibody and Stroke Study) dan penelitian

secara prospektif studi terhadap walfarin dibanding aspirin (WARSS = Walfarin

Vs Aspirin Recurrent Stroke Study) dengan jumlah sample 2206 pasien dari Juni

1999 sampai 2000 membandingkan dosis walfarin (INR=1,4-2,8) dan aspirin

(325mg) untuk hasil akhir stroke ulang atau kematian. Rata-rata 2 tahun dinilai

hasil akhir berupa kematian, stroke iskemik, TIA, Infark miokardial, DVT (Deep

Vein in Thrombosis), emboli paru dan kejadian oklusi thrombus sistemik. Dari

1770 pasien untuk APPAS Study terdapat 720 pasien (41%) positif APS dan 1050

(59%) APS negatif. Tidak ada peningkatan resiko kejadian oklusi thrombosis

dihubungkan dengan baseline APS yang mendapat terapi walfarin (risiko relative

(RR), 0,94, 95% CI, 0,70-1,28; P=0,71). Semua kejadian rata-rata adalah 22,2%

diantara APS yang postif dan 21,8% diantara APS yang negatif. Pasien dengan

baseline positif baik lupus antikoagulan (LA) atau APS antibody kecendrungan

rata-rata kejadian lebih tinggi (31,7%) dibanding pasien yang dengan tes

laboratorium negatif (24%).

Penelitian lain baik secara retrospektif dan prospektif telah

memperlihatkan keuntungan walfarin untuk sekunder prevensi terhadap thrombus

disertai APS. Berdasarkan penelitian secara retrospektif 20–70% pasien dengan

APS berkembang menjadi thrombosis berulang ketika pasien berhenti minum obat

antikoagulan. Schulman et al memperlihatkan resiko tingginya thrombosis

Page 14: Bab 2. Tinjauan Pustaka

16

berulang dibandingkan APS yang negatif jika pasien berhenti minum obat

antikoagulan setelah 6 bulan.

Penelitian secara retrospektif memperlihatkan manfaat antikoagulan dosis

tinggi (denagn INR > 3,0) dapat mencegah thrombus berulang dibandingkan

antikoagulan dosis rendah (INR 2,0 – 3,0). Namun beberapa penelitian prospektif

pasien dengan APS dan adanya thrombus vena dnegan pemberian antikoagulan

dosis rendah dapat mencegah serangan ulang dlaam terapi jangka panjang.

2.6.3 Cerebral Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and

Leukoencephalopathy (CADASIL)

Tidak ada pengobatan untuk menghentikan kelainan genetik sebagai

penyebab terjadinya CADASIL. Pemberian Aspirin setiap hari dianggap mampu

mengurangi risiko stroke dan serangan jantung pada pasien CADASIL. Kebiasaan

merokok harus dihentikan karena dapat meningkatkan risiko stroke pada

CADASIL. Faktor risiko stroke lainnya seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan

diabetes juga harus diobati secara agresif.

2.6.4 Mitochondrial Myopathy, Encephalopathy, Lactic asidosis, and Stroke-

like episodes (MELAS)

Berbagai pendekatan telah diusulkan untuk mengobati pasien dengan

Melas. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan produksi adenosin trifosfat

dan transfer elektron.

a. Coenzyme Q10 dan analog sintetik, Idebenone, memiliki sifat antioksidan

dan telah digunakan untuk meningkatkan transfer elektron dalam rantai

pernapasan mitokondria pada pasien dengan penyakit mitokondria. Percobaan

kecil dan laporan kasus menunjukkan bahwa koenzim Q10 digunakan sendiri

atau dalam kombinasi dengan creatine dan asam lipoic menurunkan tingkat

laktat acid. Perbaikan klinis jangka panjang terkait dengan penggunaan

koenzim Q10, bagaimanapun, masih harus dibuktikan. Karena koenzim Q10

tidak melintasi sawar darah-otak. Idebenone memiliki keuntungan teoritis

Page 15: Bab 2. Tinjauan Pustaka

17

melintasi penghalang darah-otak, dan laporan kasus menunjukkan bahwa obat

ini meningkatkan metabolisme mitokondria dalam otak dan mengurangi

frekuensi episode strokelike pada pasien dengan MELAS.33 Obat ini tidak

tersedia, namun, di Amerika Serikat.

b. Dichloroacetate (DCA), bekerja dengan cara menghambat piruvat

dehidrogenase kompleks-kinase. Dichloroacetate (DCA) mengaktifkan

kompleks dehidrogenase piruvat dan meningkatkan konsumsi piruvat. Dalam

Melas, dichloroacetate telah terbukti menurunkan tingkat asam laktat.

