Bab 2. Tinjauan Pustaka
-
Upload
selmabalafif -
Category
Documents
-
view
45 -
download
0
description
Transcript of Bab 2. Tinjauan Pustaka
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Stroke kriptogenik adalah stroke iskemik yang tidak jelas penyebabnya.
Dengan pemeriksaan diagnosis lengkappun tidak menjamin akan ditemukan
penyebabnya. Dari seluruh penderita stroke, didapatkan kurang lebih 40% stroke
kriptogenik.
Dengan adanya beberapa teknologi baru, penyebab stroke kriptogenik
dapat dijelaskan. Penyebab stroke kriptogenik ini, antara lain karena gangguan
pada protein C, protein S bebas, antikoagulan lupus, atau antiphopholipid
antibody syndrome (APS). Penyebab lainnya dari stroke kriptogenik ini
didapatkan dari hasil penelitian klinik yang ditujukan pada kelainan-kelainan
aterosklerosis aorta dan paradoksal emboli melalui PFO (Patent Foramen Ovale).
Kelainan tersebut dapat diperiksa dengan echocardiography dan transcranial
doppler.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Data mengenai insiden dan prevalensi subtipe stroke bervariasi
berdasarkan demografi dari populasi penelitian, definisi diagnostik, tingkat
evaluasi diagnostik, dan metodologi. Studi epidemiologi yang besar telah secara
konsisten melaporkan bahwa jumlah Stroke kriptogenik adalah sekitar 30 sampai
40 persen dari stroke iskemik.
2.3 FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya stroke subtipe
kriptogenik adalah sebagai berikut:
4
2.3.1 Usia
Semua subtipe stroke jarang terjadi pada kaum muda dan tingkat insiden
meningkat secara dramatis dengan bertambahnya usia. Hal ini berbeda dengan
yang terjadi pada CS seperti yang dilaporkan oleh beberapa studi. Di Northern
Manhattan Stroke Study (NOMASS, 1993-1996), 55 persen dari stroke pada
kaum muda (usia <45) adalah subtipe kriptogenik.
2.3.2 Kelainan septum atrium
Atrial septal abnormalities, termasuk Patent Foramen Ovale (PFO), atrial
septal aneurysm, dan atrial septal defect (ASD) telah dikaitkan dengan stroke
kriptogenik, meskipun kekuatan hubungan ini tidak pasti.
2.3.3 Cardiac Disease
Prevalensi penyakit jantung di antara pasien dengan CS bervariasi dari 10
sampai 30 persen. Berdasarkan hasil penelitian di Rochester ditemukan bahwa
pasien CS dengan riwayat penyakit arteri koroner lebih jarang ditemukan
dibandingkan dengan pasien CS dengan riwayat kombinasi penyakit arteri
koroner dan penyakit yang menyerang aterosklerosis arteri besar.
2.3.4 Diabetes
Di Oxford, dari empat studi yang berbasis populasi, didapatkan bahwa
kemungkinan diabetes yang terjadi pada pasien CS tidak berbeda dengan yang
terjadi pada stroke subtipe yang lain.
2.3.5 Hipertensi
Proporsi pasien CS dengan hipertensi berkisar antara 55 sampai 75 persen.
Beberapa studi telah mendokumentasikan bahwa hipertensi kurang umum di CS
dibandingkan dengan subtipe stroke yang lain. Observasi ini juga didukung oleh
Oxford meta-analisis, yang menemukan bahwa kemungkinan hipertensi pada
pasien yang memiliki CS mengalami penurunan dibandingkan dengan pasien
yang memiliki stroke dengan subtipe yang lain.
5
2.3.6 Inflammatory and Infectious Causes
Studi prospektif telah mendukung peran potensial untuk peradangan dan
infeksi pada stroke, dan ada kemungkinan bahwa proses peradangan dan infeksi
dapat menjelaskan faktor-faktor risiko pada stroke yang tidak jelas penyebabnya.
Kadar C-reactive protein (CRP) dapat dijadikan indikator diagnosis awal pada
stroke iskemik. Studi di Framingham yang dilakukan selama kurang lebih 10
tahun menyebutkan bahwa laki-laki dengan kadar CRP yang tinggi memiliki
resiko dua kali lipat untuk terkena stroke dibandingkan laki-laki dengan titer CRP
yang rendah, sedangkan pada wanita faktor resiko meningkat tiga kali lipat.
2.3.7 Lipid
Prevalensi hiperlipidemia pada pasien CS berkisar 11-33 persen, dan
prevalensi ini tidak jauh berbeda dengan stroke subtipe yang lain. Dalam dua studi
berbasis rumah sakit, didapatkan bahwa pasien CS dengan hiperkolesterolemia
lebih banyak daripada pasien CES (Cardio Embolik Stroke) dengan riwayat
hiperkolesterolemia.
2.3.8 Riwayat TIA
Proporsi pasien CS dengan kejadian TIA sebelumnya adalah 10 sampai 20 persen.
2.4 PATOFISIOLOGI
Dengan adanya beberapa teknologi terbaru, penyebab stroke kriptogenik
dapat dijelaskan. Penyebab stroke kriptogenik ini antara lain disebabkan oleh
Patent Foramen Ovale (PFO), Systemic Lupus Eritematous (SLE), Cerebral
Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and
Leukoencephalopathy (CADASIL), Miopathy Mitochondria, Encephalopathy,
Lactic Acidosis, and Stroke-like Episodes (MELAS), dan Atrial Fibrilation (AF).
2.4.1 Patent Foramen Ovale (PFO)
Meningkatnya pengetahuan teknik imajing di bidang kardiologi sehingga
diketahui peran PFO sebagai sumber emboli paru. PFO dan hiperkoagulasi yang
6
disebabkan oleh Antifosfolipid Sindrom saat ini diketahui sebagai salah satu
penyebab Stroke Kriptogenik yang terbanyak. Penemuan tentang peran PFO ini
dapat memperkirakan kemungkinan seseorang dapat menderita stroke, walaupun
tidak semua PFO secara langsung akan menyebabkan stroke.
PFO adalah adanya saluran (hubungan) antara atrium kanan dan kiri, yang
secara normal tertutup secara lahir. Kurang lebih 30% populasi PFO menetap
selama hidup. Stroke kriptogenik dengan PFO sering ditemukan pada usia muda,
dan bila terdapat faktor resiko stroke tradisional, misalnya usia, hipertensi,
diabetes, hiperkolesterolemia, dan merokok disertai PFO, maka resiko kejadian
stroke pada pasien tersebut akan meningkat. Perbedaan faktor resiko
menunjukkan perbedaan mekanisme terjadinya stroke terhadap pasien dengan
atau tanpa PFO.
Mekanisme terjadinya stroke pada PFO cukup jelas. Adanya hubungan
antara atrium kanan dan atrium kiri karena PFO menyebabkan thrombus yang
berasal dari sirkulasi vena bisa masuk ke sirkulasi atrial yang disebut dengan
paradoxical embolism. Mekanisme ini telah diketahui baik secara otopsi maupun
dengan pemeriksaan echocardiography. Kriteria paradoxical embolism meliputi:
a. emboli atrial dengan tidak ada bukti sumber emboli pada sirkulasi atrium kiri
b. kecenderungan right to left shunting
c. didapatkan thrombus vena/emboli pulmonal.
Sumber emboli masih tetap tidak terdeteksi karena lokasi atau ukuran
thrombus. Thrombus yang kecil ukuran 1 atau 2 mm tidak dapat dideteksi dengan
teknik imejing, tapi thrombus ini cukup menyebabkan stroke dan rata-rata ukuran
PFO mudah dilalui thrombus ke sirkulasi atrial.
2.4.2 Systemic Lupus Eritematous (SLE)
Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Penyebab utama
terjadinya SLE adalah karena produksi antibodi dan pembentukan kompleks imun
yang abnormal sehingga dapat terbentuk antibody terhadap multiple nuklear,
sitoplasmik, dan komponen permukaan sel dari berbagai tipe sel di berbagai
7
sistem organ, dengan bantuan suatu penanda IgG dan faktor koagulan. Hal inilah
yang dapat menjelaskan mengapa SLE dapat menyerang berbagai sistem organ.