Namun, percobaan plasebo-terkontrol secara acak menggunakan

dichloroacetate pada pasien dengan Melas tidak menunjukkan manfaat

pengobatan dan dihentikan karena efek toksik terhadap saraf perifer.

c. L-arginine (L-arg). L-arg adalah substrat nitric oxide synthase dan prekursor

endogen vasodilator nitrat oksida. Tingkat L-arg menurun pada fase akut

episode strokelike, dan telah dihipotesiskan bahwa peristiwa ini disebabkan

oleh vasodilatasi yang terganggu karena kekurangan oksida nitrat.

Berdasarkan pengamatan ini, L-arg digunakan pada pasien dengan Melas

dalam upaya untuk melestarikan tonus vaskular. Dalam sebuah penelitian

open-label, infus L-arg (0,5 g / kg per dosis) segera setelah timbulnya episode

strokelike dapat meningkatkan hemodinamik serebral fungsional, yang diukur

dengan 99mTc-ECD single-photon computed tomography emisi. Dalam studi

lain, 24 pasien dengan Melas dirawat dengan infus intravena L-arg (0,5 g / kg

per dosis) dalam waktu 30 menit dari onset episode strokelike, pasien

menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam semua gejala strokelike

serta normalisasi konsentrasi laktat dan piruvat dalam waktu 24 jam pasca

infus. Enam dari pasien tersebut kemudian dilengkapi dengan oral L-arg

selama fase interiktal (0,15-0,3 g / kg per dosis). Dalam kelompok ini, terjadi

penurunan yang signifikan tingkat keparahan kejadian setelah inisiasi peroral

L-arg. Meskipun studi tambahan diperlukan, hasil ini menunjukkan peran

yang mungkin untuk L-arg dalam pengobatan episode strokelike di Melas.

d. Suplementasi Karnitin Oral. Pasien dengan Melas mungkin mengalami

defisiensi asam lemak-β-oksidasi rantai panjang sekunder akibat dari

Page 16: Bab 2. Tinjauan Pustaka

18

kegagalan mitokondria. Lebih lanjut, dengan terlibatnya ginjal, pasien dengan

Melas ini akan kehilangan karnitin. Oleh karena itu, suplementasi karnitin

oral telah digunakan pada pasien ini untuk meningkatkan β-oksidasi. Scaglia

dan Northrop memberikan review tentang karnitin, vitamin, dan antioksidan

yang diusulkan dalam pengelolaan kondisi ini. Efek jangka panjang dari

senyawa ini di Melas belum diteliti.

2.6.5 Atrial Fibrilation (AF)

Tujuan pengobatan AF adalah untuk mengembalikan irama normal

jantung dan mencegah kemungkinan terjadinya stroke iskemik. Hal ini dapat

dilakukan dengan obat-obatan atau penggunaan stimulasi listrik. Jika upaya ini

tidak berhasil, pengobatan AF konsentrasi pada pencegahan dari penggumpalan

darah yang dapat melakukan perjalanan dari jantung ke otak sehingga

menyebabkan stroke. Untuk mengurangi risiko stroke, dokter dapat meresepkan

obat pengencer darah (antikoagulan). Antikoagulan adalah obat yang dapat

membantu mencegah pembekuan darah. Obat ini dapat mengurangi risiko stroke

pertama pada pasien AF hingga 68%. Namun dalam pemberian obat ini harus

dilakukan tes darah dan monitoring untuk mengevaluasi peningkatan resiko

pendarahan.

2.7 PROGNOSIS

Dibandingkan dengan subtipe stroke yang lain, kriptogenik stroke (CS)

cenderung memiliki prognosis yang lebih baik pada tiga bulan, enam bulan, dan

satu tahun. Tingkat mortalitas lebih rendah dibanding untuk kardioembolik (CE)

stroke, tetapi lebih tinggi daripada untuk penyakit arteri kecil (SAD). Secara

keseluruhan, risiko jangka pendek dari stroke berulang setelah CS berada di

pertengahan antara resiko tinggi setelah large artery atherosclerosis (LAA) stroke

dan risiko rendah setelah stroke SAD. Di Oxford meta-analisis dari empat studi

berbasis populasi yang besar, risiko stroke berulang setelah CS adalah 1,6 persen

pada tujuh hari, 4,2 persen pada satu bulan, dan 5,6 persen pada tiga bulan. Dalam

data Bank Stroke NINDS, 3 persen pasien CS memiliki peristiwa berulang pada

Page 17: Bab 2. Tinjauan Pustaka

19

satu bulan. Dalam studi NOMASS pada tiga bulan, risiko kekambuhan untuk

kelompok kriptogenik adalah 3,7 persen, sedikit lebih rendah daripada yang

ditemukan di Oxford meta-analisis. Pada dua tahun, risiko kekambuhan berkisar

antara 14 hingga 20 persen. Pada lima tahun, risiko kekambuhan jangka panjang

adalah 33,2 persen berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rochester, tidak jauh

berbeda dari stroke subtipe lain.