Pembentukan Antibody yang berlebihan dapat dihasilkan oleh sel Limfosit
B yang hiperaktif. Hal-hal yang dapat menyebabkan hiperaktifnya sel Limfosit B
diantaranya adalah hilangnya toleransi sel imun terhadap tubuh, bahan atau
cemaran dari lingkungan yang bersifat antigenik, adanya antigen terhadap sel B
dari sel B lainnya atau dari antigen pesaing sel (APCs), perubahan sel Th1
menjadi Th2 yang kemudian memicu produksi antibodi sel B, dan supresi Sel B
yang tidak sempurna.
Auto antibodi yang terbentuk umumnya menyerang bagian-bagian
penyusun nukleus dalam sel yang sering disebut Antinuklear Antibodi (ANA).
Pada pasien SLE dapat ditemukan lebih dari satu macam ANA, yang dapat
menyerang berbagai sistem organ. Antibodi yang terbentuk juga dapat menyerang
bagian Fosfolipid dari aktivator kompleks protombin (Antikoagulan Lupus) dan
Kardiolipin (Antikardiolipin). Antikoagulan Lupus dan Antikardiolipin
merupakan dua antibodi yang termasuk golongan antibodi antifosfolipid.
Beberapa antibodi tersebut dapat muncul bertahun-betahun sebelum diagnosis
dapat ditegakkan, namun ada juga beberapa antibodi yang muncul dalam hitungan
bulan sebelumnya.
Serangkaian reaksi akibat keruskan regulasi sistem imun yang kemudian
memacu Sel B untuk memproduksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun
yang diikuti oleh aktivasi komplemen, akan menyebabkan inflamasi dan
kerusakan pada berbagai jaringan serta organ.
Patogenis dari SLE terhadap CVD dibagi menjadi dua yaitu primer dan
sekunder. Penyebab Primer antara lain adalah vaskulitis, spesifik antineuronal
antibodi, dan Lupus Antikoagulan. Sedangkan sebagai penyebab sekunder
diantaranya renal disorder, hipertensi, dan penggunaan steroid.
Anti phospolipid antibodi seperti Antikoagulan Lupus dan Antikardiolipin
antibodi memegang peranan penting dalam terjadinya CVD pada pasien SLE. Di
dalam penelitian, Antikoagulan lupus terdeteksi di 38% dari pasien SLE dengan
8
stroke infark. Hal ini menjelaskan bahwa 5-10% dari pasien SLE dengan
antikoagulan lupus berkembang menjadi CVD.
Anti phospolipid antibodi adalah antibodi yang didapat secara langsung
terhadap phospolipid atau protein kompleks pospolipid dan dihubungkan dengan
meningkatnya resiko trombhus vena dan arteri. Anti phospolipid Antibodi ini
kemungkinan melakukan reaksi silang dengan fosfolipid di endotelial sel
membran dan mencegah pengeluaran dari asam arachidonat sehingga menurunkan
produksi prostasiklin dan menyebabkan terjadinya aggregasi platelet.
Beberapa mekanisme potensial lain yang dapat menyebabkan aktivasi
platelet diantaranya prekallikrein inhibition, alteration of anti Trombin III,
decrease fibrinolisis, decrease release of Plasminogen activator, dan inhibition of
Protein C dan S activation.
Gambar 1. Mekanisme trombosis
9
Studi terbaru menyebutkan bahwasanya antikardiolipin antibodi juga
memiliki mekanisme yang dapat menyebabkan kerusakan sel endotelial. Antibodi
ini berhubungan dengan masalah trombotik sistemik termasuk didalamnya adalah
oklusi arteri besar, trombosis vena dalam, dan hipertensi pulmonal. Kerusakan
endotel yang terjadi mengakibatkan penuruan PGI2 sehingga menyebabkan
vasospasme, hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis. Lupus
antikoagulan dan antikardiolipin antibodi dapat menyebabkan mekanisme yang
sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
2.4.3 Cerebral Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and
Leukoencephalopathy (CADASIL)
Cerebral Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and
Leukoencephalopathy adalah merupakan bentuk turunan dari penyakit
serebrovaskular yang terjadi ketika penebalan dinding pembuluh darah
menghambat aliran darah ke otak. Penyakit ini terutama mempengaruhi pembuluh
darah kecil di substansia alba otak. Sebuah mutasi pada gen Notch3 mengubah
dinding otot dalam arteri kecil. Mutasi. Gen Notch3 memberikan instruksi untuk
memproduksi protein reseptor Notch3, yang penting untuk fungsi normal dan
kelangsungan hidup sel otot polos pembuluh darah. Ketika molekul tertentu
terikat pada reseptor Notch3, reseptor mengirimkan sinyal ke inti sel. Sinyal-
sinyal ini kemudian mengaktifkan gen tertentu dalam sel otot polos pembuluh
darah sehingga merusak fungsi dan kelangsungan hidup sel otot polos pembuluh
darah. Gangguan fungsi Notch3 ini dapat menyebabkan penghancuran diri
(apoptosis) sel-sel. Di otak, hilangnya sel-sel otot polos pembuluh darah
mengakibatkan kerusakan pembuluh darah yang dapat menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke otak. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya stroke
infark pada CADASIL.
CADASIL ditandai dengan sakit kepala (migrain) dan stroke yang
berlanjut menjadi demensia. Gejala lain termasuk penurunan kognitif, kejang,
masalah penglihatan, dan masalah kejiwaan seperti depresi berat dan perubahan
perilaku dan kepribadian. Individu juga mungkin berada pada risiko tinggi
10
serangan jantung. Gejala dan onset penyakit bervariasi, dengan tanda-tanda
biasanya muncul di pertengahan umur 30-an. Beberapa orang mungkin tidak
menunjukkan tanda-tanda penyakit sampai di kemudian hari. CADASIL -
sebelumnya dikenal dengan beberapa nama, termasuk turunan demensia multi-
infark - merupakan salah satu penyebab kerusakan kognitif vaskular (demensia
yang disebabkan oleh kekurangan darah ke beberapa daerah otak). Ini adalah
gangguan autosomal dominan, yang berarti bahwa satu orangtua membawa dan
meneruskan gen yang rusak. Kebanyakan individu dengan CADASIL memiliki
sejarah keluarga dari kekacauan. Namun, karena tes genetik untuk CADASIL
tidak tersedia sebelum tahun 2000, banyak kasus yang didiagnosis sebagai
multiple sclerosis, penyakit Alzheimer, atau penyakit neurodegenerative lain.
2.4.4 Miopathy Mitochondria, Encephalopathy, Lactic Acidosis, and Stroke-like
Episodes (MELAS)
Miopati mitokondria, ensefalopati, asidosis laktat, dan episode stroke-like
adalah gangguan progresif yang disebabkan oleh disfungsi mitokondria. Hampir
80% pasien dengan Melas memiliki DNA mitokondria (mtDNA) A-to-G transisi
pada nukleotida 3243 dari transfer RNA leusin. Miopati mitokondria,
ensefalopati, asidosis laktat, dan episode strokelike tidak memiliki predileksi etnis
dan merupakan salah satu gangguan yang paling umum diwariskan dari
mitokondria ibu.
Miopati Mitochondrial, ensefalopati, asidosis laktat, dan episode strokelike
ditandai dengan perkembangan awal yang normal diikuti oleh episode strokelike
(biasanya sebelum usia 40 tahun), mitokondria encephalomyopathy, dan asidosis
laktat. Manifestasi klinis yang sering ditemui dari Melas dirangkum dalam Tabel
berikut.
11
Etiologi episode strokelike di Melas belum sepenuhnya dijelaskan. Pada
MRI biasanya ditemukan gambaran defisit neurologis berupa lesi hyperintense
kortikal multifokal laminar. Lesi ini mungkin tidak mengikuti distribusi wilayah
arteri yang memvaskularisasi, memiliki kecendrungan untuk daerah posterior
otak, dan secara progresif dapat menyebar ke area otak lainnya.
Diduga pengalihan RNA leusin mtDNA mutasi menjadi dasar terjadinya
strokelike pada Melas. Pengalihan RNA leusin mtDNA menurunkan sintesis
protein dan menyebabkan kegagalan fosforilasi oksidatif, yang pada akhirnya
menyebabkan deplesi adenosin trifosfat dan kegagalan pembentukan energi. Hal
ini akan menyebabakan terjadinya iskemia otak.
12
2.4.5 Atrial Fibrilation (AF)
Atrial Fibrilation (AF) merupakan faktor risiko utama stroke. Atrial
Fibrilation membuat orang lima kali lebih besar mengalami stroke. Sekitar 15
persen dari semua orang yang memiliki stroke memiliki Atrial Fibrilation.
Atrial Fibrilation adalah simtoma ritme denyut abnormal yang terjadi
di jantung, yang ditandai dengan aktivitas atrium yang cepat dan tidak efektif
serta kontraksi ventrikular yang tidak teratur. Denyut jantung yang cepat dan tidak
teratur akan meningkatkan risiko terbentuknya trombus di dalam jantung. Hal ini
yang dapat menjadikan penyebab terjadinya Stroke pada kasus Atrial Fibrilation.
Trombus tersebut dapat lepas dan menuju otak sehingga menyebabkan terjadi
Stroke Iskemia jenis emboli.
2.5 DIAGNOSIS
Stroke Kriptogenik (CS) adalah diagnosis eksklusi berdasarkan
penyelidikan menyeluruh untuk etiologi potensial lainnya. Tes yang sering
dilakukan untuk mengevaluasi stroke iskemik antara lain:
a. Brain imaging dengan CT-Scan atau MRI, dan neurovaskular imaging dengan
Carotid Duplex dan Transkranial Doppler, Magnetic Resonance Angiography
(MRA), CT angiography, atau angiografi konvensional.
b. Evaluasi jantung dan aorta termasuk TTE dan TEE dengan kontras saline (atau
bubble) studi, elektrocardiogram, dan Holter monitoring. Transthoacic
Echocardiography (TTE) diindikasikan pada hampir semua pasien yang
menderita infark otak. Hal ini banyak tersedia dan akurat dalam menilai ruang
jantung, struktur katup, dan fungsi jantung. Meskipun tidak sensitif seperti
transoesophageal echocardiography (TEE), akan tetapi TTE dapat
mengidentifikasi sumber-sumber potensial embolisasi dalam jantung tanpa
perlu teknik khusus lain. Patologi yang dapat dengan mudah diidentifikasi
dengan menggunakan TTE termasuk trombus ventrikel kiri, miksoma atrium
kiri, dan large left sided vegetations.
c. Tes darah seperti complete blood count, elektrolit, sedimentation rate, glukosa,
hemoglobin glikosilasi, Veneral Disease Research Laboratory (VDRL) test,
13
rapid plasma reagen (RPR) untuk sifilis, fasting lipid, homosistein, dan pungsi
lumbal.
2.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan stroke kriptogenik ini didasarkan atas patofisiologi penyakit
yang mendasarinya.
2.6.1 Patent Foramen Ovale (PFO)
Tata laksana CS dengan etiologi PFO antara lain Terapi Prevensi, Terapi
Transcateter Perkutaneus Tertutup, dan Terapi Operasi.
a. Terapi Prevensi
Strategi terapi optimal untuk prevensi pasien dengan PFO belum
ditetapkan. Terapi meliputi obat anti platelet, antikoagulan oral,
transcateter tertutup di foramen dan operasi jantung terbuka. Pada kasus
paradoxical emboli menetap yang diperlihatkan dengan echo,
embolektomi jantung dengan perbaikan kelainan intrakardiak telah
ditetapkan sebagai terapi. Terapi trombotik dan antikoagulan dengan
intravena heparin telah dilaporkan efektif pada pasien dengan paradoxical
emboli.
b. Transcateter Perkutaneus Tertutup
Beberapa penelitian melaporkan bahwa transcateter PFO tertutup adalah
aman dan efektif dengan efikasi berkisar 86% sampai 100%. Kejadian
berulang emboli perifer dilaporkan 0% sampai 3,8% pertahun. Kejadian
berulangnya ini, mungkin karena alat yang dipakai kurang tertutup
sempurna dan terbentuknya formasi thrombus. Ada 9 perbedaan
tekhnologi yang digunakan pada transcateter perkutaneus tertutup, seperti
dibawah ini:
14
Nama Alat Bentuk Nama Pabrik
Rashkind PDA Umbrella Double Umbrella Bard, Billerica, MAButtoned Device Square occlude Costum Medical
Device Amarillo TXASDOS Two self opening
UmbrellaOsypka corp. Grenzach Whylen
Angels Wing Two Interconnected Squeres
Microvena Inc Vadnals, MN
Cardio Seal Non centering Double Umbrella
NMT Medical Boston, MA
Star Flex Self centering Double umbrella
NMT Medical Boston, MA
Amplatzer Self centering Double disc
AGA Medical Golden Valley, MN
Helex Nitinol wire WL GorePFO Star Two Ivalon Applied Biometrics,
inc
Krumidaf dkk melaporkan 1000 pasien yang diambil secara konsekutif
sampling dengan PFO menggunakan alat transcateter tertutup. Trombus
didiagnosis pada 14% pasien dari 20 pasien selama 4 minggu dan 6 dari 20
pasien selama 4 minggu. Kebanyakan terbentuknya thrombus terjadi pada
alat Cerdio SEAL (NMT medical, Bastom dan Mssacum setts) sebanyak
7,1%. Star Flex (NMT medical) mengalami thrombus sebanyak 5,7%,
PFO star (Applied Biometric Fac, Burniville, Minaesota) sebanyak 6,6%
dan ASDOS (Osypla, Grenzach-Whylen, Germany) sebanyak 3,6% dan
Helix thrombus (AGA Medical, Golden Valley, Minesota) tidak terjadi
thrombus.
c. Terapi Operasi PFO Tertutup
Metode operasi tertutup PFO perkutaneus masih jarang. Beberapa peneliti
melaporkan operasi tertutup PFO, 28 Pasien dilakukan TEE untuk
menentukan adanya PFO. Semua pasien mengalami operasi tertutup
thorakotomi terbuka karena gagal dengan terapi warfarin. Selama follow
up kurang lebih 14 bulan, sebnayak 14% pasien mengalami kejadian
stroke sebanyak 1 orang dan TIA (Transcient Ischemic Attack) 3 orang.
15
Tidak ada pasien yang mengalami stroke ulang atau TIA pada umur
kurang dari 45 tahun.
2.6.2 Systemic Lupus Eritematous (SLE)
Anti phospolipid antibodi seperti Antikoagulan Lupus dan Antikardiolipin
antibodi memegang peranan penting dalam terjadinya CVD pada pasien SLE.
Peran antiphospolipid antibody telah dihubungkan dengan kejadian oklusi
thrombus vaskuler serebral. Peran APS sebagai prediksi kejadian iskemik
khususnya stroke iskemik telah jelas berdasarkan patofisiologi APS dalam
terjadinya thrombus terutama di serebral.
APASS Study (Antiphospolipid Antibody and Stroke Study) dan penelitian
secara prospektif studi terhadap walfarin dibanding aspirin (WARSS = Walfarin
Vs Aspirin Recurrent Stroke Study) dengan jumlah sample 2206 pasien dari Juni
1999 sampai 2000 membandingkan dosis walfarin (INR=1,4-2,8) dan aspirin
(325mg) untuk hasil akhir stroke ulang atau kematian. Rata-rata 2 tahun dinilai
hasil akhir berupa kematian, stroke iskemik, TIA, Infark miokardial, DVT (Deep
Vein in Thrombosis), emboli paru dan kejadian oklusi thrombus sistemik. Dari
1770 pasien untuk APPAS Study terdapat 720 pasien (41%) positif APS dan 1050
(59%) APS negatif. Tidak ada peningkatan resiko kejadian oklusi thrombosis
dihubungkan dengan baseline APS yang mendapat terapi walfarin (risiko relative
(RR), 0,94, 95% CI, 0,70-1,28; P=0,71). Semua kejadian rata-rata adalah 22,2%
diantara APS yang postif dan 21,8% diantara APS yang negatif. Pasien dengan
baseline positif baik lupus antikoagulan (LA) atau APS antibody kecendrungan
rata-rata kejadian lebih tinggi (31,7%) dibanding pasien yang dengan tes
laboratorium negatif (24%).
Penelitian lain baik secara retrospektif dan prospektif telah
memperlihatkan keuntungan walfarin untuk sekunder prevensi terhadap thrombus
disertai APS. Berdasarkan penelitian secara retrospektif 20–70% pasien dengan
APS berkembang menjadi thrombosis berulang ketika pasien berhenti minum obat
antikoagulan. Schulman et al memperlihatkan resiko tingginya thrombosis
16
berulang dibandingkan APS yang negatif jika pasien berhenti minum obat
antikoagulan setelah 6 bulan.
Penelitian secara retrospektif memperlihatkan manfaat antikoagulan dosis
tinggi (denagn INR > 3,0) dapat mencegah thrombus berulang dibandingkan
antikoagulan dosis rendah (INR 2,0 – 3,0). Namun beberapa penelitian prospektif
pasien dengan APS dan adanya thrombus vena dnegan pemberian antikoagulan
dosis rendah dapat mencegah serangan ulang dlaam terapi jangka panjang.
2.6.3 Cerebral Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and
Leukoencephalopathy (CADASIL)
Tidak ada pengobatan untuk menghentikan kelainan genetik sebagai
penyebab terjadinya CADASIL. Pemberian Aspirin setiap hari dianggap mampu
mengurangi risiko stroke dan serangan jantung pada pasien CADASIL. Kebiasaan
merokok harus dihentikan karena dapat meningkatkan risiko stroke pada
CADASIL. Faktor risiko stroke lainnya seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan
diabetes juga harus diobati secara agresif.
2.6.4 Mitochondrial Myopathy, Encephalopathy, Lactic asidosis, and Stroke-
like episodes (MELAS)
Berbagai pendekatan telah diusulkan untuk mengobati pasien dengan
Melas. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan produksi adenosin trifosfat
dan transfer elektron.
a. Coenzyme Q10 dan analog sintetik, Idebenone, memiliki sifat antioksidan
dan telah digunakan untuk meningkatkan transfer elektron dalam rantai
pernapasan mitokondria pada pasien dengan penyakit mitokondria. Percobaan
kecil dan laporan kasus menunjukkan bahwa koenzim Q10 digunakan sendiri
atau dalam kombinasi dengan creatine dan asam lipoic menurunkan tingkat
laktat acid. Perbaikan klinis jangka panjang terkait dengan penggunaan
koenzim Q10, bagaimanapun, masih harus dibuktikan. Karena koenzim Q10
tidak melintasi sawar darah-otak. Idebenone memiliki keuntungan teoritis
17
melintasi penghalang darah-otak, dan laporan kasus menunjukkan bahwa obat
ini meningkatkan metabolisme mitokondria dalam otak dan mengurangi
frekuensi episode strokelike pada pasien dengan MELAS.33 Obat ini tidak
tersedia, namun, di Amerika Serikat.
b. Dichloroacetate (DCA), bekerja dengan cara menghambat piruvat
dehidrogenase kompleks-kinase. Dichloroacetate (DCA) mengaktifkan
kompleks dehidrogenase piruvat dan meningkatkan konsumsi piruvat. Dalam
Melas, dichloroacetate telah terbukti menurunkan tingkat asam laktat.
Namun, percobaan plasebo-terkontrol secara acak menggunakan
dichloroacetate pada pasien dengan Melas tidak menunjukkan manfaat
pengobatan dan dihentikan karena efek toksik terhadap saraf perifer.
c. L-arginine (L-arg). L-arg adalah substrat nitric oxide synthase dan prekursor
endogen vasodilator nitrat oksida. Tingkat L-arg menurun pada fase akut
episode strokelike, dan telah dihipotesiskan bahwa peristiwa ini disebabkan
oleh vasodilatasi yang terganggu karena kekurangan oksida nitrat.
Berdasarkan pengamatan ini, L-arg digunakan pada pasien dengan Melas
dalam upaya untuk melestarikan tonus vaskular. Dalam sebuah penelitian
open-label, infus L-arg (0,5 g / kg per dosis) segera setelah timbulnya episode
strokelike dapat meningkatkan hemodinamik serebral fungsional, yang diukur
dengan 99mTc-ECD single-photon computed tomography emisi. Dalam studi
lain, 24 pasien dengan Melas dirawat dengan infus intravena L-arg (0,5 g / kg
per dosis) dalam waktu 30 menit dari onset episode strokelike, pasien
menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam semua gejala strokelike
serta normalisasi konsentrasi laktat dan piruvat dalam waktu 24 jam pasca
infus. Enam dari pasien tersebut kemudian dilengkapi dengan oral L-arg
selama fase interiktal (0,15-0,3 g / kg per dosis). Dalam kelompok ini, terjadi
penurunan yang signifikan tingkat keparahan kejadian setelah inisiasi peroral
L-arg. Meskipun studi tambahan diperlukan, hasil ini menunjukkan peran
yang mungkin untuk L-arg dalam pengobatan episode strokelike di Melas.
d. Suplementasi Karnitin Oral. Pasien dengan Melas mungkin mengalami
defisiensi asam lemak-β-oksidasi rantai panjang sekunder akibat dari
18
kegagalan mitokondria. Lebih lanjut, dengan terlibatnya ginjal, pasien dengan
Melas ini akan kehilangan karnitin. Oleh karena itu, suplementasi karnitin
oral telah digunakan pada pasien ini untuk meningkatkan β-oksidasi. Scaglia
dan Northrop memberikan review tentang karnitin, vitamin, dan antioksidan
yang diusulkan dalam pengelolaan kondisi ini. Efek jangka panjang dari
senyawa ini di Melas belum diteliti.
2.6.5 Atrial Fibrilation (AF)
Tujuan pengobatan AF adalah untuk mengembalikan irama normal
jantung dan mencegah kemungkinan terjadinya stroke iskemik. Hal ini dapat
dilakukan dengan obat-obatan atau penggunaan stimulasi listrik. Jika upaya ini
tidak berhasil, pengobatan AF konsentrasi pada pencegahan dari penggumpalan
darah yang dapat melakukan perjalanan dari jantung ke otak sehingga
menyebabkan stroke. Untuk mengurangi risiko stroke, dokter dapat meresepkan
obat pengencer darah (antikoagulan). Antikoagulan adalah obat yang dapat
membantu mencegah pembekuan darah. Obat ini dapat mengurangi risiko stroke
pertama pada pasien AF hingga 68%. Namun dalam pemberian obat ini harus
dilakukan tes darah dan monitoring untuk mengevaluasi peningkatan resiko
pendarahan.
2.7 PROGNOSIS
Dibandingkan dengan subtipe stroke yang lain, kriptogenik stroke (CS)
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik pada tiga bulan, enam bulan, dan
satu tahun. Tingkat mortalitas lebih rendah dibanding untuk kardioembolik (CE)
stroke, tetapi lebih tinggi daripada untuk penyakit arteri kecil (SAD). Secara
keseluruhan, risiko jangka pendek dari stroke berulang setelah CS berada di
pertengahan antara resiko tinggi setelah large artery atherosclerosis (LAA) stroke
dan risiko rendah setelah stroke SAD. Di Oxford meta-analisis dari empat studi
berbasis populasi yang besar, risiko stroke berulang setelah CS adalah 1,6 persen
pada tujuh hari, 4,2 persen pada satu bulan, dan 5,6 persen pada tiga bulan. Dalam
data Bank Stroke NINDS, 3 persen pasien CS memiliki peristiwa berulang pada
19
satu bulan. Dalam studi NOMASS pada tiga bulan, risiko kekambuhan untuk
kelompok kriptogenik adalah 3,7 persen, sedikit lebih rendah daripada yang
ditemukan di Oxford meta-analisis. Pada dua tahun, risiko kekambuhan berkisar
antara 14 hingga 20 persen. Pada lima tahun, risiko kekambuhan jangka panjang
adalah 33,2 persen berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rochester, tidak jauh
berbeda dari stroke subtipe lain.